Inovasi Teknologi Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim Pada Tanaman Pangan & Hortikultura
Mitigasi Bencana Geologi dan Perubahan Iklim
Transcript of Mitigasi Bencana Geologi dan Perubahan Iklim
1 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
PERKEMBANGAN KOTA DAN AMBLESAN TANAH KOTA SEMARANG: APLIKASI
KERANGKA DPSIR (DRIVER- PRESSURE- STATE- IMPACT-RESPONSE)
MUNICIPAL DEVELOPMENT AND LAND SUBSIDENCE IN SEMARANG CITY:
APPLICATION OF DPSIR FRAMEWORK (DRIVER- PRESSURE- STATE- IMPACT-
RESPONSE)
Dwi Sarah
1, Asep Mulyono
2, Eko Soebowo
1
1 Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
2 UPT BKK Liwa LIPI
Email : [email protected]
Abstrak
Analisis menggunakan kerangka Driver-Pressure-State-Impacts-Responses (DPSIR) merupakan
upaya untuk memodelkan permasalahan lingkungan untuk menghasilkan respon pengelolaan yang
sesuai. Pertumbuhan Kota Semarang yang pesat menyebabkan tekanan pada kondisi bawah
permukaan yang tercermin di permukaan sebagai amblesan tanah. Kota Semarang mengalami
masalah amblesan tanah sejak tahun 1980an dan telah menyebabkan kerugian fisik dan material
bagi masyarakat dan pemerintah, seperti kerusakan bangunan dan infrastruktur, banjir, intrusi air
laut, dan dampak tidak langsung berupa menurunnya kualitas kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Diperlukan upaya mitigasi amblesan tanah untuk mengurangi dampaknya dan
bermanfaat bagi pemulihan lingkungan hidup. Tulisan ini bertujuan untuk memodelkan tekanan
pada geologi bawah permukaan akibat perkembangan kota menggunakan kerangka DPSIR.
Pemodelan ini menggunakan data-data penelitian amblesan tanah Kota Semarang oleh Puslit
Geoteknologi LIPI (2011-2014). Pemodelan DPSIR menghasilkan strategi mitigasi amblesan tanah
yang bermanfaat bagi pemangku kepentingan Kota Semarang.
Kata kunci : tekanan bawah permukaan, geologi, amblesan tanah, DPSIR, Kota Semarang
Abstract
Analysis using Driver-Pressure-State-Impacts-Responses (DPSIR) framework is an attempt to
model a complex environmental problem in order to come up with an appropriate management
response. The vast development of Semarang city has put a pressure on the subsurface condition as
reflected in the surface as land subsidence. Semarang city has experienced land subsidence
problem since the 1980s causing enormous impacts such as building and infrastructure damages,
floods, sea water intrusion, and indirect loss such as degradation of public health and welfare.
Mitigation measures are required to lessen the impacts and restore the environmental condition.
This paper aims to model the pressure exerted on the subsurface geology due to municipal
development using DPSIR framework. This model uses previous data from Semarang land
subsidence research (2011-2014) by Research Center for Geotechnology LIPI. The DPSIR model
resulted in land subsidence mitigation strategy that is valuable for the stakeholders of Semarang
city.
Keywords : pressure on the subsurface, geology, land subsidence, DPSIR, Semarang city
2 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
TINGKAT KESIAPSIAGAAN SEKOLAH TERHADAP BENCANA DI WILAYAH
LIWA, LAMPUNG BARAT
Asep Mulyono, Indah Pratiwi, Aang Gunawan, Tri Irawan 1 UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa Lampung Barat
Email: [email protected]
Abstrak
Wilayah kota Liwa yang terletak di Kabupaten Lampung Barat mempunyai tingkat kerawanan
terhadap gempa bumi yang tinggi. Hal ini disebabkan kota Liwa terletak pada zona patahan besar
Sesar Sumatera segmen Ranau yang merupakan tempat sumber gempa akibat adanya pergerakan
aktif sesar tersebut. Gempa yang terjadi tahun 1933 dan 1994 telah menyebabkan korban jiwa,
harta benda dan bangunan infrastrruktur yang cukup besar. Secara langsung, getaran gempa bumi
tidak menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Korban jiwa timbul karena
efek ikutan seperti rumah roboh, tanah atau batu longsor dan kebakaran. Peningkatan kapasitas
dalam pemahaman bencana adalah salah satu cara dalam proses penanggulangan resiko bencana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesiapsiagaan khususnya
lingkungan sekolah dalam menghadapi bencana. Desain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah desain deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari
fenomena objek yang diteliti menggunakan metode penelitian Kualitatif. Instrumen dalam
penelitian ini adalah berupa lembar observasi kesiapsiagaan sekolah.
Kata kunci: liwa, sekolah, kesiapsiagaan, bencana
Abstract
Liwa city is located in West Lampung have high level of vulnerability to earthquakes. This is due to
Liwa city lies in a large fault zone Sumatra Fault Ranau segment which is where the source of the
earthquake due to the fault of active movement. The earthquake that occurred in 1933 and 1994 has
led to loss of life, property and buildings infrastrruktur big enough. Directly, the vibrations of
earthquakes do not cause casualties and property losses. The death toll arising from such follow-up
effects houses collapsed, soil or rock landslides and fires. Increased capacity in the understanding
of disaster is one way in the process of disaster risk reduction. This study was conducted to
determine the extent to which the level of preparedness of the school environment, especially in the
face of disaster. The design used in this research is descriptive design that describe the actual
condition using qualitative research methods. Instruments in this study is in the form of school
preparedness observation sheet.
keyword: liwa, school, preparedness, disaster
3 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
PEMODELAN BAWAH PERMUKAAN DI DAERAH CIBEBER, CIANJUR,
BERDASARKAN PENGUKURAN AUDIO-MAGNETOTELURIK
SUBSURFACE MODELING IN CIBEBER AREA, CIANJUR, BASED ON AUDIO-
MAGNETOTELLURIC SURVEY
Lina Handayani, Kamtono, Yayat Sudrajat, Sunardi, Dede Rusmana, Sutarman
Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Zona Sesar Cimandiri dapat diperkirakan keberadaannya dari kelurusan yang tampak pada peta
topografi dan citra satelit. Namun pemetaan yang teliti dengan analisa bawah permukaan perlu
dilakukan untuk mengetahui secara lebih detail karakteristik zona sesar ini. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah pemetaan bawah permukaan dengan menggunakan metode Audio-
magnetotelurik. Pengukuran dilakukan pada dua lintasan sejajar (N166oE) dengan panjang 10 km
yang memotong Sungai Cikondang di daerah Cibeber, Cianjur. Setiap lintasan terdiri dari 21
stasiun pengukuran dengan jarak antara stasiun 500 meter dan jarak antara kedua garis lintasan
4,5 km. Pemodelan inversi kemudian dilakukan berdasarkan kurva tahanan jenis semu yang
diperoleh. Hasil pemodelan menunjukkan lapisan dengan tahanan jenis lebih dari 1000 Ohm-meter
berada di sekitar kedalaman 500 meter. Batuan dengan nilai tahanan jenis demikian biasanya
diasosiasikan sebagai batuan dasar. Dan pada sisi selatan Lintasan 2, terdapat kemungkinan
adanya struktur dalam karena adanya fitur dengan tahanan jenis 500 Ohm-meter hingga
kedalaman 4 km.
Kata kunci: Sesar Cimandiri, Audio-magneotelurik, Cibeber, Sungai Cikondang, pemodelan
inversi tahanan jenis.
Abstrak
The existence of Cimandiri Fault Zone has been estimated based on the lineation that appeared in
topography map and satellite imageries. However, a detail mapping that includes subsurface
analysis is necessary to obtain more information of this fault zone characteristic. Accordingly, an
Audio-magnetotelluric survey was carried out at two parallel lines (N166oE) that intersected
Cikondang River in Cibeber area, Cianjur. The distance between those two lines is 4.5 km. Each
line consisted of 21 stations with the distance between stations is 500 meter. An inversion modeling
was executed based on the obtained apparent resistivity curves. The modeling indicates a layer with
resistivity value of > 1000 Ohm-meter at about 500 meter at both lines. That resistivity value is
usually associated to a bedrock layer. And at the south part of Line 2, there is a small area that has
resistivity value of 500 Ohm-meter to the depth of 4 km. The absent of bedrock to that depth might
indicate a deep structure.
Keywords: Cimandiri Fault, Audio-magneotelluric, Cibeber, Cianjur, Cikondang River, resistivity
inverse modeling.
4 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
GEOMETRI BATUAN DASAR (BASEMENT) DAERAH SERANG BANTEN
BERDASARKAN DATA GAYABERAT
BASEMENT GEOMETRY OF SERANG, BANTEN, BASED ON GRAVITY DATA
Lina Handayani, Dadan D. Wardhana, Priyo Hartanto, Sudaryanto, Rachmat F. Lubis,
Hendra Bakti, Robert Delinom
Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Daerah Kota dan Kabupaten Serang yang tengah berkembang menjadi daerah industri
memerlukan data hidrogeologi untuk mengetahui cekungan airtanah. Dalam penelitian
pendahuluan ini, diperlukan pemetaan permukaan dasar cekungan sedimen atau kedalaman batuan
dasar (basement). Untuk keperluan tersebut, survey gayaberat dilakukan untuk memetakan anomali
gaya berat regional. Pengukuran gayaberat dilakukan selama 10 hari pada 204 titik pengamatan di
Kota dan Kabupaten Serang dan hasilnya berupa peta anomali gayaberat Bouguer. Sisi barat
(Kota Serang hingga Baros) memiliki anomali gaya berat tinggi, sisi timur (Ciruas – Cikeusal)
memiliki anomali gayaberat rendah, dan sisi utara (hingga kepantai utara) memiliki anomali
gayaberat sedang. Jika diinterpretasikan kepada kedalaman batuan dasar, maka dapat dikatakan
bahwa bagian barat daerah penelitian memiliki lapisan batuan dasar yang lebih dalam dari pada
sisi timur. Sedangkan sisi utara memiliki kedalaman batuan dasar diantara keduanya..
Kata kunci: gayaberat, batuandasar, Serang, hidrogeologi, cekungan air tanah.
Abstract
Serang City and County that have been developing into an industrial region require
hydrogeological study to identify the groundwater basin. In this preliminary study, we need to map
the base of sediment basin or the depth of basement. For that purpose, a gravity survey was carried
out in 10 days at 204 stations in Serang City and County. The result is a Bouguer anomaly gravity
map that classified the region into 3 (three) units. The western part of study area, which includes
Serang City to Baros, has a high gravity anomaly. The eastern part (Ciruas to Cikeusal region) has
a low gravity anomaly. And the northern part (to the north coast) has a moderate gravity anomaly.
Interpreted to the basement depth, it could be said that the basement of western area is deeper than
that of eastern area, while the northern area has a depth in the middle of those two.
Keywords: gravity, basement, Serang, hydrogeology, groundwater basin
5 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
GEORESISTIVITY SURVEY IN LEMBANG FAULT, WEST JAVA
Mudrik R. Daryono
1,2 1 .2, Danny H. Natawidjaja
1, Purna Sulastya Putra
1 , Dadan Dhani
Wardhana1 , Ilham Arisbaya
1 , Bambang W Surwargadhi
1 dan Nandang Supriatna
1
1RC for Geotechnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
2Institute of Technology Bandung (ITB)
Abstrak
Survey geolistrik ini adalah untuk menguji gambaran bawah permukaaan hasil studi morfologi
rinci di Sesar Lembang. Survei ini menggunakan alat geolistrik multi channel Supersting 112
elektroda dengan interval spasi 2,5 m dan 5 m. Lokasi survey berada di enam lokasi, yaitu Cimeta (
Km0,7), Pasir Langu (Km5,5), Jambudwipa (Km9,7), Insuline (Km11,5), Cijeruk (Km16,5),
Gunung Batu (Km17,7) dan Batu Lonceng (Km26.2), dengan arah lintasan masing – masing tegak
lurus Sesar Lembang. Secara keseluruhan, survey menunjukkan bahwa hasil studi morfologi rinci
konsisten/sesuai dengan hasil gambaran bawah permukaan menggunakan uji geolistrik. Bahkan uji
geolistrik ini memberikan gambaran struktur geologi lebih rinci. Sebagai contoh, di lokasi Gunung
Batu dimana hasil interpretasi morfologi rinci adalah bentuk monoklin, hasil gambaran bawah
permukaan geolistrik menunjukkan stuktur perlipatan yang terdiri atas antiklin, sinklin dan sesar
naik.
Kata kunci: Geolistrik, Sesar Lembang.
Abstract
This georesistivity survey was to examine the subsurface condition compared to the previous detail
morphology studies in Lembang Fault. The survey used a multi-channel Supersting with 112
electrodes in intervals of 2.5 m and 5 m. Survey sites were in six locations, namely: Cimeta
(Km0.7), Pasir Langu (Km5.5), Jambudwipa (Km9.7), Insuline (Km11.5), Cijeruk (Km16.5),
Gunung Batu (Km17.7), and Batu Lonceng (Km26.2), with each line direction was perpendicular to
the Lembang Fault. Overall, this study showed that the detailed morphology was consistent with the
image of the subsurface obtained from georesistivity study. Even more, georesistivity study gave a
more detailed subsurface geological structure. For example, Gunung Batu site, where the
morphology interpretation suggested monocline form, the subsurface image from georesistivity
study showed the folding structure consisting of anticline, syncline and thrust fault.
Keywords: Georesistivity, Lembang Fault.
6 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
PALEOTSUNAMI DI SELATAN JAWA
PALEOTSUNAMI IN SOUTHERN JAVA
Purna Sulastya Putra1, Eko Yulianto1, Praptisih1, Nandang Supriatna1, Djoko
Trisuksmono1, Amar1, Ayu Utami Nurhidayat i1, Januar Ridwan1, Jonathan Griffin2,
Tim Mahasiswa Skripsi Paleotsunami 20153
1 Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
2 Geoscience Australia
3 UGM, Undip, Unsoed, UPN ‘Veteran’ Yogyakarta, STTNAS, IST Akprind
Abstrak
Gempa dan tsunami Aceh 2004 melahirkan sebuah hipotesis baru, yaitu bahwa gempa bumi
raksasa dapat terjadi pada semua zona subduksi. Sebelumnya diyakini bahwa gempa bumi skala
besar (Mw ≥ 9,0) hanya dapat dihasilkan oleh lempeng tektonik berumur muda dengan kecepatan
konvergensi yang tinggi. Berdasarkan teori tersebut, gempa raksasa 2004 seharusnya tidak terjadi,
karena jalur subduksi megathrust Sunda memiliki umur lempeng relatif tua dan laju konvergensi
lambat. Kejadian gempa Aceh 2004 mengingatkan bahwa zona subduksi selatan Jawa sepanjang
kurang lebih 1000 km berpeluang menghasilkan gempa raksasa yang memicu tsunami besar.
Pantai selatan Jawa tidak memiliki informasi mengenai perulangan gempa dan tsunami besar
selain data sejarah yang mencatat gempa bumi yang pernah terjadi di selatan Jawa tidak lebih dari
Mw = 8,0. Jika gempa (Mw ≥ 9,0) dan tsunami besar ini terjadi, maka potensi kerugian dan
korbannya akan sangat besar dan dapat mengancam perekonomian nasional. Untuk mengantisipasi
hal ini, upaya pengurangan risiko bencana tsunami perlu dilakukan secara menyeluruh dan
sistemik. Salah satu upaya yang kami lakukan adalah mempelajari karakteristik gempa bumi
raksasa yang bersumber dari jalur subduksi selatan Jawa, dan karakteristik ancaman tsunami yang
dibangkitkannya. Sasaran besar penelitian ini adalah membuat rekonstruksi waktu perulangan
tsunami raksasa Selatan Jawa melalui penelitian paleotsunami. Tujuan khusus tahun 2015 ini
adalah mengidentifikasi endapan paleotsunami di pantai selatan Lebak, Banten dan Pangandaran.
Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Februari dan Juni 2015, methodenya meliputi coring
dan trenching, pengukuran dGPS serta sampling untuk analisa laboratorium. Lebih dari 50 data
core, dua data trenching, serta dua lintasan profil morfologi digunakan dalam studi ini. Analisa
laboratorium meliputi analisa sedimentologi (besar butir menggunakan Mastersizer, LoI),
foraminifera, mineralogi, penanggalan karbon. Analisa ini untuk mengkonfirmasi keterdapatan
endapan paleotsunami dan mengetahui waktu kejadian tsunami tersebut. Dalam studi ini ditemukan
beberapa kandidat paleotsunami, salah satunya kemungkinan berasal dari tsunami yang
dibangkitkan oleh gempa Mw ≥ 9,0.
Kata kunci: paleotsunami; gempa raksasa, zona subduksi megathrust Sunda, waktu perulangan
tsunami
Abstract
A new hypothesis on the occurrence of giant earthquake (Mw ≥ 9.0) was proposed after the 2004
Indian Ocean earthquake and tsunami that giant earthquakes may occur in any subduction zones.
Before the 2004 event, it was believed that giant earthquakes might occur only in the subduction
zone where the plate is young with a high rate of convergence. Based on this theory, the 2004 giant
earthquake should not occur as the subducted plate of the Sunda megathrust subduction zone is
very old with slow convergence rate. The new proposed hypothesis reminds us the past and
potential occurrences of giant earthquake and tsunami along the south coast of Java. Despite
historical record of earthquakes (Mw ≤ 8.0), there is no information about the occurrence of giant
earthquake and tsunami in this subduction zone in the past. A giant earthquake and tsunami
triggered in this subduction zone will potentially result in severe social and economic impacts to
Indonesia. Earthquake and tsunami risk reduction efforts need to be systematically conducted to
7 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
mitigate the disaster risk. One of our efforts is identifying the hazard by studying the characteristics
of giant earthquakes and tsunamis in the southern coast of Java. The target of this study is to
understand the recurrence interval of giant tsunami from the paleotsunami data. The aim for this
year is to identify paleotsunami deposits in the southern coast of Lebak and Pangandaran. Field
study including trenching, coring, dGPS measurement and sampling for laboratory analysis was
conducted in February and June 2015. More than 50 cores, two trenches data and two morphology
profiles are used for this study. Laboratory analysis includes sedimentology (grain size and LoI),
foraminifera, mineralogy and carbon dating. These analyses are used to confirm the occurrence of
paleotsunamis and to obtain the age of the past tsunami events. We found some paleotsunami
candidates, and one of them may be deposited from a tsunami that was generated by a giant
earthquake (Mw ≥ 9.0).
Keyword: paleotsunami; giant earthquake, megathrust Sunda subduction zone, tsunami’s interval
8 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
GEODINAMIKA DAERAH BUSUR MUKA SELAT SUNDA
BERDASARAN DATA SEISMIK REFLEKSI
GEODYNAMICS OF SUNDA STRAIT FOREARC BASED ON
SEISMIC REFLECTION DATA
M.M. Mukti
1, S. Singh
2, I. Arisbaya
1, I. Deighton
3, L. Handayani
1, H. Permana
1, M.
Schnabel4
1 Puslit Geoteknologi LIPI, Bandung 40135
2 IPG Paris, Paris 75005, France
3 TGS, London, UK
4 BGR, Hannover, Germany
Abstrak
Daerah Selat Sunda yang merupakan daerah transisi antara zona subduksi frontal di selatan Jawa
dan subduksi oblik di Sumatra memiliki karakter yang unik, yang antara lain ditandai dengan
hilangnya cekungan busur muka dan terbentuknya struktur horst dan graben. Interpretasi struktur
geologi dengan menggunakan data seismik refleksi yang diakuisisi oleh industri dan institusi riset,
diintegrasikan dengan data bathymetry dan kegempaan menjelaskan dinamika geologi daerah
busur muka Selat Sunda. Komplek prisma akresi, yang merupakan penerusan dari zona akresi
Sumatra tersusun atas endapan cekungan busur muka yang terlipat dan tersesarkan. Sesar-sesar
yang relatif lebih muda terbentuk di daerah yang sebelumnya merupakan bagian dari tinggian di
daerah busur muka dan cekungan busur muka. Struktur-struktur yang berkembang di bagian horst
dan graben tidak hanya berhubungan dengan sistem pull-apart, tetapi juga terkait dengan aktifitas
volkanik-magmatik.
Kata kunci: tektonik, Selat Sunda, struktur, prisma akresi, daerah busur muka, seismic refleksi
Abstract
Sunda Strait, which is a transition zone between a frontal subduction in Java and oblique
convergence in Sumatra exhibits complex characteristics such as the disappearance of forearc
basin off Sumatra and the existence of structural horsts and grabens. Structural interpretation
based on seismic reflection data, which acquired by partners from industry and research institute,
integrated with bathymetry and seismicity data has been conducted to reveal geodynamics of the
Sunda Strait forearc region. The accretionary wedge, which is a southeastern prolongation of the
accretionary wedge off Sumatra, comprised deformed forearc basin sediments. The relatively young
faults formed within sediments that formerly belong to forearc high and forearc basin area.
Furthermore, structures formed in the horsts and grabens appear not only related to the pull-apart
system, but also connected to volcanic-magmatic activities.
Keywords: tectonics, Sunda Strait, structure, accretionary wedge, forearc region, seismic reflection
9 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
HUBUNGAN KARAKTERISTIK INTENSITAS HUJAN DENGAN KESTABILAN
LERENG PADA LAPISAN TANAH RESIDUAL VULKANIK DI DAERAH
CIJENGKOL, KABUPATEN BANDUNG BARAT
RAIN INTENSITY CHARACTERISTIC RELATIONSHIP WITH THE RESIDUAL
VOLCANIC SOIL SLOPE STABILITY
Khori Sugianti, Arifan Jaya Syahbana
1Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung
Email: [email protected]
Abstrak
Pada umumnya hujan merupakan salahsatu pemicu terjadinya tanah longsor. Pada musim hujan
kondisi lereng residual vulkanik rentanlongsordisebabkanpenjenuhan akibat infiltrasi air hujan
yang dapat menimbulkan terbentuknya muka air tanahterperangkap (perched water table) atau
zona-zona tekanan air positif pada muka hingga kaki lereng (Syahbana, 2013). Infiltrasi air hujan
akan dapat meningkatkan tekanan air pori positif yang menyebabkan kestabilan lereng terganggu.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pola intensitas hujan yang lebih memicu longsoran pada
tanah residual vulkanik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengujian laboratorium
sifat fisik, hidrologis, kuat geser tanah residual daerah Cijengkol, Kabupaten Bandung Barat untuk
pemodelan numerik infiltrasi air hujan dan kestabilan lereng. Pemodelan numerik dilakukan
dengan menggabungkan analisis infiltrasi air tanah dan kestabilan lereng menggunakan perangkat
lunak SEEP/W dan SLOPE/W (Anonim, 2004). Hasil analisis menunjukkan bahwa pola infiltrasi
air hujan tertentu dapat lebih mengurangi kestabilan lereng. Hal ini ditunjukan dengan adanya
penurunan nilai tekanan air pori negatif.
Kata kunci: pola intensitas hujan, kestabilan lereng
Abstract In general, rain is one of landslides trigger parameter. In the rainy season, residual volcanic slopes
conditions susceptible to start unstable caused by saturation. Infiltration of rainwater can cause the
formation of perched water table or zones of positive water pressure in the face to the slopes
(Syahbana, 2013). Infiltration of rain will be able to increase the positive pore water pressure that
causes disturbed slope stability. This paper aims to determine the pattern of rain intensity
triggering landslide on volcanic residual soil. The method used in this research i.e laboratory soil
mechanic testing, hydrological, residual shear strength soil at Cijengkol area, West Bandung
regency for numerical modeling of infiltration of rain and slope stability. Numerical modeling is
done by combining the analysis of ground water infiltration and slope stability using software
SEEP / W and SLOPE / W (Anonymous, 2004). The analysis showed that a particular pattern of
infiltration of rain can further reduce the stability of the slope. This is evidenced by a decrease in
the value of negative pore water pressure.
Keywords: patterns of rainfall, slope stability
10 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
STUDI KARAKTERISTIK BATULEMPUNG DI SETIAP DERAJAT PELAPUKAN
PADA TANAH RESIDU WILAYAH CAGAR ALAM GEOLOGI KARANGSAMBUNG
Sueno Winduhutomo, Eko Puswanto, Kristiawan Widiyanto, Puguh D Raharjo
UPT-Balai Informasi Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI
Email: [email protected]
Abstrak
Wilayah cagar alam geologi karangsambung merupakan daerah perbukitan dengan tingkat
pelapukan yang sangat intensif. Dapat dilihat langsung dilapangan lapisan tanah residu yang
sangat tebal akibat dari proses pelapukan batuan dasarnya. Tanah merupakan material dasar yang
sangat penting dalam bidang kontruksi, namun tidak semua tanah baik digunakan dalam bidang
konstruksi, karena ada beberapa jenis tanah dasar yang bermasalah baik dari segi daya dukung
tanahnya maupun dari segi penurunan tanahnya. Observasi lapangan dilakukan untuk
mengidentifikasi karakteristik pada setiap derajat pelapukan batuan, kemudian dilakukan
pengambilan contoh tanah dari setiap derajat pelapukannya, selanjutnya contoh tanah dilakukan
uji laboratorium guna mengetahui sifat indeks, batas atterberg, ukuran butir dan kekuatan
tanahnya. Berdasarkan hasil observasi lapangan diketahui tanah residu hasil pelapukan batuan
yang berumur Pra-Tersier yaitu Fm.Melange mempunyai ketebalan 3 - 5 meter berupa lanau dan
batulempung, Fm.Karangsambung mempunyai ketebalan 2 – 7 meter berupa pasir halus, lanau dan
lempung. Tanah residu hasil pelapukan batuan yang berumur Tersier yaitu Fm.Waturondo
mempunyai ketebalan 2 - 4 meter berupa pasir halus, Fm.Penosogan mempunyai ketebalan 4 – 7
meter berupa lanau dan lempung. dari hasil uji laboratorium diperoleh nilai persentase batas cair,
persentase batas plastis, nilai indeks plastisitas, persentase partikel lempung dan nilai aktivitas
yang berbeda dari setiap derajat pelapukannya. Dari grafik regresi linier antara persentase
partikel lempung dengan nilai aktivitas, dapat dilihat bahwa contoh pengujian FMK dan FMP
terakumulasi pada tingkat mengembang tinggi, sedangkan pengujian pada FML dan FMW
mempunyai tingkat mengembang rendah.
Kata kunci : Geologi teknik, Tanah residu, Karakteristik lempung, Cagar alam
Abstract
Geological nature reserve territory Karangsambung a hilly area the rate of weathering very
intensive. Can be viewed directly in the field residual soil layer very thick as a result of the
weathering process essentially rock. Land is a basic material very important in the field of
construction, but not all good land use in the field of construction, because there are some basic
soil types problematic both in terms of soil bearing capacity and in terms of reduction in soil. Field
observations conducted to identify characteristics in any degree of weathering of rocks, then
conducted soil sampling of every degree of weathering, the next soil sample laboratory test to
determine the nature of the index, atterberg limits, grain size and strength of the soil. Based on the
results of field observation unknown soil residues result of weathering of rocks Pre-Tertiary aged
namely Fm.Melange having a thickness of 3-5 meters such as silt and clay stone,
Fm.Karangsambung has a thickness of 2-7 meters in the form of fine sand, silt and clay. Soil
residue the result of weathering of rocks the Tertiary is Fm.Waturanda has a thickness of 2-4
meters in the form of fine sand, Fm.Penosogan has a thickness of 4-7 meters in the form of silt and
clay. From the results of laboratory tests percentage values obtained liquid limit, the percentage of
plastic limit, the value of plasticity index, the percentage of clay particles and the value of different
activities of every degree of weathering. From the graph of regression between the percentage of
clay particles with the value of the activity, can be seen that sample testing of FMP and FPM
accumulates at high levels expands, whereas testing on FML and FMW have a low level expands.
Keywords : Geological engineering, soil residue, clay characteristics, Karangsambung
11 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
PUNGGUNGAN TABUAN, JEJAK SESAR SUMATRA DI SELAT SUNDA
BERDASARKAN ANALISIS DATA GEOFISIKA
TABUAN RIDGE, TRACE OF SUMATRAN FAULT IN SUNDA STRAIT
BASED ON GEOPHYSICAL DATA ANALYSIS
I. Arisbaya1, M. M. Mukti
1, L. Handayani
1, H. Permana
1, M Schnabel
2, K Jaxybulatov
3
1Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung 40135 Indonesia,
2 BGR, 30655 Hannover, Jerman,
3 Seismology Group, IPGP, Paris 75005, Perancis
Abstrak
Selat Sunda merupakan zona transisi dari perubahan sistem subduksi frontal di bawah Pulau Jawa
menjadi sistem subduksi miring di bawah Pulau Sumatra. Kemiringan subduksi di Sumatra ini
kemudian diakomodasi oleh sesar geser menganan sepanjang Pulau Sumatra, dengan nilai
pergerakan yang semakin kecil ke arah tenggara. Cekungan Semangko di Selat Sunda merupakan
area ekstensional yang terbentuk pada segmen tenggara dari Sesar Sumatra. Mengingat pentingnya
area ini untuk memahami evolusi tektonik di Indonesia bagian barat, maka diperlukan penelitian
untuk mempelajari detil geometri graben di Selat Sunda. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari
detail geometri graben di Selat Sunda melalui penggabungan data swath bathimetri, kegempaan,
gravity, dan magnetik. Bathimetri Selat Sunda memperlihatkan Cekungan Semangko dengan dua
sub-cekungan yang terpisahkan oleh tinggian berarah barat laut-tenggara. Integrasi hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa struktur-struktur tinggian di sepanjang zona Tabuan-Panaitan tidak
hanya berkaitan dengan sistem pull-apart dari Sesar Sumatra, namun juga berhubungan erat
dengan aktifitas magmatik di sepanjang zona lemah tersebut.
Kata kunci: Selat Sunda, Cekungan Semangko, Punggungan Tabuan, Geofisika.
Abstract
Sunda Strait is transitional zone from frontal subduction system beneath Java into the oblique
subduction system beneath Sumatra. The oblique subduction of Sumatra is then accommodated by
dextral strike slip faults along the island of Sumatra, with the movement getting smaller to the
southeast. Semangko basin in the Sunda Strait is formed on the extensional area of southeast
segment of the Sumatra Fault. Given the importance of this area to understand the tectonic
evolution of western part of Indonesia, a detailed graben geometry study in the Sunda Strait needed
to be conducted. The objective of this research is to study the detail geometry of the graben in the
Sunda Strait through the combined data of swath bathymetry, seismic, gravity, and magnetic.
Bathymetry of Sunda Strait shows Semangko basin with two sub-basins separated by NW-SE
trending ridge. Integration of the results obtained show the ridge structures along Tabuan-Panaitan
zone not only associated with the pull-apart system of Sumatra Fault, but also closely related to
magmatic activity along the weak zones.
Keywords: Sunda Strait, Semangko Basin, Tabuan Ridge, Geophysics
12 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
KENDALI SESAR GESER DEKSTRAL DAN STRUKTUR LIPATAN SEBAGAI
INDIKASI TEKTONIK KOMPRESIF DAERAH WANAKRAMA, KEBUMEN
CONTROLLED OF DEXTRAL STRIKE SLIP FAULT AND FOLD STRUCTURE AS
INDICATION OF TECTONIC COMPRESSIVE AT WANAKRAMA AREA, KEBUMEN
Eko Puswanto1)
, Edi Hidayat1 )
1)UPT BIKK Karangsambung –LIPI
Jl. Karangsambung Km 19. Karangsambung, Kebumen
Abstrak
Daerah Tinatah, Wanakrama, Kabupaten Kebumen tersusun oleh material vulkaniklastik berupa
perselingan batupasir tufan dan batulempung anggota endapan turbidit Formasi Halang berumur
Miosen. Struktur geologi yang berkembang berupa kekar-kekar sistematik berasosiasi dengan
indikasi struktur lipatan-zona hancuran dan beberapa liniasi gores garis pada bidang sesar yang
terawetkan dengan baik. Struktur geologi ini relatif berkembang di sayap selatan antiklin
Eragumiwang dengan kemiringan bidang perlapisan relatif tegak, N 29o
E/78o. Tujuan penelitian
adalah untuk menganalisa arah tegasan purba pada zona hancuran perselingan batupasir tufan
dan batulempung anggota endapan turbidit Formasi Halang yang berasosiasi dengan indikasi
sesar geser dekstral dan lipatan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa sesar geser dekstral
Wanakrama dengan bidang sesar N 297o
E/79o, pitch 8
o; N 294
o E/74
o, pitch 10
o dan N 275
o E/80
o,
pitch 10o dengan arah tegasan purba σ1 04
o/N 256
o E; σ2 vertikal 58
o/N 352
o E; dan σ3 30
o/N 161
o E
merupakan sesar antitetik dari sesar utama Kedungkramat yang bergerak sinistral. Sesar geser
dekstral ini mengkontrol terbentuknya tektonik kompresi yang berasosiasi dengan lipatan dan sesar
naik yang berpengaruh secara signifikan terhadap potensi gerakan massa di daerah penelitian.
Kata kunci: Formasi Halang, kekar, sesar, tektonik, tegasan purba.
Abstract
Tinatah area, Wanakrama, Kebumen regency are dominantly composed of alternating tuffaceous
sandstone and claystone, a unit rocks of Miocene Halang Formation. Structural geology in this
research area are associated with a systematic joints, fault planes, accompanied by the
development of crushed zones and well-preserved slickenside fractures. The purpose of this
research is to analyze paleostress regimes in crushed zones which are associated with dextral strike-
slip and fold. The result of this research indicated that the dextral strike-slip Wanakrama has fault
planes N 297o
E/79o, pitch 8
o; N 294
o E/74
o, pitch 10
o and N 275
o E/80
o, pitch 10
o showed the
paleostress reconstruction with the direction of σ1 04o/N 256
o E, σ2 vertically 58
o/N 352
o E, σ3 30
o/N
161o
E is anthitetic of sinistral Kedungkramat fault. This dextral strike-slip fault control tectonic
compressional which are associated with fold and thrust fault that has potential for mass movement
in the research area.
Keywords: Halang Formation, joint, fault, tectonic, paleo stress.
13 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
SURVEI GAYABERAT UNTUK STUDI STRUKTUR CEKUNGAN HIDROKARBON DI
DAERAH MAJALENGKA DAN SUMEDANG
Dadan Dani Wardhana
1, Kamtono
1, Karit Lumban Gaol
1Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135
Abstrak
Salah satu kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi adalah bagaimana penentuan lokasi
keberadaan cekungan (basin). Keberadaan cekungan akan berkaitan erat dengan lingkungan
pembentukan batuan induk (source rock). Telah dilakukan pengukuran gayaberat di daerah
Majalengka dan Sumedang. Tujuan dilakukannya pengukuran ini adalah untuk mengetahui daerah-
daerah yang diduga merupakan cekungan sebagai tempat pembentukan source rock. Anomali
Bouguer yang didapatkan dari hasil pengukuran selanjutnya dilakukan analisa spektrum untuk
membantu mendapatkan model basement cekungan. Pada analisa lebih lanjut, dilakukan
pemisahan anomali regional dan residual dengan metode Polinomial. Analisa First Derivative
dilakukan untuk mengetahui daerah zona struktur patahan pada cekungan. Analisis spektrum
berupa model kedalaman, peta geologi dan kurva FHD menjadi acuan dalam pemodelan
gayaberat. Model 2D Gayaberat yang dibuat menunjukkan adanya cekungan dengan kedalaman
basement berkisar 2000 m sampai 3000 m.
Kata kunci: Survei Gayaberat, Struktur Cekungan, Majalengka, Sumedang
Abstract
One of the exploration activities of oil and gas is how to determine the location of basin The
existence of the basin will be closely related to environment of source rock forming. Gravity
measurements have been carried out in the both area Majalengka and Sumedang. The purpose of
this measure is to know the areas which allegedly basin as a source rock formation. Bouguer
anomalies that obtained from the measurement results then spectrum analysis is then performed to
help get the model of basin basement. On further analysis, carried out the separation of regional
and residual anomalies with polynomial method. First Derivative analysis was conducted to
determine the structure of the fault zone in the basin. The spectrum analysis in form of depth
models, geological maps and curves FHD become a reference in gravity modeling. 2D model of
gravity which made showing presence of basin with basement depth ranging from 2000 m to 3000
m.
Keyword: Gravity Survey, Basin Structure, Majalengka, Sumedang
14 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
TSUNAMI VOLKANIK KRAKATAU:
STUDI KRONOLOGI DAN UPAYA MITIGASI DI SELAT SUNDA
Wahyoe S. Hantoro
1), Hamzah Latief
2), Susilohadi
3), Hery Nurochman
1)
Aditya R. Gusman2), Anouk Suminar
2), Azalea Hidayat
2), Airlangga A.Y.
4),
Dudi Prayudi1), Suyatno
1), Ii Sumantri
1)
Puslit Geoteknologi LIPI
Studi Kelauatan Geofisika Meteorologi ITB
Puslitbang Geologi Kelautan Dep.Tamben
Biologi ITB
Abstrak
Wilayah pesisir yang membatasi sisi timur Selat Sunda merupakan kawasan yang sangat cepat
perkembangannya. Kawasan ini merupakan bagian dari Propinsi Banten, di bagian utara daerah
ini berupa kawasan industri dan pelabuhan (Merak dan Cilegon) kemudian ke arah selatan sebagai
daerah pemukiman (Anyer) dan kawasan wisata (Anyer – Carita) diseling kawasan budidaya dan
berakhir di Ujung Kulon sebagai kawasan konservasi. Di sisi lain, kawasan Teluk Lampung
berkembang pesat sebagai kawasan industri dan pemukiman (Telukbetung) dan kawasan budi daya
(Teluk Ratai dan Teluk Plantung). Seluruh kawasan ini berhadapan langsung dengan sumber
bencana, letusan besar maupun gelombang tsunami Gunung Krakatau sebagaimana pernah terjadi
pada tahun 1883 lampau. Berdasar laporan terdahulu dan pemodelan tinggi gelombang tsunami,
beberapa ruas kawasan pesisir daerah ini pernah mengalami sapuan tsunami yang menjangkau
hingga 4 km jauhnya masuk ke arah pedalaman dari gelombang berketinggian dari 10 – 30 m
sebelum tertahan oleh perbukitan volkanik. Bongkah terumbu karang terpotong dan tergulung
ombak teronggok tersebar di pesisir kawasan selat, menandai dahsyat dan kuatnya sapuan
tsunami. Rapatnya pepohonan alami (bakau, cemara dan beringin) di pesisir landai di kawasan
konservasi Ujung Kulon dan P. Panaitan dapat mengurangi jangkauan sapuan gelombang masuk
ke pedalaman, sementara jangkauan jauh ke pedalaman tercapai pada kawasan persawahan dan
desa di ruas antara Labuhan dan Tanjung Lesung maupun tempat lain yang terbuka (Telukbetung,
Anyer, Merak, dll). Diduga, terumbu karang di perairan Ujung Kulon telah memecah dan
memberaikan gelombang sehingga berkurang kecepatan dan ketinggiannya ketika mencapai
pantai. Menarik pelajaran dari bagaimana alam mampu menjaga keseimbangan dengan
menyediakan perlindungan sendiri terhadap bencana, maka diusulkan berbagai upaya
pengurangan resiko bencana tsunami berdasar kemampuan alam sendiri. Upaya dapat dilakukan
dengan menumbuhkan ekosistim baru di darat maupun di perairan. Usaha ini perlu dilengkapi
dengan pemodelan penjalaran untuk setiap kondisi perairan serta pesisir yang berbeda, sehingga
diperoleh cara dan jenis pelindung yang paling sesuai.
Kata kunci: Krakatau, tsunami, mitigasi
15 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT TERHADAP RISIKO BENCANA
ALAM DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Anwar, H.Z. 1), Yustiningrum, R.R.E, 1). Andriana, N. 1), Kusumawardhani, DTP. 1),
Sagala, S. 2), Mayang Sari A. 1). Lubis, W. 2). dan Ramdani, A. 1)
1) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
2) Planologi Departemen Institut Teknologi Bandung (ITB)
Abstrak
Seperti yang telah difahami bersama bahwa Indonesia meskipun memiliki sumber daya alam yang
melimpah juga terancam oleh berbagai jenis bencana alam. Kerugian-kerugian yang diakibatkan
oleh bencana alam di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Banyak
daerah padat penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan merupakan daerah yang terletak di
kawasan yang terancam oleh bencana alam. Dan banyak dari daerah-daerah rawan bencana
tersebut terletak di daerah terpencil. Hal ini menjadikan pengelolaan risiko bencana menemui
banyak kesulitan. Kombinasi dari permasalahan kerentanan masyarakat, sosial, ekonomi dan
budaya memerlukan pengelolaan khusus untuk mengurangi risiko bencana. Daripada
menggunakan pendekatan reaktif untuk risiko bencana, pertimbangan pengurangan risiko bencana
melalui pengembangan ketangguhan masyarakat terhadap bencana diperkirakan merupakan
pendekatan yang lebih efektif dalam pengelolaan risiko bencana. Untuk membangun masyarakat
tangguh bencana diperlukan pemahaman tentang interaksi antara alam, manusia dan sistem
lingkungan dan peran manusia dalam menciptakan atau mempercepat terjadinya bencana. Namun,
satu hal yang cukup signifikan untuk membangun masyarakat tangguh bencana di Indonesia adalah
modal sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh masyarakat secara turun temurun serta
mempertimbangkan sistem tata kelola risiko bencana dan tata ruang berbasis risiko, yang saat ini
sedang dikembangkan dalam studi ini. Penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah yang
terkena dampak bahaya gunung berapi di Yogyakarta dan di Jakarta Utara, untuk bahaya ROB
dan banjir memperlihatkan masyarakat di daerah tersebut belum cukup tangguh terhadap untuk
mereduksi dampak bencana, meskipun dalam beberapa parameter penting masyarakat masih
menunjukkan ketangguhan yang cukup baik. Misalnya, ciri gotong royong yang telah lama
merupakan ciri khas masyarakat di Indonesia yang dapat digunakan sebagai media pengurangan
risiko bencana, meskipun masih terlihat di tempat-tempat tertentu, tetapi banyak mulai dilupakan,
terutama di daerah perkotaan. Demikian pula, kepemimpinan tradisional yang selalu berada di
tengah-tengah masyarakat dan sangat dekat dengan masyarakat yang dapat ditemukan di banyak
tempat sejak lama, telah diganti dengan kepemimpinan formal yang selalu dengan pendekatan yang
lebih formal dan sebagai konsekuensinya kepemimpinan formal tidak selalu dekat dengan
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mendorong ketangguhan masyarakat terhadap bencana alam di
Indonesia dibutuhkan konsep terpadu antara sosial, budaya, modal ekonomi, yang terintegrasi
dengan sistem tata kelola risiko bencana dan perencanaan tata ruang yang berkelanjutan. Tulisan
ini berkaitan dengan pengembangan konsep terpadu ketangguhan masyarakat di Indonesia yang
diakibatkan oleh risiko bahaya alam atau kenaikan dampak permukaan laut karena perubahan
iklim global.
16 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
STRUKTUR, EVOLUSI, DAN TEKTONIK DAERAH BUSUR DEPAN TEPIAN AKTIF
SUNDALAND BAGIAN BARAT
M.M. Mukti
1
1 Puslit Geoteknologi LIPI, Bandung 40135
Abstrak
Daerah tepian aktif Sundaland, terutama di antara busur dan palung tersusun atas kompleks
prisma akresi dan cekungan busur muka. Struktur-struktur utama yang berkembang di daerah
tersebut menambah kompleksnya tektonik daerah tepian aktif ini. Analisa ulang struktur geologi
dan stratigrafi dari hasil-hasil penelitian sebelumnya di daerah ini, yang umumnya menggunakan
data-data geologi-geofisika baik permukaan dan bawah permukaan memperlihatkan bahwa
beberapa bagian dari kompleks prisma akresi terangkat dan membentuk kepulauan di sepanjang
tinggian busur muka Andaman-Simeulue-Batu-Mentawai. Bagian terdalam kompleks prisma akresi
dibatasi oleh sesar naik berarah busur yang berkembang makin muda di daerah cekungan. Sesar-
sesar mendatar berkembang di daerah cekungan dan juga prisma akresi, mengindikasikan adanya
perubahan pola struktur. Di beberapa tempat, zona lemah akibat struktur tersebut menjadi jalur
kubah lumpur yang dapat teramati baik di darat ataupun di atas lantai samudera. Keberadaan
kubah lumpur juga diikuti dengan munculnya batuan dasar, yang berasosiasi dengan kerak
samudera. Perubahan pola struktur yang berkembang menjadi salah satu kunci penting dalam
menyingkap evolusi tektonik daerah tepian aktif Sundaland bagian barat.
Kata kunci: Sundaland, Andaman, Sumatra, Jawa, daerah busur depan, tektonik
Abstract
The Sundaland active margin, especially the region between arc and trench comprised accretion
wedge complex and forearc basins. The occurrence of major structures within this region, add
complexity of the tectonics of this active margin. Re-analyze of structural geology and stratigraphic
result of previous studies in this area, which were based on onland and subsurface geology-
geophysical data, show that some parts of the accretionary wedge complex have been uplifted and
formed islands along the Andaman-Simeulue-Batu-Mentawai forearc high. The inner part of the
accretionary wedge is marked by arcward-vergence thrust faults that younging toward the basin.
Strike-slip faults developed within both, the accretionary wedge and the forearc basins, indicating a
change in the structural pattern. In some areas, the structural weak-zones serve as pathways for
mud volcanoes and diapirs, which can be observed on land and on the seafloor. The existence of
mud volcanoes and diapirs coincides with the emergence of basement rocks, which are associated
with oceanic crust. Changes of the structural patterns are of important keys in understanding the
tectonic evolution of the western part of Sundaland active margin.
Keywords: Sundaland, Andaman, Sumatra, Java, forearc region, tectonics
17 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
LEMBANG ACTIVE FAULT STUDY USING HIGH RESOLUTION DIGITAL
ELEVATION MODUL (DEM) IMAGE
Mudrik R. Daryono (1.2) and Danny H. Natawidjaja (1)
1) RC for Geotechnology, Indonesian Institutes of Sciences (LIPI)
2) Institute of Technology Bandung (ITB)
Abstrak
Penelitian Sesar Lembang ini menggunakan citra Light Detecting and Ranging (LiDAR) 0.9 meter
dan Interroferrometry Scanning And Interoferometric Resolution Synthetic Aperture Radar (IFSAR)
4 meter. Bentukan morfologi sesar yang dapat teramati dengan jelas antara lain berupa kelurusan
lembah, gawir sesar, antiklin, bukit tergeser, sungai terpancung dan pergeseran sungai. Bentukan
morfologi ini dapat dijelaskan secara rinci berdasarkan notasi kilometer. Secara keseluruhan Sesar
Lembang ini dapat dibagi menjadi enam segment sesar, yaitu Segment Cimeta, Segment Cipogor,
Segment Cihideung, Segment Gunung Batu, Segment Cikapundung dan Segment Batu Lonceng.
Panjang keseluruhan Sesar ini adalah 29 kilometer, yang berarti jika seluruh segmen bergerak,
maka Sesar ini mampu menghasilkan skala 6.5-7 magnitude gempabumi. Pergeseran sungai
menunjukkan Sesar ini bergerak sinistral. Dengan merujuk umur lapisan terpotong studi
vulkanostratigrafi, kecepatan geser geologi sesar ini adalah 3-5.5 mm/th.
Abstract
This Lembang Fault Research uses Light Detecting and Ranging (LIDAR) 0.9 meters resolution
image and Interroferrometry Scanning And Interoferometric Resolution Synthetic Aperture Radar
(IFSAR) 4 meters resolution image. Examples of fault morphologies that can be clearly seen along
the fault are: lineament valleys, fault scarp, anticline, shutter ridge, beheaded river and river offset.
These morphologies aredescribed in detail based on kilometers notation. Lembang Fault can be
divided into six segments. They are Cimeta Segment, Segment Cipogor, Cihideung Segment,
Gunung Batu Segment, Cikapundung Segment and Batu Lonceng segment. Total length of the fault
is 29 kilometers. This length is capable to produce 6.5 - 7 earthquake magnitude, if all of the
segments move together. River offset shows the fault is move sinistral. Based on the
vulcanostratigraphy study of the cutted layer, the geological sliprate of the Lembang Fault is 3 - 5.5
mm / yr.
18 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
QUATERNARY SEQUENCE FROM NORTH COAST OF JAVA: LAND TO MARINE
INTERPLAY.
W.S. Hantoro, A. Rachmat, J. Suhud and D. Djasimun
Research Center for Geotechnology, Indonesian Institute of Sciences
abstract
North of Java Island mainly perfoms a morphological view of low lying coastal plain which
sediment had been deposited successively following sea level variations that influenced the
depositional basin. Intermittenly, volcanic activity in the south, produced its material that
interferred to the deposition process, giving broad sedimentary sequence of different facies,
produced under terrestrial to marine environment. During marine depositional process, it might
produce also series of shallow fine to coarse sediment as well coral reef sequences. Interplay of
different sequences that had been deposited in the different environment may produce different type
of clastic sediment as well clay minearalogical type and carbonate facies. During depositional
process, initial water of the sedimentary basin may be trapped, found presently as confined ground
water in the subsurface porous and permeable sediment. Fresh water as well saline water are so
frequently found in a near layer separated aquifer. Excessive abstraction of the fresh water in the
aquifer may be followed by the lowering intergranular’s porosity pressure that induced the
seepages of saline water entering to and may polute the abandon fresh water aquifer.
Understanding on the past geological process as well environmental change of this area, it is
necessarily needed, to support its spatial planning and management. Due to the progressively
development of this area as the qonsequence of a rapid change on the spatial usage, there are
negative impacts that must be taken care and overcomed. Depletion of surface fresh water on its
quality and quantity induces people to exploite excessively fresh groundwater. Squizing water from
sediment’s layer then lowering on the ground water level may be followed by compaction of the
sediment that may caused such a subsidence. Despite controlling the groundwater abstraction, it is
necessary to rehabilitate the deep layer aquifer. Collected meteoric water can be injected into the
formation by its hydrostatic pressure to enhance the water presence in the aquifer. Data of clay
mineralogical type as well sandy sedimentary layer can be obtained directly through its core
sample while water formation could be identified through wel logging measurement.
Key word: stratigraphy, geohydrology, deep water enhanchement, north Java.
19 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN TERSIER DI
WILAYAH CEKUNGAN SUMATRA SELATAN: STUDI KASUS SEDIMEN KLASTIK
FORMASI GUMAI
DEPOSITIONAL ENVIRONMENT CHARACTERISTIC OF TERTIARY ROCKS AT
SOUTH SUMATRA BASIN: CASE STUDY OF CLASTIC SEDIMENT, GUMAI
FORMATION
Marfasran Hendrizan
1, Tri Hartono
1, Munasri
1
1 Pusat Penelitian Geoteknologi -LIPI
Email: [email protected] ; [email protected]
Abstrak
Batuan sedimen klastik Formasi Gumai berumur Miosen tersingkap dengan baik di sekitar Simpang
dan Muara Dua, Sumatra Selatan, Baturaja dimana penelitian ini dilakukan. Berdasarkan
karakteristik fisik berupa litologi yang diamati dalam studi lapangan menunjukkan Formasi Gumai
yang dijumpai pada sayap antiklin di sebelah selatan tepatnya wilayah Muara Dua terdiri atas
napal dengan urat-urat kuarsa sedangkan Formasi Gumai yang dijumpai di Simpang yang
bertepatan pada sayap antiklin sebelah utara tersusun atas batulanau, batupasir gampingan,
batupasir kuarsa serta setempat dijumpai bola pasir (Sand Ball) dalam lapisan batulanau. Dari
data yang diperoleh pada Formasi Gumai di daerah Muara Dua dan Simpang memperlihatkan
bahwa formasi batuan Tersier khususnya Formasi Gumai berada pada sayap lipatan dari batuan
Pra-Tersier kompleks Garba. Formasi Gumai di wilayah Simpang diduga menunjukkan lingkungan
yang lebih dangkal dibandingkan dengan wilayah Muara Dua.
Kata Kunci: Formasi Gumai, Tersier, Simpang, Muara Dua, sayap antiklin.
Abstract
Clastic sedimentary rock of Gumai Formation with Miocene-aged show well preserved
characteristics at Simpang and Muara Dua area where this research occurred. According to
physical characteristics of observed lithology in fieldwork study indicate Gumai Formation was
discovered on the southern anticline flange of Muara Dua composed of marl with quartz veins, the
opposite flange in the northern part at Simpang shows Gumai Formation consisted of siltstone,
calcareous sandstone, quartz sandstone and some local of sand ball in layers of siltstone. Based on
the obtained data on Gumai Formation at Muara Dua and Simpang, indicate Tertiary rocks
especially Gumai Formation is located in the flange of fold from Pra-Tertiary rocks at Garba
complex. We suppose Gumai Formation at Simpang have shallower environment than Muara Dua.
Keywords: Formasi Gumai, Tersier, Simpang, Muara Dua, anticline flank
20 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
INDEKS KERENTANAN WILAYAH TERHADAP BENCANA ALAM
(STUDI KASUS KABUPATEN PANDEGLANG)
INDEX REGIONAL VULNERABILITY TO NATURAL DISASTERS
(CASE STUDY PANDEGLANG DISTRICT)
Yunarto1, Saiman K.
1, Yugo K.
1
1 Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI
Kompleks LIPI, Jalan Sangkuriang Bandung
Email : [email protected]
Abstrak
Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu wilayah di Provinsi Banten yang rawan terhadap
bencana geologi, seperti bahaya bencana gunung api, gerakan tanah/longsor, gempa bumi,
tsunami dan banjir. Berkaitan dengan itu diperlukan upaya mitigasi bencana untuk mengurangi
risiko bencana alam, salah satunya dengan mengindentifikasi tingkat kerentanan. Kerentanan
disusun berdasarkan parameter sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan. Parameter tersebut
dijabarkan lebih detail ke dalam indikator kerentanan, yang kemudian dianalisis dengan
menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG), hasilnya berupa peta indeks kerentanan
sosial, peta indeks kerentanan ekonomi, peta indeks kerentanan fisik dan peta indeks kerentanan
lingkungan. Peta-peta tersebut ditumpangtindihkan untuk menghasilkan peta indeks kerentanan
wilayah di Kabupaten Pandeglang. Indeks kerentanan wilayah rendah dengan rata-rata luas
kerentanan 38%, umumnya di daerah hutan, perkebunan dan semak belukar yang berpenduduk
jarang. Sementara indeks kerentanan wilayah sedang dengan rata-rata luas kerentanan 46%,
umumnya terdapat pada daerah dengan tingkat kepadatan penduduk cukup rapat dan juga pada
daerah dengan luas lahan produktif (sawah dan ladang) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi
(Kecamatan Carita, Picung, Cimanggu, Karangtanjung). Indeks kerentanan wilayah tinggi dengan
rata-rata luas kerentanan 12%, pada daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang rapat
(Kecamatan Pandeglang, Cimanuk, Panimbang, Labuan, Cikedal, Saketi) dengan luas lahan
produktif (sawah, ladang) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi
Kata Kunci : Bencana alam, Indeks Kerentanan, SIG.
Abstract
Pandeglang district is one area in Banten province prone to geological disasters, such as volcanic
hazard, soil movements / landslides, earthquakes, tsunamis and floods. In connection with that
required mitigation to reduce the risk of natural disasters, one of them by identifying the level of
vulnerability. Vulnerability is based on the parameters of social, economy, physical and
environment. The parameters described in more detail in the indicators of vulnerability, which is
then analyzed using the Geographic Information System (GIS), the result is a map of the social
vulnerability index, the economic vulnerability index map, a map of the physical vulnerability index
and a map of environmental vulnerability index. The maps are superimposed to produce a map of
the territory vulnerability index in Pandeglang. Vulnerability index lower region with an average
area of 38% vulnerability, generally in the area of forest, plantation and scrub sparsely. While the
index of vulnerability moderate region was with an average vulnerability of 46%, generally found
in areas with a population density is sufficiently tight and in areas with an area of productive land
(paddy fields and fields) that have economic value is high enough (District of Carita, Picung,
Cimanggu, Karangtanjung). Vulnerability index regions with high average area of 12%
vulnerability, in areas with population densities meeting (subdistrict of Pandeglang, Cimanuk,
Panimbang, Labuan, Cikedal, Saketi) with an area of productive land (paddy fields, fields) that it’s
economic value is high enough
Keywords: Natural Disasters, Vulnerability Index, SIG
21 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
KONDISI GEOLOGI TEKNIK BAWAH PERMUKAAN WILAYAH CEKUNGAN
BANDUNG (LINTASAN SAPAN – RANCAKESUMBA – MAJALAYA)
SUB-SURFACE ENGINEERING GEOLOGY OF BANDUNG BASIN (SAPAN –
RANCAKESUMBA – MAJALAYA SECTION)
Adrin Tohari
1, Eko Soebowo
1, Sunarya Wibawa
1, Hilda Lestiana
1, Khori Sugianti
1,
Arifan Jaya S1, dan Anggun Mayang Sari
1
1 Kelompok Penelitian Gerakan Tanah, Pusat Penelitian Geoteknologi, Bandung
Abstrak
Perencanaan tataruang wilayah Cekungan Bandung perlu memperhatikan potensi ancaman
geologi di wilayah ini sehingga pemahaman dan pengetahuan yang baik mengenai kondisi geologi
teknik bawah permukaan sangat diperlukan. Makalah ini menyajikan hasil penyelidikan geologi
teknik untuk mengetahui karakteristik keteknikan dan dinamika lapisan tanah untuk lintasan Sapan-
Rancakesumba-Majalaya. Berdasarkan hasil pemboran teknik hingga kedalaman 35 m, dijumpai
lapisan tanah lempung lunak dengan sisipan pasir lepas. Kepadatan lapisan lempung dan pasir
meningkat seiring dengan penambahan ketebalan lapisan pasir hingga kedalaman 65 m, Pelapisan
lempung dan pasir ini diendapkan di atas lapisan batuan breksi vulkanik, yang ditemukan mulai
dari kedalaman 65 m. Sementara itu, hasil pengukuran kecepatan gelombang geser (Vs) hingga
kedalaman 25 m memberikan rentang nilai Vs tidak lebih dari 200 m/detik yang mengindikasikan
lapisan tanah dengan kepadatan lunak hingga medium. Dengan demikian, kondisi lapisan tanah
hingga kedalaman 35 m di wilayah Cekungan Bandung bagian timur akan mempunyai daya dukung
yang rendah sehingga mempunyai kerentanan tinggi terhadap bahaya seismik dan penurunan
tanah.
Katakunci: Bahaya seismik, cekungan Bandung, geologi teknik, kecepatan gelombang geser,
penurunan tanah.
Abstract
Better understanding of subsurface engineering geological condition in Bandung Basin region is
necessary to consider geological hazard in regional planning of the region. This paper presents the
results of subsurface investigation to understand the engineering and dynamic properties of soil
layers for Sapan-Rancakesumba-Majalaya areas. Based on the drilling data, the soil layers up to
depths of 35 m consist of soft clay and loose sand layers. The density of clay-sand layers increases
with the increase of the thickness of sand layer to 65 m depth. The clay-sand layers is deposited on
volcanic breccia, found from 65 m depth. Meanwhile, the results of seismic dilatometer tests up to
25 m depths, the clay-sand layers have an average of Vs below 200 m/s, indicating that the soil
layers can be classified as medium soils. These current subsurface investigations, thus, indicates
that the soil layers of the eastern part of Bandung Basin, up to 35 m depth, will have high
susceptibility to seismic hazard and land subsidence.
Keywords: Seismic hazard, Bandung basin, engineering geology, shear wave velocity, land
subsidence
22 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
PEMODELAN SPASIAL RISIKO LONGSOR DI KECAMATAN KALIWIRO
KABUPATEN WONOSOBO
SPATIAL MODELING OF LANDSLIDE RISK IN KALIWIRO SUB DISTRICT,
WONOSOBO DISTRICT
Puguh Dwi Raharjo, Edi Hidayat, Kristiawan Widiyanto, Eko Puswanto dan Sueno
Winduhutomo
Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Jl. Karangsambung KM 19 Kebumen 54353 Jawa Tengah
Email: [email protected]
Abstrak
Faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan memainkan peran kunci kerentanan longsor dalam
menentukan risikonya. Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo merupakan daerah dengan
ragam topografi dan masuk dalam Kawasan Cagar Alam Geologi Karangambung. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan sosial-masyarakat pada setiap desa di Kecamatan
Karangsambung dalam mempengaruhi risiko tanah longsor. Pada penelitian ini dilakukan analisis
mengenai faktor fisik lingkungan berupa pembuatan peta ancaman longsor. Analytical Hierarchy
Process (AHP) digunakan sebagai metode dalam pembuatan peta ancaman yang diolah dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil yang diperoleh bahwa beberapa desa
memiliki tingkat ancaman longsor yang tinggi. Namun dibeberapa tempat kondisi sosial-
masyarakat sangat baik dalam mengatasi dampak dan mitigasi bencana longsor. Kondisi sosial-
masyarakat di setiap desa sangat berpengaruh terhadap risiko longsor pada Kecamatan Kaliwiro
yang sering terjadi longsor.
Kata kunci: Kerugian lingkungan, lingkungan fisik, longsor, risiko, SIG, sosial-masyarakat.
Abstract
Physical, social, economic and environment factors play a role in susceptibility the landslides risk.
Subdistricts of Kaliwiro - Wonosobo is a region with diverse topography and included in the
Karangsambung Geological Nature Reserve. The purpose of this study was to determine the role of
socio-community in Karangsambung which influencing the landslides risk. In this study, we
analyted every environmental physical factors to give the landslide hazard map. Analytical
Hierarchy Process (AHP) is used as a method to processing landslides maps using Geographic
Information System (GIS). The landslides hazard associated with the socio-community and the
environment, visible role in reducing the landslides risk. The results obtained that in some places
have a high-level of landslide hazard. However, the socio-community is very well in overcoming the
impact and mitigation of landslides. Social conditions is very influential on the landslides risk
which often occur in the Kaliwiro Sub district
Keywords: Financial environment, physical environment, landslide, risk, GIS, socio-population
23 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
ARSITEKTUR STRUKTURAL DARI TINGGIAN EAURIPIK (UTARA PAPUA)
BERDASARKAN DATA SEISMIK LAUT: ANALISIS AWAL
STRUCTURAL ARCHITECTURE OF EAURIPIK RISE (NORTH PAPUA) BASED ON
MARINE SEISMIC DATA: A PRELIMINARY ANALYSIS
Nugroho D. Hananto
1), Catur Purwanto
2), Mustafa Hanafi
2), Harsenanto C. Widi
2),
Rahardian3)
, Reiner A. Troa4)
, Tumpal Bernhart2)
, Bisma J. Djakaria5)
, Ronalf D.
Michel5)
, Andi2)
, Muhammad Irfan3)
, Dimas Hanityawan5)
, Muhammad Arief5)
and LKI
2013/2014 Expedition Team
1) Research Center for Geotechnology – Indonesian Institute of Sciences
2) Research and Development Center for Marine Geology – Ministry of Energy and Mineral
Resources
3) UPT Baruna Jaya – Agency for the Assessment and Application of Technology
4) Research and Development Center for Coastal and Marine Resources – Ministry of Marine
and Fisheries
5) Badan Informasi Geospasial
Abstrak
Tinggian Eauripik di Samudera Pasifik dibentuk oleh proses pelamparan samudera sejak Paleogen
dengan pola pelamparan yang tak tertentu. Tinggian ini memisahkan Cekungan Karolina menjadi
dua bagian yaitu Barat dan Timur. Data Program Pemboran Internasional (International Drilling
Program, IODP) sumur 62 pada Tinggian Eauripik mengindikasikan sedimen umurnya adalah
Oligosen atau lebih muda. Pengukuran heat flow mengindikasikan heat flow kurang dari 2
microcal/cm2sec yang boleh jadi berkorelasi dengan batuan dasar era Tersier. Dalam kerangka
survey Landas Kontinen Indonesia (LKI) 2013 dan 2014, kami telah menghimpun ~2000 km data
seismik kanal banyak dan data magnetik menggunakan Kapal Riset Geomarine 3 milik Kementrian
Energi dan Sumberdaya mineral. Pada tahun 2013, sistem seismik yang digunakan teridir dari 48
kanal dengan grup interval 12.5 m dan sebagai sumber sinyal seismik digunakan kluster 630 cubic
inch airgun dinyalakan setiap interval 37.5 m yang menghasilkan cakupan fold maksimum adalah
8. Tiga lintasan seismik telah diakuisisi melintasi tinggian dalam perairan internasional dari
selatan ke utara untuk mencitrakan berbagai struktur morfologi dan bawah permukaan. Lintasan
seismik yang kami peroleh mengindikasikan bahwa ketinggian tertinggi dari Tinggian Eauripik
adalah ~2400 m dan dilapisi oleh lapisan sediment setebal ~0.5 s TWT. Tinggian ini memiliki dua
lembah yang asimetris kearah barat dan timur. Lokasi Moho di bawah Tinggian Eauripik dan
Cekungan Karolina tidak dapat ditentukan dari penampang seismik kami karena kurangnya
penetrasi sinyal seismik dibawah tinggian. Pada bagian atas dari Tinggian Eauripik dapat diamati
adanya struktur-struktur yang boleh jadi berasosiasi dengan gunung bawah laut berdasarkan
batimetri regional. Kerak oseanik tampaknya memotong lapisan sedimen yang mengindikasikan
aktivitas volkanik dan intrusi dari kerak samudera. Kedua tipe gunung ini boleh jadi sangat
dominan dalam evolusi masa lalu dari tinggian yang kurang terexplorasi ini.
Kata Kunci: Tinggian Pelamparan, Tinggian Eauripik, Seismic Refleksi, Kerak Samudera
Abstract
The Eauripik Rise in the Pacific Ocean was formed by seafloor spreading during Paleogene with
undetermined spreading pattern. It separates the Caroline Basin into west and east part. Previous
international drilling initiative DSDP hole 62 on the Eauripik Rise indicates that the sediment is of
Oligocene and younger. The heat flow measurement indicated heat flow of less then 2
microcal/cm2sec, which may be correlated with middle Tertiary basement. In the frame of Landas
Kontinen Indonesia (LKI) 2013 and 2014 expedition, we acquire ~2000 km of multichannel high
resolution seismic and magnetic data onboard R/V Geomarine 3 of the Indonesian Ministry of
Energy and Mineral Resources. In 2013, The system consist of a 48 channels with 12.5 group
interval streamer and a cluster of 630 cubic inch airgun source triggered every 37.5 m interval
24 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
resulted in 8 fold maximum. Three profiles have been acquired traversing the rise in the
international water from south to north to sample various morphological and subsurface features of
the rise. Our seismic profiles indicate the top of the rise is ~2400 m depth covered by thin ~0.5 s
TWT sediments flanked asymmetrically to the east and west. The location of Moho beneath the
Eauripik Rise and the Caroline Basin is undetermined due to poor penetration of seismic energy
beneath the rise. On the very top portion of the rise, structures which may be associated with
seamounts are obviously observed on regional bathymetry. Oceanic crust seems to cut the
sedimentary fill suggesting volcanic activity and intrusion of the oceanic crust. These two types of
seamount formations may be dominant in the past evolution of this poorly explored ridge.
Keyword: Spreading Ridge, Eauripik Rise, seismic reflection, oceanic crust
25 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
STUDI PENENTUAN INDEKS ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN KALIWIRO
KABUPATEN WONOSOBO
Sueno Winduhutomo, Edi Hidayat, Puguh D Raharjo
UPT-Balai Informasi Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI
Email: [email protected]
Abstrak
Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo terletak di bagian utara Kabupaten Kebumen Provinsi
Jawa Tengah, berada pada morfologi perbukitan ± 890 mdpl dengan kemiringan lereng bervariasi.
Banyaknya perubahan tata guna lahan di wilayah ini menimbulkan dampak negatif, salah satunya
adalah kerusakan sumber daya lahan akibat erosi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya
pemahaman masyarakat sekitar terhadap aktivitas konservasi tanah. Salah satu faktor dari erosi
yang perlu diketahui adalah erodibilitas tanah dan belum banyak penelitian mengenai erodibilitas
tanah di wilayah ini. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variable sebagai penentu
nilai tingkat erodibilitas tanah (K). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tingkat erodibilitas
tanah di wilayah Kaliwiro Kabupaten Wonosobo memiliki nilai rata-rata agak tinggi yaitu K =
0,35. Dalam Usaha konservasi tanah dianjurkan untuk wilayah Kecamatan Kaliwiro adalah
dengan cara pengolahan tanah minimal pada semua kondisi pengamatan dan penerapan teras
individu.
Kata Kunci : Erodibilitas, Penggunaan lahan, Konservasi tanah, Wonosobo
Abstract
Subdistrict Kaliwiro Wonosobo is located in the northern part of Central Java Kebumen, located on
the hills morphology ± 890 masl with slope varies. The number of land use changes in the region
have negative impacts, one of them is the destruction of land resources due to erosion. That matter
because lack of understanding of the local community on the activity of soil conservation. One of
the factors of erosion to know is soil erodibility and has not been much research on soil erodibility
in this region. Variables measured in this research is variable as a determinant of the level of soil
erodibility value (K). The results showed that the value of the level of soil erodibility Kaliwiro in the
region Wonosobo has a value average rather high that is K = 0,35. In soil conservation efforts
recommended for the District of Kaliwiro is a way minimal tillage in all viewing conditions and
application of individual terraces.
Keywords : Erodibilitas, Penggunaan lahan, Konservasi tanah, Wonosobo
26 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
KONDISI GEOLOGI TEKNIK BAGI PERENCANAAN PENGEMBANGAN
INFRASTRUKTUR DI KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO JAWA
TENGAH
Sueno Winduhutomo, Edi Hidayat, Eko Puswanto,
Kristiawan Widiyanto, Puguh D Raharjo
UPT-Balai Informasi Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Email: [email protected]
Abstrak
Wilayah Kabupaten Wonosobo khususnya daerah Kaliwiro mempunyai sejarah yang panjang akan
permasalahan gerakan tanah. Mitigasi bencana gerakan tanah atau longsoran memerlukan upaya
pemahaman aspek geologi teknik yang menjadi faktor penyebab kelongsoran, seperti kondisi
geologi, topografi, hidrologi, dan sifat keteknikan material tanah. Tulisan ini menyajikan hasil
kondisi geologi teknik sebagai perencanaan pengembangan infrastruktur di Kecamatan Kaliwiro.
Pemetaan geologi dan topografi, pengambilan conto tanah terganggu dan tak terganggu dan
pengujian laboratorium conto- conto tanah dilakukan dalam penelitian ini. Hasil investigasi
menunjukkan bahwa gerakan tanah yang terjadi di daerah ini berupa longsoran translasi dangkal
(shallow translational slide). Gerakan tanah terjadi pada tanah residual hasil pelapukan breksi
vulkanik berupa lanau pasiran hingga lanau lempungan yang dapat diklasifikasikan sebagai lanau
dengan plastisitas rendah hingga tinggi (ML-MH). Tanah lapukan ini memiliki karakteristik nilai
kuat geser antara 9.80- 30.38 kPa dengan sudut geser dalam 10.93-42.050. Diperkirakan curah
hujan dengan intensitas yang tinggi menyebabkan kenaikan tekanan air pori yang cepat pada
lapisan tanah residual sehingga memperlemah kekuatan tanah. Keberadaan rekahan-rekahan pada
lapukan breksi vulkanik mempercepat rembesan air hujan ke bawah permukaan sehingga
menyebabkan terjadinya longsor.
Kata kunci: geologi teknik, tanah residual, breksi vulkanik, gerkan tanah
27 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
PENELITIAN STRUKTUR GEOLOGI DAN PROSES TEKTONIKNYA DI LERENG
SELATAN “KALDERA PURBA GARUT-BANDUNG”, GARUT SELATAN, JAWA
BARAT
STUDY ON GEOLOGICAL STRUCTURE AND IT’S TECTONIC PROCESSES AT
SOUTHERN FLANK OF "ANCIENT CALDERA OF GARUT-BANDUNG", SOUTH
GARUT, WEST JAVA
H. Permana1, E.Z. Gaffar
1, Sudarsono
1, H. Nurokhman
1 dan S. Indarto
1
1 Haryadi PERMANA. Puslit Geoteknologi LIPI. Komplek LIPI, Jl. Sangkuriang, 40135 Telp.
62-22-250 3654 Fax: 62-22-250 45 93;
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian geologi dilakukan di bagian lereng selatan “kaldera purba” Garut-Bandung yang di
dalamnya dijumpai lapangan panas bumi seperti Prospek Patuha, Waringin, Windu-Wayang,
Guntur, Talagabodas dan Cakrabuana. Objektif dari penelitian ini adalah mengetahui unsur
struktur geologi seperti kekar dan urat mineralisasi yang terekam pada batuan volkanik dan
penjelasan proses tektoniknya. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kajian kelurusan struktur
geologi melalui analisis anomali bouguer gayaberat yang mewakili struktur “dalam”, analisis citra
DEM mewakili struktur geologi permukaan dan pengukuran unsur struktur geologi di lapangan
secara terpilih. Kelurusan struktur geologi “dalam” menunjukan arah U20o-25
oB dan U50
o-70
oB,
sedangkan kelurusan struktur geologi permukaan berarah U20o-25
oT, U60
o-70
oT, dan U20
o-25
oB.
Hasil penelitian arah kekar pada batuan volkanik Tersier di lapangan menunjukan tiga pola utama.
Pola arah kekar pertama adalah kekar berarah baratdaya (U25o-45
oB) atau relatif berarah
baratlaut-barat (U50o-65
oB). Pola kekar kedua adalah kekar berarah timurlaut (U30
o-50
oT) dan
terakhir adalah pola kekar berarah relatif U-S (U10o-15
oB atau U10
o-20
oT) dan sedikit kekar
berarah relatif B-T (U60o-80
oT atau U60
o-85
oB). Pada batuan volkanik Kuarter, kelurusan kekar
yang terukur menunjukan arah homogen U25o-35
oT. Di lapangan, dijumpai urat mineralisasi
dengan arah baratlaut (U145o/10
oT, U145
o/80
oT, U347
o/65
oT; U330
o-345
o/50
o-80
oT). Dalam
singkapan yang berbeda, dijumpai urat mineralisasi dengan arah relatif U-S (U178o/30
oT,
U335o/80
oT) dan berarah relatif B-T (U240
o/80
oT, U105
o/80
oT). Kekar-kekar dan urat mineralisasi
yang teramati di daerah penelitian merupakan bukti rekaman proses tektonik sejak Neogen melalui
subduksi miring dan berlanjut menjadi subduksi frontal setelah Jawa bagian barat mengalami
rotasi 30o berlawanan dengan arah jarum jam. Selanjutnya, sejak Akhir Neogen sampai Kuarter,
Jawa bagian barat mengalami proses tektonik frontal dengan tegasan utama berarah relatif utara-
selatan.
Kata Kunci: Kaldera purba, anomali bouguer, citra DEM, kelurusan struktur, kekar, mineralisasi,
rotasi, Neogen, Kuarter
Abstract
This study was conducted on the southern flank of the "ancient caldera" Garut-Bandung in which
appear geothermal fields such as Prospects Patuha, Waringin, Windu-Wayang, Guntur,
Talagabodas and Prospect Cakrabuana. The objective of this study was determined geological
structure elements as fracture and mineralization vein that recorded in volcanic rocks and it’s
tectonic processes explanation. The study was conducted through a geological structure lineament
study approach such as gravity Bouguer anomaly analysis that represents “deep” structures, DEM
image analyzes representing surface geological structure and geological structure element
measurement at the selected field locations. Deep geological structure lineaments indicates N20o-
25oW and N50o-70oW direction, while surface geological structure lineament trending to the
N20o-25oE, N60o-70oE, dan N20o-25oW. The result of this study of fractures in the Tertiary
28 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
volcanic rocks showed three main patterns. The first pattern was trending to the southwestern
(N25o-45oW) or relative northwest-west direction (N50o-65oW). The second pattern is trending the
northeast (N30o-50oE) and the last is trending relative N-S (N10o-15oW atau N10o-20oW) and
rarely fracture with trending relatively to W-E (N60o-80oE or N60o-85oE). In the Quaternary
volcanic rocks, the fracture direction measurement indicates homogen direction to the N25o-35oE.
In the field, mineralized vein observed with direction to the north-west (N145o/10oE, N145o/80oE,
N347o/65oE; N330o-345o/50o-80oE). In different outcrops, mineralization vein encountered with
relative direction to the N-S (N178o/30oE, N335o/80oE) and relatively trending to the E-W
(N240o/80oE, N105o/80oE). Fractures and mineralized vein that was observed in the field research
area is evidence of tectonic processes recorded since the Neogene through oblique subduction and
continues to be frontal subduction after the western Java experienced 30o counter-clockwise
rotation. Furthermore, since the Late Neogene to Quaternary, the western Java experienced a
frontal tectonic processes within relatively north-south main stress direction.
29 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
KONFIGURASI BATUAN DASAR, STRUKTUR, DAN STRATIGRAFI DAERAH
SELAT SUNDA BERDASARKAN DATA GAYABERAT DAN SEISMIK REFLEKSI
CONFIGURATION OF CRUSTAL BASEMENT, STRUCTURE AND STRATIGRAPHY OF
SUNDA STRAIT AREA BASED ON GRAVITY AND SEISMIC REFLECTION DATA
A.A.G. Pangastama
1, A.N. Regina
1, G.P. Silva
1, L. Handayani
2, I. Arisbaya
2,
M.M. Mukti2, H. Permana
2, M. Schnabel
3
1 Geologi, Universitas Padjadjaran, 2 Puslit Geoteknologi, LIPI, 3 BGR, Hannover, Germany
Abstrak
Interpretasi geometri batuan dasar, struktur, dan sedimen pengisi cekungan telah dilakukan dengan
menggunakan data gayaberat dan seismik refleksi di daerah Selat Sunda. Hasil pemodelan gaya
berat memperlihatkan adanya penipisan kerak benua di kedalaman ±19km serta peningkatan nilai
densitas di daerah prisma akresi. Di atas batuan dasar kerak benua, dapat teramati 5 unit seismik
stratigrafi yang berumur Miosen Akhir - Pleistosen. Selain itu, struktur tinggian dan dalaman dapat
teridentifikasi dari Barat ke Timur sebagai: horst Semangko, graben Semangko bagian Barat, horst
Panaitan,dan graben Semangko bagian Timur. Daerah tinggian dan rendahan ini tampak dikontrol
oleh East Semangko Fault dan East Tabuan Fault, yang terbentuk dalam suatu sistem half-graben.
Kata kunci: Selat Sunda, seismik refleksi, pemodelan gaya berat, half-graben, stratigrafi.
Abstract Interpretations of basement geometry, structure, and basin-fill sediments have been done using
gravity and seismic reflection data in the Sunda Strait. Gravity modeling results showed thinning of
the continental crust at a depth of ± 19km and increasing density in the accretionary wedge area.
Above the continental crust, it can be observed 5 seismic stratigraphic units of Late Miocene-
Pleistocene age. From west to east, major structures formed within the basement and basin-fill
sediments: Semangko Horst, West Semangko Graben, Panaitan Horst and East Semangko Graben.
These high and low areas appear to have been controlled by the East Semangko Fault and the East
Tabuan Fault, which form in a half-graben system.
Keywords: Sunda Straits, seismic reflection, gravity modeling, half graben, stratigraphy
30 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
JEJAK SUBDUKSI MESOZOIKUM SUNDALAND DI KOMPLEK GARBA, SUMATRA
BAGIAN SELATAN BERDASARKAN FOSIL RASDIOLARIA
Munasri1, M. Ma’ruf Mukti
1, Haryadi Permana
1 dan Akbar Maharsa Putra
2
1Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI; [email protected] 2Jurusan Teknik Geologi, Universitas Jenderal Soedirman
Abstrak
Pulau Sumatra yang berada di paling barat dari gugus Kepulauan Indonesia termasuk sebagai
tepian aktif Sundaland yang mengalami tumbukan dengan Lempeng Indo-Australia. Jejak zona
subduksi Mesozoikum di Pulau Sumatra ditandai dengan satuan stratigrafi Woyla Group. Di
bagian selatan Pulau Sumatra, jejak subduksi Mesozoikum yang berkorelasi dengan Woyla Group
tersingkap di daerah perbukitan Gumai, Garba dan Gunung Kasih. Untuk memahami tatanan
geologi yang lebih rinci pada komplek Mesozoikum di Sumatra bagian selatan, telah dilakukan
penelitian awal jejak subduksi Mesozoikum di daerah perbukitan Garba. Himpunan batuan
komplek subduksi di perbukitan Garba dapat dipisahkan menjadi himpunan batuan berasal dari
lempeng benua dan dari lempeng samudra; dengan hubungan antar satuan batuan dan umur yang
belum jelas. Batusabak, kuarsit, sekis, filit dan perselingan batulempung, batulanau dan batupasir
diduga berasal dari lempeng benua; sedangkan batuan basalt, andesit, serpentinit dan rijang
dianggap berasal dari lempeng samudra. Sebanyak 124 contoh batuan telah diambil dan dipilih
untuk masing-masing analisis geokimia, petrografi dan penentuan umur berdasarkan fosil
radiolaria. Penelitian di kompleks Garba akan memberikan petunjuk tentang umur baturijang yang
untuk pertama kalinya didasarkan pada fosil radiolaria; dan asal dan hubungan antar satuan
litologi di komplek Garba. Penelitian ini berfungsi sebagai panduan penelitian masa depan di
komplek Gunung Kasih dan Gumai dalam kaitan untuk mempelajari perkembangan tektonik zona
subduksi Mesozoikum pada tepian aktif Sundaland di Sumatera bagian selatan.
Kata kunci: jejak subduksi, Mesozoikum, Garba, geokimia,petrografi, radiolaria.
Abstract
Sumatra, the westernmost island of the Indonesian Archipelagoes is a part of an active margin of
Sundaland which has been collided with the Indo-Australian Plate. Traces of Mesozoic subduction
zone on Sumatra are characterized by stratigraphic unit namely the Woyla Group. In the southern
part of Sumatra island, traces of Mesozoic units are exposed in the mountains area of Gumai,
Garba and Gunung Kasih. To determine the geology and stratigraphic relationship of the Mesozoic
rocks assemblages in the southern Sumatra, we conducted a preliminary study of Mesozoic
subduction traces in the area of Garba mountains. This subduction rocks assemblage can be
separated into rocks assemblages derived from the continental and oceanic plates; with unresolved
stratigraphic units and ages relationships among them. Slate, quartzite, schist, phyllite and
interbedded of claystone, siltstone and sandstone are considered to derive from the continental
plate; while basalt, andesite, serpentinite and chert are ascribed oceanic plate. A total of 124 rock
samples have been taken and selected for geochemical analysis, petrography and age
determination based on fossil radiolarians. Research in the Garba complex will provide clues
about the age of cherts which for the first time is based on radiolarian fossils; and origin and
relationship among lithologic unit in the Garba complex. This study serves as a guide for future
research in the Gunung Kasih and Gumai complexes in conjunction to study tectonic development
of the Mesozoic subduction zone of the Sundaland active margin in southern Sumatra. Keywords: subduction traces, Mesozoic, Garba, geochemical, petrography, radiolaria.
31 | Pemaparan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2015
KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI BAGIAN LITORAL DANAU MATANO
Jojok Sudarso, Imroatussholikhah
Puslit Limnologi-LIPI, Jl. Jakarta-Bogor Km 46, 16911
Abstrak
Danau Matano merupakan danau tektonik purba yang menyusun komplek Danau Malili di daerah
Sorowako (Sulawesi selatan). Danau tersebut memiliki endemisitas biota akuatik yang tinggi.
Namun informasi mengenai komunitas makrozoobentos yang menyusun bagian litoral masih minim
informasi. Penelitian ini ingin menampakkan komunitas makrozoobentos di bagian litoral yang
dikaitkan dengan variabel lingkungan. Sampling dilakukan di bagian litoral (0-1 m) dengan
menggunakan alat kicknet di enam stasiun pengamatan. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat
diversitas dari makrozoobentos litoral di danau matano tergolong dalam kategori sedang hingga
tinggi. Ordinasi dengan canonical corespondence analysis (CCA) menunjukkan keberadaan
Crustacea Geosesarma, cacing Nematoda, Stylodrilus, Gastropoda Tylomelania sp., larva Diptera
Parakiefferiella, Nilotanypus sp., Polypedilum, Procladius sp., Larsia nimfa Ephemeroptera Caenis
hilaris, Choroterpes basalis, dan Larva Trichoptera Ecnomus sp lebih dicirikan oleh variabel suhu,
% gravel, indek habitat. Larva Diptera Djalmabatista pulchra, Bezzia sp. , Coleoptera Psephenus
henricki, cacing Pristina cf. Macrochaeta, dan Hemiptera Micronecta robusta dicirikan oleh variabel
turbiditas, DO, dan TN. Larva Trichoptera Ecnomina sp., cacing Megadrili, Enchytraeidae, dan
Diptera Psectrocladius sp. dicirikan oleh pH dan suhu yang rendah.
Kata kunci: Danau matano, makrozoobentos, litoral, Sulawesi
Abstract
Lake Matano is an ancient tectonic lakes that compose the complex Malili lakes in the Sorowako
(south Sulawesi). The lake has a high endemicity of aquatic biota. However, information regarding
macrozoobenthos communities that compose in littoral region still minimal information. This study
want to show macrozoobenthos communities in littoral area are associated with environment
variables. Sampling conducted in the littoral (0-1 m) using kicknet sampler with six sites around in
the lake. The results showed the level of diversity of littoral macrozoobenthos in Lake Matano
classified medium to high category of. Ordination with canonical corespondence analysis (CCA)
showed the presence of crustacean Geosesarma, Nematodes, Stylodrilus, Gastropod Tylomelania
sp., The larvae of Diptera Parakiefferiella, Nilotanypus sp., Polypedilum, Procladius sp., Larsia
sp., nymph Ephemeroptera Caenis hilaris, Choroterpes basalis and Trichoptera larvae Ecnomus
sp. were characterized by temperature,% gravel, and habitat index. Diptera larvae Djalmabatista
pulchra, Bezzia sp. , Coleoptera Psephenus henricki, worms Pristina cf. macrochaeta, and
Hemiptera Micronecta robusta were characterized by turbidity, DO, and TN variable. Larvae
Trichoptera Ecnomina sp., Worms Megadrili, Enchytraeidae, and Diptera Psectrocladius sp.
characterized by pH and low temperatures.
Key words: Lake Matano, Macrozoobenthos, lithoral, Sulawesi