Mitigasi Bencana Doel
Transcript of Mitigasi Bencana Doel
ABSTRAK
Banjir yang terjadi diakhir tahun 2003 yang lalu, merupakan salah satu
peristiwa banjir yang tergolong cukup besar melanda beberapa kawasan daerah
aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk. Akibat lebih
jauh lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini dapat
berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
“Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan ataupun dimusim
kemarau.
Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang
susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir
menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002)
menyatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu
adanya interaksi antara faktor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini
kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada
daerah pengaliran.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya peristiwa banjir;
untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala bentuk
kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir
yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat,
sedangkan untuk banjir akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat
diupayakan dengan dua cara yaitu non teknik stuktural dan secara teknik
struktural
| Mitigasi Bencana Banjir 1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sungai merupakan salah satu sumber air yang paling pokok yang
terdapat diatas permukaan tanah. Dalam rangka pembangunan pengairan
perlu dilakukan pembenahan terhadap sungai, guna mencari manfaat yang
sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar.
Banjir merupakan permasalahan manusia diseluruh dunia karena
banjir dapat menimbulkan kerugian besar bahkan menimbulkan korban jiwa.
Di Indonesia dapat dikatakan setiap tahunnya masyarakat dilanda banjir baik
di kota-kota besar maupun di daerah yang sebagian besar masyarakat
bertempat tinggal di daerah dataran banjir
Fenomena banjir di daerah tropis khususnya Indonesia membawa
dampak negatif; akhir-akhir ini menimbulkan berbagai kerugian dari segi
kesehatan, kerugian harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa penduduk.
Salah satu penyebab terjadinya banjir setiap tahun adalah meluapnya
air Sungai, hal ini disebabkan antara lain adalah kapasitas pengairan Sungai
sehingga tidak mampu mengalirkan debit banjir yang mengalir. Genangan banjir
akibat luapan air Sungai rata-rata mencapai tinggi 80 cm hingga 140 cm di areal
pemukiman, bahkan pada jalur jalan provinsi (arteri) tergenang dengan tinggi 40
cm, dengan intensitas genangan 3 sampai 5 jam. Untuk mengatasi hal ini perlu
penanganan yang serius dan perencanaan mantap guna pengendalian banjir. Perlu
diketahui bahwa yang kami maksud banjir adalah suatu aliran permukaan yang
dapat menyebabkan kerugian baik materi maupun kenyamanan masyarakat yang
disebabkan oleh ketidakmampuan saluran drainase atau sungai menerima debit
aliran sehingga terjadi limpasan
| Mitigasi Bencana Banjir 2
.Penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor sendiri secara umum
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni :
(1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan
karakteristik sungai,
(2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim
(pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi, dan
sebagainya, serta
(3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi
(penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung,
pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan
wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan
sarana pengendali banjir dan sebagainya.
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mencapai 2,3 % per tahun
dan pertumbuhan populasi tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan
lahan, ketersediaan lapangan kerja serta minimnya ketrampilan dan
rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini mendorong masyarakat
mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest
logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan
pertanian baru yang intensif pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS)
tanpa menggunakan kaidah konservasi mengakibatkan tanah rentan terhadap
erosi dan tanah longsor yang berperan mempercepat proses terjadinya banjir
di kawasan hilir DAS.
Perkembangan pemanfaatan ruang pada satuan-satuan wilayah sungai
di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan seiring dengan
meluasnya bencana yang terjadi, khususnya banjir yang dengan sendirinya
mengancam keberlanjutan pembangunan nasional jangka panjang. Berbagai
fenomena bencana, khususnya banjir yang terjadi secara merata di berbagai
wilayah di Indonesia pada dasarnya, merupakan indikasi yang kuat terjadinya
ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni : antara manusia dengan
kepentingan ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.
inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan
| Mitigasi Bencana Banjir 3
untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian
lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan
dari kawasan lindung yang berfungsi menjaga keseimbangan tata air menjadi
kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan praktek pembangunan yang kerap terjadi. Selain itu,
aktivitas masyarakat yang bermukim di daerah sekitar pinggiran sungai
sangat memprihatinkan karena membuang sampah di bantaran sungai
sehingga mengakibatkan pendangkalan yang memicu potensi terjadinya
banjir
Dalam studi ini, kami mengambil sampel lokasi yaitu Mitigasi
Bencana Banjir Kabupaten Wajo Propinsi Sulawesi Selatan .
2. Rumusan Masalah
Berdasardasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka terdapat
masalah yang menjadi orientasi dalam makalah ini:
Apa yang menjadi penyebab sehingga Kab. Wajo berpotensi terjadinya
bencana banjir?
Apakah masyarakat Kab. Wajo sudah sadar dan peduli terhadap dampak
dari bencana banjir?
Apa peran Pemerintah Kab. Wajo dalam menangani potensi bencana banjir
yang mungkin terjadi?
Apakah Kab. Wajo dalam melakukan perencanaan sudah berbasis Mitigasi
Bencana Alam?
Bagaimana cara dan metode dalam mengatasi masalah banjir?
3. Tujuan dan Sasaran
a. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang tertera di atas maka tujuan dari
pembuatan tugas ini adalah:
| Mitigasi Bencana Banjir 4
Untuk mengetahui penyebab Kab. Wajo berpotensi terjadi bencana
banjir.
Untuk mengetahui apakah masyarakat Kab. Wajo sudah sadar akan
dampak dari bencana banjir.
Untuk mengetahui peran pemerintah Kab. Wajo dalam menangani
potensi bencana banjir.
Untuk mengetahui apakah Kab. Wajo sudah melakukan perencanaan
yang berbasis mitigasi bencana alam.
b. Sasaran
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka sasaran yang
ingin dicapai melalui makalah ini adalah sbb:
Kita mampu menentukan kawasan-kawasan yang memiliki tingkat
kerentanan cukup tinggi jika bencana banjir melanda Kab. Wajo.
Pemerintah dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan pertimbangan
dalam mengatasi dan mengantisipasi masalah banjir di Kab. Wajo.
| Mitigasi Bencana Banjir 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Bencana Alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang di sebabkan
oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, longsor,
tsunami, gunung meletus, dan lain-lain.
Banjir
Banjir adalah air yang menggenangi wilayah daratan sehingga
menghambat berbagai macam kegiatan dan biasanya mendatangkan
kerugian baik manusia maupun materi.
Kawasan Rawan Bencana
Kawasan rawan bencana adalah kawasan lindung atau
kawasan budidaya yang meliputi zona-zona yang
berpotensi terjadi banjir.
Kerentanan
Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Peristiwa banjir
timbul jika air menggenangi daratan yang biasanya kering. Banjir pada
umumnya disebabkan oleh air sungai yang meluap ke lingkungan sekitarnya
sebagai akibat curah hujan yang tinggi. Kekuatan banjir mampu merusak
rumah dan menyapu fondasinya. Air banjir juga membawa lumpur berbau
yang dapat menutup segalanya setelah air surut. Banjir adalah hal yang rutin.
Setiap tahun pasti datang. Banjir, sebenarnya merupakan fenomena kejadian
alam "biasa" yang sering terjadi dan dihadapi hampir di seluruh negara-
| Mitigasi Bencana Banjir 6
negara di dunia, termasuk Indonesia. Banjir sudah temasuk dalam urutan
bencana besar, karena meminta korban besar.
2. Aturan Hukum
Banjir yang terjadi disuatu daerah atau kota tidak
terlepas dari penyimpangan tata guna lahan dan lingkungan
di daerah tersebut. Menyikapi hal tersebut maka telah dibuat
berbagai produk hukum mengenai bencana Banjir dan
perencanaan wilayah.
1. Berdasarkan UU No. 24/1992 pengertian penataan ruang tidak hanya
berdimensi perencanaan pemanfaatan ruang saja, namun lebih dari itu
termasuk dimensi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
2. Pasal 3 ayat 4 UU Penataan ruang (UU No 24/1992), yang menegaskan
bahwa tujuan penataan ruang antara lain adalah untuk mewujudkan
perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak
negatif terhadap lingkungan
3. Penyebab Terjadinya Banjir
Fenomena banjir menjadi pandangan publik yang menyedihkan,
banjir dapat terjadi kapan dan dimana saja, untuk dapat mengidentifikasi
resiko banjir yang berpengaruh pada manusia dan lingkungan perlu diketahui
penyebab terjadinya. Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling
berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan
kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005).
Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab
banjir yaitu adanya interaksi antara faktor penyebab bersifat alamiah, dalam
hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang
beraktivitas pada daerah pengaliran.
Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut.
Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,
| Mitigasi Bencana Banjir 7
Pendangkalan sungai,
Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai mapupun
gotong royong,
Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,
Pembuatan tanggul yang kurang baik,
Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan
.Menurut Siswoko (1996), menjelaskan bahwa hal yang
menyebabkan banjir adalah :
Aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan
pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam
meloloskan air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir
Pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan
Pembendungan melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan
dampaknya
Pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir
Pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah
Kesalahan perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir
Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990), pengaruh penutupan
hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir berkaitan dengan sedimentasi
dan debit kotoran, khususnya kerusakan akibat erosi dan pendangkalan sungai.
Menurut Schwab, dkk (1997), menyatakan pengaruh faktor daerah
tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya
pertanian menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah
tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju
dan volume banjir persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas
daerah banjir bertambah
| Mitigasi Bencana Banjir 8
Menurut Sosrodarsono (2003), bahwa selain karena faktor daerah
tangkapan air, banjir juga dipengaruhi oleh karakteristik jaringan sungai,
daerah pengaliran yang tidak langsung dan drainase buatan
\
4. Ciri-ciri Banjir
Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut.
Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus menerus
sepanjang hari.
Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian tertentu.
Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman, hewan,
dan manusia.
Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di
tempat-tempat yang rendah.
Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.
Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan sampah.
Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan, atau
hilangnya orang.
Banjir dapat menyebabkan kerugian yg besar baik secara moril maupun
materiil
.
| Mitigasi Bencana Banjir 9
BAB III
PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi
1.1 Makro Provinsi Sulawesi Selatan
Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, terletak antara 0°
lintang selatan dan 8° lintang selatan serta antara 116° - 122° bujur timur;
berbatasan di sebelah utara dengan Propinsi Sulawesi Tengah, di sebelah
timur dengan Teluk Bone, di sebelah selatan dengan Laut Flores, dan di
sebelah barat dengan Selat Makassar.
Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan mencakup areal seluas
62.482 kilometer persegi. Tata guna lahan pada tahun 1990 meliputi areal
hutan seluas 28.792 kilometer persegi atau 46,1 persen,
Propinsi Sulawesi Selatan merupakan wilayah semenanjung
yang berbukit-bukit yang membentang dari bagian utara ke bagian selatan
dengan ketinggian antara 500 - 1.000 meter lebih di atas permukaan laut.
Antara bentangan tersebut terhampar dataran rendah yang potensial untuk
pertanian dan pertambakan. Wilayah ini memiliki empat buah danau dan
sejumlah sungai yang cukup besar serta beberapa waduk dan perairan
umum yang cukup luas yang mengelilingi sebagian besar wilayah
Sulawesi Selatan. Selain itu propinsi ini mempunyai sejumlah pulau besar
dan pulau kecil. Iklim Sulawesi Selatan termasuk tropis basah yang
dipengaruhi angin musim barat dan angin musim timur sehingga curah
hujan cukup tinggi yang merata setiap tahunnya dan volume curah hujan
beragam antara 1.000 - 2.500 milimeter. Suhu udara bervariasi antara 24°
Celsius - 33° Celsius. Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai ciri sebagai
kawasan yang rawan terhadap bencana, antara lain erosi tanah, banjir,
dan kebakaran hutan.
| Mitigasi Bencana Banjir 10
Lahan di Propinsi Sulawesi Selatan sebagian besar telah
dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan industri.
Selain itu, di propinsi tersebut masih terdapat potensi yang cukup besar
untuk pengembangan kehutanan, perikanan darat, perikanan laut, dan
pertambangan bahan galian yang belum secara optimal dikembangkan.
Pada tahun 1990 penduduk Propinsi Sulawesi Selatan
berjumlah 6.996.600 jiwa, dengan kepadatan penduduk 112 jiwa per
kilometer persegi. Daerah tingkat II yang terpadat penduduknya adalah
Kotamadya Ujung Pandang dengan kepadatan 5.397 jiwa per kilometer
persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Mamuju dengan
kepadatan 16 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk yang
tinggal di kawasan perkotaanmencapai 1.686.076 jiwa atau 24,1 persen
dari jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1990 penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) di
propinsi ini berjumlah 5.318.619.orang (76,20 persen). Dari jumlah
tersebut yang masuk ke dalam angkatan kerja sebanyak 2.618.888 orang
dan angkatan kerja yang bekerja berjumlah 2.456.731 orang. Dari seluruh
angkatan kerja yang bekerja tersebut, sebagian besar terserap di sektor
pertanian (58,6 persen). Sisanya terserap di berbagai sektor lainnya, yaitu
industri (10,2 persen) dan jasa (31,2 persen).
Propinsi Sulawesi Selatan memiliki kekayaan budaya yang
beraneka ragam dalam bentuk seni, budaya dan bahasa. Masyarakat
Sulawesi Selatan terdiri atas berbagai suku, antara lain Bugis, Makassar,
Toraja, dan Mandar yang masing-masing memiliki kebudayaan dan adat
istiadat sendiri. Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar beragama Islam
(86,63 persen), sedangkan selebihnya beragama Kristen (8,93 persen), dan
beragama lainnya (1,61 persen).
| Mitigasi Bencana Banjir 11
Secara administratif, Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terdiri
atas 21 kabupaten daerah tingkat II, yaitu Kabupaten Selayar, Bulu Kumba,
Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Bone, Maros, Pangkajene
Kepulauan, Barru, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang, Luwu,
Tana Toraja, Polmas, Majene dan Mamuju, serta dua kotamadya daerah
tingkat II, yakni Kotamadya Ujung Pandang dan Kotamadya Pare Pare.
Dalam wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terdapat dua kota
administratif, yaitu Watampone dan Palopo, 185 wilayah kecamatan, serta
1.886 desa dan kelurahan
1.2 Makro Wilayah Kab. Wajo
Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang, terletak
dibagian tengah propinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari
ibukota provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir
| Mitigasi Bencana Banjir 12
merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan
119º 53º-120º 27 BT.
Adapun Batas Batas wilayah Kabupaten Wajo adalah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap
Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Soppeng,
Sebelah Timur : Teluk Bone
Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Sidrap
Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas
Propinsi Sulawesi Selatan dengan rincian Penggunaan lahan terdiri dari
lahan sawah 86.297 Ha (34,43%) dan lahan kering 164.322 Ha (65,57%).
Jumlah penduduk dalam periode 5 tahun terakhir memperlihatkan
adanya kecendrungan mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan
penduduk pertahun rata-rata 0,88%. hal itu dapat di lihat pada akhir 2004
tedapat 367.498 jiwa dan menjadi 380,521 jiwa pada akhir tahun 2008.
Persebaran penduduk, jumlah penduduk yang sebanyak itu tersebar pada
14 Kecamatan atau 128 desa dan 48 kelurahan; dengan kepadatan
penduduk perkilo meter persegi sekitar 152 jiwa.
Masing-masing wilayah kecamatan tersebut mempunyai potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda meskipun
perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan sumber-sumber yang ada
relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya.
Topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan
cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit.
Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan
lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %,
sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan / lereng 3
– 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan /
| Mitigasi Bencana Banjir 13
lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan
diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%).
Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan
di atas permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :
1). 0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 %
2). 8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 %
3). 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %
4). 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan ketinggian
diatas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %.
Tata Guna Lahan di Kabupaten Wajo secara umum terdiri atas
sawah, perkebunan, perumahan, tambak, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi
dan lahan kosong. Pergeseran pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten
Wajo secara umum belum mengalami perubahan yang cukup drastis hanya
beberapa bagian kawasan strategis di wilayah perkotaan cepat tumbuh
akibat terjadinya peningkatan pembangunan jumlah unit perumahan dan
pengadaan sarana prasarana umum.
1.3 Mikro Wilayah Kecamatan Tempe
Kecamatan Tempe dengan ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian
tengah Kabupaten Wajo yang merupakan Ibukota dari kabupaten Wajo
yang mempunyai Luas Wilayah 38,27 km² atau 1,53 % dari luas
keseluruhan wilayah Kabupaten Wajo.
Adapun Batas Batas wilayah Kecamatan Tempe adalah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Tanasitolo dan Kabupaten Sidrap
Sebelah Selatan : Kecamatan Sabbangparu dan Kecamatan Pammana
| Mitigasi Bencana Banjir 14
Sebelah Timur : Kecamatan Pitumpanua
Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap
Adapun jumlah penduduk dari kecamatan Tempe adalah 60.970
jiwa yang terdiri dari 13.770 Kepala Keluarga yang terdiri dari rata-rata
anggota keluarga sebanyak 4 orang.
Topografi di Kecamatan Tempe mempunyai kemiringan lahan
cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit.
Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan
lahan/lereng 0 – 2 %
Menurut Iklim Kecamatan Tempe tergolong beriklim tropis
yang termasuk type B dan Type C dengan suhu diantara 29 °C- 31°5 C
atau rata-rata 29° C pada siang hari. Daerah ini mengalami 2 musim yaitu
musim hujan dan musim kemarau.
Musim hujan setiap tahunnya berlangsung agak pendek yaitu
rata-rata 3 bulan pada bulan April sampai dengan bulan Juli kecuali bagian
utara yaitu di Kecamatan Pitumpanua musim hujan mirip dengan
Kabupaten Luwu, bulan-bulan selanjutnya adalah lembab dan musim
kemarau terjadi pada bulan Juli sampaidengan bulan Oktober. Curah hujan
rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan.
Menurut peta ekspolorasi Sulawesi Selatan, jenis tanah
Kecamatan Tempe terdiri dari Alluvial : Jenis tanah ini tersebar di seluruh
Kecamatan di Kabupaten wajo.
| Mitigasi Bencana Banjir 15
2. Karakteristik Wilayah
2.1 Kondisi Fisik Umum Kab. Wajo
Kabupaten Wajo mempunyai luas 2.506,19 Km atau 250.619
Ha atau 4,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, terletak
diantara 3° 39'-4°16' LS dan 119° 53'-120 27' BT.
Menurut pembagian daerah administrasi pemerintahan,
Kabupaten Wajo terbagi atas 14 Wilayah Kecamatan dan yang terdiri dari
131 Desa, 45 Kelurahan. Ibu Kota ialah Sengkang terletak di Kecamatan
Tempe. Batas-batas wilayah ini :
Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap
Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Soppeng,
Sebelah Timur : Teluk Bone
Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Sidrap
Dilihat dari topografi Kabupaten Wajo terletak di tengah-
tengah Propinsi Sulawesi Selatan dan berdasarkan topografi Sulawesi
Selatan yang dibagi atas 3 zone yaitu zone utara, zone tengah dan zone
selatan , maka Kabupaten Wajo terletak pada zone tengah yang merupakan
suatu depressi yang memanjang pada arah laut tenggara dan terakhir
merupakan selat.
Menurut Iklim Kabupaten Wajo tergolong beriklim tropis yang
termasuk type B dan Type C dengan suhu diantara 29 °C- 31°5 C atau
rata-rata 29° C pada siang hari. Daerah ini mengalami 2 musim yaitu
musim hujan dan musim kemarau.
Musim hujan setiap tahunnya berlangsung agak pendek yaitu
rata-rata 3 bulan pada bulan April sampai dengan bulan Juli kecuali bagian
utara yaitu di Kecamatan Pitumpanua musim hujan mirip dengan
Kabupaten Luwu, bulan-bulan selanjutnya adalah lembab dan musim
|Mitigasi Bencana Banjir 16
kemarau terjadi pada bulan Juli sampaidengan bulan Oktober. Curah hujan
rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan
Menurut peta geologi Indonesia, Kabupaten Wajo terdiri dari 3
jenis batuan lidah, yaitu batuan vulkanik, sedimen dan batuan pluton.
Menurut peta ekspolorasi Sulawesi Selatan, jenis tanah
Kabupaten Dati II Wajo terdiri dari :
Alluvial : Jenis tanah ini tersebar di seluruh Kecamatan
Clay : Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan Pammana dan
Takkalalla.
Podsolik : Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan
Maniangpajo,Tanasitolo, Tempe, Sajoanging, Majauleng, Belawa
dan Pitumpanua.
Mediteran : Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan Tempe,
Tanasitolo,Maniangpajo, Pammana dan Belawa.
Grumosol : Jenis tanah ini terdapat di Kecamatan Sabbangparu dan
Pammana.
2.2 Sumber Daya Alam Kab. Wajo
1. Sektor Pertanian
Berbagai komoditi sektor pertanian tanaman pangan dan
holtikultura sebagai potensi yang berprospek untuk dikembangkan
dalam rangka penanaman modal asing (PMA) maupun Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) untuk tujuan ekspor dan pemenuhan
komoditas dalam negeri. Pemanfaatan lahan pertanian (sawah,
tegalan dan kebun) secara optimal untuk tanaman padi, jagung, dan
buah-buahan diharapkan dapat meningkatkan produksi dan
pendapatan disektor ini. Untuk mengembangkan komoditas tersebut
para investor memiliki peluang kerjasama dengan petani baik dalam
penyediaan saprodi, budidaya, maupun pemasarannya.
|Mitigasi Bencana Banjir 17
Sektor pertanian yang tergolong besar, dibagi menjadi lima sub
sektor:
1. Tanaman Bahan Makanan (Tabama) meliputi tanaman padi dan
palawija.
2. Perkebunan meliputi seluruh jenis tanaman perkebunan.
3. Peternakan yang meliputi seluruh jenis peternakan.
4. Kehutanan yang meliputi seluruh jenis kegiatan kehutanan.
5.Perikanan yang meliputi seluruh jenis kegiatan perikanan.
Diantara kelima sub sektor, sub sektor Tabama memiliki
kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB secara keseluruhan
di Kabupaten Wajo. Pada tahun 2007, dari 41,57 persen nilai tambah
bruto yang berasal dari Sektor Pertanian, terdiri dari 28,04 persen dari
sub sektor Tabama; 2,37 persen dari sub sektor perkebunan; 2,15
persen dari sub sektor peternakan; 0,03 persen dari sub kehutanan; dan
8,98 persen dari sub sektor perikanan. Keadaan seperti itu relatif
hampir sama setiap tahun pada tahun-tahun sebelumnya.
2. Sektor Perikanan
Potensi sub sektor perikanan terdiri dari berbagai jenis
produk penangkapan ikan laut dan perikanan darat yang tersebar di
Empat belas kecamatan di Kabupaten Wajo. Produksi dari perikanan
darat dihasilkan dari beberapa tempat usaha, seperti danau (1.760
Hektar), rawa (740 Hektar), tambak (1.795 Hektar), kolam (201
Hektar) serta sawah (72 Hektar).
3. Objek Wisata
A. Danau Tempe
Danau Tempe adalah salah satu obyek wisata di
Sulawesi Selatan yangbanyak dikunjungi wisatawan, baik
|Mitigasi Bencana Banjir 18
domestik maupun mancanegara. Danauyang luasnya 13.000
hektar ini, jika dilihat dari ketinggiantampak bagaikan sebuah
baskom raksasa. Danau ini menjadi sumberpenghidupan, mencari
ikan, tidak hanya bagi masyarakat KabupatenWajo, tapi juga
sebagian masyarakat Kabupaten Soppeng dan Sidrap.
Disepanjang tepi danau, tampak perkampungan nelayan
bernuansa Bugisberjejer menghadap ke arah danau.
Keistimewaan Danau Tempe merupakan penghasil ikan air tawar
terbesar di dunia, karena dasar danau ini menyimpan banyak
sumber makanan ikan. Selain itu, danau ini juga memiliki spesies
ikan tawar yang tidak dapatditemui di tempat lain. Hal ini
diperkirakan karena letak danauini berada tepat di atas lempengan
Benua Australia dan Asia.
Ditengah-tengah Danau Tempe, tampak ratusan rumah
terapung milik nelayanyang berjejer dengan dihiasi bendera yang
berwarna-warni. Dariatas rumah terapung itu, wisatawan dapat
menyaksikan terbit danterbenamnya matahari di satu posisi yang
sama, serta menyaksikanberagam satwa burung, bunga-bungaan,
dan rumput air yang terapung diatas permukaan air. Di malam
hari, para pengunjung dapatmenyaksikan indahnya rembulan
yang menerangi Danau Tempe sambilmemancing ikan.
Disetiap tanggal 23 Agustus diadakan festival laut atau
juga sering disebut Maccera Tappareng (mensucikan danau) yang
ditandai denganpemotongan sapi yang dipimpin oleh ketua
nelayan setempat. Dalam acaraini, para pengunjung dapat
menyaksikan berbagai atraksi wisata yangsangat menarik, seperti
lomba perahu tradisional, perahu hias,permainan rakyat
(misalnya, lomba layangan), pemilihan ana? dara(gadis) dan
kallolona (pemuda) Tanah Wajo, padendang (menabuh
lesung),pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan
olehpara waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya.
|Mitigasi Bencana Banjir 19
Pelaksanaan festival ini dimaksudkan agar nuansa kekeluargaan
danpersatuan antar sesama nelayan tetap terjaga dengan prinsip ?
3-S?,yaitu Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi (saling
menyegani, salingmenasehati, dan saling menghargai). Dengan
menyaksikan festival ini,para pengujung dapat mengetahui
tentang kebudayaan masyarakat Bugis diSulawesi Selatan,
khususnya Bugis Wajo. Lokasi Danau Tempe terletak di
Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Akses Danau ini terletak 7 km dari Kota Sengkang, ibukota
Kabupaten Wajo.Untuk mencapai tempat ini, dari Kota Sengkang
ke Sungai Walennae dapatditempuh melalui jalur darat dengan
menggunakan mobil pete-pete(mikrolet). Dari Sungai Walennae
menuju ke Danau Tempe ditempuh selama30 menit dengan
menggunakan perahu motor atau katinting, denganbiaya sekitar
Rp. 50.000,- hingga Rp. 75.000,- per-orang.
B. Sentra Kerajinan Sutra
Wajo adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan
yang terkenalsebagai daerah penghasil kain sutra Bugis yang
cukup potensial.Di daerah ini terdapat sekitar 4.982 orang perajin
gedokandengan jumlah produksi sekitar 99.640 sarung per tahun
dan perajin Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) berjumlah 227
orangdengan produksi sekitar 1.589.000 meter kain sutra
pertahun.Khusus untuk pemintal benang sutra sebanyak 91 orang,
sedangkan301 kepala keluarga bergerak dibidang penanaman
murbei danpemeliharaan ulat sutra dengan produksi 4.250
kilogram benang pertahun. Para perajin sutra di daerah ini
membutuhkan bahan baku benangsutra sekitar 200 ton atau
sekitar 200.000 kilogram per tahun.Oleh karena bahan baku dari
Wajo tidak mencukupi, maka para perajin membeli bahan dari
kabupaten tetangga seperti, Soppeng, Sidrap, Enrekang, dan
|Mitigasi Bencana Banjir 20
bahkan diimpor dari Cina dan Thailand. Ada tiga bentukdan
corak kain sutra yang diproduksi, yaitu: kain setengah jadi(seperti
sarung, baju, dan selendang); kain berbentuk gulungan yangdapat
dibeli permeter sesuai dengan kebutuhan; dan pakaian siappakai
(seperti: baju, jas, kerudung, kipas, dompet, dan tempat peralatan
rias wajah). Kain-kain sutra tersebut tidak hanya dipasarkan di
Sengkang dan Makassar,tetapi juga ke beberapa kota di Pulau
Jawa, seperti Cirebon,Pekalongan, Solo dan Yogyakarta. Bahkan
telah menjadiproduk ekspor dan menjadi incaran banyak desainer
terkenal.Harganya pun bervariasi, yakni ditentukan oleh motif
dan kualitaskain. Untuk bahan sutra dengan motif paye untuk
ukuran satu setelpakaian wanita harganya berkisar antara Rp.
600.000,00 - Rp.700.000,00, sedangkan untuk motif yang
bergaris harganya berkisarantara Rp. 450.000,00 - Rp. 500.000,00
per setel. Jika kain sutra itutanpa motif apa pun alias polos,
harganya berkisar antara Rp.300.000,00 - Rp. 350.000,00 per
setel.
Keistimewaan Sentra kerajinan sutra di Wajo
menyediakan berbagai macam motif kain sutra dan berkualitas
tinggi. Motif kain sutra produksi daerah iniada dua macam, yaitu
motif tradisional dan non-tradisional. Motif tradisional atau yang
lebih dikenal dengan motif Bugis ini terdiri darimotif sobbi,
balorinni, baliare, cobo, sertamotif yang menyerupai ukiran-
ukiran Toraja. Sedangkan motifnon-tradisional, ada yang
berbentuk batik, bergaris-garis dan payet.
Untuk memperoleh kain sutra yang berkualitas tinggi,
benang lokal dan impor tersebut dipadukan menjadi satu dan
diolah dalam beberapa tahap.Pertama, kedua macam benang
tersebut dimasak dengansabun dan soda sekitar 1 jam dalam suhu
90 derajat. Tahapselanjutnya, kain tersebut dijemur selama 3 jam
dengan suhu 50 derajat. Setelah itu, benang tersebut siap dipasang
|Mitigasi Bencana Banjir 21
di mesin tenun dandiolah menjadi kain. Satu kilogram benang lusi
dapat menghasilkan sekitar 40 meter kain, dan satu kilogram
pakan dapat menghasilkan 12 meter kain. Uniknya, semua proses
penenun dilakukan di kolong-kolong rumah mereka.
Lokasi
Sentraproduksi kain sutra di Kabupaten Wajo tersebar di
beberapa kecamatan,seperti di Kecamatan Tempe, Tana Sitolo,
Sabbang Paru, Pamana, dan Saijoangin.
Akses KabupatenWajo terletak sekitar 242 kilometer di
sebelah timur laut KotaMakassar. Perjalanan dari Kota Makassar
menuju ke lokasi dapatditempuh selama kurang lebih 5 - 6 jam
dengan menggunakan kendaraanpribadi maupun angkutan umum
antar kota.
2.3 Sosial Budaya Masyarakat Kab. Wajo
Masyarakat Wajo sebagaimana Bugis pada umumnya
merupakan pemeluk Agama Islam, bahkan di kenal dengan predikat kota
Santri dimana tempat berdirinya sebuah pasantren dan perguruan tinggi
Islam As'adiyah yang di dirikan Oleh K.H. Muhammad As'ad pada Tahun
1930 M/1348 H.Dari Pasantren dan Perguruan Tinggi Islam ini telah
banyak di hasilkan kader ulama yang sudah tersebar di seluruh Indonesia.
Atraksi Pernikahan Bugis
Adat pernikahan Bugis khususnya keluarga bangasawan
merupakan salah satu acara yang cukup menarik untuk di saksikan. Dalam
prosesi pernikahan dapat di saksikan dalam acara malam mappacci yaitu
rangkain pernikahan yang di laksanakan daun pacar (mappacci ) di atas
telapak tangan calon pengantin oleh sanak keluarga sebagai bentuk
pengsucian dan doa restu mappanre lebbe yaitu prosesi pengkhataman
|Mitigasi Bencana Banjir 22
alqur’an Mallawa botting yaitu proses penyambutan calon pengantin laki-
laki oleh warga calon pengantin perempuan yang bermakna bahwa
menempuh kehidupan berumah tangga di butuhkan kerja keras dan
perjuangan.
Tari Bissu juga di adakan di saat maduppa botting
(menyambung pengantin, sebagai ungkapan permohonan doa restu dari
Tuhan Yang Maha kuasa : Matuddu ‘ Umpasikati, yaitu memecah periu
utama yang berisi telur, daun sirih dan buah pinang : Majjulekka
Umpatalaga / Uluh Tedong yaitu kepala kerbau yang di bungkus kain
putih di atas talang ( baki) / dalam bambu persegi empat ( Lawasoji ) yang
bermakna membuang sifat kebinatangan atau sifat buruk : Mappasiu yaitu
memercikkan air yang berisi berbagai ramuan yang bermakna penolak
bala dan pengaruh sifat jahat : Mappasilellung Botting, yaitu pengantin
pria mendekati pengantin perempuan yang bermakna agar terbina
keakraban dan saling memahami di antara ke dua mempelai . Antraksi ini
biasanya dapat di saksikan pada acara pernikahan keluarga bangsawan
atau pada acara festifal Danau Tempe.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk
kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan
jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan
adalah :
1. Kerajaan
2. Republik
3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK
SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa
nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana
Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
3. LAMUNGKACE TOADDAMANG
|Mitigasi Bencana Banjir 23
4. LATENRILAI TOSENGNGENG
5. LASANGKURU PATAU
6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA
7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG
8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah
Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo. Beberapa
versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
1. Versi Puang Rilampulungeng
2. Versi Puang Ritimpengen
3. Versi Cinnongtabi
4. Versi Boli
5. Versi Kerajaan Cina
6. Versi masa Kebataraan
7. Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada
Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo
pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon
Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di
daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama
saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai
Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI.
Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat
sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan
”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI
mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi
Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya
dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara
pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI
dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU
|Mitigasi Bencana Banjir 24
MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara
Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya)
NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA
WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung
Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal
bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI
BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya,
disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan
tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan
perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya
terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade
Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE
MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan
sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya,
sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu
aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan
pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA
TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung
Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini
dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman
batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap
perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian
pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade,
Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya : ”IO TO WAJO,
MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI
RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI
BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE,
|Mitigasi Bencana Banjir 25
ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO
TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu
atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari
jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada
tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku,
maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre,
Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO
WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU
SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA
TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA,
NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG
PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG
MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang
menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena
hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan
Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda,
karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa
mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh
Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai
masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT:
LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai
kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun
disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan,
dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-
|Mitigasi Bencana Banjir 26
hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan
konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara
terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto
pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara
lain berbunyai : ”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA
MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE
MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI
NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka
sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik
negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji
bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam
Lontarak : MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA
TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA
MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA,
NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA
PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE
TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA
TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE,
NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA
ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI
DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO
KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI,
PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO
ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG
RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La
Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang
|Mitigasi Bencana Banjir 27
pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang
menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling
merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan
persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena
kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan
hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata
Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian
itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan
memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan
ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun
dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri
rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.
1. FILOSOFI
Filosofi pemerintahan dan kemasyarakatan wajo yang tercermin pada
kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat wajo yang sejak 600
tahun yang lalu yaitu seajack wajo lahir pada tanggal 29 maret 1399,
kemudian mengkristal pada tiga kata yang selanjutnya disebut dengan
filosofi 3 S ,yaitu sipakatau ,sipakalebbi,sepakainge. Filosofi ini
menjadi satu tatanan yang terpisahkan satu samalain.
SIPAKATAU (saling memanusiakan)
1. Menghormati harkat dan martabat kemanusian seseorang sebagai
makhluk ciptaan tuhan YME
2. Semua makhluk disisi tuhan YME adalah sama, yang membedakan
adalah keimanan dan ketakwaan
SIPAKELEBBI (saling memuliakan /menghargai)
1. Menghargai posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan
|Mitigasi Bencana Banjir 28
2. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang
mudah,yang sederajat saling menghormati dan menyayangi.
3. Berprilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang di junjung tinggi
oleh masyarakat dan pemerintah.
SIPAKAINGE (saling mengingatkan / demokrasi)
1. Menghargai nasehat, saran, kritikan, posisi, dari siapapun
2. Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan
kekhilafan.
3.Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak lupuk dari kekurangan,
kekhilafan dan diperlukan ke arifan untuk saling mengingatkan dan
menyadarkan melalui maknisme yang tidak lepas dari kearifan
Sipakatau dan Sipakalebbi.
3. Permasalahan
3.1 Penyebab Permasalahan Bencana banjir di Kab. Wajo
Banjir dalam bahasa populernya biasa diartikan sebagai aliran
atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan
menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah teknik ‘banjir’
adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung
sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002) Lebih lanjut Siswoko
(2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu indikasi dari
ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses mengalirkan air
permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang mengalir melebihi daya
tampung daerah pengaliran, selain debit aliran permukaan banjir juga
dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan iklim (Curah hujan)
setempat.
Penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor sendiri secara
umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni :
|Mitigasi Bencana Banjir 29
(1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi,
dan karakteristik sungai,
(2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim
(pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi, dan
sebagainya, serta
(3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti
deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung,
pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan
wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan
sarana pengendali banjir dan sebagainya
Di Kabupaten Wajo tidak heran lagi, bencana banjir tidak lepas
dari pandangan masyarakat setempat khususnya daerah Kecamatan
Tempe ini, karena sudah jadi tradisi klo setiap tahunnya pasti banjir
melanda kawasan ini terutama di saat Musim hujan.
Salah satu penyebab terjadinya banjir setiap tahun di Kabupaten
Wajo adalah meluapnya air Di Danau Tempe, hal ini disebabkan antara
lain adalah kapasitas pengairan Danau tempe tidak mampu mengalirkan
debit banjir yang mengalir. Genangan banjir akibat luapan air Danau
Tempe rata-rata mencapai tinggi 80 cm hingga 140 cm di areal
pemukiman, bahkan pada jalur jalan provinsi (arteri) tergenang dengan
tinggi 40 cm, dengan intensitas genangan 3 sampai 5 jam.
Untuk mengatasi hal ini perlu penanganan yang serius dan
perencanaan mantap guna pengendalian banjir. Perlu diketahui bahwa
yang kami maksud banjir adalah suatu aliran permukaan yang dapat
menyebabkan kerugian baik materi maupun kenyamanan masyarakat yang
disebabkan oleh ketidakmampuan saluran drainase atau sungai menerima
debit aliran sehingga terjadi limpahan air
|Mitigasi Bencana Banjir 30
Selain itu, penyebab terjadinya banjir lainnya dapat si sebabkan
oleh
Terjadinya pengundulan akibat dari penebangan liar di beberapa
titik pada kawasan Hutan penyangga (Hutan Lambusango).
Tanggul penahan air sungai yang jebol.
Kurangnya kesadaran masyarakat yang bermukim di sekitar
bantaran sungai Bau-Bau yang membuang limbah dan sampah
rumah tangga langsung ke sungai sehingga terjadi pendangkalan
pada dasar sungai.
Tumbuh dan berkembangnya bangunan di sekitar bantaran sungai
sehingga mengurangi daya serap tanah terhadap air.
Ruang terbuka hijau (RTH) yang sudah hamper tak terlihat lagi di
daerah bantaran sungai.
Gorong-Gorong dan saluran air yang tersumbat akibat penimbunan
material dan sampah.
3.2 Dampak Terjadinya Bencana
Banjir merupakan masalah yang menganggu stabilitas
ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian berupa harta
benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi berdampak lebih
luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Debit atau volume air
mampu menggenangi kota, pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana
yang digunakan untuk melakukan kegiatan perekonomian.
Fenomena banjir khususnya di Kabupaten Wajo Sulawesi
Selatan tahun 2010 berdampak terhadap pemadaman listrik dan
terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Makassar – Wajo
lumpuh total. Debit air mencapai ketinggian 80 cm -1.40 meter,
diperkirakan ratusan rumah penduduk, desa dan lahan pertanian subur
tergenang. Banjir ini, menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air
telah hilang, dapat diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan
|Mitigasi Bencana Banjir 31
sebagai pengatur tata air, akibat terus ditebangi sehingga efek respon dari
hutan berkurang akibatnya akumulasi debit DAS walennae berakhir
dengan terjadinya banjir.
3.3 Proses Penanganan Saat Teradi Bencana
Terjadinya banjir tidak bisa dicegah, tetapi dapat berkurang
dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian yang tepat. Fenomena
banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan oleh siapapun, sehingga
perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap DAS ataupun saluran
buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat menampung serta
mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air dapat terkendali.
Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit karena hujan adalah
faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara global, sehingga
upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan bentuk kegiatan
(pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir
yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan
setempat
Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan
kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:
1. Secara non tehnik structural
o Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan
peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan
sungai.
o Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-
kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran
permukaan.
o Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan
ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.
|Mitigasi Bencana Banjir 32
o Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar
pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan
Donggala).
o Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan,
sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar
daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.
2. Secara tehnik structural
o Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh
kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran,
perkotaan dan pedesaan
o Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi
maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus
DAS).
3.4 Proses Penanganan Pasca Bencana Terjadi
Sinkronisasi Pusat dan Daerah Selama kurang lebih sepuluh
tahun terakhir, pemahaman mengenai banjir telah mengalami pergeseran
yang cukup berarti. Pada dasawarsa yang lalu, banjir hampir selalu
dipahami secara struktural. Masalah spasial seperti tata ruang kota dan
tata guna lahan di daerah hulu yang menyimpang, termasuk alih fungsi
lahan secara besar-besaran di daerah resapan, ditengarai sebagai praktik
penyalahgunaan kebijakan yang mengakibatkan banjir. bukan hanya
disebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran, namun juga
disebabkan adanya perubahan iklim yang mengakibatkan curah hujan
yang tinggi.
Salah satu contohnya adalah penggusuran aktivitas pertanian
Kabupaten Wajo dari daerah bantaran sungai yang tidak memberikan
alternatif lahan pertanian baru. Kebijakan yang tidak populis semacam ini
|Mitigasi Bencana Banjir 33
bisa berdampak pada meningkatnya angka pengangguran nasional dan
tentunya akan menambah beban baru bagi pemerintah pusat. Sementara
itu, pemerintah pusat memiliki program-program nasional yang
dilaksanakan di berbagai daerah yang bisa disinkronisasikan dengan
program-program pemerintah daerah dalam menangani kompleksitas
masalah banjir.
Sedangkan untuk menghijaukan bantaran sungai di sepanjang
DAS yang berada di Kabupaten Wajo, termasuk daerah tangkapan air di
daerah hulu, pemerintah daerah hendaknya bisa bekerja sama dan
memanfaatkan secara optimal program GERHAN yang sekarang ini
sedang berlangsung, antara lain, dengan cara turut serta mereformulasikan
program itu agar lebih efisien dan membangkitkan partisipasi alami
kalangan petani, khususnya di daerah up land yang selama ini memiliki
kontribusi besar terhadap upaya pelestarian daerah hulu.
|Mitigasi Bencana Banjir 34
BAB IVPENUTUP
1. Kesimpulan
1) Banjir adalah air yang menggenangi wilayah daratan sehingga
menghambat berbagai macam kegiatan dan biasanya mendatangkan
kerugian baik manusia maupun materi
2) Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut.
a. Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,
b. Pendangkalan sungai,
c. Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai
mapupun gotong royong,
d. Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,
e. Pembuatan tanggul yang kurang baik,
f. Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan
3). Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut.
a. Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus menerus
sepanjang hari.
b. Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian
tertentu.
c. Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman,
hewan, dan manusia.
d. Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di
tempat-tempat yang rendah.
e. Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.
f. Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan
sampah.
g. Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan,
atau hilangnya orang.
|Mitigasi Bencana Banjir 35
h. Banjir dapat menyebabkan kerugian yg besar baik secara moril
maupun materiil
4). Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang
disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan
( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir
yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan
setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan
lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara (1) secara non teknik
stuktural dan (2) secara teknik structural
2. Saran
1). Agar Kiranya Pemerintah Kabupaten Wajo membuat draft Mitigasi
Bencana yang selalu terjadi setiap tahynnya,
2). Agar kiranya makalah ini dapat menjadi pertimbangan dalam
menganalisis kejadian yang terjadi saat ini.
|Mitigasi Bencana Banjir 36