Mipol Indonesia
-
Upload
roris-reidi-yudha -
Category
Documents
-
view
26 -
download
0
Transcript of Mipol Indonesia
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 1/8
2.1 POSISI MILITER PADA PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Pada 28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian sidang yang membahas
persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya
persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat
tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama
yang berhaluan kanan marah karena menganggap para politisi sipil telah
mencampuri urusan internal TNI AD.
Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer berhasil
mendapatkan bargaining position di arena politik nasional. Pada tahun 1957,
terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer semakin
dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal
tahun 1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI
dan militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan "manuver"
untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa
telah mempengaruhi dinamika hubungan segitiga kekuasaan tersebut. Sebagai
misal, pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962,
pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada Nopember 1962,
dianggap telah menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap
sebagai kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer
sebagai kekuatan politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera
mengganti sejumlah Panglima daerah yang berani menentang Sukarno dengan
isu-isu komunis (Feith, 2001: 136-137).
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-Cina di Jawa Barat pada saat
Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dinggap berhasil mempermalukan
Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja
dilakukan oleh militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat
terlihat bekerjasama dengan para perusuh (Feith, 2001: 138).
Kemudian, pada tahun 1965, terjadi peristiwa kontroversial "G-30-S", yang tidak
saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan kekuasaan
politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satu-satunya pemenang, dan segeralah
babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hampir di seluruh
bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.
2.3 POSISI MILITER PADA PEMERINTAHAN ORDE BARU
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 2/8
Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer
Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut: (1) memasukkan
dwi fungsi ABRI dalam GBHN tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan; (2)
UU No. 20/1982 tentang Pokok-pokok Hankam Negara; (3) UU No. 2/1988; dan (4)
UU No. 1/1989. Dua produk UU yang terakhir merupakan penyempurnaan dari
produk UU sebelumnya.
Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat
buruk bagi kehidupan demokrasi. Pertama adalah menempati jabatan-jabatan
politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya
dirinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi menteri
sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota militer yang
menempati jabatan strategis di departemen-departemen urusan sipil. Di DPR,
sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah, pada tahun
1968, sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer, dan 92% pada tahun
1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59% bupati di Indonesia
berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang
menjadi menteri sebanyak 13 orang; sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di
tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer. Hingga
tahun 1982, sebanyak 89% jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang
berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian paska
pemilu 1987, sebanyak 80% anggota DPR dari Fraksi ABRI dan sebanyak 34
perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Kemudian, 120
anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70% wakil
daerah dalam kongres nasional Golkar berasal di militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR
juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena
jumlah ABRI hanya 500.000 orang (0,3% dari jumlah penduduk Indonesia) tetapi
mendapatkan kursi 20% di parlemen (Cholisin, 2002 dan Pakpahan, 1994).
Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi
keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja
DPR dari 1971-1977 dan 1977-1982, Fraksi ABRI terlihat paling keras menentang
penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang
diusulkan oleh F-PP dan F-DI (Pakpahan, 1994: 159). Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada
kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang paling
mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 3/8
Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya "mengendalikan"
kekuatan intelektual (baca: sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini bertentangan
dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat
dalam suatu wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu
menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu "bias Barat". Dengan kelahiran
ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi "bias Barat", tetapi lebih "bersahabat"
dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana Kassospol ABRI,
Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di
Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk "memberi
informasi" mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya
komunisme baru. Rejim militer Orde Baru menganggap bahwa PRD dianggap
berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI,
PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat adalah
sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur yang
relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat
Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang
liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia.
Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan hak asasi
manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan
tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri seusai dengan kepentingan
militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa
kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan
terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan
ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal
terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di
Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor
Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi
penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar
waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar
menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan
terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan
empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi
peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah
korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas (Noorsalim, 2003).
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 4/8
Terdapat dua penjelasan mengapa militer banyak terlibat dalam kasus kekerasan
di Indonesia. Pertama, karena pada dasarnya militer memang tidak dilatih untuk
melindungi rakyat. Semua prajurit adalah dilatih untuk menyerang, membunuh
dan menghancurkan lawan. Dalam pendidikan militer selalu ditekankan untuk
merangsang insting kebuasannya. Begitu juga, teknologi yang dikembangkan oleh
militer adalah lebih banyak untuk menyerang, membunuh dan menghancurkan
lawan. Kedua, adalah doktrin pertahanan dan keamanan yang menekankan
perang gerilya yang menggunakan rakyat sipil sebagai bumper. Dalam doktrin
yang disebut Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta)
tersebut tidak membedakan antara militer (combatans) dan penduduk sipil.
Sehingga, penduduk sipil yang dianggap tidak membela militer dianggap musuh
yang perlu dibunuh.
2.4 POSISI MILITER PADA MASA REFORMASI
Setelah Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali
pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid
(1999-2002) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut
masa reformasi ini "sempat" mendorong para pimpinan TNI untuk meninggalkan
perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan
oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan
melemahkan bargaining position militer di arena politik nasional. Tuntutan
terhadap TNI untuk meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi.
Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer
dalam bidang politik kembali menguat.
Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah
dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok sipil cenderung
menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunnya Soeharto dan
bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR
untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut
nampak pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI
masih diperkenankan duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut
sebagai berikut: "…Keikutsertaan Tentara Nasional dalam menentukan arah
kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling
lama sampai dengan tahun 2009."
Selain alasan di atas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di
bidang politik berakhir. Oleh karena itu, TNI masih menyusun strategi-strategi
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 5/8
untuk merebut kembali posisi politiknya yang "nyaris hilang". Pada awal reformasi
1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai dengan
digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati,
gubernur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak
dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam
lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.
2.5 PERANAN MILITER DALAM POLITIK PEMERINTAHAN
Namun, hal ini tidak berlangsung lama, dalam waktu yang relatif singkat,
kelompok militer politik telah melakukan konsolidasi, sehingga peranan politiknya
menjadi lebih besar dari masa sebelumnya. Dalam setahun terakhir, beberapa
langkah yang menguntungkan kelompok militer militer secara politis diambil.
Misalnya, pendirian Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di
Ambon. Selain itu jabatan-jabatan strategis kembali dipegang oleh militer,
misalnya Menteri Dalam Negeri dijabat oleh Negeri Mayor Jenderal (Purn. AD) Hari
Sabarno dan pencalonan kembali Mayor Jenderal (AD) Sutiyoso sebagai gubernur
Jakarta.
Terdapat dua tataran strategi yang tengah didijalankan oleh kelompok militer
politik. Pertama, tataran formal, yaitu usaha-usaha untuk memasukkan
kepentingan politiknya melalui Undang-undang atau peraturan formal. Misalnya,
memasukkan hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI/Polri dalam RUU Pemilu.
Proses pada tataran ini memanfaatkan anggota militer yang berada dalam
birkorasi dan parlemen, seperti mempengaruhi anggota DPR untuk
mengakomodasi kepentingan politik militer. Adapun strategi yang dijalankan pada
tataran ini adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi publik melalui media dan
melakukan lobi-lobi dengan kekuatan politik yang ada di DPR.
Kedua, tataran non-formal adalah usaha-usaha untuk "mendekati" kelompok
tertentu atau figur-figur tertentu yang secara politik mempunyai kekuasaan besar.
Disebut non-formal karena pendekatan yang digunakan tidak melalui jalur politik
yang formal. Tetapi menggunakan jaringan-jaringan tertentu, seperti pertemanan,
jaringan bisnis, bahkan jaringan kriminal. Dalam strategi ini, seringkali terjadi
"politik dagang sapi" dengan antara kelompok kepentingan. Sebagai misal,
pengangkatan beberapa perwira militer pada jabatan-jabatan penting, pencalonan
kembali gubernur Sutiyoso dan penghentian penyelidikan kasus korupsi di
berbagai yayasan Angkatan Darat.
Jika dilihat dari sudut pandang strategi politik, beberapa kebijakan yang diambil
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 6/8
yang berkaitan dengan kepentingan militer adalah serangkaian uji kasus untuk
melihat sejauhmana resistensi masyarakat terhadap peranan politik militer.
Strategi ini adalah cara untuk mengetahui peta politik nasional, terutama yang
ada di DPR maupun masyarakat. Dengan demikian, kelompok militer politik akan
lebih mudah untuk menjalankan strategi di mana militer harus bermain politik.
Seperti sebelumnya pernah dicoba, kebijakan mendirikan Kodam Iskandar Muda di
Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon merupakan contoh dari strategi uji kasus ini.
Kedua strategi tersebut relatif dianggap berhasil karena resistensi masyarakat
tidak timbul secara mencolok. Beberapa contoh lain yang masih menjadi
perdebatan dalam masyarakat adalah dibebaskannya para perwira militer yang
terlibat kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan ditundanya pengadilan pada
kasus penembakan beberapa mahasiswa dan kasus-kasus kekerasan lainnya.
Tujuan dari strategi-strategi yang dijalankan oleh kelompok militer politik di atas,
adalah untuk mendapatkan akses kekuasaan politik yang lebih besar. Besarnya
akses kekuasaan politik bagi kelompok militer ini secara lebih jauh akan
berpengaruh pada besarnya akses ekonomi. Menurut informasi dari pejabat
militer, alokasi dana untuk militer yang dianggarkan oleh pemerintah hanya
mencukupi sekitar 30 persen dari kebutuhan-kebutuhan militer secara
keseluruhan. Selebihnya, 70 persen lainnya militer harus mencari sumber
pendaanaannya sendiri. Dengan semakin terbukanya akses informasi, maka
militer tidak dapat lagi memakai cara-cara lama seperti praktek korupsi, mark up,
backing bagi sindikat kriminal dan lain-lain, karena masyarakat akan mudah untuk
mengetahui tindakan tersebut. Seiring dengan perubahan sosial dan politik,
tentunya cara-cara seperti ini tentu akan dipertanyakan. Oleh karena itu, cara
yang paling memungkinkan bagi militer adalah memperoleh legitimasi secara
politik terlebih dahulu.
2.6 HUBUNGAN SIPIL – MILITER INDONESIA
Dalam membahas permasalahan ini, perlu ditinjau tentang model dari hubungan
sipil militer dan seberapa jauh peran militer dalam hubungan tersebut. Ada empat
model budaya politik yang mendasari hubungan sipil-militer, yaitu: liberal,
korporatis-organik, militaris, dan neopatrimonialis.
Budaya politik liberal sangat individualis. Keberadaan masyarakat adalah untuk
kepentingan atau manfaat anggauta-anggautanya. Negara berada di bawah
kekuasaan masyarakat. Keberadaan pemerintah adalah untuk melindungi individu-
individu masyarakat. Kedaulatan berada pada rakyat. Militer merupakan bagian
dari aparat pemerintah dan berada di bawah kendali rakyat, yang dalam hal ini
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 7/8
diwenangkan kepada pemerintah sipil.
Pada budaya politik korporatis-organik, rakyat berbicara tentang negara dalam
terminologi antropomorfis. Negara didefinisikan dalam konteks keberadaan
masyarkat. Kedaulatan inheren ada pada negara. Warganegara merupakan
himpunan dari kelompok-kelompok, bukan individu-individu. Individu bersikap dan
bertindak sesuai kelompoknya. Karena negara merupakan 'orangtua' dari
warganegara, tiap-tiap kelompok dalam masyarakat bertanggung jawab dalam
pertahanan negara. Kesatuan militer merupakan rakyat yang bersenjata,
mempunyai tanggung-jawab khusus untuk mempertahankan negara.
Pada budaya politik militaris, angkatan bersenjata terlihat menonjol sebagai ujung
tombak dalam proses modernisasi. Individualisme dianggap sebagai ancaman bagi
negara. Militer sangat berperanan dalam kepemimpinan nasional. Pertahanan
nasional sangat tergantung kepada kapasitas dan kemampuan militer, sehingga
mengarahkan kepada besarnya anggaran belanja negara untuk
pertahanan/militer.
Budaya politik neopatrimonial sangat hirarkhis dan menempatkan pribadi
pemimpin sebagai acuan utama. Komunitas politik sangat didominasi oleh otoritas
penguasa. Rakyat tidak berperanan dalam kehidupan politik, karena mereka
merasa tidak mempunyai legitimasi berperanan sebagai pelaku dalam perebutan
pengaruh kekuasaan. Kekuatan penguasa tergantung dari kemampuannya
memantapkan dukungan dari pemenang koalisi kekuasaan di antara elit politik.
Elit politik mengetahui legitimasi kekuasaan dari penguasa dan bersaing di antara
mereka sendiri untuk merebutkan posisi dalam lingkaran penguasa. Dalam budaya
politik ini militer merupakan salah satu kelompok dari elit politik yang dianggap
mengharapkan memperoleh atensi lebih dari penguasa. Di sini penguasa juga
melibatkannya dalam lingkaran kekuasaannya.
Hal tersebut di atas dapat divisualisasikan dalam matriks sebagai berikut:
####
Hubungan
Model Kedaulatan Pemerintah- Peran Militer
Terhadap Rakyat
Liberal Rakyat Di bawah Di bawah
Korporatis Inheren pada Dominan Tanggung jawab pertahanan
Negara secara khusus
Militaris -"- Dominan Menonjol
Neopatrimonial Pemimpin Dominan Bagian dari elit
5/16/2018 Mipol Indonesia - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/mipol-indonesia 8/8
####
Nampak di sini bahwa pada era orde lama budaya politik yang berlaku adalah
neopatrimonialis, sedangkan pada orde baru masih tetap neopatrimonialis
ditambah dengan 'aroma' militaris, karena kebetulan penguasanya adalah
(mantan) militer. Pada era reformasi pembangunan aroma militaris berangsur
hilang, kembali ke neopatrimonialis ke arah organik korporatis. Pada era
persatuan nasional saat ini, gerakan (cenderung tekanan untuk) mengarah ke
budaya politik liberal (demokratis) terasa seperti dipaksakan untuk bisa
berlangsung dengan proses yang sangat cepat.
Kehendak cepat untuk memastikan supremasi sipil atas militer sangat dirasakan
akhir-akhir ini. Proses gradual atau evolutif dirasa sangat lambat sehingga upaya
penggeseran tersebut dikehendaki secara revolutif. Namun, apabila kehendak
yang tergesa tersebut tidak disertai dengan proses yang demokratis, dikawatirkan
akan dapat menimbulkan suatu proses yang anarkhis, yang pada akhirnya justru
tidak demokratis.
Nampak bahwa kelompok militer politik tidak ingin melewatkan kesempatan
melemahnya kelompok sipil. Konflik yang terjadi diantara kelompok masyarakat
sipil merupakan keuntungan tersendiri bagi kelompok militer untuk mengambil
kembali kekuasaan politiknya yang nyaris hilang. Dalam konteks gerakan
reformasi di Indonesia, ini adalah pertarungan antara kelompok yang
menginginkan perubahan atau reformasi melawan kelompok status quo. Kelompok
reformasi terdiri dari masyarakat, sebagian politisi dan birokrat sipil, sementara
kelompok status quo terdiri dari jaringan lama bekas birokrasi sipil Orde Baru dan
sebagian kelompok militer politik. Terdapat kemungkinan, jika masyarakat sipil
tidak segara melakukan konsolidasi, dikhawatirkan demokrasi yang diidam-
idamkan masyarakat tidak akan pernah tercapai.