MINGGU, 26 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Proses ... fileseorang petugas Jagawana dari Dinas...

1
HAMPARAN bakau (Rhizopora sp) tumbuh rapat di kawasan Hutan Lindung Angke, Kapuk, Jakarta Utara. Akar-akarnya menancap kuat menyangga batang pohon yang sudah besar dan meninggi. Sore itu, Jumat (24/9), sinar matahari masih tajam. Namun terasa tidak menyengat kulit. Rimbunnya daun-daun bakau menjadi peneduh. “Jika tidak ada tanaman ini (bakau), air laut pasti naik ke atas saat pasang,” ungkap Saut, seorang petugas Jagawana dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Sehari-harinya, Saut berke- wajiban mengawasi hutan lindung seluas 44,76 hektare dengan dibekali kapal kecil. Ia mengaku jarang menemui warga yang menebang kayu tanaman mangrove yang su- dah berusia 20 tahun itu. Atau warga yang memburu binatang di kawasan hutan lindung itu. Yang lebih sering ia lakukan adalah berpatroli di pesisir pantai. Hal itu karena masih ada nelayan yang berupaya mendi- rikan tenda untuk beristirahat. “Jika dibiarkan, lama-kelamaan para nelayan itu bisa mendiri- kan gubuk permanen yang bisa merusak ekosistem pantai,” katanya. Hasil kerja Saut itu mem- buahkan hasil. Di sepanjang ‘daerah kekuasaannya’ itu tidak ditemukan satu gubuk pun. Yang banyak ditemu- kan ialah sampah-sampah anorganik seperti plastik dan styrofoam yang terbawa air laut saat pasang. “Sampah-sampah itu susah dibersihkan karena jumlahnya banyak dan terus- menerus datangnya.” Hutan lindung yang dikawal Saut itu adalah salah satu dari greenbelt yang digagas Pemda DKI. Sesuai rencana, sekitar 325 hektare di wilayah pesisir Jakarta Utara akan ditanami berbagai jenis mangrove. Penanaman mangrove ter- sebut sengaja melibatkan para pengelola kawasan hutan man- grove di subkawasan Barat Pantai Utara, yaitu Dinas Ke- hutanan DKI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai Konser- vasi Sumber Daya Alam, dan beberapa pihak swasta. Hutan mangrove, khusus- nya di Jakarta Utara, menjadi penting. Sebab, sekitar 60% wilayahnya berada di bawah air laut pasang. Bahkan, Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono menyebut wilayah- nya rawan abrasi. Seperti di wilayah Tanjung Priok, Pa- demangan, Ancol, Kampung Banda, Jalan Lodan, Pasar Ikan Penjaringan, Cilincing, Muara Angke, dan Kelapa Gading. Karenanya, perhatian stake- holders di Jakarta Utara untuk menanam dan menjaga hutan mangrove patut diapresiasi. Pasalnya, ancaman Jakarta bakal tenggelam dan abrasi ter- jadi dimulai dari sana jika tidak ada upaya restorasi pantai. Namun, bergeserlah beber- apa ratus meter dari kawasan hutan bakau Angke menuju daratan di kawasan wilayah Pantai Indah Kapuk. Jangan kaget, pembangunan perumah- an dan prasarana lain yang serbamewah terus berlanjut. Rumah-rumah gaya kontinen- tal berdiri megah. Sayangnya, daya dukung lingkungan di sana terus dipertanyakan. Ka- rena, merekalah yang ditenga- rai menjadi penyebab rusaknya lingkungan di kawasan itu. Melarang nelayan mem- bangun peristirahatan seder- hana mereka tampaknya lebih mudah ketimbang melarang pembangunan peristirahatan mewah. Padahal, semua pihak harusnya sama-sama bisa men- jaga agar abrasi tak terjadi, jika ingin Jakarta tak tenggelam. (Sto/M-5) Green Concern | 7 MINGGU, 26 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA P ERISTIWA demi peris- tiwa bencana ekologi di Jakarta sebenarnya sudah berlangsung cukup lama dan konsisten. Masih ingat dengan peristiwa miringnya gedung-gedung Jl MH Thamrin ataupun Jl Sudir- man, banjir mingguan bahkan hariam setiap kali turun hujan, dan masih banyak lagi bencana yang akan dihadapi Kota Ja- karta ini? Belum lama ini, publik dike- jutkan dengan runtuhnya ruas Jalan RE Martadinata sepanjang 103 meter dengan kedalaman 7 meter. Berbagai spekulasi pun muncul. Rapuhnya konstruksi memang disebut-sebut sebagai penyebab utama bencana itu. Namun, beberapa pihak juga mengkhawatirkan kejadian itu juga salah satunya disebabkan abrasi air laut yang semakin jauh merengsek ke wilayah daratan Jakarta Utara. Daya dukung lingkungan di wilayahnya memang hingga saat ini menjadi sorotan pub- lik akibat degradasi-degradasi pembangunan yang kurang strategis seperti reklamasi pan- tai Jakarta Utara yang dilaku- kan dahulu. Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Furqon mengatakan abrasi di wilayah Jakarta Utara adalah salah satu faktor akan satu isu besar, yaitu tenggelamnya Ibu Kota. “Pembangunan di Ja- karta, khususnya Jakarta Utara, melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga menyebabkan kon- disi Jakarta menjadi rawan terhadap berbagai macam ben- cana.” Masalah ini jelas perlu men- dapatkan keseriusan berbagai pihak karena pada faktanya permukaan tanah di Jakarta terus mengalami penurunan 2-26 centimeter setiap tahun- nya dan penurunan yang cu- kup tinggi berada di wilayah utara Jakarta. Penataan ruang yang tidak benar ikut andil di sini. Praktik reklamasi pantai utara Jakarta yang mengubah wilayah hutan bakau menjadi rumah susun, wilayah hunian, dan kawasan industri menggusur alokasi ruang terbuka hijau. Pada sisi lain, penyedotan air tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat tinggi. Ini juga yang menjadi penyebab penurunan permu- kaan tanah. Berry menegaskan persoalan lingkungan di Jakarta Utara selain abrasi air laut dan pe- rencanaan pembangunan yang tidak ramah semakin dileng- kapi dengan perubahan iklim global yang meningkatkan muka air laut. Menanam bakau Menanam kembali bakau atau mangrove masih dipercaya sebagai cara yang efektif untuk mengurangi dampak abrasi air laut di Jakarta Utara. Akar-akar mangrove yang kuat, terbukti mampu meminimalkan deras- nya gelombang sehingga akan melindungi pesisir dari abrasi, bahkan tsunami. Mangrove juga dapat me- nyerap polutan, dan hutannya menjadi daerah resapan air. Bisa dipastikan limbah industri terdekat dapat ditekan secara perlahan. Untuk yang tinggal dekat pesisir, selain mangrove, mem- buat berbagai jenis alat pe- mecah ombak (APO) juga bisa dilakukan. APO dapat dibuat dari karung beras bekas yang diisi dengan pasir dan beton. Jangan lupa, upaya yang dilakukan harus dibarengi dengan rendahnya tingkat pembangunan di pesisir oleh pemerintah sendiri. Pemerin- tah harus bisa menekan pem- bangunan di daerah pesisir se- hingga menghasilkan sesuatu yang seimbang. Menurut Berry, hal yang percuma jika gerakan-gerakan besar dan kecil telah dilakukan, tetapi pembangunan tata ruang yang salah tetap berjalan. Setelah melihat berbagai ma- salah yang berat itu, sepertinya mustahil bagi masyarakat mem- bantu melakukan perubahan. “Harus ada perubahan yang signikan agar menghasilkan daya dukung lingkungan yang tinggi sehingga bisa menjamin keselamatan Ibu Kota.” Dalam hal tata ruang, menu- rut Berry, hanya 9,6% ruang terbuka hijau yang ada di Ja- karta sekarang. Padahal yang dibutuhkan sekitar 30% dari total area agar daya lingkungan semakin kuat. Peran masyarakat di sini juga strategis dengan tidak memper- buruk keadaan. Contohnya, ti- dak membangun rumah seluruh area tanpa menyisakan ruang untuk resapan air, tidak mem- buat bangunan di tepi sungai, dan tentu saja tidak membuang sampah sembarangan. Hal lain yang bisa dilakukan adalah membuat sumur resa- pan atau biopori, yang lebih sederhana. Jika seluruh pendu- duk Jakarta mempunyai sumur resapan di setiap rumahnya, ini akan sangat membantu. (M-1) miweekend@ mediaindonesia.com Adinda Asa Jangan remehkan kejadian-kejadian kecil bencana ekologi di Jakarta karena hal itu pertanda buruk dari proses tenggelamnya Ibu Kota. Proses Tenggelamnya Jakarta kian Nyata Hijaunya Bakau versus Rumah Mewah Ombak besar menghantam bibir pantai di kawasan Merunda Jakarta Utara, belum lama ini. Seorang warga menanam bibit tanaman mangrove di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Rumah-rumah mewah berdiri di sepanjang muara di Pantai Indah Kapuk. Pembangunan prasarana di sana terus dilakukan meskipun abrasi mengancam. MI/GINO F HADI MI/ROMMY PUJIANTO Harus ada perubahan yang signifikan agar menghasilkan daya dukung lingkungan yang tinggi sehingga bisa menjamin keselamatan Ibu Kota.” Berry Nahdian Furqon Direktur Eksekutif Walhi MI/SOELISTIJONO K OTA Bandung padat dan macet, itu sudah pasti. Tidak hanya terjadi saat liburan sekolah, ketika orang Jakarta tumpah ruah ke sana, dalam kesehariannya pun kota ini sudah tidak nyaman lagi untuk ber- transportasi. Tanpa disadari, tingginya residu berupa gas buang dari aneka jenis kendaraan bermotor tadi menyebab- kan kualitas udara di Kota Kembang ini sudah berada di ambang batas baku sejak 2004. Tentunya, sebelum ada upaya-upaya preventif saat ini kualitas udara di sana semakin tidak bersahabat. Pencatatan oleh Badan Pengenda- lian Lingkungan Hidup (BPLH) Ban- dung pada 2004 sd 2006, sumbang- an paling besar untuk pencemaran udara sebesar 42% dari kendaraan bermotor berjumlah 697.378 unit. Itu semua akibat sistem trans- portasi yang buruk dengan pertum- buhan kendaraan 15% per tahun dan pertumbuhan panjang jalan di Kota Bandung yang sangat terbatas. Akibatnya setiap tahun transportasi Kota Bandung diperkirakan merugi sebesar Rp2,46 triliun. Belum lagi kerugian yang di- timbulkan akibat kemacetan, yang pada 2009 diperkirakan sebesar Rp4,91 triliun. Dari kecenderungan dan data yang terpapar itu, sudah saatnya Kota Bandung ‘merevisi’ sistem transportasinya, terutama agar lebih efisien dan ramah lingkungan. Green transportation sebagai alter- natif untuk mengurai benang kusut persoalan transportasi di Bandung kiranya patut dilirik. Konsep green transportation ini tidak hanya menitikberatkan pada persoalan pencemaran lingkungan, tetapi terkait juga dengan persoalan lainnya seperti kemacetan. Apa dan bagaimana mari ikuti perbincangannya. bers Tips Green! Coba beralihlah dari menggunakan kendaraan pribadi ke angkutan publik untuk mengurangi beban emisi. Menggunakan kendaraan seperti sepeda akan lebih menyehatkan badan dan ramah terhadap lingkungan. TRANSPORTASI HIJAU, KENAPA TIDAK?

Transcript of MINGGU, 26 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Proses ... fileseorang petugas Jagawana dari Dinas...

HAMPARAN bakau (Rhizopora sp) tumbuh rapat di kawasan Hutan Lindung Angke, Kapuk, Jakarta Utara. Akar-akarnya menancap kuat menyangga batang pohon yang sudah besar dan meninggi.

Sore itu, Jumat (24/9), sinar matahari masih tajam. Namun terasa tidak menyengat kulit. Rimbunnya daun-daun bakau menjadi peneduh.

“Jika tidak ada tanaman ini (bakau), air laut pasti naik ke atas saat pasang,” ungkap Saut, seorang petugas Jagawana dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

Sehari-harinya, Saut berke-wajiban mengawasi hutan lindung seluas 44,76 hektare dengan dibekali kapal kecil. Ia mengaku jarang menemui warga yang menebang kayu tanaman mangrove yang su-dah berusia 20 tahun itu. Atau

warga yang memburu binatang di kawasan hutan lindung itu.

Yang lebih sering ia lakukan adalah berpatroli di pesisir pantai.

Hal itu karena masih ada nelayan yang berupaya mendi-rikan tenda untuk beristirahat. “Jika dibiarkan, lama-kelamaan para nelayan itu bisa mendiri-kan gubuk permanen yang bisa merusak ekosistem pantai,” katanya.

Hasil kerja Saut itu mem-buahkan hasil. Di sepanjang ‘daerah kekuasaannya’ itu tidak ditemukan satu gubuk pun. Yang banyak ditemu-kan ialah sampah-sampah anorganik seperti plastik dan styrofoam yang terbawa air laut saat pasang. “Sampah-sampah itu susah dibersihkan karena jumlahnya banyak dan terus-menerus datangnya.”

Hutan lindung yang dikawal Saut itu adalah salah satu dari greenbelt yang digagas Pemda DKI. Sesuai rencana, sekitar 325 hektare di wilayah pesisir Jakarta Utara akan ditanami berbagai jenis mangrove.

Penanaman mangrove ter-sebut sengaja melibatkan para pengelola kawasan hutan man-grove di subkawasan Barat Pantai Utara, yaitu Dinas Ke-hutanan DKI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai Konser-vasi Sumber Daya Alam, dan beberapa pihak swasta.

Hutan mangrove, khusus-nya di Jakarta Utara, menjadi penting. Sebab, sekitar 60% wilayahnya berada di bawah air laut pasang. Bahkan, Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono menyebut wilayah-nya rawan abrasi. Seperti di wilayah Tanjung Priok, Pa-

demangan, Ancol, Kampung Banda, Jalan Lodan, Pasar Ikan Penjaringan, Cilincing, Muara Angke, dan Kelapa Gading.

Karenanya, perhatian stake-holders di Jakarta Utara untuk menanam dan menjaga hutan mangrove patut diapresiasi. Pasalnya, ancaman Jakarta bakal tenggelam dan abrasi ter-jadi dimulai dari sana jika tidak ada upaya restorasi pantai.

Namun, bergeserlah beber-apa ratus meter dari kawasan hutan bakau Angke menuju daratan di kawasan wilayah Pantai Indah Kapuk. Jangan kaget, pembangunan perumah-an dan prasarana lain yang serbamewah terus berlanjut. Rumah-rumah gaya kontinen-tal berdiri megah. Sayangnya, daya dukung lingkungan di sana terus dipertanyakan. Ka-rena, merekalah yang ditenga-

rai menjadi penyebab rusaknya lingkungan di kawasan itu.

Melarang nelayan mem-bangun peristirahatan seder-hana mereka tampaknya lebih mudah ketimbang melarang

pembangunan peristirahatan mewah. Padahal, semua pihak harusnya sama-sama bisa men-jaga agar abrasi tak terjadi, jika ingin Jakarta tak tenggelam. (Sto/M-5)

Green Concern | 7MINGGU, 26 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

PERISTIWA demi peris-tiwa bencana ekologi di Jakarta sebenarnya sudah berlangsung

cukup lama dan konsisten. Masih ingat dengan peristiwa miringnya gedung-gedung Jl MH Thamrin ataupun Jl Sudir-man, banjir mingguan bahkan hariam setiap kali turun hujan, dan masih banyak lagi bencana yang akan dihadapi Kota Ja-karta ini?

Belum lama ini, publik dike-jutkan dengan runtuhnya ruas Jalan RE Martadinata sepanjang 103 meter dengan kedalaman 7 meter. Berbagai spekulasi pun muncul. Rapuhnya konstruksi memang disebut-sebut sebagai penyebab utama bencana itu.

Namun, beberapa pihak juga mengkhawatirkan kejadian itu juga salah satunya disebabkan abrasi air laut yang semakin jauh merengsek ke wilayah daratan Jakarta Utara.

Daya dukung lingkungan di wilayahnya memang hingga

saat ini menjadi sorotan pub-lik akibat degradasi-degradasi pembangunan yang kurang strategis seperti reklamasi pan-tai Jakarta Utara yang dilaku-kan dahulu.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Furqon mengatakan abrasi di wilayah Jakarta Utara adalah salah satu faktor akan satu isu besar, yaitu tenggelamnya Ibu Kota. “Pembangunan di Ja-karta, khususnya Jakarta Utara, melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga menyebabkan kon-disi Jakarta menjadi rawan terhadap berbagai macam ben-cana.”

Masalah ini jelas perlu men-dapatkan keseriusan berbagai pihak karena pada faktanya permukaan tanah di Jakarta terus mengalami penurunan 2-26 centimeter setiap tahun-nya dan penurunan yang cu-kup tinggi berada di wilayah utara Jakarta.

Penataan ruang yang tidak benar ikut andil di sini. Praktik reklamasi pantai utara Jakarta yang mengubah wilayah hutan bakau menjadi rumah susun, wilayah hunian, dan kawasan industri menggusur alokasi ruang terbuka hijau.

Pada sisi lain, penyedotan

air tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat tinggi. Ini juga yang menjadi penyebab penurunan permu-kaan tanah.

Berry menegaskan persoalan lingkungan di Jakarta Utara selain abrasi air laut dan pe-rencanaan pembangunan yang tidak ramah semakin dileng-kapi dengan perubahan iklim global yang meningkatkan muka air laut.

Menanam bakauMenanam kembali bakau

atau mangrove masih dipercaya sebagai cara yang efektif untuk mengurangi dampak abrasi air laut di Jakarta Utara. Akar-akar mangrove yang kuat, terbukti mampu meminimalkan deras-nya gelombang sehingga akan melindungi pesisir dari abrasi, bahkan tsunami.

Mangrove juga dapat me-nyerap polutan, dan hutannya menjadi daerah resapan air. Bisa dipastikan limbah industri

terdekat dapat ditekan secara perlahan.

Untuk yang tinggal dekat pesisir, selain mangrove, mem-buat berbagai jenis alat pe-mecah ombak (APO) juga bisa dilakukan. APO dapat dibuat dari karung beras bekas yang diisi dengan pasir dan beton.

Jangan lupa, upaya yang dilakukan harus dibarengi dengan rendahnya tingkat pembangunan di pesisir oleh pemerintah sendiri. Pemerin-tah harus bisa menekan pem-bangunan di daerah pesisir se-hingga menghasilkan sesuatu yang seimbang.

Menurut Berry, hal yang percuma jika gerakan-gerakan besar dan kecil telah dilakukan, tetapi pembangunan tata ruang yang salah tetap berjalan.

Setelah melihat berbagai ma-salah yang berat itu, sepertinya mustahil bagi masyarakat mem-bantu melakukan perubahan. “Harus ada perubahan yang signifi kan agar menghasilkan

daya dukung lingkungan yang tinggi sehingga bisa menjamin keselamatan Ibu Kota.”

Dalam hal tata ruang, menu-rut Berry, hanya 9,6% ruang terbuka hijau yang ada di Ja-karta sekarang. Padahal yang dibutuhkan sekitar 30% dari total area agar daya lingkungan semakin kuat.

Peran masyarakat di sini juga strategis dengan tidak memper-buruk keadaan. Contohnya, ti-dak membangun rumah seluruh area tanpa menyisakan ruang untuk resapan air, tidak mem-buat bangunan di tepi sungai, dan tentu saja tidak membuang sampah sembarangan.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah membuat sumur resa-pan atau biopori, yang lebih sederhana. Jika seluruh pendu-duk Jakarta mempunyai sumur resapan di setiap rumahnya, ini akan sangat membantu. (M-1)

[email protected]

Adinda Asa

Jangan remehkan kejadian-kejadian kecil bencana ekologi di Jakarta karena hal itu pertanda buruk dari proses tenggelamnya Ibu Kota.

Proses Tenggelamnya Jakarta kian Nyata

Hijaunya Bakau versus Rumah Mewah

Ombak besar menghantam bibir pantai di kawasan Merunda Jakarta Utara, belum lama ini. Seorang warga menanam bibit tanaman mangrove di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Rumah-rumah mewah berdiri di sepanjang muara di Pantai Indah Kapuk. Pembangunan

prasarana di sana terus dilakukan meskipun abrasi

mengancam.

MI/GINO F HADI MI/ROMMY PUJIANTO

Harus ada perubahan yang signifikan agar menghasilkan daya dukung lingkungan yang tinggi sehingga bisa menjamin keselamatan Ibu Kota.”

Berry Nahdian FurqonDirektur Eksekutif Walhi

MI/SOELISTIJONO

KOTA Bandung padat dan macet, itu sudah pasti. Tidak hanya terjadi saat liburan sekolah, ketika

orang Jakarta tumpah ruah ke sana, dalam kesehariannya pun kota ini sudah tidak nyaman lagi untuk ber-transportasi.

Tanpa disadari, tingginya residu berupa gas buang dari aneka jenis kendaraan bermotor tadi menyebab-kan kualitas udara di Kota Kembang ini sudah berada di ambang batas baku sejak 2004. Tentunya, sebelum ada upaya-upaya preventif saat ini kualitas udara di sana semakin tidak bersahabat.

Pencatatan oleh Badan Pengenda-lian Lingkungan Hidup (BPLH) Ban-dung pada 2004 sd 2006, sumbang-an paling besar untuk pencemaran udara sebesar 42% dari kendaraan bermotor berjumlah 697.378 unit.

Itu semua akibat sistem trans-portasi yang buruk dengan pertum-buhan kendaraan 15% per tahun dan pertumbuhan panjang jalan di Kota Bandung yang sangat terbatas. Akibatnya setiap tahun transportasi Kota Bandung diperkirakan merugi sebesar Rp2,46 triliun.

Belum lagi kerugian yang di-timbulkan akibat kemacetan, yang pada 2009 diperkirakan sebesar

Rp4,91 triliun.Dari kecenderungan dan data

yang terpapar itu, sudah saatnya Kota Bandung ‘merevisi’ sistem transportasinya, terutama agar lebih efisien dan ramah lingkungan.

Green transportation sebagai alter-natif untuk mengurai benang kusut persoalan transportasi di Bandung kiranya patut dilirik.

Konsep green transportation ini tidak hanya menitikberatkan pada persoalan pencemaran lingkungan, tetapi terkait juga dengan persoalan lainnya seperti kemacetan.

Apa dan bagaimana mari ikuti perbincangannya.bers

TipsGreen!Coba beralihlah dari menggunakan kendaraan pribadi ke angkutan publik untuk mengurangi beban emisi.

Menggunakan kendaraan seperti sepeda akan lebih menyehatkan badan dan ramah terhadap lingkungan.

TRANSPORTASI HIJAU, KENAPA TIDAK?