Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id
Transcript of Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id
ANALISIS KETEBALAN BATUAN PENUDUNG SISTEM PANAS BUMI
NON-VULKANIK BERDASARKAN METODE MAGNETOTELLURIK
Rakhmatul Arafat 1, Dwi Fitri Yudiantoro
2, Wiwid Joni
3
1Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Muara Bungo
2Program Studi Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta
3Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panasbumi
email: [email protected]
ABSTRAK
Lapangan panasbumi non-vulkanik di Indonesia belum banyak dikembangkan
seperti lapangan pnasbumi vulkanik. Kendala dari pengembangan lapangan ini adalah
keterbatasan data geosains. Metode geofisika (MT) dapat digunakan untuk meneliti
dimensi bawah permukaan sistem panasbumi. Metode ini dapat memberikan informasi
mengenai karakteristik sistem ini. Dalam sistem panasbumi, batuan penudung merupakan
komponen utama. Pengetahuan mengenai batuan penudung amat penting dalam
pengembangan suatu sistem panasbumi. Penelitian ini berusaha menganalisis ketebalan
dari lapisan penudung sistem non-vulkanik.
Daerah penelitian ini termasuk ke dalam sistem non-vulkanik yang batuannya
merupakan batuan berumur tersier. Indikasi adanya suatu sistem panasbumi dapat
diketahui dari menifestasi mata air panas di daerah penelitian yang beremperatur 69 -
84oC. Pengukuran MT dilakukan pada 25 titik dengan lintasan berjarak rata-rata 7 km.
Data MT dimodelkan secara inversi dalam bentuk 2-D (dua dimensi). Dari pemodelan
data MT maka diketahui batuan penudung sistem non-vulkanik cenderung lebih tipis
dibandingkan sistem vulkanik. Batuan penudung non-vulkanik juga memiliki nilai
tahanan jenis lebih tinggi dibandingkan sistem vulkanik. Nilai tahanan jenis lapisan
penudung sistem non-vulkanik mencapai 50 Ohm.m.
Kata kunci : Magnetotellurik, panasbumi, non-vulkanik, batuan penudung
ABSTRACT
Non-volcanic geothermal fields in Indonesia have not been developed much like the
volcanic geothermal field. The constraint of developing this field is the limited geoscience
data. The geophysical (MT) method can be used to examine the subsurface dimensions of
the geothermal system. This method can provide information about the characteristics of
this system. In the geothermal system, cap rock is the main component. Knowledge of cap
rocks is very important in the development of a geothermal system. This study attempts to
analyze the thickness of the cap rock of the non-volcanic system.
This research area is a type of the non-volcanic system whose rocks are tertiary-aged
rocks. Indication of a geothermal system can be seen from the manifestation of hot
springs in the study area with a temperature of 69 - 84oC. MT measurements were
carried out at 25 points with an average distance of 7 km. MT data is modeled inversely
in 2-D (two-dimensional) form. From the MT data modeling, it is known that the cap rock
of the non-volcanic system tends to be thinner than the volcanic system. Non-volcanic cap
rock also has a higher resistivity value than volcanic systems. The resistivity value of the
cover layer of the non-volcanic system reaches 50 Ohm.m.
Key words: Magnetotelluric, geothermal, non-volcanic, cap ro
Mine Magazine (MineMagz) Volume 1 Nomor 2, September 2020
http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/MineMag
PENDAHULUAN
Indonesia yang membentang dari
sabang sampai merauke memiliki tatanan
geologi yang amat kompleks. Tatanan
geologi ini menghasilkan suatu sistem
panasbumi yang beragam. Menurut
Kasbani (2009), terdapat sedikitnya 3 jenis
sistem panasbumi di Indonesia yaitu
vulkanik, non-vulkanik dan vulkano-
tektonik. Lapangan panasbumi vulkanik
merupakan jenis yang dominan dan telah
banyak dikembangkan. Untuk lapangan
non-vulkanik, jenis ini masih belum
banyak diketahui dan dikembangkan
sehingga dibutuhkan suatu penelitian
untuk mempelajari karakteristiknya.
Salah satu kendala utama dalam
pengembangan sistem panasbumi non-
vulkanik adalah keterbatasan data geosains
dan pemahaman tentang karakteristik
sistem ini (Risdianto, D., dkk, 2015).
Untuk memahami sistem panasbumi non-
vulkanik secara utuh dibutuhkan
pengetahuan mengenai dimensi bawah
permukaannya. Pendekatan ilmu geofisika
dengan metode Magnetotellurik (MT)-nya
dapat digunakan untuk memprediksi
dimensi bawah permukaan sistem
panasbumi. Metode MT telah dijadikan
standar dalam penyelidikan panasbumi
selama puluhan tahun dan telah terbukti
berhasil dalam banyak eksplorasi
panasbumi dunia (Huenges, 2010). Data
MT umumnya mampu membedakan tiap
komponen sistem panasbumi dari kontras
nilai tahanan jenis yang didapatkan.
Dengan demikian, ketebalan atau dimensi
dari masing-masing komponen dengan
dapat dikenali.
Batuan penudung merupakan salah
satu komponen utama sistem panasbumi.
Dibawah batuan penudung terdapat
reservoar atau wadah tempat air
terakumulasi dan terpanaskan. Air panas
ini yang dimanfaatkan untuk diubah
menjadi energi listrik dalam suatu
pembangkit listrik atau digunakan secara
langsung seperti pemandian air panas.
Pengetahuan mengenai ketebalan batuan
tudung amat penting agar tidak terjadi
kesalahan dalam menentukan kedalaman
reservoar dan penentuan titik bor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ketebalan bataun penudung sistem sistem
panasbumi non-vulkanik berdasarkan
analisis data MT.
DASAR TEORI
Sistem Panasbumi Non-Vulkanik
Sistem panas bumi non-vulkanik
dapat didefenisikan sebagai sistem panas
yang tidak berkaitan langsung dengan
vulkanisme dan umumnya berada di luar
jalur vulkanik kuarter (Kasbani, 2009).
Secara genetik, sistem non-vulkanik sama
dengan sistem vulkanik. Perbedaan antara
kedua sistem ini terletak pada umur sistem
itu sendiri (Risdianto, D., 2015). Suatu
sistem panasbumi minimal memiliki lima
unsur utama yaitu sumber panas, reservoir,
suplai air, batuan penudung (cap rock),
dan area resapan (recharge area).
Gambaran umum sistem ini dapat dilihat
pada Gambar 1. Menurut Permana (2015)
batasan yang digunakan peneliti
sebelumnya untuk membedakan sistem ini
dengan sistem panasbumi vulkanik adalah
dengan menggunakan asumsi:
1. Sistem panasbumi non-vulkanik tidak
berhubungan dengan vulkanisme
Kuarter
2. Terdapat pada lingkungan sedimen,
plutonik, dan metamorf
3. Berhubungan dengan proses tektonik
4. Manifestasi panas bumi umumnya
hanya dicirikan oleh pemunculan
mata air panas.
Daerah penelitian ini masuk ke dalam
asumsi pertama yaitu sistem panasbumi
yang tidak berkaitan dengan vulkanisme
Kuarter atau berumur Tersier.
Gambar 1. Model sistem panasbumi dari White (1967) dalam Saptadji (2001)
Metode Magnetotellurik
Metode MT adalah metode pasif yang
pada prinsipnya mengukur fluktuasi medan
listrik (E) dan medan magnet (M) alami di
permukaan bumi sebagai alat untuk
menentukan konduktivitas bumi pada
kedalaman beberapa meter hingga ratusan
kilometer (Simpson dan Bahr, 2005).
Medan elektromagnetik yang
dimanfaatkan oleh metode MT merupakan
hasil proses fisika yang cukup kompleks
dengan rentang frekuensi antara 10-5
Hz
hingga 104 Hz. Frekuensi ini dapat
dibedakan dalam dua jenis yaitu frekuensi
rendah dan tinggi. Frekuensi rendah adalah
frekuensi kurang dari 1 Hz yang dihasilkan
oleh aktivitas badai matahari. Frekuensi
tinggi adalah diatas 1 Hz yang dihasilkan
oleh aktivitas meteorologis. Aktivitas
meteorologis ini berupa petir yang
terperangkap di antara ionosfer dan bumi.
Petir yang terperangkap ini menjalar
mengitari bumi dan menimbulkan
gelombang elektromagnetik (Vozzof, 1991
dalam Grandis, 2010). Gelombang
elektromagnetik alami ini direkam oleh
alat dan dapat dimodelkan suatu
penampang tahanan jenis untuk
menganalisis komponen sistem panasbumi.
Metode MT pada prinsipnya
menggunakan persamaan Maxwell yang
merupakan sintesa hukum-hukum yang
berlaku untuk fenomena listrik dan
magnet. Dalam bentuk diferensial,
persamaan Maxwell dalam domain
frekuensi yang dituliskan sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
METODOLOGI PENELITIAN
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam
akuisisi data MT adalah seperangkat alat
yang terdiri:
Alat Perekam (Jenis MTU 5-A)
porouspot
koil magnetik
Komputer/laptop
Data Penelitian
Data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari:
1. Data primer; data murni hasil akuisisi
di lapangan yang diolah dengan
menggunakan perangkat lunak.
2. Data sekunder; data yang didapatkan
dari berbagai literatur penelitian
terdahulu seperti data geologi dan
geokimia
Tahapan Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini terdiri
dari tiga tahapan:
1. Desain survei lintasan MT; lintasan MT
dibuat memotong struktur patahan
besar yang berada di daerah penelin
2. Pengolahan data awal; terdiri terdiri
dari konversi data dari domain waktu
ke domain frekuensi dan penghalusan
(smoothing) data tahanan jenis.
3. Pengolahan data lanjut; terdiri dari
pemodelan 2-D data tahanan jenis
4. Analisis data, yang terdiri dari
interpretasi data MT berupa penampang
2-D tahanan jenis yang dibantu oleh
data sekunder dari berbagai literatur.
Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian
(Modifikasi Setiawan dkk, 2010)
TINJAUAN GEOLOGI
Daerah penelitian ini secara regional
masuk ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi
Barat yang batuannya didominasi oleh
batuan berumur Neogen dan sebagian lagi
berumur Jura (Sompotan, 2012). Formasi
Latimojong (Kls) merupakan yang tertua.
Formasi ini berumur kapur yang
mengalami metamorfisme lemah hingga
sedang. Batuan serpih, filit, marmer, breksi
terkersikkan, kuarsit, rijang, merupakan
batuan penyusun formasi ini. Formasi
Latimojong (Kls) ini diterobos oleh batuan
beku intermediet hingga basa (Ratman dan
Atmawijaya, 2003). Diatas formasi ini
diendapkan secara tidak selaras batuan
produk vulkanik.
Daerah penelitian ini didominasi oleh
batuan produk vukanik yang tersebar
cukup luas. Batuan produk vulkanik ini
umumnya terdiri dari aliran lava dan
kubah-kubah vulkanik (Setiawan dkk,
2010). Satuan tertua di daerah ini adalah
Satuan Vulkanik Walimbong (Tvw),
secara berurutan diikuti oleh, Andesit
feldspatoid (Tf), Andesit Porfir (Tp),
Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian (Modifikasi Setiawan dkk, 2010)
Vulkanik tak terpisahkan (Tvt), Lava
andesit basaltik Buttu Bobongbatu (Tls),
Lava trakhit Buttu Pakkedoang (Tlp), Lava
andesit basaltik Buttu Sawergading (Tls),
Lava andesit Buttu Butu (Tlb), Lava
andesit Buttu Talaya (Tlt), Lava andesit
Buttu Dambu (Tld), Lava andesit Buttu
Kamande (Tlk), Aluvium (Qal) (Gambar
2).
Daerah penelitian terdiri dari banyak
pola struktur patahan. Setidaknya terdapat
tujuh struktur utama. Pada beberapa
struktur tersebut terdapat manifestasi air
panas seperti pada pola struktur N50-
60°E/ N230-240°E dan pola struktur N80-
90°E/ N260-270°E Kemunculan
manifestasi air panas di daerah penelitian
ini merupakan indikasi adanya suatu
sistem panasbumi di bawah permukaan.
Sesar-sesar minor yang mengikuti sesar-
sesar mayor telah menjadi jalan bagi fluida
hidrotermal. Pola-pola sesar yang amat
banyak terlihat pada peta yang
mengindikasikan bahwa terdapat zona
resapan dengan permeabilitas tinggi yang
menunjukkan daerah prospek panasbumi
di sekitar kemunculan mata air panas.
Mineral-mineral yang muncul pada
suatu sistem panasbumi dapat memberikan
informasi mengenai suhu bawah
permukaan (Gambar 3). Di sekitar daerah
penelitian, mineral montmorillonite,
smektit, dan saponit diketahui muncul
pada kedalaman 189 mKU hingga 320,45
mKU. Data ini diketahui dari hasil survei
landaian suhu Fahilla dkk (2016).
Mineral-mineral tersebut merupakan
ubahan dari batuan andesit. Berdasarkan
kehadiran mineral tersebut, maka diketaui
bahwa zona sampai kedalaman 320,45
mKU adalah zona smektit yang sebanding
dengan zona argilik. Mineral-mineral ini
memberikan petunjuk bahwa suhu di
bawah permukaan suhu diperkirakan
antara 100-150°C.
Lebih dalam lagi, hasil survei landaian
suhu menunjukkan kehadiran mineral-
mineral klorit, smektit, serta dijumpai pula
mineral silika, urat kalsit, dan oksida besi
pada kedalaman 320,45mKU hingga 702
mKU. Berdasarkan kehadiran mineral-
mineral tersebut maka pada kedalaman ini
masuk ke dalam zona sub-propilitik atau
setara dengan argilik lanjut. Kemunculan
mineral klorit mengindikasikan bahwa
suhu pada kedalaman 320,45mKU - 702
mKU diperkirakan lebih dari 200oC.
Gambar 3. Mineral - mineral alterasi yang umum muncul dan kisaran temperaturnya
pada sistem panasbumi (Henley and Ellis, 1983 dalam Shikazono, 2003)
TINJAUAN GEOKIMIA
Data geokimia menunjukkan bahwa
air panas di daerah penelitian termasuk
tipe klorida. Hal ini didasarkan pada
diagram segitiga Cl-SO4- HCO3 (Gambar
4). Air bertipe klorida umumnya
menunjukkan adanya hubungan antara
manifestasi di permukaan dengan air dari
reservoir. Kehadirannya menjadi petunjuk
bahwa di bawah permukaan terdapat zona
permeabel. Indikasi ini didukung oleh
tingginya temperatur air panas di
permukaan yang ber-pH netral (Setiawan
dkk, 2010).
Air panas daerah penelitian terletak
pada zona zona partial equilibrium pada
diagram segitiga Na-K-Mg (Gambar 5).
Zona partial equilibrium merupakan
indikasi adanya pengaruh air permukaan
pada pembentukan mata air panas sesaat
setelah terjadi interaksi antara fluida
panas dengan batuan yang dilaluinya
(Setiawan dkk, 2010).
Semua mata air panas daerah
penelitian terletak di zona tengah dari
diagram segitiga Cl, Li, B (Gambar 6).
Keberadaan semua air panas terletak pada
zona tengah merupakan indikasi bahwa
bahwa air panas telah berinteraksi dengan
sistem panas bumi di bawah permukaan
sebelum muncul sebagai manifestasi di
permukaan.
Pada sistem telah terjadi interaksi
antara fluida panas bumi dengan batuan
yang menyebabkan terjadinya pengkayaan 18
O (Setiawan dkk, 2010). Hal ini terjadi
karena reaksi substitusi oksigen 18 dari
batuan dengan oksigen 16 dari fluida
panas pada saat terjadi interaksi fluida
panas dengan batuan sebelum muncul ke
permukaan. Besar kemungkinan bahwa
air panas (MAP-2) berasal dari fluida
panas sistem panasbumi, sedangkan
pengaruh pengenceran oleh air permukaan
sangat jelas terhadap air panas (MAP-1).
Hal ini diindikasikan dari posisi MAP-1
mendekati meteoric water line (MWL)
dan air permukaan ditunjukkan oleh posisi
air dingin pada garis MWL (Gambar 7).
Gambar 4. Diagram segitiga Cl-SO4-HCO3 air panas daerah penelitian (Modifikasi
Setiawan dkk, 2010)
Gambar 5. Diagram segitiga Na-K-Mg air panas daerah penlitian (Modifikasi Setiawan,
2010)
Gambar 6. Diagram segitiga Cl-Li-B air panas daerah penelitian (Modifikasi Setiawan,
2010)
Gambar 7. Diagram Isotop daerah penelitian (Modifikasi Setiawan, 2010)
HASIL PENELITIAN
Pengukuran MT dilakukan pada
25 tempat dengan arah lintasan relatif
berarah barat laut-tenggara. Penentuan
titik ukur MT berdasarkan analisis data
penelitian terdahulu. Dari penelitian
terdahulu maka dapat ditentukan daerah
prospek panasbumi. Penentuan arah
lintasan MT pada penelitian ini
berdasarkan pada data struktur geologi
(sesar). Arah lintasan dibuat memotong
arah sesar (patahan) yang relatif berarah
N60oE yang mengontrol kemunculan mata
air panas daerah penelitian. Dari 25 titik
ini, ada tiga lintasan yang dianalisis untuk
menentukan ketebalan lapisan penudung
sistem panasbumi non-vulkanik.
Analisis Lintasan-1 Lintasan-1 (L-1) membentang
sepanjang ± 7 km dengan arah lintasan
barat laut tenggara (Gambar 8). Data
RMS error lintasan ini adalah 2,45%.
Terdapat lima titik ukur pada lintasan ini
yaitu MT-24, MT-08, MT-07, MT-12.
Berdasarkan model 2-D MT terlihat jelas
kontras warna kuning-oranye, hijau dan
biru. Kontras warna kuning-oranye
merupakan nilai tahanan jenis rendah
yaitu ≤ 50 Ohm.m. Nilai tahanan jenis
rendah diperkirakan sebagai batuan
penudung sistem panasbumi ini.
Karakteristik lapisan terlihat menebal ke
arah barat laut dan tenggara dan sedikit
menipis di bagian tengah lintasan. Pada
bagian tenggara dan barat laut, batuan
penudung diperkirakan mempunyai
ketebalan ± 1000 m dari permukaan.
Lapisan penudung pada bagian tengah
diperkirakan hanya berkisar ± 700 m atau
lebih tipis lagi. Pada peta geologi, lapisan
penudung ini merupakan batuan produk
vulkanik yaitu fomasi Vulkanik Tak
Terpisahkan (Tvt).
Gambar 8. Penampang Tahanan Jenis 2-D Lintasan 1
Analisis Lintasan-2 Lintasan-2 (L-2) terdiri dari lima titik
ukur yaitu MT-24, MT-08, MT-07, MT-
12 dan MT-17. Lintasan ini membentang
sepanjang ± 7 km (Gambar 9). Data RMS
error lintasan ini adalah 2,65% yang
nilainya tidak jauh berbeda dengan
lintasan 1. Nilai RMS error ini
menunjukkan bahwa selisih antara data
pengukuran dan data hasil perhitungan
mempunyai selisih yang tidak jauh
berbeda. Seperti halnya L-1, nilai tahanan
jenis rendah ditandai dengan warna
kuning-oranye mendekati merah yang
mempunyai nilai ≤ 50 Ohm.m. Tahanan
jenis rendah ini diinterpretasikan sebagai
lapisan penudung sistem panasbumi.
Lapisan ini mempunyai karakteristik
mirip dengan Lintasan-1 yaitu menebal ke
arah barat laut dan tenggara dan lebih tipis
pada bagian tengahnya. Pada bagian barat
laut dan tenggara lapisan diperkirakan
±900-1000 m atau lebih. Pada bagian
tengah, lapisan ini diperkirakan hanya
mencapai ±500 m. Pada lapisan penudung
terlihat degradasi warna diskontinu.
Diskontinu warna ini merupakan indikasi
adanya patahan.
Gambar 9. Penampang Tahanan Jenis 2-Dimensi Lintasan 2
Analisis Lintasan 3
Seperti lintasan-lintasan
sebelumnya, Lintasan-3 (L-3) juga
berarah barat laut-tenggara dengan
panjang ±7 km (Gambar 10). Pada
lintasan ini terdapat lima titik ukur yaitu
MT-25, MT-27, MT-11, MT-11A dan
MT-16. Data RMS error lintasan ini
adalah 3,20 %. Pada lintasan ini muncul
manifestasi berupa mata air panas. Data
geokimia penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa mata air panas ini
berjenis klorida. Jenis ini merupakan
indikasi mata air panas berasal dari
reservoir sistem atau tepat berada dibawah
lapisan penudung.
Tidak berbeda dengan lintasan
sebelumnya, lapisan penudung lintasan ini
juga diinterpretasikan mempunyai nilai
tahanan jenis ≤ 50 Ohm.m yang ditandai
oleh warna kuning-merah. Lapisan ini
memiliki ketebalan 500-1000 m. Lapisan
penudung cenderung menipis pada bagian
tengah. Karateristik ini mirip dengan
lintasan-lintasan sebelumnya (Lintasan 1
dan Lintasan 2).
Gambar 10. Penampang Tahanan Jenis 2-Dimensi Lintasan 3
PEMBAHASAN
Ketebalan Batuan Penudung Sistem
Panasbumi Non-Vulkanik
Berdasarkan pemodelan 2-D
Metode MT maka diketahui bahwa batuan
penudung sistem panasbumi non-vulkanik
di daerah penelitian ini berkisar antara
500-1000 m seperti yang ditunjukkan pula
pada peta tahanan jenis per kedalaman
(Gambar 11). Jika dibandingkan dengan
sistem vulkanik, maka ketebalan batuan
penudung sistem non-vulkanik cenderung
lebih tipis. Tidak hanya ketebalannya,
nilai tahanan jenis sistem non-vulkanik
juga relatif berbeda. Jika pada sistem
vulkanik, nilai tahanan jenisnya berkisar
0-10 Ohm.m. Nilai tahanan jenis rendah
pada batuan penudung disebabkan oleh
mineral alterasi penyusun batuan yang
berupa lempung yang mempunyai
karakteristik nilai tahanan jenis rendah .
Pada sistem non-vulkanik, nilai tahanan
jenis batuan penudung cenderung lebih
tinggi. Pada seluruh lintasan terlihat
bahwa nilai tahanan jenis batuan
penudung ≤ 50 Ohm.m. Nilai tahanan
jenis 50 Ohm.m, pada sistem vulkanik
umumnya menunjukkan batuan reservoir
(Johnston, dkk, 1992). Besar
kemungkinan bahwa lapisan reservoir
pada masa lampau telah terangkat dan
teralterasi ulang sehingga menjadi batuan
penudung pada hari ini. Bukti bahwa
reservoar telah teralterasi menjadi batuan
penudung adalah ditemukannya mineral
lempung pada survei landaian suhu
disekitar daerah penelitian. Lapisan
penudung ini merupakan hasil alterasi
argilik batuan andesit dari Satuan
Vulkanik Tak Terpisahkan (Tvt).
Gambar 11. Peta tahanan jenis hasil pemodelan 2-D kedalaman bervariasi
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pemodelan 2-D Data MT dapat
mendeteksi ketebalan batauan
penudung sistem panasbumi non-
vulkanik dengan cukup baik. Dari
pemodelan ini diketahui bahwa
batuan penudung sistem non-
vulkanik ini memiliki nilai tahanan
jenis mencapai 50 Ohm.m.
2. Batuan penudung ini merupakan
hasil alterasi dari batuan reservoir
di masa lampau. Sehingga
karakteristiknya sedikit berbeda
dengan sistem panasbumi vulkanik.
Nilai tahanan jenis batuan
penudung sistem non-vulkanik
cenderung mirip dengan nilai pada
reservoir sistem vulkanik.
3. Pada sistem non-vulkanik batuan
penudung cenderung lebih tipis
dibandingkan dengan sistem
vulkanik. Pada sistem non-vulkanik
ini ketebalan batuan penudung
diperkirakan kurang dari 1000 m.
Pada beberapa lintasan
menunjukkan kurang dari 700 m.
DAFTAR PUSTAKA
Fahillah, Adzka., Patonah, A.,
Simarmata S, L.Lubertus.,
2016., Bulletin of Scinetific
Contribution, Volume 14,
Nomor 3, Desember 2016: 287-
294
Grandis, Hendra. 2010. Metode
Magnetotellurik (MT).
Huenges Ernst, 2010, Geothermal
Energy Systems; Exploration,
Development, and Utilization,
Wiley-Vch. Germany
Hermawan, Dudi, 2015. Sistem Panas
Bumi Non-Vulkanik di Sulawesi
, Pusat Sumber Daya Geologi-
Badan Geologi, Bandung
Johnston, J.M., Pellerin, L., dan
Hohmann, G.W., 1992.
Evaluation of Electromagnetic
Methods for Geothermal
Reservoir Detection.
Geothermal Resources Council
Transactions, 16, h. 241-245.
Kasbani, 2009, Sumber Daya Panas
Bumi Indonesia: Status
Penyelidikan, Potensi dan Tipe
Sistem Panasbumi, Pusat
Sumber Daya Geologi, Badan
Geologi, Bandung
Ratman, N., Atmawijaya,S., 1993, Peta
Geologi Lembar Mamuju,
Sulawesi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi,
Bandung
Risdianto, D., Permana, L.N., Wibowo,
A.E.A., Sugianto, A.,
Hermawan,D., 2015. Sistem
Panas Bumi Non-Vulkanik di
Sulawesi , Pusat Sumber Daya
Geologi-Badan Geologi,
Bandung
Saptaji, N.M, 2001, Teknik Panas Bumi,
Institut Teknologi Bandung,
Departemen Teknik
Perminyakan, Fakultas Ilmu
Kebumian dan teknologi
Mineral, Bandung
Setiawan, D.I, Soetoyo,Rezky, Y. 2010.
Pusat Sumber Daya Geologi-
Badan Geologi, Bandung
Shikazono, Naotatsu, 2003.
Geochemical and Tectonic
Evolution of Arc-Backarc
Hydrothermal Systems. Elsevier
Science. B.V. Netherland
Simpson,F., dan Bahr,K. 2005 .
Practical Magenetotelluric.
Cambridge University Press
Sompotan, A.F, 2012, Struktur Geologi
Sulawesi, Perpustakaan Sains
Kebumian Institut Teknologi
Bandung, Bandung