Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

12
ANALISIS KETEBALAN BATUAN PENUDUNG SISTEM PANAS BUMI NON-VULKANIK BERDASARKAN METODE MAGNETOTELLURIK Rakhmatul Arafat 1 , Dwi Fitri Yudiantoro 2 , Wiwid Joni 3 1 Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Muara Bungo 2 Program Studi Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta 3 Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panasbumi email: [email protected] ABSTRAK Lapangan panasbumi non-vulkanik di Indonesia belum banyak dikembangkan seperti lapangan pnasbumi vulkanik. Kendala dari pengembangan lapangan ini adalah keterbatasan data geosains. Metode geofisika (MT) dapat digunakan untuk meneliti dimensi bawah permukaan sistem panasbumi. Metode ini dapat memberikan informasi mengenai karakteristik sistem ini. Dalam sistem panasbumi, batuan penudung merupakan komponen utama. Pengetahuan mengenai batuan penudung amat penting dalam pengembangan suatu sistem panasbumi. Penelitian ini berusaha menganalisis ketebalan dari lapisan penudung sistem non-vulkanik. Daerah penelitian ini termasuk ke dalam sistem non-vulkanik yang batuannya merupakan batuan berumur tersier. Indikasi adanya suatu sistem panasbumi dapat diketahui dari menifestasi mata air panas di daerah penelitian yang beremperatur 69 - 84 o C. Pengukuran MT dilakukan pada 25 titik dengan lintasan berjarak rata-rata 7 km. Data MT dimodelkan secara inversi dalam bentuk 2-D (dua dimensi). Dari pemodelan data MT maka diketahui batuan penudung sistem non-vulkanik cenderung lebih tipis dibandingkan sistem vulkanik. Batuan penudung non-vulkanik juga memiliki nilai tahanan jenis lebih tinggi dibandingkan sistem vulkanik. Nilai tahanan jenis lapisan penudung sistem non-vulkanik mencapai 50 Ohm.m. Kata kunci : Magnetotellurik, panasbumi, non-vulkanik, batuan penudung ABSTRACT Non-volcanic geothermal fields in Indonesia have not been developed much like the volcanic geothermal field. The constraint of developing this field is the limited geoscience data. The geophysical (MT) method can be used to examine the subsurface dimensions of the geothermal system. This method can provide information about the characteristics of this system. In the geothermal system, cap rock is the main component. Knowledge of cap rocks is very important in the development of a geothermal system. This study attempts to analyze the thickness of the cap rock of the non-volcanic system. This research area is a type of the non-volcanic system whose rocks are tertiary-aged rocks. Indication of a geothermal system can be seen from the manifestation of hot springs in the study area with a temperature of 69 - 84 o C. MT measurements were carried out at 25 points with an average distance of 7 km. MT data is modeled inversely in 2-D (two-dimensional) form. From the MT data modeling, it is known that the cap rock of the non-volcanic system tends to be thinner than the volcanic system. Non-volcanic cap rock also has a higher resistivity value than volcanic systems. The resistivity value of the cover layer of the non-volcanic system reaches 50 Ohm.m. Key words: Magnetotelluric, geothermal, non-volcanic, cap ro Mine Magazine (MineMagz) Volume 1 Nomor 2, September 2020 http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/MineMag

Transcript of Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Page 1: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

ANALISIS KETEBALAN BATUAN PENUDUNG SISTEM PANAS BUMI

NON-VULKANIK BERDASARKAN METODE MAGNETOTELLURIK

Rakhmatul Arafat 1, Dwi Fitri Yudiantoro

2, Wiwid Joni

3

1Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Muara Bungo

2Program Studi Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta

3Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panasbumi

email: [email protected]

ABSTRAK

Lapangan panasbumi non-vulkanik di Indonesia belum banyak dikembangkan

seperti lapangan pnasbumi vulkanik. Kendala dari pengembangan lapangan ini adalah

keterbatasan data geosains. Metode geofisika (MT) dapat digunakan untuk meneliti

dimensi bawah permukaan sistem panasbumi. Metode ini dapat memberikan informasi

mengenai karakteristik sistem ini. Dalam sistem panasbumi, batuan penudung merupakan

komponen utama. Pengetahuan mengenai batuan penudung amat penting dalam

pengembangan suatu sistem panasbumi. Penelitian ini berusaha menganalisis ketebalan

dari lapisan penudung sistem non-vulkanik.

Daerah penelitian ini termasuk ke dalam sistem non-vulkanik yang batuannya

merupakan batuan berumur tersier. Indikasi adanya suatu sistem panasbumi dapat

diketahui dari menifestasi mata air panas di daerah penelitian yang beremperatur 69 -

84oC. Pengukuran MT dilakukan pada 25 titik dengan lintasan berjarak rata-rata 7 km.

Data MT dimodelkan secara inversi dalam bentuk 2-D (dua dimensi). Dari pemodelan

data MT maka diketahui batuan penudung sistem non-vulkanik cenderung lebih tipis

dibandingkan sistem vulkanik. Batuan penudung non-vulkanik juga memiliki nilai

tahanan jenis lebih tinggi dibandingkan sistem vulkanik. Nilai tahanan jenis lapisan

penudung sistem non-vulkanik mencapai 50 Ohm.m.

Kata kunci : Magnetotellurik, panasbumi, non-vulkanik, batuan penudung

ABSTRACT

Non-volcanic geothermal fields in Indonesia have not been developed much like the

volcanic geothermal field. The constraint of developing this field is the limited geoscience

data. The geophysical (MT) method can be used to examine the subsurface dimensions of

the geothermal system. This method can provide information about the characteristics of

this system. In the geothermal system, cap rock is the main component. Knowledge of cap

rocks is very important in the development of a geothermal system. This study attempts to

analyze the thickness of the cap rock of the non-volcanic system.

This research area is a type of the non-volcanic system whose rocks are tertiary-aged

rocks. Indication of a geothermal system can be seen from the manifestation of hot

springs in the study area with a temperature of 69 - 84oC. MT measurements were

carried out at 25 points with an average distance of 7 km. MT data is modeled inversely

in 2-D (two-dimensional) form. From the MT data modeling, it is known that the cap rock

of the non-volcanic system tends to be thinner than the volcanic system. Non-volcanic cap

rock also has a higher resistivity value than volcanic systems. The resistivity value of the

cover layer of the non-volcanic system reaches 50 Ohm.m.

Key words: Magnetotelluric, geothermal, non-volcanic, cap ro

Mine Magazine (MineMagz) Volume 1 Nomor 2, September 2020

http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/MineMag

Page 2: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

PENDAHULUAN

Indonesia yang membentang dari

sabang sampai merauke memiliki tatanan

geologi yang amat kompleks. Tatanan

geologi ini menghasilkan suatu sistem

panasbumi yang beragam. Menurut

Kasbani (2009), terdapat sedikitnya 3 jenis

sistem panasbumi di Indonesia yaitu

vulkanik, non-vulkanik dan vulkano-

tektonik. Lapangan panasbumi vulkanik

merupakan jenis yang dominan dan telah

banyak dikembangkan. Untuk lapangan

non-vulkanik, jenis ini masih belum

banyak diketahui dan dikembangkan

sehingga dibutuhkan suatu penelitian

untuk mempelajari karakteristiknya.

Salah satu kendala utama dalam

pengembangan sistem panasbumi non-

vulkanik adalah keterbatasan data geosains

dan pemahaman tentang karakteristik

sistem ini (Risdianto, D., dkk, 2015).

Untuk memahami sistem panasbumi non-

vulkanik secara utuh dibutuhkan

pengetahuan mengenai dimensi bawah

permukaannya. Pendekatan ilmu geofisika

dengan metode Magnetotellurik (MT)-nya

dapat digunakan untuk memprediksi

dimensi bawah permukaan sistem

panasbumi. Metode MT telah dijadikan

standar dalam penyelidikan panasbumi

selama puluhan tahun dan telah terbukti

berhasil dalam banyak eksplorasi

panasbumi dunia (Huenges, 2010). Data

MT umumnya mampu membedakan tiap

komponen sistem panasbumi dari kontras

nilai tahanan jenis yang didapatkan.

Dengan demikian, ketebalan atau dimensi

dari masing-masing komponen dengan

dapat dikenali.

Batuan penudung merupakan salah

satu komponen utama sistem panasbumi.

Dibawah batuan penudung terdapat

reservoar atau wadah tempat air

terakumulasi dan terpanaskan. Air panas

ini yang dimanfaatkan untuk diubah

menjadi energi listrik dalam suatu

pembangkit listrik atau digunakan secara

langsung seperti pemandian air panas.

Pengetahuan mengenai ketebalan batuan

tudung amat penting agar tidak terjadi

kesalahan dalam menentukan kedalaman

reservoar dan penentuan titik bor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

ketebalan bataun penudung sistem sistem

panasbumi non-vulkanik berdasarkan

analisis data MT.

DASAR TEORI

Sistem Panasbumi Non-Vulkanik

Sistem panas bumi non-vulkanik

dapat didefenisikan sebagai sistem panas

yang tidak berkaitan langsung dengan

vulkanisme dan umumnya berada di luar

jalur vulkanik kuarter (Kasbani, 2009).

Secara genetik, sistem non-vulkanik sama

dengan sistem vulkanik. Perbedaan antara

kedua sistem ini terletak pada umur sistem

itu sendiri (Risdianto, D., 2015). Suatu

sistem panasbumi minimal memiliki lima

unsur utama yaitu sumber panas, reservoir,

suplai air, batuan penudung (cap rock),

dan area resapan (recharge area).

Gambaran umum sistem ini dapat dilihat

pada Gambar 1. Menurut Permana (2015)

batasan yang digunakan peneliti

sebelumnya untuk membedakan sistem ini

dengan sistem panasbumi vulkanik adalah

dengan menggunakan asumsi:

1. Sistem panasbumi non-vulkanik tidak

berhubungan dengan vulkanisme

Kuarter

2. Terdapat pada lingkungan sedimen,

plutonik, dan metamorf

3. Berhubungan dengan proses tektonik

4. Manifestasi panas bumi umumnya

hanya dicirikan oleh pemunculan

mata air panas.

Daerah penelitian ini masuk ke dalam

asumsi pertama yaitu sistem panasbumi

yang tidak berkaitan dengan vulkanisme

Kuarter atau berumur Tersier.

Page 3: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Gambar 1. Model sistem panasbumi dari White (1967) dalam Saptadji (2001)

Metode Magnetotellurik

Metode MT adalah metode pasif yang

pada prinsipnya mengukur fluktuasi medan

listrik (E) dan medan magnet (M) alami di

permukaan bumi sebagai alat untuk

menentukan konduktivitas bumi pada

kedalaman beberapa meter hingga ratusan

kilometer (Simpson dan Bahr, 2005).

Medan elektromagnetik yang

dimanfaatkan oleh metode MT merupakan

hasil proses fisika yang cukup kompleks

dengan rentang frekuensi antara 10-5

Hz

hingga 104 Hz. Frekuensi ini dapat

dibedakan dalam dua jenis yaitu frekuensi

rendah dan tinggi. Frekuensi rendah adalah

frekuensi kurang dari 1 Hz yang dihasilkan

oleh aktivitas badai matahari. Frekuensi

tinggi adalah diatas 1 Hz yang dihasilkan

oleh aktivitas meteorologis. Aktivitas

meteorologis ini berupa petir yang

terperangkap di antara ionosfer dan bumi.

Petir yang terperangkap ini menjalar

mengitari bumi dan menimbulkan

gelombang elektromagnetik (Vozzof, 1991

dalam Grandis, 2010). Gelombang

elektromagnetik alami ini direkam oleh

alat dan dapat dimodelkan suatu

penampang tahanan jenis untuk

menganalisis komponen sistem panasbumi.

Metode MT pada prinsipnya

menggunakan persamaan Maxwell yang

merupakan sintesa hukum-hukum yang

berlaku untuk fenomena listrik dan

magnet. Dalam bentuk diferensial,

persamaan Maxwell dalam domain

frekuensi yang dituliskan sebagai berikut:

(1)

(2)

(3)

(4)

METODOLOGI PENELITIAN

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam

akuisisi data MT adalah seperangkat alat

yang terdiri:

Alat Perekam (Jenis MTU 5-A)

porouspot

koil magnetik

Komputer/laptop

Page 4: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Data Penelitian

Data yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari:

1. Data primer; data murni hasil akuisisi

di lapangan yang diolah dengan

menggunakan perangkat lunak.

2. Data sekunder; data yang didapatkan

dari berbagai literatur penelitian

terdahulu seperti data geologi dan

geokimia

Tahapan Penelitian

Secara garis besar, penelitian ini terdiri

dari tiga tahapan:

1. Desain survei lintasan MT; lintasan MT

dibuat memotong struktur patahan

besar yang berada di daerah penelin

2. Pengolahan data awal; terdiri terdiri

dari konversi data dari domain waktu

ke domain frekuensi dan penghalusan

(smoothing) data tahanan jenis.

3. Pengolahan data lanjut; terdiri dari

pemodelan 2-D data tahanan jenis

4. Analisis data, yang terdiri dari

interpretasi data MT berupa penampang

2-D tahanan jenis yang dibantu oleh

data sekunder dari berbagai literatur.

Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian

(Modifikasi Setiawan dkk, 2010)

TINJAUAN GEOLOGI

Daerah penelitian ini secara regional

masuk ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi

Barat yang batuannya didominasi oleh

batuan berumur Neogen dan sebagian lagi

berumur Jura (Sompotan, 2012). Formasi

Latimojong (Kls) merupakan yang tertua.

Formasi ini berumur kapur yang

mengalami metamorfisme lemah hingga

sedang. Batuan serpih, filit, marmer, breksi

terkersikkan, kuarsit, rijang, merupakan

batuan penyusun formasi ini. Formasi

Latimojong (Kls) ini diterobos oleh batuan

beku intermediet hingga basa (Ratman dan

Atmawijaya, 2003). Diatas formasi ini

diendapkan secara tidak selaras batuan

produk vulkanik.

Daerah penelitian ini didominasi oleh

batuan produk vukanik yang tersebar

cukup luas. Batuan produk vulkanik ini

umumnya terdiri dari aliran lava dan

kubah-kubah vulkanik (Setiawan dkk,

2010). Satuan tertua di daerah ini adalah

Satuan Vulkanik Walimbong (Tvw),

secara berurutan diikuti oleh, Andesit

feldspatoid (Tf), Andesit Porfir (Tp),

Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian (Modifikasi Setiawan dkk, 2010)

Page 5: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Vulkanik tak terpisahkan (Tvt), Lava

andesit basaltik Buttu Bobongbatu (Tls),

Lava trakhit Buttu Pakkedoang (Tlp), Lava

andesit basaltik Buttu Sawergading (Tls),

Lava andesit Buttu Butu (Tlb), Lava

andesit Buttu Talaya (Tlt), Lava andesit

Buttu Dambu (Tld), Lava andesit Buttu

Kamande (Tlk), Aluvium (Qal) (Gambar

2).

Daerah penelitian terdiri dari banyak

pola struktur patahan. Setidaknya terdapat

tujuh struktur utama. Pada beberapa

struktur tersebut terdapat manifestasi air

panas seperti pada pola struktur N50-

60°E/ N230-240°E dan pola struktur N80-

90°E/ N260-270°E Kemunculan

manifestasi air panas di daerah penelitian

ini merupakan indikasi adanya suatu

sistem panasbumi di bawah permukaan.

Sesar-sesar minor yang mengikuti sesar-

sesar mayor telah menjadi jalan bagi fluida

hidrotermal. Pola-pola sesar yang amat

banyak terlihat pada peta yang

mengindikasikan bahwa terdapat zona

resapan dengan permeabilitas tinggi yang

menunjukkan daerah prospek panasbumi

di sekitar kemunculan mata air panas.

Mineral-mineral yang muncul pada

suatu sistem panasbumi dapat memberikan

informasi mengenai suhu bawah

permukaan (Gambar 3). Di sekitar daerah

penelitian, mineral montmorillonite,

smektit, dan saponit diketahui muncul

pada kedalaman 189 mKU hingga 320,45

mKU. Data ini diketahui dari hasil survei

landaian suhu Fahilla dkk (2016).

Mineral-mineral tersebut merupakan

ubahan dari batuan andesit. Berdasarkan

kehadiran mineral tersebut, maka diketaui

bahwa zona sampai kedalaman 320,45

mKU adalah zona smektit yang sebanding

dengan zona argilik. Mineral-mineral ini

memberikan petunjuk bahwa suhu di

bawah permukaan suhu diperkirakan

antara 100-150°C.

Lebih dalam lagi, hasil survei landaian

suhu menunjukkan kehadiran mineral-

mineral klorit, smektit, serta dijumpai pula

mineral silika, urat kalsit, dan oksida besi

pada kedalaman 320,45mKU hingga 702

mKU. Berdasarkan kehadiran mineral-

mineral tersebut maka pada kedalaman ini

masuk ke dalam zona sub-propilitik atau

setara dengan argilik lanjut. Kemunculan

mineral klorit mengindikasikan bahwa

suhu pada kedalaman 320,45mKU - 702

mKU diperkirakan lebih dari 200oC.

Gambar 3. Mineral - mineral alterasi yang umum muncul dan kisaran temperaturnya

pada sistem panasbumi (Henley and Ellis, 1983 dalam Shikazono, 2003)

Page 6: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

TINJAUAN GEOKIMIA

Data geokimia menunjukkan bahwa

air panas di daerah penelitian termasuk

tipe klorida. Hal ini didasarkan pada

diagram segitiga Cl-SO4- HCO3 (Gambar

4). Air bertipe klorida umumnya

menunjukkan adanya hubungan antara

manifestasi di permukaan dengan air dari

reservoir. Kehadirannya menjadi petunjuk

bahwa di bawah permukaan terdapat zona

permeabel. Indikasi ini didukung oleh

tingginya temperatur air panas di

permukaan yang ber-pH netral (Setiawan

dkk, 2010).

Air panas daerah penelitian terletak

pada zona zona partial equilibrium pada

diagram segitiga Na-K-Mg (Gambar 5).

Zona partial equilibrium merupakan

indikasi adanya pengaruh air permukaan

pada pembentukan mata air panas sesaat

setelah terjadi interaksi antara fluida

panas dengan batuan yang dilaluinya

(Setiawan dkk, 2010).

Semua mata air panas daerah

penelitian terletak di zona tengah dari

diagram segitiga Cl, Li, B (Gambar 6).

Keberadaan semua air panas terletak pada

zona tengah merupakan indikasi bahwa

bahwa air panas telah berinteraksi dengan

sistem panas bumi di bawah permukaan

sebelum muncul sebagai manifestasi di

permukaan.

Pada sistem telah terjadi interaksi

antara fluida panas bumi dengan batuan

yang menyebabkan terjadinya pengkayaan 18

O (Setiawan dkk, 2010). Hal ini terjadi

karena reaksi substitusi oksigen 18 dari

batuan dengan oksigen 16 dari fluida

panas pada saat terjadi interaksi fluida

panas dengan batuan sebelum muncul ke

permukaan. Besar kemungkinan bahwa

air panas (MAP-2) berasal dari fluida

panas sistem panasbumi, sedangkan

pengaruh pengenceran oleh air permukaan

sangat jelas terhadap air panas (MAP-1).

Hal ini diindikasikan dari posisi MAP-1

mendekati meteoric water line (MWL)

dan air permukaan ditunjukkan oleh posisi

air dingin pada garis MWL (Gambar 7).

Gambar 4. Diagram segitiga Cl-SO4-HCO3 air panas daerah penelitian (Modifikasi

Setiawan dkk, 2010)

Page 7: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Gambar 5. Diagram segitiga Na-K-Mg air panas daerah penlitian (Modifikasi Setiawan,

2010)

Gambar 6. Diagram segitiga Cl-Li-B air panas daerah penelitian (Modifikasi Setiawan,

2010)

Page 8: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Gambar 7. Diagram Isotop daerah penelitian (Modifikasi Setiawan, 2010)

HASIL PENELITIAN

Pengukuran MT dilakukan pada

25 tempat dengan arah lintasan relatif

berarah barat laut-tenggara. Penentuan

titik ukur MT berdasarkan analisis data

penelitian terdahulu. Dari penelitian

terdahulu maka dapat ditentukan daerah

prospek panasbumi. Penentuan arah

lintasan MT pada penelitian ini

berdasarkan pada data struktur geologi

(sesar). Arah lintasan dibuat memotong

arah sesar (patahan) yang relatif berarah

N60oE yang mengontrol kemunculan mata

air panas daerah penelitian. Dari 25 titik

ini, ada tiga lintasan yang dianalisis untuk

menentukan ketebalan lapisan penudung

sistem panasbumi non-vulkanik.

Analisis Lintasan-1 Lintasan-1 (L-1) membentang

sepanjang ± 7 km dengan arah lintasan

barat laut tenggara (Gambar 8). Data

RMS error lintasan ini adalah 2,45%.

Terdapat lima titik ukur pada lintasan ini

yaitu MT-24, MT-08, MT-07, MT-12.

Berdasarkan model 2-D MT terlihat jelas

kontras warna kuning-oranye, hijau dan

biru. Kontras warna kuning-oranye

merupakan nilai tahanan jenis rendah

yaitu ≤ 50 Ohm.m. Nilai tahanan jenis

rendah diperkirakan sebagai batuan

penudung sistem panasbumi ini.

Karakteristik lapisan terlihat menebal ke

arah barat laut dan tenggara dan sedikit

menipis di bagian tengah lintasan. Pada

bagian tenggara dan barat laut, batuan

penudung diperkirakan mempunyai

ketebalan ± 1000 m dari permukaan.

Lapisan penudung pada bagian tengah

diperkirakan hanya berkisar ± 700 m atau

lebih tipis lagi. Pada peta geologi, lapisan

penudung ini merupakan batuan produk

vulkanik yaitu fomasi Vulkanik Tak

Terpisahkan (Tvt).

Page 9: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Gambar 8. Penampang Tahanan Jenis 2-D Lintasan 1

Analisis Lintasan-2 Lintasan-2 (L-2) terdiri dari lima titik

ukur yaitu MT-24, MT-08, MT-07, MT-

12 dan MT-17. Lintasan ini membentang

sepanjang ± 7 km (Gambar 9). Data RMS

error lintasan ini adalah 2,65% yang

nilainya tidak jauh berbeda dengan

lintasan 1. Nilai RMS error ini

menunjukkan bahwa selisih antara data

pengukuran dan data hasil perhitungan

mempunyai selisih yang tidak jauh

berbeda. Seperti halnya L-1, nilai tahanan

jenis rendah ditandai dengan warna

kuning-oranye mendekati merah yang

mempunyai nilai ≤ 50 Ohm.m. Tahanan

jenis rendah ini diinterpretasikan sebagai

lapisan penudung sistem panasbumi.

Lapisan ini mempunyai karakteristik

mirip dengan Lintasan-1 yaitu menebal ke

arah barat laut dan tenggara dan lebih tipis

pada bagian tengahnya. Pada bagian barat

laut dan tenggara lapisan diperkirakan

±900-1000 m atau lebih. Pada bagian

tengah, lapisan ini diperkirakan hanya

mencapai ±500 m. Pada lapisan penudung

terlihat degradasi warna diskontinu.

Diskontinu warna ini merupakan indikasi

adanya patahan.

Gambar 9. Penampang Tahanan Jenis 2-Dimensi Lintasan 2

Page 10: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Analisis Lintasan 3

Seperti lintasan-lintasan

sebelumnya, Lintasan-3 (L-3) juga

berarah barat laut-tenggara dengan

panjang ±7 km (Gambar 10). Pada

lintasan ini terdapat lima titik ukur yaitu

MT-25, MT-27, MT-11, MT-11A dan

MT-16. Data RMS error lintasan ini

adalah 3,20 %. Pada lintasan ini muncul

manifestasi berupa mata air panas. Data

geokimia penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa mata air panas ini

berjenis klorida. Jenis ini merupakan

indikasi mata air panas berasal dari

reservoir sistem atau tepat berada dibawah

lapisan penudung.

Tidak berbeda dengan lintasan

sebelumnya, lapisan penudung lintasan ini

juga diinterpretasikan mempunyai nilai

tahanan jenis ≤ 50 Ohm.m yang ditandai

oleh warna kuning-merah. Lapisan ini

memiliki ketebalan 500-1000 m. Lapisan

penudung cenderung menipis pada bagian

tengah. Karateristik ini mirip dengan

lintasan-lintasan sebelumnya (Lintasan 1

dan Lintasan 2).

Gambar 10. Penampang Tahanan Jenis 2-Dimensi Lintasan 3

PEMBAHASAN

Ketebalan Batuan Penudung Sistem

Panasbumi Non-Vulkanik

Berdasarkan pemodelan 2-D

Metode MT maka diketahui bahwa batuan

penudung sistem panasbumi non-vulkanik

di daerah penelitian ini berkisar antara

500-1000 m seperti yang ditunjukkan pula

pada peta tahanan jenis per kedalaman

(Gambar 11). Jika dibandingkan dengan

sistem vulkanik, maka ketebalan batuan

penudung sistem non-vulkanik cenderung

lebih tipis. Tidak hanya ketebalannya,

nilai tahanan jenis sistem non-vulkanik

juga relatif berbeda. Jika pada sistem

vulkanik, nilai tahanan jenisnya berkisar

0-10 Ohm.m. Nilai tahanan jenis rendah

pada batuan penudung disebabkan oleh

mineral alterasi penyusun batuan yang

berupa lempung yang mempunyai

karakteristik nilai tahanan jenis rendah .

Pada sistem non-vulkanik, nilai tahanan

jenis batuan penudung cenderung lebih

tinggi. Pada seluruh lintasan terlihat

bahwa nilai tahanan jenis batuan

penudung ≤ 50 Ohm.m. Nilai tahanan

jenis 50 Ohm.m, pada sistem vulkanik

umumnya menunjukkan batuan reservoir

(Johnston, dkk, 1992). Besar

kemungkinan bahwa lapisan reservoir

pada masa lampau telah terangkat dan

teralterasi ulang sehingga menjadi batuan

penudung pada hari ini. Bukti bahwa

reservoar telah teralterasi menjadi batuan

penudung adalah ditemukannya mineral

lempung pada survei landaian suhu

disekitar daerah penelitian. Lapisan

penudung ini merupakan hasil alterasi

argilik batuan andesit dari Satuan

Vulkanik Tak Terpisahkan (Tvt).

Page 11: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

Gambar 11. Peta tahanan jenis hasil pemodelan 2-D kedalaman bervariasi

Page 12: Mine Magazine (MineMagz) - ojs.umb-bungo.ac.id

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemodelan 2-D Data MT dapat

mendeteksi ketebalan batauan

penudung sistem panasbumi non-

vulkanik dengan cukup baik. Dari

pemodelan ini diketahui bahwa

batuan penudung sistem non-

vulkanik ini memiliki nilai tahanan

jenis mencapai 50 Ohm.m.

2. Batuan penudung ini merupakan

hasil alterasi dari batuan reservoir

di masa lampau. Sehingga

karakteristiknya sedikit berbeda

dengan sistem panasbumi vulkanik.

Nilai tahanan jenis batuan

penudung sistem non-vulkanik

cenderung mirip dengan nilai pada

reservoir sistem vulkanik.

3. Pada sistem non-vulkanik batuan

penudung cenderung lebih tipis

dibandingkan dengan sistem

vulkanik. Pada sistem non-vulkanik

ini ketebalan batuan penudung

diperkirakan kurang dari 1000 m.

Pada beberapa lintasan

menunjukkan kurang dari 700 m.

DAFTAR PUSTAKA

Fahillah, Adzka., Patonah, A.,

Simarmata S, L.Lubertus.,

2016., Bulletin of Scinetific

Contribution, Volume 14,

Nomor 3, Desember 2016: 287-

294

Grandis, Hendra. 2010. Metode

Magnetotellurik (MT).

Huenges Ernst, 2010, Geothermal

Energy Systems; Exploration,

Development, and Utilization,

Wiley-Vch. Germany

Hermawan, Dudi, 2015. Sistem Panas

Bumi Non-Vulkanik di Sulawesi

, Pusat Sumber Daya Geologi-

Badan Geologi, Bandung

Johnston, J.M., Pellerin, L., dan

Hohmann, G.W., 1992.

Evaluation of Electromagnetic

Methods for Geothermal

Reservoir Detection.

Geothermal Resources Council

Transactions, 16, h. 241-245.

Kasbani, 2009, Sumber Daya Panas

Bumi Indonesia: Status

Penyelidikan, Potensi dan Tipe

Sistem Panasbumi, Pusat

Sumber Daya Geologi, Badan

Geologi, Bandung

Ratman, N., Atmawijaya,S., 1993, Peta

Geologi Lembar Mamuju,

Sulawesi, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi,

Bandung

Risdianto, D., Permana, L.N., Wibowo,

A.E.A., Sugianto, A.,

Hermawan,D., 2015. Sistem

Panas Bumi Non-Vulkanik di

Sulawesi , Pusat Sumber Daya

Geologi-Badan Geologi,

Bandung

Saptaji, N.M, 2001, Teknik Panas Bumi,

Institut Teknologi Bandung,

Departemen Teknik

Perminyakan, Fakultas Ilmu

Kebumian dan teknologi

Mineral, Bandung

Setiawan, D.I, Soetoyo,Rezky, Y. 2010.

Pusat Sumber Daya Geologi-

Badan Geologi, Bandung

Shikazono, Naotatsu, 2003.

Geochemical and Tectonic

Evolution of Arc-Backarc

Hydrothermal Systems. Elsevier

Science. B.V. Netherland

Simpson,F., dan Bahr,K. 2005 .

Practical Magenetotelluric.

Cambridge University Press

Sompotan, A.F, 2012, Struktur Geologi

Sulawesi, Perpustakaan Sains

Kebumian Institut Teknologi

Bandung, Bandung