MINAT BACA RENDAH, TANTANGAN BAGI ARpUS · MINAT BACA RENDAH, TANTANGAN BAGI ARpUS. DINAS...

12
WWW.ARPUS.ACEH.GO.ID MENUJU ACEH CARONG DAN BERTAMADUN NOMOR 1 EDISI 1 FEBRUARI 2019 TELAH LAHIR, FORUM MASYARAKAT LITERASI ACEH Razuardi memprakarsai lahirnya sebuah komunitas literasi yang ia namakan Forum Masyarakat Literasi Aceh, Formula. 02 03 THE FLOATING SCHOOL ACEH, BERLAYAR UNTUK MENGABDI Program TFS Aceh ini dipersiapkan dengan serius; mengandalkan data survei, monitoring, bahkan evaluasi. GELIAT LITERASI DI HULU SUNGAI KLUET Kedatangan relawan 3R ke daerah bekas konflik ini bagai kilau cahaya emas yang membuka cakrawala anak-anak di gampong tersebut. 06 JUAL TANAH WARISAN DEMI SELAMATKAN MANUSKRIP ACEH Manuskrip yang ia koleksi ditulis dalam bahasa Arab, Melayu (Arab Jawi), dan Aceh 10 POLESAN MAHASISWA ISBI PERCANTIK WAJAH KOTA Ide mempercantik kawasan kumuh dengan lukisan mural berasal dari mahasiswa ISBI yang berkampus di Jantho, Aceh Besar. 11 MINAT BACA RENDAH, TANTANGAN BAGI ARPUS

Transcript of MINAT BACA RENDAH, TANTANGAN BAGI ARpUS · MINAT BACA RENDAH, TANTANGAN BAGI ARpUS. DINAS...

www.ARPUS.ACEH.GO. id

MENUJU ACEH CARONG DAN BERTAMADUN

NOMOR 1 EDISI 1

FEbRUARi 2019

Telah lahir, Forum masyarakaT liTerasi aceh

Razuardi memprakarsai lahirnya sebuah komunitas literasi yang ia namakan Forum Masyarakat Literasi Aceh, Formula.

02 03

The FloaTing school aceh, Berlayar unTuk mengaBdi

Program TFS Aceh ini dipersiapkan dengan serius; mengandalkan data survei, monitoring, bahkan evaluasi.

geliaT liTerasi di hulu sungai klueT

Kedatangan relawan 3R ke daerah bekas konflik ini bagai kilau cahaya emas yang membuka cakrawala anak-anak di gampong tersebut.

06

Jual Tanah Warisan demi selamaTkan manuskrip aceh

Manuskrip yang ia koleksi ditulis dalam bahasa Arab, Melayu (Arab Jawi), dan Aceh

10

polesan mahasisWa isBi percanTik WaJah koTa

Ide mempercantik kawasan kumuh dengan lukisan mural berasal dari mahasiswa ISBI yang berkampus di Jantho, Aceh Besar.

11

MINAT BACA RENDAH, TANTANGAN BAGI ARpUS

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 201902 VARIA LITERASI

Pengarah: drh. IrwandI Yusuf, M. sc.; H. Ir. nova IrIansYaH, M.T.; Ir. HelvIzar IbraHIM, M.si. | Penanggung Jawab: Dr. WilDan, M. Pd. | PemimPin redaksi: ihan nurDin | redaktur: herMan rn | rePorter: ayu ‘ulya, raiyana Putri, yelli SuStarina | FotograFer: hayatullah PaSee | tata Letak: iqbal riDha | konsuLtan media: yarMen DinaMika.

ta b lO i D

aLamat redaksi/sirkuLasi: Tabloid Iqra, Kompleks Gedung dinas Perpustakaan dan Kearsipan (dispusip) aceh, Jalan T. nyak arief, banda aceh, Provinsi aceh, Indonesia. teLePon: 0651-7552323. emaiL: [email protected]. website: www.arpus.acehprov.go.id.

tabloid iqra diterbitkan oleh dinas Perpustakaan dan Kearsipan aceh. redaksi menerima kritik, saran, opini, dan kontribusi naskah, ilustrasi, dan foto/gambar terkait misi tabloid untuk menyosialisasikan hal-hal terkait literasi dan kearsipan di berbagai aspek sebagai bagian dari upaya membangun sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, dan mencerdaskan dalam rangka mewujudkan aceh Carong, aceh Meuadab, aceh Hebat, dan sIaT. syarat: lampirkan fotokopi/scanning identitas diri (KTP/sIM) dan pernyataan keaslian naskah/gambar/foto/ilustrasi minimal 300 dpi. naskah/gambar/foto dikirimkan dalam bentuk elektronik.

Telah Lahir, Forum Masyarakat Literasi Aceh

BANDA ACEH - Se-buah ide brilian diga-gas Ir. Razuardi, M.T., pelukis merangkap arsitek yang sejak

16 Januari 2019 ditunjuk Pelak-sana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, M.T., sebagai Plt Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS). Ide tersebut bukan di bidang lukis-menulis maupun turisme yang merupakan core usaha di Sa-bang, melainkan tentang literasi. Razuardi memprakarsai lahirnya sebuah komunitas literasi yang ia namakan Forum Masyarakat Literasi Aceh, disingkat Formula.

Formula–meski akronim ini tak begitu pas--dideklarasikan pada Sabtu, 26 Januari 2019 pagi, persis sepuluh hari setelah Razuardi menjabat Plt Kepala BPKS. Agar merakyat dan ra-mai yang hadir, Essex, demikian panggilan akrab Razuardi, me-milih tempat deklarasi Formula di sebuah kafe. Tepatnya di Ara-bica Seulawah Coffee, Beurawe, Banda Aceh. Hampir 200 tamu

undangan menghadiri deklarasi yang dirangkai dengan Diskusi Literasi Aceh itu. Tema yang di-usung pun menarik, Sejarah yang Tak Tertuliskan.

Ia mengundang empat pem-bicara dalam diskusi itu, yakni Prof. Dr. Samsul Rizal, M.Eng (Rektor Universitas Syiah Kuala), Azhari Aiyub (Penulis Novel Kura-kura Berjanggut dan juga Redaktur Budaya Harian Ser-ambi Indonesia), Alkaf (peneliti dan penulis sejarah dan budaya), serta Pemimpin Umum Harian Serambi Indonesia, Sjamsul Ka-har yang diwakili oleh Redaktur Pelaksana Yarmen Dinamika.

Mengawali acara, Essex me-maparkan beberapa alasan men-gapa ia bersama sejumlah teman, di antaranya Hendro Saky, jurna-lis, membentuk Formula. Man-tan sekretaris daerah Bireuen dan Aceh Tamiang ini ingin di Aceh tumbuh mekar dan mel-uas budaya literasi. Literasi yang, menurutnya, mencerdaskan dan menjauhkan Aceh dari julukan Serambi Hoaks, mengingat Aceh

termasuk tiga besar provinsi pal-ing hoaks se-Indonesia, selain Banten dan Jawa Barat, berdasar-kan riset Lembaga Ilmu Penge-tahuan Indonesia (LIPI), Januari 2019.

Melalui Formula ia juga in-gin minat baca orang Aceh, teru-tama di kalangan milenialnya, meningkat. Untuk itu, Formula akan melakukan pelatihan dan diskusi-diskusi rutin yang akan merangsang habituasi (pem-biasaan) berliterasi di kalangan generasi muda.

Essex juga mengakui bahwa pembentukan Formula terin-spirasi dari kiprah Forum Aceh Menulis (FAMe) yang terbentuk 16 Agustus 2017 dan sudah mem-punyai lebih dari 1.300 anggota yang tersebar di sepuluh kabu-paten/kota di Aceh. Ia targetkan Formula pun akan memiliki ca-bang-cabang (chapter) di seluruh Aceh, sehingga Formula benar-benar merupakan forumnya masyarakat Aceh di bidang liter-asi. Bagi Essex, semakin banyak komunitas literasi yang bergiat

di Aceh maka semakin banyak warga Aceh yang terdampak dan tercerahkan oleh budaya literasi.

Sebagai pembicara pertama dalam diskusi itu, Rektor Un-syiah, Prof Samsul Rizal men-gungkapkan bahwa orang Aceh dan Indonesia umumnya kurang terbiasa menghabiskan waktu-nya dengan membaca buku dan referensi-referensi ilmiah. Ia ku-tip data dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI bahwa rata-rata orang Indonesia hanya mem-baca buku sebanyak tiga hingga empat kali dalam seminggu den-gan durasi baca setiap hari antara 30-60 menit. Jumlah buku yang berhasil ditamatkan dalam seta-hun pun hanya lima hingga sem-bilan buku.

Berdasarkan survei yang di-lakukan Unesco tahun 2016, mi-nat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang diriset. Indonesia berada di anta-ra Thailand dan Botswana (nega-ra di selatan Afrika). Sedangkan Finlandia menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasi tertinggi.

Di kampus-kampus di Aceh, menurut Samsul, budaya liter-asi sebetulnya bukanlah barang baru. Insan kampus sudah terbia-sa menggeluti berbagai sumber literasi pada setiap mata kuliah yang mereka ikuti. Intensitas ini dengan sendirinya meningkat menjelang akhir masa studi kare-na pada saat itu para mahasiswa diwajibkan menyusun tugas akh-ir atau skripsi secara mandiri.

Melalui berbagai media so-sial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan berbagai media online lainnya, para insan kam-pus juga bergelut dengan literasi, meskipun itu terkesan hanya sekadar menyalurkan hobinya. Tapi sayangnya, media sosial dan semacamnya itu relatif kurang terpercaya sebagai sumber lit-erasi. Uji kelayakan informasinya pun tak selalu terproses dengan benar.

Meski demikian, media sosial sudah telanjur menjadi salah satu sumber literasi utama masyara-kat, tak terkecuali insan kampus. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh beberapa kalangan untuk menyebar informasi yang berisi berbagai kebohongan. Penyeba-ran berita bohong itu bukan tan-pa tujuan. Paling tidak, beberapa kalangan berencana membuat kebingungan (anomali) dalam

masyarakat melalui ketidakvali-dan informasi yang tersedia. “Se-cara tidak langsung, hal ini berke-mungkinan memberi pengaruh negatif terhadap budaya literasi,” kata Samsul.

Ia merekomendasikan ma-syarakat Aceh belajar dari habit-uasi (pembiasaan) membaca di kalangan masyarakat Finlandia yang dimulai sejak SD. Para murid SD di sana, kata Samsul, tidak dituntut langsung mem-baca buku-buku pelajaran yang notabene mungkin terlalu serius bagi mereka, melainankan dibia-sakan dengan buku-buku cerita yang sesuai dengan tingkat usia mereka.

Proses ini, kata Samsul, bu-kan saja membantu para murid sejak kecil untuk bebudaya lit-erasi tinggi, akan tetapi juga akan membentuk pola pikir mereka sesuai dengan tingkat usianya. Jika kebiasan sejak kecil ini terus terjaga dengan sumber literasi yang selalui sesuai dengan usia maka sama sekali tidak sulit ba-gia mereka menyesuaikan diri dengan kebutuhan literasi pada saata mereka beradi di perguruan tinggi atau pun ketika mereka su-dah bekerja.

Sementara itu, Azhari Aiyub menggarisbawahi bahwa mem-baca yang merupakan bagian dari literasi haruslah menjadi bu-daya di Aceh. “Tapi membaca itu haruslah berkualitas. Durasinya lama, mendalam, dan paham apa yang dibaca,” ujarnya.

Yarmen Dinamika meni-lai, budaya literasi di kalangan pemuda Aceh masih rendah. Terbukti masih sangat jarang mahasiswa dan pelajar yang menulis artikel opini di media massa di Aceh. “Padahal, Har-ian Serambi Indonesia mem-prioritaskan pada setiap Sabtu pemuatan opini dari mahasiswa S1 agar kaderisasi penulis tetap berjalan. Tapi untuk mendapat-kan dua artikel saja dari maha-siswa dalam seminggu susahnya bukan main. Berharap dari pela-jar malah lebih parah lagi,” kata Yarmen.

Pembina Forum Aceh Men-ulis (FAMe) ini juga menyarank-an agar Formula menjadwalkan diskusi rutin tentang literasi dan sebaiknya memprakarsai Gerakan Aceh Mengajar den-gan sasaran ke sekolah-sekolah agar budaya literasi semakin berkembang di kalangan pela-jar.[ika]

Redaktur Pelaksana Harian Serambi indonesia yang juga Pembina Forum Aceh Menulis (FAMe), Yarmen dinamika, sedang presentasi tentang literasi di kalangan pemuda Aceh pada diskusi Literasi Aceh, Sabtu (26/1/2019). (Foto: Ayu ‘Ulya)

NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 201903 KIPRAH

The Floating School Aceh, Berlayar untuk Mengabdi

LAPoRAN Ayu ‘ulyA

ARoMA khas pe-sisir pantai yang terbakar terik mentari sangat terasa petang itu,

Jumat, 21 Desember 2018 pukul 15.00 WIB. Kapal-kapal nelayan sandar sejak pagi di sepanjang Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh, karena Jumat merupakan hari pantang melaut di Aceh. Namun, aktivitas sebagian ne-layan yang hendak melaut seusai salat Jumat membuat suasana di pelabuhan itu hiruk pikuk.

Ada nelayan yang menaikkan es balok, jeriken berisi air bersih, minyak solar, alat tangkap, dan logistik untuk keperluan melaut beberapa hari. Ada pula barang dagangan dan hasil tangkapan di laut yang baru sempat diturunk-an dari dek kapal, lalu diangkat dan didorong beramai-ramai ke daratan.

Dalam sekejap, Pelabuhan Perikanan Samudra Kutaraja yang awalnya sunyi sejak pagi hingga salat Jumat, menjadi riuh rendah menjelang petang layaknya lokasi transit bandara. Lokasi ini menjadi tempat ber-tukarnya barang dagangan, hasil laut, dan pergantian penumpang yang menunggu giliran ditu-runkan di Kota Banda Aceh atau diantarkan menuju Pulo Aceh di kawasan Aceh Besar melalui jalur laut.

ka cabang program TFS kedua di Aceh, Rahmiana Rahman, me-maparkan bahwa tujuan utama program TFS Aceh ini diben-tuk adalah untuk memberikan akses/kesempatan pendidikan yang sama untuk semua anak.

“Kita berharap dengan had-irnya TFS di Pulo Breuh, anak-anak Pulo memiliki skill, ilmu, dan daya jual. Mereka mampu mengurus pulau yang mereka tempati sehingga kelak mereka dapat mencapai kemandirian,” kata Rahmiana.

Kak Amy, demikian sapaan akrabnya, juga menambahkan bahwa program TFS Aceh ini di-persiapkan dengan serius; men-gandalkan data survei, monitor-ing, bahkan evaluasi. Bersama keempat anggota timnya yang berasal dari Aceh, Trisna Mu-lyati, Zainuddin, Nurul Husna, dan Rizky Munazar, Kak Amy

berusaha memanfaatkan secara maksimal sejumlah kecil dana hibah pendidikan yang mereka dapatkan dari program Australia Grand untuk pendidikan anak-anak di Pulo Breuh.

Program TFS Aceh yang berbasis kerelawanan ini selalu merekrut para anak muda dari berbagai lini keahlian untuk ikut serta mengajar dan berbagi inspirasi secara sukarela kepada adik-adik Pulo di kelas komputer dan prakarya. Selama program berlangsung, kedua kelas TFS Aceh ini difasilitatori oleh Ekky, Gun, Ade, dan Rita. Keempat fasilitator tersebut bertanggung jawab mengisi materi di kelas selama enam bulan penuh. Ada-pun para relawan yang berhadir tidak diwajibkan untuk selalu ha-dir selama program. Mereka bisa mendaftarkan diri dan ikut serta dalam program ini pada waktu-waktu mereka sedang senggang.

Kembali ke suasana penu-tupan program TFS Aceh Batch I yang berlangsung empat hari tiga malam. Pameran tersebut berlangsung lancar dan meriah. Antusiasme masyarakat yang semakin tinggi serta kobaran semangat para anak-anak Pulo Breuh yang ingin terus belajar dan berkarya membuat banyak pihak berharap program ini tidak berhenti sampai di sini saja.

Beruntung, seakan teri-jabahnya doa dari puluhan hati, berdasarkan laporan hasil evalu-asi maka keberlanjutan program TFS Aceh sudah terkonfirmasi. Kak Amy menjelaskan bahwa program TFS Aceh mendapat sambutan dan antusiasme positif dari berbagai pihak sehingga pro-gram ini layak untuk dilanjutkan.

“Hasil evaluasi program TFS Aceh sebelumnya sangat posi-tif, kita berencana meneruskan program tersebut ke tahap lebih lanjut. Lokasi yang kita gunakan masih di Pulau Breuh, tapi den-gan skala peserta yang lebih luas. Target peserta tetap remaja Pulo dengan rentang usia 13-20 ta-hun,” tutup Kak Amy mengakhiri sesi wawancara.

Bergabung bersama TFS Aceh sungguh membawa ban-yak kenangan tersendiri bagi se-tiap relawan. Semisal, ketakutan saat berlayar di lautan lepas untuk pertama kali, terjalinnya perte-manan dan relasi antarsesama relawan, sambutan masyarakat Pulo Breuh yang ramah, pesona alam yang indah hingga peluang mengunjungi situs-situs sejarah yang menggugah di sana. Namun yang terpenting adalah pembela-jaran dan hikmah yang didapat-kan dari pancaran semangat dan harap para belia dan remaja Pulo Breuh yang begitu ingin untuk belajar lebih banyak lagi. Ya, keinginan mereka untuk berani bermimpi sedikit lebih tinggi.[]

***Petang itu, pukul 15.00 WIB,

sebuah kapal kayu bertolak dari Lampulo menuju Pulo Breuh, salah satu pulau dari dua bagian utuh Pulo Aceh di wilayah Aceh Besar.

Gerombolan relawan The Floating School Aceh tampak duduk berjejer memenuhi ge-ladak kapal kayu bagian depan. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Jika penumpang lebih ra-mai di sisi belakang kapal demi alasan mencari secuil bayangan atap agar tak kepanasan selama penyeberangan, maka mesin ka-pal akan berhenti berputar (sok). Maka, para relawan pun me-mosisikan diri demi keamanan perjalanan, sembari menikmati angin sepoi-sepoi dan peman-dangan indah lautan lepas tentu diselingi sengat mentari, selama lebih kurang dua jam hingga tiba di tempat tujuan, Pulo Breuh.

Ini merupakan perjalanan terakhir pascapengajaran enam bulan para relawan The Floating School (TFS) Aceh untuk anak-anak Pulo di Gampong Blang Situngkoh. Pelayaran kali ini berbeda dengan perjalanan TFS Aceh yang biasanya dilakukan setiap dua pekan. Pada pengu-jung program TFS Aceh kali ini, para relawan dan adik-adik asuh akan melakukan pameran karya dan pergelaran hasil kreasi yang telah mereka pelajari selama setengah tahun lalu.

Kelompok anak kelas pra-karya akan memamerkan ragam kreasi buatan tangan mereka selama enam bulan terakhir, ter-masuk hasil kreasi daur ulang beragam sampah pesisir pantai Pulo Breuh. Sedangkan kelom-pok anak kelas komputer akan melakukan presentasi dan pro-mosi Pulo Aceh melalui kreasi slide yang telah mereka rancang bersama jauh-jauh hari.

“Selama enam bulan menjadi fasilitator kelas komputer, senang campur haru rasanya mendapati adik-adik yang awalnya masih malu-malu belajar komputer, yang mengetik hanya menggu-nakan telunjuk, kini sudah mahir membuat slide dan mempresen-tasikannya di muka umum. Ini luar biasa,” tutur Rizki Akbar.

Menurut pria yang akrab dengan sapaan Ekky ini, kelas komputer sangat dibutuhkan oleh anak-anak di Pulo Breuh, mengingat pelajaran komputer (TIK) terdapat di kurikulum mereka. Namun, tidak ada pengajar maupun sarana untuk mempelajari skill tersebut.

Di era digital, ilmu komputer menjadi sangat penting, apalagi menyambut persaingan Revolusi Industri 4.0 seperti saat ini. oleh karena itu, TFS Aceh membuka kelas komputer untuk menun-jang kebutuhan tersebut bagi anak-anak Pulo Breuh.

Sementara itu, sang inisiator TFS asal Makassar yang membu-

Senang campur haru rasanya

mendapati adik-adik yang awal-

nya mengetik hanya menggu-

nakan telunjuk, kini sudah mahir

membuat slide dan mempresen-

tasikannya di muka umum. Ini

luar biasa.

RIZKI AKBARRELAwAn TFS

di PULO bRUEH

Para relawan The Floating School (TFS) Aceh berlayar menuju Pulau breuh. (Foto: Mutawakkil Asshidqi)

04 NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

Smong, Literasi Bencana Khas Simeulue

Anga linon ne mali (kalau gempanya kuat)uwek suruik sahuli (air surut sekali)Maheya mihawali, fano me singa tenggi (cepatlah cari tempat yang tinggi)Fesang smong kahanne… (datang tsunami namanya)…

Penggalan syair di atas dituturkan dalam bentuk inafi (cerita bertutur) dan diwar-iskan secara turun-

menurun untuk kemudian menjadi kearifan lokal (local wis-dom) di lingkungan masyarakat Simeulue.

Syair itu muncul setelah ta-hun 1907, karena pada tahun itulah Simeulue dilanda smong yang dalam bahasa Devayan bermakna air menggulung. Ma-syarakat Jepang menyebutnya tsunami. Kosakata Jepang ini pula yang kemudian disepakati ilmuwan dunia pada tahun 1964 untuk diadopsi sebagai nama dari peristiwa naiknya gelombang be-sar ke daratan, gelombang yang melampaui lantai pelabuhan.

Sebagai wilayah kepulau-an yang sebagian besar pen-duduknya bermukim di bibir pantai, smong yang terjadi di Simeulue itu mengakibatkan lebih dari separuh warganya me-ninggal.

Peristiwa itu ditulis dalam sebuah ensiklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909. Di situ dinukilkan bahwa di Simeu-lue sering terjadi gempa bumi ringan. Tapi pada tahun 1907 se-luruh daerah pantai barat dilanda ombak pasang yang cukup dah-syat yang menelan banyak kor-ban. Pada saat itu sejumlah besar kampung benar-benar hilang ditelan ombak besar tersebut. Masyarakat Simeulue kemudian menyebut ombak besar itu den-gan nama ‘smong’.

ter dari episentrum gempa juga memiliki talenta setajam ikan-ikan, burung, dan gajah dalam mengantisipasi gelombang tsunami. Sesaat setelah gempa berkekuatan 9,3 skala Richter itu terjadi, penduduk di pulau itu bergegas ke gunung-gunung dan dataran tinggi. Walau sebagian besar infrastruktur di pulau itu luluh lantak, tapi mereka sejak dini berhasil mencegah jatuhnya banyak korban jiwai. Terbukti, di Simeulue hanya tiga orang pen-duduk yang meninggal akibat smong. Satu orang di Teupah Selatan, dua orang di Langi, Ke-camatan Alafan.

KeArifAn trAdisionAlSayangnya, pengetahuan ten-

tang gempa besar bisa memicu tsunami itu tidak tersebar rata sebagai pengetahuan kolektif ma-syarakat Aceh. Istilah smong mau-pun tsunami sangat tidak populer di Aceh sebelum tahun 2004. Itu-lah sebab ketika air laut tiba-tiba surut sekitar satu kilometer dari bibir pantai Banda Aceh, anak-anak malah berhamburan ke laut bersuka cita memunguti ribuan ikan yang terkapar.

Nah, saat itulah bencana tiba. Gelombang setinggi pohon ke-lapa merangsek daratan sampai tiga kali, kemudian menghempas balik ke arah laut.

Sementara itu, di Simeulue, gugus kepulauan yang terdiri atas ± 41 buah pulau dan hanya berja-rak 41 mil dari episentrum gem-pa, warganya masih ingat akan nafi-nafi tentang smong setelah 97 tahun berselang. Inilah yang berhasil menekan minimnya jumlah korban jiwa di pulau itu.

Berarti, inafi smong telah menjadi kearifan tradisional di sana atau disebut juga sebagai literasi bencana khas masyara-kat Simelue. Bukan saja cerita tentang akibat yang ditimbul-kannya, tetapi gejala-gejala alam yang mendahului smong pun dinukilkan di dalam nafi-nafi itu. Misalnya, gejala-gejala alam yang menandakan akan datang smong adalah bilamana terjadi gempa yang disusul dengan surutnya air laut. Tanda lain jika usai gempa, hewan berlarian ke arah dataran yang lebih tinggi, semisal gunung atau perbukitan.

Literasi smong telah meng-hadirkan kemampuan bagi warga Simeulue untuk peka membaca keadaan dan memahami situasi. Inafi smong memberikan pem-belajaran kemudian menjadi

pengetahuan masyarakat tentang “tanda” terjadinya suatu bencana alam. Inafi smong menjadi kode alam lewat seperangkat proses sebagai alurnya, seperti diung-kapkan, “kalau gempanya kuat, air laut surut seketika, maka cepatlah cari tempat yang tinggi, karena akan datang smong (om-bak besar)

Inilah pelajaran paling ber-harga dari bencana smong ma-syarakat Simeulue dan bagi bang-sa Indonesia. Tindakan preventif dan sikap hati-hati harus menjadi standar kebijakan operasional. Kecuali itu, kita manusia seb-agai bagian dari ekosistem alam, harus mampu membaca isyarat alam, tanda-tandanya yang per-nah diajarkan para leluhur. Ini penting, agar kita tidak menjadi takabur.

Alam adalah guru yang melahirkan pengetahuan tradis-ional. “Takambang alam jadikan guru” (terbentang alam menjadi guru). Maka manusia harus ber-sahabat dengan alam, termasuk tidak menzalimi alam itu, seperti mengambil pasir laut dan terum-bu karang, merambah mangrove yang menjadi barrier terhadap abrasi dan intrusi air laut. Sebab dari perspektif sosiologi, bencana alam juga akibat perubahan so-sial yang dapat berwujud pe-rubahan perilaku, tata nilai, dan paradigma.

Setelah Simeulue dilanda bencana smong 1907, mindset dan perilaku masyarakatnya lebih waspada terhadap kemung-kinan datangnya smong di masa mendatang. Demikian juga hen-daknya sikap yang dikembang-kan oleh seluruh masyarakat Aceh, Indonesia,dan dunia. Dari Simeulue kita berguru.

Jadilah bangsa yang sadar, siaga, dan tangguh bencana. Tak perlu takut terhadap gempa, ang-gaplah itu ayunan belaka. Jangan takut pada tsunami, anggaplah itu air mandimu. Jadi, hiduplah berdampingan secara harmoni dengan bencana karena bangsa kita memang ditakdirkan seb-agai bangsa yang berada di jalur cincin api (ring of fire). Waspada tetap perlu, tapi tak perlu takut berlebihan. Mari belajar kesiap-siagaan menghadapi bencana dari masyarakat Simeulue.[]

Ampuh DevAyAnJURnALiS kELAHiRAn SiMEULUE, bERMUkiM

di bAndA ACEH

Peristiwa smong itu masih berbekas sampai saat ini di in-gatan dua saksi hidup. Yakni, Nurisah (107 tahun) dan Iskan-dar (103 tahun). Dua kakak bera-dik penduduk Salur, Kecamatan Teupah Barat, ini mengaku pada saat itu masing-masing berusia sembilan dan lima tahun.

“Masa itu kami di gunung. Rumah kami di situ. Waktu itu musim padi, air laut dikabarkan surut, lalu orang-orang memun-gut ikan di dasar laut,” kenang Iskandar.

Meskipun Nurisah dan Is-kandar melihat langsung akibat yang ditimbulkan smong pada masa itu, tapi keduanya men-gaku tidak melihat langsung fenomena surutnya air laut yang kemudian disusul dengan terjan-gan gelombang dahsyat. Mereka hanya mendengar cerita itu dari orang tuanya, karena saat itu Nurisah dan Iskandar tinggal di kawasan pegunungan yang jauh dari bibir pantai.

Lalu, simak pula kisah Benu Hatar (65). Ayahnya yang peda-gang pada hari kejadian, Jumat, 14 Januari 1907 setelah salat Ju-mat, sedang berada Sinabang, pusat kota Simeulue. Maka dia tahu persis tanggal dan waktu terjadinya smong. Kabarnya, smong tahun itu dipicu oleh gempa yang pusatnya di perairan Salur, Kecamatan Teupah Barat.

Sangat banyak korban jiwa dan harta benda, karena kaum muslim sedang salat Jumat dan warga lainnya pun pada hari Jumat banyak yang turun ke ibu kota. Begitu salat Jumat selesai air pun surut dan ikan menggelepar-gelepar di pinggir laut, lalu warga ramai-ramai menuju pinggir laut memungut ikan. Tak lama ber-selang tiba-tiba air laut menggu-lung mereka.

Pascaperistiwa yang me-nyayat hati itulah kisah smong se-lalu disampaikan dalam bentuk inafi oleh nenek atau mak kepa-da kami. Atau terkadang dalam bentuk nanga-nanga, semacam pantun yang mayoritas putra Simeulue menghafalnya, yaitu:Kilek, suluh-suluhmolai’ (bubuk) kedang-kedangmolinon uak-uakmusmong dumek-dumekmo(Kilat itu suluh (penerang)-mu; petir jadi gendang-gendangmu; gempa jadi ayunanmu; tsunami jadi permandianmu).

Nah, kenangan akan inafi maupun nanga-nanga itu kem-bali hidup dalam alam kesada-

ran saya sesaat setelah pada pagi Minggu 26 Desember 2004 itu gempa dahsyat mengguncang Aceh. Sebagai putra Simeulue yang berdomisili di Banda Aceh, saya instruksikan istri dan anak-anak saya agar tidak ke luar rumah sebelum mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk dibawa dan pergi mencari tempat yang tinggi.

Saat itu, saya ajak anak dan istri menuju Blang Bintang, ka-wasan bandara yang berada di Aceh Besar. Namun, istri saya yang berasal dari Aceh Utara secara spontan berkata ketus, “Hana meu’oh.” (Alah, buat apa?)

Sebagai kepala keluarga, saya tetap memaksakan mereka segera naik ke mobil. Akhirnya, dengan berbekal beberapa bung-kus roti kering dan air mineral kami pun sampai ke Blang Bin-tang, Aceh Besar.

Upaya saya lari ke dataran tinggi tak lain karena teringat kisah tentang smong. Kami ketika masih bocah sering dic-eritakan nenek atau mak bahwa, “Mali linon, fesang smong (Kalau ada gempa bakal disusul air bah).

Adagium tersebut menjadi petitih dan wasiat tak tertulis bagi masyarakat Simeulue sejak terjadinya smong tahun 1907.

Kenangan akan itu diperkuat pula dengan telepon seorang teman yang kebetulan kami sama-sama berasal Simeulue. Ia mengingatkan saya pagi itu bahwa berpeluang terjadi smong setelah gempa sedahsyat itu. Dan dalam hitungan menit setelah itu smong pun benar-benar terjadi. Mayoritas orang Aceh tak tahu bahwa itulah tsunami. Mereka hanya meneriakkan, “Air laut naik, air laut naik!”

Seorang penyelam asal Je-pang melaporkan bahwa satu jam sebelum tsunami menghan-tam daratan Aceh pada 26 De-sember 2004, dia sedang meny-elam di dekat Pulau Weh, antara Banda Aceh dan Sabang. Saat itu ia dengar gemuruh luar biasa dari kedalaman air dan melihat ikan-ikan besar sudah bersembunyi di gua-gua. Ini tanda-tanda alam.

Bukan hanya ikan di kedala-man laut, tapi burung di Tiong-kok dan gajah di Sri Lanka pun dapat mendeteksi lebih awal gejala tsunami saat itu yang menciptakan bencana kemanu-siaan di beberapa negara (Koran Surya, 31 Desember 2004).

Masyarakat di Pulau Simeu-lue yang hanya beberapa kilome-

ilustrasi. (iST)

oPINI

05 LAPoRAN UTAMA NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

Minat Baca Rendah, Tantangan bagi ArpusLAPoRAN yovAn servAndA

Sudah sering kita den-gar bahwa peringkat minat baca manusia Indonesia, tak terkecu-ali Aceh, rendah. Tapi

belum pernah ada riset di Aceh yang secara khusus mengulik seperti apa sesungguhnya gam-baran konkret dari minat baca yang rendah tersebut. Tahun lalu Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Arpus) Aceh, Dr. Wildan, M.Pd menggandeng Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr. Taufiq A Gani, S.Kom, M.Eng.Sc untuk memimpin tim riset tentang mi-nat baca di kalangan siswa SMA, ulama, dan tenaga profesional di Aceh. Nah, bagaimana hasilnya?

PrinsiP perencanaan yang baik, yakni evident based plan-ning (perencanaan haruslah berbasis data) sangat membekas di benak Dr. Wildan. Itu sebab, sejak ia memimpin Dinas Arpus Aceh pada awal Mei 2018, man-tan wakil rektor I Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh ini langsung ingin memulai kerja di dinas tersebut dengan meng-himpun data yang valid sebagai dasar baginya untuk bertindak atau merancang program pada tahun-tahun berikutnya.

“Data itu sangat penting. Bagaimana bisa saya bekerja dengan baik bila tak berdasarkan data? Untuk itu, perencanaan ke depan harus atas dasar evident based planning,” kata mantan wakil dekan Bidang Kemaha-siswaan dan Alumni FKIP Un-syiah ini, Senin (11/2/2019) di ruang kerjanya.

Karena memandang kedudukan data sangat penting dan strategis dalam perencanaan pembangunan, Wildan akhirnya membentuk satu tim riset yang diketuai Dr. Taufiq A Gani. Tim ini diberi mandat melakukan ka-jian minat baca di Aceh. Tujuan-nya untuk mengetahui gamba-ran umum kebiasaan dan minat baca masyarakat di Aceh saat ini.

Tujuan lainnya adalah untuk mengukur harapan dan keingi-nan para pengguna layanan per-pustkaan. Nah, tiga ketegori itu-lah yang dibutuhkan peneliti dari responden, yakni harapan peng-guna perpustakaan, kebiasaan membaca, dan minat baca.

Selaku ketua tim kajian, Dok-tor Taufiq kemudian merekrut sejumlah enumerator (petugas lapangan untuk mengumpul data survei). Ada enumerator yang berprofesi dosen pada FKIP

Unsyiah juga dosen pada Pro-gram Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry. Ada juga ahli statistik, jurnalis, di samping se-jumlah enumerator yang berasal dari Dinas Arpus Aceh sendiri.

Tim lalu berembuk untuk menentukan judul penelitian, periode penelitian, penentuan populasi, sampel, ruang lingkup, tujuan penelitian, serta teknik pengumpulan data. Akhirnya tim sepakat bahwa riset ini dina-makan Kajian Strategi Pening-katan Minat Baca Masyarakat di Kabupaten/Kota Se-Aceh. Ka-jian dilaksanakan sejak Agustus hingga September 2018. Sebab, setelah itu pada tahun yang sama akan ada lagi riset kedua, yakni untuk mengukur manfaat lay-anan perpustakaan keliling bagi masyarakat Aceh yang periode kajiannya juga dua bulan (Sep-tember-November 2018).

Tim kemudian sepakat bah-wa ruang lingkup penelitian ini se-Aceh. Namun, tidak dilaku-kan di semua (23) kabupaten/kota, melainkan dipilih kabu-paten/kota tertentu mewakili klaster daerah di Aceh yang sudah dikelompokkan berdasar-kan zonasi pada Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Ta-hun 2013-2033. Dalam qanun itu disebutkan adanya kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh atau Aceh Trade Distribu-tion Center (ATDC) yang terse-bar di enam zona, meliputi:a. Zona Pusat: Kota Sabang,

Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Pidie.

b. Zona Utara: Kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Ka-bupaten Aceh Tengah, dan Bener Meriah.

c. Zona Timur: Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa.

d. Zona Tenggara: Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Kota Su-bulussalam.

e. Zona Selatan: Kabupaten

Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Simeulue.

f. Zona Barat: Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Nagan Raya.Langkah berikutnya adalah

memilih unit sampel. List jumlah populasi dari semua kabupaten/kota untuk setiap zona diperoleh tim peneliti dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Selanjut-nya dihitung frekuensi kumulat-ifnya. Untuk setiap klaster dipilih sejumlah sampel menggunakan probability proportional to size (PPS). Dengan teknik ini di-peroleh sample size sebesar 292, lalu oleh tim peneliti dibulatkan menjadi 300 sampel.

Dengan memperhatikan zona rencana pengembangan Aceh tadi maka ditentukanlah banyaknya sampel yang dipi-lih secara proporsional terhadap wilayah dengan jumlah populasi terbesar di setiap zona.

Di zona pusat ditetapkan 64 sampel, zona utara 100 sam-pel, zona timur 52 sampel, zona tenggara 31 sampel, zona selatan 58 sampel, dan zona barat 26 sampel.

Kelompok masyarakat yang dilibatkan sebagai responden dalam riset ini adalah siswa (180 orang), ulama (30), dan tenaga profesional (90). Sebelum turun ke lokasi penelitian, tim terlebih dahulu menyusun kuesioner yang disesuaikan dengan spesi-fikasi responden.

Nah, setelah tim turun ke lapangan dan melakukan pene-litian dengan cara membagikan kuesioner, diperoleh data yang kemudian ditabulasi dan dianali-sis. Hasilnya, mayoritas respon-den mengaku minatnya mem-baca buku tinggi. Tapi itu hanya klaim sepihak, tidak diikuti den-gan perilaku yang menunjuk-kan bahwa minat baca mereka memang tinggi. Misalnya, dari 300 responden masih ada 11% yang dalam sebulan tak seka-lipun berkunjung ke pustaka, juga tidak membeli buku di toko buku, juga tak meminjam dari temannya.

Sebagian besar (89%) re-sponden datang ke pustaka justru karena ingin istirahat atau diajak teman, bukan untuk membaca. Hanya 3% di antara responden yang datang ke pustaka untuk membaca. 30 Persen responden malah tidak pernah sama sekali meminjam buku pustaka. Hanya 5% yang datang ke pustaka untuk meminjam buku.

Fakta ini sungguh masih jauh dari harapan Pemerintah Aceh untuk mewujudkan program nomor sembilan dari 15 program Aceh Hebat, yakni Aceh Carong. “Ini tentunya menjadi tantangan atau PR besar bagi Dinas Ar-pus Aceh maupun kabupaten/kota, mengingat pengemban-gan minat baca adalah bagian dari pelayanan perpustakaan di Aceh,” kata Dr. Taufiq A Gani saat mempresentasikan hasil ri-set tersebut di depan Kadis dan puluhan pegawai Dinas Arpus Aceh, Jumat (25/1/2019) pagi.

Ia juga menambahkan bah-wa ada 42% responden yang tidak pernah membaca buku saat akan mengikuti ujian. Se-dangkan sebagian lainnya tidak pernah membaca dengan alasan sibuk mengerjakan tugas.

“Penelitian ini semoga men-jadi arah strategis bagi pengem-bangan gerakan literasi informa-si di Aceh,” kata Taufiq.

Salah seorang peneliti, Dr. Bahrun, M.Pd, Dosen FKIP Unsyiah, menambahkan ko-mentarnya bahwa di Aceh minat baca juga terkait dengan politik. ”Untuk apa membaca, carong (pintar –red), dan sebagainya, toh yang mat kuasa awak lulu-san i miyuep bak trieng cit/Toh yang pegang kekuasaan justru mereka yang lulusan di bawah pohon bambu juga. Itu mitos di masyarakat Aceh, sekaligus juga fakta,” kata Bahrun.

Tapi Doktor Taufiq tak sepesimis itu. Salah satu yang membuat ia masih optimis adalah banyak responden yang datang ke pustaka karena dia-jak teman. Nah, teman tersebut harusnya dapat dijadikan role model bagi peer group atau ko-munitasnya agar saat berkunjung ke pustaka ia benar-benar dapat memengaruhi teman-temannya untuk membaca buku walau hanya beberapa menit. Jangan hanya ke pustaka karena ingin istirahat, merumpi, atau karena ada fasilitas wifi.

Jadi, menurut Taufiq, Dinas Arpus maupun pustakawan su-dah seharusnya mengembang-kan strategi peningkatan minat baca di kalangan siswa berbasis komunitas (base community).

Soalnya, dari riset terungkap bahwa siswa datang ke pustaka secara bergerombol, terutama untuk istirahat.

“Nah, tinggal kita arahkan saja agar kunjungan mereka ke pustaka secara bergerombol itu dimanfaatkan juga untuk mem-baca buku walau hanya beberapa menit,” kata Taufiq.

Ia juga menyarankan agar para duta, raja, dan ratu baca yang setiap tahun dipilih di Aceh, tidak hanya juara I-nya saja yang dilibatkan dalam kampanye peningkatan kegemaran mem-baca di kalangan kaum milenial. Tetapi libatkan juga semua yang masuk sebagai finalis agar sema-kin banyak duta baca yang meng-gelorakan kegemaran membaca di komunitasnya.

Selain itu, kata Taufiq, pihas Arpus maupun penanggung jaw-ab perpustakaan sekolah benar-benar berupaya memenuhi apa yang diinginkan para responden dalam penelitian itu. Pertama, mereka menginginkan sosok pustakawan haruslah profesion-al, ramah, dan melayani, bukan pustakawan yang cuek atau sibuk ber-hp ria.

Kedua, koleksi buku dan ba-han pustaka lainnya harus rutin diremajakan (diperbarui) agar tak out of date.

Ketiga, responden yang juga pemustaka mendambakan ruan-gan yang nyaman dan lengkap fasilitasnya. Mulai dari AC, tele-visi, wifi, mesin fotokopi hingga fasilitas lainnya yang dan

Selaku Kepala Dinas Arpus Aceh, Doktor Wildan sangat berterima kasih terhadap semua hasil penelitian itu. Ia anggap semua itu tantangan bagi dinas yang dipimpinnya dan mulai ta-hun ini tantangan tersebut akan dijawab satu per satu. Misalnya, akan digelar workshop untuk meningkatkan kualitas pelay-anan para pustakawan di Aceh, akan terus dilakukan perema-jaan dan penambahan koleksi, membuat ruang perpustakaan jadi senyaman mungkin, dan mengoptimalkan pelayanan iPustakaAceh.

“Tahun ini kita akan beli lagi ribuan buku digital se-hingga masyarakat Aceh tetap bisa mengakses dan membaca buku tanpa harus datang ke perpusatakaan,”kata Wildan.

Untuk penyediaan mesin fotokopi di ruang-ruang pustaka sekolah, Wildan memandang hal itu justru bisa menjadi pelu-ang bisnis bagi koperasi sekolah. “Tak semuanya harus menjadi beban Dinas Arpus kan?” kata Wildan.[]

Doktor Taufiq A Gani didampingi Kepala Dinas Arpus Aceh, Dr. Wildan sedang menyampaikan hasil riset minat baca di Aceh, Jumat (25/1/2019). (Foto: Yovan Servanda)

06 LAPoRAN UTAMA NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

LAPoRAN yelli sustArinA

SUDAH sangat lama Dusun Sarah Baru, Gampong Alur Ke-jruen, Kluet Tengah (Manggamat) di pedal-

aman Aceh Selatan tidak memi-liki perpustakaan desa atau ta-man bacaan masyarakat (TBM). Maklum, letak gampong ini ter-isolasi. Lalu kekosongan forum literasi di daerah penghasil pala ini diisi oleh para relawan guru impian dari Rumah Relawan

Remaja (3R). Tidak tanggung-tanggung,

mereka menyasar daerah pe-losok dan terkucil ini, Gampong Alur Kejruen. Kedatangan rela-wan 3R ke daerah bekas konflik ini bagai kilau cahaya emas yang membuka cakrawala anak-anak

di gampong tersebut, yaitu me-lalui sekolah alternatif yang di-beri nama Pustaka Kampung Impian.

Program yang berlangsung selama satu bulan ini dilakukan oleh para guru impian. Mereka mengajarkan anak-anak mem-

baca dan menulis. Kehadiran buku bacaan bagaikan emas bagi anak-anak di Sarah Baru. Mereka sangat antusias dan bersemangat menggali informasi dari buku-buku yang dibawa oleh para relawan, sama halnya dengan se-mangat orang-orang yang meng-

Temuan yang Menggembirakan

Riset tentang minat baca masyarakat Aceh yang dipra-karsai Dinas Per-pustakaan dan Ke-

arsipan (Arpus) Aceh pada ta-hun lalu itu tak semua hasilnya memprihatinkan. Beberapa hal positif dan menyiratkan kegem-biraan bahkan optimisme juga terungkap.

Misalnya, terkait kategori mi-nat membaca terungkap bahwa 25% atau 76 dari 300 responden sering membaca buku dengan alasan adanya keinginan yang besar untuk menambah penge-tahuan. Selain itu, 64% atau 192

responden pernah membaca buku dikarenakan tren yang sedang terjadi. Artinya, mereka tetap update informasi terhadap

isu-isu yang lagi aktual atau yang sedang menjadi trending topic di media massa maupun sosial me-dia.

baca di tempat sepi ketimbang membaca di tempat ramai (11%). Jadi, ketenangan dan kenyaman-an menjadi prasyarat penting dalam aktivitas membaca yang berkualitas.

Selain itu, dilihat dari aspek minat baca responden dalam kegiatan yang berhubungan den-gan literasi, salah satunya adalah mereka lebih sering membaca buku ketika ada waktu luang wa-laupun sudah bekerja. Persentase untuk kategori ini mencapai 47% atau 142 responden.

Fakta lain yang terungkap, kebiasaan responden suka meminjam buku temannya mencapai 61% ketimbang me-nyewa buku. Selain itu, televisi masih menjadi sumber utama bagi para responden dalam mendapatkan informasi har-ian.[ika]

Cara Mengukur Minat Baca

Rektor Universitas Syiah Kuala (Un-syiah), Prof. Dr. Samsul Rizal, M.Eng mengatakan, ada

persoalan besar yang dihadapi sebuah bangsa jika minat ma-syarakatnya untuk membaca buku sangat rendah. Ia prihatin karena minat baca rakyat Indo-nesia berada di peringkat 60 dari 62 negara yang diteliti.

Bahkan, menurutnya, ma-hasiswa sangat jarang bisa me-namatkan empat buku dalam sebulan. “Jangankan membaca, ke pustaka saja kadang jarang. Maka mereka harus dipaksa sampai terbiasa membaca,” kata Samsul Rizal ketika menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Literasi Aceh, Sabtu (26/1/2019) di Arabica Seula-wah Café, Beurawe, Banda Aceh. Ia menjadi salah satu dari empat narasumber dalam diskusi yang digagas oleh Forum Masyarakat Literasi Aceh (Formula) itu.

Lalu, bagaimana cara untuk

mengetahui kebiasaan dan mi-nat membaca seseorang? Para ahli literasi telah mengemuka-kan beberapa pendapat. Bahwa kebiasaan dan minat membaca dapat diukur dari tingkah laku harian seseorang yang terindi-kasi akan diikuti dengan kegiatan membaca (Harris, 1977 hlm. 424). Juga bisa diketahui dari jumlah buku yang ia pinjam dari perpustakaan, buku yang dibeli, dan catatan harian yang ia buat (Kibat, 1978: 16).

Selain itu, jumlah buku yang ada di rumah juga bisa menjadi salah satu indikator minat baca sepanjang koleksi buku itu me-mang dia baca, bukan Cuma dipajang (Layton, 1976: 269); di samping intensitas serta waktu yang digunakan (Witty, 1967: 259; Harris, 1967: 331). Wujud perilaku seseorang dalam mem-baca juga bisa dijadikan salah satu tolok ukur (Abd. Rahman, 1985: 11).

Merujuk pada pendapat

hami bacaan secara lebih baik.Marksheffel (1966: 69)

menjelaskan kriteria pembaca yang baik itu sebagai berikut: ti-dak pernah melalaikan kegiatan membaca, tidak hanya mencari bahan bacaan sewaktu ada tugas, tetapi juga setelah tugas selesai ia masih selalu berusaha mencari bahan bacaan.

Yang paling ditekankan Marksheffel dalam pendapatnya itu adalah kegiatan membaca hendaknya dilakukan di mana saja dan semua bahan bacaan hendaknya dibaca (menjadi pembaca yang lahap). Bahkan syarat untuk menjadi penulis yang hebat pun harus lebih dulu menjadi pembaca yang lahap.

Nah, sudahkah Anda men-jadi pembaca yang lahap? Atau jangan-jangan Anda adalah satu dari jutaan orang yang tergolong buta huruf (illiterate) pada abad 21, seperti dikatakan Alvin Toffler, futurolog terke-muka asal Amerika Serikat. Bahwa yang buta huruf pada abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa menulis dan mem-baca, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, tidak mau be-lajar, dan ogah belajar kembali. [yovan servanda]

Geliat Literasi di Hulu Sungai Kluet

Witty (1967: 331), kita bisa men-getahui apa indikator utama ses-eorang dikatakan tinggi atau ren-dah minat bacanya. Seseorang dikatakan tinggi minat bacanya jika ia mempunyai perhatian yang terus-menerus terhadap ak-tivitas membaca dari segi bahan, waktu, tempat, dan sebagainya; harus mempunyai daya per-asaaan; harus ada kegiatan yang berkaitan dengan membaca; dan mempunyai perhatian yang mengarah kepada membaca.

Selanjutnya, ada beberapa ciri pembaca yang baik. Di anta-ranya adalah senang membaca, terampil dalam teknik penge-nalan kata; memahami bacaan, dan dapat menyesuaikan teknik membaca dengan tujuan mem-baca (Moyle, 1973: 102).

Nuttall (1988: 168) bahkan membuat gambar lingkaran mengenai pembaca yang baik ini, yakni pembaca yang baik adalah mereka yang senang membaca, membaca lebih cepat, membaca lebih banyak, dan juga mema-

Khusus untuk kebiasaan membaca para responden, di-peroleh data bahwa responden sering membaca buku selain buku yang diinginkan oleh gu-runya, seperti buku Pendidikan Agama Islam (PAI) dan buku ilmu pengetahuan. Kebanyakan mereka tidak suka membaca buku yang berbau persilatan, bahkan hampir 70% responden mengatakan tidak pernah mem-bacanya.

Untuk waktu kebiasaan membaca, responden lebih me-milih duduk di tempat sepi ksaat membaca buku. Sebanyak 127 (42%) responden memilih mem-

Murid-murid di sebuah Sd negeri di banda Aceh sedang mendengarkan arahan menjelang peminjaman buku dari mobil pustaka keliling. (Foto: Yovan servanda)

Petugas pustaka keliling sedang melayani siswa yang meminjam buku di sebuah sekolah di banda Aceh. (Foto: Yovan servanda)

gali emas di hutan Manggamat, daerah yang dulunya merupakan basis GAM.

Tak adanya gerakan literasi di Aceh Selatan membuat dae-rah ini sangat jauh dengan yang namanya buku. Jangankan di pe-losok, di kota saja tidak ada satu forum pun yang fokus untuk mengembangkan literasi. Saya sempat menanyakan ke beberapa grup WhatsApp kumpulan orang Aceh Selatan, tapi tidak satu pun yang mengetahui adanya forum atau komunitas yang bergerak di bidang literasi di kabupaten ini. Jadi, wajarlah ketika para guru impian dari 3R datang memba-wa sejumlah buku dan mengajar di Sarah Baru, mereka diterima dengan tangan terbuka oleh ma-syarakat hulu Sungai Kluet.

***

Kedatangan saya ke Sarah Baru tidak lain untuk melihat ge-liat literasi di Aceh Selatan. Walau hanya satu-satunya, paling tidak daerah ini mulai terjamah tan-gan literasi. Saya harus bersabar duduk di sampan motor yang mereka sebut “stempel” selama tiga jam. Inilah satu-satunya alat transportasi air yang digunakan untuk menuju Sarah Baru di Kluet Tengah, Aceh Selatan. Se-belumnya, saya dari Tapaktuan harus menempuh jarak sekitar satu jam setengah untuk tiba di tepi Sungai Lawe Melang, Kluet Tengah. Melalui sungai inilah saya dan dua rekan saya serta pengemudi sampan bermesin robin harus mengarunginya tan-pa menggunakan pelampung.

Setiba di Dermaga Sarah Baru saya disambut oleh pe-mandangan hijaunya hutan yang menakjubkan. Dermaga itu tak terlalu besar, cukuplah untuk menyandarkan bebera-pa “stempel” yang ukurannya pas-pasan badan. Di belakang dermaga terdapat rumah adat Kluet yang baru dibangun menggunakan kayu. Bahan bangunan tersebut sama hal-nya dengan kebanyakan rumah warga, termasuk rumah tempat

tinggal guru impian yang di-jadikan sebagai Pustaka Kam-pung Impian.

Saya sangat beruntung datang saat itu, 5 Januari 2019, karena para guru impian dan anak-anak didiknya sedang mempersiapkan acara untuk Pentas Seni Sarah Baru. Mer-eka begitu asyiknya melukis spanduk yang akan dipajang pada malam pentas seni. Tidak butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan mereka, justru kedatangan saya menambah kebahagiaan baru bagi mereka.

Saya dikerumuni anak-anak dari berbagai umur, bahkan ada yang badannya lebih besar dibanding saya. Mereka menan-yakan beberapa hal mengenai diri saya, begitu pula sebaliknya dan kami merasa seperti satu keluarga yang sudah lama tak berjumpa. Rupanya tempat ini dijadikan sekretariat bagi anak-anak berkumpul, membaca, belajar, berkarya, dan bermain sehingga tempat tersebut selalu ramai dikunjungi anak-anak.

“Sepulang sekolah, anak-anak ini datang kemari untuk belajar bahkan anak tingkat SMP pun juga kemari dan ber-gabung bersama kami. Satu hal yang membuat saya senang dan tidak saya temukan di tempat lain, yaitu anak-anak SMP-nya juga ikut terlibat dalam pro-gram yang kami buat. Di tem-pat lain, biasanya mereka sudah merasa malu ikut kegiatan yang kami buat, tapi justru di sini anak SMP yang paling ramai ikut belajar,” ujar Fitri, salah satu relawan guru impian.

PentAs seni HiBurAn Berbeda halnya dengan

daerah perkotaan yang banyak menyediakan berbagai hiburan berupa pentas seni, Sarah Baru masih awam dengan pertun-jukan seni sehingga saat acara pentas seni dihadirkan di kam-pung hulu Sungai Kluet, antusi-asme warga sangat tinggi untuk menyaksikan pentas seni. Ham-pir seluruh masyarakat Alur Kejruen hadir untuk melihat

penampilan seni yang ditampil-kan oleh anak-anak mereka.

Dengan panggung seadanya yang didekorasi dengan kasab sulam benang emas, anak-anak ini tampil membawakan be-berapa tarian khas Aceh. Para penonton yang terdiri atas kaum ibu, perangkat desa, dan para pemuda, duduk bersama beralaskan tikar menyaksi-kan pertunjukkan pentas seni. Saya serasa kembali ke puluhan tahun silam saat pentas seni menjadi hiburan yang sangat disukai masyarakat sebelum arus teknologi berupa televisi dan internet merambah desa.

Acara pentas seni itu cukup menghibur warga Sarah Baru karena di daerah ini belum ada jaringan telekomunikasi. Tidak ada yang sibuk dan lalai dengan gadget masing-masing, jan-gankan untuk mencari hiburan melalui internet, sekadar untuk menelepon saja tidak ada sinyal. Maka, wajarlah kehadiran pen-tas seni di Sarah Baru sangat disukai semua kalangan, apalagi yang tampil adalah anak-anak mereka.

Pertunjukan seni oleh anak-anak Sarah Baru tak lain meru-pakan bagian dari program Pustaka Impian. Terdapat kelas seni yang mengajarkan anak-anak untuk terampil menarikan tarian khas tradisional Aceh. Mereka berlatih di sela-sela waktu dari kelas lainnya untuk bisa tampil pada malam acara pentas seni.

“Kami memberikan kesem-patan kepada anak-anak desa ini untuk menampilkan bakat seninya melalui pentas seni. Anak-anak yang ada di desa ti-dak jauh berbeda dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan, hanya saja di kota banyak fasili-tas yang mendukung kreati-vitas mereka. oleh karena itu, dengan adanya pentas seni ini kami ingin memberitahukan kepada bapak/ibu bahwa anak-anaknya mampu,” ujar Nanda, koordinator guru impian, saat menyampaikan sambutan pada malam pentas seni tersebut.

07 NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019LAPoRAN UTAMA

kelas membaca dasar yang dibuat di pondok tepi sawah warga. (Foto: ikhsan)

PustAKA KAMPung iMPiAn

Selain kegiatan seni, ada kegiatan utama dari Pustaka Kampung Impian yang sangat erat kaitannya dengan dunia literasi. Di sini terdapat tiga ke-las, yaitu kelas membaca dasar, membaca lanjut, dan menulis. Mereka dikelompokkan ke kelas masing-masing sesuai dengan kemampuannya saat dites.

Kelas membaca dasar dipe-runtukkan bagi anak-anak yang tidak kenal huruf sama sekali. Mereka yang belajar di kelas ini akan diperkenalkan seluruh huruf abjad. Targetnya minimal si anak mengetahui huruf dan dapat mengeja kata. Kelas mem-baca lanjut untuk anak-anak yang sudah mengenal huruf, tapi belum lancar membaca. Target-nya mereka bisa lancar membaca minimal satu kalimat walaupun masih terbata-bata.

Sedangkan kelas menulis adalah untuk mereka yang sudah lancar membaca dan diarahkan untuk membuat karangan beru-pa cerita, puisi, dan dongeng. Anak-anak yang belajar di kelas tersebut tidak dibatasi umurnya, tapi sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki dan hasil pada saat tes.

“Bahkan ada yang sudah duduk di kelas lima SD, tapi tidak mengenal huruf sama sekali. Jadi, kami menempatkannya di kelas membaca dasar. Padahal, seusia dia harusnya sudah masuk ke ke-las menulis seperti kebanyakan di daerah lain yang kami temui. Tapi di sini kami temukan anak yang sudah duduk di kelas lima SD, tapi tak tahu huruf. Sempat heran juga kenapa dia bisa naik kelas dan duduk di kelas lima SD? Hal ini mungkin karena guru yang mengajar di SD tersebut hanya dua orang,” ujar Nanda.

Namun, semangat belajar anak-anak di Sarah Baru sung-guh luar biasa. Ada sekitar 50 anak yang terdaftar belajar di Kampung Pustaka Impian, diba-gi ke dalam tiga kelas membaca dasar, lanjut, dan menulis.

Sepulang sekolah, mer-eka datang ke rumah Kampung Pustaka Impian untuk belajar sesuai kelas yang mereka ikuti. Tiga puluh menit sebelum ke-las dimulai, mereka diwajibkan membaca buku-buku yang disediakan oleh Pustaka Kam-pung Impian. Barulah pada pu-kul 14.00 WIB, mereka belajar dengan guru impian yang telah ditunjuk pada masing-masing kelas.

Uniknya di kelas Kampung Pustaka Impian ini mereka be-lajar di ruang terbuka seperti di bawah pohon, di pinggir sawah atau sungai, dan di mana pun tempat yang memungkinkan anak-anak bisa belajar. Sistem

belajarnya pun juga tidak ter-lalu kaku seperti kelas di seko-lah formal. Mereka dibebaskan untuk berekspresi dan berkreasi di alam bebas tanpa mengesa-mpingkan tujuan belajarnya. Terbukti dengan cara seperti ini anak-anak lebih aktif dan mu-dah menerima pelajaran yang disampaikan.

Selain itu, juga terdapat ke-las prakarya dan seni yang boleh diikuti oleh setiap anak. Tujuan-nya agar hasil karya anak-anak bisa dipamerkan pada acara pa-meran Pustaka Kampung Impi-an. Begitu juga saat acara pen-tas seni, anak-anak bisa tampil menunjukkan bakat seninya. Mereka juga diajak menjelajah kampung mereka yang kemu-dian di setiap pos akan ada guru impian menjelaskan tentang keindahan kampung mereka. Termasuk tentang sumber daya alam yang dimiliki oleh Sarah Baru supaya anak-anak men-cintai dan menjaga lingkungan hidup di kampung mereka.

Para guru impian juga me-nampilkan video dan drama yang dilakoni mereka kepada anak-anak tersebut. Kemudian anak-anak mengambil kesim-pulan dari apa yang dilihatnya dan dituangkan dalam bentuk tulisan atau gambar sesuai den-gan kategori kelas mereka. “Kita mengajarkan anak-anak di sini untuk bisa memahami dari apa yang mereka lihat. Paling tidak mereka tahu tentang apa yang mereka lihat sehingga mereka bisa belajar menyaring infor-masi,” lanjut Nanda yang sudah tiga tahun menjadi relawan guru impian.

Di desa yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan deru teknologi ini, rupaya ter-dapat gerakan literasi yang tengah menggeliat dan mele-cut semangat anak-anak Sarah Baru. Saya sangat terharu dan bangga pada mereka yang mau belajar bersama guru impian. Kehadiran para guru ini bagai-kan mimpi yang jadi nyata bagi mereka karena selama ini mer-eka masih jauh dari merasakan nikmatnya sebuah pendidikan.

Kepulangan saya diantar sampai ke dermaga oleh anak-anak dan beberapa warga, ter-masuk tuha peuet (perangkat desa)-nya. Padahal, saya hanya satu malam berada di sini un-tuk menyaksikan geliat literasi di hulu Sungai Kluet, Aceh Selatani. Namun, mereka sep-erti melepaskan keluarganya yang hendak pergi jauh dan entah kapan akan kembali. Mereka melambaikan tangan saat “stempel” membawa saya dan teman-teman kembali ke Manggamat menyusuri Sungai Kluet lagi-lagi tanpa pelam-pung.[]

08 NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

Menanak Imaji di Kanot BuLAPoRANiHAn nurdin

BIVAK Emperom, tempat para aktivis Komunitas Kanot Bu (KKB) bergiat bu-kan sekadar tempat

untuk berkumpul dan berha-ha-hi-hi. Lebih dari itu, tempat ini ibarat ruang tanpa batas yang bisa mengantarkan siapa pun menuju ruang imaji lintas dimensi.

Semua benda yang ada di Bi-vak Emperom seperti memiliki roh dan energi yang bisa meman-tik seseorang menjadi kreatif.

Sesuai namanya, Bivak Em-perom berada di Gampong Em-perom, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Nama ‘bivak’ sen-gaja dipilih agar lebih imajinatif. Bukan sekadar sebagai sekretariat tempat berkumpul semata. Seti-daknya, mulai dari sini kita mu-lai dirangsang untuk berpikir dan bertanya, serta bersedia mencari jawabannya.

Sementara, Kanot Bu yang secara harfiah berarti “periuk nasi” menyiratkan sebagai sebuah ruang untuk menanak dan men-golah berbagai ide dan kreativitas sehingga layak disajikan kepada para penikmatnya. Apa pun wu-judnya.

Komunitas ini digerakkan oleh belasan anak muda yang umumnya terdiri atas perupa, penulis, dan pegiat seni. Meski begitu, siapa pun bisa turut serta dalam komunitas ini. Dipersi-lakan dengan sepenuh hati untuk berimajinasi dan mengeksekusi ide bersama-sama.

“Kanot Bu adalah tempat menanak ide. Hasilnya ‘dimakan’ sama-sama. Setiap orang di Bivak ikut serta, kami mengedepankan kolektivitas,” ujar Idrus bin Ha-run, salah satu pencetus KKB ke-pada penulis pada Sabtu, 5 Januari 2019.

Sebagai sebuah tempat ber-kreasi, buang jauh-jauh pikiran Anda mengenai tempat yang resik, apik, dan wangi. Bivak Emperom jauh dari itu. Bivak Emperom merupakan hasil sulapan dari sebuah rumah ua lantai bekas tsunami di pinggi-ran Banda Aceh. Berada persis di belakang pertokoan di Jalan Teuku Umar di Lamteumen Timur. Bersebelahan dengan Kantor Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.

Bila beruntung, saat berada di sini sesekali kita bisa menden-gar suara orangutan atau hewan lainnya yang sedang dikarantina di balai tersebut. Tak jarang suara hewan-hewan itu malah menjadi

ide tersendiri bagi para penulis dan pegiat seni yang bernaung di KKB.

Meski sudah lama dijadikan markas oleh pegiat KKB, rumah ini sama sekali tidak mengalami perbaikan secara fisik. Tembok-tembok yang hancur karena ter-jangan tsunami masih seperti se-dia kala. Para aktivis KKB hanya memberikan sentuhan artistik pada setiap detail yang ada di sana.

Tak heran, bekas botol air mineral yang teronggok kaku di Bivak Emperom seolah memi-liki pancaindera yang bisa diajak berkomunikasi. Bingkai-bingkai berisi torehan yang abstrak dan realis, dinding yang dicat den-gan berbagai motif atau berisi kalimat-kalimat satir, semuanya terasa sangat artistik.

Kisah terbentuknya KKB ter-bilang unik. Lahir pada pertenga-han 2008 berawal dari selembar spanduk beraroma politik.

Kala itu marak orang berebut naik sebagai calon legislatif pada Pileg 2009 yang mengiklankan

diri melalui baliho, spanduk, dan iklan lainnya. “Sebagai re-spons terhadap fenomena ini kami buat selembar spanduk yang berbunyi, Meunyoe jabatan ka dibloe, ‘oh hajat sampoe ditarek laba yang dilabelkan dengan Par-tai Kanot Bu,” kata Idrus, perupa cum penulis ini.

Spanduk itu dinaikkan di salah satu sudut pasar Meureu-du, Pidie Jaya. “Menurut kabar angin, spanduk ini diturunkan oleh aparat kepolisian setempat dan hanya bertahan beberapa hari saja,” ujarnya lagi.

Berawal dari kejadian ini, beberapa pemuda yang sama-sama memiliki perhatian tinggi terhadap seni budaya sepakat mengalihkan ‘Partai Kanot Bu’ menjadi Komunitas Kanot Bu yang berorientasi pada gerakan literasi kebudayaan.

Awalnya, kata Idrus, mereka sama sekali tidak terpikir ke arah itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan interaksi satu sama lainnya, ditambah faktor bacaan, jalur kebudayaan mereka pilih

karena bisa menempuh perjala-nan yang panjang dan tidak ter-gopoh-gopoh dalam mencapai tujuan.

“Tidak seperti di jalur politik kepartaian,” ujar pemuda asal Meureudu, Pidie Jaya, ini.

Satu dekade setelah kela-hirannya, KKB terus menun-jukkan eksistensinya di bidang literasi kebudayaan. Menyebar-kan nilai-nilai ekspresi baik itu sastra, rupa, maupun kesenian lain.

Komunitas ini memiliki Lini Aksi sebagai wadah berekspresi para anggotanya sesuai selera masing-masing. Menerbitkan karya berupa cerpen, puisi, esai, atau tulisan lepas lainnya dalam bentuk buku yang dilakukan secara swadaya dan terbatas me-lalui lini penerbitan Tansopako Press. Buku teranyar yang mereka terbitkan adalah Judul Ada di Be-lakang. Berisi celoteh mengenai berbagai keresahan dan kritik sosial, maupun hal-hal lainnya yang sebelumnya telah ditayang-kan di steemit.com.

KKB juga kerap mengadakan diskusi dan event-event kebuday-aan yang ditujukan kepada ma-syarakat yang tidak memiliki ak-ses menikmati produk atau pun atraksi kesenian.

“Kami sejauh ini tetap merangkak untuk menerjemah-kan zaman melalui alat kebuday-aan,” kata Idrus.

Lini aksi lainnya ialah lini de-sain grafis yang khusus meran-cang desain-desain dan mencetak kaus khas Aceh dengan merek geulanceng. Ada juga lini perfil-man dan fotografi bernama Lensa Kiri, serta lini hikayat dan musik etnik yang diberi nama Seungkak Malam Seulanyan.

Komunitas ini juga memiliki kegiatan rutin seperti Terassore, Majelis Permusyawaratan Lirik, dan Ruang Studi Jamaah. Di Ter-assore ini mereka menghadir-kan orang-orang tertentu untuk membincangkan isu-isu tertentu yang sesuai visi misi komunitas. Belum lama ini buku Kura-kura Berjanggut karya Azhari Aiyub juga telah ‘digunjingkan’ di Ter-assore.

“Kami ingin KKB tetap eksis dan mampu memproduksi karya,” kata Idrus mengenai visi komunitasnya.

Bivak Emperom juga kerap dikunjungi oleh individu mau-pun kelompok untuk belajar apa saja. Bahkan suatu kali pernah sekelompok anak-anak SMA ditemani guru mereka men-datangi Bivak Emperom untuk mempelajari pelajaran PPKn melalui seni rupa.

KKB juga pernah membuat kegiatan Nuga Art yang bisa diter-jemahkan sebagai aktivitas me-lukis massal di Bivak Emperom. Pesertanya dibebaskan meng-gambar apa saja di medium bebas yang terdapat di Bivak Emperom. Alhasil, batu-batuan, potongan kayu, papan, dan puing-puing yang ada di sana disulap menjadi karya seni dengan kreativitas ber-variasi.

Menariknya, semua aktivitas itu berlangsung di tempat yang sangat apa adanya itu. Tidak ada meja atau kursi-kursi yang tertata rapi. Siapa pun yang hadir dalam kegiatan KKB ‘dipaksa’ kreatif mencari tempat duduknya send-iri. Itu artinya, mereka bisa duduk di “tunggok”, di bekas reruntu-han tembok, di tangga, di kusen jendela, atau di kayu-kayu yang dirakit menjadi tempat duduk sederhana.

Idrus bersama rekan-rekan-nya di Kanot Bu seolah ingin mengatakan bahwa berkarya ibarat menanak nasi, yang pent-ing adalah prosesnya.[]

idrus bin Harun sedang memberikan penjelasan mengenai seni rupa kepada siswa SMA Labschool Unsyiah. (Foto: Fatma Susanti)

Siswa SMA Labschool Unsyiah sedang mempraktikkan karya di bivak Emperom. (Foto: Fatma Susanti)

PoJoK KREASI

09 NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

Kegalauan Ali HasjmyLahirkan Pustaka dan Museum

LAPoRAN iHAn nurdin

BERTANDANGLAH ke rumah Nomor 20 di Jalan Jenderal Sudirman Banda Aceh. Rumah ber-

gaya lama dengan sentuhan warna putih dan krem, berata-pkan genting. Di sana kita akan menyaksikan sebuah kegalauan seorang tokoh masa lalu dalam wujud pustaka dan museum. Ya, Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy namanya.

Rumah peninggalan mantan gubernur Aceh periode 1957-1964 itu telah menjelma menjadi hunian bagi belasan ribu judul buku dan benda-benda budaya.

Dua puluh tujuh tahun lalu, almarhum Ali Hasjmy pernah menyampaikan kegalauannya di tempat ini. Di hadapan Prof. Dr. Emil Salim, selaku Menteri Nega-ra Kependudukan dan Lingkun-gan Hidup RI yang meresmikan pustaka dan museum ini pada 15 Januari 1991.

“Pada saat usia saya sudah senja,” kata Ali Hasjmy, “buku-buku, dokumen-dokumen, dan benda-benda budaya yang telah bersusah payah saya kumpulkan puluhan tahun, membuat saya gelisah, mengganggu ketenan-gan tubuh saya, merepotkan ke-heningan malam sunyi saya, dan kadang-kadang saya tidak bisa tidur,” katanya.

Ia lanjutkan, “Ingatan bagaimana nasib benda-benda itu setelah saya meninggal, akan dijualkah bagai barang loak atau akan dikilokan untuk menjadi pembungkus barang-barang da-

gangan?”Cuplikan pidato tersebut di-

cetak di selembar material berba-han plastik warna kuning. Dile-katkan ke dinding di belakang meja kerja pengelola pustaka. Ada sekitar 15.000 judul buku yang tertulis dalam bahasa Aceh, Indonesia, Arab, dan Inggris. Ali Hasjmy sangat mencintai buku. Setiap bepergian ke luar daerah atau ke luar negeri oleh-olehnya selalu buku.

Ketika saya berkunjung ke sana pada Rabu, 19 September 2018, hanya ada Azhar, penge-lola pustaka yang sudah bekerja di sana sejak 1991. Ia ditemani seorang mahasiswi magang dari Jurusan Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Maya Sepia. Selebihnya hanyalah benda-benda tanpa pancaindra berupa buku yang tersusun di lemari dan rak-rak yang tertata apik. “Ya, beginilah keadaannya, tidak selalu ada pengunjung,” ujar Azhar.

Di ruang depan ada seper-angkat sofa dan dua lemari berisi sekitar 50-an plakat dan piagam yang pernah diterima Ali Has-jmy semasa hidupnya. Empat piagam penghargaan menempel di dinding, salah satunya berba-hasa Arab. Melengkapi susunan piagam itu, terpajang bingkai foto Ali Hasjmy, pria jangkung, berkulit bening, dan berhidung mancung. Pada sisi yang berbe-da juga terdapat sebuah bingkai berisi teks puisi karya Ali Hasjmy.

Sementara itu, aneka koleksi buku dipajang di dua rak di se-belah ruang tamu. Buku-buku itu dikelompokkan berdasarkan jenisnya, seperti sastra, filsafat,

ekonomi, novel, pendidikan, ke-sehatan, biografi, hingga buku-buku umum. Buku-buku ten-tang sejarah, budaya, dan hikayat Aceh disusun di lemari besar satu lagi yang rapat ke dinding. Di an-taranya naskah Putri Nurul A’la yang ditulis T. Basyaruddin dan The Mysticism of Hamzah Fans-uri yang ditulis Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Di rak ini juga terdapat koleksi tas dari berbagai seminar dan acara yang pernah diikuti mantan rektor UIN Ar-Raniry itu.

Pustaka ini terbuka untuk umum, dibuka setiap Senin-Ka-mis pukul 08.00-12.30 WIB dan Jumat hingga pukul 11.00 WIB. “Sabtu Minggu dan hari libur kami tutup,” kata pria setengah baya itu.

Koleksi pustaka ini sering menjadi referensi dan bahan ka-jian bagi mahasiswa atau peneliti, terutama yang berkaitan dengan khazanah Melayu. Tak hanya peneliti lokal, peneliti dari luar seperti Malaysia dan Brunei Da-russalam juga ada yang meneliti di sana.

Di bagian belakang ada em-pat rak yang juga berisi aneka koleksi buku. Di bagian ini ter-dapat tiga meja dan beberapa kursi yang biasa digunakan pen-gunjung untuk membaca atau mencatat. Buku-buku yang ada di pustaka ini tidak boleh dipin-jam dan dibawa pulang.

“Kalau mereka perlu bahan hanya bisa difotokopi, itu pun ha-rus kami yang memfotokopinya.” Hal ini dilakukan untuk menjaga agar buku-buku tersebut tetap terjaga kondisinya. Selain itu juga untuk menjaga agar tidak ada buku yang hilang.

WArisAn BudAyA neK PuteH

Ruangan yang diberi nama Warisan Budaya Nek Puteh ini di-gunakan untuk menyimpan ane-ka koleksi artefak budaya. Semen-tara ruangan yang memamerkan aneka koleksi buku tadi disebut sebagai Khutubkhanah Teungku Chik Kutakarang. “Isinya apa saja, Pak?” Ketika saya menanyakan itu, Azhar segera memberikan kunci ruangan pada Maya. “To-long Maya dibukakan pintunya,” perintah Azhar.

Diakui Maya, tak banyak yang bisa ia lakukan selama magang di sini. Namun, ia senang setidaknya bisa membantu merapikan dan membersihkan buku-buku atau ruangan yang ada di sana. Sele-bihnya ia menghabiskan waktu untuk membaca atau berselancar di dunia maya.

Di ruangan ini terdapat se-buah lemari berisi buku-buku, tiga lemari berisi koleksi keramik, satu lemari berisi aneka miniatur hewan dari perunggu, satu lemari lagi berisi guci, kendi, dan barang-barang dari kuningan. Terdapat juga satu lemari berisi miniatur meriam, senapan, pedang, dan lemari terakhir berisi berbagai plakat.

Yang paling mencolok di ruangan ini adalah replika gajah dari perunggu yang dipajang di bagian depan ruangan. Begitu pintu ruangan dibuka, gajah itu seolah-olah langsung menyam-but kedatangan pengunjung. Di sini juga terdapat seekor harimau yang sudah diawetkan (opsetan),

tetapi kondisinya tidak lagi sem-purna, hidungnya sedikit bolong karena digerogoti tikus.

Selain itu juga terdapat sepas-ang gading gajah dari Aceh Barat yang usianya tertera lebih dari 75 tahun.

“Harimau ini dulu ada di ru-moh Aceh kemudian dipindah-kan ke sini,” kata Azhar.

Selain bangunan utama yang dimanfaatkan sebagai ruang pustaka, di halaman belakang juga terdapat sebuah balai dan rumoh Aceh yang dibangun pada 1995. Di samping balai ada sebuah krong pade, yaitu tempat menyimpan gabah yang terbuat dari anyaman bambu berukuran besar. Di sana juga terdapat alat penumbuk padi tradisional ma-syarakat Aceh yang disebut jeung-ki. Di area ini juga ada rumah ke-luarga tetapi tidak berpenghuni.

Dalam perbincangan dengan putri Ali Hasjmy, Dahlia, beber-apa tahun lalu ia mengatakan, seperangkat rumoh Aceh itu me-mang sengaja dibangun sebagai warisan budaya Aceh. Dengan begitu, pengunjung bisa turut mempelajari dan melihat budaya Aceh secara keseluruhan.

Di samping balai ada sebuah beduk yang usianya lebih dari 170 tahun. Beduk itu merupakan peninggalan dari Syekh Abbas atau populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang. Ali Hasjmy pernah menggunakan beduk itu sebagai penanda waktu berbuka puasa.

Hanya saja halaman belakang ini tampak kurang terawat. Ban-yak tumbuh rumput liar. Be-berapa koleksi yang sebelumnya berada di ruang Teknologi Tradisi Aceh seperti teupeun pande meuh dan pande busoe, alat untuk mem-produksi emas, perak, dan suasa untuk menjadi perhiasan, serta membuat rencong dan senjata tajam lainnya, telah dipindahkan ke rumoh Aceh. Begitu juga den-gan alat tenun tradisional Aceh. Kondisi benda-benda itu yang sudah uzur membuat Azhar me-mindahkannya ke rumoh Aceh.

Berada di perpustakaan ini tak hanya menenggelamkan kita dalam keasyikan membaca buku-buku, tetapi juga memunculkan perasaan sentimental manakala merenungi makna dari kegalau-an tokoh pendidikan Aceh terse-but. Saya yakin, jika Ali Hasjmy masih hidup dia akan bahagia mendapati kenyataan bahwa buku-bukunya tidak dijadikan pembungkus barang dagangan.[]

Seorang pengunjung sedang membaca di Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy. (Foto: Hayatullah Pasee)

FEATURE

10 PRoFIL NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

LAPoRANHAyAtullAH PAsee

CEK Midi, begitu le-laki bernama leng-kap Tarmizi Abdul Hamid ini biasa disapa. Demi me-

nyelamatkan manuskrip Aceh agar tak jatuh ke tangan orang asing, ia rela menjual sebidang tanah warisan dari orang tuanya. Cek Midi menjual sawahnya se-harga Rp 32 juta pada tahun 2000 yang nilainya lumayan besar kala itu.

Jika tidak menjual sawah, ia tidak punya pilihan lain karena tidak memiliki uang. Apalagi saat itu masih dalam keadaan konflik antara RI dengan GAM sehingga menyulitkan ekonomi masyarakat. “Kalau tidak saya beli, manuskrip itu akan dijual ke luar negeri,” katanya.

Lelaki kelahiran Pidie, 31 Desember 1964 ini yakin betul bahwa manuskrip Aceh yang ditulis pada abad ke-17 meru-pakan bahan yang layak dikaji generasi hari ini.

Secara kebahasaan, seluruh manuskrip yang ia koleksi di-tulis dalam bahasa Arab, Me-layu (Arab Jawi), dan Aceh. Manuskrip tersebut mengand-ung pembahasan tentang pen-gobatan, astronomi, tasawuf, filsafat, sejarah, bencana alam, nazam, dan lain-lain.

Ada beberapa manuskrip kuno terkenal yang dimil-ikinya seperti Bustanussalatin menjelaskan tentang kemajuan Aceh dan Sirat Al-Mustaqim tentang pelaksanaan fiqhiyyah dan ubudiyyah karangan Nurud-din Ar-Raniry. Kemudian kitab Tajussalatin karangan Bukhari Al-Jauhari yang memaparkan pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan.

Selain itu, ia juga mengoleksi kitab Mira’tuth At-Thulab ten-tang hukum fikih, jual beli, dan jinayah karangan Syekh Abdrurrauf As-Singkily. “Se-luruh kitab tersebut meru-pakan karangan para ulama hebat terdahulu,” lanjut bapak tiga anak ini.

Banyak orang menjadi-kan manuskrip-manuskrip tersebut sebagai ref-erensi dalam m e n g k a j i masa lam-

Jual Tanah Warisan Demi Selamatkan Manuskrip Aceh

pau tentang Aceh. Cek Midi sering menerima tamu peneliti baik dari dalam maupun luar negeri untuk mengkaji perkem-bangan Aceh masa lalu yang san-gat maju.

Budaya literasi sangat erat dengan kehidupan para ulama saat itu. Sultan yang memimpin Aceh pun sangat mendukung perkembangan dunia literasi. Para penulis ilmu-ilmu agama dihargai mahal oleh sultan.

Awalnya, Cek Midi tak begitu tertarik pada manuskrip, namun setelah ia mengunjungi Malay-sia, Singapura, dan Brunei Da-russalam dan melihat bagaima-na mereka begitu menghargai peninggalan nenek moyang mereka, termasuk manuskrip Aceh yang mereka koleksi, se-hingga nurani Cek Midi merasa terpanggil untuk menyelamat-kan manuskrip Aceh.

Aceh sendiri di masa lam-pau memiliki pengarang kitab yang karyanya diamalkan oleh muslim di Asia Tenggara. “Apabila manuskrip tidak ada, bagaimana kita tahu identitas keacehan kita saat ini? Kita mengenal masa lalu salah satunya den-gan ‘tinta-tinta emas’ mer-eka,” ujar pegawai senior di Badan Pengemban-gan Teknologi Pertanian (BPTP)

Aceh ini.Cek Midi sangat khawatir-

kan kalau Aceh tidak memiliki catatan masa lalu. Kegelapan di masa lalu akan berakibat sulit menghadapi masa depan. Gen-erasi sekarang bisa-bisa terputus dengan generasi masa lalu.

Selama ini referensi ten-tang Aceh masa lalu berasal dari kalangan penulis Eropa. Padahal, narasi mereka tidak selalu sesuai dengan fakta, ter-utama karena ada bias dalam proses penerjemahan. Misal-nya, pada masa lalu kehidupan Aceh digambarkan sulit terus-menerus, padahal itu hanya pada masa masuknya Belanda ke Aceh (1873-1942).

Sedangkan berdasarkan kitab Bustanussalatin, pada masa kesultanan sebelum Be-landa datang, Aceh adalah negeri yang berperadaban tinggi, kaya, berideologi kuat, makmur, dan sangat hebat. “Penjajah mende-sain agar budaya bangsa negara yang dijajah berada di bawah martabat negara penjajah,” lan-jutnya.

“Pada masa kedatangan Belanda, misionaris Snouck Hurgronje berupaya meng-hilangkan adat istiadat dan

budaya Aceh. Maka pent-ing sekali kita

membaca

Anak muda Aceh sekarang perlu bela-jar menulis, khusus-nya menulis tentang Aceh, karena kitalah

yang lebih tahu tentang diri kita

sendiri.

TARmIZI ABDuL hAmIDkOLEkTOR MAnUSkRiP ACEH

manuskrip karena tulisan orang Eropa tentang Aceh bertolak belakang dengan faktanya,” jelas Cek Midi panjang lebar.

Ia menerangkan bahwa se-jak dahulu Aceh berperadaban tinggi dan memiliki berbagai corak budaya. Hal ini dipen-garuhi oleh kedatangan orang luar ke Aceh untuk menempuh pendidikan seperti Thailand, Malaysia, dan Brunei Darus-salam.

Banyak sekali orang yang ingin membeli manuskrip yang dikoleksi Cek Midi. Mereka be-rasal dari Malaysia, Inggris, Je-pang, dan Brunei Darussalam. Pernah ditawar beli hingga ratusan juta rupiah, tetapi Cek Midi bersikukuh tidak akan menjualnya. “Manuskrip tidak ternilai harganya, itu untuk keperluan penelitian dan keil-muwan,” ucapnya.

Menurut Cek Midi, meme-lihara manuskrip agar tidak diambil orang luar adalah ben-tuk penghargaan terhadap para penulisnya, apa lagi sudah lang-ka. Dalam manuskrip kuno itu banyak terkandung ilmu-ilmu yang masih perlu dikaji dan diteliti.

Ia sebutkan, ada sekitar 602 manuskrip yang ia kolek-si. Dulu, sebelum manuskrip tersebut banyak diketahu pub-lik, yang paling tertarik pada manuskrip kuno itu hanya peneliti yang berasal dari luar Aceh. Mereka memiliki latar belakang keilmuan berbeda seperti farmakologi, nahu, fil-safat, kebencanaan, dan sastra. Sekarang, jumlah peminat baik orang Aceh maupun luar jum-lahnya sudah mulai seimbang.

Cek Midi berharap, ke de-pan pengembangan pengeta-huan tentang manuskrip perlu

terus digalakkan. Ia sarankan kepada pemerintah untuk membuat perlombaan ba-hasa Arab Melayu sehingga bahasa-bahasa yang pernah digunakan ulama terdahulu juga diketahui para generasi milenial.

“oleh sebab itu, anak muda Aceh sekarang perlu belajar menulis, khususnya menulis ten-tang Aceh, karena kital-ah yang lebih tahu ten-

tang diri kita sendiri,” pungkasnya.[]

TARMIZI ABDUL HAMID

11 FoKUS NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019

Polesan Mahasiswa ISBI Percantik Wajah Kota

LAPoRAN yelli sustArinA

SIAPA sangka tempat kumuh di bantaran Krueng Dho, Dusun Kerinci, Gampong Seu-tui, Banda Aceh, kini

terlihat cantik dan menarik. Itu berkat polesan kuas penuh im-presif dan imajinatif dari para mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.

Dinding beberapa rumah warga yang letaknya berdekatan di bantaran sungai itu dilukis anak-anak ISBI dengan gambar yang menarik seperti pohon, buku, orang, tong sampah, dan sebagainya. Lukisan khas gaya mural. Pilihan warnanya pun be-gitu nyentrik sehingga siapa saja yang datang ke tempat ini akan segera mengeluarkan handphone atau kameranya untuk memotret beberapa bagian dari tempat itu yang memang sangat instagram-able bila diposting ke media so-sial.

Begitulah reaksi saya saat pertama kali berkunjung ke lo-kasi bantaran Krueng Dho pada Minggu, 20 Januari 2019. Saya takjub akan keindahan lukisan dinding yang disebut mural itu karena selain cantik dan menarik, juga mengandung pesan moral di dalamya, seperti gambar anak yang sedang membaca buku sambil berdiri dan bersandar di sebatang pohon.

Ada juga gambar tiga buah tempat sampah yang disesuaikan dengan jenis sampahnya dan be-berapa gambar lainnya. Tentunya sebelum memotret gambar terse-but saya meminta izin kepada be-berapa warga yang sedang duduk di salah satu pos jaga.

“Iya silakan saja Dik, foto

saja sepuasnya. Di gang sana juga banyak lukisan seperti ini, cantik-cantik lagi,” ujar seorang pria paruh baya yang saya temui di pos jaga.

Beberapa di antaranya juga tersenyum ramah kepada saya sambil menjelaskan beberapa lo-kasi di kawasan itu yang juga ada lukisan dindingnya. Saya pun melanjutkan perjalanan mema-suki gang sempit di sela-sela rumah warga. Gang itu hanya bisa dilewati sepeda motor, tapi saya putuskan untuk berjalan kaki karena beberapa warga melaku-kan aktivitas seperti mencuci dan menjemur pakaian di depan rumahnya. Saya mendapatkan senyuman hangat dari warga dan sesekali mengajak warga yang saya temui untuk bicara.

Perasaan saya yang mulanya campur aduk karena khawatir datang sendiri ke lokasi ini, berubah menjadi rasa senang. Saya merasa nyaman berjalan di kampung yang baru pertama kali saya kunjungi itu. Tak seorang pun yang saya kenali di situ dan tidak ada teman yang menemani news hunting saya kali ini. Na-mun, mencari informasi tentang kampung ini dan lukisan mural yang menghiasinya tidaklah rumit. Berbekal pencarian di internet dari beberapa jejak me-dia tentang kampung ini, saya mendapatkan gambaran sekilas dari Dusun Kerinci yang seka-rang terkenal karena lukisan muralnya yang menarik.

AsAl ide MurAl Di beberapa media yang

saya baca, program yang dilaku-kan di Dusun Kerinci tersebut merupakan bagian dari program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh), se-bagai gerakan untuk memperin-

dah kawasan hunian. Sayangnya di beberapa media banyak tertulis bahwa Pemerintah Kota Banda Acehlah yang berperan dalam mempercantik dusun ini. Pada-hal, ide mempercantik kawasan kumuh ini dengan lukisan mural justru berasal dari mahasiswa ISBI yang berkampus di Jantho, Aceh Besar, dan masyarakat Du-sun Kerinci sendiri.

Informasi ini saya dapatkan dari Zul Lukis yang merupakan warga setempat. Saat itu saya men-emuinya di sebuah gang sempit belakang rumah warga. Zul Lukis yang akrab disapa dengan Bang Zul sedang asyik menggambar dan mengecat gambar karakter Micky Mouse dan Donald Bebek di dinding sebuah rumah warga. Saya bercakap-cakap dengannya menanyakan perihal mural yang mempercantik Dusun Kerinci. Sambil melukis gambar tersebut, dia jelaskan beberapa hal yang menambah pengetahuan saya tentang dusun yang namanya mirip nama kabupaten dan nama gunung tertinggi di Provinsi Jam-bi tersebut.

Hasil polesan kuas mahasiswa iSbi Aceh. dusun kerinci kini semakin apik dan artistik.

Salah satu gang di dusun kerinci yang dipercantik dengan lukisan mural.

“Pemerintah hanya mem-beri bantuan berupa cat tembok, sedangkan pengerjaan mural murni atas inisiatif masyarakat dibantu oleh mahasiswa ISBI. Sekitar dua hari dibantu ISBI dan mahasiswa Teknik Sipil Univer-sitas Syiah Kuala, selebihnya kita yang lanjutkan dari biaya ma-syarakat sendiri,” ujar Bang Zul.

Awalnya Dusun Kerinci ini memang bagian dari program Kotaku, tapi setelah program tersebut berlangsung mahasiswa dan dosen ISBI pun datang ke sini mempercantiknya dengan lukisan mural. Kedatangan mer-eka atas undangan Wakil Ketua Tim Pengurus Pendidikan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh, Dr. Dyah Erti Idawati. Dosen arsitektur Fakultas Teknik Unsyiah yang juga istri Nova Iriansyah, Pelaksana Tugas Gu-bernur Aceh ini meminta ISBI untuk mempercantik tampilan dusun yang mulanya kumuh ini.

BAgiAn PengABdiAn Keterlibatan mahasiswa dan

dosen ISBI dalam mempercan-tik kota merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat, salah satu dari tridarma pergu-ruan tinggi. Mereka juga terlibat dalam membuat mural di berb-agai kegiatan seperti car free day, Pekan olahraga Aceh (Pora) di Jantho, Hari Lanjut Usia, dan be-berapa event lainnya di berbagai tempat. Termasuk yang baru-ba-ru ini di bantaran Krueng Dho, Dusun Kerinci, Banda Aceh. Un-tuk kerja yang hebat itu mereka tidak dibayar walau sebenarnya harga kreativitas seni mereka sangatlah mahal. Dengan suk-arela mereka datang dari Jantho untuk menyulap Dusun Kerinci menjadi lebih menarik.

Untuk transportasi mereka

di-support oleh pihak rektorat dan bahan-bahan untuk mem-buat mural dari Ibu Dyah Erti Idawati. Mereka mengerjakan-nya selama dua hari, sedangkan makanan disediakan oleh ma-syarakat kampung tersebut.

“Kami mengerjakannya sam-pai malam. Awalnya saya men-gira mahasiswa tidak berminat untuk mengerjakannya karena tidak dibayar, tapi ternyata mer-eka sangat antusias melakukan-nya,” ujar Hatmi Negria Taruan, Dosen ISBI Aceh.

Hatmi yang saya temui se-hari setelah berkunjung ke Du-sun Kerinci, Seutui, Banda Aceh merupakan dosen yang terli-bat dalam pengerjaan mural di bantaran Krueng Dho. Dia me-nyebutkan bahwa kegiatan ini sangat bagus bila terus berlanjut ke depannya. Tidak hanya di bantaran Krueng Dho, tapi juga bisa diterapkan di tempat-tempat lain karena masih banyak tempat kosong di kota ini yang bisa diisi dengan mural.

“Melalui mural kita bisa me-nyampaikan pesan-pesan sosial seperti yang kami buat di Dusun Kerinci tentang tong sampah agar selalu menjaga kebersihan, buku supaya membiasakan membaca, dan sebagainya,” tambah Hatmi.

Tema tentang pendidikan dan kebersihan merupakan tema yang banyak digambar ISBI saat membuat mural di Du-sun Kerinci. Kini mural-mural tersebut banyak dijadikan seb-agai spot foto bagi kaum mile-nial untuk dibagi ke media sosial mereka. Lukisan mural pun terus diperbanyak oleh Bang Zul yang merupakan seniman dari kam-pung tersebut sehingga Dusun Kerinci bertambah cantik dan menarik.[]

DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN ACEH

NOMOR 1 EDISI 1 I FEbRUARI 2019Ikon

Mengenal Raja dan Ratu Baca AcehFahrur hobi Nasyid, raNi Kaya Prestasi

Fahrur Razi (22) dan Rani Salsabila Efendi (18) dinobatkan ma-sing-masing sebagai Raja dan Ratu Baca

Aceh Tahun 2018 oleh Dinas Per-pustakaan dan Kearsipan Aceh. Penobatan mereka dilakukan di depan Pelaksana Tugas Gu-bernur Aceh, Nova Iriansyah, pada acara Hari Kunjung Per-pustakaan 2018 dan Peluncuran iPustakaAceh yang berlangsung di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh, Senin (3/12/2018) malam.

Keduanya terpilih setelah menyingkirkan 43 peserta lain-nya melalui proses seleksi, dim-ulai dari pemeriksaan berkas administrasi, ujian tulis, dan wawancara. Penobatan mer-eka ditandai dengan pemakaian selempang bertuliskan Raja Baca

Aceh dan Ratu Baca Aceh 2018 beserta penyerahan hadiah beru-pa tiket umrah.

Fahrur Razi yang dinobat-kan sebagai Raja Baca Aceh 2018 adalah mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry. Pemuda yang lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 16 Agustus 1996 ini mempunyai hobi menyanyikan lagu nasyid dan story telling. Buku yang su-dah dia baca di antaranya Pejuang Subuh, Muhammad Al-Fatih 1453, The Coffee Memory, Shala-huddin Al-Ayyubi, The Miracle of Story Telling, Istanbul: Warna Ibu Kota Dunia, dan 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, dan Jaga Mulut.

“Saya lahir di Medan, tapi orang tua saya asli Aceh Jaya. Karena orang tua saya berkerja di Banda Aceh dan sudah lama

menetap di sini jadi saya besarnya juga di Banda Aceh, tepatnya di Ajun Jeumpet. Saya TK di TK Pertiwi Banda Aceh, kemudian 2002-2008 di SD Negeri 50 Lam-lagang Banda Aceh, 2008-2011

MTsN di Darul Ulum, dan aliah 2011-2014 di Darul

Ulum juga,” ujarnyaRaja Baca Aceh 2018

ini adalah anak kedua dari pasangan Abdul Hamid dan Salwati. Ia bercita-cita men-jadi Menteri Pen-didikan Indonesia. Moto hidup Fahrur adalah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Ia mempunyai visi yaitu mewujud-

kan literasi informasi melalui gerakan gemar

membaca, sedangkan misinya mengampa-

nyekan pentingnya budaya dan minat baca sejak dini.

Fahrur berprinsip, sejak kecil sebaiknya kepada anak diperke-nalkan bahwa perpustakaan itu asyik dan jangan dianggap asing. “Jika sejak kanak-kanak sudah mengenal perpustakaan pastilah mereka mulai menyukai membaca.”

Selama beberapa tahun tera-khir Fahrur aktif di bidang Pen-ingkatan Minat dan Budaya Baca di Aceh yang terdapat di UIN Ar-Raniry. Ia juga bergabung di Himpunan Ilmu Perpustakaan. Dari organisasi himpunan ini ia dan teman-temannya mencari cara untuk dapat meningkatkan kegemaran membaca terutama anak-anak melalui ragam per-lombaan dan bimbingan. Ia juga sejak empat tahun lalu mengajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) Darul Falah.

“Kita harus bergabung den-gan komunitas pegiat literasi di Aceh. Saya rasa sekarang sudah banyak orang yang mau berke-cimpung dan berjuang untuk meningkatkan minat baca. Jadi, kita sekarang tidak sendiri lag,” ujarnya

Fahrur telah meraih berb-agai prestasi. Misalnya, Ustaz Teladan TPA Darul Falah Gam-pong Pineung Banda Aceh ta-hun 2017 dan juara 1 Lomba Nasyid Ma’had Al-Jami’ah UIN Ar-Raniry tahun 2016.

Fahrur mengaku bahwa

motivasinya ikut pemilihan Raja Baca Aceh semata-mata untuk dapat mengampanyekan budaya membaca dan berkeinginan ikut andil dalam memberikan pengaruh positif terutama bagi dirinya, keluarga, teman-teman, dan lingkungannya. Ia juga ingin merasakan pengalaman menjadi agent of change yang mampu memberikan pengaruh baik dan menyadarkan kembali publik tentang pentingnya membaca tanpa memandang umur, peker-jaan, dan status seseorang demi masa depan Aceh yang gemilang.

“Untuk mengembangkan literasi di Aceh kita harus me-ningkatkan sosialisasi kepada masyarakat, terutama generasi milenial, agar gemar membaca dan ingin tahu lebih banyak ten-tang perkembangan dunia, salah satunya melalui permanfaatan media sosial,” ujar Fahrur.

gAdis BeliASementara itu, Rani Salsabila

Efendi yang menjadi Ratu Baca Aceh 2018 adalah gadis belia yang baru saja melepas seragam putih abu-abu. Lahir 11 Agustus 2000 di Aceh Besar, Rani meru-pakan anak pertama dari empat bersaudara. Anak dari pasangan Syamsul Bahri dan Hastuti ini ter-catat sebagai Mahasiswi Jurusan Informatika Fakultas Matemati-ka dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala (FMIPA Unsyiah) Banda Aceh.

Ia hobi menulis berita dan memang merupakan seorang freelance untuk terbitan se-buah instansi pemerintah. Hobi menulis membawa Rani menjadi wakil Aceh dalam kompetisi sehingga dapat me-nikmati keindahan Indonesia mulai dari Jakarta, Bandung, hingga Lampung. Perjalanan menelusuri sejumlah destinasi Indonesia menarik minat Rani untuk menjelajahi Aceh sambil mempromosikannya dengan cara baru dan lebih mengena di hati masyarakat.

Kepribadian Rani yang mudah bersosialisasi dengan orang-orang baru menjadikan-nya sebagai orang yang mudah menjalin komunikasi dan mem-bina hubungan baru. Hal itu akan terus ia kembangkan dengan menjadi seorang duta baca yang cakap dan profesional.

Rani mengaku persaingan dalam pemilihan Raja dan Ratu Baca sangatlah ketat. Ia sempat

kurang percaya diri ketika meli-hat peserta lain yang semuanya sangat hebat. Meski begitu, ny-alinya sangat besar dan tetap maju, akhirnya meraih gelar Ratu Baca Aceh 2018. Baginya, prestasi ini sebuah kebanggaan yang luar biasa dan akan ia jaga dengan baik dan aplikasikan ke masyarakat.

”Rencana berikutnya saya akan ikut sosialisasi ke Lapas Anak bersama Dinas Per-pustakaan dan Kearsipan Aceh karena motivasi saya juga untuk mengembangkan budaya literasi dalam berbagai aspek, terutama minat baca,” kata Rani.

Beberapa tahun terakhir Rani aktif di bidang literasi, ke-agamaan, Juru Bicara Pancasila (Komunitas Bela Indonesia) hingga aktivis HAM. Ia juga ak-tif di Lembaga Dakwah Kampus FMIPA Unsyiah, Duta Wisata Aceh Besar, dan organisasi Pemuda Inspiratif.

Buku yang pernah ia baca di antaranya The Next Creator, Rem-bulan Tenggelam di Wajahmu, Pulang, Ladies Who Launch in Hong Kong, Muslimah Keren, Madilog, Sila Ke-6 Kreatif Sam-pai Mati, dan Riyadhus Shalihin.

Kegemaran membaca, men-ulis, dan bercerita membuatnya kaya prestasi baik di tingkat provinsi, Sumatra, bahkan tingkat nasional. Salah satunya juara 8 tingkat nasional Lomba Menulis Akademi Remaja Kre-atif Indonesia (ARKI) pada De-sember 2015 di Jakarta.

“Minat baca generasi muda kita di Aceh, jika dilihat dari kunjungan ke perpustakaan, masih rendah. Soalnya, banyak orang yang mengira membaca itu membuang-buang waktu. Padahal, untuk bisa menulis dengan bagus haruslah dengan banyak membaca. Membaca itu dapat memengaruhi tulisan kita. Jadi, kita harus tahu dulu kenapa harus membaca. Setelah tahu apa tujuan dan manfaat membaca pastilah kita akan sering-sering membaca,” ucapnya.

Sebagai mahasiswi di bidang teknologi informasi, Rani ter-kejut ketika teknologi mampu mencuri perhatian lebih dari semua kalangan. Hampir semua orang menggunakan gadget se-bagai penunjang segala kebutu-han.

“Ini saatnya memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan minat baca. Kian hari kian ban-yak masyarakat yang mulai gemar membaca berawal dari gadget ke-mudian beralih ke buku konven-sional dengan alasan ‘baca buku langsung lebih merasa nyata’. Hal ini tentu menjadikan gadget dan buku konvensional lebih bersa-habat, bahkan menjadi pendu-kung satu sama lain,” ujar Rani.[rAiyAnA Putri]

pRESTASI FAHRURD Juara 2 Lomba Cerdas Cermat Agama An-

tarustaz/ustazah TPA se-kecamatan Syiah kuala, banda Aceh, Tahun 2018.

D Ustadz Teladan TPA darul Falah Gampong Pineung, banda Aceh Tahun 2017.

D Juara 1 Lomba nasyid Ma’had Al-Jami’ah Uin Ar-Raniry tahun 2016.

D Juara 3 Lomba nasyid Antar-SMA/Aliah se-Aceh Tahun 2013.

D Juara 1 Lomba nasyid Antar-SMA/Aliah se-Aceh tahun 2012.

pRESTASI RANID Juara 1 Lomba Menulis Puisi Literasi SMAn

10 Fajar Harapan 2018.D Finalis duta wisata Aceh besar 2018.D Pemudi inspiratif banda Aceh 2018.D Juara 1 Tingkat Provinsi Lomba Cerdas

Cermat kebahasaan dan kesastraan balai bahasa Provinsi Aceh, April 2017.

D Juara 2 Se-Sumatra Lomba Cerdas Cermat kebahasaan dan kesastraan, 2017.

D Juara 3 Astra Honda Motor best Student

tingkat Provinsi Aceh 2017.D Siswa Teladan SMAn 10 Fajar Harapan Tahun

2017.D Siswa Terbaik OPdL Jurnalistik Tingkat kota

banda Aceh 2017.D Juara 1 Lomba Menulis artikel “banda Aceh

kota kecil Penuh Sejarah” OPdL Jurnalistik dinas Pendidikan kota banda Aceh 2017.

D Juara 4 Lomba Cipta Puisi Literasi SMAn 10 Fajar Harapan banda Aceh Tahun 2017.

D Finalis Festival inovasi dan kewirausahaan Siswa indonesia (FikSi) oleh kementerian Pendidikan dan kebudayaan indonesia, bandung 21-26 September 2016.

D Juara 2 Tingkat Provinsi Lomba Cerdas Cermat kebahasaan dan kesastraan balai bahasa Provinsi Aceh, 1 Agustus 2016.

D Juara 1 duta Pelajar kamtibmas Polresta Tingkat kota banda Aceh 2016.

D Juara 8 Tingkat nasional Lomba Menulis Akademi Remaja kreatif indonesia (ARki) oleh kementerian Pendidikan dan kebu-dayaan indonesia, Jakarta 1-5 desember 2015.