Mimpi Yang Tiga

20
TIGA IMPIAN Sungai gang Jaman meluap. Dua hari belakangan hujan turun deras mengguyur. Air coklat berbau bercampur hanyutan sampah menimbulkan pemandangan khas. Penduduk sekitar sudah terbiasa menghirup aroma tak sedap. Mau apa lagi? Memang begitulah yang harus terjadi tiap musim hujan. Kalau meluap hingga keluar, paling-paling beberapa keluarga akan pindah ke musholla atas untuk menghindar sementara hingga air surut lagi. Kepasrahan yang menakjubkan. Tanpa keluh kesah, protes apalagi demo. “Ngapain lu nongkrong di pinggir kali lama-lama, Mas?” tegur Nung heran. Imas menoleh sebentar lalu kembali menatap sungai. “Kagak mau bunuh diri, kan?” tanya Nung lagi. Khawatir. “Sembarangan!” Imas sewot. Matanya redup. “Biar hidup susah, belon kepikir buat mengakhiri hidup.” Keduanya lalu berjongkok di tepi sungai. “Terus, ngapain sih elu betah liat air kaya’ comberan?” Nung penasaran. Imas mengernyitkan alis. Pandangannya menukik tajam ke depan. “Mas … hei, Imas! Kesambet lu entar musim banjir kaya’ begini …” “Sssst! Diem!” Imas meletakkan telunjuk ke bibir.

description

cerita pendek

Transcript of Mimpi Yang Tiga

Page 1: Mimpi Yang Tiga

TIGA IMPIAN

Sungai gang Jaman meluap. Dua hari belakangan hujan turun deras mengguyur.

Air coklat berbau bercampur hanyutan sampah menimbulkan pemandangan khas.

Penduduk sekitar sudah terbiasa menghirup aroma tak sedap. Mau apa lagi? Memang

begitulah yang harus terjadi tiap musim hujan. Kalau meluap hingga keluar, paling-paling

beberapa keluarga akan pindah ke musholla atas untuk menghindar sementara hingga air

surut lagi. Kepasrahan yang menakjubkan. Tanpa keluh kesah, protes apalagi demo.

“Ngapain lu nongkrong di pinggir kali lama-lama, Mas?” tegur Nung heran. Imas

menoleh sebentar lalu kembali menatap sungai.

“Kagak mau bunuh diri, kan?” tanya Nung lagi. Khawatir.

“Sembarangan!” Imas sewot. Matanya redup. “Biar hidup susah, belon kepikir

buat mengakhiri hidup.”

Keduanya lalu berjongkok di tepi sungai.

“Terus, ngapain sih elu betah liat air kaya’ comberan?” Nung penasaran.

Imas mengernyitkan alis. Pandangannya menukik tajam ke depan.

“Mas … hei, Imas! Kesambet lu entar musim banjir kaya’ begini …”

“Sssst! Diem!” Imas meletakkan telunjuk ke bibir.

“Ap … pa?” Nung jadi agak takut.

“Kura-kura …”

“Oooo …” seru Nung lega. Nafasnya mendengus setengah jengkel.

“ Si Anip ngajakin aku nagkap kura-kura buat dijual ke Barito,” jelas Imas.

“Lumayan satu ekor laku dua puluh lima ribu. Penjual hewan di Barito minta sepuluh

ekor. Bisa kamu hitung sendiri kan dapat berapa.”

Nung memandang aliran sungai yang deras. Kalau bukan musim banjir anak-anak

kampung suka mandi berendam atau cari ikan sepat. Tapi kalau hujan? Anip laki-laki,

pikir Nung, biasa nangkap ikan lagi. Kalau Imas yang cewek mau melawan derasnya

arus, wah, bisa celaka.

Seolah bisa membaca pikiran temannya, Imas berkata,”kura-kura itu kelihatan

dari pinggiran sungai, kok. Tapi nangkapnya pelan-pelan jangan sampai ada suara.”

Page 2: Mimpi Yang Tiga

“Gue bantuin deh, kalau gitu,” ujar Nung tulus. “Kagak usah mikir komisi.”

Imas tersenyum.

“Sebenarnya sih, aku pingin nangkap yang cangkangnya keemasan.”

“Emang ada?” mata Nung membelalak.

“Ada, kata si Anip.”

Mata keduanya mengawasi lagi aliran sungai yang membawa buntalan kresek

hitam, daun pisang kering, gelas plastik, botol aqua hingga bangkai tikus.

“Kalau aku untung, kura-kura itu bakal muncul. Katanya sih, kura-kura keramat.”

“Ah, elu …,” Nung tertawa. “Jaman maju gini mana ade begituan. Jaman internet,

kate orang. Jamannya orang sukses pake otak dan bukannya pake takhayul …”

Imas tidak menggubris.

“Jaman internet atau orang pake otak, itu yang mampu. Kalau aku ya masih

berharap pada kura-kura itu.”

“Emang dia bisa ape, sih?” Nung mendadak ingin tahu.

“Katanya …,” Imas ragu-ragu.

“Udah, bilang aja. Gue kagak bakal nyerobot karena gue kagak percaya begitu.”

“Kata si Anip, kura-kura itu mengabulkan beberapa keinginan kita.”

“Kaya’ cerita legenda aje,” timpal Nung. “Emang keinginan lu ape, Mas?”

Imas merenung. Ia sudah memikirkan agak lama apa yang tiba-tiba akan

dikatakannya andai kura-kura itu muncul.

“Aku nggak pernah minta hal yang muluk dalam hidupku, Nung,” ujarnya

pelan,”aku hanya ingin kaya, bisa nyeneng-nyenengin emak lalu bisa nyekolahin adik-

adikku. Yus, Atik sama Ipan, biar mereka pinter jadi orang bener.”

Nung mengangguk. Ia pun ingin sekolah setinggi-tingginya. Tapi setelah SMP

ibunya pun tak tahu apakah masih sanggup terus. Warung kecil miliknya yang menjual es

lilin dan jajanan untuk anak SD berharga murahan tak cukup layak untuk hidup sehari-

hari. Apalagi untuk sekolah. Masih untung, pikir Nung, anak nyak cuma satu. Imas SD

pun tak lulus.

“Kalau kamu , Nung?” tanya Imas tiba-tiba.

“Eh … apanya …?” Nung tergagap.

“Ya … mana tahu kura-kura itu nunjukkin hidungnya ke kamu.”

Page 3: Mimpi Yang Tiga

“Gue mah kagak percaya begituan,” gumam Nung pelan.

“Seandainya,” bujuk Imas ingin tahu. Nung angkat bahu.

“Kagak tahu, tuh,” ia kelihatan berpikir sebentar, “….aku kadang berkhayal andai

masjid Nurul Iman kita ini punya guru TPA seperti yang di masjid komplek Taman

Mangu sana. Pintar, cantik, bisa ngajarin macam-macam. Nyanyi-nyanyi, lomba gambar,

pokoknya asyik aje. Kagak seperti guru ngaji kite, pak Jalil, yang cerewet dan galak itu.

Sudah tua, lagi!”

“Hush, ngawur kamu!”

“Yah, kali aje besarnya aku bisa jadi guru ngaji kaya’ di sana. Biar Nurul Iman ini

anaknya pinter-pinter walaupun miskin.”

Mereka berpandangan lalu tertawa. Siapapun boleh berkhayal sepanjang tidak

bermimpi jadi orang jahat.

**********

Nung melihat seorang wanita mendatangi bu Endang, ibu Imas. Terlibat

pembicaraan serius tapi entah apa karena ia sendiri sedang menjaga warung. Nyak

Romlah, ibu Nung, sedang ke pasar Bintaro untuk kulakan. Wanita itu sekalipun hanya

berdaster, bahannya batik halus yang tampak mahal. Rumah Imas berada di seberang

pohon sawo namun kelihatan cukup jelas dari arah warung.

“Kenape, Bu?” Nung menyempatkan mampir setelah Nyak pulang. Bu Endang

tampak gelisah sekaligus murung.

“Ndak apa-apa kok, Nung.”

“Ibu tadi nagih utang?” selidik Nung ingin tahu. Agak menyesal ia demi

dilihatnya wajah bu Endang memucat.

“Kamu lihat,ya?”

“Ya…..nggak sengaja, Bu. Bener? Kalau iya? Nung punya tabungan sedikit. Pake

aja, Nyak kagak usah dikasih tahu deh.”

Tiba-tiba hidung bu Endang berair. Tampak berusaha keras menutupi beban di

dada. Ujung lengan baju kumalnya mengeringkan mata.

Page 4: Mimpi Yang Tiga

“Tahu Imas pergi ke mana?” tanyanya sambil menggendong Ipan membalik opak

yang dijemur di halaman.

“Ke Cipulir, katanye. Cari sepatu murah buat Yus sama rok seragam merah.

Emangnya kenape, Bu?”

Bu Endang menggeleng. Nung memilih tak mendesak.

Malamnya Imas datang ke rumah.

“Lu ngapain sore kagak ngaji, Mas?” tegur Nung. Anak-anak remaja biasa

mengaji seusai maghrib walau terkadang ada juga yang datang sore hari. Kalau anak-

anak kecil yang datang banyak, pak Jalil sering minta dibantu menangani anak-anak yang

Iqro’ awal. Imas hanya diam, menatap televisi hitam putih di depannya.

“Kalau ada masalah gue mau ngebantu. Tapi kalau lu sendiri kagak mau cerita,

gimana gue bisa nolongin?” suara Nung agak meninggi. Ia kesal melihat Imas yang diam

seribu bahasa padahal matanya menyimpan banyak cerita.

“Ya udah…..kalau lu kagak percaya lagi sama gue….”

“Bukan begitu, Nung,” potong Imas lemah. “Aku cuma nggak tahu harus mulai

dari mana.”

“Ibu yang tadi sore datang itu, tempat kamu biasa kerja nyeterika ya?” tebak

Nung. Imas mengangguk. “Ooo, bu pengusaha itu….”

“Aku dikeluarkan,” kata Imas pendek. Nung tercengang.

“Kenape emangnya?”

“Aku dituduh ngambil duitnya.”

“Tapi….tapi elu kagak ngambil kan?” sodok Nung. Imas terdiam.

“Duitnya yang hilang cuma dua puluh ribu,” jelas Imas menerawang. “Apa arti

uang segitu buat orang yang tiap hari makan enak.”

“Iya…..tapi bukan elu kan?” Nung jadi gelisah sendiri. Membayangkan Imas

menjadi pencuri sungguh tak enak. Apa kata Anip, Iip, Siti, Rahayu dan lainnya. Semua

tetangga di sini pasti akan waspada jika ada kehilangan dan akan gampang menuduh.

“Apa arti uang segitu buat orang yang punya rumah gedung, tiga mobil, tiap hari

ke swalayan….,” mata Imas tak lagi redup. Ada percikan api.

“Tapi kalau orang nyolong, tetep kagak ade yang setuju, Mas,” Nung tidak

menuduh tapi suaranya terdengar pasrah.

Page 5: Mimpi Yang Tiga

“Beberapa hari ini Yus sering menangis. Kakinya lecet karena sepatu kainnya

sudah rusak berat. Apalagi sejak hujan. Rok merahnya tambal sulam, kujahit pakai

benang seadanya. Teman-temannya pada ngetawain. Ada semut baris di roknya si Yus!”

Nung menatap wajah Imas yang tersaput mendung. Tiba-tiba ia teringat

pembicaraan di tepi sungai beberapa hari lalu.

“Kate lu mau nangkep kura-kura bareng si Anip?”

“Hujannya terlalu deras.Arusnya besar banget. Bukan cuma kura-kura yang nggak

muncul, tapi bahaya juga kalau aku nekat. Anip masih bisa nangkap mujair, lele atau

gabus. Aku nggak sempat, kan harus kerja nyeterika.”

Keduanya terdiam menatap sinetron televisi yang menayangkan kehidupan orang-

orang kelas atas. Rumah mewah dengan lampu kristal dan tebaran hiasan keramik, lantai

licin mengkilap, gaun-gaun indah dan baju butik yang menempel bagus di tubuh

rupawan. Imas menahan nafas.

“Masih ingat apa yang sangat kuimpikan dalam hidupku, Nung?”

“Ya….apa yang elu bilang di pinggir kali gang Jaman itu?”

Imas mengangguk.

“Suatu saat….,” bibirnya bergetar, “ suatu saat aku akan seperti mereka.”

Nung mengikuti arah pandangan Imas yang tepat ke televisi.

************

Hari berganti hari, bulan berbilang bulan, tahun demi tahun berlalu.

Nung hanya sempat duduk hingga bangku SMP, Nyak Romlah menggelengkan

kepala ketika ia memohon untuk masuk ke SMU negeri. Tak ada guna Nung menangis.

Masuk sekolah tidak dengan air mata, tapi dengan uang. Bu Endang sudah pindah rumah.

Tempat mereka tinggal selama ini hanyalah gubuk reot di atas tanah sewaan. Tanah itu

sudah diminta haji Mail untuk dijual karena ia akan mencalonkan diri menjadi lurah

tahun ini. Meski tempat tinggal mereka terpisah tak terlalu jauh, tapi Nung dan Imas

jarang bertemu. Hingga suatu saat mereka bertemu di angkot yang sama-sama

ditumpangi menuju Kebayoran Lama.

“Imas!” Nung ragu memanggil. “Elu ……Imas kan?”

Page 6: Mimpi Yang Tiga

Gadis di depannya tertawa.

“Masa iya kamu lupa, Nung?”

“Mau kemane? Cakep amat?”

“Cipulir. Tuh, ngajakin Ipan jalan-jalan.”

Nung terkesima. Penampilan Imas jauh lebih rapi. Memakai celana panjang, kaos

ketat warna krem, rambut sebahunya tak lagi nampak kemerahan. Malah dijepit manis di

sisi kanan kiri. Bibirnya warna oranye muda, bau parfumnya tercium lembut. Seuntai

kalung emas dengan liontin intan tergantung di leher. Di benak Nung lekas tergambar

kembali bayangan bertahun lalu yang cepat sekali berjalan. Imas yang kurus hitam, kucel

dan kusam. Sekarang?

“Wah…wah…..sudah jadi seperti yang di televisi itu ya, Mas?”

Imas tersenyum misterius.

“Main ke tempatku di Pondok Aren,” ajak Imas, “nggak jauh dari rumah kita

yang dulu.”

Nung masih kebingungan tapi mengangguk. Di pasar Bintaro ia harus turun untuk

kulakan warung menggantikan kebiasaan Nyak Romlah. Tertegun-tegun ia memikirkan

kejadian tadi.

“Nyak…..!” Nung menegur ibunya yang malam itu asyik menonton sinetron.

“Kenape?”

“Masih inget Imas?” tanyanya sambil menggunting bahan motif bunga-bunga biru

dan kuning cerah.Mpok Munah menyuruhnya menggunting bahan-bahan seprei dan

sarung bantal guling. Hasil jahitan mereka akan dilempar ke pasar Tanah Abang.

“Masih. Lu ketemu ama die ? Di mane?”

“Tadi waktu Nung kulakan barang ke Bintaro. Cantik dianye sekarang.”

Nyak Romlah hanya diam. Matanya penasaran memandang cerita sinetron.

“Nyak!”

“Apaan sih?”

“Si Imas itu…..cantik.”

“Ya udah, biarin,” Nyak tak acuh. Nung tampak kesal. Selalu begitu kalau Nyak

menonton sinetron, gerutunya dalam hati, kagak bisa diganggu.

Page 7: Mimpi Yang Tiga

“Hari Minggu besok Nung pingin maen ke rumahnye. Di Pondok Aren situ, deket

sekolah kejuruan swasta. Boleh ya, Nyak?”

“Sono deh…..tapi inget!”

“Inget apaan?”

“Jangan keikut kalo si Imas jadi kagak bener.”

“Ah, Nyak….,” Nung tak suka mendengarnya. Tapi malam itu ia agak lama jatuh

tertidur menatap langi-langit kamar. Gedek jelek yang banyak ditumbuhi sawang, kamar

yang hanya disekat triplek dengan warung di depan. Kira-kira seperti apa kamar Imas

sekarang?

**********

Tidak terlalu sulit mencari rumah bu Endang. Gang kecil yang becek itu memang

agak masuk ke perkampungan. Sejak melangkahkan kaki, suara penyanyi dangdut dari

Evie Tamala hingga Meggie Z menyambut telinga. Anak-anak kecil bertelanjang dada

dan sebagian tak bercelana berkeliaran sambil makan krupuk. Suara pertengkaran,

bentakan ,tangisan, lagu-lagu tumpang tindih menjadi satu. Meski kondisinya demikian,

Nung terkesima juga memasuki rumah bu Endang.

“Duile…..cakep amat rumah elu, Mas,” decaknya.

“Biasa aja,” Imas tersenyum. Disuruhnya Yus menyiapkan minum.

“Rumah sendiri?”

“Bukan, kontrakan.”

Nung memandang berkeliling. Rumah petak bercat putih dengan empat sekat.

Lantainya semen tapi terlihat bersih. Ada televisi dan tape kecil di atas meja. Waktu ia

sengaja bilang mau pipis, dilongoknya kamar. Bersih dan rapi.

“Minum, Nung. Cuma teh sama pisang goreng.”

“Ini juga sudah lumayan banget. Lu kerja apaan sih?”

Imas tak langsung menjawab. Dielusnya kepala Ipan yang melendot manja.

“Nyak lu mane?”

“Jual nasi uduk sama gorengan dekat sekolahan. Dibantuin Yus sama Atik.

Kebetulan Atik di sana, Yus pulang.”

Page 8: Mimpi Yang Tiga

“Oooo……,” Nung meminum tehnya. Imas tak banyak bicara, bukannya

sombong. Hanya ya, tak banyak bicara. Saat Nung bertanya pada orang-orang duduk di

depan gang tadi sempat ada yang kelepasan omong. Tapi Nung tak ingin percaya begitu

saja.

“Kamu masih jaga warung, Nung?”

“Masih. Sekarang aku motongin bahan buat Mpok Munah. Dia kan jahit seprei

komplit lalu dijual ke Tanah Abang.”

“Pengajian kita?”

“Oh….masih. Kalau sore pak Jalil sering aku bantu. Anak-anak bertambah

banyak dan nakal-nakal.”

Entah takdir apa yang menggariskan hubungan antara Nung dengan Imas, tiap

kali Imas menghadapi masalah maka Nung sering melihat apa yang terjadi dengan mata

kepala sendiri. Saat tengah menikmati pisang goreng, seseorang datang dengan sikap

yang nyaris membuatnya tersedak.

“Eh., elu yang namanya Imas?” serang seorang wanita bertubuh subur.

“Sa….saya?” Nung kebingungan menunjuk dirinya sendiri. “Bu…bukan, Bu.”

“Oo, jadi elu temennya perempuan sialan itu, heh!”

Nung dan Imas berpandangan dengan gugup, tetapi wajah Imas kemudian tampak

berkeringat.

“Gue kasih tahu ya, Mas!” semburnya seakan hendak menelan bulat-bulat lawan

bicara. “Selama ini tiga istri bang Yunus adem ayem sampe elu dateng. Elu kagak tahu

malu! Melorotin laki-laki sampe sebegitunye, emang bang Yunus itu siape, hah? Gue

yang kasih die modal!!!”

Nung menelan ludah. Imas mulai menguasai diri.

“Sekarang bang Yunus mau ikut nyalonin diri jadi lurah. Butuh biaya banyak!

Nah, gue banting tulang jualan tas sampe Tanah Abang buat bikin pamflet dan macem-

macem. Sisa duit yang buat bikin spanduk malah dipake elu buat seneng-seneng!”

“Saya nggak minta……”

“Kagak minta?” wanita itu mendelik . “Elu bilang kagak minta?”

Nung mengkeret.

Page 9: Mimpi Yang Tiga

“Terus modal Nyak lu bikin warung itu duit siape? Si Yunus? Mungkin elu kagak

minta langsung tapi lu bikin Yunus mabok indehoy sama lu sampe lupa, terus elu

pelorotin duitnye!”

Mereka jadi tontonan gratis tetangga. Tidak ada yang berinisiatif menolong atau

melerai. Seolah perseteruan istri tua yang menyebalkan dengan istri muda yang cantik

sangat dinantikan kapan meletusnya.

“Sebetulnya gue kasian sama elu,” wanita itu terengah-engah mengambil nafas.

“Kagak ape-ape kalo bang Yunus ngawinin elu buat nolongin. Emang dasar laki, katanye

pingin nolong padahal dianye aje yang buaya. Gue rukun-rukun aje sama si Pipah ama si

Leha. Giliran elu…….hhrrrrhhhhhh!”

Nung mendengar suara seperti mengaumnya macan ingin melumat. Kalau tidak

dipegangi warga, wanita itu mungkin melompat mencakar dan menjambak. Kaki Nung

seperti dipaku ke tanah.Kaku. Saking takutnya. Setelah keadaan bubar, ia terjatuh ke

bawah diikuti Imas yang merangkul Ipan yang terisak. Sempat dilihatnya seorang

pemuda gondrong beranting menjawil dagu Imas tadi.

“Mending lu kawin same gue, Mas,” bisiknya menjijikkan, “babe gue kan udah

tua. Udah kagak kuat!”

Wanita mengamuk tadi menarik kasar tangan anaknya.

“Babenya suka daun muda, anaknya suka janda muda! Dasar buaye kalian

berdua!”

Nung pulang ke rumah siang itu dengan perasaan berdebar yang tidak karuan. Ia

ingin menemani Imas berlama-lama tapi Nyak pun hanya mengijinkan pergi sebentar.

Imas pasti terguncang oleh kejadian tadi. Sepanjang jalan pulang ke rumah Nung

termenung. Jadi Imas itu istri muda yang kesekian dari bang Yunus? Pak gaek yang

terkenal doyan kawin. Ganteng tidak, kaya apalagi. Cuma mentereng karena predikat

calon lurah walau beberapa kali mencalonkan diri belum berhasil. Yang kaya ya istri

tuanya. Tapi mengapa banyak wanita yang buta sebelah matanya bila bertemu bang

Yunus?

***********

Page 10: Mimpi Yang Tiga

Sungai di pinggir gang Jaman tak lagi meluap. Hujan sudah jarang turun. Anak-

anak terkadang iseng mencari ikan di tengah sungai. Imas tersenyum samar memandang

mereka. Sama seperti ketika ia dulu masih kecil. Bareng-bareng mencari siput, ikan

terkadang malah dapat anak kura-kura. Masa kecil yang penuh warna. Sekarang teman-

temannya sudah besar dan punya kesibukan masing-masing. Anip jadi tukang ojek, Iip

jadi tukang las, Rahayu ikut menjahit konveksi celana di Ceger.

Imas berdiri di tepi sungai sambil mengelus perutnya yang membuncit. Ia

memutuskan pindah dari rumah kontrakannya daripada berpura-pura tidak tahu apa yang

menjadi bisik-bisik para tetangga.

Nung mengawasi dari kejauhan. Sejak kecil ia sering merasa iba kepada

Imas.Walau keadaan dirinya pun tak jauh lebih kaya. Imas begitu ingin membahagiakan

ibu dan adik-adiknya. Ayahnya tak tahu pergi entah kemana meninggalkan seorang istri

dan lima orang anak kecil. Abang Imas tak terlalu peduli keluarga. Kini setelah besar pun

merantau tanpa ada kabar berita.

“Dari tadi ngelihatin air sungai terus, Mas,” sapa Nung pelan. “Ntar anak lu lahir-

lahir pintar renang.”

Imas tersenyum tanpa mengalihkan pandangan.

“Sudah selesai ngajar ngajinya, Nung?”

“Lagi kusuruh belajar nulis Arab.”

“Lama-lama kamu mirip mbak-mbak yang ngajar ngaji di masjid komplek itu.”

Nung tertawa. “Masa? Beda, ah! Mereka pintar, cantik, kuliah. Aku cuma lulusan

SMP.”

Imas duduk di atas batang pohon yang roboh. Nung mengikuti.

“Kamu ingat apa yang akan kukatakan andai aku ketemu kura-kura bercangkang

emas itu?”

Nung mengangguk.

“Sebenarnya aku juga nggak terlalu percaya pada keberadaan kura-kura itu.

Hanya …. hanya sebuah harapan tersisa ketika aku nyaris putus asa.”

Mereka terdiam.

Page 11: Mimpi Yang Tiga

“Kenapa…..kenapa keinginanku untuk membahagiakan Emak dan adik-adik

seolah tak diijinkan Tuhan?” mata Imas berkaca. “Kenapa kesusahan tak berhenti

menimpaku?”

Nung menelan ludah, merasa tak tahu jawabannya.

“Aku mulai melihat teman-teman kita mulai berubah hidupnya. Anip sekalipun

motornya sewaan, tapi bisa ngontrak rumah sederhana di samping rumah Emak. Istri si

Anip juga hamil sepertiku, ya? Iip sebentar lagi juga kawin. Rahayu bisa nyekolahin

adiknya dari ikut jahit konveksi. Sedang aku? Kenapa, Nung?”

Nung menatap aliran sungai berwarna coklat yang membawa kotoran khas dari

waktu ke waktu. Matahari menyemburat jingga, lelah menyinari bumi sepanjang hari.

Cahayanya yang berkilau berpendar suram di atas air yang terpolusi. Meski suram

pantulan itu tetap membiaskan jejak cahaya. Sama seperti pikiran kusam Nung yang tiba-

tiba terpercik ilham. Mungkinkah ada yang salah dengan impian-impian Imas? Nung

membalikkan tubuhnya , seolah ingin berkaca pada wajah Imas.

“Elu selalu bilang…..,” ia menahan nafas, seolah takut kata-katanya salah. “Selalu

berkata ‘ingin kaya’ , lalu kemudian ingin membahagiakan emak dan adik-adik.”

“Memangnya salah aku begitu?”

“Mungkin,” Nung mendesah. “Keinginanmu yang pertama itulah yang

membimbing langkah-langkahmu selanjutnya. Ingin kaya, ya, selalu ingin kaya yang elu

impikan sehingga hidup lu nabrak-nabrak. Pokoknya asal kaya. Jadi istri muda pun jadi.”

“Memangnya kamu dan yang lainnya nggak kepingin kaya?” tanya Imas gusar.

“Sorry, Mas, jangan marah dulu kenape,” Nung menenangkan. “Teman-teman

kita hanya pingin cepat kerja saat mereka kagak bisa sekolah lagi. Kerja apa aje, asal

halal. Keinginan kita yang paling awal dan paling mendasar itulah, Mas, yang bakal

nentuin hidup kite.’

Imas diam, kemarahannya mulai berkurang.

“Maksud kamu….aku salah meletakkan keinginanku?”

“Kira-kira begitu,” angguk Nung. “Siape sih orang yang kagak mau kaya? Siape

coba. Tapi kalau itu yang jadi impian kite sejak awal, orang yang kagak punya modal

kaya’ kite bakalan kalang kabut.”

Imas menghela nafas.

Page 12: Mimpi Yang Tiga

Sejak dulu Nung bercita-cita ingin membantu nyaknya di warung dan ingin

menjadi guru mengaji membantu pakJalil. Sekarang Nung mempunyai tambahan kerja

dari Mpok Munah. Gedek usang langit-langit rumahnya sudah berganti triplek.

Warungnya mulai dicat putih meski baru separo.Tempo hari Imas bertemu Rahayu yang

akan mendampingi adiknya mengambil rapot. Ia pun ingin seperti itu; mengentaskan

Yus, Atik dan Ipan. Sekarang apa itu mungkin? Setelah melahirkan ia ingin minta pisah

dari bang Yunus, tak mungkin lagi membina rumah tangga dengan kondisi penuh amarah

dan pertengkaran dari istri-istri yang lain. Imas mengelus perutnya yang membuncit.

Dengan beban tambahan seorang anak, mungkinkah ia mampu membuat keadaan jadi

lebih baik?

“Mungkin saja, Mas,” hibur Nung. “Lu belon denger Mpok Munah? Ia dulu cuma

tukang cuci baju. Seharian nyuci di tiga tempat sampe capek. Tiap sholat lima waktu di

masjid, ia berdoa biar Ijal bisa lulus sekolah dan cari kerjaan yang bener. Ijal lulus STM

kerja di bengkel. Sekarang mpok Munah dilarang nyuci sama anaknye, disuruh cuma

ngejahit aje. Ijal juga rajin ngurus masjid di sini.”

Imas menatap sungai yang makin gelap airnya. Matahari juga makin

bersembunyi. Anak-anak di masjid sudah berisik seiring selesainya tugas mereka. Adzan

maghrib sebentar lagi berkumandang.

‘Yang penting sekarang banyakin doa lu,” saran Nung. “Biar selamat si jabang

bayi. Terus, ganti tuh impian-impian lu yang salah nomer. Nanti kan langkah-langkah elu

ada yang ngatur. Percaya?”

Imas tersenyum tipis. Sekalipun rumah petaknya sekarang cuma dua puluh ribu

sebulan, triplek usang, tapi ia tenang kembali berada di dekat Nung. Nung yang sekarang

makin lancar mengaji, sering berkerudung seperti perintah pak Jalil. Pak Jalil yang

cerewet tapi baik hati mengontrakkan rumahnya tanpa minta persekot. Imas melihat

teman-temannya yang rajin sholat seperti Anip dan Iip makin tertata hidupnya. Meski

prihatin tapi terarah. Ia dulu mungkin salah jalan , beranggapan kayalah yang akan

menuntaskan masalah. Nyatanya? Seringkali kegelisahan yang datang meski bang Yunus

memenuhi apapun maunya.

“Aku kerja apa ya, Nung?”

“Nanti lu bisa njahit tempatnya Rahayu atau mpok Munah.”

Page 13: Mimpi Yang Tiga

“Kalau….kalau aku pingin jadi istrinya orang kaya?”

“Yaaa….suami elu mati lu miskin lagi…”

Mereka tertawa berdua, beriringan menuju masjid untuk ikut sholat berjamaah.

***************

SINTA YUDISIA WISUDANTI