Mimi Elektrik

42
Teng... teng... teng... "Ya, kita selesaikan sampai di sini dan jangan lupa pekerjaan ru..." Ucapan sang ibu guru tak lagi terdengar lantaran riuhnya suara kursi dan derap langkah murid-murid yang berlomba-lomba keluar ruangan kelas lebih dulu. Tak ada seorang lagi pun yang mengacuhkan pesan Bu Betty, sang guru fisika. Tak terkecuali Mimi. Meski sudah memusatkan segala kecepatan yang dimiliki, tetap saja ia kebagian posisi juru kunci, alias paling belakang dan selalu diserobot teman-temannya. Sambil menghela napas maklum, Mimi membetulkan letak kacamata minus tujuh-nya yang sering merosot akibat dorongan dan desakan- desakan teman-teman yang memburu keluar melewati pintu. "Hei!" seseorang mencolek bahunya. Mimi menoleh dan tersenyum kikuk. "Hai, Belia," dibalasnya sapaan Bella. "Mau ke mana? Ke kantin yuk?" ajak Belia manis, bernada bersahabat. Mimi terdiam sesaat. Seorang gadis cantik, manis, dan cukup populer sedang mengajak seorang anak itik yang dungu dan lamban, batin Mimi. Ya, Belia memang gadis yang baik. Kecantikan dan kepopulerannya di sekolah ini tak menjadikannya sombong. Sementara teman-teman yang lain menganggap Mimi aneh dan enggan menegur, apalagi mengajak Mimi ikutan dalam suatu kegiatan. "Ayolah," ajak Belia sambil menarik tangan Mimi. "Kalau kau..." "Bel... cepetan dong, lama amat sih," panggil Kiki, salah satu gadis dalam kelompok Belia. Kelompok yang terkenal lantaran anggotanya terdiri dari gadis-gadis manis dan modis. Lewat tatapan mata Kiki, Mimi dapat merasakan bahwa keikutsertaannya tidak diharapkan dan kehadirannya tak diinginkan oleh anggota kelompok yang lain. "Aku... eh... lain kali sajalah," tolak Mimi seperti biasanya dengan kikuk dan kepala agak tertunduk- tunduk, tak berani menatap lawan bicaranya. "Bel, cepet...!" panggil Kiki. Belia memandang ke arah Mimi dan Kiki bergantian beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti Kiki. "Bener lho, Mi... lain kalinya?" Belia pura-pura merengut. Mimi tersenyum lalu mengangguk dan segera berlalu dari hadapan mereka. Ia lebih suka melewatkan waktu makan siang di perpustakaan atau di taman sambil memakan bekal roti yang dibawanya dari rumah. Baginya kumpul-kumpul dan ngobrol di kantin adalah sesuatu yang hanya membuatnya merasa tidak enak, risi, dan malu. Sebab semua orang akan memperhatikan dirinya begitu ia masuk ke sana. Sambil melangkah Mimi terus memikirkan keadaannya. Bukan ia yang minta menjadi gadis kutu buku berkacamata minus tebal dan berpribadi pemalu, tertutup seperti ini. Entah siapa yang salah.... Yang jelas, selama 16 tahun ia telah tumbuh menjadi Mimi yang lamban, kutu buku, tak pandai bergaul, dan punya selera yang aneh dalam memilih penampilan. Mimi memasuki taman sambil mulai mencari-cari sudut yang lengang dan kursi yang kosong. Sekolah swasta ini dikelola oleh yayasan Katolik, sehingga selain kompleks sekolah, terdapat juga kompleks biarawati. Dan taman ini sebenarnya adalah milik para biarawati itu. Akan tetapi siapa saja boleh memasukinya asalkan tidak merusak, bikin kotor, atau bikin onar. Tak seorang pun nampak di taman. Tidak juga para

description

comedy

Transcript of Mimi Elektrik

  • Teng... teng... teng..."Ya, kita selesaikan sampai di sini dan jangan lupapekerjaan ru..."Ucapan sang ibu guru tak lagi terdengar lantaranriuhnya suara kursi dan derap langkah murid-muridyang berlomba-lomba keluar ruangan kelas lebih dulu.Tak ada seorang lagi pun yang mengacuhkan pesanBu Betty, sang guru fisika.Tak terkecuali Mimi. Meski sudah memusatkan segalakecepatan yang dimiliki, tetap saja ia kebagian posisijuru kunci, alias paling belakang dan selalu diserobotteman-temannya. Sambil menghela napas maklum,Mimi membetulkan letak kacamata minus tujuh-nyayang sering merosot akibat dorongan dan desakan-desakan teman-teman yang memburu keluarmelewati pintu."Hei!" seseorang mencolek bahunya.Mimi menoleh dan tersenyum kikuk. "Hai, Belia,"dibalasnya sapaan Bella."Mau ke mana? Ke kantin yuk?" ajak Belia manis,bernada bersahabat.Mimi terdiam sesaat. Seorang gadis cantik, manis, dancukup populer sedang mengajak seorang anak itikyang dungu dan lamban, batin Mimi. Ya, Beliamemang gadis yang baik. Kecantikan dankepopulerannya di sekolah ini tak menjadikannyasombong. Sementara teman-teman yang lainmenganggap Mimi aneh dan enggan menegur, apalagimengajak Mimi ikutan dalam suatu kegiatan."Ayolah," ajak Belia sambil menarik tangan Mimi."Kalau kau...""Bel... cepetan dong, lama amat sih," panggil Kiki, salahsatu gadis dalam kelompok Belia. Kelompok yangterkenal lantaran anggotanya terdiri dari gadis-gadismanis dan modis.Lewat tatapan mata Kiki, Mimi dapat merasakanbahwa keikutsertaannya tidak diharapkan dankehadirannya tak diinginkan oleh anggota kelompokyang lain."Aku... eh... lain kali sajalah," tolak Mimi sepertibiasanya dengan kikuk dan kepala agak tertunduk-tunduk, tak berani menatap lawan bicaranya."Bel, cepet...!" panggil Kiki.Belia memandang ke arah Mimi dan Kiki bergantianbeberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untukmengikuti Kiki."Bener lho, Mi... lain kalinya?" Belia pura-puramerengut.Mimi tersenyum lalu mengangguk dan segera berlaludari hadapan mereka. Ia lebih suka melewatkanwaktu makan siang di perpustakaan atau di tamansambil memakan bekal roti yang dibawanya darirumah. Baginya kumpul-kumpul dan ngobrol di kantinadalah sesuatu yang hanya membuatnya merasatidak enak, risi, dan malu. Sebab semua orang akanmemperhatikan dirinya begitu ia masuk ke sana.Sambil melangkah Mimi terus memikirkankeadaannya. Bukan ia yang minta menjadi gadis kutubuku berkacamata minus tebal dan berpribadi pemalu,tertutup seperti ini. Entah siapa yang salah.... Yangjelas, selama 16 tahun ia telah tumbuh menjadi Mimiyang lamban, kutu buku, tak pandai bergaul, danpunya selera yang aneh dalam memilih penampilan.Mimi memasuki taman sambil mulai mencari-carisudut yang lengang dan kursi yang kosong. Sekolahswasta ini dikelola oleh yayasan Katolik, sehinggaselain kompleks sekolah, terdapat juga kompleksbiarawati. Dan taman ini sebenarnya adalah milikpara biarawati itu. Akan tetapi siapa saja bolehmemasukinya asalkan tidak merusak, bikin kotor,atau bikin onar.Tak seorang pun nampak di taman. Tidak juga para

  • biarawati. Mungkin mereka sedang makan siang, pikirMimi, lalu memilih sebuah kursi dan duduk di atasnya.Dikeluarkannya catatan kimia yang baru disalin-nyakemarin dari buku Profesor Aloysius, guru kimia SMAValentino.Dan begitu larut dalam catatan dan pelajaran, Mimiseperti lupa akan segalanya. Tak menghiraukankeadaan sekelilingnya lagi. Asyik sendiri dengankumpulan rumus-rumus baku dan rumus-rumusturunan. Kimia adalah salah satu mata pelajaranfavoritnya, sementara justru bagi kebanyakan anak-anak lain menjadi musuh utama. Mimi memang selaluaneh dan berbeda dengan kebanyakan anakseusianya. Kalau anak-anak lain lebih suka ke disko,ke toko kaset atau ke kantin, maka Mimi lebih sukake perpustakaan, toko buku, atau di rumahmendengarkan walkman. Apa yang wajar menurutMimi ternyata merupakan keanehan bagi teman-temannya.Karena perbedaan-perbedaan inilah maka Mimi lantasmerasa enggan bergaul dengan teman-temannya.Mimi terbiasa sendirian tanpa kawan, apalagi sahabat.Dan lama-kelamaan muncul pula rasa rendah diriapabila berada di tengah-tengah teman sebayanya.Teng... teng... teng...Mimi masih asyik dengan catatan kimianya."Ehem... ehem..."Mimi tersentak mendengar suara seseorang.Ditengadahkannya kepalanya dan dilihatnya sosokbergaun putih-putih berada dihadapannya."Suster Christine...," desisnya perlahan."Ya... saya senang melihat kau rajin belajar, Mimi,"ujar Suster Christine sambil tersenyum.Para biarawati di sini rata-rata mengenal Mimi, sebabMimi adalah murid yang paling sering mengunjungitaman mereka."Maaf, Suster... apakah sekarang anak-anak sudahdilarang masuk ke taman ini lagi?" tanya Mimi takut-takut."O... tidak," geleng Suster Christine cepat. "Tapi sayaingin mengingatkan kamu. Rasanya waktu istirahatsudah habis dan kau harus kembali ke kelasmu."Mimi ternganga. Diliriknya arloji bergambar MickeyMouse-nya. Suster Christine benar, sekarang sudahjam setengah sepuluh, berarti pelajaran BahasaInggris sudah dimulai! Mimi segera membereskanbuku-buku dan tempat rotinya."Tidakkah kau mendengar suara bel barusan? "SusterChristine tersenyum geli melihat kekikukan Mimi.Mimi menggeleng."Selamat siang, Suster," ujarnya terengah. Lantassecepat kilat Mimi hilang dari pandangan mata,mengejar waktu yang tertinggal untuk mengikutipelajaran selanjutnya.-------"Tambah lagi, Sayang," ujar Mama lebih merupakansuatu perintah."Mimi sudah kenyang, Mam," Mimi berusaha menolaksambil memperlihatkan ekspresi kenyang denganmeringis."Beberapa sendok lagi toh tak akan berpengaruh apa-apa... ayo."Mama menyodorkan lagi tempat nasi. Mimi menghelanapas. Tapi toh disendoknya juga nasi dari piring yangdisodorkan Mama. Ucapan Mama, meskipun manisdan lembut, bagi Mimi lebih menakutkan ketimbangsuara Bu Betty, guru fisikanya. Apa-apa yang telahkeluar dari mulut Mama adalah peraturan yang mestidijalankan. Dan siapa yang tak menaatinya... uhjangan tanya lagi deh. Pasti kena sanksi.Sambil mengunyah dengan malas Mimi teringatwaktu ia meminta adik pada Mama. Mama sudahmemperingatkan agar tidak menyinggung-nyinggunglagi hal itu, tapi Mimi toh keceplosan juga waktungobrol dengan Tante Rince di jamuan arisan. Dan

  • Tante Rince tertawa mendengar keinginan Mimi, danMama mendengarnya lalu marah, dan Mimi tidakdiberi uang saku selama seminggu dan akibatnyaMimi tak bisa membeli kumpulan rumus terbaru yangbegitu didambakannya. Yah... panjang sekali bukanbuntutnya? Beranjak dari pengalaman itu Mimiselanjutnya selalu mematuhi apa yang dikatakanMama."Nah... habis juga, kan?"Mama mengangkati piring-piring kotor, sementaraMimi bersandar kekenyangan pada kursinya.Diembuskannya napasnya secara teratur, untukmengatasi rasa mual akibat perutnya diisi terlalubanyak. Mimi mencoba mengalihkan perhatiannyapada televisi. Selepas pukul delapan biasanya acara-acara mulai menarik. Dari ruang tengah terdengarmusik intro sebuah film seri."Jeannie!" seru Mimi sambil memburu ke ruangtengah. Film Dream of Jeannie yang penuh fantasi dankeajaiban amat disukainya. Dan dalam beberapa saatsaja Mimi telah asyik larut dalam film tersebut. Ya,dalam hal-hal yang diminatinya Mimi mudah sekalihanyut dan larut. Seolah-olah sedemikianmenghayatinya sampai terseret dalam pusaran ceritakhayal itu sendiri."Mimi!" tukas Mama yang tiba-tiba sudah ada disebelahnya."Hm?" sahut Mimi tanpa melepaskan perhatiannyapada televisi."Sudah jam setengah sepuluh, lebih baik kaukerjakantugas-tugas sekolahmu dan masuk kamar lalu tidur.""Ya... Mama... sebentar lagi deh," ujar Mimi jengkel."Mimi, film-film khayal seperti itu kurang baikakibatnya bagi anak-anak seperti kamu....""Mimi kan sudah es-em-a, masa masih anak-anak?"bantah Mimi."Eh... kok anak Mama sudah mulai membantah?" bolamata Mama membesar."Itu tandanya sudah besar.""Lho... Mimi kok gitu sih? Ayo sana... biar Mamamatikan saja televisinya supaya tak ada yangmenonton, supaya adil."Mama bangkit dan pesawat televisi benar-benardimatikan oleh Mama."Mama...," pekik Mimi setengah merengek."Sstt!" Mama menempelkan telunjuk pada bibirnyasambil menatap tajam ke arah Mimi. "Janganmerengek begitu... Mama tidak suka. Ayo, jangansampai Mama marah,ya?"Dengan cemberut Mimi beranjak ke kamarnya dilantai dua. Ditutupnya pintu dengan keras hinggasuaranya berdebum; Namun kekesalan di hatinyabelum juga hilang. Mama selalu memperlakukannyaseperti anak kecil, mengatur kehidupannya hampir disegala bidang. Mulai dari memilihkan pakaian,mengatur jadwal belajar, main, makan, dan tidur,hingga menetapkan buku-buku atau film-film apa sajayang patut ditonton oleh Mimi. Tentu aku tak pernahdewasa... keluh Mimi menyesali nasibnya sebagaianak tunggal. Kata orang jadi anak tunggal enak,dimanja dan dituruti setiap kemauannya. Dulumemang begitu... lamunan Mimi melayang ke hari-harisilam waktu Papa masih ada. Kepergian Papa telahmengubah perangai Mama, demikian pula cara Mamamendidiknya.Mimi tak begitu mengerti kasus-kasus psikologi, tapimenurutnya sikap Mama dan cara mendidiknya yangkeras adalah kompensasi dari ketakutannya belaka.Mama adalah wanita karier yang sukses, yang takmau kelihatan tua, maka wajar kalau ia selalumenganggap dan memperlakukan Mimi sebagai anakkecil, sebab dengan demikian ia tak akan merasa tua.Dan bisa jadi Mama berusaha mengimbangikelembutan seorang ibu dengan kekerasan seorangayah, karena Papa telah tiada, dan Mama mesti

  • berperan ganda. Tentu tak mudah.... Karena itu Mimijarang melawan Mama. Ia cukup mengertipenderitaan Mama setelah Papa tiada. Meski kadang-kadang menjengkelkan... tapi toh diturutinya juga.Di kamarnya yang ditata feminin dalam nuansamerah jambu, Mimi merasa kesepian. Dinyalakannyawalkman dan dicarinya gelombang radiokesayangannya."...dan satu nomor cantik saya hadirkan untuk kamuyang siap berlayar ke dunia mimpi.... Mimpi indahdan... selamat menikmati...."Kemudian lagu Sealed With a Kiss versi baru dariJason Donovan pun mengalun merdu. Mimimemejamkan matanya, meresapi lagu yang seolah-olah dikirimkan oleh sang penyiar cowok bersuaraaduhai itu, khusus untuknya.Penyiar yang memakai nama samaran Mister DJ ituadalah satu-satunya orang yang tahu segala perasaanMimi. Mimi sering meminta lagu lewat kartupos padasi Mister DJ dengan menggunakan nama samaran;Monique. Lewat surat-surat dan kartupos-kartuposnya,kadang Mimi menceritakan keluh-kesah di hatinya.Meski tak lengkap semuanya.Mungkin ini salah satu cara Mimi melepaskan beban dihatinya. Dan Mister DJ ternyata pandai pulamenghibur, memberi saran lewat siaran-siarannya.Mereka akrab, terasa dekat, meski belum saling kenal.Dan mungkin tak akan pernah... angan Mimimelayang jauh.though we've got to say goodbye,for the summer and live in the emptinessill send you all my love everyday in a letter sealedwith a kiss...***Pagi yang cerah. Mimi melompat turun darisepedanya. Ia ingin lebih lama menikmati perjalananmenuju sekolah. Jalan masuk dari gerbang menujukompleks sekolah mereka amat panjang dan indah.Di kanan-kiri begitu banyak yang bisa dinikmatilantaran alam yang masih asri. Pohon-pohon besar ditengah hamparan rumput. Kadang di musim sepertiini, daun-daun yang berguguran menciptakanpermadani kuning tebal yang mengundang siapa pununtuk mengempaskan diri di kelembutan alami itu.Mimi menghirup udara pagi yang sejuk itu dalam-dalam... sebanyak paru-parunya dapat menampung.Seandainya saja cukup waktu, betapa ingin Mimisesaat berhenti di hutan kecil itu sambil membacabuku dan memakan bekal rotinya. Pasti nikmat sekali,khayalnya.Digiringnya sepedanya perlahan.Kring... kring...Mimi terkejut dan segera minggir mendengar klaksonsepeda lain dari arah belakang."Halo... melamun, ya?" seru Rio sambil melompat turundari sepeda sport hitamnya yang berkilat ditimpa sinarmatahari pagi.Mimi ternganga, tak percaya pada apa yangdialaminya."Pagi yang cerah seperti ini memang kadangmemaksa kita melamun, berkhayal, danmenghasilkan suatu inspirasi. Bener nggak?" tanya RioJenaka."Ah..." Mimi menahan tawanya. Hatinya berdegupkencang.Rio, cowok paling ganteng di sekolah ini, kini berjalanmendampinginya. Bersama-sama mereka menentengsepeda masing-masing, sepanjang jalan menujusekolah. Sungguh sukar dipercaya!Membayangkannya saja Mimi tak pernah berani."Kau selalu berangkat sepagi ini, Mimi?" tanya Riosambil menatapnya."Ya." Mimi mengangguk."Ck... ck... ck..." Rio geleng kepala dan berdecakkagum.

  • "Kenapa?""Sayang...""Sayang?" Mimi tak menangkap maksud Rio."Ya... sayang sekali aku baru mengetahuinyasekarang.... Kalau aku tahu, sejak lama akankubiasakan diri bangun pagi supaya bisa barengdenganmu tiap pagi.""Ah, kau berolok-olok," tutur Mimi jengah."Tidak, aku serius."Mimi mencibir. Padahal dalam hatinya jantungnyanyaris berhenti berdetak. Tiap pagi berjalan bersamaRio? Olala..."Besok... kautunggu aku di gerbang ya... dan ki...""Rio!" seseorang meneriakkan nama Rio.Serempak Rio dan Mimi menoleh ke belakang dankelihatan Belia mengayuh sepedanya dengan susah-payah untuk mengejar mereka."Asthagha..." Belia terengah ketika akhirnya Rio danMimi tersusul juga."Eh... aku duluan..." Mimi naik ke sadel sepeda danmelambaikan tangan pada Belia dan Rio."Hei, mau ke mana?" panggil Rio seperti kecewa."Aku mesti buru-buru... harus mengurus sesuatu ketata usaha. Ciao." Mimi tersenyum sumbang."Bagaimana janji kita besok?" teriak Rio lagi sambilberlari kecil dan akhirnya ikut melompat ke atassepedanya dan mulai mengayuh. Sementara Beliamengikuti dari belakang.Mimi mengangkat bahunya. Ia betul-betul tak tahuharus menjawab apa. Sementara hatinya memaksakepalanya mengangguk dan bibirnya berseru, "Ya!!!"Matanya yang melihat kehadiran Belia malahmembungkam segala hasrat itu.Tidak, Rio hanya berbasa-basi dengan ajakan danobrolan tadi. Pasti tadi Rio sebetulnya menunggu Belia,dan karena Belia tak kunjung datang Rio terpaksaberjalan bersamaku, Mimi berusaha memadamkankegembiraan di hatinya dan mengubur harapan yangbersemi lantaran ucapan Rio tadi.Belia dan Rio adalah pasangan yang serasi, batin Mimilagi. Seorang cowok sepopuler dan setampan Rio takpantas berpasangan dengan gadis kurang pergaulandan aneh seperti aku, pikir Mimi sedih. Harapan takperlu tumbuh karena hanya akan mendatangkankekecewaan. Gadis kecil sepertiku menurut Mamabelum waktunya naksir-naksiran. Yang utama adalahbelajar!Mimi mencoba menegarkan hatinya denganmengingat kata-kata Mama. Tapi... Rio memangtampan... dan semua gadis berlomba menarikperhatiannya.Mimi tertunduk dan memarkir sepedanya di antarapuluhan sepeda lain di sayap kiri kompleks sekolah.Mario nama lengkapnya. Seorang aktifis sekolah,jagoan basket, dan berwajah imut-imut ala coverboy.Penampilannya sederhana, tapi jantan. Dadanyabidang, kakinya panjang, dan tubuhnya tinggi,berimbang dengan berat badannya. Rahangnya keras,menandakan keteguhan hati. Namun matanya lembutmengisyaratkan persahabatan dan kasih sayang.Sungguh Tuhan telah menciptakan seorang manusia,cowok, yang mendekati sempurna, pikiran Mimi masihpada Rio. Rio yang tadi pagi berjalan di sebelahnyadan mengajaknya bareng tiap pagi. Ah... Rio lebihmenarik daripada pelajaran biologi yang tengahditerangkan Bu Dani di depan kelas.Sejak lama Mimi tertarik pada Rio. Rasanya inilahsatu-satunya persamaan Mimi dengan gadis-gadis lain.Dalam hal selera memilih cowok, ternyata Mimi masihnormal. Tapi perasaan rendah dirinya membuatnyaselalu menghindari Rio. Tiap kali yang muncul cumakeinginan dan impian belaka. Tapi tatkala kenyataantelah hadir di depan mata dan kesempatan terbukaseperti pagi tadi... yang muncul hanyalah kebodohan-kebodohan yang merugikan diri sendiri.

  • Mimi mencoret-coret kertas di hadapannya denganhati galau. Belum pernah ada hal-hal yangmembuatnya tak memusatkan diri pada pelajaran.Biasanya bagi Mimi pelajaran adalah segala-galanya.Tapi hari ini, gara-gara seorang Rio, catatan biologinyakosong-melompong....Teng... teng... teng..."...kah anak-anak, Ibu pikir be..."Dan, seperti biasanya sebelum ucapan Bu Guru usai,murid-murid sudah ngibrit ke luar kelas. Dan sepertibiasanya pula, Mimi dapat giliran paling belakang.Kacamatanya merosot lagi."Heh!"Langkah Mimi terhenti. Ia dihadang oleh Lisa, gadisbertubuh besar, terkenal nakal, dan berkali-kali tinggalkelas. Lisa selalu ditemani sahabat-sahabat setianya.Mereka terkenal suka membuat onar dan bertindakseenaknya karena merasa jagoan. Karena tak adaseorang gadis lain pun yang berani melawan mereka."Mana catatan biologimu? Pinjam!" Lisa mengulurkantangannya, meminta dengan kasar."Eh... aku tak mencatat hari ini...," sahut Mimi gemetar."Ah... bohong! Dasar pelit! Kikir! Berikan!" Lisa meyodokperut Mimi dengan tangannya."Aduh... a..aku betul-betul...""Betul, Lis, hari ini dia nggak nyatet, aku melihatnya.Sejak pelajaran dimulai ia cuma melamun sambilsesekali senyum-senyum sendiri seperti orang miring."Oya menimpali."Melamun? Orang seperti kamu bisa melamun?" Lisatersenyum sinis. Membuat Mimi makin gemetar, ciutketakutan."Pasti sesuatu yang istimewa telah terjadi," pancingOya lagi."Aha!" Lisa menjentikkan jarinya, melirik penuh arti."Tadi pagi aku melihat pangeran berjalan dengan itikburuk rupa.,.."Mimi tercekat. Jadi mereka melihatnya bersama-samaRio tadi pagi?"Kalian pacaran, ya?" desak Oya setengah berteriak."Ti.. tidak....""Bohong!""Sungguh... ta.. tadi cuma kebetulan," kilah Mimihampir menangis. Kacamatanya melorot berkali-kali,tapi ia tak berani bergerak membetulkannya."Awas ya, Rio adalah calon pacarku! Kalau kamuberani-berani... uh...." Lisa menatap gemas pada Mimi,seolah ingin menelannya.Mimi meringkuk bagai tikus yang akan dimangsakucing. Semua orang tahu bahwa Lisa juga mati-matian hendak mendapatkan Rio. Di hadapan Rio, Lisaselalu bersikap manis dan lembut karena ia tahu Riotak suka gadis kasar dan nakal."Tampar aja sekali. Lis, biar kapok," Oya memanas-manasi."Ja.. jangan..." Mimi meronta."Mimi!"Kejadian yang mengerikan itu terhenti sesaat Koridoryang tadinya hanya berisi Mimi, Lisa, dan Oya kinibertambah satu penghuninya."Rio..." Lisa spontan melepaskan cekalannya padalengan Mimi dan merapikan rambutnya dengan jari-jarinya. Rambut yang dicat dengan warna coklat danpirang itu kelihatan amat menjijikkan, mirip buluayam, alias kemoceng.Mimi menghela napasnya lega. Dibetulkannya letakkacamatanya yang melorot di hidung."Kau baik-baik saja, Mimi?" Rio menghampiri Mimi danhendak menyentuh bahunya, tapi Mimi menghindar."Yah... eh... aku pulang dulu.... Ciao." Mimi melambaidan segera berlalu dari hadapan Rio dan Lisa.Rio menatap kepergian Mimi dengan rasa heran.Aneh, gadis-gadis lain berlomba-lomba menarikperhatiannya. Tapi Mimi... kutu buku langganan juarakelas itu malah menghindari Rio. Setiap kali. Tak sekali

  • pun Rio berhasil menciptakan percakapan yanghangat, obrolan yang akrab bersama Mimi."Eh, Rio... mengajakku pulang bareng?" tanya Lisagenit sambil mengedip-ngedipkan matanya.Rio meringis mual."Lain kali aja, ya? Dan lain kali itu tak akan pernahada bila kulihat sekali lagi kau mempermainkan Mimi!Oke?" tukas Rio tegas tapi santai.Lisa hanya melongo. Brak...! Ditinjunya tembokdengan kepalannya."Aduuh!" Lisa memegangi tangannya, kesakitansendiri. Senjata makan tuan! Hah! Rasain!------"Aku nggak ngerti. Mi," bisik Belia sambil pura-puramengerjakan soal kimia yang diberikan ProfesorAloysius siang itu."Sebentar..." Mimi asyik mengerjakannya. SesekaliBelia melirik ke arah Mimi, mencoba mengintip tulisanMimi. Tapi toh percuma saja... jawaban boleh sama,nilai bisa sama, tapi kalau tidak mengerti, apagunanya?"Pulang sekolah nanti ajari aku ya, Mi? Mau, kan?"pinta Belia.Mimi mengangguk. Ia senang karena ternyata masihada yang dapat dilakukannya untuk orang lain. Ya...dengan segala keanehan yang membuat orangmenjauhinya, ternyata ia masih punya satu kelebihan."Kurasa, Profesor Aloy tidak cocok mengajar di es-em-a," komentar Belia lagi."Kenapa?""Dia terlalu genius, coba perhatikan cara mengajar...sepertinya kita ini sama geniusnya dengan dia,"gerutu Bella."Aku tak keberatan dengan cara Profesor mengajar,"ujar Mimi jujur.Belia menatapnya sesaat. "Ya... itu karena kau samageniusnya seperti beliau.""Ah, nggak mungkin," Mimi merendah. Disodorkannyapekerjaannya pada Belia agar dapat segera disalin.Waktu tinggal lima menit lagi dan Belia dengancekatan menyalin pekerjaan Mimi ke atas kertasnya."Tapi nanti aku diajari sampai mengerti, ya?"Mimi mengangguk menjanjikan."Ya... waktu habis. Kumpulkan!" seru Profesor Aloysius.Sementara seorang anak mengumpulkan kertas, sangprofesor mulai membaca daftar absen, mencari-carimangsa.Anak-anak diam, suasana kelas hening, menanti siapagerangan yang bernasib sial hari ini. Siapa geranganyang diminta maju mengerjakan soal ke papan tulis.Siapa gerangan yang hari ini jadi korban bentakansang profesor berjenggot lebat bagai singa itu?"Camelia Hadiman!"Terdengar helaan napas mereka yang merasa bukannamanya. Mimi bangkit dengan tenang dari kursinyadan melangkah ke papan tulis. Sesaat kemudian Mimimalah asyik sendiri di papan tulis, mengerjakan soal-soal yang seluruhnya berjumlah tiga nomor itu.Padahal mestinya tiap anak hanya mengerjakan satusaja."Hei! Kenapa kaukerjakan semuanya?" tanya Profesorterkejut waktu memeriksa hasil pekerjaan Mimi dipapan tulis."Oh., maaf... maaf, Profesor, saya keasyikan....""Keasyikan?" pekik Profesor makin heran."Eh.. ma.. maaf, Profesor, bu.. bukan maksud saya...keterusan... eh..."Profesor memicingkan matanya meneliti jawabanMimi dan ia terkejut waktu menyadari bahwa taksatu pun yang salah.Sementara kelas mulai gaduh. Dialog Mimi danProfesor barusan rupanya cukup lucu danmengundang tawa."Beginilah kalau dua orang aneh bertemu," bisik Lisa,

  • agak keras. Serempak seisi kelas tertawa. Kelasterasa gaduh dan ribut.Brak...!!!"Diaaaammm!" Profesor menjerit sambil memukulkanpenghapus ke papan tulis. Debu berhamburan dimana-mana dan kelas kembali hening."Hari ini cukup sekian. Dan eh... siapa namamu?"tanya Profesor pada Mimi."Mimi, Profesor....""Ya... pulang sekolah nanti temui saya di ruang guru."Tanpa basa-basi Profesor Aloysius meninggalkankelas. Padahal jam pelajarannya sebenarnya belumusai. Tapi itulah... bukan profesor namanya kalau tidaklinglung.Mimi kembali ke bangkunya."Wah... tahukah kau, Mimi, kau amat luar biasa!" seruBelia memuji.Mimi hanya tersenyum. Ia memang pandai, tapi apagunanya? Bukan itu yang diinginkannya. Sekilas iamelirik ke arah Belia. Penampilan modis, wajah manis,dan pribadi mempesona. Tahukah Belia bahwasesungguhnya aku iri padanya? bisik Mimi dalam hati.------Setumpuk tugas dari Profesor Aloy. Hah. Mimimengayuh sepedanya dengan cepat, ingin segera tibadi rumah dan mengempaskan diri sejenak di tempattidurnya yang lunak dan lembut."Spada...," teriaknya begitu memasuki rumah.Tak ada sahutan. Artinya, Mama masih di kantor. Mimimelangkah ke dapur, membuka lemari es danmengambil sekarton susu. Sambil lalu diraihnya jugatoples kue dan dibawanya semua itu ke kamarnya.Masih mengenakan kaus kaki, Mimi melompat ke atastempat tidurnya.Sudah pukul setengah lima sore... hah... sungguh hariyang amat panjang dan melelahkan. Dan sekarangtiba waktunya untuk bersantai, melakukan sesuatuyang membuatmu gembira tanpa digerecoki Mama!seru Mimi sambil meraih radio mininya. Gelombangyang tak pernah diubah-ubah itu segeramengantarkan acara lewat frekuensi FM stereo."Mister DJ kembali menemani kamu mulai petang harihingga lepas pukul sembilan malam nanti. Satu nomordari Natalie Cole untuk sahabat saya Monique. Apakabar? Salam manis..."I miss you like crazyno matter what you say or dothere's just no getting over youI miss you like crazyI miss you, baby...Mimi terhanyut dalam alunan suara merdu penyanyikulit hitam kesayangannya itu. Mimi tak pernah punyakoleksi lagu-lagu populer. Ia hanya mendengarnyalewat radio. Mama tak pernah mengizinkan Mimimembelanjakan uangnya untuk benda-benda sepertiitu. Hanya untuk buku dan alat tulis. Selebihnyaditabung.Ah... entah apa jadinya hidupku kalau tak ada kau,Mister DJ, keluh Mimi terharu. Betapa merdukedengarannya waktu Mister DJ mengucapkannamanya barusan. Meski nama samaran, tapi Mimimerasa itulah namanya.Mister DJ adalah satu-satunya orang yang mengertidirinya, yang selalu menghibur dan tak pernahmengecewakannya. Tiap kartuposnya selaludibacakan, dan tiap lagu yang dimintanya selaludiputarkan. Selalu, dua kali seminggu mereka bertemulewat gelombang radio. Seandainya... Mimimemejamkan matanya mulai mengkhayal."Mimi! Astaga!" pekik Mama melihat posisi Mimi ditempat tidur. Entah kapan datangnya, tahu-tahuMama telah muncul di kamar tidur Mimi."Lho... kapan pulang, Ma?" tanya Mimi polos."Kue... susu... di tempat tidur? Apa-apaan ini? Siapayang mengajari kamu budaya jorok begini, hmh?"

  • Mama marah-marah.Mimi segera beringsut dari tempat tidur danmembenahi toples kue dan susu yang ada di mejasamping tempat tidurnya."Kalau Mama sampai sekali lagi melihatmu sepertiini...""Maaf, Ma... nggak lagi-lagi," sela Mimi takut."Lekas kembalikan benda-benda itu ke tempatnya... dimana?" Mama mendikte persis seperti menghadapianak taman kanak-kanak."Di dapur....""Nah., ayo kembalikan ke sana! Kamar tidur harusselalu bersih, untuk tidur! Bukan untuk makan!""Ya, Ma....""Dan pulang sekolah mestinya kau segera mandisebelum masuk kamar!""Ya, Ma...""Lihat... ck... ck... ck... apa pantas ini disebut kamaranak gadis? Baju bertebaran di mana-mana... sepertikapal pecah.""Ya, Ma...."Bla... bla... bla... Mama terus nyerocos dan Mimiterkantuk-kantuk menjawab tanpa mendengar apayang dikatakan Mama lagi.***Perpustakaan adalah sahabat Mimi. Salah satu bagiandari gedung sekolah yang paling akrab dengannya,setelah kelas dan laboratorium di urutan pertama dankedua. Kadang Mimi heran, mengapa teman-temannya sering kali menganggap sekolah sebagaisuatu tempat yang mengerikan dan patut dijauhi. BagiMimi sama sekali tidak. Malah cenderungkebalikannya. Banyak yang bisa kuperoleh di tempatini, pikir Mimi. Bacaan bermutu, tambahan ilmupengetahuan, dan suasana yang tenang dan tertib.Suasana yang jarang ditemuinya di ruang kelas,apalagi di kantin.Mimi memilih tempat duduk setelah mengambilsebuah buku yang telah lama ingin dibacanya. Bumiyang Subur karya Pearl S. Buck yang telahditerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sejaklama Mimi ingin menyelesaikan buku itu, tapi ia takpernah berani meminjamnya. Bukan karena tidakboleh oleh petugas perpustakaan, akan tetapi karenaMimi yakin Mama takkan setuju Mimi membaca karyafiksi. Meskipun Pearl S. Buck bukan penulissembarangan dan karyanya termasuk karya sastra,toh Mama tak perduli.Mimi mengempaskan diri di atas kursi yang letaknyaagak menyendiri di sudut ruang baca. Bagi Mama,buku yang boleh dibaca adalah buku cetak, pengantarilmu yang resmi dari Departemen P dan K.80, 81, 82... ah... ini dia... Mimi melanjutkan membacahalaman 83. Dan seperti biasa, ia pun lantas larutdalam apa yang dibacanya."Hei!" sebuah seruan mampir tiba-tiba di telinganya.Mimi tersentak, dan rasanya bukan cuma Mimi yangmerasa kaget dengan seruan senyaring itu di ruangbaca yang mestinya tenang dan lenggang."Astaga... Rio," desis Mimi memegangi dadanya.Kacamatanya melorot.Rio hanya tersenyum. Sementara beberapa pasangmata menatap kearah mereka dengan nada protes."Sori... soii," ujar Rio perlahan sambil menatapi wajah-wajah jengkel itu satu per satu. Lantas ia pun dudukdi sebelah Mimi."Keterlaluan kamu, Rio. Coba lihat... semuamemperhatikan ulahmu!" tukas Mimi setelahketerkejutannya mereda."Ah, biar saja... kurasa mereka cuma iri.""Iri bagaimana?""Ya... melihat kau dan aku... berdua... mesra... eh,mesra sih enggak," canda Rio.Mau tak mau bibir Mimi pun mengukir sebuah senyumgeli. Cowok tampan satu ini memang kocak dan

  • pandai mengambil hati siapa pun. Bagaimana gadis-gadis tak tergila-gila? Bagaimana ia tak menjadidambaan tiap murid perempuan di sekolah ini?"Tak ada pelajaran?" tanya Rio.Mereka memang satu sekolah, tapi Rio mengambiljurusan sosial, sedangkan Mimi memilih jurusan ilmupasti.Mimi menggeleng."Tidak ada kerjaan?" tanya Rio lagi."Tidakkah kaulihat aku sedang membaca?" Mimi balasbertanya."Ya... maksudku pekerjaan lain selain membaca. Yanglebih mengasyikkan dan...""Bagiku satu-satunya pekerjaan yang mengasyikkandi sela waktu belajar adalah membaca," potong Mimi."O ya? Ck... ck... ck..." Rio memasang mimik serius,sehingga mereka berdua lantas tertawa sendiridengan kekonyolan yang dilakukan Rio barusan."Eh, Mi, ngomong-ngomong soal hobi, aku lebih sukanonton televisi atau mendengarkan musik," Riomemancing pembicaraan."Mendengarkan musik..." Sesaat Mimi teringat padapenyiar pujaannya. "Ya... aku pun suka mendengarkanmusik.""O ya? Musik apa?""Musik apa?" Kening Mimi berkerut sejenak. Ia takpernah tahu jenis-jenis musik. Apa ya? Rasanya apasaja yang diputar oleh Mister DJ pasti disukainya."Jazz, pop, atau dangdut barangkali?""Aku tak tahu." Mimi mengangkat bahunya lugu. "Akuhanya mengenal lagu lewat radio saja.""Tak punya kaset atau piringan hitam?""Mama punya, lagu-lagu tempo dulu.""Kau sendiri?" Rio makin penasaran dengan gadis satuini.Mimi menggeleng."Bohong!""Sumpah!" yakin Mimi serius.Rio tak bertanya-tanya lagi. Jadi, berhubung Mimi takpunya koleksi album lagu-lagu, percakapan soal musiktentu tak bisa dilanjutkan. Berarti ia mesti mencaritopik baru secepatnya, kalau tidak jam istirahat yangtinggal lima menit lagi segera berlalu dan entah kapanlagi ia bisa memperoleh kesempatan mengenal gadislucu ini lebih dekat lagi."Bagaimana dengan... bacaan? Buku macam apa yangkausuka? Apa kau membaca majalah MODE? AtauGadis? Atau HAI? Atau... atau apa?"Mimi menggeleng lagi."Kau tidak membaca majalah remaja?" Rio makinheran."Tidak, aku tidak pernah membaca majalah, apapun...," sahut Mimi tenang.Rio menelan ludah.Teng... teng... teng...Mimi menutup bukunya dengan jengkel. Hari ini taksatu halaman pun dapat dibacanya, gara-gara Rio.Cowok satu ini memang menyenangkan, tapiadakalanya Mimi lebih suka sendirian, menikmatikegiatannya tanpa diganggu oleh siapa pun, takkecuali Rio sekalipun."Wah, maaf, aku telah merusak acara baca bukumu,"ujar Rio tersenyum nakal."Kau tahu, Rio? Kau telah menggangguku denganpertanyaan-pertanyaan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Pertanyaan-pertanyaan yangmestinya tak kauajukan, pada orang seperti aku....""Kenapa?""Entahlah. Yang pasti aku bukan orang yang tepatuntuk kauajak ngobrol," kata Mimi, bersiapmengembalikan buku kembali ke raknya. Riomembuntuti dari belakang."Kenapa begitu? Aku rasa kau gadis yang cukuppandai, dan aku menyukai gadis seperti itu, gesit,pandai, energik, dan..."

  • Mimi menatap Rio dengan hati lugas. Sengajakah Riomengucapkan kata-kata barusan? Sadarkah Riocewek macam apa yang tengah dihadapinyasekarang?Gesit dan energik? Bah. Keluar kelas saja aku selalupaling belakang, disodok kanan-kiri. Apalagi main voli,basket, atau softball. Tak satu pun cabang olahragayang kukuasai, batin Mimi. Dan Rio menyukai gadisseperti ihi? Yang pasti bukan dirinya...Mimi menyelipkan buku Pearl S. Buck itu ke tempatasalnya. Rio pun ikut-ikutan menyelipkan buku yangdipegangnya ke dekat buku Pearl S. Buck."Bukan di situ tempatnya," protes Mimi melihat judulAsterix pada komik tipis yang diselipkan Rio."Biarin," Rio bandel.Mimi menghela napas. Ditariknya komik Rio keluardan diberikannya pada Rio."Nih, aku harus kembali ke kelas. Jangan bikin kacauperpustakaan, ya! Tuh liat..." Mimi menunjuk tulisanbesar di dinding ruang baca.HARAP TENANG. PATUHILAH PERATURAN DAN TATATERTIB!"Mimi, tahukah kau bahwa... lho... Mi! Mimi! Tunggu!"seru Rio memanggil tatkala disadarinya bahwa Mimitelah pergi diam-diam meninggalkannya.Rio bergegas menyusul diiringi tatapan mata jengkelpara pengunjung perpustakaan lainnya. Rio cuek.Disambarnya tasnya dari atas meja penitipan tas dandipacunya langkah memburu Mimi. Sayang... begituhampir terkejar, Mimi lenyap di balik pintu kelasnya."Mi..." Rio mengurungkan panggilannya. Tak adagunanya, Mimi telah masuk dalam kelasnya.Rio melanjutkan langkahnya menuju ruang kelasnyasendiri. Aneh... begitu banyak gadis yang mengelilingidan menginginkannya, tapi perhatiannya justru tercurioleh Mimi. Gadis yang menurut orang-orang punyaperilaku aneh, misterius, dan kutu buku. Lamban dankadang terlalu naif, hingga tak pandai bergaul.Tapi Rio merasa ada sesuatu yang menarik dari dalamdiri Mimi. Sesuatu yang membuatnya penasaran.Langka. Gadis cantik... di mana-mana ada. Gadisperiang... banyak di sekolah ini. Tapi gadis superpandai yang lugu dan naif bertampang bayi cuma adasatu..."Hai, Rio..." Seseorang menggandengnya tiba-tiba.Rio mengerutkan hidungnya, mencium bau tak sedapyang mendadak diciumnya. Tak salah lagi, tanpa perlumenoleh pun Rio tahu bau parfum siapa ini...."Tidak ada pelajaran?" tanya Lisa, mempereratgandengannya.Rio meringis ngeri. "Tidak.""Aku sebetulnya ada... tapi, aku lebih sukamenghabiskan waktu bersamamu, Rio.""Ya... eh..." Rio pura-pura menjatuhkan tasnya. SegeraLisa mengambilkannya, dengan demikian sesaatgandengannya lepas dari tangan Rio."Ini...""Thanks... sampai jumpa lagi! Merdeka!" teriak Riomenirukan ucapan si Unyil sambil menyambar tasnyadan melesat bagai seorang atlet lari Olimpyade."Rio!" panggil Lisa sambil mengentakkan kakinyajengkel.Usahanya mendekati Rio selalu kandas. Padahalkurang apa sih aku ini? Lisa menyemprotkan lagiminyak wangi ke tubuhnya. Parfum dari Estee Lauder,lipstick dari Yves St. Laurent... apa yang kurang?pikirnya jengkel.------"Aha... akhirnya kau datang juga!" seru ProfesorAloysius menyambut kedatangan Mimi di ruanglaboratorium kimianya."Eh... iya. Maaf terlambat lima menit, Prof.""Tak apa... ayo... masuk... masuk."Profesor mengajak Mimi ke ruangan lain yangletaknya agak terpencil.

  • Mimi melihat sekeliling dengan mata berbinar. Wah...macam-macam zat komplet ada di sini. Peralatannyapun canggih. Dijamin sukses untuk mengadakanpercobaan kimia yang mana pun, batinnya kagum,dan bersemangat. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapisuasananya sangat indah, sebab ada jendela kacabesar yang tepat menghadap ke lapangan olahragadan kantin, sehingga "keangkeran" sebuahlaboratorium tak terlalu terasa di situ."Ya... kadang untuk melepaskan kejenuhan sayamemperhatikan anak-anak yang bermain dilapangan," ujar Profesor seperti dapat membaca jalanpikiran Mimi. "Sebetulnya saya ingin mintapertolongan kamu, Mimi...""Saya siap. Prof," jawab Mimi cepat."Ini..." Profesor membawa dua tabung berukuransedang. Yang satu berisi cairan kuning dan yang satuberisi butir-butir kristal."Apa ini, Prof?" tanya Mimi takjub."Yang kuning adalah hasil penemuan saya. Suatu zatistimewa yang dapat membuat seseorang bisamelakukan segala sesuatu cukup dengan berpikir.""Melakukan sesuatu dengan berpikir?" ulang Mimimakin takjub."Ya," angguk Profesor agak bangga." Denganpengaruh zat ini, gelombang pikiran seseorang bisaditransmisikan lewat udara sekitarnya dan menjadikenyataan tanpa perlu melakukan gerakan.""Waaawww!" seru Mimi spontan."Sstt..." Profesor menempelkan jari telunjuk dibibirnya.Mimi mengatupkan mulutnya."Jangan sampai ada yang tahu, Mimi!" pesan Profesordengan mimik serius. "Penemuan ini akan sayasertakan pada sebuah lomba internasional."Mimi menggeleng-gelengkan kepalanya denganpenuh kekaguman dan hampir tak percaya padapenemuan istimewa Profesor Aloysius itu."Karena itu saya perlu bantuan kamu.""Bantuan saya? Saya akan dijadikan kelincipercobaan?" Mimi ketakutan."Oh... tidak." Profesor tersenyum geli. "Satu jam lagisaya harus menghadiri sidang para finalis lomba ciptainternasional itu.""Anda telah menjadi finalis, Prof?"Profesor mengangguk, hidungnya mekar lantaranbangga melihat wajah penuh kekaguman dihadapannya. "Tinggal selangkah menujukemenangan.... Karena itu, sementara saya ajukanrumus tertulis saya di sidang nanti, saya minta kamumenjaga cairan kuning saya. Sebagian bolehkaupergunakan untuk percobaan... karena... eh...sebetulnya saya masih harus mengetahui dengan zatapa cairan itu mesti dikombinasikan agar memperolehefek yang diinginkan...""Maksud Anda... penemuan ini belum sempurna?""Betul sekali." Profesor melirik ke arah jam dinding."Oh... saya sudah terlambat. Ingat Mimi.. pergunakansetengah tabung saja... sisanya kausimpan baik-baikdan... catat zat-zat yang kaukombinasikan," pesanProfesor sambil mengenakan jas dan topinya lalumeninggalkan laboratorium dengan tergesa-gesa.Mimi menatap tabung berisi cairan kuning itu dengansukacita. Akan amat mengasyikkan sekali bolehmengadakan percobaan dengan zat super hebat ini.Mimi membaca tulisan ditabung kaca itu dengansaksama. Tulisan kecil-kecil itu berbunyi: QQFORMULA."Nah, formula QQ, Profesor Mimi akan mengadakanpercobaan... hmh..." Mimi mulai dengan mencampurQQ dan asam sulfat. Ditunggunya beberapa saathingga terjadi reaksi, dan dicatatnya reaksi yangtimbul dalam satu tabel yang rapi.Tak terasa... tiga jam berlalu dan tetes demi tetes

  • formula QQ telah digunakan oleh Mimi untukeksperimen-eksperimen kombinasi yang ditugaskanProfesor Aloysius."Uhhh..." Mimi menggerakkan pinggangnya yangterasa pegal lantaran terlalu lama duduk. Ia bangkitberdiri dan sejenak meregangkan otot-ototnya yangterasa linu dan kaku.Dilayangkannya pandangan ke arah jendela. Dikejauhan kelihatan keramaian anak-anak yangtengah bermain basket. Mimi melirik jam di dinding,sudah pukul setengah lima sore. Rupanya sudahwaktunya kegiatan ekstrakurikuler dimulai.Dengan tabung sisa formula QQ di tangan, Mimiberanjak mendekati jendela, asyik memperhatikanlangkah-langkah gesit Rio yang memimpin latihanbasket sore itu. Ada juga Belia dan Lisa di sana.Mimi menghela napas. Sementara Rio begitu dikelilingioleh gadis-gadis cantik menarik, aku lebih sukamengurung diri dalam laboratorium. Sungguh tak adil,bisik Mimi sedih.Tapi mau apa lagi? Ia memang tak terampil dalamurusan permainan lapangan. Ia lebih teliti menghitungtetes cairan atau gram molekul di laboratorium.Dunianya dan dunia Rio berbeda... dan terlalu sulitdisatukan. Sebaik dan seramah apa pun sikap Rioterhadapnya, Mimi tetap tak berani mengkhayalbahwa suatu saat mereka akan...Prang!!"Aduh!" Mimi tersentak memegangi tangannya yangterkena bola nyasar dari lapangan. Tabung sisaformula QQ pecah berantakan dan sebagian cairanmuncrat memasuki tabung berisi sebuah senyawa...entah apa namanya. Mimi tak sempat lagi membacanama tabung itu... ia amat ketakutan melihat asapmengepul dari sana... akan meledakkah? Oh...Bergegas ia mengayun langkah meninggalkan ruanglaboratorium, namun kakinya terasa berat dankepalanya pening. Matanya berkunang-kunang.Bayangan Profesor Aloysius yang marah-marahkarena formulanya lenyap tak bersisa menghantuibenaknya."Mimi!" teriak Rio dari jendela. Lemparannya rupanyaterlalu keras dan salah arah. Menghantam pohonbungur lantas memantul ke jendela laboratorium. Riosungguh terkejut melihat tabung yang pecahberserakan dan Mimi yang terkulai di lantai."Hoi!! Tolong... ada yang pingsan!" teriak Rio ke arahlapangan meminta bantuan. Dengan panik Riomelompat ke dalam lewat jendela yang sudahbolong. Diangkatnya tubuh Mimi dari lantai denganhati-hati dan penuh rasa bersalah."Di... di mana aku?" Perlahan Mimi membuka matanyatatkala diciumnya bau cologne yang menyengat darihidungnya. Wajah Belia-lah yang pertama-tamadilihatnya. Gadis itu tersenyum manis danmengangkat kapas berbau cologne itu dari hidungMimi."Nah, kau sudah siuman.""Aku...?" Mimi memegangi kepalanya yang terasapening, berusaha mengingat-ingat kejadian yangbarusan dialaminya."Kau berada di laboratorium waktu bola basket Riomemecahkan jendela. Dan kau pingsan di lantai diantara pecahan tabung kaca dan cairan kuning.Untung...""Cairan kuning!" seru Mimi sambil menepuk dahinya,memotong cerita Belia."Kenapa?""Astaga... cairan kuning itu..." gumam Mimi ketakutan.Bibirnya gemetar. Dengan apa harus digantinyaformula QQ Profesor Aloysius itu? Formula langkayang akan diikutsertakan pada lomba internasional.Yang mestinya dijaganya baik-baik. Yang harusdisisakannya. Kini lenyap tak berbekas.Oh... apa yang harus kuperbuat? pikir Mimi ketakutan.

  • Jangankan bisa membuat yang baru, formulanya punMimi tak tahu.Seperti kata Profesor, formula itu amat rahasiasuatnya, sehingga hanya Profesor yang tahurumusnya. Mungkin Profesor bisa membuatnya lagi,mungkin rumus-rumus itu masih di kepalanya. Tapibagaimana kalau lupa? Biasanya seorang Profesorpunya kebiasaan linglung dan pikun. Oh... Mimimenggigit bibir bawahnya cemas."Kenapa? Ada yang sakit. Mi?" tanya Belia serayamemegang pergelangan tangan Mimi. Ada bekasagak membiru di situ. Pasti lantaran terhantam bolabasket. Dan agaknya Belia telah membalurnyadengan sejenis salep."Aku harus kembali ke laboratorium sekarang," ujarMimi sambil berusaha bangkit dari tempat tidur."Apakah kau cukup sehat dan kuat untuk berjalankembali?" tanya Belia, khawatir, melihat langkah dantubuh Mimi yang masih limbung."Ya," sahut Mimi. "Eh... Belia, terima kasih ataspertolonganmu," ujar Mimi sebelum meninggalkanruang P3K.Belia hanya tersenyum. Manis.Mimi bergegas kembali ke laboratorium sambilmencari akal agar terhindar dari kemarahan Profesor.Sebetulnya memang bukan salahnya, melainkan salahRio, salah bola basket nyasar itu. Tapi tentu Profesortak mau peduli dengan urutan kejadian dan asal-muasal peristiwa kecelakaan siang tadi. Yang jelasProfesor pasti menyesali keteledoran Mimi dan takakan pernah lagi mempercayai Mimi.Mimi berjalan melintasi kantin. Anak-anak yang baruusai latihan basket nampak merubungi kios minumandi kantin."Nah., rupanya putri tidur sudah terbangun daripingsannya," seru Lisa setengah mengejek.Mimi berhenti sesaat. Bukan kata-kata Lisa yangmembuatnya menghentikan langkahnya, tapi cairankuning dalam plastik yang sedang diseruput Lisa."Kenapa? belum pernah minum sirup kuning ya?" ejekLisa lagi.Mimi tak peduli. Sirup itu punya warna persis samadengan formula QQ sang Profesor. Tak dipedulikannyatawa Lisa and the gang yang mengejeknya waktumelihat Mimi ikut antre dalam barisan anak-anakuntuk membeli sirup."Rupanya nongkrong di lab sama melelahkannyaseperti latihan basket, ya? Lihat... Mimi sampaikehausan begitu.""Bisa haus juga ya dia? Ha... ha... ha."------Selesai mengunci sepedanya di dalam garasi, Mimimasuk ke rumah. Dilihatnya sedan merah menyalamilik Mama telah terparkir dalam garasi, itu artinyaMama sudah pulang."Malam betul, Mimi, ke mana saja kau?" tegur Mamawaktu melihat Mimi masuk.Mimi melirik arlojinya. Jam setengah delapan malam.Padahal biasanya ia selalu pulang sekolah tepat pukulenam sore. Tapi lantaran kejadian di lab tadi iaterpaksa mengurus ini-itu dan pulang hingga larut."Ada praktikum tambahan, Ma," dusta Mimi tanpaberani menatap wajah Mama."Betul? Kok Suster Christine tidak bilang apa-apawaktu Mama telepon ke sekolahmu tadi?" Mamacuriga.Mimi tercekat. Kini tak ada gunanya lagi mengarang-ngarang cerita bohong. Mama pasti telah mengetahuisemuanya."Maaf, Ma... Mimi terkena bola basket nyasar, kacajendela lab kimia pecah sehingga Mimi harus melaporini-itu ke tata usaha," cerita Mimi sejujurnya."Ya... Mama sudah dengar itu dari Suster Christine."Mimi tertunduk. Dalam hati ia agak jengkel. Ke manasaja Rio sejak tadi? Padahal jelas itu adalah

  • kesalahannya. Akibat lemparannya yang ngaco itulahia kini pulang terlambat, repot melapor, dan dimarahiMama. Tapi anehnya sedari tadi ia tak melihat batanghidung Rio. Dasar tak bertanggung jawab, maki Mimidalam hati. Jangankan minta maaf, menolongkumengurus dan melapor saja ia tak mau.Menampakkan diri saja ia tak berani. Pengecut."Makananmu ada di atas meja, Mimi," suara Mamamelunak."Maaf, Ma... Mimi berbohong tadi, Mimi takut Mamatak percaya kalau Mimi ceritakan yang sebenarnya,"Mimi memeluk lengan mamanya.Mama mengangguk."Mimi mandi dulu ya, Ma," ujar Mimi lagi."Ya, tapi jangan terlalu lama. Sudah malam, nantimasuk angin. Begitu selesai langsung makan, ya?"pesan Mama panjang-lebar."Ya, Ma," sahut Mimi sambil menaiki tangga menujukamar tidurnya di atas.Harum bunga melati segera tercium begitu pintukamar terbuka. Mimi melepas sepatu dan kauskakinya, lantas mengunci pintu kamarnya.Diempaskannya tubuhnya ke atas tempat tidur dandinyalakannya gelombang radio kesayangannya. Iatelah terlambat hampir dua jam mengikuti acara sangMister DJ. Jangan-jangan suratnya telah dibacakan diawal acara dan ia tak sempat mendengar suaraMister DJ menyebut namanya. Nama samarannya.when my heart is missing you I know just what to doI close my eyes and count to ten and I'll be next toyouwhen the night is turning cold a darker shade of blue Ihold my breath and make a wish and I'll be next toyou...."Ya... itulah suara bujang keling Jermaine Jacksondalam sebuah tembang manis... Next to You,"terdengar suara penyiar pujaan mengiringiberakhirnya alunan lagu Next to You milik JermaineJackson. Lagu slow berlirik manis itu kedengaran amatindah di telinga Mimi."Selamat malam, Monique di peraduannya. Setiappersoalan pasti ada jalan keluarnya masing-masing.Satu saran saya: be the best you can be, andeverything is gonna be all right... oke? "Mimi senyum-senyum sendiri mendengar jawabanMister DJ atas suratnya minggu lalu. Surat yangmenceritakan kesedihannya lantaran cinta yang takmungkin bersambut. Perasaan yang mestidipadamkan lantaran dua dunia yang bertolakbelakang. Perasaan-perasaannya pada Rio..."Baiklah, spesial untuk Monique, satu tembang manisdari Gloria Estefan berjudul Don't Wanna Loose YouNow..."Mimi memeluk bantalnya dengan mata terpejam.Rasanya hilang segala lelah dan gelisah di hatinyabegitu mendengar suara Mister DJ. Segala kejadianyang menegangkan di sekolah barusan, segala yangtak menyenangkan... berubah menjadi kedamaiandan ketenangan di hati. Rasa lapar, rasa ingin segeramandi... semua berubah menjadi satu keinginan:memonitor siaran sang Mister DJ hingga tuntas!7 don't wanna loose you now we're gonna getthrough somehow I don't wanna loose you now orever..."Mimi! Sudah belum mandinya?" teriak Mama sambilmengetuk pintu kamar Mimi.Mimi tersentak. Dikecilkannya volume suara radio dandinyalakannya air pancuran kamar mandi keras-keras."Sebentar lagi, Ma!!" teriaknya dari dalam kamarmandi, memberi kesan pada Mama bahwa ia sedangmandi."Cepatlah sedikit!"***"Mimi!" teriak Mama untuk yang kesekian kalinya. Tiapkali selalu begitu. Panggilan-panggilan yang bersifat

  • setengah memaksa dan dikte-mendikte yang bersifatperintah mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi.Mimi bergegas turun dari kamarnya sambilmembereskan seragam sekolahnya dengan sibuk,karena tangan yang satunya harus menenteng tassekolahnya."Cepat dong... nanti Mama terlambat ke kantor!"Mimi hanya mengangguk.Pagi tadi ketika Mimi memeriksa sepedanya, ternyataban belakangnya kempes. Mimi berusahamemompanya, tapi ternyata bukan sekadar kempes,melainkan ada lubangnya. Sebab begitu berhentimemompa, ban langsung kempes kembali. Sepagi initentu belum ada tukang tambal ban yang buka, danlagi tak ada waktu yang cukup untuk menunggui banselesai ditambal. Karena itulah Mimi diantar Mama.Dan akibatnya... diburu-buru waktu seperti ini.Mimi melirik arloji di pergelangan tangannya. Barupukul setengah tujuh. Sekolah dimulai jam delapan,masih terlalu pagi sebenarnya. Tapi apa boleh buat.Letak kantor Mama memang agak jauh,membutuhkan waktu kira-kira satu jam untukmencapainya. Apalagi dalam suasana pagi hari yangsenantiasa diwarnai kemacetan, bisa-bisa waktu yangsatu jam itu molor menjadi satu setengah atau duajam. Maka wajar saja jika Mama selalu berangkatsepagi ini, jam kerjanya dimulai juga pukul delapan."Ck... ck... ck... rambutmu! Berantakan betul! Belumsisiran, ya?" tanya Mama sambil memandang heran."Belum sempat, Ma... nanti di mobil saja Mimi sisir,"sahut Mimi sambil menyambar tempat rotinya danmeminum segelas susu jatah pagi harinya."Mama kan sudah beribu kali bilang jangan tidurterlalu malam," gerutu Mama sambil melangkahkeluar. "Tapi kamu selalu keasyikan mendengarkanradio kesayanganmu itu. Sampai-sampai tadi malamkamu tidak makan lantaran keasyikan sampaiketiduran...."Mama dengan cekatan mengunci pintu rumah danmembuka pintu garasi. Dan dalam beberapa detikMama sudah berada di dalam mobil merahnya."Ayo..." Mama membukakan pintu buat Mimi.Mobil di starter, gigi dimasukkan, dan sedetikkemudian sudah melesat ke jalan. Membelahkeramaian kompleks dan memasuki jalan raya."Apa sih hebatnya acara kesayanganmu itu?", tanyaMama seperti tak habis-habisnya menyerang.Acara itu adalah satu-satunya hiburan yang masihbisa dinikmati Mimi. Mimi menghela napasnya."Sekolah Mimi satu jalan lagi, Ma," ujarnya berusahamengalihkan pembicaraan."Mama belum lupa," sahut Mama sambil terusmengemudi. "Kenapa tak kaujawab pertanyaanMama tadi?""Pertanyaan apa?" Mimi pura-pura lupa."Acara kesayanganmu di radio itu. Siapa sih penyiaryang suaranya seperti banci itu?" ujar Mamameremehkan."Suaranya seperti banci? Ah, Mama salah memutargelombang mungkin," kilah Mimi mulai Jengkel."Ah, tidak. Di zaman Mama dulu, penyiar haruslahbersuara jantan berwibawa. Tidak cengeng dan sokdilembut-lembutkan seperti itu. Bikin ngantuk orangsaja... dan itu yang kausukai?"Mimi menghela napasnya. Hanya lantaran hari ini iaminta diantarkan, hanya lantaran semalam iaketiduran karena lelah, dan lupa makan malam,mamanya menghina habis-habisan penyiarpujaannya. Meremehkan seleranya. Bah. Mama selalubangga pada dirinya sendiri. Pada zamannya. Padasegala sesuatu yang tak pernah dialami dan dikenaloleh Mimi. Mama seperti berusaha membesarkan Mimidalam masa lalu. Padahal tahun berapa sekarang?Tahun 90! seru Mimi dalam hati.Rasanya ia telah cukup sabar dan amat penurut.

  • Sebagai anak tak banyak yang dituntutnya. Ia cukupmemahami Mama yang terpaksa berperan gandasetelah kematian Papa. Tapi toh ada batasnya...Tiba-tiba saja Mimi ingin kendaraan yang dinaikinyaberhenti mendadak supaya ia bisa turun dan jalankaki saja ke sekolah. Tinggal satu kilometer lagi. Iamerasa kupingnya mulai panas mendengarcemoohan-cemoohan Mama. Jangan sampai hati dankepalanya ikut panas pula...."Lho... kenapa sih?" seru Mama ketika tiba-tiba mesinmobil seperti batuk-batuk kemudian mendadakberhenti. Mogok.Mimi ikut terkejut. Hah? Bagaimana mungkin? Apakahsecepat itu doanya sampai ke telinga Tuhan dandikabulkan? Bukankah ia menginginkan mobil berhentiagar bisa jalan kaki dan melepaskan diri dari omelan-omelan cerewet Mama?"Ada-ada saja.... Kalau pagi sudah diawali dengankejadian tak enak dan marah-marah pasti adaaaasaja kelanjutannya," gerutu Mama panjang-pendeksambil keluar dari mobil dan membuka kap mesin.Mimi ikut turun dengan membawa perlengkapansekolahnya komplet. Dirapatkan-nya sweater-nya,udara terasa agak dingin."Ma... Mimi jalan kaki saja, ya?" ujarnya."Terserahlah," sahut Mama tak peduli. Setelah menelitidan tak menemukan keanehan, Mama masukkembali dan mencoba men-starter.Dan... hidup!"Aneh..." Bukannya bersyukur. Mama malah terusmerecet. Mimi hanya tersenyum melihat sikap Mama.Mobil kembali melaju dan berhenti di sebelah Mimi."Betul kau mau jalan kaki saja?" tanya Mama."Ya. Lagi pula sekalian menghabiskan waktu. Masihterlalu pagi, Ma.""Ya sudah. Langsung pulang, ya!" Mama melambai.Mimi melangkah cepat untuk menghalau udara dinginyang siap menembus sweater-nya. Gerbang sekolahSt. Valentino yang tinggi menjulang dan berwarnakuning keemasan sudah nampak di kejauhan sana.Mimi mempercepat langkahnya. Beberapa sepedahilir-mudik di sisinya. Tentunya mereka adalah murid-murid St. Valentino juga, pikir Mimi, teringat akansepedanya yang rusak."Ho... ho... mau nebeng?" ajak sebuah suara, yangtelah amat dikenal oleh Mimi.Tanpa menoleh Mimi menggeleng."Tidak perlu tebengan atau boncengan?"Mimi menggeleng dan semakin mempercepatlangkahnya. Rio turun dari sepedanya dan mengiringiMimi, ikut melangkah di sebelah Mimi sambilmenuntun sepedanya."Kalau tak perlu boncengan, tentu kau perlu temansejalan, kan?""Tidak," tukas Mimi ketus."Lho... lho... galakmu mengalahkan Bu Betty."Mimi tak menanggapi. Hatinya masih jengkelmengingat peristiwa kemarin. Seenaknya melemparorang dengan bola hingga berbilur biru, setelah itulepas tangan. Membiarkan Mimi sendiri menguruspecahnya kaca laboratorium kimia, melapor pada tatausaha, diinterogasi oleh Suster Christine. Malah Beliayang menemani Mimi hingga siuman. Laki-lakipengecut. Rupamu saja indah, tapi hatimu... Mimimendengus. Ia kembali teringat pepatah kuno: Janganmenilai orang hanya dari penampilannya saja, tapinilailah sikapnya. Dan Mimi merasa telah salah menilaiRio selama ini."Wah, rupanya kau betul-betul sedang tak butuhteman pagi ini," tukas Rio merasa diacuhkan."Bukan cuma pagi ini, tapi selamanya!""Mimi? Apakah aku telah berbuat 'salah pada..." Riomenghentikan kalimatnya saat teringat kejadiankemarin. "Aha... aku tahu, pasti kejadian kemarin?Betul, kan?"

  • Mimi diam."Aku minta maaf, Mimi, karena tak membantumu.Tapi sungguh, waktu kugendong kau ke ruang P3Kkau pingsan berat. Kutunggu selama lima belas menitkau tetap pingsan, maka terpaksa aku pulang. Adapekerjaan yang harus kuselesaikan....""Kau menggendongku?" Mimi terbata agak malu.Rio mengangguk."Lumayan juga ternyata. Berapa sih beratmu?""Huh," Mimi merengut."Ha... ha... ha..." Rio tertawa. "Ayolah, apakah hambamesti berlutut mencium tangan Paduka untukmemohon grasi?"Mimi diam. Mungkin ia salah... Ia tak mengira bahwaRio-lah yang pertama kali menolongnya."Memangnya kau ada urusan apa sih?" Mimi mulaimembuka suara."Aku... aku kerja sambilan sepulang sekolah. Buattambah-tambah uang saku." Rio tersenyum."Di mana?""Ada aja..." Rio tersenyum penuh arti.Mimi tak bertanya-tanya lagi. Gerbang sekolah telahmereka lalui. Mimi merasa kakinya agak pegal. Barukali ini ia jalan kaki sejauh ini. Biasanya ia jarangsekali berolahraga. Paling banter menggenjot sepeda.Napasnya agak tersengal."Mi, bolehkah aku menebus kesalahanku dengan..."Rio melirik ke arah sepeda hitamnya, "memberimuboncengan sampai ke sekolah?"Mimi ragu sesaat, tapi akhirnya kepalanyamengangguk juga tanda setuju."Cihuyy!" sorak Rio.Agak berdegup jantung Mimi waktu Rio membimbingtangannya memasuki kantin. Sebuah bagian darisekolah ini yang nyaris tak pernah dikunjunginya.Suasana begitu hiruk-pikuk dan bising. Beberapapasang mata segera saja menyadari kehadirannya,dan keributan mereda sedikit. Berganti dengan kasak-kusuk. Apalagi kalau bukan membicarakan dirinya."Apakah tidak lebih baik aku kembali keperpustakaan saja?" tanya Mimi resah."Sstt... tenanglah. Ada aku...." Rio menatap Mimidalam-dalam.Jantung Mimi berdegup makin kencang. Ah... betapagadis-gadis lain akan hijau karena cemburu melihatRio menggenggam tanganku seperti ini, pikir Mimidalam hati.Sejak kejadian kaca pecah tempo hari merekamemang kian akrab. Ada sesuatu dalam diri Rio yangmengingatkan Mimi pada seseorang. Entah siapa danentah bagian mana dari diri Rio. Yang jelas, ia sepertitelah begitu lama mengenal Rio sehingga demikiancepatnya mereka menjadi akrab. Rio tak seburukdugaannya. Di kelasnya Rio pun selalu memegangperingkat atas. Dan pola berpikirnya, jangkauan ilmupengetahuannya, sungguh luas. Menimbulkan sisikekaguman yang lain dalam hati Mimi. Kekagumanyang membuat Mimi mau saja diajak ke kantin."Nah... silakan duduk. Kau mau makan apa?""Terserah kau..." Mimi masih merasa risi."Ayolah. Ada hamburger, hot dog, mie bakso...," Riomenawarkan dengan lincah."Aku... apakah memalukan seandainya kumakanbekal yang kubawa dari rumah?" tanya Mimi takut-takut."Ha... ha... ha..." Rio tertawa. "Kenapa tidak?""Boleh?"Rio mengangguk dan menatap Mimi dengan senyumlebar. Gadis satu ini memang lain dari yang lain.Mungkin bagi orang lain agak aneh, tapi bagiku justrumenimbulkan keasyikan tersendiri. Menimbulkan dayatarik sendiri, pikir Rio tak habisnya mengagumi Mimi."Kau tidak malu, Rio?" tanya Mimi sambil mulaimenggigit roti isi coklatnya.

  • "Malu? Kenapa?""Ya... berjalan bersama aku. Apa kau tidak tahu apajulukanku?" Mimi melirik ke arah Rio."Tidak," geleng Rio."Si itik dungu yang lamban," keluh Mimi pasrah, "dankenyataannya memang begitu.""Tapi aku tak melihatnya. Aku malah melihat kausebagai gadis yang... wah... susah dilukiskan dengankata-kata."Mimi tersenyum. Antara senang dan tak percaya."Berapa sih nilai bahasa Indonesiamu?" tanya Mimi."Semester kemarin delapan. Kenapa?""Pantas... pandai membuat karangan seperti tadi....""Enak aja... eh... yang tadi itu tulus lho. Mi!" yakin Rioserius. Tapi makin serius Rio, makin lucu mimikwajahnya. Mimi tak dapat menahan tawanya. Namuntawa yang lepas itu terpaksa terhenti waktu Mimimelihat siapa yang tengah berjalan ke arah mereka."Halo," sapa Belia ramah dan seperti biasanyatersenyum manis memamerkan sebarisan gigiPepsodent-nya. Tak perlu dipamerkan, semua orangjuga sudah tahu gigimu indah, batin Mimi. la merasamalu sendiri saat menyadari bahwa ia merasaterganggu akan kehadiran Belia. Padahal ia toh bukanapa-apa dan tidak akan pernah jadi apa-apanya Rio.Jadi sebetulnya ia tak punya hak paten untukmengusir gadis-gadis lain dari sekeliling Rio."Wah, sejak kapan kantin jualan roti? Aku mau, ah,"ujar Belia sungguh-sungguh."Eh, bukan, aku membawanya dari rumah kok. Kalaukau mau...""O... mau sekali. Apalagi kalau ditawari duduksekalian...'' Belia berusaha untuk berada di tengah-tengah mereka.Rio hanya memonyongkan bibirnya. Tapi diberikannyajuga tempat untuk Belia di sebelahnya. Jadi posisisekarang 2 banding 1. Rio dan Belia berdua di hadapanMimi. Sementara Mimi sendirian dan semakin risi.Semakin merasa tak sepadan untuk jadi kawan Rio.Ya... dibandingkan Belia ia memang tak ada apa-apanya.Tapi ia toh tak mungkin bersikap kasar pada Beliakarena gadis itu juga selalu ramah padanya. Dalamhati, betapa ingin Mimi membuat Belia segera berlalumeninggalkan mereka. Mungkin kalau tiba-tiba coklatdalam roti yang sedang dikunyahnya itu muncratkeluar dari mulutnya ia akan malu dan berlalu, pikirMimi nakal."Mimi, mana janjimu untuk mengajari kimia... kaukok... ups..." Belia mengatupkan bibirnya danmendekap mulutnya dengan telapak tangannya.Mimi dan Rio menatap Belia terheran-heran.Bagaimana mungkin gadis sesopan Belia mengunyahseperti anak bayi sampai-sampai roti coklat yangsedang dikunyahnya mental sebagian dari mulutnya.Wajah Belia segera berubah menjadi merah padam."Sori... aku ke belakang dulu." Belia bangkit danmeninggalkan Rio dan Mimi yang masih terheran-heran."Aneh...," Rio tertawa, "tapi lumayan... buat hiburan."Mimi ikut tersenyum sambil mengucap syukur dalamhati. Agaknya akhir-akhir ini Tuhan sedang berbaikhati padanya. Setiap keinginannya dipenuhi seketika.Agak aneh memang, tapi tentu hanya kebetulan saja,pikir Mimi, menghapus prasangka-prasangka anehdalam benaknya.------when Tm feeling Hue, all I have to do is take a lookat you, then f m not so Hue when Tm in your..."Radio lagi, radio lagi!" seru Mama yang tiba-tibasudah ada dalam kamar Mimi dan berkacak pinggangdengan wajah ditekuk jengkel.Mimi mematikan radionya dan melepas headphone-nya. dengan cepat."Lagi-lagi radio..."

  • Mama merebut radio dan headphone dari tangan Mimi"Kamu mulai keterlaluan, Mimi. Mama tidak melarangasalkan tidak mengganggu waktu belajarmu. Lihat,nilai-nilaimu merosot tajam!" Mama mengacungkansetumpuk kertas hasil ulangan terakhir Mimi.Mimi mengambilnya. Angka delapan untukmatematika, sembilan untuk kimia, delapan untukbiologi, delapan untuk bahasa, sembilan untuk bahasaInggris, apanya yang merosot tajam?"Lihat., biasanya kauperoleh angka sembilan untuksemuaaa mata pelajaran Tapi lihat sekarangmatematikamu cuma dapat angka delapan."Mimi menghela napas. Mama seperti tidakmenghargai usaha dan kerja kerasnya selama ini.Bergaul akrab dengan Rio membuat mata Mimi sedikitterbuka melihat dunia sekitarnya. Gaya hidup yangditanamkan Mama sungguh bukan gaya hidup yangnormal bagi gadis seusianya. Dan sejauh ini iamenurut saja. Ia berusaha memberi yang terbaikuntuk mamanya dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan dan hura-hura yang mestinya justru ianikmati di usia seperti ini. Dan sekarang hanyalantaran angka delapan Mama ribut bagai kakek-kakek kebakaran jenggot? Sungguh keterlaluan."Ma, ini tak ada hubungannya dengan radio segala,"ujar Mimi perlahan."Bagaimana mungkin? Jelas ada! Sangat ada!" paksaMama. "Suara penyiar yang lembut itu membuatmuterbuai, terlena, dan lebih suka berkhayal daripadabelajar.""Tidak, Ma, justru karena suaranya saya jadi lebihsemangat untuk belajar," bantah Mimi agak sengit. laamat tersinggung bila Mama mulai mengejek suarasang Mister DJ pujaannya."Hmh..," Mama mendengus. "Dan karena kau selalutidur larut malam menunggu acara selesai kau selalubangun kesiangan, tak sempat belajar lagi!"Mimi menunduk dalam."Karena itu, mulai sekarang tak ada radio-radioan."Mama merapikan kabel headphone, melilitkannyapada radio walkman Mimi."Ma!" protes Mimi."Kau boleh ucapkan selamat tinggal lewat kartupospada sang Mister DJ-mu itu," kata Mama tegas, "danbuktikan perbaikan nilaimu semester depan.""Semester depan!" pekik Mimi membayangkan enambulan yang harus dilaluinya tanpa Mister DJ. Enambulan belajar terus-menerus tanpa ada pendorongsemangat?"Jangan, Ma... Mimi janji...""Tidak!""Ma...," rengek Mimi. Sifat anak tunggalnya munculjuga dalam keadaan-keadaan tertentu seperti ini. TapiMama tidak peduli. Dengan santai Mama membawaharta benda kesayangan Mimi itu ke bawah. Entah dimana disembunyikannya hadiah dari Papa di ulangtahun Mimi yang kedua belas itu.Mimi merasa matanya menghangat."Mania jahat," desisnya agak geram.Dan... braakkk!!!Pintu kamar tertutup dengan kekuatan dahsyathingga guncangannya menyebabkan beberapa piguralepas dari gantungannya di dinding. Mimi sendiri agakterkejut. Padahal tak ada hujan tak ada angin. Aneh."Mimi!! Apa itu...?!" teriak Mama mengira Mimi-lahyang membanting pintu dengan marah."Bukan Mimi, Ma," sahut Mimi. Kejengkelannya padaMama hilang, berganti dengan ketakutan dankeheranan dengan apa yang barusan terjadi.Bukan cuma yang barusan saja, tetapi yang kemarindan kemarin dan kemarinnya lagi. Sepertinya apayang dirasakannya, diinginkannya, langsung menjadikenyataan tanpa ia harus melakukan apa pun. Apagerangan yang sedang terjadi? Apakah alam sedangramah terhadapku? pikir Mimi bingung.

  • Malam semakin larut. Mimi berusaha menganggapsegala kejadian aneh yang dialaminya sebagai suatukebetulan belaka. Ia ingin segera terlelap danmelupakan kekangenannya pada suara sang penyiarpujaan Oh... apakah Mama sungguh-sungguh denganancamannya nanti? Tak ada suara Mister DJ hinggasemester depan? Mimi khawatir nilai-nilainya malahmakin merosot nanti...Kriiing... kriiing...Mimi tersentak mendengar dering telepon. Diliriknyajam dinding yang tergantung di dinding kamarnya.Pukul setengah sembilan malam. Pasti Rio yangmenelepon. Tadi siang Rio berjanji akan meneleponMimi jam setengah sembilan, di saat ia istirahat daripekerjaan tambahannya.Mimi beranjak dari tempat tidurnya dan mengintip kebawah. Dilihatnya Mama telah mengangkat gagangtelepon. Lamat-lamat didengarnya suara Mamaberbicara pada... siapa lagi kalau bukan pada Rio."Mimi sudah tidur... ini dari mana? Rio? Ya... ya nantisaya sampaikan. Ya, selamat malam juga...." Klik.Gagang telepon diletakkan kembali.***Cersil Istana Pendekar Dewa NagaMimi mempercepat langkahnya dengan agak gemetardan hati deg-degan ketakutan. Namun semakin cepatkakinya mengayun, derap langkah yangmembayanginya sedari tadi pun seperti latah ikutmempercepat ayunannya.Dengan napas memburu dan tanpa berani menolehke belakang, Mimi terus melaju. Berusahamengerahkan segala daya yang ada agar segerameninggalkan koridor kelas yang sepi ini menujukantin, lapangan, atau tempat lain yang agak ramai."Hei!"Langkah Mimi terhenti seketika saat dirasakannyasebuah tangan yang kuat mencengkeram bahunya."Ngapain sih buru-buru?" tanya Lisa sambil tersenyumsinis.Mimi mengkerut ketakutan seperti bertemu monster-monster purba yang sering dilihatnya di komik-komikfantasi."Aku... eh... di..ditung.. ditunggu Profesor Al...Aloysius...," Mimi tergagap. Sementara cekalan tanganLisa makin dingin dan kuat pada bahunya."Aku tak akan lama," Lisa menyeringai."Langsung aja. Lis," timpal salah seorang kawananLisa and the gang."Aku hanya ingin menyatakan kekecewaanku....""A.. aku? Apa salahku...?" Mimi terbata."Kau mengabaikan kata-kataku, padahal setahukukau anak yang patuh, pandai, dan tak mudahmelupakan sesuatu. Tapi nyatanya...""Tunggu apa lagi. Lis...!""Beri satu di pipinya, ditanggung kapok dia!" kawanyang lain ikut memanas-manasi.Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Mimi.Kacamatanya yang melorot tak berani dibetulkannya.Lututnya gemetar. Ia mengira kejadian seperti inicuma ada di film tentang penjara wanita. Tapiternyata kini ia sendiri mengalaminya di sekolahnya.Mendadak Mimi ingin pipis, tapi ditahannya sampaiwajahnya meringis-ringis tak keruan. Cekalan Lisamemang terlepas, tapi tangan yang lain bersiap untukmelakukah hal yang lebih menyakitkan ketimbangcekalan barusan. Dengan satu gerakan saja dijaminpipi Mimi akan babak-belur.Mimi memegang erat kedua pipinya untuk melindungi,sambil berdoa dalam hati, moga-moga urat lenganLisa mendadak terkilir, melintir, atau apa saja yangbisa membatalkan pukulan jurus Cimande-nyamendarat di wajahku, pinta Mimi dalam hati."Nih, rasa... aduuhhh... adudududuh..." Ayunan tanganLisa berhenti di posisi sembilan puluh derajat sehinggakelihatan seperti tergantung lurus di udara.

  • Beberapa anggota gang-nya sibuk membantu denganpanik dan heran melihat bosnya kesakitan tanpasebab."Kenapa, Lis?""Ada apa, Lis?""Aduuh... ati-ati... eeeh... pelan-pelan...," rengek Lisaseperti bayi raksasa pada teman-teman yangmemegang-megang dan mengurut-urut pangkallengannya sambil berusaha mengembalikan ke posisinormal.Mimi terpaku memperhatikan adegan tadi."Ngapain melotot di situ!" hardik Lisa antara malu danjengkel. "Kali ini kamu beruntung! Ayo, pergi! Awaskamu! Pergi!!!" teriakan Lisa menggema sepanjangkoridor.Mimi terbirit-birit meninggalkan koridor yangmengerikan itu dengan hati bertanya-tanya. Apakahlengan Lisa terkilir? Kalau benar, kenapa sampaiterjadi seperti itu? Mengapa persis sama dengan yangdiinginkannya? Persis sama dengan apa yang adadalam benaknya tadi saat ketakutan mau dipukulLisa?! Aneh... sungguh aneh, pikir Mimi serius.Kejadian demi kejadian yang dialaminya mulaimenjurus pada sebuah kesamaan dan keseragamanurutan kejadian. Awalnya pasti dari pikirannya, lantasmenjadi kenyataan, persis seperti apa yangdiharapkannya. Bukannya ia tak percaya pada Tuhan.Tapi kalau benar mukjizat itu dari Tuhan, mestinyaMimi adalah nabi atau rasul. Sedangkan hal seperti itujelas tak mungkin. Lalu apa? Apakah aku iniketurunan nenek sihir, atau berbakat menjadiparanormal?Sambil mengayuh sepedanya Mimi terus memikirkansemua yang dialaminya. Tapi yang jelas ia merasaamat lega dan bersyukur bisa terbebas dari ancamanLisa and the gang. Tentu Lisa marah melihatkeakrabannya dengan Rio. Bukan cuma Lisa, pikirMimi, tentu seisi sekolah akan memusuhiku. Palingtidak menaruh iri padaku.Tapi mereka tak pernah tahu, bagiku kedekatan dankeakraban dengan Rio adalah sesuatu yang justrumembuatku waswas. Aku selalu berusaha menjagajarak agar suatu saat jika kami harus mengucapkanselamat tinggal, tak terlalu sakit. Ya, tak ada yangistimewa pada diriku... Mimi melirik ke kaca spionsepedanya.Dilihatnya bayangan seorang gadis berkulit putihpucat, berkacamata tebal dan berambut kuno,panjang terkepang. Tanpa bedak tanpa gincu, tanpapolesan apa-apa. Mestinya aku ini disimpan dimuseum saja, batin Mimi.Tapi mau apa lagi? Mengubah penampilan dangayanya dalam seketika? Hoho... mengubah sesuatuyang telah 17 tahun melekat dalam hidup seseorangtentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Dangaya ala tahun 60-an itu telah terlanjur menjadibagian dari kehidupan Mimi. Keinginan untukmengubahnya selalu ada. Apalagi jika melihatbagaimana gadis-gadis lain. Belia misalnya, berlombamencuri perhatian Rio dengan penampilan merekayang modern, modis, dan up to date. Hal-hal sepertiitulah yang membuat Mimi ragu akan kelangsunganhubungan persahabatannya dengan Rio. Rio akansegera menjadi bosan padanya. Dan ia tak maumenaruh harapan pada sesuatu yang pasti tak akandiraihnya. Rasa rendah diri itu menghalangi khayalnyatentang menjadi gadis yang spesial untuk Rio. Menjadikekasih Rio.Kring... kring...Mimi menoleh... hampir saja ia melanggar sepeda laindidepannya."Hati-hati, Non..." Rio yang barusan membunyikan belsepeda, nyengir.Mimi mencibir jengkel."Kok aku nggak melihatmu keluar kelas sih?" Rio

  • menyusul, mengimbangi laju sepeda Mimi."Aku,., ah, sebaiknya jangan mendekatiku lagi disekolah Rio," ujar Mimi teringat pada ancaman Lisa."Lho ada apa nih? Kok tiba-tiba jadi begini?""Ya... aku mohon. Demi ketenangan dankeselamatanku...""Pasti Lisa lagi, kan?" terka Rio seraya melirik."Oh, Rio... aku tak bermaksud mengadu, tapi tadi akubegitu ketakutan," cerita Mimi sungguh-sungguh."Ya... aku mengerti. Akan kuberi pelajaran mereka!"gumam Rio dengan nada suara rendah menahanamarah dan gemas."Mau kauapakan mereka, Rio?""Masa cowok kalah sama cewek? Biar kata Lisa ikutbody building atau binaragawati aku nggak gentar.Akan kutunjukkan kejantananku dan kulihatkebetinaannya," ujar Rio konyol dengan mimik serius."Rio... apa-apaan sih kamu?" Mimi menahan tawanya."Iya... bener.""Jangan ngaco ah! Masa cowok ngeladeni cewekberkelahi," komentar Mimi."Emangnya Lisa tuh cewek? Cewek apa-an? Cakepanjuga banci yang suka ngamen di depan rumahku....Ih... jijay." Rio bergidik membayangkan postur tubuhLisa yang kekar, tapi centil. Sungguh sebuahkombinasi yang kontradiktif sehingga menjelmamenjadi makhluk aneh, mengerikan, menjijikkan.Mimi teringat akan rencananya memasak di rumahsore ini. Dan terlintas di pikirannya bahwa ia hendakmengundang Rio mampir dan mencicipi. Tapibagaimana cara mengajaknya, ya? Dan bagaimanakalau Rio menolak?"Langsung pulang, Rio?" Mimi membuka percakapan.Rio mengangguk. "Kau?""Ya... aku ada rencana mempraktekkan resep barudari majalah Gadis. Resep ala Itali."Mimi menunggu tanggapan Rio."Wah... pasti sedap." Rio mengangkat alisnya. "Maukahkausisakan dan bawakan untukku besok?"Mimi mengurungkan kata-kata yang telah iarencanakan selanjutnya. Kata-kata mengundang Riountuk mampir dan mencicipi terpaksa ditelannyakembali begitu mendengar kalimat terakhir Rio."Tentu...," sahut Mimi lirih."Sungguh? Jangan lupa panasi dulu, ya? Aku nggaksuka makanan yang udah dingin, apalagi yang udahbasi," canda Rio.Mimi tersenyum sumbang. Ada kekecewaan bermaindi hatinya, tapi tak lama."Sayang sore ini aku ada janji... sampai malam lagi!"seru Rio sesaat sebelum mereka berpisah di kelokanjalan."Ya... aku pun ada acara pribadi... mendengarkanacara penyiar favoritku... Mister DJ," hibur Mimiperlahan."Apa?" teriak Rio seperti terkejut."Ah... tidak. Sampai besok!" Mimi melambai danmempercepat kayuhan sepedanya agar segera hilangdari pandangan Rio.Mestinya niat untuk mengajak Rio mampir itu takpernah singgah di hatinya. Mestinya ia sudah dapatmenduga apa tanggapan Rio. Manalah mungkinseorang Rio mau menemaninya bermalam Minggu.Tentu se-abreg acara yang mengasyikkan telah antrememohon kehadiran Rio. Tentu Rio lebih sukamenemani Belia atau Rina atau Diana ketimbangseorang yang kuno dan membosankan seperti diriku....------I Dream of Jeannie. Cihuyyy! sorak Mimi dalam hati.Malam Minggunya tak akan terlalu sepi dengankehadiran film komedi setengah fantasi ini. ApalagiMama telah menyembunyikan radio walkman-nya. Iakehilangan suara merdu sang penyiar pujaan.Dibesarkannya volume suara televisi dan dengansantai Mimi menyaksikan film seri kesayangannya

  • sambil sesekali merogoh stoples biskuit danmengunyah perlahan."Mimi, apakah sudah kauselesaikan pekerjaanrumahmu?" tegur Mama. Seperti biasanya melulumembicarakan hal-hal yang berkaitan dengan sekolahdan pelajaran."Sudah, Ma....""Sudah kaubuka-buka juga pelajaran untuk besok?""Besok kan hari Minggu, Ma," gumam Mimi."Ya, Mama tahu, maksud Mama untuk hari Senin.Lebih dini belajar kan lebih baik. Lebih meresap diotak," Mama berfilsafah."Sebentar, Ma, tanggung sampai filmnya habis," pintaMimi. Ia kelewatan beberapa adegan seru gara-garapercakapan dengan Mama barusan."Eh., sejak kapan televisi mengalahkan waktubelajar?" Mama menghampiri."Sejak radio Mimi direbut Mama," jawab Mimi jengkel."Itu kan demi kebaikanmu!""Itu demi kebaikan Mama," sahut Mimi makin berani.Entah dari mana keberanian itu muncul. Kata orang,sebodoh-bodohnya anjing, bila ekornya diinjak akanmenggigit pula. Mungkin Mimi sudah tak tahan lagiakan kesewenang-wenangan Mama yangmembelenggunya.Ya... sejak radionya diambil, rasa ingin memberontakitu mulai muncul. Sejak ia kian akrab dengan Rio.Sejak ia mulai iri dan menaruh perhatian pada gayagadis-gadis sebayanya yang modern dan modis. Sejakia mulai takut kehilangan kebersamaannya denganRio. Sejak..."Sejak kapan kamu berani menjawab dengan kata-kata jelekmu itu hah!" hardik Mama dengan bolamata membesar.Mimi menghela napasnya. Dimatikannya pesawattelevisi dan ditatapnya Mama dengan mata berair."Nah... Mama puas, kan? Biar Mimi lumutan di kamar,membaca, dan belajar sepanjang waktu... seumurhidup. Itu yang Mama inginkan, bukan?""Mimi! Kau..."Mimi berlari ke kamarnya tanpa mempedulikan kata-kata dan panggilan Mama.Sebenarnya ia ingin sejenak menghibur diri di malampanjang. Mencoba melupakan kenyataan bahwa Riomungkin saja tengah bersenang-senang danbertandang ke rumah gadis-gadis manis. Melupakankenyataan bahwa malam Minggu bagi gadissebayanya berarti waktu untuk didatangi oleh Arjuna-nya. Berusaha mengalihkan pikiran-pikiran bahwa iasungguh malang tak berkawan, apalagi punya Arjuna.Bahwa ia tak punya apa-apa kecuali buku pelajarandan kepandaian yang terus diasah. Bayangan akanpenolakan Rio sore tadi terus menghantuinya.Menekan perasaannya hingga meledak seperti tadi.Sayup-sayup didengarnya langkah kaki Mamamenyusulnya ke kamarnya. Oh... tentu Mama akanmenghujaninya lagi dengan omelan-omelan, nasihat-nasihat filsafat-hlsa-fat dan ancaman-ancaman yangsemakin mempersempit dunianya. Membelenggu,membatasi... oh... Mimi menutup wajannya denganbantal.Betapa ia ingin Mama tak dapat mencapai kamarnya.Mungkin satu-satunya yang bisa menghentikanlangkah Mama adalah kecelakaan kecil sepertiterpeleset atau...Braaakkk...!"Oh..." Terdengar teriak kesakitan Mama setelahdiawali debuman benda berat yang terjatuh.Mimi tersentak. Sadar akan apa yang ada dipikirannya. Ia melompat turun dari tempat tidur danmemburu ke arah Mama yang tersimpuh di depanpintu kamarnya sambil memegangi pergelangan kaki."Kenapa, Ma?" tanya Mimi khawatir."Keseleo...," Mama meringis seraya mengurutpergelangan kaki kanannya.

  • "Pasti tersandung karpet," gumam Mimi."Tolong Mama, Mi...." Mama melingkarkan tangannyadi bahu Mimi, minta dipapah menuruni tangga.Mimi menghela napasnya. Ini tentu bukan lagikebetulan. Alam pikirannya bisa menembus alamnyata dan menghasilkan sesuatu tanpa perlu berbuatapa-apa. Semacam gelombang elektromagnetik...semacam... ah... entah apa namanya, pikir Mimipusing. Yang jelas mulai saat ini ia mesti lebih berhati-hati dengan pikirannya. Pikiran-pikiran yang bisamenjadi kenyataan bila dikonsentrasikan itu bolehjadi menguntungkan bagi dirinya, tapi bisa jugamenjadi sesuatu yang membahayakan bagi oranglain...***cerita-silat"Spada... susu...!"Mimi menggeliat Hari Minggu pagi yang cerah, mentarimenyembulkan sinarnya dari celah-celah tirai jendelayang terkuak sedikit. Siapa pula yang merusakkeheningan pagi dengan teriakan-teriakan yangmemekakkan telinga seperti itu?Perlahan Mimi bangkit dan menyeret langkahnyamenuju jendela. Dilihatnya Pak Oman, tukang susulangganan mereka, tengah mengetuk-ngetuk pintusambil memeriksa catatannya. Tentu ia mau menagihhari ini."Spada... susu! Hoi!!! Nggak ada orang apa gimanasih?" gedor Pak Oman lagi."Mimi!! Tolong bukakan pintu buat Pak Oman!" teriakMama dari bawah.Mimi segera ingat bahwa kaki Mama keseleo tadimalam, tentu pagi ini sedang bengkak-bengkaknyadan sudah pasti tidak bisa dipergunakan untukberjalan."Ya, Ma...," sahut Mimi sambil menyambar jaskamarnya dan mengenakan sandalnya. Setelah itulangsung menuju ke pintu depan, menyambut PakOman yang tak sabaran itu."Spa...""...da...!" sambung Mimi jengkel.Pintu terbuka, teriakan Pak Oman terhenti, disambungteriakan Mimi yang tak kalah kerasnya hingga PakOman terpaksa menutup telinganya dengan bukucatatannya."Huh, bikin kaget saja! Anak nakal!" umpatnya. PakOman memang tak akrab dengan anak-anak.Terutama Mimi yang juga tak pernah berusahamengakrabi Pak Oman. Orang tua ini sama sekali takpunya rasa humor. Tak pernah tersenyum selamamenjalankan tugasnya. Mungkin ia tipe pekerja yangbaik, tapi yang jelas ia bukan tipe masyarakat yangbaik."Ada apa, Pak... kok teriak-teriak sepagi ini?""Pagi? Pukul setengah delapan kau bilang pagi?" cibirPak Oman.Mimi balas mencibir. Tentu saja waktu Pak Oman takmelihatnya, sebab tentu tak sopan bila mencibiriorang yang lebih tua."Ini... tagihan susu minggu ini. Harap dilunasi, hari inijuga. Saya tunggu," pesan Pak Oman serayamenyobek nota pembelian dan menyerahkannyapada Mimi. Mimi mengambilnya lantas segerameminta uang pada mamanya.Beberapa menit kemudian ia sudah kembali danmenyerahkan uang pembayaran pada Pak Oman."Hm... tujuh ribu rupiah... pas... tak lebih maka tak adakembali," ujar Pak Oman seperti jengkel karena takdiberi tip."Ya... selamat siang. Pak... ciao!"Mimi menutup pintu. Dari jendela diintipnya kelakuanPak Oman yang memasukkan uang pembayaran kedalam sakunya sambil bersungut-sungut. Sudahseenaknya membangunkan orang, teriak-teriak,menagih tanpa basa-basi tanpa senyum eh... masih

  • pula menggerutu. Ck... ck... ck... Mimi menggelengkankepalanya. Dia pikir cuma dia manusia yang berhakjengkel di dunia ini? pikir Mimi. Aku juga bisa jengkel,pikir Mimi sambil membayangkan, betapa asyiknyabila punya kesempatan mengguyur kepala Pak Omandengan air dingin."Brrr... ups,.. eh... hati-hati dong kalau menyiram!"teriak Pak Oman gelagapan."Aduh, maap. Pak Oman, Bibi tidak sengaja...," ujarBibi tetangga sebelah dengan amat menyesal dan ikutterkejut. Entah mengapa selang air yangdiarahkannya pada tanamannya, mendadak berputarsendiri dan di luar kekuasaannya mengarah pada PakOman yang sedang memasuki pekarangan rumahnyauntuk mengantarkan susu dan menagih."Enak saja... brrr...," Pak Oman menggerutu sambilmenggigil kedinginan.Mimi ternganga lantas tertawa terpingkal-pingkalmenyaksikan adegan barusan. Ia baru ingat bahwakini ia memiliki sebuah kemampuan yang menjuruspada keajaiban. Kekuatan baru yang bisa menjadihiburan bagi dirinya sendiri. Dan pagi ini korbanpertama adalah Pak Oman. Untung hanya air dingin...."Mimi... sudah kauberikan uangnya?" panggil Mamadari kamarnya."Eh... sudah, Ma," sahut Mimi menghentikan tawanya.Hari ini tentu ia harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang biasanya dilakukanoleh Mama. Di hari Minggu biasanya Mama pergiberbelanja ke supermarket untuk membelikebutuhan-kebutuhan untuk satu minggu penuh. Dandengan kaki terkilir tentu Mama tak bisa mengemudimobil dan pergi ke supermarket, dan itu berarti tugasMama beralih jadi tugas Mimi.Dan peralihan tugas pagi ini diawali denganmenyiapkan sarapan pada nampan danmembawakannya ke kamar Mama. Dengan cekatanMimi mengeluarkan mentega, selai strawberry, dancoklat dari lemari pendingin. Disiapkannya alatpemanggang dan dimasukkannya beberapa helai rotitawar ke dalam panggangan yang dalam beberapadetik mengubah roti lunak menjadi garing kecoklatan.Susu dari botol pun mesti dipindahkan ke dalam gelaskhusus milik Mama.Nah, selesai sudah. Mimi membawanya ke kamarMama. "Sarapan siap," ujarnya seperti seorangjururawat.Mama tersenyum. "Tak disangka, ternyata anak Mamatahu juga cara mengerjakan pekerjaan rumahtangga," ujar Mama kagum sedikit terharu.Mimi hanya tersenyum."Dari mana kaupelajari semua ini?" tanya Mama,menyadari bahwa ia tak pernah mengajari Mimi hal-hal seperti ini. Bahwa yang diperkenankan untuk Mimihanyalah hal-hal yang berkaitan dengan pelajaransekolah belaka. Titik."Dari... apakah Mama marah kalau Mimi katakan yangsebenarnya?" tanya Mimi ragu sebelum menjawab.Dilihatnya Mama menggeleng sambil tersenyumlembut."... dari majalah-majalah dan dari film-film televisi...juga dari khayalan-khayalan Mimi sendiri...."Mama meraih kepala Mimi ke dalam pelukannya. Adarasa haru merambat di hatinya. Ternyata ia telahterlalu ketat membatasi gerak Mimi selama ini.Bahkan untuk hal-hal yang mestinya diperoleh Mimidari seorang ibu, ia tak sempat mengajarkannya. Iaterlalu khawatir dituduh tak mampu mendidik anakoleh orang-orang. Sepeninggal almarhum Papa, Mamamemang menerima amanat untuk mendidik danmembesarkan Mimi hingga berhasil menjadi dokterseperti almarhum Papa. Dan amanat Papa berubahmenjadi beban dan bumerang bagi Mama.Kelembutan seorang ibu ditukarnya dengan tanganbesi dan kekerasan seorang laki-laki. Dididiknya Mimi

  • dengan pendidikan ala militer. Mama lupa bahwaMimi adalah anak gadisnya yang terus tumbuh danakan menjadi wanita. Dan hari ini, karena keseleodan tak berdaya, Mimi telah melakukan pekerjaanrumah tangga yang tak pernah diajarkan oleh Mama.Anak gadisnya, mencari pengetahuan tentang rumahtangga dari majalah, bukan dari ibunya... ironis sekali,batin Mama sedih."Enak nggak, Ma?" tanya Mimi waktu Mamamengunyah roti bakar berlapis selai."Mh... enak sekali," sahut Mama cepat. Dua, tiga,empat helai roti bakar tandas diiringi penyesalan demipenyesalan di hati Mama."Mimi, coba buka laci meja rias Mama," ujar Mama.Mimi menurut. Dibukanya hati-hati... dan ia terkesiapmelihat radio kesayangannya ada di sana."Jangan ragu, Mi... ambil saja," ujar Mama lembut. "Itumilikmu...."Mimi menatap mamanya dengan rasa tak percaya.Benarkah kata-kata itu keluar dari mulut Mama?Tanpa berani menyentuh radio di dalam laci, Mimiterus menatap Mama. Dan ketika dilihatnya perlahankepala Mama mengayun mengangguk,mempersilakannya mengambil miliknya... barulahMimi berani menggerakkan tangan mengeluarkanradio kecilnya dari laci, lantas mendekapnya erat didada."Oh... terima kasih. Mama," ucapnya bergetar sambilmencium pipi Mama berulang-ulang."Hei... hei... hati-hati," Mama kewalahan." Nanti kauterpaksa menyiapkan sarapan dua kali untuk Mamakalau semuanya tumpah.""Seribu kali pun Mimi tak keberatan, Ma!" seru Mimiriang.Dan Mama semakin sadar bahwa gadisnya telahberubah... telah tumbuh. Bukan lagi gadis kecil,melainkan seorang remaja yang tengah menuju kekedewasaan. Yang butuh bimbingan, bukan larangan-larangan. Yang butuh kebebasan dan pergaulan luas,bukan belenggu.Kring... kriing...!Minggu siang yang tenang dan palingmembahagiakan bagi Mimi. Telepon berdering Mimimelangkah malas menuju meja tempat pesawattelepon."Ya, halo...," sapa Mimi."Nah... akhirnya...""Rio?" tanya Mimi tak percaya."Yap. Sedang apa kamu?" tanya Rio Jenaka. "Susahbetul sih menghubungi kamu lewat telepon.""Lewat apa pun akan sama sulitnya," gumam Mimi."Ah... yang penting sekarang ketemu. Eh... apa kabarjatah makanku? Masih ada atau sudah digondolkucing?""Makananmu?""Ya... percobaan masakmu dan janjimu Sabtu sorekemarin," Rio mengingatkan."Oh, ya...," desis Mimi, teringat kembali pada ajakanyang ditolak kemarin."Aku nggak sabar menunggu sampai besok. Mi, bolehnggak kuambil sekarang?""Sekarang?""Iya.""Maksudmu, kau mau ke rumahku?" seru Mimi takyakin akan pikirannya."Nggak boleh? Ya udaaahh...," Rio sok merajuk."Lho, siapa yang bilang tidak boleh? Kalau kau mautentu... lagi pula mungkin kalau menunggu besokmakanan itu keburu digondol kucing," ujar Mimi riang."Digondol kucing atau digondol Mimi?" goda Rio.Pipi Mimi bersemburat merah jambu. Ia bersyukurkarena Rio tak dapat melihatnya. Kegembiraan itu takmampu disembunyikannya lagi. Ia tak lagi ingat untukmengontrol irama suaranya yang barangkalikedengaran terlalu bernada sukacita di telinga Rio.

  • Barangkali terlalu jelas mengekspresikanperasaannya."Oke, nanti sore aku ke rumahmu," janji Riomengakhiri percakapan."Betul?""Ya.""Oke. Ciao," seru Mimi. Diletakkannya gagang telepondan dirabanya dadanya yang berdetak tak keruan.Dentuman-dentuman menyanyikan irama ceria.Didatangi Rio? Ah... rasanya tolakan kemarin terbayarberlipat ganda hari ini. Mudah-mudahan tak timbulmasalah dengan Mama, doa Mimi dalam hati, penuhkhayalan berbunga-bunga.Mimi berbaring menengadah menghadap langit-langitdengan mata terpejam. Kakinya menyilang dengantelapak kaki yang tak henti bergoyang-goyang tandabelum tertidur. Tanda pikirannya masih di awang-awang. Tanda pejamannya semu. Peristiwa sore tadidi serambi rumahnya adalah peristiwa pertamanyayang amat berkesan, berduaan dengan makhluk yangbernama cowok. Rio pula! Bukan sembarang cowok,tapi cowok yang jadi idaman hampir tiap gadis disekolah. Dan sore tadi, semua berjalan begitusempurna. Bahkan langit yang sudah gelap punmendukung suksesnya acara. Tak ada hujan setetespun meski awan hitam menggantung sore tadi.Spaghetti masakan Mimi juga sukses berat. Tidaklengket atau kebanyakan saus tomat sepertibiasanya. Dan yang paling membahagiakan adalah,sikap Mama yang bersahabat pada Rio. Bahkan Mamaseperti telah lama mengenal Rio."Sepertinya kok sudah kenal ya..." ujar Mama waktuberkenalan dengan Rio sore tadi."Kenal di mana, Ma?""Di... aduh, lupa Mama." Mama mengerutkan kening,tak berhasil mengingat-ingat di mana atau segi apayang dihafalnya dari Rio."Mungkin Tante pernah melihat saya di album sekolahMimi," kata Rio membantu mengingat-ingat."Bukan... mh... suaramu itu lho, Rio, seperti seringTante dengar... tapi di mana, ya? Dan kapan?"Percakapan akrab dan bersahabat itu masihterngiang-ngiang di telinga Mimi. Ya... rasanya ucapandan perasaan Mama ada benarnya juga, pikir Mimi.Sejak awal ia pun telah merasakan hal itu. Rasanyakok ada sesuatu dalam diri Rio yang membuatnyamerasa sudah lama akrab dan tak memerlukanwaktu lama untuk penyesuaian. Tapi apa? Suaranya?Kapan dan di mana, ya?Mimi terus mengingat-ingat dengan mata terpejam.Sambil mendekap boneka panda coklatnya dankuping bersumpal headphone Mimi memonitorgelombang FM stereo kesayangannya yang sebentarlagi akan mengudarakan acara Mister DJ....jalan jalan, kita berjalan-jalan sore-sore mencariterus... pengalaman yang berguna, bagiku, bagimu,semoga berguna bagi semua..."Yap... itulah tadi, Nona manis dan Jaka berkumis, satuirama khas dari Guruh Soekarno Putra yangditariksuarakan oleh Denny Malik. Sebuah nomor yanglain dari biasanya. Bahkan mungkin terlalu lincahuntuk suasana menjelang tidur...."Mimi mendekap panda-nya makin erat. Suara itu...oh... ia menyimak dengan lebih sungguh-sungguh."...sore tadi saya mengalami peristiwa yang amatberkesan dan karena cuma lagu itu yang bertemasore, saya putarkan juga. Sesekali egois sah aja, kan?Oke... teriring salam buat Mimi manis di rumahnya,dengan ucapan selamat bobo dan semoga lekassembuh untuk Mama...." Rio!Mimi menggigit bibirnya, seketika matanya terbelalak.Ya! Tak salah lagi, suara itu jelas suara Rio! Jadidugaan Mama tak salah, suara itu telah menjadisesuatu yang akrab di telinga penghuni rumah ini. Ditelinga Mimi yang setengah mati tergila-gila, dan di

  • telinga Mama yang sering penasaran ingin tahukenapa anaknya bisa sampai tergila-gila pada radio.Jadi tiap malam... ah... Mimi tersenyum geli. Hari initerlalu banyak hadiah yang diberikan Tuhan untuknya.Apakah ini karena keajaiban aneh yang kumiliki?Rasanya tidak. Pertama-tama memang ya, waktuMama mendadak keseleo. Tapi seterusnya, waktuMama mengembalikan radio kecilnya waktu Riomenelepon dan bertandang ke rumahnya, waktuMama bersikap ramah ada Rio dan waktudiketahuinya bahwa rio tak lain adalah si Mister DJyang dikaguminya barusan, rasanya semua bukan -bahkan keajaibannya. Sebab semua itu merupakankejutan bagi dirinya, dan tak pernah sekali punterlintas dalam benaknya..-Terima kasih. Tuhan, bisik Mimi sebelum akhirnyaterlelap dengan headphone masih menggantung dikepala dan boneka panda coklat dalam dekapan yangmengendur. Semoga esok masih ada hadiah-hadiahlain yang tak kalah indah...***http://cerita-silat.mywapblog.com/"Itu dia!"Mimi menghentikan langkahnya. Waktu istirahat siangini sedianya akan dihabiskannya dengan makanrisoles di kantin bersama Rio. Tadi pagi, janji telahdisepakati kala berangkat bareng. Tapi agaknyaniatan itu akan sedikit terhambat.Mimi menoleh dengan tenang. Ditatapnya Lisa, Kiki,dan beberapa gadis perkasa lain yang menjadikelompok the gangster lady itu satu per satu."Lihat caranya menatapmu Lis," pancing salah satu diantara mereka yang bertubuh kekar berbetis bagaitukang becak."Iya... nantangin tuh," timpal yang lain. "Hajar aja, Lis,biar dia ngehargain loe dikit."Lisa menghampiri. "Heh... persoalan kita belum selesai,inget nggak?" ujarnya galak."Ya," sahut Mimi datar. Entah mengapa, tak ada rasatakut di hatinya kali ini. Tidak seperti biasanya,didekati Lisa saja Mimi sudah mengkerut ketakutan,apalagi dipelototi semacam ini, bisa terkencing-kencing Mimi dibuatnya."Jadi?" tanya Lisa agak heran melihat reaksi Mimiyang tidak seperti dugaannya. Tidak seperti biasanya."Lisa, sebetulnya aku tak ingin membuat masalahdenganmu""Eh... suara siapa tuh?" ejek Lisa, seolah tak percayabahwa kata-kata seperti itu bisa keluar dari bibirseorang Mimi yang pemalu, penakut, dan kutu buku."Lisa, jangan ganggu aku dan aku tak akanmengganggumu," sahut Mimi mulai kehilangankesabarannya. Waktu istirahat tinggal sepuluh menitlagi, berarti ia telah membuang waktunya yang limamenit untuk meladeni gertak sambal Lisa yang takada gunanya ini."Kau... kau mau menggangguku? Olala..." Lisamembelai pipi Mimi dengan gaya, menghina."Cukup, Lisa," Mimi menepis tangan Lisa."Wah, Lis... ini udah keterlaluan.""Hantam, Lis...!"Lisa mendengus dan mengusap hidungnya yang selaluberkeringat bila sedang bersemangat. Ditatapnya Mimidengan beringas. Baginya tepisan barusan bisadiartikan sebagai perlawanan dan perlawanan berartitantangan."Kau yang mulai, Mimi...," desis Lisa."Lisa, sekali lagi kukatakan..." Kata-kata Mimi terhentiketika tangan Lisa terayun ke arah perutnya. Tapidengan sigap Mimi menangkapnya sambilmembayangkan dirinya menjadi Advent Bangun sijago karateka nasional. Dengan sekali ayunan ringan,Lisa terpelanting begitu kerasnya sehingga mirip atletmelakukan salto. Lantas mendarat dengan tidakmulus di darat. Untung tak membentur batu atau

  • benda keras lainnya, melainkan di hamparan rumputyang cu