MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs)

46
MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Oleh : 1. Annisa Dewita N (F0113017) 2. Hastra Reza (F0113047) 3. Lintang Bawono (F0113057) 4. Nila Mandani (F0113069) JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET

description

MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Transcript of MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs)

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs)MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Oleh :

1. Annisa Dewita N(F0113017)2. Hastra Reza (F0113047)3. Lintang Bawono(F0113057)4. Nila Mandani (F0113069)

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNANFAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS SEBELAS MARET2015BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Berkenaan dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan, dan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam program MDGs memiliki beberapa tujuan dan target yang ingin dicapai dalam berbagai bidang. Diantaranya adalah 1.) Kemiskinan dan Kelaparan 2.) Pendidikan 3.) Kesamaan Gender 4.) Mengurangi Kematian Anak 5.) Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil 6.) Mengurangi HIV & AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya 7.) Mencipatakan Lingkungan yang Nyaman 8.) Menjaga Perdamaian dan Hubungan Antarnegara. Dari beberapa program tersebut pokok bahasan yang akan dibahas dalam paper ini adalah Peningkatan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Perspektif gender diterapkan secara implisit maupun eksplisit, dan berjalan dalam proses kesepakatan global yang berkesinambungan. Meskipun promosi prinsip kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah terlebih dahulu masuk ke dalam agenda pembangunan, akan tetapi baru dinyatakan secara lebih kongkrit dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995. Hasil dari konferensi yang dikenal sebagai Beijing Platform for Action (BPFA) tersebut menetapkan PUG sebagai strategi pembangunan negara. Pemerintah Indonesia mengadopsi deklarasi dan platform tersebut untuk upaya-upaya yang bertujuan mengatasi hambatan terhadap kesetaraan gender, agar penduduk perempuan sebagaimana halnya penduduk laki-laki dapat berpartisipasi aktif dalam semua bidang pembangunan, terutama 12 bidang kritis yang telah disetujui untuk ditangani secara sistematis.Pada tahun 2000, Indonesia mengadopsi kesepakatan baru yang tertuang dalam Deklarasi Milenium PBB dengan delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Keterkaitan antara Landasan Aksi Beijing (BPFA) dengan Deklarasi MDGs adalah BPFA menyediakan agenda untuk pencapaian hak asasi perempuan, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan; yang selanjutnya menjadi pedoman yang komprehensif untuk pencapaian tujuan MDGs yang responsif gender.Permasalahan besar yang dihadapi dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yaitu masih terdapatnya kesenjangan gender di berbagai bidang. Hal ini tercermin pada masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, termasuk meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, yang disebabkan oleh: (i) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/ kota; (ii) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (iii) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit.Oleh karena untuk mengurangi hambatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dibutuhkan kerjasama antara pemerintah. Dengan adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah maka sedikit demi sedikit hambatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan akan teratasi.

B. Rumusan MasalahDalam paper ini akan dibahas beberapa pembahasan, diantaranya :a. Bagaimana perkembangan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia?b. Apakah tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia?c. Bagaimana kebijakan dan program yang dilaksanakan dalam peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia?d. Apakah target peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesiayang ingin dicapai sudah terpenuhi?

C. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam paper ini adalah :a. Mengetahui perkembangan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesiab. Mengetahui tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesiac. Mengetahui kebijakan dalam mewujudkan tujuan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesiad. Mengetahui pencapaian target yang diinginkan dalam peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia

BAB IIPEMBAHASAN

A. Perkembangan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan PerempuanDalam rangka mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender, pemerintah, antara lain, melalui Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, menginstruksikan agar semua kementerian dan lembaga mengintegrasikan kondisi, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan dalam seluruh tahapan menejemen pembangunan. Sampai saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal. Ketertinggalan perempuan dari laki-laki dalam kehidupan sosial dan terutama ekonomi di Indonesia masih tergambar dari adanya perbedaan antara indeks pembangunan manusia dan indeks pembangunan gender yang kondisinya dapat dikatakan hampir stagnan sejak tahun 2005. Kalau pada tahun 2005 nilai dua indeks tersebut, berturut-turut adalah 68.7 dan 63.9 dengan gap sama dengan 4.8 poin dan pada tahun 2011 nilainya adalah 72.77 dan 67.8 dengan gap sama dengan 4.97, maka besarnya gap tersebut bahkan meningkat, walaupun tidak signifikan.

Dorongan terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah disepakati Indonesia bersama para pemimpin dunia melalui Target 3A MDGs, yaitu penghapusan ketimpangan gender di bidang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Perbaikan di bidang pendidikan perempuan ini secara bertahap diharapkan dapat berdampak pada kehidupan fisik perempuan yang lebih sehat dan terutama, kualitas di bidang kehidupan ekonomi yang lebih mapan, yang pada akhirnya akan meningkatkan indeks pembangunan penduduk perempuan. Indikator pendidikan yang secara global digunakan untuk mengukur Target 3A tersebut adalah rasio angka partisipasi murni perempuan terhadap angka untuk lakilaki (disingkat rasio APM) di jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Selain itu, dipakai pula indikator rasio angka melek huruf yang merupakan indikator nasional. Di samping dilihat dari indikator yang terkait langsung dengan pendidikan, disepakati pula dua indicator lain untuk menilai capaian Tujuan 3. Indikator tersebut terkait dengan dampak pendidikan pada kehidupan perempuan di sektor publik, yaitu a) kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian, dan b) keterlibatan perempuan di parlemen.Capaian Tujuan 3 di bidang pendidikan sudah menggembirakan (Tabel 3.1). Di bidang tersebut, kesetaraan gender terlihat sudah tercapai pada berbagai jenjang pendidikan. Pada Tahun 2013, rasio APM-SD sudah mencapai 99.81 persen; bahkan rasio APM-SMP, rasio APM-SMA, rasio APM-PerguruanTinggi dan rasio AMH sudah melebihi target 100 persen. Di samping itu, walaupun tanpa target kuantitatif, Indikator 3.2 dan 3.3. menunjukkan arah kecenderungan yang sudah sesuai dengan harapan. Keterlibatan perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian meningkat dari 29.24 persen pada tahun 1990 menjadi 35.10 persen di tahun 2013 dan keterwakilan di DPR meningkat dari 12.50 persen pada tahun 1990 menjadi 17.30 persen, pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2014.Kecenderungan empat indikator yang merupakan komponen dari Indikator 3.1 di bidang pendidikan untuk menilai capaian Tujuan 3 MDGs dalam periode tahun 2000 sampai 2013 sangat bervariasi, tetapi sejak tahun 2011 semuanya menuju arah yang positif, kecuali rasio APM SMA (Gambar 3.2). Rasio APM SMA mengalami sedikit penurunan dari tahun 2010 ke tahun 2011, namun kembali meningkat pada tahun 2012. Berdasarkan perkembangan pada periode tersebut dapat diduga bahwa status capaian indicator 3.1 akan dapat bertahan sampai tahun 2015.Hal yang perlu dicatat dari kecenderungan yang terjadi pada tahun 2000-2013 adalah terus melajunya rasio APM pada jenjang SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hal ini berarti terus menurunnya APM laki-laki dibanding perempuan. Oleh karena itu motivasi terhadap pendidikan anak perempuan perlu dibarengi dengan motivasi terhadap pendidikan untuk anak laki-laki juga, agar ada keseimbangan antara pendidikan laki-laki dan perempuan di masa mendatang.

1. Kesenjangan Rasio APMKeberhasilan capaian rasio APM pada tingkat nasional seperti yang disajikan di Gambar 3.2 tidak selalu diikuti dengan keberhasilan di tingkat lokal. Nilai indikatornya bervariasi antar-wilayah perdesaan/ perkotaan, antar-provinsi, dan antar-golongan ekonomi.Mulai jenjang SD sampai perguruan tinggi, ketersediaan gedung sekolah lebih langka di daerah perdesaan daripada di daerah perkotaan. Walaupun begitu hal ini tidak menjadi halangan perempuan untuk mengakses pendidikan sama dengan laki-laki. Nilai indikator rasio APM SD di perdesaan hampir sama dengan nilai di perkotaan, sedangkan pada jenjang yang lebih tinggi rasio APM lebih dari 100 persen, yang berarti lebih banyak perempuan di perdesaan yang bersekolah pada umur yang sesuai daripada laki-laki

Tidak seperti ketimpangan pada jejang sekolah yang lebih tinggi, ketimpangan rasio APM SD antarprovinsi tidak signifkan. Sementara itu, ketimpangan gender dalam partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan SMP ke atas memperlihatkan adanya keberpihakan provinsi tertentu kepada laki-laki maupun perempuan. Kalau dari seluruh provinsi di Indonesia dipilih enam provisi yang bias kepada laki-laki atau kepada perempuan maka gambaran keberpihakan terlihat pada Tabel 3.3.

Ditinjau dari golongan pengeluaran, ternyata bahwa keberpihakan rumah tangga terkaya (20 persen golongan teratas) lebih diberikan kepada laki-laki. Pada jenjang SD, rasio APM-SD pada semua golongan ada di sekitar angka 100 (Tabel 3.4), namun hal yang tidak sama terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rasio APM SMP dan SMA dari golongan termiskin lebih besar dari rasio APM dari golongan menengah dan terkaya, yang berarti bahwa pada kelompok miskin partisipasi perempuan pada jenjang pendidikan tersebut lebih diperhatikan daripada laki-laki. Berkaitan dengan pendidikan tinggi, golongan terkaya pun lebih memilih untuk mengirim anak laki-laki kuliah ke perguruan tinggi tetapi golongan menengah ke bawah lebih mementingkan anak perempuannya yang masuk perguruan tinggi.

Gambaran tentang variasi rasio APM pada setiap jenjang pendidikan menurut tipe wilayah (perkotaan/ perdesaan) dan golongan ekonomi (termiskin/40 persen pendapatan terendah, menengah/40 persen pendapatan sedang dan terkaya/20 persen pendapatan teratas) dapat dilihat dari Gambar 3.5. Seperti telah disinggung sebelumnya, ada kesamaan pola angka Rasio APM pada semua jenjang sekolah, yaitu kelompok masyarakat kaya lebih memilih anaknya laki-laki yang bersekolah, sedangkan masyarakat miskin lebih memilih anaknya yang perempuan mengikuti pendidikan.

Tambahan data dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tentang penduduk miskin yang memperoleh pendidikan

Terjadi penurunan persentase penduduk 15 tahun ke atas (di 20 persen ke bawah) baik laki-laki maupun perempuan yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah. Pada tahun 2004, terdapat 31,96 persen penduduk laki-laki yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, sedangkan perempuan lebih banyak yaitu 41,66 persen. Lima tahun kemudian (2009), terjadi sedikit penurunan persentase penduduk yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, yaitu 31,21 persen penduduk laki-laki, sedangkan perempuan 39,69 persen. Pada tahun 2011, terdapat 30,72 persen penduduk laki-laki yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, sedangkan perempuan 38,69 persen. Dengan kata lain, terjadi penurunan persentase sebesar 1,24 persen pada penduduk laki-laki, dan sekitar 2,97 persen pada penduduk perempuan 15 tahun ke atas di 20 persen ke bawah (di garis kemiskinan) yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah. Pada jenjang SD, terjadi penurunan persentase lagi, namun untuk jenjang SLTP ke atas terjadi peningkatan persentase. Dengan kata lain, upaya pembangunan pendidikan menengah menunjukkan adanya sedikit peningkatan capaian baik bagi penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan 15 tahun ke atas di 20 persen ke bawah (di garis kemiskinan).

Dari grafik persentase anak usia 7-12 tahun yang di bawah garis kemiskinan di atas, nampak bahwa setiap tahunnya lebih banyak anak laki-laki yang tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan. Demikian juga yang putus sekolah di SD, lebih banyak anak laki-laki. Sebaliknya, untuk tingkat SMP, lebih banyak anak perempuan yang putus sekolah.

Dari grafik persentase anak usia 13-15 tahun yang di bawah garis kemiskinan di atas, nampak bahwa setiap tahunnya hampir sama banyaknya anak laki-laki yang tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan. Namun yang putus sekolah di SD dan di SMP, setiap tahunnya lebih banyak anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.Beberapa penyebab putus sekolah atau tidak bersekolah bagi penduduk miskin,antara lain adalah: i) tidak ada biaya; ii) bekerja/mencari nafkah; iii) menikah/mengurus RT; iv) merasa pendidikan cukup; v) tidak diterima; vi) sekolah jauh; dan vii) cacat. Dari grafik di bawah ini, nampak bahwa selalu lebih banyak laki-laki putus sekolah atau tidak bersekolah karena berkerja/mencari nafkah dibandingkan perempuan. Namun, selalu lebih banyak perempuan yang putus sekolah atau tidak bersekolah karena menikah/mengurus rumah tangga. Selain itu, sekitar 3 - 4 persen penduduk (di bawah garis kemiskinan) berumur 5-24 tahun yang belum pernah bersekolah atau tidak sekolah lagi merasa pendidikan yang dimiliki sudah cukup. Sebagai ilustrasi, Di daerah pemasok tenaga kuli bangunan dan pembantu rumah tangga yang merupakan daerah miskin, pandangan umum dari orangtua dan masyarakatnya sama, yaitu berpendidikan SD ataupun SMP akan sama saja nasibnya. Pilihan pekerjaan tetap sangat terbatas, hanya sebagai kuli bangunan /jualan keliling /buruh kasar/pekerja rumah tangga. Kesemuanya ini merupakan tantangan yang perlu dijawab untuk menekan angka putus sekolah. Kajian yang lebih mendalam mengenai motivasi pendidikan bagi penduduk miskin perlu dilakukan.

2. Kesenjangan Rasio AMHBerkaitan dengan angka melek huruf yang dirinci menurut jenis kelamin, terdapat variasi antarprovinsi yang lebar. Pada kelompok usia penduduk 15-24 tahun, di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat lebih banyak laki-laki yang melek huruf daripada perempuan dengan rasio-AMH masing-masing 84.08 persen dan 98.96 persen. Sementara itu di DI Yogyakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan hal sebaliknya terjadi. Rasio AMH di dua provinsi tersebut masing-masing adalah 102.88 persen dan 101.60 persen.Variasi angka melek huruf kelompok remaja seperti juga indikator pendidikan lainnya di Proinsi Papua dan Papua Barat pada umumnya, terjadi antardesa/kota, antarkelompok kaya/miskin dan antarpendidikan ibu. Ketersediaan sekolah di berbagai jenjang pendidikan di wilayah pedesaan secara historis lebih langka daripada di wilayah perkotaan. Hal ini menyebabkan banyaknya remaja buta huruf lebih terkonsentrasi di daerah pedesaan. Hasil pendataan MICS di lima kabupaten di Tanah Papua juga menunjukkan bahwa angka buta aksara remaja di sana sangat dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga dan pendidikan ibunya (Unicef, 2012).

Pada tingkat nasional, variasi rasio AMH antar-tipe wilayah (perkotaan/perdesaan) dan antar-golongan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 3.7. Rasio AMH remaja berusia 15-24 tahun hampir tidak berbeda antar-tipe wilayah maupun antar-golongan ekonomi. Semuanya berada pada sekitar angka 100; ini berarti bahwa melek aksara sudah merata di antara remaja laki-laki/perempuan, di kota/desa, dan kelompok kaya/miskin.

3. Kesenjangan Kontribusi dalam Kerja UpahBerikut adalah pencapaian bidang ketenagakerjaan untuk beberapa indikator umum selama periode 2004 hingga awal 2013. Nampak dari tabel di bawah, jumlah penduduk yang bekerja terus meningkat, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun dilihat dari indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), peningkatan yang terjadi hanya 1,66 persen selama periode 2004-2013.

Dari grafik di atas, nampak adanya peningkatan persentase tenaga kerja setiap tahunnya, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, kenaikan tersebut hanya sekitar 1 persen setiap tahunnya. Demikian juga dengan persentase pengangguran, hanya menurun sekitar 1 persen setiap tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

A. Sektor Formal Melihat tabel Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Kegiatan dan Jenis Kelamin, dan mempertimbangkan Grafik di bawah ini, kondisi yang saat ini terjadi adalah rata-rata perempuan menunjukkan prestasi yang lebih baik bila dibandingkan laki-laki secara akademis, akan tetapi jumlah perempuan yang masuk angkatan kerja dan yang bekerja jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dari tabel tersebut nampak bahwa pada tahun 2009, hanya sekitar 47 persen perempuan yang masuk angkatan kerja. Peningkatan terlihat pada tahun 2011, di mana terdapat lebih dari 52 persen perempuan masuk dalam angkatan kerja. Namun, tetap berarti bahwa sekitar 48 persen perempuan belum memanfaatkan ilmu dan kapasitasnya untuk pembangunan ekonomi secara langsung. Lebih lanjut, dapat dilihat pada tabel tersebut: pada tahun 2011, ada sekitar 36 persen perempuan yang memilih untuk mengurus rumah tangga (dapat diasumsikan sudah menikah), kemungkinan tidak bekerja ataupun tidak mencari kerja.Tantangan di sektor formal ketenagakerjaan adalah bahwa umumnya perusahaan, bahkan juga instansi pemerintah belum memahami bahwa pemenuhan hak kesehatan reproduksi pekerja/pegawai perempuan adalah merupakan kewajiban dari perusahaan dan instansi pemerintah. Dasar hukum mengenai hak kesehatan reproduksi sudah termuat di dalam berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah, antara lain adalah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 36 tahun 2010 tentang Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian ASI Ekslusif. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan bentuk insentif yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan. Permasalahan bidang ketenagakerjaan di sektor formal selain pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi, juga terdapatnya kesenjangan gender dalam hal alokasi jam kerja yang berkait erat dengan besaran upah/gaji yang diterimakan. Rata-rata jam kerja pekerja laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Kondisi ini menurun pada tahun 2011 dan bertahan pada tahun 2012. Kemudian, upah pekerja laki-laki masih lebih tinggi dibandingkan perempuan baik dari besaran upah maupun persentase tingkat upah. Kondisi ini tidak mengalami perubahan selama tiga tahun terakhir. Indonesia telah menandatangani Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kebijakan pengupahan agar baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan upah secara adil, dan untuk pekerjaan yang sama atau setara tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Permasalahan upah yang berbeda antara pekerja laki-laki dan perempuan, merupakan akibat dari pemahaman yang kurang tepat mengenai sistem pengupahan yang kadang dikaitkan dengan status kawin. Upah/gaji semestinya hanya terkait dengan kualifikasi, produktivitas, dan kualitas kerja dari pekerja, sedangkan status kawin pekerja hanya terkait dengan tunjangan.

Ditemukan pula bahwa dari 10 faktor diskriminasi, 5 di antaranya (usia, kondisi kehamilan, kondisi fisik, status pernikahan, dan jenis kelamin) berkaitan dengan persepsi gender (gender-related). Perempuan akan terdiskriminasi dalam hal usia, sebab adanya fungsi reproduksi yang harus dijalani yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak (child-rearing) sebelum anak memasuki usia sekolah. Secara alami, perempuan akan memasuki dunia kerja setelah melewati usia 25 tahun. Sedangkan kebanyakan perusahaan menetapkan usia penerimaan pekerja berkisar 20-25 tahun.

Kondisi kehamilan seharusnya sudah tidak menjadi penyebab PHK ataupun perlakuan diskriminatif oleh perusahaan, dengan adanya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun pada kenyataannya, pekerja perempuan yang hamil masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Terkadang perlakuan diskriminatif dilakukan secara terselubung dengan tidak memperpanjang kontrak kerja. Status pernikahan dan apalagi jenis kelamin seharusnya tidak menjadi penyebab perlakuan diskriminatif oleh perusahaan. Namun, perusahaan lagi-lagi lebih mengutamakan perempuan yang belum menikah, dengan alasan produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang telah menikah. Alasan preferensi perusahaan terhadap status lajang pekerja antara lain adalah: tidak perlu ada cuti hamil dan melahirkan, tidak banyak mengajukan izin terkait masalah keluarga, dan mobilitas lebih tinggi (dapat ditempatkan di manapun) dibandingkan perempuan yang telah menikah).

B. Sektor InformalSebelum membahas lebih lanjut mengenai tenaga kerja di sektor informal, perlu ditelaah terlebih dahulu berapa besar jumlah tenaga kerja dan berapa porsi sektor formaldan informal, berapa banyak laki-laki dan perempuan bekerja di sektor formal dan berapa banyak di sektor informal. Berikut adalah grafik mengenai jumlah pekerja untuk tahun 2010 dan 2012.

Dari grafik di atas, nampak bahwa sektor informal menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan. Pada tahun 2010, total jumlah tenaga kerja di Indonesia mencapai lebih dari 107 juta orang. Sekitar 71,3 juta bekerja di sektor informal. Pekerja laki-laki di sektor informal berjumlah sekitar 43,7 juta orang, sedangkan pekerja perempuan berjumlah sekitar 27,6 juta orang. Bila UU Ketenagakerjaan hanya melindungi pekerja formal, maka hanya sekitar 35,7 juta orang yang dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Sisanya yang 2 kali lipat, yaitu 71,3 juta orang tidak terlindungi oleh negara. Sebagaimana telah disebutkan di atas, jumlah pekerja sektor informal jauh melebihi pekerja di sektor formal. Pekerja sektor informal paling diserap oleh pekerjaan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, perdagangan, industri pengolahan, dan rumah makan.

Sektor informal banyak menampung pekerja yang tidak dibayar. Pekerja tidak dibayar ini sebagian besar perempuan. Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012, persentase pekerja perempuan tidak dibayar tidak mengalami banyak perubahan, masih terus berkisar pada 30 persen. Diperkirakan jumlah pekerja yang tidak dibayar lebih besar daripada yang tercatat pada statistik nasional, sebab belum mencakup pekerja yang bekerja kurang dari 5 hari berturut-turut.

Tambahan menurut hasil Sakernas, Keterbatasan pasar kerja formal di sektor non-pertanian tidak menghalagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pasar kerja melalui jalur informal. Sebagai contoh, kontribusi perempuan secara total di sektor perdagangan (formal dan informal) sudah mencapai 50 persen, sementara itu di sektor jasa mencapai 47 persen dan di sektor industri 42 persen. . Namun demikian keterbatasan lapangan kerja formal tersebut di beberapa tempat masih memicu maraknya perdagangan orang, yang umumnya memakai modus operandi mencarikan pekerjaan yang lebih baik di lain tempat. Jumlah yang pasti tentang berapa orang yang diperdagangkan tidak diketahui, namun dari urutan daftar TPPO yang dipulangkan pada periode tahun 2010-2012 tergambar bahwa banyak di antara mereka berasal dari Jawa Barat (276 orang), Jawa Tengah (142 orang) dan NTT (78 orang). Dari seluruh korban TPPO yang dipulangkan sebagian besar, hampir 70 persen adalah perempuan (8.38 persen anak-anak dan 61.44 persen dewasa). Rincian daftar korban TPPO yang dipulangkan secara lengkap disajikan di Tabel 3.5.Perdagangan orang tidak hanya terjadi dalam lingkup dalam negeri tetapi melintasi batas ke luar negeri.Pada tahun 2012 kasus yang ditangani kedutaan RI sebanyak 315 yang pada tahun itu hanya dapat diselesaikan 60 kasus, sedangkan yang lainnya masih dalam proses penyelesaian. Kasus perdagangan orang yang paling banyak terungkap dan tertangani oleh perwakilan KBRI/KJRI adalah di Kuala lumpur(124 orang) dan Amman (105 orang).Dengan pesatnya kemajuan tehnologi komunikasi saat ini, kegiatan para calo TPPO semakin bebas. Kegiataan mereka semakin tidak kentara karena tidak selalu ada kontak langsung antara pelaku dan korban. Komunikasi untuk bernegosiasi mereka lakukan melalui telpon atau media internet dan transaksi uang kalau diperlukan dilakukan melalui ATM. Bahkan para korban dapat dipandu para calo sampai ke tempat tujuan hanya dengan melalui telpon, tanpa diketahui oleh orang lain.

Bila dilihat dari jumlah korban yang sedang diproses, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, terlihat kecenderungan jumlah korban yang menurun (Gambar 3. 9). Selama tiga tahun tersebut jumlah korban TPPO yang tercatat adalah 755 orang yang umumnya adalah perempuan-- dewasa dan anak-anak. Komposisinya adalah perempuan sebanyak 84% ( dewasa 55 persen dan anak-anak 29 persen) sedangkan laki-laki hanya sebanyak 16 persen (15 persen dewasa dan 1 persen anak-anak).Di samping memicu tingginya angka perdagangan orang, terbatasnya pasar kerja formal juga menyebabkan meningkatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang sebagian menimbulkan banyak masalah. Tidak seperti TKI di sektor formal, masalah yang dihadapai TKI di sektor non-formal sangat memprihatinkan dan banyak menyita perhatian dari berbagai komponen masyarakat. TKI yang bekerja di sektor informal mempunyai banyak permasalahan, antara lain karena faktor-faktor berikut:a. Kualitas tenaga kerjaUmumnya berpendidikan rendah sehingga kurang memahami hak dan kewajibannya sebagai TKI.b. Jenis pekerjaanUmumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh perkebunan, sehingga sulit dipantau keberadaannya.c. Rekrutmen tidak sesuai aturan Banyak pelanggaran aturan sejak pengisian formulir perjanjian kerja, pra penempatan, masa penempatan maupun purna penempatan.d. Kurangnya perlindunganKoordinasi perlindungan TKI antar stakeholder, seperti antara KBRI/KJRI dengan kabupaten/kota pengirim TKI, masih lemah. Belum ada mekanisme penyelesaian kasus yang efektif seperti, upah rendah bahkan tidak dibayar, mengalami penyiksaan atau perkosaan, PHK sepihak, dan ketidaksesuaian kondisi ketenegakerjaan dengan perjanjian kerja.e. Sistem informasi tentang TKI yang lemah Belum tertatanya system informasi yang memungkinkan adanya pemantauan terhadap kondisi para TKI.f. Jaminan terhadap keluargaTerutama anak-anak yang turut tinggal di luar negeri, banyak yang berstatus ilegal sehingga tidak memperoleh akses pelayanan dasar.Perempuan yang tidak bekerja cenderung menjadi sasaran KDRT. Data kekerasan yang dikompilasi dari sistim pencatatan pelaporan dari 32 Provinsi dan Kab/Kota per Januari 2013 adalah 20,430 kasus. Sebagian besar korban, hampir 90 persen (18,718 Kasus) adalah perempuan tidak bekarja, dengan status menikah (45.72 persen),mempunyai pendidikan (SLTA 35.57 persen), dengan rata-rata usia 25-59 tahun,serta umumnya tercatat mengalami kekerasan fisik.

4. Kesenjangan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga LegislatifBerikut grafik proporsi keterwakilan laki-laki dan perempuan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dari grafik di atas, nampak bahwa tidak banyak perubahan keterwakilan perempuan di DPR selama periode 1992-1997 (pra-reformasi) dan periode 1999-2009, yaitu berkisar pada 9-12 persen. Namun, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, terjadi peningkatan keterwakilan perempuan menjadi 18,4 persen. Sementara itu pada tingkat DPRD I rata-rata keterwakilan perempuan mencapai 16 persen, dan DPRD II mencapai 12 persen. Semua DPRD Provinsi telah memiliki representasi perempuan, kecuali Bali. DPRD Maluku tercatat sebagai tertinggi dalam jumlah anggota legislatif perempuan. Salah satu faktor pendorong adalah adanya imbauan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar partai politik peserta Pemilu mengajukan (minimal) 30 persen calon legislatif perempuan untuk setiap wilayah pemilu. Untuk DPRD tingkat kabupaten/kota, masih ada 29 kabupaten/kota yang belum memiliki satupun anggota legislatif perempuan (masih 100 persen laki-laki).

Selain di ranah legislatif, pengambilan keputusan dan kontrol terhadap pembangunan di ranah eksekutif juga masih sangat didominasi oleh laki-laki. Berikut grafik persentase jabatan publik (menteri, bupati/walikota, gubernur, hingga lurah/kepala desa) menurut jenis kelamin. Di tingkat Kementerian, perbandingan masih 9:1 menteri laki-laki dibanding menteri perempuan. Demikian pula halnya pada tingkat provinsi, untuk setiap 10 gubernur terdapat 1 gubernur perempuan. Pada tingkat kabupaten/kota, perbandingan lebih mencolok, yaitu untuk setiap 100 bupati/walikota hanya ada 1 (satu) bupati/walikota perempuan, dan di tingkat kelurahan kelurahan tidak jauh berbeda.

Nampak dari grafik di atas, jabatan pengambilan keputusan masih jauh dari berimbang antara pejabat laki-laki dan perempuan untuk semua eselon. Data dari 652 pejabat eselon I di tingkat K/L, hanya terdapat 107 orang pejabat perempuan. Rata-rata perbandingan sekitar 8:2 antara pejabat laki-laki dan perempuan. Kecuali untuk jabatan eselon III yang kondisinya lebih baik, sekitar 7:3 perbandingan antara pejabat laki-laki dan pejabat perempuan. Untuk instansi kepolisian, di Markas Besar POLRI, 1 orang PATI perempuan berbanding 121 orang PATI laki-laki. Sedangkan di Kejaksaan RI, sudah lebih baik, dengan perbandingan sekitar 2:5 antara jaksa perempuan dan jaksa laki-laki.

Keterwakilan perempuan dalam fraksi-fraksi di DPR dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa merupakan partai yangjumlah anggota legislatifnya paling tinggi persentasenya (di atas 24 persen). Sementara partai politik yang paling sedikit anggota legislatif perempuannya adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (hanya sedikit di atas 5 persen). Tidak satupun fraksi yang mencapai kuota 30 persen dari yang dimandatkan UU Pemilihan Umum. Dengan demikian, KPU perlu mendorong agar semua partai politik peserta pemilihan umum mengajukan lebih dari (bukan maksimal) 30 persen calon legislatif perempuan dalam daftar calon legislatifnya. Partai Keadilan Sejahtera perlu menunjukkan upaya yang lebih besar lagi dalam memenuhi mandat kuota 30 persen untuk fraksinya di DPR.Kurangnya anggota legislatif perempuan juga menjadi cerminan dari kurangnya calon legislatif perempuan, walaupun tidak berbanding lurus. Umumnya partai politik mengalami kesulitan dalam mendapatkan perempuan yang cukup berpotensi dan berminat sebagai calon legislatif. Rendahnya animo perempuan untuk masuk ke dalam ranah politik cukup banyak dipengaruhi oleh stereotip dunia politik yang negatif, kotor, penuh permainan, dunia laki-laki, tidak cocok untuk perempuan. Di samping itu, budaya dan atmosfir di dalam partai politik yang masih sangat didominasi oleh laki-laki serta di dalam parlemen juga masih belum kondusif bagi perempuan. Anggota legislatif perempuan menganggap perlu menunjukkan sikap keras dan tegas dalam pertemuan-pertemuan politik, dan sangat penting untuk didukung oleh data dan fakta agar memungkinkan (tapi belum pasti) suara mereka didengar dan ditanggapi. Padahal, anggota legislatif laki-laki tanpa didukung data dan fakta sudah mendapat respon dan tanggapan. Dengan demikian, sikap feminin merupakan karakteristik yang menghambat dalam politik. Nampaknya pandangan bahwa perempuan tidak siap untuk memasuki dunia politik tidak sepenuhnya tepat, sebab dunia politik juga belum benar-benar siap menerima kehadiran perempuan.

Ranah Eksekutif Bila data pada grafik disilang dengan data persentase PNS menurut tingkat pendidikan, maka nampak bahwa untuk pendidikan S3 menunjukkan perbandingan yang sama dengan rata-rata perbandingan pejabat eselon, yaitu 8:2 antara PNS laki-laki dan perempuan. Menilik grafik persentase di bawah, nampak bahwa PNS perempuan lebih sedikit yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Sarjana Strata 1, dan semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit jumlah PNS perempuan. Dengan demikian, kemungkinan PNS perempuan untuk mendapatkan promosi jabatan akan meningkat bila tingkat pendidikannya semakin tinggi. Faktor-faktor yang diperkirakan sebagai penghambat bagi peningkatan jumlah PNS perempuan untuk mendapatkan pendidikan S2 terkait minat, pertimbangan keluarga, dan jarak sarana pendidikan. Namun, kajian khusus mengenai apa penyebab kurangnya PNS berpendidikan Strata 2 dan terlebih lagi Strata 3 perlu dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Tantangan kesetaraan gender di lembaga eksekutif adalah bagaimana meningkatkan daya saing PNS perempuan untuk jabatan struktural. Hal ini terkait dengan kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan kapasitas kepemimpinan. Selain itu, pemahaman mengenai kesetaraan gender dalam birokrasi perlu diberikan kepada semua calon pejabat eselon. Oleh karena itu, materi kesetaraan gender perlu dimasukkan dalam kurikulum pelatihan dan pendidikan kepemimpinan untuk semua tingkatan eselon, terutama untuk eselon I dan II. Tantangan lain adalah bagaimana meningkatkan minat para sarjana hukum perempuan untuk berkarir sebagai jaksa.Kesenjangan kualitatif masih diperlihatkan pada komunitas perempuan yang belum siap berkompetisi dengan laki-laki baik karena faktor biologis, sosiologis maupun kultural, sehingga perlu adanya pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan.

B. Tantangan Yang Harus Di Hadapi Dalam Peningkatan Kesetaraan Gender dan PemberdayaanDari uraian tersebut di atas tantangan yang dihadapi dalam mencapai Tujuan 3 MDGs adalah:1. Mindset para pengambil keputusan masih menginterpretasikan bahwa gender sebagai program perempuan dan produk barat sehingga mereka masih bias gender dan diskriminatif,2. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender belum konseptual sekaligus kontekstual dengan isu isu internasional, nasional serta tematik dalam seluruh bidang-bidang pembangunan baik yang merupakan kewenanngan pusat, maupun daerah dengan kompleksnya desentaralisasi serta otonomi daerah,3. Upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak yang belum optimal, apalagi isu globalisasi tentang TPPO dan kekerasan yang semakin komplek dan beragam baik meliputi kekerasan fisik, psikis, eksploitasi, penelantaran serta lainnya,4. Upaya pendidikan politik bagi calon politisi perempuan dan pendidikan gender bagi politisi laki-laki masih menghadapi banyak hambatanKebijakan

B. Kebijakan Peningkatan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Diarahkan Pada:1. Bidang pendidikan: Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dalam rangka mengurangikesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antar tingkat sosial ekonomi. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan nonformal yang responsif gender.2. Bidang ketenagakerjaan: Mengutamakan penegakan hukum yang ada, termasuk menyelaraskan kebijakankebijakan dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan, termasuk kebijakan yang melindungi pekerja perempuan di tingkat nasional, daerah dan perusahaan, untuk memastikan bahwa laki-laki dan perempuan mampu berparsipasi tanpa diskriminasi dalam angkatan kerja. Memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam penegakan undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan. Memperkuat pengawasan ketenagakerjaan melalui peningkatan jumlah, kapasitas dan kompetensi tenaga pengawas untuk memastikan terlaksananya pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan (core labor standards) dengan lebih baik. Mengupayakan perlindungan sosial bagi kelompok perempuan yang bekerja di kegiatan ekonomi informal. Meningkatkan kualitas pekerja dan calon tenaga kerja perempuan.3. Bidang poltik, melalui peningkatan pendidikan dan partisipasi politik untuk perempuan, antara lain: Meningkatkan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam peningkatan partisipasi politik perempuan; Menyusun modul pendidikan pemilih untuk kelompok perempuan, miskin, cacat,pemilih pemula dan lansia; Meningkatkan pendidikan pemilih bagi calon legisla f perempuan; dan Meningkatkan pendidikan poli k bagi kader perempuan yang menjadi anggota partai politik.4. Pengarusutamaan gender pada penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dilaksanakan melalui pengembangan pedoman umum untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam proses perencanaan, implementasi, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi dari kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di tingkat lokal, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait.

C. Target Yang Ingin Dicapai Dalam Peningkatan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Sudah Terpenuhi

Dapat dilihat di tabel bahwa ratio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B ataupun SMA maupun perguruan tinggi berturut-turut sebesar 99,81 dan 105,69, 100.66, 109.73. Dari hasil rasio tersebut memperlihatkan partisipasi perempuan di tingkat pendidikan meningkat. Selain itu rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 100.10 pada tahun 2013 meningkat begitupun dengan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian dan proporsi kursi yang di duduki perempuan di DPR juga meningkat.Dengan demikian dapat di simpulkan target yang ingin dicapai dalam peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia sudah hampir tepenuhi.

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan Dalam program MDGs memiliki beberapa tujuan dan target yang ingin dicapai dalam berbagai bidang. Diantaranya adalah 1.) Kemiskinan dan Kelaparan 2.) Pendidikan 3.) Kesamaan Gender 4.) Mengurangi Kematian Anak 5.) Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil 6.) Mengurangi HIV & AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya 7.) Menciptakan Lingkungan yang Nyaman 8.) Menjaga Perdamaian dan Hubungan Antarnegara. Tujuan ke ketiga yang ingin dicapai Indonesia dalam Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia adalah meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Target:nya adalah menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.Indikatornya antara lain yaitu ratio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki, ratio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender), kontrubusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian, Proporsi kursi DPR yang diduduki perempuan. Dalam pelaksanaan tujuan ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar bisa mewujudkan tujuan tersebut dan membuahkan hasil seperti kesetaraan gender dalam semua jenis dan jenjang pendidikan telah hampir tercapai yang ditunjukkan dengan rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B berturut-turut sebesar 99,81 dan 105,69, dan rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 100.10 pada tahun 2013.Dari tiga kelompok indikator --pendidikan, ketenagakerjaan dan keterwakilan di DPR--yang capaiannya sudah sesuai dengan harapan, laju percepatan dua indikator yang terakhir disebutkan adalah yang sangat lamban. Masih perlu adanya upaya yang yang efektif dan efisien untuk memacunya. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian memang meningkat, tetapi peningkatannya masih rendah; dalam jangka waktu 22 tahun pertumbuhannya hanya 6.53 persen. Di samping itu juga terdapat kesenjangan upah yang diterima pekerja perempuan dibandingkan lakilaki. Rata-rata upah buruh perempuan per bulan di sektor formal hanya sekitar 79 persen dari jumlah yang diterima laki-laki. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut di atas, antara lain, a)rendahnya kesempatan perempuan dalam memperoleh pekerjaan formal terkait dengan rendahnya control perempuan dalam rekrutmen pegawai, dan b) masih lemahnya regulasi terkait kesetaraan upah tenaga kerja perempuan. Dampak dari rendahnya penyerapan kerja di sektor formal adalah antara lain, adalah mengalirnya tenaga kerja ke luar negeri serta maraknya tindak pidana perdagangan orang yang makin tersembunyi. Di samping itu rendahnya posisi tawar dalam keputusan rumah tangga dari perempuan yang tidak bekerja, cenderung memicu adanya KDRT.Keterwakilan perempuan dalam bidang legislatif sudah terlihat ada peningkatan di tingkat nasional, namum laju peningkatannya masih sangat rendah. Walaupun di tingkat lokal sudah ada dua DPRD provinsi yang mempunyai anggota perempuan sekitar 30 persen,namun di tingkat kabupaten/kota, masih ada 49 DPRD yang belum mempunyai anggota perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa peraturan perundangan yang diterbitkan sejak tahun 2003 yang menganjurkan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen belum mendapatkan perhatian penuh dari para pimpinan partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

BAPPENAS,2013; Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Di Indonesia 2013; Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. ISBN-979-3764-64-1BAPPENAS,2013; Pembangunan Kesejahteraan Gender Background study RPJMN III (2015-2019); Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.ISBN 978-602-19591-1-4