Mikotoksikosis
-
Upload
hengky-vin-lee-susanto -
Category
Documents
-
view
1.702 -
download
25
Transcript of Mikotoksikosis
BAB I
PENDAHULUAN
Mikotoksin berarti toksin yang dihasilkan oleh jamur. Mikotoksikosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh jamur yang termakan bersama-sama bahan pakan yang
tercemar jamur.
Perhatian dunia secara intensif terhadap mikotoksin cukup besar sejak peristiwa yang
mematikan lebih dari 100.000 ekor kalkun di Inggris sekitar tahun 1960. Wabah tersebut terkenal
dengan sebutan “penyakit kalkun X” ( “Turkeys-X diseases”). Penyakit ini terjadi pada kalkun yang
diberi pakanberupa kacang tanah asal Brasilia yang dicemari oleh fungi, yang menurut hasil
identifikasi fungi tersebut adalah Aspergillus flavus. Zat toksik yang dihasilkan oleh Aspergillus
flavus disebut aflatoksin. Istilah aflatoksin diambil dari singkatan kata Aspergillus flavus toksin.
Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture Organization (FAO),
World Health Organization (WHO) dan United Nation Development Program (UNDP) pada
Conference on Mikotoksins di Nairobi, Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan
toksin asal kapang akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relean dan
potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang.
Masalah mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita
ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-kembang segala jenis
kapang. Namun demikian, tampaknya masih banyak pakar kesehatan dan kedokteran yang belum
tertarik atau menaruh perhatian pada bidang ini.
Pada umumnya dalam keadaan normal, kapang-kapang itu hidup secara saprofit. Akan tetapi
jikalau keadaan lingkungan sekitarnya berubah menjadi ideal, yakni suhu udara baik, kelembaban
cukup tinggi dan ada substrat yang cocok untuk ditumpangi, maka kapang tersebut akan tumbuh-
kembang subur dan memproduksi metabolit beracun. Bila bahan yang tercemar itu termakan atau
berkontak dengan kulit manusia atau hewan, maka dapat menimbulkan keracunan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. MIKOTOKSIN DAN MIKOTOKSIKOSIS
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang
tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan. Mikotoksin mulai
dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X –disease pada tahun
1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin, lima jenis diantaranya sangat
berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin,
okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut
Bhat dan Miller sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin
tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut
Mikotoksikosis.
Mikotoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh racun yang dihasilkan jamur
(mikotoksin). Jamur mudah tumbuh dimana-mana yaitu: di tanah, materi organik yang
membusuk, biji-bijian dan kacang-kacangan. Kontaminasi jamur dapat terjadi saat panen,
selama transportasi , pada penyimpanan bahan baku ransum dan ransum jadi. Ransum dengan
kadar air 12% atau lebih dengan kelembaban 80-90% dan suhu antara 10-40 derajat C
merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan jamur.pada keadaan khusus , jamur dapat
menghasilkan racun. Adanya Mikotoksin dalam ransum menyebabkan keracunan pada ternak
yang mengkonsumsi ransum tersebut. Pada dasarnya, semua jenis ternak dapat terserang
Mikotoksin. Namun tingkat kepekaannya bervariasi tergantung sejumlah faktor seperti : jenis
kelamin, umur, bangsa, kondisi fisik, status nutrisi, jumlah dan jenis Mikotoksin , konsumsi
ransum, lama serangan , tatalaksana peternakan ( sanitasi, suhu, kondisi udara, kelembaban,
dll) dan infeksi penyakit lain. Mikotoksin akan menurunkan kadar glikogen pada darah
sehimngga menyebabkan bertambahnya kadar glukosa serum. Pada kasus keracunan akut,
fungsi mitokondria juga terganggu. Terganggunya metabolisme lemak khususnya dalam
sistem pengangkutan dan eskresi lemak menyebabkan kadar lemak dalam hati lebih tinggi
sehingga menyebabkan fatty liver syndrome.
2
Mikotoksin juga bereaksi dengan DNA dan RNA sehingga menghambat sintetis protein. Saat
bereaksi dengan membran sel, mikotoksin akan mempengaruhi sistem pengangkutan nutrisi
dalam sel. Penurunan sintetis protein akan mempengaruhi pertumbuhan dan menurunkan
sistem kekeban dan antibodi ternak. Kondisi ini akan menyebabkan ternak rentan terhadap
penyakit atau menurunkan efiktivitas vaksinasi. Sejumlah nutrisi termasuk energi
metabolisme, kecernaan nutrisi dan kadar vitamin dalam plasma turut dipengaruhi oleh
mikotoksin. Mikotoksin dapat menurunkan ketersediaan enzim-enzim percernaan pada
unggas, khususnya amilase, lipase, protease, dan RNAase/DNAase. Penurunan enzim
pecernaan akan mempengaruhi ketersediaan nutrisi bagi tubuh ternak dan akhirnya
menurunkan laju pertumbuhan. Ratusan jamur telah diidentifikasi, beberapa diantaranya
sering muncul dalam industri peternakan , yaitu Aflatoxin, Ochratoxin, Trichothecen,
Zearalenone dan Citrinin.
B. IDENTIFIKASI MIKOTOKSIN
1. Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Aflatoxin dihasilkan oleh jamur
aspergillus flavus, A. paracitikus dan Penicillium puberulum, bersifat sangat beracun dan
karsinogenik . Jenis jamur ini banyak terdapat di mana-mana sehingga dapat mudah mencemari
tanaman di tempat manapun. Namun, produksi aflatoxin tergantung pada faktor iklim saat tanaman
tertentu tumbuh dan disimpan sebagai bahan baku ransum. Didaerah tropis dan subtropis, resiko
pencemaran Mikotoksin pada tanaman selalu lebih tinggi karena iklim tropis mempunyai kadar air
dan kelembaban yang relatif tinggi. Jamur ini memerlukan suhu 36,2-37,8 derajat C dan kelembaban
relatif 80-85% untuk pertumbuhan optimal dan memproduksi racun.
3
Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil
diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya
memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus
memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada
kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum
320-330C dan pH optimum 6.
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling
tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi
perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A.
Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-
produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999). Selain itu,
residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri
et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al
(1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita)
menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang,
kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien
tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Perubahan patologi anatomi yang dapat di akibatkan oleh aflatoksin adalah: hati dan
limpa membesar,radang dan pembengkakan pada duodenum. Hati terlihat pucat akibat
penimbunan lemak dan perdarahan berbentuk titik-titik. Jaringan limfoid (bursa Fabricius dan
tymus ) mengecil. Ginjal dan kantung empedu biasanya membesar dan terjadi perdarahan
usus. Lemak pada ampela dan lemak tubuh yang lain berlebihan . Pada kasus kronis kronis,
hati mengecil, keras dan terdapat nodula berisi getah empedu.
4
2. Okratoksin
Okratoksin dihasilkan oleh jamur Aspergillus ocharceceous dan Penicillin
viridikatum. Jenis jamur Aspergillus menghasilkan ochratoxin hanya pada kadar kelembaban
relatif dan suhu yang tinggi., sedangkan species Penicillium tertentu dapat menghasilkan
ochratoxin pada suhu yang lebih rendah, bahkan pada suhu 5 derajat C. Ada type berbagai
ochratoxin, yaitu : Ochratoxin A, Ochratoxin B, Methylester Ochratoxin dan Ochratoxin C.
Ochratoxin A yang paling banyak ditemukan karena stabil terhadap perubahan suhu dan
sangat beracun.
Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan
ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini
pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A.
ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-
kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium
viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim
sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.
5
P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan
pH optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 – 370C. Saat ini diketahui
sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan
Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.
Hal penting yang berkaitan dengan perdagangan komoditas kopi di pasar internasional
adalah bahwa sebagian besar negara pengimpor/ konsumen kopi mensyaratkan kadar OA
yang sangat rendah atau bebas OA.
Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada berbagai produk
ternak seperti daging babi dan daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak
sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA
melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Perubahan patologi anatomi yang dapat disebabkan oleh Okratoksin adalah ditemukan
hati membesar, warna pucat disertai perdarahan. Ginjal pucat dan peradangan usus. Pada
kasus akut, ginnjal mengalami nephrosis. Ginjal akan nampak sangat bengkak, berwarna
pucat, ditandai dengan penumpukan deposit urea dalam ureter. Kadang-kadang deposit juga
terlihat pada provetriculus, hati dan usus halus. Pada kasus kronis, racun menurunkan fungsi
tubuh yang berkenaan dengan fungsi ginjal, namu tidak ada luka yang terlihat. Ochratoxin A
menimbulkan efek imonosupresi (thymus mengecil) sehingga kekebalan sel humoral
terganggu.
3. Zearalenon
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium
graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20
6
– 250C dan kelembaban 40 – 60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962.
Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi.
Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-
zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya.
Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-
hidroksizearalenon, 7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak
tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
Zearalenone lazim terdapat dalam jagung dan sorgum.
dampak merugikan pada unggas adalah penurunan puncak produksi, namun tidak berpengaruh
terhadap kesuburan dan daya tetas telur. Gejala umum yang terjadi adalah ascites, kista oviduk
dengan material fibrinous.
Gambar 2. Jagung terinfeksi kapang Fusarium spp.
7
4. Trikotesena
Mikotoksin golongan trikotesena dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., Trichoderma,
Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan
adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh kapang-kapang
tersebut diantaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena paling toksik.
Toksin ini menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-
2, trikotesena lainnya seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan
muntah-muntah (Ueno et al., 1972 dalam Sinha, 1993).
Gejala umum yang disebabkan oleh Trikotesena adalah pertumbuhan terhambat,
depresi dan diare berdarah. Necrosa mukosa mulut merupakan gejala yang paling sering
terjadi. Luka pada mulut berwarna putih sampai krem, borok biasa terlihat pada tepi lidah dan
sepanjang sisi dalam bagian atas dan bawah paruh. Perubahan patologi anatomi, terlihat
mukosa gastrointestinal kemerh-merahan, hati bengkak berisi getah empedu dan berwarna
burik, limpa mengecil dengan perdarahan visceral.
8
5. Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium
spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan
pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988). Selain
F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu
memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme.
F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu
maksimum 32 - 370C. Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia,
terutama negara beriklim tropis dan sub tropis. Komoditas pertanian yang sering dicemari
kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.
Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1
(FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3. Diantara jenis fumonisin
tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan
FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada
beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum.
Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi
pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi
(1996), Ali et al., 1998 dan Maryam (2000b). Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan
dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai
mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat
meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a).
9
6. Citrinin
Kelompok Mikotoksin ini dihasilkan oleh Penicillium citrinum dan spesies
Penicillium lainnya yang bersifat nephrotoksik. Unggas yangterserang akan mengkonsumsi
air minum berlebihan sehingga menyebabkan diare. Gejala akan menghilang jika ransum
diganti dan kelompok unggas tersebut kembali normal dalam 8-10 jam. Tidak ada luka yang
muncul selain pembesaran ginjal. Citrinin tidak mempengaruhi kekebalan seluler dan
humoral. Penularan penyakit dapat terjadi karena ternak mengkonsumsi ransum atau litter
kandang yang tercemar Mikotoksin . Jamur dan racun yang dihasilkannya tersebar sat biji-
bijian yang rusak karena jamur dicampur dengan bahan penyusun ransum yang lain.
C. DIAGNOSA LABORATORIUM DAN DIAGNOSA BANDING
Identifikasi dan kuantifikasi mikotoksin . Teknik analisa mikotoksin meliputi :
Chromatography Spectrometry
Pemeriksaan monoclonal antibody
Enzymed-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi aflatoxin. Sedangkan untuk Mikotoksin yang lain kita belum tersedia.
D. PENGENDALIAN
Pencegahan :
Aflatoxin tetap berbahaya dan tidak rusak oleh suhu tinggi dan pemanasan. Oleh
karena itu, prinsip pencegahan lebih baik dari pada pengobatan tepat untuk diterapkan pada
kasus keracunan aflatoxin. Pencegahan yang bisa dilakukan untuk menghambat tumbuhnya
10
jamur adalah peengeringan bahan baku ransuk/ransum pada kadar air maximal 12% dan
kelembaban maksimal 65% , penyimpanan bahan baku ransum /ransum ditempat yang kering
dan diberi alas, penyemprotan 0,25% asam propionat atau asam asetat atau penyemrotan 2%
NaOH atau 2,5% CaOH 2 . Selain pada bahan baku ransum/ransum, tempat minum dan
tempat ransum perlu dicuci dan direndam dengan desinfiktan yang mengandung senyawa
iodine, diantaranya Antisep atau Neo Antisep.
Deteksi dini pada ransum yang tercemar dapat mencegah pencemaran sampai tingkat
yang lebih besar. Saat truck ransum datang, lakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
ransum dan lakukan desinfeksi truck. Pencemaran aflatoxin biasanya ditemukan pada
sejumlah kecil ransum. Jika pencemaran ini diketahui sejak awal, maka pemisahan secara
fisik ransum yang tercemar dapat dilakukan secara efektif. Namun jika ransum tersebar
dimana-mana, cara ini sulit dilakukan.Mikotoksin, khususnya aflatoxin dapat diikat dan
dinonaktifkan dengan penambahan hidrated sodium calsium alumino silicate (HSCAS)
sebanyak 1,5-5 kg/ton ransum.
Pengobatan :
Mikotoksikosis biasanya tidak dapat disembuhkan. Pengobatan terhadap gejala yang
muncul untuk meningkatkan daya tahan tubuh merupakan satu-satunya penanganan yang
dapat dilakukan . Untuk tujuan tersebut , asam amino berikatan belerang dapat
mendektosifikasi organisme yang potensial menghasilkan racun. Kelompok Vitamin B,
Vitamin E, selenium dan antioksidan dapat digunakan untuk menurunkan proses peroksidasi
lemak. Selain itu, terdapat banyak preparat yang tersedia secara komersial yang
mempermudah dekomposisi dan detoksifikasi Mikotoksin. Preparat ini biasnya mengandung
enzim yang berasal dari kapang dan bakteri, adsorbent, campuran vitamin dan antioksidan.
Pemberian jamur saccharomyces cerevisiae dilaporkan efektif menurunkan tingkat
keparahan aflatoxin pada ayam. Kultur kapang mempunyai kemampuan mengikat aflatoxin
dan membuat aflatoxin tidak dapat diserap oleh saluran pencernaan ternak.
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mikotoksin berarti toksin yang dihasilkan oleh jamur. Mikotoksikosis adalah penyakit
yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh jamur yang termakan bersama-sama bahan
pakan yang tercemar jamur. Jenis – jenis mikotoksin yaitu Aflatoxin, Ochratoxin,
Trichothecen, Zearalenone dan Citrinin.
Mikotoksikosis dapat terjadi karena adanya rantai makanan yang saling berkaitan,
dimana pemaparan mikotoksin ke dalam tubuh terjadi karena konsumsi bahan pangan yang
sudah tercemar (efek primer) dan konsumsi produk hewani (efek sekunder).
Dari begitu banyaknya jenis mikotoksin yang telah ditemukan, aflatoksin merupakan
mikotoksin yang paling banyak dijumpai di alam terutama di negara beriklim tropis, dan
mempunyai toksisitas yang lebih tinggi dari mikotoksin lainnya. Namun, toksisitas
mikotoksin tergantung beberapa faktor seperti dosis, rute pemaparan, lamanya pemaparan,
spesies, umur, jenis kelamin, status fisiologis ( kesehatan dan gizi), serta adanya efek sinergis
dari berbagai mikotoksin dalam makanan.
Umumnya mikotoksin bersifat kumulatif, sehingga efeknya tidak dapat dirasakan
dalam waktu cepat dan sulit dibuktikan secara etiologi. Masalah lainnya, kontaminasi pada
makanan tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk mengindikasi suatu makanan telah
tercemar mikotoksin kecuali dengan melakukan analisa laboratorium.
12
DAFTAR PUSTAKA
Budiarsono, Iwan T. 1995. Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan. Jurnal Cermin Dunia
Kedokteran 1995;103: 05-11.
http: //www.thepoultrysite.com/deseaseinfo/100/mycotoxicosis diambil pada 30 november 2010 pada jam 13:52
http://pkppullet.wordpress.com/2010/01/20/persoalan-mikotoksin-pada-pakan diambil pada 30 november 2010 pada jam 14:26
http://www.fao.org/docrep/x5036e/x5036E04.htm diambil pada 01 desember 2010 pada jam 12:10
http://www.patentstorm.us/patents/6703244/description.html diambil pada 01 desember 2010 pada jam 12:03
http://knol.google.com/k/mycotoxins-and-mycotoxicoses-review# diambil pada 01 desember 2010 pada jam 12:09
http://id.wikipedia.org/wiki/Fusarium diambil pada 01 desember 2010 pada jam 11.56
Gandahusada, Srisasi. Edisi ketiga, 1998. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta
13
LITERATUR
AflatoksinDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan.
Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.
Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal.
Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen.
Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi.
[sunting] Rujukan
Artikel aflatoksin di wikipedia bahasa Inggris
14
Hiller K, Melzig MF 2007. Die große Enzyklopaedie der Arzneipflanzen und Drogen. Spektrum Elsevier, Heidelberg.
Beranda > Perkuliahan > Anti Jamur dan Terjadinya Aflatoksin
Anti Jamur dan Terjadinya Aflatoksin
Jumat, 25 April 2008 Galuh Adi Insani
Ada empat macam jamur yang dapat mengganggu ayam dan hewan ternak lainnya. Jamur-jamur tersebut adalah : (1) jamur yang menulari bahan makanan di ladang sebelum dipanen; (2) jamur yang menulari bahan makanan selama disimpan setelah di panen; (3) jamur yang menulari campuran bahan makanan dalam bak-bak makanan; dan (4) jamur yang menulari saluran pencernaan atau saluran pernafasan ayam.
Jamur dari tiga golongan pertama memberikan pengaruh merugikan melalui produksi toksin (mikotoksin) dan dengan cara menghancurkan sebagian nilai gizi bahan makanan yang diserangnya; jamur golongan keempat dapat meyebabkan penyakit-penyakit pathologis yang nyata (mikoses).
Di antara jenis-jenis jamur yang menulari hasil panen adalah Diplodia, Gibberella, Fusarium, Cladosporium, Nigospora dan Cephalosporium. Di antara jamur yang paling berbahaya yang menyerang hasil panen seperti kacang tanah selama panen, makanan yang disimpan dan bahan makanan yang disimpan adalah Aspergillus flavus, Aspergilli lainnya dan beberapa Penisillia. Aspergillus fumigatus adalah fungus yang paling pathologis dan merupakan jamur yang sering dijumpai dalam Aspergillosis pada ayam. Mikosis saluran pencernaan biasanya dihasilkan oleh Candida albicans (penyakit tersebut sering dinamakan Moniliasis).
Penularan jamur ladang timbul pada keadaan musim panen yang keadaan cuacanya kurang baik dengan kelembaban tinggi. Penelitian dengan jagung berjamur memperlihatkan bahwa mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur ladang tersebut tidak menyebabkan mortalitas akan tetapi mengurangi pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum.
Reaksi lebih parah pada hewan yang diberi ransum yang bahan-bahan makanannya telah ditulari dengan Aspergillus flavus. Mikotoksin yang dihasilkan oleh spesies tersebut dinamakan aflatoksin.
Aflatoksin pertama kali dikenal pada waktu timbul penyakit di Inggris pada tahun 1960. Aflatoksin tersebut diketahui sebagai toksin pada bungkil kacang tanah yang digunakan sebagai sumber protein pada ransum unggas. Pada tahun 1963 zat tersebut dibuktikan secara khemis dan pada saat itu telah diketahui bahwa ada empat macam aflatoksin yang disebut B-1, B-2, G-1 dan G-2. Aflatoksin mencampuri pengangkutan lemak dalam tubuh dan juga mencampuri penggunaan asam amino pada tingkatan sel. Zat tersebut diketahui karsinogenik, yang menghasilkan tumor pada keadaan tertentu.
Aspergillus flavus dapat tumbuh dan menghasilkan aflatoksin bila terdapat cukup zat-zat makanan, hawa dan kelembaban dan bila suhu cukup. Jamur tersebut dapat tumbuh pada setiap bahan makanan ternak atau zat-zat makanan bila kandungan air sekitar 13 sampai 14
15
persen dan kelembaban relatif di atas 50 persen. Suhu optimal adalah sekitar 21oC, akan tetapi aflatoksin dapat dihasilkan antara 10o C dan 38oC.
Aflatoksin telah diketahui dapat dihasilkan dari jagung, gandum, bungkil kacang kedele, tepung ikan dan bungkil biji kapas. Di setiap pabrik makanan ternak dapat dicurigai adanya aflatoksin bila bahan makanan disimpan di tempat yang kelembabannya relatif tinggi dan suhunya sedang.
Gejala Aflatoksikosis
Pada unggas yang telah mengkonsumsi ransum mengandung aflatoksin sebanyak satu ppm, akan memperlihatkan kenaikan berat hati sebesar 50%. Sebagian besar kenaikan tersebut adalah lemak. Ayam yang menderita aflatoksikosis akan memperlihatkan hati sangat pucat, limpa dan pankreas kedua-duanya agak membesar, jengger, kaki dan sumsum tulang pucat. Dapat terjadi perdarahan dalam jaringan.
Pencegahan Pembentukan Aflatoksin
Pertumbuhan jamur pada bahan makanan atau makanan yang telah dicampur dapat dicegah dengan: (1) mengeringkan bahan makanan di bawah kandungan air kritis (lebih kurang 12% air); dan (2) penambahan natrium propionat atau kalsium propionat. Zat-zat tersebut dapat ditambahkan ke dalam bahan makanan atau ransum sejumlah satu kilogram per ton. Nistatin telah pula digunakan untuk mencegah dan pengobatan mokosis tembolok dan diarrhee mikotik. Dalam beberapa hal pengobatan terhadap Aspergillosis telah dianggap sia-sia. Tidak ada pelengkap makanan yang sanggup mencegah Aspergillosis, yang timbul bila ayam berhubungan dengan spora-spora jamur. Hal tersebut terjadi pada waktu litter dibiarkan basah dan menjadi berjamur.
MikotoksinDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh cendawan.[1] Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai produk alami dengan bobot molekul rendah yang dihasilkan sebagai metabolit sekunder dari cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya.[2]
[sunting] Jenis-jenis
Terdapat enam jenis mikotoksin utama yang sering merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin, ochratoxin, patulin, trichothecene, dan zearalenone.[3]
16
[sunting] Aflatoksin
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Aflatoksin
Struktur kimia aflatoksin B1.
Sebagian besar aflatoksin dihasilkan oleh Aspergillus flavus Link dan juga A. parasiticus Speare.[4] Kedua cendawan tersebut hidup optimal pada suhu 36-38 °C dan menghasilkan toksin secara maksimum pada suhu 25-27 °C.[4] Pertumbuhan cendawan penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh humiditas/kelembaban sebesar 85% dan hal ini banyak ditemui di Afrika sehingga kontaminasi Alflatoksin pada makanan menjadi masalah umum di benua tersebut.[4] Untuk menghindari kontaminasi aflatoksin, biji-bijian harus disimpan dalam kondisi kering, bebas dari kerusakan, dan bebas hama.
[sunting] Citrinin
Struktur kimia Citrinin.
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun 1931.[5] Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye).[5] Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan.[6] Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah.[6]
[sunting] Ergot Alkaloid
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama adalah golongan Clavicipitaceae.[7] Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive).[7] Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten
17
terhadap Claviceps purpurea, penghasil ergot alkaloid.[7] Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun.[7]
[sunting] Fumonisin
Struktur kimia Fumonisin.
Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada Fusarium verticilloides dan F. proliferatum yang sering mengontaminasi jagung.[8] Namun, selain kedua spesies tersebut masih banyak cendawan yang dapat menghasilkan fumonisin. Toksin jenis ini stabil dan tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat menyebabkan penyebaran toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung.[8] Konsentrasi fumonisin dapat menurun dalam proses pembuatan pati jagung dengan penggilingan basah karena senyawa ini bersifat larut air.[8]
[sunting] Ochratoxin
Struktur kimia ochratoxin A
Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, Fusarium, and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia, babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu.[9] Secara umum, terdapat tiga macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang lainnya[9]. Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya.[9] Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar.[9] Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk ke saluran pernapasan.ref name="p"></ref>
[sunting] Patulin
18
struktur kimia patulin.
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum.[10] Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan.[10] Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin.[10]
[sunting] Trichothecene
Struktur kimia trichothecenes.
Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys, Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium.[11] Toksin ini ditemukan pada berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa.[12] Toksin ini stabil dan tahan terhadapa pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan autoclave.[12] Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral.[12] Berdasarkan struktur kimia dan cendawan penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan menjadi 4 tipe, yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C (epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan C15 dengan 2 ikatan ester).[12]
19
[sunting] Zearalenone
Struktur kimia zearalenone.
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan dari genus Fusarium seperti F. graminearum dan F. culmorum dan banyak mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk tumbuhan.[12] Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi.[12] Salah satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada manusia adalah berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen.[12]
[sunting] Efek pada manusia
Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia melalui makanan, salah satunya adalah kontaminasi citrinin pada produk keju karena proses fermentasi keju yang melibatkan P. citrinum dan P. expansum penghasil citrinin.[13] Pada manusia dan hewan, citrinin dapat menyebabkan penyakit kronis, di antaranya dapat terjadi akibat toksisitas pada ginjal dan terhambatnya kerja enzim yang berperan dalam respirasi.[14] Aflatoksin merupakan senyawa karsinogenik yang dapat memicu timbulnya kanker liver pada manusia karena konsumsi susu, daging, atau telur yang terkontaminasi dalam jumlah tertentu.[15] Kehilangan tanaman pangan akibat kontaminasi aflatoksin juga sangat merugikan manusia, baik petani maupun kalangan industri hasil pertanian di dunia.[4] Pada laki-laki, kandungan ochratoxin A yang terlalu tinggi di dalam tubuhnya dapat menyebabkan kanker testis.[9]
[sunting] Efek pada hewan
Aflatoksin dapat menyebabkan penyakit liver pada hewan (terutama aflatoksin B1) yang ditandai dengan produksi telur, susu, dan bobot tubuh yang menurun.[15] Untuk mereduksi atau mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, dapat digunakan amoniasi dan beberapa molekul penyerap.[15] Pada ayam petelur, babi, sapi, tikus, dan mencit, toksin fumonisin sulit siserap namun penyebarannya sangat cepat dan ditemukan dapat tertimbun di hati dan ginjal hewan hingga menyebabkan kerusakan oksidatif.[8] Senyawa ochratoxin A bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan mampu menimbulkan gejala imunosupresif pada berbagai hewan.[9] Pada ternak babi, senyawa zearalenone dapat menyebabkan kelainan reproduksi yang disebut vulvovaginitis.[12]
[sunting] Aplikasi
Ergot alkaloid telah lama dimanfaatkan dalam dunia medis karena memiliki kemiripan struktur dengan neurotransmiter manusia memberikan berbagai pengaruh fisiologi pada
20
manusia sehingga digunakan untuk mengembangkan obat-obatan di masa depan.[7] Selain itu, ergot alkaloid juga digunakan dalam berbagai riset untuk mengetahui dan perawatan kelainan fisiologis pada manusia.[7] Senyawa trichothecene pernah dimanfaatkan sebagai senjata biologis di Laos, Kampuchea, dan Afganistan pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an.[12] Peristiwa tersebut dikenal sebagai hujan kuning (yellow rain) dan menyebabkan berbagai gejala penyakit pada masyarakat sipil di ketiga negara tersebut, seperti pendarahan, vertigo, mual, demam, dan pusing.[12] Beberapa korban yang berhasil selamat dari peristiwa itu menceritakan bahwa adanya hujan senyawa kuning di langit membuat masyarakat tiba-tiba menderita rasa panas, kejang-kejang, dan pendarahan internal parah hingga mengakibatkan kematian.[16] Hal serupa juga dialami tentara Yaman dan Afganistan ketika diserang oleh Uni Soviet.[16] Mereka diserang dengan roket yang ditembakkan dari helikopter dan melepaskan senyawa yang menyebabkan awan berwarna kekuningan kemudian korban mengalami muntah darah dan kematian secara tiba-tiba.[16]
[sunting] Referensi
1. ̂ Alvi Yani (2009). "Detoksifikasi Biologis Berbagai Mikotoksin pada Bahan Pangan". Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. http://lampung.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=59:detoksifikasi-biologis-berbagai-mikotoksin-pada-bahan-pangan-&catid=25:prosiding&Itemid=28.
2. ̂ (en) J. W. Bennett, M. Klich (Juli 2003). "Mycotoxins". Clinical Microbiology Reviews 16 (3): 497–516. doi:10.1128/CMR.16.3.497–516.2003. http://cmr.asm.org/cgi/reprint/16/3/497.
3. ̂ (en) Gwiazdowska D, Pawlak-Lemanska K (September 2009). "Removal of zearalenone by propionibacteria in the simulated human gastrointestinal tract". ISM Conference 2009: 119. http://www.ism2009.at/ISM2009_posters.pdf.
4. ^ a b c d (en) Hamed K. Abbas (2005). Aflatoxin and food safety. CRC Press. ISBN 978-0-8247-2303-3.
5. ^ a b (en) "Production and Analysis of Citrinin in Corn". Applied and Environmental Microbiology 36 (3): 408-411. 1 September 1978. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC243061/pdf/aem00212-0020.pdf.
6. ^ a b (en) P.J. BLANC, M.O. LORET, G. GOMA (Maret 1995). "Production of Citrinin by Various species of Monascus". Biotechnology Letters 17 (3): 291-294. http://www.springerlink.com/content/l6g787743061722x/fulltext.pdf?page=1.
7. ^ a b c d e f (en) Kent Kainulainen (2003). "Ergotism and ergot alkaloids – a review". Essay in Pharmacognosy - Uppsala University. http://www.fkog.uu.se/course/essays/secale_cornutum.pdf.
8. ^ a b c d (en) European Commission Health & Consumer Protection Directorate-General (2000). PART 31: Fumonisin B1 (FB1). http://ec.europa.eu/food/fs/sc/scf/out73_en.pdf.
9. ^ a b c d e f (en) Jack D. Thrasher. Ochratoxin and Ochratoxicosis. http://www.drthrasher.org/Ochratoxin.pdf.
10. ^ a b c (en) CA/RCP (2003). [www.codexalimentarius.net/download/standards/405/CXC_050e.pdf Code Of Practice For The Prevention And Reduction Of Patulin Contamination In Apple Juice And Apple Juice
21
Ingredients In Other Beverages]. www.codexalimentarius.net/download/standards/405/CXC_050e.pdf.
11. ̂ (en) A.CIEGLER (Mai 1978). "Trichothecenes: Occurrence and Toxicoses". foumal ofFood Protection 41 (5): 399-403. http://ddr.nal.usda.gov/bitstream/10113/28189/1/CAIN789100875.pdf.
12. ^ a b c d e f g h i j (en) Selma Yazar, Gülden Z. Omurtag (2008). "Fumonisins, Trichothecenes and Zearalenone in Cereals". Int. J. Mol. Sci.: 2062-2090. http://www.mdpi.com/1422-0067/9/11/2062/pdf.
13. ̂ (en) Bailly J.D., Querin A.; Le Bars-Bailly S., Benard G., Guerre P. (Agustus 2002). "Citrinin Production and Stability in Cheese". Journal of Food Protection 65 (8): 1317-1321(5).
14. ̂ (en) M. Ellin Doyle, Food Research Institute, Carol E. Steinhart, Barbara A. Cochrane (1993). Food safety 1993. CRC Press. ISBN 978-0-8247-9156-8.
15. ^ a b c (en)Romer Labs®, Inc., "Aflatoxin".
16. ^ a b c (en)TIME.com, "Yellow Rain", TIME Inc., 14 September 1981.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Mikotoksin"
22