Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pengembangan Masyarakat Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah merupakan komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan tetap mengedepankan peningkatan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas (Fajri, 2003). Menurut Schermerhorn (1993 dalam Rahardjo, 2007), Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah sebuah kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara mereka sendiri, dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik. Prinsip CSR menurut Emil Salim (2007 dalam Rahardjo, 2007) menyebutkan bahwa perusahaan di masa sekarang dan ke depan harus memperhatikan tiga prinsip keseimbangan, yakni profit perusahaan, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan alam atau lingkungan hidup. Sementara Nuryana (2005) berpendapat bahwa CSR adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan pemangku kepentingan berdasarkan kesukarelaan dan kemitraan. Menurut Fox, et al. (2002 dalam Zaelani, 2007), definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah “corporate social responsibility is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi

Transcript of Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

Page 1: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Pengembangan Masyarakat

Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social

Responsibility) adalah merupakan komitmen perusahaan untuk berperilaku etis

dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan tetap

mengedepankan peningkatan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya,

komunitas lokal dan masyarakat luas (Fajri, 2003). Menurut Schermerhorn

(1993 dalam Rahardjo, 2007), Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate

Social Responsibility) adalah sebuah kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak

dengan cara mereka sendiri, dalam melayani kepentingan organisasi dan

kepentingan publik.

Prinsip CSR menurut Emil Salim (2007 dalam Rahardjo, 2007)

menyebutkan bahwa perusahaan di masa sekarang dan ke depan harus

memperhatikan tiga prinsip keseimbangan, yakni profit perusahaan, kesejahteraan

masyarakat, dan keberlanjutan alam atau lingkungan hidup. Sementara Nuryana

(2005) berpendapat bahwa CSR adalah pendekatan dimana perusahaan

mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka

dengan pemangku kepentingan berdasarkan kesukarelaan dan kemitraan.

Menurut Fox, et al. (2002 dalam Zaelani, 2007), definisi Tanggung Jawab

Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah “corporate social

responsibility is the continuing commitment by business to be have ethically and

contribute to economic development while improving the quality of life of the

workforce and their families as well as of the local community and society at

large”, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi

Page 2: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

10

berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan

tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara

keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas

kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota

masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat

menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan

yang ada sekaligus memelihara.

Sifat hakiki dari kegiatan pertambangan adalah membuka lahan, mengubah

bentang alam sehingga mempunyai potensi merubah tatanan ekosistem suatu

wilayah baik dari segi biologi, geologi dan fisik maupun tatanan sosio-ekonomi

dan budaya masyarakat setempat. Selain itu interaksi antara industri

pertambangan dengan masyarakat lokal sangatlah besar. Industri pertambangan

biasanya berada pada daerah terpencil (remote area) dengan masyarakat

tradisional dan terbelakang, sehingga selalu terjadi perbedaan pandangan

(Djajadiningrat, 2007). Dari sinilah pendekatan baru harus disertakan, yaitu

partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan

pengelolaan lingkungan. Dari sini dapat ditarik suatu alasan penting berkaitan

dengan partisipasi masyarakat lokal ini yaitu untuk menghasilkan masukan dan

persepsi yang berguna dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan lingkungan. Upaya pelibatan masyarakat lokal

dapat dijadikan sarana memahami budaya masyarakat yang tinggal di wilayah

yang akan dieksploitasi, mendiskripsikan hubungan antara masyarakat dengan

sumber daya alam yang dieksploitasi, antar masyarakat dengan masyarakat dan

pada akhirnya untuk mencari solusi kemungkinan pengembangan masyarakat

lokal (community development) (Luwihono, 2007).

Page 3: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

11

Primahendra (2006) mengatakan bahwa aspek keterlibatan masyarakat,

praktek Community Development (CD) dikelompokkan ke dalam tiga bentuk,

yaitu :

• Development for community adalah bentuk Community Development (CD)

dimana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena

berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan

dilaksanakan oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan

penelitian, melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat namun

apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar maka pada

dasarnya masyarakat tetap menjadi objek.

• Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola

kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil

merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari

kedua belah pihak.

• Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif,

perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.

Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini

lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan.

Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan

masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk

memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan

kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan

pembangunan berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat

Page 4: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

12

secara umum ruang lingkup program-programnya dapat dibagi berdasarkan

kategori (Rudito dan Budimanta, 2003), sebagai berikut (1) community service ;

(2) community empowering, dan ; (3) community relation.

Saidi (2004) menjelaskan bahwa dengan mengacu pada kedermawanan

sosial perusahaan dapat disimpulkan bahwa pendekatan community development

lebih mampu mengakomodasikan kebutuhan masyarakat. Tujuannya adalah

menolong masyarakat secara langsung mengatasi kesulitan hidupnya.

Orientasinya adalah jangka pendek kalau bukan malah keperluan sesaat.

Primahendra (2006) berpendapat bahwa agar community development (CD)

dapat dilaksanakan maka harus memenuhi beberapa aspek kunci, antara lain :

• Adalah sebuah proses "akar rumput"

CD merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal dan dilaksanakan

di dalam konteks mereka. Community Development (CD) bukanlah proses

yang dapat didesain dan diproses dari atas.

• Menjadi lebih swadaya (self-reliance)

Banyak kegiatan yang dinamakan CD dalam kenyataan justru menumbuhkan

ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar. Apabila hal ini terjadi,

maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan Community

Development (CD) karena CD pada dasarnya upaya menolong masyarakat agar

mereka dapat menolong dirinya sendiri, ringkasnya membuat masyarakat

menjadi swadaya.

• Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities)

Page 5: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

13

Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari

pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul

dikemudian hari dan juga mampu memberdayakan diri mereka sendiri.

• Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan

Keberhasilan Community Development (CD) bukan sekedar bah-wa kegiatan

yang direncanakan telah dilaksanakan (ouput). Apapun kegiatannya dan oleh

siapa saja, CD hanya akan dianggap berhasil bila mampu mengurangi

kerentanan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat.

• Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan

Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian

besar kegiatan Community Development (CD) adalah sasaran yang menjadi

pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh.

• Menguatnya modal sosial

Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal finansial,

modal sosial merupakan modal dasar yang memungkinkan masyarakat lokal

bertahan hidup dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Community

Development (CD) dilaksanakan pertama-tama dengan menggunakan modal

sosial sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan lainnya.

• Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan

Primahendra (2006) juga berpendapat bahwa efektivitas pelaksanaan

program Community Development (CD) perlu didasarkan pada beberapa

pemahaman dasar, antara lain :

Page 6: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

14

• Upaya jangka panjang. CD merupakan sebuah proses terus menerus (on-

going process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan

bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek.

• Terbuka dan setara. CD adalah proses yang terbuka terhadap berbagai

masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap yang melihat

berbagai stakeholder CD secara setara menjadi keharusan. Sikap ini

merupakan pra-syarat untuk mengembangkan partisipasi.

• Milik masyarakat. CD merupakan aktivitas yang dimiliki oleh masyarakat.

Karenanya desain, proses, dan pengembangannya dilaksanakan oleh dan untuk

masyarakat lokal.

• Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang terbaik (best practices).

CD merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal, terutama dengan

perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal

positif yang dapat menjadi batu pijakan melaksanakan berbagai aktivitas

lainnya.

Pelaksanaan community development dapat dimaknai sebagai bentuk

pengejawantahan dari corporate social responsibility (tanggungjawab sosial

perusahaan) terhadap masyarakat sekitar. Diharapkan, pelaksanaan community

development menjadi sarana pembangunan masyarakat yang sesuai dengan

konsep suistanable development dan pengaturan hukum yang responsive

(Harahap, 2006).

Terlepas dari banyaknya nada-nada sumbang tentang wacana filantrofi

perusahaan-perusahaan swasta ini dan banyaknya motif-motif yang mendorong

sebuah perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya, CSR

Page 7: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

15

merupakan sebuah potensi besar dana non-pemerintah yang harus kita dukung

sebagai embrio transformasi menuju kemandirian masyarakat. CSR juga

bisa menjadi jembatan antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan

masyarakat. Sehingga hubungan perusahaan dengan masyarakat dan

lingkungannya bisa berjalan dengan lebih baik, lebih harmonis dan saling

menguntungkan (Zaelani, 2007).

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pengembangan Masyarakat

Pengertian partisipasi dalam pembangunan secara sederhana adalah

keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan yang

terbentuk akibat interaksi sosial. Dalam pembangunan, partisipasi masyarakat

merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggungjawab

masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki

mutu hidup mereka. Di lain pihak, tumbuh dan berkembangnya partisipasi

masyarakat dalam proses pembangunan menunjukkan adanya kepercayaan dan

kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya untuk terlibat

secara aktif di dalam proses pembangunan (Mardikanto, 2003).

Partisipasi adalah suatu proses kegiatan termasuk didalamnya keikutsertaan

(sumbangan) tiap individu dalam suatu kelompok, tentang tanggungjawab dan

kosekuensi dari tugas-tugas yang bersifat umum sampai kepada tuga yang sifatnya

khusus (FAO, 2002). Soekamto (1983) menyebutkan bahwa partisipasi adalah

kegiatan nyata masyarakat secara aktif yang dilandasi sikap, kehendak dan

kesadaran untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Page 8: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

16

Mubyarto (1984) mendefenisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk

membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang

tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Keterlibatan kelompok atau

suatu kelompok dapat disebut partisipasi individual (Ndraha, 1987). Fairchild

(1977) menyebutkan partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke

dalam interaksi sosial dalam suatu kelompok, ia mengidentifikasikan dirinya

dengan kelompok tersebut melalui bermacam-macam sikap, yaitu berbaga nilai

tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama serta melalui

persahabatan pribadi.

Paul (1987, dalam Soemarwoto et.al., 2001) mengartikan partisipasi

sebagai suatu proses aktif yang memperlihatkan bagaimana pihak-pihak yang

mendapat manfaat ikut mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek, bukan hanya

sekedar mendapat keuntungan dari proyek. Konsep partisipasi yang aktif dan

kreatif secara eksplisit dikemukakan Paulo (1970 dalam Cohen, 1980), sebagai

berikut : “participation refers to an active process whereby beneficiaries

influence the direction and excution of development projects rather than merely

receive a share of project benefits”. Definisi ini memandang keterlibatan

masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,

penikmatan hasil evaluasi.

Dari sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai

suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok (elite dan non-elite). Dengan

kata lain, partisipasi masyarakat merupakan insentif moral sebagai “respon”

mereka untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi tempat dibuatnya

keputusan-keputusan yang menentukan kesejahteraan mereka (Goulet, 1989

dalam Arimbi, 1993).

Page 9: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

17

Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program

pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi lebel baru yang

harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam

perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang

dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan

arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling

memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah

anggota masyarakat (Ikbal, 2007).

Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial

dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini,

pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada

rakyat (Paul, 1987). Pengertian partisipasi menurut FAO (1989b dalam

Mikkelsen, 1994) :

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut

serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peta) pihak masyarakat untuk

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untul menanggapi proyek-

proyek pembangunan.

3. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat dengan para staf yang

melakukan persiapan pelaksanaan, monitoringproyk agar supaya memperoleh

informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.

4. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang

ditentukan sendiri.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan

dan lingkungan mereka.

Page 10: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

18

Goulet (1989) mengungkapkan bahwa peran serta masyarakat dapat

diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok ; Kelompok

yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-

elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).

Bahkan yang lebih khusus lagi, peran serta masyarakat sesungguhnya merupakan

suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan.

Gaventa dan Valderama (1999 dalam Aristo, 2004) mencatat ada tiga

tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan

masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik (Political Participation),

2) partisipasi sosial (Social Participation), dan 3) partisipasi warga (Citizen

Participation/ Citizenship). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada

”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga

pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan

itu sendiri.

2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai

keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau

pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan

keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi

kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi.

Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran

dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi

sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan

Page 11: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

19

komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana

pembelajaran dan mobilisasi sosial.

3. Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada

partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan

proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi

“dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’

menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga

dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai

gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda

dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada

agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena

kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.

Penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan

adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling

berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua

pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2)

terbinanya kebersamaan (Asngari, 2001), dan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut

dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan

menikmati hasil-hasil pembangunan (Slamet, 2003).

Lebih lanjut dikemukakan Goulet (1989) ; Widyatmaja (1992 dalam

Prijono (1996) bahwa berkaitan dengan adanya perbedaan pemahaman tentang

pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang ditinjau dari dua sudut pandang.

Page 12: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

20

Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang dikehendaki adalah yang

lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat daripada hak rakyat

untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif

rakyat, partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman

partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi

praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin

dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan.

Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu objek utama

dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987). Sementara itu, strategi pemberdayaan

meletakkan partisipasi aktif masyarakat ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap

kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja

sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi LSM,

termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat (Clarke, 1991 dalam

Papayungan, 2006).

Brudtland dalam Craig dan Mayo (1995) menyimpulkan bahwa jaminan

pembangunan berkelanjutan adalah partisipasi masyarakat. Clarke (1991, dalam

Papayungan, 2006) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat melalui LSM, saat

ini, merupakan kunci partisipasi efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok grassroot) dapat memperoleh

keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi. Namun, penyertaan para sukarelawan

LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-satunya cara pemberdayaan.

Soetrisno (1995) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang

beredar di masyarakat yaitu :

Page 13: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

21

Definisi pertama partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat

terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya

oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi

inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya

pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek

pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis definisi diatas tidak

dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan

mobilisasi rakyat dalam pembangunan.

Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat

antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan

dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi

rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan

kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada

tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun

diwilayah mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri

melestarikan hasil proyek itu.

Cormick (1979, dalam Luwihono, 2007) membedakan peran serta

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang

bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Partisipasi mendukung masyarakat

untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya

untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya.

Disamping persepsi yang dikemukakan (Canter (1977) ; Cormick (1979) ;

Goulet (1989) ; Wingert (1979 dalam Arimbi, et.al., 1993) merinci peran serta

masyarakat, sebagai berikut :

Page 14: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

22

1. Partisipasi Masyarakat sebagai suatu Kebijakan

Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan

suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini

dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial

dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak

untuk dikonsultasikan (right to be consulted).

2. Partisipasi Masyarakat sebagai Strategi

Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan

strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakt (public support). Pendapat

ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki

akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada

pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik,

maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.

3. Partisipasi Masyarakat sebagai Alat Komunikasi

Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan

masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini

dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani

masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut

adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.

4. Partisipasi Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa

Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara

untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian

konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi

ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat menigkatkan pengertian dan

toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan

(biasess).

Page 15: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

23

5. Partisipasi Masyarakat sebagai Terapi

Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk

"mengobati" masalah- masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan

ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan

bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.

Cohen (2001) membedakan partisipasi menjadi 4 (empat) tahapan, yakni :

1. Tahap pembuatan keputusan, dalam hal ini sejak awal masyarakat dilibatkan

dalam perencanaan dan perancangan kegiatan serta dalam membuat keputusan

yang akan dilaksanakan berkaitan dengan kegiatan tersebut.

2. Tahap pelaksanaan (implementasi), keterlibatan masyarakat dalam

merencanakan dan merancang serta membuat keputusan tentang kegiatan,

dilanjutkan dengan melibatkan mereka dalam pelaksanaan kegiatan.

Masyarakat sekaligus dapat mengontrol bagaimana kegiatan yang

direncanakan dan diputuskan dilaksanakan oleh mereka bersama-sama dengan

pihak lain.

3. Tahap evaluasi. Pada tahap pelaksanaan biasanya dilakukan evaluasi yang

bersifat periodik maupun di akhir tahap pelaksanaan. Dalam konteks ini

keterlibatan masyarakat juga akan memberikan manfaat bagi keseluruhan

kegiatan apabila mereka dilibatkan dalam evaluasi yang dilakukan.

4. Partisipasi di dalam mendapatkan manfaat dari suatu kegiatan.

Tingkat partisipasi masyarakat bervariasi. Amstein dalam Soemarwoto

(2001) mengemukakan tingkatan pencapaian partisipasi bervariasi dan bersifat

manipulasi, semisal masyarakat terdaftar namun sebenarnya mereka tidak

Page 16: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

24

berpartisipasi hingga partisipasi yang memperlihatkan bagaimana masyarakat

memiliki kewenangan untuk mengontrol kegiatan yang dilaksanakan. Sesuai

pendapat Tjokroamidjojo (1990) yang mengungkapkan bahwa bentuk partisipasi

diantaranya, sebagai berikut :

1. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, partisipasi ini disebut juga

partisipasi dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.

3. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil

pembangunan, disebut juga participation in benefits.

4. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam

menilai sejumlah pelaksanaan pembangunan sesuai rencana dan sejauhmana

hasilnya dengan membentuk kebutuhan masyarakat.

Perbaikan kondisi hidup masyarakat dan upaya memenuhi kebutuhan untuk

dapat menggerakkan partisipasi usaha yang dilakukan adalah disesuaikan dengan

kebutuhan masyarakat yang nyata, yaitu dijadikan stimulasi terhadap masyarakat

yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban atau respon yang dikehendaki. Ada

beberapa aspek yang sering memengaruhi masyarakat turut seta ikut berpartisipasi

dalam suatu kegiatan, baik aspek sosial maupun aspek ekonomi, yaitu kedudukan

seseorang di masyarakat dan kepemilikan faktor-faktor produksi (Poston dalam

Mardikanto, 1994).

Davis (1966) membedakan partisipasi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu jenis

dan bentuknya. Partisipasi berdasarkan jenis diklasifikasikan ke dalam 5 (lima)

unsur, yaitu : tenaga, pikiran, keahlian, barang dan jasa. Sedangkan menurut

bentuknya, partisipasi dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu : komunikasi,

Page 17: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

25

sumbangan berupa uang atau barang,sumbangan dalam bentuk kerja yang

biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat, aksi massa / gotong-royong,

mengadakan pembangunan di kalangan keluarga dari masyarakat setempat dan

mendirikan proyek yang juga dibiayai oleh sumbangan dari luar lingkungan

masyarakat setempat.

Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau tidak

terorganisasi dan secara spontan serta sukarela. Partisipasi dikategorikan sebagai

partisipasi langsung apanila seseorang turut serta mengambil bagian pada

beberapa aktivitas tanpa adanya gagasan terlebih dahulu. Sebaliknya, ada

partisipasi tidak langsung, yaitu apabila seseorang dikerahkan karena adanya

gagasan dari atau juga seseorang dimobilisasi, dikerahkan secara paksa untuk aktif

dalam kegiatan lingkungan (Huntington dan Nelson, 1977).

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian

dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus

terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan

hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan

pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara

komulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang,

semakin baik kemampuan berpartisipasinya.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan suatu hal yang

mudah diucapkan tapi sulit untuk diimplemetasikan. Faktor budaya dan

sosial masyarakat mampu mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat

(Dwiyanti, 2005). Partisipasi dalam artian keterlibatan satu pihak terhadap pihak

Page 18: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

26

lain dan yang berkaitan dengan masyarakat lokal berarti suatu keterlibatan

komunitas lokal terhadap suatu proses pembangunan masyarakat dalam suatu

wilayah mengacu pada sifat sosial dari masyarakat (Chambers, 1974). Tanpa

adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka pembangunan itu

bukanlah sebagai pembangunan masyarakat. Untuk itu, metode yang digunakan

dalam pelaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan kondisi fisiologis,

sosial, ekonomi dan budaya setempat (Sautoy, 1972 dalam Ndraha, 1990).

Ndraha (1990) menyatakan bahwa dalam menggerakkan perbaikan kondisi

dan peningkatan taraf hidup masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus

dilakukan dengan usaha :

1. Perencanaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata

(felt need) ;

2. Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya

jawaban (response), dan ;

3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan

tingkah laku (behavior).

Dalam partisipasi ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan

partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Mikkelsen (2001) merinci rendahnya

partisipasi masyarakat disebabkan beberapa faktor, antara lain :

1. Adanya penolakan (secara internal) di kalangan anggota masyarakat itu dan

secara eksternal terhadap pemerintah ;

2. Karena kurangnya dana, dan ;

Page 19: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

27

3. Terbatasnya pengetahuan atau pendidikan masyarakat. Kurang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.

Faktor Sosial Ekonomi

Salah-satu faktor yang menjadi perhatian untuk menelaah tingkat partisipasi

masyarakat adalah faktor sosial. Faktor ini diungkapkan oleh beberapa peneliti

yang banyak mengemukakan bahwa faktor sosial juga dominan mempengaruhi

keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat mempunyai tujuan untuk menghasilkan masukan dan

persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan

(public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi (Canter, 1977

dalam Arimbi, 1993). Partisipasi masyarakat sendiri dipengaruhi oleh beberapa

faktor sosial. Hadi (1995 dalam Dwiyanti, 2005) mengemukakan bahwa faktor

penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia, antara lain :

1. Faktor Sosial, seperti : tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi.

2. Faktor Budaya, meliputi : sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat.

3. Faktor Politik, dan ;

4. Faktor Birokrasi para pengambil keputusan

Mikkelsen (1999) mengemukakan bahwa partisipasi dipengaruhi faktor-

faktor, seperti : (1) faktor sosial; (2) faktor budaya, dan ; (3) faktor politik. Lebih

lanjut Mikkelsen menjelaskan bahwa faktor sosial dilihat dari adanya

ketimpangan sosial masyarakat untuk berpartisipasi. Faktor budaya, yaitu adanya

kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap

suatu perubahan. Hal ini terjadi pada masyarakat yang tingkat pendidikan dan

Page 20: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

28

pengetahuannya masih muda, sehingga akan berimplikasi pada mudahnya

kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Sedangkan faktor politik, apabila

proses pembangunan yang dilaksanakan kurang melibatkan masyarakat dari awal

proses pembangunan hingga akhir dari pembangunan.

Soekanto (2003) mengatakan bahwa faktor sosial adalah berkenaan dengan

perilaku interpersonal atau yang berkaitan dengan proses sosial. Dikemukakan

King (1983) ; Isbal (1989 dalam Dwiyanti (2005) bahwa orang yang mempunyai

tingkat sosial ekonomi yang baik mempunyai kecenderungan untuk berpartisipasi

dibandingkan dengan orang yang tingkat sosial ekonominya masih kurang.

Inkeles (1969) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungan, antara lain : umur,

penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal. Individu mempunyai

tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi cenderung aktif untuk

berpartisipasi dalam kegiatan yang ada di lingkungannya.

Sedangkan Djatmiko, Benyamin dan Lif (2003) mengatakan bahwa

partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan mereka untuk

berpartisipasi dalam program. Gaffar ; Abar (1989 dalam Dwiyanti, 2005) juga

menyatakan bahwa dari berbagai macam studi yang dilakukan ada hubungan yang

erat antara tingkat pendapatan dengan meningkatnya partisipasi.

Inkeles (1969) juga mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

individu, semakin luas pengetahuannya dan kesadarannya pada masalah-masalah

kemasyarakatan. Faktor lama tempat tinggal juga merupakan salah satu faktor

yang tidak kecil perannya dalam mempengaruhi partisipasi seseorang dalam

kegiatan yang ada di lingkungannya. Hal senada dikemukakan Suryani, et.al.

Page 21: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

29

(1987) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup. Masalah pendapatan tentu ada kaitannya dengan

masalah ekonomi dalam suatu keluarga.

Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh

anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994)

menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan

hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama

dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka.

Maedrie (1986) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan, umur,

kekosmopolitan dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan marupakan faktor

pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan

suatu kegiatan. Sedangkan Schon (1981) mengemukakan bahwa pendidikan

merupakan faktor yang mutlak perlu untuk pembangunan sosial ekonomi. Faktor

ini mempunyai pengaruh langsung atas diterimanya gagasan baru.

Tjokroamidjojo (1985) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara

tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi. Selain itu, Tjokroamidjojo

mengemukakan pula bahwa tingkat pendidikan memadai akan memberikan

kesadaran yang lebih tinggi dalam berwarganegara dan memudahkan bagi

pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat

nasional. Tingkat pendidikan juga berarti tingkat kemampuan masyarakat untuk

menyelenggarakan pembangunan. Dilain pihak, sistem sosial budaya yang

beragam sebagai potensi dalam pembangunan masyarakat kurang dimanfaatkan

secara optimal, sehingga masyarakat cenderung kurang respons dan kreatif dalam

Page 22: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

30

membangun dirinya atau mengalami ketidakberdayaan (powerless) dalam

menghadapi perubahan dan masalah sosial yang ditimbulkan akibat adanya krisis

ekonomi.

Faktor sosial yang juga penting agar terjadi partisipasi adalah komunikasi

(Dwiyanti, 2005). Liliweri (2002) mengemukakan bahwa kehidupan manusia

di masyarakat ditandai oleh dinamika komunikasi, kita bertukar informasi,

gagasan dan pikiran melalui komunikasi. Melalui akses informasi maka akan

meningkatkan partisipasi. Syamsi (1994 dalam Dwiyanti, 2005) juga

mengemukakan bahwa faktor komunikasi sebagai salah-satu cara untuk

menyampaikan informasi merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat. Karena, hasil dari proses komunikasi dapat merubah sikap dan

perubahan sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi

masyarakat terhadap pembangunan.

Seseorang yang mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan

baik, dalam hal ini mempunyai akses informasi maka akan meningkatkan

partisipasi (Dwiyanti, 2005). Hall dalam Liliweri (2003) mengungkapkan bahwa

setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses informasi

yang masuk dan keluar dari da sekeliling mereka, mengatur proses pertukaran

informasi maupun kemasan informasi itu sendiri.

Faktor Budaya

Hikmat (2001) mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur

(budaya) memang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu

objek yang ditafsirkan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan

potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan

Page 23: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

31

harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan

sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang

berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah

ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.

Untuk menggali makna budaya dalam pertisipasi masyarakat maka perlu

kita ketahui konsep budaya atau kebudayaan itu sendiri. Suparlan (1982, dalam

Budimanta, 2003) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seperangkat

ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk

memahami lingkungannya dan dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan.

Kebiasaan yang mencul merupakan ciri-ciri atau tanda-tanda yang tampak pada

individu yang berinteraksi dan mengacu pada jati diri seseorang termasuk ke

dalam golongan sosial orang tersebut.

Taylor dalam Poerwanto (2000), kebudayaan sebagai keseluruhan yang

kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum moral dan adat

dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat. Kroeber dan Kluchlohn (1953 dalam Poerwanto, 2000) yang

dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan

pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit. Sedangkan

Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan

sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.

Soekanto (1996), tata kelakukan yang kekal serta yang terintegrasi secara

kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan yang

Page 24: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

32

mengikat menjadi adat-istiadat. Adat-istiadat erat hubungannya dalam

peningkatan partisipasi masyarakat karena anggota masyarakat yang melanggar

adat-istiadat akan menerima sanksi yang keras, yang kadang-kadang diberlakukan

secara tidak langsung.

Kebudayaan dalam perwujudannya terdapat tiga bentuk pengetahuan

budaya atau cultural knowledge, yaitu suatu nilai pengetahuan dan norma yang

dipakai untuk memahami lingkungan hidup manusia, dan hasil dari

penginterpretasian tersebut diwujudkan dalam tingkah laku sebagai tingkah laku

budaya atau cultural behaviour, dan hasil dari semua itu diwujudkan lagi dalam

bentuk benda-benda hasil budaya suatu masyarakat. Kesemua wujud budaya itu

merupakan rangkaian yang satu sebagai suatu kebudayaan (Budimanta, 2003).

Hal-hal yang berkaitan dengan budaya tidak akan segera tampak bagi orang

dari luar masyarakat yang bersangkutan, karena hal-hal yang bersifat budaya itu

lebih banyak berpusat pada alam pikiran (Poerwanto, 2000). Purwatiningsih,

et.al. . (2004) mengemukakan bahwa faktor nilai budaya menyangkut persepsi,

pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.

Faktor kemampuan masyarakat yang berhubungan dengan tingkat

partisipasi adalah kemampuan bersikap dan bertindak, organisasi sosial

kemasyarakatan dan kemampuan mengorganisasikan diri dalam program.

Menurut Thurstone, Likert dan Osgood (dalam Azwar, 1995) bahwa sikap

adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu

obyek adalah perasaan mendukung (favorable) maupun perasaan yang tidak

memihak (unfavorable) pada obyek tersebut.

Page 25: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

33

Watson (1984 dalam Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan)

dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu

maupun berasal dari sistem sosial :

a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan

(Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention),

ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung

membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya

diri (self-Distrust)

b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to

Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas

tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural

Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral

(The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of

Outsiders)

Uraian diatas juga menunjukkan bahwa sikap (attitude) dan perilaku

(behaviour) dari masyarakat berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam

pelaksanaan suatu kegiatan ataupun aktualisasi sebuah program. Tinggi rendahnya

partisipasi masyarakat dapat diukur berdasarkan etos kerja dari masyarakat itu

sendiri.

Etos Kerja

Defenisi etos kerja sudah banyak dikemukakan oleh para ahli namun

defenisi etos kerja tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yaitu:

Etos atau aslinya ethos adalah kata berasal dari bahasa yunani yang merupakan

Page 26: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

34

asal kata “etika’’. Etos artinya watak kesusilaan atau adat. Dengan demikian etos

merupakan suatu tata nilai yang diyakini, yang menjadi aturan hidup atau (sila)

yang lebih baik. Etos kerja dengan demikian dapat dijabarkan sebagai tata nilai

yang diyakini, yang menjadi landasan semangat kerja. Untuk mendapatkan hasil

perikehidupan yang lebih baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),

etos kerja adalah pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial yang

didasarkan kepada sifat, nilai adat-istiadat yang memberi watak dalam

masyarakat.

Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan sebagai sikap yang

mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan kerja,

menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan sebagai usaha

komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif

dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak bersifat sakral.

Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah

diberikan oleh tuntutan religius (agama). Apabila mengintroduksi pendapat

Anoraga dan Suyati (1995), maka etos kerja diartikan sebagai pandangan dan

sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.

Sukriyanto (2000) memberikan pengertian bahwa etos kerja adalah suatu

semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik

guna memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia

yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan. Ia akan menentukan hasil-hasilnya. Ada

keterkaitan yang erat antara etos kerja dengan survivalitas (daya tahan hidup)

manusia di bidang ekonomi. Artinya, semakin progresif etos kerja suatu

masyarakat semakin baik hasil-hasil yang dicapai, baik secara kuantitatif maupun

Page 27: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

35

kualitatif. Etos kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara

mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang

bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang

optimal (high performance) (Tasmara, 2002). Merujuk pada pengertian etos kerja

tersebut Geertz (2000) mengatakan bahwa etos kerja merupakan refleksi dari

sikap hidup yang mendasar yang bersumber dari nilai-nilai tersebut yang

diwujudkan dalam bentuk kegairahan kerja.

Dari uraian-uraian di atas, maka dapat ditarik sebuah defenisi bahwa etos

kerja merupakan rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang dalam

mengaktualisasikan diri dalam bentuk kerja. Rajutan nilai-nilai tersebut dapat

mencakup nilai sosial, agama, budaya serta lingkungan dimana anda selama ini

banyak melakukan interaksi hidup (Khasanah, 2004).

Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap,

maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek

evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian

terhadap kegiatan kerja. Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok

masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan

dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja

yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus

ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan

sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-

sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi

terhadap mutu atau kualitas yang semestinya. Nitisemito (1996) mengatakan

bahwa indikasi turun/ rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain :

Page 28: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

36

1. Turun/ rendahnya produktivitas

2. Tingkat absensi yang naik/ rendah

3. Labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi

4. Tingkat kerusuhan yang naik

5. Kegelisahan dimana-mana

6. Tuntutan yang sering terjadi

7. Pemogokan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja

adalah sikap yang mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa

mewarnai manfaat suatu pekerjaan. Dasar bagi gagasannya adalah bahwa faktor-

faktor yang memenuhi kebutuhan orang akan pertumbuhan psikologis, khususnya

tanggung jawab dan etos kerja untuk mencapai tujuan yang efektif. Herzberg

(1959 dalam Gibson (1989) menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan

organisasi yang baik diperlukan orang yang memiliki kemampuan yang tepat,

termasuk etos kerja.

Beberapa penelitian riset mendukung asumsi bahwa etos kerja merupakan

faktor penting yang menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan

bertambahnya kepuasan. Ford menyatakan bahwa 17-18 percobaan di sebuah

organisasi memperlihatkan peningkatan yang positif sesudah adanya etos kerja.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa etos kerja memberikan prestasi yang lebih

baik dan kepuasan yang lebih baik pula.

Masyarakat ilmiah mempunyai pendapat dan batasan yang berbeda-beda

tentang etos kerja. Namun demikian, secara substansial mereka mempunyai

Page 29: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

37

pengertian yang sama tentang etos kerja. Secara umum mereka membangun

pengertian bahwa yang dimaksud dengan etos kerja adalah semangat kerja yang

didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Seseorang yang dengan sadar

terlibat dalam aktivitas organisasi biasanya mempunyai latar belakang atau

motivasi tertentu (Prasetyo dan Wahyuddin, 2008). Seseorang cenderung

bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat diperolehnya dari

pekerjaannya (Hasibuan, 2003). Sinamo (2005) mengemukakan 8 (delapan) etos

kerja yang baik, antara lain :

1. Kerja adalah Rahmat, yaitu bekerja tulus penuh syukur.

2. Kerja adalah Amanah, yaitu bekerja benar penuh tanggung jawab

3. Kerja adalah Panggilan, yaitu bekerja tuntas penuh integritas.

4. Kerja adalah Aktualisasi, yaitu bekerja keras penuh semangat.

5. Kerja adalah Ibadah, yaitu bekerja serius penuh kecintaan.

6. Kerja adalah Seni, yaitu bekerja cerdas penuh kreativitas.

7. Kerja adalah Kehormatan, yaitu bekerja tekun penuh keunggulan.

8. Kerja adalah Pelayanan, yaitu bekerja paripurna penuh kerendahan hati.

Selain itu, Sinamo (2005) juga mengemukakan pendapat bahwa sifat-sifat

yang mencerminkan etos kerja yang baik itu antara lain : aktif, ceria, dinamis,

efektif, efisien, energik, fokus, gesit, ikhlas, interaktif, jeli, jujur, kerja keras, kerja

tim, konsisten, kreatif, lapang dada, membagi, menghargai, menghibur, optimis,

peka, rajin, ramah, sabar, semangat, tanggung jawab, tekun, teliti, tepat waktu,

teratur, terkendali, total, toleran, dan ulet.

Page 30: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

38

Berpangkal tolak dari uraian itu, maka menurut bahwa suatu individu atau

kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila

menunjukkan tanda-tanda (Sukriyanto, 2000), sebagai berikut :

a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.

b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi

eksistensi manusia.

c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan

manusia.

d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan

sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

e. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki

etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;

a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,

b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,

d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan

menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi

kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan

dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam

kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada

manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh,

Page 31: Microsoft Word - 5 Bab II Dudi

39

sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap

mutu atau kualitas yang semestinya. Untuk itu sifat-sifat etika yang harus

dikembangkan dalam etos kerja menurut Weber dalam Abdullah (1979), sebagai

berikut :

1. Sifat bertanggungjawab

2. Jujur dalam perbuatan

3. Kerja keras

4. Sifat hemat

5. Sifat menghargai waktu

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat etos kerja dapat

didefenisikan sebagai sikap mendasar yang baik sebelum, proses dan hasil yang

bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan.