microbacterium tbc

42
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Farmakologi dengan judul “Mycrobacterium tuberculosa”. Makalah ini disusun sebagai upaya memenuhi kebutuhan materi belajar-mengajar untuk mata kuliah Farmakologi. Dalam penulisan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Farmakologi yang telah membimbing penulis. Tidak lupa kepada teman- teman yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis. Penulis menyadari walaupun sudah berusaha sekuat kemampuan yang maksimal, mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki, makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam penyusunan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik yang sifatnya membangun demi tercapai suatu kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang mata ajar Farmakologi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua. 1

description

farmakologi

Transcript of microbacterium tbc

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Farmakologi dengan judul Mycrobacterium tuberculosa.Makalah ini disusun sebagai upaya memenuhi kebutuhan materi belajar-mengajar untuk mata kuliah Farmakologi.Dalam penulisan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Farmakologi yang telah membimbing penulis. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.Penulis menyadari walaupun sudah berusaha sekuat kemampuan yang maksimal, mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki, makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam penyusunan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik yang sifatnya membangun demi tercapai suatu kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang mata ajar Farmakologi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bandung, Oktober 2014Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...1Daftar Isi....2BAB I Pendahuluan1.1 Latar belakang...31.2 Rumusan Masalah.31.3 Tujuan...3BAB II Pembahasan2.1 Defenisi.......42.2 Obat-obat TBC ....42.3 Obat obat untuk lepra.................................................................................202.4 Kemoterapi tuberculosis..........................................................................232.5 Kemoterapi Mycrobacterium avium kompleks....25BAB III Penutup3.1 Kesimpulan ...263.2 Saran..27Daftar Pustaka..28

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangTuberkulosis ( TBC ) paru merupakan penyakit menular langsung yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia. Walaupun penanggulangan penyakit ini sudah menerapkan strategi Directly Observed Treatment Shortcource ( DOTS ) sejak tahun 1995 sampai sekarang hasilnya belum sesuai harapan. WHO mensinyalir negara - negara yang tinggi beban tuberkulosisnya termasuk Indonesia tidak sungguh-sungguh menjalankan pengendalian dengan strategi DOTS. WHO juga menyatakan Indonesia termasuk 22 negara yang bermasalah dalam penanggulangan TBC Di Indonesia, WHO memperkirakan terdapat 583.000 kasus baru dengan 140.000 kematian terjadi setiap tahun. Perkiraan jumlah penderita TBC paru dengan Bakteri Tahan Asam ( BTA ) positif adalah sebesar 1,3 per 1000 penduduk. Sekitar 75 % penderita adalah angkatan kerja yaitu golongan usia produktif. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia merupakan penyumbang terbesar ke-3 penyakit tuberkulosis di dunia. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 TBC paru merupakan penyebab kematian ke 3 setelah penyakit jantung & pembuluh darah dan penyakit saluran pernafasan.

1.2 Rumusan Masalah1. Apa saja obat-obat yang digunakan untuk TBC?2. Bagaimana cara kemoterapi pada penderita TBC?3. Apa saja obat-obat lepra dan bagaimana kemoterapinya?4. Bagaimana kemoterapi Mycrobacterium avium kompleks?

1.3 Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui obat-obat yang digunakan pada penderita TBC2. Untuk mengetahui cara kemoterapi TBC3. Untuk mengetahui obat-obat lepra dan kemoterapinya4. Untuk mengetahui kemoterapi Mycrobacterium avium kompleksBAB II PEMBAHASAN 2.1 Defenisi TBCTuberculosis paru adalah penyakit infeksi saluran pernapasan, yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang bervariasi, yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet) orang ke orang. Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.

2.2 Obat-obat TBCObat- obat yang digunakan pada kemoterapi tuberculosis, penyakit kompleks akibat Mycobacterium avium dan lepra. 1. Obat-obat untuk tuberculosisa. Isoniazid Aktivitas antibakteri Isoniazid bersifat bakteriostatik untuk basil yang istirahat, tetapi bakterisid untuk mikroorganisme yang sedang membelah dengan cepat. Konsentrasi tuberkulostatik minimal adalah 0,025 hingga 0,05 g/ml. Bakteri mengalami satu atau dua kali pembelahan sebelum perkembang biakan terhenti. Obat ini luar biasa selektif untuk mikobakteri, dan dibutuhkan konsentrasi yang melebihi 500 g/ml untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Isoniazid sangat efektif untuk pengobatan tuberculosis yang diinduksi secara eksperimen pada hewan dan jauh lebih unggul dari pada streptomisin. Berbeda dengan streptomisin, isoniazid dapat menembus sel dengan mudah dan sama efektifnya terhadap basil yang tumbuh di dalam sel maupun yang tumbuh dalam media kultur. Diantara berbagai mikobakteri nontuberkulosis (atipikal), hanya M. kansasii yang biasanya rentan terhadap isoniazid. Namun, kepekaan harus selalu diuji secara invitro, karena konsentrasi hambat yang dibutuhkan mungkin agak tinggi.Resistensi bakteriJika basil tuberculosis di tumbuhkan secara invitro dalam konsentrasi isoniazid yang kian meningkat, mutan-mutan yang resisten terhadap obat ini dapat dipilih dengan mudah, sekalipun jika obat tersebut terdapat dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Namun, tidak terjadi resistensi silang antara isoniazid dan obat lain yang biasa digunakan untuk mengobati tuberculosis (kecuali etionamida, yang strukturnya mirip dengan isoniazid). Mekanisme resistensi isoniazid yang paling umum adalah mutasi pada katalase peroksidase yang menurunkan aktivitasnya, mencegah konversi isoniazid pro drug menjadi metabolit aktifnya (Blanchard, 1996).Mekanisme resistensi lain terkait dengan missense mutation (mutasi yang mengubah kodon sehingga mengkodekan asam amino yang berbeda) di dalam gen inh A micobakteri yang terlibat dalam biosintesis asam mikolat (Beneerje et al, 1994).Seperti halnya obat-obat lain yang dibahas, pengobatan dengan isoniazid saja mengakibatkan munculnya galur-galur yang resisten in vivo. Perubahan dari mikroorganisme yang sebagian besar peka menjadi sebagian besar tidak peka kadang-kadang terjadi dalam beberapa minggu setelah terapi dimulai, namun waktu munculnya fenomena ini sangat beragam antara kasus yang satu dengan yang lain. Sekitar satu dari 106 basil tuberculosis akan menjadi resisten secara genetis terhadap isoniazid, karena rongga tuberculosis dapat mengandung 107 hingga 109 mikroorganisme, tidaklaah mengherankan bahwa pengobatan dengan isoniazid saja menyebabkan seleksi bakteri resisten ini (Iseman, 1993).Mekanisme kerjaMekanisme kerja isoniazid bersifat kompleks, disertai pemetaan resistensi terhadap mutasi pada sedikitnya lima gen yang berbeda (kat G, inh A, ahp C, kas A, dan ndh). Sebagian besar bukti menunjuki inh A sebagai target utama obat. (Vilchezeet al.2000)ABSORPSI, DISTRIBUSI DAN EKSRESIIsoniazid cepat diabsorpsi setelah pemberian oral atau parenteral. Isoniazid lebih cepat berdifusi kedalam seluruh cairan tubuh dan sel. Obat ini mencapai jumlah yang signifikan pada cairan pleural dan asites; konsentrasi dicairan serebrospinal (CSF) dengan selaput otak terinfalamsi menyerupai konsntrasi dalam plasma. Isoniazid berpenetrasi baik kedalam materi kaseus dan bertahan pada konsentrasi terapeutik.Dari 75% hingga 95% dosis isoniazid dieksresikan di urine dalam waktu 24 jam, sebagian besar berupa metabolit. Produk eksresi utama pada manusia dihasilkan dari asetilasi (asetil isoniazid) dan hidrolisis (asam nikotinat).T1/2 serum pada asetil atorcepat adalah satu jam versus 2-5 jam pada asetilator lambat. Karena isoniazid relative tidak toksik, sejumlah obat yang memadai dapat diberikan pada asetilator cepat untuk mencapai efek terapeutik. Insuufisiensi hepatic juga meningkatkan kensentrasi obat, dan penurunan dosis direkomendasikan untuk asetilator lambat dalam kondisi ini. Asetilator lambat jarang mengalami akumulasi konsentrasi toksik jika fungsi ginjal mereka terganggu.Obat - obat yang digunakan dalam pengobatan Tuberculosis, Mycrobacterium avium kompleks dan lepraSpesies MikrobakteriaTerapi pilihan - pertamaSenyawa alternatif

tuberculosisIsoniazid + rifamfisin + pirazinamida + etambutol atau streptomisinMoksifloksasin atau gatiflokasasin; sikloserin; kampreomisin; kanamisin; amikasin; etionamida; klofazimin; asam aminosalisilat

Avium kompleksKlaritromisin atau aziitromisin + etambutol dengan atau tanpa rifabutinRifabutin; rifampin; etionamida; sikloserin; mesilfloksasin atau gatifloksasin

KansasiiIsoniazid + rifampin + etambutolTrimetropim- sulfametoksazol; etionamida; sikloserin; klaritromisin; amikasin; streptomisin; moksifloksasin; atau gatiflokasin

Fortiutim kompleksAmikasin + doksisiklinSefoksitin; rifampin; sulfonamida; moksifloksasin atau gatifloksasin; klaritromisin; trimetroprim-sulfametoksazol; imipenem

Marinumrifampin + etambutolTrimetroprim - sulfametoksazol; klaritromisin; minosiklin; doksisiklin

LapraeDapson + rifampin + klofaziminMinosiklin; miksifloksasin atau gatifloksasin; klarotromisin; etionamida

*Pada pasien yang terinfeksi HIV, substitusi rifampin dan rifabutin meminimalisasi interaksi obat dengan inhibitor HIV protease dan inhibitor transcriptase balik non-nukleosidaPENGATURAN TERAPEUTIKIsoniazid merupakan obat yang paling penting dalam pengobatan tuberculosis. Efek toksik diminimalisasi oleh terapi propilaksis dengan piridokasin dan pemantauan pasien dengan teliti. Untuk pengobatan infeksi aktif, isoniazid dikombinasikan dengan senyawa lain, meskipun isoniazid digunakan tunggal untuk profilaksis. Isoniazid biasanya diberikan melalui oral dalam dosis harian tunggal sebesar 5 mg/kg, dengan dosis maksimum sebesar 300 mg. Anak anak sebaiknya menerima 10-20 mg/kg/hari (maksimum 300 mg). Setelah 2 bulan terapi harian dengan isoniazid, rifampin dan pirazinamida, pasien dengan galur M tuberculosis yang sensitive dapat diobati 2 kali seminggu dengan isoniazid (15mg/kg secara oral) ditambah rifampin ( 10 mg/kg, hingga 600 mg/ dosis) selama 4 bulan. Piridoksin, vit.b6 (10-50 mg/hari) diberikan bersama isoniazid untuk meminimalkan resiko neuropatiferifer dan toksisitas system saraf pusat (SSP) pada pasien malnutrisi dan mereka yang rentan terhadap neuropati (contohnya asetilator lambat, manula, wanita hamil, orang terinfeksi HIV, diabetic, alkoholik dan uremik (efek yang tidak diinginkan) efek merugikan terhadap isoniazid terjadi sekitar 5 %, termasuk ruam (2 %), demam (1,2 %, sakit kuning (0,6%), dan neuritis ferifer (0,2 %). Hipersensitivitas isoniazid dapat menyebabkan deman, ruam, dan hepatitis. Reaksi hematologis juga dapat terjadi (contohnya, agranulositosis, eosinolia, trombositopenia, dan anemia). Vaskulitis yang terjadi karena antibodi antinukleus dapat muncul, tetapi akan hilang ketika obat dihentikan.Neuritis perifer terjadi pada ~2% pasien yang menerima obat sebanyak 5mg/kg setiap hari jika piridoksin tidak disertakan. Pemberian profilaksis piridoksin banyak menurunkan risiko neuritis perifer dan gangguan sistem saraf lain.Isoniazid dapat memicu konvulsi, umumnya pada pasien yang mempunyai gangguan seizure. Neuritis optik juga telah terjadi. Sentakan otot, pusing, ataksia, parestesia, pingsan, dan enselofati yang berpotensi fatal adalah manifestasi lain pada neurotoksisitas. Sejumlah abnormalitas mental dapat terjadi, mencangkup euforia, gangguan ingatan sementara, hilangnya kendali diri, dan psikosis.Isoniazid menghambat parahidroksilasi fenitoin, dan tanda serta gejala toksisitas terjadi pada ~25% pasien yang diberikan kedua obat, terutama pada asetilator lambat. Konsentrasi fenitoin dalam plasma harus dipantau dan dilakukan penyesuaian dosis jika diperlukan.Luka hepatik parah yang dapat menyebabkan kematian dapat terjadi pada individu yang menerima isoniazid, terutama terjadi 4-8 minggu setelah dimulainya terapi. Biopsi hati menunjukkan penjembatanan dan nekrosis multilobul. Jika pemberian obat diteruskan setelah terjadi disfungsi hati dapat memperburuk kerusakan yang terjadi. Risiko dapat meningkat pada hepatitis alkoholik, tetapi karier virus hepatitis B yang kronis dapat menoleransi isoniazid. Usia merupakan faktor risiko yang paling penting terhadap hepatotoksisitas terinduksi isoniazid; jarang terjadi pada pasien berumur 50 tahun. Hingga 12% pasien yang menerima isoniazid dapat mengalami peningkatan kadar transaminase serum. Pasien yang menerima isoniazid harus dievaluasi setiap bulan untuk gejala hepatitis dan diperingatkan untuk menghentikan obat jika gejala tersebut muncul. Beberapa klinisi memantau transaminase serum dalam interval bulanan pada individu berisiko tinggi (lansia, asupan alkohol berlebih, riwayat penyakit hati); peningkatan > lima kali dari normal merupakan alasan untuk menghentikan obat. Isoniazid harus diberikan dengan perhatian tinggi pada mereka yang telah menderita penyakit hati.RIFAMPIN DAN RIFAMISIN LAINRifamisin (rifampin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotik makrosiklik sejenis yang dihasilkan oleh Amycolatopsis mediterrane; rifampin (RIFADIN; RIMACTANE) merupakan derivat semisintetik rifamisin B.

AKTIVITAS ANTIBAKTERIRifampin menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri gram positif dan banyak bakteri gram negatif. Rifampin dengan konsentrasi 0,005-0,2 g/mL menghambat pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Di antara mikobakteria nontuberkulosis, Mycobacterium kansasii dihambat dengan konsentrasi sebesar 0,25-1 g/mL. Mayoritas galur Mycobacteriumscrofulaceum, Mycobacterium intracellulare, dan M.aviumdapat ditekan, tetapi galur-galurtertentu dapat resisten. Mycobacterium fortuitum sangat resisten terhadap rifamin. Rifampin meningkatkan aktivitas streptomisin dan Isoniazid secara in vivo terhadap M.Tuberculosis.MEKANISME KERJA DAN RESISTENSI BAKTERIRifampin membentuk kompleks stabil dengan RNA polimerase tergantung DNA, menyebabkan penekanan inisiasi pembentukan rantai (tetapi tidak elongasi rantai) pada sintesis RNA. Konsentrasi tinggi rifampin dapat menghambat sintesis RNA pada mitokondria mamalia, RNA polimerase tergantung DNA virus, dan transkriptase balik. Rifampin bersifat bakterisid untuk mikro organisme intraseluler maupun ekstraseluler.Mikrobakteria dapat segera mengalami resistensi terhadap rifampin sebagai proses satu tahap, dan 1 dari setiap 107-108 basilus tuberkulum resisten terhadap rifampin; jadi, rifampin tidak boleh digunakan tunggal. Resistensi mikroba disebabkan oleh mutasi RNA polimerase tergantung DNA yang menurunkan ikatan obat pada polimerase.ABSORPSI, DISTRIBUSI, DAN EKRESI.Setelah absorpsi gastrointestinal (GI), rifampin dieliminasi dengan cepat melalui empedu, dan sirkulasi enterohepatil terjadi. Selama waktu ini, rifampin secara progresi dideasetlasi oleh CYP hepatik; setelah 6 jam, hampir seluruh obat diempedu berada dalam bentuk deatilasi yang tetap memiliki aktivitas antibakteri. Reabsorpsi intestinal menurunakibat deasetilasi(dan akibat makanan); sehingga metabolisme memfasilitasi eliminasi obat. t1/2 rifampin dipersingkat secara progresi (~40%) selama 14 hari pertama terapi akibat induks CYP hepatik; t1/2di tingkatkan oleh disfungsi hepatik dan dapat menurun pada asetilator lambat yang juga menerima isoniazid. Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada pasien dengan insufisiensi renal. Rifampin didistribusikan ke seluruh tubuh dan mencapai konsentrasi efektif dalam CSF. Rifampin dapat menyebabkan warna oranye-merah pada cairan tubuh.PENGGUNAAN TERAPEUTIKRifampin untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk tunggal dan sebagai kombinasi dosis tetap dengan isoniazid (150 mg isoniazid, 120 mg rifampin, dan 300 mg pirazinamida; RIFATER) bentuk parenteral rifampin juga tersedia. Rifampin dan isoniazid merupakan obat paling efektif yang tersedia untuk pengobatan tuberkulosis.Dosis rifampin untuk pengobatan tuberkulosis pada orang dewasa adalah 600mg per hari, diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. Anak-anak sebaiknya menerima 10 mg/kg diberikan dengan cara yang sama. Rifampin tidak boleh digunakan tunggal untuk pengobatan tuberkulosis karena dapat terjadi resistensi.Rifampin juga diindikasikan untuk profilaksis penyakit mengingokokus dan meningitis Haemophilus influenzae. Untuk mencegah penyakit mengingokokus, pasien dewasa dapat diobati dengan rifampin 600 mg dua kali sehari selama 2 hari atau 600 mg sekali sehari selama 4 hari; anak-anak sebaiknya menerima 10-15mg/kg, dengan dosis maksimum 600mg. Dikombinasikan dengan antibiotik -laktam atau vankomisin, rimfampisin digunakan dalam kasus tertentu pada endokarditis stafilokokus atau osteomielitis. Rifampin dapat digunakan untuk menghilangkan stafilokokus nasal pada pasien furunkulosis kronis.EFEK YANG TIDAK DIINGINKANPada dosis lazim, 50% sebagai derivat terasetilasi; bagian terbesar dari sisanya berupa bentuk asam bebas. Obat ini tidak boleh digunakan dalam kondisi insufisiensi ginjal.PENGGUNAAN TERAPEUTIKAsam aminosalisilat (PASER) merupakan senyawa pilihan kedua dalam penanganan tuberkulosis. Obat ini diberikan melalui oral dengan dosis harian 10-12g. Akibat iritasi GI, obat ini diminum setelah makan dan dibagi menjadi 2-4 dosis terbagi. Anak-anak sebaiknya menerima 150-300 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi.EFEK YANG TIDAK DIINGINKANMasalah GI (contohnya: anoreksia, mual, nyeri epigastrik, dan diare) sering terjadi dan membatasi kepatuhan pasien. Pasien dengan ulser peptik tidak dapat mentoleransi obat ini. Reaksi hipersensitivitas terhadap asam aminosalisilat terlihat hingga pada 10% pasien. Demam dapat terjadi tiba-tiba atau dapat terjadi secara bertahap dan pada tingkat yang rendah. Rasa tidak enak yang menyeruluh, atralgia, dan sakit tenggorokan dapat terjadi. Ruam terjadi sebagai reaksi tunggal atau disertai dengan demam. Abnormalitas hematologis mencangkup leukopenia, agranulositosis, eosifilia, limfositosis, sindrom mononukleosis atipikal, trombositopenia, dan anemia hemolitik.2.3 OBAT-OBAT UNTUK LEPRASULFONSulfon adalah derivate 4,4-diaminodifenilsulfon (dapson), yang semuanya memiliki sifat farmakologis tertentu yang sama. AKTIVITAS ANTIBAKTERI, MEKANISME KERJA, DAN RESISTENSIDapson bersifat bakteriostatik untuk M. Leprae karena penghambatan kompetitif dihidropteroat sintase, yang mencegah penggunaan asam para-aminobenzoat bakteri. Resistensi obat pada M.Leprae dapat berkembang selama terapi, yang diistilahkan sebagai resistensi sekunder, ini terutama terjadi pada pasien lepra (multibasilus) yang diobati dengan obat tunggal. Insiden ini sebesar 19%. PENGGUNAAN TERAPEUTIKDapson digunakan melalui oral dengan dosis harian sebesar 100 mg. Terapi umumnya dimulai dengan jumlah yang lebih kecil, dan dosis ditingkatkan hingga dosis yang direkomendasikan dalam waktu 1-2 bulan. Terapi sebaiknya dilanjutkan selama 3 tahun dan mungkin diperlukan sepanjang hidup.EFEK YANG TIDAK DIINGINKANHemolysis merupakan efek yang tidak diinginkan paling umum dan terjadi pada hampir semua individu yang diobati dengan dapson sebesar 200-300 mg per hari. Dosis 100 mg atau kurang pada orang sehat normal dan 50 mg atau kurang pada individu sehat dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehydrogenase tidak menyebabkan hemolysis. Methemoglobinemia juga umum terjadi. Defisiensi genetic pada methemoglobin reduktase bergantung NADH dapat menyebabkan methemoglobinemia parah setelah pemberian dapson. Ketika berkurangnya sel darah merah yang bertahan umumnya terjadi selama penggunaan sulfon kemungkinan efek tergantung dosis dalam aktivitas oksidatif obat ini. Anemia hemolitik tidak umum terjadi kecuali pasien tersebut juga memiliki kelainan pada eritrosit atau pada sumsum tulang. Hemolysis dapat menjadi parah sehingga manifestasi hipoksia dapat terjadi.Anoreksia, mual, dan muntah dapat menyertai pemberian oral sulfon. Kejadian seperti sakit kepala, gelisah, insomnia, pandangan kabur, parestesia, neuropati perifer reversible, demam akibat obat, hematuria, pruritus, psikosis, dan berbagai ruam telah dilaporkan. Jika diberikan dengan benar, sulfon dapat diberikan dengan aman selama beberapa tahun dengan dosis yang memadai untuk keberhasilan terapi lepra. Pengobatan harus dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara bertahap.ABSORPSI, DISTRIBUSI, DAN EKSKRESIDapson diabsorpsi cepat dan hampir seluruhnya dari salutan GI. Sulfon tersubstitusi ( contohnya, sulfokson) tidak diabsorpsi sepenuhnya ketika diberikan melalui oral dan sebagian besar diekskresikan di feses. Sulfon didistribusikan ke seluruh cairan tubuh total dan terdapat pada semua jaringan. Sulfon tersimpan di kulit dan otot dan terutama di hati dan ginjal. Sulfon bertahan di sirkulasi untuk waktu yang lama karena reabsorpsi dari empedu, pemutusan terapi secara periodik disarankan karena alasan ini.Sekitar 70-80% satu dosis dapson diekskresikan di urin sebagai mono-N-glukuronida labil-asam dan mono-N-sulfamat.RIFAMPINRifampin bersifat bakterisid cepat terhadap M. leprae dengan konsentrasi hambat minimum