Metodologi_Tafsir

25
Pendahuluan Al Qur'an adalah sebuah jiwa bagi umat muslim dimanapun dan kapanpun mereka berada. Masyarakat Islam seringkali membacanya, menghafalkannya dan mengajarkannya. Bacaan-bacaan Al Qur'an sering dibacakan pada upacara- upacara perayaan pernikahan, kelahiran dan kematian. Hal ini menunjukkan bahwa Al Qur'an itu terus hidup dan menyatu dengan kehidupan umat.Disisi lain, pemahaman umat akan makna ayat-ayat dalam Al Qur'an sangatlah beragam. Hal ini akan bergantung pada tradisi yang mencakup sistem sosial budaya, ruang dan waktu dimana mereka hidup. Al Qur'an sendiri bukan hanya ruh dalam tubuh umat yang kosong melainkan juga menjadi cara hidup (way of life) bagi sebagian besar umat Islam. Di bagian dunia manapun, seorang muslim yang baik akan selalu berusaha menyelaraskan perbuatan yang dilakukannya dengan apa yang menjadi tuntunan dan tuntutan ayat-ayat Al Qur'an. Dengan ini pula Al Qur'an dapat menjadi suatu tatanan hidup masyarakat Islam. Beberapa negara seperti Arab Saudi bahkan mendasari perundang- undangan pemerintahannya dengan berdasar pada Al Qur'an.

description

makalah

Transcript of Metodologi_Tafsir

Metodologi Tafsir Al-Quran

Pendahuluan

Al Qur'an adalah sebuah jiwa bagi umat muslim dimanapun dan kapanpun mereka berada. Masyarakat Islam seringkali membacanya, menghafalkannya dan mengajarkannya. Bacaan-bacaan Al Qur'an sering dibacakan pada upacara-upacara perayaan pernikahan, kelahiran dan kematian. Hal ini menunjukkan bahwa Al Qur'an itu terus hidup dan menyatu dengan kehidupan umat.Disisi lain, pemahaman umat akan makna ayat-ayat dalam Al Qur'an sangatlah beragam. Hal ini akan bergantung pada tradisi yang mencakup sistem sosial budaya, ruang dan waktu dimana mereka hidup.

Al Qur'an sendiri bukan hanya ruh dalam tubuh umat yang kosong melainkan juga menjadi cara hidup (way of life) bagi sebagian besar umat Islam. Di bagian dunia manapun, seorang muslim yang baik akan selalu berusaha menyelaraskan perbuatan yang dilakukannya dengan apa yang menjadi tuntunan dan tuntutan ayat-ayat Al Qur'an. Dengan ini pula Al Qur'an dapat menjadi suatu tatanan hidup masyarakat Islam. Beberapa negara seperti Arab Saudi bahkan mendasari perundang-undangan pemerintahannya dengan berdasar pada Al Qur'an.

Salah satu cara memahami kitab Al Qur'an adalah dengan membaca tafsir Al Qur'an. Penarikan makna oleh tafsir dapat menjelaskan pengertian suatu ayat, apa yang diperintahkan oleh ayat itu dan juga pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dari makna suatu ayat. Oleh karena itu, secara tidak langsung maka tafsir Al Qur'an akan mempengaruhi pemahaman umat akan maksud yang terkandung dalam suatu ayat Al Qur'an. Keragaman dalam penafsiran itu dapat mengakibatkan keragaman pemahaman umat dan pada akhirnya akan menghasilkan keragaman ekspresi keagamaan umat.

Tulisan ini mencoba melihat bagaimana cara yang digunakan untuk menafsirkan suatu ayat dalam Al Qur'an yang mengacu pada metodologi, bentuk dan corak tafsir Al Qur'an baik itu pada masa dulu hingga sekarang. Bagaimana perbedaan-perbedaan antar metodologi tersebut dan bagaimana kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan dari masing-masing metodologi tersebut.

Pengertian Tafsir Al-Qur'an

Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al-Furqan ayat 33:

wa laa ya`tuunaka bimatsalin illaa ji`naaka bil haqqi wa ahsana tafsiiran

Menurut pengertian terminologis, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.

Urgensi Tafsir Al-Qur'an

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as.dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku guna menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Quran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.

Sejarah Tafsir Al-Qur'an

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :

1. Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.

2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.

3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ray maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah, Ibn Masud, Ibn Abbas, Ubai bin Kab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabiin yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Kaab dengan murid-murid Muhammad ibn Kaab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Masud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Diamah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan masuknya penerjemahan pemikiran-pemikiran asing seperti filsafat Yunani pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad (rasio) yang lebih besar. Mekipun begitu, mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

Selain perkembangan tafsir dari segi corak di atas, sejarah perkembangan tafsir dapat juga dilihat dari segi kodifikasinya. Pada tahapan pertama penyebaran tafsir masih teresbar secara lisan periwayatannya. Tahapan kedua pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis (99-101 H) dimana mulai dihimpun hadits dan tafsir Al Qur;an masih bersatu dengan hadits. Tahapan ketiga mulai dengan penulisan kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri.

Bentuk Tafsir Al-Qur'an

Sebagaimana dijelaskan dalam sejarah diatas, bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

1. Tafsir bi al-Matsur

Penyebutan dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabiin karena mereka pada umumnya menerima dari para sahabat.

Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:

wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri....(QS 2, Al Baqarah:187)

Perkataan minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.

Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:

alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......(QS Al An'am 82)

Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :

innasy syirka lazhulmun 'azhiim (QS Luqman 13)

Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma;tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

2. Tafsir bi ar-Rayi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

khalaqal insaana min 'alaq (QS Al Alaq 2)

Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

3. Tafsir Isyari

Kaum sufi berpendapat bahwa setiap ayat dalam Al Qur'an mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....(QS Al Baqarah 67)

Makna zhahirnya adalah :

......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...

Tafsir Isyari memberinya makna dengan :

....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, TafsirAt Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Al-Qur'an

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlui.

Metode Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Quran yang berusaha menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan dalam menafsirkan Al Qur'an.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur Ijaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syari, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah.

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu mengikat generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Dalam tafsir ini, mufassir mengantarkan pembaca pada pemahaman arti bahasa untuk kemudian menafsirkan sendiri seolah-olah Al Qur'an sendiri yang menjelaskan maksud suatu ayat.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Contoh paling terkenal dati tafsir jenis ini adalah Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi).

Metode Muqarin (Perbandingan)

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.Contoh tafsir jenis ini dapat dilihat pada Shafwat at Tafsir karya Muhammad 'Ali as Shabuni dimana dia mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al Qur'an dalam tafsir at Thabari, al Kasyaf, al Qurthubi, al Alusi, Ibn Katsir dan al Bahr al Muhith yang kesemuanya merupakan kitab-kitab tafsir bi matsur dan bi ray yang terkemuka.

Metode Maudhui (Tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.Contoh dari tafsir jenis ini ada pada Major Themes of the Qur'an (Fazlur Rahman) dan Wawasan Al Qur'an (Quraish Shihab).

Corak Tafsir Al-Qur'an

Apabila seorang penafsir membaca Al-Qur'an, maka maknanya menjadi jelas di hadapannya. Tetapi bila ia membacanya sekali lagi ia dapat menemukan lagi makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya hingga Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba al-Azhim sebagai berikut:

Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat

Karena itulah setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fikih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga kita tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Diantara berbagai corak itu antara lain adalah :

a. Corak Sastra Bahasa; munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.

b. Corak Filsafat dan Teologi; corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.

c. Corak Penafsiran Ilmiah; akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.

d. Corak Fikih; akibat perkembangan ilmu fikih dan terbentuknya mahzab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

e. Corak Tasawuf; akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.

f. Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan; corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti namun enak didengar.

Selain dari faktor pengetahuan mufassir, Al Qur'an itu sendiri memang sebuah kitab yang berisi banyak hal. Diantaranya berisi tentang hukum-hukum bagi kemaslahatan umat, kisah-kisah masa lalu dan juga pengetahuan tentang alam semesta. Ketika seorang mufassir sampai pada ayat-ayat yang berisi tentang kajian hukum maka mau tak mau tafsir yang dihasilkan pada ayat tersebut adalah pendapatnya tentang masalah hukum yang terkait. Apabila suatu ayat bercerita tentang masalah alam semesta ini maka secara langsung tafsir pada ayat tersebut akan bercorak ilmu pengetahuan walaupun kemampuan dari sang mufassir akan membatasi pembahasan pada bidang-bidang yang kurang dia kuasai.

Perkembangan Lebih Lanjut

Ilmu tafsir Al Qur'an terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsilah metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al Qur'an. Diantara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika .

Secara ringkas dapat dipahami bahwa hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapannya sehingga hermeneutika mengedepankan penerimaan sadar akan asumsi subyektivitas ini.

Penutup

Tafsir Al Qur'an pada dasarnya adalah cara dari manusia dengan segala keterbatasannya untuk mengetahui maksud dari perkataan Ilahi yang Maha Kuasa dalam ayat-ayat-Nya dan mengambil manfaat dari pemahaman itu untuk dijadikan petunjuk dan ruh dalam kehidupan keberagamaan serta sosialnya sehari-hari. Dengan demikian, tafsir mempunyai kebenaran yang bersifat relatif dan terikat dengan ruang, waktu dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Tafsir dituntut agar terus menerus diperbarui agar manfaatnya tidak lekang oleh perkembangan dari masa ke masa.

Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup maka umat tidak memerlukan tafsir apapun karena Beliau adalah mufssir pertama dan utama. Dengan ketiadaan nabi dan kemudian para sahabat maka ulama (mufassir) sebagai penerus kenabian harus dapat membumikan maksud Al Qur'an untuk dipahami sehingga bisa menjadi tuntunan hidup yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan umat pada tempat dan masanya. Hal ini perlu dilakukan agar ruh Islam yang termaktub dalam Al Qur'an dapat terus hidup kapan saja dan dimana saja dan dalam kondisi masyarakat seperti apapun juga. Wallahu 'alam bi showab.

Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra

Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.

Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.

Barizi, Ahmad. 2004. Malaikat di Antara Kita: Pandangan Muhamad Abduh tentang Dunia Malaikat. Jakarta. Hikmah

Essack, Farid. 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. (terjemahan Watung A Budiman). Bandung. Mizan

Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Quran. Semarang. Lubuk Raya.

------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.

Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.

al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 1-4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.

Maswan, Nur Faizin. 2002. Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir. Yogyakarta. Menara Kudus

Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Quran. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-imu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.

ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Maarif.

ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra

Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.

-----------------------------------.1998. Mukjizat Al-Qur'an. Bandung. Mizan.

-----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera Hati.

Wahid, Marzuki (ed). 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.

Muhammad Husain al-Dzahabi, 1976, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet 2, , hlm 13 dalam Muhammad Nor Ichwan, 2001, Memasuki Dunia Al-Quran, Semarang, Lubuk Raya, hlm 160

Yusuf Qardawi, 2003, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Quran, (terjemahan: Kathur Suhardi), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, hlm 209

Yusuf Qardawi, op. cit., hlm 211

Manna Khalil al-Qattan, 2001, Studi Ilmu-imu Al-Qur'an, Jakarta, Lentera Antar Nusa hlm 470-472

Manna Khalil al-Qattan, op.cit., hlm 472

Diantara khalifah empat, yang paling terkenal dengan ijtihadnya yang gemilang adalah Umar bin Al Khatab pada masa dia menjabat menjadi khalifah yang kedua. Hasil-hasil ijtihadnya sangat berperan dalam pengembangan tatanan pada masyarakat Islam yang sedang tumbuh berkembang. Hal ini antara lain dapat kita rujuk pada: Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.

Muhammad Aly ash-Shabuny, 1996, Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS), Bandung, al-Maarif hlm 280

Muhammad Aly ash-Shabuny, op.cit., hlm 280-297

Yunahar Ilyas, 1997, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm 19-20

Yunahar Ilyas op.cit., hlm 21

Periode ini oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra (w 207 H) dengan kitabnya berjudul Ma'ani Al Qur'an, lihat Muhammad Quraish Shihab, 1993, Membumikan Al-Qur'an, Bandung, Mizan hlm 73

Yunahar Ilyas op.cit., hlm 20

Manna Khalil al-Qattan, op.cit., hlm 482-483

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2002,Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur;an,Semarang, Pustaka Rizki Putra hlm 216

Muhammad Aly ash-Shabuny, op.cit., hlm 207-208

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm 227-230

Yunahar Ilyas, op.cit., hlm 21

Imam Jalaluddin Al Mahali dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo hlm 2753

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm 247-250

Manna Khalil al-Qattan, op.cit., hlm 495

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm 259

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm 256-259

Muhammad Nor Ichwan, 2001, Memasuki Dunia Al-Quran, Semarang, Lubuk Raya, hlm 247

Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 247

Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 248

Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm 86

Muhammad Baqir al-Sadr, 1399 H, Al-Madrasah Al-Qur'aniyah, Libanon-Beirut: Dar al Taaruf hlm 13 dalam Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 248

Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm 87

Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 264

Nur Faizin Maswan, 2002. Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir. Yogyakarta. Menara Kudus. hlm 29

Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 265

Abd al-Hayy al-Farmawi, 1977, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhui, Mesir, Maktabah Jumhuriyah hlm 45 dalam Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 265

Nur Faizin Maswan, op.cit.hlm 30-31

Abd al-Hayy al-Farmawi, op.cit., hlm 52 dalam Muhammad Nor Ichwan, op cit., hlm 266

Nur Faizin Maswan, op.cit.hlm 31

Muhammad Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1, Jakarta, Lentera hati, hlm xvii-xviii

Muhammad Quraish Shihab, 1993, Membumikan Al-Qur'an, Bandung, Mizan hlm 73

Sebagai contoh dapat kita pahami bagaimana Abduh menafsirkan malaikat dalam ajaran agama identik dengan hukum-hukum alam (natural power-al quwa al thabi'iyyah) dalam konteks modern. Hal ini diharapkan dapat mendorong terbentuknya sebuah masyarakat intelektual (intelectual society) guna mengatasi kemandekan pemikiran umat Islam pada masa itu hingga masa-masa sesudahnya. Untuk penjelasan lebih rinci masalah penafsiran Abduh tentang malaikat dapat kita lihat pada Ahmad Barizi. 2004. Malaikat di Antara Kita: Pandangan Muhamad Abduh tentang Dunia Malaikat. Jakarta. Hikmah

Hermeneutika diturunkan dari nama dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menafsirkan pesan serta perintah dari dewa kepada manusia. Donny Gahral Adian. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra hlm 199

Definisi ini diajukan oleh Carl Braaten. 1966. History and Hermeneutics.Philadelphia. Fortress. hlm 131 dalam Farid Essack. 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. Bandung. Mizan hlm 83. Keterangan lebih lengkap mengenai metodologi ini dapat juga dirujuk pada artikel Farid Essack dalam Wahid, Marzuki (ed). 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia. hlm 129-161

Farid Essack. op. cit hlm 83