Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 membawa angin segar terhadap demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan di daerah, yaitu adanya kewenangan yang semakin besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan dalam menentukan anggaran. Implikasi positifnya, bahwa kewenangan penyusunan anggaran program kegiatan yang aspiratif bagi masyarakat dan disesuaikan dengan potensi yang ada. Oleh karena itu, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, yang mempunyai posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, maka anggaran harus berorientasi pada kepentingan masyarakat (client centered), yang menuntut transparasi informasi anggaran kepada publik dan termuat dalam laporan keuangan daerah Permasalahan pokok dalam mewujudkan kemandirian pemerintah Kota/Kabupaten, dapat dilihat dari kemampuan daerah dalam membiayai sendiri jalannya roda pembangunan di daerahnya, atau dengan kata lain dapat dilihat dari ratio PAD terhadap APBD. Pada umumnya menunjukkan bahwa rata-rata besarnya kontribusi PAD terhadap APBD hanya berkisar 20%. Berbagai penelitian-penelitian menunjukkan bahwa PAD belum banyak tergali. Rendahnya penggalian disebabkan karena (1) Sosialisasi pajak daerah (tax education) yang rendah, (2) Sistem dan Prosedur koleksi PAD yang lemah dan (3) Estimasi PAD yang lebih rendah dari potensi sebenarnya. (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000 ; Makhfatih, 2000). Rendahnya edukasi pajak disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat dalam memahami hasil pungutan dan alokasinya. Pada umumnya penerimaan pajak dimasukkan dalam penerimaan umum. Sementara masing-masing

description

kerangka konsep metode untuk menentukan pendapatan banten

Transcript of Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Page 1: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang No.

33 tahun 2004 membawa angin segar terhadap demokratisasi dan pelaksanaan

pembangunan di daerah, yaitu adanya kewenangan yang semakin besar untuk

mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan dalam menentukan

anggaran. Implikasi positifnya, bahwa kewenangan penyusunan anggaran

program kegiatan yang aspiratif bagi masyarakat dan disesuaikan dengan potensi

yang ada.

Oleh karena itu, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah masalah

pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah (APBD)

merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, yang

mempunyai posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas

pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, maka anggaran harus

berorientasi pada kepentingan masyarakat (client centered), yang menuntut transparasi

informasi anggaran kepada publik dan termuat dalam laporan keuangan daerah

Permasalahan pokok dalam mewujudkan kemandirian pemerintah

Kota/Kabupaten, dapat dilihat dari kemampuan daerah dalam membiayai sendiri

jalannya roda pembangunan di daerahnya, atau dengan kata lain dapat dilihat dari

ratio PAD terhadap APBD. Pada umumnya menunjukkan bahwa rata-rata besarnya

kontribusi PAD terhadap APBD hanya berkisar 20%. Berbagai penelitian-penelitian

menunjukkan bahwa PAD belum banyak tergali. Rendahnya penggalian

disebabkan karena (1) Sosialisasi pajak daerah (tax education) yang rendah, (2)

Sistem dan Prosedur koleksi PAD yang lemah dan (3) Estimasi PAD yang lebih

rendah dari potensi sebenarnya. (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000 ; Makhfatih,

2000).

Rendahnya edukasi pajak disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat

dalam memahami hasil pungutan dan alokasinya. Pada umumnya penerimaan

pajak dimasukkan dalam penerimaan umum. Sementara masing-masing

Page 2: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

pungutan baik itu sifatnya pajak atau retribusi mempunyai tujuan sendiri-sendiri.

Sebagai contoh adalah Retribusi pasar mestinya digunakan sebagai “ongkos

ganti”. (user charge) pengeluaran aktivitas dalam operasional dan pengembangan

pasar. Manakala semua penerimaan pajak maupun re t r ibus i d imasukkan

da lam penerimaan umum, maka masyarakat tidak tahu aktivitas atau manfaat

dari membanyar pajak atau retribusi.

Berkait dengan potensi Penerimaan daerah, yang dimaksud dengan Potensi

penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada disuatu daerah untuk

menghasi lkan penerimaan tertentu. UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan, memberi peluang yang “lebih banyak” kepada daerah untuk menggali

potensi, sekaligus melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber

penerimaan. Melalui pendeteksian, analisis berbagi potensi yang sudah ada dan

mungkin digali maka akan diketahui bagaimana sebenarnya potensi PAD suatu

daerah tersebut. Sehingga estimasi yang jauh dari data potensi daerah dapat

d ih indarkan. Sekal igus akan memberikan modal bagi perencanaan

pengembangan dan pembangunan daerah. Pentingnya analisis potensi PAD ini

akan memberikan kontribusi dalam penyusunan anggaran, yang tidak hanya

mendasarkan target dan realisasi tahun sebelumnya namun lebih mendasarkan

pada potensi yang sesungguhnya. Dalam hal ini PAD yang dianggap cukup penting

adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Sistem target dan realisasi, kurang

menjamin untuk menunjukkan kinerja pendapatan daerah, karena pada dasarnya

sistem target realisasi hanya mendasarkan kepada kemampuan kinerja tahun

sebelumnya, kemudian dengan melakukan prediksi dengan menaikkan beberapa

persen saja untuk perencanaan atau target tahun depannya, tanpa mendasarkan

pada potensi sebenarnya.

Untuk itu dalam membuat perencanaan (target) penerimaan daerah,

terutama yang bersumber pada potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

selanjutnya bisa mengambil langkah apa, sehingga bisa meningkatkan penerimaan

dengan mengoptimalkan potensi yang ada serta menggali sumber penerimaan

baru. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah, tidak terlepas dari fungsi

Page 3: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

penyelenggaraan keuangan. Kegiatan pengelolaan keuangan daerah sangat

penting peranannya dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan

pengawasan keuangan daerah.Kebijakan pengelolaan keuangan daerah salah

satunya adalah kebijakan alokasi anggaran yang tercermin dalam struktur APBD

yang meliputi pendapatan daerah, belanja dan pembiayaan.

Banyak hal yang dapat digali dari pendapatan daerah baik dari Pendapatan

Asli Daerah, dana perimbangan dan lain – lain pendapatan yang sah. Pendapatan

Asli Daerah di Provinsi Banten masih terfokus pada pajak terutama Pajak

Kendaraan Bermotor (PKB) dan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

(BBNKB). Oleh karena itu masih dimungkinkannya sumber pendapatan lain yang

dapat digali selain dari kedua pajak tersebut. Selain pajak daerah, potensi

pendapatan daerah dapat digali dari retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah

yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Oleh karena itu kajian ini akan

menganalisis dan melakukan inventarisasi potensi PAD Provinsi Banten sebagai

dasar penyusunan rumusan strategi pemanfaatan potensi PAD guna menunjang

pelaksanaan pembangunan di Provinsi Banten.

1.2. Maksud danTujuan

1.2.1. Maksud

Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengkaji potensi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka optimalisasi PAD Provinsi Banten

guna pembiayaan pembangunan

1.2.2. Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah terwujudnya analisis dan kajian terhadap

berbagai potensi Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka

mengoptimalkan PAD Provinsi Banten

Kajian ini secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengkaji jenis-jenis potensi PAD di Provinsi Banten yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan yang belum tergali (ekstensifikasi);

Page 4: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

2. Menginventarisasi jenis-jenis pajak daerah yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);

3. Menginventarisasi jenis-jenis retribusi daerah yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);

4. Menginventarisasi produk hukum yang bisa diimplementasikan berdasarkan

pengalaman daerah lain guna mengoptimalkan potensi PAD Provinsi Banten;

5. Menginventarisasi potensi kelembagaan dan asset SKPD pada lingkup

Pemerintah Provinsi Banten yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan

peningkatan Potensi PAD Provinsi Banten;

6. Melakukan proyeksi PAD Banten bila semua potensi bisa tergali;

7. Menyusun Rumusan Strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang

pembangunan Banten.

1.3. Manfaat Kagiatan.

Manfaat kajian ini adalah :

1. Mendapatkan rumusan strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang

pembiayaan pembangunan Provinsi Banten

2. Memberikan arah kebijakan bidang Pengelolaan Keuangan Daerah khususnya

pendapatan daerah Provinsi Banten

1.4. Lingkup Pekerjaan

Ruang lingkup kegiatan kajian ini meliputi sebagai berikut :

1. Mengkaji jenis-jenis potensi PAD di Provinsi Banten yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan yang belum tergali (ekstensifikasi);

2. Menginventarisasi jenis-jenis pajak daerah yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);

3. Menginventarisasi jenis-jenis retribusi daerah yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);

4. Menginventarisasi produk hukum yang bisa diimplementasikan berdasarkan

pengalaman (lesson learnt)daerah lain guna mengoptimalkan potensi PAD

Provinsi Banten;

Page 5: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

5. Menginventarisasi potensi kelembagaan dan asset SKPD pada lingkup

Pemerintah Provinsi Banten yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan

peningkatan Potensi PAD Provinsi Banten;

6. Melakukan proyeksi PAD Banten bila semua potensi bisa tergali;

7. Menyusun Rumusan Strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang

pembangunan Provinsi Banten.

1.4. Output Kegiatan

Output dari kegiatan kajian ini adalah :

1. Mapping potensi PAD di Provinsi Banten

2. Bahan Rekomendasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah di Provinsi

Banten

1.5. Landasan Hukum

Landasan hukum kegiatan kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat/Daerah.

3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah Negara.

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

5. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah dan Retribusi Daerah.

6. Peraturan pemerintah Nomor 65 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah

7. Peraturan pemerinta Nomor 66 Tahun 2000 tentang Retribusi Daerah

8. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2000 tentang Tata Cara

Pertanggungjawaban Kepala Dearah.

10. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan.

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman,

Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengurusan Keuangan Daerah, Tata

Page 6: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan

Penyusunan Perhitungan APBD.

12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Sistem

Pengelolaan Keuangan Daerah

1.6. SistemPelaporan

Sistempelaporan hasil pelaksanaan Kajian Inventarisasi Potensi PAD

Provinsi Banten ini adalah sebagai berikut :

1. Laporan Pendahuluan

Laporan ini merupakan Laporan Pendahuluan yang berisikan pemahaman

terhadap TOR, rencana peleksanaan pekerjaan dari perispan sampai akhir

pekerjaan, serta metodologi dan sistematika penyajian yang digunakan.

2. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir ini merupakan materi pembahasan Laporan Akhir dari

pekerjaan Kajian Inventarisasi Potensi PAD Provinsi Banten.

3. Dokumen Akhir

Laporan ini merupakan laporan final dari seluruh kegiatan pekerjaan Kajian

Inventarisasi Potensi PAD Provinsi Banten yang terlebih dahulu telah dibahas

dan telah dikoreksi berdasarkan hasil masukan pada saat pembahasan,

mencakup uraian mengenai:

a. Pendahuluan berupa uraian mengenai definisi, maksud dan tujuan, ruang

lingkup, manfaat dan organisasi penyusun pekerjaan;

b. Gambaran umum perkembangan dan jenis-jenis PAD di Provinsi Banten;

c. Analisis jenis-jenis potensi PAD di Provinsi Banten yang belum

teroptimalkan (intensifikasi) dan yang belum tergali (ekstensifikasi);

d. Analisis jenis-jenis pajak daerah yang belum teroptimalkan (intensifikasi)

dan belum tergali (ekstensifikasi);

e. Analisis jenis-jenis retaribusi daerah yang belum teroptimalkan

(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);

f. Analisis produk-produk hukum yang bisa diimplementasikan berdasarkan

pengalaman daerah lain guna mengoptimalkan potensi PAD Provinsi

Banten;

Page 7: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

g. Analisis potensi kelembagaan dan asset SKPD pada lingkup Pemerintah

Provinsi Banten yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan peningkatan

Potensi PAD Provinsi Banten;

h. Analisis Proyeksi PAD Banten bila semua potensi teroptimalkan;

i. Rekomendasi Rumusan Strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang

pembangunan Banten;

j. Penutup dan Kesimpulan.

Page 8: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

BAB II

KERANGKA TEORITIS

2.1. Pembiayaan Pembangunan Daerah

Tujuan utama pembangunan suatu bangsa adalah untuk meningkatkan

kualitas kehidupan atau kemakmuran masyarakatnya. Dari pengertian ini

pembangunan mengandung banyak dimensi, karena kesejahteraan dan

kemakmuran suatu bangsa memiliki banyak indikator. Dalam paradigma

tradisional, pembangunan ekonomi (development economy) adalah usaha untuk

meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang diukur dengan peningkatan

kapasitas ekonomi suatu bangsa. Kapasitas ini diukur berdasarkan pendapatan

total bruto misalnya PDB (Produk Domestik Bruto) untuk negara dan PDRB

(Produk Domestik Regional Bruto) untuk wilayah regional.

Sementara itu, dalam paradigma baru, pembangunan adalah memperbaiki

kualitas kehidupan. Paradigma baru ini memandang bahwa pembangunan yang

paling hakiki mengandung tiga nilai inti atau komponen dasar, yaitu kecukupan

(sustenance), jati diri (self esteem), dan kebebasan (freedom). Kecukupan

merupakan kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar agar

masyarakat bisa hidup layak secara fisik. Kebutuhan dasar itu meliputi pangan,

sandang, papan, kesehatan, dan keamanan (World Development Report, 1994).

Pelaksanaan pembangunan tersebut, secara teknis pemerintah ataupun

pemerintah daerah harus melakukan berbagai kegiatan baik berupa pelayanan dan

pengaturan publik, penyediaaan barang dan jasa publik, penyediaan infrastruktur,

dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.Untuk kegiatan yang demikian

sudah barang tentu pemerintah memerlukan pembiayaan. Pembiayaan

pengeluaran pemerintah tidak saja untuk membiayai kegiatan teknis, namun

digunakan juga untuk instrument kebijakan ekonomi berupa instrument fiskal dan

penyediaan infrastruktur. Sebagai instrument fiskal, pengeluaran pemerintah

dilakukan untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi

permintaan.Sementara penyediaan infrastruktur bertujuan untuk mendorong

pembangunan ekonomi agar lebih produktif dan efisien.

Page 9: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Secara teori, terdapat beberapa sumber pembiayaan pembangunan antara

lain, pajak dan pungutan lain, keuntungan badan usaha, penjualan kekayaan

negara, utang (dalam negeri ataupun luar negeri), hibah, maupun penerimaan

lainnya. Menurut Bappenas (2013) terdapat beberapa potensi pengembangan

sumber pendanaan pembangunan di luar pajak, antara lain pinjaman luar negeri

tradisional, pinjaman dalam negeri, penebitan surat berharga, kerja sama

pemerintah dengan swasta, dan memanfaatkan dana-dana Corporate Social

Responsibility (CSR).

Selain potensi-potensi tersebut, beberapa tahun terakhir berkembang pula

berbagai inovasi pembiayaan pembangunan, terutama dalam skema internasional.

Menurut Bank Dunia (2009), saat ini sedikitnya terdapat empat mekanisme

pembiayaan pembangunan ekonomi negara, yaitu:

1. Private mechanism: private-private (swasta-swasta) yang berkembang di

pasar maupun di masyarakat sipil

2. Solidarity mechanism: sovereign-sovereign (negara-negara) yang berbentuk

multilateral dan bilateral baik berupa ODA (Official Development Agency)

dan dan bentuk-bentuk lain atau OOF (Other Official Flow)

3. PPP mechanism: pengembangan atau mobilisasi dana swasta untuk

membiayai dan mendukung layanan publik dan fungsi-fungsi publik lainnya,

seperti sovereign risk management

4. Catalytic mechanisms: dukungan pendanaan publik untuk mengembangkan

sektor swasta (inter alia untuk menurunkan risiko pasar).

Dari empat mekanisme tersebut, jika dikaitkan antara sumber dan pemakainya,

tiga mekanisme sangat tergantung pada pemerintah (official flow).

Selain potensi-potensi tersebut, masih banyak potensi-potensi lain yang

dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan. Beberapa studi menunjukkan

bahwa pembiayaan dengan metode klasik yang mengandalkan pada pajak

maupun utang tradisional, nampaknya banyak menemui kendala sehingga dalam

era modern ini ada beberapa metode pembiayaan yang dikembangkan, dimana

kebanyakan lebih mengarah pada peningkatan peranan swasta untuk membiayai

pembangunan bahkan untuk membiayai pengantisipasian gejolak perubahan ikilim

atau climate change and carbon funding (UNDP, 2012).

Page 10: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Meskipun sudah berkembang banyak konsep inovasi pembiayaan pe

mbangunan, namun dalam kerangka pembangunan daerah, hal ini tentu tidak

mudah diimplementasikan. Pola pembiayaan daerah harus tunduk pada peraturan

perundangan yang berlaku. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintah Daerah pasal 15, hubungan dalam bidang keuangan antara

Pemerintah dan pemerintahan daerah dan meliputi:

1. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;

2. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan

3. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.

Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah tersebut meliputi:

1. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan.

pemerintahan daerah kabupaten/kota;

2. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;

3. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan

4. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.

Sementara itu, sesuai Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 pasal 5,

pendapatan daerah harus hanya bersumber pada beberapa aspek, yaitu:

1. Pendapatan Asli Daerah;

2. Dana Perimbangan; dan

3. Lain-lain Pendapatan; bersumber dari:

a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;

b. penerimaan Pinjaman Daerah;

c. Dana Cadangan Daerah; dan

d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Sementara PAD harus bersumber dari:

1. Pajak Daerah;

2. Retribusi Daerah;

3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan

4. lain-lain PAD yang sah, meliputi:

a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;

b. jasa giro;

Page 11: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

c. pendapatan bunga;

d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;dan

e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan

dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.

Dengan kondisi tersebut, maka Pemerintah Daerah tidak memiliki fleksibilitas

untuk mengembangkan dan menerapkan sumber-sumber pembiayaan

pembangunan yang lebih inovatif seperti yang berkembang di beberapa negara.

2.2. Pengelolaan Pendapatan Daerah

Salah satu aspek dari pemerintahan daerah di era otonomi yang harus

diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan

anggaran daerah.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan

instrument kebijakan utama bagi pemerintah daerah. APBD sebagai alat untuk

menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan

keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi penerimaan pengeluaran

daerah dimasa yang akan dating (Mardiasmo, 2004: 8).

Pelaksanaan APBD di era otonomi daerah membawa implikasi dan

konsekuensi terutama pada masalah pembiayaan, pengelolaan, dan pengawasan

keuangan daerah. Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah

dalam pelaksanaan APBD saat ini adalah bagaimana meningkatkan Pendapatan

asli Daerah (PAD) agar daerah bisa lebih mandiri, meningkatkan diskresi daerah

dan mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat

Permasalahan dalam pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang

merupakan unsur PAD yang utama adalah masih terbatasnya kemampuan daerah

dalam mengidentifikasi potensi obyek pajak dan retribusi daerah yang di miliki,

sehingga pengembangan penilaian dan penghitungan potensi penerimaan pajak

dan retribusi daerah perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka

penerimaan daerah (lokal) yang berkelanjutan.

2.3. Tolok Ukur Pajak dan Retribusi Daerah

Devas (1989), mengemukakan lima tolok ukur untuk menilai pajak daerah,

yaitu yield, equity, economic efficiency, ability to implement, dan suitability as a

Page 12: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

local source. Kelima tolok ukur tersebut telah digunakan untuk menilai pajak

daerah di Indonesia, yang diberlakukan melalui Undang-Undang Pajak Daerah

nomor 5 tahun 1974, yaitu pajak kendaraan bermotor, pajak tontonan, pajak hotel

dan restoran, pajak lampu jalan, pajak pendaftaran perusahaan, pajak iklan, pajak

potong hewan, pajak bangsa asing, pajak radio, dan pajak kendaraan tidak

bermotor. Penggunaan ke lima tolok ukur tesebut memberikan gambaran faktual

terhadap pajak yang dinilai.

Kelima tolok ukur tersebut sangat diperlukan untuk menilai suatu pajak

daerah.Karena yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pungutan yang

dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah regional sendiri (Davey, 1988).Padahal

selalu terjadi perdebatan apakah pemerintah daerah berhak untuk mengambil

pajak atau tidak.Sebagian pendapat menyetujui pemerintah regional (pemerintah

daerah) menarik pajak dan sebagian lainnya berpendapat tidak menyetujui daerah

menarik pajak.Untuk menjembatani dua pendapat tersebut muncul berbagai

solusi.Salah satu diantaranya adalah pendapat Devas di atas, yaitu pemerintah

daerah dapat menarik pajak asalkan memenuhi kelima tolok ukur tersebut.

Arti penting dari kelima tolok ukur tersebut, juga terdapat pada penilaian

apakah suatu jenis pajak akan bertahan lama dan berkelanjutan (sustainable) atau

tidak. Dimana, „Euphoria‟ otonomi daerah pada saat ini diwujudkan oleh daerah

dalam bentuk berbagai pungutan, dikhawatirkan, pungutan baru tersebut tidak

bisa bertahan lama, sebab belum dilandaskan pada kajian ekonomi dan keuangan

yang mendalam. Pungutan baru yang diberlakukan daerah, hanyalah sekedar

letupan emosi otonomi daerah semata.Dalam perspektif seperti itulah kelima tolok

ukur tersebut sangat diperlukan.Dalam arti, suatu jenis pungutan yang tidak

memenuhi tolok ukur tersebut, nantinya pastilah hanya berlaku jangka pendek

dan sebaliknya suatu pungutan yang memenuhi kelima tolok ukur tersebut

pastilah sustainable. Misalnya saja, dikeluarkan suatu aturan mengenai pungutan

suatu pajak, namun ternyata hasilnya tidak memadai dibandingkan biaya

operasional yang telah dikeluarkan, maka secara teoritis, pajak tersebut tidak akan

bisa berlanjut, sebab apabila dilanjutkan justru membebani keuangan pemerintah

daerah Demikian juga apabila suatu pajak memberatkan biaya usaha pengusaha

Page 13: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

dan meningkatkan pengeluaran uang masyarakat, pastilah pajak tersebut tidak

berlangsung lama.

Sebenarnya masih terdapat tolok ukur yang lainnya.Sitglitz (1986),

misalnya, mengemukakan five desirable characteristics of any tax system.Dimana,

agar suatu pajak merupakan pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat, harus

memenuhi kriteria (1)economic efficiency, (2) administrative simplicity, (3)

flexibility, (4) political responsive,dan (5) fairness. Demikian juga Musgrave and

Musgrave (1989) mengemukakan tujuh persyaratan struktur pajak yang “baik”,

berupa (1) penentuan penerimaan dengan tepat, (2) adil, (3) jelas siapa yang

harus menanggung, (4) tidak mengganggu pasar dan efisiensi, (5) tidak

menyebabkan kontraksi perekonomian, (6) adminstrasi yang baik, (7) biayanya

cukup rendah. Namun demikian, apabila diperhatikan dengan seksama, apalagi

untuk tujuan perpajakan daerah, baik yang dikemukakan oleh Devas, maupun

yang dikemukakan Stiglitz dan Musgrave & Musgrave tidak jauh berbeda.Yang

penting, apabila menggunakan istilah Tiebouts, (1956), memperhatikan kaidah

“love it or leave it”.artinya, suatu daerah, apabila menerapkan perpajakan daerah

dengan baik maka akan menyebabkan perilaku “love It” dari masyarakatnya,

artinya masyarakat akan suka tinggal di tempat tersebut. Sebaliknya, apabila

perpajakan yang diterapkan tidak mengikuti prinsip-prinsip perpajakan, pastilah

akan ada perilaku dari masyarakat berupa “leave it”, artinya penduduk tidak suka

tinggal di tempat itu, dan berpindah ke daerah lain.

2.3.1. Yield (Hasil Pemungutan Pajak dan retribusi Daerah)

Pajak daerah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi

reguleerend.Pajak yang berfungsi budgetair adalah pajak yang menghasilkan

banyak penerimaan pajak. Sedangkan pajak yang berfungsi reguleerend adalah

pajak yang tidak memperhatikan apakah hasilnya memadai atau tidak, yang

menjadi perhatian adalah kefungsian untuk mengatur suatu hal. Melihat dua

karakteristik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak yang budgetair pasti

ditarik ke pemerintah yang lebih tinggi, sedangkan daerah hanyalah diberi pajak

yang berfungsi reguleerend, dan tidak memiliki kemampuan untuk memperkuat

posisi keuangan daerah.

Page 14: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Namun demikian, tidak semua pajak daerah nonbudgetair.Banyak juga

pajak daerah yang budgetair. Contohnya pajak hotel dan restoran di Kabupaten

Badung Propinsi Bali merupakan kontributor terbesar bagi PAD, dimana PAD

mencapai 40% dari total penerimaan keuangan daerah (Kaho, 1997). Di berbagai

kabupaten, pajak penerangan jalan merupakan pajak dengan hasil terbesar di atas

penerimaan pajak daerah lainnya.Dengan demikian, tetap diperlukan suatu

pembahasan mengenai pajak daerah dari fungsi budgetair.

2.3.2. Equity (Keadilan Pajak dan Retribusi Daerah)

Menurut Musgrave & Musgrave (1989), arti penting keadilan terdapat pada

kenyataan bahwa setiap orang harus mendapat bagian yang layak dalam kegiatan

pemerintah yang mereka biayai sendiri. Namun sampai saat ini tidak diperoleh

kepastian mengenai apa yang dimaksud dengan bagian yang layak. Biasanya

orang menilai keadilan berdasarkan dua pendekatan, pertama adalah pendekatan

manfaat dan kedua pendekatan kemampuan membayar.Berdasarkan pendekatan

kemampuan membayar ini, dikenal istilah keadilan horizontal dan keadilan vertikal.

Adapun yang dimaksudkan keadilan horizontal menurut Devas (1988) adalah

beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi

dengan kedudukan ekonomi yang sama. Sedangkan keadilan vertikal adalah

kelompok yang memiliki sumber daya yang besar membayar lebih banyak

daripada yang memiliki sumber daya kecil.Namun, sebagai suatu catatan, menurut

Rossen, (1988), pemikiran mengenai keadilan dalam prinsip perpajakan adalah

pemikiran tradisional.Sebab prinsip keadilan dalam perpajakan daerah, bahkan

prinsip-prinsip lainnya, dapat digambarkan dalam hubungan antara pajak dengan

social welfare funtion. Dengan kata lain, sebagai ganti atas prinsip keadilan, maka

telah diintrodusir social welfare function yang dikaitkan dengan perpajakan

daerah. Artinya berapapun pajak daerah ditetapkan, asal social welfare tidak

mengalami penurunan, maka suatu penetapan pajak dikatakan tidak memiliki

masalah dalam keadilan pungutan.

2.3.3. Economic Efficiency (Efisiensi Ekonomi)

Pajak, dapat menjadi penghambat perkembangan dan pertumbuhan

perekonomian.Sebab, pajak menyerap pendapatan masyarakat, akibatnya

perputaran ekonomi yang semula berputar dengan cepat menjadi lebih

Page 15: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

lambat.Melalui keseimbangan dan hubungan antara pendapatan dengan

pengeluaran keseluruhan, maka dapat diketahui bahwa pendapatan terbentuk dari

pengeluarankonsumsi masyarakat, pengeluaran tabungan masyarakat, dan

pengeluaran pajak. Apabila dinotasikan, sebagai berikut :

(1) Y = AE

karena (2) AE = C + S + T

sehingga ( 3) Y = C + S + T

atau(4) T = Y – (C + S)

dimana :

Y = income (pendapatan),

AE =Aggregate Expenditure (pengeluaran keseluruhan),

C = consumption (konsumsi), S = saving (tabungan), T =taxes (pajak)

Dari persamaan (4), dapat diketahui bahwa apabila pajak ditingkatkan, sedangkan

pendapatan tetap, maka konsumsi dan tabungan menurun, dengan demikian

terjadi efek kontraksi ekonomi akibat pajak.Demikian pula sebaliknya, penurunan

pajak, sedangkan pendapatan tetap, maka konsumsi dan tabungan meningkat,

dan terjadi efek ekspansi akibat pajak.

2.3.4. Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan)

Kelayakan suatu daerah untuk melaksanakan pungutan dapat diketahui dari

beberapa kriteria, yaitu apakah daerah tersebut memang daerah yang tepat untuk

suatu pajak dibayarkan, tempat memungut pajak adalah tempat akhir beban

pajak, dan pajak tidak mudah dihindari.Apabila suatu daerah memiliki ketiga

kriteria tersebut, maka daerah tersebut layak sebagai daerah pemungut pungutan

daerah. Kelayakan tersebut akan terlihat dengan kemampuan politis daerah untuk

memungut pajak dan retribusi daerah, yaitu pemungutan pajak dan retribusi

daerah didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama wajib pajak.

Selanjutnya, kemampuan secara politis akan diimplementasiikan dalam

kemampuan administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah. Hasil dari

kelayakan dan kemampuan administrasi tersebut, seharusnya terlihat dalam

hubungan antara potensi dan realisasi penerimaan pungutan daerah.Semakin

tinggi realisasi penerimaan pungutan daerah dibandingkan dengan potensi

penerimaannya, menunjukkan bahwa daerah memiliki kemampuan untuk

Page 16: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

melaksanakan suatu pungutan. Selain itu, kemampuan suatu daerah untuk

melaksanakan suatu pungutan dapat dibandingkan kemampuan daerah lain untuk

melaksanakan pungutan tersebut. Sebab kemampuan melaksanakan tersebut

bersandar pada kelayakan daerah.Oleh karena itu, apabila suatu daerah memiliki

kelayakan memungut suatu pungutan dibandingkan daerah lain, maka seharusnya

daerah tersebut memiliki kemampuan melaksanakan suatu pungutan

dibandingkan dengan daerah lainnya.

2.3.5. Suitability to Local Source (Kesesuaian Sebagai Penerimaan

Daerah)

Yang dimaksud dengan suitability as a local source (kesesuaian pungutan

sebagai penerimaan daerah) dapat dilihat dari dua hal, pertama dibandingkan

dengan daerah yang sejenis, dan kedua dibandingkan dengan daaerah yang lebih

tinggi.Keseuaian dari hal yang pertama, yaitu kesesuaian dibandingkan dengan

daerah sejenis sebenarnya paralel dengan ability to implement (kemampuan

melaksanakan). Dengan kata lain, apabila suatu pungutan di daerah memiliki nilai

ekonomi berupa daerah tersebut mampu untuk melaksanakan pajak tersebut,

maka pada saat yang sama pungutan tersebut memiliki nilai ekonomi berupa

sesuai sebagai pungutan daerah. Dan sebaliknya, apabila suatu pungutan tidak

memiliki nilai kemampuan untuk melaksanakan, maka pada saat yang sama

daerah tersebut tidak sesuai sebagai tempat pemungutan pungutan daerah.

Adapun hal yang kedua, yaitu kesesuaian dengan daerah yang lebih tinggi, adalah

bahwa sesuai dengan berbagai kefungsian pemerintahan, setiap tingkatan

pemerintahan telah memiliki aturan mengenai pungutan yang boleh ditarik. Ada

pungutan yang bisa ditarik oleh pemerintah pusat, ada yang dapat ditarik oleh

pemerintah propinsi, dan ada pungutan yang dapat ditarik oleh pemerintah

daerah.Dan tidak diperkenankan terjadinya pemungutan dua kali atau lebih,

artinya apabila suatu pungutan telah ditarik pemerintah pusat, tidak boleh ditarik

lagi oleh pemerintah propinsi dan atau pemerintah daerah.Oleh karena itu, dapat

dipastikan, bahwa suatu pungutan pastilah sesuai dengan daerah yang lebih

tinggi, yaitu tidak mungin terjadi „rebutan‟ pemungutan pajak.

Pada saat ini, semua pajak daerah, dilihat dari sudut kemauan politik, dapat

dilaksanakan. Sebab, dalam UU nomor 22 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah,

Page 17: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

disebutkan bahwa daerah sangat mandiri, tidak terintervensi olen pusat. Setiap

peraturan dibuat oleh daerah itu sendiri melalui legislasi DPRD setempat. Kalaupun

dalam UU nomor 18 tahun 1997 disebutkan bahwa setiap legislasi pajak dan

retribusi daerah harus mendapat izin dari menteri dalam negeri, namun sudah

banyak permintaan untuk merevisi UU nomor 18 tahun 1997 dan sudah

dituangkan dalam UU nomor 34 tahun 2000 serta UU No 28 Tahun 2009. Dengan

demikian, apabila peraturan daerah mengenai pungutan tidak bertentangan

dengan ketiga Undang-Undang tersebut, yaitu UU nomor 18 tahun 1997, Undang

undang nomor 34 tahun 2000, dan UU no 28 tahun 2009 maka peraturan daerah

tersebut disebut sesuai sebagai penerimaan daerah (suitability as a local source).

Page 18: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

BAB III

METODOLOGI KAJIAN

Pendekatan Kajian

Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan dan kerangka pikir

seperti yang ditunjukkan pada bagan 3.1. Kegiatan ini diawali dengan preliminary

research, yang meliputi studi data dan pengembangan pemahaman permasalahan

untuk point of view dan pengembangan kajian. Dari preliminary research ini akan

diperoleh overview. Setelah itu akan dilakukan pengumpulan data untuk

mengidentifikasi dan menganalisis jenis jenis potensi PAD, dan selanjutnya

melakukan inventarisasi jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah Provinsi

Banten yang belum optimal dan tergali potensinya. Selanjutnya dilakukan

inventarisasi produk hukum yang bisa di implementasikan berdasarkan lesson

learnt daerah lain dan potensi kelembagaan serta potensi aset SKPD Provinsi

Banten. Selanjutnya dilakukan proyeksi PAD Provinsi Banten yang bisa digali

sebagai sumber pendapatan daerah pada masa yang akan datang. Dari hasil

analisis data akan dirumuskan permasalahan dan hambatan terkait potensi

penerimaan PAD di Provinsi Banten dan selanjutnya berdasarkan hasil

analisis,disusun rumusan strategi penerimaan dan pemanfaatan potensi PAD guna

menunjang pembangunan Provinsi Banten. Pendekatan kajian ditunjukkan oleh

gambar 3.1 sebagai berikut:

Page 19: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Gambar 3.1. Pendekatan Kajian

3.2. Data dan Sumber Data

Untuk mencapai tujuan kajian potensi PAD ini akan menggunakan data

primer maupun data sekunder. Untuk mengumpulkan data primer, kajian ini akan

menggunakan metode sbb.:

1. Wawancara dan Quesioner key person terkait potensi PAD Provinsi Banten

2. Focus Group Discussion (FGD)

3. Survei dan Observasi Langsung (direct observation).

4. Studi Laporan (library research).

Sementara itu, data sekunder akan mengambil dari beberapa penerbitan

antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pendapatan Daerah atau Dinas

Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK), Dinas perijinan, BAPPEDA

Provinsi Banten dan laporan dari berbagai studi sebelumnya, serta publikasi dari

berbagai pihak yang relevan serta lesson learnt produk hukum daerah lain.

Adapun jenis data dan sistematikanya adalah sebagai berikut:

1. Skala makro (wilayah) mencakup data pokok tentang: aspek wilayah dan

geografis,aspek kependudukan, aspek perekonomian, aspek keuangan

Rekomendasi Strategi dan Kebijakan peneimaan dan pemanfaatan PAD

Identifikasi Potensi PAD & kelembagaan serta Asset SKPD On site survey • FGD • Wawancara • Data primer dan sekunder

Get an Overview Diskusi Brainstorming Kajian data historis Kajian data sekunder • Pengembangan

modelkonsepsual

Analisis Data

Potensi PAD, Intensifikasi &ekstensifikasi pajak daerah, Intensifikasi & ekstensifikasi pajak daerah, proyeksi, lesson learnt, potensi kelembagaan dan asset SKPD

Permasalahan

Berkaitan

denganPotensi

PAD (SWOT)

Preliminary Research Studi data dan

pengembangan pemahaman permasalahan point of view

Pengembangan instrumen

Page 20: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

daerah dan APBD,lembaga keuangan, aspek fasilitas pelayanan dan

prasarana.

2. Skala mikro (obyek kajian) mencakup data pokok tentang sumber-sumber

PAD yang meliputi data pajak daerah, data retribusi daerah, data

kekayaan/asset daerah, serta data lain-lain PAD yang sah

Kebutuhan data analisis pada kajian ini adalah data periode t-5 (data tahun

2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014)

3.3. Analisis Data

3.3.1. Analisis Kinerja Keuangan Daerah

Digunakan untuk menganalisis kinerja keuangan sehingga bisa diketahui

gambaran kinerja keuangan daerah Provinsi Banten secara komprehensif. Analisis

ini meliputi: analisis Derajat Otonomi Fiskal (DOF), Elastisitas Pendapatan Retribusi

dan Pajak Daerah terhadap PAD (PRD to PAD) dan Elastisitas Pendapatan Asli

Daerah terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PAD to PDRB), Analisis

Kontribusi, dan Analisis Rasio Kemandirian keuangan daerah.

3.3.2. Analisis Pajak dan Retribusi Daerah sebagai Sumber Pendapatan Daerah

Analisis ini dilakukan terhadap pajak dan restribusi daerah sebagai sumber

utama penerimaan PAD.Untuk setiap pajak daerah dan retribusi daerah, dilakukan

perhitungan nilai-nilai ekonominya melalui variabel hasil (yield), variabel keadilan

(equity), variabelefisiensi (economic efficiency), kemampuan melaksanakan (ability

to implement), dan kesesuaian sebagai penerimaan daerah (suitability as a local

source), dan diakhiri dengan analisis potensi dengan mengunakan matrik potensi.

Setiap pajak dan retribusi diberi nilai antara –2, -1, +1 dan +2, didasarkan

atas besaran hasil (yield), keadilan (equity), efisiensi (economic efficiency),

kemampuan melaksanakan (ability to implement), dan kesesuaian Sebagai

penerimaan daerah (suitability as a local source).Nilai –2 menunjukkan bahwa

suatu pungutan pajak dan retribusi sangat tidak berpotensi, sedangkan nilai –1

menunjukkan tidak berpotensi, nilai +1 menunjukkan berpotensi, sedangkan nilai

+2 menunjukkan sangat berpotensi. Analisis dilakukan terhadap 4 variabel sebagai

berikut:

Page 21: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

1. Variabel hasil (yield).

Untuk mendapatkan nilai –2 hingga +2 , dilihat dari tiga hal, yaitu (1) rata-

rata realisasi penerimaan suatu jenis pajak atau retribusi daerah tahun 2010

hingga 2014 dibandingkan dengan rata-rata realisasi penerimaan seluruh

pajak daerah atau retribusi daerah tahun 2010 hingga 2014. (2) elastisitas

realisasi penerimaan suatu jenis pajak tahun 2010 hingga 2014 dibandingkan

dengan keseluruhan penerimaan PAD pada tahun yang sama Apabila rata-rata

realisasi lebih besar dari pajak atau retribusi lain dan pada saat yang sama

elastis terhadap PAD, maka pajak dan retribusi tersebut dikatakan sangat

berpotensi (+2). Namun bila tidak elastis terhadap PAD, tetapi rata-rata

realisasinya lebih besar dibanding pajak dan retribusi lain berarti berpotensi

(+1). Sebaliknya bila lebih rata-rata lebih kecil dari jenis pajak datau retribusi

lain namun elastis, maka dikatakan tidak berpotensi (-1), dan bila pada saat

yang sama, lebih kecil dan tidak elastis, maka disebut sangat tidak berpotensi

(-2).

2. Variabel keadilan (equity).

Perhitungan equity (potensi keadilan) diproksi dengan menghitung elastisitas

PDRB terhadap PAD, jika hasilnya positif, maka jenis pajak daerah atau

retribusi daerah tersebut adalah potensial, jika nilainya negatif maka jenis

pajak atau retribusi daerah tersebut dikategorikan tidak potensial.Pendekatan

keadilan ini juga dapat di proksi dengan menganalisis tingkat pertumbuhan,

jika suatu jenis pajak daerah atau retribusi daerah selalu mengalami

pertumbuhan maka jenis pajak daerah atau retribusi daerah tersebut

memenuhi syarat keadilan (equity).

3. Variabel efisiensi(economic efficiency)

Sebenarnya ukuran efisiensi setiap pajak dan retribusidigunakan dengan

menghitung perbandingan antara biaya pajak dan retribusi dengan total cost.

Namun karena keterbatasan data mengenai biaya pemungutan pajak, variabel

efisiensi dihitung dengan pendekatan elastisitas PAD terhadap PDRB, jika nilai

elastisitas positif maka jenis pajak daerah atau retribusi daerah tersebut

adalah efisien, sedangkan jika nilai elastisitas negatif maka jenis pajak daerah

atau retribusi daerah tersebut tidak efisien.

Page 22: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

2. Variabel Kemampuan Daerah untuk Melaksanakan (Ability to implement),

Variabel kemampuan daerah digunakan dua perbandingan yaitu (1) rata-rata

perbandingan antara target dan realisasi penerimaan pajak dan retribusi

selama 2010 hingga tahun 2014 dan (2) Perbandingan target dan realisasi

antara suatu jenis pajak dengan keseluruhan penerimaan pajak. Dimana

disebut sangat berpotensi (+2) untuk dilaksanakan apabila rata-rata

perbandingan antara target dan realisasi di atas 110% dan lebih tinggi di

bandingkan dengan perbandingan target dan realisasisemua penerimaan

pajak. Dikatakan berpotensi (+1) apabila perbandingan target dan realisasi

penerimaan pajak dan retribusi daerah antara 100% hingga 110% dan pada

saat yang sama lebih tinggi di bandingkan dengan rata-rata perbandingan

target dan realisasi penerimaan semua jenis pajak. Dikatakan tidak berpotensi

(-1) apabila perbandingan antara target dengan realisasi penerimaan pajak

dan retribusi daerah di bawah 100% dan pada saat yang sama lebih tinggi di

bandingkan dengan perbandingan target danpenerimaan semua jenis pajak.

Dan dikatakan sangat tidak berpotensi (-2) apabila perbandingan antara target

dengan realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah di bawah 100% dan

pada saat yang sama lebih rendah di bandingkan dengan ratarata

perbandingan target dan realisasi semua penerimaan jenis pajak dan retribusi

daerah.

5. Variabel Kecocokan Sebagai Sumber Penerimaan Daerah (suitability as a local

source)

Digunakan alat analisis berupa perbandingan antara peraturan daerahyang

menetapkan suatu pajak dan retribusi daerah sebagai pungutan daerah di

Provinsi Banten denganundang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak

dan retribusi daerah.Disebut berpotensi sebagai sumber penerimaan daerah,

apabila substansiperda pajak dan retribusi daerah tidak bertentangan dengan

UU nomor 28 tahun 2009.

3.3.3. Analisis SWOT

Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,

peluang dan ancaman potensi PAD di Provinsi Banten, Analisis SWOT merupakan

Page 23: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

alat identifikasi perencanaan strategis untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),

kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam

suatu organisasi. Analisis SWOT merupakan diagram yang terdiri dari 4 kuadran,

yaitu :

1. Kuadran 1

Kuadran 1 menggambarkan bahwa situasi yang sangat baik karena ada

kekuatan yang dimanfaatkan untuk meraih peluang yang menguntungkan.

Strategi yang diterapkan adalah dengan mendukung kebijakan

pertumbuhan yang agresif.

2. Kuadran 2

Kuadran 2 menggambarkan situasi bahwa meskipun organisasi menghadapi

ancaman, namun ada kekuatan yang dapat diandalkan. Untuk itu organisasi

dapat menggunakan alternatif strategi 2 yakni strategi diversifikasi

atau strategi inovasi.

3. Kuadran 3

Kuadran 3 menggambarkan bahwa organisasi mengalami kelemahan dalam

berbagai hal (internal), sehingga peluang yang menguntungkan sulit

dicapai. Untuk itu strategi yang tepat digunakan adalah alternatif strategi 3

yakni perbaikan, mengubah cara pandang serta menghilangkan penyebab

masalah agarancaman dapat dihindari.

4. Kuadran 4

Kuadran 4 menggambarkan situasi organisasi sangat buruk, karena

disamping berbagai kelemahan internal timbul ancaman dari luar. Untuk itu

alternatif strategi yang digunakan alternatif 4, yaitu strategi defensif

misalnya perampingan, pengurangan atau efisiensi dalam semua bidang

kegiatan

Page 24: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

DAFTAR PUSTAKA

Alm, J dan R. Bahl., 1999, Decentralization in Indonesia : Prospect and Problems,USAID, Jakarta

Arsyad, Lincolyn, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pertumbuhan

Ekonomi Daerah,BPFE-UGM, Yogyakarta Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois, 1998, Fiscal Decentralization in

Developing Country, Cambridge University Press, United Kingdom Biro Administrasi Perekonomian dan SDA DIY (2012), “Potensi Pendapatan

Asli Daerah (PAD) DIY”, Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, UI-Press, Jakarta Devas, Nick, dkk, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-

Press, Jakarta Kaho, Josep Riwu, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik

Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta Makhfatih, Akhmaddan Chairul Agus Saptana (2010), Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah Berdasar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Penerbit Metha, Yogyakarta

Mangkoesoebroto, Guritno, 1993, Ekonomi Publik, BPFE, Yogyakarta Musgrave, Richard A dan Musgrave, peggy B., 1989, Public Finance in

Theory andPractice, McGraw-Hill, New York Riyardi, Agung, Dkk, 2000,, Studi Potensi PADS Kabupaten Sukoharjo,

Laporan penelitian kerja sama FE-UMS dan DPRD Kabupaten Sukoharjo

Rosen, Harvey, S., 1998, Public Finance, Richard D. Irwin, Illionis Sidik, M, 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah sertaImplikasinya Terhadap Pembiayaan Otonomi Daerah, laporan khusus, YayasanIndonesia Forum, Jakarta

Soeparno, 1993, Intensifikasi dan Ekstensifikasi Potensi sumber

Pendapatan DaerahDalam Pemberdayaan Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo, Badan LitbangDepdagri, Jakarta

Page 25: Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten

Spyckerelle, Luc, 2001, Perencanaan Sesuai Kewenangan,Visi Perencana vol. 1 No 1 Oktober 2001

Stiglittz, Joseph E., 1986, Economics of the Public Sector, W.W. Norton &

Company, New York Uppal, J.S., 2000, Taxation In Indonesia, Gadjahmada University Press,

Yogyakarta Yayasan Indonesia Forum, 2000, Kajian Tentang Aspek Finansial Otonomi

Daerah,Jakarta