Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten
-
Upload
nugroho-mujiraharjo -
Category
Documents
-
view
17 -
download
4
description
Transcript of Metodologi Untuk Mneghitung Pendapatan asli daerah banten
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang No.
33 tahun 2004 membawa angin segar terhadap demokratisasi dan pelaksanaan
pembangunan di daerah, yaitu adanya kewenangan yang semakin besar untuk
mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan dalam menentukan
anggaran. Implikasi positifnya, bahwa kewenangan penyusunan anggaran
program kegiatan yang aspiratif bagi masyarakat dan disesuaikan dengan potensi
yang ada.
Oleh karena itu, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah masalah
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah (APBD)
merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, yang
mempunyai posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas
pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah, maka anggaran harus
berorientasi pada kepentingan masyarakat (client centered), yang menuntut transparasi
informasi anggaran kepada publik dan termuat dalam laporan keuangan daerah
Permasalahan pokok dalam mewujudkan kemandirian pemerintah
Kota/Kabupaten, dapat dilihat dari kemampuan daerah dalam membiayai sendiri
jalannya roda pembangunan di daerahnya, atau dengan kata lain dapat dilihat dari
ratio PAD terhadap APBD. Pada umumnya menunjukkan bahwa rata-rata besarnya
kontribusi PAD terhadap APBD hanya berkisar 20%. Berbagai penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa PAD belum banyak tergali. Rendahnya penggalian
disebabkan karena (1) Sosialisasi pajak daerah (tax education) yang rendah, (2)
Sistem dan Prosedur koleksi PAD yang lemah dan (3) Estimasi PAD yang lebih
rendah dari potensi sebenarnya. (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000 ; Makhfatih,
2000).
Rendahnya edukasi pajak disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat
dalam memahami hasil pungutan dan alokasinya. Pada umumnya penerimaan
pajak dimasukkan dalam penerimaan umum. Sementara masing-masing
pungutan baik itu sifatnya pajak atau retribusi mempunyai tujuan sendiri-sendiri.
Sebagai contoh adalah Retribusi pasar mestinya digunakan sebagai “ongkos
ganti”. (user charge) pengeluaran aktivitas dalam operasional dan pengembangan
pasar. Manakala semua penerimaan pajak maupun re t r ibus i d imasukkan
da lam penerimaan umum, maka masyarakat tidak tahu aktivitas atau manfaat
dari membanyar pajak atau retribusi.
Berkait dengan potensi Penerimaan daerah, yang dimaksud dengan Potensi
penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada disuatu daerah untuk
menghasi lkan penerimaan tertentu. UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan, memberi peluang yang “lebih banyak” kepada daerah untuk menggali
potensi, sekaligus melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber
penerimaan. Melalui pendeteksian, analisis berbagi potensi yang sudah ada dan
mungkin digali maka akan diketahui bagaimana sebenarnya potensi PAD suatu
daerah tersebut. Sehingga estimasi yang jauh dari data potensi daerah dapat
d ih indarkan. Sekal igus akan memberikan modal bagi perencanaan
pengembangan dan pembangunan daerah. Pentingnya analisis potensi PAD ini
akan memberikan kontribusi dalam penyusunan anggaran, yang tidak hanya
mendasarkan target dan realisasi tahun sebelumnya namun lebih mendasarkan
pada potensi yang sesungguhnya. Dalam hal ini PAD yang dianggap cukup penting
adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Sistem target dan realisasi, kurang
menjamin untuk menunjukkan kinerja pendapatan daerah, karena pada dasarnya
sistem target realisasi hanya mendasarkan kepada kemampuan kinerja tahun
sebelumnya, kemudian dengan melakukan prediksi dengan menaikkan beberapa
persen saja untuk perencanaan atau target tahun depannya, tanpa mendasarkan
pada potensi sebenarnya.
Untuk itu dalam membuat perencanaan (target) penerimaan daerah,
terutama yang bersumber pada potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
selanjutnya bisa mengambil langkah apa, sehingga bisa meningkatkan penerimaan
dengan mengoptimalkan potensi yang ada serta menggali sumber penerimaan
baru. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah, tidak terlepas dari fungsi
penyelenggaraan keuangan. Kegiatan pengelolaan keuangan daerah sangat
penting peranannya dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah.Kebijakan pengelolaan keuangan daerah salah
satunya adalah kebijakan alokasi anggaran yang tercermin dalam struktur APBD
yang meliputi pendapatan daerah, belanja dan pembiayaan.
Banyak hal yang dapat digali dari pendapatan daerah baik dari Pendapatan
Asli Daerah, dana perimbangan dan lain – lain pendapatan yang sah. Pendapatan
Asli Daerah di Provinsi Banten masih terfokus pada pajak terutama Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) dan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB). Oleh karena itu masih dimungkinkannya sumber pendapatan lain yang
dapat digali selain dari kedua pajak tersebut. Selain pajak daerah, potensi
pendapatan daerah dapat digali dari retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Oleh karena itu kajian ini akan
menganalisis dan melakukan inventarisasi potensi PAD Provinsi Banten sebagai
dasar penyusunan rumusan strategi pemanfaatan potensi PAD guna menunjang
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Banten.
1.2. Maksud danTujuan
1.2.1. Maksud
Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengkaji potensi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka optimalisasi PAD Provinsi Banten
guna pembiayaan pembangunan
1.2.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah terwujudnya analisis dan kajian terhadap
berbagai potensi Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka
mengoptimalkan PAD Provinsi Banten
Kajian ini secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengkaji jenis-jenis potensi PAD di Provinsi Banten yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan yang belum tergali (ekstensifikasi);
2. Menginventarisasi jenis-jenis pajak daerah yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);
3. Menginventarisasi jenis-jenis retribusi daerah yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);
4. Menginventarisasi produk hukum yang bisa diimplementasikan berdasarkan
pengalaman daerah lain guna mengoptimalkan potensi PAD Provinsi Banten;
5. Menginventarisasi potensi kelembagaan dan asset SKPD pada lingkup
Pemerintah Provinsi Banten yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan
peningkatan Potensi PAD Provinsi Banten;
6. Melakukan proyeksi PAD Banten bila semua potensi bisa tergali;
7. Menyusun Rumusan Strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang
pembangunan Banten.
1.3. Manfaat Kagiatan.
Manfaat kajian ini adalah :
1. Mendapatkan rumusan strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang
pembiayaan pembangunan Provinsi Banten
2. Memberikan arah kebijakan bidang Pengelolaan Keuangan Daerah khususnya
pendapatan daerah Provinsi Banten
1.4. Lingkup Pekerjaan
Ruang lingkup kegiatan kajian ini meliputi sebagai berikut :
1. Mengkaji jenis-jenis potensi PAD di Provinsi Banten yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan yang belum tergali (ekstensifikasi);
2. Menginventarisasi jenis-jenis pajak daerah yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);
3. Menginventarisasi jenis-jenis retribusi daerah yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);
4. Menginventarisasi produk hukum yang bisa diimplementasikan berdasarkan
pengalaman (lesson learnt)daerah lain guna mengoptimalkan potensi PAD
Provinsi Banten;
5. Menginventarisasi potensi kelembagaan dan asset SKPD pada lingkup
Pemerintah Provinsi Banten yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan
peningkatan Potensi PAD Provinsi Banten;
6. Melakukan proyeksi PAD Banten bila semua potensi bisa tergali;
7. Menyusun Rumusan Strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang
pembangunan Provinsi Banten.
1.4. Output Kegiatan
Output dari kegiatan kajian ini adalah :
1. Mapping potensi PAD di Provinsi Banten
2. Bahan Rekomendasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah di Provinsi
Banten
1.5. Landasan Hukum
Landasan hukum kegiatan kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat/Daerah.
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah Negara.
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
5. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah dan Retribusi Daerah.
6. Peraturan pemerintah Nomor 65 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
7. Peraturan pemerinta Nomor 66 Tahun 2000 tentang Retribusi Daerah
8. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Dearah.
10. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman,
Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengurusan Keuangan Daerah, Tata
Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD.
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Sistem
Pengelolaan Keuangan Daerah
1.6. SistemPelaporan
Sistempelaporan hasil pelaksanaan Kajian Inventarisasi Potensi PAD
Provinsi Banten ini adalah sebagai berikut :
1. Laporan Pendahuluan
Laporan ini merupakan Laporan Pendahuluan yang berisikan pemahaman
terhadap TOR, rencana peleksanaan pekerjaan dari perispan sampai akhir
pekerjaan, serta metodologi dan sistematika penyajian yang digunakan.
2. Draft Laporan Akhir
Draft Laporan Akhir ini merupakan materi pembahasan Laporan Akhir dari
pekerjaan Kajian Inventarisasi Potensi PAD Provinsi Banten.
3. Dokumen Akhir
Laporan ini merupakan laporan final dari seluruh kegiatan pekerjaan Kajian
Inventarisasi Potensi PAD Provinsi Banten yang terlebih dahulu telah dibahas
dan telah dikoreksi berdasarkan hasil masukan pada saat pembahasan,
mencakup uraian mengenai:
a. Pendahuluan berupa uraian mengenai definisi, maksud dan tujuan, ruang
lingkup, manfaat dan organisasi penyusun pekerjaan;
b. Gambaran umum perkembangan dan jenis-jenis PAD di Provinsi Banten;
c. Analisis jenis-jenis potensi PAD di Provinsi Banten yang belum
teroptimalkan (intensifikasi) dan yang belum tergali (ekstensifikasi);
d. Analisis jenis-jenis pajak daerah yang belum teroptimalkan (intensifikasi)
dan belum tergali (ekstensifikasi);
e. Analisis jenis-jenis retaribusi daerah yang belum teroptimalkan
(intensifikasi) dan belum tergali (ekstensifikasi);
f. Analisis produk-produk hukum yang bisa diimplementasikan berdasarkan
pengalaman daerah lain guna mengoptimalkan potensi PAD Provinsi
Banten;
g. Analisis potensi kelembagaan dan asset SKPD pada lingkup Pemerintah
Provinsi Banten yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan peningkatan
Potensi PAD Provinsi Banten;
h. Analisis Proyeksi PAD Banten bila semua potensi teroptimalkan;
i. Rekomendasi Rumusan Strategi pemaanfatan potensi PAD guna menunjang
pembangunan Banten;
j. Penutup dan Kesimpulan.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1. Pembiayaan Pembangunan Daerah
Tujuan utama pembangunan suatu bangsa adalah untuk meningkatkan
kualitas kehidupan atau kemakmuran masyarakatnya. Dari pengertian ini
pembangunan mengandung banyak dimensi, karena kesejahteraan dan
kemakmuran suatu bangsa memiliki banyak indikator. Dalam paradigma
tradisional, pembangunan ekonomi (development economy) adalah usaha untuk
meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang diukur dengan peningkatan
kapasitas ekonomi suatu bangsa. Kapasitas ini diukur berdasarkan pendapatan
total bruto misalnya PDB (Produk Domestik Bruto) untuk negara dan PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto) untuk wilayah regional.
Sementara itu, dalam paradigma baru, pembangunan adalah memperbaiki
kualitas kehidupan. Paradigma baru ini memandang bahwa pembangunan yang
paling hakiki mengandung tiga nilai inti atau komponen dasar, yaitu kecukupan
(sustenance), jati diri (self esteem), dan kebebasan (freedom). Kecukupan
merupakan kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar agar
masyarakat bisa hidup layak secara fisik. Kebutuhan dasar itu meliputi pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan keamanan (World Development Report, 1994).
Pelaksanaan pembangunan tersebut, secara teknis pemerintah ataupun
pemerintah daerah harus melakukan berbagai kegiatan baik berupa pelayanan dan
pengaturan publik, penyediaaan barang dan jasa publik, penyediaan infrastruktur,
dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.Untuk kegiatan yang demikian
sudah barang tentu pemerintah memerlukan pembiayaan. Pembiayaan
pengeluaran pemerintah tidak saja untuk membiayai kegiatan teknis, namun
digunakan juga untuk instrument kebijakan ekonomi berupa instrument fiskal dan
penyediaan infrastruktur. Sebagai instrument fiskal, pengeluaran pemerintah
dilakukan untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi
permintaan.Sementara penyediaan infrastruktur bertujuan untuk mendorong
pembangunan ekonomi agar lebih produktif dan efisien.
Secara teori, terdapat beberapa sumber pembiayaan pembangunan antara
lain, pajak dan pungutan lain, keuntungan badan usaha, penjualan kekayaan
negara, utang (dalam negeri ataupun luar negeri), hibah, maupun penerimaan
lainnya. Menurut Bappenas (2013) terdapat beberapa potensi pengembangan
sumber pendanaan pembangunan di luar pajak, antara lain pinjaman luar negeri
tradisional, pinjaman dalam negeri, penebitan surat berharga, kerja sama
pemerintah dengan swasta, dan memanfaatkan dana-dana Corporate Social
Responsibility (CSR).
Selain potensi-potensi tersebut, beberapa tahun terakhir berkembang pula
berbagai inovasi pembiayaan pembangunan, terutama dalam skema internasional.
Menurut Bank Dunia (2009), saat ini sedikitnya terdapat empat mekanisme
pembiayaan pembangunan ekonomi negara, yaitu:
1. Private mechanism: private-private (swasta-swasta) yang berkembang di
pasar maupun di masyarakat sipil
2. Solidarity mechanism: sovereign-sovereign (negara-negara) yang berbentuk
multilateral dan bilateral baik berupa ODA (Official Development Agency)
dan dan bentuk-bentuk lain atau OOF (Other Official Flow)
3. PPP mechanism: pengembangan atau mobilisasi dana swasta untuk
membiayai dan mendukung layanan publik dan fungsi-fungsi publik lainnya,
seperti sovereign risk management
4. Catalytic mechanisms: dukungan pendanaan publik untuk mengembangkan
sektor swasta (inter alia untuk menurunkan risiko pasar).
Dari empat mekanisme tersebut, jika dikaitkan antara sumber dan pemakainya,
tiga mekanisme sangat tergantung pada pemerintah (official flow).
Selain potensi-potensi tersebut, masih banyak potensi-potensi lain yang
dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan. Beberapa studi menunjukkan
bahwa pembiayaan dengan metode klasik yang mengandalkan pada pajak
maupun utang tradisional, nampaknya banyak menemui kendala sehingga dalam
era modern ini ada beberapa metode pembiayaan yang dikembangkan, dimana
kebanyakan lebih mengarah pada peningkatan peranan swasta untuk membiayai
pembangunan bahkan untuk membiayai pengantisipasian gejolak perubahan ikilim
atau climate change and carbon funding (UNDP, 2012).
Meskipun sudah berkembang banyak konsep inovasi pembiayaan pe
mbangunan, namun dalam kerangka pembangunan daerah, hal ini tentu tidak
mudah diimplementasikan. Pola pembiayaan daerah harus tunduk pada peraturan
perundangan yang berlaku. Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah pasal 15, hubungan dalam bidang keuangan antara
Pemerintah dan pemerintahan daerah dan meliputi:
1. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
2. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
3. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
Hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah tersebut meliputi:
1. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan.
pemerintahan daerah kabupaten/kota;
2. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
3. pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
4. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
Sementara itu, sesuai Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 pasal 5,
pendapatan daerah harus hanya bersumber pada beberapa aspek, yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah;
2. Dana Perimbangan; dan
3. Lain-lain Pendapatan; bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Sementara PAD harus bersumber dari:
1. Pajak Daerah;
2. Retribusi Daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4. lain-lain PAD yang sah, meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Dengan kondisi tersebut, maka Pemerintah Daerah tidak memiliki fleksibilitas
untuk mengembangkan dan menerapkan sumber-sumber pembiayaan
pembangunan yang lebih inovatif seperti yang berkembang di beberapa negara.
2.2. Pengelolaan Pendapatan Daerah
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah di era otonomi yang harus
diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrument kebijakan utama bagi pemerintah daerah. APBD sebagai alat untuk
menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi penerimaan pengeluaran
daerah dimasa yang akan dating (Mardiasmo, 2004: 8).
Pelaksanaan APBD di era otonomi daerah membawa implikasi dan
konsekuensi terutama pada masalah pembiayaan, pengelolaan, dan pengawasan
keuangan daerah. Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam pelaksanaan APBD saat ini adalah bagaimana meningkatkan Pendapatan
asli Daerah (PAD) agar daerah bisa lebih mandiri, meningkatkan diskresi daerah
dan mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat
Permasalahan dalam pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang
merupakan unsur PAD yang utama adalah masih terbatasnya kemampuan daerah
dalam mengidentifikasi potensi obyek pajak dan retribusi daerah yang di miliki,
sehingga pengembangan penilaian dan penghitungan potensi penerimaan pajak
dan retribusi daerah perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka
penerimaan daerah (lokal) yang berkelanjutan.
2.3. Tolok Ukur Pajak dan Retribusi Daerah
Devas (1989), mengemukakan lima tolok ukur untuk menilai pajak daerah,
yaitu yield, equity, economic efficiency, ability to implement, dan suitability as a
local source. Kelima tolok ukur tersebut telah digunakan untuk menilai pajak
daerah di Indonesia, yang diberlakukan melalui Undang-Undang Pajak Daerah
nomor 5 tahun 1974, yaitu pajak kendaraan bermotor, pajak tontonan, pajak hotel
dan restoran, pajak lampu jalan, pajak pendaftaran perusahaan, pajak iklan, pajak
potong hewan, pajak bangsa asing, pajak radio, dan pajak kendaraan tidak
bermotor. Penggunaan ke lima tolok ukur tesebut memberikan gambaran faktual
terhadap pajak yang dinilai.
Kelima tolok ukur tersebut sangat diperlukan untuk menilai suatu pajak
daerah.Karena yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pungutan yang
dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah regional sendiri (Davey, 1988).Padahal
selalu terjadi perdebatan apakah pemerintah daerah berhak untuk mengambil
pajak atau tidak.Sebagian pendapat menyetujui pemerintah regional (pemerintah
daerah) menarik pajak dan sebagian lainnya berpendapat tidak menyetujui daerah
menarik pajak.Untuk menjembatani dua pendapat tersebut muncul berbagai
solusi.Salah satu diantaranya adalah pendapat Devas di atas, yaitu pemerintah
daerah dapat menarik pajak asalkan memenuhi kelima tolok ukur tersebut.
Arti penting dari kelima tolok ukur tersebut, juga terdapat pada penilaian
apakah suatu jenis pajak akan bertahan lama dan berkelanjutan (sustainable) atau
tidak. Dimana, „Euphoria‟ otonomi daerah pada saat ini diwujudkan oleh daerah
dalam bentuk berbagai pungutan, dikhawatirkan, pungutan baru tersebut tidak
bisa bertahan lama, sebab belum dilandaskan pada kajian ekonomi dan keuangan
yang mendalam. Pungutan baru yang diberlakukan daerah, hanyalah sekedar
letupan emosi otonomi daerah semata.Dalam perspektif seperti itulah kelima tolok
ukur tersebut sangat diperlukan.Dalam arti, suatu jenis pungutan yang tidak
memenuhi tolok ukur tersebut, nantinya pastilah hanya berlaku jangka pendek
dan sebaliknya suatu pungutan yang memenuhi kelima tolok ukur tersebut
pastilah sustainable. Misalnya saja, dikeluarkan suatu aturan mengenai pungutan
suatu pajak, namun ternyata hasilnya tidak memadai dibandingkan biaya
operasional yang telah dikeluarkan, maka secara teoritis, pajak tersebut tidak akan
bisa berlanjut, sebab apabila dilanjutkan justru membebani keuangan pemerintah
daerah Demikian juga apabila suatu pajak memberatkan biaya usaha pengusaha
dan meningkatkan pengeluaran uang masyarakat, pastilah pajak tersebut tidak
berlangsung lama.
Sebenarnya masih terdapat tolok ukur yang lainnya.Sitglitz (1986),
misalnya, mengemukakan five desirable characteristics of any tax system.Dimana,
agar suatu pajak merupakan pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat, harus
memenuhi kriteria (1)economic efficiency, (2) administrative simplicity, (3)
flexibility, (4) political responsive,dan (5) fairness. Demikian juga Musgrave and
Musgrave (1989) mengemukakan tujuh persyaratan struktur pajak yang “baik”,
berupa (1) penentuan penerimaan dengan tepat, (2) adil, (3) jelas siapa yang
harus menanggung, (4) tidak mengganggu pasar dan efisiensi, (5) tidak
menyebabkan kontraksi perekonomian, (6) adminstrasi yang baik, (7) biayanya
cukup rendah. Namun demikian, apabila diperhatikan dengan seksama, apalagi
untuk tujuan perpajakan daerah, baik yang dikemukakan oleh Devas, maupun
yang dikemukakan Stiglitz dan Musgrave & Musgrave tidak jauh berbeda.Yang
penting, apabila menggunakan istilah Tiebouts, (1956), memperhatikan kaidah
“love it or leave it”.artinya, suatu daerah, apabila menerapkan perpajakan daerah
dengan baik maka akan menyebabkan perilaku “love It” dari masyarakatnya,
artinya masyarakat akan suka tinggal di tempat tersebut. Sebaliknya, apabila
perpajakan yang diterapkan tidak mengikuti prinsip-prinsip perpajakan, pastilah
akan ada perilaku dari masyarakat berupa “leave it”, artinya penduduk tidak suka
tinggal di tempat itu, dan berpindah ke daerah lain.
2.3.1. Yield (Hasil Pemungutan Pajak dan retribusi Daerah)
Pajak daerah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi
reguleerend.Pajak yang berfungsi budgetair adalah pajak yang menghasilkan
banyak penerimaan pajak. Sedangkan pajak yang berfungsi reguleerend adalah
pajak yang tidak memperhatikan apakah hasilnya memadai atau tidak, yang
menjadi perhatian adalah kefungsian untuk mengatur suatu hal. Melihat dua
karakteristik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak yang budgetair pasti
ditarik ke pemerintah yang lebih tinggi, sedangkan daerah hanyalah diberi pajak
yang berfungsi reguleerend, dan tidak memiliki kemampuan untuk memperkuat
posisi keuangan daerah.
Namun demikian, tidak semua pajak daerah nonbudgetair.Banyak juga
pajak daerah yang budgetair. Contohnya pajak hotel dan restoran di Kabupaten
Badung Propinsi Bali merupakan kontributor terbesar bagi PAD, dimana PAD
mencapai 40% dari total penerimaan keuangan daerah (Kaho, 1997). Di berbagai
kabupaten, pajak penerangan jalan merupakan pajak dengan hasil terbesar di atas
penerimaan pajak daerah lainnya.Dengan demikian, tetap diperlukan suatu
pembahasan mengenai pajak daerah dari fungsi budgetair.
2.3.2. Equity (Keadilan Pajak dan Retribusi Daerah)
Menurut Musgrave & Musgrave (1989), arti penting keadilan terdapat pada
kenyataan bahwa setiap orang harus mendapat bagian yang layak dalam kegiatan
pemerintah yang mereka biayai sendiri. Namun sampai saat ini tidak diperoleh
kepastian mengenai apa yang dimaksud dengan bagian yang layak. Biasanya
orang menilai keadilan berdasarkan dua pendekatan, pertama adalah pendekatan
manfaat dan kedua pendekatan kemampuan membayar.Berdasarkan pendekatan
kemampuan membayar ini, dikenal istilah keadilan horizontal dan keadilan vertikal.
Adapun yang dimaksudkan keadilan horizontal menurut Devas (1988) adalah
beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi
dengan kedudukan ekonomi yang sama. Sedangkan keadilan vertikal adalah
kelompok yang memiliki sumber daya yang besar membayar lebih banyak
daripada yang memiliki sumber daya kecil.Namun, sebagai suatu catatan, menurut
Rossen, (1988), pemikiran mengenai keadilan dalam prinsip perpajakan adalah
pemikiran tradisional.Sebab prinsip keadilan dalam perpajakan daerah, bahkan
prinsip-prinsip lainnya, dapat digambarkan dalam hubungan antara pajak dengan
social welfare funtion. Dengan kata lain, sebagai ganti atas prinsip keadilan, maka
telah diintrodusir social welfare function yang dikaitkan dengan perpajakan
daerah. Artinya berapapun pajak daerah ditetapkan, asal social welfare tidak
mengalami penurunan, maka suatu penetapan pajak dikatakan tidak memiliki
masalah dalam keadilan pungutan.
2.3.3. Economic Efficiency (Efisiensi Ekonomi)
Pajak, dapat menjadi penghambat perkembangan dan pertumbuhan
perekonomian.Sebab, pajak menyerap pendapatan masyarakat, akibatnya
perputaran ekonomi yang semula berputar dengan cepat menjadi lebih
lambat.Melalui keseimbangan dan hubungan antara pendapatan dengan
pengeluaran keseluruhan, maka dapat diketahui bahwa pendapatan terbentuk dari
pengeluarankonsumsi masyarakat, pengeluaran tabungan masyarakat, dan
pengeluaran pajak. Apabila dinotasikan, sebagai berikut :
(1) Y = AE
karena (2) AE = C + S + T
sehingga ( 3) Y = C + S + T
atau(4) T = Y – (C + S)
dimana :
Y = income (pendapatan),
AE =Aggregate Expenditure (pengeluaran keseluruhan),
C = consumption (konsumsi), S = saving (tabungan), T =taxes (pajak)
Dari persamaan (4), dapat diketahui bahwa apabila pajak ditingkatkan, sedangkan
pendapatan tetap, maka konsumsi dan tabungan menurun, dengan demikian
terjadi efek kontraksi ekonomi akibat pajak.Demikian pula sebaliknya, penurunan
pajak, sedangkan pendapatan tetap, maka konsumsi dan tabungan meningkat,
dan terjadi efek ekspansi akibat pajak.
2.3.4. Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan)
Kelayakan suatu daerah untuk melaksanakan pungutan dapat diketahui dari
beberapa kriteria, yaitu apakah daerah tersebut memang daerah yang tepat untuk
suatu pajak dibayarkan, tempat memungut pajak adalah tempat akhir beban
pajak, dan pajak tidak mudah dihindari.Apabila suatu daerah memiliki ketiga
kriteria tersebut, maka daerah tersebut layak sebagai daerah pemungut pungutan
daerah. Kelayakan tersebut akan terlihat dengan kemampuan politis daerah untuk
memungut pajak dan retribusi daerah, yaitu pemungutan pajak dan retribusi
daerah didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama wajib pajak.
Selanjutnya, kemampuan secara politis akan diimplementasiikan dalam
kemampuan administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah. Hasil dari
kelayakan dan kemampuan administrasi tersebut, seharusnya terlihat dalam
hubungan antara potensi dan realisasi penerimaan pungutan daerah.Semakin
tinggi realisasi penerimaan pungutan daerah dibandingkan dengan potensi
penerimaannya, menunjukkan bahwa daerah memiliki kemampuan untuk
melaksanakan suatu pungutan. Selain itu, kemampuan suatu daerah untuk
melaksanakan suatu pungutan dapat dibandingkan kemampuan daerah lain untuk
melaksanakan pungutan tersebut. Sebab kemampuan melaksanakan tersebut
bersandar pada kelayakan daerah.Oleh karena itu, apabila suatu daerah memiliki
kelayakan memungut suatu pungutan dibandingkan daerah lain, maka seharusnya
daerah tersebut memiliki kemampuan melaksanakan suatu pungutan
dibandingkan dengan daerah lainnya.
2.3.5. Suitability to Local Source (Kesesuaian Sebagai Penerimaan
Daerah)
Yang dimaksud dengan suitability as a local source (kesesuaian pungutan
sebagai penerimaan daerah) dapat dilihat dari dua hal, pertama dibandingkan
dengan daerah yang sejenis, dan kedua dibandingkan dengan daaerah yang lebih
tinggi.Keseuaian dari hal yang pertama, yaitu kesesuaian dibandingkan dengan
daerah sejenis sebenarnya paralel dengan ability to implement (kemampuan
melaksanakan). Dengan kata lain, apabila suatu pungutan di daerah memiliki nilai
ekonomi berupa daerah tersebut mampu untuk melaksanakan pajak tersebut,
maka pada saat yang sama pungutan tersebut memiliki nilai ekonomi berupa
sesuai sebagai pungutan daerah. Dan sebaliknya, apabila suatu pungutan tidak
memiliki nilai kemampuan untuk melaksanakan, maka pada saat yang sama
daerah tersebut tidak sesuai sebagai tempat pemungutan pungutan daerah.
Adapun hal yang kedua, yaitu kesesuaian dengan daerah yang lebih tinggi, adalah
bahwa sesuai dengan berbagai kefungsian pemerintahan, setiap tingkatan
pemerintahan telah memiliki aturan mengenai pungutan yang boleh ditarik. Ada
pungutan yang bisa ditarik oleh pemerintah pusat, ada yang dapat ditarik oleh
pemerintah propinsi, dan ada pungutan yang dapat ditarik oleh pemerintah
daerah.Dan tidak diperkenankan terjadinya pemungutan dua kali atau lebih,
artinya apabila suatu pungutan telah ditarik pemerintah pusat, tidak boleh ditarik
lagi oleh pemerintah propinsi dan atau pemerintah daerah.Oleh karena itu, dapat
dipastikan, bahwa suatu pungutan pastilah sesuai dengan daerah yang lebih
tinggi, yaitu tidak mungin terjadi „rebutan‟ pemungutan pajak.
Pada saat ini, semua pajak daerah, dilihat dari sudut kemauan politik, dapat
dilaksanakan. Sebab, dalam UU nomor 22 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah,
disebutkan bahwa daerah sangat mandiri, tidak terintervensi olen pusat. Setiap
peraturan dibuat oleh daerah itu sendiri melalui legislasi DPRD setempat. Kalaupun
dalam UU nomor 18 tahun 1997 disebutkan bahwa setiap legislasi pajak dan
retribusi daerah harus mendapat izin dari menteri dalam negeri, namun sudah
banyak permintaan untuk merevisi UU nomor 18 tahun 1997 dan sudah
dituangkan dalam UU nomor 34 tahun 2000 serta UU No 28 Tahun 2009. Dengan
demikian, apabila peraturan daerah mengenai pungutan tidak bertentangan
dengan ketiga Undang-Undang tersebut, yaitu UU nomor 18 tahun 1997, Undang
undang nomor 34 tahun 2000, dan UU no 28 tahun 2009 maka peraturan daerah
tersebut disebut sesuai sebagai penerimaan daerah (suitability as a local source).
BAB III
METODOLOGI KAJIAN
Pendekatan Kajian
Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan dan kerangka pikir
seperti yang ditunjukkan pada bagan 3.1. Kegiatan ini diawali dengan preliminary
research, yang meliputi studi data dan pengembangan pemahaman permasalahan
untuk point of view dan pengembangan kajian. Dari preliminary research ini akan
diperoleh overview. Setelah itu akan dilakukan pengumpulan data untuk
mengidentifikasi dan menganalisis jenis jenis potensi PAD, dan selanjutnya
melakukan inventarisasi jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah Provinsi
Banten yang belum optimal dan tergali potensinya. Selanjutnya dilakukan
inventarisasi produk hukum yang bisa di implementasikan berdasarkan lesson
learnt daerah lain dan potensi kelembagaan serta potensi aset SKPD Provinsi
Banten. Selanjutnya dilakukan proyeksi PAD Provinsi Banten yang bisa digali
sebagai sumber pendapatan daerah pada masa yang akan datang. Dari hasil
analisis data akan dirumuskan permasalahan dan hambatan terkait potensi
penerimaan PAD di Provinsi Banten dan selanjutnya berdasarkan hasil
analisis,disusun rumusan strategi penerimaan dan pemanfaatan potensi PAD guna
menunjang pembangunan Provinsi Banten. Pendekatan kajian ditunjukkan oleh
gambar 3.1 sebagai berikut:
Gambar 3.1. Pendekatan Kajian
3.2. Data dan Sumber Data
Untuk mencapai tujuan kajian potensi PAD ini akan menggunakan data
primer maupun data sekunder. Untuk mengumpulkan data primer, kajian ini akan
menggunakan metode sbb.:
1. Wawancara dan Quesioner key person terkait potensi PAD Provinsi Banten
2. Focus Group Discussion (FGD)
3. Survei dan Observasi Langsung (direct observation).
4. Studi Laporan (library research).
Sementara itu, data sekunder akan mengambil dari beberapa penerbitan
antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pendapatan Daerah atau Dinas
Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK), Dinas perijinan, BAPPEDA
Provinsi Banten dan laporan dari berbagai studi sebelumnya, serta publikasi dari
berbagai pihak yang relevan serta lesson learnt produk hukum daerah lain.
Adapun jenis data dan sistematikanya adalah sebagai berikut:
1. Skala makro (wilayah) mencakup data pokok tentang: aspek wilayah dan
geografis,aspek kependudukan, aspek perekonomian, aspek keuangan
Rekomendasi Strategi dan Kebijakan peneimaan dan pemanfaatan PAD
Identifikasi Potensi PAD & kelembagaan serta Asset SKPD On site survey • FGD • Wawancara • Data primer dan sekunder
Get an Overview Diskusi Brainstorming Kajian data historis Kajian data sekunder • Pengembangan
modelkonsepsual
Analisis Data
Potensi PAD, Intensifikasi &ekstensifikasi pajak daerah, Intensifikasi & ekstensifikasi pajak daerah, proyeksi, lesson learnt, potensi kelembagaan dan asset SKPD
Permasalahan
Berkaitan
denganPotensi
PAD (SWOT)
Preliminary Research Studi data dan
pengembangan pemahaman permasalahan point of view
Pengembangan instrumen
daerah dan APBD,lembaga keuangan, aspek fasilitas pelayanan dan
prasarana.
2. Skala mikro (obyek kajian) mencakup data pokok tentang sumber-sumber
PAD yang meliputi data pajak daerah, data retribusi daerah, data
kekayaan/asset daerah, serta data lain-lain PAD yang sah
Kebutuhan data analisis pada kajian ini adalah data periode t-5 (data tahun
2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014)
3.3. Analisis Data
3.3.1. Analisis Kinerja Keuangan Daerah
Digunakan untuk menganalisis kinerja keuangan sehingga bisa diketahui
gambaran kinerja keuangan daerah Provinsi Banten secara komprehensif. Analisis
ini meliputi: analisis Derajat Otonomi Fiskal (DOF), Elastisitas Pendapatan Retribusi
dan Pajak Daerah terhadap PAD (PRD to PAD) dan Elastisitas Pendapatan Asli
Daerah terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PAD to PDRB), Analisis
Kontribusi, dan Analisis Rasio Kemandirian keuangan daerah.
3.3.2. Analisis Pajak dan Retribusi Daerah sebagai Sumber Pendapatan Daerah
Analisis ini dilakukan terhadap pajak dan restribusi daerah sebagai sumber
utama penerimaan PAD.Untuk setiap pajak daerah dan retribusi daerah, dilakukan
perhitungan nilai-nilai ekonominya melalui variabel hasil (yield), variabel keadilan
(equity), variabelefisiensi (economic efficiency), kemampuan melaksanakan (ability
to implement), dan kesesuaian sebagai penerimaan daerah (suitability as a local
source), dan diakhiri dengan analisis potensi dengan mengunakan matrik potensi.
Setiap pajak dan retribusi diberi nilai antara –2, -1, +1 dan +2, didasarkan
atas besaran hasil (yield), keadilan (equity), efisiensi (economic efficiency),
kemampuan melaksanakan (ability to implement), dan kesesuaian Sebagai
penerimaan daerah (suitability as a local source).Nilai –2 menunjukkan bahwa
suatu pungutan pajak dan retribusi sangat tidak berpotensi, sedangkan nilai –1
menunjukkan tidak berpotensi, nilai +1 menunjukkan berpotensi, sedangkan nilai
+2 menunjukkan sangat berpotensi. Analisis dilakukan terhadap 4 variabel sebagai
berikut:
1. Variabel hasil (yield).
Untuk mendapatkan nilai –2 hingga +2 , dilihat dari tiga hal, yaitu (1) rata-
rata realisasi penerimaan suatu jenis pajak atau retribusi daerah tahun 2010
hingga 2014 dibandingkan dengan rata-rata realisasi penerimaan seluruh
pajak daerah atau retribusi daerah tahun 2010 hingga 2014. (2) elastisitas
realisasi penerimaan suatu jenis pajak tahun 2010 hingga 2014 dibandingkan
dengan keseluruhan penerimaan PAD pada tahun yang sama Apabila rata-rata
realisasi lebih besar dari pajak atau retribusi lain dan pada saat yang sama
elastis terhadap PAD, maka pajak dan retribusi tersebut dikatakan sangat
berpotensi (+2). Namun bila tidak elastis terhadap PAD, tetapi rata-rata
realisasinya lebih besar dibanding pajak dan retribusi lain berarti berpotensi
(+1). Sebaliknya bila lebih rata-rata lebih kecil dari jenis pajak datau retribusi
lain namun elastis, maka dikatakan tidak berpotensi (-1), dan bila pada saat
yang sama, lebih kecil dan tidak elastis, maka disebut sangat tidak berpotensi
(-2).
2. Variabel keadilan (equity).
Perhitungan equity (potensi keadilan) diproksi dengan menghitung elastisitas
PDRB terhadap PAD, jika hasilnya positif, maka jenis pajak daerah atau
retribusi daerah tersebut adalah potensial, jika nilainya negatif maka jenis
pajak atau retribusi daerah tersebut dikategorikan tidak potensial.Pendekatan
keadilan ini juga dapat di proksi dengan menganalisis tingkat pertumbuhan,
jika suatu jenis pajak daerah atau retribusi daerah selalu mengalami
pertumbuhan maka jenis pajak daerah atau retribusi daerah tersebut
memenuhi syarat keadilan (equity).
3. Variabel efisiensi(economic efficiency)
Sebenarnya ukuran efisiensi setiap pajak dan retribusidigunakan dengan
menghitung perbandingan antara biaya pajak dan retribusi dengan total cost.
Namun karena keterbatasan data mengenai biaya pemungutan pajak, variabel
efisiensi dihitung dengan pendekatan elastisitas PAD terhadap PDRB, jika nilai
elastisitas positif maka jenis pajak daerah atau retribusi daerah tersebut
adalah efisien, sedangkan jika nilai elastisitas negatif maka jenis pajak daerah
atau retribusi daerah tersebut tidak efisien.
2. Variabel Kemampuan Daerah untuk Melaksanakan (Ability to implement),
Variabel kemampuan daerah digunakan dua perbandingan yaitu (1) rata-rata
perbandingan antara target dan realisasi penerimaan pajak dan retribusi
selama 2010 hingga tahun 2014 dan (2) Perbandingan target dan realisasi
antara suatu jenis pajak dengan keseluruhan penerimaan pajak. Dimana
disebut sangat berpotensi (+2) untuk dilaksanakan apabila rata-rata
perbandingan antara target dan realisasi di atas 110% dan lebih tinggi di
bandingkan dengan perbandingan target dan realisasisemua penerimaan
pajak. Dikatakan berpotensi (+1) apabila perbandingan target dan realisasi
penerimaan pajak dan retribusi daerah antara 100% hingga 110% dan pada
saat yang sama lebih tinggi di bandingkan dengan rata-rata perbandingan
target dan realisasi penerimaan semua jenis pajak. Dikatakan tidak berpotensi
(-1) apabila perbandingan antara target dengan realisasi penerimaan pajak
dan retribusi daerah di bawah 100% dan pada saat yang sama lebih tinggi di
bandingkan dengan perbandingan target danpenerimaan semua jenis pajak.
Dan dikatakan sangat tidak berpotensi (-2) apabila perbandingan antara target
dengan realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah di bawah 100% dan
pada saat yang sama lebih rendah di bandingkan dengan ratarata
perbandingan target dan realisasi semua penerimaan jenis pajak dan retribusi
daerah.
5. Variabel Kecocokan Sebagai Sumber Penerimaan Daerah (suitability as a local
source)
Digunakan alat analisis berupa perbandingan antara peraturan daerahyang
menetapkan suatu pajak dan retribusi daerah sebagai pungutan daerah di
Provinsi Banten denganundang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak
dan retribusi daerah.Disebut berpotensi sebagai sumber penerimaan daerah,
apabila substansiperda pajak dan retribusi daerah tidak bertentangan dengan
UU nomor 28 tahun 2009.
3.3.3. Analisis SWOT
Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman potensi PAD di Provinsi Banten, Analisis SWOT merupakan
alat identifikasi perencanaan strategis untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam
suatu organisasi. Analisis SWOT merupakan diagram yang terdiri dari 4 kuadran,
yaitu :
1. Kuadran 1
Kuadran 1 menggambarkan bahwa situasi yang sangat baik karena ada
kekuatan yang dimanfaatkan untuk meraih peluang yang menguntungkan.
Strategi yang diterapkan adalah dengan mendukung kebijakan
pertumbuhan yang agresif.
2. Kuadran 2
Kuadran 2 menggambarkan situasi bahwa meskipun organisasi menghadapi
ancaman, namun ada kekuatan yang dapat diandalkan. Untuk itu organisasi
dapat menggunakan alternatif strategi 2 yakni strategi diversifikasi
atau strategi inovasi.
3. Kuadran 3
Kuadran 3 menggambarkan bahwa organisasi mengalami kelemahan dalam
berbagai hal (internal), sehingga peluang yang menguntungkan sulit
dicapai. Untuk itu strategi yang tepat digunakan adalah alternatif strategi 3
yakni perbaikan, mengubah cara pandang serta menghilangkan penyebab
masalah agarancaman dapat dihindari.
4. Kuadran 4
Kuadran 4 menggambarkan situasi organisasi sangat buruk, karena
disamping berbagai kelemahan internal timbul ancaman dari luar. Untuk itu
alternatif strategi yang digunakan alternatif 4, yaitu strategi defensif
misalnya perampingan, pengurangan atau efisiensi dalam semua bidang
kegiatan
DAFTAR PUSTAKA
Alm, J dan R. Bahl., 1999, Decentralization in Indonesia : Prospect and Problems,USAID, Jakarta
Arsyad, Lincolyn, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pertumbuhan
Ekonomi Daerah,BPFE-UGM, Yogyakarta Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois, 1998, Fiscal Decentralization in
Developing Country, Cambridge University Press, United Kingdom Biro Administrasi Perekonomian dan SDA DIY (2012), “Potensi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) DIY”, Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, UI-Press, Jakarta Devas, Nick, dkk, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-
Press, Jakarta Kaho, Josep Riwu, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta Makhfatih, Akhmaddan Chairul Agus Saptana (2010), Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Berdasar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Penerbit Metha, Yogyakarta
Mangkoesoebroto, Guritno, 1993, Ekonomi Publik, BPFE, Yogyakarta Musgrave, Richard A dan Musgrave, peggy B., 1989, Public Finance in
Theory andPractice, McGraw-Hill, New York Riyardi, Agung, Dkk, 2000,, Studi Potensi PADS Kabupaten Sukoharjo,
Laporan penelitian kerja sama FE-UMS dan DPRD Kabupaten Sukoharjo
Rosen, Harvey, S., 1998, Public Finance, Richard D. Irwin, Illionis Sidik, M, 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah sertaImplikasinya Terhadap Pembiayaan Otonomi Daerah, laporan khusus, YayasanIndonesia Forum, Jakarta
Soeparno, 1993, Intensifikasi dan Ekstensifikasi Potensi sumber
Pendapatan DaerahDalam Pemberdayaan Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo, Badan LitbangDepdagri, Jakarta
Spyckerelle, Luc, 2001, Perencanaan Sesuai Kewenangan,Visi Perencana vol. 1 No 1 Oktober 2001
Stiglittz, Joseph E., 1986, Economics of the Public Sector, W.W. Norton &
Company, New York Uppal, J.S., 2000, Taxation In Indonesia, Gadjahmada University Press,
Yogyakarta Yayasan Indonesia Forum, 2000, Kajian Tentang Aspek Finansial Otonomi
Daerah,Jakarta