Metodologi Studi Islam Auto Saved)

31
LAPIS BARU STUDI ISLAM DI INDONESIA Oleh : Muh. Afifuddin, SHI* Seorang kawan menulis dalam jejaring sosialnya, arep maju sitik kok di gondeli..Susah memang bersikap progresif di tengah masyarakat tradisionalis, modernitas dituduh merubah tamtanan. Ada hal yang sangat mengusik, jika kita cermati dari apa yang disampaikan oleh kawan tersebut. Sebuah gambaran bagaimana masyarakat melihat sesuatu yang baru hampir selalu dengan dengan pandangan penuh kecurigaan. Lebih- lebih masyarakat muslim tradisional yang masih menganggap tabu sebuah pembaharuan pemikiran. Rupanya masyarakat muslim pada umumnya masih mengalami trauma masa lalu, masa dimana masyarakat muslim di belahan dunia secara keseluruhan mengalami kolonialisasi oleh barat selama beberapa abad. Secara historis, kebudayaan Barat-Kristen mekar lebih dahulu selama 7 abad, baru kemudian disusul oleh munculnya Islam. Namun dalam perjalanan sejarah berikutnya, perkembangan saudara kandung yang baru lahir tersebut lebih cepat, bahkan sampai dapat merontokkan imperium Romawi dan Persia yang telah berjasa sebelumnya. Setelah 7 abad perkembangan Islam, saudara kandung yang lebih tua umurnya tidak mau kalah. Runtuhnya kerajaan Islam Spanyol adalah dimulainya babak rivalitas yang baru. Kemudian disusul dengan 1

Transcript of Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Page 1: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

LAPIS BARU STUDI ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Muh. Afifuddin, SHI*

Seorang kawan menulis dalam jejaring sosialnya, arep maju sitik kok di

gondeli..Susah memang bersikap progresif di tengah masyarakat tradisionalis,

modernitas dituduh merubah tamtanan. Ada hal yang sangat mengusik, jika kita

cermati dari apa yang disampaikan oleh kawan tersebut. Sebuah gambaran

bagaimana masyarakat melihat sesuatu yang baru hampir selalu dengan dengan

pandangan penuh kecurigaan. Lebih-lebih masyarakat muslim tradisional yang

masih menganggap tabu sebuah pembaharuan pemikiran.

Rupanya masyarakat muslim pada umumnya masih mengalami trauma masa lalu,

masa dimana masyarakat muslim di belahan dunia secara keseluruhan mengalami

kolonialisasi oleh barat selama beberapa abad.

Secara historis, kebudayaan Barat-Kristen mekar lebih dahulu selama 7 abad, baru

kemudian disusul oleh munculnya Islam. Namun dalam perjalanan sejarah

berikutnya, perkembangan saudara kandung yang baru lahir tersebut lebih cepat,

bahkan sampai dapat merontokkan imperium Romawi dan Persia yang telah

berjasa sebelumnya. Setelah 7 abad perkembangan Islam, saudara kandung yang

lebih tua umurnya tidak mau kalah. Runtuhnya kerajaan Islam Spanyol adalah

dimulainya babak rivalitas yang baru. Kemudian disusul dengan periode

imperalisme-kolonialisme. Abad kolonialisme-imperalisme berjalan hampir 4 atau

5 abad.1

Empat jawaban Islam atas kolonialisme membentuk fondasi dari apa yang banyak

kita lihat hari ini : perlawanan dan peperangan, penarikan diri dan non kooperasi,

sekularisasi dan westernisasi dan modernisasi Islam.2 Kelompok yang melawan

berupaya mengikuti teladan Nabi saw, berhijrah dari wilayah yang tidak lagi

1*Mahasiswa MSI UII Yogyakarta Konsentrasi Ekonomi Islam Pengajar di PP Anwar Futuhiyyah Yogyakarta Kepala Madrasah Ibtidaiyyah Terpadu Qurrota A’yun Sleman Ketua Program Pendidikan Kesetaraan C Anwar Futuhiyyah Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta, Pustaka Pelajar , 2004, hlm 199-2002 John L. Esposito, Unholy War terror atas nama Islam. Yogyakarta, Ikon Teralitera 2003, hlm 94

1

Page 2: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

dibawah aturan Islam dan berjihad guna membela agama dan negeri-negeri Islam.

Meskipun demikian, Melakukan hijrah dengan jumlah orang yang besar bukanlah

langkah yang praktis. Bagi kebanyakan pemimpin Islam langkah yang praktis

adalah menolak untuk bersepakat dengan tuan-tuan penjajah yang baru, menjauhi

perusahaan-perusahaan, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga mereka.

Yang lainnya berpikir keberlangsungan hidup mereka tergantung pada mengikuti

Eropa. Mereka beranggapan Islam adalah sumber kemunduran dan tidak

mempunyai kapasitas untuk memenuhi keperluan-keperluan kehidupan modern.

Dengan demikian mereka pun membela program modernisasi yang diambil

mentah-mentah dari model politik, social, dan perubahan hukum barat.

Respon keempat adalah modernisme Islam, berupaya menjembatai jurang

pemisah antara kelompok muslim tradisional dengan sekulerisme Barat.

Modernisme merupakan keberhasilan sekaligus kegagalan, menampilkan

ambivalensi. Membangunkan kembali kesadaran atas kejayaan masa silam,

berargumen bahwa ada kesesuaian antara Islam dengan reformasi modern, dan

membedakan antara gagasan-gagasan dan teknologi barat dengan imperialism

barat. Kaum reformis menawarkan sebuah alternatif islami baik menolak maupun

menyerap tanpa sikap kritis terhadap barat. Gerakan intelektual kaum modernis

tidak menghasilkan langkah lanjutnya guna mengembangkan dan

mengimplementasikan ide-ide mereka secara terus menerus. Pada tahun 1970an

dan 1980an, para sarjana muslim maupun non muslim yang menulis tentang Islam

dan modernitas atau reformasi Islam pada umumnya akan menunjuk Muhammad

Aduh yang wafat pada tahun 1905 dan Muhammad Iqbal yang wafat pada tahun

1938. Sementara peran dan warisan mereka penting, fakta bahwa mereka telah

wafat selama beberapa dasawarsa tampaknya sebagai uraian yang diucapkan

mengenai kegagalan modernisasi Islam dalam mengilhami para pemimpin baru

dan mencari sandaran di tengah-tengah komunitas yang lebih luas. Hari ini istilah

“salafi” yang dulunya digunakan untuk menunjuk gerakan modernis Islam

2

Page 3: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Muhammad Abduh dengan penekanannya pada modernisme rasional , malah

diterapkan pada beberapa kelompok anti barat yang paling ekstrim.3

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Kebenaran agama menurut keyakinan para pemeluknya adalah sesuatu yang

mutlak, sekalipun penafsiran terhadapnya adalah relatif. Sebab relativisme

merupakan sesuatu yang inheren dalam konstruksi fitri manusia. Adapun

kebenaran ilmu tidak pernah mencapai sesuatu yang mutlak, karena hal ini juga

bertaut rapat dengan relativisme manusia yang dikungkung oleh ruang dan waktu.

Ilmu hanyalah berusaha menjawab pertanyaan “apa” dan “bagaimana”, sementara

persoalan “apa yang seharusnya” berada di luar domain ilmu pengetahuan, bahkan

di luar domain filsafat. Untuk pertanyaan terakhir ini, etika, moral, dan terutama

agama menawarkan diri untuk memberi jawaban.4

Untuk meneliti posisi ilmu pengetahuan dalam Islam, kita harus menelusurinya

dalam Al Quran dan Sunnah Nabi sebagai sumber autentik agama terakhir ini.

Tentang kedudukan ilmu dalam Islam, artikel Fazlurrahman “ Islamization of

knowledge : a response” pada tahun 1988, terdapat beberapa butir yang relevan

untuk disimak. Bahwa ilmu teramat penting bagi manusia, pada saat tuhan

menciptakan Adam, tuhan memberinya ilmu. Ilmu sama pentingnya dengan

eksistensi manusia itu sendiri. Sekiranya manusia memiliki eksistensi tanpa ilmu,

keberadaanya tidak banyak artinya, tidak akan berbeda dengan mahluk yang lain.

Ada dimensi lain yang dari manusia yang perlu dilihat, karena kapasitasnya yang

diberi ilmu (‘aql) manusia melalui kreativitasnya dapat menemukan ilmu

pengetahuan. Proses ini telah berlangsung selama berabad-abad.5

William J. Goode dan Paul K. Hatt, guru besar pada jurusan sosiologi dari

Columbia university dan Northwestern University, mendefinisikan ilmu sebagai

3 Ibid, hlm 94-974 Syafii Maarif, Mencari autentisitas dalam kegalauan, Jakarta, PSAP, 2004, hlm 125 Ibid, hlm 13-14

3

Page 4: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

kumpulan pengetahuan yang terorganisir secara sistematik. William J. Goode dan

Paul K. Hatt melanjutkan, definisi demikian dapat dikatakan memadai hanya

kalau kata-kata “pengetahuan” dan “sistematik” didefinisikan secara benar. Sebab

kalau tidak demikian “pengetahuan teologis” yang disusun secara sistematis,

dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Padahal

pengetahuan-pengetahuan teologis betapapun sistematiknya, tetap deduktif dan

bersumber dari aksioma-aksioma kewahyuan, sedangkan ilmu pengetahuan alam

bersifat induktif dan bersumber dari pengalaman empirik.6

Ilmu memang bertujuan untuk menemukan sesuatu, ilmu adalah usaha untuk,

melelui observasi, dan penalaran yang didasarkan atasnya, menemukan, pertama,

fakta-fakta tertentu tentang dunia, kemudian tentang hokum-hukum yang

menghubungkan fakta satu dengan yang lain dan memungkinkanya untuk

meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang.7

Islam seringkali diartikan sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada

Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.8

Islam dapat dipahami dari beberapa sudut pandang, definisi di atas lebih

menjelaskan Islam sebagai sebuah agama. Apakah definisi agama? Agama

diartikan sebagai kepercayaan kepada tuhan atau dewa serta dengan ajaran dan

kewajiban yang bertalian dengan itu. Atau juga diartikan percaya pada suatu

kekuatan atau kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan manusia untuk ditaati

dan di sembah sembagai sang pencipta dan penguasa alam semesta, ekspresi

kepercayaan ini dalam perbuatan dan ritual. Percaya pada satu tuhan adalah

monoteis, percaya pada banyak tuhan adalah politeis. Fenomena monoteis dan

politeis telah ada sejak ribuan tahun yang lalu.9

6 Atho Mudzhar DR. H. M, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm 34 7 Syafii maarif, Perjumpaan Ilmu, Agama dan Kebudayaan, dalam Mencari autentisitas dalam kegalauan, hlm 248 Atho Mudzhar, hlm 199 Syafii Maarif, Perjumpaan Ilmu, Agama dan Kebudayaan, dalam Mencari autentisitas dalam kegalauan, hlm 25 lihat juga Karen Amstrong The Great Transformation, Awal sejarah Tuhan, Yuliani liputo (terj), Jakarta, Mizan 2007

4

Page 5: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Agama memang mengikat manusia agar tidak melangkahi moral transendetal

yang dapat menjerumuskannya ke dalam malapetaka moral atau fiskal. Agama

menjadi wasit dalam mengawasi perangai manusia, baik dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.10

Menurut sejarah, agama muncul lebih awal dan ilmu berkembang dari agama,

ilmu tidak pernah menghapuskan agama. Namun dalam masalah-masalah praksis

sosial, ekonomi, politik, dan budaya agama memerlukan ilmu. Tanpa bantuan

ilmu dan aplikasinya berupa teknologi, pesan-pesan kemanusiaan agama sulit

dibumikan.11

ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI DAN PENELITIAN

Sebagaimana telah disebutkan diatas, agama bagi pemeluknya merupakan sesuatu

yang mutlak, yang berasal dari wahyu. Mungkinkah kita meneliti agama, apalagi

Islam, oleh orang Islam? Tentu saja, agama dapat dan boleh diteliti.

Menurut pengamatan Prof. M. Arkoun, guru besar Islamic tought di Sorbon

Perancis, sejak abad ke 12 sampai abad ke 19, bahkan sampai sekarang terjadi

proses apa yang ia namakan dengan “taqdis al afkar al diniy” (Pensakralan

pemikiran keagamaan), sehingga pemikiran keagamaan muslim seolah-olah taken

for granted dan ghairu qabilin li al niqash serta immune untuk dikaji secara kritis

historis ilmiyyah.12

Istilah “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan”, sampai sekarang masih

belum diberi batas yang jelas. Yang pertama lebih menekankan pada materi

agama, sehingga sasarannya pada ketiga elemen pokok yaitu : ritus, mitos, dan

magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau sistem

keagamaan. Atau sebagaimana yang dikemukakan Middleton, sasaran penelitian

agama adalah “agama sebagai doktrin”, sedangkan sasaran “penelitian

keagamaan” adalah “agama sebagai gejala sosial” dan lebih bersifat budaya.13

10 Ibid, hlm 2611 Ibid, hlm 2712 Amin Abdullah, DR. M, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hlm 10813 Atho Mudzhar DR. H. M, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm 35-36

5

Page 6: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Terdapat lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan. Pertama, scripture,

naskah-naskah sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut

atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para

penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti

shalat, haji, puasa perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid,

gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan

tempat para penganut agama berkumpul seperti Nahdlatul Ulama,

Muhammadiyah, Gereja Katolik, dan lain-lain.

Pembedaan “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan” diperlukan karena

terkait dengan metode penelitian yang dilakukan. Untuk “penelitian agama”

sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu pengembangan metodologi

penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah pernah dirintis. Adanya ilmu

Ushul Fikih sebagai metode mengistimbatkan hokum dalam agama Islam, dan

ilmu Mustholah Hadits sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan

sabda-sabda Nabi Muhammad saw, merupakan bukti untuk mengembangkan

metodologi penelitian sendiri, meskipun ada perdebatan di kalangan para ahli

tentang setuju atau tidaknya terhadap materi ilmu tersebut. Persoalannya apakah

kita hendak menyempurnakannya? Atau meniadakannya sama sekali? Ataukah

tidak mengganti sama sekali dan membiarkannya.14

Untuk “penelitian keagamaan’ yang sasarannya adalah agama sebagai gejala

sosial, tidak perlulah membuat metodologi penelitian tersendiri. Penelitian ini

cukup meminjam penelitian yang sudah ada. Memang kemungkinan lahirnya

suatu ilmu tidak pernah tertutup, tetapi tujuan peniadaanya agar sesuatu ilmu

jangan dibuat artificial karena semangat yang berlebihan. Namun, meletakkan

agama sebagai sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang diteliti itu

adalah hasil kreasi manusia, sebagian agama tetap diyakini sebagai wahyu dari

tuhan. Yang dimaksudkan, bahwa pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan

penilitian yang lazim dilakukan dalam penelitian budaya.15

14 Ibid, hlm 3715 Ibid, hlm 38-39

6

Page 7: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Islam adalah agama yang komplek dan luas. Islam tidak hanya persoalan fikih,

tapi juga persoalan ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, pemikiran, ekonomi,

politik, pendidikan dan lainnya. Itu sebabnya upaya untuk memahami Islam tidak

bisa hanya dilakukan dari satu aspek saja. Setiap aspek perlu dikaji dengan

metode yang tepat. Mempelajari Islam dalam konteks kehidupan modern bagaikan

melihat benda dalam ruangan gelap. Keempat sisi ruangan masing-masing

memiliki pintu. Masing-masing pintu memiliki lubang kunci. Penglihatan

seseorang tentang islam sesungguhnya merupakan hasil intipan dari salah satu

lubang kunci. Bisa dipastikan hasil pandangan satu orang dengan orang yang lain

berbeda, tergantung dari lubang kunci sebelah mana dia melihat.16

METODE VS METODOLOGI

Sering terdengar pertanyaan, apa sesungguhnya perbedaan antara metodologi dan

metode. Keduanya memang berbeda, metodologi berasal dari tiga kata yunani,

meta, hetodos, dan logos. Meta berarti menuju, melalui, dan megikuti. Hetodos

berarti jalan atau cara. Maka kata methodos berarti jalan atau cara yang harus

dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praktis dan

sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi

karena sudah bersifat aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa

mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena

itu sudah tidak diperdebatkan lagi, karena sudah disepakati oleh komunitas

ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut.17

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti

“studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu metodologi tidak lagi hanya

sekumpulan cara yang sudah diterima tetapi berupa kajian tentang metode.18

Bila demikian, terkait dengan studi Islam, mana yang benar? Metode atau

metodologi? Kedua-duanya benar, tergantung maksud dan tujuan penggunaan itu.

Istilah Metodologi Studi Islam digunakan ketika seseorang ingin membahas

16 Muhyar Fanani, DR. Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm xviii-xix17 Ibid, viii-ix18 Ibid, hlm ix

7

Page 8: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

kajian-kajian seputar ragam metode yang bisa digunakan dalam dalam studi

Islam.19

Selain pertanyaan sekitar metode dan metodologi, terdapat pertanyaan seputar

perbedaan antara metode dan pendekatan. Metode merupakan cara mengerjakan

sesuatu sedangkan pendekatan merupakan cara memperlakukan sesuatu.

Perbedaan antara keduanya hanya terbatas pada cara memperlakukan objek.

Metode cenderung menganggap sebuah objek adalah sebuah entitas yang pasif.

Sedangkan pendekatan cenderung menganggap objek sebagai sesuatu yang aktif. 20

Terdapat satu hal lagi yang penting tatkala seseorang mempelajari Islam, yaitu

kajian pada agama Islam, tidak boleh didasarkan atas praanggapan. Rasa simpati

bahkan empati seseorang akan Islam sangat dibutuhkan agar hasil kajian valid.

Pendekatan yang sinis dan antipati akan menghasilkan produk yang tidak valid.

Memang atas nama kebebasan akademik, sebagian pakar keberatan bila simpati

dan empati dimasukkan dalam studi droktriner karena hanya akan mengganggu

objektifitas ilmiah. Namun kajian-kajian kontemporer atas ilmu-ilmu sosial

menunjukkan bahwa untuk menguak rasa, suasana batin sebauh agama, maka

simpati dan empati mutlak dilakukan.21

STUDI ISLAM DALAM LINTASAM SEJARAH

Secara historis faktual, umat Islam pernah ada di Spanyol selama 7 abad. Sejarah

juga mencatat bahwa umat Islam pernah menggeser dominasi kekuatan imperium

Persia maupun Romawi. Bahkan kerajaan Turki Utsmani pernah pula masuk ke

pintu gerbang Wina dan dipukul mundur pada tahun 1683.

Cukup beralasan, jika kemudian dunia Barat memendam rasa ingin tahu, mengapa

saudara kandung yang lebih muda usianya 7 abad dapat memperoleh simpati

masyarakat dunia dalam tempo yang cukup relatif singkat. Sebelum wilayah Islam

merambah ke wilayah yang begitu luas, umat sebenarnya pernah secara intensif

19 Ibid, hlm ix-x20 Ibid, hlm xxiii21 Ibid, hlm xx

8

Page 9: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

berhubungan dengan Barat. Gerakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan

Yunani pernah dilakukan umat Islam secara besar-besaran. Pendeknya,

kebudayaan Islam saat itu sekaligus bertindak sebagai perantara antara

kebudayaan Yunani kuno dan peradaban ilmu pengetahuan modern. Namun justru

fungsi inilah yang hendak dilupakan oleh sejarah, lantaran kesalahfahaman orang

kan makna literatur Yunani ikut memberi andil yang cukup besar dalam

pembentukan peradaban baru Islam dalam era kerajaan Abbasiah.22

Sejarah kolonialisme-imperalisme, yang dimulai abad 16 hingga pertengahan

abad 20, telah merubah peta umat Islam secara drastis. Sudah tentu, kekuasaan

dan dominasi Barat atas dunia Islam bukannya tidak diawali dengan keringat.

Sejak usainya perang salib, Barat secara terus menerus mempelajari peta kekuatan

umat Islam, terutama dalam keunggulan dan kelemahannya dalam segala aspek

kehidupan.23

Sistem-sistem pengetahuan Barat24 pada masa-masa ini memang digunakan

sebagai alat analisis untuk kepentingan kolonialisme dan imperalisme. Akan tetapi

ketika kolonialisme yang memayungi lenyap, justru sistem pengetahuan barat

semakin terlembaga. Dengan otoritas akademis dan literatur yang berwibawa

sistem pengetahuan barat menjadi suatu “objektifitas ilmiah” dalam melihat

Islam.25

Tetapi terlepas dari objektivitas yang diklaim oleh para Orientalis tersebut,

orientalisme memang sempat menyudutkan umat Islam dari berbagai aspek. Dan

lagi-lagi lantaran ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, maka mereka pun dalam

kajian orientalisme ini mempunyai kepentingan. Untuk motif-motif menjaga

status quo budaya Barat yang lagi menguasai dunia, mereka membikin publik

opini bahwa kebudayaan yang paling unggul adalah kebudayaan barat (termasuk

ilmu pengetahuannya). Mereka menganggap bahwa budaya timur begitu

22 Amin Abdullah, hlm 20123 Ibid, hlm 20324 Atau yang biasa disebut dengan orientalisme25 http://abahmarasakti.wordpress.com/2010/01/11/pendekatan-studi-wilayah-dalam-studi-islam/ lihat juga Muhaimin Prof. DR., dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, hlm 2

9

Page 10: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

rendahnya sehingga tidak dapat diperhitungkan sama sekali dari percaturan sosial

budaya yang ada.26

Hingga sekarang, barat dalam strategi neoimperalismenya, selalu melihat dan

memandang Islam modern hanya lewat sudut pandang politik saja. Mereka tidak

begitu peduli dengan kenyataan empiris bahwa umat Islam memiliki pengalaman

serta sistem kehidupan yang mapan sejak 1400 tahun yang lalu. Dalam goncangan

model budaya apapun umat Islam masih mempunyai way of life yang secara

relative masih kokoh seperti semula. Umat Islam masih memiliki kesadaran

kolektif yang tinggi, matang dan falasafah hidup yang mantap.27

STUDI ISLAM DI INDONESIA

Sangat menarik jika kita mengamati perkembangan studi agama (khususnya

Islam) di Indonesia. Berbagai jurnal, banyak diantaranya memang tidak di tujukan

untuk “studi agama” ikut memuat dan mengangkat isu keagamaan. Fenomena ini

sangat positif, paling tidak untuk mengimbangi warna pemikiran keagamaan yang

bersifat teologis-partikularistik.28

Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagamaan,

yang antara lain disebabkan oleh transparansi sekat-sekat budaya sebagai akibat

luapan arus informasi dalam era ilmu dan teknologi, masyarakat Indonesia pada

khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, membutuhkan masukan dari

kajian-kajian yang segar dan tidak lagi melulu bersifat “teologis-normatif”, tetapi

juga menginginkan masukan-masukan dari kajian yang bersifat kritis historis.29

Saat ini umat Islam masih berada dalam posisi pinggiran (marginal), dan lemah

dalam segala bidang kehidupan sosial agama. Dalam kondisi ini, umat Islam harus

bisa melakukan gerakan pemikiran yang dapat menghasilkan konsep pemikiran

yang cemerlang dan operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan

kemajuan tersebut. Umat Islam jangan sampai terjebak dalam romantisme, dalam

arti menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu sebagaimana

26 Amin Abdullah, hlm 207-208 27 Ibid, hlm 20828Ibid, hlm 329 Ibid, hlm 4

10

Page 11: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

terwujud dalam sejarah Islam, sementara umat Islam saat ini masih silau dalam

mengahadapi masa depannya.30

Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah menghadapi krisis yang

akut. Banyak problem kemanusiaan yang tidak mampu disentuh oleh-oleh ilmu

keislaman akibat terlalu banyaknya anomaly-anomali yang dimilikinya. Sebut saja

kasus korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai kasus pembunuhan sadis yang

merupakan bukti atas ketidak berdayaan ilmu akhlak dan ilmu fikih dalam

memandu masyarakat agar berperilaku taat terhadap norma susila dan norma

hukum. Dengan kata lain, bagaimana agar ketentuan hukum yang mulia itu

mampu diperlakukan secara bijak dalam masyarakat dengan tetap mengikuti

aturan main konstitusi modern yang diterima oleh seluruh masyarakat masih

merupakan problem yang belum teratasi.31

Jika dalam posisi problematis ini, umat Islam hanya berpegang teguh pada ajaran-

ajaran Islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang merupakan warisan doktriner

turun-temurun dan dianggapnya sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan

sudah paten, serta tidak ada keberanian untuk memikirkan ulang, maka berarti

mereka mengalami kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan

menghadapi masa depan yang suram.32

Secara umum, sebagian muslim dalam mengahadapi modernisme33 dapat

dikelompokkan dalam kedalam dua ide besar modernisasi yaitu “modernisasi

Islam” dan yang kedua “Islamisasi modernitas”.34

30 Muhaimin, Prof. DR. dkk, Kawasan dan wawasan studi Islam, Jakarta, Prenada Media, 2007, hlm 3-431 Muhyar Fanani, hlm 1-2, sebagaimana contoh yang dikemukan oleh DR. Atho Mudzhar tentang permasalahan adanya usul agar pabrik beroprasi selama 24 jam tanpa henti. Sementara shalat jum’at yang konvensional dikerjakan di satu tempat hanya satu kali. Kalau pabrik harus berhenti selama shalat jum’at akan menimbulkan kerugian atau mengurangi produktifitas. Pertanyaannya bagaimana kalau shalat jum’at dilakukan secara bergiliran. Misalnya ada karyawan yang shalat jam 12.00 WIB dan ada yang jam 12.30 WIB. Dengan demikian pabrik akan terus beroprasi terus menerus. Kalau shalat jum’at tersebut kita jawab tidak boleh, kita berarti berpendapat islam tidak mengakomodir industri. (lihat Atho Mudzhar, hlm 17). 32 Muhaimin, Prof. DR. dkk, Kawasan dan wawasan studi Islam, Jakarta, Prenada Media, 2007, hlm 433 Baik modernisme pemikiran maupun modernisme simbolik dalam perilaku atau sosial (yang menimbulkan ambivalensi)34 Yudi Latif, Dialektika Islam, Tafsir sosiologis atas sosiologi dan Islamisasi di Indonesia, Yogyakarta, Jalasutra, 2007, hlm xvii arus utama muslim Indonesia umumnya sepakat bahwa

11

Page 12: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Yang manakah diantara pendukung pemikiran tersebut yang akan menang dalam

arus sejarah Indonesia? Intinya bukanlah pada menang atau kalah diantara dua

pemikiran tersebut. Yudi Latif lebih mengasumsikan tentang adanya titik lebur

bagi lapis baru dari dua pemikiran tersebut, yang akan menghasilkan generasi

baru Islam yang bisa keluar dari pengkotakan tradisionalis-modernis.35

Indonesia, sebagai sebuah Negara dengan prosentase penduduk mayoritas muslim

terbesar di dunia,36 seharus berada pada posisi terdepan dalam studi Islam.

Keanekaragaman agama di Indonesia, termasuk didalamnya keanekaragaman

paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah

merupakan kenyataan historis yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. 37

Islam buakanlah agama yang terakhir masuk ke wilayah Nusantara. Ketika

kepulauan Nusantara memasuki era penjajahan Eropa, terutama penjajahan

Belanda, agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katolik juga ikut menyebar

secara luas.38

Posisi mayoritas umat Islam di Indonesia, dalam hubungannya dengan pluralitas

agama memang sangat unik. Umat Islam di Negara Timur Tengah juga

merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai pengalaman pluralitas

agama seperti yang dialami oleh umat Islam Indonesia. Salah satu keunikan yang

yang membedakan kesadaran adanya pluralitas agama di Indonesia dengan umat

Islam Timur Tengah adalah keberadaan agama Hindu dan Budha. Baik ditinjau

dari telaah sosiologis, psikologis, maupun cultural, hal demikian sudah cukup

membedakan “muatan” pengalaman penghayatan kehidupan pluralitas agama.39

tafsir dan penerapan Islam harus dikontekstualisasikan dengan realitas sosio-kultural. Namun mereka tidak sepakat dengan bentuk ideal masyarakat masa depan yang dibayangkan sebagai basis kontekstualiasasi keagamaan mereka. Di satu sisi, pendukung pemikiran “Islamisasi modernitas” cenderung mengidealkan masyarakat neo-religius, identitas Islam mendominasi budaya politik masyarakat dan Negara. Di sisi lain pendukung “modernisasi Islam” lebih terbuka dengan masyarakat pluralis-sekular, Islam ditegaskan sebagai prinsip etika yang bisa berbagi dengan etika agama lain atau bahkan dengan humanism-sekular. 35 Ibid, hal xviii36 http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita-Dunia/10-negara-dengan-penduduk-muslim-terbesar-di-dunia 37 Amin Abdullah, Studi Agama, normativitas atau historisitas?, hlm 538 Ibid, hlm 539 Ibid, hlm 5- 6

12

Page 13: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Dengan memperhatikan kondosi objektif masyarakat Indonesia yang begitu

majemuk keberagamaannya serta membandingkan dengan berbagai situasi dan

kondisi politik luar negeri, studi agama di Indonesia terasa sangat urgen dan

mendesak untuk dikembangkan. Studi dan pendekatan yang bersifat

komprehensif, multidisipliner, interdisipliner adalah pilihan yang tepat bagi

masyarakat Indonesia.40

Studi Islam menjadikan Islam selain sebagai agama juga sebagai sebagai disiplin

ilmu yang mandiri. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Islam tidak lagi terbatas hanya

pada kajian doktriner saja, tetapi juga merambah kepada bidang-bidang non

droktiner seperti studi atas keadaan sosial masyarakat muslim, studi kawasan,

studi alam pikiran muslim, dan antropologi muslim. Dan tentu saja wilayah-

wilayah baru ini tidak dapat dikaji dengan menggunakan metode droktiner.

Sebaliknya menggunakan metode-metode yang sudah lazim dalam masing-

masing bidang kajian tersebut.41

Beberapa decade terakhir Indonesia mengalami reformasi sosial yang sedemikian

hebat. Setelah selama 32 tahun berada dalam rezim kekuasaan orde baru, yang

hampir menguasai semua aspek kehidupan sosial masyarakat. Dengan terbukanya

kran reformasi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim menjadi begitu silau

dengan kebebasan, sehingga terjadilah perubahan iklim sosial kemasyarakatan

yang susah untuk diprediksi.

Diantara bentuk ekspresi muslim Indonesia adalah munculnya begitu banyak

partai politik yang menggunakan agama sebagai simbol. Banyaknya ormas yang

melakukan tindakan anarki dengan mengatas namakan Islam. Tentunya beberapa

hal tersebut jika dikaji dengan pendekatan normatif tidak akan menemukan titik

temu. Hal tersebut lebih dikarenakan karena beberapa kejadian tersebut

merupakan gejala sosial. Dan sangat-sangat tidak adil, jika harus dipaksakan

dengan menggunakan pendekatan normatif.

40 Ibid, hlm 741 Muhyar Fanani, hlm xii

13

Page 14: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Belum lagi kejadian 11 september, yang begitu membuka mata dunia terhadap

Islam. Muncul tudingan-tudingan miring terhadap Islam, Islam teroris, Islam

Fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri dan masih banyak lagi tudingan-tudingan

yang sangat-sangat merugikan Islam sebagai sebuah agama.

Beberapa hal tersebut yang menjadi tugas dari studi Islam, bagaimana menjadikan

Islam sebagai sebuah entitas agama bisa dipahami bukan hanya oleh pemeluknya

(insider) tapi juga orang di luar Islam (outsider). Bila insider tidak merumuskan

pemahaman yang bisa dimengerti oleh outsider, maka kecelakaan-pemahaman

akan terus terjadi.42

Memang bukan sebuah perkara yang mudah untuk mencapai pemahaman

mendasar tentang Islam oleh orang lain karena terdapat dua kendala (1) Bagi

outsider agar bisa memahami rasa-agama insider membutuhkan simpati bahkan

empati yang tulus. Ini membutuhkan perjuangan yang tersendiri, karena kerak-

kerak distorsi informasi tentang Islam begitu tebal terutama dikalangan media

Barat.43 (2) Di kalangan insider sendiri ternyata tidak dijumpai gambaran yang

tunggal tentang Islam. Ini tentunya menyulitkan outsider untuk mencari rujukan

yang valid tentang Islam.44

STUDI ISLAM LANJUTAN SEBUAH METODOLOGI LANJUTAN

Setelah jatuhnya imperalisme dan kolonialisme di Indonesia, tidak serta merta

Indonesia—khususnya muslim Indonesia—bisa terlepas dari jeratan imperalisme

kolonialisme. Muncul neoimperalisme yang menyebabkan ketergantungan

muslim Indonesia terhadap Barat seolah tidak beranjak dari tempatnya dulu.

Yang dulunya studi Islam dianggap sebagai kepanjangan tangan dari

kolonialisme, bahkan ada yang menuduh bahwa studi Islam merupakan revisi-

42 Muhyar Fanani, hlm xiii43 Hanya terdapat beberapa komunitas kecil outsider yang bisa memahami fakta-fakta kejadian yang terjadi belakangan hanya sebagai sebuah fakta sosial dikarenakan pemahaman terhadap islam yang berbeda dengan pemahaman umum muslim di belahan dunia. Diantara yang bisa disebutkan adalah Jhon L. Esposito. Dalam Islam sendiri, khusunya Indonesia telah banyak pemikir-pemikir yang berusaha memberikan gambaran-gambaran tentang Islam yang sejalan dengan nilai-nilai, norma-norma modern. Seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid dan masih banyak lagi.44 Ibid, Muhyar Fanani

14

Page 15: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

subversif atas ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu-ilmu seputar Al quran, ilmu-ilmu

seputar hadits dan ilmu-ilmu seputar fikih.45

Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit anggapan atau bahkan tuduhan

tersebut mulai terkikis dalam benak kebanyakan muslim Indonesia. Kemudian

mulai muncul kajian-kajian keislaman dengan menggunakan ilmu-ilmu dan

metode-metode barat, seperti kajian keislaman dengan menggunakan ilmu-ilmu

humaniora yang menurut klaim Barat berasal dari sana. Kemudian perguruan-

perguruan tinggi Islam, mulai membuka diri dengan membuka fakultas-fakultas

dan jurusan-jurusan yang tidak khusus mempelajari Islam.46

Hal ini merupakan suatu hal yang positif secara keilmuan, bahwa umat Islam

sudah mulai terbuka dan menyadari akan kebutuhan ilmu-ilmu pengetahuan yang

lain. Namun muncul hal baru yang tidak kalah bahayanya, adalah jika kemudian

umat Islam begitu matek aji47 terhadap segala sesuatu yang berasal dari Barat,

dengan anggapan bahwa metode barat lebih objektif dan lebih mapan. Hal ini

patut menjadi perhatian, karena jika hal ini dibiarkan terus berlanjut,

neoimperalisme dan kolonialisme tidak akan hilang dari ranah keilmuan umat

Islam.

Diantaranya, Islamic Studies mengadiluhungkan Islam sebagai “universal”.

Menyakini Islam sebagai agama yang didakwahkan untuk segenap umat manusia,

tanpa mengenal tempat dan waktu, adalah berbeda dengan mengkaji Islam sebagai

sesuatu yang “universal”. Yang pertama adalah sebuah keyakinan religius, dan

dimanapun penganut agama akan meyakininya demikian. Sedangkan mengkaji

Islam artinya menempatkan Islam sebagai agama, sejarah, peradaban, kebenaran,

dan seterusnya, dalam standar-standar keilmuan tertentu, yang layak

diobyektifikasi dan diverifikasi, sehingga menjadi sebuah displin keilmuan

tersendiri.48

45 Lihat Muhyar Fanani, hlm xi46 Lihat Atho Mudzhar. DR, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek, hlm 24-2947 Meminjam bahasa Yudian Wahyudi dalam bukunya Ushul Fikih Versus Hermentika48 Ahmad Baso, Nu Studies Vis-À-Vis Islamic Studies Perspektif Dan Metodologi Dari Oleh Dan Untuk Islam Indonesia Pasca 11 September.

15

Page 16: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Tentu banyak sudah kajian tentang Islamic Studies sebagai sebuah disiplin

keilmuan. Tapi yang kurang ditelaah kemudian adalah soal “universalisme”-nya

ini. Seorang alumnus pascasarjana UIN Jakarta misalnya menulis tentang “NU

liberal”, dan ketika diterbitkan sebagai sebuah buku, judulnya menjadi “NU

Liberal, dari Partikularisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam” (Mizan, 2003).

Dan dimana pun, dalam kampus dan ruang-ruang akademik, Islam universal

sudah menjadi bagian dari dogma, yang sudah dianggap bagian dari ajaran

keagamaan. Mohammed Arkoun melacak akar-akar “universalisme” itu ke dalam

nalar hegemonik, ke model nalar Eropa abad 19 yang ekspansionis ke negara-

negara jajahan atas nama “misi pemberadaban” (civilizing mission).49

Mengapa disebut nalar hegemonik? Arkoun menyebutnya berpretensi obyektif,

dan standar bakunya dianggap normatif. Dengan kata lain, standarisasi dan

obyektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Menurut Edward Said, the

universal is always achieved at the expense of the native (yang universal selalu

dicapai atas kerugian penduduk pribumi) – merujuk kepada apa yang pernah

dikatakan oleh Fanon, “for the native, objectivity is always directed against him”.

Dalam pandangan universalis dan obyektifis ini, selalu ada kemungkinan untuk

melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general application), dimana tidak ada

lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokus tertentu. Berbicara tentang

Islam sebagai obyek kajian yang dipakemkan di Eropa, diyakini bisa juga berlaku

di negeri-negeri jajahan – terlepas dari soal apakah Islam yang ada di negeri-

negeri jajahan itu berbeda secara praktis dan pengalaman dari yang dipakemkan di

seberang sana.50

Maka, berbicara tentang nalar hegemoni dalam Islamic Studies adalah juga berarti

berbicara tentang positivisasi Islamic Studies. Kalau Islam Timur Tengah di

belahan Afrika bisa berlaku sama, maka, dalam logika positivisasi-universalisasi

ini, hal serupa juga bisa muncul di Asia Selatan, dan juga di Asia Tenggara.

Esensi maupun substansinya tetap dianggap sama, tak berubah. Misalnya doktrin

H.A.R. Gibb bahwa Islam adalah “satu kesatuan antara doktrin dan peradaban”.

49 Ibid50 Ibid

16

Page 17: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

Sehingga positivisasi selalu mengandaikan segalanya serba “Islami”, mulai dari

“Islamic society”, “Islamic art”, “Islamic bank”, “Islamic economy”, hingga

“Islamic food and parfum”!51

Oleh karena itu, baik Arkoun maupun Edward Said kemudian menekankan

pentingnya “local knowledge” yang membawa Anda untuk kritis terhadap sebuah

teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya

kepada konteks, situasi atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori

manapun, menurut Said, muncul dari lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya.

Ketika bermigrasi keluar, ia kehilangan elastisitasnya; kekuatan dan maknanya

jadi melemah. Dalam bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa

metode-metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh sejumlah

adaptasi, konstruksi baru, intervensi, negosiasi, atau resistensi di luar dari

lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya mengambil alih posisi pemikiran awal

yang dicetuskan. Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal “teori

traveling” atau “kritik sekuler”.52

Jadi, ada dua pengertian tentang “local knowledge” ini dalam konsep “traveling

theory”-nya Said ini: pertama, “local knowledge” sebagai asumsi primer bahwa

semua pengetahuan dan teori terbentuk dan terbatas dalam lingkupnya masing-

masing. Kedua, “local knowledge” bisa juga berarti pisau analisis-epistemik,

sebagai instrumen untuk merangsamg metodologi baru, sebuah “analisis

situasional”.53

Kalau misalnya menggabungkan kedua unsur “local knowledge” ini dan

berasumsi bahwa Bill Liddle, seorang “Indonesianis” asal Amerika, bukanlah

intelektual universalis, tapi “intelektual” lokal dengan segenap keterbatasannya

(unsur “local knowledge” pertama), maka sebetulnya sudah menempatkan

pemikiran Liddle dalam konteks dimana ia dibatasi oleh segenap konstruk

pengetahuan dan kuasa yang ada di sekitarnya. Sehingga pemikirannya tidak

berlaku untuk kita sebagai orang Indonesia, karena kita sudah punya tradisi

51 Ibid52 Ibid53 Ibid

17

Page 18: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

berpikir sendiri tentang politik dan kultur bangsa kita yang kemudian dari sana

kita dialogkan, kita adaptasikan, dan juga kita pakai untuk melakukan intervensi,

negosiasi maupun resistensi terhadap pikiran-pikiran Liddle. Ini adalah “local

knowledge” unsur kedua. “Saya menyadari betul betapa kuat pengaruh

pengalaman pribadi saya sebagai warga negara Amerika dan warga kota

Pittsburgh”, tulis Liddle, “Ketika itu, guru-guru saya dihantui oleh ketakutan

bahwa nilai-nilai serta kehadiran Amerika di dunia ini akan dimusnahkan oleh

kekuatan asing yang totaliter. Kemudian ini diteruskan di universitas ketika saya

dikuliahi oleh dosen-dosen ilmu politik yang melarikan diri dari negara fasis,

komunis atau kedua-duanya”.54

Kalau “local knowledge” ini dipertajam ke dalam Islamic Studies, maka krisis

tersebut akan tampak dengan jelas dalam konteks ini. “local knowledge”

menggarisbawahi dan mencoret universalisme pada saat bersamaan. Kalau ada

sesuatu yang dikatakan universal, maka tentu ada yang dianggap “tidak-universal”

yang mengganggu pembakuan universalitas itu: “tradisional”, “lokal”, dan juga

yang berbau “etnik” dan “komunal”. Seperti halnya studi-studi tentang transisi

demokrasi di Indonesia yang begitu gagap membaca faktor etnisitas dan

kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan “kedaerahan”, wacana studi-studi

Islam juga mengalami kebingungan membaca faktor-faktor lokal tersebut. Bahkan

terkadang analisisnya sangat miskin dalam membaca persoalan-persoalan

identitas etnik serta hubungannya dengan militansi agama. Biasanya yang dibaca

adalah soal potensi konflik dan disintegrasi identitas kesukuan dan kedaerahan itu.

Dan kebingungan itu adalah refleksi dari sebuah krisis. Yakni, ketika solusi

konflik bernuansa agama itu ditemukan melalui “local wisdom”, yakni kembali ke

identitas budaya dan lokalitas, seperti pela gandong, baku-bae, dsb. Dan bukan

malah melalui wacana “agama universal” atau “Islam universal”. Dengan kata

lain, Islamic Studies dengan “Islam universal”-nya tidak lagi punya arti dalam

konteks kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan persilangan identitas

54 Ibid

18

Page 19: Metodologi Studi Islam Auto Saved)

agama dan etnik; “Islam universal” hanya bermakna terbatas dalam ruang kelas,

dalam teks-teks akademik.55

Tapi justru di sinilah masalahnya. Ini adalah gambaran dari konstruk tentang

Islam seperti yang di Barat, yang ingin dipahami oleh Barat, dan juga sesuatu

yang diinginkan oleh Barat agar Islam seperti itu. Ini pada gilirannya memberi

kesan kepada umat Islam bahwa Islam seperti itulah yang mesti ditampilkan, yang

dipanggungkan, dalam konteks kemodernannya. Jadi, seperti itulah konstruk

Islamic Studies tentang Islam, yang menurut Arkoun adalah kelanjutan dari nalar

hegemonik Eropa abad 19.56

Hal merupakan sebuah upaya neoimperalisme barat terhadap Islam. Namun

memang tidak mudah menanggulangi ketergantungan tersebut, jika umat Islam

tidak berdaya dalam wilayah sumber daya manusia (SDM). Tatanan dunia baru

era post neoimperalisme barangkali terletak pada kekuatan dunia ketiga dan dunia

Islam dalam menguasai ilmu pengetahuan secara umum dan IPTEK secara

khusus. Namun penguasaan penguasaan IPTEK ini akan segera berulang seperti

yang dilakukan Barat sekarang jika tidak disertai dengan moral-spiritual yang

kokoh. Memang tidak mudah mencari gugusan pemikiran baru yang dapat

member alternative untuk pemecahan masalah global universal. Menyatunya

semangat keilmuan—baik dalam aspek teknologi maupun humaniora—dengan

landasan moral spiritual keagamaan Islam yang belum pernah sirna dari benak

umat Islam adalah tumpuan harapan banyak pihak pada era post

neoimperalisme.57

Akan tetapi keyakinan pasti selalu ada, bahwa dengan banyak terjadinya

pertemuan dan dialog antara disiplin ilmu akan muncul generasi baru Islam yang

yang menghasilkan “lapis baru” pemikiran Islam. Semoga. Wallahu a’lam.

55 Ibid56 Ibid57 Amin Abdullah, hlm 209

19