Metodologi Penelitian

23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis framing sebagai metode. Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam rumpun analisis isi. Sebagai kelanjutan analisis isi kovensional (klasik), analisis framing berusaha meninggalkan analisis isi konvensional disebabkan ketidakmampuan membaca urgensi pesan sebagai bagian terpenting dari analisis sosial. Karena itu karakteristik analisis framing berada diantara dua pendekatan, disatu sisi mempertahankan beberapa pendekatan dasar analisis isi dan disisi lain mengembangkan model yang mampu mengungkapkan makna dibalik idiologi atau cara pandang (live word) media. 1. Konsep Framing Berita Saat pertama kali diperkenalkan oleh Baterson di tahun 1995, framing dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan, wacana, serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lebih lanjut Goffman pada tahun 1974, mengandaikan 22

Transcript of Metodologi Penelitian

Page 1: Metodologi Penelitian

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis framing sebagai

metode. Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada

dalam rumpun analisis isi. Sebagai kelanjutan analisis isi

kovensional (klasik), analisis framing berusaha meninggalkan

analisis isi konvensional disebabkan ketidakmampuan membaca

urgensi pesan sebagai bagian terpenting dari analisis sosial.

Karena itu karakteristik analisis framing berada diantara dua

pendekatan, disatu sisi mempertahankan beberapa pendekatan

dasar analisis isi dan disisi lain mengembangkan model yang

mampu mengungkapkan makna dibalik idiologi atau cara

pandang (live word) media.

1. Konsep Framing Berita

Saat pertama kali diperkenalkan oleh Baterson di tahun

1995, framing dimaknai sebagai struktur konseptual atau

perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik,

kebijakan, wacana, serta menyediakan kategori-kategori standar

untuk mengapresiasi realitas. Lebih lanjut Goffman pada tahun

1974, mengandaikan framing sebagai strips of behavior

(kepingan-kepingan perilaku) yang membimbing individu

membaca realitas.1

Konsep framing atau frame --- istilah dari ranah

psikologi--- berangkat dari cara pandang bahwa kontruksi

realitas pasti bergantung kepada bagaimana cara “sang pemilik

1 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, LKiS, 2001,Yogyakarta, hal. 23.

22

Page 2: Metodologi Penelitian

cerita” menyampaikannya kepada khalayak. W. A Gamson2

mengatakan:

“Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana”.

Kisah Kabayan Pergi ke Kota, tentu akan menjadi kisah

mengiris hati bila yang diceritakan adalah tentang bagaimana ia

tersesat, tidak tahu arah, kecopetan, dan mendapat perlakuan

angkuh orang-orang kota. Namun kisah tersebut akan menjadi

kocak manakala yang diceritakan tentang percekcokan si

Kabayan dengan penjaga karcis gedung bioskop yang

berulangkali menyobek karcisnya ketika hendak menonton film

atau saat masuk sebuah bank dengan semangat berteriak salam

dan berjabat tangan dengan nasabah karena dikira sedang ada

pengajian.

Media massa dalam analisis framing dipandang sebagai

media diskusi antara pihak-pihak tertentu dengan idiologi dan

kepentingan yang berbeda-beda. Mereka berusaha untuk

memberi titik tekan kerangka dan prespektif pemikiran tentang

satu objek wacana. Agus Sudibyo mencatat framing secara

umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan

aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks

komunikasi dengan tujuan aspek tersebut dapat menjadi lebih

noticeable, meaningfull dan memorable bagi khalayak.3

2 Ibid Agus Sudibyo hal. 2213 Ibid. Agus Sudibyo.

23

Page 3: Metodologi Penelitian

Pada prakteknya framing memastikan adanya prioritas isu

tertentu dengan menghilangkan isu yang lain. Penonjolan ini

dapat dilacak dari strategi media dalam penempatan berita,

pengulangan, pemakaian gambar dan grafis, dan labelisasi.4

Definisi ini sejalan dengan pendapat Michel Parenti 5 sebagai

berikut :

“Framing is achieved in the way the news is packaged, the amount of exposure, the placement (front page of back, lead story or last), the tone of presentation (sympathetic or slighting), the accompanying headlines and visual effects, and labelling and vocabulary. Just short of lying, the media can mislead us in a variety of ways, telling us what to think abaout a story before we have had a change to think about ourselves”.

Pola penonjolan semacam itu dipandang bukan hanya

sebagai bias media, namun lebih menukik pada level idiologis

media menyajikan wacana.

Proses framing menuntut kompleksitas prespektif

multidispliner untuk menganalisis fenomena dan aktivitas

komunikasi.6 Paktek analisis memungkinkan disertakannya

konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalis

fenomena-fenoma komunikasi sehingga suatu fenomena dapat

benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks

sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya. Dalam

konteks ini, teori kritis memberi arahan lapangan kerja

(fieldwork direction) guna memberi fokus pada kerangka proses

framing itu sendiri.

4 Alex Shobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001 hal. 164.

5 Op. Cit.Agus Sudibyo hal. 2226 Op.Cit. Alex Shobur hal.177.

24

Page 4: Metodologi Penelitian

2. Teknik Framing Berita

Seorang wartawan dengan keterbatasannya tidak

mungkin mampu mem-framing seluruh bagian berita. Hanya

bagian-bagian tertentu saja yang dapat diframing namun bagian

ini merupakan bagian penting dalam sebuah berita.

Menurut Entman7, framing dalam berita mempunyai

empat fungsi yaitu :

1. Mendefinisikan masalah—menetapkan apa yang dilakukan agen kausal ( baca : pihak media), dengan biaya dan keuntungan apa, biasanya pengukuran melalui nilai-nilai budaya bersama.

2. Mendiagnosis penyebab---mengidentifikasi kekuatan yang menciptakan masalah.

3. Melakukan penilaian moral---mengevaluasi agen-agen kausal beserta dampak-dampak yang diakibatkannya.

4. Menyarankan perbaikan---menawarkan dan memberikan pembenaran terhadap penanganan masalah, serta memprediksi kemungkinan akibatnya.

Sementara itu Abrar membuat empat pola umum dari

teknik framing berita yang dipakai wartawan. Pertama,

cognitive dissonance, ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku.

Seorang wartawan dalam memberitakan kasus pemerkosaan

dengan berempati pada korban, maka ia tidak dapat serta merta

menunjukkan bentuk simpatinya tersebut. Ia masih harus

tunduk pada aturan jurnaliastik dan menjunjung kaidah

tersebut.

Kedua, empati. Teknik empati adalah menempatkan diri

dalam pribadi khayal dalam diri khalayak, sementara khalayak

ditarik dalam posisi dan kondisi subjek pemberitaan yang

dimaksud. Ketiga, assosiasi, yaitu menggabungkan kondisi,

7 Ibid Alex Shobur hal.173-174.

25

Page 5: Metodologi Penelitian

kebijakan aktual dengan fokus berita. Hal ini guna memancing

kesadaran khalayak untuk ikut turut serta melakukan

perubahan sebagaimana yang diinginkan oleh wartawan.

Selanjutnya berita ditutup dengan teknik packing, dimana

khalayak diarahkan untuk menerima kebenaran tanpa syarat,

sebab mereka tidak berdaya untuk membantah kebenaran yang

direkonstruksikan dalam berita.8

B. Analisis Data Framing

Analisis berita dengan konsep framing yang digunakan

pada penelitian ini adalah model yang dikembangkan oleh Pan

dan Kosichi dan Teun Van Dijk. Model ini berusaha

menghubungkan berbagai elemen yang ada dalam teks berita

dengan mengasumsikan bahwa setiap berita mempunyai frame

yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Contohnya pada

kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata, dan lain

sebagainya ke dalam teks secara keseluruhan.

Cara wartawan memaknai suatu berita dapat dilihat dari

berbagai perangkat tanda yang ada dalam teks berita yang

dibuat. Sehingga makna berhubungan erat antara frame

wartawan dan media yang menjadi objek penelitian.9

Perangkat framing dalam model Pan dan Kosichi dan Teun

Van Dijk dibagi menjadi menjadi empat struktur besar yaitu

Sintaksis, Skrip, Tematik, dan Retoris.

a. Sintaksis

Secara etimologis Sintaksis berasal dari kata Yunani yaitu

“sun” berarti “dengan”, dan “tattien” yang berarti

8 Ibid Alex Shobur.9 Eriyanto, Bimo Nugroho, Politik Media Mengemas Berita, ISAI Jakarta, 1999 hal 29.

26

Page 6: Metodologi Penelitian

“menempatkan”. Dalam pengertian umum, Sintaksis adalah

susunan kata atau frase dalam kalimat. Sementara dalam

pendekatan analisis framing, sintaksis adalah cara atau strategi

wartawan untuk menyusun fakta yang diperoleh baik peristiwa-

pernyataan, opini, kutipan, maupun pengamatan atas peristiwa

ke dalam sebuah kesatuan/ bentuk umum berita.

Struktur sintaksis yang paling populer dalam bentuk

struktur piramida terbalik. Sehingga unit yang dapat diamati

dalam struktur sintaksis adalah melalui judul (headline), lead,

kutipan yang diambil, serta penempatan dari berbagai

pernyataan sumber informasi.

Headline mempunyai aspek sintaksis yang tinggi, karena

headline merujuk pada tingkat kecenderungan sebuah berita.10

Headline mempengaruhi bagaimana kisah dimengerti dan

dibuat untuk selanjutnya dikonstruksi pengetahuan tersebut

melalui judul berita.

Sementara lead berfungsi menunjukkan prespektif

tertentu dari peristiwa yang diberitakan. Sebagai paragraf

pembuka, lead kaya akan nuansa kecenderungan sebuah berita,

melalui pemilihan atau penonjolan aspek berita tertentu.

Latar adalah bagian berita yang dapat mempengaruhi

semantik (arti kata) yang hendak ditampilkan. Wartawan dalam

menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang

peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah

mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar pada

umumnya ditampilkan diawal sebelum opini wartawan atau

komunikator yang sebenarnya muncul, dengan maksud untuk

mempengaruhi dan memberi bobot argumentatif yang kuat dan

reasonable (beralasan). Sehingga latar dapat menjadi alasan

pembenar gagasan yang diajukan dalam teks.10 Ibid. 31

27

Page 7: Metodologi Penelitian

Bagian berita lain yang penting adalah pengutipan sumber

berita. Bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk

membangun objektifitas—prinsip keseimbangan dan ketidak--

berpihakan (cover both side). Bagian ini juga menekankan

bahwa apa yang ditulis wartawan bukan pendapat wartawan

belaka, namun pendapat dari seseorang yang mempunyai

otoritas tertentu.

Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing untuk

tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari

pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim

otoritas akademik. Wartawan dapat saja mempunyai pendapat

sendiri atas suatu peristiwa, pengutipan digunakan untuk

memberi bobot atas pendapat yang dibuat, seolah pendapat

tersebut tidak omong kosong tetapi didukung oleh ahli yang

berkompeten. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari

pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga,

mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang

dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas

sehingga pandangan tersebut tampak sebagai penyimpangan

dari pendapat umum. Teknik ini sangat berguna untuk

menekankan aspek argumentatif dari keseluruhan pendapat

dalam teks, bahwa meskipun ada yang berseberangan pendapat,

namun hal itu kecil artinya dibanding dengan pendapat-

pendapat lain yang tercantum.

b. Skrip

Laporan berita sering disusun sebagai suatu jalinan

cerita. Hal ini disebabkan oleh dua hal; pertama, banyak laporan

berita yang berusaha menunjukkan peristiwa yang ditulis

merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya; kedua,

28

Page 8: Metodologi Penelitian

bahwa berita sendiri mempunyai orientasi untuk

menghubungkan dengan lingkungan komunal berita. Sehingga

menulis berita hampir dapat disamakan dengan menulis cerita

atau novel. Perbedaannya bukan terletak pada cara bercerita

namun lebih pada fakta yang dihadapi .11

Bentuk umum dari skrip adalah pola 5 W+1H ( who, what,

where, when, why dan how). Meskipun pola ini tidak selalu

dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, namun kategori

informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk

dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi framing

yang penting. Bila dalam sebuah berita diterangkan unsur-unsur

pelaku (who), tempat dan waktu kejadian (where dan when),

dan bagaimana kejadian berlangusng (how), namun dengan

serta merta menghilangkan unsur-unsur penyebab kejadian

(why), maka wartawan mempunyai maksud tertentu.

Tata urutan dalam menyusun berita juga mempunyai

pengaruh penting dalam proses framing. Suatu kejadian yang

mengedepankan unsur who misalnya, tentu ada pertimbangan

yang cukup mendasar kenapa harus pelaku terlebih dulu

dimunculkan, barangkali pelaku adalah tokoh besar, artis, atau

orang yang mempunyai pengaruh di masyarakat. Hal ini bukan

saja berhubungan dengan aspek nilai berita yang hendak

ditonjolkan, namun ada konstruksi dan idiologi wartawan yang

turut menentukan tata letak penggunaan unsur-unsur dari pola

5W+1H.

Wartawan juga mempunyai cara bercerita tertentu seperti

dengan gaya dramatis, mengaduk-aduk emosi pembaca, atau

cara bercerita yang biasa-biasa saja. Cara bercerita semacam ini

tidak pernah lepas dari strategi wartawan untuk menekankan

atau mengaburkan fakta yang sebenarnya. Sebagai contoh, 11 Ibid. hal.33

29

Page 9: Metodologi Penelitian

sebuah berita pemerkosaan disusun wartawan menggunakan

cara bercerita yang dramatis dengan menyoroti kejadian

pemerkosaan secara detail, sehingga aspek pidana atau latar

kejadian tidak terlalu dipersoalkan.

c. Tematik

Setiap wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu

peristiwa. Tema tersebut muncul sebagai konstruksi wartawan

dalam membuat teks berdasarkan apa yang ia peroleh dan apa

yang hendak ia tulis. Dalam peristiwa tertentu, pembuat teks

dapat memanipulasi penafsiran pembaca atau khalayak dengan

melakukan permainan definisi dan diksi guna menggambarkan

fakta. Misalnya sebuah demonstrasi yang secara umum berjalan

damai dapat dikonstruksi sebagai sebuah demonstrasi yang

anarkis hanya karena penekanan fakta pada beberapa insiden

yang sebenarnya tidak terlalu dipersoalkan. Tema tema tersebut

dapat dilacak melalui susunan atau bentuk kalimat tertentu,

proposisi atau hubungan antar proposisi.

Elemen-elemen dalam tematik adalah sebagai berikut :

Pertama, elemen detail berita. Elemen detail berita

berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan

seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan

informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang

berlebihan. Sebaliknya ia akan menampilkan informasi dalam

jumlah yang sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) bila

hal itu merugikan kedudukannya. Informasi yang

menguntungkan tidak saja ditampilkan secara berlebih tetapi

dengan detail yang lengkap dan kalau perlu dengan data-data.

Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan

yang dilakukan dengan sengaja untuk menciptakan citra

30

Page 10: Metodologi Penelitian

tertentu pada khalayak. Sementara detail—meskipun lengkap--

akan dihilangkan bila tidak menguntungkan posisi komunikator.

Sebagai contoh, seorang pemerkosa dalam pernyataanya akan

mengurangi detail yang kemungkinan akan memojokkan dia dan

mencari detail-detail yang dapat menyelamatkannya dengan

mencari alibi atau memaparkan kondisi kejiwaannya ketika

melakukan tindak pemerkosaan.

Kedua, elemen Maksud. Hampir sama dengan elemen

Detail. Bila elemen detail informasi yang menguntungkan akan

diuraikan dengan panjang lebar, maka elemen maksud

mengeksplisitkan informasi yang menguntungkan bagi

komunikator. Informasi tersebut disajikan secara jelas, dengan

kata-kata yang tegas dan langsung ke fakta. Sementara

informasi yang merugikan akan dibuat samar, implisit, dan

tersembunyi dengan kata-kata yang berbelit-belit dan eufimistik.

Ketiga, Nominalisasi. Elemen ini berhubungan

dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek

sebagai sesuatu yang tunggal atau berdiri sebagai satu

kesatuan. Nominalisasi dengan sendirinya mengarah pada

generalisasi. Jono yang dipukuli oleh polisi dalam demo

mahasiswa akan mempunyai makna berbeda ketika teknik

nominalisasi ini digunakan, seperti dengan menyusun judul,

“Bentrok, mahasiswa dipukuli polisi” dibanding dengan judul

“Polisi memukuli Jono, seorang mahasiswa peserta demo”.

Keempat, Koherensi. Koherensi adalah pertalian atau

jalinan antar kata, proposisi, atau kalimat. Dua buah kalimat

atau proposisi yang menggambarkan fakta berbeda dapat

dihubungkan menggunakan koherensi, sehingga fakta yang

tidak berhubungan dapat menjadi terhubung karena teknik

koherensi tersebut.

31

Page 11: Metodologi Penelitian

Proposisi “gadis menangis” dan “uang hilang” adalah dua

fakta yang berbeda. Keduanya dapat dihubungkan dengan

koherensi sebab-akibat sehingga proposisi tersebut menjadi

“gadis menangis karena uang(nya) hilang”. Dua proposisi

tersebut tidak berhubungan bila yang dipakai koherensi adalah

kata hubung misalnya “dan”, menjadi “gadis menagis dan

uang(nya) hilang”.

Koherensi digunakan untuk melihat bagaimana seseorang

secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu

fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dilihat sebagai

sesuatu yang berhubungan, saling terpisah, atau justru sebab

akibat. Pilihan-pilihan tersebut ditentukan oleh sejauh mana

komunikator berkepentingan terhadap peristiwa tersebut.

Koherensi terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, koherensi

kondisional. Koherensi kondisional dapat berupa hubungan

sebab akibat atau hubungan penjelas. Hal ini secara mudah

dapat dilihat dari penggunaan kata hubung yang dipakai untuk

mengggambarkan dan menjelaskan hubungan, atau

memisahkan satu proposisi dihubungkan dengan bagaimana

seseorang memaknai suatu peristiwa yang ingin ditampilkan di

depan publik.

Koherensi kondisional juga ditandai dengan pemakaian

anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua proposisi.

Proposisi pertama dijelaskan dalam proposisi kedua dengan

menggunakan kata hubung seperti “yang” atau “dimana.”

Sebagai proposisi penjelas, arti dari proposisi pertama

sebenarnya tidak terlalu dipengaruhi oleh proposisi kedua.

Namun komunikator berusaha memasukkan kepentingannnya

dalam proposisi penjelas ini. Seperti dalam kalimat, “Presiden

Gus Dur memberi penjelasan kepada pers”, sebenarnya sudah

32

Page 12: Metodologi Penelitian

dapat dimengerti oleh khalayak. Namun dengan penambahan

kalimat penjelas “yang memakai kaos oblong” maka khalayak

mengasoisiasikan bahwa presiden Gus Dur cenderung informal,

santai atau bahkan juga dikesankan tidak menghormati lembaga

kepresidenan yang ia pimpin.

Kedua, koherensi fungsional. Hubungan fungsional

memuat generalisasi dan spesifikasi. Dikotomi “kami” dan

“mereka” merupakan pola over generalisasi yang mudah

dijumpai dalam teks berita.

Ketiga, koherensi pembeda. Koherensi pembeda

berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua fakta atau

peristiwa dibedakan. Dua peristiwa yang dibuat seolah-olah

bertentangan (contras) dengan memberi kata hubung seperti

“dibandingkan”, “tetapi” atau “meskipun demikian.”

Strategi koherensi pembeda ini sangat efektif untuk

melakukan penyangkalan, seperti dalam kalimat “ Saya bukan

rasialis, tetapi.....”. Kalimat penyangkalan tersebut

memposisikan komunikator secara positif, sementara tindakan

atau fakta dibelakang “bukan rasialis” dijelaskan secara

argumetatif yang mengukuhkan posisinya.

Elemen kelima adalah bentuk kalimat. Elemen ini dari segi

sintaksis berhubungan dengan cara berfikir logis yaitu

kausalitas. Logika kausalitas dalam bahasa diterjemahkan

dengan subjek (yang menerangkan) dan predikat ( yang

diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis

kebenaran tata bahasa tetapi turut menentukan makna yang

dibentuk melalui susunan kalimat. Dalam kalimat yang

berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya,

sedang dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari

pernyataannya. Susunan kalimat aktif “Kumbang memperkosa

33

Page 13: Metodologi Penelitian

Bunga” menempatkan Kumbang sebagai subjek. Penempatan

kumbang diawal kalimat atau frase, memberi glorifikasi atas

kesalahan Kumbang. Sebaliknya kalimat “Bunga diperkosa

Kumbang” mengesankan penghilangan subjek dimana Kumbang

tidak menjadi titik sentral kalimat, dia diletakkan secara

tersembunyi. Sehingga bentuk kalimat menentukan apakah

subjek diekspresikan secara ekplisit atau implisit dalam teks.

Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata

yang mempunyai dua fungsi secara politik. Pertama,

menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan

pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan permainan

semantik. Hal yang penting dari sintaksis adalah bagaimana

proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Kedua,

mengenali bentuk kalimat sebagai deduktif atau induktif.

Elemen keenam adalah elemen kata ganti. Elemen kata

ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan

menciptakan suatu imajinasi. Kata ganti juga merupakan alat

bagi komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang

dalam wacana. Elemen kata ganti “saya” atau “kami”

merupakan bentuk resmi dari sikap komunikator semata-mata.

Sementara “kita” merujuk pada pembukaan sekat antara

khalayak dan komunikator sehingga apa yang menjadi sikap

komunikator meresap seolah-olah menjadi sikap bersama.

d. Retoris

Struktur retoris dari sebuah berita menggambarkan

pilihan gaya atau kata yang dilakukan oleh wartawan untuk

menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Wartawan

menggunakan perangkat retoris guna membuat citra,

meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan

34

Page 14: Metodologi Penelitian

meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Hal

ini juga menunjuk kecenderungan konstruksi kebenaran yang

hendak dibangun oleh wartawan.

Beberapa elemen strukutur retoris yang dipakai oleh

wartawan:

Pertama, leksikon. Elemen ini menandakan pilihan kata

dari berbagai kemungkinan kata yang dapat dipakai. Suatu fakta

dapat digambarkan dengan beberapa kosa kata yang merujuk

pada fakta tersebut. Kata “mati” mempunyai padanan kata lain

seperti tewas, gugur, meninggal, menghembuskan nafas

terakhir, dan lain sebagainya. Pilihan kata secara idiologis

menunjukkan politik pemaknaan yang dilakukan seseorang. Bagi

orang di luar pihak, musuh atau lawan, penggambaran kata

tertentu mempunyai makna politis, sebagaimana kita

melekatkan fakta yang sama dengan kata berbeda pada pihak

kita. Misi perang Amerika dalam banyak kesempatan disinggung

oleh presidennya sebagai misi “pembela kebenaran” “Invansi

atas nama PBB” sementara bagi pihak lawan tentu hal ini

disebut dengan “agresi”.

Teknik yang paling populer adalan dengan labelling,

sebuah teknik melekatkan idiom tertentu kepada fakta atau

peristiwa dengan maksud memberikan makna tendensius

terhadap fakta atau peristiwa tersebut. Kasus pembantaian

rakyat disebut dengan upaya normalisasi keamanan, sementara

pihak-pihak yang tidak sepakat dengan kebijakan yang dibuat

dikatakan sebagai “oposan radikal”, “kelompok pengacau” dan

lain sebagainya.

Kedua, gaya. Elemen gaya berhubungan dengan

bagaimana pesan yang disampaikan dibungkus dengan bahasa

tertentu untuk menimbulkan efek tertentu pula. Sebuah kasus

35

Page 15: Metodologi Penelitian

pemerkosaan yang dipenuhi dengan tulisan dengan bahasa

hukum bermaksud menggiring prespektif pembaca untuk

melihat fakta dalam berita tersebut dalam sisi-sisi hukum.

Sementara tulisan bombastis tentang kasus pemerkosaan yang

dipenuhi dengan bahasa-bahasa dan idiom-idom pornografis

tentu juga mengarahkan khalayak untuk berpikir pornografis.

Ketiga, grafis. Elemen ini digunakan untuk memeriksa apa

yang ditekankan atau ditonjolkan, yang berarti dianggap

penting. Elemen ini muncul lewat berbagai teks yang dibuat

berbeda dengan teks lainnya. Pemakaian huruf tebal, huruf

miring, pemakaian garis bawah, termasuk didalamnya caption,

raster, grafik, gambar, dan tabel merupakan teknik-teknik dari

grafis guna mendukung pesan. Bagian yang dicetak berbeda

merupakan bagian yang dianggap penting oleh komunikator,

dimana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian yang

besar kepada bagian tersebut.

Elemen grafis memberi pengaruh kognitif, dalam

arti mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan

menunjukkan apakah informasi itu dianggap penting atau

menarik sehingga harus dipusatkan/difokuskan. Melalui citra

foto, tabel penempatan teks, tipe huruf, dan elemen grafis lain;

pendapat idiologis yang muncul dapat dimanipulasi secara tidak

langsung.

Keempat, pengandaian. Elemen wacana

pengandaian (presupposition) merupakan pernyataan yang

digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar

berarti upaya untuk mendukung pendapat dengan jalan

memberi latar belakang maka pengandaian adalah upaya

mendukung pendapat dengan memberikan premis yang

dipercaya kebenarannya. Pengandaian hadir dalam pernyataan

36

Page 16: Metodologi Penelitian

yang dipandang terpercaya dan karenanya tidak perlu

dipertanyakan.

Ketika seorang pejabat menyebutkan bahwa

“kenaikan harga sudah dipertimbangkan masak-masak oleh

pemerintah dengan menyerap aspirasi dari rakyat” maka

pernyataan ini sebenarnya merujuk bahwa kebijakan tersebut

sudah tidak dapat ditawar, sehingga jangan dipertanyakan.

Elemen kelima, metafora. Seseorang dalam suatu

wacana tidak saja menyampaikan pesan pokok melalui teks,

tetapi juga kiasan, ungkapan, dan metafora yang dimaksudkan

sebagai ornamen atau bumbu dari suatu berita. Namun

pemakain metafora tertentu dapat dijadikan alat pelacak untuk

mengerti suatu makna teks.. Metafora tertentu dipakai oleh

wartawan secara strategis sebagai landasan berfikir, alasan

pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.

Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan

sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah, atau bahkan ayat-ayat

suci guna memperkuat pesan utama yang hendak disampaikan.

Gamson menyebutnya sebagai popular wisdom, sebagai upaya

untuk merangkai sejumlah pesan agar khalayak dapat

mengkontruksi suatu wacana. Ungkapan “ sudah jatuh tertimpa

tangga pula” digunakan untuk mengambarkan sebuah partai

politik kecil yang kalah dalam pemilu dan tidak mampu

membuat koalasi dengan partai-partai besar, atau “ kebenaran

memang pahit’ untuk menggambarkan sebuah demonstrasi

mahasiswa yang membuat banyak jatuh korban.

Bentuk lain dari popular wisdom adalah analogi.

Analogi merujuk pada kisah-kisah romantik yang banyak diingat

orang, atau pada konsep-konsep dan program-program dengan

bahasa-bahasa yang dekat dan diketahui. Orde Baru sering

37

Page 17: Metodologi Penelitian

melakukan politik analogi dengan konsep Semar, seorang tokoh

pewayangan setengah dewa dan setengah manusia untuk

memberikan aspek legitimasi pada rejim yang berkuasa.

Contoh klasik dari frame retoris ditampilkan oleh

presiden pertama RI, Soekarno ketika menanggapi demontrasi

mahasiswa tahun 60-an yang menuntut perubahan moralitas,

kebijakan pemerintahan, serta kekecewaan terhadap kabinet,

dan orientasi politik Sukarno yang dianggap masih melindungi

tokoh-tokoh PKI dengan mengadakan aksi corat-coret di rumah

salah satu istrinya dengan teks “lonte agung istana” “gerwani

agung” dan “sarang sipilis”.

Teks pidato Sukarno adalah sebagai berikut :

“Kau tahu apa yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa dirumah ibu Hartini? Kau tahu rumah ibu Hartini dicorat-coret “lonte agung, “gerwani agung dan lain-lainnya? Kau tahu apa artinya lonte? Hartini adalah istriku dan aku adalah bapakmu. Inikah yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya ?.” 12

Pada kutipan ini, Sukarno melakukan tiga teknik

sekaligus, pertama nominalisasi generalisasi dengan menyebut

“mahasiswa-mahasiswa” (padahal yang melakukan aksi corat-

coret hanya satu elemen mahasiswa dari sekian elemen yang

tergabung dalam KAMI, koherensi ( “Hartini adalah istriku dan

aku adalah bapakmu”) dan analogi dengan pertanyaan retoris

“Inikah yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya ?.”

Frame retoris tidak saja muncul pada pidato-pidato atau

pernyataan-pernyataan politik tetapi juga pada wacana-wacana

dan liputan yang tidak “berbau” idiologis-politis tetapi juga pada

wacana pornografis media massa terutama dalam leksikon kata-

12 Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, 1983, Jakarta, hal 198.

38

Page 18: Metodologi Penelitian

kata konotatif yang membentuk dan menekankan makna kata

tertentu (assosiatif).

Elemen-elemen dalam analisis wacana Pan dan Kosicki

dari Teun Van Dijk dalam bagan dapat digambarkan sebagai

berikut :

Tabel 3

Kerangka Framing Pan Kosicki dari Model Teun Van Dijk

STRUKTUR PERANGKAT FRAMING

UNIT YANG DIAMATI

SINTAKSISCara wartawan menyusun fakta

1. Skema Berita headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup.

SKRIPCara wartawan mengisahkan fakta

2. Kelengkapan Berita

5W+1H

TEMATIKCara wartawan menulis fakta

3. Detail4. Koherensi5. Bentuk Kalimat6. Kata Ganti

paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat

RETORISCara wartawan menekankan fakta

7. Leksikon8. Grafis9. Metafora

kata, idiom, gambar/foto, grafik

Sumber; Alex Shobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda

Karya, Bandung, 2001, hal.176

39