Metode Pendidikan Islam

download Metode Pendidikan Islam

of 26

Transcript of Metode Pendidikan Islam

BAB I PENDAHULUAN Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. Baik dan tidak baiknya sesuatu metode banyak bergantung kepada beberapa faktor. Faktor-faktor itu mungkin berupa situasi dan kondiai, pemakai metode itu sendiri yang kurang memahami penggunaannya atau tidak sesuai dengan seleranya, atau secara objektif metode itu kurang cocok dengan kondiai dari objek. Juga mungkin karena metodenya sendiri yang secara intrinsik tidak memenuhi persyaratan sebagai metode. Hal itu semua sangat bergantung pada metode itu diciptakan di satu pihak, dan pada sasaran yang akan digarap dengan metode itu di lain pihak. Dalam pengertian letterlijk, kata metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari meta yang berarti melalui , dan hodos yang berarti jalan. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui. Dalam pandangan filosofia pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatia dan monopragmatia. Polipragmatia, bilamana metode itu mengandung kegunaan yang serba ganda (multipurpose). Suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondiai tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi dan kondiai yang lain dapat digunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung pada si pemakai atau pada corak dan bentuk serta kemampuan dari metode sebagai alat, seperti halnya Video Cassette Recorder (VCR) yang dapat dipergunakan untuk merekam semua jenia film yang ?????? atau yang moralia (suatu bentuk dan kemampuan yang melekat padanya) juga dapat dipergunakan untuk alat mendidik/mengajar dengan film-film pendidikan. Sebaliknya, metode sebagai alat yang bersifat monopragmatia adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan saja. Miaalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang lain, seperti ilmu sosial atau kedokteran. Namun, bagaimanapun bentuk dan kemampuan sesuatu metode, penggunaan suatu macam metode dalam proses kependidikan adalah mutlak. Mungkin di bidang lain orang dapat mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan tanpa menggunakan suatu metode, melainkan harus memakai suatu teknik mengerjakannya saja.

BAB II PEMBAHASAN Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsiaten dan siatematia, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jadi, penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik/mengajar. Dalam hubungan proses pendidikan Ialam, terdapat suatu kaidah bahwa Segala alat yang dipergunakan untuk mencapai sesuatu yang wajib, hukumnya wajib pula. Kaidah ini berasal dari Usul Fikih. Bila dilihat dari pelaksanaan proses kependidikan Ialam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim dan muslimat, maka penggunaan suatu metode yang sesuai adalah wajib pula hukumnya. 1. Metode dalam Pendidikan atau Pengajaran Di kalangan masyarakat kita, masih terdapat pandangan yang membedakan pengertian antara apa yang dimaksud dengan pendidikan dan apa pengajaran. Dua iatilah tersebut dalam pengertian teknia pedagogia hampir tidak dapat dibedakan. Apalagi bila kita menganut paham pendidikan di Amerika Serikat, maka iatilah pengajaran hampir tidak pemah dipergunakan oleh para ahli pendidikan, karena pengertian pendidikan itu sendiri telah mencakup arti pengajaran. Akan tetapi, bilamana dilihat dari aspek filosofia, kedua iatilah tersebut berbeda pengertiannya, baik dilihat dari tujuannya maupun dari segi ruang lingkup kegiatannya. Pendidikan lebih mengarahkan tugasnya kepada pembinaan atau pembentukan sikap dan kepribadian manusia yang beruang lingkup pada proses mempengaruhi dan membentuk kemampuan kognitif, kognatif, dan afektif serta psikomotor dalam diri manusia. Pengajaran lebih menitikberatkan usahanya ke arah terbentuknya kemampuan maksimal intelektual dalam menerima, memahami, menghayati, dan menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang diajarkan. Sikap dan kepribadian sebagai hasil proses kependidikan seseorang itulah yang menjadi landasan orang yang telah berilmu pengetahuan. Jadi, sasaran psikologia proses kependidikan lebih menekankan pada usaha mengintemaliaasikan nilai-nilai atau mempribadikan nilai-nilai daripada proses pengajaran yang lebih menekankan pada mengintelektualiaasikan manusia dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam pembahasan metode pendidikan, khususnya Ialam, kita perlu melihat semua aspek dari kegiatan pendidikan dan pengajaran baik dilihat dari pendidik maupun anak didik.

a) Pendidik dengan metodenya harus mampu membimbing, mengarahkan, dan membina anak didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap dan kepribadiannya, sehingga tergambarlah dalam tingkah lakunya nilai-nilai ajaran Ialam dalam dirinya. Pengajar dengan metodenyajuga harus dapat menanamkan penger-tian dan kemampuan memahami, menghayati, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik sehingga ia menjadi manusia yang dewasa dalam ilmu pengetahuan. b) Anak didik yang tidak hanya menjadi objek pendidikan atau pengajaran, melainkanjuga menjadi subjek yang belajar, memerlukan suatu metode belajar agar dalam proses belajarnya dapat searah dengan cita-cita pendidik atau pengajarnya. Dengan kata lain, baik pendidik/pengajar maupun anak didik/pelajar dalam proses pendidikan atau belajar mengajar memerlukan metode. Herman H. Horne memberikan pembatasan arti metode dalam pendidikan sebagai suatu prosedur dalam mengajar. Biasanya suatu metode atau kombinasi metode yang dipergunakan dapat diidentifikasi, walaupun guru sama sekali tidak menyadari tentang permasalahan metode itu. Suatu. prinsip dari metode yang seiring diikuti dengan setengah sadar ialah ajarlah orang lain seperti orang lain pernah mengajarmu.44) Sedang pengertian yang lebih luas, metode diartikan sebagai cara bukan langkah atau prosedur. Kata prosedur lebih bersifat teknia adminiatratif atau taksonomia seolah-olah mendidik atau mengajar hanya diartikan sebagai langkah-langkah yang aksiomatia, kaku, dan tematia. Sedang metode yang diartikan sebagai cara mengandung pengertian yang fleksibel (lentur) sesuai kondiai dan situasi, dan mengandung implikasi mempengaruhi serta saling ketergantungan antara pendidik dan anak didik. Dalam pengertian kedua ini, antara pendidik dan anak didik berada dalam proses kebersamaan yang menuju ke arah tujuan tertentu. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tentang metode yang diaebut metodologi memberikan gambaran jelas bahwa bagaimana suatu metode mendidik atau mengajar dapat menjadi efektif atau tidak efektif, terutama didasarkan atas pandangan-pandangan psikologia, bukan atas dasar pandangan adminiatratif. Tujuan mempergunakan suatu metode yang paling tepat dalam pendidikan ialah untuk memperoleh efektivitas dari kegunaan metode itu sendiri. Efektivitas tersebut dapat diketahui dari kesenangan pendidik yang memakainya di satu pihak, serta timbulnya minat dan perhatian dari anak didik di lain pihak, dalam proses kependidikan dan pengajaran. Kedua belah pihak timbul rasa senang mengerjakan suatu pekerjaan karena apa yang dikerjakan itu bermanfaat bagi mereka. 2. Metode yang Dipergunakan dalam Pendidikan Islam Dalam sejarah pendidikan Ialam dapat diketahui bahwa para pendidik Muslim dalam berbagai situasi dan kondiai yang berbeda, telah menerapkan berbagai macam metode pendidikan atau pengajaran.

Metode-metode yang dipergunakan tidak hanya metode mendidik/ mengajar dari para pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus dipergunakan anak didik. 1) Al Gazali, seorang ahli pikir dan ahli tasawuf Ialam yang terkenal dengan gelar Pembela Ialam (Hujjatul Ialam), banyak mencurahkan perhatian kepada masalah pendidikan. Menurut Al Gazali, seorang pendidik agar memperoleh sukses dalam tugasnya harus menggunakan pengaruhnya serta cara yang tepat arah. Bila dipandang dari segi filosofia, Al Gazali adalah berpaham idealiame yang konsekuen terhadap agama. Dalam masalah pendidikan, Al Gazali lebih cenderung berpaham empiriame, karena beliau sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap anak didik. Miaalnya di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin juz III, Al Gazali menguraikan antara lain: metode untuk melatih anak adalah salah satu dari hal-hal yang amat penting. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya. Hatinya bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran atau gambaran apa pun. la dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan ia akan cenderung ke arah manapun yang kita kehendaki (condongkan). Oleh karena itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan akan memperoleh kebahagiaan hidup dunia akhirat. Orang tuanya, gurunya, pendidiknya juga akan turut berbahagia bersamanya. Sebaliknya, bila anak itu kita biasakan dengan sifat-sifat jelek dan kita biarkan begitu saja, maka ia akan celaka dan binasa. Semua tanggung jawab dalam hal itu terletak pada pundak pengasuhnya atau walinya. Walinya wajib menjaga anak tersebut dari segala dosa, mendidik, dan mengajarnya dengan budi pekerti yang luhur serta menjaganya jangan sampai bergaul dengan teman-temannya yang nakal dan seterusnya. Di dalam membahas masalah belajar, Al Gazali lebih menekankan potensi rasio daripada potensi kejiwaan yang lain, meskipun potensi rasio manusia dipandang berada di dalam kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan adalah yang pertama, sedang rasio manusia yang kedua. Beliau menyatakan: Secara potensial, pengetahuan itu ada di dalam jiwa manusia bagaikan benih di dalam tanah. Dengan melalui belajar potensi itu barn menjadi aktual. Dalam hal mendidik, Al Gazali mengambil sistem yang berasaskan keseimbangan antara kemampuan rasional dengan kekuasaan Tuhan, antara kemampuan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bekerjanya akal pikiran, dan keseimbangan antara berpikir deduktif logis dengan pengalaman empiric manusia.Atas dasar pandangan Al Gazali yang bercorak empiris itu maka tergambar pula dalam metode pendidikan yang diinginkan. Di antaranya lebih menekankan pada perbaikan sikap dan tingkah laku para pendidik dalam mendidik, seperti berikut. a) Guru harus bersikap mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri.

b) Guru tidak usah mengharapkan upah dari tugas pekerjaannya, karena mendidik/mengajar merupakan tugas pekerjaan mengikuti jejak Nabi Muhammad saw. Nilainya lebih tinggi dari ukuran harta atau uang. Mengajar/mendidik adalah usaha untuk menunjukkan manusia ke arah yang hak dan kebaikan serta ilmu. Upahnya adalah terletak pada diri anak didik yang setelah dewasa menjadi orang yang mengamalkan hal-hal yang is didikkan atau ajarkan.

c) Guru harus memberi nasihat kepada muridnya agar menuntut ilmu tidak untuk kebanggaan diri atau untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak pula untuk mencari kehidupan atau pekerjaan. d) Guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang manfaat itu adalah ilmu yang dapat membawa kebahagiaan di akhirat, yaitu ilmu agama. e) Guru harus memberi contoh yang baik dan teladan yang indah di mata anak didik sehingga anak senang untuk mencontoh tingkah lakunya. Dia harus berjiwa halus, sopan serta berjiwa tasammuh (luas dada), murah hati, dan terpuji. f) Guru harus mengajarkan apa yang sesuai dengan tingkat kemampuan akal anak didik. Jangan mengajarkan hal-hal yang belum dapat ditangkap oleh akal pikirannya maka is akan menjauhinya atau akal pikirannya tidak dapat berkembang. g) Guru harus mengamalkan ilmunya, karena is menjadi idola di mata anak. Bila tidak mengamalkan ilmunya, niscaya orang akan mence-moohkannya. h) Guru harus dapat memahami jiwa anak didiknya. la harus mempelajari jiwa mereka agar tidak salah mendidik mereka. Dengan pengetahuan tentang anak didik, is dapat menjalin hubungan akrab antara dirinya dengan anak didiknya. Secara praktis, guru harus mendidik mereka berdasarkan ilmujiwa. i) Guru harus dapat mendidik keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikirannya tunduk kepada ajaran agama. Akal pikiran mereka harus dituntun oleh imannya, karena tanpa tuntunan iman akal pikiran tidak akan dapat mencapai makrifat kepada Allah. Dengan demikian jelaslah kepada kita bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip pada child centered yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Metode demikian dapat diwujudkan dalam berbagai macam metode antara lain: metode contoh teladan, metode guidance & counselling (bimbingan dan penyuluhan), metode cerita, metode motivasi, metode reinforcement (mendorong semangat), dan sebagainya. Dalam uraiannya yang lain, Al Gazali juga meletakkan prinsip metode belajar pada aspek mental atau sikap, sebagaimana kata-kata beliau Wajib atas para murid untuk membersihkan jiwanya dari kotoran/kerendahan akhlak dan dari sifat-sifat yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya akhlak menjadi asas bagi kemajuan ilmu yang dituntutnya.49) Memang di sinilah letak ciri khas paham Al Gazali dalam masalah pendidikan. Beliau tergolong tokoh yang berpaham moralis idealisme dalam pendidikan. Pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia. Bagaimanapun anak telah memiliki berbagai ilmu dan pengalaman, akan tetapi akhlak mulia harus mendasari hidupnya. Akhlak harus bersumberkan iman kepada Allah.

2) Ibnu Khaldun, ahli sejarah dan sosiologi dari Tunisia, lahir pada tahun 1332 M (732 H) juga memberikan perhatian cukup besar terhadap masalah pendidikan. Pandangannya tentang masalah pendidikan itu ditulis di dalam Muqaddimahjuz I. Prinsip pandangannya tentang pendidikan antara lain tampak pada sikapnya yang menganggap bahwa manusia berbeda dengan binatang karena kapasitas berpikirnya. Akal pikirannya memimpinnya, menciptakan kehidupan dan untuk bekerja sama dengan anggotaanggota masyarakat lainnya serta untuk menerima wahyu Tuhan yang diberikan kepada NabiNya guna kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat. Manusia oleh karena makhluk yang berakal pikiran dan akal pikirannya itulah yang menjadi dasar bagi semua kegiatan belajarnya. Sebagaimana Al Gazali, Ibnu Khaldun juga menganggap bahwa akal pikiran manusia itu bersifat terbatas di dalam proses belajar yang banyak bergantung pada bimbingan dan petunjuk Tuhan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui belajar itu berbeda-beda tingkatnya menurut kapasitas daya berpikirnya orang yang belajar. Tetapi, penguasaan salah satu cabang ilmu pengetahuan akan menjadi persiapan bagi pelajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lain. Beliau setuju kepada kebiasaan orang yang mengembara mencari ilmu dari berbagai guru karena akan mendorong ke arah pengertian yang lebih dalam serta cakrawala pandangan yang lebih luas. Dalam proses belajar, akal pikiran memungkinkan orang untuk menangkap pengertian baik dari ucapan maupun dari tulisan serta mampu pula mengambil kesimpulan-kesimpulan tentang hukum-hukum yang membentuk susunan dan relasi antara berbagai pengertian yang berbeda. Tidak semua pelajar meninggalkan semua pengertian artificial (semu) belajar dan menggunakan akal pikiran (reasoning) yang ash dalam dirinya sendiri serta memohon bimbingan dari Tuhan yang akan memberi cahaya yang menerangijalannya sebelum mempelajari hal-hal yang belum diketahui.so) Walaupun pendapat Ibnu Khaldun tersebut lebih sesuai bagi para pelajar tingkat tinggi, namunjelas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam proses belajar mengajar (pendidikan) akal pikiran manusia menjadi potensi psikologis yang utama. Tentang pendidikan anak-anak tingkat dasar, beliau memberikan petunjuk agar mereka diperlakukan atas dasar kasih sayang, oleh karena tidak saja sikap kasar membuat tumpul kemampuan belajar mereka, melainkanjuga kekasaran itu dapat merugikan/merusak harkat kemanusiaannya. Metode pendekatan dalam pendidikan anak yang dianggap baik oleh Ibnu Khaldun adalah yang bersifat psikologis, misalnya mengajarkan Alquran kepada anak harus diakhirkan setelah mengajarkan bahasa Arab dan sastra atau berhitung. Karena bagi anak mempelajari Alquran lebih sukar daripada bahasa Arab dan berhitung. Meskipun kebiasaan umum pada saat itu tidak menyetujuinya,dan ada bahaya lainnya yaitu kemungkinan anak mudah tergoda untuk mengabaikan pelajaran Alquran.

Prinsip-prinsip metodologis yang disarankan oleh Ibnu Khaldun adalah sebagai berikut.52 a) Hendaknya tidak memberikan pelajaran tentang hal-hal yang sulit kepada anak didik yang baru mulai belajar. Anak didik harus diberi persiapan secara bertahap yang menuju kesempurnaannya. b) Agar anak didik diajar tentang masalah-masalah yang sederhana yang dapat ditangkap oleh akal pikirannya, baru kemudian secara bertahap dibawa kepada hal-hal yang lebih sukar dengan mempergunakan contoh yang baik atau alat peraga atau alat tertentu. Dengan demikian, barulah is akan berhasil memperoleh ilmu dan keterampilan yang diharapkan. c) Jangan memberikan ilmu yang melebihi kemampuan akal pikiran anak didik, karena hal itu akan menyebabkan anak didik menjauhi ilmu itu dan membuatnya malas mempelajarinya. Jelaslah bahwa prinsip yang digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam metode mengajar didasarkan atas pendekatan psikologis, meskipun metode yang diterapkan lebih bersifat intelektualistis, karena hanya menitikberatkan pada kecerdasan akal saja. 3) Ibnu Sina (lahir tahun 985 M) tidak banyak membicarakan masalahpendidikan. Beliau juga sedikit membahas tentang kehidupan psikologis, terutama akal manusia. Dalam hubungannya dengan pemikiran filosofis kependidikan, Ibnu Sina tidak banyak memberikan pendapatnya, melainkan hanya beberapa pendapat yang hampir serupa dengan pendapat Al Gazali dan Ibnu Khaldun. Antara lain yang dapat dikaitkan dengan metodenya adalah pendapat bahwa anak-anak harus diperhatikan pendidikan akhlaknya. a) Anak harus dijauhkan dari kemarahan, takut, atau perasaan sedih serta kurang tidur

b) Setiap saat harus diperhatikan keinginan-keinginannya atau kesenangannya, lalu diusahakan memenuhinya. Juga hal-hal yang tidak disukainya, harus kitajauhkan. Hal tersebut bukanlah berarti harus menuruti perintahnya, melainkan untuk memudahkan hidupnya. Menurut pandangan Ibnu Sina, ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari kedua hal tersebut di atas, yaitu manfaat rohani dan manfaatjasmani. Dengan cara demikian budi pekerti yang luhur (akhlak mulia) akan dapat berkembang dalam diri pribadinya semenjak masa kanakkanak sejalan dengan kecenderungan yang baik. Budi pekerti yang baik timbul dari kecenderungan yang baik. Sebaliknya, budi pekerti yang jelek timbul dari kecenderungan yang jelek pula. Budi pekerti yang luhur dapat memelihara kesehatan rohani dan jasmani, dan seterusnya. Pendidikan akhlak yang diuraikan di atas lebih tepat bila dilakukan dalam keluarga oleh orang tua anak. Namun, tekanan utama yang diinginkan oleh Ibnu Sina adalah pendidikan moral. Hal ini menunjukkan bahwa paham Ibnu Sina dalam masalah pendidikan adalah idealisme.

Metode yang diperlukan dalam mendidik akhlak anak antara lain adalah metode pembiasaan, perintah dan larangan, pemberian suasana (metode situasional), uswatun hasanah (contoh teladan), serta memberi motivasi atau dorongan, pemberian hadiah dan hukuman, targhib wat tarhib, metode persuasif (ikhaas wal iraadh). 4) Muhammad Abduh, ulama cendekiawan Mesir (maha guru Universitas Al Azhar di Kairo), menghendaki adanya pembaruan dalam sikap dan pandangan di kalangan umat Islam. Sikp dan pandangan baru itu menyangkut cara memahami dan menafsirkan ajaran Islam. Perubahan sikap dan pandangan demikian tidak bisa lain kecuali harus melalui proses kependidikan. a) Sebagai seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami ajaran Islam dari sumbernya yaitu Alquran dan Al Hadis, sebagai ganti metode verbalisme (menghafal). Sering pula mengajarkan bahasa Arab dengan metode demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf Arab dengan jelas dan sederhana. Sebagai tokoh modernisasi dalam pendidikan, beliau juga ingin melakukan modernisasi dalam filsafat, teologi, dan bidang-bidang lainnya. Untuk melakukan modernisasi melalui sistem pendidikan, beliau mengusulkan adanya tigajenis sekolah sebagai berikut. Sekolah dasar negeri hendaknya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, juga sejarah Islam, pendidikan agama, dan pendidikan moral. b) Sekolah-sekolah khusus negeri yang mendidik calon pegawai dan perwira militer, hendaknyajuga diberi pendidikan agama dan moral. c) Sekolah-sekolah khusus untuk mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, tidak hanya agama, melainkan juga sejarah umum. Kurikulum untuk sekolah-sekolah khusus tersebut hendaknya memasukkan mata pelajaran bahasa asing, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Semua jenis sekolah tersebut di atas bukan untuk menciptakan kelompok sosial yang eksklusif, melainkan untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat. Prinsip fundamental dari pandangannya ialah perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pelajaran agama dan sejarah nasional harus diintegrasikan ke dalam praktikum di bidang pertanian dan industri ringan, bahkan lebih dari itu yaitu agar pendidikan agama diintegrasikan ke dalam ilmu pengetahuan umum, begitu juga sebaliknya. Pendidikan dan pengajaran adalah diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik. Juga pendidikan dipandang sebagai alat yang paling berpengaruh (efektif) untuk melakukan perubahan. 3. Prinsip-Prinsip Metodologis dalam Alquran Bilamana kita mendalami ayat-ayat Alquran melalui cara berpikir filosofis, maka dapat kita ketahui bahwa di dalam kitab suci Alquran terdapat berbagai gaya bahasa atau uslub yang mengandung nilai metodologis dalam pendidikan. Allah telah menunjukkan kepada kita prinsip-prinsip dalam melaksanakan pendidikan terhadap manusia, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implicit (tersirat) dalam irslub-uslub firman-

Nya. Tuhan menurunkan Alquran bertujuan untuk memberi rahmat sekalian alam melalui proses pendidikan atau pengajaran itu. Di dalam proses itu terdapat sistem pendekatan metodologis yang pada dasarnya dapat kita analisis sebagai berikut. a) Pendekatan psikologis. Aspek rasional atau intelektual mendorong manusia untuk berpikir induktif dan deduktif tentang gejala ciptaan-Nya di langit dan di bumi. Juga aspek emosional yang mendorong manusia untuk merasakan adanya kekuasaan yang lebih tinggi yang gaib sebagai pengendali jalannya alam dan kehidupan. Sedang aspek ingatan dan kemauan manusia juga didorong untuk difungsikan ke dalam kegiatan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang diturunkan-Nya. Seluruh aspek kehidupan psikologis manusia dibangkitkan oleh Tuhan untuk dipergunakan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hanya dimensi potensial masing-masing manusia yang membedakan tingkat dan martabatnya dalam masyarakat. Namun, tolok ukur bagi kesamaan derajatnya yang esensial terletak pada dimensi potensial yang fundamental, berupa takwa terhadap Tuhannya. b) Pendekatan sosiokultural. Memandang manusia tidak hanya makhluk individual yang menghamba kepada Tuhannya, melainkan juga makhluk sosial budaya yang dikaruniai potensi menciptakan sistem kehidupan bermasyarakat (bersuku-suku atau berbangsa-bangsa) serta menciptakan atau mengembangkan kebudayaannya bagi kesejahteraannya. c) Pendekatan scientific. Memandang bahwa manusia yang diciptakanNya adalah makhluk yang dikaruniai daya (potensi) menciptakan atau menemukan hal-hal baru yang kemudian dikembangkan melalui inteleknya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidupnya. Hasil ciptaan dan penemuannya itu berupa ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmuilmu lainnya. Akan tetapi, semua ilmu dan teknologi serta ilmu-ilmu lain yang ditemukan harus didasari dengan iman. Dengan ilmu pengetahuan yang didasari iman, manusia dapat memperoleh derajat yang tinggi. Di dalam alam semesta ciptaan Tuhan itulah terdapat bahan-bahan ilmiah yang dapat digali dan dikembangkan serta dimanfaatkan oleh manusia. Oleh karena itu, Tuhan selalu mendorong manusia untuk mengamati seluk-beluk kejadian alam semesta beserta seluruh isinya. Menurut pandangan Prof. Dr. Mohammad Fadhil Al-Djamaly, gaya bahasa dan ungkapan yang terdapat dalam firman-firman Allah (Alquran) menunjukkan fenomena bahwa firman itu mengandung nilai-nilai metodologis kependidikan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat serta sasaran yang dihadapi (yang menjadi khithab-Nya). Namun, yang sangat esensial adalah bahwa firman-firman itu senantiasa mengandung hikmah kebijaksanaan yang secara metodologis disesuaikan dengan kecenderungan-kecenderungan psikologis manusia yang hidup dalam situasi dan kondisi berbeda-beda itu. Kecenderungan psikologis dalam situasi dan kondisi yang berbedabeda itulah yang diperhatikan oleh Allah sebagai latar belakang utama dari turunnya wahyu-wahyu-Nya.

Pertama-tama Allah mengarahkan firman-firman-Nya kepada kemampuan akal pikiran manusia, karena akal pikiran menjadi kriteria antara manusia dan makhluk lainnya. Oleh karena itu, kitabNya hanya kepada manusia saja. Dengan akalnya manusia dapat memilih alternatife-alternatif tentang baik atau buruk, salah atau benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat, baik dilihat dari Tuhan, manusia, ataupun dirinya sendiri. Dengan demikian metode yang terkandung dalam khithab tersebut di atas adalah berupa metode pemberian alternatif, melalui ungkapan-ungkapan historis, simbolis, instruksi, dan larangan dalam susunan nilai hukum yang kategorial (wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram). Akan tetapi, karena pendekatan Tuhan terhadap manusia juga berdasarkan kejiwaan, maka instruksi dan larangan yang dibebankan kepada hamba-Nya itu juga didasarkan atas kadar kemampuan psikologis Nya atau bergantung situasi dan kondisi yang melingkupinya. Oleh karena itu, taklif (beban) yang dipikulkan kepada manusia juga berbeda-beda, meskipun tugas dan tanggung jawabnya tetap sama, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Pendekatan yang demikian berpangkal pada pengertian bahwa dalam proses kehidupan, manusia menempati tingkat kedudukan yang satu sama lain berbeda, yang sumbemya terletak pada kemampuan berkembang yang berbeda secara individual, di samping qada dan gadar yang membatasinya (bukan masalah kependidikan). Didasarkan atas sistem pendekatan dari pelbagai disiplin keilmuan, suatu metode pendidikan barn dapat memiliki nilai efektivitas, oleh karena anak didik tidak saja dipandang dari satu segi kemungkinan perkembangan, melainkan dilihat pula dari pelbagai aspek hidupnya. Meskipun titik sentral dari fungsi manusia adalah beribadah kepada Allah, fungsi demikian baru dapat berkembang dengan cukup baik bilamana kemampuan-kemampuan ganda dalam diri pribadinya selalu karena takdir Allah, diberi bimbingan dan pengarahan yang baik pula melalui proses kependidikan ke arahjalan yang diridai oleh Tuhannya. Dalam metodologi pendidikan Islam kemungkinan demikian harus senantiasa diusahakan untuk diungkapkan melalui berbagai metode yang didasarkan atas pendekatan yang multidimensional sebagai yang dicontohkan dalam uslub dan manhaj attarbuwwy (langkah pedagogis) dari firmanfirman Allah dalam Alquran. Bila kita pandang bahwa suatu metode adalah suatu subsistem ilmu pendidikan Islam yang berfungsi sebagai alat pendidikan, jelaslah bahwa seluruh firman Tuhan dalam Alquran sebagai sumber ilmu pendidikan Islam itu mengandung implikasi-implikasi metodologis yang komprehensif mencakup semua aspek dari kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pribadi manusia. Aspek-aspek kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan manusia itu pada hakikatnya tercermin dalam gaya bahasa khithab Tuhan yang bersifat direktif sebagai berikut. 1). Mendorong manusia untuk menggunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala kehidupannya sendiri dan gejala kehidupan alam sekitarnya.Dalam ruang lingkup

pengembangan akal pikiran inilah, Tuhan mendorong manusia untuk berpikir analitis dan sintetis melalui proses berpikir induktif clan deduktif. Firman Allah yang mengandung implikasi metodologis demikian antaralain terdapat dalam ayat sebagai berikut: Kami akan rnenunjukkan kepada mereka ayat-ayat Kami di semua penjuru alam dan di dalam diri mereka sendiri sehingga menjadi jelaslah bagi mereka bahwa Tuhan itu adalah Hak (QS. Fusshilaat: 53) Juga ayat yang menyatakan: Apakah mereka itu tidak memperhatikan unta-unta bagaimana is dijadikan. Dan melihat langit bagaimana is ditinggikan. Dan melihat gunung-gunung bagaimana is ditegakkan. Dan melihat kepada bumi ini bagaimana is dihamparkan. Maka berilah peringatan. Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang bertugasmemberikan peringatan. (QS. Al Ghasyiyah: 17-21) 2). Mendorong manusia untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dan mengaktualisasikan keimanan dan takwanya dalam hidup sehari-hari sebagaimana terkandung di dalam perintah salat, shiyam, danjihad fisabilillah, dan sebagainya. Metode yang digunakan Allah dalam hal ini adalah perintah dan larangan serta metode function (praktik) sebagaimana halnya Allah memerintahkan bersalat dengan menunjukkan faedah/manfaatnya sebagai berikut: Bacalah apa yang Aku wahyukan kepadamu dari al kitab ini dan dirikanlah shalat, karena shalat itu sesungguhnya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (QS. Al Ankabuut: 45) Dan juga ayat yang menyatakan: Perintahkanlah keluargamu supaya melakukan shalat mengerjakannya (QS. Thaahaa: 132) dan bersabarlah kamu dalam

Demikian pula tentang menjalankan puasa Ramadhan, Tuhan menunjukkan manfaatnya bagi hidup manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya maupun dengan alam sekitarnya serta dirinya sendiri, misalnya ayat yang menyatakan sebagai berikut: Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183) Dan ayat lainnya yang artinya sebagai berikut. Dalam bulan Ramadan di mana Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan buktibukti dari petunjuk itu serta menjadi kriterium (pemisah antara benar dan batil). Maka barangsiapa di antaramu hadir dalam bulan itu, berpuasalah, dan barangsiapa menderita sakit atas di tengah safa (boleh tidak berpuasa) maka diganti dengan puasa pada hari lainnya. Tuhan menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dan sempurnakanlah

hitungan hari puasamu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang telah diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah: 185) Juga perintah dan larangan dalam kegiatan hidup manusia yang dinyatakan dalam Alquran mengandung implikasi yang mendidik ke arah kebaikan dan kebahagiaan serta kesejahteraan manusia itu sendiri dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Nabi Muhammad saw. sendiri dalam masalah menegakkan shalat tersebut pernah mengajarkan kepada sahabatnya dengan menggunakan metode demonstrasi di depan mereka, agar mereka lebihjelas dan mudah menirunya. Nabi memerintahkan sebagai berikut:

Salatlah kamu seperti kamu lihat aku salat. 3) Mendorong berjihad. Dengan melalui jihad fi sabilillah itu manusia akan memperoleh jalan kebenaran Tuhan serta menjadi orang yang beruntung. Berjihad di sini berarti bersungguhsungguh dalam pekerjaan. Dengan sikap serius (sungguh-sungguh) itu is akan memperoleh hasil yang menguntungkan dirinya sendiri. Ada pepatah Arab yang menyatakan: Barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapat apa yang diinginkan.

Suatu kesungguhan usaha dan bekerja itu Baru dapat dibangkitkan atas motivasi yang beipusat pada pribadi seseorang, artinya dalam pribadinya tumbuh kesadaran yang berpangkal pada alasan-alasan yang diyakini kebenarannya. Dalam hubungan ini maka metode yang berdasarkan pendekatan motivatif akan mampu menggerakkan semangat bekerja dan berusaha seseorang anak didik bilamana sekaligus didorong oleh nilai-nilai motivatif dari ketiga aspek, yaitu motivasi teogenetis yang memberikan dorongan berdasarkan nilainilai ajaran agama dan motivasi sosiogenetis yang memberikan dorongan berdasarkan nilai-nilai dari kehidupan masyarakat serta motivasi biogenetis yang mendorongnya berdasarkan kebutuhan kehidupan biologisnya selaku makhluk manusia yang terbentuk dari unsurjasmaniah dan rohaniah. Ketiga aspek tersebut telah ditunjukkan Allah dalam kitab suci-Nya secara simultan (bersamaan), karena satu sama lain berkaitan. Hubungan vertikal dengan Tuhannya dan hubungan horizontal dengan masyarakatnya mengharuskan manusia mengambil nilai-nilai dari ketiga aspek ini menjadi tenaga pendorong dalam hidupnya. Sedangkan kebutuhan berkembang dan tumbuh bagi dirinya sendiri dalam masyarakat tetap hares dapat dijadikan motivasi yang mendorong ke arah hidup yang penuh dengan dinamika dan progresivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 4) Dalam usaha meyakinkan manusia bahwa Islam merupakan kebenaran yang hak, Tuhan sering pula mempergunakan metode pemberian suasana (situasional) pada suatu situasi dan kondisi tertentu. Misalnya, Allah menunjukkan bahwa memeluk Islam itu tidak melalui paksaan, melainkan atas dasar kesadaran dan kerelaan. Dan Islam bukan agama yang mempersukar, melainkan mempermudah manusia.

Allah memerintahkan agar orang-orang yang telah beriman itu digembirakan ( dengan gambaran kehidupan akhirat (surga) yang serba membahagiakan, dan sebagainya.

)

Oleh karena itu dalam mengajarkan agama kepada orang kafir, Nabi pernah memerintahkan Mu adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asyary sebagai utusan Nabi untuk berdakwah ke negeri Syam dengan sabdanya: Permudahlah dan jangan kamu persulit mereka, dan gembirakanlah mereka dan janganlah kamu berbuat yang menyebabkan mereka lari daripadamu. 5) Metode mendidik secara kelompok yang dapat disampaikan dengan metode mutual education. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi sendiri dalam mengajarkan shalat dengan mendemonstrasikan cara-cara shalat yang benar

Juga menganjurkan bagaimana shalat secara berjamaah dengan pahalanya berlipat 27 kali atau shalat Jumat setiap hari Jumat seminggu sekali, dan sebagainya. Dengan cara berkelompok inilah maka proses mengetahui dan memahami pelajaran akan lebih efektif, oleh karena satu sama lain dapat saling bertanya dan Baling mengoreksi bila satu sama lain melakukan kesalahan. 6) Metode pendidikan dengan menggunakan cara instruksional, yaitu bersifat mengajar yang lebih menitikberatkan pada kecerdasan dan pengetahuan. Misalnya, Allah mengajarkan tentang ciri-ciri orang yang beriman dalam bersikap dan bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap dan berperilaku sehari-hari. Metode-metode lainnya akan dapat kita identifikasikan lagi, bila kita membahas Ilmu Pendidikan Islam dalam buku tersendiri. Bab 13 Tujuan Pendidikan Islam

Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriahnya. Dengan kata lain, perilaku lahiriah adalah cermin yang

memproyeksikan nilai-nilai ideal yang telah mengacu di dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses kependidikan. Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas islami. Sedang idealitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada kekuasaan Allah yang mutlak itu mengandung makna penyerahan diri secara total kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada Allah Yang Maha Esa menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada-Nya semata. Bila manusia telah bersikap menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah (Khaliknya) berarti telah berada di dalam dimensi kehidupan yang menyejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Inilah tujuan pendidikan Islam yang optimal sesuai doa kita sehari-hari yang selalu. kita panjatkan kepada Allah setiap waktu:

Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai ideal islami dapat kita kategorikan ke dalam tiga macam sebagai berikut. 1. Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan ini mendorong kegiatan manusia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia ini agar menjadi bekal/sarana bagi kehidupan di akhirat. 2. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan. Dimensi ini menuntut manusia untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki, namun kemelaratan atau kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan duniawi bisa menjadi ancaman yang menjerumuskan manusia kepada kekufuran. 3. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan (mengintegrasikan) antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia. Dimensi-dimensi nilai di atas merupakan sasaran idealitas islami yang seharusnya dijadikan dasar fundamental dari proses kependidikan Islam. Dimensi-dimensi nilai tersebut seharusnya ditanam-tumbuhkan di dalam pribadi muslim secara seutuhnya melalui proses pembudayaan yang bercorak pedagogis, dengan sistem atau struktur kependidikan yang bagaimanapun ragamnya.

Di sinilah kita dapat melihat bahwa dimensi nilai-nilai islami yang menekankan keseimbangan dan keselarasan hidup duniawi-ukhrawi menjadi landasan ideal yang hendak dikembangkan atau dibudayakan dalam pribadi manusia melalui pendidikan sebagai alat pembudayaan. Nilai-nilai islami yang fundamental yang mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat tidak berkecenderungan untuk berubah mengikuti selera nafsu manusia yang berubah-ubah sesuai tuntutan perubahan sosial. Nilai-nilai islami yang absolut dari Tuhan itu sebaliknya akan berfungsi sebagai pengendali atau pengarah terhadap tuntutan perubahan sosial dan tuntutan individual. Konfigurasi dari nilai-nilai islami mungkin dapat mengalami perubahan, namun secara intrinsik nilai tersebut tetap tak berubah. Sebab bila secara intrinsik nilai tersebut berubah maka makna kewahyuan (revillatif) dari sumber nilai yang berupa kitab suci Alquran, akan mengalami kerusakan. Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan, dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai islami yang bersumber dari kitab suci Alquran danAl Hadis. Dan sejalan dengan tuntutan kemajuan atau modernisasi kehidupan masyarakat akibat pengaruh kebudayaan yang meningkat, pendidikan Islam memberikan kelenturan (fleksibilitas) perkembangan nilainilai dalam ruang lingkup konfigurasinya. Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan contoh sebagai berikut. Pada zaman Nabi dahulu belum dijumpai adanya teknologi canggih di bidang informasi dan transportasi, sehingga di dalam firman-firman Allah dan Sabda Naibi sendiri belum secara eksplisit memberikan tuntunan tentang penggunaan alat teknologi yang akhir-akhir ini telah membanjir ke tengafi kehidupan masyarakat kita. Apakah wajar bilamana umat Islam dilarang untuk memanfaatkan hasil teknologi seperti kapal terbang jet untuk pengangkutan jemaah haji ke Tanah Suci dan apakah kita diharamkan men.,,gunakan teknologi informatika seperti alat pengeras suara, radio/TV, Video Cassette Recorder, bahkan facsimile (fotokopi jarak jauh) dan sebagainya? Dengan contoh-contoh di atas, pendidikan Islam justru wajib memperluas r .ntangan konfigurasi nilai-nilai islami sehingga setiap pribadi muslim akan mampu melakukan dialog konstruktif terhadap kemajuan teknologi modern di mana prinsip-prinsip nilai islami memberikan jalan terarah kepada setiap muslim untuk memanfaatkan, mengembangkan ilmu dan teknologi sejauh mungkin dapat dicapai. Bukan lagi nilai islami jika kaidah-kaidahnya membelenggu ruang gerak daya cipta, karsa, dan rasa pribadi muslim, sehingga membawa ke arah kemunduran di segalabidang atau sebagian bidang kehidupan masa kini dan mendatang. Nilai islami yang seharusnya dikembang-tumbuhkan dalam pribadi anak didik melalui proses kependidikan adalah berwatak fleksibel dan dinamis dalam konfigurasi normatif yang tak berubah sepanjang masa. Dengan demikian, Pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai islami, juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas

wahyu Tuhan. Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik anak didik agar memiliki kedewasaan atau kematangan dalam beriman, bertakwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh, sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, Pendidikan Islam harus mampu menciptakan para mujtahid barn dalam bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu. Duniawi, bagi Islam mengandung nilai ukhrawi karena dengan amal baik di dunia, manusia akan mampu meraih kebahagiaan di akhirat. Sedang ukhrawi adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia muslim. Tujuan akhir inilah yang menjiwai atau mewarnai amal perilakunya di dunia yang tak terpisahkan dari tuntutan nilai keukhrawiannya. Sebagai gambaran bagaimana seorang yang intelektualis berkepribadian muslim harus berperilaku, Abul A la al-Maududi, salah seorang cendekiawan muslim, pembaru yang bercitacita agar umat Islam kembali kepada kemurnian ajaran Islam, mendeskripsikan sebagai berikut: berbeda dengan seorang cendekiawan yang kafir, seorang cende kiawan muslim menggunakan ilmu pengetahuannya dan kecerdasannya untuk mengenal Tuhannya, memantapkan keimanannya kepada Tuhannya, dan tanpa ada rasa paksaan is memilih jalan berbakti kepada-Nya. la tidak akan salah membedakan antara yang hak dari yang batil, dan is memilih yang hak meskipun is mempunyai kecenderungan ke arah perbuatan sesat. la menyadari tentang kejadian alaminya hukum-hukum dan realitas alami serta mengesampingkan kemampuan dan kebebasan mengambil jalan apa pun; is tetap mengambil jalan berbakti dan taat kepada Tuhannya. Diaberhasil lulus dalam ujian, karena is menggunakan kecerdasannya dan semua kemampuannya secara tepat guna.57) Makin dalam pemikirannya terhadap dunia ilmu pengetahuan, makin kuat imannya kepada Tuhan; is bersujud syukur kepada Tuhannya. la merasa bahwa Tuhannya telah memberikan karunia kepadanya kekuatan dan ilmu pengetahuan sehingga is merasa harus mendarmabaktikan diri pribadinya untuk kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan sesama manusia dan seterusnya.58) Mengapa manusia perlu dibekali dengan kepribadian islami? Jawabnya adalah karena manusia pada zaman modern ini banyak menghadapi tantangan dan ancaman demoralisasi yang menimbulkan keresahan dan derita hidup. Gambaran suram dari masyarakat modern pernah diberikan oleh Bertrand Russell, salah seorang ahli pikir Inggris kenamaan, sebagai berikut: Secara gampangnya dapat dikatakan bahwa kita saat ini berada di tengah-tengah bangsa yang menjadikan keterampilan (keahlian) manusia sebagai alat dan kebodohan manusia sebagai tujuan. Setiap bertambah keahlian yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu maka keahlian tersebut digunakan untuk mencapai kejelekan. Dari sanalah, bangsa manusia hidup berkat kebodohan dan ketiadaan keahlian. Tetapi, pengetahuan dan kompetensi yang diperoleh dikombinasikan dengan ketololannya itujustru tidak memberikan arah tertentu dari hidupnya (survival). Pengetahuan adalah kekuasaan, tetapi kekuasaan untuk menciptakan, baik kejahatan ataupun kebaikan. Hal ini berakibat bahwa jika manusia tidak bertambah kebijakannya sama besarnya dengan pengetahuannya maka pertambahan pengetahuannya akan menambah kesengsaraan.

Pendidikan Islam harus mampu menciptakan manusia muslim yang berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan takwanya menjadi pengendali dalam penerapan atau pengamalannya dalam masyarakat manusia. Bilamana tidak demikian, maka derajat dan martabat diri pribadinya selaku hamba Allah akan merosot, bahkan akan membahayakan umat manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia sebagai produk (hasil) dari proses kependidikan Islam mampu mencari cara-cara hidup (way of life) yang membawa kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan cara hidup yang menyejahterakan diri dan masyarakatnya, adalah manusia yang di dalam dirinya tidak bersinar iman dan takwa, sehingga menderita kegelapan jiwa yang tak kunjung usai, sebagaimana digambarkan oleh Alquran sebagai orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan penyakit itu bertambah parah. Seorang ahli pikir Barat bernama Joad pernah mengeluh tentang keresahan manusia di Barat akibat ketiadaan iman kepada Tuhan sebagai berikut: Kita sekarang ini diajar untuk terbang bagaikan burung di udara dan diajar untuk berenang bagaikan ikan di air, tetapi (tidak diajarkan) bagaimana kita harus hidup di atas bumi ini, kita tidak mengetahuinya. Sebagai wahyu terakhir, ajaran Islam telah memberikan resep kehidupan yang menyeluruh untuk digunakan sebagai landasan hidup manusia di segala zaman dan dalam segenap bidang kehidupan yang diperlukannya. Resep demikian tidak akan berguna bagi manusia bilamana manusia itu sendiri sebagai konsumennya tidak dibekali kemampuan mengaktualisasikannya melalui proses kependidikan yang sesuai dengan cita-cita Tuhan yang menurunkan resep kehidupan itu. Tuntunan Islam kepada para pendidik terlihat di dalam misi agama diturunkan Allah kepada umat manusia melalui Rasul-Nya seperti yang difirmankan dalam Alquran:

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan menjacli rahmat bagi seluruh alatn ini. Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan Islam berada di dalam garis yang lama dengan misi tersebut, yaitu membentuk kemampuan dan bakat manusia agar mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan yang penuh rahmat dan berkat Allah di seluruh penjuru alam ini. Hal ini berarti bahwa potensi rahmat dan berkat Allah tersebut tidak akan terwujud nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan tepat. 1. Berbagai Komponen Tujuan

Dalam proses kependidikan, tujuan akhir merupakan tujuan umum atau tujuan tertinggi yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan berbagai komponen tujuan yang akan dijadikan sarana untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Oleh karena suatu tujuan akhir merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam pribadi anak didik maka tujuan akhir itu harus meliputi (komprehensif) semua aspek yang terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh adalah suatu kerangka dasar psikologis yang memberi bentuk dan corak dasar perilaku rohaniah manusia yang menggejala dalam perilaku lahiriah secara bulat sebagai refleksi dari nilai-nilai yang mempribadi dalam dirinya. Sebagai ilustrasi dikemukakan suatu contoh sebagai berikut. Seorang yang berhasil dididik menjadi muslim, sudah barang tentu memiliki dalam pribadinya suatu pola hidup yang diwarnai oleh nilai-nilai islami secara utuh dan bulat. Nilai-nilai itu akan tampak dalam perilaku kehidupan lahiriah sebagai refleksi dari perilaku batiniahnya. Perilaku batiniahnya senantiasa berorientasi kepada norma-norma ajaran Islam yang mengacu ke dalam nilai-nilai islami yang membentuk sikap dan perilakunya sehari-hari. Dengan kata lain,jiwa islami telah menjadi sumber rujukan dari perilaku seorang muslim sejati dalam hidupnya. Oleh karena tujuan akhir itu mengandung nilai-nilai islami dalam segala aspeknya, yaitu aspek normatif, fungsional, dan operasional maka upaya pencapaiannya pun tidak mudah, bahkan sangat kompleks dan mengandung risiko mental-spiritual yang secara psikologis memerlukan sistem pengarahan yang konsisten dan berkesinambungan. Lebih-lebih bila proses kependidikan itu menyangkut internalisasi nilainilai islami di mana faktor iman dan takwa menjadi alat vitalnya maka prosesnya lebih memerlukan pengarahan yang kuat. Iman dan takwa dalam pribadi manusia mengandung tendensi naik-turun sebagaimana semangat atau dorongan batin lainnya. Dari itu, pemantapannya memerlukan motivasi dan persuasi yang berpusat pada pribadinya. Tujuan akhir itu, mengingat kompleksitasnya, secara teoretis dapat dibedakan sebagai berikut. a. Tujuan Normatif

Suatu tujuan yang harus dicapai berdasarkan kaidah-kaidah (normanorma) yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diintemalisasikan. Tujuan ini mencakup: a. Tujuan formatif yang bersifat memberikan persiapan dasar yang korektif. yang

b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal benar dan yang salah.

c. Tujuan determinatif yang bersifat memberikan kemampuan untuk mengarahkan diri kepada sasaran-sasaran yang sejalan dengan proses kependidikan.

d. Tujuan integratif yang bersifat memberikan kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (penyerapan terhadap rangsangan pelajaran, pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan akhir proses kependidikan. e. Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh ke dalam pengamalan. b. Tujuan Fungsional

Tujuan ini bersasaran pada kemampuan anak didik untuk memfungsikan daya kognitif, afektif, dan psikomotor dari hasil pendidikan yang diperoleh sesuai yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi: a. Tujuan individual yang bersasaran pada pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diintemalisasikan ke dalam pribadi dalam rupa perilaku moral, intelektual, dan skill. b. Tujuan sosial yang bersasaran pada pemberian kemampuan mengamalkan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat. c. Tujuan moral yang bersasaran pada pemberian kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber agama (teogenetis), dorongan sosial (sosiogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis). d. Tujuan profesional yang bersasaran pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya sesuai dengan kompetensi. c. Tujuan Operasional

Tujuan ini mempunyai sasaran teknis manajerial yang meliputi: 1. Tujuan umum atau tertinggi yang bersasaran pada pencapaian kemampuan optimal yang menyeluruh (integral) sesuai idealistis yang diinginkan. 2. Tujuan interrnediair yang bersifat sementara untuk dijadikan sarana mencapai tujuan tertinggi. 3. Tujuan partial yang bersasaran pada suatu bagian dari keseluruhan aspek dari tujuan umum, yang berfungsi untuk memudahkan pencapaian tujuan umum. 4. Tujuan insidental yang bersasaran pada hal-hal yang tidak direncanakan, tetapi hal-hal tersebut mempunyai kaitan dengan pencapaian tujuan umum. Tujuan ini bersifat lebih memperlancar pencapaian tujuan umum. 5. Tujuan khusus yang bersasaran pada faktor-faktor khusus tertentu yang menjadi salah satu aspek penting dari tujuan umum, yaitu memberikan dan mengembangkan kemampuan atau skill khusus pada anak didik, sehingga mampu bekerja dalam bidang pekerjaan tertentu yang berkaitan erat dengan tujuan umum.

Selanjutnya, bila dilihat dari segi filosofis maka tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu 1. Tujuan teoretis yang bersasaran pada pemberian kemampuan teoretis kepada anak didik.

2. Tujuan praktis yang mempunyai sasaran pada pemberian kemampuan praktis kepada anak didik. Filsafat pendidikan yang bertugas untuk menemukan hakikat pendidikan akan berakhir pada penemuan masalah praktis yang ditelusuri dari masalah-masalah teoretis. Walaupun tidak semua masalah praktis tersebut dapat dipecahkan oleh filsafat pendidikan, namun ruang lingkup tugas filsafat pendidikan berada pada permasalahan teoretis dan praktis kependidikan. Sifat kepraktisan dari filsafat pendidikan, menurut paham kaum realis, bukan hanya karena is menunjukkan apa yang harus dilakukan, tetapijuga karena is menjadikan masalah praktis itu sebagai penguji pengalaman. Pengalaman, bagi kaum realis, adalah sentralnya kegiatan manusia, sedangkan pikiran (ide) hanya merupakan konsekuensi dari pengalaman dan prediktibilitas (kemampuan peramalannya) atau ketergantungannya berdasarkan pada studi eksperimental atas keseragaman pengalaman itu. Dalam Islam terdapat banyak ungkapan firman Tuhan yang menyatakan bahwa pengalaman pancaindra hendaknya diperankan sepenuhnya untuk meneliti gejala alam raya dan kejadian diri manusia sendiri guna mengukuhkan kebenaran tentang adanya Maha Kuasa yang Esa, pencipta alam dan manusia. Melalui observasi dan studi dalam pengalaman itulah manusia akan mampu memperkukuh iman dan takwanya kepada Khaliknya. Firman Allah di bawah ini merupakan bukti bahwa melalui observasi dan studi alamiah, manusia akan menemukan Tuhannya: Apakah mereka tidak melihat binatang unta itu, bagaimana is diciptakan; dan kepada langit bagaimana ditinggikan; dan kepada gunung-gunung bagaimana ditancapkan dengan kokohnya dan kepada bumi bagaimana is dihamparkan (QS. Ghasyiah: 17-20). 2. Formulasi Tujuan Pendidikan Islam Di atas telah diuraikan bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan cita-cita ideal yang mengandung nilai islami terhadap mana proses kependidikan diarahkan. Rumusan tujuan pendidikan merupakan pencerminan dari idealitas penyusunnya, baik institusional maupun individual. Oleh karena itu, nilai-nilai apakah yang dicita-citakan oleh penyusun dari tujuan itu akan mewarnai corak kepribadian manusia yang menjadi hasil proses kependidikan. Dari berbagai negara atau lembaga, kita dapat memperoleh rumusan

tujuan yang berbeda-beda substansi nilainya. Sebagai contoh dapat diketengahkan sebagai berikut. 1. Indonesia sebagai Negara yang berfalsafah Pancasila menetapkan tujuan Pendidikan adalah untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat. kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangun yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Dalam rumusan tersebut tampakjelas bahwa nilai-nilai yang hendak dikembang-tumbuhkan dalam pribadi anak didik adalah nilai-nilai kultural bangsa Indonesia yang bercorak sosialistis religius, yaitu semangat kegotongroyongan yang dijiwai oleh nilai keagamaan. Dalam hal ini tidak mengkhususkan nilai agama tertentu. Sedangkan faktor-faktor kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dilandasi dengan moralitas yang tinggi menjadi potensi fundamental bag] perkembangannya dalam hidup bernegara dan berbangsa yang bertanggung jawab. 2. Amerika Serikat yang menjadi pelopor sistem demokrasi liberal di dunia, mengetengahkan tujuan pendidikan pada terbentuknya manusia warga negara yang demokratis dan warga negara yang baik serta memiliki efisiensi sosial dan kehidupan ekonomi yang bermutu.Dari rumusan tersebut tampak jelas bahwa manusia ideal yang hendak dibentuk melalui proses kependidikan adalah manusia yang berjiwa demokratis, taat kepada peraturan perundangan Negara selaku warga negara serta memiliki kompetensi dalam mengelola kehidupan ekonomi yang bernilai cukup tinggi. Suatu kehidupan yang bernilai tinggi adalah bila fase-fase pengalaman hidup warga negara Amerika Serikat berkembang dalam segi-segi edukatif (yaitu industrial competency), intelektual (besar minatnya terhadap kemajuan ilmiah), sosial, aesthetica, dan etika. Idealitas pendidikan di Amerika Serikat adalah diwarnai oleh paham filsafat pragmatisme, terutama dari John Dewey, seorang filosuf pendidikan yang kenamaan di dunia. Faktor moral dan keagamaan tidak tercermin dalam sistem nilai yang dilibatkan dalam rumusan tujuan pendidikan, oleh karena pragmatisme tidak mengenal nilai-nilai keagamaan. la bercorak sekularistis, artinya nilai hidup keagamaan tidak mendapatkan tempat di dalam kehidupan kultural masyarakat Amerika. Bagi pragmatisme tidak ada nilai spiritual atau ideal, atau ideal yang transendental. Nilai-nilai spiritual cukup ditafsirkan sebagai hal yang tabii (natural), manusiawi, dan sosial. 3. Kongres Pendidikan Islam Sedunia tahun 1980 di Islamabad menetapkan Pendidikan Islam sebagai berikut: Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan, dan rasio, perasaan dan pancaindra. Oleh karenanya maka pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, yaitu aspek spiritual, intelektual, imajinasi,jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif, serta mendorong semua aspek itu ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak di dalam sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan pada tingkat kemanusiaan pada umumnya.

Menurut rumusan di atas, jelas tampak pada kita bahwa tujuan pendidikan Islam itu tidak sempit, melainkan menjangkau seluruh lapangan hidup manusia yang bertitik optimal pada penyerahan diri manusia kepada Khaliknya, Allah Subhanahu Wataala. Dengan demikian, pendidikan agama hanyalah merupakan bagian dari ruang lingkup pendidikan Islam, karena apa yang dituju oleh proses kependidikan Islam pada hakikatnya adalah terwujudnya kepribadian muslim yang paripurna dalam mengembangkan kehidupan dunia akhiratnya di atas landasan iman dan takwanya kepada Allah. Sejalan dengan pengertian ideal dari tujuan pendidikan Islam itu seorang cendekiawan muslim (Guru Besar Ilmu Pendidikan di Universitas Tunisia) DR. Mohd. Fadhil Al-Djamaly, menyatakan kesimpulan dari studinya bahwa Sasaran pendidikan menurut Alquran ialah membina pengetahuan/kesadaran manusia atas dirinya, dan atas sistem kemasyarakatan islami serta atas sikap dan rasa tanggungjawab sosial. Juga memberikan kesadaran manusia terhadap alam sekitar dan ciptaan Allah serta mengembangkan ciptaan-Nya bagi kebaikan umat manusia. Akan tetapi, yang lebih utama dari semua itu ialah makrifat kepada Pencipta alam dan beribadah kepadaNya dengan cara menaati perintah-perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam, menurut pendapat di atas ialah menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya, Berta menanamkan kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar sebagai ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia, dan kegiatan ibadahnya kepada Pencipta alam itu sendiri. Jelaslah bahwa dalam proses kependidikan yang dikehendaki oleh Islam untuk mencapai sasaran dan tujuan akhir, nilai-nilai islami akan mendasari dan lebih lanjut akan membentuk corak kepribadian anak didik pada masa dewasanya. Dengan kata lain, pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku khalifah di muka bumi, yaitu sebagai berikut. a. b. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya.

c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula. Sikap hubungan yang harmonis itu ialah sikap yang tidak memusuhi alam sekitar, seperti merusak alam atau menguras habis kekayaan alam tanpa memikirkan kelangsungan ekosistem yang ada. Dalam hal ini sikap take and give (mengambil dan memberi) kepada alam sekitar akan mampu menjaga kelestarian alam itu.

Bila tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan di atas dibandingkan dengan rumusan tujuan pendidikan dari ahli pikir lainnya, seperti misalnya: 1) Froebel (1852), seorang idealis yang mistis, merumuskan pendidikan sebagai: proses yang terdiri dari memimpin manusia sebagai makhluk berpikir, agar tumbuh kesadaran terhadap diri sendiri (self consciousness) ke arah penggambaran (representasi) yang murni, tidak beku, sadar dan bebas, tentang kehendak hukum Tuhan serta mengajarnya tentang cara dan sarana menuju kepada-Nya. Froebel yang lebih mengarahkan pendidikan kanak-kanak kepada kehidupan bebas (friede), bergembira (freude), dan merdeka (freide) sesuai kehendak Tuhan, melihat bahwa setiap anak memiliki bakat dan kemampuan natural masing-masing sebagai anugerah Tuhan. Penciptaan suasana yang favorable dalam pendidikan seperti bermain merupakan prasyarat bagi keberhasilan pembinaan watak dan kreativitas anak didik. Namun unsur esensial yang menjadi landasan mental spiritual perkembangan manusia, yaitu iman dan takwa tidak tampak dalam proses kependidikan ala Froebel. 2) Herbart (meninggal tahun 1841), seorang pemikir berpaham realisme, memandang bahwa tujuan pendidikan yang optimal adalah untuk mengajarkan ilmu pengetahuan (science), yang bersifat menyeluruh, filsafat, dan seni, dengan diiringi oleh perasaan etis dan simpati kepada masyarakat (dalam kelembagaan) serta perasaan simpati kepada Tuhan (agama). Perasaan simpati bukanlah suatu potensi dasar kejiwaan, melainkan hanya merupakan suasana psikologis yang timbul karena suatu peristiwa tertentu. Oleh karena itu, simpati tidak dapat dijadikan pola kepribadian manusia yang tetap. Bilamana simpati kepada Tuhan dijadikan salah satu aspek sasaran pembinaan kepribadian melalui proses kependidikan, hal itu tidak potensial bagi pertumbuhan atau perkembangan anak didik. Karena simpati sebagai manifestasi emosional hanyalah merupakan salah satu aspek dari manifestasi keimanan seseorang. Tekanan utama yang diletakkan oleh Herbart dalam tujuan pendidikan adalah intelektualisasi anak didik yang bertumpu kepada kemampuan kognitif (penalaran, kreativitas, dan inteligence), sedang kemampuan afektif yang banyak berkaitan dengan minat dan sikap agama, atau kemampuan psikomotorik yang berkaitan dengan pengamalan (skill) tidak menjadi tujuan pokok. Padahal dalam proses kependidikan tigakemampuan tersebut merupakan trichotomi-nya perkembangan hidup manusia dalam masyarakat yang dinamis. 3. Bertrand Russell (lahir 1872), seorang ahli filsafat berpaham realism yang banyak menumpahkan perhatian kepada masalah kependidikan, beranggapan bahwa tujuan pendidikan itu harus diarahkan kepada pengembangan empat sasaran potensial manusia, yaitu vitalitas, intelektualitas, sensitivitas, dan keberanian (courage).71)Bertrand Russell, tidak menyinggung masalah nilai keagamaan atau spiritual, melainkan hanya mengakui adanya aspek-aspek pengalaman yang bersifat fisik, intelektual, emosional, dan etis.Sebagai seorang realis, is berpandangan sama dengan rekan-rekannya, antara lain Herbert Spencer (meninggal tahun 1903) yang beraliran naturalisme dan Huxley (meninggal tahun 1895). Paham realisme dan naturalisme sama-sama menerima.pandangan hidup ilmiah sebagai final dan kedua paham tersebut juga sepakat untuk tidak mengakui adanya pengalaman religius pada diri manusia.

Dibandingkan dengan tujuan pendidikan Islam, pendapat-pendapat para ahli di atas kurang mencakup terhadap keseluruhan aspek pertumbuhan/perkembangan anak didik yang hendak dibentuk/dibina menjadi manusia paripurna (seutuhnya) lahir dan batin, mental dan fisik yang mampu menegakkan cara hidup yang aman, damai dengan kreativitas tinggi, serta moralitas yang luhur, di mana keimanan menjadi referensi potensialnya. Dr. Mohammad Athiyah al-Abrasy, salah seorang ahli pendidikan Mesir berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak al-karimah yang merupakan fadhilah dalam jiwa anak didik, sehingga anak akan terbiasa dalam berperilaku dan berpikirnya secara rohaniah dan insaniah berpegang pada moralitas tinggi, tanpa memperhitungkan keuntungan-keuntungan material.) Pandangan yang idealistik dari Dr. Mohammad Athiyah di atas mencerminkan nilai-nilai islami yang mendasari misi Rasulullah saw. yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia.

Secara implisit (tersirat) khuluq manusia ciptaan Tuhan diakui sebagai potensi psikologis yang mendasari perkembangan umat manusia sejak lahir yang memerlukan pengarahan melalui proses kependidikan yang sistematis dan konsisten. Dengan kata lain, kemampuan manusia untuk berakhlak mulia yang bersumberkan jiwa keagamaan (naturaliter religiosa, menurut Dr. C.G. Jung) adalah kemampuan dasar yang menjadi fitrah manusia, yang tak dapat diubah atau dihapuskan dengan cara apa pun. Potensi ini telah ditegaskan oleh Allah SWT. dalam kitab suci Alquran sebagai berikut: Maka hadapkan wajahmu kepada agama secara lurus, tetaplah di atas fitrah Allah itu yang Allah telah menciptakan manusia berada di atas fitrah itu; tak dapat diubah ciptaan Allah itu. Itulah agama yang lurus. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar-Ruum: 30) Sampailah kita pada kesimpulan bahwa bila para ahli filsafat pendidikan merumuskan tujuan umum pendidikan seperti telah disebutkan di atas, hanya melihat dari aspek-aspek kemampuan kejiwaan anak didik yang diarahkan atau dikembangtumbuhkan ke arah kedewasaan/kematangan, tujuan pendidikan Islam meletakkan tekanan pada kemampuan manusia untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pribadi, sosial, dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia sampai dengan akhirat. Kalau pendidikan umum hanya ingin mencapai kehidupan duniawi yang sejahtera baik dalam dimensi bernegara maupun bermasyarakat maka Pendidikan Islam bercita-cita lebih jauh yang bernilai transendental, bukan insidental atau aksidental di dunia, yaitu kebahagiaan hidup setelah mati. Jadi nilai-nilai yang hendak diwujudkan oleh pendidikan Islam adalah berdimensi transendental (melampaui wawasan hidup duniawi) sampai ke ukhrawi dengan meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi nilai duniawi sebagai sarananya. Kehidupan di dunia merupakan sawah ladang yang harus dikelola sebaik-baiknya untuk dimanfaatkan sebagai sarana mencapai kebahagiaan hidup di akhirat nanti.

Oleh karena pendidikan merupakan sarana atau alat untuk merealisasikan tujuan hidup orang muslim secara universal maka tujuan pendidikan Islam di seluruh dunia harus sama bagi semua umat Islam, yang berbeda hanyalah sistem dan metode (manhaj)-nya.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN

Pengertian umum metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. Baik dan tidak baiknya sesuatu metode banyak bergantung kepada beberapa faktor. Faktor-faktor itu mungkin berupa situasi dan kondiai, pemakai metode itu sendiri yang kurang memahami penggunaannya atau tidak sesuai dengan seleranya, atau secara objektif metode itu kurang cocok dengan kondiai dari objek. Pengertian letterlijk, kata metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari meta yang berarti melalui , dan hodos yang berarti jalan. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui. Dalam pandangan filosofia pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatia dan monopragmatia. Metode dalam Pendidikan atau Pengajaran Pendidikan lebih mengarahkan tugasnya kepada pembinaan atau pembentukan sikap dan kepribadian manusia yang beruang lingkup pada proses mempengaruhi dan membentuk kemampuan kognitif, kognatif, dan afektif serta psikomotor dalam diri manusia. Pengajaran lebih menitikberatkan usahanya ke arah terbentuknya kemampuan maksimal intelektual dalam menerima, memahami, menghayati, dan menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang diajarkan. Jadi, sasaran psikologia proses kependidikan lebih menekankan pada usaha mengintemaliaasikan nilai-nilai atau mempribadikan nilai-nilai daripada proses pengajaran yang lebih menekankan pada mengintelektualiaasikan manusia dengan ilmu pengetahuan. Metode yang Dipergunakan dalam Pendidikan Islam Dalam sejarah pendidikan Ialam dapat diketahui bahwa para pendidik Muslim dalam berbagai situasi dan kondiai yang berbeda, telah menerapkan berbagai macam metode pendidikan atau pengajaran. Metode-metode yang dipergunakan tidak hanya metode mendidik/ mengajar dari para pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus dipergunakan anak didik. Prinsip-Prinsip Metodologis dalam Alquran Di dalam kitab suci Alquran terdapat berbagai gaya bahasa atau uslub yang mengandung nilai metodologis dalam pendidikan. Dengan demikian metode yang terkandung dalam khithab adalah berupa metode pemberian alternatif, melalui ungkapan-ungkapan historis, simbolis, instruksi, dan larangan dalam susunan nilai hukum yang kategorial (wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram). Didasarkan atas sistem pendekatan dari pelbagai disiplin keilmuan, suatu metode pendidikan barn dapat memiliki nilai efektivitas, oleh karena anak didik tidak saja dipandang dari satu segi kemungkinan perkembangan, melainkan dilihat pula dari pelbagai aspek hidupnya.