METODE KWL
-
Upload
any-rupaidah -
Category
Documents
-
view
1.169 -
download
5
Transcript of METODE KWL
Pendahuluan
1. Latar belakang
Meskipun dewasa ini ada puluhan teknik pengajaran bahasa dilontarkan dan dikenalkan
oleh para pakar pendidikan dan pengajaran bahasa, tampaknya elemen dasar pendidikan bahasa
secara tradisional tetap tidak dapat dibuang begitu saja. Elemen dasar seperti mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis dan seringkali juga menerjemahkan, tetap menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam teknik pengajaran bahasa yang mana saja.
Para guru, instruktur, dosen, dan bahkan guru besar boleh saja menggunakan pendekatan
dan teknik terbaru dalam pengajaran bahasa, tetapi tetap saja pengenalan kata, frase, klausa,
kalimat, paragraf dan kemudian wacana tidak dapat melepaskan diri dari elemen dasar dan
pendekatan tradisional di atas. Begitu juga dengan penilaian yang akan dilakukan untuk
menentukan keberhasilan sebuah teknik pembelajaran. Pada dasarnya penilaian yang dilakukan
pun tidak dapat dilepaskan dari penilaian empat (atau bahkan lima) faktor di atas.
Bagaimana sebuah pendekatan dapat dikatakan berhasil dan berdaya guna kalau unjuk
kerja siswa (atau mahasiswa) yang menggunakan pendekatan tersebut tidak mencerminkan
kemampuan dasar dalam ranah kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis?
Berikut ini akan dibicarakan salah satu aspek elemen dasar kegiatan pembelajaran bahasa,
khususnya yang berhubungan dengan kegiatan membaca, yaitu membaca menggunakan
pendekata SAVI
1. Rumusan masalah
a. Apa yang dimaksud dengan membaca dengan pendekatan SAVI?b. Bagaimana cara melakukan Cara membaca dengan pendekatan SAVI?
1. Tujuan
a. mengetahi apa yang dimaksud dengan membaca dengan pendekatan SAVIb. mengetaui cara membca dengan menggunakan pendekatan SAVI
B. Kajian Teori
Membaca dengan pendekatan SAVI diperkenalkan oleh Meier. Membaca dengan
pendekatan SAVI merupakan cara baru dalam belajar.
SAVI adalah akronim dari Somatis ( bersifat Raga ), Auditori ( bersifat suara ), Visual
( bersifat gambar ), dan Intelektual ( bersifat merenungkan ). Menurut Meier, apabila sebuah
pembelajaran dapat melibatkan seluruh unsur SAVI ini, pembelajaran akan berlangsung efektif
sekaligus atraktif. Sebagai contoh kasus apabila kita membaca sebuah buku.
Pertama, membaca secara Somatis. Ini berate bahwa saat membaca, diperlukan
melibatkan fisik kita. Membaca akan efektif apabila posisi tubuh kita dalam keadaan yang relaks,
tidak tegang. Apabila selama membaca mengalami rasa jenuh, pembaca disarankan mencoba
untuk menghentikan proses pembacaan sejenak dan menggerakkan seluruh tubuh. Hal ini
bertujuan untuk menyegarkan kembali pikiran dan perasaan kita.
Kedua, membaca dengan cara Auditoris. Membaca auditoris dipakai ketika menemukan
kalimat (yang kita baca) yang sulit sekali dicerna, atau, pada saat membaca menemukan baris-
baris kalimat yang menarik, tetepi sulit untuk berkonsertrasi untuk memahaminya. Membaca
secara auditoris dalam hal ini maksudnya membaca dengan keras kalimat-kalimat tersebut
sehingga telinga pembaca itu sendiri mendengar secara jelas. Hal itu dimaksudkan untuk
mempercepat dan lebih menambah keakuratan dalan memahami kalimat tersebut.
Ketiga, membaca secara visual. Seorang pakar pendidikan bernama Eric Jensen
mengemukakan bahwa benak pembaca akan merasa fun apabila pada saat pertama kali menyerap
informasi, benak kita tersebut diberi informasi dalam bentuk Gambar (ikon, symbol, atau
ornamen) dan informasi itu memiliki kekayaan warna. Buku yang mampu membuat para
pembacanya merasa senang, sebaiknya memang diber sentuhan visual atau –dalam bahasa lain-
menggunakan bahasa rupa.
Apabila membaca buku-buku yang tanpa gambar, misalnya buku-buku fiksi, kita layak
berhenti sejenak untuk membayangkan tokoh-tokoh yang dilukidkan oleh sang pengarang lewat
kata-kata. Proses membayangkan ini, jelas, akan mengefektifkan pembacaan buku tersebut. Juga,
kadang-kadang ada pengarang buku nonfiksi (ilmiah) yang tidak menyertakan gambar. Pembaca
dapat memanfaatkan potensi visual kita untuk menggambarkan sendiri apa-apa yang diuraikan
oleh sang pengarang di benak pembaca agar pemahaman pembaca lebih efektif.
Keempat, membaca secara Intelektual. Kata “Intelektual” yang digunakan di dini perlu
diberi catatan khusus. Intelektual disini menunjukkan apa yang dilakukan oleh pembelajar dalam
pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan pengalaman dan menciptakan
hubungan, makana, rencana, dan nilai pengalamn tersebut. Intelektual adalah bagian diri yang
merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makana.
Dalam proses membaca buku, potensi intelektual ini berkaitan erat dengan menulis.
Apabila setiap kali selesai membaca sebuah buku (baik itu hanya satu halaman, satu bab, atau
sekian bagian buku) kita lalu berhenti sejenak untuk memberikan catatan-catatan atau
merumuskan secara tertuls apa pun yang kita peroleh dari pembacaan tersebut, tentulah kita akan
memperoleh manfaat lebih besar ketimbang membiarkan saja materi yang kit abaca tanpa proses
penulisan.
Teori Meier tersbut terlatar belakangi oleh belajar yang menurutnya akan selalu
terhambat jika memisahkan tubuh dan pikiran.
Perumpamaan lain ia kemukakan. Mengapa banyak orang yang mengantuk atau tertidur
lelap saat seseorang tengah berceramah? Lemahnya materi ceramah adalah salah satu sisi. Tapi
sisi lain yang memberi sumbangan penting, kata Meier, karena peserta ceramah tidak
diperbolehkan (atau tidak terbiasa) menggerakkan badan. “Banyak peserta kesulitan
berkonsentrasi tanpa melakukan sesuatu secara fisik,” katanya.
“Pemisahan tubuh dan pikiran dalam kebudayaan Barat sangat keliru. Penelitian
neurologis telah membongkar keyakinan kebudayaan Barat yang salah bahwa pikiran dan tubuh
adalah dua entitas yang berbeda. Temuan mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar ke
seluruh tubuh. Tubuh adalah pikiran, begitu juga sebaliknya,” ungkap Meier.
Direktur Center for Accelerated Learning di Lake Geneva, Wisconsin itu menyoroti
secara khusus budaya auditori atau budaya mendengar dan melafalkan dengan suara. Mengutip
cerita Dr Seuss, penulis Hooray for Diffendoofer Day, Meier mengisahkan salah seorang penjaga
perpustakaan paling aneh di kampus Seuss. Tak seperti penjaga perpustakaan pada umumnya
yang merasa terganggu dengan suara berisik atau justru memberi larangan berbicara keras saat
orang membaca di perpustakaan, nona Loon, penjaga perpustakaan itu, justru melakukan
sebaliknya.
“Nona Loon adalah penjaga perpustakaan kami. Dia bersembunyi di balik rak, dan sering
berteriak, ‘Bicaralah lebih keras!’ ketika kami sedang membaca dalam hati,” ucap Meier
menirukan Seuss. Dalam posisi itu, kata Meier, penjaga perpustakaan itu yakin akan pentingnya
mengembalikan cara auditori dalam kegiatan belajar.
Strategi dalam menerapkan SAVI
• Belajar akan Efektif dalam Keadaan “Fun” (menyenangkan). Secara meyakinkan, kalimat ini
tertera pada halaman judul dalam buku The Learning Revolution. Ini mencerminkan keinginan
kuat pengarangnya agar kalimat revolusi ini benar-benar diperhatikan dan diterapkan dalam
pembelajaran. Apa alasannya? Ada berbagai teori tentang otak manusia. Salah satu teori tentang
otak yang banyak dikupas dalam pendidikan adalah apa yang disebut oleh Dave Meier dalam
bukunya, The Accelerated Learning Hand Book (Kaifa, 2004), sebagai Teori Otak Triune. Teori
ini menyatakan bahwa otak manusia terdiri tiga bagian, yaitu otak reptil, otak tengah (sistim
limbik), dan otak berpikir (neokorteks). Jika perasaan pembelajaran (siswa) dalam keadaan
positif (gembira, senang), maka pikiran siswa akan “naik tingkat” dari otak tengah ke neokorteks
(otak berpikir). Inilah yang dimaksud dengan belajar akan efektif. Sebaliknya, manakala
perasaan siswa dalam keadaan negative (tegang, takut) sebagaimana yang dikisahkan pada awal
tulisan ini –pembelajaran meliteristik- maka pikiran siswa akan “turun tingkat” dari otak tengah
menuju otak reptile. Pada situasi ini belajar tidak akan berjalan atau berhenti sama sekali.
• Belajar adalah Berkreasi, Bukan Mengkonsumsi. Sudah bukan zamannya lagi anak disuapi,
tetapi ia harus menciptakan sendiri. Pembelajaran harus berpusat pada siswa, bukan berpusat
pada guru. Oleh karena itu, pada saat merancang pembelajaran, guru harus memikirkan apa yang
akan dilakukan siswa, bukan apa yang dilakukan guru. Apabila guru masih mempertahankan
pembelajaran konsumtif dengan metode unggulannya ceramah, maka kemampuan siswa menurut
Winarno Surakhmad (Fasilitator, Edisi I Tahun 2003), akan sedikit lebih tinggi dari kemampuan
seekor monyet yang pandai.
• Belajar yang Baik itu Bersifat Sosial. Tak perlu diragukan lagi manfaat yang akan dirasakan
jika belajar dilakukan dalam kelompok. Berkali-kali riset dilakukan untuk membuktikan
keefektifan belajar kelompok. Hasilnya memang selalu menunjukkan bahwa belajar akan lebih
berhasil, bahkan keberhasilannya berlipat-lipat, jika dilakukan secara kelompok ketimbang
belajar secara individual.
• Belajar yang Baik Juga Bersifat Multi Inderawi. Siswa belajar dengan gayanya masing-masing.
Kita tidak dapat memaksakan suatu gaya belajar yang bukan gayanya kepada seorang siswa.
Setidaknya ada tiga gaya belajar, yaitu gaya visual, gaya auditorial dan gaya kinestik. Dengan
melibatkan seluruh indera dalam pembelajaran, semua gaya belajar itu akan terlayani. Kalau
semua siswa terlayani, belajar akan berjalan efektif
• Belajar Terbaik dalam Keadaan Alfa. Sebagaimana stasiun pemancar radio atau televisi, otak
manusia juga bekerja pada gelombang atau frekuensi tertentu. Ketika kita dalam keadaan terjaga
atau sadar penuh, otak bekerja pada gelombang Beta. Manakala kita sedang waspada relaks, otak
bekerja pada gelombang Alfa. Otak kita akan bekerja pada gelombang Theta jika kita
mengangguk atau hamper tertidur. Dan pada saat tertidur pulas, otak kita bekerja pada frekuensi
Delta. Mengapa belajar terbaik itu pada frekuensi Alfa? Karena sebagian besar memori kita
disimpan di pikiran bawah sadar. Dan yang dapat menghantarkan memori ke pikiran bawah
sadar adalah gelombang Alfa. Lalu bagaimana mencapai kondisi Alfa? Dengan meditasi atau
dengan mendengarkan musik.
Apa yang saya paparkan di atas hanya akan menjadi pemanis bibir bila tidak ditindaklanjuti
dengan aksi nyata. Keberhasilan memerlukan keberanian dan aksi. Jangan takut pada kegagalan.
Kegagalan sebenarnya merupakan jalan terang menuju keberhasilan. Kata Ary Ginanjar
Agustian dalam buku ESQ Model (Arga, 2001), kegagalan itu ibarat menggosok intan berlian.
Semakin sering kita gagal, semakin sering juga kita menggosok intan. Niscaya intan berlian itu
akan semakin bersinar.
Demikian pokok-pokok pembelajaran masa kini yang dapat saya sajikan. Semoga tulisan yang
saya ramu dari beberapa buku dan sekelumit pengalaman pribadi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Kekurangan di sana sini tentu merupakan keniscayaan. Selamat memberdayakan siswa
DAFTAR PUSTAKA
Meier, Dave.2001.The Accelerated Learning.Bandung:Kaifa
Hernowo.2003.Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza.Bandung:Kaifa
http://ahperpus.multiply.com/journal/item/28
http://www.indomedia.com/poskup/2007/04/14/edisi14/opini.htm
http://www.korantempo.com/news/2002/12/1/Belajar/4.html
http://www.geocities.com/kwedangjae/tips_baca_tulis.htm
http://www.kabprobolinggo.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=25
http://www.ialf.edu/bipa/july1999/membaca.html
ABSTRAKSI
Asrofin, 2010. Penggunaan “CQGS” untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa SMP (Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan di SMPN 5 Probolinggo, tahun pelajaran, 2009/2010). Tesis ini untuk memenuhi parasarat kelulusan S2 Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas 8C SMPN 5 Probolinggo dengan tujuan untuk mengetahui apakah: (1) “CQGS” dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa; (2) Technique “CQGS” itu efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa; (3) ada kelemahan dan kelebihan penggunaan “CQGS” dalam pengajaran menulis. Berdasarkan hasil data sekor yang diperoleh melalui pre-test, dan data dari kuesioner serta interview kepada siswa-siswa yang dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa beberapa factor penyebab rendahnya kemampuan menulis siswa adalah: (1) Kurang latihan menulis Bahasa Inggris; (2) tehnik mengajar menulis yang digunakan tidak sesuai atau menarik; (3) motivasi siswa rendah; (4) siswa kekurangan sumber belajar Bahasa Inggris; (5) kurangna kesempatan untuk mendapatkan pemejanan bacaan berbahasa
Inggris dan kurang latihan dalam memahami kemampuan tatabahasa Inggris“CQGS” adalah singkatan dari Control Composition, Questions and Answer, Guided Composition, and Sentence Combining. Penelitian yang menggunakan “CQGS” ini terdiri dari 4 siklus. Kegiatan utama pada siklus pertama dan kedua adalah membantu siswa dalam menulis teks recount yang memfokuskan pada penggunaan tanda baca, kesesuaian antara subjek dan predikat, tenses, sintak, pemilihan kosakata yang benar serta cara menghasilkan teks yang coherent melalui pertanyaan. Sementara itu, kegiatan utama pada siklus ke 3 dan 4 adalah menulis teks narasi yang menfokuskan pada penggunaan tata bahasa yang benar dan pengembangan ide dan imajinasi berdasakan bantuan kalimat awal dan kalimat akhir cerita yang harus ditulis dan cara menulis secara efektif. Secara umum proses pembelajaran menulis di kelas dimulai dengan membahas problem tatabahasa tulis dan membantu cara mengoreksi kesalahan sendiri, kemudian member contoh model bacaan teks tertentu yang harus dipahami dan mendiskusikan struktur umum serta cirri kebahasaan dari teks recount dan Narrative dan kemudian dilanjutkan membahas tatabahasa yang sulit, dan akhirnya baru berlatih menulisData yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kuantitatif yang diperoleh melalui tes menulis dan data kualitatif yang diperoleh melalui kuesioner, wawancara, dan observasi. Analisa data kuantitati yang digunakan adalah statistic deskripsi. Sementara metode constant comparative digunakan untuk menganalisa data kualitatif yang terdiri dari 4 langkah: (1) membandingkan setiap kejadian berdasarkan kategori masing-masing; (2) mengintegrasikan semua kategori dan ciri-cirinya; (3) menjabarkan teori; (4) menulis theoriHasil riset menunjukkan bahwa ada: (1) peningkatan kemampuan menulis siswa. Skor pada Post Test lebih tinggi daripada skor pada Pre Test; (2) peningkatan kemampuan penampilan guru di kelas. Hal ini bias dilihat dari hasil observasi languagung oleh kolaborator selama proses pembelajaran menulis di kelas; (3) peningkatan motivasi siswa. Dengan menganalis data dari kuesioner dan interview, penulis menemukan bahwa kebanyakan siswa member respon yang positif terhadap kegiatan aktivitas menulis; (4) peningkatan keaktifan siswa di kelas. Secara umum dari data yang terkumpul dari hasil observasi, peneliti mendapatkan bahwa siswa semula banyak diamnya pada siklus pertama, tetapi pada siklus ke dua sampai ke empat keaktifan siswa dalam berdiskusi dan membetulkan kesalahan berangsur-angsur meningkat.Kelemahan dari “CQGS” adalah: (1) sebelum siswa memiliki kemampuan berbahasa inggris terutama dalam menulis siswa tidak diperbolehkan menulis secara bebas untuk menghindari kesalahan yang fatal terhadap hasil tulisan siswa yang akan banyak dipengaruhi oleh tatabahasa ibu siswa; (2) bagi siswa yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup bagus makan “CQGS” dianggap menghambat kebebasan siswa dalam mengarang;Akhirnya, peneliti menyarankan penerapan “Control Composisiton” dan “Question and Answer” untuk diterapkan pada pembelajaran menulis pada kelas 7 SMP sebab kemampuan dasar Bahasa Inggris mereka relative sangat sedikit. Sementara “Guided Composition” dan “Sentence Combining” akan cocok digunakan pada kelas 8 SMP sebab kemampuan dasar bahasa Inggris mereka sudah relative lebih bagus dari mereka yang ada di kelas 7
ABSTRACT
Asrofin, 2010. Using “CQGS” to Improve the Students’ Writing Competence (A Collaborative Action Research at SMPN 5 Probolinggo in Academic 2009/2010). A thesis: English Education of Graduate School. Sebelas Maret University.This research done at class VIIIC of SMPN 5 Probolinggo aims at finding out whether or not: (1)
“CQGS” techniques can improve the students’ writing competence; (2) “CQGS” techniques are effective to improve the students’ writing competence; (3) there are some weaknesses and strengths of using “CQGS” in teaching writing. Based on the result of the score of pre-test, questionnaire and interview to the students that had been gained by the researcher, he found out some factors causing the students’ low writing achievement. They were; (1) lack of practice; (2) unsuitable teaching technique; (3) students’ low motivation; (4) lack of students’ learning resources, and (5) less opportunity to have a lot of exposure in reading English language and to practice much in understanding the English linguistic competence.“CQGS” which stands for Control Composition, Questions and Answer, Guided Composition, and Sentence Combining. This research consists of four cycles. The main activity of the first and second cycle was practicing writing recount text which was focused on the correct punctuation, agreement, tenses, syntax, and diction and constructing the questions to produce a coherent text. While the main activity of the third and fourth cycle was writing Narrative text which focused on both grammatical competence and developing the ideas and imagination based on the given guided clues of the first and the last sentence of the story and writing the sentences effectively. In general, the process of teaching and learning writing in the classroom started by; discussing students’ grammatical problem of writing and correcting the students’ own drafts; then, giving a model of the certain text type to be understood and discussing its language feature and generic structure, then, practicing some difficult grammar, and at last writing the text.The data collected in this research consists of quantitative which were taken from the writing test and qualitative data which were taken from the interview, questionnaire, and observation. Quantitative analysis was used to analyze the students’ achievement to compare their progress before and after the cycle was implemented by using descriptive statistics. While, constant comparative method used to analyze the qualitative data consisted of 4 steps: (1) comparing incidents applicable to each category, (2) integrating categories and their properties, (3) delimiting the theory, and (4) writing the theory.The result of the study shows that there was: (1) improvement of the students’ writing competence. The score in post test was higher than the score in pre-test; (2) improvement of the teacher’s performance class. It could be seen from the direct observation of the collaborator during the process of teaching and learning in the classroom; (3) improvement of students’ motivation. By analyzing the data collection from questionnaire and interview, the researcher found out that most of the students had positive response toward writing activity.; (4) improvement of the students’ participation. In general, from the data collected from the observation, the researcher found out that the students were so quiet in the first cycle, but in the second to the fourth cycle their participation in discussing and correcting the mistakes was gradually improving.The weaknesses of the “CQGS” were that: (1) Before the students had good language competence in writing, the students were not allowed to express their ideas freely in writing to avoid the interference of the grammar of students’ first language; (2) For the students who had excellent background of English lesson, “CQGS” made them disable to express their ideas freely.Finally, the researcher suggested that “Control Composition and Question and Answer” be used as the main technique for teaching Writing at the seventh grade because their background knowledge of English proficiency was mostly considered at early beginning level. While “Guided Composition” and “Sentence Combining” would be suitable used in eight grade of
Junior High School, because they had got much more background knowledge of English than the students at the first grade.
This entry was posted on Jumat, Juli 16th, 2010 at 3:11 pm and is filed under Publikasi Tesis/Disertasi Siap Uji .
« Model Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Inkuri Terbimbing melalui Penerapan Metode Demontrasi dan Eksperimen Ditinjau dari Gaya Belajar dan Motivasi Siswa” pada materi suhu dan pemuaian pada siswa kelas X SMA N I Gombong, kabupaten Kebumen tahun ajaran 2008/2009Pengumuman SPMB Program Pascasarjan UNS 2010 »Program Pascasarjana UNS Solo is powered by WordPress
InHarmonia theme crafted by Generative Graphics Workshop Top ^
SOLUSI PERMASALAHAN PEMBELAJARANMEMBACA INTENSIF DENGAN SRATEGI KWL
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari atas empat aspek keterampilan yaitu
menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat aspek keterampilan ini merupakan fokus
dari tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembelajaran Bahasa
Indonesia bertujuan membina kemampuan menggunakan bahasa dalam menyimak, berbicara,
membaca dan menulis. Keterampilan menyimak dan berbicara dikategorikan dalam keterampilan
berbahasa lisan, sedangkan keterampilan menulis dan membaca dikategorikan dalam
keterampilan berbahasa tulis. Adapun keempat aspek keterampilan ini dalam pelaksanaannya
disajikan secara terpadu (Depdikbud, 1994:21). Dari empat keterampilan berbahasa tersebut,
membaca merupakan salah satu keterampilan yang perlu ditingkatkan secara berkelanjutan.
Membaca merupakan salah satu kemampuan berbahasa karena dengan membaca
seseorang dapat memperoleh informasi dan landasan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Semua yang diperoleh lewat bacaan akan memungkinkan orang tersebut
mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangan dan memperluas wawasan. Oleh sebab
itu, guru harus memperhatikan kemampuan membaca peserta didik, karena jika dasarnya tidak
kuat pada tahap pendidikan berikutnya peserta didik akan mengalami kesulitan untuk
memperoleh dan memiliki pengetahuan. Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit
yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan
aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik dan metakognitif (Farida, 2007:2).
1
Seorang guru bertanggung jawab memberikan beberapa kemampuan dan keterampilan
yang harus dimiliki Peserta didik, agar dapat membaca dengan baik. Dengan demikian Peserta
didik akan lebih mudah untuk mengikuti dan memahami berbagai mata pelajaran lain yang
membutuhkan pemahaman. Kegiatan membaca bersifat kompleks karena tidak hanya melibatkan
otak sebagai pusat pengolah informasi, tetapi melibatkan berbagai indra dan serangkaian gerak-
gerak motorik (Firmanawaty, 2004:3).
Gerak-gerak motorik merupakan suatu yang menunjang kemampuan berbahasa
khususnya dalam membaca. Berbagai teknik membaca perlu dikuasai Peserta didik antara lain
membaca intensif. Pengajaran membaca intensif merupakan salah satu kemampuan dasar
membaca yang dituntut dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di kelas III
(Mulyasa, 2006:23). Jika diselenggarakan dengan efektif dan efisien, pengajaran ini akan
memberikan dampak positif terhadap keberhasilan belajar Peserta didik pada masa yang akan
datang. Melalui pengajaran membaca intensif yang dirancang dengan efektif, Peserta didik akan
mahir dalam membaca untuk mendapatkan isi dari bacaan lebih terperinci.
Kemampuan membaca peserta didik di Sekolah Dasar (SD) tergolong rendah, seperti
yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa orang Indonesia
yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5% dari total penduduk. Sedangkan,
dengan menonton televisi sebanyak 85,9% dan mendengarkan radio sebesar 40,3%. Kondisi
yang dikemukakan BPS akan menghambat Peserta didik dalam mendapatkan informasi yang
mereka butuhkan.
Rendahnya kemampuan membaca dan memahami bacaan ini diduga penyebabnya antara
lain kurangnya minat baca Peserta didik. Di samping itu mungkin juga disebabkan pemilihan
strategi membaca yang kurang tepat dan bahan bacaannya tidak menarik. Pembelajaran
membaca intensif di SD memerlukan suatu strategi agar tercapainya tujuan pembelajaran secara
optimal dan lebih memahami isi bacaan secara mendalam. Pada dasarnya strategi dalam
membaca maksudnya cara atau kiat pembaca dalam memperoleh pemahaman terhadap bacaan.
Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran membaca intensif agar
memahami teks bacaan dengan baik dan meningkatkan minat baca Peserta didik adalah strategi
Know Want to Know Learned (KWL). Menurut Farida, (2007:41) strategi KWL dapat
memberikan tujuan membaca dan suatu peran aktif Peserta didik sebelum, saat dan sesudah
membaca. Dalam hal ini dituntut Peserta didik lebih kreatif dalam mencari informasi yang
terbaru. Di samping itu juga bisa mengembangkan kemampuan Peserta didik dalam
mempertanyakan berbagai topik wacana atau berita yang aktual, serta Peserta didik juga dapat
menilai hasil belajar mereka sendiri.
Berdasarkan hasil pendapat dari beberapa buku, internet dan temuan di lapangan dengan
melakukan observasi pada Peserta didik kelas III SDN, 28 Sungai Lansek Kecamatan Kamang
Baru, pemahaman Peserta didik terhadap isi bacaan masih rendah. Hal ini terlihat dari cara
Peserta didik menjawab pertanyaan, Peserta didik sering memberikan jawaban yang tidak sesuai
dengan jawaban yang terdapat dalam teks yang dibacanya. Di samping itu, juga terlihat bahwa
Peserta didik tidak mampu memahami dan menyimpulkan isi bacaan dengan kalimatnya sendiri.
Oleh sebab itu perlu mencari solusi untuk pemecahan masalah dengan melakukan suatu tindakan
dalam mengatasi permasalahan tersebut.
B. Identifikasi permasalahan.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang
ditemukan dari buku, internet dan saat observasi dilapangan yaitu :
1. Pembelajaran masih berpusat pada guru, Sehingga pembelajaran terasa membosankan dan tidak
menyenangkan.
2. Guru pada umumnya belum mengetahui dan memahami strategi yang efektif dalam
pembelajaran membaca intensif.
3. Guru masih mempergunakan buku teks sebagai satu – satunya sumber belajar bagi peserta didik.
4. Guru belum memahami strategi dan langkah – langkah yang efektif dalam pembelajaran
membaca.
5. Rendahmya kemampuan Peserta didik dalam memahami isi bacaan.
C. Rumusan permasalahan.
Berdasarkan dari identifikasi permasalahan, maka dapat disimpulkan bahwa masih
rendahnya kemampuan Peserta didik dalam membaca intensif.
Untuk meningkatkan kemampuan membaca intensif peserta didik, guru perlu mencari
strategi dan langkah – langkah yang efektif, diantaranya dengan mempergunakan Srategi KWL.
Permasalahan tersebut dijabarkan kedalam rumusan masalah secara khusus yaitu :
1. Bagaimanakah meningkatkan kemampuan membaca intensif dengan menggunakan strategi
KWL pada tahap prabaca .
2. Bagaimakah meningkatkan kemampuan membaca intensif dengan menggunakan strategi KWL
pada tahap saat baca .
3. Bagaimakah meningkatkan kemampuan membaca intensif dengan menggunakan strategi KWL
pada tahap pascabaca .
D. Solusi permasalahan
Berdasarkan identifikasi dan rumusan permasalahan tersebut diatas, solusi dalam
memperbaiki proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca intensif Peserta
didik dengan mempergunakan strategi KWL, bertujuan untuk :
a. Meningkatkan kemampuan membaca intensif dengan menggunakan strategi KWL pada tahap
prabaca .
b. Meningkatkan kemampuan membaca intensif dengan menggunakan strategi KWL pada tahap
saat baca .
c. Meningkatkan kemampuan membaca intensif dengan menggunakan strategi KWL pada tahap
pascabaca .
.Metode pembelajaran“Peer Practice/Reciprocal Learning Lesson”
2. penjelasan/ pengertian
Rekan praktek / Pelajaran Pembelajaran timbal balik
Strategi Timbal Balik Pembelajaran adalah "kemitraan yang unik yang ditempa antara
pasangan siswa bekerja sama untuk melatih kemampuan sebelumnya disajikan dan informasi,
untuk meningkatkan pemahaman membaca teks kaya informasi, dan untuk mengembangkan
pemikiran proses yang diperlukan untuk menjadi pemecah masalah yang berwenang" (Silver,
Hanson, Kuat, & Schwartz, 2003, p.200). "Tujuan dari pengajaran timbal balik adalah untuk
memfasilitasi upaya kelompok antara guru dan siswa serta antara siswa dalam tugas membawa
makna teks" (Palincsar, 1986).
Peer Praktek / Strategi Pembelajaran Reciprocal didasarkan pada kolaborasi antara siswa
daripada proses belajar secara mandiri. Siswa diajarkan bagaimana untuk membantu satu sama
lain untuk menjadi sukses dalam menyelesaikan tugas. Reciprocal Belajar membantu siswa
mengembangkan keterampilan koperasi dan pada saat yang sama memungkinkan guru untuk
menutupi kurikulum. Dalam strategi ini, siswa bekerja sama sebagai mitra peer, masing-masing
pada gilirannya berfungsi sebagai "pelaku" dan "petunjuk" dalam menyelesaikan tugas. Panduan
ini mengevaluasi kinerja pelaku terhadap kriteria khusus yang ditetapkan oleh guru (Silver,
Hanson, Kuat, & Schwartz, 1996).
Fokus Strategi interpersonal pada memperoleh pengetahuan baru dan melatih
keterampilan penting melalui berbagi pribadi, kesadaran individu dan sosial, pembelajaran
kelompok terfokus, dan wawasan sebelumnya siswa dan pengetahuan"(Silver,2003).
belajar melalui pasangan belajar (peer learning) ini di tandai dengan besarnya peran
peserta didik dibandingkan denag peran pendidikkegiatan pembelajaran didasari oleh rasa saling
mempercayai di antara peserta didik dan adanya kesediaan salaing membantuantara peserta
didik. Namun, kehadiran pendidik sangat diperlukan untuk memberikan bantuan apabila peserta
didik membutuhkan.
Model pembelajaran koperatif metode pengajaran timbal-balik (reciprocal teaching)
merupakan salah satu tipe dari pembelajaran koperatif yang dirancang dengan metode-metode
tertentu, sehingga siswa dapat belajar lebih serius dan menumbuhkan rasa tanggung jawab,
kerjasama, berfikir kritis, keaktifan dalam bertanya dan keterlibatan dalam proses belajar.
Strategi pengajaran reciprocal teaching adalah salah satu strategi dalam pembelajaran kooperatif
dimana dalam pelaksanaannya, siswa dibentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 4 siswa
dengan tugas masing-masing sebagai predictor, clarifier, questioner, dan summarizer, dan
dalam proses pembelajaranya siswa dituntut untuk berinteraksi, ketergantungan, dan
bekerjasama dengan kelompoknya dalam mengerjakan tugasnya. Strategi ini mirip dengan
RallyCoach atau Kagan PairsCheck struktur, dimana diantara siswa bisa cukup akrab.
Selain dari pada itu metode Peer Practice/Reciprocal Learning Lesson ini mempunyai
kesamaan juga dengan strategi pembelajaran tukar belajar (learning exchange). Pembelajaran
ini dapat diberi arti sebagai setiap upaya yang sistematis dan disengaja untuk menciptakan
kondisi-kondisi agar terjadi kegiatan belajar membelajarkan. Dalam pembelajaran ini terjadi
interaksi edukatif antara dua pihak yaitu peserta didik yangbmelakukan pembelajaran dengan
pendidik (sumber belajar) yang mlakukan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian kegiatan
belajar terjadi sebagai akibat dari kegiatan membelajarkan.learning exchange atau tukar belajar
merupakan bentuk darri kolaborasi belajar atau belajar kooperatif(learning cooperation). Dilihat
dari perkembangan teori belajar merupakan bagian dari proses teori pembelajaran yang
menekankan pada student centred, dimana peseta belajar tidak hanya pasif akan tetapi sudah
mencapai pembelajaran yang proaktif atau anticipaif.
Dalam teori ini ditekankan dua orang atau lebih diamana mereka saling tergantung untuk
mencapai hasil yang positif. Situasi ini akan diulang bila mendapat ganjaran atas kesertaanya.
Ganjaran bisa bersifat kebendaan atau psikologis. Interaksi soisal yang saling memaksimalkan
hasil positif bagi peserta yang berinteraks. Fungsi memaksimalkan bukan hanya untuk
perseorangan akan tertapiberlaku pula untuk kelompok.
3. kelebihan dan kelemahan
Kelebihan:
1. Strategi ini siswa bisa memperoleh pengetahuan baru dan melatih keterampilan penting melalui
berbagi pribadi, kesadaran individu dan sosial, pembelajaran kelompok terfokus, dan wawasan
sebelumnya siswa dan pengetahuan
2. 2.lebih menekankan pada kepercayaan pada seorang rekan
3. mengajak siswa untuk belajar aktif tanpa adanya faktor pendorong dari guru dan guru disini
hanya menjadi pendamping.
4. Untuk menjadikan siswa penuh perhatian, pendengar aktif, dan memberikan umpan balik positif
5. Strategi ini akan menguntungkan siswa di seluruh kehidupan mereka saat mereka
mengembangkan keterampilan untuk berkolaborasi dan informasi menguraikan.
4. Lankah-langkah penggunaan metode (contoh praktek metode)
1. contoh menebak arti suatu istilah
a. langkah persiapan.
Ada tiga fase untuk pelajaran Anda menggunakan Timbal Balik Strategi Pembelajaran:
mempersiapkan siswa Anda, setelah mereka bekerja sama sebagai mitra, dan pengolahan
kemitraan (Silver, Hanson, Kuat, & Schwartz, 1996)
b. langkah pelaksanaan
dalam tahap langkah pelaksanan ini kita contohkan dengan cara mencocokan sebuah kata
atau istilah dengan difinisi yang telah disediakan dan siswa satu dengan rekannya mencoba untuk
mencocokannya.
Tahap pertama dari menggabungkan Praktek rekan / Timbal Balik Strategi Pembelajaran
adalah untuk mempersiapkan para siswa. Pelajaran akan dimulai dengan penjelasa pengantar
oleh guru. Hari ini kita akan belajar dua hal. Pertama kita akan belajar cara baru untuk
mempraktikkan Kata untuk Tahu. Kedua kita akan mempelajari beberapa keterampilan sosial
koperasi. Kami akan berlatih pada apa yang membuat seorang pelatih yang baik dan pelajar yang
baik dengan memainkan permainan pembinaan rekan. Untuk memberikan siswa ide yang baik
dari apa yang akan diajarkan Saya akan menggunakan sukarelawan mahasiswa untuk membantu
model prosedur permainan. Dengan bantuan seorang siswa kami akan model langkah-langkah
dari "pelaku" dan "petunjuk." Memberitahukan saya siswa bahwa 11 Words Tahu akan dipecah
menjadi dua bagian. Setelah Anda menyelesaikan satu bagian tentang Firman Tahu Anda akan
pindah ke bagian berikutnya dengan orang yang berbeda.
Langkah kedua adalah memiliki siswa istirahat di atas ke kelompok dua. Siswa dapat
memilih pasangan mereka sendiri, dan bagi mereka yang tidak dapat menemukan pasangan saya
akan menetapkan satu. Mahasiswa akan posisi sisi kursi mereka dengan sisi dan tidak saling
berhadapan. Pelaku akan membaca pertanyaan-pertanyaan mereka dari Kata-kata Mengenal
lembar latihan yang juga berisi jawaban dan petunjuk untuk pemandu set pertanyaan. Panduan
ini akan menggunakan jawaban dan petunjuk dari Kata untuk Tahu lembar latihan untuk
membantu memandu pelaku untuk jawaban yang benar. Setelah pelaku telah mendapat jawaban
yang benar untuk bagian tentang Kata Tahu maka mereka akan beralih mitra dan peran.
Pelakunya sekarang akan menjadi panduan .
Tahap ketiga dari rekan Praktek Belajar / Timbal Balik Strategi adalah proses
kemitraan. Saya akan meminta siswa untuk merefleksikan kemitraan mereka. Lakukan hal-hal
apa pasangan lakukan dalam masing-masing peran untuk memfasilitasi belajar? Karena siswa
saling membantu saya bebas untuk mengamati jika siswa penuh perhatian, pendengar aktif, dan
memberikan umpan balik positif.
c. langkah tindak lanjut
Dari langkah dia atas maka seorang guru akan melakukan langkah tindak lanjut dengan
menyerukan kepada siswa secara acak untuk mendefinisikan kata Praktek Peer / Timbal Balik
Strategi Pembelajaran adalah cara yang lebih baik untuk memperkuat konten. Siswa akan dapat
saling memberikan umpan balik segera. Dan bukannya mahasiswa mengatakan jawaban yang
salah dan kemudian saya pergi ke lain siswa untuk jawaban yang benar, mahasiswa sekarang
harus menggunakan petunjuk untuk datang dengan jawaban mereka sendiri. Strategi ini akan
menguntungkan siswa di seluruh kehidupan mereka saat mereka mengembangkan keterampilan
untuk berkolaborasi dan informasi menguraikan.
2. contok kelompok predeksi kawan
Prosedur:
a. buatlah kelompok-kelompok kecil antara 3-4 orang (usahakan diantara mereka belim saling
mengenal)
b. jelaskan pada siswa bahwa tugas mereka adalam menebak jawaban yang akan diberikan oleh
lawannyadenagnbeberapa pertantanyaan yang telah disiapkan. Contohnya:
1. Jenis musik apa yang kamu suka?
2. Bacaan apa yang kamu suka?
c. mintalah masing-masing kelompok untuk memulai dengan memilih salah sesorang dari mereka
untuk menjadi subyek. Sarankan masing-masing angota untuk menulis predeksi mereka secara
spesifik dan detail tentang subyek tersebut. Ketika semua selesaai dengan predeksi mereka,sang
subyek harus menjawab setiap pertanyaan tentang dirinya.
d. proses no 3 dilanjutkan denagn anggota yang lain sampai selesai.(mahmuda, Risyidi, 2008:165)
Pemakaian “Authentic Materials” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
bagi Penutur Asing
SUDARYONO UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
1. Pengantar
Dalam belajar bahasa asing dikenal empat jenis kemahiran, yaitu kemahiran mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Kemahiran mendengar dan membaca bersifat reseptif, sedang kemahiran berbicara dan menulis bersifat produktif. Penguasaan bahasa yang ideal mencakup keempat jenis kemahiran tersebut, walaupun kenyataannya ada siswa yang cepat mahir berbicara tetapi lemah dalam menulis atau sebaliknya (Lado, 1985).
Dalam hubungannya dengan retensi atau kemampuan mengingat kembali unsur-unsur bahasa yang sudah dipelajari, kemahiran membaca mempunyai derajat yang paling rendah. Seperti dilaporkan oleh Dale (1969) pada umumnya pembelajar hanya 10% mengingat dari apa yang mereka baca, 20% dari apa yang mereka dengar, 30% dari apa yang mereka lihat, 50% dari apa yang mereka dengar dan lihat, 70% dari apa yang mereka katakan dan tulis, dan 90% dari apa yang mereka katakan seperti yang mereka lakukan. Mengingat rendahnya kemampuan mengingat dari apa yang mereka baca dan dengar dalam proses belajar bahasa asing, maka pelajaran membaca, mendengar, dan berbicara harus mendapat perhatian yang seksama.
Salah satu problem dalam belajar bahasa asing ialah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya. Kesulitan itu terasa pada pembelajar kelas pemula, atau pembelajar yang sama sekali belum mengenal bahasa target yang akan dipelajari. Pada situasi seperti itu penggunaan pendekatan dan
pemilihan materi atau bahan ajar sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa asing. Melalui karangan pendek ini penulis akan menguraikan secara singkat pemakaian “authentic materials” dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing. Uraian ini didasarkan pada materi dan pengalaman penulis mengajar bahasa Indonesia di James Cook University, Australia, dan University of Wisconsin di Madison, Amerika Serikat.
2. Problem Belajar Bahasa Asing
Salah satu problem dalam belajar bahasa asing ialah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Lazimnya problem itu muncul karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Pengetahuan itu oleh Eskey (1986) dikategorikan sebagai (1) lower-level cognitive skills, required for the identification of forms, i.e. graphophonic, lexical/syntactic/semantic rhetorical; (2) higher-level cognitive skills, required for the interpretation of meaning, i.e. cultural, pragmatic, subject-specific. Hal ini mendorong para peneliti menyadari mengapa pembelajar yang berlatar belakang barat lebih cepat belajar bahasa Inggris daripada pembelajar yang tidak berlatar belakang seperti itu. Sementara itu Grabe (1986) menjelaskan problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pembelajar harus menguasai kompetensi gramatikal dan leksikal dari bahasa target jika ingin menguasai bahasa target itu. Meskipun demikian adakalanya sejumlah pembelajar yang sudah mempunyai kompetensi secukupnya dalam bahasa target tetap menghadapi kesulitan memahami teks tertentu karena kurangnya pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target. Oleh karena itu pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target diperlukan untuk melengkapi kompetensi gramatikal dan leksikal mengenai bahasa target.
Kesulitan dalam belajar bahasa asing sebagai akibat dari kesenjangan bahasa pertama dan bahasa target sangat terasa bagi pembelajar yang sama sekali belum mengenal bahasa target. Dalam keadaan seperti ini penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan materi atau bahan ajar yang fungsional sangat menentukan. keberhasilan pencapaian tujuan belajar bahasa asing. Selain untuk mencapai tujuan utama belajar bahasa asing, kedua hal itu juga sangat penting untuk membangkitkan interes pembelajar dan memelihara keterlibatan pembelajar pada subjek yang sedang dipelajarinya.
3. Perlunya Penggunaan “Authentic Materials”
Seperti telah dijelaskan oleh Eskey (1986) dan Grabe (1986) salah satu problem belajar bahasa asing ialah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target. Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk mengatasi problem ini, antara lain ialah penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan materi atau bahan ajar yang fungsional.
Dalam belajar bahasa asing dapat dipakai salah satu dari beberapa pendekatan yang telah dikenal hingga saat ini. Penggunaan pendekatan tertentu berkorelasi dengan jenis kemahiran yang dipelajari, dan materi yang dipelajari. Pemakaian “authentic materials” dituntut jika kita menggunakan pendekatan komunikatif-integratif dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan komunikatif integratif adalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa dengan menekankan aspek komunikatif dan integratif. Dengan komunikatif dimaksudkan sebagai pendekatan yang mengutamakan pembelajar menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi secara aktif. Ini berarti fokus diletakkan pada penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sementara itu yang dimaksud dengan integratif ialah keterpaduan penggunaan kemahiran mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Di samping itu dengan pendekatan integratif pembelajar bahasa juga dilibatkan dalam aktivitas di kelas dan di luar kelas, baik dalam bentuk tugas terstruktur atau sosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya.
Agar para pembelajar dan pengajar dapat berkomunikasi dengan baik diperlukan materi pelajaran yang fungsional. Seperti dijelaskan oleh Eskey (1986) para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan identifikasi bentuk; sedang para pembelajar yang termasuk higher-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan interpretasi makna. Bagi para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills yang lazimnya berada di kelas pemula pemakaian “authentic materials” yang menekankan aspek bentuk sangat penting untuk menjembatani kesenjangan komunikasi di antara pembelajar dan pengajar. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam kelas jika para pembelajar tidak mengetahui satu kata pun dari bahasa yang dipelajarinya, sementara itu pengajar harus memaparkan materi pelajaran dengan memakai bahasa yang sedang dipelajarinya. Dengan menggunakan “authentic materials” yang tepat para pembelajar akan dapat mengikuti pelajaran dengan memanfaatkan pengetahuan dasarnya untuk menebak materi pelajaran yang dipelajarinya.
4. Klasifikasi Kelas Berdasar Kategori Pembelajar
Pada umumnya pembelajar bahasa asing dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu kelas pemula (novice), menengah (intermediate), dan atas (advanced). Kelas pemula dibedakan atas kelas pemula bawah (novice-low), pemula tengah (novice-mid), dan pemula atas (novice-high). Kelas menengah dibagi atas kelas menengah bawah (intermediate-low), menengah tengah (intermediate-mid), dan menengah atas (intermediate-high). Untuk kelas atas jika diperlukan dapat dibedakan atas kelas atas (advanced) dan kelas superior (superior).
Kelas pemula ditandai oleh kemampuan berkomunikasi secara minimal atas materi yang dipelajari. Kelas menengah ditandai oleh kemampuan memakai materi pelajaran dengan mengkombinasikan unsur-unsur yang dipelajari dan bertanya serta menjawab
pertanyaan. Kelas atas ditandai oleh kemampuan berkomunikasi serta menulis teks yang utuh. Pengelompokan ini sangat penting untuk melaksanakan pendekatan komunikatif-integratif, karena hanya kelas yang kemampuan pesertanya hampir samalah interaksi antarpembelajar dan pengajar dapat terjalin dengan baik. Apabila kemampuan pembelajar relatif berbeda, tidak jarang proses belajar-mengajar terganggu oleh pembelajar yang tidak dapat mengikuti pelajaran, atau sebaliknya oleh pembelajar lain yang lebih tinggi kemampuannya.
5. Penggunaan “Authentic Materials” di dalam Kelas
Berdasar asumsi bahwa retensi yang dihasilkan dari aktivitas membaca paling rendah bila dibandingkan dengan aktivitas lainnya, maka pelajaran membaca perlu mendapat perhatian khusus. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif-integratif, aktivitas pada pelajaran membaca tidak terbatas pada membaca saja, tetapi dapat pula menjangkau aktivitas mendengar, berbicara, dan menulis. Hal ini berarti beberapa jenis aktivitas itu diintegrasikan ke dalam suatu aktivitas, yaitu melalui pelajaran membaca. Aktivitas mendengar terlibat dalam pelajaran membaca karena pembelajar harus mendengarkan ucapan-ucapan guru dan pembelajar lain ketika berinteraksi di dalam kelas, aktivitas berbicara terwujud pada saat pembelajar mendiskusikan materi pelajaran, dan aktivitas menulis tercakup dengan adanya tugas-tugas menulis karangan atau laporan dari hasil diskusi kelompok. Pada dasarnya pelajaran membaca itu sendiri dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap prabacaan, bacaan, dan pascabacaan. Setiap tahap harus dilakukan karena tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap lainnya, dan keberhasilan pelajaran membaca ditentukan oleh ketiga tahapan itu.
Pada tahap prabacaan guru memperkenalkan tipe teks yang akan dipelajari dan menyampaikan bagan atau gambaran umum mengenai topik yang akan dibahas. Tahap prabacaan berfungsi sebagai basis dari keseluruhan pelajaran membaca, dalam arti bahwa pembelajar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran ini tanpa dibekali informasi dan pikiran yang tepat mengenai teks yang akan mereka baca. Untuk itu sebelum pelajaran membaca dimulai, guru mulai menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Dalam hubungan ini guru menanyakan informasi apa saja yang akan muncul berkenaan dengan topik yang akan dipelajari dan dicacat pada papan tulis agar dapat dilihat dan diingat oleh para pembelajar. Dalam hal ini guru sangat dituntut peranannya untuk memancing siswa terlibat aktif dalam tahap prabacaan ini.
Perlu diketahui bahwa pada tahap prabacaan ini guru belum membagikan teks yang akan dipelajari. Sebelum teks dibagi, guru mendiskusikan topik yang akan dibahas di dalam teks. Diskusi ini dimaksudkan untuk memancing informasi yang akan dipakai sebagai kata kunci untuk menyusun hipotesis dalam memahami isi teks.
Kegiatan membaca dimulai ketika guru sudah mendistribusikan teks kepada para pembelajar. Para pembelajar diminta membaca dan memahami isi teks. Kata-kata yang dianggap sulit (karena belum pernah dikenalnya) dicacat dan ditanyakan kepada guru.
Guru menjelaskan makna kata itu beserta sinonimnya agar para pembelajar bertambah penguasaan kosa katanya. Pada bagian bacaan terdapat pertanyaan tentang teks atau memilih serta mengisi bagian-bagian tertentu dari soal yang disajikan. Untuk mengerjakan bagian ini para pembelajar dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 2 atau 3 orang. Dalam kelompok itu pembelajar berdiskusi dengan temannya mengenai apa yang ditanyakan dalam teks. Setelah diskusi selesai guru bertanya kepada para pembelajar satu per satu mengenai apa yang dikerjakan dan bagaimana hasilnya. Jika dalam materi pelajaran terdapat bagian yang harus diperankan, maka para pembelajar diminta untuk main peran mengenai hal tertentu, seperti wawancara antara wartawan dengan seorang pejabat, atau percakapan di antara penjual dan pembeli.
Pada bagian pascabacaan terdapat tugas yang harus dikerjakan oleh para pembelajar setelah pelajaran selesai. Ini berarti setelah pelajaran selesai para pembelajar diberi pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah ini dikumpulkan pada hari berikutnya ketika pelajaran yang sama berlangsung lagi. Sedapat mungkin pekerjaan para pembelajar dari pascabacaan ini diperiksa dan hasilnya dikembalikan kepada para pembelajar. Jika waktu tidak memungkinkan, bagian pascabacaan ini tidak perlu dibahas di kelas, tetapi guru menyediakan waktu bagi para pembelajar jika ingin menanyakan sesuatu berkenaan dengan materi yang ada pada bagian pascabacaan.
Teks yang akan dipakai sebagai bahan bacaan harus disesuaikan dengan kemampuan para pembelajar dan sebaiknya berasal dari “authentic materials.” Untuk kelas pemula yang sama sekali belum mengenal bahasa Indonesia dapat dipilih teks yang berasal dari “authentic materials” mulai dari yang sangat sederhana hingga yang sedikit lebih kompleks. Seperti dianjurkan oleh Eskey (1986) untuk para pembelajar yang termasuk “lower-level cognitive skills” disajikan teks yang menekankan identifikasi bentuk. Dalam hal ini teks yang menekankan identifikasi bentuk itu diusahakan teks yang mengandung unsur-unsur universal sehingga para pembelajar dapat mengenali bentuk teks tulis sekali pun mereka tidak dapat memahami kata-kata yang ada dalam teks itu. Sebagai contoh pada hari pertama dalam pelajaran membaca pada kelas pemula guru menyajikan kartu nama sebagai bahan pelajaran. Pada umumnya kartu nama mempunyai bentuk yang relatif standar sehingga para pembelajar dapat menebak bagian-bagian yang memuat informasi tentang nama, alamat kantor atau alamat rumah, nomor telepon dan sebagainya, seperti terlihat pada contoh berikut:
PT MAJU MUNDUR
Aswin Budi PratamaDirektur Utama
Kantor:Jl. Wuruk 4
Rumah:Jl. Jangli 23
--nama institusi
--nama diri
--jabatan
--alamat kantor/rumah
T. 741374 Smg T. 7478209 Smg
Dengan memakai kartu nama guru dapat melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah diuraikan sebelum ini. Pada tahap prabacaan guru menjelaskan anatomi kartu nama, dan para pembelajar dipancing untuk mengidentifikasikannya. Setelah guru mendistribusikan teks yang berisi kartu nama, guru mulai menjelaskan atau menanyakan beberapa hal, misalnya dengan kalimat-kalimat seperti berikut ini:
1. Siapa aku?2. Dimana rumahku?3. Berapa nomor telpon rumahku?
Nama saya ... Rumah saya ... Nomor telpon rumah saya ...
Pada tahap pascabacaan para pembelajar diminta menulis kartu nama dari setiap pembelajar. Tugas itu dilengkapi penjelasan tentang informasi diri setiap pembelajar seperti yang telah dijelaskan di dalam kelas. Setelah dimulai dengan teks yang sangat sederhana seperti kartu nama selanjutnya dapat disajikan teks yang berasal dari “authentic materials” yang lain, seperti bon atau nota pembelian barang, daftar menu rumah makan, kartu undangan dan lain sebagainya. Teks-teks seperti itu mudah diidentifikasi bentuknya karena para pembelajar pernah memakai atau menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari walaupun ditulis dalam bahasa yang berbeda. Dengan demikian para pembelajar akan tertarik dengan materi pelajaran itu dan keterlibatan pembelajar pada subjek yang sedang dipelajari dapat dipelihara.
Untuk kelas menengah dan atas mulai disajikan teks dari “authentic materials” yang menuntut interpretasi makna kata-kata dan kalimat yang ada di dalam teks. Diasumsikan para pembelajar pada kelas menengah dan atas sudah menguasai sejumlah kata bahasa Indonesia sehingga kata-kata yang dikuasainya dapat dipakai sebagai modal untuk mengikuti pelajaran guna meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia mereka. Berturut-turut dapat dipilih teks yang berasal dari bagian-bagian surat kabar, seperti iklan, berita keluarga; dan teks lain yang sederhana seperti surat, selebaran, pengumuman, dan seterusnya. Untuk kelas atas dapat dipilih teks yang berasal dari bagian-bagian majalah atau buku untuk dibahas isinya.
Setelah teks-teks itu dibahas di dalam kelas, para pembelajar baik di tingkat menengah atau atas diminta menulis karangan atau laporan yang berkaitan dengan teks itu. Tugas ini dapat dipakai sebagai acuan untuk mengetahui penguasaan bahasa Indonesia oleh para pembelajar dan perkembangan yang dialami selama mengikuti pelajaran. r
Daftar Pustaka
Cross, David. 1992. A Practical Handbook of Language Teach ing. New York: Prentice
Hall.
Dale, Cone. 1969. Education Media. New York: Charles Merrill.
Donough, J.C. Shaw. 1993. Materials and Methods in ELT. Lon don: Blackwell.
Dubin, F, and D.E Eskey and W. Grabe. 1986. Teaching Second Language: Reading for Academic Purposes. Addison- Wesley Publishing Co. Inc.
Lado, Robert. 1985. “Memory Span as a Factor in Second Lan guage Learning,” dalam IRAL 3: 23-129.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Proses kegiatan pembelajaran bahasa inggris di kelas XI IPA 1 SMA Muhammadiyah 2
Yogyakarta masih belum berhasil. Ada dua hal yang menjadi pijakan dari kesimpulan tersebut,
yakni; 1) kegiatan pembelajaran bahasa inggris masih pada tataran transfer of material saja
belum pada tahapan aktif komunikatif. Hal tersebut terbukti bahwasanya kegiatan pembelajaran
masih bersifat teacher center. Sebagian besar siswa masih enggan untuk menciptakan
communication exchange baik dengan guru maupun siswa. 2) Students center sebagai ciri
proses pembelajaran bahasa inggris yang aktif efektif belum terjadi di kelas tersebut. Hal
tersebut terbukti bahwasanya siswa hanya duduk, mencatat dan mengerjakan tugas yang
diberikan guru. Kegiatan komunikasi baik antar siswa maupun dengan siswa belum menjadi
budaya yang jelas dikelas tersebut. Implikasi dari permasalahan diatas adalah pembelajaran
bahasa inggris di kelas masih belum mencapai hasil yang diharapkan.
Sebenarnya siswa sangat tertarik dan senang mengikuti pelajaran bahasa inggris yang
disampaikan guru. Karena mereka telah memperolehnya dari bangku Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menegah Atas. Maka pelajaran bahasa inggris sudah tidak asing lagi. Namun perlu kita
sadari bahwa pelajaran bahasa inggris adalah pelajaran aplikasi, dimana parameter
keberhasilan dari pelajaran ini adalah tidak hanya pada tataran kognitif saja namun kemampuan
spikomotorik yang lebih utama. Siswa diharap mampu mengaktualisasikan diri mereka secara
maksimal di kancah dunia nyata melalui kemampuan berkomunikasi.
Banyak permasalahan yang terjadi ketika guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk praktek berbicara bahasa Inggris didepan kelas, sebagian besar siswa menolak dengan
alasan tidak berani, malu dan merasa tidak yakin dengan kemampuan mereka. Ada dua faktor
penting yang mempengarui permasalahan diatas, yakni; 1) Sebagian siswa krisis akan motifasi.
Ketika guru memberi kesempatan untuk berbicara, siswa sering tidak mengunakan dengan baik
namun sebalikya mereka lebih memilih mengerjakan soal latihan bahasa inggris. Artinya, siswa
masih menganggap bahwasanya ukuran keberhasilan pembelajaran bahasa adalah pada nilai.
2) kurangnya motivasi untuk berkomunkasi ini disebabkan karena siswa ternyata kurang
memiliki model dalam pemerolehan bahasa. Tidak dipungkiri bahwasanya kehadiran seorang
guru dikelas sebenarnya masih belum cukup untuk menghadirkan seorang model. Oleh sebab
itu guru harus lebih kreatif untuk memunculkan sosok model di dalam proses pembelajaran
agar siswa lebih termotivasi untuk melakukan komunikasi.
Merespon dari permasalahan diatas penulis berusaha menghadirkan satu pembelajaran
inovatif yaitu dengan cara penggunaan authentic materials yang berupa kuliah umum presiden
Barrack Obama dalam rangka kunjungan kenegaraan di Indonesia. Dengan menggunakan
authentic materials dalam pembelajaran bahasa inggris diharapkan siswa akan lebih tertarik
untuk berkomunikasi. Dengan menggunakan materi tersebut maka akan menghadirkan model
pembicara yang dapat menggugah pola pikir para siswa untuk semakin termotifasi dalam
menciptakan wacana komunikasi. Disamping itu, topik yang diangkat dalam pidato juga sesuai
dengan learning material yang terdapat dalam silabus kelas XI yakni materi teks analytical
eksposition.
Dengan menggunakan authentic materials diharapkan siswa akan lebih mudah
memahami materi yang disampaikan guru dikelas. Karena siswa akan memperolah model
nyata yang dapat menginspirasi mereka. Siswa tidak hanya mampu memahami bahasa inggris
pada tahapan pemahaman language features saja namun juga sanggup menerapkan dan
mampu memproduksi sebuah teks atau wacana baik verbal maupun non verbal. Dengan
demikian siswa akhirnya mampu merefleksikan kemampuannya dalam kehidupan nyata.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada karya ilmiah yang dilakukan adalah:
1) Bagaimanakah penerapan pembelajaran bahasa inggris dengan menggunakan authentic
material yang berupa kuliah umum dari Prisiden Barrack Obama ?
2) Apakah penerapan pembelajaran dengan authentic materials yang berupa kuliah umum dari
Prisiden Barrack Obama dapat meningkatkan motivasi belajar siswa XI IPA 1?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah;
1) Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan pembelajaran bahasa inggris dengan
menggunakan authentic material yang berupa kuliah umum dari Prisiden Barrack Obama.
2) Untuk mengetahui apakah penerapan pembelajaran dengan authentic materials yang berupa
kuliah umum dari Prisiden Barrack Obama dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar
siswa XI IPA 1.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi;
A. Guru
1. Meningkatkan kreativitas guru dalam melaksanakan tugas belajar mengajar di kelas.
2. Meningkatkan kualitas pembelajaran melalui karya ilmiah, untuk menganalisa kekurangan dan
kelebihan dari proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Serta dapat memberikan
wawasan dalam menyampaikan pokok bahasan teks analytical eksposition bahasa Inggris yang
dapat mengaktifkan siswa dalam berkomunikasi.
B. Siswa
1. Dapat memotivasi siswa untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, lebih
bersemangat dan menyadari pentingnya berlatih berkomunikasi.
2. Menumbuhkan semangat untuk merubah beban belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan
dan tantangan untuk menciptakan kreasi belajar dalam bentuk menciptakan wacana verbal dan
non verbal dalam bentuk teks analytical eksposition.
BAB II
Kajian Teori
A. Authentic Material
Ada beberapa definisi tentang authentic material, yaitu salah satunya adalah
penggunaan sumber materi yang berasal langsung dari pembicara pertama. Kemudian Harmer
(1991), juga memberikan definisi bahwa authentic texts merupakan desain materi yang
diperuntukkan para pembicara asli dan berasal dari pembicara asli pula. Authentic text juga bisa
disebut sebagai teks asli yang sengaja dibuat untuk para siswa untuk satu kelas bahasa.
Dengan menggunakan Authentic Mateial maka akan menghadirkan sesuatu yang nyata
didalam kelas karena lebih memberikan informasi yang up to date.
Secara garis besar dalam pembelajaran inovasi ini, kegiatan siswa dibagi menjadi dua
tahap, yakni; spoken dan written. Pada setiap tahapan akan terdiri dari beberapa kegiatan pula
yang meliputi beberapa keterampilan. Dengan menggunakan dua tahapan tersebut diharapkan
siswa mampu mengembangkan kemampuan berkomunikasi baik verbal dan non verbal. Dalam
proses kegiatan pembelajaran ini, penulis mengadopsi metode yang telah diusukan oleh Celce-
Murcia, Dornyei dan Thurrell (2001) Bahasa adalah komunikasi, bukan sekedar seperangkat
aturan. Implikasinya adalah bahwa model kompetensi berbahasa yang dirumuskan adalah
model yang menyiapkan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dan berpartisipasi dalam
masyarakat pengguna bahasa.
1. Bulding Knowledge of field (pada siklus ini guru memberi penjelasan tentang materi yang akan
dibahas)
2. Modeling of Text (pada siklus ini guru memutarkan vidoe pidato president Barrack Obama
melalui www.metronews.com siswa mulai mendengarkan, melihat, dan mencatat dari model
yang telah disiapkan oleh guru.)
3. Join Construction of Text (Pada siklus ini, siswa mulai melakukan kegiatan, misalnya mencatat
topik pidato dan kosakata yang mereka dengar.)
4. Independent Construction of Text (pada siklus ini siswa mulai menerapkan pengetahuan dan
pengalaman belajar yang telah diperoleh secara mandiri)
B. Motivasi
Salah satu faktor terbesar dalam mendukung keberhasilan pembelajaran bahasa adalah
motivasi. Siswa yang berhasil dalam pemerolehan bahasa, dapat dipastikan karena mereka
memiliki motivasi yang kuat untuk memperoleh keberhasilan tersebut. Sedangkan siswa yang
tidak memiliki motivasi yang jelas biasanya mereka hanya sekedar melakukan rutinitas saja.
Motivasi belajar yakni keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar menjamin kelangsungan kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki
oleh subjek itu tercapai. (Sardiman, 1992)
Jeremy Harmer (1991), membagi motivasi menjadi dua kategori yaitu eksternal motivasi
dan internal motivasi. Motivasi eksternal adalah motivasi yang diperoleh siswa berdasarkan
lingkungan dimana siswa berada. Keberadaan motivasi ini sangat tergantung dari
keberlangsungan faktor motivasi tersebut. Sedangkan intern motivasi adalah motivasi yang
berasal dari diri siswa itu sendiri. Biasanya Motivasi ini bersifat stabil. Kekuatan motivasi ini
dapat membuat siswa selalu survive untuk memperoleh apa yang menjadi target dalam belajar
bahasa ingggris.
C. Metode Likert
Untuk mengetahui bahwasanya penerapan metode pembelajaran dengan authentic
material dapat meningkatkan motivasi berkomunikasi siswa, maka akan digunakan metode
likert dengan pengkonversian skor dengan skor, dan berikut adalah pedomannya;
Tabel 1.1.
Konversi skor
Angka Kategori Interval Skor
5 Sangat baik + 1,8 SBi < X
4 Baik + 0,6 SBi < X ≤ + 1,8 SBi
3 Cukup - 0,6 SBi < X ≤ + 0,6 SBi
2 Kurang baik - 1,8 SBi < X ≤ - 0,6 SBi
1 Sangat kurang X ≤ - 1,8 SBi
(Sukardjo, 2005: 55)
Berdasarkan rumus konversi pada tabel 1.1 di atas, maka kriteria konversi yang digunakan sebagai pedoman konversi terlihat pada tabel 1.2 berikut:
Tabel 1.2.
Konversi skor skala 5
Interval Skor Kategori
4, 20 < X Sangat baik
3,40 < X ≤ 4,20 Baik
2,59 < X ≤ 3,40 Cukup
1,79 < X ≤ 2,59 Kurang baik
X ≤ 1,79 Sangat kurang
(Sukardjo, 2005: 55)
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan diuraikan pembelajaran inovasi sesuai dengan rumusan masalah
yang telah diangkat oleh penulis yaitu bagaimanakah penerapan pembelajaran bahasa inggris
dengan menggunakan authentic material yang berupa kuliah umum dari Presiden Barrack
Oebama serta dapatkah proses pembelajaran dan motivasi siswa mengalami peningkatan.
A. Strategi pembelajaran inovasi yang diterapkan dikelas yaitu dengan menggunakan
collaborative learning. Maksudnya adalah siswa bekerja dalam kelompok untuk
melaksanakan proyek yang berupa tugas yang dari guru. Tahap awal yang dilakukan
adalah guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Pembagian kelompok dibagi
berdasarkan kemampuan siswa yang bervareasi yaitu pandai, sedang dan rendah.
Dengan demikian maka proses pembelajaran akan seimbang, siswa yang berada dalam
satu kelompok akan saling membantu. Setelah siswa duduk sesuai dengan
kelompoknya, guru memutar video pidato presiden Barrack Omaba. Siswa diberi
kesempatan untuk mendengar dan menulis kosakata. Setelah itu siswa berdiskusi dan
saling bertukar fikiran tentang kosakata yang telah mereka peroleh. Pada tahapan ini
guru bertindak sebagai observer. Guru juga memberi informasi bahwa pada tahap ini
kelompok yang dapat memperoleh kosakata terbanyak akan memiliki kesempatan
tampil terlebih dahulu untuk menunjukkan hasil mereka didepan kelas.
Setelah tahap pertama terlaksana, siswa bekerja lagi dalam kelompok mereka dan mulai
mengembangkan kosakata yang telah mereka peroleh menjadi kalimat. Kalimat boleh
bervariasi, dari kalimat sederhana hingga, kalimat komplek sampai majemuk bertingkat. Hal ini
sebagai dasar pertimbangan bahwa tidak semua anggota kelompok mampu menciptakan
kalimat majemuk bertingkat. Dan sebaliknya untuk anggota kelompok yang terkategori pelajar
cepat dan / atau pandai memperoleh kesempatan untuk menuangkan ide mereka dalam proyek
tersebut. Setelah itu tahap selanjutnya adalah siswa akan melakukan peer corecting teman
sebaya. Sebelum siswa mempresentasikan hasil dari kalimat yang mereka ciptakan, akan
dilakukan peer correcting intern dalam kelompoknya. Setelah masing - masing anggota
kelompok mengumpulkan kalimat yang mereka buat, maka tugas ketua kelompok adalah
memimpin untuk mengoreksi kembali kalimat tersebut. Setelah produksi kalimat sudah dirasa
benar maka tugas dari masing – masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja mereka
di depan kelas. Pada tahapan ini, antar kelompok diperbolehkan untuk memberikan evaluasi
terbuka. Apabila kalimat yang dipresentasikan dirasa kurang benar maka kelompok lain boleh
membenarkan.
Dalam proses melaksanakan proyek tersebut, agar membuat kelas lebih tertantang untuk
bekerja secara maksimal maka guru memberikan satu regulasi yaitu berupa writing race.
Dengan pertimbangan bahwa, kelompok yang kalah dalam writing race akan memperoleh
hukuman yaitu memperoleh giliran terakhir dalam mempresentasikan hasil mereka. Dengan
writing race siswa telah termotivasi untuk bekerja dengan lebih cepat agar menjadi yang terbaik
dalam kompetisi dikelas tersebut.
Setelah kedua kegiatan tersebut terlaksana yakni pemeroleh kosakata dan produksi kalimat
yang bersumber dari authentic teks, selanjutnya guru akan mendistribusikan teks pidato dari
Barrack Obama. Pada tahap ini siswa mulai melakukan kegiatan analisa dari isi teks tersebut.
Pada tahap ini keterampilan yang ditekankan adalah reading for understanding. Siswa diberi
kesempatan untuk memberikan ulasan tentang teks yang sudah mereka baca. Hal tersebut
bertujuan agar dapat mengetahui kemampuan siswa dalam memahami isi dari pidato.
B. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan authentic material yang berupa pidato
presiden Barrack Obama dalam pelajaran bahasa Inggris di kelas XI IPA 1 dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa. Ada dua cara yang digunakan guru untuk
membuktikan keberhasilan dalam penerapan authentic material tersebut, yaitu;
observasi guru selama kegiatan pembelajaran dan analisa data berdasarkan angket
isian siswa.
Pada saat guru memutarkan video rekaman kuliah umum presiden barrack obama di kampus
Universitas Indonesia melalui http://besteasyseo.blogspot.com/2010/11/video-youtube-pidato-
obama-di-ui-kuliah.html motivasi siswa untuk berlatih berbicara mengalami kenaikan. Hal
tersebut terbukti ketika guru melakukan observasi bahwasanya siswa sangat antusias untuk
menglisting kosakata yang mereka dengar. Setelah itu siswa juga dengan aktif untuk saling
bertukar fikiran tentang makna dari kosakata yang mereka peroleh. Dan berlomba – lomba
untuk mempresentasikan didepan kelas.
Setelah guru menyebarkan angket untuk mengetahui respon siswa dalam pembelajaran
tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya faktor utama yang dapat menggugah
motivasi siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa ingggris adalah sosok president Barrack
Obama. Profil presesiden tersebut sangat dekat dengan siswa remaja. Faktor latar belakang
kehidupan Presiden Barrack Obama juga memberi pengararuh kepada para siswa.
Kehadirannya di Indonesia memberi satu respon positif tersendiri untuk siswa, mereka merasa
bangga menjadi tuan rumah sehinggga motivasi untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa
inggris mengalami peningkatan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kegiatan pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan authentic material yang
berupa kuliah umum presiden Barrack Obama di kampus Universitas Indonesia dapat
meningkatkan motivasi berkomunikasi siswa kelas XI IPA 1 SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, siswa sangat antusias untuk
mengaktualisasikan diri pada saat presentasi. Sedangkan nilai afektif siswa berdasarkan isian
angket yang telah dilakukan didapatkan rerata skor pelaksanaan pembelajaran adalah 4,52
yang berarati sangat baik.
Proses pembelajaran bahasa Inggris berjalan sangat efektif dengan pemanfaatan
authentic text. Kemudian melalui penerapan strategi collaborative learning, setiap siswa mampu
memahami peran mereka di dalam kelompok. Sehingga siswa bersungguh-sungguh dalam
memperoleh informasi yang berasal dari authentic material yang telah disiapkan oleh guru.
B. SARAN
1. Bagi Guru
Guru senantiasa meningkatkan profesionalisme dalam mengajar melalui pembelajaran
yang kreatif dan inovatif sehingga memudahkan siswa pada saat mereka belajar. Demikian juga
guru harus memperhatikan perbedaan kemampuan peserta didik sehingga dapat
memaksimalkan kemampuan siswa.
2. Bagi siswa
Siswa hendaklah meningkatkan semangat untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
kemampuan dan usaha untuk menguasai materi pelajaran bahasa Inggris tidak hanya pada
teks book saja namun juga harus selalu praktek berkomunikasi secara konstan.
DAFTAR PUSTAKA
Celce-Murcia, M., Olshtain, E. 2001. Discourse and Context in Language Teaching: a Guide for Language Teachers.UK:Cambridge University Press.
Kral, Thomas. 1995.Creative Classroom Activities.Washington.English Language Program Devision.United States Information Agency.
http://besteasyseo.blogspot.com/2010/11/video-youtube-pidato-obama-di-ui-kuliah.html diakses pada 10/11/2010
http://www.bbc.co.uk/communicative
Harmer, Jeremy .1991.The Practice of English Language Teaching. New Edition.London nad New York.Longman.
Sardiman, AM.1987. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Rajawali.
Sukardjo. 2005. Evaluasi pembelajaran. (Diktat mata kuliah evaluasi pembelajaran program studi teknologi pembelajaran PPs UNY) tidak diterbitkan
www.metronews.com
http://www.examenglish.com/IELTS/index.php
DOKUMENTASI KEGIATAN SISWA
Diposkan oleh Wiwiek Afifah di 15:23 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Label: model inovasi pembelajaran bahasa inggris dengan menggunakan authentic material berupa pidato kenegaraan president Barrack Obama
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Universitas Sebelas Maret
Program Pascasarjana UNS Solo
o Home o Akademik o Profil o Organisasi & Staff o Fasilitas o Program Doktor o Program Magister o Pendaftaran Wisuda On Line o Pendaftaran BPPS Online o Pendaftaran Mahasiswa Baru On Line
cari...
o Berita
Informasi Terbaruo Membangun Branding Perum PNRI Lokananta Solo Sebagai Ground Zero Musik
Indonesiao Pembelajaran Berbicara Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(Studi Kasus di SMP Negeri 2 Gemolong Kabupaten Sragen)o Pembelajaran Biologi Dengan Model POE (Predict-Observe-Explain) Dengan
Menggunakan Multimedia Flash Dan VCD Ditinjau Dari Kemampuan Verbal dan Kreativitas Siswa
o Peningkatan Minat dan Kemampuan Mengapresiasi Prosa Fiksi dengan Model Pembelajaran Tipe PQ4R pada Peserta Didik Kelas IXA Smp Negeri 1 Gesi Tahun 2012/2013
o Penerapan Model Pembelajaran Terpadu dan Penilaian Berbasis Kelas untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Cerpen pada Siswa Kelas IX A MTs Negeri Nguntoronadi Tahun Ajaran 2012/ 2013
o Novel Istana Emas Karya Maria A. Sardjono (Tinjauan Pendekatan Feminisme dan Nilai Pendidikan)
o Pengaruh Problem Based Learning, Motivasi Belajar, dan Intelligence Quotient terhadap Prestasi Belajar Mata Kuliah Fisiologi Olahraga pada Mahasiswa Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha
o Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mata Kuliah Ilmu Kesehatan pada Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
o Hubungan Gaya Kognitif dan Penalaran Verbal Dengan Prestasi Belajar Mata Kuliah Anatomi II Pada Mahasiswa Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Pendidikan Ganesha
o Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Motivasi Kader Kesehatan Dengan Aktivitasnya Dalam Pengendalian Kasus Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng
Penggunaan “CQGS” untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa SMP (Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan di SMPN 5 Probolinggo, tahun pelajaran, 2009/2010)
ABSTRAKSI
Asrofin, 2010. Penggunaan “CQGS” untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa SMP (Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan di SMPN 5 Probolinggo, tahun pelajaran, 2009/2010). Tesis ini untuk memenuhi parasarat kelulusan S2 Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas 8C SMPN 5 Probolinggo dengan tujuan untuk mengetahui apakah: (1) “CQGS” dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa; (2) Technique “CQGS” itu efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa; (3) ada kelemahan dan kelebihan penggunaan “CQGS” dalam pengajaran menulis. Berdasarkan hasil data sekor yang diperoleh melalui pre-test, dan data dari kuesioner serta interview kepada siswa-siswa yang dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa beberapa factor penyebab rendahnya kemampuan menulis siswa adalah: (1) Kurang latihan menulis Bahasa Inggris; (2) tehnik mengajar menulis yang digunakan tidak sesuai atau menarik; (3) motivasi siswa rendah; (4) siswa kekurangan sumber belajar Bahasa Inggris; (5) kurangna kesempatan untuk mendapatkan pemejanan bacaan berbahasa Inggris dan kurang latihan dalam memahami kemampuan tatabahasa Inggris“CQGS” adalah singkatan dari Control Composition, Questions and Answer, Guided Composition, and Sentence Combining. Penelitian yang menggunakan “CQGS” ini terdiri dari 4 siklus. Kegiatan utama pada siklus pertama dan kedua adalah membantu siswa dalam menulis teks recount yang memfokuskan pada penggunaan tanda baca, kesesuaian antara subjek dan predikat, tenses, sintak, pemilihan kosakata yang benar serta cara menghasilkan teks yang coherent melalui pertanyaan. Sementara itu, kegiatan utama pada siklus ke 3 dan 4 adalah menulis teks narasi yang menfokuskan pada penggunaan tata bahasa yang benar dan pengembangan ide dan imajinasi berdasakan bantuan kalimat awal dan kalimat akhir cerita yang harus ditulis dan cara menulis secara efektif. Secara umum proses pembelajaran menulis di kelas dimulai dengan membahas problem tatabahasa tulis dan membantu cara mengoreksi kesalahan sendiri, kemudian member contoh model bacaan teks tertentu yang harus dipahami dan mendiskusikan struktur umum serta cirri kebahasaan dari teks recount dan Narrative dan kemudian dilanjutkan membahas tatabahasa yang sulit, dan akhirnya baru berlatih menulisData yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kuantitatif yang diperoleh melalui tes menulis dan data kualitatif yang diperoleh melalui kuesioner, wawancara, dan observasi. Analisa data kuantitati yang digunakan adalah statistic deskripsi. Sementara metode constant comparative digunakan untuk menganalisa data kualitatif yang terdiri dari 4 langkah: (1) membandingkan setiap kejadian berdasarkan kategori masing-masing; (2) mengintegrasikan semua kategori dan ciri-cirinya; (3) menjabarkan teori; (4) menulis theoriHasil riset menunjukkan bahwa ada: (1) peningkatan kemampuan menulis siswa. Skor pada Post Test lebih tinggi daripada skor pada Pre Test; (2) peningkatan kemampuan penampilan guru di kelas. Hal ini bias dilihat dari hasil observasi languagung oleh kolaborator selama proses pembelajaran menulis di kelas; (3) peningkatan motivasi siswa. Dengan menganalis data dari kuesioner dan interview, penulis menemukan bahwa kebanyakan siswa member respon yang positif terhadap kegiatan aktivitas menulis; (4) peningkatan keaktifan siswa di kelas. Secara umum dari data yang terkumpul dari hasil observasi, peneliti mendapatkan bahwa siswa semula banyak diamnya pada siklus pertama, tetapi pada siklus ke dua sampai ke empat keaktifan siswa dalam berdiskusi dan membetulkan kesalahan berangsur-angsur meningkat.Kelemahan dari “CQGS” adalah: (1) sebelum siswa memiliki kemampuan berbahasa inggris terutama dalam menulis siswa tidak diperbolehkan menulis secara bebas untuk menghindari kesalahan yang fatal terhadap hasil tulisan siswa yang akan banyak dipengaruhi oleh tatabahasa ibu siswa; (2) bagi siswa yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup bagus makan “CQGS” dianggap menghambat kebebasan siswa dalam mengarang;Akhirnya, peneliti menyarankan penerapan “Control Composisiton” dan “Question and Answer” untuk diterapkan pada pembelajaran menulis pada kelas 7 SMP sebab kemampuan dasar Bahasa Inggris mereka relative sangat sedikit. Sementara “Guided Composition” dan “Sentence
Combining” akan cocok digunakan pada kelas 8 SMP sebab kemampuan dasar bahasa Inggris mereka sudah relative lebih bagus dari mereka yang ada di kelas 7
ABSTRACT
Asrofin, 2010. Using “CQGS” to Improve the Students’ Writing Competence (A Collaborative Action Research at SMPN 5 Probolinggo in Academic 2009/2010). A thesis: English Education of Graduate School. Sebelas Maret University.This research done at class VIIIC of SMPN 5 Probolinggo aims at finding out whether or not: (1) “CQGS” techniques can improve the students’ writing competence; (2) “CQGS” techniques are effective to improve the students’ writing competence; (3) there are some weaknesses and strengths of using “CQGS” in teaching writing. Based on the result of the score of pre-test, questionnaire and interview to the students that had been gained by the researcher, he found out some factors causing the students’ low writing achievement. They were; (1) lack of practice; (2) unsuitable teaching technique; (3) students’ low motivation; (4) lack of students’ learning resources, and (5) less opportunity to have a lot of exposure in reading English language and to practice much in understanding the English linguistic competence.“CQGS” which stands for Control Composition, Questions and Answer, Guided Composition, and Sentence Combining. This research consists of four cycles. The main activity of the first and second cycle was practicing writing recount text which was focused on the correct punctuation, agreement, tenses, syntax, and diction and constructing the questions to produce a coherent text. While the main activity of the third and fourth cycle was writing Narrative text which focused on both grammatical competence and developing the ideas and imagination based on the given guided clues of the first and the last sentence of the story and writing the sentences effectively. In general, the process of teaching and learning writing in the classroom started by; discussing students’ grammatical problem of writing and correcting the students’ own drafts; then, giving a model of the certain text type to be understood and discussing its language feature and generic structure, then, practicing some difficult grammar, and at last writing the text.The data collected in this research consists of quantitative which were taken from the writing test and qualitative data which were taken from the interview, questionnaire, and observation. Quantitative analysis was used to analyze the students’ achievement to compare their progress before and after the cycle was implemented by using descriptive statistics. While, constant comparative method used to analyze the qualitative data consisted of 4 steps: (1) comparing incidents applicable to each category, (2) integrating categories and their properties, (3) delimiting the theory, and (4) writing the theory.The result of the study shows that there was: (1) improvement of the students’ writing competence. The score in post test was higher than the score in pre-test; (2) improvement of the teacher’s performance class. It could be seen from the direct observation of the collaborator during the process of teaching and learning in the classroom; (3) improvement of students’ motivation. By analyzing the data collection from questionnaire and interview, the researcher found out that most of the students had positive response toward writing activity.; (4) improvement of the students’ participation. In general, from the data collected from the observation, the researcher found out that the students were so quiet in the first cycle, but in the second to the fourth cycle their participation in discussing and correcting the mistakes was gradually improving.The weaknesses of the “CQGS” were that: (1) Before the students had good language
competence in writing, the students were not allowed to express their ideas freely in writing to avoid the interference of the grammar of students’ first language; (2) For the students who had excellent background of English lesson, “CQGS” made them disable to express their ideas freely.Finally, the researcher suggested that “Control Composition and Question and Answer” be used as the main technique for teaching Writing at the seventh grade because their background knowledge of English proficiency was mostly considered at early beginning level. While “Guided Composition” and “Sentence Combining” would be suitable used in eight grade of Junior High School, because they had got much more background knowledge of English than the students at the first grade.
This entry was posted on Jumat, Juli 16th, 2010 at 3:11 pm and is filed under Publikasi Tesis/Disertasi Siap Uji .
« Model Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Inkuri Terbimbing melalui Penerapan Metode Demontrasi dan Eksperimen Ditinjau dari Gaya Belajar dan Motivasi Siswa” pada materi suhu dan pemuaian pada siswa kelas X SMA N I Gombong, kabupaten Kebumen tahun ajaran 2008/2009Pengumuman SPMB Program Pascasarjan UNS 2010 »Program Pascasarjana UNS Solo is powered by WordPress
InHarmonia theme crafted by Generative Graphics Workshop Top ^