Metode Cross Linking

100
SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK TERHADAP MUTU YOGHURT Oleh : UMUL MA’RIFAH F24104091 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

description

modifikasi pati

Transcript of Metode Cross Linking

SKRIPSI

PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG

DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK

TERHADAP MUTU YOGHURT

Oleh :

UMUL MA’RIFAH

F24104091

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

SKRIPSI

PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG

DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK

TERHADAP MUTU YOGHURT

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

UMUL MA’RIFAH

F24104091

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Umul Ma’rifah. F24104091. Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang Dan Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt. Dibawah Bimbingan : Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2008.

RINGKASAN

Pati modifikasi ikat silang adalah pati yang dimodifikasi secara kimia yang mengandung sejumlah pati resisten (Resistant starch) yang dikenal dengan RS tipe IV. Resistant starch (RS) telah diteliti mempunyai fungsi prebiotik karena RS tidak dapat dicerna di usus halus dan dapat difermentasi oleh bakteri probiotik. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi, tetapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia. Fermentasi RS oleh bakteri dalam usus menghasilkan SCFA (short chain fatty acids) yang diketahui berfungsi mencegah kanker kolon. RS dalam penelitian ini diperoleh dari pati singkong yang dimodifikasi melalui ikat silang (cross linking) dengan menggunakan reagen kimia 0.02% (v/b) POCl3.

Jenis minuman fugsional yang akhir-akhir ini cukup diminati adalah minuman probiotik (yoghurt). Salah satu upaya peningkatan kualitas sifat fungsional yoghurt yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kultur campuran bakteri asam laktat (BAL) yang merupakan kandidat probiotik dan dengan menambahkan pati singkong modifikasi ikat silang yang mengandung RS tipe IV sebagai sumber prebiotik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan keberadaan prebiotik dan probiotik (sinbiotik) mampu meningkatkan pertumbuhan BAL dalam usus manusia yang menguntungkan bagi kesehatan.

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu : (1) pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM), (2) pembuatan yoghurt dengan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang dan BAL kandidat probiotik, serta (3) analisis mutu yoghurt terpilih.

BAL yang digunakan dalam penelitian ini adalah Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, dan sebagai kandidat probiotik digunakan Lactobacillus plantarum sa28k yang diisolasi dari asinan kubis. Sebanyak 5% (v/v) kultur tunggal BAL Streptococcus thermophilus (St), Lactobacillus bulgaricus (Lb), Lactobacillus plantarum sa28k (Lp ) yang disuspensikan dalam larutan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) menunjukkan hasil sebagai berikut: jumlah BAL yang disuspensikan dalam larutan pati singkong modifikasi sebelum diinkubasi berturut turut adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. Setelah diinkubasi selama 20 jam jumlah S. thermophilus menjadi 2.04 x 103 CFU/ml, jumlah L. bulgaricus menjadi 5.7 x 104 CFU/ml, dan jumlah L. plantarum menjadi 4.65 x 104 CFU/ml. Hasil tersebut belum menunjukkan adanya pertumbuhan yang signifikan terutama untuk S. thermophilus dan L. plantarum. Hal ini diduga karena BAL akan mencerna PSM lebih lambat sehingga dalam waktu 20 jam belum terlihat pertumbuhannya.

Kombinasi BAL yang digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah sebagai berikut: (1) S. thermophilus : L. bulgaricus (2) S. thermophilus : L. plantarum, (3) S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum, dan (4) L. plantarum. Hasilnya menunjukkan, kombinasi BAL mempengaruhi nilai pH, viskositas, serta tingkat penerimaan panelis terhadap mutu yoghurt yang dihasilkan. Kombinasi ketiga BAL yaitu

S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang mempunyai tingkat penerimaan lebih baik daripada kombinasi BAL yang lain.

Susu skim ditambahkan dalam beberapa konsentrasi yaitu 5%, 7.5%, dan 10% (b/v), sedangkan PSM ditambahkan pada konsentrasi 2.5% dan 5% (b/v). Semakin tinggi konsentrasi susu skim dan PSM yang ditambahkan menghasilkan yoghurt dengan nilai pH, total asam tertitrasi, dan viskositas yang semakin tinggi. Konsentrasi susu skim terpilih yaitu 5% (b/v) dan konsentrasi PSM terpilih yaitu 2.5% (b/v). Kombinasi ini menghasilkan yoghurt dengan karakteristik penampakan, bau, rasa, konsistensi, mutu kimia dan mutu mikrobiologi yang sesuai dengan standar mutu yoghurt SNI-2981-1992.

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Umul Ma’rifah. Penulis dilahirkan pada

tanggal 14 november 1985 di Madiun. Penulis adalah anak

bungsu dari lima bersaudara pasangan bapak Djaenuri dan Ibu

Sringatun. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis antara

lain SDN Sewulan 03 (1992-1998), SLTPN I Dagangan (1998-

2001), SMAN I Geger (2001-2004).

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut pertanian

Bogor pada Fakultas Teknlogi Pertanian pada tahun 2004. Penulis diterima pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru).

Selama kuliah penulis aktif berorganisasi yaitu sebagai staf Departemen

Sosmas Himitepa, bendahara departemen Pengabdian Masyarakat (KAMMI Komsat

IPB), staf media Komunikasi LSO Pusat studi Politik dan Kebijakan (KAMMI Daerah

Bogor), Sekretaris Departemen Humas (KAMMI Daerah Bogor), dan Kadeputi Kajian

dan Advokasi BKM KAMMI Derah bogor. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan

seperti ketua pelaksana pelatihan Jurnalisme Profetik Center (JPC), Lepas Landas

Sarjana FATETA, penyambutan mahasiswa baru (Salam ISC), dan Seminar Nasional

Pangan Halal. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun

skripsi dengan judul ” Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang Dan

Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt” di bawah bimbingan

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS dan Siti Nurjanah, STP, MSi.

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG

DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK

TERHADAP MUTU YOGHURT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada jurusan Ilmu Dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

UMUL MA’RIFAH

F24104091

Dilahirkan pada tanggal 14 November 1985

Di Madiun, Jawa Timur

Tanggal Lulus: September 2008

Menyutujui,

Bogor, September 2008

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Siti Nurjanah, STP, MSi

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

Ketua Departemen

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam yang telah memberikan kenikmatan

iman, limpahan rahmat serta hidayat, sehingga penulis bisa menikmati pendidikan di

IPB, menyelesaikan penelitian, dan penyusunan skripsi. Penelitian ini dilakukan sebagai

salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana teknologi pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Ibu, Bapak, dan Bunda Hermin atas do’a yang tak henti-hentinya, kasih sayang

yang diberikan selama ini, serta kesabaran yang begitu besar dalam menunggu

penulis lulus. Hanya sebatas ini yang baru bisa ananda berikan.

2. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S., selaku dosen akademik atas

bimbingan, pengarahan, motivasi, bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan

kepada penulis selama menempuh pendidikan, mengerjakan penelitian, dan

menulis skripsi di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

3. Siti Nurjanah, S. TP., M.Si., sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan,

pengarahan, kesabaran, dan bantuan yang diberikan selama penelitian dan

penulisan skripsi.

4. Dian Herawati, S. TP., atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukan-

masukan yang telah diberikan.

5. Progam Hibah Kompetisi B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan

judul “ Pengembangan Produk Pangan Kaya Serat Dan Sumber Prebiotik Dari

Resistant Starch Umbi-umbian ” yang diketuai ole Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi

Jenie, MS., atas dana penelitian yang diberikan.

6. Kakak-kakakku (Mbak Hied, Mbak Mur, Mbak Mun, Mas Toha), kakak-kakak

ipar (pak Ulis, Mas Din, pak Yit, Mb Ana) dan keponakan-keponakanku, atas

motivasi dan do’anya selama ini. Do’akan aku sanggup memenuhi harapan-

harapan kalian.

7. Soulmate dan saudara tercintaku (Yana dan Citra), teman sharingku (Rita, Risma,

RJ crew) bersaudara dengan kalian adalah anugerah. Terima kasih banyak atas

bantuan dan kebersamaan yang indah selama ini.

8. Murabbiyah-murrabiyahku, terima kasih atas ilmu, bimbingan, dan suntikan

semangatnya.

9. Teman-teman BPH KAMMI Daerah Bogor 2006 - 2008 (Herma, Jepri, Budi,

Dindin, Jamal, Defa, Imam, Adyos, Mbak I’in, Citra, Phyto), bisa berjuang

bersama kalian adalah kenikmatan dari Alloh. Satu yang harus kita ingat :

BERGERAK TUNTASKAN PERUBAHAN! Semoga Alloh meridloi apa yang

selama ini kita lakukan.

10. Teman-teman BKM (Mbak Rini, Noni, Anis, Anna, Honi, Erika), teman-teman

BKM KAMMI Pusat (Ka Uwie Makasar dan Mbak Mutia), teman-teman

KAMMI komsat (IPB, AKA, UIKA, UNIDA, La Roiba, UNPAK), teman-teman

Etos 41, 42, 43, 44 terima kasih atas do’a dan dukungan selama ini.

11. Anak-anak Griya Salma (Frita, Tria, mbak Nurban, Ria, Mbak Sarmah, Mbak

Nurul) atas keceriaan yang diberikan, teman-teman EURO, teman-teman

SALAM ISC 2006, FA 41, teman-teman Kurma, bersaudara dengan kalian adalah

anugerah terindah dalam dakwah.

12. Temenku yang tersayang (Nona, Novi, Risma, Memed, sofia), teman

sebimbingan (Fina) , Ety, Tommy, Arief Fadli, Aris, Sisi, Riska terima kasih atas

bantuan yang diberikan selama penelitian.

13. Teman-teman praktikum golongan C dan teman-teman ITP 41, terima kasih atas

kebersamaannya.

14. Bu Mar, Pak Sidik, Pak Mul, Mas Edi, Pak Sobirin, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak

Rojak, Bu Rub, Bu Antin, dan Bapak-Bapak petugas PITP, terima kasih atas

15. semua bantuannya dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih begitu banyak kekurangan, harapannya

semoga apa yang telah dituangkan penulis dalam skripsi bisa bermanfaat bagi pihak yang

membutuhkan.

Bogor, September 2008.

Umul Ma’rifah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL............................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 1

B. TUJUAN .................................................................................................. 3

C. MANFAAT .............................................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4

A. Singkong (Manihot esculenta Crantz)..................................................... 4

B. Pati Singkong (Tapioka)........................................................................... 5

C. Pati Modifikasi ......................................................................................... 7

D. Susu Fermentasi ....................................................................................... 10

E. Susu Skim ................................................................................................. 13

F. Prebiotik................................................................................................... 14

G. Proiotik ..................................................................................................... 15

H. BAKTERI ASAM LAKTAT................................................................... 17

1. Lactobacillus plantarum sa28k ........................................................... 22

2. Lactobacillus bulgaricus..................................................................... 24

3. Streptococcus thermophilus ................................................................ 25

III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 27

A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 27

1. Bahan................................................................................................... 27

2. Alat ..................................................................................................... 27

B. METODE PENELITIAN........................................................................ 27

1.Pembuatan RS Tipe IV Pati Singkong (Juliana, 2007) ........................ 28

2. Pengamatan viabilitas BAL Dalam Media RS IV............................... 28

3. Pembuatan Kultur Starter.................................................................... 29

4. Pembuatan Yoghurt............................................................................. 29

4.1. Pemilihan Kombinasi Kultur BAL ............................................ 31

4.2. Pemilihan Konsentrasi Susu Skim dan RS tipe IV .................... 31

C. METODE ANALISIS............................................................................. 32

1. Uji Organoleptik ................................................................................. 32

2. Analisis Sifat Fisik (Apriyantono at al., 1989) ................................... 32

3. Analisis Sifat Kimia ............................................................................ 32

3.1. Pengukuran pH (AOAC, 1995).................................................. 32

3.2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)............ 33

3.3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989) ...................... 33

3.4. Kadar abu (AOAC, 1995) ......................................................... 34

3.5. Kadar Lemak Meode soxhlet (AOAC, 1995) ........................... 34

3.6. Kadar Protein Metode Kjehldahl (AOAC, 1995) ..................... 35

4. Analisis Mikrobiologi ......................................................................... 35

4.1. Total Bakteri Asam Laktat (Harrigan, 1998) ............................. 35

4.2. Total kapang - khamir (Fardiaz, 1987) ...................................... 36

4.3. Uji Koliform............................................................................... 37

4.4. Uji Salmonella............................................................................ 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 39

A. Penumbuhan BAL pada Larutan 2.5% RS Tipe IV ................................ 39

B. Pembuatan Yoghurt................................................................................. 41

C. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Bakteri Asam Laktat ........................ 42

1. Derajat Keasaman (pH)............................................................... 43

2. Viskositas .................................................................................... 44

3. Uji Organoleptik.......................................................................... 46

3.1. Warna ......................................................................................... 47

3.2. Aroma......................................................................................... 47

3.3. Rasa ............................................................................................ 49

3.4. Mouthfeel.................................................................................... 50

4. Kombinasi BAL Terpilih .................................................................... 51

D. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan RS tipe IV ................................... 52

1. Viskositas ............................................................................................ 52

2. Total Asam Tertitrasi (TAT)............................................................... 54

3. Derajat Keasaman (pH)....................................................................... 56

4. Pengaruh Kombinasi BAL dan RS tipe IV terhadap jumalah BAL ... 59

E. Analisis Mutu Yoghurt Terbaik................................................................ 61

1. Keadaan Secara Umum....................................................................... 62

2. Mutu Kimia ......................................................................................... 62

2.1. Nilai pH...................................................................................... 62

2.2. Total Padatan Terlarut................................................................ 63

2.3. Total Asam Tertitrasi ................................................................. 64

2.4. Kadar Abu .................................................................................. 64

2.5. Kadar Lemak ............................................................................. 64

2.6. Kadar Protein ............................................................................. 65

3. Mutu Mikrobiologi.............................................................................. 65

3.1. Total Bakteri Asam Laktat ......................................................... 65

3.2. Total Kapang-Khamir ................................................................ 65

3.3. Uji koliform, E. coli, dan Salmonella ........................................ 66

4. Mutu Organoleptik .............................................................................. 67

4.1. Aroma......................................................................................... 67

4.2. Rasa ............................................................................................ 67

4.3. Tekstur (mouthfeel) .................................................................... 67

4.4. Warna ......................................................................................... 67

4.5. Kekentalan.................................................................................. 68

V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 69

A. KESIMPULAN ..................................................................................... 69

B. SARAN ................................................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 71

LAMPIRAN..................................................................................................... 78

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt sesuai persyaratan SNI 01-2981-1992 ............. 12

Tabel 2. Formulasi Yoghurt ............................................................................. 32

Tabel 3. Hasil analisis yoghur.......................................................................... 62

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Singkong (ubi kayu) ....................................................................... 5

Gambar 2. Reaksi Modifikasi Pati Dengan Menggunakan POCl3.............................. 9

Gambar 3. Jalur fermentasi homofermentatif (Rees, 1997)............................. 18

Gambar 4. Jalur fermentasi heterofermentatif (Rees, 1997) ............................ 19

Gambar 5. L. Plantarum .................................................................................. 24

Gambar 6. Lactobacillus bulgaricus ................................................................ 25

Gambar 7. Streptococcus thermophilus ........................................................... 26

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt ................................................. 30

Gambar 9. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% RS tipe IV ............................... 39

Gambar 10. Yoghurt dengan kombinasi kultur BAL....................................... 42

Gambar 11. Nilai pH yoghurt pada berbagai kombinasi

kultur BAL .................................................................................... 43

Gambar 12. Nilai viskositas yoghurt pada berbagai kombinasi

kultur BAL ..................................................................................... 45

Gambar 13. Skor kesukaan panelis terhadap yoghurt dengan perlakuan

kombinasi kultur BAL ................................................................... 47

Gambar 14. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap nilai

viskositas yoghurt ......................................................................... 53

Gambar 15. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap

total asam tertitrasi (TAT)............................................................. 54

Gambar 16. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap

nilai pH yoghurt ............................................................................. 57

Gambar 17. Pengaruh kombinasi BAL dan Konsentrasi RS tipe IV terhadap

total BAL yoghurt .......................................................................... 60

Gambar 18. Yoghurt Terpilih........................................................................... 63

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt Sinbiotik ............................... 77

Lampiran 2. Viabilitas BAL............................................................................. 78

Lampiran 3. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% (b/v) RS tipe IV.................... 79

Lampiran 4. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap pH

yoghurt ........................................................................................ 80

Lampiran 5. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap viskositas

yoghurt ........................................................................................ 81

Lampiran 6. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap warna

yoghurt ........................................................................................ 82

Lampiran 7. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap aroma

yoghurt ....................................................................................... 83

Lampiran 8. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap rasa

yoghurt ....................................................................................... 84

Lampiran 9. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap mouthfeel

yoghurt ........................................................................................ 85

Lampiran 10. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap

kekentalan yoghurt ...................................................................... 86

Lampiran 11. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV viskositas

formulasi yoghurt sinbiotik......................................................... 87

Lampiran 12. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap

nilai total asam tertitrasi (TAT).................................................. 88

Lampiran 13. Pengaruh formulasi susu skim dan RS tipe IV terhadap

nilai pH........................................................................................ 89

Lampiran 14. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi RS tipe IV terhadap

jumlah BAL yoghurt sinbiotik ................................................... 90

Lampiran 15. Total Kapang-Khamir yoghurt sinbiotik terbaik ....................... 91

Lampiran 16. Total Koliform, E. coli, dan Salmonella.................................... 92

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesadaran konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi mempengaruhi

kesehatan cenderung meningkat, sehingga membuat konsumen lebih selektif dalam

memilih produk pangan yang akan dikonsumsi. Perubahan gaya hidup, pola makan,

dan kondisi kesehatan dapat merubah stabilitas ekosistem flora usus. Upaya untuk

memperbaiki kondisi ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan (manajemen) flora

usus dengan cara meningkatkan proporsi bakteri baik (probiotik) untuk menekan

bakteri patogen. Produk pangan fungsional yang akhir-akhir ini cukup diminati

adalah minuman probiotik terutama yang berasal dari susu fermentasi yaitu yoghurt.

Oleh karena itu, peningkatan kualitas sifat fungsional yoghurt sangat penting untuk

meningkatkan kualitas kesehatan konsumen.

Salah satu upaya peningkatan sifat fungsional yoghurt adalah dengan

menambahkan bakteri asam laktat (BAL) selain S. thermophilus dan L. bulgaricus

karena menurut Yuguchi et al., (1992), kedua bakteri tersebut tidak dapat tumbuh

pada usus manusia, dan hanya dapat bertahan hidup sampai pada usus kecil dan

kolon selama 3 jam setelah yoghurt dikonsumsi. Oleh karena itu, BAL yang

ditambahkan adalah BAL yang harus mampu bertahan dalam saluran pencernaan

sehingga memberikan efek kesehatan setelah dikonsumsi. Salah satu jenis BAL yang

akan ditambahkan dalam penelitian ini yang mampu mencapai saluran pencernaan

dalam keadaan hidup dan lengkap adalah L. plantarum yang diisolasi dari asinan

kubis (sauerkraut) yaitu L. plantarum sa28k. Kusumawati et al., (2003), melaporkan

bahwa dari uji in vitro dan uji in vivo pada tikus percobaan menunjukkan bahwa

bakteri tersebut berpotensi sebagai probiotik yang mampu bertahan hidup dalam

pencernaan. Selain itu, L. plantarum sa28k mampu menghambat pertumbuhan B.

cereus, S. aureus, S. typhimurium, dan E. coli yang merupakan bakteri patogen.

Kelebihan lain yang dimiliki L. plantarum sa28k menurut Kusumawati et al. (2003),

merupakan galur yang menunjukkan aktivitas asimilasi kolesterol.

Pati yang dimodifikasi (pati modifikasi) baik secara fisik maupun kimia

diketahui mengandung sejumlah pati yang bersifat resisten terhadap enzim

pencernaan yang dikenal dengan resistant starch (RS). Oleh karena itu, RS dapat

berfungsi sebagai prebiotik. Modifikasi pati terutama pati tapioka dengan

menggunakan reagen kimia telah banyak dilakukan dengan berbagai macam cara,

seperti asilasi tapioka dan pragelatinisasinya dengan asam stearat untuk enkapsulasi

flavor ( Varavit et al., 2001), cross link dengan POCl3 (Khatijah, 2003), asilasi

tapioka dengan asam propionat dicampur dengan poliester poliuretan untuk dijadikan

film (Santayonan dan Woothikanokkhan, 2003), dan hidrolisisis dengan HCl untuk

memperoleh tingkat kristalin yang tinggi (Atichokudomcai et al., 2001). Penelitian

tentang pati modifikasi melalui ikat silang (cross linking) untuk menghasilkan RS

tipe IV juga telah banyak dilakukan antara lain modifikasi dengan 0.2% (v/b) POCl3

pati singkong, suweg, dan ubi jalar oleh Juliana (2007), penelitian serupa dilakukan

Anggraini (2007) terhadap pati ganyong, kentang dan pati kimpul, dan Woo et al.

(1999) membuat RS tipe IV dari berbagai pati dengan menggunakan berbagai

konsentrasi POCl3. Menurut Singh et al. (2006), pati yang dimodifikasi mealalui ikat

silang (cross linking) mempunyai karakteristik viskositas yang stabil terhadap suhu

tinggi, pengadukan, dan kondisi asam. Oleh karena itu, umumnya ditambahkan untuk

memperbaiki viskositas, tekstur, dan kestabilan dalam produk-produk susu. Juliana

(2007) melaporkan, modifikasi pati singkong yang dibuat dengan metode ikat silang

(cross linking) dengan reagen POCl3 setelah diinokulasi dengan L. plantarum sa28k

dapat menghasilkan asam asetat yang merupakan SCFA (short chain fatty acids).

SCFA menurut beberapa hasil penelitian diketahui dengan mekanisme sedemikian

rupa berfungsi mencegah kanker kolon.

Berbagai hasil penelitian modifikasi pati secara kimia untuk menghasilkan

kandungan RS tipe IV, mempunyai potensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut

terutama aplikasinya dalam produk pangan salah satunya pada produk yang

mengandung probiotik. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan pati singkong

modifikasi yang dibuat melalui metode cross linking yang akan ditambahkan pada

yoghurt untuk diamati pengaruhnya terhadap mutu yoghurt. Penelitian ini

merupakan penelitian pendahuluan dari upaya penerapan konsep sinbiotik / eubiotik

(penggabungan probiotik dan prebiotik) dalam produk yoghurt. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan keberadaan prebiotik dan probiotik mampu meningkatkan

pertumbuhan BAL dalam usus manusia yang menguntungkan bagi kesehatan.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh penggunaan kombinasi BAL terhadap mutu yoghurt.

2. Mengetahui pengaruh penggunaan susu skim pada berbagai tingkat

konsentrasi terhadap mutu yoghurt.

3. Mengetahui pengaruh penambahan pati singkong modifikasi ikat silang pada

berbagai konsentrasi terhadap mutu yoghurt.

4. Mengetahui mutu kimia dan mikrobiologi serta tingkat penerimaan panelis

terhadap yoghurt yang telah ditambah L. plantarum sa28k dan pati singkong

modifikasi ikat silang.

C. MANFAAT

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah penelitian awal yang memberikan

referensi proses pembuatan dan mutu yoghurt dengan menggunakan

L. plantarum sa28k sebagai BAL kandidat probiotik yang diisolasi dari asinan kubis

dan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang yang mengandung resistant

starch tipe IV, sehingga lebih lanjut diharapkan dapat diterapkan konsep yoghurt

sinbiotik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Singkong (Manihot esculenta Crantz)

Singkong atau ketela pohon atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz)

merupakan tanaman dari famili Euphorbiaceae dan merupakan tanaman tahunan di

negara tropis maupun subtropis. Singkong berasal dari Brazil, kemudian menyebar

hampir ke seluruh dunia, antara lain : Afrika, madagaskar, India, dan China

(Prihatman, 2000). Ciri-ciri tanaman singkong mudah diamati yakni batangnya

berkayu, beruas, dan berbuku-buku. Menurut Hilllocks et al., (2002), Umbi tanaman

singkong yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai

tempat penyimpanan cadangan makanan.

Tanaman singkong berbentuk pohon dengan tinggi 0.9-4.6 m. Tanaman ini

dapat tumbuh baik di daerah dengan ketinggian 10-1500 m di atas permukaan laut

dan memiliki curah hujan antara 1500-2500 mm/tahun. Suhu udara minimal bagi

pertumbuhan tanaman singkong adalah 10oC. Suhu di bawah 10oC akan menghambat

pertumbuhan tanaman, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang

yang kurang sempurna. Kelembaban udara yang optimal untuk pertumbuhan tanaman

singkong adalah antara 60-65% (Prihatman, 2000).

Umbi sngkong rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm,

tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih dan

kekuning-kuningan. Umbi akar singkong mengandung glukosa, rasanya sedikit

manis, namun ada pula yang pahit tergantung pada kandungan glukosida yang dapat

membentuk asam sianida (Anonim, 2006).

Di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah

beras dan jagung. Singkong paling besar dimanfaatkan sebagai bahan dasar pada

industri makanan dengan diolah menjadi pati singkong (tapioka). Berdasarkan

laporan Depatemen Perindustrian Indonesia tahun 1999, terdapat 155 buah produsen

pati singkong yang tersebar diseluruh wilawah Nusantara. Salah satu upaya

meningkatkan penggunaannya dalam industri pangan, tapioka dimodifikasi secara

kimia menjadi resistant starch (RS) tipe IV. Juliana (2007) melaporkan daya cerna

pati singkong modifikasi ikat silang (RS tipe IV) cukup rendah yaitu 21.20% dan

memiliki kadar serat pangan sebesar 8.72%. Gambar singkong dapa dilihat pada

gambar 1.

Gambar 1. Singkong (Prihatman, 2000)

B. Pati Singkong (Tapioka)

Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan

ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks

(Brithish Nutrition Foundation, 2005). Pati terdapat di berbagai bagian tanaman,

seperti biji (padi-padian), akar dan umbi (singkong dan kentang), dan pada batang

(sagu) (Kulp, 1975). Pati merupakan salah satu bentuk utama dari karbohidrat dalam

makanan. Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses

metabolisme.

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi

terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno,

1992). Amilosa tersusun dari molekul D-glukopiranosa berikatan α-(1,4) dalam

struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri dari beberapa sampai

3000 unit D-glukopiranosa. Amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang

berikatan α-(1,4) dan juga mengandung ikatan silang α-(1,6). Ikatan ini

menyebabkan penampilan molekul amilopektin bercabang-cabang biasanya 24 -30

unit D-glukopiranosa berada di titik percabangan amilopektin (Wilbrahan dan Matta,

1992).

Kandungan pati dalam singkong menurut Winarno (1992) adalah 34.6%.

Juliana (2007) melaporkan rendemen pati singkong (tapioka) adalah 11.79% dengan

kadar air 6.15% dari berat kering. Pati tapioka merupakan granula berwarna putih

dengan ukuran diameter yang bervariasi dari 4 -35μm dan rata-rata 20μm. Granula ini

berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula

tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya

(Swinkels, 1985). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang

dalam air panas atau hangat (Greenwood dan Munro, 1979). Pengembangan granula

pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan

menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi.

Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air

dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati

tidak larut dalam air dingin tapi berbentuk suspensi. Dengan makin naiknya suhu

suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Pengembangan

tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisiknya

hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus

hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang

lain. Dengan makin naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin

melemah. Di lain pihak molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi

sehingga mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul

air juga semakin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai menurun maka air

akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa-amilopktin sehingga menghasilkan

ukuran granula yang semakin besar. Jika suhu suspensi masih tetap naik, maka

granula akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula

masuk dalam sistem larutan.

Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa.

Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan amilopektin

berkisar antara 70-85%. Perbandingan antara amilosa dan amailopektin akan

berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat glatinisasi pati (Jane dan Chen,

1992). Juliana (2007) melaporkan kelarutan pati singkong dalam air adalah 4.2% b/b

dan suhu gelatinisasi 84o C.

Dalam tubuh manusia, pati dicerna dengan bantuan enzim amilase. Enzim ini

biasanya terdapat pada saliva (air liur) dan pankreas. Amilase akan menghidrolisis

pati menjadi maltosa. Proses pencernaaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh

ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar

sehingga pati lebih cepat dicerna daripada pati yang ukuran granulanya lebih besar

(Tharanathan dan Mahandevama, 2003).

C. Pati Modifikasi Ikat Silang

Pati modifikasi didefinisikan oleh Munarso (2004) sebagai pati yang diberi

perlakuan sedemikan rupa baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat

reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Pati yang dimodifikasi

menghasilkan granula atau bagian pati yang bersifat tahan (resisten) terhadap enzim

pencernaan yang dikenal dengan istilah pati resisten ( Resistant starch). Resistant

starch (RS) didefinisikan sebagai sejumlah pati dan produk degradasi pati yang tidak

diserap di usus kecil individu yang sehat. Resistant starch (RS) telah diteliti

mempunyai fungsi prebiotik karena RS tidak dapat dicerna di usus halus sehingga

dapat difermentasi oleh bakteri probiotik (Shimoni, 2003). Efek prebiotik tidak hanya

terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi tapi

juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia (Brown et al., 1998).

RS dibedakan menjadi RS tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Sajilata et al.,

(2006) menjelaskan definisi masing-masing tipe RS tersebut sebagai berikut:

(1) RS tipe I adalah pati yang bersifat resistant karena secara fisik tidak dapat

diakses oleh enzim pencernaan karena terpeangkap di antara dinding-dinding sel

tanaman. RS tipe ini misalnya terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan

yang tidak tergiling sempurna

(2) RS tipe II adalah pati yang secara alami terdapat dalam bentuk granula pati yang

resistant terhadap enzim pencernaan. RS tipe II terdapat pada kentang, nanas, dan

pisang mentah.

(3) RS tipe III adalah RS yang terbentuk karena proses retrogradasi.

(4) RS tipe IV adalah RS yang mempunyai ikatan lain selain α -(1,4) dan α- (1,6).

Pembentukan RS tipe IV dilakukan dengan penambahan reagen kimia. Menurut

Sajilata et al. (2006), resistant starch (RS) tipe IV adalah pati yang dimodifikasi

melalui ikat silang (cross linking) dengan menggunakan reagen kimia, terdapat

pada produk pangan yang menggunakan pati termodifikasi.

Semua pati yang dimodifikasi dengan perlakuan kimia mengandung RS

yang termasuk jenis RS tipe IV. RS tipe ini bersifat resisten terhadap enzim amilase

akibat pembentukan ikatan silang dengan penambahan senyawa kimia. Reagen

seperti sodium trimetafosfat (STMP), monosodium fosfat (SOP), sodium tripolifosfat

(STTP), epiklorohidrin (EPI), fosforus oksiklorida (POCl3), ataupun campuran dari

asam asetat anhidrida dan asam dikarboksilat seperti asam adipat, dan vinil klorida

digunakan untuk membuat pati cross linking (Wattanchant et al., 2003).

Tingkat efisiensi proses modifikasi kimia tergantung pada tipe reagen, ukuran

dan stuktur granula pati alami (Huber dan Bemiller, 2001). Dalam hal ini juga

termasuk struktur permukaan dari granula pati yaitu permukaan luar dan dalam,

tergantung pada pori-pori dan adanya saluran-saluran pada granula tersebut. Bemiller

(1997) menjelaskan bahwa saluran-saluran yang terbuka pada granula eksterior

menyediakan permukaan lebih luas yang dapat diakses oleh reagen, dan menyediakan

akses yang lebih mudah bagi reagen menuju granula interior. Namun, selain melalui

saluran yang terdapat pada granula, reagen juga berdifusi masuk ke matrik granula

melalui permukaan eksternal.

Juliana (2007) melaporkan pati singkong yang dimodifikasi ikat silang

dengan 0.02% POCl3 memiliki kadar RS 4.28%. Pati singkong modifikasi ikat silang

tersebut dibandingkan dengan pati alaminya, memiliki derajat putih paling tinggi

yaitu 110%, densitas kamba terendah yaitu 0.63 g/ml, sedangkan densitas padatnya

0.84 g/ml. Kadar amilosa pati singkong modifikasi ikat silang sebesar 29.42%, tidak

berbeda nyata dibandingkan pati alami (27.32%). Aktivitas air dari pati alami

singkong dan pati singkong modifikasi ikat silang berturut-turut sebesar 4.20, dan

4.25%. Pati singkong modifikasi ikat silang memiliki suhu awal gelatinisasi 67.5oC,

suhu puncak gelatinisasi yang sama dengan pati alami singkong, yaitu 84oC, dan

viskositas maksimumnya adalah 1.550 BU. Kandungan gula pereduksi pati singkong

modifikasi adalah 0.16% b/b. Berdasarkan uji in vitro yang dilakukan oleh Juliana

(2007) dengan mensuspensikan 5% (b/v) BAL pada larutan pati singkong modifikasi,

diperoleh hasil setelah diinkubasi selama 24 jam jumlah L. plantarum 1 x 108

CFU/ml, L. casei 1.4 x 107 CFU/ml, dan B. Bifidum 2.5 x 107 CFU/ml. Selain itu,

dari hasil analisis SCFA ( Short Chain Fatty Acid) diperoleh hasil asam asetat yang

dihasilkan sebanyak 0.04% (b/v) dan kadar serat ( dietary fiber) sebanyak 8.72%

(b/v).

Anggraini (2007) melaporkan pembutan pati kimpul yang dimodifikasi

dengan 0.02% POCl3 memiliki kadar RS 5.1424%. Pati kimpul modifikasi ikat silang

dibandingkan pati alami memiliki derajat putih paling tinggi yaitu 100.85%, densitas

kamba yaitu 0.637 g/ml, sedangkan densitas padatnya 0.838 g/ml. Kadar amilosa pati

kimpul modifikasi ikat silang sebesar 31.435%, tidak berbeda nyata dibandingkan

pati alami (30.859%). Aktivitas air dari pati alami kimpul dan pati kimpul modifikasi

ikat silang berturut-turut sebesar 0.384, 0.367, dan 0.358. Pati kimpul modifikasi ikat

silang memiliki suhu awal gelatinisasi 75 oC, suhu puncak gelatinisasi yang sama

dengan pati alami kimpul, yaitu 90oC, dan viskositas maksimumnya adalah 200 BU.

Kandungan gula pereduksi pati kimpul modifikasi ikat silang adalah 0.17% b/b.

Berdasarkan uji in vitro yang dilakukan oleh Anggraini (2007) dengan

mensuspensikan 5% (b/v) BAL pada larutan pati kimpul modifikasi ikat silang,

diperoleh hasil setelah diinkubasi selama 24 jam jumlah L. plantarum 1.2 x 108

CFU/ml, L. casei 1.7 x 107 CFU/ml, dan B. Bifidum 8.9 x 106 CFU/ml. Selain itu,

dari hasil analisis SCFA ( Short Chain Fatty Acid) diperoleh hasil asam asetat yang

dihasilkan sebanyak 0.04% (b/v) dan kadar serat (dietary fiber) sebanyak 7.53%

(b/v). Berikut adalah reaksi kimia yang terjadi dalam pembuatan pati modifikasi ikat

silang dengan menggunakan reagen POCl3.

Gambar 2. Reaksi modifikasi kimia pati dengan menggunakan POCl3 (Singh et

al., 2006)

D. Susu Fermentasi

Susu fermentasi didefinisikan oleh Oberman (1985) yang disitasi oleh

Selamat (1992) sebagai hasil fermentasi susu segar atau susu skim atau susu

konsentrat yang telah dsipasteurisasi maupun disterilisasi dengan menggunakan

kultur mikroba tertentu, dimana mikroba tersebut dipertahankan hidup sampai pada

saat dijual ke konsumen dan diharapkan tidak mengandung mikroba patogen.

Beberapa contoh susu fermentasi antara lain : yughurt, yakult, kefir, koumis, susu

bulgaricus, susu acidophilus, dll.

Tzanetaki dan Tzanetakis (1999) dalam Robinson et al. (1999)

mengklasifikasikan susu fermentasi berdasarkan kultur starter yang digunakan yaitu:

(1) fermentasi laktat oleh bakteri mesofilik dan termofilik, (2) fermentasi oleh bakteri

intestinal, (3) fermentasi laktat oleh khamir, dan (3) fermentasi laktat oleh kapang.

Kosikowski (1977) mengklasifikasikan susu fermentasi menjadi 4 tipe, yaitu (1)

berasam rendah, contohnya susu krim dan susu mentega; (2) berasam sedang,

contohnya susu acidophilus dan yoghurt; (3) berasam tinggi, contohnya susu

bulgaricus; (4) mengandung asam dan alkohol, contohnya kefir dan koumiss.

Beberapa manfaat minuman dari susu fermentasi menurut Yughuci et al.

(1992) antara lain : (1) nilai pH yang rendah dalam usus, akibat aktivitas bakteri asam

laktat membantu absoprsi mineral terutama kalsium, (2) menghambat pertumbuhan

bakteri patogen dalam usus, (3) membantu penderita lactose intolerance karena

bakteri asam laktat memfermentasi laktosa yang ada dalam susu dan dapat

meningkatkan sekresi enzim laktase di dalam saluran pencernaan.

Salah satu jenis susu fermentasi yang paling populer adalah yoghurt. Yoghurt

merupakan hasil fermentasi susu dengan menggunakan bakteri asam laktat sebagai

starternya. Fermentasi didifinisikan oleh Hariyadi et al. (2001) sebagai suatu proses

yang memanfaatkan aktivitas metabolisme mikroba untuk menghasilkan senyawa

antara, produk akhir, metabolit sekunder maupun biomassa. Proses fermentasi juga

dapat memperbaiki sifat fungsional produk seperti tekstur, penampakan, dan flavor

(Lin, 1991).

Menurut SNI 01.2981-1992, yoghurt adalah produk yang diperoleh dari susu

dipasteurisasi, kemudian difermentasi, dengan bakteri tertentu sampai diperoleh

keasaman, bau, dan rasa yang khas, dengan atau penambahan bahan lain yang

diizinkan. Sedangkan menurut Yuguchi et al. (1992), yoghurt adalah produk

koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat

S. thermophilus dan L. bulgaricus dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang

diizinkan. Sebagai akibat dari kedua starter tersebut dimungkinkan terjadinya

degradasi laktosa dan produksi asam asam laktat yang berakibat penurunan pH dan

terbentuknya gumpalan yoghurt. Degradasi laktosa menjadi glukosa dan galaktosa

dengan sendirinya menurunkan potensi terjadinya intoleransi laktosa. Pada saat yang

bersamaan, produksi asam laktat mampu menghambat pertumbuhan patogen

penyebab berbagai penyakit terkait pangan. Syarat mutu yoghurt menurut SNI dapat

dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt sesuai persyaratan SNI 01-2981-1992

Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Keadaan:

1. Penampakan

2. Bau

3. Rasa

4. Konsistensi

Cairan kental sampai semi padat

Normal/khas

Asam/khas

Homogen

Lemak (% b/b) Maks. 3.8

Protein (N x 6.37) (%

b/b)

Min 3.5

Abu Maks. 1.0

Jumlah asam (dihitung

sebagai laktat) (%b/b)

0.5-2.0

Cemaran mikroba

1. Bakteri coliform

2. Eschericia coli

3. Salmonella

APM/g

APM/g

Maks. 10

< 3

Negatif/ 100g

Sumber: SNI 01-2981-1992

Proses terjadinya koagulasi pada yoghurt merupakan hasil dari aktivitas

biologi dan fisik pada susu yang telah ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme

koagulasi oleh kultur yoghurt menurut Tamime dan Robinson (1991) adalah sebagai

berikut: (1) Kultur starter memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan

energi dan menghasilkan asam laktat. (2) Asam laktat yang dihasilkan, secara

berangsur-angsur akan mengawali terjadinya ketidakstabilan misel kasein, atau

kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat /sitrat kasein (3) Sejumlah

kasein misel atau masing-masing kelompok kasein misel secara bersama atau

sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada pH4.6-4.7. (4)

interaksi antara α-La/ β-Lg dengan ĸ-kasein (diikat oleh jembatan SH dan –SS)

sebagian melindungi misel kasein untuk melawan ketidakstabilan dan menghasilkan

jaringan sel atau matriks dari struktur regular yang terperangkap di dalamnya. Ini

semua merupakan unsur pokok dari dasar pencampuran termasuk fase cair.

Sejalan dengan perkembangan teknologi pembuatannya, yoghurt tidak hanya

terbuat dari susu sapi segar. Akan tetapi yoghurt telah banyak dibuat dari produk-

produk olahan susu seperti susu skim.

E. Susu Skim

Susu skim merupakan sumber protein yang baik, namun memiliki kandungan

energi yang rendah karena hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu. Pada

susu skim kering terkandung lebih dari 50% laktosa (Winarno, 1992). Menurut

Helferich dan Wetshoff (1980) yang dikutip oleh Kuntarso (2007), susu skim

mengandung lemak susu kurang dari 0.1% sebagai hasil pemisahan fisik terhadap

sebagian besar dari ”whole milk” atau susu full krim.

Bylund (1995) menjelaskan bahwa pada dasarnya proses pengolahan susu

skim melalui proses evaporasi dan spray drying, meliputi tahapan sebagai berikut:

susu segar ditampung dalam suatu tangki, kemudian disaring untuk menghilangkan

kotoran yang ada dalam susu. Bagian lemak (cream) dari susu diambil sebagian atau

seluruhnya dengan cara dipisahkan dengan alat separator sentrifugal. Susu yang

sudah bebas lemak tersebut dipasteurisasi untuk membunuh organisme atau bakteri

dengan cara pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang atau mendekati 100oC.

Setelah itu dilakukan evaporasi yang merupakan proses penguapan air susu untuk

menaikkan kandungan total zat padatnya lalu didinginkan dan pada tahap berikutnya

dilakukan pengeringan untuk pembentukan susu menjadi bentuk bubuk hingga total

zat padatnya mencapai 98% dengan alat pengering spray dryer. Setelah pengeringan

kemudian diayak dan dikemas.

Menurut Kuntarso (2007), penggunaan susu skim sebagai bahan utama

pembuatan low-fat yogurt mengakibatkan penurunan cita rasa creamy, bila

dibandingkan dengan yogurt yang dibuat dengan menggunakan susu full cream

ataupun susu segar. Selain itu, ada beberpa kendala yang dialami dalam pembuatan

yogurt dengan menggunakan susu skim sebagai bahan utama, antara lain : (1)

pengadukan dan pencampuran susu skim yang kurang homogen akan mengakibatkan

tekstur yoghurt yang dihasilkan kurang baik, dan timbul after taste sandiness yang

cukup kuat, serta (2) kualitas susu bubuk skim yang beragam, sehingga kualitas

yogurt yang dihasilkan cukup beragam.

Susu skim sebagai susu rendah lemak, rendah kolesterol, rendah kalori dan

tinggi protein ini dapat dikonsumsi oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah

di dalam makanannya, karena susu bubuk skim hanya mengandung 55% dari seluruh

energi susu (Buckle et al., 1987).

F. Prebiotik

Prebiotik didefinisikan sebagai ingredien yang tidak dapat dicerna yang

menghasilkan pengaruh menguntungkan terhadap inang dengan cara menstimulir

secara selektif pertumbuhan satu atau lebih sejumlah mikroba tertentu pada saluran

pencernaan sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Suatu ingredien pangan

dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut; Pertama,

tidak terhidrolisis atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas; Kedua, secara

selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon;

dan ketiga, dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, sehingga secara sistemik

dapat meningkatkan kesehatan (Ardiansyah, 2007). Prebiotik dalam nutrisi

merupakan substansi makanan yang mempromosi pertumbuhan beberapa bakteri

usus yang menguntungkan bagi kesehatan. Bakteri tersebut dikenal sebagai probiotik

( Arief, 2007). Efek utama prebiotik adalah menstimulasi secara selektif pertumbuhan

bifidobacteria dan lactobacilli dalam usus sehingga meningkatkan daya tahan tubuh

terhadap mikroorganisme patogen.

Menurut Arief (2007), penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa

prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam

usus besar. Belum pernah dilaporkan penemuan prebiotik karbohidrat dalam feses.

Melalui fermentasi dalam usus besar, karbohidrat prebiotik menghasilkan asam

lemak rantai pendek (short chain fatty acid/ SCFA), menstimulasi pertumbuhan

berbagai bakteri termasuk lactobacilli dan bifidobacteria, dan dapat menghasilkan

gas. Fortifikasi menggunakan bifidobacteria/lactobacilli usus dengan prebiotik dapat

memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme

patogen dalam usus . Bakteri asam laktat usus tersebut mempunyai mekanisme

potensial untuk menurunkan infeksi usus, yaitu melalui 1) hasil sisa metabolisme

yang dieksresi oleh mikroba tersebut dapat menurunkan pH usus sehingga

mengganggu potensi patogenik mikroorganisme. Selanjutnya, lactobacilli dan

bifidobacteria dapat meneksresi antibiotik alamiah yang mempunyai spektrum kerja

luas. 2) mekanisme lainnya termasuk perbaikan stimulasi imunitas, kompetisi

terhadap nutrien, dan menghambat situs adhesi patogen dalam usus. Banyak

mikroorganisme patogen seperti Escherichia coli tipe 1, Salmonellae dan

Campylobacter menggunakan situs reseptor oligosakarida dalam usus. Selanjutnya,

bakteri tersebut dapat menyebabkan gastroenteritis melalui invasi kuman dan

pembentukan toksin. Dalam hal tersebut, konsep prebiotik adalah menstimulasi situs

reseptor tersebut dalam usus, sehingga patogen tidak berkaitan dengan reseptor. Efek

kombinasi prebiotik terhadap flora bakteri asam laktat dapat menjurus pada intervensi

dietetik yang diasup oleh seseorang dalam hal mencegah diare.

G. Probiotik

Probiotik adalah preparat atau produk yang mengandung mikroorganisme

hidup dalam jumlah cukup dan tertentu yang dapat menjaga mikroflora usus inang

sehingga mampu memberikan efek kesehatan bagi inang (Schrezenmeier & De Vrese

2001). Sementara Ardiansyah (2007) menjelaskan definisi umum probiotik atau

dikenal dengan mikroorganisme “baik” adalah preparat yang terdiri dari mikroba

hidup yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia atau hewan secara oral. Mikroba

hidup itu diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan

manusia atau hewan dengan cara memperbaiki sifat-sifat yang dimiliki mikroba alami

yang tinggal di dalam tubuh manusia atau hewan tersebut. Syarat-syarat probiotik

yang baik adalah probiotik harus tetap dalam keadaan hidup, daya untuk bertahan

hidup ketika melalui saluran pencernaan dan manfaat kesehatan yang dapat

dibuktikan keberadaannya.

Hasil penelitian menunjukkan jumlah bakteri baik yang cukup dalam tubuh

mengembangkan sistem imun sehingga meningkatkan kemampuan tubuh melawan

penyakit (Gibson & Roberfroid 1995). Ada beberapa manfaat probiotik dalam tubuh.

Pertama, adalah mencegah terjadinya kanker yaitu dengan menghilangkan bahan

prokarsinogen (bahan penyebab kanker) dari tubuh dan mengaktifkan sistem

kekebalan tubuh. Kedua, dapat menghasilkan bahan aktif anti tumor. Ketiga,

memproduksi berbagai vitamin thiamin (B1), riboflavin (B2), piridoksin (B6), asam

folat, sianokobalamin (B12) yang mudah diserap ke dalam tubuh. Keempat,

kemampuannya memproduksi asam laktat dan asam asetat di usus dapat menekan

pertumbuhan bakteri E. coli dan Clostridium perfringens penyebab radang usus dan

menekan bakteri patogen lainnya, serta mengurangi penyerapan amonia dan amina.

Kelima, berperan dalam penurunan kadar kolesterol, dimana bifidobakteria

menghasilkan niasin yang memberi kontribusi terhadap penurunan kolesterol tersebut

(Ardiansyah, 2007).

Menurut Tzanetaki dan Tzanetakis (1999), beberapa kriteria yang harus

dimilki oleh bakteri probiotik adalah : (a) berasal dari manusia, (b) tahan terhadap

asam lambung, (c) tahan terhadap garam (d) bersifat antagonis terhadap bakteri

patogen dan karsinogenik (e) memproduksi senyawa-senyawa anti bakteria, (f)

mempunyai sifat penempelan pada usus manusia, (g) berkolonisasi dalam saluran

usus manusia, (h) tumbuh dengan baik secara in vitro, (i) aman dalam makanan dan

pada penggunaan klinis, serta (j) telah divalidasi secara klinis dan didokumentasi

efeknya terhadap kesehatan. Sedangkan menurut Kullen dan Klaenhammer (1999),

karakteristik yang harus dipenuhi oleh galur probiotik antara lain: (1) dapat

diidentifikasikan secara taksonomi dengan tepat, (2) merupakan mikroflora normal

usus, (3) tidak beracun dan bukan patogen, (4) stabil secara genetik, (5) dapat

bertahan hidup, berkembang biak, dan bermetabolisme di dalam usus, (6) mampu

menempel pada sel epitel usus dan mempunyai potensi untuk mengkolonisasi, (7)

stabil terhadap kondisi yang diinginkan saat persiapan kultur, penyimpanan, dan

proses, (8) viabilitas tinggi yaitu 106 – 108 CFU/ml, (9) memproduksi senyawa anti

mikroba termasuk bakteriosin, hidrogen peroksida, dan asam organik, (10) bersifat

antagonis terhadap bakteri patogen dan karsinogenik, (11) mampu berkompetisi

dengan mikroflora usus, (12) tahan terhadap asam lambung, (13) bersifat

penstimulasi sistem imun, terbukti memiliki catatan medis yang menguntungkan bagi

kesehatan, (16) bila diproduksi mampu untuk ditumbuhkan, disembuhkan,

dipekatkan, dikeringkan, disimpan, dan didistribusikan, (17) ketika difermentasi

dapat diterima secara organoleptik atau memberikan kualitas yang diinginkan.

BAL yang mencapai saluran pencernaan manusia dalam keadaan hidup dan

lengkap adalah Bifidobacteria ( B. bividum, B. infantis, B. breve, B. adulescentis, B.

longum), beberapa spesies Lactobacillus (L. acidophilus, L. salivarus, L. fermentum,

L.casei, L. plantarum, L. brevis, L. buchneri), dan beberapa Enterococci (Yuguchi, et

al,. 1992).

H. Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) telah lama digunakan dalam industri makanan dan

minuman fermentasi seperti industri susu, daging, sayuran, dan roti. Menurut

Starmer (1980), bakteri asam laktat adalah bakteri gram positif yang berbentuk

batang atau kokus, tidak membentuk spora, dan ada yang berbentuk rantai tunggal.

Spesies bakteri yang berbentuk kokus adalah genus Streptococcus sp. dan

Pediococcus sp., bersifat paling toleran terhadap pH dibanding dengan yang

berbentuk batang. Secara umum bakteri asam laktat mempunyai toleransi terhadap

konsentrasi asam tinggi. Menurut Hadi dan Fardiaz (1990), bakteri asam laktat

termasuk golongan osmotoleran yang mempunayi Aw minimal 0.95 untuk

pertumbuhannya, tetapi beberapa bakteri asam laktat mampu bertahan pada Aw

0.93.Umumnya bakteri asam laktat mepunyai karakteristik gram positif, katalase

negatif, tidak membentuk spora, dan non-pigmented mesophil (Rees, 2007).

Rees (1997) menjelaskan bakteri asam laktat dibagi menjadi tiga grup yaitu:

(1) Grup I, homofermentatif obligat yaitu BAL yang mampu mengubah heksosa

menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof tetapi tidak bisa

memfermentasi pentosa dan glukonat. Jalur fermentasi bakteri asam laktat

homofermentatif dapat dilihat Gambar 3.

(2) Grup II, heterofermentatif fakultatif. BAL ini umumnya memfermentasi

heksosa secara homofermentatif menjadi asam laktat. Akan tetapi pada kondisi

tertentu fermentasi terjadi seacara heterofermentatif dengan menghasilkan

karbon dioksida, etanol atau asam asetat. Produksi asam asetat terjadi di bawah

kondisi dimana NAD+ dapat diregenerasi tanpa pembentukan etanol.

(3) Grup III, heterofermentatif obligat. BAL jenis ini memfermentasi heksosa

menjadi asam laktat, karbon dioksida dan etanhol (atau asam asetat dengan

keberadaan akseptor elektron). Pentosa akan diubah menjadi asam laktat dan

asam asetat. Jalur fermentasi bakteri asam laktat heterofermentatif dapat dilihat

pada gambar 4.

Gambar 3. Jalur fermentasi homofermentatif (Rees, 1997)

Gambar 4. Jalur fermentasi heterofermentatif (Rees, 1997)

Bakteri asam laktat terutama berperan dalam menghasilkan beberapa

produk makanan. Asam laktat yang terbentuk selama proses fermentasi memiliki

beberapa keuntungan fisiologis, seperti meningkatkan penggunaan kalsium, fosfor

dan zat besi, merangsang sekresi dan cairan lambung, serta sebagai sumber energi

dalam proses respirasi. Disamping itu, asam laktat dalam bentuk tidak terdisosiasi

mempunyai efek bakteriostatik (kadang-kadang bakterisidal) terhadap mikroba

pembusuk. Mikroba yang paling sensitif adalah mikroba pembentuk spora dan

koliform (Oberman, 1985 di dalam Cahyono, 1996).

Cita rasa dan mutu minuman susu fermentasi berkaitan erat dengan proses

fermentasi oleh starter yang digunakan. Kultur starter yang digunakan dalam

pembuatan minuman sinbiotik ini adalah starter yogurt yaitu

S. thermophilus dan L. bulgaricus. Selain itu, juga digunakan L. plantarum sa 28k

sebagai BAL probiotik.

S. thermophilus dan L. bulgaricus akan menghasilkan interaksi yang

saling menguntungkan karena bakteri yang satu akan mensintesa dan membebaskan

senyawa yang dibutuhkan untuk menstimulir pertumbuhan bakteri yang lain. Selama

fermentasi yoghurt, kultur starter mempunyai dua peranan penting, yaitu sebagai

pembentuk asam sehingga menimbulkan rasa dan aroma yang khas serta pembentuk

komponen cita rasa seperti karbonil, aldehid, aseton, asetoin, dan diasetil. S.

thermophilus berperan dalam pembentukan asam dan menghasilkan flavor yang tidak

tajam, sedangkan L. bulgaricus lebih bersifat proteolitik dan menghasilkan flavor

khas serta tajam jika diinokulasikan pada susu (Jay, 1997).

Tahap awal inkubasi, S. thermophilus tumbuh cepat dan mendominasi

proses awal fermentasi dimana terjadi penurunan potensial oksidasi-reduksi sistem

(Vedamuthu, 1982 yang dikutip oleh Wood, 1988). L. bulgaricus tumbuh agak

lambat pada masa ini namun aktifitas proteolitiknya yang lemah mulai meningkat

seiring tercukupinya jumlah peptida dan asam amino yang dibutuhkan untuk

merangsang pasangannya. L. bulgaricus merangsang S. thermophilus dengan

melepaskan valin, glisin, leusin, isoleusin dan histidin ke dalam medium

pertumbuhan. Sebaliknya, S. thermophilus menurunkan pH dan mensintesa asam

format yang diperlukan oleh L. bulgaricus (Tamime dan Robinson, 1989).

S. thermophilus menghidrolisis laktosa susu menjadi glukosa dan

galaktosa oleh enzim β-galaktosidase (Reed, 1982) serta menghasilkan asam laktat,

asam asetat, asetaldehid, diasetil dan asam format. Saat pH turun di bawah 5.5,

pertumbuhan S. thermophilus terhambat sehingga pertumbuhan L. bulgaricus

terbantu (Vedamuthu di dalam Wood, 1988). Oksigen yang tidak tersedia di dalam

sistem dan ketersediaan asam format merangsang pertumbuhan

L. bulgaricus. Lactobacilli mendominasi proses fermentasi pada pH di bawah 4.2 dan

menghasilkan asam laktat dan asetaldehid (Vedamuthu di dalam Wood, 1988).

1. Lactobacillus plantarum sa28k

L.plantarum sa28k adalah salah satu bakteri asam laktat yang berasal dari

makanan fermentasi Indonesia, yang diisolasi dari asinan kubis atau sauerkraut.

Sauerkraut adalah suatu produk hasil fermentasi kubis. Menurut Solihati (1995),

mayoritas BAL yang dapat diisolasi dari sauerkraut adalah L. plantarum.

Menurut Robinson (1981), L. plantarum juga dapat diisolasi dari proses

pematangan keju dan dari produk-produk susu. Bakteri ini akan membentuk

koloni berwarna putih atau kuning jika tumbuh pada media padat. Isolat BAL ini

mempunyai senyawa anti bakteri yaitu hidrogen peroksida dan asam laktat.

Aktivitas anti bakteri tertinggi terutama terhadap Pseudomonas fluorescens dan

Alcaligense sp. L. plantarum membelah (mengganda) setiap 2 jam (Reichelt,

2007).

L. plantarum sa28k telah terbukti bersifat probiotik. Kusumawati

et al., (2003) melaporkan bakteri ini telah diuji kemampuannya sebagai probiotik.

Pengujian sifat probiotik yang telah dilakukan diantaranya uji ketahanan terhadap

pH rendah, ketahanan terhadap garam empedu, aktivitas antagonistik terhadap

patogen, pengujian asimilasi kolesterol dan uji klinis secara invivo ke dalam

tubuh tikus.

Reichelt (2007) menjelaskan, Lactobacillus plantarum bersifat

menguntungkan. Bakteri ini mampu mengubah gula menjadi asam laktat. Jumlah

asam laktat yang dihasilkan sebanding dengan jumlah bakterinya. Lactobacillus

plantarum tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya dan tidak merusak atau

mengurangi nilai gizi.

Lactobacillus plantarum tergolong bakteri gram positif , non motil,

berbentuk batang. Menurut Stamer (1980), bakteri ini bersifat homofermentatif

dan masih dapat tumbuh pada pH 3.0-4.6. Sedangkan menurut Rees (1997),

Lactobacillus plantarum termasuk heterofermentatif fakultatif, memfermentasi

secara homofermentatif heksosa menjadi asam laktat, dan pada kondisi tertentu

dapat bersifat heterofermentatif dengan menghasilkan asam laktat, karbon

dioksida, ethanol dan asam asetat. Robinson (1981) menambahkan, L. plantarum

pada umumnya tidak bisa tumbuh pada suhu 45oC dan membutuhkan beberapa

vitamin untuk pertumbuhannya, bersifat katalase negatif, tidak berspora, dapat

memfermentasi amigladin, selobiosa, laktosa, manitol, salisin, dan sukrosa.

Fermentasi glukosa oleh bakteri ini menghasilkan produk DL asam laktat tanpa

gas. Protein antagonik (bakteriosin) yang diproduksi adalah laktolin, plantarisin S

dan T (Diaz et al., 1993) serta plantarisin A dan B (Ray dan Daeschel, 1994).

Pembentukan asam yang cepat dalam jumlah yang tinggi oleh aktivitas

starter L. plantarum baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bakteri

asam laktat lain diketahui dapat menyebabkan bakteri perusak dan bakteri

patogen pada produk fermentasi sayuran terhambat pertumbuhannya atau bahkan

tidak dapat bertahan hidup (Fardiaz, 1989).

Hasil fermentasi L.plantarum di media RS yang disuspensikan di air

menunjukkan bahwa fermentasi tersebut menghasilkan asam asetat sebesar

0.004%, sedangkan keberadaan asam butirat ataupun propionat tidak terdeteksi di

dalam sampel (Juliana, 2007). Jumlah Lactobacillus plantarum yang

ditumbuhkan pada larutan RS tipe IV yang disuspensikan dalam air adalah

1.0x108 CFU/ml. Bentuk morfologi L. plantarum dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 5. L. plantarum (www.bacferm.com.au, 2007)

2. Lactobacillus bulgaricus

Lactobacillus bulgaricus adalah salah satu jenis bakteri yang digunakan

dalam memproduksi yoghurt yang diidentifikasi pertama kali pada tahun

1905. Bakteri ini mampu memecah laktosa yang terdapat dalam susu dan

diubah menjadi asam laktat. Selama proses fermentasi susu, L. bulgaricus

menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada yogurt (Anonim,

2006). Lactobacillus bulgaricus bersifat proteolitik yang mampu memecah

protein sehingga mudah dicerna dan diserap (Trenev, 2004 ).

Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri asam laktat yang

berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya

bersifat homofermentatif. Bakteri ini termasuk bakteri gram positif, lebih

tahan terhadap asam dibanding Streptococcus dan Pediococcus. Oleh karena

itu, lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari tahapan fermentasi tipe

asam laktat (Buckle et al., 1987). Menrut Surono (2004), L. bulgaricus

bersifat anerob, katalase negatif, tidak berbentuk spora, dan suhu optimal

pertumbuhannya adalah 40-45 oC. Lactobacillus bulgaricus tumbuh optimum

pada pH 5.5-5.8 (Hutkins dan Nannen, 1993) dan terhenti pada pH 3.5-3.8

(Jay, 1978).

Menurut Yuguchi et al., (1992), Laktobabacillus bulgaricus tidak

termasuk probiotik, karena tidak dapat bertahan hidup melalui saluran

pencernaan manusia. Pada pembuatan yoghurt, L. bulgaricus berperan dalam

penurunan pH sampai sekitar 4.0. Selain itu, bakteri ini juga berkontribusi

terhadap flavour yoghurt melalui produksi asama laktat, asetaldehid, asam

asetat, dan diasetil. Bentuk morfologi L. bulgaricus dapat dilihat pada

gambar 6.

Gambar 6. Lactobacillus bulgaricus (www.onlynature.co.uk, 2007)

3. Streptococcus thermophilus

Streptococcus thermophilus merupakan bakteri asam laktat berbentuk

kokus dengan koloni berantai yang bersifat homofermentatif. Bakteri ini

bersifat gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi

litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5%, tidak

berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana mendekati netral degan

pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 6.5 (Halferich dan Westhoff,

1980). Menurut Pederson yang diacu oleh Rumin (1992), suhu optimum

pertumbuhan S. thermophilus adalah 37 oC dan tumbuh sangat cepat sampai

pH 6.5 dan berhenti pada pH 4.2-4.4.

Berdasarkan hasil penelitian Mital dan Steinkraus yang diacu oleh

Silvia (2002), Streptococcus thermophilus dapat tumbuh baik pada kedelai

dan menghasilkan flavor yang paling baik. Suhu optimal pertumbuhan

Streptococcus thermophilus menurut Chaitow dan Trenev (1990) adalah 37-

45 oC. Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus

bersifat homofermentatif yaitu memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa,

fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat. Menurut Robinson

(1999), Streptococcus thermophilus memproduksi 0.6-0.8 L(+) asam laktat.

Streptococcus thermophilus dapat mengubah lebih dari 85% glukosa

atau heksosa lainnya menjadia asam laktat. Menurut Nakazawa et al.

(1992), Streptococcus thermophilus tidak dapat tumbuh di usus manusia. Oleh

karena itu, Streptococcus thermophilus tidak digolongkan dalam bakteri

probiotik. Bentuk morfologi S. thermophilus dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Streptococcus thermophilus ( jspatel.myweb.uga.edu, 2007)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah pati

singkong (tapioka) yang digunakan adalah pati singkong merk SPM, bakteri asam

laktat yang digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus

thermophilus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen ITP, dan

sebagai BAL kandidat probiotik digunakan Lactobacillus palantarum sa28k.

Bahan kimia yang digunakan adalah POCl3, HCL, NaOH 5%, susu skim

bubuk, glukosa, akuades, dan larutan pengencer BPB (Butterfield Phosphat Buffer

Dillution). Media yang digunakan adalah MRSB (de Man Rogosa Sharp Broth),

MRSA (de Man Rogosa Sharp Agar), BGLBB, EMBA, SCB, dan TSIA.

2. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pH meter, oven vacum,

environmental orbital shaker, penyaring vacum, blender, neraca, alat-alat gelas,

bunsen, kertas saring, aluminium foil, pipet, mikro pipet, kapas, dan inkubator 37oC.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi: Penelitian ini terdiri

dari beberapa tahap yaitu : (1) pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang, (2)

pembuatan yoghurt dengan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang dan

BAL kandidat probiotik, serta (3) analisis yoghurt terpilih.

1. Pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang (Modifikasi Woo at al., 1997

dan Munarso et al., 2004)

Pati singkong modifikasi (PSM) dibuat dengan metode ikat silang (cross

linking) sehingga mengandung RS tipe IV. Pembuatan pati singkong modifikasi

ikat silang tersebut adalah sebagai berikut: sebanyak 100 gram pati dilarutkan

dalam 150 ml aquades, pH diatur sampai 10.5 dengan NaOH 5% (b/vs) sambil

diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari berat tepung,

diinkubasi pada environmental orbital shaker (T= 40oC, kecepatan putaran 200

rpm, selama 2 jam). Kemudian pH diatur sampai 5.5 menggunakan HCl dan

disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air

sebanyak 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya pati dikeringkan dalam oven

vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak. Pati yang telah diayak sebagai hasil

proses ikat silang kimia ini kemudian akan disebut pati singkong modifikasi ikat

silang (PSM).

2. Pengamatan viabilitas BAL dalam larutan pati singkong modifikasi

Sebelum dilakukan pengamatan viabilitas BAL pada larutan PSM,

dihitung viabilitasnya dalam MRSB terlebih dahulu. Sebanyak 1 ose BAL

ditumbuhkan dalam 10 ml MRSB kemudian diinkubasi selama 24 jam. Viabilitas

BAL dihitung dengan metode plate count. Sebanyak 1 ml BAL dari MRSB

dimasukkan dalam 9 ml pengencer. Pengenceran dibuat sampai 10-7. pemupukan

dilakukan duplo pada pengenceran 10-5 – 10-8 dengan menggunakan media

MRSA dalam cawan Petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC

dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam merujuk

padda metode BAM FDA (2001) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

Pengamatan viabilitas BAL pada larutan pati singkong modifikasi

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: disiapkan PSM steril dan air steril @

50 ml/sampel. Sebanyak 2,5 ml BAL yang diambil dari pengenceran 10-4 (saat

perhitungan viabilitas BAL dalam MRSB) dipipet dan dimasukkan ke dalam

campuran larutan 50 ml air steril + 2,5% (b/v) RS. Larutan pati singkong

modifikasi dibuat dengan cara melarutkan pati singkong modifikasi steril ke

dalam 50 ml akuades steril dengan pemanasan di atas hot plate pada suhu 80oC.

Suhu pemanasan ini disesuaikan dengan suhu yang akan digunakan untuk proses

pasteurisasi saat pembuatan yoghurt. Larutan PSM yang telah diinokulasikan

dengan BAL ini kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 oC.

Setelah inkubasi 20 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam

larutan pengencer 9 ml dan divorteks untuk memperoleh pengenceran 10-1 .

Selanjutnya dibuat pengenceran desimal sampai 10-3 dengan cara yang sama.

Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran 100 – 10-4 dengan

menggunakan media MRSA dalam cawan Petri. Cawan petri selanjutnya

diinkubasi pada suhu 37oC dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan

setelah 48 jam merujuk pada metode BAM FDA (2001) dan dinyatakan dalam

CFU/ml.

3. Pembuatan Kultur Starter

Starter dipersiapkan dengan menumbuhkan 1% (v/v) kultur murni ke

dalam 50ml 10% (b/v) susu skim steril. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37oC

selama 20 jam, ini disebut kultur induk. Kultur induk sebanyak 5% (v/v)

ditumbuhkan pada susu skim sebanyak 10% (b/v) steril sebanyak 100 ml,

selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 jam yang disebut kultur kerja.

4. Pembuatan Yoghurt

Susu skim dilarutkan ke dalam akuades kemudian dihomogenisasi dengan

homogenizer (11000 rpm/min) selama 1 menit. Selanjutnya ditambahkan glukosa

sebanyak 3% (b/v) dan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) dan

dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit. Larutan yang telah dipasteurisasi

didinginkan sampai suhu ± 37oC. Selanjutnya diinokulasikan dengan 5% (v/v)

BAL, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama ± 20 jam. Diagram alir

pembuatan yoghurt dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan yoghut

Dihomogenisasi

Ditambahkan pati singkong modifikasi dan 3% glukosa

Dipasteurisasi 80oC selama 30 menit sambil diaduk

Didinginkan sampai suhu 30-37oC

Diinokulasi dengan 5% BAL

Diinkubasi pada suhu 37oC, 20 jam

Susu Skim

Yoghurt

4.1. Pemilihan Kombinasi Kultur BAL

Pada tahap ini Sebanyak 5% (v/v) kultur BAL diinokulasikan dalam

yoghurt yang dibuat dari 5% (v/v) yang ditambah 2.5% PSM (b/v) dan 3%

glukosa. Kombinasi BAL yang diinokulasikan adalah sebagai berikut :

1) S. thermophilus : L. bulgaricus (1:1)

2) S. thermophilus : L. plantarum sa28k (1:1)

3) S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum sa28k (1:1:1)

4) Lactobacillus plantarum sa28K

Percobaan tersebut dilakukan dua kali ulangan. Selanjutnya

dilakukan analisis nilai pH, viskositas, serta dilakukan juga uji organoleptik

(rasa, aroma, mouthfeel,dan kekentalan) dengan menggunakan 25 panelis

tidak terlatih.

4.2 Pemilihan Konsentrasi Pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) dan

Susu Skim

Kombinasi kultur BAL yang terpilih dari tahap 4.1 ditumbuhkan

dalam berbagai formulasi yaitu pada konsentrasi PSM 2.5% (b/v) dan 5%

(b/v) dan konsentrasi susu skim 5%, 7.5%, dan 10% (b/v). Inkubasi

dilakukan pada suhu 37oC selama 20 jam. Selanjutnya dilakukan analisis

pH, viskositas, TAT, dan perhitungan total BAL. Terhadap produk terpilih

dari tahap ini kemudian akan dilakukan anlisis lebih lanjut. Formulasi susu

skim dan Pati singkong modifikasi dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Formulasi Yoghurt

Konsentrasi 2.5% (b/v) PSM (A1) 5% (b/v) PSM (A2) 5% (b/v) susu skim

(B1) A1B1 A2B1

7.5% (b/v) susu skim (B2)

A1B2 A2B2

10% (b/v) susu skim (B3)

A1B3 A2B3

C. METODE ANALISIS

1. Uji Organoleptik

Uji organoleptik pada tahap formulasi dan uji penyimpanan yoghurt

terbaik menggunakan uji hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan

panelis terhadap atribut rasa, aroma, konsistensi, dan penerimaan umum yoghurt

oleh 25 panelis tidak terlatih. Skala hedonik yang dipakai adalah sebagai berikut:

1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka),

dan 6 (sangat suka).

2. Analisis Sifat Fisik (Apriyantono at al., 1989)

Analisis sifat fisik yang dilakukan adalah pengukuran viskositas

menggunakan Brookefield Viscometer. Sebanyak 100 ml sampel dimasukkan

dalam wadah sampel. Pengukuran viskositas sampel menggunakan nomor spindle

yang sesuai. Pengukuran dilakukan dengan kecepatan 30 rpm selama 2 menit

sehingga diperoleh pembacaan pada posisi yang stabil. Rotor berputar dan jarum

akan bergerak sampai diperoleh nilai viskositas sampel. Pembacaan nilai

viskositas ( mPa.s) setelah jarum stabil dan dilakukan dua kali.

3. Analisis Sifat Kimia

3.1. Pengukuran pH (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 20 gram, kemudian dihomogenkan, dibiarkan

sekitar 15 menit,. Selanjutnya diukur pHnya dengan pH meter yang telah

dikalibrasi dengan buffer pH 4.0 dan pH 7.0. Nilai pH diukur sebanyak 2

kali ulangan.

3.2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan

menggunakan refraktometer Atago N-1E (0-32%). Sebanyak 2 tetes sampel

diteteskan pada refraktometer. Total padatan terlarut dinyatakan dalam oBrix.

Normalitas NaOH = g asam oksalat x 2 0.126 x ml NaOH

TAT (%asam laktat) = V x N x P x BM x 100% B

3.3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)

Standarisasi NaOH

Sebanyak 0.1 gr asam oksalat (BM=126) ditimbang kemudian

dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya dilarutkan

dengan 25 ml akuades dan diteteskan 2-3 tetes indikator fenolftalein lalu

dititrasi dengan larutan NaOH sampai terbentuk warna merah muda yang

bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:

Persiapan Sampel

Sampel susu fermentasi sebanyak 10 ml diencerkan menjadi 250 ml

di dalam labu takar kemudian diambil sebanyak 50 ml dan ditambahkan 2-3

tetes indikator fenolftalein. Kemudian sampel dititrasi dengan larutan

NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Total

Asam Tertitrasi (TAT) dinyatakan dalam persen asam laktat. Total Asam

Tertitrasi dihitung dengan rumus:

Keterangan:

TAT : TAT (% asam laktat)

V : Jumlah larutan NaOH untuk titrasi (ml)

N : Normalitas NaOH

P : Jumlah pengenceran

BM : Bobot molekul asam laktat (90)

B : Bobot sampel (mg)

3.4. Kadar abu (AOAC, 1995)

cawan porselen dikeringkan dengan tanur pada suhu 500oC selama 1

jam kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang dalam neraca

analitik (a gram). Sekitar 2 gram sampel ditimbang dalam cawan porselen

(w gram). Sampel diarangkan di atas hot plate selama 30-60 menit sampai

tidak berasap, kemdian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama

2 jam dan ditimbang (x gram). Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

Kadar abu (%wb) = x-a x 100 w-a

Keterangan : a = bobot cawan kering

x = bobot cawan dan abu

w = bobot sampel

3.5. Kadar Lemak Meode soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat eksktraksi soxhlet

dikeringkan dalam oven kemudian didinginkan dengan desikator dan

ditimbang (a gram). Sebanyak 5 gram (x gram) sampel kering ditimbang

pada kertas saring yang sesuai dengan ukuran kemudian ditutup dengan

kapas wool yang bebas lemak.

Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat

ekstraksi soxhlet kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu

lemak di bawahnya. Pelarut dietil eter dituangkan dalam labu lemak

secukupnya. Proses refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut yang

turun ke labu lemak berwarna jernih. Labu lemak yang berisi hasil

eksktraksi di anaskan dalam oven 105oC. Setelah dieringkan didinginkan

dalam desikator, ditimbang labu beserta lemaknaya (b gram). Kadar lemak

dihitung dengan rumus:

Kadar lemak (%wb) = b-a x 100 x

Keterangan: a = bobot labu lemak kering

b = bobot labu lemak dan lemak

x = bobot sampel

N = Σ C (n1+ 0.1n2 +...) x d

3.6. Kadar Protein Metode Kjehldahl (AOAC, 1995)

Sekitar 0.1-0.5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam

labu Kjehldahl. Sebanyak 2 gram campuran selenium atau satu butir

Kjeltebs dan 25 ml H2SO4 pekat ditambahkan dalam labu, dididihkan dalam

digestion system hingga dingin.

Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Labu dibilas 2-3

kali dan larutan diencerkan sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml NaOH 30%

dan 3-5 tetes indikator PP dan dilakukan destilasi selama 10 menit. Destilat

ditampung dalam 25 ml asam borat 2% yang telah dicampur dengan 5 tetes

indikator kemudian larutan dititrasi dengan HCl 0.02 N. Dibuat juga blanko.

Kadar protein ditentukan dengan rumus:

Kadar protein (%wb) = (VHCl sampel-Vblanko) x NHC lx 14.007 Bobot sampel

Keterangan: FK = Faktor Konversi (6.38)

4. Analisis Mikrobiologi

4.1. Total Bakteri Asam Laktat

Merujuk pada penentuan Aerobic Plate Count (BAM FDA, 2001),

uji total bakteri asam laktat dilakukan dengan metode agar tuang. Sebanyak

10 ml sampel dipipet ke dalam 90 ml larutan pengencer BPB (Butterfield

Phosphat Buffer dillution) sehingga diperoleh tingkat pengenceran 10-1.

Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7. Pemupukan dilakukan pada

pengenceran 10-5-10-8. Setiap tingkat pengenceran diambil 1 ml sampel

kemudian dipipet ke dalam cawan petri steril (duplo). Selanjutnya masing-

masing cawan dituangi dengan media MRSA sebanyak 12-15 ml dan

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung

sebagai total Lactobacillus. Perhitungan koloni yang tumbuh setelah 48 jam

menggunakan metode BAM-FDA (2001).

N = Σ C (n1+ 0.1n2 +...) x d

Keterangan:

N : jumlah mikroba (CFU/ml)

Σ C : jumlah koloni dari semua cawan (25-250 koloni)

n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : tingkat pengenceran pertama yang dihitung

4.2. Total kapang - khamir ( Fardiaz, 1987)

Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan pengencer

hingga pengenceran 10-3. Pemupukan dilakukan duplo untuk setiap

pengenceran dengan cara memipet 1 ml atau 0.1 ml sampel yang telah

diencerkan ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15-20 ml

APDA cair steril. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 2-3 hari.

Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan merujuk pada metode BAM-

FDA (2000).

Keterangan:

N : jumlah mikroba (CFU/ml)

Σ C : jumlah koloni dari semua cawan (15-150 koloni)

n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : tingkat pengenceran pertama yang dihitung

4. 3. Uji Koliform ( Fardiaz, 1987)

Uji koliform dilakukan terlebih dahulu uji penduga dengan

menginokulasikan 1 ml sampel pada medium BGLBB digunakan 3 seri

tabung dengan tingkat pengenceran 10-0 - 10-3 . Setelah itu semua tabung

diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2 hari. Dihitung jumlah tabung positif

yang ditandai dengan terbentunkya gas pada tabung durham. Hasil

pengamatan dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri, dihitung dan dinyatakan

dalam MPN koliform penduga/ml tabung.

Setelah uji penduga dilakukan uji penguat yaitu dengan

memilihtabung positif dan diambil 1-2 ose san digoreskan pada cawan

EMBA. Cawan diinkubasikan terbalik pada suhu 37oC selama 2 hari. Uji

positif ditunjukkan dari adanya koloni berwarna gelap hijau metalik atau

koloni warna merah dengan bintik hitan di tengah.

4.4. Uji Salmonella ( Fardiaz, 1987)

Pertama kali dilakukam enrichment. Sebanyak 25 ml contoh

diinokulasikan dalam media SCB kemudian diinkubasikan pasa suhu 37oC

selama 1 hari. Tahap pendugaan dilakukan dengan mengambil 1 loop kultur

dari tahap enrichment digoreskan pada cawan SSA kemudian diinkubasi

pada suhu 37oC selama 1-2 hari. Setelah itu diamati. Uji positif ditandai

dengan adanya koloni keruh atau bening dan tidak berwarna dengan atau

tanpa bintik hitam di tengah.

Uji penguat dilakukan dengan mengambil tipikal dari uji penduga

dibuat goresan dan tusukan pada agar miring TSI, serta dibuat tusukan pada

agar tegak SIM.

3.04

3.82

4.57

3.31

4.76 4.67

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

5

S. thermophilus L. bulgaricus L. plantarum

BAL

Jum

lah

BA

L (lo

g C

FU/m

l)

Sebelum Inkubasi Setelah Inkubasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Viabilitas BAL dalam Larutan 2.5% (b/v) Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang

(PSM)

BAL yang diinokulasikan dalam MRSB adalah S. thermophilus,

L. bulgaricus, dan L. plantarum sa28k. Jumlah ketiga jenis BAL yang diumbuhkan

dalam MRSB berturut-turut adalah 2.31 x 108 CFU/ml, 1.43 x 109 CFU/ml, dan 9.60

x 109 CFU/ml. Untuk dapat mengamati pertumbuhan BAL, selanjutnya ketiga jenis

kultur BAL diencerkan sampai pengenceran 10-4 dan diambil sebanyak 2.5 ml

diinokulasikan dalam larutan 2.5 % (b/v) PSM sehingga diperoleh masing-masing

jumlah S. thermophilus, L. bulgaricus, dan L. plantarum sa28k berturut-turut adalah

1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. BAL yang telah

diinokulasikan tersebut kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37oC. Jumlah

BAL dalam larutan 2.5% (b/v) PSM tersebut dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% (b/v) PSM Setelah diinkubasi jumlah S. thermophilus menjadi 2.04 x 103 CFU/ml,

jumlah L. bulgaricus menjadi 5.69 x 104 CFU/ml, dan jumlah L. plantarum sa28k

menjadi 4.65 x 104 CFU/ml ( Lampiran 2). Ketiga BAL yang ditumbuhkan dalam

larutan PSM tidak menunjukkan kenaikan jumlah yang tinggi. Naiknya jumlah

S. thermophilus dan L. plantarum sa28k tidak mencapai 1 log, sedangkan jumlah

L. bulgaricus mengalami kenaikan mencapai 1 log. Dua jenis BAL lain yaitu

S. thermophilus dan L. plantarum sa28k diduga memerlukan waktu lebih lama dalam

menggunakan SPM untuk substrat pertumbuhan. Dalam penelitian ini pengamatan

hanya dilakukan setelah inkubasi selama 20 jam, sehingga pertumbuhan kedua jenis

BAL belum terlihat. Ketiga BAL yang diinokulasikan dalam larutan 2.5 (b/v) PSM

menunjukkan kenaikan jumlah meskipun secara statistik tidak signifikan (lampiran

3). Juliana (2007) pernah melakukan penghitungan viabilitas L. plantarum sa28k

dalam larutan 2.5 (b/v) PSM. Jumlah L. plantarum yang diinokulasikan sebanyak 2.5

ml yang diambil dari L. plantarum yang diinokulasikan dalam MRSB tanpa

pengenceran. Viabilitas L. plantarum tersebut dalam MRSB adalah 2.3 x 109

CFU/ml. Setelah sebanyak 2.5 ml diinokulasikan dalam larutan 2.5 (b/v) PSM pati

singkong, diinkubasi selama 37oC selama 24 jam jumlahnya menjadi 1.0 x 108

CFU/ml. Penelitian dengan menggunakan RS yang beramilosa tinggi menunjukkan

bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada

usus bagian atas, baik pada usus babi maupun pada usus manusia, dan diperkirakan

dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan

bagi probiotik untuk melekat (Topping et al., 2001).

Sebagai pembanding, selain pada PSM S. thermophilus, L. bulgaricus, dan

L. plantarum juga diinokulasikan dalam larutan 5% (b/v) susu skim. Sebelum

diinkubasi jumlah S. thermophilus, L. bulgaricus ,dan L. plantarum berturut-turut

adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. Setelah

inkubasi semua BAL mengalami kenaikan jumlah. Jumlah ketiga BAL yang tumbuh

dalam susu skim menjadi >2.5 x 106 CFU/ml.

B. Proses Pembuatan Yoghurt

Pembuatan yoghurt dilakukan dengan cara melarutkan susu skim dalam air,

kemudian dihomogenisasi sebelum ditambah PSM dan glukosa. Tujuan dari

homogenisasi ini adalah menyeragamkan partikel susu (globula, lemak, dan misel)

dengan menggunakan tekanan. Menurut Arpah et al., (1990), perlakuan

homogenisasi akan mereduksi ukuran butiran-butiran lemak sampai 2 mikron. Hal ini

mengurangi kemampuan lemak untuk bergabung dan memisah ke permukaan sebagai

krim. Selain itu, proses homogenisasi bertujuan untuk menghasilkan yoghurt dengan

tekstur yang lebih halus. Perlakuan homogenisasi terhadap larutan susu skim

mempermudah proses pasteurisasi setelah penambahan PSM dan glukosa. Hal ini

karena PSM lebih mudah larut pada larutan susu skim yang telah homogen.

Pembuatan yoghurt tanpa perlakuan homogenisasi menyebabkan kekentalan yang

tidak merata dan tekstur yang kurang lembut.

Setelah PSM dan glukosa ditambahkan, selanjutnya dilakukan pasteurisasi.

Menurut Nuraida et al., (1994), pasteurisasi dilakukan untuk membunuh mikroba

pencemar, menghasilkan faktor-faktor dan kondisi yang menguntungkan untuk

perkembangan starter dan menyebabkan denaturasi kasein sehingga memberikan

konsistensi lebih baik dan lebih seragam pada produk akhir. Pasteurisasi dilakukan

pada suhu 80oC selama 30 menit. Selama pasteurisasi larutan terus diaduk untuk

menghindari terjadinya pengendapan PSM. Saat PSM dilarutkan dalam larutan susu

skim dengan cara pengadukan, maka terbentuk suspensi. Jika pengadukan dihentikan,

PSM yang belum larut akan mengendap kembali. Pada proses pasteurisasi tanpa

pengadukan, PSM yang mengendap akan tergelatinisasi dan membentuk gel di

bawah.

Setelah pasteurisasi, larutan akan meningkat kekentalannya akibat

penambahan pati. Saat dipasteurisasi granula pati akan membengkak, kemudian air

akan masuk dalam butir-butir pati sehingga meningkatkan viskositas larutan. Setelah

pasteurisasi selesai, dilakukan inokulasi 5% (v/v) kultur. Inokulasi dilakukan setelah

larutan menjadi dingin dengan suhu kira-kira 30-37oC. Inkubasi dilakukan pada suhu

37oC selama 20 jam.

C. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Bakteri Asam Laktat

Penggunaan BAL dengan kombinasi yang berbeda diduga dapat

mempengaruhi karakteristik yoghurt yang dihasilkan. Tahap ini dilakukan dengan

perlakuan kombinasi (1) St: Lb, (2) St: Lp, (3) St: Lb: Lp, dan (4) kultur tunggal Lp.

Masing-masing sebanyak 5% (v/v) kultur ditumbuhkan dalam 5% (b/v) susu skim,

2.5% (b/v) PSM, dan 3% (b/v) glukosa dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 20

jam. Tujuan pada tahap ini adalah mengetahui pengaruh kombinasi kultur terutama

terhadap niliai pH (derajat keasaman) dan viskositas. Selain itu, tahap ini dilakukan

untuk memperoleh kombinasi kultur BAL terbaik yang akan digunakan dalam tahap

pembuatan produk berikutnya berdasarkan pilihan panelis. Pengamatan yang

dilakukan adalah pengukuran nilai pH dengan menggunakan alat pH meter,

viskositas dengan menggunakan viskometer Brookefield, serta uji organoleptik

dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Gambar yoghurt dengan

menggunakan kombinasi kultur BAL dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Yoghurt dengan kombinasi kultur BAL Keterangan : C1= St:Lb C3= St: Lb:Lp C2 = St: Lp C4 = LP 1. Derajat Keasaman (pH )

Hasil analisis sidik ragam terhadap pengukuran nilai pH yoghurt dengan

berbagai kombinasi BAL menunjukkan terdapat perbedaan diantara sampel pada

taraf signifikansi 0.05 (p<0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kombinasi

kultur St:Lb sama dengan kultur kombinasi St: Lp dan St:Lb:Lp pada taraf 0.05.

Sedangkan sampel dengan kultur tunggal Lp berbeda terhadap ketiga sampel

lainnya. Hasil pengukuran pH yoghurt dapat dilihat pada gambar 11 dan hasil

analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 4.

3.71 3.66 3.7

4.49

0

1

2

3

4

5

St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Lp

Kombinasi Kultur BAL

Nila

i pH

Gambar 11. Nilai pH yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL

Gambar 11 memperlihatkan nilai pH terendah (3.66) adalah pada

perlakuan kombinasi BAL St: Lp. Rendahnya nilai pH sangat berkaitan erat

dengan keberadaan S. thermophilus. Menurut Zirnstein dan Hutkins (1999), S

.thermophilus (St) mampu memfermentasi laktosa dan menurunkan dengan cepat

pH produk. Gambar 11 juga menunjukkan penggunaan kultur tunggal L .

plantarum menghasilkan pH yoghurt yang paling tinggi.

Kesimpulan yang dapat diambil dari perbedaan tingkat keasaman (pH)

yoghurt dari gambar di atas adalah penggunaan kultur campuran menghasilkan

tingkat keasaman yang lebih rendah daripada penggunaan kultur tunggal. Diduga

interaksi antar BAL dalam kultur campuran menyebabkan penurunan pH yoghurt

lebih cepat daripada kultur tunggal. Hal ini diduga karena jumlah asam laktat

yang dihasilkan oleh dua atau tiga jenis BAL lebih banyak daripada jumlah asam

yang dihasilkan oleh satu jenis BAL.

Yoghurt yang dibuat diharapkan mempunyai pH yang rendah (3.7-3.8)

jauh di bawah titik isoelektrik protein susu (4.6). Nilai pH yang rendah akan

mencegah kontaminan dan pertumbuhan bakteri patogen selama penyimpanan.

Nilai pH yang tinggi hampir mendekati titik isoelektrik pada penggunaan kultur

tunggal L. plantarum tidak diharapkan karena pH yang tinggi tidak dapat

menggumpalkan sebagian besar misel kasein sehingga tekstur tidak kompak

Kurang kompaknya yoghurt dengan menggunakan kultur tunggal Lp

diduga karena terjadinya sineresis. Sineresis adalah istilah untuk menunjukkan

adanya pemisahan cairan dan padatan pada yoghurt (Suryono, 2005). Sineresis

terjadi karena tidak adanya L. bulgaricus. Tanpa adanya L. bulgaricus menurut

Suryono (2005), maka pembentukan tekstur yoghurt tidak sempurna sehingga

terlihat masih adanya pemisahan cairan dan padatan pada yoghurt.

2. Viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viscometer

Brokefield. Nilai viskositas meggambarkan tingkat kekentalan yang terukur

secara objektif. Analisis sidik ragam terhadap hasil pengukuran viskositas

yoghurt menunjukkan terdapat perbedaan diantara sampel pada taraf signifikansi

0.05 (p<0.05). Uji lanjut Duncan terhadap viskositas menunjukkan nilai

viskositas perlakuan kombinasi kultur St:Lb tidak berbeda dengan perlakuan

kombinasi St:Lb:Lp pada taraf signifikansi 0.05. Kedua kombinasi tersebut

berbeda dengan kombinasi St:Lp dan berbeda terhadap kombinasi Lp. Kombinasi

St:Lp berbeda dengan semua kombinasi yang lain pada taraf signifikansi 0.05.

Demikian juga kultur tunggal Lp berbeda dengan kombinasi lain pada taraf

signifikansi 0.05. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat

pada lampiran 5. Gambar 12 menunjukkan hasil pengukuran viskositas yoghurt.

920840

930

540

0100200300400500600700800900

1000

St : Lb St : Lp St: Lb: Lp Lp

Kultur BAL

Vis

kosi

tas (

mPa

s)

Gambar 12. Nilai viskositas yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL

Gambar di atas memperlihatkan penggunaan kultur tunggal Lp memilki

viskositas terendah. Hal ini kembali berkaitan dengan nilai pH kultur tunggal Lp

yang paling tinggi. Seperti dijelaskan di sebelumnya, nilai pH yang tinnggi tidak

cukup untuk menggumpalkan seluruh misel kasein. Hal ini menyebabkan tekstur

tidak kompak. Tidak kompaknya tekstur ini menurunkan nilai viskositas yang

terukur oleh viskometer.

S. thermophilus menurut Zirnstein dan Hutkins (1999), mampu

memproduksi eksopolisakarida yang meningkatkan mouthfeel, kekentalan, body,

dan sifat reologi yang menguntungkan lainnya. Selain itu, penambahan PSM

dalam yoghurt akan meningkatkan kekentalan atau viskositas produk. Singh &

Singh (2001) menambahkan bahwa PSM sering digunakan untuk memperbaiki

viskositas dan tekstur produk susu.

Peningkatan kekentalan disebabkan oleh tingginya asam yang terbentuk,

karena asam akan menggumpalkan protein dari produk terutama dari susu bubuk

skim yang ditambahkan (Fardiaz et al., 1996). Penurunan pH hingga 4.6 atau

lebih rendah akan menyebabkan teerjadinya penggumpalan (koagulasi) misel

kasein sehingga membentuk gel. Lapisan molekul protein bagian dalam yang

bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik

terlipat ke dalam. Pembalikan dan pelipatan ini terjadi bila larutan protein telah

4 .31 4 .31

3 .23 3 .31

3 .79

4 .65

4

3 .3 8 3 .46

3 .8 1

4 .6 24 .35

3 .923 .6 9

3 .8 5

4 .4 6

3 .0 4

1.9 2

3 .04 3 .0 8

1.001.502.002.503.003.504.004.505.005.506.00

Warna Aroma Rasa Mouthfeel KekentalanParameter Sensori

Skor

Kes

ukaa

n Pa

nelis

St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Lp

mendekati pH isoelektrik sehingga protein akan menggumpal dan mengendap.

Viskositas akan bertambah karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik

(Winarno, 1992). Viskositas yoghurt yang diinginkan adalah antara 500-2500

mPas, yaitu rentang nilai viskositas yoghurt yang berupa cairan kental sampai

semi padat.

3. Uji organoleptik

Uji organoleptik pada tahap pemilihan kombinasi BAL ini dilakukan

dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Tujuan uji organoleptik ini untuk

mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap yoghurt yang diberi perlakuan

berbagai kombinasi kultur BAL. Parameter yang diujikan antara lain warna,

aroma, rasa (keasaman), tekstur (mouthfeel), dan kekentalan. Skala yang

digunakan yaitu 1-6 ( 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak tidak suka, 4=

agak suka, 5=suka, 6=sangat suka) . Hasil uji organoleptik terhadap yoghurt yang

dibuat dengan kombinasi kultur BAL dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Skor kesukaan panelis terhadap yoghurt dengan perlakuan kombinasi

kultur BAL

3.1. Warna

Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa pada parameter warna,

formulasi yoghurt dengan kultur St:Lp memiliki skor kesukaan panelis

tertinggi. Kisaran skor kesukaan panelis terhadap warna adalah ( >4) agak

suka sampai suka. Hasil analisis sidik ragam pada taraf signifikansi 0.05

menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap warna tidak berbeda nyata

(p>0.05). Analisisis statistik terhadap warna dapat dilihat pada lampiran 6.

3.2. Aroma

Aroma adalah salah satu parameter mutu yang penting pada produk

sejenis minuman fermentasi. Hasil analisis sidik ragam pada taraf signifikansi

0.05 menunjukkan bahwa terdapat perebedaan skor kesukaan panelis terhadap

aroma (P < 0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan kombinasi

St:Lb sama dengan kombinasi perlakuan St:Lp dan St:Lb:Lp, sedangkan skor

kesukaan Lp berbeda dengan ketiga sampel lain. Hasil analisis statistik dapat

dilihat pada lampiran 7.

Hasil skor kesukaan panelis terhadap aroma dapat dilihat pada gambar

13. Skor kesukaan terhadap aroma yoghurt kombinasi St:Lb, St:Lp, dan

St:Lb:lp adalah antara agak suka sampai suka (>4). Sedangkan skor kesukaan

terhadap aroma pada yoghurt dengan kombinasi Lp adalah agak tidak suka

sampai agak suka.

Karakteristik yoghurt dengan kombinasi St:Lb, St:Lp, dan St:Lb:Lp

beraroma asam yang tajam. Hal ini dapat disebabkan karena keberadaan

L.bulgaricus (Lb) dan S. thermophilus (St). Jay (1997) menjelaskan bahwa

dalam kombinasi starter (St : Lb), S. thermophilus berperan dalam

pembentukan asam dan menghasilkan flavor yang tidak tajam sedangkan L.

bulgaricus lebih bersifat proteolitik dan menghasilkan flavor khas serta tajam

jika diinokulasikan pada susu. Sedangkan penggunaan kultur tunggal Lp

menghasilkan flavor asam yang kurang disukai panelis.

Yoghurt yang dibuat pada penelitian kali ini termasuk dalam kategori

natural yoghurt atau plain yoghurt. Natural yoghurt atau plain yoghurt adalah

yoghurt yang dibuat tanpa penambahan flavor apapun. Hal ini diduga

mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma yoghurt yang dibuat.

Umumnya, yoghurt yang dijual di pasaran diberi tambahan flavor buah untuk

meningkatkan penerimaan panelis.

Flavor dari plain yoghurt merupakan hasil aktivitas dari starter yang

digunakan. Menurut Tamime dan Robinson (1991), terdapat 4 kategori utama

senyawa penyokong flavor yoghurt: (1) Asam tidak menguap, yaitu : asam

laktat, asam piruvat, dan asam oksalat. (2) Asam yang mudah menguap, yaitu

: asam format, asam asetat, dan asam butirat. (3) Senyawa karbonil, yaitu :

asetaldehida, aseton, asetoin, dan diasetil. (4) Senyawa dari hasil degradasi

laktosa, protein, dan lemak pada proses pemanasan.

3. 3. Rasa

Analisis sidik ragam terhadap rasa yoghurt menunjukkan pada taraf

signifikansi 0.05 terdapat perbedaan skor kesukaan panelis terhadap rasa yang

diberi perlakuan kombinasi kultur BAL (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan kombinasi BAL St:Lb memperoleh skor kesukaan rasa yang

tidak berbeda dengan St:Lp, sedangkan kombinasi kultur tunggal berbeda

dengan kombinasi BAL yang lain. Kombinasi BAL St:Lb:Lp lebih disukai

dibandingkan perlakuan kombinasi BAL yang lain. Hasil analisis statistik

kesukaan terhadap rasa dapat dilihat pada lampiran 8.

Gambar 13 menunjukkan skor kesukaan rasa tertinggi panelis adalah

pada yoghurt dengan kombinasi BAL St:Lb:Lp (3.92). Hal ini berarti

kombinasi St: Lb: Lp lebih disukai oleh panelis. Kisaran kesukaan panelis

terhadap formulasi kombinasi BAL ini adalah antara agak tidak suka sampai

agak suka. Karakteristik rasa yoghurt kombinasi BAL ini adalah rasa asam

segar dan lebih tajam daripada rasa yoghurt yang ada di pasaran. Hal ini

disebabkan karena jenis gula yang digunakan adalah glukosa murni dengan

jumlah hanya 3%, (b/v) sedangkan gula yang ditambahkan pada yoghurt yang

ada di pasaran adalah sukrosa dengan jumlah mencapai 10%(b/v). Jumlah

glukosa 3%(b/v) tidak cukup menutupi rasa asam yoghurt. Glukosa yang

tersedia akan menjadi nutrisi yang pertama kali digunakan oleh BAL yang

akan diubah menjadi asam laktat.

Skor kesukaan rasa panelis terendah adalah pada yoghurt yang

ditambah kultur tunggal Lp. Karakteristik rasa produk ini adalah tidak

terlalalu asam. Penambahan kultur tunggal Lp dalam pembuatan yoghurt

terkadang mengahasilkan rasa pahit dan aroma seperti susu yang belum

terfermentasi. Heat dan Reineccius (1986) menjelaskan rasa pahit disebabkan

adanya peptida rantai pendek akibat aktivitas enzim proteolitik. Enzim

proteolitik ini memecah protein menjadi peptida-peptida yang lebih kecil dan

dapat menimbulkan rasa pahit.

3.4. Tekstur (Mouthfeel)

Tekstur atau mouthfeel yang dinilai pada yoghurt ini adalah kesan

kelembutan tekstur dalam mulut yang dirasakan ketika produk dikonsumsi.

Hasil analisis sidik ragam terhadap skor kesukaan tekstur pada taraf

signifikansi 0.05 menunjukkan tidak ada perbedaan kesukaan panelis pada

kombinasi BAL yoghurt (p>0.05). Hasil analisis statistik skor kesukaan

panelis terhadap mouthfeel yoghurt dapat dilihat pada lampiran 9. Tingkat

kesukaan panelis terhadap tekstur adalah antara agak tidak suka sampai agak

suka. Hasil skor kesukaan panelis terhadap mouthfeel yoghurt dapat dilihat

pada gambar 13.

3.5. Kekentalan

Penambahan PSM pada yoghurt akan menambah kekentalan yang

dapat diukur secara obyektif menggunakan viskometer. Kekentalan susu yang

telah difermentasi juga akan meningkat karena setelah proses fermentasi

protein yang terdapat dalam susu yaitu kasein mengalami penggumpalan

(koagulasi) dan terdenaturasi. Setelah fermentasi, pH susu tersebut akan

mengalami penurunan secara signifikan. Proses terjadinya koagulasi pada

yoghurt merupakan hasil dari aktivitas biologi dan fisik pada susu yang telah

ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme koagulasi oleh kultur yoghurt

menurut Tamime dan Robinson (1991) adalah sebagai berikut: (1) Kultur

starter memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan energi dan

menghasilkan asam laktat. (2) Asam laktat yang dihasilkan, secara berangsur-

angsur akan mengawali terjadinya ketidakstabilan misel kasein, atau

kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat / sitrat kasein (3)

Sejumlah kasein misel atau masing-masing kelompok kasein misel secara

bersama atau sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada

pH 4.6-4.7. Kasein (protein susu) akan mengendap pada pH 4.6-4.7 ( Tamime

dan Robinson, 1991). Skor kesukaan panelis terhadap viskositas yoghurt

dengan perlakuan kombinasi BAL dapat dilihat pada gambar 13.

Hasil analisis sidik ragam terhadap skor kesukaan kekentalan

menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan kesukaan

panelis antara kombinasi kultur BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan

penambahan kultur St: Lb, St:Lp, dan St:Lb:Lp adalah tidak berbeda (sama),

sedangkan penambahan kultur tunggal Lp mempunyai skor kekentalan yang

berbeda nyata. Skor kesukaan panelis terhadap viskositas yoghurt dengan

perlakuan kultur tunggal Lp paling rendah. Hasil analisis statistik dapat dilihat

pada lampiran 10.

4. Kombinasi Kultur BAL Terpilih

Pemilihan kombinasi kultur BAL yang akan digunakan pada tahap

selanjutnya adalah berdasarkan hasil uji organoleptik dengan menggunakan

panelis tidak terlatih yang telah dilakukan.

Kombinasi kultur BAL St:Lb:Lp mempunyai skor kesukaan rasa tertinggi

dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kombinasi BAL yang lain. Skor kesukaan

dari segi aroma dan tekstur kultur campuran BAL tidak berbeda sehingga semua

bisa dipilih. Kesukaan panelis terhadap kekentalan dan warna yoghurt dengan

kombinasi BAL St:Lb, St:Lp, dan St: Lb:Lp juga tidak berbeda nyata.

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 13, maka kultur

campuran BAL St:Lb:Lp akan dipilih untuk tahap selanjutnya. Hal ini karena rasa

yoghurt dengan menggunakan kultur campuran St: Lb: Lp lebih disukai daripada

yoghurt dengan menggunakan kombinasi kultur campuran BAL yang lain. Selain

itu, rata-rata skor aroma, mouthfeel, dan viskositas kombinasi St:Lb:Lp lebih

tinggi diabndingkan dengan kombinasi kultur campuran BAL lain.

Keberadaan S. thermophilus, dan L. bulgaricus akan memperbaiki

kualitas yoghurt dari segi rasa, aroma, tekstur, dan menghasilkan pH yoghurt

yang rendah jauh di bawah titik isoelektrik protein. Sementara keberadaan

L. plantarum akan tetap dipertahankan karena BAL ini yang merupakan kandidat

probiotik yang akan mampu bertahan dalam pencernaan.

Pembuatan minuman yoghurt dengan berbagai kombinasi BAL pernah

dilakukan oleh Indriawati (2001). Indriawati (2002) menggunakan BAL antara

lain L. plantarum (Lp), L. acidophilus (La), L. bulgaricus (Lb), dan

S. thermophilus (St). Kombinasi BAL yang dilakukan oleh Indriawati (2002)

adalah St:Lb, La:Lp, St:Lb:La, St:Lb:Lp, dan St:Lb:Lp:La. Hasilnya

menunjukkan kombinasi St: Lb: Lp lebih disukai oleh panelis dibandingkan

dengan kombinasi BAL yang lain.

D. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan Konsentrasi SPM

Setelah diperoleh kombinasi campuran kultur BAL terbaik, selanjutnya

dilakukan percobaan pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap mutu

yoghurt yang meliputi viskositas, total asam tertitrasi, dan nilai pH.

1. Viskositas

Viskositas formulasi yoghurt diukur untuk mengetahui pengaruh

penambahan susu skim dan RS terhadap viskositas produk. Hasil analisis Anova

terhadap viskositas menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan

yang nyata nilai viskositas antar formulasi.

930

25502100

29002700

3600

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

2.5% pati singkongmodifikasi

5% pati singkongmodifikasi

Konsentrasi Rs

Vis

kosi

tas (

mPa

s)

5% Skim (B1) 7.5% Skim (B2) 10% Skim (B3)

Gambar 14. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai viskositas

yoghurt

Gambar 14 menunjukkan nilai viskositas semakin tinggi seiring dengan

meningkatnya konsentrasi susu skim dan konsentrasi PSM. Uji statistik

menunjukkan tidak ada interaksi yang signifikan (p>0.05) antara penambahan

PSM dan susu skim. Hal ini berarti viskositas yoghurt akan naik seiring dengan

peningkatan konsentrasi susu skim dan konsentrasi PSM meskipun digunakan

secara terpisah. Semakin tingginya konsentrasi PSM menyebabkan viskositas

yoghurt meningkat secara signifikan (p<0.05), demikian juga, semakin tinggi

konsentrasi susu skim viskositas yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hasil uji

statistik dapat dilihat pada lampiran 11. Semakin banyak susu skim maka

semakin banyak kasein yang menggumpal karena penurunan pH sehingga produk

akan semakin kental. Demikian juga semakin banyak PSM yang ditambahkan

maka semakin banyak granula pati yang tergelatinisasi sehingga viskositas juga

semakin tinggi. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang

sebelumnya di luar granula dan bebas bergerak, kini sudah berada dalam butir-

butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1992).

1.67 1.68

2.002.15

2.3 2.29

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

2.5% pati singkongmodifikasi

5% pati singkongmodifikasi

Konsentrasi RS

Nila

i TA

T

5% Skim (B1) 7.5% Skim (B2) 10% Skim (B3)

2. Total Asam Tertitrasi (TAT)

Total asam tertitrasi pada penelitian ini dinyatakan dalam persentase asam

laktat. Asam laktat dapat dijadikan indikator keberhasilan bakteri dalam

menggunakan media pertumbuhannya. Asam laktat berperan sebagai antimikroba

dalam yoghurt. Jay (1992) menjelaskan efek antimikroba asam laktat disebabkan

akibat penurunan pH dan penghambatan metabolisme oleh molekul asam tidak

terdisosiasi. Pengukuran TAT yoghurt dengan menggunakan metode titrasi.

Gambar 15. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap total asam

tertitrasi (TAT) yoghurt = 7.5% susu skim, B3= 10% susu skim)

Total asam tertitrasi dihitung dari volume NaOH yang digunakan untuk

menetralkan asam yang terdapat dalam sampel yoghurt. Titrasi akan dihentikan

jika penambahan larutan peniter pada sampel yang telah ditambah indikator

memberikan warna yang konstan, sehingga jika ada asam dengan konsentrasi

yang lebih besar pada contoh, maka diperlukan larutan peniter yang lebih banyak

(Kusumaningrum, 1996). Larutan peniter yang digunakan dalam penelitian ini

adalah NaOH 0.1 N dan indikator yang digunakan adalah fenolftalin (PP).

Hasil analisis statistik terhadap total asam tertitrasi yoghurt menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan nilai total asam tertitrasi antar formulasi dan

menunjukkan tidak ada interaksi antara penambahan PSM dan penambahan susu

skim. Penambahan konsentrasi PSM tidak mempengaruhi nilai TAT yoghurt

(p>0.05), sedangkan meningkatnya konsentrasi susu skim berpengaruh nyata

terhadap meningkatnya nilai TAT secara signifikan (p<0.05). Hal ini berarti TAT

yoghurt hanya dipengaruhi oleh konsentrasi susu skim atau dengan kata lain asam

yang terukur sebagai hasil fermentasi adalah asam yang dihasilkan dari aktivitas

BAL menggunakan sumber karbon dari susu skim. Penambahan susu skim

diduga akan menambah jumlah laktosa dalam formulasi yang akan diubah

menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Hasil uji statistik dapat dilihat pada

lampiran 12.

Menurut Fardiaz dan Jenie (1982), pada pembuatan yoghurt kedelai

menggunakan campuran L. bulgaricus dan S. thermophilus, penambahan susu

skim sebanyak 0%, 2.5%, 5%, dan 7.5% memberikan pengaruh yang nyata

terhadap total asam, dimana semakin besar persentase penambahan susu skim,

maka persentase total asam juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan penambahan

susu skim akan meningkatkan jumlah laktosa yang akan difermentasi menjadi

asam laktat oleh starter. Menurut Teja (1990), penambahan jumlah susu skim

sebanyak 5%, 6%, dan 7% dalam pembuatan yoghurt kacang merah menunjukkan

hasil yang berbeda nyata terhadap nilai total asam. Penambahan susu skim 7%

menghasilkan total asam yang lebih besar dibandingkan penambahan susu skim

5%. Hasil serupa dilaporkan oleh Soegiarto (1992), bahwa penambahan

konsentrasi susu skim yang semakin tinggi (2%, 4%, 6%, 8%) menghasilkan total

asam yang semakin tinggi. Interaksi penambahan susu skim dan PSM yang

semakin tinggi secara statistik meningkatkan nilai TAT secara signifikan.

Nilai TAT yoghurt yang diinkubasi pada suhu 37oC selama ± 20 jam

memberikan nilai TAT yang tinggi. Menurut Tamime dan Robinson (1991)

yoghurt yang baik mempunyai nilai TAT 0.9-0.95%, sedangkan menurut SNI 01-

2981-1992 jumlah asam yang dihitung sebagai asam laktat harus mempunyai

kisaran antara 0.5-2.0% b/b. Gambar 15 memperlihatkan nilai terendah TAT

yoghurt adalah pada formulasi A1B1 dan A2B1 yaitu 1.67% b/b dan 1.68%b/b

yang tidak jauh berbeda, sedangkan formulasi yang lain mempunyai TAT yang

lebih tinggi dari 2% b/b sehingga tidak memenuhi syarat SNI. Total asam

tertitrasi (TAT) menurut SNI maksimal adalah 2% b/b. Total asam tertitrasi yang

3.70 3.713.73 3.763.86

4.28

3.403.503.603.703.803.904.004.104.204.304.40

2.5%RS Tipe IV (A1) 5%RS Tipe IV (A2)

Konsentrasi RS

Nila

i pH

5% Skim (B1) 7.5% Skim(B2) 10% Skim (B3)

terukur dengan menggunakan metode titrasi adalah semua komponen asam baik

yang terdisosiasi maupun tidak ( Jay, 1992).

3. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH produk menunjukkan derajat keasaman produk tersebut. Gambar

16 menunjukkan nilai pH yoghurt dengan penggunaan susu skim dan

penambahan PSM pada berbagai konsentrasi. Gambar 16 menunjukkan nilai pH

yoghurt setelah fermentasi.

Gambar 16. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai pH yoghurt

Gambar 16 menunjukkan semakin rendah konsentrasi susu skim semakin

tinggi penurunan nilai pH atau semakin tinggi konsentrasi susu skim semakin

rendah penurunan nilai pH. Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan terdapat

interaksi yang signifikan antara konsentrasi penambahan PSM dengan tingkat

konsentrasi susu skim yang digunakan terhadap nilai pH yang terukur pada

gambar 16 (p<0.05). Hal ini berarti nilai pH yang terukur oleh pH meter

dipengaruhi oleh sistem cairan yang terbentuk dalam yoghurt sebagai akibat

penambahan PSM dan susu skim. Penambahan PSM dan susu skim berpengaruh

terhadap nilai pH. Semakin tinggi konsentrasi PSM dan susu skim yang

digunakan, maka nilai pH juga semakin tinggi. Hasil analisis statistik dapat

dilihat pada lampiran 13. Menurut Jay (1992), pada pengukuran derajat keasaman

dengan menggunakan pH meter, nilai yang terukur adalah konsentrasi ion H+ dan

menunjukkan jumlah asam yang terdisosiasi. Hal serupa disampaikan oleh Sadler

dan Murphy (2003), bahwa asam yang terukur oleh alat pH meter adalah

konsentrasi ion H+ yang terlepas atau terdisosiasi. Sehingga nilai ini tidak

mewakili asam yang terdapat pada produk sesungguhnya. Hal ini karena dalam

suatu produk mungkin terdiri dari beberapa asam lemah yang tidak bisa

terdisosiasi secara sempurna. Oleh karena itu, Sadler dan Murphy (2003)

menambahkan pengukuran asam tertitrasi merupakan cara memprediksi jumlah

asam yang lebih baik daripada menggunakan nilai pH terutama dalam kaitannya

dengan flavor.

Fenomena gambar 16 dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) BAL mampu

menggunakan laktosa sebagai substrat fermentasi. Laktosa akan diubah menjadi

glukosa dan galaktosa. Glukosa dan galaktosa akan diubah lebih lanjut menjadi

asam laktat oleh BAL yang bersifat homofermentatif dan menjadi asam laktat,

CO2, serta asam asetat oleh BAL heterofermentatif fakultatif dan BAL

heterofermentatif obligat. (2) BAL yang digunakan dalam pembuatan yoghurt

pada penelitian ini adalah S. thermophilus yang menghasilkan asam format, L.

bulgaricus yang menghasilkan asetaldehida dan asam laktat, serta L. plantarum

yang menurut Rees (2007) akan menghasilkan asam laktat dan asam asetat. Asam

format, asam asetat, dan asam laktat adalah jenis asam lemah (elektrolit lemah)

yang tidak terionisasi (terdisosiasi) secara sempurna. (3) Sebagai asam lemah,

disosiasi akan lebih mudah jika keberadaan air semakin banyak. Oleh karena itu,

hanya dalam keadaan sangat encer saja asam lemah mempunyai α = 1 (Setiawati,

2004). (4) Peningkatan konsentrasi penambahan PSM dan susu skim

menyebabkan kekentalan semakin meningkat (gambar 14). Kekentalan yang

semakin meningkat artinya jumlah air yang dapat digunakan untuk melepaskan

H+semakin sedikit (terjadinya disosiasi semakin kecil), sehingga konsentrasi ion

H+ yang terukur dengan pH meter semakin sedikit (pH semakin tinggi).

Penambahan susu skim akan meningkatkan laktosa yang digunakan oleh bakteri

selama fermentasi sehingga asam laktat dan asam asetat yang terbentuk juga akan

semakin meningkat. Oleh karena itu, nilai TAT yang terukur semakin tinggi

seiring dengan penambahan konsentrasi susu skim yang digunakan (Gambar 15).

Sadler dan Murphy (2003) menjelaskan asam yang terukur dengan titrasi bukan

hanya asam yang terdisosiasi namun juga asam yang tidak terdisosiasi. Yoghurt

yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki nilai viskositas yang berbanding

lurus dengan nilai TAT dan nilai pH. Hasil yang serupa, dilaporkan oleh

Setiawan (2006), seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula yang

ditambahkan dalam pembuatan yoghurt, viskositas semakin meningkat, TAT

semakin meningkat, dan pH semakin meningkat. Meningkatnya konsentrasi gula

akan meningkatkan viskositas karena gula bersifat mengikat air sehingga air yang

bebas yang dapat digunakan untuk melepas ion H+ juga semakin sedikit. Menurut

Elisabeth (2003), dari hasil penelitian pengukuran pH dan TAT dilihat fenomena

bahwa nilai pH tidak selalu berbanding terbalik dengan TAT.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, peningkatan nilai pH yang signifikan terjadi

pada formulasi yang ditambah 2.5% dan 5% (b/v) PSM dengan menggunakan

susu skim sebanyak 10% (b/v) . Sementara nilai pH formulasi yang ditambahkan

2.5% dan 5% (b/v) yang menggunakan susu skim 5% dan 7.5% menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata.

Nilai pH formulasi yoghurt terendah adalah formulasi yoghurt yang

menggunakan 5% susu skim (B1) yang dikombinasi dengan 2.5% (b/v) PSM

(A1). Nilai pH formulasi yoghurt tersebut tidak berbeda nyata dengan yoghurt

yang menggunakan 5% (b/v) susu skim (B1) yang dikombinasikan dengan 5%

(b/v) PSM (A2).

4. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap Jumlah Total

BAL

Yoghurt terbaik dalam penelitian ini dipilih berdasarkan TAT (total asam

tertitrasi). Hal ini karena yoghurt diharapkan memenuhi persyaratan mutu yang

dicantumkan dalam standar mutu yoghurt SNI 01-2981-1992. Oleh karena itu,

yoghurt yang terpilih untuk tahap selanjutnya adalah formulasi A1B1 dan A2BI

yaitu yoghurt yang dibuat dengan menambahkan PSM sebanyak 2.5% (b/v) dan

5% (b/v) serta jumlah susu skim yang digunakan yaitu 5%(b/v).

8.7

8.45

8.82

8.56

8.77

8.52

8.2

8.3

8.4

8.5

8.6

8.7

8.8

8.9

2.5% pati singkongmodifikasi

5% pati singkong modifikasi

BAL

Jum

lah

(log

CFU

/ml)

St:Lb (C1) St:Lb:Lp (C2) Lp (C3)

Formulasi yang terpilih ini selanjutnya dihitung jumlah total BAL nya.

Tujuan perhitungan total BAL pada formulasi terpilih ini adalah untuk

mengetahui pengaruh konsentrasi PSM terhadap total BAL dalam produk.

Sebagai kontrol dan data penguat dibuat juga yoghurt dari 5% (b/v) susu skim

yang ditambah 2.5% (b/v) dan 5% (b/v) PSM dengan penambahan masing-

masing kombinasi BAL St: Lb dan kultur tunggal Lp. Selain itu, juga dilakukan

perhitungan BAL pada yoghurt yang dibuat dari 5%(b/v) susu skim

menggunakan kultur campuran St:Lb:Lp tanpa penambahan PSM. Hasil

perhitungan total BAL dapat dilihat pada gambar 17.

Gambar 17. Pengaruh kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap total BAL

yoghurt

Jumlah BAL yang tumbuh pada formulasi A1C1, A2C1, A1C2, A2C2,

A1C3, A2C3, dan yoghurt kontrol tanpa penambahan PSM bertrut turut adalah

5.0 x 108 CFU/ml; 6.6 x 108 CFU/ml 5.9 x 108 CFU/ml; 2.82 x 108 CFU/ml; 3.65

x 108 CFU/ml; 3.3 x 108 CFU/ml, dan 5.9 x 108 CFU/ml. Hasil analisis statistik

menunjukkan jumlah BAL yang terhitung (hasil gambar 17) dipengaruhi oleh

kultur yang digunakan dan konsentrasi PSM yang ditambahkan (p<0.05). Uji

statitik dapat dilihat pada lampiran 15.

Gambar 17 menunjukkan jumlah BAL tertinggi adalah BAL yang tumbuh

dalam formulasi St:Lb:Lp. Jumlah BAL kombinasi St:Lb:Lp dan kultur tunggal

Lp yang ditumbuhkan pada yoghurt yang ditambah 5% (b/v) (A2) PSM

mengalami penurunan jumlah.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil di atas adalah kombinasi St:Lb,

St:Lb:Lp, dan kultur tunggal Lp dapat tumbuh baik pada yoghurt yang

ditambahkan PSM (2.5 % dan 5%). Formulasi yang akan dipilih pada tahap

selanjutnya adalah yoghurt yang terbuat dari susu skim 5%(b/v) dengan

penambahan PSM sebanyak 2.5%(b/v). Yoghurt yang dibuat dengan dengan

penambahan 2.5%(b/v) PSM mempunyai penampakan yang tidak jauh berbeda

dengan yoghurt yang ditambah 5% (b/v) PSM. Pembuatan yoghurt dengan

konsentrasi PSM lebih rendah akan mempermudah proses pembuatan terutama

saat pasteurisasi. Selain itu, penggunaan konsentrasi PSM yang lebih rendah akan

mengurangi biaya produksi.

E. Analisis Mutu Yoghurt Terbaik

Yoghurt yang ditambahkan PSM memiliki karakteristik yoghurt pada

umumnya. Oleh karena itu, standar mutu yang digunakan adalah standar mutu

yoghurt yang diacu dari SNI 01-2981-1992. Gambar yoghurt terbaik dapat dilihat

pada gambar 18. Hasil analisis mutu yoghurt terbaik berdasarkan syarat mutu yang

ditetapkan dalam SNI dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis yoghurt berdasarkan persyaratan SNI 01-2981-1992

Kriteria Uji Satuan Persyaratan Hasil analisis yoghurt

terbaik

Keadaan:

1. Penampakan

2. Bau

3. Rasa

4. Konsistensi

Cairan kental sampai

semi padat

Normal/khas

Asam/khas

Homogen

Keadaan:

Cairan semi padat

(viskositas 30 mPa.s)

Khas asam

Asam tajam

Homogen

Lemak (% b/b) Maks. 3.8 1.19

Protein (N x 6.37) (%

b/b)

Min 3.5 4.01

Abu (%) Maks. 1.0 0.22

Jumlah asam (dihitung

sebagai laktat) (%b/b)

0.5-2.0 1.67

Cemaran mikroba

1. Bakteri koliform

2. Escherichia coli

3. Salmonella

APM/g

APM/g

Maks. 10

< 3

Negatif/ 100g

<3

<3

Negatif/100g

Gambar 18. Yoghurt Terpilih

1. Keadaan Secara Umum

Karakteristik yoghurt terbaik yang dibuat pada penilitian ini adalah semi

padat dengan viskositas 930 mPas., penampakan kompak, dan warna putih susu.

Bau yoghurt adalah asam khas dengan rasa asam yang tajam.

2. Sifat Kimia Yoghurt

Sifat kimia yohurt yang diukur antara lain nilai pH, total padatan terlarut,

total asam tertitrasi, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu.

2.1 . Nilai pH

Nilai pH yoghurt adalah 3.7. Nuraida et al., (1994) mengutip

penjelasan Marshal (1987) yang menyatakan umumnya yoghurt yang dibuat

mempunyai pH antara 3.8 - 4.6. Akan tetapi nilai pH bukan menjadi standar

mutu yoghurt. Nilai pH yang rendah jauh di bawah 4.6 (titik isoelektrik

protein) akan mencegah kontaminan dan bakteri patogen selama

penyimpanan. Nilai pH yoghurt terbaik memiliki pH yang rendah jauh dari

titik isoelektrik sehingga memungkinkan aman dari bakteri patogen selama

penyimpanan.

2.2. Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan

menggunakan refraktometer Atago N-1E (0-32%). Nilai total padatan

terlarut yoghurt terbaik dalam penilitian ini adalah 6 oBrix. Menurut

Fardiaz (1989), hasil padatan terlarut yang diperoleh dari refraktometer

bukan total karbohidrat, melainkan kadar dari molekul-molekul karbohidrat

yang mempunyai indeks refraksi seperti gula-gula sederhana. Refraksi ini

disebabkan oleh adanya interaksi antara gaya elektrostatik dan gaya

elektromagnetik dari atom-atom dalam molekul cairan.

2.3. Total Asam Tertitrasi

Total asam tertitrasi yoghurt terbaik dalam penelitian ini adalah

1.67% b/b. jumlah ini cukup tinggi dibanding jumlah asam tertitrasi yoghurt

pada umumnya. Akan tetapi jumlah ini masih masuk dalam standar SNI.

Total asam tertitrasi yang terukur dengan menggunakan metode titrasi

adalah semua komponen asam baik yang terdisosiasi maupun tidak ( Jay,

1992).

3.4. Kadar abu

Kadar abu yoghurt adalah 0.22%. Nilai ini sesuai dengan standar SNI

yang menyebutkan jumlah kadar abu maksimal adalah 1.0%.

3.6. Kadar Lemak

Kadar lemak diukur dengan metode soxhlet. Dari hasil analisis

diperoleh kadar lemak sebesar 1.19%. Nilai ini sesuai dengan standar SNI

yaitu jumlah kadar lemak yang terdapat dalam yoghurt adalah maksimal

3.8. Kadar lemak yoghurt ini lebih rendah dari standar yang ditetapkan

karena susu yang digunakan adalah susu skim. Menurut Helferich dan

Wetshoff (1980) yang dikutip oleh Kuntarso (2007), susu skim mengandung

lemak susu kurang dari 0.1% sebagai hasil pemisahan fisik terhadap

sebagian besar dari ”whole milk” atau susu full krim.

3.7. Kadar Protein

Kadar protein yoghurt adalah 4.01%. Kadar ini juga masih memenuhi

syarat kadar protein yang harus terdapat dalam produk sejenis yoghurt.

Menurut SNI Sumber SNI-2981-1992, kadar protein minimal adalah 3.5%.

3. Mutu Mikrobiologi

Analisis mikrobiologi yang dilakukan antara lain total bakteri asam laktat,

cemaran kapang-khamir, dan bakteri patogen untuk mengetahui kesesuaian

dengan standar SNI.

3.1. Total Bakteri Asam Laktat

Total bakteri asam laktat yoghurt adalah 5.9 x108 CFU/ml. Jumlah

ini memenuhi syarat jumlah total BAL yang seharusnya terdapat pada

produk yoghurt. Menurut Yuguchi et al., (1992), minuman fermentasi

(yoghurt) bermutu baik jika jumlah bakteri asam laktat lebih besar dari 106

koloni/ml. Kebanyakan bakteri asam laktat tidak hanya tumbuh lebih lambat

pada pH rendah, tetapi mungkin juga mengalami kerusakan dan hilangnya

viabilitas jika selnya berada pada kondisi pH rendah. Akan tetapi toleransi

relatif dari mikroorganisme terhadap lingkungan asam tergantung dari galur

bakteri tersebut ( Susanti et al., 2007).

3.2. Total Kapang-Khamir

Kapang dan khamir adalah salah satu cemaran mikrobiologi yang

mungkin terdapat dalam minuman fermentasi. Hal ini karena kapang khamir

masih dapat tumbuh pada pH rendah. Menurut Fardiaz (1989), khamir

menyukai pH 4 -5 dan masih dapat tumbuh pada pH 2.5-8.5. Sedangkan

kapang mempunyai pH optimum 5-7 dan masih dapat tumbuh pada pH 3-

8.5. Jumlah kapang khamir dalam produk yoghurt terbaik adalah <1.5 x 101

koloni/ml. Hal ini berarti produk yoghurt yang dibuat bebas dari cemaran

kapang dan khamir.

3.3. Uji Koliform, E.coli dan Salmonella

Uji koliform dan E. coli pada yoghurt menunjukkan hasil <3 APM/ml.

Nilai ini telah sesuai dengan standar SNI. Uji Salmonella pada yoghurt

menunjukkan hasil negatif. Nilai pH yang rendah karena tingginya asam

laktat yang terkandung dalam yoghurt sehingga dapat menurunkan derajat

keasaman. Usdyana (2006) menjelaskan fermentasi susu dapat menghambat

pertumbuhan mikroba patogen dan perusak sehingga dapat memperpanjang

masa simpan. Bakteri koliform dan E. coli sering digunakan sebagai

bakteri indikator sanitasi. Tidak terdapatnya bakteri ini dalam produk yang

dibuat membuktikan bahwa produk yoghurt dibuat di bawah kondisi yang

saniter.

4. Mutu Organoleptik Formulasi Terpilih

4.1. Aroma

Aroma suatu bahan pangan disebabkan oleh adanya komponen

volatil. Aroma menjadi salah satu faktor penting diterima atau tidaknya

suatu produk minuman probiotik. Menurut Oberman (1985), komponen-

komponen minor hasil proses metabolik mikroba mempunyai tanggung

jawab yang besar terhadap aroma yoghurt yang diinginkan. Tingkat

kesukaan panelis terhadap aroma yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini

adalah agak suka sampai suka (4.35).

4.2. Rasa

Rasa didefinisikan oleh Hall (1968) dalam De Man (1997) sebagai

perasaan yang dihasilkan oleh sesuatu yang dimasukkan ke mulut kemudian

dirasakan oleh indera perasa pada suhu mulut. Rasa bagi beberapa orang

menjadi parameter mutu terpenting dalam menerima produk yang

bersangkutan.

Umumnya produk minuman fermentasi mempunyai rasa asam.

Winarno (2002) menjelaskan bahwa rasa asam disebabkan oleh donor

proton, yang terintegrasinya tergantung pada ion H+ yang dihasilkan oleh

hidrolisis asam. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa yoghurt yang

terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai agak suka (3.92).

4.3. Tekstur dan Mouthfeel

Teksur atau mouthfeel adalah kesan di mulut yang dirasakan panelis

saat yoghurt dikonsumsi. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur atau

mouthfeel yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka

sampai suka (3.69).

4.4. Warna

Warna bersama-sama dengan aroma, rasa, dan tekstur, warna

memegang peranan penting dalam penerimaan produk yang bersangkutan.

Warna bisa menjadi parameter mutu pertama yang dipertimbangkan oleh

konsumen sebelum menilai mutu organoleptik lainnya (DeMan, 1987).

Tingkat kesukaan warna panelis terhadap yoghurt yang terpilih dalam

penelitian ini adalah agak suka sampai suka (4.62).

4.5. Kekentalan

Kekentalan yoghurt dapat diukur dengan alat viskometer. Akan

tetapi untuk menentukan mutu yoghurt yang baik berdasar kekentalan yang

diukur dengan viskometer jarang dilakukan. Kesukaan terdapat kekentalan

ini sangat subjektif. Tingkat kesukaan kekentalan panelis terhadap yoghurt

yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai suka

(3.85).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Bakteri asam laktat yang digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu

S. thermophilus, L. bulgaricus, dan sebagai BAL kandidat probiotik digunakan

L. plantarum sa28k. L. bulgaricus, yang diinokulasikan dalam larutan 2.5% (b/v)

PSM mampu tumbuh dalam waktu inkubasi 20 jam, sedangkan S. thermophilus,

L. plantarum tidak mengalami pertumbuhan dalam waktu inkubasi 20 jam.

Penggunaan kultur campuran BAL dan kultur tunggal mempengaruhi nilai

pH dan viskositas yang diukur secara objektif. Penggunaan kultur campuran

dalam membuat yoghurt menghasilkan pH yang lebih rendah dan viskositas lebih

tinggi daripada kultur tunggal. Uji organoleptik dengan menggunakan panelis

tidak terlatih menunjukkan kultur campuran S. thermophilus : L. bulgaricus :

L. plantarum sa28k memiliki mutu sensori yang lebih disukai daripada kultur

campuran S. thermophilus : L. bulgaricus, S. thermophilus : L. plantarum sa28k

dan kultur tunggal L. plantarum sa28k.

Penambahan konsentrasi PSM mempengaruhi nilai pH secara signifikan

pada yoghurt yang dibuat dengan menggunakan konsentrasi susu skim 10% (b/v),

tidak mempengaruhi nilai total asam tertitrasi, dan mempengaruhi nilai viskositas

yoghurt pada semua tingkat penambahan konsentrasi susu skim. Konsentrasi susu

skim berpengaruh pada nilai pH, total asam tertitrasi, dan viskositas. Semakin

tinggi konsentrasi susu skim menyebabkan semakin tinggi TAT, semakin tinggi

viskositas dan menyebabkan penurunan nilai pH semakin rendah.

Kombinasi konsentrasi susu skim dan PSM yang menghasilkan yoghurt

dengan nilai TAT yang sesuai dengan SNI adalah yoghurt dengan konsentrasi

5% (b/v) susu skim dan ditambah 2.5% (b/v) PSM. Kombinasi ini menghasilkan

yoghurt dengan total BAL 5.9 x 108 CFU/ml. Yoghurt tersebut mempunyai mutu

yang sesuai dengan SNI-01-2981-1992 baik secara kimia maupun mikrobiologi.

Tingkat kesukaan aroma dan warna yoghurt ini berturut-turut 4.35 dan 4.62 yaitu

agak suka sampai suka. Sedangkan tingkat kesukaan terhadap rasa, tekstur, dan

kekentalan berturut-turut adalah 3.92, 3.69, dan 3.85 dari skala 6 yaitu agak tidak

suka sampai agak suka.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, hal-hal yang perlu dilakukan antara lain:

1. Perlu dilakukan penambahan flavor dan penambahan glukosa pada berbagai

konsentrasi sehingga aroma dan rasa yoghurt yang ditambahkan 2.5% (b/v)

PSM dan L. plantarum sa28k lebih disukai.

2. Perlu dilakukan analisis umur simpan produk untuk mengetahui perubahan

sifat kimia, mikrobiologi, dan penerimaan panelis.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan BAL

probiotik dalam menggunakan PSM dengan mempertimbangkan lama

fermentasi yang optimum.

4. Studi lanjutan tentang kemampuan pertumbuhan BAL dalam PSM selama

waktu lebih dari 20 jam.

DAFTAR PUSTAKA Acquarone, V. M., & Rao, M. A. (2003). Influence of sucrose on the rheology and

granule size of cross-linked waxy maize starch dispersions heated at two temperatures. Carbohydate Polymers, 51,451–458.

Anggraini, R. W. 2007. Resistant Starch Tipe IV Pati Ganyong ( Canna edulis), Kentang

( Solanum tuberosum), Dan Kimpul ( Xanthosoma violaceum S.) Sebagai Prebiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Anonim. 2006. Singkong. www. Wikipedia. Org. [ 6 desember 2007] AOAC., 1995. Official Method of Analysis. 16th Edition. Association of Official

Analytical Chemistry International, Gaithersburg. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, Y., dan Budijanto, S. 1989.

Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Ardiansyah. 2007. Probiotik dan Prebiotik.

http://ardiansyah.multiply.com/journal/item/22. [1 Februari 2008] Arief, Irfan. 2007. Prebiotik & Probiotik, Manfaat bagi Kesehatan?.

http://www.pjnhk.go.id/content/view/439/31/. [1 Februari 2008] Bemiller, J. N. (1997). Starch modification: Challenges and prospects. Starch, 49, 127–

131. [BAM FDA]. 2001. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs

Administration. Aeobic Plate Count Chapter 3. Departement of Health and Human Services.

[BAM FDA]. 2000. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs

Administration. Aeobic Plate Count Chapter 18. Departement of Health and Human Services.

British Nutrition Foundation. 1990. Complex Carboydrat in Foods : The Report of The

British Nutrition Foundation’s Task Force. Chapman and Hall, London. Bylund. 1995. Dairy Processing Handbook. Publisher Tetra Pack Processing System,

Lun Sweeden Cahyono, R. 1996. Pemanfaatn Wortel Untuk produksi Minuman Sehat Pencegah Diare

Bervitamin B-12 Melalui Proses Fermentasi Asam Laktat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor

Cummings, J.H., G.T. Macfarlane., H.N. Englyst. 2001. Prebiotic digestion and fermentation. Am. J. Clin. Nutr. 73(2):415S-420S.

Diaz, R.J., R.M. Rioz-Sanches, M. Desmun, J.L. Ruiz Dorba dan J.C.Diard. 1993.

Plantaricins S and T, two new bacteriocins produced by Lactobacillus palantarum LP C010 isolated from a green olive fermentation. Applied and Environmental Microbiology May 1993: 1416-1426.

Elisabeth, D. A. A. 2003. Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Dengan Menggunakan Kultur

Campuran : Streptocccus thermophilus, Lactobacillus casei starin Shirota, dan Bifidobacterium breve. Skripsi. FakultasTeknologi Pertanian, IPB.

Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya

Informasi (LSI), IPB, Bogor. _________, Jenie, B.S.L. 1982. Pengaruh Penambahan Susu Skim Bubuk dan Komposisi

Starter Terhadap Mutu Yoghurt Kedelai. Buletin Penelitian Ilmu dan Teknologi Pangan (1) 4: 231-248.

_________. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB,

Bogor.

_________, R. Cahyono., H. D. Kusumaningrum. 1996. Produksi dan Aktivitas Antibakteri Minuman Sehat Kaya Vitamin B12 Hasil Fermentasi Laktat dari Sari Wortel. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 2 (1) : 25-30.

Gibson GR, Roberfroid MB (1995). Dietary modulation of the human colonic microbiotica: introducing the concept of prebiotics. J. of Nutr 125: 1401-1412

Greenwood, C. T. dan Munro, D. N. 1979. Carbohydrates. Di dalam Effects of Heats on Food stuffts (R.J. priestley, Ed.) applied Science Pub. Ltd. London.

Hadi, R. dan S. Fardiaz. 1990. Bakteri Asam Laktat dan Peranannya dalam Pengawetan

Makanan. Media Teknologi Pangan Vol. 4(1) : 73-79 Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Foo Microbiology 3rd Edition. Academic

Press, Inc., New York Hariyadi, R. T., N. Anjaya, Suliantari, L. Nuraida, dan B. Satiawiharja. 2001. Penuntun

Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Heat, H. B., dan G. Reneccius. 1986. Flavor Chemistry and Technology. An AVI Book,

New York.

Hillocks, R.J., J.M. Thresh, A. Belloti. 2002. Cassava Biology, Production and Utilization. CABI Publishing, New York, USA.

Hirsch, J. B., & Kokini, J. L. (2002). Understanding the mechanism of cross-linking

agents (POCl3, STMP, and EPI) through swelling behaviour and pasting properties of cross-linked waxy maize starches. Cereal Chemistry, 79, 102–107.

Huber, K. C., & BeMiller, J. N. (2001). Location of sites of reaction within starch

granules. Cereal Chemistry, 78, 173–180.

Jay, JM. 1992. Modern Food Microbiology. )4th Ed.). van Nonstrand Reinhold. New York.

Juliana, Ribka. 2007. Resistant Starch Tipe III Dan Tipe IV Pati Singkong (Manihot esculanta Crantz), Suweg (Amorphopallus campanulatus), Dan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Sebagai Prebiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Kulp, K. 1975. Carbohydrase. Di dalam Geral Reed. Enzymes in Food Processing.

Academic Press., New York.

Kuntarso, Andal. 2007. Pengembangan Teknologi Pembuatan Low-Fat Fruitty Bio-Yogurt (Lo-Bio-F). Skripsi. Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Kusumaningrum, H.D., Meira A., dan Asep S. 1996. Peningkatan Kadar Vitamin B12 dalam Yoghurt Ubu Jalar dan Kacang Merah Melalui Kombinasi Starter Yoghurt dengan Propionibacterium freudenreichii. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 1(1) : 34-39.

Mardipana, R. B. 2004. Pengaruh Konsentrasi 3-Chloro-2-Hydroxy Propyl Trymethil Ammonium Chloride (CHPTMA) Dan Suhu Pada Pembuatan Pati Berkation Dengan Menggunakan Pati Singkong (Manihot utilissima).

Meyer, L. G. 1982. Food Chemistry. The AVI Publishing Company inc., Westport,

Connecticut. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Penuntun Praktikum Ilmu Pengetahuan Bahan

Pangan. Fakultas Teknologi Prtanian, IPB, Bogor Munarso, S. J., D. Muchtadi, D. Fardiaz, R. Syarief. 2004. Perubahan Sifat fisiko Kimia

dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat Silang. J. Penelitian Pasca Panen 1 (1): 22-28

Nuraida, L., D.R. Adawiyah., Subarna, dan S. T. Soekarto. 1994. Pembuatan dan

Pengawetan Laru untuk Pembuatan Yoghurt. Fateta, IPB.

Oberman, H. 1985. Fermented Milks. Di dalam B.J.B. Wood (ed). Microbiology of

Fermented Foods. Elsevier Appl. Sci. Pub. Ltd., London. Prihatman, Kemal. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Deputi

Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta

Ray, B. dan Daeschel. 1994. Bacteriocins of starter culture bacteria. Di dalam: Natural

Antimicrobial System and Food Preservation. Dillon, V. M. dan R.G. Board (ed). Biddles Ltd., Guildford.

Rees, T. J. 1997. Review: The Development of a Novel Antifungal Silage Inoculant.

Cranfield University Biotechnology Centre, UK. www.brighton73.freeserve.co.uk. [ 20 februari 2008]

Reichelt, J.L. 2007. The Impact of Technical Excellence in Microbiology on the results obtained with Silage Inoculants and Bacterial Biopesticides. Bacterial Fermentation Pty Ltd. www.bacferm.com [5 April 2008]

Robinson, R. K. 1999. Yoghurt. Di dalam Robinson, R. K., C. A. Batt, dan P. D. Patel (eds.). 1999. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. London.

_____________. 1981. Dairy Microbiology. Vol I, Appl. Science. Publ., London. Sadler, G. D., dan Murphy, P. A. pH and Titratable Acidity di dalam Food Analysis

Third Edition. Suzane Nielsen (Ed.) Purdue University, West Lafayette, Indiana.

Sajilata MG, Singhal RS. 2005. Specialty starches for snack foods. Carbohydrat

Polymer, 59, 131–51. Saminen, S., M.A. Deighton., Y. Benno., S.L. Gorbach. 1998. Lactic Acid Bacteria in

Health and Disease. Di dalam Salminen dan A. von Wright (eds.). Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Fungtional Aspect, 2nd, Revised and Expnaded. Marcell Dekker, Inc., New York

Saputera, V.H.A. 2004. Pembuatan Soyghurt Sinbiotik dengan Menggunakan Kultur

Campuran Lactobacillus bilgaricus, L. casei galur Shirota dan Bifidobacterium bifidum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Schrezenmeier J, De Vrese M (2001). Probiotics, prebiotics and synbiotics – approaching

a definition. Am J Clin Nutr 73 (Suppl) 361s-364s Setiawan, Irwan. 2006. Kajian Pengembangan Minuman Yoghurt Di PT. FITS

MANDIRI. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Setiawati, Tuti. 2004. Kimia Dasar I. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan IPA,

IPB. Shi, X., & BeMiller, J. N. (2000). Effect of sulfate and citrate salts on derivatization of

amylose and amylopectin during hydroxypropylation of corn starch. Carbohydrate Polymers, 43, 333–336.

Silalahi, Jansen., dan Netty Hutagalung. 2002.Komponen–Komponen Bioaktif Dalam

Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/pus-3.htm . [20 Februari 2008]

Singh, J., & Singh, N. (2001). Studies on the morphological, thermal and rheological

properties of starch from some Indian potato cultivars. Food Chemistry, 75, 67–77.

_______., L. Kaur, O.J. McCarthy. 2006. Factors influencing the physico-chemical,

morphological, thermal and rheological properties of some chemically modified starches for food applications. Review. Food Chemistry, 81, 219-231

Soekarto, T. S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.

Batara Aksara, Jakarta. Solihati, A. 1995. Isolasi dan Seleksi Bakteri Asam Laktat yang Bersifat Antimikroba

dari Sauerkraut. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Stamer, J. R. 1980. The lactic acid bacteria; Microbes of diversity. Food Technology 33

(1) : 60-65. Soegiarto, Lani. 1992. Pengaruh Pra Pengolahan, Penambahan Susu Skim, Dan Pestabil

Terhadap Mutu Yoghurt Kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Surono, I. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi, dan Kesehatan. Jakarta: Tri Cipta Karya. Suryono., A. Sudono., M. Sudarwanto., dan A. Apriyantono. 2005. Studi pengaruh

penggunaan Bifidobacteria terhadap flavor yoghurt. J. Teknologi dan Industri Pangan 1(16): 62-70

Susanti, I., R. W. Kusumaningtyas., dan F. Illaningtyas. 2007. Uji Sifat Probiotik Bakteri

Asam Laktat Sebagai Kandidat Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 2 (18) : 89-95.

Swinkels, J.J.M. 1985. Sourch of Starch, its Chemistry and Physics. Di dalam G.M.A. Van Beynum and J. A. Roels. 1985. Strach Convention Technology. Marcel Dekker, Inc, New York.

Tamime & Robinson.1991.Yoghurt Science and Technology.woodhead Publishing

Limited.Cambridge. Teja, Maryanto. 1990. Pengaruh Pengupasan, Penambahan Susu Skim, Dan Gelatin

Terhadap Mutu Yoghurt Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) Skripsi. FATETA, IPB.

Tharanathan, R.N. dan S. Mahandevama. 2003. Grain Legumes A Boon to Human

Nutrition. Trends in Food Science and Technology. 14 (12): 507-518 Thompson, Donald B. 2007. Resistant Starch. Di dalam Costas G.B dan Marta S. I (eds.)

Functinal Food Carbohydrat. CRC Press, New York. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1985. HFS dan Industri Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta. Topping, D.L. dan P. M. Clifton. 2001. Short Chain Fatty Acids and Human Colonic

Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysacharides. Physiological Reviews. 3 (81), pp.103-64.

Usdyana, N.F. 2006. Studi Kelayakan Pendirian Industri Yoghurt. Tesis. Teknologi

Industri Pertanian, IPB. Wattanchant, S., Muhammad, K., Hashim, D., & Rahman, R. A. (2003). Effect of cross-

linking reagents and hydroxypropylation levels on dual-modified sago starch properties. Food Chemistry, 80,463–471.

Wilbrahan, A. C. dan Michael S. Matta. 1992. Terjemahan. Pengantar Kimia Organik

dan Hayati. Penerbit ITB, Bandung. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia pustaka umum. Jakarta. Woo, K. S., & Seib, P. A. (1997). Cross-linking of wheat starch and hydroxypropylated

wheat starch in alkaline slurry with sodium trimetaphosphate. Carbohydrate Polymers, 33, 263–271.

Yuguchi, H., T. Goto dan S. Okonogi. 1992. Feremented milk, Lactic Drinks and

Intestinal Mikroflora. Di dalam Nakazawa, Y. Dan A. Hosono (eds.) Function of Fermented Milk: Chalage for The Health Science. Elsevier Applied Science, New York.

________________________________. 1992. The Nutritional and Physiological value

of Fermented Milk and Lactic Drinks. Di dalam: Funtion of Fermented Milk. Y. Nakazawa dan A. Hasono (Eds.), Elsevier, England, p. 217-245.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Viabilitas BAL

Jumlah Koloni Pada Tingkat

Pengenceran

BAL

10-5 10-6 10-7 10-8

Jumlah BAL

CFU/ml

TBUD 241 22 6 S. thermophilus

TBUD 213 31 6

2.31 x 108

TBUD TBUD 121 21 L. bulgaricus

TBUD TBUD 151 30

1.4 x 109

TBUD TBUD TBUD 97 L. plantarum

TBUD TBUD TBUD 95

9.6 x 109

Lampiran 2. Viabilitas BAL dalam larutan 2.5% (b/v) PSM

Jumlah Koloni Setelah Inkubasi

BAL

Jumlah

Awal

(CFU/ml)

100 10-1 10-2 10-3 10-4

Jumlah BAL

Akhir

(CFU/ml)

TBUD 205 20 6 - S. thermophilus 1.1 x 103

TBUD 183 32 4 -

2.04 x 103

TBUD TBUD 365 61 - L. bulgaricus 6.6 x 103

TBUD TBUD 391 52 -

5.70 x 104

TBUD TBUD 304 46 - L. plantarum 4.57 x 104

TBUD TBUD 300 47 -

4.65 x 104

Lampiran 3. Analisis statistik viabilitas BAL dalam pada larutan 2.5% (b/v) PSM

Paired T- tes for sebelum – sesudah Perlakuan Mean StDev SE Mean

Sebelum Inkubasi 3,81000 0,76505 0,44170 Setelah Inkubasi 4,24667 0,81242 0,46905

Difference -0,436667 0,444110 0,256407 Hasil : P-Value = 0.231 (P>0.05)

pH

Duncana,b

4 3.66754 3.70254 3.70504 4.4925

.150 1.000

SampelSt:LpSt:Lb:LpSt:LbLpSig.

N 1 2Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .001.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 4. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap pH yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pH

244.292a 7 34.899 33570.090 .0001.928 3 .643 618.042 .000.018 3 .006 5.697 .018.009 9 .001

244.302 16

SourceModelSampelUlanganErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Lampiran 5. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap viskositas yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Viskositas

10836500.0a 7 1548071.429 5160.238 .000401100.000 3 133700.000 445.667 .000

2500.000 3 833.333 2.778 .1032700.000 9 300.000

10839200.0 16

SourceModelSampelUlanganErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Viskositas

Duncan a,b

4 540.004 840.004 920.004 930.00

1.000 1.000 .435

SampelLpSt:LpSt:LbSt:Lb:LpSig.

N 1 2 3Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 300.000.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.

Alpha = .05.b.

Skor

Duncan a,b

26 4.3126 4.46 4.4626 4.62 4.6226 4.65

.063 .246

SampelSt:LbLpSt:Lb:LpSt:LpSig.

N 1 2Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .311.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 6. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap warna yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor

2147.702a 29 74.059 238.406 .00030.740 25 1.230 3.958 .000

1.952 3 .651 2.095 .10823.298 75 .311

2171.000 104

SourceModelPanelisSampelErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .985)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Skor

Duncan a,b

26 3.0426 4.0026 4.3126 4.35

1.000 .225

SampelLpSt:LpSt:LbSt:Lb:LpSig.

N 1 2Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .920.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 7. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap aroma yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor

1667.000a 29 57.483 62.481 .00037.385 25 1.495 1.625 .05629.000 3 9.667 10.507 .00069.000 75 .920

1736.000 104

SourceModelPanelisSampelErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Skor

Duncana,b

26 1.9226 3.2326 3.3826 3.92

1.000 .478 1.000

SampelLpSt:LbSt:LpSt:Lb:LpSig.

N 1 2 3Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .605.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 8. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap rasa yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor

1102.654a 29 38.023 62.887 .00037.115 25 1.485 2.455 .00256.154 3 18.718 30.958 .00045.346 75 .605

1148.000 104

SourceModelPanelisSampelErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Skor

Duncan a,b

26 3.0426 3.31 3.3126 3.46 3.4626 3.69

.108 .144

SampelLpSt:LbSt:LpSt:Lb:LpSig.

N 1 2Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .785.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 9. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap mouthfeel yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor

49.500a 28 1.768 2.252 .0031184.625 1 1184.625 1509.076 .000

43.625 25 1.745 2.223 .0045.875 3 1.958 2.495 .066

58.875 75 .7851293.000 104

108.375 103

SourceCorrected ModelInterceptPanelisSampelErrorTotalCorrected Total

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .457 (Adjusted R Squared = .254)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Skor

Duncan a,b

26 3.0826 3.7926 3.8126 3.85

1.000 .801

SampelLpSt:LbSt:LpSt:Lb:LpSig.

N 1 2Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .591.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 10. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap skor kesukaan

kekentalan yoghurt

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor

1429.954a 29 49.309 83.488 .00049.060 25 1.962 3.323 .00010.642 3 3.547 6.006 .00144.296 75 .591

1474.250 104

SourceModelPanelisSampelErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .958)a.

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Lampiran 11. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap viskositas formulasi

yoghurt

Analysis of Variance for Viskositas (α= 0.05)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Viskositas

Duncana,b

4 930.004 2100.004 2550.004 2700.004 2900.004 3600.00

1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

SampelA1B1A1B2A2B1A1B3A2B2A2B3Sig.

N 1 2 3 4 5 6Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 6222.222.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.

Alpha = .05.b.

Source F P

PSM 17.57 0.006

Susu skim 6.50 0.031

PSM*susu skim 0.57 0.591

TAT

Duncana,b

4 1.67254 1.67754 2.00504 2.1450 2.14504 2.28754 2.3125

.957 .146 .101

SampelA1B1A2B1A1B2A2B2A2B3A1B3Sig.

N 1 2 3Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .017.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.a.

Alpha = .05.b.

Lampiran 12. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai total asam

tertitrasi (TAT)

Analysis of Variance for TAT (α= 0.05)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Source F P

PSM 0.57 0.4602

Susu skim 32.83 0.0001

PSM*susu skim 0.85 0.4447

Lampiran 13. Pengaruh formulasi susu skim dan PSM terhadap nilai pH

Analysis of Variance for pH (α= 0.05)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Duncan ab

Subset Sample N

1 2 3

A2B1 2 3.70000

A1BI 2 3.70500

A1B2 3 3.73000

A1B3 2 3.7600

A1B3 2 3.87000

A2B3 4.2800

Source F P

PSM 65.46 0.000

Susu skim 163.07 0.000

PSM*susu skim 51.43 0.000

Lampiran 14. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap jumlah BAL

yoghurt

Jumlah Koloni Formulasi

10-5 10-6 10-7 10-8

Jumlah BAL

(CFU/ml)

Log BAL

(CFU/ml)

TBUD 301 57 9 A1C1

TBUD TBUD 43 3

5.00 x 108 8.70

TBUD TBUD 79 9 A2C1

TBUD TBUD 53 11

6.60 x 108 8.82

TBUD TBUD 45 2 A1C2

TBUD 340 73 3

5.90 x 108 8.77

TBUD 267 42 5 A2C2

TBUD 249 48 3

2.82 x 108 8.45

TBUD TBUD 30 11 A1C3

TBUD TBUD 43 11

3.65 x 108 8.56

TBUD TBUD 34 8 A2C3

TBUD TBUD 32 3

3.30 x 108 8.52

TBUD TBUD 53 11 Kontrol

TBUD TBUD 65 9

5.90 x 108 8.77

Lampiran 15. Uji statistik pengaruh kombinasi kultur BAL dan pari singkong modifikasi

terhadap total BAL

Analysis of Variance for pH (α= 0.05)

Source F P

PSM 1377.00 0.000

Kombinasi kultur 95.47 0.000

PSM*susu skim 0.18 0.842

Lampiran 16. Total Kapang-Khamir yoghurt terbaik

Jumlah Koloni Ulangan

10-1 10-2 10-3 10-4

Jumlah BAL

(CFU/ml)

- - - - 1a

b - - - -

<1.5 x 101

- - - - 2a

b - - - -

<1.5 x 101

Lampiran 17. Total Koliform, E. Coli, dan Salmonella

Tingkat Pengenceran Salmonella Analisis

101 102 103 104

Konfirmasi

EMBA

Jumlah

APM/g SCB BSA

--- --- --- --- + - Koliform

--- --- --- ---

<3

- -

--- --- --- --- Negatif E. coli

--- --- --- --- Negatif

<3

Salmonella

(/100g)

Negatif