METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM...

138
METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM PENETAPAN NASAB SERTA RELEVANSINYA DENGAN TES DNA TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H) Oleh: Ridwan Bahrudin NIM. 21160435100015 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

Transcript of METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM...

Page 1: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH

DALAM PENETAPAN NASAB SERTA RELEVANSINYA

DENGAN TES DNA

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H)

Oleh:

Ridwan Bahrudin

NIM. 21160435100015

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/1441 H

Page 2: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM
Page 3: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM
Page 4: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM
Page 5: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

v

ABSTRAK

Ridwan Bahrudin. NIM: 21160435100015. ʻʻMetode al-Qiyâfah Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah dalam Penetapan Nasab serta Relevansinya dengan Tes

DNAʼʼ Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara penetapan nasab dalam

hukum Islam, baik yang disepakati oleh para ulama maupun yang tidak disepakati,

termasuk mengetahui istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-

qiyâfah (kemiripan) dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah,

serta relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA.

Pendekatan penelitian tesis ini menggunakan pendekatan normatif dan

komparasi. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sumber data

primer diperoleh langsung dari sumbernya yaitu kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-

Siyâsah al-Syar‘iyyah dan kitab Zâd al-Ma‘âd Fȋ Hadyi Khairi al-‘Ibâd. Sedangkan

sumber data sekunder diperoleh dari hasil tulisan yang telah disistemasi.

Penelitian tesis ini menunjukan bahwa Pertama, penetapan nasab seseorang

terhadap orang lain dalam Islam yang sudah disepakati oleh para ulama itu ada tiga,

yaitu: perkawinan yang sah, pernikahan fâsid, dan melalui hubungan syubhat. Selain

itu, ada beberapa metode lainnya yang tidak disepakati oleh ulama, seperti al-

qiyâfah, pembuktian, iqrâr bi al-nasab, dan undian. Berkenaan dengan al-qiyâfah

(kemiripan), Jumhur ulama yang terdiri dari Imâm Syâfi‘î, Imâm Mâlik, Imâm

Ahmad, Abû Tsaur dan al-Auzâ‘î menganggap bahwa bisa dibenarkan walaupun

Imâm Abû Hanîfah tidak menganggap al-qiyâfah sebagai sandaran dalam

menetapkan nasab. Kedua, Dalil yang digunakan Ibnu Qayyim dalam menetapkan

al-qiyâfah merujuk pada enam riwayat hadis dan atsâr sahabat Umar bin al-Khattâb

dan Alî bin Abî Tâlib yang menetapkan nasab anak melalui al-qiyâfah. Adapun

metode istinbâṯ yang digunakan Ibnu Qayyim dalam menetapkan al-qiyâfah yaitu

melalui metode penelaran ta‘lîlî, yaitu metode istinbât hukum seorang ulama yang

cara kerjanya dengan melihat dan menelaah ‘illat hukum pada dalil yang menjadi

fokus kajian. Dalam hal ini rasa senang Nabi dan Kemiripan adalah ‘illat-nya.

Ketiga, pendapat Ibnu Qayyim tentang al-qiyâfah ini sangat relevan dengan tes DNA

sebagai metode dalam penetapan nasab. Hal ini dilihat dari dua sudut, pertama fokus

terhadap kajian kemiripan, dan kedua kajian ini sama-sama dilakukan oleh para ahli

dibidangnya.

Kata Kunci : Nasab Anak, al-qiyâfah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan tes DNA

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. dan Dr. M. Nurul

Irfan, M.Ag.

Daftar Pustaka : Tahun 1964 – 2019

Page 6: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

vi

ABSTRACT

Ridwan Bahrudin. NIM: 21160435100015. Al-Qiyâfah Method Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah in Determining Nasab and Its Relevance with DNA Tests.

Family Law Study Program Faculty of Sharia and Law of the State Islamic

University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H / 2020 M.

This study aims to find out the ways of stipulating nasab in Islamic law,

both agreed by scholars and those not agreed, including knowing the legal status of

Ibn Qayyim al-Jauziyyah about the method of al-qiyâfah (similarity) in the book of

al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, and the relevance of the al-

qiyâfah method to DNA testing in Indonesia.

This thesis research approach uses a normative and comparative approach.

The type of research used is qualitative. Primary data sources were obtained directly

from the sources, namely al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah and

Zâd al-Ma‘âd Fȋ Hadyi Khairi al-‘Ibâd. For the secondary data obtained from the

results of writing that has been systemized.

This thesis research shows that First, the determination of a person's text to

others in Islam that has been agreed by the ulama there are three: a legal marriage,

marriage fâsid, and syubhat relations. Beside that, there are several other methods

that are not agreed by scholars, such as al-qiyâfah, proof, iqrâr bi al-nasab, and

undian. With regard to al-qiyâfah (similarity), Jumhur ulama consisting of Imâm

Syâfi‘î, Imâm Mâlik, Imâm Ahmad, Abû Tsaur and al-Auzâ‘î consider that it can be

justified even though Imâm Abû Hanîfah did not consider al-qiyâfah as a backrest in

determining nasab. Secondly, the evidence used by Ibn Qayyim in establishing al-

qiyâfah refers to the six hadist and atsar of Umar bin al-Khattab and ‘Alî bin Abî

Tâlib who established the child's nasab through al-qiyâfah. The istinbâ method used

by Ibnu Qayyim in determining al-qiyâfah is through the method of ta‘lîlî, the

istinbât method is law of ulama who works by looking at and examining the legal

‘illat on the proposition that is the focus of the study. In this case the Prophet's

likeness and likeness are his ‘illat. Third, Ibn Qayyim's opinion of al-qiyâfah is very

relevant to DNA testing as a method of determining the text. This is seen from two

angles, the first focus on the study of similarities, and secondly, the studies are

equally carried out by experts in their fields.

Keywords : Child’s Nasab, al-qiyâfah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah and DNA

testing

Advisor : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. and Dr. H. M. Nurul

Irfan,M.Ag.

Bibliography : Year 1964 - 2019

Page 7: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

vii

21160435100015

14412020

19642019

Page 8: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ko ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

Page 9: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

ix

w we و

h ha ه

apostrop ’ ء

y ya ي

B. Vokal

1. Vokal tunggal (monoftong)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---- --- a fathah

---- --- i kasrah

---- --- u dammah

2. Vokal rangkap (diftong)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي --- ---- ai a dan i

و --- ---- au a dan u

C. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ي ا

î i dengan topi di atas ي ي

û u dengan topi di atas ي و

D. Kata Sandang

Missal : الرخصة = al-rukhsah

E. Tasydid (Syaddah)

Missal : الشفعة = al-syuf’ah

Page 10: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

x

حيم حمن الر بسم الله الر

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala petunjuk dan kemudahan kepada

penulis sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tesis

ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga, para sahabat dan para ummat-Nya.

Dalam penulisan tesis ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan yang

penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulilah berkat rahmat dan inayah-Nya,

kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun

tidak langsung segala hambatan dapat diatasi sehingga pada akhirnya tesis ini dapat

terselesaikan dengan baik.

Tesis ini penulis persembahkan untuk motivator terhebat sepanjang

perjalanan hidup penulis, yaitu kedua orang tua penulis Bapak Fakhruddin (Alm.)

dan Ibunda Jumanah beserta kakak-kakak dan adik-adikku terkasih dan tercinta

Nakib, Ardabily, Azhar, Nuriyah, Rasmani, Fathonah, Sunayah, dan Mut Mainah

yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta

do’a, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada

mereka semua.

Penulisan tesis ini tidak sedikit penulis temukan hambatan namun penulis

dapat menyelsaikan penulisan tesis ini dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan

kali ini penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.H., M.A selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 11: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

xi

3. Dr. Azizah, MA. selaku Ketua Program Studi dan Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag.

selaku Sekertaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. Hj. Huzaemah TAhido Yanggo, M.A. dan Dr. H. M. Nurul Irfan, M.

Ag. selaku dosen pembimbing yang sabar meluangkan waktu, tenaga, fikiran,

untuk membimbing penulis agar terselesaikannya tesis ini.

5. Segenap bapak dan ibu dosen serta jajaran staf perpustakaan umum dan

perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu penulis dalam

pengadaan referensi sebagai bahan rujukan tesis.

6. Teman-teman Magister Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yanh tidak dapat penulis sebut satu persatu yang saling suport dan bertukar

fikiran selama dalam masa penelitian ini.

Kepada mereka semua penulis ucapkan terimakasih semoga Allah mebalas segala

amal perbuatan mereka. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan rahmat

dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.

Jakarta: 23 Januari 2020 M

28 Jumadil Awal 1441 H

Penulis

Page 12: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

xii

DAFTAR ISTILAH

Al-Qiyâfah: Upaya menghubungkan nasab seseorang anak dengan bapak atau

kerabatnya atas dasar kemiripan di antara mereka, serta mengetahui nasab seorang

anak dengan melihat sifat, rupa, atau warna kulit antar keduanya.

Diyah: Harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinayah kepada

wali/waris sebagai ganti rugi disebabkan jinayah yang dilakukan.

Had: Hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam al Quran atau

Hadist.

Ijtihâd: Usaha yang dilakukan untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas

dalam al Quran dan Hadits dengan menggunakan akal sehat dan syarat-syarat

tertentu.

Istinbât: Daya usaha untuk menghasilkan keputusan hukum syara berdasarkan dalil-

dalil al Quran dan al Sunnah.

Kaffârah: denda yang wajib dibayar oleh seseorang karena telah melakukan

perbuatan yang dilaran Allaw SWT.

Maqâsid al-Syarî‘ah: Tujuan disyariatkannya hukum untuk mencapai manfaat dan

menghindari kemudaratan.

Mujtahid: Yang melakukan ijtihad.

Ta‘zîr: Hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa/maksiat.

Al-atsâr: Jejak/dampak.

al-qâfah: kelompok orang yang memiliki kemampuan khusus terhadap perincian

kemiripan manusia.

Ulama: Ahli ilmu agama Islam.

Al-Qâ’if: Seorang yang mengetahui nasab dengan firasat dan penglihatan yang tajam

dengan mendeteksi bagian-bagian tubuh anak yang dilahirkan.

al-firâsy: Perkawinan yang meliputi adanya akad nikah dan senggama.

Nasab: Hubungan yang mengikat antar anggota keluarga dengan pertalian darah

DNA: Deoxyribonucleic Acid.

Asam Nukelat: makromolekul biokimia yang kompleks, berbobot molekul tinggi,

dan tersusun atas rantai nukleotida yang mengandung informasi genetik.

Sel: Bagian atau bentuk terkecil dari organisme.

al-Basmah al-Wirâtsiyah: DNA.

Page 13: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................... ii

PENGESAHAN HASIL UJIAN TESIS ........................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................iv

ABSTRAK ............................................................................................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................... viii

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... x

DAFTAR ISTILAH .......................................................................................................... xii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... xiii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Permasalahan ............................................................................................... 6

1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 6

2. Pembatasan Masalah ............................................................................. 7

3. Perumusan Masalah .............................................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8

D. Signifikansi Penelitian ................................................................................. 8

E. Review Studi Terdahulu .............................................................................. 9

F. Metode Penelitian ..................................................................................... 13

1. Pendekatan, Sifat dan Jenis Penelitian ............................................... 13

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................... 14

3. Teknik Analisa Data ........................................................................... 15

G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 15

BAB II : METODE PENETAPAN NASAB DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Nasab ....................................................................................... 17

B. Masa Kehamilan dan Masalah Kelahiran Anak ......................................... 22

1. Batas Minimal masa Kelahiran ........................................................... 23

2. Batas Maksimal masa kehamilan ........................................................ 24

C. Sebab-Sebab Terjadinya Nasab Dalam Islam ............................................ 26

1. Perkawinan yang Sah .......................................................................... 27

2. Perkawinan yang Fâsid ....................................................................... 32

3. Senggama Syubhat .............................................................................. 34

D. Cara-Cara Penetapan Nasab Dalam Islam ................................................. 36

1. Melalui Pernikahan yang Sah atau Fâsid ........................................... 36

Page 14: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

xiv

2. Melalui Pengakuan (iqrâr) atau Gugatan (iddi‘â) ............................. 37

3. Melalui Pembuktian (al-Bayyinah) .................................................... 39

4. Melalui Metode Kemiripan (al-Qiyâfah) dan Undian (Qur‘ah) ......... 39

E. Al-Qiyâfah Sebagai Metode Penetapan Nasab .......................................... 44

1. Pengertian al-Qiyâfah ......................................................................... 44

2. Pandangan Ulama Tentang Penetapan Nasab Melalui

Metode al-Qiyâfah .............................................................................. 45

F. Tes DNA Dalam Mengetahui Hubungan Nasab ........................................ 49

1. Pengertian DNA .................................................................................. 49

2. Sejarah Perkembangan DNA (Deoxyiribo Nucleid Acid) ................... 53

3. Struktur Kimia DNA ........................................................................... 55

4. Bentuk Identifikasi DNA .................................................................... 57

5. Tes DNA dalam Mengetahui Hubungan Darah dan Pewarisan

Sifat Kemiripan ................................................................................... 58

BAB III : METODE PENETAPAN NASAB MENURUT IBNU QAYYIM AL-

JAUZIYYAH DALAM KITAB AL-TURUQ AL-HUKMIYYAH FÎ AL-

SIYÂSAH AL-SYAR‘IYYAH

A. Profil Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ............................................................... 62

B. Tentang Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah .......... 68

C. Pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang al-Qiyâfah sebagai

Salah Satu Metode Penetapan Nasab ......................................................... 71

D. Dalil serta Metode Istinbât Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam

Menetapkan Nasab Menggunakan metode Al-Qiyâfah ............................. 76

1. Dalil-dalil Sumber Rujukan yang Digunakan Oleh Ibnu Qayyim

al-Jauziyyah ....................................................................................... 76

2. Metode Istinbât Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Menetapkan

Nasab Menggunakan Metode Al-Qiyâfah ........................................... 85

BAB IV : ANALISIS FATWA IBNU IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH

TENTANG PENETAPAN NASAB MENGGUNAKAN METODE AL-

QIYÂFAH DALAM KITAB AL-TURUQ AL-HUKMIYYAH FÎ AL-

SIYÂSAH AL-SYAR‘IYYAH SERTA RELEVANSINYA DENGAN TES

DNA DI INDONESIA

A. Analisis Metode al-Qiyâfah ....................................................................... 92

1. Perbedaan Pendapat Ulama Fikih tentang al-Qiyâfah ........................ 93

2. Al-Qiyâfah sebagai Metode Penetapan Nasab .................................... 93

B. Analisis Tes DNA ...................................................................................... 98

1. Tes DNA dalam Mengetahui Hubungan Darah dan

Pewarisan Sifat Kemiripan ................................................................. 99

2. Tes DNA sebagai Bukti adanya Hubungan Nasab Menurut

Page 15: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

xv

Hukum Islam ..................................................................................... 101

3. Penggunaan Tes DNA sebagai Alat Bukti Zina dalam

Qanun Jinayah ................................................................................... 107

4. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tes DNA sebagai Alat

Bukti Pengganti Empat Orang Saksi ................................................ 108

C. Relevensi antara Metode al-Qiyâfah dengan Tes DNA di Indoneisa ...... 109

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 112

B. Saran ........................................................................................................ 113

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 114

BIODATA PENULIS....................................................................................................... 123

Page 16: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara etimologi, kata al-qiyâfah berasal dari bahasa Arab, ف ي ق ي –اف ق–

,yaitu menelusuri jejak. Adapun secara terminologi ,إ ت ب اع ال ث ر artinya adalah ,ق ي اف ة

Ibnu Manzûr dan Al-Fayrûz Âbâdî menjelaskan al-qiyâfah adalah:

1

Artinya: Upaya menghubungkan nasab seseorang anak dengan bapak atau

kerabatnya atas dasar kemiripan di antara mereka, serta mengetahui

nasab seorang anak dengan melihat sifat, rupa, atau warna kulit antar

keduanya.

Menurut Wahbah al-Zuhaylî, al-qiyâfah adalah ال ث ر yaitu menelusuri ,ت ت ب ع

jejak. Adapun al-qâfah adalah:

2

Artinya: Al-Qâfah di kalangan arab adalah kelompok orang yang memiliki

kemampuan khusus terhadap perincian kemiripan manusia.

Para ulama termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sepakat bahwa metode

ini adalah metode yang sah dalam ajaran Islam, bahkan Nabi Muhammad SAW,

para sahabat, tâbi‘în dan tâbi‘u al-tâbi‘în turut serta dalam mempraktikkan al-

1 Ibnu Manzûr al-Ansârî, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Lisân al-‘Arab, 1968), jilid kesembilan, h.

293. Lihat juga Al-Fayrûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhît, (Mesir: Matba‘at Bûlâq, 1272 H), jilid ketiga, h.194. 2 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), cetakan

pertama, jilid ketujuh, h. 680. Lihat juga Muhammad al-Zuhrî al-Ghamrâwî, al-Sirâj al-Wahhâj, (Beirut: Dâr

al-Fikr, t.th), h. 262.

Page 17: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

2

qiyâfah.3 Kemudian Al-Jurjânî menyebut pelaku al-qiyâfah dengan

sebutan al-qâ’if, seperti dijelaskan dalam kitab Mu‘jam al-Ta‘rîfât:

4

Artinya: Al-Qâ’if adalah seorang yang mengetahui nasab dengan firasat dan

penglihatan yang tajam dengan mendeteksi bagian-bagian tubuh anak

yang dilahirkan.

Dalam bahasa Indonesia, kata al-qiyâfah disebut dengan kemiripan atau

keserupaan. Kata “kemiripan” diambil dari kata “mirip”, berarti hampir sama atau

serupa. Sedangkan kemiripan, dengan adanya afiksasi (imbuhan) ke-an, berarti hal

(keadaan) yang mirip.5 Metode al-qiyâfah dapat menentukan hubungan nasab

dengan melihat hubungan keserupaan di antara dua orang ketika tidak ditemukan

qarȋnah (alat bukti) lain untuk menentukan nasab, sebab kemungkinan besar anak

serupa dengan ayahnya.

Metode ini digunakan untuk meneliti sejauh mana kemiripan seseorang

dengan yang dianggap mempunyai hubungan nasab dengan orang lain. Ibnu

Qayyim juga menyebutkan bahwa keputusan Rasulullah SAW dalam hal

pertentangan antara Sa‘ad bin Abî Waqâs dengan Abdullah bin Zam‘ah yang

mengklaim nasab seorang anak kepada masing-masing mereka, merupakan cara

Rasulullah dalam menjaga dua perkara secara sekaligus menjalankan dua dalil.6

Artinya, Rasulullah menetapkan nasab dengan cara al-firâsy (karena perkawinan)

dan dengan cara al-qiyâfah atau kemiripan.

Terkait dengan begitu pentingnya masalah nasab dalam sebuah keluarga,

dalam hal ini ulama telah menetapkan beberapa teori hukum tentang cara atau

metode penetapan nasab. Paling tidak, ada tiga bentuk cara penetapan nasab

3 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Makkah: Dâr

‘Âlim al-Fu’âd, 1437 H), jilid pertama, cetakan ketiga, h. 22. 4 Ali bin Muhammad al-Jurjânî, Mu‘jam al-Ta‘rîfât, (al-Qâhirah: Dâr al-Fadîlah, t.th), jilid

pertama, h. 143. 5 Tim Pustaka Phoenix, Kamus Basar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009),

cetakan ketiga, h. 361. 6 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd (Beirut: Mu’assasah al-

Risâlah, 1998), cetakan ketiga, jilid kelima, h. 368.

Page 18: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

3

seseorang terhadap orang lain yang telah disepakati para ulama. Pertama yaitu

melalui cara perkawinan yang sah (atau dalam istilah lain yaitu melalui firâsy). Di

mana, penetapan nasab dengan cara ini adalah menetapkan antara seorang anak

dengan orang tua dilihat dari siapa (laki-laki) pemilik ranjang. Untuk mengetahui

hal tersebut, tentu sebelumnya didahului oleh perbuatan hukum yaitu perkawinan

yang sah.7 Kedua dengan cara penikahan fâsid, dan Ketiga melalui hubungan

syubhat. Selain itu, terdapat metode lainnya yang tidak disepakati ulama, yaitu

dengan cara Pembuktian (al-Bayyinah) dan pengakuan atau dalam istilah lain

disebut dengan iqrâr bi al-nasab (istilḥâq).8

Namun demikian, selain tiga cara yang disepakati ulama seperti telah

dikemukakan, terdapat juga cara lain dalam menetapkan nasab seseorang dengan

orang lain, yaitu dengan metode al-qiyâfah atau kemiripan. Metode al-qiyâfah ini

telah dilakukan oleh Rasulallah SAW dan diikuti oleh para sahabat, tâbi‘în dan

tâbi‘ut tâbi‘în.9 Adapun kemiripan yang dimaksud yaitu seperti muka, anggota

tubuh, warna kulit, bentuk rambut, dan lainnya. Memang, metode penetapan

nasab yang terakhir disebutkan ini masih dipertentangkan di kalangan ulama,

artinya ada ulama yang setuju dengan cara ini dan ada juga yang tidak

menyepakatinya. Akan tetapi, terlepas dari adanya pertentangan dan perbedaan

pendapat dalam masalah penetapan nasab melalui metode al-qiyâfah, menarik

kiranya untuk diteliti lebih jauh terkait dengan salah satu tokoh ulama, yaitu Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) adalah salah satu intelektual

muslim dari Mazhab Hanbalî yang notabene menyebutkan al-qiyâfah sebagai

7 Sâleh Fauzan, al-Mulakhas al-Fiqhiyyî, (Riyad: Dâr al-Âsimah, 2002), cetakan pertama, jilid

kedua, h. 415. 8 Kata iqrâr bi al-nasab atau istilḥâq merupakan kata yang menunjukan pada makna yang sama,

yaitu pengakuan dalam menisbatkan nasab seseorang kepada dirinya. Ulama fikih juga mendefenisikan iqrâr

dengan berita tentang tetapnya hak seseorang kepada dirinya, atau pernyataan tentang sesuatu sebagai

haknya. Lihat PT Ichtiar Baru, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid

kedua, h. 686. 9 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Makkah: Dâr

‘Âlim al-Fu’âd, 1437 H), jilid pertama, cetakan ketiga, h. 22.

Page 19: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

4

salah satu penetapan nasab dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-

Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, Ia menjelaskan tentang al-

qiyâfah secara rinci dan luas yang disertai dengan dalil-dalil, pelaku-pelaku,

contoh-contoh, serta perbedaan pendapat tentang al-qiyâfah. Hal ini yang menjadi

pembeda Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dengan ulama lainnya seperti Syekh Wahbah

al-Zuhaylî dalam kitab al-Fiqhu al-Islâmî wa Adillatuhû atau Syekh Muhammad

al-Zuhrî al-Ghamrâwî dalam kitab al-Sirâj al-Wahhâj yang hanya membahas al-

qiyâfah secara sederhana, tanpa menyebutkan pelaku dan contoh-contohnya.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa menurut Ibnu Qayyim,

al-qiyâfah adalah salah satu cara dalam menetapkan nasab yang diakui dalam

Islam. Ibnu Qayyim juga membantah ulama yang tidak mengakui al-qiyâfah ini

sebagai bagian dari metode penetapan nasab, salah satunya seperti pendapat Imam

Hanafi serta para pengikutnya yang tidak menjadikan al-qiyâfah dalam

menetapkan nasab seseorang, karena metode ini dianggap sarat dengan prasangka

dan dugaan semata.10

Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah adalah salah

satu karya dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kitab tersebut menjelaskan beberapa

pembahasan seputar kelebihan manusia yang satu diatas manusia yang lainnya

dari segi firasat, politik Islam, pemahaman hukum, ketakwaan, dan juga memuat

tentang berbagai hukum yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kitab

ini juga memberikan contoh kasus maupun peristiwa yang pernah dilalui oleh

Nabi SAW sendiri, para sahabatnya dan kaum sesudah generasi kedua yaitu para

tâbi‘în. Hal yang menjadi dasar putusan dalam kitab ini adalah Firâsat (al-

firâsah). Firâsat (al-Firâsah) adalah ilmu yang mempelajari tentang membaca

karakter atau sifat manusia dari bentuk tubuhnya.11 Dengan sebab inilah Ibnu

10Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah..., h. 575. 11 Abu Bakr bin al-‘Arabî al-Mâliki, Ahkâm Al-Qur’ân, (Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,

2003), cetakan ketiga, h. 97.

Page 20: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

5

Qoyyim menjadikan al-qiyâfah sebagai metode penetapan nasab dalam hukum

Islam.

Metode al-qiyâfah ini tentu sangat erat kaitannya dengan tes DNA yang

juga melihat pada faktor-faktor kemiripan. DNA (Asam Deoksiribonukleat) atau

dalam bahasa Arab disebut dengan ا ث ي ة ر ال و ة م ا ل ب ص (al-Basmat al-Wirâtsiyyah)

merupakan asam nukelat yang di dalamnya terdapat sel makhluk hidup.12 DNA

ialah biomolekul primer semua makhluk hidup yang membentuk dan menyusun

berat kering. Berat kering tersebut terdiri dari materi yang membentuk kromosom-

kromosom dan informasi genetik yang tersimpan dalam tubuh makhluk hidup.

DNA dalam bahasa Inggris disebut Deoxyribonucleic Acid (DNA). Fungsi utama

DNA adalah sebagai pembawa materi genetik antara seseorang dengan orang lain

(orang tua dengan turunannya) berupa salinan DNA seseorang dibagikan ke setiap

sel anak. Namun demikian fungsi DNA sangat luas yaitu membawa materi

genetika dari generasi ke generasi berikutnya, mengontrol kehidupan secara

langsung maupun tidak, sebagai auto katalis atau penggandaan diri, dan sebagai

heterokatalis atau melakukan sintetis terhadap senyawa lain.13

Dari permasalahan di atas, dapat dipahami bahwa antara matode al-

qiyâfah atau kemiripan erat kaitannya dengan tes DNA yang juga meneliti tentang

pewarisan salinan kemiripan antara seseorang dengan turunannya. Untuk itu,

penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang masalah ini, yaitu fokus terhadap

relevansi antara al-qiyâfah yang dijadikan dasar hukum Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah sebagai salah satu metode penetapan nasab dengan tes DNA. Oleh

karena itu, penulis ingin mengkaji masalah ini dengan judul: Metode al-Qiyâfah

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Penetapan Nasab serta Relevansinya

12 Paul Strathem, Crick, Watson dan DNA, alih bahasa Fransisca Petrajani, (Jakarta: P.T. Erlangga

2003), h. 3-31. 13 Medical Record, Pengertian DNA dan RNA Beserta Struktur dan Fungsinya, Artikel diakses

pada tanggal 1 Februari 2017 dari: http://www.medrec07.com/2016/01/pengertian-dna-dan-rna-beserta-

struktur.html.

Page 21: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

6

dengan Tes DNA Studi terhadap Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah

al-Syar‘iyyah.

B. Permasalahan

Dari latar belakang masalah tersebut, penetapan nasab dengan metode al-

qiyâfah menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah perlu ditinjau kembali, karena hal ini

merupakan salah satu hal yang terpenting dalam sebuah keluarga. Pertalian nasab

merupakan ikatan sebuah keluarga yang tidak mudah diputuskan karena

merupakan nikmat agung yang Allah berikan kepada manusia. Metode ini juga

erat kaitannya dengan tes DNA yang sekarang sudah menjadi panduan dalam

penetapan nasab di Indonesia. Adapun masalah-masalah yang diteliti dapat

dirincikan sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah

Berbagai permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai

berikut:

a. Alasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menulis kitab al-Turuq al-Hukmiyyah

fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah.

b. Konsep yang digunakan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam menulis kitab

al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah.

c. Definisi metode al-qiyâfah (kemiripan).

d. Dalil Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-qiyâfah dalam

penetapan nasab.

e. Istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-qiyâfah

dalam penentuan nasab dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah

al-Syar‘iyyah.

f. Situasi dan kondisi di zaman Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sehingga

mengeluarkan pendapat penentuan nasab dengan metode al-qiyâfah.

g. Definsi tes DNA ( ا ث ي ر ال و ة م (ة ا ل ب ص serta perbedaanya dengan al-qiyâfah.

Page 22: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

7

h. Relevansi metode al-qiyâfah dengan tes DNA dalam penentuan nasab di

Indonesia.

i. Tes DNA di Indonesia menjadi salah satu penetapan nasab.

j. Komentar para ulama lain terhadap pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziayyah

tentang metode al-qiyâfah dalam penetapan nasab.

k. Pembahasan tentang metode al-qiyâfah selain dalam kitab al-Turuq al-

Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.

l. Konsep penetapan nasab dengan al-qur‘ah atau undian dalam pandangan

Islam.

2. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi oleh beberapa konsep, di antaranya adalah:

meneliti konsep penetapan nasab dalam hukum Islam, konsep dan Istinbât

hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang penentuan nasab dengan metode

al-qiyâfah dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah,

serta relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA untuk penetapan

nasab.

Penelitian ini juga dibatasi hanya mengkaji pada kitab-kitab Ibnu Qayyim

al-Jauziyyah yang menjelaskan tentang al-qiyâfah sebagai metode penetapan

nasab, seperti: Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, Zâd

al-Ma‘âd Fȋ Hadyi Khairi al-‘Ibâd, dan buku-buku yang membahas tentang

tes DNA.

3. Perumusan Masalah

Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat

pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicapai jawabannya. Dengan

demikian, maka pada sekelumit pemaparan yang tertuang dalam uraian latar

belakang di atas secara spesifik kajian dalam tesis ini yaitu:

Page 23: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

8

a. Bagaimana cara penetapan nasab dalam hukum Islam?

b. Bagaimana Istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode al-

qiyâfah dalam penentuan nasab dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-

Siyâsah al-Syar‘iyyah?

c. Bagaimana relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA untuk

penetapan nasab di Indonesia, serta apa perbedaan antar keduanya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis berupaya mengarahkan

kajian tesis ini pada penulisan yang lebih tepat dan sistematis. Untuk mencapai

hal ini perlu dirumuskan suatu tujuan jelas yang menjadi latar belakang dan

motivasi penulis dalam mengkaji dan membahas permasalahan di atas.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui cara penetapan nasab dalam hukum Islam.

2. Untuk mengetahui Istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang metode

al-qiyâfah dalam penentuan nasab dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-

Siyâsah al-Syar‘iyyah.

3. Untuk menegetahui relevansi antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA untuk

penetapan nasab di Indonesia, serta mengetahui apa perbedaan antar keduanya.

D. Signifikansi Penelitian

Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan signifikansi sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi terhadap khazanah ilmu pengetahuan dalam masalah

penetapan nasab dan landasan epistemologinya.

2. Melahirkan implikasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya bagi pemerhati

penelitian di bidang penetapan nasab.

Page 24: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

9

3. Sebagai sumbangsih kajian dalam diskursus Peradilan Agama, khususnya

yang berkaitan dengan penetapan nasab.

4. Memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa metode penetapan nasab

dalam Islam itu tidak hanya dengan perkawinan yang sah, pernikahan fâsid,

dan melalui hubungan syubhat, akan tetapi dengan metode al-qiyâfah atau

kemiripan, walaupun masih dalam perdebatan.

5. Sebagai referensi bagi pencari kebenaran, serta memberikan kejelasan kepada

masyarakat tentang penetapan nasab.

E. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan penelusuran penyusun, belum ditemukan tesis yang

membahas mengenai penetapan nasab dengan metode al-qiyâfah serta

relevansinya dengan tes DNA di Indonesia, namun ada beberapa referensi yang

membahas mengenai penetapan dan konsep nasab, di antaranya :

Nurul Irfan dalam bukunya tahun 2013 yang berjudul “Nasab dan Status

Anak dalam Hukum Islam”14 mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu

fondasi dasar yang kokoh dalam membina kehidupan rumah tangga yang bersifat

mengikat antarpribadi berdasarkan kesatuan darah. Agar nasab terjaga, nikah

disyari‘atkan untuk menjaga kemurnian nasab. Adapun tujuan mendasar dari

sebuah pernikahan adalah melangsungkan hidup dan kehidupan serta keturunaan

umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

Fuad Tohari dalam penelitiannya tahun 2016 yang berjudul “Nasab,

Metode Penetapan dan Implikasinya Terhadap Hukum Perdata”15 mengatakan

bahwa hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan

yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari akad pernikahan yang sah,

14 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah 2013), cetakan

kedua, h. 96. 15 Fuad Tohari, “Nasab, Metode Penetapan dan Implikasinya Terhadap Hukum Perdata, Jurnal

Kajian Hukum Islam, Vol. 2, No. 1, (Surabaya: Program Studi Hukum keluarga Program Pascasarjana

Universitas Sunan Giri Surabaya, 2016), h. 7.

Page 25: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

10

atau nikah fâsid, atau senggama shubhat. Kedudukan anak luar nikah menurut

hukum Islam, hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Adapun

hubungan hukum antara anak di luar nikah dengan ibu sama kuatnya hubungan

hukum antara anak sah dengan bapaknya.

Muhammad Taufiki dalam penelitiannya tahun 2012 yang berjudul

“Konsep Nasab, Istilhâq, dan Hak Perdata Anak Luar Nikah”16 mengatakan

bahwa dalam istilhâq, anak seharusnya memiliki hubungan dengan calon

bapaknya yang mengusulkan agar nasabnya diberikan kepada anak itu, tetapi

tidak ada ikatan apapun yang dapat mengaitkan anak itu ke dalam nasabnya.

Berbeda pula dengan tabanni, anak dalam hal ini memiliki nasab yang jelas

dengan orang lain, tetapi kemudian diakui memiliki nasab yang lain yang menjadi

ayah angkatnya.

Era Fadli, Mursyid Djawas, Syarifah Rahmatillah dalam penelitiannya

tahun 2018 yang berjudul “Tes DNA Sebagai Alat Bukti Empat Orang Saksi”17

mengatakan bahwa Penggunakan tes DNA sebagai alat bukti ketika seorang

wanita hamil sebab zina yang menyebutkan nama pasangan zinanya tidak dapat

menghadirkan empat orang saksi dapat membuktikan tuduhannya dengan tes

DNA. Hasil tes DNA tersebut bisa menjadi alat bukti untuk menggantikan empat

orang saksi.

Menurut Hukum Islam pembuktian zina dapat dilakukan dengan dua alat

bukti yaitu iqrâr dan syahâdah. Kedua alat bukti ini bersifat alternatif. Sementara

tes DNA tidak disebutkan secara pasti dalam Al-Qur’ân dan hadis serta pendapat

ulama. Tes DNA dalam hukum Islam bisa masuk dalam jenis alat bukti

pendukung dan tambahan seperti halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar

batas minimal kehamilan.

16 Muhammad Taufîki, “Konsep Nasab, Istilhâq, dan Hak Perdata Anak Luar Nikah”, Jurnal

Ahkam: Vol. XII, No. 2,(Juli 2012), h. 3. 17 Era Fadli, Mursyid Djawas, Syarifah Rahmatillah, “Tes DNA Sebagai Alat Bukti Empat Orang

Saksi” Jurnal Petita, Volume 1, Nomor 1,(Januari – Juni 2018), h. 5.

Page 26: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

11

Muh. Tamimi dalam penelitiannya tahun 2014 yang berjudul “Tes DNA

Dalam Menentukan Hubungan Nasab”18 mengatakan bahwa tes DNA dapat

digunakan dalam menentukan genetik seseorang. Penggunaan tes DNA juga

dianggap lebih tepat dari penggunaan metode al-qiyâfah dalam kasus yang sama.

Pemikiran ini mungkin sama atau paling tidak mendekati terhadap berbagai

pemikiran ulama kontemporer dalam menyatakan bahwa penggunaan tes DNA itu

dapat dilakukan dalam menentukan hubungan biologis atau sebagai qarȋnah.19

Afif Muamar dalam penelitannya tahun 2013 yang berjudul “Ketentuan

Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil Teknologi Reproduksi Buatan

Manusia: antara UU Perkawinan dan Fikih Konvensional”20 mengatakan bahwa

menentukan nasab anak sah dan tidak sah dengan menitikberatkan pada proses

perkawinan. Anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah disebut

sebagai anak sah dan dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Di luar ketentuan

itu, anak dikatakan sebagai anak tidak sah, hanya berhubungan nasab dengan

ibunya, dan berhubungan perdata dengan keluarga ibunya.

Perbandingan antara undang undang keluarga kontemporer dengan

konsep fikih Konvensional, yaitu di dalam undang-undang tidak memberlakukan

batasan minimal dan maksimal masa kehamilan, sebagaimana diatur dalam fikih

konvensional. Adapun dalam masalah hukum atas inseminasi buatan dan kloning

tidak terdapat perbandingan yang signifikan antara undang-undang keluarga

kontemporer dengan konsep fikih konvensional.

Mufti Ramadhan dalam penelitiannya tahun 2019 yang berjudul

“Penerapan Kaidah Kebahasaan Terhadap Penetapan Nasab Anak (Perspektif

18 Muh. Tamimi “Tes DNA Dalam Menentukan Hubungan Nasab” Jurnal Hukum Islam, Vol. 13,

No. 1, (Juni 2014), h. 9. 19 Al-Sayyid ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar, Bughyah al-Mastarsidîn

Talkhish Fatâwâ Ba‘du al-A’immah min al-‘Ulamâ’ al-Muta’akhkhirîn, (Beirut: Dâr al-Fikr), h. 155. 20 Mufti Ramadhan, “Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil Teknologi

Reproduksi Buatan Manusia: antara UU Perkawinan dan Fikih Konvensional” Jurnal Al-Ahwâl, Vol. 6, No.

1, (Desember 2013), h. 2.

Page 27: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

12

Hakîkat Dan Majâz)”21 mengatakan bahwa ulama empat Mazhab sepakat, bahwa

kata nikah secara hakîkat mengacu kepada akad dan secara majâz mengacu pada

wata’. Mazhab yang empat sepakat, bahwa anak yang dilahirkan dalam

pernikahan yang sah, anak tersebut akan dinisbahkan nasabnya kepada ayahnya.

Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang terkandung di dalamnya akad, sesuai

makna hakikat dari kata nikah.

Adapun anak yang dilahirkan di luar pernikahan seperti anak hasil zina,

maka ada dua kemungkinan. Pertama, Ishâq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mereka berpendapat bahwa jika wanita tersebut tidak

memiliki suami maka anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan

orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan

ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Kedua, jika

wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut adalah seseorang yang memiliki

suami maka para ulama sepakat bahwa nasab dari anak yang dikandung oleh

wanita tersebut adalah anak dari suaminya, dan pengakuan seorang laki-laki lain

atas anak tersebut tidak dapat diterima.

Persamaan tesis ini dengan penelitian sebelumnuya, yaitu sama-sama

membahas urgensitas nasab seorang anak dalam rumah tangga, karena nasab

merupakan salah satu fondasi dasar yang kokoh dalam membina kehidupan rumah

tangga yang bersifat mengikat antarpribadi berdasarkan kesatuan darah. Agar

nasab terjaga, nikah disyari‘atkan untuk menjaga kemurnian nasab. Adapun

perbedaanya, dalam tesis ini membahas pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

tentang metode al-qiyâfah sebagai penetapan nasab yang ada dalam kitab al-

Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, serta menjadikan sebagai alat

penetapan nasab dalam Islam. Selain itu juga, menganalisis persamaan antara

metode al-qiyâfah dengan tes DNA.

21 Mufti Ramadan “Penerapan Kaidah Kebahasaan Terhadap Penetapan Nasab Anak (Perspektif

Hakikat Dan Majaz)” Jurnal al-Falâh, Vol. XIX No. 1, (September 2019), h. 8.

Page 28: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

13

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan, Sifat dan Jenis Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif dan komparasi. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis

data dengan menggunakan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’ân, hadis,

pendapat ahli dan realita yang berkaitan dengan konsep penetapan nasab

di Indonesia.

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis yaitu penelitian yang

bertujuan untuk menilai hukum yang ada kemudian dianalisis hingga

mencapai sebuah kesimpulan.22 Setelah data mengenai pendapat tentang

konsep al-qiyâfah dalam penetapan nasab terkumpul, maka akan

dideskripsikan dan dianalisa untuk mencapai kesimpulan yang bersifat

menilai.

c. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian Kualitatif, yaitu

untuk mencari makna, pemahaman, pengertian, verstehen tentang suatu

fenomena, kejadian, maupun kehidupan manusia dengan terlibat

langsung dan/atau tidak langsung dalam setting yang diteliti, kontekstual,

dan menyeluruh. Peneliti bukan mengumpulkan data sekali jadi atau

sekaligus dan kemudian mengolahnya, melainkan tahap demi tahap dan

makna disimpulkan selama proses berlangsung dari awal sampai akhir

kegiatan dengan bentuk narasi dan holistis. 23

22 Sudarwan Danin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setra, 2002), h. 64. 23 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 328.

Page 29: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

14

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber Data

Karena penelitian ini merupakan studi terhadap kitab al-Turuq al-

Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah tentang penatapan nasab dengan

menggunakan metode al-qiyâfah serta relevansinya dengan tes DNA,

maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada

dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data

sekunder.

1) Sumber data primer, dalam penelitian ini adalah sumber-sumber yang

bersifat autoritatif, dalam hal ini memuat beberapa rujukan utama terkait

dengan penetapan nasab dengan metode al-qiyâfahyang ditulis oleh Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah, yaitu: al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-

Syar‘iyyah, Zâd al-Ma‘âd Fȋ Hadyi Khairi al-‘Ibâd.

2) Sumber data sekunder, dalam hal ini yang terkait dengan penetapan

nasab dengan tes DNA yaitu, Qanun Aceh nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Hukum Jinayat, buku-buku dan referensi yang lainnya yang berkaitan

dengan objek penelitin ini.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

1) Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan cara menelaah

kitab-kitab pokok yang membahas tentang penetapan nasab dengan

metode al-qiyâfah yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, yaitu: al-

Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, Zâd al-Ma‘âd Fȋ Hadyi

Khairi al-‘Ibâd.

2) Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Page 30: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

15

Sedangkan untuk data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan

dengan cara mengumpulkan, mengklasifikasi (telaah pustaka). Pemilihan

kepustakaan dilakukan secermat mungkin dengan mempertimbangkan

otoritas pengarangnya dan kredibilitas terhadap bidang yang dikaji dan

diampu.

3. Teknik Analisa Data

Analisis data yang penulis gunakan yaitu deskriptif-analisis, tepatnya

analisis produk fikih seorang ulama. Fikih merupakan bagian dari entitas

kehidupaan di dunia Islam dan menjadi salah satu subyek dalam pengkajian

Islam. Fikih juga bagian dari produk hukum dari pengkajian dan pemahaman

seorang ulama.24 Jadi, analisis data yang dipakai dalam tulisan ini lebih

kepada penggambaran suatu masalah produk hukum atau pendapat seorang

ulama, kemudian dijabarkan serta dianalisis hingga mendapat jawaban atas

permasalahan yang diajukan.

Dalam hal ini, penulis mengkaji masalah dengan menguraikan konsep

masalah yang penulis kaji, kemudian penulis berusaha menjelaskan dan

menggambarkan akar permasalahan terkait penelitian yang penulis lakukan

yang kemudian masalah tersebut akan dianalisis menurut hukum Islam

terhadap bagaimana cara penyelesaiannya.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab yang di dalamnya terdapat sub bab yang

akan memperjelas fokus penelitian ini dan akan disusun berdasarkan sistematika

sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan merupakan gambaran secara global namun integral

komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, identifikasi masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian

24 A. Djazuli, Ilmu Fikih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006), edisi revisi, cetakan keenam, h. 12.

Page 31: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

16

terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam bab pertama ini

diketengahkan keseluruhan isi tesis secara global namun dalam satu kesatuan

yang utuh dan jelas.

Bab II : membahas tinjauan umum tentang metode penetapan nasab

dalam hukum Islam. Dalam pembahasannya akan dijelaskan tentang, pengertian

nasab, masa kehamilan dan masalah kelahiran anak, sebab-sebab terjadinya nasab

dalam Islam, cara-cara penetapan nasab dalam Islam, pengertian al-qiyâfah

sebagai metode penetapan nasab, pandangan ulama tentang penetapan nasab

dengan metode al-qiyâfah, konsep metode undian (al-qur‘ah), sekilas tentang tes

DNA dalam mengetahui hubungan nasab, pengertian DNA, serta pendapat para

ahli tentang tes DNA dalam mengetahui hubungan darah dan pewarisan sifat

kemiripan.

Bab III : penjelasan tentang metode penetapan nasab menurut Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-

Syar‘iyyah yang dimulai dengan penjelasan tentang profil lengkap Ibnu Qayyim

al-Jauziyyah, tentang kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, al-

qiyâfah sebagai salah satu metode penetapan nasab, dalil-dalil sumber rujukan

serta metode istinbât hukum Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam menetapkan nasab

menggunakan metode al-qiyâfah.

Bab IV : analisis fatwa Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang penetapan

nasab menggunakan metodeal-qiyâfahdalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-

Siyâsah al-Syar‘iyyah serta relevansinya dengan tes DNA di Indoensia, yang

dimulai dengan analisis metode al-qiyâfah, analisis tes DNA, kemudian relevansi

antara metodeal-qiyâfahdengan tes DNA di Indoensia.

Bab V : Penutup, merupakan bagian akhir tesis, terdiri atas kesimpulan

dan saran (rekomendasi) yang di anggap penting.

Page 32: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

17

BAB II

METODE PENETAPAN NASAB DALAM HUKUM ISLAM

Bab ini akan menjelaskan pengertian nasab, cara-cara dalam menetapkan

nasab dalam hukum Islam serta membahas lebih rinci tentang al-qiyâfah dan

DNA. Penjelasan bab ini bertujuan untuk mendapatkan suatu teori (pendapat)

yang merupakan framework untuk menganalisa hasil temuan masalah dari objek

penelitian yang akan dipaparkan pada bab III dan IV. Untuk mengetahui pangkal

perbedaan universalitas metode al-qiyâfah dan DNA, dijelaskan terlebih dahulu

akar historis lahirnya metode al-qiyâfah yang diyakini sebagai salah satu metode

penetapan nasab dalam syarî‘at Islam.

A. Pengertian Nasab

Secara etimologi, kata nasab berasal dari bahasa Arab, yaitu ينسب –نسب–

memberikan ciri-ciri وصفه وذكر نسبه berarti نسب الشخص apabila terdapat kalimat ,نسبا

dan menyebutkan keturunannya.1 Nasab juga diartikan sebagai penisbatan silsilah

(hubungan) seseorang pada kerabat-karibnya, ataupun pada kaumnya.2 Nasab

(Arab, al-nasab)3 berarti keturunan atau kerabat (terutama dari pihak bapak),

pertalian keluarga.4 Bahkan secara tegas Su‘di Abu Habib mengatakan bahwa arti

kata nasab sama dengan kerabat.5 Sementara secara terminologis, kata nasab

merupakan hubungan yang mengikat antar anggota keluarga dengan pertalian

darah. Seorang anak adalah bagian dari ayahnya dan ayah adalah bagian dari

1 Luis Ma’lûf, al-Munjid fî al- Lughah, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977), cetakan kedua puluh dua,

h. 803. 2 Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), h. 411. 3 Ensiklopedi Hukum Islam, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1996), cetakan pertama, jilid keempat, h. 1304-1305. 4 http://artikata.com/arti-341961-nasab.html 5 Su‘dî Abu Habîb, al-Qâmûs al-Fiqhi Lughatan wa Istilâhan, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 351.

Page 33: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

18

anaknya.6 Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah

sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.7

Dalam hukum perkawinan di Indoensia, nasab diartikan sebagai sebuah

hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dan ayahnya karena adanya

perkawinan yang sah.8 Kerabat dinamakan nasab karena ada hubungan dan

keterkaitan. Berasal dari ungkapan, “nisbatuhû ilâ ’abîhi nasaban” (nasabnya

kepada ayahnya). Nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam

membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi

berdasarkan kesatuan darah.9 Menurut al-Sarkhasyî dalam kitab al-Mabsût

mengatakan:

10

Artinya: hukum akibat adanya hubungan nasab seorang anak yaitu berhak

mendapatkan warisan, nafkah, pemeliharaan, dan pendidikan.

Ulama Fikih (fuqahâ’) umumnya memaknai term nasab sebgai bentuk

kekerabatan keluarga, terutama hubungan anak dengan ayahnya. Kekerabatan

yang berimplikasi kepada nasab tersebut akibat percampuran air mani suami istri

melalui perkawinan yang sah sesuai syarî‘ah. Jika percampuran air mani tersebut

melalui perzinaan, maka tidak akan menyebabkan hubungan nasab anak dengan

lelaki yang menggauli ibunya.11

Di dalam Al-Qur’ân, term nasab disebutkan sebanyak tiga kali,12 yaitu

dua kali dalam bentuk tunggal (mufrad), dinyatakan Al-Qur’ân dalam surat al-

6 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu..., h. 25. 7 http://kamusfiqih.wordpress.com/2011/11/10/pengertian-nasab/ 8http://www.negarahukum.com/hukum/nasab-dalam-hukum-perkawinan-perkawinan-

indonesia.html. 9 Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Jakarta: YAMIBA, 2013), cetakan

pertama, h. 194. 10 Al-Sarkhasyî Syamsu al-Din, al-Mabsût, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid kedua puluh, h. 33. 11 Muhammad bin Ahmad al-Ansârî aL-Qurtubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân. (Mesir: Dâr al-

Qutub al-Misriyyah, 1964), jilid kedua belas, h. 128. 12 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syâfi‘î, Hanafî, Mâlikî,

dan Hambalî, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1991), h. 1.

Page 34: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

19

Furqân (25): 54 dan al-Sâffât (37): 158 serta dinyatakan dalam surat al-Mu’minûn

(23): 101 dalam bentuk plural (jama‘).

Pertama, term nasab dikemukakan dalam bentuk tunggal (mufrad) pada

surat al-Furqân (25): 54, yaitu:

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan

manusia itu (punya) keturunan dan musaharah dan adalah Tuhanmu

Maha Kuasa)”.

Al-Qurtubî, ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa kata النسب

dan هر keduanya bersifat umum yang mencakup hubungan kerabat di antara الص

manusia.13 Dalam hal ini secara lebih jelas Ibnu al-‘Arabî sebagaimana dikutip

oleh al-Qurtubi menjelaskan bahwa nasab adalah sebuah istilah yang

menggambarkan proses bercampurnya sperma laki-laki dan ovum seorang wanita

atas dasar ketentuan syarî‘at, jika melakukakannya dengan cara maksiat, hal itu

tidak lebih dari sekedar reproduksi biasa, bukan merupakan nasab yang benar,

sehingga tidak bisa masuk dalam kandungan ayat tahrim.14 Maksudnya tidak ada

pengaruh dalam masalah hubungan haram dan tidak haram untuk menikah, juga

tidak berakibat adanya berkewajiban ‘iddah, sehingga seorang wanita yang hamil

bukan karena nikah, melainkan dalam kasus married by accident, maka untuk

menikah tidak perlu menunggu lahir anaknya.

Demikian juga dalam masalah haramnya menikahi anak tiri yang ibunya

telah dinikahi oleh seseorang dan telah digauli, anak tiri itu telah menjadi haram

untuk dinikahi oleh lelaki yang menikahi ibu kandungnya dan telah

menggaulinya. Hal ini jika menggaulinya dengan nikah. Lain halnya jika

hubungan badan dengan seorang janda beranak satu perempuan itu tanpa akad

13 Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurtubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân. (Mesir: Dâr al-

Qutub al-Misriyyah, 1964), jilid ketiga belas, h. 59. 14 Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân..., h. 60.

Page 35: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

20

nikah, maka tidak terpengaruh pada keharaman menikahi anak perempuannya.

Demikian maksud dari ayat tahrim dimaksud.15

Kedua, term nasab dikemukakan dalam Al-Qur’ân berbentuk tunggal

dalam surat al-Sâffât (37): 158, yaitu:

Artinya: “Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin.

Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan

diseret (ke neraka)”.

Penjelasan lebih jauh mengenai penafsiran ayat ini dapat dikemukakan

beberapa pendapat sebagai berikut: Imâm Mujâhid berpendapat, “orang-orang

musyrikin mengatakan, “malaikat itu anak-anak perempuan yang bernasab kepada

Allah.16 Abu Bakar pernah bertanya, “siapakah ibu malaikat itu?”, orang-orang

musyrikin pun menjawab, “ibu mereka ialah pembesar jin”. Karena mereka

meyakini malaikat anak-anak perempuan Allah, kemudian di akhir ayat ini Allah

SWT menegaskan bahwa malaikat yang mereka anggap sebagai anak perempuan

dan ada hubungan nasab dengan Allah, serta mereka persekutukan dengan Dia,

mengetahui dan menyaksikan bahwa orang-orang kafir Quraisy yang beriktikad

seperti itu akan disiksa dengan siksaan api Neraka di hari Pembalasan. Allah SWT

berfirman dalam surat al-Saba’ (34): 40:

Artinya: "Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka

semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: "Apakah mereka

ini dahulu menyembah kamu?".

Ketiga, dalam surat al-Mu’minûn (23): 101 yang diungkapkan dalam

bentuk jama’ (plural), yaitu:

15 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), edisi

pertama, cetakan pertama, h. 29. 16 Imâm Mujâhid bin Jabr, Tafsîr al-Imâm Mujâhid bin Jabr, (Madinah Nasr: Dâr al-Fikr al-

Islâmî al-Hadîtsiyyah, 1989), cetakan pertama, h. 349.

Page 36: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

21

Artinya: “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di

antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling

bertanya.”

Maksud penggalan بینهم ب نساأ فلا pada ayat ini, apabila sangkakala ditiup

untuk ke dua kalinya dan arwah dikembalikan kepada tubuhnya masing-masing

pada Hari berbangkit nanti, pada waktu itu tidaklah bermanfaat lagi pertalian

nasab. Tidak dapat lagi seseorang membanggakan nasabnya bahwa dia keturunan

bangsawan yang tinggi sebagaimana halnya dulu pada waktu di dunia. Tidak ada

perbedaan antara satu orang dengan yang lain, semua terpengaruh dengan suasana

mencekam yang dialaminya. Mereka bingung diliputi perasaan takut karena

kedahsyatan hari itu, sehingga rasa cinta dan sayang menjadi sirna. Masing-

masing memikirkan dirinya sendiri, tidak peduli, dan tidak mau tahu kondisi

orang lain, sebagaimana dilukiskan di dalam firman Allah SWT surat ‘abasa (80):

33-37 sebagai berikut:

Artinya: “Dan apabila datang suara yang memekakkan. Pada hari ketika

manusia lari dari saudara-saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri

dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai

urusan yang cukup menyibukkannya”.

Ibnu Jarîr al-Tabarî dalam menta’wîl ayat tersebut dengan

menggambarkan situasi di akhirat kelak, di mana siapapun tidak lagi peduli

dengan nasab yang penuh dibanggakan di dunia, dengan menyatakan:

17

17 Ibnu Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), jilid kesembilan belas, h. 72.

Page 37: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

22

Artinya: Abû Ja far berkata: dalam menta’wîl ayat tersebut yaitu dengan ayat:

“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di

bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah”, maka tidaklah ada lagi

pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, walau mereka pernah

berkumpul bersama, tidak saling bertanya, dan tidak peduli antara satu

dengan yang lainnya, mereka fokus terhadap amal diri masing-masing.

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka tidak tegur sapa dan tidak saling

bertanya. Tidak seorangpun di antara mereka yang menanyakan si fulan anak

siapa? nasabnya kepada siapa? Keturunan dari mana? Mereka semua kebingungan

seperti orang mabuk.

Dari beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa nasab

adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke

bawah maupun ke samping yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari

perkawinan yang sah, perkawinan yang fâsid dan hubungan badan secara syubhat.

B. Masa Kehamilan dan Masalah Kelahiran Anak

Terkait pembahasan masalah nasab, khususnya yang berkaitan dengan

sebab-sebab timbulnya nasab dan cara menetapkannya, tentu tidak akan lepas dari

masalah masa kehamilan, baik yang berkaitan dengan batas minimal masa

kehamilan maupun batas maksimal masa kehamilan. Karena untuk menentukan

ketetapan nasab seorang bayi, harus diketahui kapan kedua orang tuanya

melaksanakan akad nikah, pada tanggal berapa hubungan badan dalam pernikahan

pertama kali terjadi setelah kondisi Rahim bersih dilakukan, dan seterunya.

Sekalipun dalam hal batas maksimal masa kehamilan ini penuh dengan

berbagai pendapat dan pengalaman dalam riset dan penelitian ulama pada

zamannya, karena terdapat pendapat-pendapat yang ganjil di dalamnya. Bahkan

Muhammad Jawwâd Mughniyyah berkomentar mengenai ini bahwa batas

maksimal masa kehamilan ini bukan termasuk disiplin ilmu fikih, semua itu

Page 38: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

23

merupakan kompetensi paramedis dan wewenang dokter, bukan fuqahâ’, sehingga

kita dalam masalah ini tidak berkewajiban menerima pendapat ahli fikih kalau

sekiranya pendapat yang dikemukakan berlawanan dengan fakta dan kenyataan

sesungguhnya dalam dunia kedokteran.18

Berikut batas minimal maupun maksimal seorang wanita mengalami

hamil dalam perspektif fuqahâ’:

1. Batas Minimal Masa Kehamilan

Berkaitan masalah ini tidak ada perbedaan, para fuqahâ’ dari Mazhab

manapun, bahkan dari golongan Syi‘ah pun telah sepakat bahwa batas minimal

masa kehamilan adalah enam bulan. hal ini berdasarkan atas firman Allah dalam

surat al-Ahqâf ayat 15 dan surat Luqmân ayat 14. Dalam surat al-Ahqâf ayat 15

Allah berfirman:

Artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”

Dan surat Luqmân ayat 14 Allah berfirman:

Artinya: “Dan menyapihnya selama dua tahun”.

Dari gabungan pemahaman kedua ayat ini, dapat diketahuai bahwa

seorang ibu memerlukan waktu tiga puluh bulan untuk mengandung dan

menyapih seorang anak. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk menyapih saja

dua tahun atau dua puluh empat bulan, sehingga tiga puluh di kurangi dua puluh

empat sama dengan enam, maksudnya enam bulan. Inilah batas minimal masa

kehamilah.

18 Muhammad Jawwâd Mughniyyah, al-Ahwâl al-Syakhsiyyah ‘alâ Madzâhib al-Khamsah (al-

Ja‘fariyah, al-Hanafî, al-Syâfi‘î, al-Mâlikî, al-Hanbalî, (Beirut: Dâr al-‘Ilmî Li al-Malâyȋn, 1964), cetakan

pertama, h. 76.

Page 39: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

24

2. Batas Maksimal Masa Kehamilan

Berkaitan dengan batas maksimal masa kehamilan ini berbeda dengan

masalah batas minimal, karena batas maksimal ini penuh dengan kontradiksi

persepsi dan perbedaan pemahaman di kalangan para ahli hukum Islam.19 Hal ini

karena tidak ada dalil Al-Qur’ân atau hadis yang tegas tentang batas maksimal

kehamilan, sehingga para ulama memberikan argumentasinya berdasarkan

pengalaman-pengalaman yang sifatnya temporer dan kasuistik. Bahkan sering

ditemukan antara kasus satu dengan yang lainnya bertentangan.20 Maka dalam hal

ini, setidaknya ada tujuh pendapat yang satu dengan yang lainnya bertahan dengan

argumentasinya masing-masing, yaitu sebagai berikut.21

a. Menurut Ibnu Hazm al-Zâhirî yang disandarkan kepada pendapat ‘Umar bin

Khatâb bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah Sembilan bulan

Qomariyah.22

b. Menurut pendapat Muhammad bin Abdullah bin ‘Abdul Hakâm, salah

seorang fuqahâ’ dari kalangan Mazhab Mâliki, bahwa batas maksimal masa

kehamilan adalah satu tahun Qomariyah.

c. Menurut pendapat Imâm Abû Hanîfah dan para sahabatnya, bahwa batas

maksimalnya adalah dua tahun. Hal ini didasarkan atas ucapan ‘Âisyah Istri

Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa seorang bayi tidak mungkin

akan berada dalam rahim atau kandungan ibunya lebih dari dua tahun.23

19 Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid, (Semarang: Toha Putra, t.th), jilid

kedua, h. 268. 20 Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Huqûq al-Aulâd Fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn,

(Iskandariyah: Muassasah Syabâb al-Jâmi‘ah, t.th), h. 8. Lihat juga Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa

Adillatuhu…, h. 677. 21 Mustafa al-Sibâ’î, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah, (Damaskus: Matba‘ah Jâm‘iah,

1972), cetakan kelima, jilid pertama, h. 280. 22 ‘Alî bin Ahmad bin Sa‘îd bin Hazm, al-Muhallâ Bi al-Âtsâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.th), jilid sepuluh, h. 216. 23 Hadisnya sebagai berikut:

لها على سنتین قدر ظل المغزل.الله عنها أنها قالت : ل تزيد المرأة في حم عن عائشة رضي Artinya: Dari ‘Âisyah radiyallahu ‘anha, sesungguhnya ia berkata: seorang wanita tidak akan pernah

mengandung lebih dari dua tahun, (sekalipun kelebihannya) hanya sebatas bayangan alat pemintalnya. lihat

Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003) h. 443.

Lihat juga ‘Alî bin Umar al-Dâruqutni, Sunan al-Dâruqutni, (al-Qâhirah: Dâr al-Mahâsin Li al-Tibâ‘ah,

1996), jilid ketiga, h. 322.

Page 40: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

25

d. Menurut pendapat al-Laits seorang ahli fikih dari Mesir pada abad kedua

Hijriah bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah tiga tahun.

e. Menurut pendapat Imâm al-Syâfi‘î bahwa batas maksimal masa kehamilan

adalah empat tahun. Dalam hal ini sebagian ahli fikih dari golongan

Hanafiyah bahkan mengatakan bahwa Imâm Mâlik dan Imâm Ahmad juga

berpendapat demikian.24 Alasan pendapat ini adalah bahwa para wanita Bani

‘Ajlân biasa mengalami masa kehamilan empat tahun. Informasi seperti ini

juga diriwayatkan oleh al-Baihaqî dan al-Dâruqutnî dalam rangkaian hadis

‘Aisyah.25

f. Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama golongan Mâlikî, al-Laits,

Ibnu Sa‘ad, dan Abad bin al-Awwâm bahwa batas maksimal masa kehamilan

adalah lima tahun.

g. Menurut pendapat sebagian ulama Mazhab Mâlikî bahwa batas masa

kehamilan adalah tujuh tahun.

Dari beberapa pendapat para ahli hukum Islam tersebut, dapat

disimpulkan bahwa batas maksimal masa kehamilan ini tidak satupun yang

didasarkan atas dalil, baik dalil Al-Qur’ân maupun Hadis. Argumentasi yang

dikeluarkan oleh mereka bersifat temporer dan kasuistik, sehingga tidak ada

standar pasti yang dapat dipegang sebagai pendapat paling benar. Adapun contoh

pendapat Abû Hanîfah dan para sahabatnya, oleh para ahli fikih pengikut Mazhab

ini dipertahankan dengan argumentasinya bahwa ‘Âisyah, istri Nabi SAW tidak

mungkin mengatakan informasi semacam ini atas dasarnya sendiri, apa yang

24 Ibnu ‘Abidin, Raddi al-Mukhtâr ‘Alâ Durri al-Mukhtâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), jilid kedua,

h. 623. 25 Hadisnya sebagai berikut:

لها على سنتین قدر ظل المغزل.عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت : ل تزيد المرأة في حم Artinya: Dari ‘Âisyah radiyallâhu ‘anhâ, sesungguhnya ia berkata: seorang wanita tidak akan pernah

mengandung lebih dari dua tahun, (sekalipun kelebihannya) hanya sebatas bayangan alat pemintalnya. Lihat

Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqî, Al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003) h. 443.

Lihat juga Alî bin Umar al-Dâruqutnî, Sunan al-Dâruqutnî, (al-Qâhirah: Dâr al-Mahâsin Li al-Tibâ‘ah, 1996),

jilid ketiga, h. 322.

Page 41: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

26

disampaikan pasti berdasarkan informasi yang didengarnya dari Nabi sehingga

kata-kata ‘Âisyah sama dengan hadis marfû‘.26

Dengan demikian, penulis lebih cenderung dan mendukung

permasalahan ini dikaitkan dengan pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa

masalah ini harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang terjadi dan

eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Maka dalam hal ini pendapat Abdullah

bin Abdul Hakam dan Ibnu Hazm al-Zâhirî dinilai sebagai pendapat yang sesuai

dengan kasus nyata, bukan kasus yang sifatnya ganjil. Dan penetapan hukum

hanya dapat didasarkan atas kasus nyata (yang pada umumnya terjadi), bukan

yang jarang terjadi.27

Oleh karena itu, batas maksimal masa kehamilan seorang wanita yang

sering terjadi adalah sembilan bulan sampai dengan genap satu tahun Qomariyah,

di samping adanya perbedaan pandangan para ahli hukum yang didasarkan atas

kasus-kasus yang jarang terjadi seperti yang sudah disebutkan.

C. Sebab-Sebab Terjadinya Nasab Dalam Islam

Terdapat beragam bentuk metode penetapan nasab. Ulama mengkaji

permasalahan ini sangat detail. Mengingat, persoalan nasab adalah persoalan

penting sebagai pondasi sebuah keluarga, keterikatan hak-hak keperdataan,

mahram, bahkan kajian nasab ini nantinya tidak terlepas dari hubungan hukum

lainnya. Misalnya, hukum perkawinan, hukum kebendaan dan keperdataan,

perwalian, dan seterusnya. Untuk itu, metode penetapan nasab ini menjadi salah

satu skala priorias kajian ulama dalam bidang konsepsi hukum keluarga Islam.

Bagian ini akan dipaparkan macam-macam metode penetapan nasab

dalam hukum Islam, baik yang sudah disepakati (konsensus ulama) maupun yang

masih debatable. Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya

26 Mustafa al-Sibâ‘î, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah…, h. 281. 27 Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid…, h. 268.

Page 42: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

27

terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang

dilakukannya dengan seorang lelaki yang tidak berdasarkan ikatan perkawinan

yang sah, atau disebut dengan hubungan gelap, samen leven, perselingkuhan dan

perzinaan.28 Sedangkan nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi

dan memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu dengan perkawinan yang

sah, perkawinan yang fâsid atau bâtil, dan melalui hubungan badan secara

syubhat.29 Adapun metode penetapan nasab yang tidak disepakati oleh ulama

(debatable) di antaranya yaitu pengakuan (istilḥâq atau iqrâr al-nasab),

kemiripan atau keserupaan (al-qiyâfah) dan ada juga dengan cara undian (al-

qur’ah) dalam menelusuri seorang anak. Adapun pembahasan tetang al-qiyâfah

akan dibahas dalam bab sendiri karena pembahasan ini adalah hal inti dalam

penelitian.

Berikut metode penetapan nasab dalam hukum Islam yang sudah

disepakati oleh para ulama:

1. Perkawinan yang sah (nikah sahîh)

Secara umum, nasab telah dapat ditentukan bagi ayah dan ibu terhadap

anaknya ketika keduanya telah melakukan pernikahan yang sah.30 Pernikahan

yang sah yang dimaksudkan di sini yaitu nikah yang dilakukan dengan

terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Anak yang dihasilkan dari pernikahan yang

sah menjadi penentu dapat ditetapkannya hubungan nasab antara anak dengan

ayah. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW dalam sebuah hadis:

28 Badran Abu al-‘Ainan Badran, Huqûq al-Aulâd fî al-Syari‘ah al-Islâmiyah wa al-Qânûn…, h.

16. 29 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 681. Lihat juga Ahmad al-Khamlisyi,

al-Ta‘lîq ‘Ala Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah, (t.t,: Dâr al-Nasyr al-Ma‘rifah, t.th), cetakan kedua, jilid

kedua, h. 33-51. 30 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 32-37. 31 Abu al-Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, al-Jâmi‘ al-Sahîh (sahîh muslim),

(Beirut: Dâr al-Jail, t.th), nomor hadis 3688, jilid ketujuh, h. 368.

Page 43: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

28

Artinya: Dari Abu Hurairah radiyallahu an’hu sesungguhnya Rasulallah SAW

bersabda: anak itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri

istri) dan bagi pezina hanya berhak mendapatkan batu hukuman. (H.R.

Muslim)

Maksud dari hadis ini adalah penegasan bahwa nasab anak yang lahir

dalam perkawinan yang sah atau fâsid, dapat ditetapkan dan dihubungkan kepada

ayah kandungnya. Akan tetapi ketetapan ini tidak berlaku bagi pezina sebab nasab

merupakan nikmat dan karunia besar dari Allah SWT. Seorang lelaki pezina tidak

akan mempunyai nasab dengan anak yang lahir akibat perbuatannya itu. Bahkan

pezina ketika statusnya muhsan harus dihukum dengan cara dirajam, yaitu

dilempari batu hingga meninggal dunia, dan jika masuk dalam kategori ghairu

muhsan, maka yang bersangkutan dihukum dengan cara dicambuk seratus kali

sebagaimana dijelaskan dalam dalam surat al-Nûr ayat 2.32 Tentunya dalam

menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi beberapa syarat

di antaranya:

a. Suami tersebut memungkinkan dapat memberikan keturunan, di mana

menurut kesepakatan ulama fikih adalah seorang laki-laki yang telah bâligh

atau murâhiq.33 Menurut ulama Hanafiah anak murâhiq berumur 12 tahun,

sementara menurut ulama Hanabilah, murâhiq berumur 10 tahun. Oleh sebab

itu, nasab tidak bisa terjadi bagi lelaki yang belum bâligh, tidak mampu

32 Surat al-Nûr ayat 2 :

اني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة ول ت انیة والز إن كنتم تؤم هما رأفة ف ذكم ب أخ الز والیوم ي دين الل نون بالل

عذابهما طائفة من المؤمنین.الخر ولیشهد Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya

seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)

agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman

mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. 33 Ibaratnya adalah sebagai berikut:

ى.ه ت اش و ه ت ل آ ت ك ر ح ت و غ و ل ب ال ب ار ق ي ب ص ق اه ر الم Artinya: al-Murâhiq adalah anak kecil yang mendekati umur bâligh dan sudah memiliki syahwat sehingga

alat kemaluannya bisa bergerak. Lihat Alî bin Muhammad al-Jurjânî, Mu‘jam al-Ta‘rîfât, (al-Qâhirah: Dâr al-

Fadîlah, t.th), jilid pertama, h. 67.

Page 44: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

29

melakukan senggama, atau lelaki yang tidak mempunyai kelamin atau

impotensi, kecuali bisa diobati.34

b. Menurut ulama dari kalangan Mazhab Hanafî anak tersebut lahir setelah

enam bulan perkawinan.35 Jumhûr ulama telah menambahkannya dengan

syarat suami istri dimaksud telah melakukan senggama. Apabila kelahiran

anak kurang dari enam bulan, maka anak yang lahir tersebut tidak bisa

dinasabkan kepada suami wanita tersebut.36 Karena hal ini mengindikasikan

bahwa kehamilan telah terjadi sebelum akad nikah, kecuali jika suami itu mau

mengakuinya. Dalam hal ini pengakuan tersebut harus diartikan sebagai

pernyataan bahwa wanita itu sudah hamil sebelum akad nikah dilakukan. Bisa

juga hal itu terjadi dalam perkawinan yang akadnya fâsid, atau karena terjadi

senggama syubhat. Jika demikian, menurut Wahbah al-Zuhaylî, anak tersebut

dapat dinasabkan kepada suami wanita demi kemaslahatan kehidupan anak

tersebut.37

c. Suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati

oleh ulama fikih. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam mengartikan

cara bertemu antar keduanya. Apakah pertemuan itu bersifat aktual dan nyata

atau hanya menurut perkiraan. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat,

pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa saja terjadi. Oleh sebab

itu, apabila wanita itu hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu

dengan suaminya, maka anak yang lahir tersebut dinasabkan kepada

suaminya. Misalnya ada seorang wanita dari bagian timur menikah dengan

seorang laki-laki dari bumi wilayah barat dan mereka tidak bertemu selama

34 Abdul Karîm Zaidan, al-Mufassal fî Ahkâm al-Mar’ah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993),

cetakan pertama, jilid kesembilan, h. 321. Lihat juga Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…,

h. 645. 35 Hal ini didasarkan kepada surat al-Ahqâf ayat 15 dan surat Luqmân ayat 14. Pada surat al-

Ahqâf menyatakan, masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan. Sedangkan pada surat Luqmân ayat 14

dinyatakan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah 2 tahun (24 bulan). Hal ini bermula pada satu

pemahaman bahwa masa hamil terpendek adalah enam bulan. 36 Al-Khotîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid ketiga, h. 391. Lihat

juga ‘Alî Hasaballah, al-Furqah Baina al-Zaujaini Wa mâ Yata‘allaqu Bihâ min ‘Iddah wa Nasab, (t.t

Multazam, 1996), cetakan pertama, h. 232. 37 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 681-682.

Page 45: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

30

satu tahun, tetapi lahir anak selama setelah enam bulan semenjak akad nikah

dilangsungkan, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita

tersebut.38

Menurut Mazhab Hanafî, bisa saja terjadi pertemuan melalui

kekeramatan seorang Sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang jauh

dalam waktu singkat. Namun logika seperti ini ditolak oleh jumhûr ulama.

Menurut mereka , kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri tersebut

bertemu secara aktual di mana dalam pertemuan tersebut memungkinkan bagi

suami istri untuk melakukan senggama.39

Logika dalam kasus seperti ini memang sulit untuk dimengerti, terlebih

pernyataan ini dikemukakan oleh kalangangan Mazhab yang mengedepankan

rasional (logika) daripada irasional. Tentunya, penulis tidak sepakat dengan

pernyataan tersebut yang mengatakan bahwa kekeramatan seorang wali bisa

menempuh jarak jauh lalu dimungkinkan dapat melakukakan kontak seksual

dengan istrinya yang berada jauh di belahan dunia lain dan dijadikan dasar

sebagai penetapan nasab.

Perbedaan pendapat ini muncul karena ulama kalangan Mazhab Hanafi

berpendapat bahwa pengingkaran seorang laki-laki terhadap anak hanya dapat

terjadi melalui li‘an. Sementara jumhûr ulama berpendapat bahwa pengingkaran

terhadap anak selain li‘an, juga bisa dengan cara lainnya, yaitu ketika kondisi

suami tidak mungkin bertemu secara aktual, fisik dan nyata dengan istrinya. Sama

halnya seperti salah satu suami istri berada di luar negeri selama lebih dari batas

maksimal kehamilan, atau bahkan beberapa tahun.40

Adapun cara menentukan apabila seorang anak dilahirkan setelah terjadi

perceraian antara suami istri, untuk menentukan apakah anak itu bernasab kepada

38 Abdul Rahman al-Jâzirî, al-Fiqh ‘Alâ Mazâhib al-Arba‘ah, (Beirut: Dâr al-Qutub al-‘Ilmiyyah,

2003), cetakan kedua, jilid kelima, h. 105. Lihat juga Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…,

h. 682. 39 Muhammad Amin bin Umar bin ‘Âbidin, Rad al-Muhtâr Alâ al-Durrî al-Mukhtâr (Hâsyiyah

Ibnu ‘Âbidin) (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), jilid kedua, h. 550. Lihat juga Yahya bin Syarâf al-Nawawi,

Raudah al-Tâlibîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), jilid keenam, h. 661. 40 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 683.

Page 46: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

31

mantan suami wanita tersebut atau nasabnya kepada ibunya, dalam masalah ini

terdapat beberapa kemungkinan.

1) Apabila seorang suami menceraikan istrinya setelah melakukan senggama

dan kemudian lahir anak kurang dari enam bulan terhitung sejak perceraian

terjadi, maka ulama fikih sepakat bahwa anak itu dinasabkan kepada suami

wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu lebih dari enam bulan

sejak terjadi perceraian, sedangkan suami tidak pernah menggaulinya

sebelum cerai, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya.41

2) Apabila suami menceraikan setelah melakukan senggama, baik cerai tersebut

melalui talak raj‘î maupun talak ba’in, atau karena meninggalnya suami,

maka terdapat dua kemungkinan:

Pertama, apabila anak itu lahir sebelum habis masa maksimal kehamilan

setelah perceraian atau kematian suami, maka anak itu bernasab kepada

suaminya. Masa paling lama atau usia maksimal kehamilan menurut ulama

Mazhab Hanafî dan Mâlikî dalam satu riwayatnya adalah dua tahun, menurut

ulama Mazhab Syâfi‘î dan Hanbalî adalah empat tahun, dan menurut

pendapat yang popular di kalangan Mazhab Mâlikî adalah lima tahun.42

Kedua, apabila anak lahir melewati waktu maksimal kehamilan tersebut

(yang diperhitungkan sejak terjadinya perceraian atau kematian tersebut),

maka menurut jumhûr ulama, anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami

wanita tersebut, sedangkan ulama Mazhab Hanafî mengemukakan rincian

sebagai berikut:43

a) Jika perceraian itu termasuk talak raj‘î dan wanita itu mengaku bahwa

‘iddah-nya belum habis, maka anak itu boleh dinasabkan kepada suaminya,

baik anak itu lahir sebelum masa dua tahun sejak terjadi perceraian, maupun

melebihi masa dua tahun. Sebab seorang suami dalam talak raj‘i masih boleh

41 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 684. 42 Muhammad Mustafa Syalabî, Ahkâm al-Usrah fî al-Islâm, Dirâsah Muqâranah Baina al-Fiqh

al-Madzâhib al-Sunniyyah wa Madzâhib al-Ja‘farî Wa al-Qânûn, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-Arabiyyah,

1977), cetakan kedua, h. 679. 43 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa ’Adillatuhu…, h. 685.

Page 47: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

32

melakukan kontak seksual dengan istrinya dan hubungan badan itu dianggap

sebagai petanda rujuk. Apabila wanita itu mengakui bahwa ‘iddah-nya telah

habis atau telah menempuh masa 60 hari (menurut pendapat Imâm Abû

Hanîfah) atau 39 hari (menurut kedua sahabatnya, Imâm Abû Yusuf dan

Imâm Muhammad Bin Hasan al-Syaibânî), maka anak tersebut tidak boleh

dinasabkan kepada suami wanita tersebut.44

b) Jika perceraian itu termasuk dalam kategori talak ba’in atau karena

meninggalnya suami dan wanita itu tidak mengakui bahwa ‘iddah-nya telah

habis, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suami. Kecuali jika ia lahir

sebelum dua tahun sejak terjadinya perceraian atau meninggalnya suami.

Karena masa kehamilan mereka adalah dua tahun. Akan tetapi apabila anak

itu baru lahir setelah dua tahun sejak perceraian atau meninggalnya suami,

maka anak tersebut tidak bisa bernasab kepada suami wanita tersebut.45

Dari berbagai uraian di atas dapat penulis simpulkan, bahwa para ulama

sepakat dalam masalah menentukan pernikahan secara sah sebagai penyebab

ditetapkannya nasab anak kepada ayah kandungnya. Namun mereka berbeda

pendapat dalam hal-hal teknis seperti masalah sifat pertemuan suami istri, apakah

bersifat nyata, konkret, dan aktual atau cukup dengan perkiraan melalui berbagai

indikasi kemungkinan bertemu dan terjadinya kontak seksual setelah akad nikah.

Dalam hal ini pendapat jumhûr ulama yang mengatakan bahwa pertemuan itu

harus bersifat nyata dan konkret tampaknya lebih tepat, karena pertemuan yang

hanya bersifat perkiraan, sulit diterima akal sebagai penyebab kehamilan.

44 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 685. 45 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 684.

Page 48: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

33

2. Pernikahan Fâsid

Pernikahan fâsid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam

kekurangan syarat,46 seperti tidak ada wali (bagi Mazhab Hanafî wali tidak

menjadi syarat sahnya perkawinan) dan tidak ada saksi atau saksi palsu. Menurut

kesepakatan ulama fikih, penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid

sama dengan penetapan anak dalam pernikahan yang sah.47 Akan tetapi, ulama

fikih menetapkan tiga syarat dalam penetapan nasab anak dalam pernikahan fâsid

tersebut. Yaitu sebagai berikut:

a. Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil, artinya suami

seorang yang sudah dewasa (bâligh) menurut Mâlikiyah dan Syâfi‘iyah, atau

sekedar murâhiq (umur antara 10 -12 tahun) menurut ulama Hanafiyah dan

Hanabilah, serta tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan istrinya

tidak bisa hamil.

b. Hubungan senggama benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pasangan yang

bersangkutan.48

c. Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad

nikah fâsid tersebut (menurut jumhûr ulama) dan sejak terjadinya senggama

(menurut Mazhab Hanafî). Apabila anak lahir dalam waktu sebelum enam

bulan setelah akad nikah atau melakukan senggama, anak tidak bisa

dinasabkan kepada suami wanita tersebut.49

Dalam hal anak yang lahir setelah pasangan suami istri melakukan

hubungan badan, dan bercerai, baik melalui hakim maupun tidak, dan anak itu

lahir sebelum masa maksimal kehamilan, maka anak itu dinasabkan kepada suami

46 Yâsin Bin Nâsir Bin Mahmud al-Khatîb, Tsubût al-Nasab, (Jeddah: Dâr al-Bayân al-‘Arabî,

1987), cetakan pertama, h. 103. Lihat juga Muhammad Yûsuf Mûsa, al-Nasab wa Âtsâruhu, (al-Qâhirah: Dâr

al-Ma‘rifah, 1958), cetakan kedua, h. 12. 47 Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawî, Raudat al-Tâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, (Beirut:

Dâr al-Fikr, t.th), jilid ketiga, h. 243. 48 Badrân Abu al-Ainan, Huqûq al-Aulâd fî al-Syar‘îah al-Islâmiyah wa al-Qânûn…, h. 24. 49 Mustafa al-Sibâ’î, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsyiyyah…, h. 286.

Page 49: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

34

wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu melebihi masa maksimal

kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu.

3. Senggama Syubhat

Kata Syubhat berarti kemiripan, keserupaan, kesamaran, dan

ketidakjelasan.50 Imâm al-Ghazâlî mendefinisikan kata syubhat dengan sesuatu

yang masalahnya tidak jelas, karena di dalamnya terdapat dua keyakinan

berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan

tersebut.51 Al-Husein memberikan penjelasan definisi syubhat menurut al-Ghazâlî

ini sebagai suatu keraguan antara dua faktor yang salah satunya tidak bisa di

tarjîh, karena adanya tanda-tanda sama persis yang berakibat terjadinya keraguan

pada diri seseorang sehingga tidak ada jalan keluar untuk mempertegas dan

menentukan status hukum dari dua hal yang persis tersebut.52

Dari pengertian kata hubungan badan atau senggama syubhat di atas,

dapat diambil kesimpulan, yaitu persetubuhan antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan di luar akad nikah, baik nikah secara sah maupun nikah fâsid,

tetapi tidak bisa di sebut sebagai zina dan hukumnya pun tidak haram mutlak juga

tidak halal mutlak. Contohnya seperti seorang pria melakukan perkawinan dengan

seorang wanita yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pada malam pengantin ia

menemukan seorang wanita dikamarnya lalu menggaulinya. Ternyata wanita itu

bukan istri yang telah dinikahinya.

Dalam kasus seperti ini, apabila wanita tersebut melahirkan setelah hamil

enam bulan atau lebih (masa maksimal kehamilan) setelah senggama terjadi, maka

anak yang lahir dinasabkan kepada lelaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi,

50 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cetakan pertama, jilid

keenam, h. 1715. 51 Abu Hamed Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulum al-Dîn, (Semarang: Toha

Putera, t.th), jilid kedua, h. 99. 52 Muhammad bin Muhammad al-Husain al-Zubaidî, Ittihâdu al-Sâddah al-Muttaqîn Syarh Ihyâ

‘Ulûm al-Dîn, (t.t: Dâr al-Fikr, t.th), jilid kelima, h. 33.

Page 50: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

35

apabila anak yang lahir melebihi masa maksimal kehamilan seorang wanita, maka

tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menyetubuhi wanita tersebut.53

Hukum Islam membedakan syubhat kepada dua bentuk, yaitu: Pertama,

anak syubhat dalam akad, yaitu: ketika seorang laki-laki melaksanakan akad nikah

dengan wanita seperti akad nikah sah lainnya, tetapi kemudian akadnya fâsid

karena alasan tertentu. Kedua, syubhat dalam tindakan (perbuatan), yaitu ketika

seorang lelaki mencampuri seorang wanita tanpa terjadi akad antara mereka

berdua, baik akadanya sah maupun fâsid. Misalnya: tidak sadar ketika

melakukannya, atau dia meyakini bahwa wanita tersebut halal untuk dicampuri,

tetapi kemudian wanita tersebut ternyata haram dicampuri. Termasuk dalam

kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, pemabuk, dan

orang mengigau, serta orang yang meyakini bahwa yang dicampuri istrinya, tetapi

wanita tersebut ternyata bukan istrinya.54

Persoalan syubhat, juga dapat terjadi dalam bidang mu‘âmalah seperti

barang yang belum jelas statusnya, karena masih dalam sengketa, barang tersebut

tidak boleh diperjualbelikan, sebab harta yang boleh diperjualbelikan adalah harta

yang sudah menjadi milik penjual secara sempurna.55 Sedangkan dalam bidang

ibadah, misalnya seorang yang telah bersuci, yaitu telah dalam keadaan memiliki

wudhu kemudian bersentuhan dengan seorang khunsâ (waria). Menurut Imâm

Syâfi‘î, orang tersebut tetap suci, karena tidak jelas hukum yang dijatuhkan pada

khunsâ, apakah ia laki-laki atau perempuan. Imâm Al-Ghazâlî memberikan

komentar dalam masalah di atas dengan memberi contoh tentang seorang yang

ragu dalam shalat, apakah baru tiga atau empat rokaat, maka ia harus mengambil

sikap sebagai keyakinan, yaitu memilih yang paling sedikit.56

53 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 650-651. 54 Muhammad Jawwâd Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), h. 388-389. 55 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),

cetakan pertama, jilid keenam, h.1718. 56 Abu Hamîd Muhmmad bin Muhmmad Al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulûm al-Dîn, (Semarang: Toha

Putera, t.th), jilid kedua, h. 99.

Page 51: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

36

Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa syubhat dapat

terjadi pada hampir semua bidang fikih, baik fikih mu‘âmalah, fikih munâkahât,

fikih jinâyah maupun fikih ibadah. Dalam hal fikih munâkahât, lebih khusus

dalam maslah hubungan badan, sangat berkaitan dengan fikih jinayah, sebab

apabila unsur syubhatnya dapat dihilangkan, maka hubungan badan yang terjadi

bisa disebut zina dan pelakunya harus dikenai hukuman had, baik razam maupun

dera seratus kali.

D. Cara-Cara Penetapan Nasab Dalam Islam

Dalam Islam ada beberapa cara menetapkan nasab yang dikemukakan

secara detail oleh para ulama dari berbagai kalangan Mazhab. Setidaknya ada

empat cara dalam menetapkan nasab anak kepada orang tuanya. Khususnya

kepada ayah kandungnya, yaitu melalui pernikahan yang sah atau fâsid, melalui

pengakuan atau gugatan atas nasab anak, melalui pembuktian dan melalui cara al-

qiyâfah, yaitu penelusuran nasab oleh seorang ahli pada zamannya atau dengan

cara undian (al-qur‘ah).

Keempat cara ini akan dibahas dalam uraian sub bab ini. Khususnya satu

metode sebelum terakhir yaitu al-qiyâfah akan dikemukakan dalam sub bab

sendiri, karena ini maksud inti dan tujuan penulis dalam penelitian ini.

Pembahasan ini juga nantinya akan penulis kontekstualisasikan sesuai dengan

perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir yang tentu saja sudah mengenal

metode ultrasonografi, tes darah, dan tes DNA.

1. Melalui Pernikahan yang Sah atau Fâsid

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa nikah yang sah dan nikah yang

fâsid merupakan salah satu cara menetapkan nasab seseorang kepada ayahnya,

Page 52: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

37

sekalipun pernikahan dan kelahiran anak tersebut tidak didaftarkan secara resmi

pada instansi terkait.57

2. Melalui Pengakuan (iqrâr) atau Gugatan (iddi‘â)

Selain iqrâr, dikenal juga dengan istilah istilhâq, yaitu pengakuan

seorang laki-laki yang mukallaf (âqil-bâligh) bahwa ia merupakan bapak dari

seorang yang nasabnya tidak diketahui.58 Ulama fikih membedakan antara

pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain anak, misalnya paman,

saudara, atau kakek. Jika seorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil

adalah anaknya, atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah dewasa (bâligh)

menurut jumhûr ulama atau mumayyiz (menurut ulama Mazhab Hanafî) mengakui

seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu

dinasabkan kepada lelaki tersebut, apabila memenuhi syarat sebagai berikut:59

a. Anak yang menyampaikan pengakuan itu tidak jelas nasabnya. Apabila

ayahnya diketahui, maka pengakuan ini batal, karena Rasulallah SAW

mencela seseorang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain sebagai

nasabnya. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa apabila anak tersebut

dinafikan ayahnya melalui li‘an, tidak boleh seorang mengakui nasabnya,

selain suami yang me-li‘an ibunya.60

b. Pengakuannya logis dan empirik. Maksudnya adalah seseorang yang

mengakui ayah dari anak tersebut usianya berbeda jauh dari anak yang diakui

sebagai nasabnya. Demikian pula halnya, apabila seorang mengakui nasab

57 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 690 58 Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Sâwî, Hâsyiah al-Sâwî ‘Alâ Syarh al-Saghîr, (Mesir:

Dâr al-Ma‘ârif, 2001), jilid kedelapan, h. 179. 59 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 690. Lihat Ibnu Quddâmah, al-Kâfi fî

al-Fiqh al-Imâm Ahmad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), cetakan pertama, jilid kedua, h. 314.

Lihat Hammam Mualana al-Syekh Nazzâm dkk, al-Fatâwâ al-Hindiyyah, (Beirut: Dâr al-Turâts al-‘Arabî,

t.th) jilid keenam, h. 176. Lihat juga al-Nawawî, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, (San’â: Dâr al-Irsyâd,

2008), jilid 20, h. 334-336. 60 Ahmad al-Sâwî, Bulghah al-Sâlik li Aqrab al-Masâlik, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1995), cetakan pertama, jilid ketiga, h. 343. Lihat juga Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain

bin ‘Umar Ba’alawî, Bugiyyah al-Mustarsyidîn fî Talkhîs Fatâwâ Ba’da al-A’immah min al-‘Ulamâ‘ al-

Muta’akhirîn, (Banten: Maktabah Iqbal Haji Ibrahim, t.th), h. 154-155.

Page 53: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

38

seorang anak tetapi kemudian datang lelaki lain yang mengakui nasab anak

tersebut maka hakim perlu meneliti lebih lanjut tentang siapa yang berhak

terhadap anak tersebut.61

c. Pengakuannaya dibenarkan. Apabila anak itu telah bâligh dan berakal

(menurut jumhûr ulama) atau telah mumayyiz (menurut ulama Mazhab

Hanafi), maka pembenarana anak terhadap pengakuan laki-laki tersebut bisa

dikabulkan. Akan tetapi, syarat ini tidak diterima ulama dari kalangan

Mazhab Mâlikî, karena menurut mereka, nasab adalah hak dari anak, bukan

ayah.62

d. Lelaki yang mengakui anak tersebut harus menegaskan bahwa ia bukan anak

hasil dari perzinaan, karena perzinaan tidak bisa menjadi dasar penetapan

nasab anak.63

Dari kesimpulan tersebut, apabila syarat-syarat di atas terpenuhi,

pengakuan nasab terhadap seseorang adalah sah dan anak tersebut berhak

mendapatkan nafkah, pendidikan selayaknya, dan harta warisan dari sang ayah.

Ayah yang telah mengakui anak tersebut sebagai anaknya tidak boleh mencabut

pengakuannya, karena nasab tidak bisa dibatalkan.64 Adapun pengakuan nasab

selain anak seperti saudara, kakek, paman, kakek dan seterusnya. Menurut

kesepakatan ulama fikih hukumnya sah apabila memenuhi syarat-syarat yang

disebutkan di atas, ditambah dengan satu syarat yaitu alat buktu (al-Bayyinah)65

61 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 691. Lihat juga Zakaria Ahmad al-

Barrî, Ahkâm al-Maulûd fî al-Islâm, (al-Qâhirah: al-Dâr al-Qaumiyyah, 1964), h. 20. 62 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 691. Lihat juga Ali Hasaballa, al-

Furqah Baina al-Zaujain wamâ Yata‘allaqu bihâ min ‘Iddatin wa Nasabin, (t.t: Multazam al-Tabwa al-

Nasyr, 1968), h. 237. 63 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 691. Lihat juga Muhammad Abu

Zahrah, al-Ahwâl al-Syakhshiyyah, (t.t: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th), h. 464. 64 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 692. Lihat juga Muhammad Rawwâs

Qal‘ahji, Mausû‘ah Fiqh Umar bin al-Khattab, (t.t: t.p, 1981), cetakan pertama, h. 636. 65 Seperti yang dijelaskan dalam kitab kitab Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, bahwa Menurut Imâm

Abû Hanîfah dan Imâm Muhammad bin Hasan al-Syaibanî, alat bukti yang dibutuhkan tersebut adalah

pengakuan dua orang leleaki, atau satu orang lelaki dan dua orang wanita. Menurut Mazhab Mâlikî,

pengakuan tersebut dikemukakan dua orang laki-laki saja. Sedangkan menurut Mazhab Syâfi‘î, Mazhab

Hanbalî dan Imâm Abû Yûsuf, pengakuan harus dating dari seluruh ahli waris yang mengaku.

Page 54: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

39

yang menguatkan pengakuan tersebut atau diakui dua ahli waris dari pihak yang

mengaku.66

3. Melalui Pembuktian (al-Bayyinah)

Adapun alat bukti dalam hal menentukan nasab adalah berupa kesaksian.

Para ulama berbeda pendapat terkait jumlah saksi dalam perkara ini. Menurut

Imâm Abû Hanîfah dan Muhammad Bin Hasan, saksi harus berjumlah empat

orang yang teridri dari dua laki-laki dan dua perempuan.67 Menurut Mazhab

Mâlikî kesaksian dua orang laki-laki dianggap cukup, sementara menurut ulama

dari kalangan Mazhab Syâfi‘î dan Mazhab Hanbalî serta Abû Yusuf bahwa semua

ahli waris harus mengungkapkan kesaksian.68

Kemudian terkait pihak-pihak yang bisa di jadikan alat bukti dalam

penetapan nasab seseorang, hendaknya saksi itu bener-bener mengetahui keadaan

dan sejarah anak yang akan dinasabkan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulallah

SAW ketika itu mengatakan: “Apakah engkau melihat matahari?” leleki itu

menjawab: “Benar, saya melihat.” Kemudian Rasulallah SAW bersabda: “Apabila

sejelas matahari, silahkan kemukakan kesaksianmu. Tetapi apabila tidak

(demikian), maka jangan menjadi saksi”.69

4. Melalui Metode Kemiripan (al-Qiyâfah) dan Undian (al-Qur‘ah)

Cara selanjutnya yaitu melalui al-qiyâfah. Sebagaimana penjelasan di

awal sub pembahasan ini, metode al-qiyâfah adalah salah satu metode yang masih

66 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu…, h. 693. Lihat juga Ibnu ‘Âbidîn, Hâsyiyah

Radd al-Mukhtâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), jilid kedua, h. 546. 67 Syamsuddin al-Syarkhasî, al-Mabsût, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), cetakan pertama, jilid

kedelapan, h. 150. 68 Wahbah al-Zuhaylî, Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu…, h. 695. 69 Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hâkim yang berbunyi:

ثلها م مس؟" قال نعم قال "على ل : " ترى الش ال لرج م ق عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله علیه وسل

فشاهد أو دع ".Artinya: Dari Ibnu Abbas, Rasulallah SAW ketika itu mengatakan kepada lelaki: “Apakah engkau melihat

matahari?” leleki itu menjawab: “Benar, saya melihat.” Kemudian Rasulallah SAW bersabda: “Apabila

sejelas matahari, silahkan kemukakan kesaksianmu. Tetapi apabila tidak (demikian), maka jangan menjadi

saksi. Lihat Muhammad bin ‘Abdullah al-Hâkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrok alâ al-Sohîhain, (Beirut: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), nomor hadis 1402, jilid keempat, h. 240.

Page 55: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

40

diperselisihkan oleh para ulama. Untuk pembahasan metode penetapan nasab

melalui kemiripan atau al-qiyâfah ini akan dipaparkan lebih rinci dalam satu sub

bahasan tersendiri.

Selain al-qiyâfah, metode persengketaan nasab ini juga dikenal dengan

metode undian atau al-qur‘ah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa

undian ini dinilai sebagai cara dan upaya paling terakhir, ketika tidak bisa

ditempuh melalui pengakuan, pembuktian, atau perkiraan.70 Artinya, jika metode

al-qiyâfah dapat dilakukan, maka metode al-qiyâfah harus didahulukan dari al-

qur‘ah. Hal ini dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qayyim sendiri dalam kitab al-

Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah sebagai berikut:

71

Artinya: “Undian digunakan hanya pada saat di mana tidak ditemukan faktor

lain untuk dijadikan dasar pengadilan. Telah diketahui, metode al-qâfah

menjadi faktor yang menguatkan bukti, baik ia berstatus sebagai saksi,

hakim, atau mufti. Undian tidak dapat digunakan selama ada al-qâfah”.

Jadi selama masih bisa ditempuh dengan cara lain, metode penyelesaian

persengketaan nasab dengan undian ini harus dihindari, sebab cara ini bersifat

spekulatif yang jauh dari indikasi ke arah kebeneran, apalagi keilmiahan.

Adapun dalil yang berkenaan dengan metode undian ini adalah

sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

70 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma‘âd fī Hadyī Khair al-‘Ibâd…, h. 121. 71 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 616.

Page 56: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

41

72

Artinya: Dari Zaid bin Arqam, ‘Alî berkata ketika ada di Yaman pernah didatangi

tiga orang laki-laki yang sama-sama menyetubuhi seorang wanita dalam

satu kali masa suci, maka ‘Alî bertanya kepada dua orang di antara

mereka, apakah kalian berdua mengakui bayi ini? Mereka menjawab

tidak, sampai akhirnya ‘Alî bertanya kepada ketiga-tiganya, setiap kali

‘Alî bertanya dua orang di antara mereka, mereka selalu menjawab

tidak. Sehingga akhirnya ‘Alî mengundi mereka dan menasabkan anak

bayi tersebut dengan salah seorang yang mendapatkan undian tersebut

dan membebaninya 2/3 diyat. Zaid bin Arqam berkata bahwa hal ini

diceritakan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga beliau tertawa

sampai kelihatan gigi gerahamnya. (H.R Abû Dawûd)

Atas dasar hadis tersebut, Syekh Al-Syaukânî mengatakan bahwa jumhûr

ulama yang terdiri dari Imâm Mâlik, al-Syâfi‘î dan Ahmad bin Hanbal mengakui

secara mutlak adanya metode penetapan nasab melalui undian.73 Namun

demikian, Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah undian ini dinilai sebagai cara dan

upaya paling terakhir, ketika tidak bisa ditempuh dengan pengakuan, pembuktian,

72 Abû Daûd Sulaimân bin al-‘Asy‘ats al-Sajestânî, Sunan Abî Daûd, )Beirut: Dâr al-Risâlah al-

‘Âlamiyyah, 2009), nomor hadis 2272, jilid kedua, h. 248. 73 Muhammad al-Syaukânî, al-Durrî al-Mâdiyyah Syarh al-Ddurar al-Bahiyyah, (Beirut: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), jilid pertama, h. 220.

Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad al-Syaukanî atas dasar hadis Nabi Muhammad SAW:

ان ة في طهر واحد فسأل اثنوا على امرأ ن وقع الیم أتي علي رضي الله عنه بثلاثة وهو ب عن زيد بن أرقم قال ین أتقر

ف م ه نی ب ع ر ق أ ف ل ال لهذا بالولد ق ي ب لن ل ك ل ذ ر ك ذ ف ل اق ة ي الد ي ث ل ث ه ی ل ع ل ع ج و ة ع ر ق ال ه ی ل ع ت ر اص ي ذ ال ب د ل و ال ق ح ل أ

فضحك حتي بذت نواجذه. م ل س و ه ی ل ع ى الله ل ص Artinya: Dari Zaid bin Arqam, berkata ‘Alî, ketika ada di Yaman pernah didatangi tiga orang laki-laki yang

sama-sama menyetubuhi seorang wanita dalam satu kali masa suci. Maka ‘Alî bertanya kepada dua orang di

antara mereka, apakah kalian berdua mengakui bayi ini? Mereka menjawab tidak. Sampai akhirnya ‘Alî

bertanya kepad ketiga-tiganya. Setiap kali ‘Alî bertanya kepada dua orang di antara mereka, mereka selalu

menjawab tidak sehingga akhirnya akhirnya ‘Alî mengundi mereka dan menasabkan anak bayi tersebut

dengan salah seorang yang mendapatkan undian tersebut dan membebaninya 2/3 diyat. Zaid bin Arqam

berkata bahwa hal itu diceritakan kepada Nabi Saw sehingga beliau tertawa sampai kelihatan gigi

gerahamnya. Lihat Abû Daûd Sulaimân bin al-‘Asy‘ats al-Sajestânî, Sunan Abî Daûd, )Beirut: Dâr al-Risâlah

al-‘Alamiyyah, 2009), nomor hadis 2272, jilid kedua, h. 248.

Page 57: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

42

atau perkiraan,74 atau undian ini baru dilakukan ketika memang sudah tidak bisa

ditempuh melalui cara-cara lain seperti pengakuan, pembuktian dan qiyâfah.75

Jadi selama masih bisa ditempuh dengan metode lain, metode qur‘ah ini harus

dihindari. Sebab cara ini sangat bersifat spekulatif yang jauh dari indikasi kearah

kebenaran apalagi keilmiahan.

Dengan demikian sebagaimana dalam hal cara mendapatkan nasab

melalui al-qiyâfah, dalam masalah undian ini ulama golongan Hanafiyah dari

kelompok Hadawiyyah tidak sejalan dengan apa yang diyakini oleh jumhûr

ulama. Kedua golongan ulama tersebut bahkan berpendapat apabila kasus

persetubuhan terhadap seorang hamba sahaya wanita oleh beberapa lelaki dalam

masa suci, lalu ia hamil dan bayi itu diakui oleh beberapa lelaki yang

menggaulinya, maka bayi itu bisa bernasab kepada semua lelaki tersebut, bahkan

antara mereka saling mewarisi. Hal ini dinilai oleh Syekh Al-Syaukânî sebagai

pendapat yang aneh dan ganjil.76 Sebab kandungan hadis di atas sebagai

penegasan bahwa tidak mungkin seorang bayi mempunyai ayah kandung lebih

dari satu. Dalam dunia kedokteran, menurut ilmu embriologipun tampaknya tidak

mungkin terjadi, tidak mungkin bisa terjadi pembuahan campuran dari sperma

laki-laki dalam satu rahim seorang wanita. Oleh sebab itu, penulis sangat setuju

dengan pernyataan Al-Syaukânî dalam masalah ini.

Kemudian dalam hal ini, Khalîl Ahmad Al-Siharanfûrî secara tegas

menyatakan bahwa hadis di atas bertentangan dengan perinsip-perinsip agama.

Sebab ada kalanya wanita yang disetubuhi oleh tiga orang laki-laki secara

beramai-ramai itu bisa jadi budak bersama dan bisa jadi bukan budak mereka,

kalau memang status wanita itu sebagai budak mereka bertiga, maka semestinya

salah satu dari mereka tidak harus dikenai beban membayar 2/3 diyat, melainkan

74 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma‘ād fī Hadyī Khair al-‘Ibâd…, h. 121. 75 Syamsuddin al-Muqaddasah Abi Abdillah Muhammad bin Muflih, Kitab al-Furû‘, (t.t: Âlim

Kutub, t.th), jilid kelima, h. 535. 76 Muhammad Ali al-Syaukânî, Nail Al-Autâr min Asrâr Muntaqâ al-Akhbâr, (Saudi Arabia: Dâr

Ibnu al-Jauzî, 1427), h.79-80.

Page 58: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

43

2/3 dari harta hamba sahaya itu, sebab status wanita hamba sahaya tersebut

sebagai ummul walad bagi salah seorang di antara mereka secara khusus.

Sedangkan apabila wanita itu bukan sebagai hamba sahaya bagi laki-laki itu,

maka berarti persetubuhan yang mereka lakukan sebagai perzinaan sehingga

pengakuan dan gugatan nasab mereka tidak ada artinya sama sekali, karena zina

tidak mungkin bisa menimbulkan nasab. Oleh karenanya, ada yang berpendapat

bahwa hadis di atas telah dihapus dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran

hukum.77

Pernyataan terakhir yang menegaskan bahwa hadis di atas telah Mansûkh

atau dihapus bisa jadi benar, sebab asumsi seperti ini bisa dikuatkan bahwa

ternyata sekalipun Imâm Syâfi‘î pernah mengakui adanya metode undian ini,

tetapi terbatas pada fatwa-fatwa lama (al-qawl al-qadîm) ketika beliau masih di

Irak, bahwa Imâm Ahmad pun dalam salah satu riwayatnya pernah menyatakan

bahwa saya lebih menyukai hadis tentang al-qiyâfah dari pada hadis tentang al-

qur‘ah.

Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa penetapan nasab yang

bisa disepakati secara bulat hanyalah pada hubungan badan yang terjadi dalam

ikatan suami istri (al-firâsy al-Zaujiyyah), baik dalam pernikahan sah, fâsid, atau

hubungan syubhat. Adapun penetapan nasab melalui pengakuan, pembuktian,

kemiripan, dan undian tidak lepas dari perbedaan pendapat para ulama, apalagi

dua metode yang disebut terakhir ini, bahkan ditolak oleh golongan Hanafi, sebab

dinilai tidak sesuai dengan jiwa dan prinsip-prinsip dasar agama, khususnya hadis

tentang penetapan nasab melalui metode al-qur‘ah atau undian.

Dalam hal ini, penulis memandang, metode undian adalah metode yang

sesuai dalam syari‘at Islam. Akan tetapi jika ada cara yang lebih kuat dari metode

undian, maka metode ini harus dikesampingkan, sebab penetapan nasab tidak bisa

ditempuh dengan cara spekulasi.

77 Muhammad ‘Ali al-Syaukânî, Nail Al-Autâr min Asrâr Muntaqâ al-Akhbâr…, h.79

Page 59: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

44

E. Al-Qiyâfah Sebagai Metode Penetapan Nasab

1. Pengertian al-Qiyâfah

Secara etimologi, kata al-qiyâfah berasal dari bahasa Arab, ف ی ق ي – اف ق –

ث ر artinya adalah ,ق ی اف ة ,yaitu menelusuri jejak. Adapun secara terminologi ,إ ت ب اع ال

Ibnu Manzûr dan Al-Fayrûz Âbâdî menjelaskan al-qiyâfah adalah:

78

Artinya: Upaya menghubungkan nasab seseorang anak dengan bapak atau

kerabatnya atas dasar kemiripan di antara mereka, serta mengetahui

nasab seorang anak dengan melihat sifat, rupa, atau warna kulit antar

keduanya.

Menurut Wahbah al-Zuhaylî, al-qiyâfah adalah ث ر yaitu menelusuri ,ت ت ب ع ال

jejak. Adapun al-qâfah adalah:

79

Artinya: Al-Qâfah di kalangan arab adalah kelompok orang yang memiliki

kemampuan khusus terhadap perincian kemiripan manusia.

Para ulama termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sepakat bahwa metode

ini adalah metode yang sah dalam ajaran Islam, bahkan Nabi Muhammad SAW,

para sahabat, tâbi‘în dan tâbi‘u al-tâbi‘în turut serta dalam mempraktikkan al-

qiyâfah. Kemudian Al-Jurjâni menyebut pelaku al-qiyâfah dengan sebutan al-

qâ’if, seperti dijelaskan dalam kitab Mu‘jam al-Ta‘rîfât:

80

78 Ibnu Manzûr al-Ansârî, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Lisân al-‘Arob, 1968), jilid kesembilan, h.

293. Lihat juga Al-Fairûz Âbâdi, al-Qâmûs al-Muhît, (Mesir: Matba‘ah Bûlâq, 1272 H), jilid ketiga, h.194. 79 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), cetakan

pertama, jilid ketujuh, h. 680. Lihat juga Muhammad al-Zuhrî al-Ghamrâwî, al-Sirâj al-Wahhâj, (Beirut:

Dâr al-Fikr, t.th), h. 262. 80 ‘Alî bin Muhammad al-Jurjânî, Mu‘jam al-Ta‘rîfât, (al-Qâhirah: Dâr al-Fadîlah, t.th), jilid

pertama, h. 143.

Page 60: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

45

Artinya: Al-Qâ’if adalah seorang yang mengetahui nasab dengan firasat dan

penglihatan yang tajam dengan mendeteksi bagian-bagian tubuh anak

yang dilahirkan.

Dalam bahasa Indonesia, kata al-qiyâfah disebut dengan kemiripan atau

keserupaan. Kata “kemiripan” diambil dari kata “mirip”, berarti hampir sama atau

serupa. Sedangkan kemiripan, dengan adanya afiksasi (imbuhan) ke-an, berarti hal

(keadaan) yang mirip.81 Metode al-qiyâfah dapat menentukan hubungan nasab

dengan melihat hubungan keserupaan di antara dua orang ketika tidak ditemukan

qarȋnah (alat bukti) lain untuk menentukan nasab, sebab kemungkinan besar anak

serupa dengan ayahnya.

Metode ini digunakan untuk meneliti sejauh mana kemiripan seseorang

dengan yang dianggap mempunyai hubungan nasab dengan orang lain. Ibnu

Qayyim juga menyebutkan bahwa keputusan Rasulullah SAW dalam hal

pertentangan antara Sa‘ad bin Abî Waqâs dengan Abdullah bin Zam‘ah yang

mengklaim nasab seorang anak kepada masing-masing mereka, merupakan cara

Rasul dalam menjaga dua perkara secara sekaligus menjalankan dua dalil.82

Artinya, Rasul menetapkan nasab dengan cara al-firâsy (karena perkawinan) dan

dengan cara al-qiyâfah atau kemiripan.

2. Pandangan Ulama Tentang Penetapan Nasab Melalui Metode al-Qiyâfah

Cara penetapan nasab seperti ini dibenarkan berdasarkan hadis riwayat

Imâm al-Bukhârî dan Imâm Muslim sebagai berikut:

81 Tim Pustaka Phoenix, Kamus Basar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009),

cetakan ketiga, h. 361. 82 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd (Beirut: Mu’assasah al-

Risâlah, 1998), cetakan ketiga, jilid kelima, h. 368.

Page 61: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

46

Artinya: Dari ‘Âisyah, ia berkata, suatu hari Rasulallah SAW masuk ke rumahku

dalam keadaan gembira seraya berkata wahai Aisyah apakah kamu tahu

Mujazziz al-Mudallajî yang masuk dan melihat Zaid serta Usamah (anak

dan bapak), keduanya menutup kepalanya dengan sehelai kain, tetapi

kaki keduanya kelihatan, maka Mujazziz berkata: Sesungguhnya laki-laki

ini sebagiannya merupakan bagian dari yang lain. Maksudnya keduanya

adalah satu keturunan. (H.R. Muttafaq ‘Alaih/H.R. al-Bukhârî dan

Muslim).

Berkaitan dengan penafsiran di atas, Al-‘Atsqalânî dan Al-Baghâwî

mengatakan bahwa pada umumnya masyarakat ketika itu meragukan Usamah itu

benar-benar anak kandung Zaid, sebab Zaid mempunyai kulit putih sementara

Usâmah, anak kandungnya berkulit hitam legam. Kabar tentang keraguan

masyarakat ini sampai kepada Rasulallah SAW melalui Mujazziz al-Mudallajî

dan ketika itu sikap Rasulallah SAW justru bergembira, tidak mengelak dan tidak

menyangkal tentang kebenaran itu.84

Dengan peristiwa seperti ini para ulama berbeda pandangan terkait al-

qiyâfah, berikut perbedaannya:

a. Jumhûr ulama yang terdiri dari Imâm al-Syâfi‘î, Imâm Mâlik, Imâm Ahmad,

Abû Tsaur, dan al-Auzâ‘î menganggap bahwa al-qiyâfah bisa dibenarkan.

Argumentasi utama yang dijadikan sandaran oleh jumhûr ulama adalah sikap

83 Abu Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrahim al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Musnad al-Sahîh al-

Mukhtasar min Umûri Rasulillah Sallallâhu Alaihi Wasallama Wa Sunanihî Wa Ayyâmihi, Fî Fadhâ’il

Ashâbi al-Nabi, Bâb Manâqib Zaid bin Hâritsah, nomor hadis: 6771 (Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr, 2002) jilid

keenam, h. 105. Lihat juga Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Naysâburi, al-Jâmi‘ al-Shahîh

al-Musammâ Sahîh Muslim, Bab al-‘Amal Bi Ilhâq al-Qâ'if al-Walad, nomor hadis: 1459 (Riyad: Dâr

Tayyibah, 2006), cetakan. pertama, jilid kedua, h. 1081. 84 Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Atsqalânî, Fathu al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, (t.t: Maktabah

al-Salafiyyah, t.th), jilid kedua belas, h. 57. Lihat juga al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghâwî,

Syarh al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), cetakan pertama, jilid kelima, h. 204.

Page 62: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

47

ceria dan gembira Rasulallah SAW ketika mendengar cerita Mujazziz al-

Mudallajî, salah seorang ahli dalam bidang menelusuri nasab anak, tentang

Zaid bin Hâritsah dan Usâmah bin Zaid yang mana antara keduanya, bapak

dan anak sangat berlainan warna kulitnya. Keceriaan sikap Nabi SAW

sebagai dalil hukum tampaknya tidak bisa dipungkiri oleh jumhûr ulama,

karena di antara tiga kategori hadis Nabi adalah taqrîr, atau sikap Nabi yang

juga bisa dijadikan sebagai dalil dalam penetapan status hukum sesuatu.

b. Imâm Abû Hanîfah dan pengikutnya tidak menganggap al-qiyâfah sebagai

sandaran dalam menetapkan nasab. Alasan mereka karena penetapan nasab

melalui metode al-qiyâfah ini didasarkan atas prasangkaan belaka, bukan atas

dasar pengetahuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini

Rasulallah tidak pernah menentukan sesuatu keputusan hukum atas dasar

prasangkaan belaka.85 Pendapat Imâm Abû Hanîfah ini sangat ketat dan tegas.

Boleh jadi hal ini dikemukakan oleh beliau dalam rangka agar terjadi langkah

yang hati-hati dan supaya terdapat upaya pengetatan dalam masalah klaim

hubungan nasab antara anak dengan ayah kandungnya.

Perbedaan pendapat para ulama mengenai metode al-qiyâfah ini memang

cukup serius, hal ini terbukti bahwa Imâm Mâlik dalam salah satu pendapatnya

mengatakan bahwa metode al-qiyâfah ini hanya diberlakukan terhadap anak

hamba sahaya, bukan anak orang yang merdeka. Kemudian pernyataan ini

langsung dibantah oleh Ibnu Hazm seraya mengatakan bahwa hal ini tentu tidak

benar, karena kalau melihat kasus Usâmah dan Zaid yang diselidiki oleh Mujazziz

al-Mudallajî di atas berkaitan dengan anak yang statusnya merdeka bukan hamba

sahaya.86

85 ‘Alî bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm al-Andalûsî, al-Muhallâ bi al-Âtsâr, (Beirut: al-Maktabah

al-Tijârî, 1351), jilid kesembilan, h. 341. 86 ‘Alî bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm al-Andalusî, al-Muhallâ bi al-Âtsâr…, h. 341.

Page 63: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

48

Khalil Ahmad87 menjelaskan bahwa sikap gembira Rasulallah SAW di

atas mengandung dua pengertian, bisa jadi beliau merestui ucapan Mujazziz al-

Mudallajî sebagai seorang penelusur nasab yang merupakan ketentuan pasti

bahwa Usâmah memang benar-benar anak Zaid, atau sikap Nabi juga berarti

penolakan terhadap anggapan masyarakat jahiliyah yang berupaya membatalkan

nasab Usâmah kepada Zaid. Oleh sebab itu kemungkinan kedua inilah yang lebih

kuat. Beliau juga menguraikan bahwa metode al-qiyâfah ini justru menodai

risalah Nabi yang ajarannya didasarkan atas Wahyu Ilahi. Kalau sekiranya cara ini

memang disyari‘atkan, berarti pensyari‘atan li‘ân dalam Al-Qur’ân hanya sia-sia.

Karena dalam al-qiyâfah, aspek terpenting yang ditonjolkan hanya unsur

kesamaan antara anak dengan bapak atau saudara, sehingga kalau antara keduanya

ada kesamaan, maka jelas bahwa ketika suami melakukan li‘ân terhadap istrinya

dalam keadaan berdusta, yang akibatnya ia harus dihukum hadd karena menuduh

zina, tetapi kalau antara keduanya tidak ada kemiripan, maka berarti istri terbukti

berzina dan harus dikenai hukuman hadd zina.88

Terlepas dari kontradiksi interpretasi para ahli dalam melihat sikap

gembira Rasulallah sebagaimana dalam hadis, bagi jumhûr ulama al-qiyâfah tetap

dianggap sebagai salah satu cara menetapkan nasab anak kepada orang tuanya,

tepatnya ketika terjadi persengketaan nasab anak. Hal ini tentunya berlaku kalau

pihak yang bersangkutan terdiri dari dua orang.89

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa perbedaan

pendapat antara jumhûr ulama dan Imâm Abû Haniîfah tidak mungkin dapat

dikompromikan lagi. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi yang berbeda

dalam menganalisis sikap Nabi SAW ketika mendengar kabar dari Mujazziz al-

Mudallajî, yaitu salah seorang yang dianggap ahli dalam urusan kemiripan fisik

87 Ulama ahli Hadis dari India, beliau pernah menjabat sebagai Rektor di Universitas Mahazir al-

‘Ulûm, Saharnafur India. Dan beliau meninggal pada tahun 1326 H. 88 Khalîl Ahmad al-Siharanfûrî, Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.th) jilid kesembilan, h. 428-429. 89 Abdullah Muhammad bin Abdurrahman al-Magzî, Mawâhib al-Jalîl Li Syarh Mukhtasar

Khalîl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), jilid kelima, h. 247.

Page 64: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

49

tentang perbedaan warna kulit anatara Usâmah dengan bapaknya Zaid bin

Hâritsah.

Zaman sudah berbeda, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi (IPTEK), jika kasus tersebut terjadi di zaman modern seperti sekarang

ini, maka untuk memastikan kebenaran nasab tidak lagi membutuhkan ahli

penelusur nasab (al-qâ’if), melainkan dengan bantuan dokter ahli melalui tes

laboratoriumnya tentang kesesuaian darah atau tes DNA antara anak dengan orang

tuanya, sehingga dapat dipastikan apakah bayi tersbut benar-benar anak

kandungnya atau bukan. Maka dalam hal ini, penulis menganggap bahwa tes

DNA lebih kuat dari al-qiyâfah. Untuk lebih jelasnya, pembahasan tes DNA

secara rinci akan dipaparkan pada sub bahasan di bawah ini.

F. Tes DNA Dalam Mengetahui Hubungan Nasab

1. Pengertian DNA

Secara etimologi, Deoxyribo Nucleid Acid (DNA) tersusun dari kata-kata

“deocyribosa” yang berarti gula pentosa, “nucleid” yang lebih dikenal dengan

nukleat berasal dari kata “nucleus” yang berarti inti, serta “acid” yang berarti zat

asam. Secara terminologi DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling

penting, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk

dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.90

Dalam bahasa Arab, DNA dikenal dengan istilah ا ل ب ص م ة ال و ر اث ی ة ”al-

Basmat al-Wirâtsiyyah”. Syekh Wahbah al-Zuhaylî dalam kitab al-Basmah al-

Wirâtsiyyah wa Majâlâtu al-Istifâdah Minhâ menjelaskan:

90 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif,

(Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), h. 86.

Page 65: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

50

91

Artinya: Materi genetik yang dapat membawa karakteristik dan sifat-sifat

tertentu, yang ditemukan dalam sel semua makhluk hidup.

Menurut Syekh Sa‘du al-Dîn Sa‘ad Hilâli, DNA atau ”al-Basmah al-

Wirâtsiyah” adalah:

92

Artinya: Jejak yang ditularkan dari orang tua kepada anak-anaknya atau

ketetapan sifat yang ditransmisikan dari satu organisme ke cabangnya,

sesuai dengan undang-undang khusus yang dapat dipelajari.

Menurut Fatchiyah, DNA adalah bahan kimia utama yang berfungsi

sebagai penyusun gen93 yang menjadi unit penurunan sifat (hereditas) dari induk

kepada keturunannya.94 H.M. Nurchalis Bakry berpendapat bahwa di dalam

DNA lah terkandung informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan

mengatur program keturunan selanjutnya. Hal yang sama dikemukakan oleh

Aisjah Girindra bahwa asam nukleat95 atau yang biasa dikenal dengan DNA itu

91 Wahbah al-Zuhaylî, al-Basmah al-Wirâtsiyah wa Majâlâtu al-Istifâdah Minhâ, (Makkah:

Mujamma‘ al-Fiqhi al-Islâmî, t.th), h. 5. 92 Sa‘du al-Dîn Sa‘ad Hilâli, al-Basmah al-Wirâtsiyah wa ‘Alâ’ikuhâ al-Syar‘iyyah (Dirâsah

Fiqhiyyah Muqâranah), (Kuwait: Majlis al-Nasr al-‘Ilmî, 2001), h. 25. 93 Fatchiyah, Molecular Genetics, Artikel diakses dari http://fatchiyah.lecture.ub.ac.id/teaching-

responsibility/general/ “Gen adalah keseluruhan sekuen asal nukleat yang dapat ditranskrip menjadi RNA

fungsional dan protein, pada waktu dan tempat yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan

organisme”. 94 Paul Strathem Crick, Watson dan DNA, alih bahasa Fransisca Petrajani, (Jakarta: P.T. Erlangga

2003), h. 3-31. Keterangan saling melengkapi lihat Achmad Baiquni. Al-Qur’ân dan Ilmi Pengetahuan

Kealaman, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 190, Tim Perumus Fakultas Teknik Umi

Jakarta, al-Islam dan Iptek, (Jakarta:PT.Grafindo Persada, 1988), h. 267-268. 95 Wikipedia, Asam Nukleat, Halaman ini terakhir diubah pada 5 November 2018 dari:

https://id.wikipedia.org/wiki/Asam_nukleat. Asam nukleat: macro bio molekul kimia yang kompleks,

berbobot molekul tinggi, dan tersusun atas rantai nukleotida yang mengandung informasi genetik.

Page 66: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

51

bertugas untuk menyimpan dan mentransfer informasi genetik, kemudian

menerjemahkan informasi ini secara tepat.96

Menurut Dadan Rosana, dalam modul perkuliahan yang berjudul:

“Struktur dan Fungsi DNA dan RNA”, beliau menyatakan DNA merupakan

makro molekul berupa benang sangat panjang yang terbentuk dari sejumlah besar

deoksiribonukleotida, yang masing-masing tersusun dari satu basa, satu gula dan

satu gugus fosfat. Beliau menambahkan, ibarat suatu tubuh, maka DNA

diibaratkan sebagai otak yang dapat mengatur segala proses di dalam tubuh. Di

samping itu, DNA juga mempunyai peran penting dalam pewarisan sifat. Tugas

utamanya adalah membawa materi genetik dari suatu generasi ke generasi

berikutnya.97

Menurut Kreitzman, DNA sering dibandingkan dengan satu set cetak

biru atau resep, atau kode, karena berisi instruksi yang dibutuhkan untuk

membangun komponen lain dari sel, seperti protein dan molekul RNA. Segmen

DNA yang membawa informasi genetik ini disebut gen, tetapi urutan DNA lain

yang memiliki tujuan struktural, atau terlibat dalam mengatur penggunaan

informasi genetik. DNA dapat mereplikasi yaitu membentuk salinan dirinya

sendiri.98 Kreitzman menambahkan bahwa DNA di tubuh manusia tersusun dalam

paket yang disebut kromosom. Kromosom di sini juga tersusun dalam segmen-

segmen pendek DNA yang disebut gen. Bila DNA adalah buku resep, maka setiap

gen adalah resepnya. Resep ini memberitahu sel-sel bagaimana menjalankan

fungsi dan mengekspresikan sifat tertentu.99

96 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 86-87. 97 Dadan Rosana, Struktur dan Fungsi DNA dan RNA, (Modul 3, tentang Boifisika), Artikel

diakses pada tanggal 15 Agustus 2017 dari:

https://www.google.co.id/search?q=pengertian%20DNA%20pdf&gws_rd=ssl#

98 Stephen N. Kreitzman, Ilmu Pengetahuan Populer (Ilmu Fisika, Biologi Umum), (Jakarta:

Widyadara Grolier International, 2001), h. 75. 99 Stephen N. Kreitzman, Ilmu Pengetahuan Populer…, h. 75.

Page 67: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

52

Menurut Steve olson, DNA adalah materi genetis dari semua organisme

yang hidup, yang mengontrol faktor-faktor keturunan. DNA ini terletak di dalam

nucleus (inti sel). DNA yang tergulung mampat ini terdiri atas dua helai yang

dihubungkan dengan “nucleotide atau bases” dalam ikatan hydrogen, sehingga

menyerupai anak tangga (double helix). Bases ini terdiri dari Adenine

(A)100, Cytosine (C)101, Guanine (G)102 dan Thymine (T)103. Informasi genetis

DNA ini terdapat rangkaian nucleotide sepanjang molekulnya. Perubahan dalam

DNA ini bisa menyebabkan terganggu fungsi sel, DNA ini bisa mempunyai

rangkaian yang sama persis dengan induknya.104

Steve Olson, penulis sains terkemuka saat ini mengartikan DNA

(deoxyribonucleic acid) manusia sebagai suatu molekul panjang klan kompleks

yang meneruskan informasi genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya,

membawa jejak sejarah manusia yang tak mungkin terhapus.105 Asam deoksi-

ribonucleat (DNA) dapat juga dipahami sebagai suatu senyawa kimiawi yang

membentuk kromosom,106 dimana kromosom tersebut terdapat bagian yang

mendikte suatu sifat khusus yang disebut dengan Gen.107 Adapun unit terkecil

pembawa setiap informasi genetik yang disebut dengan gen, yang besarnya sangat

bervariasi tergantung dari jenis informasi yang dibawa untuk mengkode suatu

protein. Dengan demikian maka dapat diambil pengertian bahwa DNA adalah

susunan kimia makro molekular yang terdiri dari tiga macam molekul, yaitu: gula

100 www.wikipedia.org, Adenin: salah satu dari dua basa ( basa adalah senyawa yang memiliki

pH lebih besar dari 7) N purin yang digunakan dalam membentuk nukleotida dari asam nukleat DNA dan

RNA. 101 www.wikipedia.org, Cytosine: salah satu dari dua basa N pirimidin yang dimiliki DNA dan

RNA. 102 www.wikipedia.org, Guanine: salah satu dari dua basa N purun yang menyusun DNA dan

RNA. 103 www.wikipedia.org, Thymine: salah satu dari dua basa N pirimidin yang menyusun DNA.

104 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia, (Jakarta: Serambi,

2005), h. 87-88. 105 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia…, h. 41. 106 Organisasi.org, Artikel diakses pada 17 Desember 2017 dari:

http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-kromosom-jumlah-kromosom-pada-manusia-hewan-dan-

tumbuhan.html#.XaB1SEYzbIU. 107 http://www.warta.unair.ac.id/fokus/index.php?id=150

Page 68: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

53

pentose, asam fosfat, dan basa nitrogen, yang sebagian besar terdapat dalam

nukleus hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya.108

2. Sejarah Perkembangan DNA (Deoxyribo Nucleid Acid)

Keberadaan DNA sangatlah erat hubungannya dengan ilmu di bidang

biologi yang sampai sekarang pengembangannya tetap dilakukan oleh para ahli.

Seiring perkembangannya, saat ini tidak lagi terbatas untuk keperluan di bidang

biologi, akan tetapi telah dimanfaatkan oleh keilmuan lain seperti perindustrian,

pertanian, farmasi, ilmu forensik dan bidang keilmuan lainnya. Suatu kemajuan

ilmiah pada tahun 1869, ketika Friederich Miescher, seorang ahli kimia

berkebangsaan Swiss dapat mengisolir molekul DNA dari sel spermatozoa109 dan

dari nucleus sel-sel darah merah burung. Ia mengemukakan bahwa nucleus sel

tidak terdiri dari karbohidrat, protein ataupun lemak, melainkan juga terdiri dari

zat yang mempunyai kandungan fosfor yang sangat tinggi. Oleh karena zat itu

terdapat dalam nucleus sel, maka zat itu disebut nuklein dan nama ini kemudian

lebih dikenal dengan asam nuklet dikarenakan asam juga ikut menyusunnya.

Asam nukleat ini terdiri dari dua tipe, yaitu asam deoksiribonukleat

(deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA) dan asam ribonucleat (ribonucleid

acid atau disingkat RNA).110

Perkembangan yang terjadi setelah penelitian yang dilakukan oleh

Meischer tidak langsung mendapat tanggapan yang begitu antusias dari para

ilmuwan lainnya. Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Fischer pada tahun

1880 yang mana dalam penelitiannya mengemukakan adanya zat-zat Pirimidin

dan Purin di dalam asam nukleat. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Fischer

ini kemudian dikembangkan kembali oleh Albrech Kossel yang menemukan

108 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia…, h. 41. 109 www.kidzworld.com, “Sel spermatozoa adalah sel reproduksi yang dimiliki olel laki-laki”. 110 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 89. Lihat juga Suryo, Sejarah Penemuan DNA (Deoxyriboncliec Acid), Artikel diakses pada

tanggal 19 Januari 2018 dari: http://www.referensimakalah.com/2013/01/sejarah-penemuan-

DNAdeoxyribonucleic-acid.html.

Page 69: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

54

adanya dua pirimidin berupa sitosin dan timin, dan dua purin yaitu adenin dan

guanin di dalam asam nukleat. Dengan penemuannya ini, Kossel memperoleh

hadiah Nobel pada tahun 1910.111

Penelitian hal yang sama juga dikembangkan lagi oleh Levine, seorang

ahli biokimia kelahiran Rusia yang menemukan gula lima karbon ribose dan

kemudian menemukan gula deoksiribose di dalam asam nukleat. Ia juga

menyatakan adanya asam fosfat dalam asam nukleat. Penelitian mengenai DNA

ternyata terus berlanjut, pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Robert

Feulgen pada tahun 1914 yang mengemukakan tes warna yang dilakukannya

terhadap DNA yang kemudian penelitiannya ini dikenal di kalangan biologi

dengan istilah reaksi Feulgen. Pada tahun 1944, Avery, MacLeod dan McCarthy

mengemukakan bahwa DNA mempunyai hubungan langsung dengan keturunan.

Meskipun pada rentang waktu yang jauh sebelumnya, Mendel (1860) juga telah

mengemukakan bahwa hereditas itu dipindahkan melalui sel telur dan sperma,

meskipun belum mengemukakan secara langsung bahwa DNA juga ikut

dipindahkan melalui dua bibit penting itu. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh

Edwin Chargaff pada tahun 1947 yang mengemukakan bahwa DNA terdiri dari

bagian yang sama dari basa purin dan pirimidin serta adenin dan timin terdapat

dalam proporsi yang sama dan begitu juga halnya dengan sitosin dan guanin.112

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Maurice Wilkins yang

menggunakan difraksi sinar X dalam mempelajari struktur protein dengan metode

kristalografi. Dalam penemuannya mengemukakan bahwa basa-basa purin dan

pirimidin dalam molekul DNA terletak dalam jarak 3,4 Å (1 angström = 0,001

mikron = 0,000001 mm) mereka juga mengemukakan bahwa molekul DNA

111 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 89. 112 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 90.

Page 70: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

55

itu tidak berbentuk sebagai garis lurus, akan tetapi berpilin sebagai spiral dan

setiap 3Å merupakan satu spiral penuh.113

Dari penelitian ini, penemuan yang cukup besar dilanjutkan oleh James

Watson yang berkebangsaan Amerika dan Francis Crick yang berkebangsaan

Inggris menemukan struktur double helix dari susunan DNA. Keduanya membuat

ini berdasarkan hasil foto dengan metode kristalografi sinar X yang mereka ambil

dari laboratorium Maurice Wilkins yang dibantu oleh Rosalind Franklin.114

Kebenaran dari teori double helix yang dikemukakan oleh Watson dan Crick ini

diperkuat oleh Kornberg yang membuat molekul DNA dalam sistem sel bebas.

Sebagai bahan genetik yang lengkap, DNA dipergunakan dalam ilmu kedokteran

kehakiman pada tahun 1960-an sekitar tujuh tahun setelah penemuan Watson dan

Crick yang pertama kali diterapkan di Inggris.115

Seiring dengan bergulirnya waktu, perkembangan DNA sebagai suatu

penemuan besar tidak lagi terbatas hanya sekedar sebagai sebuah pita informasi,

akan tetapi pada saat ini telah jauh berkembang dengan sangat pesat. Penemuan-

penemuan dari generasi ke generasi semakin melengkapi dan memberikan

manfaat baru.

3. Struktur Kimia DNA

DNA merupakan senyawa organik yang memiliki berat molekul (BM)

paling besar dari semua senyawa organik (kurang lebih berjumlah 1 juta) yang

ditemukan dalam kromatin inti sel (>99%) dan dua organel sitoplasma (<1%)

mitokondria dan plastid (kloroplas).116 Dalam keadaan natural DNA terletak

berpasangan yang mana kedua utas yang berpasangan itu memiliki ikatan

113 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 99. 114 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 91. 115 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 92. 116 Wildan Yatim, Kamus Biologi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 315.

Page 71: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

56

hydrogen lewat basanya dan perpasangan kedua utas tersebut bersifat tetap, di

mana A (adenin) berpasangan dengan T (timin) sedangkan G (guanin)

berpasangan dengan C (citosin).117 Asam nukleat tersusun atas nukleotida, yang

bila terurai terdiri dari gula, pospat dan basa yang mengandung nitrogen. Karena

banyaknya nukleotida yang menyusun molekul DNA, maka molekul DNA

merupakan suatu polinukleotida. Molekul yang menyusun DNA itu terdiri dari:118

a. Gula pentosa. Molekul gula yang menyusun DNA adalah sebuah pentosa

yaitu deoksiribosa.

b. Asam Fosfat.

c. Basa nitrogen. Basa nitrogen yang menyusun molekul DNA terdiri atas dua

tipe yang dibedakan menjadi:

1) Pirimidin, basa ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu sitosin yang

dilambangkan dengan (S) dan timin yang dilambangkan dengan (T).

2) Purin, basa ini juga dibedakan menjadi dua yaitu yang terdiri dari adenin

dilambangkan dengan (A) dan guanine yang dilambangkan dengan (G).

Dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Watson dan Crick pada

tahun 1953 menyimpulkan bahwa utas double berbentuk spiral adalah bentuk

molekul DNA secara kebanyakan merupakan deretan gula deoksiribosa dan fosfat

menyusun pita spiral dan merupakan tulang punggung dari molekul DNA.

Berdasarkan model DNA yang dikemukakan oleh Watson dan Crick, maka satu

spiral penuh atau perputaran 360° mengandung 10 basa yang mana jarak antara

satu basa dengan basa lainnya adalah 3,4 Å serta lebar molekul DNA sepanjang

double helix adalah tetap yaitu 20 Å.119

117 Wildan Yatim, Kamus Biologi…, h. 315. 118 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 96. 119 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 97.

Page 72: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

57

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chargaff,120 dikemukakan bahwa

komposisi DNA berbeda-beda antara satu spesies dengan spesies lainnya. Dalam

DNA dari spesies apapun, jumlah DNA tidaklah sama akan tetapi hadir dalam

rasio yang khas. Melalui hidrolisis DNA bahwa pada berbagai makhluk ternyata

banyaknya adenin selalu kira-kira sama dengan banyaknya timin. Dan demikian

juga dengan sitosin dan guanin. Dengan kata lain, dari penelitian Chargaff

menyatakan bahwa perbandingan A/T dan G/C selalu mendekati satu.121 Semua

DNA dalam sel yang ada pada makhluk hidup, keberadaan antara pospat dan gula

adalah sama, namun hanya jumlah basa yang membedakan. Keberadaan DNA

berfungsi sebagai pengatur kehidupan sel dalam tubuh melalui dua proses yaitu

replikasi yang berarti penggandaan da transkripsi yang berarti mencetak.

Replikasi adalah untuk pembiakkan dan pembelahan sementara transkripsi

berguna untuk mensintesa protein.122

4. Bentuk Identifikasi DNA

Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1) tujuan pribadi

seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak dan (2)

tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang

telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan pencocokan

antara DNA korban dengan keluarga korban. Begitupula dengan pembuktian

kasus kejahatan pemerkosaan atau pembunuhan. Hampir semua sampel biologis

dari tubuh dapat digunakan sebagai sampel tes DNA. Namun, yang umum

digunakan dalam melakukan tes DNA adalah darah, rambut, usapan mulut pada

pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Namun untuk kebutuhan forensik

yang digunakan adalah sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis

120 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 99. 121 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 101. 122 Wildan Yatim, Kamus Biologi…, h. 317.

Page 73: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

58

apa saja yang dapat ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) untuk dijadikan

sebagai sampel untuk tes DNA.123

DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria

dan DNA inti sel. Perbedaan kedua DNA ini terletak hanya pada lokasi DNA

tersebut di dalam sel, yang satu terdapat dalam mitokondria dan disebut sebagai

DNA mitokondria dan satunya terdapat dalam inti sel sehingga disebut DNA inti

sel. Sampel yang biasanya digunakan adalah DNA inti sel karena sampel DNA

inti sel tidak pernah berubah dan hasil yang diperolah lebih akurat. Sedangkan

DNA mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang

dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya.124

5. Tes DNA dalam Mengetahui Hubungan Darah dan Pewarisan Sifat

Kemiripan

Sebagaimana telah diuraikan dalam pengertian dan perkembangan

sejarah DNA, bahwa orang tua akan menurunkan sifat-sifat fisiknya kepada anak-

anaknya. Pewarisan sifat fisik ini melalui DNA yang terdapat pada orang tua,

karena DNA itu sendiri berfungsi (telah disebutkan sebelumnya) dalam pewarisan

sifat atau hereditas. Namun demikian, penggunaan tes DNA sebagai alat bukti

dalam perkara pembuktian adanya hubungan nasab merupakan sesuatu yang baru

dalam hukum Islam. Dikatakan baru karena ulama-ulama fikih terdahulu sama

sekali tidak membahas permasalahan ini, yang ada hanyalah metode al-qiyâfah

yang dilakukan oleh para ahli dalam mencari titik temu kemiripan seseorang

dengan orang lain yang dianggap memiliki keterikatan hubungan darah, hal ini

seperti telah dipaparkan sebelumnya.

Dalam istilah fikih, penggunaan tes DNA sebagai metode penetapan

nasab dapat dikatakan belum pernah dilakukan. Mengingat, tes DNA ini sendiri

123 www.klipp21.com 124 www.klipp21.com

Page 74: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

59

sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.125

Pemanfaatan teknologi DNA dalam bidang hukum dapat saja dilakukan dalam

ranah penemuan-penemuan hukum baru dalam Islam. Salah satunya dimanfaatkan

dalam menentukan nasab seseorang yang belum jelas, terhadap orang lain yang

diperkirakan memiliki hubungan nasab dengannnya.

Di Aceh, tes DNA telah masuk dalam satu regulasi atau qanun terkait

penentuan nasab anak hasil zina. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal

44 ayat (1), (2), dan ayat (3) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum

Jinayat, yang berbunyi:

“(1). Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,126

dalam keadaan hamil, hakim menunda pelaksanaan ‘Uqubat hingga

pemohon melahirkan dan berada dalam kondisi yang sehat. (2). Pemohon

yang menyebutkan nama pasangan zinanya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 42,127 yang sedang dalam keadaan hamil dapat membuktikan

tuduhannya melalui tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dari bayi yang

dilahirkannya. (3). Hasil tes DNA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

125 James Watson merupakan penemu struktur DNA pertama, yaitu pada tahun 1940. Ilmuan ini

tercatat sebagai orang pertama yang mememiliki peta genom DNA tubuhnya sendiri. Lihat dalam Ayu

Rahmah Bakrie, Sejarah Penemuan DNA, Struktur Nukleotida, Sertifikasi DNA. Artikel diakses pada tanggal

26 Desember 2017 dari: https://www.scribd.com/doc/312121901/Sejarah-Penemuan-Dna-Struktur-

Nukleotida-Sertifikasi-Dna. 126 Pasal 43 Qanun Jinayat berbunyi: (1) “Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 40 dan Pasal 42 menyebutkan nama orang yang menjadi pasangannya melakukan Zina, hakim akan

memanggil orang yang disebutkan namanya tersebut untuk diperiksa di persidangan”. (2) “Dalam hal orang

yang disebutkan namanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkal, pemohon wajib menghadirkan

paling kurang 4 (empat) orang saksi yang melihat perbuatan Zina tersebut benar telah terjadi”. (3) “Dalam hal

orang yang disebutkan namanya sebagai pasangan Zina mengakui atau pemohon dapat menghadirkan paling

kurang 4 (empat) orang saksi, pemohon dan pasangannya dianggap terbukti melakukan Zina”. (4) “Dalam hal

pemohon tidak dapat menghadirkan paling kurang 4 (empat) orang saksi, pemohon dianggap terbukti

melakukan Qadzaf. 127 Pasal 42 Qanun Jinayat berbunyi: (1) “Setiap Orang yang mengaku telah melakukan Zina di

tempat terbuka atau secara terbuka, secara lisan atau tertulis, dianggap telah melakukan permohonan untuk

dijatuhi ‘Uqubat Hudud”. (2) “Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicabut”. (3)

“Penyidik akan memeriksa orang tersebut untuk membuktikan bahwa pengakuan tersebut betul-betul telah

diberikan”. (4) “Penyidik tidak perlu mengetahui siapa yang menjadi pasangannya melakukan Zina”. (5)

“Penyidik akan mengajukan tersangka ke Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota setelah mendapat bukti

bahwa pengakuan tersebut benar telah diberikan”. (6) “Hakim akan menjatuhkan ‘Uqubat sebagaimana yang

ditetapkan dalam Pasal 33, apabila pengakuan tersebut terbukti telah diucapkan/disampaikan”. (7) “Setelah

penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hakim dapat memerintahkan penahanan pemohon untuk pelaksanaan ‘Uqubat.

Page 75: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

60

menggantikan kewajiban pemohon untuk menghadirkan 4 (empat) orang

saksi”.

Berdasarkan bunyi Pasal di atas, dapat dipahami tes DNA dapat dijadikan

dalam menetapkan hubungan nasab seseorang, khususnya (sebagaimana maksud

Pasal 44) nasab seorang bayi yang dilahirkan akibat hubungan zina, dan tes DNA

ini dijadikan sebagai pengganti untuk menghadirkan empat orang saksi. Ini

artinya tes DNA bisa dimanfaatkan dalam menetapkan hubungan nasab seseorang.

Sedangkan untuk pewarisan sifat kemiripan antara seseorang dengan orang lain

yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan sudah barang tentu dapat

dilakukan dengan tes DNA, karena fungsi DNA sendiri yaitu untuk mewariskan

sifat-sifat kemiripan antara orang tua dengan anak.

Bahruddin Muhammad menegaskan, penggunaan tes DNA dalam suatu

pembuktian sering dilakukan baik pada kasus pidana maupun perdata ataupun

diluar hukum seperti mengidentifikasi korban kebakaran yang sudah hangus dan

lain-lain. Kasus pembuktian nasab dalam kasus perkara perdata telah dilakukan

terhadap Machica Muchtar terhadap anaknya Muhammad Iqbal dengan suaminya

Murdiono. Identifikasi dengan tes DNA menjadi relevan, akurat dan penting

dalam pembuktian nasab. Contoh kasus lainnya yaitu yang terjadi di Semarang,

seorang yang bernama Andaryoko Wisnu Prabu mengaku sebagai sosok

Supriyadi. Pengakuan tersebut menggemparkan para peneliti sejarah, karena

mereka meyakini bahwa Supriyadi sudah meninggal. Berdasarkan pengakuannya

ini Andaryoko Wisnu Prabu ditantang oleh pihak keluarga Supriyadi untuk

melalukan tes DNA, untuk menyamakan sama atau tidaknya antara DNA

Andaryoko dengan DNA pihak keluarga Supriyadi. Menurut Dr. Herawati

Sudoyo dan Dr. Helena Suryadi, menyatakan bahwa hasil tes DNA adalah 100%

akurat bila dikerjakan dengan benar.128

128 Bahruddin Muhammad, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi Al-

Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman)”, Artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2010

pada: https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/reaktualisasi-hukum-pembuktian-nasab-

berbasis-teknologi-al-qiyafah-oleh-dr-h-bahruddin-muhammad-sh-mh-101.

Page 76: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

61

Berdasarkan kasus-kasus yang telah disebutkan, tes DNA dapat dijadikan

alat yang membantu dalam menetapkan nasab seseorang. Penetapan asal-usul

anak sangatlah penting, karena ada tidaknya nasab akan berpengaruh pada ada

tidaknya hubungan waris, nafkah, perwalian dan hadanah dan lain-lain. Tes DNA

sebagaimana telah disebutkan oleh para ahli tersebut, secara akurat dapat

membuktikan nasab seseorang. Penetapan nasab melalui tes DNA ini sendiri tentu

dilakukan jika ada kasus tentang penyangkalan nasab. Untuk itu, tes DNA sangat

diperlukan.

Dalam hubungannya dengan penetapan nasab, tes DNA menurut penulis

sangat relevan dengan metode al-qiyâfah, meskipun prosesnya lebih sederhana

dibandingkan dengan tes DNA yang prosesnya lebih rumit. Relevansi penetapan

nasab antara tes DNA dengan metode al-qiyâfah ini terletak pada usaha dalam

mencari sifat-sifat kemiripan antara seseorang dengan orang lain yang

dimungkinkan ada hubungan nasabnya. Untuk mengetahui sifat keserupaan dan

kemiripan ini dalam lapangan teknologi dewasa ini hanya dapat dilakukan dengan

tes DNA. Untuk itu, pada pembahasan selanjutkan akan di bahas dan ditelaah

tentang metode al-qiyâfah yang dirumuskan langsung oleh Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah dan relevansinya dengan penetapan nasab melalui tes DNA.

Page 77: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

62

BAB III

METODE PENETAPAN NASAB MENURUT IBNU QAYYIM

AL-JAUZIYYAH DALAM KITAB AL-TURUQ AL-

HUKMIYYAH FÎ AL-SIYÂSAH AL-SYAR‘IYYAH

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan sosok ulama ahli fikih dan hadis,

mungkin kebanyakan dari kita cukup asing dengan nama beliah, bahkan ada yang

menyamakan dengan seorang ulama yang bernama Ibnu al-Jauzî, yang disebabkan

karena faktor kemiripan nama antar keduanya. Pada kenyataanya jelas berbeda,

karena nama asli Ibnu al-Jauzî adalah Abdurrahman bin ‘Alî al-Qurasyî dan wafat

pada tahun 597 H, sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Syamsuddîn Abû

Abdillah Muhammad bin Abî Bakr yang wafat pada tahun 751 H. Dalam bab III

ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan gambaran tentang

riwayat hidup Ibnu Qayyim al-Jauziyyah serta pandangannya tentang metode al-

qiyâfah dalam menetapkan nasab.

A. Profil Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Secara lengkap, nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Syamsuddîn

Abû ‘Abdillah Muhammad bin Abî Bakr bin Ayyûb bin Sa‘d bin Hâris al-Zar‘î1

al-Dimasyqî al-Hanbalî al-Faqîh al-Usûlî al-Mufassir al-Nahwî al-‘Âris. Beliau

bergelar Syamsuddîn. Abû Abdillah merupakan nama panggilan akrabnya.

Namun beliau lebih popular sebagai intelektual muslim dengan nama Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah.2

1 Al-Zar‘î dinisbatkan pada nama sebuah Desa di Hauran, tepatnya di kota Syam yang sampai saat

ini masih tetap bernama desa al-Azra’. Lihat Muhammad bin Abî Bakr Ayyûb al-Zar î‘ Abû Abdillah, Al-

Fawâ’id (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1973), cetakan kedua, h. 111. 2 Problematika soal nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sering disamakan dengan seorang ulama

bernama Ibnu al-Jauzi yang disebabkan karena faktor kemiripan nama. Seringkali banyak orang yang

menyamakan antar keduanya. Padahal nama asli Ibnu al-Jauzî adalah Abdurrahman bin ‘Alî al-Qurasyî

(wafat pada tahun 597 H). Beliau adalah ulama pengikut Mazhab Hanbalî. Banyak karya yang dihasilkan dari

pemikirannya, namun dari sekian pemikiranya ada beberapa masalah yang beliau tidak mengikuti metode

yang diajarkan oleh gurunya yakni Imâm Hanbalî, karena beliau menggunakan metode ta’wîl. Hal tersebut

Page 78: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

63

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah lahir di Damaskus pada 7 pada bulan Safar

tahun 691 H, tepatnya tanggal 29 Januari tahun 1292 M.3 Beliau adalah seorang

ahli fikih bermazhab Hanbali. Di samping itu juga seorang ahli tafsir, ahli hadis,

penghafal Al-Qur’an, ahli ilmu nahwu, usûl, ilmu kalâm, tasawwuf sekaligus

seorang mujtahid. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka bernama Syekh al-

Sâlih al-‘Âbîd al-Nâsik Abû Bakar bin Ayyûb al-Zur‘î. Ayahnya berprofesi

sebagai kepala sekolah “Al-Jauziyyah” di Damaskus (Ibu Kota Suriah) selama

beberapa periode. Kemudian ayahnya mendapat gelar khusus dari masyarakat

yakni “Qayyim al-Jauziyyah” yang berarti kepala sekolah al-Jauziyyah atau

penjaga sekolah al-Jauziyyah. Secara otomatis pasca penyematan gelar tersebut

pada ayahnya akhirnya nama popular bagi seorang Syamsuddîn adalah Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah yang berarti anak dari Qayyim al-Jauziyyah.4

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan salah seorang yang semangat dan

rajin dalam menuntut ilmu agama. Beliau banyak menuntut ilmu dari beberapa

ulama terkemuka, salah satu guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri. Beliau

berusaha meraih berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, sehingga keinginan

tersebut terwujud dengan jadinya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sebagai seorang yang

sangat kompeten pada setiap cabang ilmu agama.5 Beliau merupakan anak yang

mahir dalam hal ilmu yang melampaui teman-teman seperguruannya, di samping

itu beliau termasyhur di segenap penjuru dunia dan sangat dalam pengetahuannya

tentang mazhab-mazhab ulama salaf.

yang semakin memberikan cela perbedaan antara Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang dalam metodologinya

menempuh metode ulama salaf. Banyak karya Ibnu al-Jauzî yang dinisbatkan kepada Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah, di antaranya adalah kitab Daf‘u Syubah al-Tasybîh bi Akkafi al-Tanzîh dan kitab Akhbâr an-Nisâ’.

Lihat Muhammad bin Abû Bakr bin Ayyûb bin Sa‘ad bin Hâris az-Zar‘î al-Damasyqî al-Hambalî. Al-Jawâb

al-Kâfi Liman Sâla ‘Ani al-Dawâ al-Syâfi aw al-Dâ’i wa al-Dawwâ’i (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah,

1417 H.), h. 8. 3 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kasyfu al-Ghitâ’ ‘an Hukmi Sama‘ al-Ghina, diterjemahkan oleh

Abû Ihsân Atsari (Jakarta: Dârul Haq, 1991), h. 16. 4 Menurut sejarah, dalam kehidupan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah seluruh anak Syekh al-Sâlih al-

‘Âbîd al-Nâsik Abû Bakar ibnu Ayyûb al-Zur‘î bergelar Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, akan tetapi di antara

anak-anaknya yang lebih terkenal dengan nama tersebut adalah Syamsuddîn. Lihat Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa‘âdah, diterjemahkan oleh. Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono (Solo: Tiga

Serangkai, 2009), h. 3. 5 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Pesona Keindahan, diterjemahkan oleh Hadi Mulyo (Jakarta: Pusaka

Azzam, 1999), cetakan pertama, h. 172.

Page 79: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

64

Di antara guru-guru Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sehingga sampai

menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan adalah:

1. Abû Bakar bin Ayyûb merupakan ayahnya sendiri dimana Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah dapat menguasai banyak tentang ilmu waris (farâ’id) berkat

didikan ayahnya sendiri. Karena pada waktu itu ayahnya adalah seorang

spesialis ilmu farâ’id.

2. Imâm al-Harrân Isma‘îl bin Muhammad al-Farrâ' adalah salah satu guru

bermazhab Hanbalî di Damaskus. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memperdalam

ilmu farâ’id kepada beliau sebagai kelanjutan dari apa yang sudah diperoleh

dari ayahnya sendiri.

3. Abû al-Fattâh al-Ba‘labakî dan al-Shâffî al-Hindi. Beliau merupakan guru

dalam bidang ilmu fikih.6

4. Syekh Jamaluddin al-Mizzî. Beliau banyak menimba ilmu tafsir pada ulama

terkemuka tersebut.

5. Syekh al-Islâm Taqiyuddîn bin Taimiyah. Merupakan guru yang paling

dicintai oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Karena berkat didikan beliau Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah dapat memperdalam berbagai disiplin ilmu seperti: ilmu

tafsir, fikih, hadis, farâ’id (ilmu waris), ilmu usûl dan ilmu kalam.7

Di samping banyak guru-guru termasyhur yang telah beliau timba

ilmunya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga banyak mencetuskan murid-murid yang

terkenal, di antaranya adalah:

a. Al-Burhân bin Qayyîm. Dia adalah putra Burhanuddîn Ibrâhîm.

6 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa‘âdah, (Makkah, Dâr ‘Âlim al-Fu’âd, 2011),

cetakan pertama, h. 3. 7 Dalam sejarah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berguru pada Ibnu Taimiyah kurang lebih selama 16

Tahun. Dengan proses belajar yang lama tersebut beliau benar-benar menyerap seluruh ilmu yang diberikan

Syaikh Ibnu Taimiyah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah banyak mengambil ijtihad-ijtihadnya serta mempelajari

dan menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus kembali dan

dapat diterima oleh banyak ulama. Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kasyfu al-Ghitâ ‘an Hukmi Sama‘ al-

Ghina…, h. 16-17.

Page 80: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

65

b. Ibnu Katsîr. Dia adalah Isma‘îl 'Imâduddîn Abû al-Fida' bin 'Umar bin Katsîr

al-Dimasyqî al-Syâfi‘î.

c. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman Zainuddin Abû al-Faraj bin Ahmad bin

Abdurrahmân.

d. Syarafuddîn bin Qayyim al-Jauziyyah. Dia adalah putra Abdullah bin

Muhammad.

e. Al-Subkî. Dia adalah Ali Abdul Kâfî bin Ali bin Tammâm al-Subkî

Taqiyuddîn Abû al-Hasan.

f. Al-Dzahabî. Dia adalah Muhammad bin Ahmad bin 'Utsmân bin Qayyim al-

Dzahabî al-Turkmânî al-Syâfi‘î.

g. Ibnu ‘Alî Abdul Hâdî. Dia adalah Muhammad Syamsuddîn Abû Abdullah bin

Ahmad bin Abdul Hâdi al-Hanbalî.8

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wafat pada usia 60 tahun tepatnya pada waktu

Isya malam kamis, 13 Rajab tahun 751 H. Proses shalat jenazah dilakukan pada

keesokan harinya waktu Dzuhur di Masjid Jami‘ Al-Jarrâh, dan kemudian

dimakamkan di pemakaman al-Bâb al-Shaghîr dengan disaksikan banyak orang

yang mengantarkan jenazahnya. Pada waktu itu banyak orang yang bermimpi

bertemu beliau setelah kepergiannya.9

Warisan Intelektual Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Dari segi karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merupakan cendikiawan

muslim yang terkenal sebagai reformis pemikiran Islam yang banyak menguasai

ilmu-ilmu agama dan juga ilmu lainnya seperti ilmu filsafat, tasawuf, kimia, dan

astronomi. Banyak sekali karya dari buah pemikiranya yang jernih sehingga

banyak dari kalangan ulama maupun semua intelektual merasakan manisnya karya

beliau dan antusias dalam membaca, menyebarkan dan mencetaknya kembali,

serta banyak dijadikan sebagai rujukan keilmuan pada bidangnya masing-masing.

8 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa‘âdah…, h. 5. 9 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Fawâ’id, (Makkah, Dâr ’Âlim al-Fuâd, 2008), cetakan pertama,

h. 2.

Page 81: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

66

Beberapa Karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

1) al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah.

2) Zâd al-Ma‘âd fî al-Hadyi Khair al-‘Ibâd

3) Ahkâm Ahli al-Dzimmah.

4) Asmâ' Muallafât Ibn Taimiyyah.

5) Usûl al-Tafsîr.

6) Al-A'lâm bi al-Ittisâ‘i Turuq al-Ahkâm.

7) I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn.

8) Ighâtsat al-Lahfân min Masâdir al-Syaitân.

9) Ighâtsat al-Lahfan fî Hukmi Thalâq al-Ghadbân.

10) Iqtidâ' al-Dzikr bi Huts al-Khair wa Daf'i asy-Syâr.

11) Al-‘Amali al-Makkiyyah.

12) Amtsâl Al-Qur'ân.

13) Al-Ijâz.

14) Badâ’i al-Fawâ’id.

15) Butlân al-Kimiyâ' min Arba‘îna Wajhan.

16) Bayân al-Istidlâl ‘alâ Butlân Isytirat Muhallil al-Sibaq wa an-Nidâl.

17) Al-Tibyân fî Aqsâm Al-Qur'ân.

18) Al-Tahbîr Limâ Yahillu wa Yahrumu min Libâs al-Harîr.

19) Al-Tuhfat al-Makkiyyah.

20) Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd.

21) Tuhfat ‘al-Nâzilîn bi Jiwâri Rabb al-Âlamîn.

22) Tadbîr al-Riâsah fi al-Qawâ’id al-Hukmiyyah bi al-Dzakâ’ wa al-Kârîhah.

23) Al-Ta‘lîq ‘alâ al-Ahkâm.

24) Al-Tafsîr al-Qayyîm.

25) Tafdîl Makkah ‘alâ al-Madînah.

26) Tahdzîb Mukhtasar Sunan Abî Daûd.

27) Al-Jâmi‘ bâina al-Sunan wa al-Âtsâr.

28) Jalâ’u al-Afhâm fî al-Salât wa al-Salâm ‘alâ Khair al-Anâm.

Page 82: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

67

29) Jawabat Âbidi ash-Shalbân wa Annama Hum 'alaih Din al-Syaitân.

30) Al-Jawâb al-Sâfi liman Sa'ala ‘an Tsamarât al-Du‘â idza Kâna mâ Quddira

Wâqi‘ûn.

31) Hâdi al-Arwâh ilâ Bilâd al-Afrâh.

32) Hal Tahidu am Lâ.

33) Al-Hâwî.

34) Hurmat al-Simâ‘.

35) Hukmu Târik al-Salâh.

36) Hukmu Ighmâm Hilâl al-Ramadân.

37) Hukmu Tafdîl Ba‘da al-Awlâd ‘alâ Ba‘di fî al-'Atiyah.

38) Al-Da'u wa al-Dawâ'u.

39) Al-Fawâ’id.

40) Kasyfu al-Ghitâ' ‘an Hukmi Simâ‘ al-Ghinâ'.

41) Madârij al-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na‘budu wa Iyyâka Nasta‘în.

42) Miftâh Dâr al-Sa‘âdah. dan

43) Hidâyat al-Hayari fî Ajwibat al-Yahûd wa al-Nasârâ.10

Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah adalah sosok ulama yang sangat disiplin tentang banyak ilmu serta

memiliki karismatik yang tinggi di zamannya. Walaupun beliau pernah dipenjara

bersama gurunya (Ibnu Taimiyah) karena menentang adanya anjuran orang pergi

berziarah ke kuburan para wali, ia tetap konsisten menegakkan manhaj dan

tujuannya, yaitu kembali kepada sumber-sumber ajaran Islam yang murni dan suci

serta tidak terkotori oleh pendapat-pendapat ahli bid’ah dan tipu daya orang-orang

yang suka memepermainkan agama.

10 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa‘âdah…, h. 6-12.

Page 83: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

68

B. Tentang Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah

Kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar،iyyah, adalah salah

satu kitab yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau adalah salah

seorang ulama yang berwawasan global. Beliau juga seorang pemikir Islam, ahli

sejarah, ahli fikih yang handal, memiliki analisa yang orisinil serta ijtihad dan

fatwa yang brilian. Beliau adalah salah seorang dari ulama yang bisa diterima oleh

banyak kalangan. Oleh karena itu, karya-karyanya terus dicari oleh para penuntut

ilmu baik di dunia pondok pesantren hingga perguruan tinggi.

Kitab ini memuat beberapa pembahasan seputar kelebihan manusia yang

satu diatas manusia yang lainnya dari segi firasat, politik Islam, pemahaman

hukum, ketakwaan, dan juga memuat tentang berbagai hukum yang sering

dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Juga diberikan contoh kasus maupun

peristiwa yang pernah dilalui oleh Nabi SAW sendiri, para sahabat beliau dan

kaum seseudah generasi kedua yaitu tabi‘în. Semua itu dengan tujuan untuk

memberikan kepada kita semua suatu penjelasan dan ibârat (contoh) yang dapat

kita petik hikmahnya, guna mencapai keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Ibnu Qayyim sendiri sangat menaruh perhatian dalam masalah-masalah

yang berhubungan dengan kewajiban serta hak manusia kepada sesama dan juga

kepada Allah SWT. Sebagaimana gurunya, yakni Ibnu Taimiyah, yang mana

pemikiran beliau banyak diadopsi Ibnu Qayyim dalam kapasitasnya sebagai

murid. Lebih lanjut dalam kitab ini juga diterangkan mengenai berbagai peristiwa

yang lazim untuk dicermati, utamanya bagi kalangan yang ingin mendalami

prosesi penegakan hukum dan kedudukan saksi menurut pandangan Islam, serta

berbagai problematika yang muncul, baik itu pada zaman Rasulallah SAW, para

sahabat, tâbi‘în, dan tâbi‘ al-tâbi‘în, serta para Imâm Mazhab seputar sistem

peradilan Islam.

Page 84: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

69

Adapun kelebihan buku ini adalah adanya pemaparan yang mendetail

disertai dengan dalil-dalil dan contoh yang ilmiah dan valid. Ditambah dengan

analisis pengarang yang melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda-

beda, seperti halnya dalam masalah penentuan nasab dalam Islam. Buku ini

menjelaskan detail tentang tata cara penetapan nasab yang sesuai dengan perintah

Rasulallah SAW serta para sahabatnya, yaitu dengan menggunakan metode al-

qiyâfah. Dalam buku ini dijelaskan bukti-bukti dan dalil-dalil hukum serta

merefleksikannya dengan kejadian dalam dunia nyata. Bahkan dalam buku ini

juga dijelaskan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pengarang,

seperti halnya pendapat yang menganggap al-qiyâfah adalah produk kaum

jahiliyah. Tentunya karena syari‘at ini diturunkan untuk dipraktikkan bukan

sekadar untuk dikomentari, juga diturunkan untuk kehidupan dan makhluk hidup,

bukan dibaca di hadapan orang-orang yang sudah meninggal.

Pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang Firâsat

Ibnu Qoyyim memandang masalah firâsat adalah masalah besar, agung

manfaatnya, dan luhur nilainya. Jika seorang hakim atau wali mengabaikannya,

maka ia dianggap telah mengabaikan kebenaran, dan menegakkan kebathilan.

Namun jika ia melampaui batas dalam menerapkan firâsat tanpa tuntunan syari’at,

ia bisa jauh ke dalam kezhaliman dan kerusakan. Oleh Karena itu jika syari‘at

direnungkan secara mendalam maka akan mendapati bahwa syari‘at

membolehkan ummatnya untuk percaya terhadap firasat.11 Di dalam buku ini

pengarang juga menyebutkan beberapa kisah firasat para sahabat Nabi, di

antaranya firâsat ‘Utsmân bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, Iyâs bin Mu’âwiyah,

Mughîroh bin Syu‘bah dan Al-Husain.

Salah satu contohnya firâsat Iyâs bin Mu‘âwiyah yaitu, ketika ada empat

orang wanita menemui Iyâs bin Mu‘âwiyah. Lalu Iyâs berkata: “Yang satu sedang

hamil, yang kedua sedang menyusui, yang ketiga sedang menjanda, dan yang

11 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 4.

Page 85: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

70

keempat masih perawan”. Kemudian temen-temen Iyâs melihat para wanita itu.

Mereka mendapati ucapan Iyâs benar adanya. Mereka berkata, “Bagaimana

engkau mengetahui keadaan mereka?”. Lalu Iyâs menjawab, “Yang pertama

berbicara padaku, dengan kondisi pakaiannya menggelembung. Maka kutahu ia

sedang hamil. Yang kedua memukul dadanya, maka kutahu ia sedang menyusui.

Yang ketiga berbicara padaku, sembari matanya menatap mataku, maka kutahu

kalau dia itu janda. Dan yang keempat bicara padaku dengan mata menatap ke

bumi. Maka kutahu, dia itu perawan”.12

Kemudian Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mendeskripsikan tentang syari‘at

dalam sebuah pernyataanya: “Ada orang yang mampu merasakan nikmatnya

syari‘at. Dia mampu mengetahui kesempurnaan syari‘at dan cakupannya akan hal-

hal yang memperjuangkan kemaslahatan hamba Allah, baik dalam kehidupan

dunia maupun akhirat. Ia tahu bahwa kedatangan syari‘at Allah SWT itu

membawa keadilan paripurna yang berlaku bagi semua makhluk, di mana tidak

ada bentuk keadilan lain yang sanggup menandingi keadilan syari‘at Allah SWT,

juga tiada maslahat yang mengungguli maslahat yang dibawa oleh Allah SWT.

Barang siapa yang menyadari kenyataan ini, maka ia sadar pula bahwa politik

(siyâsah) yang adil adalah bagian yang tak terpisah dari syari‘at Allah, serta

politik yang adil itu adalah salah satu cabang dari syari‘at Allah. Orang yang

mengetahui dengan baik maksud diajarkannya politik-syari‘at dan posisinya

dalam syari‘at, maka ia sama sekali tidak akan membutuhkan bentuk politik lain

di luar yang diajarkan syari‘at.13

Dalam buku ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menegaskan kembali bahwa

syari‘at memberikan maslahat terhadap kehidupan manusia, karena syari‘at

diturunkan atas keselarasan dengan realitas (al-wâqi،). Hal ini sesuai dengan

pernyataanya yang berbunyi:

12 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 67. 13 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 7.

Page 86: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

71

14

Artinya: “Demi Allah syari‘at tidak menafikan apa yang diajarkan oleh

Rasulallah SAW, meski kadang menafikan hasil ijtihad beberapa

kalangan dalam memahami syari‘at. Ini disebabkan oleh kelemahan

mereka dalam memahami syari‘at dan realitas hidup, sehingga mereka

menafikan realitas salah satu dari keduanya (syari‘at dan realitas).

Kitab ini juga menjelaskan hal-hal penting yang mesti dilakukan oleh

penguasa muslim, dalam hal ini adalah pemerintah, termasuk adab yang harus

mereka (pemerintah) miliki. Buku ini memberikan petunjuk bagaimana seorang

penguasa muslim menerapkan pemerintahannya dengan dasar keadilan. Di dalam

buku ini, Ibnu Qayyim juga menjelaskan hukum dan politik yang pernah

dipraktikkan oleh para Khulafâ al-Râsyidûn (Khalifah Empat) dalam segala aspek

kehidupan. Ibnu Qayyim menuliskan hal itu dengan menggunakan bahasa yang

indah dan bermanfaat. Ia mempertemukan hikmah dan kekuasaan, sembari

menjelaskan: bahwa politik adalah bagian dari agama, dan bahwa syari‘at tidaklah

membiarkan satu pun urusan kehidupan tanpa adanya hukum yang mengaturnya.

C. Pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang al-Qiyâfah sebagai Salah Satu

Metode Penetapan Nasab

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa al-qiyâfah

merupakan salah satu metode penetapan nasab yang masih dalam perdebatan.

Pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sebagai fokus penelitian ini, termasuk dalam

kategori yang membolehkan penetapan nasab seseorang dengan menggunakan

metode al-qiyâfah. Dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-

Syar‘iyyah disebutkan bahwa al-qiyâfah mempunyai tempat dalam syari‘at.15

Artinya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memandang bahwa Islam juga mengakui al-

14 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 31. 15 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 582.

Page 87: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

72

qiyâfah sebagai salah satu metode penetapan nasab selain dengan pernikahan yang

sah, pernikahan fâsid, hubungan syubhat ataupun dengan cara pengakuan nasab.

Selain hadis Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan boleh

menggunakan al-qiyâfah, para sahabat juga sudah mengamalkan, di antaranya

Umar bin Khattâb, ‘Alî bin Abû Tâlib, Abî Mûsa al-‘Asy‘arî, Ibnu ‘Abbâs, ‘Anas

bin Mâlik. Setelah sahabat, kemudian langsung diikuti oleh tâbi‘in seperti Sa‘îd

bin al-Musayyab, ‘Atâ bin Abî Rabâh, Al-Zuhrî, Iyâs bin Mu‘âwiyah, Qatâdah,

Ka‘ab bin Sûr. Adapun dari Tâbi‘ut tâbi‘in dan sesudahnya yaitu Al-Layts bin

Sa‘ad, Mâlik bin Anas, Imâm Syâfi‘î, Imâm Mâlik, Imâm Ahmad, Al-Auzâ‘î,

Ishâq dan Abû Tsûr.16

Menurut Ibnu Qayyim, metode al-qiyâfah dapat menelusuri orang yang

dilihat dan mengamati sampai kemanakah nasab orang tersebut.17 Ibnu Qayyim

tidak menyebutkan secara tegas tentang kriteria seorang yang ahli dalam

menetapkan nasab melalui al-qiyâfah. Namun, di sini penulis mengutip pendapat

dalam Mazhab Syâfi‘iyyah, sebagaimana disebutkan oleh Bahruddin Muhammad.

Disebutkan bahwa persyaratan tertentu bagi seorang ahli al-qiyâfah yaitu:

1. Muslim.

2. Adil.

3. Laki-laki.

4. Merdeka.

5. Memiliki kemampuan mengetahui nasab.

6. Memiliki kemampuan berbicara dan meneliti.

7. Tidak ada permusuhan dengan objek penelitian.18

16 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 575. 17 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 576. 18 Bahruddin Muhammad, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi Al-

Qiyâfah” Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman”, (Pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara), h.

56.

Page 88: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

73

Ibnu Qayyim memulai pendapatnya tersebut dari keterangan hadis

riwayat ‘Âisyah yang menceritakan tentang keahlian Mujazziz (seorang ahli al-

qiyâfah) yang dapat menentukan jalur nasab melalui metode al-qiyâfah. Adapun

hadisnya yaitu:

Artinya: Dari ‘Âisyah berkata, suatu hari Rasulallah SAW masuk ke rumahku

dalam keadaan gembira seraya berkata wahai ‘Âisyah apakah kamu

tahu Mujazziz al-Mudallajî yang masuk dan melihat Zaid serta Usâmah

(anak dan bapak), keduanya menutup kepalanya dengan sehelai kain,

tetapi kaki keduanya kelihatan, maka Mujazziz berkata: Sesungguhnya

laki-laki ini sebagiannya merupakan bagian dari yang lain. Maksudnya

keduanya adalah satu keturunan. (H.R. Muttafaq ‘Alaih/H.R. al-Bukhârî

dan Muslim).

Mengomentari hadis tersebut, Ibnu Qayyim memandang rasa senang

Rasulallah SAW terhadap al-qâif (dalam hal ini Mujazziz), menunjukkan metode

penetapan jenis ini tidak dilarang. Bahkan menurut beliau, jasa para ahli al-

qiyâfah tidak sama dengan jasa para dukun. Karena, dalam al-qiyâfah ini

sebagaimana tergambar dalam hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulallah SAW

senang dan kagum. Akan tetapi sebaliknya, Rasulallah SAW memberikan

ancaman pada dukun dan orang yang mempercayainya.20

Metode al-qiyâfah yang dijelaskan Ibnu Qayyim tidak hanya seputar

kemiripan warna kulit saja, tetapi juga mengenai pengetahuan ahli al-qiyâfah

tentang rambut, warna mata, postur kaki dan lainnya seperti akan dijelaskan pada

19 Abû Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrahim al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Musnad al-Sahîh al-

Mukhtasar min Umûri Rasûlillah Sallallâhu ‘Alaihi Wasallama Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi, Fî Fadhâ’il

Ashâbi al-Nabi…, h. 105. Lihat juga Abû al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Naysâbûrî, al-Jâmi‘ al-Shahîh al-Musammâ Sahîh Muslim…, h. 1081.

20 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 385.

Page 89: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

74

bagian dalil-dalil hadis yang digunakan Ibnu Qayyim. Namun, khusus untuk hadis

riwayat ‘Âisyah di atas, hanya berbicara tentang keadaan warna kulit Usâmah

yang berkulit hitam sedangkan Zaid selaku bapaknya adalah orang yang berkulit

putih.

Penetapan nasab melalui al-qiyâfah memang lebih sedarhana dibanding

dengan tes DNA. Karena dalam tes DNA, pewarisan sifat antara orang tua dan

anak dijelaskan lebih rinci. Meskipun demikian, kajian metode al-qiyâfah seperti

yang dibahas Ibnu Qayyim setidaknya masuk dalam salah satu kajian pewarisan

sifat melalui tes DNA, yaitu pewarisan sifat fisik seseorang. Keberadaan metode

al-qiyâfah dalam Islam pada hakikatnya tidak hanya diakui oleh Ibnu Qayyim

sendiri, tetapi Imâm Syâfi‘î juga mengakuinya. Dalam memperkuat pendapatnya,

Ibnu Qayyim mengutip pendapat Imâm Syâfi‘î, beliau (Imâm Syâfi‘î)

mengatakan:

Artinya: Imâm Syâfi‘i berkata, “Rasulallah menetapkan hal ini dengan

pengetahuan dan penuh kesadarannya, serta tidak mengingkarinya. Jika

hal ini (metode al-qiyâfah) dianggap sebagai sesuatu yang salah,

tentulah Beliau segera mengingkarinya”.21

Menurut Ibnu Qayyim, penetapan nasab melalui al-qiyâfah tidak

bertentangan dengan syarî‘at, jika misalnya ada cara lain yang lebih kuat untuk

menetapkan nasab.22 Oleh karena itu, metode al-qiyâfah harus benar-benar

dilakukan oleh orang yang kompeten dan memiliki persangkaan yang kuat dalam

telaahannya atas kemiripan seseorang yang diteliti nasabnya, dan pendapat ahli al-

21 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 385. 22 Maksud dari tidak bertentangan dengan syari‘at Islam yaitu metode al-qiyâfah baru dapat

dilakukan ketika metode penetapan nasab lainnya tidak dapat dilakukan, salah satunya metode al-firâsy.

Karena, dalam Islam, metode al-firâsy lebih kuat dari pada metode al-qiyâfah. Sebagaimana disebutkan Ibnu

Qayyim: “Ketika al-qiyâfah tersebut bertentangan dengan hukum yang lebih kuat, yaitu dibangun atas tempat

tidur (firâsy), maka keputusan hukum tersebut mengikuti dalil yang lebih kuat”.

Page 90: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

75

qiyâfah ini harus benar-benar valid terhadap tanda-tanda kemiripan yang diteliti.

Menurut beliau, perkataan orang yang ahli dalam al-qiyâfah lebih dapat diterima.

Lebih lanjut, penetapan nasab melalui al-qiyâfah menurut Ibnu Qayyim

lebih kuat dibandingkan dengan cara pengundian yang terjadi pada kasus-kasus

tertentu. Misalnya pada kasus yang diceritakan dalam sebuah riwayat, bahwa ‘Alî

bin Abî Tâlib telah menetapkan hukum penetapan nasab melalui undian terkait

beberapa orang yang menyetubuhi seorang perempuan dan orang-orang tersebut

berselisih atas anak yang dilahirkan perempuan tersebut.23

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga tentunya mengakui tentang bolehnya

menetapkan nasab melalui pengundian, akan tetepi hal ini dilakukan ketika tidak

ada cara lain untuk dilakukan. Namun, jika metode al-qiyâfah dapat dilakukan

seperti pada kasus di atas, maka metode al-qiyâfah harus didahulukan. Hal ini

dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qayyim sendiri dalam kitab al-Turuq al-

Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah sebagai berikut:

24

Artinya: “Undian digunakan hanya pada saat di mana tidak ditemukan faktor

lain untuk dijadikan dasar pengadilan. Telah diketahui, metode al-

qiyâfah menjadi faktor yang menguatkan bukti, baik ia berstatus sebagai

saksi, hakim, atau mufti. Undian tidak dapat digunakan selama ada al-

qiyâfah”.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa al-

qiyâfah merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seseorang dengan

orang lain yang diperkirakan memiliki keterikatan tali darah dengan orang yang

23 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 616. 24 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 616.

Page 91: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

76

diteliti. Tentunya Ibnu Qayyim memandang al-qiyâfah lebih tinggi kedudukannya

dibandingkan dengan cara penetapan nasab melalui undian. Namun, al-qiyâfah

lebih lemah dan dapat diabaikan ketika penetapan nasab melalui cara lain yang

lebih kuat dapat dilakukan, misalnya penetapan nasab melalui ranjang atau di

sebut dengan firâsy.

D. Dalil serta Metode Istinbât Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Menetapkan

Nasab Menggunakan metode Al-Qiyâfah

Untuk mendapatkan legitimasai hukum atas eksistensi metode penetapan

nasab melalui al-qiyâfah, tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari dalil hukum

sebagai sumber rujukannya. Maka dari itu, di sini akan dibahas beberapa dalil

yang digunakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam menetapkan al-qiyâfah

sebagai salah satu metode penetapan nasab, serta di bagian akhir bahasan ini akan

dikemukakan metode istinbâṭ yang digunakannya.

1. Dalil-dalil Sumber Rujukan yang Digunakan Oleh Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah

Dalam hal ini terdapat beberapa dalil hukum yang membicarakan tentang

keberadaan al-qiyâfah sebagai salah satu metode penetapan nasab. Tentunya dalil-

dalil tersebut sudah tertuang di dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah

al-Syar‘iyyah. Secara umum, dalil yang dimaksud bersumber dari beberapa

riwayat hadis Rasulallah SAW, serta atsâr sahabat yang mendukungnya. Paling

tidak, dalil hadis yang digunakan Ibnu Qayyim terdiri dari 6 (enam) riwayat hadis.

Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh ‘Âisyah seperti telah disebutkan sebagian

hadisnya di bagian awal pembahasan. Adapun riwayat panjangnya yaitu sebagai

berikut:

Page 92: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

77

Artinya: “Dari ‘Âisyah berkata, suatu hari Rasulallah SAW masuk ke rumahku

dalam keadaan gembira seraya berkata wahai ‘Âisyah apakah kamu

tahu Mujazziz al-Mudallajî yang masuk dan melihat Zaid serta Usamah

(anak dan bapak), keduanya menutup kepalanya dengan sehelai kain,

tetapi kaki keduanya kelihatan, maka Mujazziz berkata: Sesungguhnya

laki-laki ini sebagiannya merupakan bagian dari yang lain”. Maksudnya

keduanya adalah satu keturunan. (H.R. Muttafaqun ‘Alaih/H.R. al-

Bukhârî dan Muslim)

Pada hadis tersebut, Imâm al-Bukhârî dan Imâm Muslim menyebutkan

bahwa Usâmah adalah orang yang berkulit hitam sedangkan Zaid adalah orang

yang berkulit putih. Riwayat hadis ‘Âisyah ini menjadi dasar pertama yang

dijadikan rujukan oleh Ibnu Qayyim tentang dibenarkannya metode al-qiyâfah

dalam Islam. Tentunya hal ini beliau simpulkan dari rasa senangnya Rasulallah

SAW terhadap para ahli al-qiyâfah dalam menetapkan nasab seseorang. Di sini,

Rasulallah justru tidak melarangnya atau menyangkalnya. Kedua adalah riwayat

hadis dari Anas bin Mâlik, yaitu:

25 Abû Abdillah Muhammad bin Ism‘âil bin Ibrâhim al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Musnad al-Sahîh al-

Mukhtashor min Umûri Rasûlillah Shollallâhu ‘Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi, Fî Fadhâ'il

Ashâbi al-Nabi, Bab Manâqib Zaid bin Hâritsah, nomor hadis: 6771 (Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr, 2002) jilid

keenam, h. 105. Lihat juga Abâ al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Naysâbûrî, al-Jâmi‘ al-Shahîh

al-Musammâ Sahîh Muslim, Bab al-‘Amal Bi Ilhâq al-Qâ'if al-Walad, nomor hadis: 1459 (Riyad: Dâr

Tayyibah, 2006), cetakan pertama, jilid kedua, h. 1081.

Page 93: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

78

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Wahab bin Jarîr berkata, telah

menceritakan kepada kami Hisyam bin Hassan dari Muhammad yaitu

Ibnu Sirin, dari Anas bin Malik berkata; Hilal bin Umayyah menuduh

istrinya berzina dengan Syarîk bin Sahmâ’, maka Rasulallah SAW

bersabda: "Tolong cermati wanita itu, jika ia melahirkan seorang bayi

yang berambut keriting, beralis hitam dan berbetis kecil maka ia adalah

anak dari Syarîk bin Sahmâ’. Namun jika ia melahirkan seorang bayi

yang berkulit putih, berambut lurus dan bermata merah maka ia adalah

anak dari Hilâl bin ‘Umayyah." Dan ternyata wanita tersebut

melahirkan bayi yang berambut keriting, beralis hitam dan berbetis

kecil”. (H.R. Ahmad).

Jika dicermati, riwayat hadis ini nampaknya lebih jelas dibandingkan

dengan riwayat hadis pertama tentang metode al-qiyâfah. Karena disebutkan

tentang ciri-ciri bentuk fisik seorang anak yang mirip dengan orang tuanya. Ibnu

Qayyim memberi komentar atas hadis ini dengan menyatakan:

.27

Artinya: “Tidaklah yang dimaksudkan dalam hadis ini selain pernyataan bahwa

kemiripan mempunyai tempat dalam syarî‘at yang mempunyai bentuk

sama dengan telematika. Karena seseungguhnya orang yang meramal

menelusuri jejak akan menelusuri kemiripan orang yang dilihatnya dan

mengamati sampai kemanakah nasab orang tersebut. Dengan begitu, dia

dapat menentukan hukum anak tersebut kepada orang yang mempunyai

kemiripan”.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode al-

qiyâfah juga bagian dari metode penetapan nasab yang diakui dalam Islam. Hujjah

26 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Anas bin Mâlik nomor hadis: 12450,

(Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, t.th), jilid kesembilan belas, h. 435. 27 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 375.

Page 94: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

79

kebenarannya tentu merujuk pada hadis di atas. Jika ditinjau kesahîhannya, hadis

yang dikutip di atas juga tidak diragukan kesahihannya, sebagaimana dinyatakan

oleh Ibnu Qayyim. Ketiga, riwayat hadis dari Ummu Sulaim, yaitu:

28

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja‘far telah bercerita

kepada kami Sa‘îd dari Qatâdah dari Anas bin Malik ibunya, Ummu

Sulaim bertanya kepada Rasulallah SAW, Bagaimana jika seorang

wanita bermimpi sebagaimana mimpi seorang laki-laki? Maka

Rasulallah menjawab, jika memang demikian maka mandilah. Ummu

Salamah berkata salah satu istri Nabi dengan malu, Bagaimana hal itu

bisa terjadi Wahai Rasulallah? Rasulallah SAW menjawab, Ya dan

bagaimana kemiripan bayi itu bisa terjadi? Sperma laki-laki putih dan

kental sedangkan sperma wanita kuning dan encer dan mana yang lebih

dulu, maka menjadi faktor kemiripan”. (H.R. Ahmad).

Hujah hadis ini juga secara tegas menceritakan tentang keberadaan

metode al-qiyâfah dalam menetapkan nasab. Rasulallah di sini justru memberikan

gambaran akan kemiripan anak kepada kedua orang tuanya. Ini membuktikan

bahwa Rasulullah mengakui adanya pewarisan sifat orang kepada anak, namun

pewarisan sifat ini secara khusus hanya dilihat dari sisi fisik, dan secara

pembuktiannya pun harus dilakukan oleh orang-orang yang benar-banar ahli

28 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, nomor hadis: 14010, (Beirut:

Mu’assasah al-Risâlah, t.th), jilid kedua puluh satu, h. 415.

Page 95: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

80

dalam menelaah kemiripan seseorang. Keempat, yaitu riwayat hadis dari Abû

Hurairah, yaitu:

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Ibnu abi Kholaf telah bercerita kepada

kami Sufyân dari Zuhri Dari Sa‘îd dan dari Abû Hurairah, ia berkata;

Seorang laki-laki dari Bani Fazârah datang kepada Nabi SAW dan

berkata; Sesungguhnya istriku melahirkan anak yang berkulit hitam.

Kemudian beliau berkata: Apakah engkau memiliki unta? Ia berkata; ya.

Beliau berkata: Apa warnanya? Ia berkata; merah. Beliau berkata:

Apakah ada di antara yang berwarna coklat sawo matang? Ia berkata;

di antaranya ada yang berwarna coklat sawo matang. Beliau berkata:

Dari manakah menurutmu hal itu berasal? Ia berkata; Kemungkinan

kerena pengaruh keturunan. Beliau berkata: Dan anak ini kemungkinan

ada pengaruh keturunan”. (H.R. Abû Daud).

Penjelasan makna hadis tersebut, dapat diketahui bahwa warna kulit tidak

bisa dijadikan penghalang untuk menafikan nasab anak yang justru dilahirkan dari

istrinya, karena warna kulit yang berbeda mungkin saja mirip dengan warna kulit

dari nenek atau kakek. Maksudnya adalah bahwa warna kulit seorang anak bisa

saja diwarisi bukan dari kedua orang tuanya, tetapi dari salah seorang kakek baik

yang terdekat ataupun jauh dari sang anak. Kelima, dalam hadis sahîh, penulis

mengutip potongan hadis tersebut, yaitu:

29 Sulaiman bin al-Asy‘at al-Azdî al-Sajestânî Abû Daud, Sunan Abî Dâwud, nomor hadis: 2262,

(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid kedua, h. 245.

Page 96: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

81

30

Artinya: “Bahwasanya seorang anak, apabila sperma suami telah mendahului

sperma si istri, maka kemiripan anak tersebut akan condong pada suami.

Sedangkan apabila sperma istri mendahului sperma suami, maka

kemiripan anak akan condong kepadanya (istri).” (H.R. al-Bukhârî).

Mengomentari hadis ini, Ibnu Qayyim mengungkapkan hal yang sama,

bahwa metode al-qiyâfah mendapat tempat yang legal dalam hukum Islam dalam

menetapkan nasab. Lebih lanjut, beliau menyatakan metode ini lebih kuat dan

lebih akurat ketimbang metode lainnya, khususnya dalam hal penetapan nasab

melalui undian dan persangkaan yang tidak didasari oleh keahlian.

Keenam, yaitu riwayat hadis terkahir, dari ‘Âisyah, yang menceritakan

adanya peristiwa klaim anak antara Sa‘ad bin Abî Waqâs dan Abdullah bin

Zam‘ah. Menariknya, dalam kasus ini menurut Ibnu Qayyim terdapat dua cara

sekaligus yang digunakan Rasulallah untuk menetapkan nasab, yaitu melalui

firâsy dan melalui al-qiyâfah. Namun, yang diperkuat di sini yaitu penetapan

melalui firâsy, karena metode ini menurut Ibnu Qayyim lebih kuat hujahnya

ketimbang al-qiyâfah. Adapun riwayat hadisnya yaitu:

30 Abû Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrahim al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Musnad al-Sahîh al-

Mukhtasor min Umûri Rasûlillah Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi, nomor hadis: 3938

(Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987) jilid ketujuh, h. 319.

Page 97: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

82

31

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yûsuf Telah

mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari

‘Âisyah radiallâhu ‘anha mengatakan; ‘Utbah berpesan kepada

saudaranya Sa‘ad, bahwa “putra dari hamba sahaya Zam‘ah adalah

dariku, maka ambilah dia.” Di hari penaklukan Makkah, Sa‘ad

mengambilnya dengan mengatakan; 'Ini adalah putra saudaraku, ia

berpesan kepadaku tentangnya.' Maka berdirilah Abd bin Zam‘ah seraya

mengatakan; '(dia) saudaraku, dan putra dari hamba sahaya ayahku,

dilahirkan diatas ranjangnya.' Maka Nabi bersabda: "Dia bagimu wahai

Abd bin Zam‘ah, anak bagi pemilik ranjang dan bagi pezinah adalah

batu (rajam)." Kemudian Nabi bersabda kepada Saudah binti Zam‘ah:

"hendaklah engkau berhijab darinya, "beliau melihat kemiripannya

dengan ‘Utbah, sehingga anak laki-laki itu tak pernah lagi melihat

Saudah hingga ia meninggal”. (H.R. al-Bukhârî).

Gambaran peristiwa klaim anak tersebut dapat penulis uraikan bahwa

Sa‘ad bin Abi Waqâs dan Abdullah bin Zam‘ah mengklaim (mengakui) anak yang

saat itu ada pada Zam‘ah. Dalam hal ini, Sa‘ad bin Abî Waqâs menyatakan anak

tersebut merupakan anak saudaranya (keponakannya) ‘Utbah bin Abi Waqâs,

karena ‘Utbah berpesan kepada Sa‘ad untuk mengambilnya. Dalam waktu yang

sama, Abd bin Zam‘ah juga menyatakan anak tersebut saudaranya sendiri, yaitu

putra ayahnya sebagai hasil hubungan dengan budaknya. Dari peristiwa ini,

Rasulallah kemudian menetapkan hukum penisbatan anak yang diklaim tersebut.

Sebagian ahli fikih yang setuju atas keberadaan metode al-qiyâfah

sebagai salah satu cara penetapan nasab menjadikan hadis ini sebagai

31 Abû Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrahim al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Musnad al-Sahîh al-

Mukhtasor min Umûri Rasûlillah Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi, nomor hadis: 2053,

(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), juz 7, h. 319.

Page 98: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

83

sandarannya.32 Penyataan “sebagian ahli fikih” seperti penulis sebutkan, karena

memang terdapat beberapa ulama yang setuju metode al-qiyâfah sebagai salah

satu cara penentuan nasab. Selain Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sebagai fokus

penelitian ini, juga terdapat ulama lainnya yang setuju atas metode ini, seperti Al-

Bujairamî, Muhammad Khatîb al-Syarbînî, al-Mawardî, Abû Hamîd al-Ghazâlî,

bahkan Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal dan Imâm Syâfi‘î.

Khusus komentar Ibnu Qayyim atas dalil hadis di atas, berpendapat

bahwa putusan Rasulallah SAW pada hadis ini untuk menjaga dua perkara dengan

dua dalil sekaligus. Lebih lanjut, Ibnu Qayyim menyatakan, dua dalil yang

dimaksudkan yaitu dalil tentang penetapan nasab, yaitu antara firâsy atau ranjang

(tempat tidur) dan al-qiyâfah atau kemiripan. Dalam kasus tersebut, Rasulallah

SAW menetapkan faktor ranjang (firâsy) kepada Abdullah bin Zam‘ah, dan ini

lebih kuat kedudukannya. Namun, Rasulallah juga tidak menafikan kemiripan

antara anak dengan ‘Utbah bin Abi Waqâs (saudara Sa‘ad bin Abi Waqâs). Untuk

itu, menurut Ibnu Qayyim, Rasul menetapkan anak kepada ‘Utbah karena faktor

kemiripan (al-qiyâfah) untuk menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan status

kemahraman antara anak tersebut dengan Saudah binti Zam‘ah.33

Jika dicermati, sebenarnya terdapat beberapa hukum yang terkandung di

dalam muatan hadis tersebut, dua di antaranya penetapan nasab melalui firâsy dan

al-qiyâfah seperti telah disebutkan tadi. Kemudian, hadis ini juga mengandung

sisi hukum lainnya yaitu tentang pengakuan nasab (iqrâr al-nasab). Karena, pada

hadis tersebut menurut Ibnu Qayyim juga berlaku hukum seorang pezina boleh

mengakui anak zinanya.34 Alasannya bahwa makna firâsy pada hadis di atas tidak

bisa diartikan sebagai ranjang karena hubungan perkawinan yang sah, karena anak

yang diklaim itu dihasilkan dari perbudakan antara ayah Abdullah bin Zam‘ah

32 Bahruddin Muhammad, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi Al-

Qiyâfah” Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman”, (Pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara), h.

56. 33 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 368. 34 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 371.

Page 99: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

84

dengan budaknya, bukan karena pernikahan yang sah. Untuk itu, dalil hadis ini

juga berlaku hukum bolehnya pengakuan anak zina atas laki-laki yang

menyebabkan ia lahir berikut dengan konsekuensi pengakuan tersebut.

Selain enam riwayat hadis di atas, terdapat juga alasan normatif, yaitu

dari atsâr yang menceritakan para Sahabat Rasulallah SAW yang pernah

menggunakan al-qiyâfah sebagai metode penetapan nasab.35 Beberapa atsâr yang

digunakan Ibnu Qayyim untuk memperkuat pendapatnya yaitu dari ‘Umar bin al-

Khattâb36 yang berbunyi:

37

Artinya: Syu‘bah meriwayatkan dari Taubah al-‘Anbari, dari al-Sya‘bi, dari Ibnu

Umar, dia berkata: dua orang lelaki bersamaan dengan lelaki lain

melakukan hubungan dengan seorang perempuan dalam satu periode

sucinya si perempuan tersebut. Kemudian, perempuan tersebut

melahirkan anak karena hubungan tersebut. kemudian Umar mencari

ahli jejak (al-qâ’if). Orang-orang mengatakan, anak itu memiliki

kemiripan dengan kedua lelaki. Kemudian Umar menjadikan anak itu

sebagai milik mereka berdua.

Dalam kasus ini, disebutkan Umar bin al-Khattâb memanggail para ahli

al-qiyâfah, kemudian para ahli ini menyebutkan adanya kemiripan anak dengan

dua orang laki-laki tersebut. Sehingga, Umar memutuskan penetapan waris anak

kepada kedua laki-laki itu. Dalam kasus yang sama, Ali bin Abi Tâlib juga

menyatakan dalam salah satu riwayat:

35 Disebutkan atsâr secara bahasa, berarti “sisa” atau “bekas”. Sedangkan secara istilah, atsâr

adalah: ايضا يم النبما روي عن الصحابة ويجوز اطلقه على كل Artinya: “Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari

sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2011), cet. 7, h. 23. 36 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 578. 37 Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Tahâwî, Syarh Ma‘âni al-Atsâr, (al-Riyâd: Dâr ‘Âlim

al-Kutub, 1994), jilid keempat, h. 162.

Page 100: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

85

Artinya: Qabûs bin Abû Zabyân meriwayatkan dari ayahnya, dari Ali bahwa ada

dua lelaki telah menggauli seorang perempuan dalam satu periode

sucinya. Lalu perempuan itu melahirkanseorang anak. Kemudian Ali

memanggil ahli pengenal jejak (al-qâ’if), lalu Ali menetapkan anak itu

sebagai anak kedua lelaki, yang mana anak itu menjadi ahli waris dari

kedua lelaki, dan kedua lelaki itu harus mewarisi kepada anak tersebut.

Berdasarkan atsâr sahabat tersebut, menjadi satu kesimpulan hukum di

mana metode al-qiyâfah juga digunakan oleh para sahabat dalam menetapkan

nasab seseorang. Dalam mengomentari riwayat atsâr ini, Ibnu Qayyim

menegaskan, ketetapan Umar bin al-Khattâb di atas tidak ada satu sahabatpun

yang menyangkalnya.39 Artinya, para sahabat memandang ketetapan ‘Umar

sebagai ketentuan hukum yang dijamin kebenarannya. Untuk itu, kasus-kasus

yang serupa dengan kasus yang diselesaikan Umar menjadi bagian pertimbangan

hukum bagi para ulama, khususnya Ibnu Qayyim dalam mengambil al-qiyâfah

sebagai salah satu cara untuk menetapkan nasab seseorang.

2. Metode Istinbât Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Menetapkan Nasab

Menggunakan metode Al-Qiyâfah

Metode istinbâṭ merupakan satu istilah untuk memaknai cara seorang

ulama untuk memahami, menggali, mencari, dan meneliti suatu hukum sehingga

pada tahap akhir dapat diproduksi suatu pendapat hukum. Dalam kitab al-Ta’rifât,

Al-Jurjani menjelaskan tentang istinbâṭ yang berbunyi:

38 Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Tahâwî, Syarh Ma‘âni al-Atsâr…, h. 164. 39 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 385.

Page 101: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

86

Artinya: “mengeluarkan kandungan hukum dari nas-nas (Al-Qur’ân dan Sunah)

dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal”.

Bertalian dengan pembahasan dalil-dalil di atas, nampak bahwa Ibnu

Qayyim menggali hukum al-qiyâfah berdasarkan rujukan hadis-hadis sebelumnya.

Kemudian, untuk memperkuat dalil tersebut, Ibnu Qayyim mengutip atsâr

sahabat. Namun secara khusus, metode yang tampak implisit dari cara Ibnu

Qayyim memahami masalah ini cenderung menggunakan metode ta‘lîlî, yaitu

usahanya dalam mencari ‘illat hukum atas kebenaran metode al-qiyâfah.

Metode kausasi (ta‘lîlî) merupakan bagian penting dalam penemuan

hukum syar‘i, karena metode ini merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus

yang tidak ada teks hukumnya. Di sini kemudian teks hukum yang ada diperluas

cakupannya sehingga bisa mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks

hukumnya (nasnya). Secara definitif, metode ta‘lîlî adalah mengambil kesimpulan

hukum dari nas dengan pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan)

ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan

(miqyâs) bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan

analogi.

Menurut Al Yasa‘ Abû Bakar, metode penalaran ta‘lîlî merupakan

penalaran hukum dengan menggunakan ‘illat.41 Al Yasa‘ juga mengatakan bahwa

istilah penalaran ini yang dikenal dalam buku-buku Ushûl Fiqh adalah ijtihâd

qiyâsi. Menurut Analiansyah, metode penalaran ta‘lîlî yaitu metode penemuan

hukum dengan melihat pada ‘illat-‘illat hukum yang terdapat dalam nash.42 Dari

beberapa rumusan ini, dapat dinyatakan bahwa metode ta‘lîlî adalah metode yang

40 Al-Syarîf ‘Alîbin Muhammad al-Jurjânî, Kitab at-Ta‘rifât (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1988), h. 22. 41 ‘Illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (zâhir) yang dapat diukur dan mengandung

relevansi (munâsabah) sehingga kuatnya dugaanlah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan Allah

dan Rasul-Nya. Lihat Al-Yasa’ Abû Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya, dalam

Juhaya, “Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik”, (Bandung: Rosdakarya, 1991), h. 179. 42 Analiansyah, Ushul Fiqh III, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009), h. 49

Page 102: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

87

berkaitan dengan penggalian ‘illat atau alasan nash-nash menyebutkan hukum

suatu perbuatan.

Mengacu pada pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

penalaran ta‘lîlî adalah suatu bentuk penalaran atau metode istinbâṭ hukum

seorang ulama yang cara kerjanya adalah melihat dan menelaah ‘illat hukum pada

dalil Al-Qur’ân maupun hadis yang menjadi fokus kajian. Untuk itu, dengan

mengetahui ‘illat hukum tersebut, maka dapat disimpulkan hukum-hukumnya.

Untuk melakukan istinbât hukum secara qiyâsi (ta‘lîlî), menurut

mayoritas teoretisi hukum Islam diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi,

yaitu:

a. al-asl (kasus asal): yaitu masalah pokok (maqîs ‘alaih) yaitu suatu peristiwa

yang sudah ada nashnya.

b. al-far‘u (kasus baru): yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa

itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya (maqîs).

c. al-‘illat, (kausa): yaitu suatu sifat atau keadaan yang terdapat pada peristiwa

pada kasus asal dan kasus baru.

d. al-hukm (ketentuan): yaitu kasus asal yang diperluas kepada kasus baru.43

Untuk melakukan istinbât hukum secara qiyâsi, maka ‘illat hukum

merupakan hal yang pokok dan perlu diperhatikan. Maka sebagian ulama usûl

seperti al-Bazdawi berpendapat bahwa rukun qiyâs itu hanya satu, yaitu ‘illat saja.

Kemudian yang dimaksud ‘illat adalah suatu keadaan atau sifat yang

jelas, dapat diukur, dan mengandung relevansi sehingga dapat diduga secara kuat

bahwa itulah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan oleh Allah. Fazlul

Rahman memberikan istilah ‘illat hukum dengan sebutan “ratio legis”. Artinya,

ketentuan hukum yang terdapat dalam nas memiliki ratio legis atau ‘illat

43 Abû Hamîd Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, al-Mustashfa min ‘ilmi al-Usûl (Kairo:

Syirkah al-Tibâ‘ah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1971), h. 430-440.

Page 103: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

88

hukumnya.44 Contohnya ialah kebolehan meng-qasâr shalat bagi musafir. Musâfir

dipandang sebagai ‘illat karena keadaannya jelas, yaitu tidak mukîm (berdomisili),

dapat diukur perjalanannya dengan jarak atau waktu dan memiliki relevansi antara

musafir dengan meng-qasar shalat, yaitu kemudahan. Kesukaran tidak bisa

dijadikan ‘illat (dalam kasus meng-qasar shalat), sebab kesukaran adalah sesuatu

yang abstrak, sulit diukur karena tingkat kesukaran seseorang sangat relatif. Bila

suatu keadaan tidak diketahui relevansinya dengan suatu ketentuan maka ia tidak

dapat dikatakan ‘illat tetapi sebab. Sebagai misal adalah tergelincirnya matahari

dengan kewajiban shalat zuhur. Tergelincirnya matahari dianggap sebagai sebab

karena ia tidak dapat diketahui relevansinya. Penggunaan dasar ‘illat sebagai

dasar ijtihâd diterima oleh hampir semua ulama ushul.45

Fokus terhadap kajian metode ta‘lîlî yaitu penemuan ‘illat hukum pada

satu permasalahan. Amir Syarifuddin telah meringkas beberapa syarat-syarat ‘illat

ke dalam empat butir berikut ini:

1) ‘illat itu merupakan sifat nyata, yang bisa dijangkau panca indera secara lahir.

2) ‘illat itu merupakan sifat yang pasti atau tertentu dan terbatas.

3) ‘illat itu harus ada sifat yang sesuai, yaitu adanya dasar asumsi dalam

mewujudkan hikmah hukum. Artinya, harus diwujudkan dengan tujuan

pembuat hukum dalam kaitannya dengan hukum yang dibentuk, apakah

membawa maslahat ataukah tidak.

4) ‘illat tidak boleh merupakan suatu sifat yang berusaha menandingi atau

mengubah hukum dari nas.46

44 Istilah “rasio legis” dipakai untuk padanan kata “‘illat”. Dikatakannya bahwa “rasio legis atau

‘illat hukum jika dijelaskan secara eksplisit (dalam Al-Qur’ân dan Hadis), maka maqâsid syarî‘ah ditetapkan

berdasarkan ‘illat itu. Jadi, ‘illat merupakan suatu sifat yang mempu mengantarkan akal untuk mengetahui

tujuan hukum. Lihat Ghufron A. Mas‘adi, Pemikiran Fazlul Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan

Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 157. 45 Mustafa Syalabi, Ta‘lîl al-Ahkâm (Beirut : Dar an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1981), h. 14-34. 46 Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), jilid ketiga, h.

198.

Page 104: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

89

Kaitannya dengan metode istinbâṭ yang digunakan Ibnu Qayyim, secara

implisit lebih condong menggunakan penalaran ta‘lîlî. Metode penalaran ta‘lîlî ini

dimaksudkan untuk menetapkan bahwa al-qiyâfah memang menjadi bagian

penetapan nasab yang diakui dalam syarî‘at Islam. Metode penalaran ta‘lîlî ini

terlihat pada analisa Ibnu Qayyim atas riwayat hadis dari ‘Âisyah. “Rasa senang”

Rasulullah SAW atas pakar telematika (al-qiyâfah) seperti tersebut dalam hadis

menjadi ‘illat (ratio legis) atau alasan diakuinya metode al-qiyâfah dalam

menetapkan nasab.47

Dalam hal ini, Ibnu Qayyim memang tidak menyebutkan metodenya,

bahkan tidak menyatakan “rasa senang Rasulullah SAW” sebagai ‘illat hukum.

Tetapi, Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa “rasa senang” dalam hadis ‘Âisyah

tersebut, menjadi indikasi dan dugaan kuat atas dibenarkannya al-qiyâfah sebagai

metode penetapan nasab. Hal ini dapat dipahami dari penyataan Ibnu Qayyim

dalam mengomentari hadis ‘Âisyah, ia mengatakan dalam kitab Zâd al-Ma‘âd fî

Hadyî Khair al-‘Ibâd yang berbunyi:

48

Artinya: “Dalam hadis ini, Rasulallah SAW terlihat senang dengan pernyataan

para pakar telematika (al-qiyâfah). Sekiranya masalahnya seperti yang

dikatakan para penentang mengenai kebiasaan kaum jahiliyah yang

mempergunakan jasa para dukun dan profesi sejenisnya, tentu Beliau

(Rasulallah SAW) tidak merasa gembira kerenanya dan tidak kagum,

dan tentu kedudukannya disamakan dengan para dukun. Padahal dalam

salah satu hadis sahîh disebutkan bahwa Rasulallah SAW memberikan

ancaman bagi orang yang mempercayai dukun”.

47 Penyebutan istilah “rasa senang” dengan kutipan “miring”, penulis maksudkan sebagai ‘illat

hukum. 48 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 375.

Page 105: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

90

Di sini, “rasa senang” Rasulullah terhadap pakar al-qiyâfah

menunjukkan kesetujuannya terhadap mereka dan pengakuannya terhadap metode

al-qiyâfah itu sendiri. Untuk itu, Ibnu Qayyim beranggapan bahwa “rasa senang”

tersebut sebagai alasan yang kuat untuk membenarkan metode al-qiyâfah dalam

penetapan nasab seseorang.

Selain itu, alasan yang menjadi ‘illat hukum dibenarkannya menetapkan

nasab melalui al-qiyâfah yaitu karena “keserupaan” itu sendiri, atau dalam hadis

disebutkan dengan “syabah”. Karena, menurut beliau, hukum-hukum syarî‘at

(termasuk hukum al-qiyâfah pada beberapa hadis sebelumnya) dibangun

berdasarkan perkiraan-perkiraan yang kuat dan petunjuk umum. Untuk itu,

menurut beliau “kemiripan” anak dengan orang tuanya merupakan suatu petunjuk

umum yang sifatnya pasti diwariskan dari orang tua kepada keturunannya, dan

“kemiripan” itu sendiri menjadi bukti dari ciptaan syara‘ terhadap manusia

dengan turunannya.

Perlu dipertegas lagi, bahwa “syabah” atau “keserupaan” masuk dalam

‘illat hukum disebabkan karena adat kebiasaan, di mana sifat fisik orang tua yang

diciptakan syara‘ biasanya akan diwarisi oleh anak-anaknya.

Dengan demikian, alasan atau ‘illat hukum inilah menjadi sebab dapat

dilakukannya penetapan nasab melalui al- al-qiyâfah. Sebagaimana dalam hadis,

Rasulallah SAW menetapkan nasab anak juga berdasarkan kemiripannya dengan

orang tuanya.

Berdasarkan uraian di atas, alasan-alasan logis (‘illat) seperti telah

disebutkan menjadi penguat bahwasanya metode al-qiyâfah dilegalkan dalam

Islam. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya usaha Ibnu Qayyim dalam mencari ‘illat

hukum ini merupakan bagian dari usaha beliau dalam membantah pendapat-

pendapat ulama yang tidak setuju dengan metode al-qiyâfah. Oleh karenanya,

beliau memberikan beberapa alasan argumentatif, yang secara tidak langsung di

dalamnya terlihat adanya upaya Ibnu Qayyim menggali hukum melalui metode

Page 106: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

91

penelaran ta‘lîli. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa metode istinbâṭ

hukum yang digunakan Ibnu Qayyim dalam menetapkan al-qiyâfah sebagai salah

satu metode penetapan nasab yaitu menggunakan penalaran ta‘lîli dengan mencari

beberapa alasan hukum (‘illat hukum) yang terdapat dalam enam hadis Rasulallah

SAW tersebut.

Page 107: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

92

BAB IV

ANALISIS FATWA IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH

TENTANG PENETAPAN NASAB MENGGUNAKAN METODE

AL-QIYÂFAH DALAM KITAB AL-TURUQ AL-HUKMIYYAH FÎ

AL-SIYÂSAH AL-SYAR‘IYYAH SERTA RELEVANSINYA

DENGAN TES DNA

Pembahasan pada bab ini merupakan hasil analisa akhir untuk menjawab

perumusan masalah dalam kajian ini, yakni analisis fatwa Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah tentang metode al-qiyâfah, analisis DNA serta relevansi antar

keduanya. Hasil temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan

dan perbedaan antara al-qiyâfah dan DNA, yaitu sama dalam menelusuri

persamaan dan keduanya harus dilakukan oleh para ahli (spesialis). Adapun

perbedaanya adalah, al-qiyâfah dilakukan dengan penglihatan, perasaan (feeling),

sedangkan tes DNA dilakukan dengan menggunakan alat teknologi yang

ditemukan pada tahun 1869 M.

A. Analisis Metode al-Qiyâfah

Penetapan nasab melalui metode al-qiyâfah memang cukup sederhana,

yaitu sekedar melihat dan menelaah kemiripan seorang anak yang belum jelas

nasabnya sehingga dapat ditentukan nasabnya dengan orang yang diduga

memiliki keterikatan nasab dengannya melalui kemiripan tadi. Metode ini juga

merupakan alternatif yang diterapkan dalam memcahkan masalah hubungan nasab

ketika metode-metode yang lain seperti al-firâsy, al-iqrâr dan al-bayyinah tidak

dapat diterapkan, sehingga ketiadaan metode tersebut dapat meniadakan nasab.1

1 Mansur bin Yunus bin Idris al-Bahûtî, Kasyfu al-Qinâ’ ‘an Matni al-Iqnâ’, (Beirut: Dâr al-Fikr,

1981), juz ke-6, h. 460.

Page 108: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

93

1. Perbedaan Pendapat Ulama Fikih tentang al-Qiyâfah

Ulama jumhur yang terdiri dari Imâm Syâfi‘i, Imâm Mâlik, Imâm

Ahmad, Abû Tsaur dan al-Auzâ‘î sepakat bahwa secara realitas metode ini

memiliki sumber yang jelas, yaitu disandarkan kepada hadis Rasulullah SAW dan

atsâr para sahabatnya yang telah memperaktikkan. Diantara sahabatnya yaitu

‘Umar bin al-Khattâb dan ‘Ali bin Abî Tâlib.2 Sehingga menjadi suatu yang aneh

ketika terdapat orang yang mengingkari metode tersebut sedangkan Rasulullah

SAW sendiri serta para sahabatnya sudah memperaktikkan. Bahkan Rasulallah

SAW menetapkannya dengan pengetahuan dan penuh kesadaran. Jika hal ini

(metode al-qiyâfah) dianggap sebagai sesuatu yang salah, tentulah Beliau segera

mengingkarinya. Sedangkan dalam kenyataannya, penilaian tersebut didasarkan

kepada tanda-tanda yang bersifat relatif keabsahannya yakni tidak memiliki

ukuran dan batasan. Sehingga semua orang dapat memberikan penilaian yang

berbeda.

Dari hal tersebut, Mazhab Hanafî mencukupkan dengan penggunaan al-

firâsy dan al-bayyinah saja. Mazhab Hanafî tidak menganggap al-qiyâfah sebagai

sandaran dalam menetapkan nasab. Karena mereka menganggap metode ini

adalah hasil dari prasangkaan belaka, bukan atas dasar pengetahuan ilmiah. Maka

dari kenyataan demikian, penulis memandang bahwa penggunaan metode al-

qiyâfah adalah metode yang sah dalam Islam walaupun dalam perdebatan para

ulama.

2. Al-Qiyâfah sebagai Metode Penetapan Nasab

Di dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah dan

kitab Zâd al-Ma‘âd Fȋ Hadyi Khairi al-‘Ibâd yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah disebutkan bahwa al-qiyâfah mempunyai tempat dalam syari‘at.3

Artinya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memandang bahwa Islam mengakui al-

2 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 573. 3 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 582.

Page 109: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

94

qiyâfah sebagai salah satu metode penetapan nasab selain dengan perkawinan

yang sah, fâsid, hubungan syubhat ataupun dengan cara pengakuan nasab.

Ibnu Qayyim memulai pendapatnya tersebut dari keterangan hadis

riwayat ‘Aisyah yang menceritakan tentang keahlian Mujazziz (seorang ahli al-

qiyâfah) yang dapat menentukan jalur nasab melalui metode al-qiyâfah. Hadisnya

yaitu:

Artinya: Dari ‘Âisyah berkata, suatu hari Rasulallah SAW masuk ke rumahku

dalam keadaan gembira seraya berkata wahai ‘Aisyah apakah kamu

tahu Mujazziz al-Mudallajî yang masuk dan melihat Zaid serta Usâmah

(anak dan bapak), keduanya menutup kepalanya dengan sehelai kain,

tetapi kaki keduanya kelihatan, maka Mujazziz berkata: Sesungguhnya

laki-laki ini sebagiannya merupakan bagian dari yang lain. Maksudnya

keduanya adalah satu keturunan. (H.R. Muttafaqun ‘Alaih/H.R. al-

Bukhâri dan Muslim).

Dalam mengomentari hadis tersebut, Ibnu Qayyim memandang rasa

senang Rasulallah SAW terhadap al-qâif (dalam hal ini Mujazziz), menunjukkan

metode penetapan jenis ini tidaklah dilarang. Bahkan menurut beliau, jasa para

ahli al-qiyâfah itu berbeda dengan jasa para dukun. Karena, dalam al-qiyâfah ini

sebagaimana tergambar dalam hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulallah SAW

senang dan kagum. Akan tetapi sebaliknya, Rasulallah SAW memberikan

ancaman pada dukun dan orang yang mempercayainya.5

4 Abû Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrahim al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Musnad al-Sahîh al-

Mukhtasar min Umûri Rasulillah Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi, Fî Fadhâ'il Ashâbi

al-Nabi…, h. 105. Lihat juga Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Naysâburi, al-Jâmi’ al-Sahîh

al-Musammâ Sahîh Muslim…, h. 1081. 5 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 385.

Page 110: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

95

Metode al-qiyâfah yang dijelaskan Ibnu Qayyim tidak hanya seputar

kemiripan warna kulit saja, tetapi juga mengenai pengetahuan ahli al-qiyâfah

tentang rambut, warna mata, postur kaki dan lainnya seperti yang sudah dijelaskan

pada bagian dalil-dalil hadis yang digunakan oleh Ibnu Qayyim. Namun, khusus

untuk hadis riwayat ‘Âisyah di atas, hanya berbicara tentang keadaan warna kulit

Usâmah yang berkulit hitam sedangkan Zaid selaku bapaknya adalah orang yang

berkulit putih.

Penetapan nasab melalui al-qiyâfah tentu lebih sedarhana dibandingkan

dengan tes DNA. Karena dalam tes DNA, pewarisan sifat antara orang tua dan

anak dijelaskan lebih rinci. Meskipun demikian, kajian metode al-qiyâfah seperti

yang dibahas Ibnu Qayyim setidaknya masuk dalam salah satu kajian pewarisan

sifat melalui tes DNA, yaitu pewarisan sifat fisik seseorang. Keberadaan metode

al-qiyâfah dalam Islam pada hakikatnya tidak hanya diakui oleh Ibnu Qayyim

sendiri, tetapi Imâm Syâfi‘î juga mengakuinya. Dalam memperkuat pendapatnya,

Ibnu Qayyim mengutip pendapat Imâm Syâfi‘î, beliau (Imâm Syâfi‘î)

mengatakan:

6

Artinya: Imâm Syâfi‘î berkata: Rasulallah SAW menetapkan hal ini dengan

pengetahuan dan penuh kesadarannya, serta tidak mengingkarinya. Jika

hal ini (metode al-qiyâfah) dianggap sebagai sesuatu yang salah,

tentulah Beliau segera mengingkarinya”.

Menurut Ibnu Qayyim, penetapan nasab melalui al-qiyâfah tidak

bertentangan dengan syari‘at, jika misalnya ada cara lain yang lebih kuat untuk

menetapkan nasab. Untuk itu, metode al-qiyâfah harus benar-benar dilakukan

oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki persangkaan yang kuat dalam

telaahannya atas kemiripan seseorang yang diteliti nasabnya, dan pendapat ahli al-

6 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 375.

Page 111: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

96

qiyâfah ini harus benar-benar valid terhadap tanda-tanda kemiripan yang diteliti.

Menurut beliau, perkataan orang yang ahli dalam al-qiyâfah lebih dapat diterima.

Lebih lanjut, penetapan nasab melalui al-qiyâfah menurut Ibnu Qayyim

lebih kuat dibandingkan dengan cara pengundian yang terjadi pada kasus-kasus

tertentu. Misalnya pada kasus yang diceritakan dalam sebuah riwayat, bahwa ‘Ali

bin Abî Tâlib telah menetapkan hukum penetapan nasab melalui undian terkait

beberapa orang yang menyetubuhi seorang perempuan dan orang-orang tersebut

berselisih atas anak yang dilahirkan perempuan tersebut.7

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga tentunya mengakui tentang bolehnya

menetapkan nasab melalui pengundian, akan tetepi hal ini dilakukan ketika tidak

ada cara lain untuk dilakukan. Namun, jika metode al-qiyâfah dapat dilakukan

seperti pada kasus di atas, maka metode al-qiyâfah harus didahulukan. Hal ini

dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qayyim sendiri dalam kitab Kitab al-Turuq al-

Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah sebagai berikut:

8

Artinya: “Undian digunakan hanya pada saat di mana tidak ditemukan faktor

lain untuk dijadikan dasar pengadilan. Telah diketahui, metode al-

qiyâfah menjadi faktor yang menguatkan bukti, baik ia berstatus sebagai

saksi, hakim, atau mufti. Undian tidak dapat digunakan selama ada al-

qiyâfah”.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa al-

qiyâfah merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seseorang dengan

orang lain yang diperkirakan memiliki keterikatan tali darah dengan orang yang

7 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 616. 8 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 616.

Page 112: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

97

diteliti. Tentunya Ibnu Qayyim memandang al-qiyâfah lebih tinggi kedudukannya

dibandingkan dengan cara penetapan nasab melalui undian. Namun, al-qiyâfah

lebih lemah dan dapat diabaikan ketika penetapan nasab melalui cara lain yang

lebih kuat dapat dilakukan, misalnya penetapan nasab melalui ranjang atau

disebut dengan firâsy.

Kemudian secara implisit, Ibnu Qayim lebih condong menggunakan

penalaran ta‘lîlî, yaitu penalaran hukum dengan menggunakan ‘illat. Metode

penalaran ta‘lîli ini dimaksudkan untuk menetapkan bahwa al-qiyâfah memang

menjadi bagian penetapan nasab yang diakui dalam syari‘at Islam. Metode

penalaran ta‘lîli ini terlihat pada analisa Ibnu Qayyim atas riwayat hadis dari

Aisyah. “Rasa senang” Rasulullah SAW atas pakar telematika (al-qiyâfah) seperti

tersebut dalam hadis menjadi ‘illat (ratio legis) atau alasan diakuinya metode al-

qiyâfah dalam menetapkan nasab.

Walaupun Ibnu Qayyim tidak menyebutkan metodenya, bahkan tidak

menyatakan “rasa senang Rasulullah SAW” sebagai ‘illat hukum. Tetapi, Ibnu

Qayyim menyebutkan “rasa senang” tersebut menjadi indikasi dan dugaan kuat

atas dibenarkannya al-qiyâfah sebagai metode penetapan nasab. Hal ini dapat

dipahami dari penyataan Ibnu Qayyim dalam kitab Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair

al-‘Ibâd yang berbunyi:

9

Artinya: “Dalam hadis ini, Rasulallah SAW terlihat senang dengan pernyataan

para pakar telematika (al-qiyâfah). Sekiranya masalahnya seperti yang

dikatakan para penentang mengenai kebiasaan kaum jahiliyah yang

9 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‘âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd…, h. 375.

Page 113: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

98

mempergunakan jasa para dukun dan profesi sejenisnya, tentu Beliau

(Rasulallah SAW) tidak merasa gembira kerenanya dan tidak kagum,

dan tentu kedudukannya disamakan dengan para dukun. Padahal dalam

salah satu hadis sahîh disebutkan bahwa Rasulallah SAW memberikan

ancaman bagi orang yang mempercayai dukun”.

Selain itu, alasan yang menjadi ‘illat hukum dibenarkannya menetapkan

nasab melalui al-qiyâfah yaitu karena “keserupaan” itu sendiri, atau dalam hadis

disebutkan dengan “syabah”. Karena, menurut beliau, hukum-hukum syari‘at

(termasuk hukum al-qiyâfah pada beberapa hadis sebelumnya) dibangun

berdasarkan perkiraan-perkiraan yang kuat dan petunjuk umum. Untuk itu,

menurut beliau “kemiripan” anak dengan orang tuanya merupakan suatu petunjuk

umum yang sifatnya pasti diwariskan dari orang tua kepada keturunannya, dan

“kemiripan” itu sendiri menjadi bukti dari ciptaan syara‘ terhadap manusia

dengan turunannya.

Dan perlu dipertegas lagi, bahwa “syabah” atau “keserupaan” masuk

dalam ‘illat hukum disebabkan karena adat kebiasaan, di mana sifat fisik orang

tua yang diciptakan syara‘ biasanya akan diwarisi oleh anak-anaknya.

Dengan demikian, alasan atau ‘illat hukum inilah menjadi sebab dapat

dilakukannya penetapan nasab melalui al-qiyâfah. Sebagaimana dalam hadis,

Rasulallah SAW menetapkan nasab anak juga berdasarkan kemiripan dengan

orang tuanya.

B. Analisis Tes DNA

DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) atau ا ل ب ص م ة ال و ر اث ي ة )al-Basmah al-

Wirâtsiyah), merupakan pengembangan sains di bidang biologi mulekuler yang

ditemukan pada tahun 1869 M, ketika Friederich Miescher, seorang ahli kimia

berkebangsaan Swiss dapat mengisolir molekul DNA dari sel spermatozoa.

Penemuan ini telah memberikan sumbangan yang berharga terhadap manusia baik

Page 114: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

99

dalam mengembangkan sains maupun dalam memenuhi dan meningkatkan

kebutuhan manusia. Salah satu diantaranya ialah tes DNA dapat digunakan dalam

menentukan genetik seseorang.

Tentu saja metode pengujian DNA sebagaimana dimaksud di atas belum

kita dapatkan pada 1440 tahun yang silam, ketika Rasulullah SAW berada di

tengah para pengikutnya yang acap kali melontarkan berbagai bentuk pertanyaan

tentang masalah kehidupan. Pada sisi lain dimana sosialitas bangsa Arab

merupakan bangsa yang sangat mengagungkan nasab dan harta sebagaimana Al-

Qur’ân mengabadikannya dalam surat al-Takâtsur ayat 1-8 yang berbunyi:

Artinya: ”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke

dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat

perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan

mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti,

niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, kemudian kamu

benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian

kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang

megah di dunia itu)”.

Dalam tatanan masyarakat yang demikian maka kebutuhan terhadap

berbagai bentuk perangkat yang mendukung tercapainya tujuan tersebut sangat

dibutuhkan. Termasuk di dalamnya masalah nasab.

1. Tes DNA dalam Mengetahui Hubungan Darah dan Pewarisan Sifat

Kemiripan

Sudah sunnatullâh, bahwa orang tua akan menurunkan sifat-sifat fisiknya

kepada anak-anaknya. Pewarisan sifat fisik ini melalui DNA yang terdapat pada

Page 115: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

100

orang tua, karena DNA itu sendiri berfungsi dalam pewarisan sifat atau hereditas.

Namun demikian, penggunaan tes DNA sebagai alat bukti dalam perkara

pembuktian adanya hubungan nasab merupakan sesuatu yang baru dalam hukum

Islam. Karena ulama-ulama fikih terdahulu sama sekali tidak membahas

permasalahan ini, yang dibahas hanyalah metode al-qiyâfah yang dilakukan oleh

para ahli dalam mencari titik temu kemiripan seseorang dengan orang lain yang

dianggap memiliki keterikatan hubungan darah.

Dalam istilah fikih, penggunaan tes DNA sebagai metode penetapan

nasab dapat dikatakan belum pernah dilakukan. Mengingat, tes DNA ini sendiri

sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.10

Pemanfaatan teknologi DNA dalam bidang hukum dapat saja dilakukan dalam

ranah penemuan-penemuan hukum baru dalam Islam. Salah satunya dimanfaatkan

dalam menentukan nasab seseorang yang belum jelas, terhadap orang lain yang

diperkirakan memiliki hubungan nasab dengannnya.

Penggunaan tes DNA dalam suatu pembuktian sering dilakukan baik

pada kasus pidana maupun perdata ataupun diluar hukum seperti mengidentifikasi

korban kebakaran yang sudah hangus dan lain-lain. Kasus pembuktian nasab

dalam kasus perkara perdata telah dilakukan terhadap Machica Muchtar terhadap

anaknya Muhammad Iqbal dengan suaminya Murdiono. Identifikasi dengan tes

DNA menjadi relevan, akurat dan penting dalam pembuktian nasab. Contoh kasus

lainnya yaitu yang terjadi di Semarang, seorang yang bernama Andaryoko Wisnu

Prabu mengaku sebagai sosok Supriyadi pejuang PETA. Pengakuan tersebut

menggemparkan para peneliti sejarah, karena mereka meyakini bahwa Supriyadi

sudah meninggal. Berdasarkan pengakuannya ini Andaryoko Wisnu Prabu

ditantang oleh pihak keluarga Supriyadi untuk melalukan tes DNA, untuk

10 James Watson merupakan penemu struktur DNA pertama, yaitu pada tahun 1940. Ilmuan ini

tercatat sebagai orang pertama yang mememiliki peta genom DNA tubuhnya sendiri. Lihat dalam Ayu

Rahmah Bakrie, Sejarah Penemuan DNA, Struktur Nukleotida, Sertifikasi DNA. Artikel diakses pada tanggal

26 Desember 2017 dari: https://www.scribd.com/doc/312121901/Sejarah-Penemuan-Dna-Struktur-

Nukleotida-Sertifikasi-Dna.

Page 116: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

101

menyamakan sama atau tidaknya antara DNA Andaryoko dengan DNA pihak

keluarga Supriyadi. Menurut Dr. Herawati Sudoyo dan Dr. Helena Suryadi,

menyatakan bahwa hasil tes DNA adalah 100% akurat bila dikerjakan dengan

benar.11

Berdasarkan kasus-kasus tersebut, tes DNA dapat dijadikan alat yang

membantu dalam menetapkan nasab seseorang. Penetapan asal-usul anak

sangatlah penting, karena ada tidaknya nasab akan berpengaruh pada ada tidaknya

hubungan waris, nafkah, perwalian, hadanah dan lain-lain. Tes DNA

sebagaimana telah disebutkan oleh para ahli tersebut, secara akurat dapat

membuktikan nasab seseorang. Penetapan nasab melalui tes DNA ini sendiri tentu

dilakukan jika ada kasus tentang penyangkalan nasab. Untuk itu, tes DNA sangat

diperlukan.

2. Tes DNA Sebagai Bukti adanya Hubungan Nasab Menurut Hukum

Islam

Menurut ahli fikih sebagaimana dikutip oleh Taufiqul Hulam alat-alat

bukti dalam Hukum Acara Peradilan Islam terdiri dari tujuh macam:12

a. Iqrâr (pengakuan).

b. Syahâdah (kesaksian).

c. Yamîn (sumpah).

d. Nukûl (penolakan sumpah).

e. Qasâmah (bersumpah 50 orang).

f. Ilmu pengetahuan hakim.

g. Qarînah (petunjuk-petunjuk/tanda-tanda).

11 Bahruddin Muhammad, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis Teknologi Al-

Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur Rahman)”, Artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2010

pada: https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/reaktualisasi-hukum-pembuktian-nasab-

berbasis-teknologi-al-qiyafah-oleh-dr-h-bahruddin-muhammad-sh-mh-101. 12 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 16.

Page 117: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

102

Apabila dilihat dari segi macamnya alat bukti, maka tes DNA dapat

diqiyaskan13 dalam alat bukti qarînah yang diberikan oleh saksi ahli (dokter ahli

forensik). Dalam al-Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, sebagaimana dikutip olah

T.M. Hasbi Al-Siddîqi14 sebagaimana dikutip oleh Taufiqul Hulam, qarînah

diartikan dengan “tanda-tanda yang menimbulkan keyakinan”. Qarînah terbagi

dua, yaitu:15

1. Qarînah ‘urfiyah, yaitu kesimpulan-kesimpulan yang ditanggapi hakim dari

suatu peristiwa yang terkenal untuk suatu peristiwa yang tidak terkenal.

2. Qarînah syar‘iyyah, yaitu qarînah yang dikeluarkan (ditanggapi) syara‘ dari

peristiwa yang terkenal untuk suatu peristiwa yang tidak terkenal.

Meskipun qarînah merupakan alat bukti, namun tidak semua qarînah

dapat dijadikan sebagai alat bukti, menurut Roihan A. Rasyid sebagaimana

dikutip oleh Taufiqul Hulam, kriteria qarînah yang dapat dijadikan sebagai alat

bukti, yaitu qarînah itu harus jelas dan meyakinkan, tidak dibantah lagi oleh

manusia normal atau berakal. Perlunya pembuktian dengan mengajukan alat-alat

bukti yang otentik sebagai langkah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan

dengan tetap berpegang teguh pada kaidah:

16

Artinya: “Hukuman-hukuman hadd itu bisa gugur karena syubhat”

Berdasarkan kaidah tersebut seorang hakim tidak diperbolehkan

menjatuhkan vonis bila belum mendapatkan bukti yang jelas dan otentik yang

menunjukkan bahwa kasus itu merupakan pelanggaran hukum. Bukti yang otentik

13 Qiyas adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nash (ketentuan) dalam al-Qur’an dan

Hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. 14 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 16. 15 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 17. 16 Jalâl al-Dîn Abdurrahmân bin Abî Bakr al-Suyûti, al-Asybâh wa An-Nadza’ir Fi Qowâ‘ida Wa

Furu‘i Fiqh al-Syâfi‘iyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), h. 212 .

Page 118: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

103

itu dapat dijumpai dengan penggunaan tes DNA, di dalam DNA terdapat

informasi turun menurun yang menentukan keturunan selanjutnya. Peran DNA

adalah sebagai pembawa bahan-bahan genetik dari sel ke sel dan dari orang

tuanya kepada keturunannya. Oleh karena itu seorang anak dapat dibuktikan

hubungan nasab dengan ayahnya melalui tes DNA. Diqiyaskannya tes DNA

dengan qarînah sebagai asumsi bahwa qarînah yang telah termaktub dalam Al-

Qur’an dan Hadis perlu diaktualisasikan agar dapat bersifat responsif terhadap

perkembangan zaman. Hal ini dikaidahkan dalam usul fiqih yang menyebutkan:

Artinya: “Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran berubahnya

masa.”

Pembuktian anak di zaman Rasullullah dilakukan dengan menggunakan

alat bukti qarînah sebagai dasar penetapan hukum dalam hukum Islam yakni yang

terjadi pada masa Nabi Sulaiman. Ketika itu Nabi Sulaiman didatangi dua orang

perempuan (antara perempuan muda dan perempuan tua) yang bersengketa

memperebutkan seorang anak. Masing-masing mengaku bahwa anak tersebut

adalah anak kandungnya. Sengketa ini kemudian oleh Nabi Sulaiman

disidangkan, dalam sidang tersebut Nabi Sulaiman meminta sebilah pedang yang

akan dipergunakan untuk membelah anak itu menjadi dua bagian untuk masing-

masing pihak yang bersengketa, setelah Nabi Sulaiman berkata demikian,

perempuan tua memperkenankan Nabi Sulaiman melakukan tindakannya,

sedangkan perempuan muda berkata sebaliknya “Jangan engkau lakukan itu,

semoga Allah memberikan rahmat-Nya atasmu, berikanlah anak itu kepadanya”.

Berdasarkan kasus tersebut diberikan lah anak itu kepada perempuan muda

tersebut, dikarena kan tidak mungkin seorang ibu rela anaknya dalam keadaan

17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu…, h. 361.

Page 119: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

104

sengsara dan teraniaya. Penetapan hukum yang diberikan oleh Nabi Sulaiman

berasal dari alat bukti qarînah.18

Keotentikan alat bukti qarînah sebagaimana dikemukan oleh Ibnu

Qoyyim sebagaimana dikutip oleh Taufiqul Hulam: “Bahwa qarînah merupakan

alat bukti yang apabila qarînah (petunjuk) itu sudah jelas adanya, maka tidak

perlu lagi meminta kesaksian dan juga bukti pengakuan”. Bila qarînah dikaitkan

dengan pembuktian tes DNA, keduanya memiliki relevansi yang sangat kuat,

dimana keduanya digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus, sama-sama

melihat petunjuk-prtunjuk yang ada. Hanya saja pembuktian melalui tes DNA

sifatnya lebih spesifik. Karena petunjuk-petunjuk diambil dari salah satu organ

tubuh yang didalamnya terdapat sel yang hidup, yang dalam

pengidentifikasiannya melibatkan para ahli genetika dan ahli kedokteran forensik.

Sementara itu alat bukti qarînah sifatnya lebih universal, artinya

petunjuk-petunjuk bisa dapat dilihat dari membaca keadaan-keadaan apa saja yang

mempunyai pertalian yang cukup erat sehingga membawa pada satu titik

kesimpulan yang meyakinkan. Oleh karena keuniversalannya ini maka

pembuktian tes DNA dapat dikategorikan sebagai alat bukti qarînah yang

mempunyai nilai keakuratan dan keotentikan. Alat bukti qarinah merupakan

wujud qiyâs yang berupa qiyâs musâwi.19 Karena keduanya mempunyai ‘illat

hukum yang sama yakni sama-sama membaca petunjuk.

Dalam hukum Islam tes DNA dapat diartikan sebagai alat bukti qarînah

‘urfiyah, sedangkan dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti qarînah ‘urfiyah ini

disebut dengan persangkaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1915 KUHPerdata jo

164 butir (3) HIR. Pasal 1915 KUHPerdata menyebutkan:

18 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah…, h. 8. 19 Qiyâs Musâwi ialah suatu qiyâs yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum

yang disamakan mulhaq nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulhaqbih. Lihat Mukhtar

Yahya & Fachrurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Al- Ma‘ârif, 1993), h. 98.

Page 120: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

105

“Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang

atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal kearah

peristiwa yang tidak terkenal.” Dalam Pasal 164 butir (3) HIR

menyebutkan: “Maka yang disebut alat bukti, (3) persangkaan-

persangkaan.” Berdasarkan Pasal 1915 KUHPerdata jo 164 butir (3) HIR,

persangkaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu persangkaan berdasarkan

undang-undang dan persangkaan berdasarkan keyakinan hakim.

Persangkaan menurut undang-undang tercantum dalam Pasal

1916 KUHPerdata. Dalam pasal ini persangkaan didefinisikan persangkaan-

persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu

ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan

tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Persangkaan-persangkaan semacam itu

diantaranya adalah:

a) Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan

keadaanya dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan

undang-undang.

b) Peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna

menetapkan hak kepemilikan atau pembebasan harta.

c) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim yang

telah berkekuatan mutlak.

d) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau

sumpah oleh salah satu pihak.

Adapun persangkaan yang berdasarkan keyakinan hakim ditentukan

dalam Pasal 1922 KUHPerdata jo 173 HIR yang menyebutkan: “Persangkaan-

persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang diserahkan kepada

pertimbangan dan kewaspadaan hakim, yang namun itu tidak boleh

memperhatikan persangkaa-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan

tertentu, dan sesuai satu sama lain,. Persangkaan-persangkaan yang demikian

hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan

pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan

Page 121: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

106

terhadap suatu perbuatan atau suatu fakta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk

atau penipuan.” Berdasarkan pasal ini, dapat diketahui bahwa alat bukti

persangkaan/petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung, karena hakim

dalam mengambil kesimpulan haruslah menghubungkan dan menyesuaikan

dengan alat bukti lainnya.

Oleh karena itu alat bukti tes DNA dapat dijadikan sebagai alat bukti

yang melandasi keyakinan hakim, karena alat bukti tes DNA berisikan informasi

genetika keturunan yang dapat membuktikan hubungan nasab antara seorang anak

dengan ayahnya, sehingga petunjuk-petunjuk ini membawa pada satu titik

kesimpulan yang meyakinkan hakim.

Aplikasi alat bukti tes DNA dalam hal pembuktian pernah dipraktikkan

dalam kasus pembuktian status keturunan terhadap anak yang dilahirkan oleh

seorang model Rusia Angela Ermakova atas hubungannya dengan Boris Becker

(mantan petenis dunia). Dalam kasus ini Boris Becker mengelak bahwa anak yang

dilahirkan Angela Ermakova adalah anaknya. Ternyata setelah dilakukannya

pembuktian melalui tes DNA ternyata hasilnya positif bahwa anak tersebut

merupakan hasil dari hubungan gelap antara Boris Becker dengan Angela

Ermakova.20

Oleh karena itu apabila seorang ayah melakukan pengingkaran terhadap

anak yang dilahirkan oleh istrinya, pembuktian tes DNA dapat dijadikan sebagai

alat bukti otentik yang berupa alat bukti qarinah urfiyah yang tidak bertentangan

dengan ajaran hukum Islam.

20 Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif…, h. 81.

Page 122: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

107

3. Penggunaan Tes DNA Sebagai Alat Bukti Zina dalam Qanun Jinayah

Penggunaan tes DNA sebagai alat bukti zina dalam Qanun Jinayah hanya

berlaku bagi seorang perempuan yang mengaku berzina dan hamil karena

perzinaannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan tuduhan terhadap pasangan

zina tanpa bisa menghadirkan empat orang saksi, maka tes DNA akan digunakan

sebagai alat bukti pengganti empat orang saksi tersebut. Keterangan eksplisit

ketentuan qanun dalam masalah ini dimuat dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan ayat

(4).

Ayat (1): Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43

dalam keadaan hamil, hakim menunda pelaksanaan ‘Uqubat hingga

pemohon melahirkan dan berada dalam kondisi yang sehat. Ayat (2):

Pemohon yang menyebutkan nama pasangan Zinanya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 42 yang sedang dalam keadaan hamil dapat

membuktikan tuduhannya melalui tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)

dari bayi yang dilahirkannya. Ayat (3): Hasil tes DNA sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) menggantikan kewajiban pemohon untuk

menghadirkan 4 (empat) orang saksi.

Ketentuan Pasal 44 ini secara khusus diarahkan pada pembuktian

perzinaan melalui tes DNA terhadap seorang wanita hamil yang menyebutkan

nama pasangan zinanya. Jadi, perintah tes DNA tersebut hanya berlaku untuk

pembuktian bagi pemohon yang statusnya sebagai pelaku zina, dan tidak bisa

diterapkan bagi orang lain yang menuduh zina.

Pembentukan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum

Jinayah tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu

masyarakat Aceh menginginkan adanya aturan yang jelas dan konstitusional

tentang penegakan hukum, sebagai tindak lanjut dari keistimewaan yang diberikan

oleh pemerintah pusat dalam menegakkan syari’at Islam khususnya di bidang

penegakan hukum, terakhir sebagai representasi dari amanah Pasal 125 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahah Aceh.

Page 123: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

108

4. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tes DNA sebagai Alat Bukti Pengganti

Empat Orang Saksi

Sedangkan dalam hukum Islam, ulama sepakat bahwa pembuktian

jarimah zina dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu pengakuan (iqrâr) dan

persaksian (syahâdah).21 Sementara untuk alat bukti lainnya, seperti qarînah

masih diperdebatkan oleh kalangan ulama, kecuali menurut Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah. Beliau mengatakan bahwa qarînah sebagai alat bukti zina. Status atau

kedudukan tes DNA dalam pembuktian masuk sebagai bukti pendukung. Samîr

‘Âliyah menyebutkan bukti pendukung dalam kasus perzinaan bisa dengan

melihat kelahiran anak kurang dari masa enam bulan kehamilan, atau dengan

adanya kehamilan wanita yang tidak bersuami.22 Demikian halnya dengan tes

DNA, dalam kondisi ini ia mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti

pendukung lainnya. Tes DNA bisa digunakan untuk mendukung alat bukti lainnya

yang kurang sempurna.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tes DNA dalam

hukum Islam termasuk dalam jenis alat bukti pendukung dan tambahan seperti

halnya kehamilan dan kelahiran anak di luar batas minimal kehamilan. Alat bukti

pendukung dan tambahan seperti hasil tes DNA tidak bisa menggantikan empat

orang saksi, sebab tes DNA tidak disebutkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan

Hadis serta pendapat para ulama.

Adapun penilaian yang menyatakan bahwa hasil tes DNA itu tidak dapat

dijamin validitasnya karena kualitas/jenis darah dan pewarisan karakteristik

sangat beragam (fasâ’il al-dam wa al-‘awâmil al-waratsiyyah tatakarrar),

sebagaimana dikemukakan oleh ulama al-Azhar Syekh Jâd al-Haq ‘Ali Jâd al-

21 Abd al-Raḥman al-Jazîri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Mażâhib al-Arba‘ah…, h. 57. 22 Samîr ‘Âliyah, Niẓām al-Daulah wa al-Qaḍā wa al-‘Urf fī al-Islâm, Sistem Pemerintahan,

Peradilan, dan Adat dalam Islam, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2004),

h. 464.

Page 124: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

109

Haq.23 Dalam hal ini penulis memandang bahwa jawaban itu merupakan objek

kajian/spesialiasis DNA, yang dibangun berdasarkan eksperimen tertentu

sehingga menjadi sebuah teori yang teruji kebenarannya.

Dengan melihat pernyataan tersebut, penulis memandang bahwa

pernyataan itu termasuk dalam ketegori DNA mitokondria yang termasuk dalam

garis keturunan ibu. Tetapi apabila DNA tersebut dari inti sel (garis keturunan

bapak) maka akan sulit untuk berubah, karena DNA merupakan senyawan kimia

yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam

keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

C. Relevansi antara Metode al-Qiyâfah dengan Tes DNA

Pembahasan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pada pembahasan

sebelumnya, yaitu tentang pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang al-qiyâfah.

Karena, untuk mengetahui relevan atau tidaknya pendapat Ibnu Qayyim, harus

dicermati terlebih dahulu tentang DNA dan pengaruhnya terhadap pewarisan sifat,

tentunya disertai tentang pendapat Ibnu Qayyim mengenai al-qiyâfah tersebut.

Untuk mengawali pembasahan ini, sangat penting dijelaskan dengan

mengutip pendapat ‘Abdul Fattâh Mahmûd Idrîs, yang mengatakan bahwa secara

umum ada sifat-sifat dan rupa fisik yang diwariskan sebuah generasi keluarga

terhadap generasi berikutnya, baik dari bapak dan ibu langsung, maupun dari

kakek dan nenek. Seperti warna kulit tubuh, raut wajah, warna mata, bentuk

rambut, bentuk jari tangan dan kaki, serta tinggi dan pendek postur tubuh.24

23 Jâd al-Haq ‘Aly Jâd al-Haq, Buhûts wa Fatâwâ Islâmiyyah fî Qadâyâ Mu‘âsirah (Mesir: al-

Azhâr al-Syarîf al-Amânah al-‘Âmةah li al-Lajnah al-‘Ulya li al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1414 H), h. 335-371. 24 Abdul Fattah Mahmud Idris, Fiqih al-Bunûk al-Islâmiyyah, diterjemahkan oleh Addys Aldizar,

(Jakaarta: Pusataka Dinamika, 2014), h. 134.

Page 125: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

110

Oleh karena itu, penciptaan ciri-ciri sifat dan bentuk tubuh manusia yang

dapat diteruskan kepada anak turunannya tidak dapat dilepaskan dari keagungan

Allah SWT dalam menciptakan makhluknya. Melalui perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini, penciptaan manusia terkait

dengan ciri-siri tersebut telah mampu dianalisa melalui metode tes DNA. Telah

disebutkan bahwa metode ini berfungsi sebagai informasi pewarisan sifat yang

ada pada orang tua kepada anaknya, baik sifat tersebut dalam bentuk fisik,

maupun dalam bentuk pewarisan sifat seksualitas, atau jenis kelaminnya.

Dahulu, memang belum ada metode tes DNA untuk mengetahui ciri-ciri

seseorang. Namun, jauh sebelum dikenalnya tes DNA, masyarakat Islam telah

mengenal metode penetapan nasab melalui pengetahuan akan ciri dan kemiripan

antara seorang anak dengan orang tuanya, atau disebut dengan metode al-qiyâfah.

Penetapan nasab melalui metode al-qiyâfah memang cukup sederhana, yaitu

sekedar melihat dan menelaah kemiripan seorang anak yang belum jelas nasabnya

sehingga dapat ditentukan nasabnya dengan orang yang diduga memiliki

keterikatan nasab dengannya melalui kemiripan tadi.

Meskipun sangat sederhana, namun metode al-qiyâfah ini hanya bisa

dilakukan oleh ahlinya (al-qâif), yang sanggup meneliti sisi kemiripan, hingga

mendapat dugaan kuat dan bukti yang valid bahwa anak yang diteliti tersebut

memang benar-benar mempunyai kesamaan bentuk fisik dengan orang yang

diduga kuat memiliki keterikatan nasab. Maka dari itu, nampaknya dari sisi inilah

yang relevan antara metode al-qiyâfah dengan tes DNA.

Adapun terkait dengan permasalahan ini dapat dinyatakan bahwa

pendapat Ibnu Qayyim tentang al-qiyâfah sangat relevan dengan tes DNA dalam

membuktikan nasab seseorang. Relevansi pendapat Ibnu Qayyim ini dapat dilihat

dari dua sudut pandang sebagai berikut:

Pertama, metode al-qiyâfah yang dimaksud oleh Ibnu Qayyim yaitu

seputar kemiripan bentuk fisik seorang anak dengan orang yang dianggap sebagai

Page 126: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

111

orang tuanya. Sifat-sifat yang mirip ini bisa dalam bentuk postur tubuh anak,

bentuk rambut, warna mata dan warna kulit. Demikian juga dalam tes DNA,

bahwa gen orang tua akan dikirim dan dilanjutkan kepada anak-anaknya, sehingga

dapat dipastikan sifat-sifat fisik orang tua diwariskan kepada anak-anaknya

tersebut.

Kedua, relevansi pendapat Ibnu Qayyim tentang al-qiyâfah dengan tes

DNA yaitu terletak pada orang yang meneliti sisi kemiripan (al-qâif) dan orang

yang ahli dalam tes DNA. Menurut Ibnu Qayyim, untuk menetapkan nasab

melalui al-qiyâfah, harus dilakukan oleh orang-orang tertentu, yang pastinya

mempunyai kapasitas keilmuan dan mampu meneliti sisi-sisi kemiripan orang

yang diteliti, sehingga hasil dari penelitian tersebut benar-benar mendapatkan

bukti yang valid, bahkan Rasulullah SAW dan sahabatnya mengutus ahli qiyâfah

dalam menetapkan nasab sebagaimana keterangan hadis-hadis yang sudah

disebutkan. Demikian juga dalam tes DNA, tentu dilakukan oleh para pakar dan

ahli di bidang Genetika (Dokter Spesialis DNA). Maka dari itu, antara al-qiyâfah

dan tes DNA tidak sembarang orang yang mampu melakukannya.

Meskipun pendapat Ibnu Qayyim ini terdapat relevansi dengan tes DNA

dalam pembuktian nasab, akan tetapi secara khusus metode tes DNA untuk

perkembangan teknologi sekarang ini, mampu dan dapat dipastikan hasilnya

terukur dan lebih valid. Bahkan, tes DNA ini tidak hanya digunakan dalam

lapangan hukum perdata saja, tetapi juga mampu mewadahi segala hukum yang

dimungkinkan tes DNA masuk di dalamnya. Salah satunya dalam

mengidentifikasi pelaku kejahatan. Maka dari itu, penulis dapat menyimpulkan

bahwa tes DNA merupakan bentuk perkembangan penetapan nasab yang pada

zaman dahulu hanya dilakukan dengan metode al-qiyâfah.

Page 127: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

112

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan serta analisis mengenai pendapat Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-

Syar‘iyyah tentang al-qiyâfah dan tes DNA sebagai metode dalam penetapan

nasab yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa

kesimpulan, diantanranya:

1. Jumhur ulama sepakat bahwa metode penetapan nasab seseorang terhadap

orang lain dalam Islam itu ada tiga, yaitu: perkawinan yang sah, pernikahan

fâsid, dan melalui hubungan syubhat. Selain itu ada beberapa metode lainnya

yang tidak disepakati oleh ulama, seperti al-qiyâfah pembuktian, iqrâr bi al-

nasab, dan undian. Al-qiyâfah adalah cara penetapan nasab dengan

menggunakan kemiripan. Kemiripan yang dimaksud seperti muka, anggota

tubuh, warna kulit, bentuk rambut dan lainnya.

2. Metode istinbâṯ yang digunakan Ibnu Qayyim dalam menetapkan al-qiyâfah

yaitu melalui metode penelaran ta‘lîli, yaitu suatu bentuk penalaran (metode

istinbât) hukum seorang ulama yang cara kerjanya dengan melihat dan

menelaah ‘illat hukum pada dalil Al-Qur’ân maupun hadis yang menjadi

fokus kajian. Ibnu Qayyim juga memandang “rasa senang” Rasulullah SAW

terhadap para pakar al-qiyâfah sebagai alasan (‘illat hukum) dilegalkannya

al-qiyâfah sebagai metode penetapan nasab. Selain itu, ‘illat hukum lainnya

yaitu sifat fisik orang tua secara pasti diturunkan kepada anak-anaknya.

3. Relevansi pendapat Ibnu Qayyim dengan tes DNA ini dilihat dari dua sudut

pandang. Pertama, kajian tentang al-qiyâfah berkisar tentang kemiripan

Page 128: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

113

bentuk fisik yang diwarisi oleh orang tua terhadap anak, seperti bentuk postur

tubuh anak, bentuk rambut, warna mata dan warna kulit. Tes DNA juga

mengkaji tentang pewarisan sifat-sifat fisik orang tua terhadap keturunannya.

Kedua, penelitian nasab melalui al-qiyâfah harus dilakukan oleh orang-orang

yang ahli, mempunyai kapasitas keilmuan dan mampu meneliti sisi-sisi

kemiripan, sehingga mendapatkan bukti yang valid. Penelitian nasab melalui

tes DNA juga dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ahli di bidang

genetika (dokter spesialis). Adapun perbedaanya adalah, al-qiyâfah dilakukan

dengan melihat dan perasaan, sedangkan tes DNA dilakukan dengan alat

teknologi seperti laboratorium dan lain sebagainya.

B. Saran

Atas apa yang telah diuraikan dari keterangan dalam penelitiam ini,

penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagaimana berikut:

1. Kepada Hakim agar dalam memutus perkara nasab anak, hakim lebih bijak

menggunakan dalil-dalil hukum dan lebih teliti dalam penulisan redaksi

putusan.

2. Kepada para tokoh agama agar memberikan nasihat dan pendalaman agama

kepada masyarakat, sehingga masyarakat terhindar dari perbuatan yang

melanggar norma agama (zina), karena anak yang lahir akibat perzinaan sama

sekali tidak bisa memperoleh hak nasab kepada ayah kandungnya. Anak zina

secara yuridis selamanya tidak akan pernah mempunyai ayah kandung yang

sah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama fikih.

Page 129: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

114

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an

Departemen Agama RI, 1971.

Buku

Âbadî, Al-Fairûz, al-Qâmûs al-Muhît, Mesir: Matba‘at Bûlâq, 1272 H, jilid

ketiga.

Abidin, Ibnu, Raddi al-Mukhtâr ‘Alâ Durri al-Mukhtâr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992,

jilid kedua.

Abu Bakar, al-Yasa’, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya, dalam

Juhaya, “Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik”, Bandung:

Rosda Karya, 1991.

Abu Zahrah, Muhammad, al-Ahwâl al-Syakhshiyyah, t.t: Dâr al-Fikr al-‘Arabi,

t.th.

Ahmad, Khalil al-Siharanfurî, Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, Beirut: Dâr

al-Qutub al-‘Ilmiyyah, t.th, jilid kesembilan.

Aliyah, Samir, Niẓām al-Daulah wa al-Qaḍā wa al-‘Urf fī al-Islām, Sistem

Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam, diterjemahkan oleh

Asmuni Solihan Zamakhsyari, Jakarta: Khalifa, 2004.

Amin, Muhammad bin Umar bin Abidin, Rad al-Muhtâr Alâ al-Durri al-Mukhtâr

(Hâsyiyah Ibnu Abidin), Beirut: Dâr al-Fikr, 1992, jilid kedua.

Al-Andalusî, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Muhallâ bi al-Âtsâr, Beirut:

al-Maktabah al-Tijârî, 1351, jilid kesembilan.

Al-Ansârî, Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arob, Beirut: Dâr Lisân al-‘Arob, 1968, jilid

kesembilan.

Al-Ansâri, Muhammad bin Ahmad aL-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,

Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964, jilid kedua belas.

……......, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964,

jilid ketiga belas.

Analiansyah, Usul Fiqh III, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009.

Al-Atsqalânî, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhâri, t.t:

Maktabah al-Salafiyyah, t.th, jilid kedua belas.

Page 130: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

115

Ba‘alawî, al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar,

Bugiyyah al-Mustarsyidîn fî Talkhis Fatâwâ Ba’da al-A’immah min al-

Ulamâ al-Muta’akhirîn, Banten: Maktabah Iqbal Haji Ibrahim, t.th.

Badran, Badran Abu al-Ainain, Huqûq al-Aulâd Fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa

al-Qânûn, Iskandariyah: Muassasah Syabâb al-Jâmiah, t.th.

Baihaqî, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa, Al-Sunan al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-

Qutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

Baiqunî, Achmad, Al-Qur’an dan Ilmi Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: PT.

Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.

Bakr, Abu bin Arobi al-Malikî, Ahkâm al-Qur’an, Libanon: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyah, 2003, cetakan ketiga.

Barrî, Zakaria Ahmad, Ahkâm al-Maulûd fî al-Islâm, al-Qâhirah: al-Dâr al-

Qaumiyyah, 1964.

Baru, PT Ichtiar, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996, jilid kedua.

Al-Baghawî, al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad, Syarh al-Sunnah, Beirut: Dâr

al-Qutub al-Ilmiyyah, 1992, cetakan pertama, jilid kelima.

Al-Bahûtî, Manshur bin Yunus bin Idris, Kasyfu al-Qinâ’ ’an Matni al-Iqnâ’,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1981, juz keenam.

Al-Bukhârî, Muhammad Abu Abdillah bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-

Jâmi’ al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtashor min Umûri Rasulillah

Sallallâhu Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyâmihi, Damaskus: Dâr

Ibnu Katsîr, 2002, nomor hadis: 6771, jilid keenam.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997, cetakan pertama, jilid keenam.

Danin, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setra, 2002.

Djazulî, Ahmad, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum

Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, edisi revisi,

cetakan keenam.

Al-Dâruqutnî, Ali bin Umar, Sunan al-Dâruqutni, al-Qâhirah: Dâr al-Mahâsin Li

al-Tibâ’ah, 1996, jilid ketiga.

Fattah, Abdul Mahmud Idris, Fiqih al-Bunûk al-Islâmiyyah, diterjemahkan oleh

Addys Aldizar, Jakarta: Pusataka Dinamika, 2014.

Page 131: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

116

Fauzan, Saleh, al-Mulakhas al-Fiqhiyyi, Riyadh: Dâr al-Âsimah, 2002, cetakan

pertama, jilid kedua.

Ghamrawî, Muhammad al-Zuhri, al-Sirâj al-Wahhâj, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Al-Ghazâlî, Abu Hamid Muhmmad bin Muhmmad, Ihya ‘Ulum al-Dîn,

Semarang: Toha Putera, t.th, jilid kedua.

……...…, al-Mustasfa min ‘ilmi al-Usûl, Kairo: Syirkah al-Tiba’ah al-Fanniyyah

al-Muttahidah, 1971.

Habib, Abu Su’dî, al-Qâmûs al-Fiqhi Lughatan wa Istilâhan, Beirut: Dâr al-Fikr,

1988.

Hasaballah, Ali, al-Furqah Bain al-Zaujain wamâ Yata’allaqu bihâ min ‘Iddah

wa Nasab, t.t: Multazam al-Tabwa al-Nasyr, 1968, cetakan pertama.

………..., al-Furqah Baina al-Zaujaini wamâ Yata’allaqu bihâ min ‘Iddah wa

Nasab, t.t Multazam, 1996.

Al-Haq, Jâd al-Haq ‘Âly Jâd, Buhûts wa Fatâwâ Islâmiyyah fî Qadâya

Mu’âshirah Mesir: al-Azhar al-Syarîf al-Amânah al-‘Âmah li al-Lajnah

al-‘Ulya li al-Da’wah al-Islâmiyyah, 1414 H.

Hazm, Ali bin Ahmad bin Said bin, al-Muhallâ Bi al-Âtsâr, Beirut: Dâr al-Kutub

al-‘ilmiyyah, t.th, jilid kesepuluh.

Hilâlî, Sa‘du al-Dîn Sa‘ad, al-Basmah al-Wirâtsiyah wa ‘Alâ’ikuhâ al-Syar‘iyyah

(Dirâsah Fiqhiyyah Muqâranah), Kuwait: Majlis al-Nasr al-‘Ilmi, 2001.

Hulâm, Taufiqul, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Positif, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.

Ibnu Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Anas

bin Malik nomor hadis: 12450, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, t.th, jilid

kesembilan belas.

Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut: Mu’assasah

al-Risâlah, t.th, Jilid kedua.

Irfan, Nurul, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah 2013,

cetakan kedua.

..……..., Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012,

Edisi pertama, cetakan pertama.

Islam, Ensiklopedi Hukum, Nasab, Editor Abdul Azis Dahlan, Jakarta: Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1996, cetakan pertama, jilid keempat.

Page 132: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

117

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, al-Turuq al-Hukmiyyah fȋ al-Siyâsah al-Syar‘iyyah,

Makkah: Dâr ‘Âlim al-Fuâd, 1437 H, jilid 1pertama, cetakan ketiga.

………..., Miftâh Dâr al-Sa’âdah, diterjahkan oleh Abdul Matin dan Salim

Rusydi Cahyono, Solo: Tiga Serangkai, 2009.

…..……., Pesona Keindahan, diterjemahkan oleh Hadi Mulyo, Jakarta: Pusaka

Azzam, 1999, cetakan pertama.

…….….., Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Makkah, Dâr Âlim al-Fuâd, 2011, cetakan

pertama.

………..., Al-Fawâid, Makkah, Dâr Âlim al-Fuâd, 2008, cetakan pertama.

………..., Kasyfu al-Ghitâ ‘an Hukmi Sama’ al-Ghina, diterjemahkan oleh Abu

Ihsan Atsari, Jakarta: Darul Haq, 1991.

………..., Zâd al-Ma’âd fî Hadyî Khair al-‘Ibâd, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah,

1998, cetakan ketiga, jilid kelima.

Al-Jâzirî, Abdul Rahman, al-Fiqh ‘Alâ Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Qutub

al-‘Ilmiyyah, 2003, cetakan kedua, jilid kelima.

Al-Jurjânî, Ali bin Muhammad, Mu’jam al-Ta’rîfât, al-Qâhiroh: Dâr al-Fadîlah,

t.th, jilid pertama.

.………, Ali bin Muhammad, Kitab at-Ta’rifat Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1988.

Khamlisyî, Ahmad, al-Ta’lîq ‘Ala Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah, t.t,: Dâr al-

Nasyr al-Ma’rifah, t.th, cetakan kedua, jilid kedua.

Khatîb, Yasin Bin Nasir Bin Mahmud, Tsubût al-Nasab, Jeddah: Dâr al-Bayân al-

Arabî, 1987, cetakan pertama.

Kreitzman, Stephen N, Ilmu Pengetahuan Populer (Ilmu Fisika, Biologi Umum),

Jakarta: Widyadara Grolier International, 2001.

Ma’lûf, Luis, al-Munjid fî al- Lughah, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977, cetakan

kedua puluh dua.

Mas’adî, Ghufron A, Pemikiran Fazlul Rahman Tentang Metodologi

Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Al-Mughniyah, Muhammad Jawwâd, al-Ahwâl al-Syakhsiyyah ‘alâ Madzâhib al-

Khamsah (al-Ja’fariyah, al-Hanafi, al-Syâfi’I, al-Mâliki, al-Hanbali),

Beirut: Dâr al-Ilmi Li al-Malâyȋn, 1964, cetakan pertama.

Page 133: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

118

…..….., Fikih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2007.

Muhammad, Abdillah bin Abu Bakr Ayyub al-Zar’i, al-Fawaid, Beirut: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1973, cetakan kedua.

……..., al-Jawâb al-Kâfi Liman Sâla ‘An al-Dawâ al-Syâfi au al-DâI wa al-

DawwâI, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1417 H.

Muhammad, Abdullah bin Abdurrahman al-Magzî, Mawâhib al-Jalîl Li Syarh

Mukhtashar Khalîl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978, jilid kelima.

Mujahid, Imam bin Jabr, Tafsir al-Imam Mujahid bin Jabr, Madinah Nasr: Dâr al-

Fikr al-Islâmi al-Hadîtsiyyah, 1989, cetakan pertama.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, cetakan ketujuh.

Muqaddasah, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Muflih, Kitab al-Furû’,

t.t: Âlim Qutub, t.th, jilid kelima.

Musa, Muhammad Yusuf, al-Nasab wa Âtsâruhu, al-Qahirah: Dâr al-Ma’rifah,

1958, cetakan kedua.

Al-Nawawî, Yahya bin Syaraaf, Raudah al-Tâlibîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.th, jilid keenam.

………., al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, San’â: Dâr al-Irsyâd, 2008, jilid 20,

...…..…., Raudat al-Talibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, jilid

ketiga.

Al-Naysâbûrî, Abu al-Hasan bin al-Hajjaj bin Muslim, al-Jâmi’ al-Shahîh al-

Musammâ Sahîh Muslim, Riyad: Dâr Tayyibah, 2006, nomor hadis:

1459, cetakan pertama, jilid kedua.

Nazzam, Hammam Mualana al-Syaikh dkk, al-Fatâwâ al-Hindiyyah, Beirut: Dâr

al-Turâts al-‘Arabi, t.th, jilid keenam.

Olson, Steve, Mapping Human History: Gen, Ras Dan Asal Usul Manusia,

Jakarta: Serambi, 2005.

Paul Strathem Crick, Watson dan DNA, diterjemahkan oleh Fransisca Petrajani,

Jakarta: P.T. Erlangga 2003.

Phoenix, Tim Pustaka, Kamus Basar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Phoenix,

2009, cetakan ketiga.

Qal’ahjî, Muhammad Rawwas, Mausu‘ah Fiqh Umar bin al-Khattab, t.t: t.p,

1981, cetakan pertama.

Page 134: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

119

Qusyairî, Abu al-Husain Muslim bin Hajjâj bin Muslim, al-Jâmi’ al-Sahîh,

Beirut: Dâr al-Jail, nomor hadis 3688, jilid ketujuh.

Rahman, Abd Al-Sayyid bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar, Bughyah al-

Mastarsidîn Talkhish Fatâwa Ba’du al-Aimmah min al-‘Ulamâ al-

Mutakhkhirîn, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Semarang: Toha

Putra, t.th, jilid kedua.

Al-Sajestânî, Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi Abu Daud, Sunan Abî Dâwud,

Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, nomor hadis: 2262, jilid kedua.

Al-Sarkhasyî, Syamsu al-Din, al-Mabsût, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, jilid kedua

puluh.

Al-Shâwî, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad, Hâsyiah al-Sâwi ‘Alâ Syarh

al-Saghîr, Mesir: Dâr al-Ma’arif, 2001, jilid kedelapan.

Sâwî, Ahmad, Bulghah al-Sâlik li Aqrab al-Masâlik, Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1995, cetakan pertama, jilid ketiga.

Siba’î, Musthafa, Syarah Qânûn al-Ahwâl al-Syakhsiyyah, Damaskus: Matba’ah

Jâmiah, 1972, cetakan kelima, jilid pertama.

Strathem, Paul, Crick, Watson dan DNA, alih bahasa Fransisca Petrajani, Jakarta:

P.T. Erlangga 2003.

Suryo, Genetika Strata I, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001,

cetakan kesembilan.

Al-Suyutî, Jalal al-Din Abdurrahman bin Abi Bakr, al-Asybâh wa An-Nadza’ir Fi

Qowaida Wa Furu’i Fiqh al-Syafi’iyyah, Beirut: Dâr al-Qutub al-Ilmiyyah, 1983.

Syalabî, Muhammad Musthafa, Ahkâm al-Usrah fî al-Islâm, Dirâsah Muqâranah

Baina al-Fiqh al-Mazâhib al-Sunniyyah wa Mazâhib al-Ja’fari Wa al-

Qânûn, Beirut: Dâr al-Nahdah al-Arabiyyah, 1977, cetakan kedua.

………..., Ta’lîl al-Ahkam, Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981.

Syarifuddin, Amir, Ushûl Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009,

jilid ketiga.

Syarkhasî, Syamsuddin, al-Mabsût, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993, cetakan pertama,

jilid kedelapan.

Al-Syarbînî, al-Khotib, Mughnî al-Muhtâj, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, jilid ketiga.

Page 135: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

120

Al-Syaukânî, Muhammad Ali, Nail Al-Autâr min Asrâr Muntaqâ al-Akhbâr,

Saudi Arabia: Dâr Ibnu al-Jauzî, 1427.

………, al-Durri al-Madiyyah Syarh al-Ddurar al-Bahiyyah, (Beirut: Dâr al-

Qutub al-‘Ilmiyyah, t.th), jilid pertama, h. 220.

Al-Tahâwî, Ahmad bin Muhammad bin Salâmah, Syarh Ma‘âni al-Atsâr, al-

Riyâd: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 1994, jilid keempat.

Tahido Yanggo, Huzaemah, Hukum Keluarga Dalam Islam, Jakarta: YAMIBA,

2013, cetakan pertama.

Al-Tabarî, Ibnu Jarir, Tafsir al-Thabari, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000, jilid

kesembilan belas.

Tim Perumus Fakultas Teknik Umi Jakarta, al-Islam dan Iptek, Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 1988.

Warson, Ahmad al-Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia

Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Yahya, Mukhtar, dan Fachrurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,

Jakarta: Al- Ma’arif, 1993.

Yatim, Wildan, Kamus Biologi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i,

Hanafi, Maliki, dan Hambali, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1991.

Yusuf, A. Muri, Metode Penelitian, Jakarta: Kencana, 2017.

Zaidan, Abdul Karim, al-Mufassal fî Ahkâm al-Mar’ah, Beirut: Muassasah al-

Risâlah, 1993, cetakan pertama, jilid kesembilan.

Zubaidî, Muhammad bin Muhammad al-Husain, Ittihâdu al-Sâddah al-Muttaqîn

Syarh Ihyâ ‘Ulum al-Dîn, t.t: Dâr al-Fikr, t.th, jilid kelima.

Al-Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr,

1986, cetakan pertama, jilid ketujuh.

………...., al-Basmah al-Wirâtsiyah wa Majâlâtu al-Istifâdah Minhâ, Makkah:

Mujamma‘ al-Fiqhi al-Islâmi, t.th.

Zuhrî, Muhammad al-Ghamrawî, al-Sirâj al-Wahhâj, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Perundang-undangan

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.

Page 136: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

121

Pasal 1915 KUHPerdata jo 164 butir (3) HIR.

Jurnal

Fadli, Era, Mursyid Djawas, Syarifah Rahmatillah, “Tes DNA Sebagai Alat Bukti

Empat Orang Saksi” Petita, Volume 1, Nomor 1, Januari – Juni 2018.

Muhammad, Bahruddin, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis

Teknologi Al-Qiyafah” Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur

Rahman”, Pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara, 2016.

Ramadan, Mufti, “Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil

Teknologi Reproduksi Buatan Manusia: antara UU Perkawinan dan

Fikih Konvensional” Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1, 2013.

….……., “Penerapan Kaidah Kebahasaan Terhadap Penetapan Nasab Anak

(Perspektif Hakikat Dan Majaz)”Al-Falah, Vol. XIX No. 1, Tahun 2019.

Tamimi, Muh., “Tes DNA Dalam Menentukan Hubungan Nasab” Jurnal Hukum

Islam, Vol. 13, No. 1, Juni 2014.

Taufîki, Muhammad, “Konsep Nasab, Istilhaq, dan Hak Perdata Anak Luar

Nikah”, Ahkam: Vol. XII, No. 2, Juli 2012.

Tohari, Fuad, “Nasab, Metode Penetapan dan Implikasinya Terhadap Hukum

Perdata, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 2, No. 1, Surabaya: Program

Studi Hukum keluarga Program Pascasarjana Universitas Sunan Giri

Surabaya, 2016.

Interenet

Bakrie, Ayu Rahmah, Sejarah Penemuan DNA, Struktur Nukleotida, Sertifikasi

DNA. Artikel diakses pada tanggal 26 Desember 2017 dari:

https://www.scribd.com/doc/312121901/Sejarah-Penemuan-Dna-

Struktur-Nukleotida-Sertifikasi-Dna.

Fatchiyah, Molecular Genetics, Artikel diakses dari

http://fatchiyah.lecture.ub.ac.id/teaching-responsibility/general/

http://artikata.com/arti-341961-nasab.html

http://kamusfiqih.wordpress.com/2011/11/10/pengertian-nasab/

http://www.negarahukum.com/hukum/nasab-dalam-hukum-perkawinan-

perkawinan-indonesia.html.

http://www.warta.unair.ac.id/fokus/index.php?id=150

Page 137: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

122

Muhammad, Bahruddin, “Reaktualisasi Hukum Pembuktian Nasab Berbasis

Teknologi Al-Qiyafah (Perspektif Hermeneutika Hukum Fazlur

Rahman)”, Artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2010 pada:

https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/reaktualisa

si-hukum-pembuktian-nasab-berbasis-teknologi-al-qiyafah-oleh-dr-h-

bahruddin-muhammad-sh-mh-101.

Organisasi.org, Artikel diakses pada 17 Desember 2017 dari:

http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-kromosom-jumlah-

kromosom-pada-manusia-hewan-dan-tumbuhan.html#.XaB1SEYzbIU.

Record, Medical, Pengertian DNA dan RNA Beserta Struktur dan Fungsinya,

Artikel diakses pada tanggal 1 Februari 2017 dari:

http://www.medrec07.com/2016/01/pengertian-dna-dan-rna-beserta-

struktur.html.

Rosana, Dadan, Struktur dan Fungsi DNA dan RNA, (Modul 3, tentang Boifisika),

Artikel diakses pada tanggal 15 Agustus 2017 dari:

https://www.google.co.id/search?q=pengertian%20DNA%20pdf&gws_r

d=ssl#

Suryo, Sejarah Penemuan DNA (Deoxyriboncliec Acid), Artikel diakses pada

tanggal 19 Januari 2018 dari:

http://www.referensimakalah.com/2013/01/sejarah-penemuan-

DNAdeoxyribonucleic-acid.html.

Suryo, Sejarah Penemuan DNA (Deoxyriboncliec Acid), Artikel diakses pada

tanggal 19 Januari 2018 dari:

http://www.referensimakalah.com/2013/01/sejarah-penemuan-

DNAdeoxyribonucleic-acid.html.

Wikipedia, Asam Nukleat, Halaman ini terakhir diubah pada 5 November 2018

dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Asam_nukleat.

www.wikipedia.org,

www.kidzworld.com,

Page 138: METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51805... · 2020. 8. 12. · METODE AL-QIYÂFAH IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DALAM

123

BIODATA

Ridwan Bahrudin lahir di Serang Banten, tanggal 05 Januari

1992 dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai

wiraswasta yakni Bapak Fakhrudin (almarhum) dan Ibu

Jumanah.

Riwayat pendidikan formal dimulai dari SD Negeri Laban

Tengah (1998-2004), kemudian dilanjutkan ke jenjang

pendidikan SMP Negeri 1 Tanara (2004-2007). Selepas lulus,

penulis melanjutkan pendidikan di MAN 1 Kota Serang

sambil menetap di Pondok Pesantren At-Thahiriyah Serang (2007-2010). Di tahun

yang sama (2010), penulis melanjutkan ke Pesantren Tahfidzul Qur’an Nurul Furqon

Serang. Setelah beberapa bulan di pesantren, penulis berkesempatan mengikuti seleksi

beasiswa masuk perguruan tinggi Timur Tengah dan berhasil lulus dengan tujuan

Universitas Al al-Bayt Yordania. Dan tercatat sejak tahun 2011, penulis resmi menjadi

mahasiswa jurusan Ushuluddin Fakultas Syariah Universitas Al al-Bayt Yordania

hingga selesai pada tahun 2015.

Sekembalinya ke tanah air, penulis mengabdikan diri dengan mengajar di International

Islamic Education Council (IIEC) Jakarta dari tahun 2015 sampai dengan 2016.

Setelah itu penulis menjadi Guru Private Bahasa Arab di Polda Metro Jaya Jakarta

(2016), hingga kemudian menjadi Guru Fikih dan Qur’an Hadis sekaligus Pembina

Asrama di MAN 4 Jakarta dari 2016 hingga 2017. Kemudian di tahun 2018, penulis

menjadi guru Al-Qur’an dan Bahasa Arab di Lafazh Center Kelapa Gading Jakarta

Utara. Sekarang di tahun 2019, Penulis aktif sebagai penulis tetap artikel keislaman di

Media Online Harakatuna dan Wartawan di media ibadah.co.id. Penulis juga aktif pada

Himpunan Sarjana Syariah Seluruh Indonesia (HISSI) Cabang DKI Jakarta sebagai

anggota bidang penelitian dan keilmuan.

Penulis pernah menjadi petugas Haji di Kantor Teknis Urusan Haji Konsulat Jenderal

Republik Indonesia Jeddah-Saudi Arabia sebagai Anggota Sektor Khusus Madinah al-

Munawwarah (2015). Saat ini penulis berdomisili di wilayah Ciputat Tangerang

Selatan.