Metabolisme tulang dan otot
-
Upload
arum-ardisa-rini -
Category
Documents
-
view
700 -
download
22
description
Transcript of Metabolisme tulang dan otot
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Metabolisme Tulang dan Otot
Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai
syarat mengikuti Ujian Akhir Blok
di Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal: 22 November 2012
Disusun Oleh :
Nike Indah Permatasari NPM. 112170056
Noerlia NPM. 112170057
Novi Auliani NPM. 112170058
Nur Hayati NPM. 112170059
Permata Ayuning Tyas NPM. 112170060
Cirebon, 22 November 2011
Dosen Pembimbing,
dr. Tissa Octavira P.
2
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan..........................................................................................1
Daftar Isi...........................................................................................................2
Kata Pengantar .................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
I.1. latar Belakang ............................................................................................4
I.2. Tujuan dan Manfaat ...................................................................................5
BAB II TUJUAN PUSTAKA
II.1. Tulang ......................................................................................................6
II.1.1 klasifikasi.........................................................................................6
II.1.2 Jenis Jaringan Tulang ......................................................................7
II.1.3 Mikroskopis Struktur Tulang ..........................................................11
II.1.4 Matriks Tulang ................................................................................15
II.1.5 Mikroskopis Bangunan Tulang .......................................................16
II.1.6 Proses Pembentukan Tulang ...........................................................18
II.2. Jaringan Otot.............................................................................................21
II.2.1 Klasifikasi Jaringan Otot .................................................................21
II.2.2 Mekanisme Kontraksi Otot .............................................................28
II.3. Kalsium ....................................................................................................33
II.4. Vitamin D .................................................................................................35
II.4.1 Sumber Vitamin D ..........................................................................35
II.4.2 Fungsi Vitamin D ............................................................................36
II.4.3 Fisiologi Vitamin D ........................................................................37
II.4.4 Patofisiologi Vitamin D...................................................................38
II.4.5 Epidemiologi Vitamin D .................................................................38
II.4.6 Prognosa ..........................................................................................39
BAB III. PENUTUP
III.1. Kesimpulan .............................................................................................41
Daftar pustaka ..................................................................................................43
3
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini dengan baik.
Tugas referat yang berjudul “Metabolisme Tulang dan Otot” ini kami ajukan
sebagai syarat mengikuti Ujian Tengah Blok 115 di Fakultas Kedokteran
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Berkat bimbingan dan pengawasan baik dalam perencanaan maupun
proses pembuatan serta berbagai pihak yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung, maka penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dr. Tissa Octavira P selaku pembimbing, teman-teman seangkatan, dan tidak lupa
pula penulis ucapkan kepada keluarga karena telah memberikan do’a dan
dukungan semangat dalam pembuatan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh
karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam judul yang diangkat dalam referat ini. Semoga referat ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan
umumnya.
Cirebon, 22 November 2012
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Manusia memiliki kemampuan untuk bergerak dan melakukan
aktivitas, seperti berjalan, berlari, menari, dan lain-lain. Bagaimana manusia
dapat melakukan gerakan tersebut? Kemauan melakukan gerakan tubuh pada
manusia didukung adanya sistem gerak, yang merupakan hasil kerjasama yang
serasi antar organ sistem gerak, seperti rangka (tulang), persendian dan otot.
Sistem gerak tubuh manusia itu sangatlah kompleks. Contohnya saja, untuk
melakukan gerakan fleksi lengan bawah (menekuk lengan bawah mendekati
badan) di perlukan kerjasama antar tulang radius dan ulna dengan otot-otot
fleksor yang ada pada lengan bawah. Fungsi rangka (tulang) adalah sebagai
alat gerak pasif, yang hanya dapat bergerak bila dibantu oleh otot. Fungsi
persendian adalah menghubungkan antara tulang yang satu dengan tulang
yang lainnya . Sedangkan fungsi otot adalah sebagai alat gerak aktif, yang
dapat menggerakkan organ lain sehingga terjadi suatu gerakan.
Tulang dan otot manusia tersusun atas berbagai mineral, terklasifikasi
menjadi berbagai macam, dan mengalami pertumbuhan serta metabolisme
setiap hari. Ketika salah satu bagian terganggu, maka dampaknya akan sangat
berpengaruh pada sistem gerak manusia.(Afriyanto, 2010)
Tubuh manusia secara umum tersusun oleh jaringan keras dan jaringan
lunak. Tulang dan gigi termasuk jaringan keras yang merupakan organ biologi
dinamik yang tersusun oleh sel aktif metabiologi yang terintegrasi ke dalam
rangka yang kaku. Dalam pertumbuhannya, tulang memerlukan banyak
senyawa mineral. Senyawa mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan
banyak dikonsumsi dari luar tubuh seperti makanan dan susu. Senyawa
mineral yang berada di dalam tulang pada umumnya berbentuk senyawa
kalsium. Kalsium pada tulang berikatan dengan gugus-gugus diantaranya
fosfat, hidroksida, dan karbonat. Senyawa kalsium dalam tulang banyak
5
berikatan dengan fosfat sehingga senyawanya dikenal dengan nama kalsium
fosfat. (Lesmana,2007)
I.2 Tujuan dan Manfaat
I.2.1 Tujuan Umum
Agar penulis dapat menjelaskan struktur metabolisme tulang
dan otot.
I.2.2 Tujuan Khusus
a. untuk menjelaskan mineral penyusun tulang dan otot
b. untuk menjelaskan siklus metabolisme tulang dan otot
c. untuk menjelaskan fungsi dan pembentukan vitamin D
I.2.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah
mampu memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
mengenai tulang dan otot, khususnya proses metabolisme tulang dan
otot bagi penulis. Selain itu, diharapkan referat ini berguna untuk
dijadikan data pustaka.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tulang
II.1.1 Klasifikasi tulang
Tulang dapat diklasifikasikan berdasarkan posisi mereka, bentuk, ukuran,
dan struktur. (Premkumar,2011)
Berdasarkan lokasi, tulang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Axial skeleton (tulang tengkorak, tulang punggung, tulang dada, dan
tulang rusuk).
b. Apendikular skeleton (tulang dari pektoral korset, korset panggul, dan
badan).
c. Akral skeleton (bagian dari kerangka apendikular, termasuk tulang
tangan dan kaki).
Berdasarkan bentuk, tulang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tulang pipih (tulang tengkorak, tulang dada, panggul, dan tulang rusuk
b. Tulang tabung:
- Tulang tabung panjang , termasuk tulang tungkai.
- Tulang tabung pendek, termasuk tulang tangan dan kaki, seperti
falang, metakarpals, dan metatarsal
- Irregular tulang , tulang wajah dan tulang punggung
- Tulang sesamoid, tulang yang berkembang pada tendon yang
spesifik, contoh yang terbesar adalah patela
- Tulang aksesori, tulang ekstra yang berkembang di pusat-pusat
osifikasi tambahan atau tulang yang gagal untuk menyatu dengan
bagian utama selama pengembangan (Tulang Aksesori yang umum
ada di kaki)
7
Berdasarkan ukuran, tulang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tulang panjang, bentuk tabung dengan poros berlubang. Contoh :
tulang tungkai
Tulang pendek, bentuk kubus, terletak hanya di (tulang tarsal) kaki dan
pergelangan tangan (tulang-tulang karpal)
II.1.2 Jenis Jaringan Tulang
Jaringan tulang dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, termasuk
tekstur, susunan matriks, kedewasaan, dan asal-usul perkembangan.
(junquiera,1986)
Berdasarkan tekstur bagian lintas, jaringan tulang dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Tulang kompak (tulang padat, tulang kortikal). Tekstur padat tanpa
rongga. Tersusun atas banyak sel tulang yang mengelilingi
trabekular di tengah. Tulang kompak terdiri dari sistem Haversian
atau osteons sekunder.
b. Tulang spons (tulang trabekuler). Tekstur seperti busa dengan
rongga banyak. Jenis tulang ini terletak dalam rongga meduler dan
terdiri dari tulang trabekula yang secara ekstensif terhubung dan
berorientasi sepanjang garis stres.
8
Gambar II.1.1 Tulang trabekular, serta jaringan adiposa dalam rongga
meduler.(Sumber:Gustavo,emedicine)
Gambar II.1.2 Tulang trabekuler yang sudah tua dan osteosit antara
lamela. Osteosit aktif juga ada pada permukaan tulang dengan bentuk
pipih. (sumber:Gustavo,emedicine)
Berbeda dengan tulang kompak, osteon lengkap biasanya tidak ada
didalam tulang spons karena tipisnya trabekula tulang spons dan lebih
aktif secara metabolis dibandingkan tulang kompak karena luas
permukaan lebih yang lebih besar untuk renovasi. (Gustavo,2012)
9
Gambar II.1.3 stuktur tulang kompak dan tulang spons. (Sumber:
Gustavo, emedicine)
Berdasarkan pengaturan matriks, jaringan tulang dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Tulang pipih (jaringan tulang sekunder) merupakan tulang dewasa
dengan serat kolagen yang diatur dalam lamela. Berbeda dengan
tulang spons, di mana lamela disusun sejajar satu sama lain, didalam
tulang kompak, lamela konsentris yang diorganisir sekitar kanal
vaskular, disebut kanal Haversian.
b. Tulang Woven (jaringan tulang primer) merupakan tulang yang
belum dewasa, di mana serat kolagen tidak teratur dan mengandung
sejumlah kecil zat mineral(lihat gambar II.1.4). Tulang Woven
bersifat hanya sementara dan pada akhirnya akan diubah menjadi
tulang pipih dan tulang pada orang dewasa, kecuali di beberapa
tempat, seperti daerah dekat jahitan dari tulang datar dari soket
tengkorak gigi (lihat gambar II.1.5), dan tempat penyisipan
beberapa tendon(lihat gambar II.1.6).
Gambar II.1.4 Tulang woven dilihat menggunakan mikroskop
terpolarisasi. Serat kolagen tidak teratur. (sumber:Gustavo,emedicine)
10
Gambar II.1.5 soket tengkorak gigi. (sumber:Gustavo,emedicine)
Gambar II.1.6 tempat penyisipan tendon pada orang dewasa.
(sumber:Gustavo,emedicine)
Berdasarkan umurnya, jaringan tulang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Tulang muda (jaringan tulang primer): merupakan tulang woven.
b. Tulang dewasa (jaringan tulang sekunder): tulang dewasa bersifat
pipih. Hampir semua tulang pada orang dewasa adalah tulang pipih.
Berdasarkan asal perkembangan, tulang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Intramembran tulang: tulang intramembran berkembang dari
transformasi langsung mesenkim terkondensasi. Contoh : tulang
pipih.
11
b. Tulang Intracartilaginous (tulang rawan, tulang endokondral):
tulang Intracartilaginous terbentuk dengan mengganti model tulang
rawan yang telah direformasi. Contoh : tulang panjang
II.1.3 Mikroskopis Struktur Tulang
Sel – sel tulang terdiri dari :
a. Osteoblas
Osteoblas yang terletak di permukaan tulang atau osteoid, dan mereka
bertanggung jawab untuk sintesis komponen organik matriks tulang,
termasuk kolagen tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein. Osteoblas juga
mensintesis enzim fosfatase alkali, yang diperlukan secara lokal untuk
mineralisasi osteoid. (Chauhan&Marriot, 2011)
Gambar II.1.7 Osteoblas dalam persiapan sitologi (Diff-Quik noda).
(sumber:Gustavo, emedicine)
Setiap osteoblas aktif telah jelas terletak pada inti dengan inti di tepi,
menyerupai sel plasma. Namun, osteoblas tidak menunjukkan pola seperti
roda pedati.
Meskipun osteoblas aktif (lihat gambar di bawah) memiliki bentuk
kuboid atau kolumnar dengan inti terletak di tepi, suatu osteoblas aktif
12
memiliki bentuk pipih dengan aktivitas fosfatase alkali yang rendah.
Osteoblas berhubungan dengan osteoblas yang lainnya melalui sitoplasma.
Gambar II.1.8 Osteoblas aktif menyetorkan osteoid pada permukaan
tulang trabecula. (sumber:Gustavo, emedicine)
b. Osteosit
Sebuah osteoblas menjadi osteosit ketika sel yang terbungkus dengan
matriks osteoid dapat mensintesis sendiri. Osteosit yang terletak pada
lakuna dan antar osteosit berhubungan secara sitoplasma melalui
kanalikuli.(Watanabe&Ikeda,2010)
13
Gambar II.1.9 Osteosit yang ada di lakuna, proses sitoplasma mereka
saling berhubungan satu sama lain melalui kanalikuli tersebut.
(sumber:Gustavo,emedicine)
Proses sel yang berdekatan melakukan kontak melalui gap junction
untuk menjaga vitalitas osteosit dengan melewatkan nutrisi dan metabolit
antara pembuluh darah dan osteosit jauh, mengatur homeostasis ion, dan
transmisi sinyal listrik dalam tulang.
Meskipun osteosit telah mengurangi aktivitas sintetik dan tidak
mampu melakukan pembelahan mitosis, mereka secara aktif terlibat
dengan pemeliharaan matriks tulang. Beberapa osteosit mati selama
renovasi, tapi kemungkinan besar kembali ke keadaan sel Osteoprogenitor
atau bertahan sebagai osteosit untuk waktu yang lama.
c. Osteoklas
Osteoklas (lihat gambar II.1.10) mungkin berasal dari sistem
monocytic-makrofag dan bertanggung jawab untuk resorpsi tulang.
Mereka adalah sel-sel berinti dengan baik dan kaya lisosom yang
mengandung tartrat tahan asam fosfatase (TRAP). (Kirby,2011)
Gambar II.1.10 Osteoklas dalam perparat. Gambar ini menunjukkan
beberapa inti dan proses sitoplasma.(sumber:Gustavo,emedicine)
14
Osteoklas berada di kawah resorpsi dikenal sebagai Lakuna Howship
(lihat gambar II.1.11) pada permukaan tulang atau di rongga resorpsi
mendalam disebut kerucut pemotongan. Sel-sel tulang hanya dapat
mengisap matriks tulang termineralisasi.
Gambar II.1.11 beberapa osteoklas berada di lakuna Howship.
(sumber:Gustavo, emedicine)
Ketika dalam keadaan aktif, osteoklas membuat efek yang selalu
mendominasi. Karena, osteoklas tiga kali lebih efisien dalam resorpsi
tulang dibandingkan osteoblas berada di deposisi tulang. Dalam keadaan
yang sama, osteoklas memiliki jangka hidup yang lebih pendek daripada
osteoblas.
Osteoklas jarang terlihat di bagian histologis tulang yang normal.
Sebuah peningkatan jumlah osteoklas adalah karakteristik dari penyakit
dengan meningkatnya turnover tulang.
15
Gambar II.1.12 Struktur sel tulang. (sumber:Gustavo, emedicine)
II.1.4 Matriks tulang
Matriks tulang terdiri dari komponen organik dan anorganik.
Perpaduan zat organik dan anorganik membuat tulang menjadi kuat dan
keras. Komponen organik terdiri dari serat kolagen dengan didominasi tipe I
kolagen (90%) dan (10%) dari bahan amorf, termasuk glikosaminoglikan
yang berhubungan dengan protein. Materi anorganik mewakili sekitar 50%
dari berat kering matriks tulang, terdiri dari kalsium dan fosfor berlimpah,
serta jumlah yang lebih kecil dari bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, dan
natrium. Kalsium membentuk kristal hidroksiapatit dengan fosfor namun juga
hadir dalam bentuk amorf. (Snell, 2006)
Selama pembentukan tulang, osteoblas melapisi osteoid (tebal sekitar
10 pM) pada permukaan tulang yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian
mulai dengan mineral dalam sekitar 20 hari. Interval ini dikenal sebagai jeda
waktu mineralisasi.
Osteoblast
OsteoclastOsteo
cyte
Mesenchyme Bone
Matrix
Newly formed matrix
16
Dalam histologi tulang yang normal, sebagai akibat dari proses
renovasi normal, sampai dengan 20% dari permukaan tulang dapat ditutupi
oleh osteoid (tebal biasanya 10 pM). Sejumlah peningkatan osteoid terlihat
dalam kondisi patologis di mana tingkat renovasi dipercepat atau pada saat
jeda waktu mineralisasi meningkat.
II.1.5 Mikroskopis bangunan tulang
a. Sistem Haversian (Osteon Sekunder)
Unit struktural utama dari tulang kompak adalah sistem Haversian.
Bentuk sistem Haversian adalah panjang, biasanya bercabang, silinder, dan
berhubungan dengan sumbu panjang tulang, dibentuk oleh pengendapan
berurutan 4-20 (rata-rata 6) lapisan konsentris lamela.(Steenvoorden,2007)
Serat kolagen sejajar satu sama lain dalam setiap lamela, tetapi tegak
lurus terhadap serat dalam lamela lainnya. Pengaturan semacam itu dapat
dilihat sebagai lapisan terang dan gelap dalam mikroskop terpolarisasi.
Deposisi pipih dimulai dari pinggiran, sehingga lamela muda lebih
dekat ke pusat sistem, dan sistem yang lebih muda memiliki kanal yang
lebih besar. Antara lamela adalah kekosongan yang berisi badan sel dan
kanalikuli yang memegang proses sitoplasma dari osteosit.
Di tengah setiap sistem Haversian terdapat kanal Haversian, yang
dilapisi oleh endosteum dan berisi bundel neurovaskular dan jaringan ikat
longgar.
Kanal-kanal Haversian terhubung satu sama lain dengan kanal
Volkmann yang melintang atau miring yang berkomunikasi dengan rongga
sumsum dan periosteum untuk menyediakan saluran untuk sistem
neurovaskular. Kanal Volkmann tidak dikelilingi oleh lamela konsentris,
melainkan, mereka melubangi lamela.
17
b. Lamela Interstitial.
Lamela interstisial adalah osteons lengkap atau terfragmentasi yang
terletak antara osteons sekunder. lamela ini mewakili osteons sisa dari
resorpsi sebagian osteons tua selama pembentukan tulang
(Steenvoorden,2007).
Campuran lamela interstisial dan osteons lengkap menghasilkan
pola mosaik. Dengan demikian, usia tulang dapat disimpulkan dari proporsi
lamela interstisial dan osteons utuh. Tulang muda memiliki osteons lebih
lengkap dan sedikit lamela interstisial di antara osteons.
Usia tulang juga mempengaruhi aktifitas osteoklas dalam resorpsi
tulang. Dalam sebuah studi oleh Henriksen et al, penulis menunjukkan
bahwa osteoklas istimewa membedakan dan menyerap tulang pada tulang
berusia daripada yang mereka lakukan pada tulang muda.
c. Lamela Circumferential
Lamela Circumferential adalah lamela melingkar yang melapisi
permukaan eksternal dari korteks berdekatan dengan periosteum dan
melapisi permukaan dalam dari korteks sebelah endosteum tersebut.
(Steenvoorden,2007)
Gambar II.1.13 tulang kompak. (sumber:Atlas Histologi diFiore)
18
II.1.6 Proses pembentukan tulang
Tulang terdiri dari matriks ekstrasel dan sel tulang. Matriks
ekstrasel terdiri dari bagian organik dan inorganik. Sekitar 90%-95%
bagian organik matriks ekstrasel terdiri dari kolagen tipe I, proteoglikan,
protein non-kolagen, osteokalsin, osteonektin, osteopondin, trombospondin,
faktor pertumbuhan, dan sitokin. Bagian inorganik matriks ekstrasel
terutama terdiri dari kalsium hidroksiapatit sebagai tempat cadangan ion
kalsium dan fosfat. Sel tulang terdiri dari tiga jenis yaitu osteoblas, osteosit,
dan osteoklas. Osteoblas bertanggung jawab atas pembentukan tulang,
mineralisasi, dan ekspresi reseptor hormon paratiroid. (Eroschenko,2010)
Osteoklas adalah sel tulang multinuklear yang berasal dari prekursor
hematopoietik monosit makrofag yang merupakan fusi dari beberapa sel
mononuklear dengan tepi tidak rata dan mempunyai enzim lisosom dalam
sitoplasma. Sedangkan osteosit adalah sel tulang terbanyak, berbentuk pipih
kecil dan terdapat dalam matriks tulang. Antara osteosit satu dengan yang
lain saling berhubungan melalui jaringan kanalikuli. Osteosit akan
mengalami apoptosis atau fagositosis selama resorpsi osteoklas. Osteosit
juga merupakan reseptor mekanik yang mengubah stimulasi mekanik
menjadi sinyal yang menginduksi remodelling tulang agar searah stimulasi.
Kepadatan tulang ditentukan oleh keseimbangan dinamik antara proses
pembentukan dan resorpsi tulang. Bila pertumbuhan linear dan volume
masa tulang maksimal telah tercapai, proses remodelling bertujuan untuk
mempertahankan masa tulang. Remodelling tulang dipengaruhi oleh
estrogen, androgen, vitamin D, hormon paratiroid, tumor necrosis factor
(TNF), dan insulin like growth factor I dan II, nutrisi, konsumsi kalsium,
dan aktivitas fisik.
Proses pembentukan tulang terdiri atas dua cara, yaitu Osifikasi
Endokondral dan Osifikasi Intramembranosa. (Eroschenko,2010)
a. Osifikasi Endokondral
19
Osifikasi Endokondral adalah suatu proses pembentukan tulang
yang didahului oleh suatu model tulang rawan hialin sementara. Model
tulang rawan ini akan terus tumbuh melalui cara interstitial dan
aposisional, dan terutama digunakan untuk membentuk tulang panjang,
dan tulang pendek. Seiring dengan pertumbuhannya, kondrosit
membelah, membesar, matur, dan model tulang rawan hialin mulai
mengalami kalsifikasi. Difusi nutrien dan gas melalui matriks
berkurang seiring dengan proses kalsifikasi. Akibatnya, kondrosit mati
dan matriks yang mengalami fragmentasi dan kalsifikasi berfungsi
sebagai kerangka struktural untuk pengendapan material tulang.
Setelah terjadi pengendapan lapisan material tulang di sekitar
tulang rawan yang terkalsifikasi, sel-sel perikondrialis bagian dalam
memperlihatkan potensi osteogeniknya, dan terbentuk suatu kerah
periosteal tipis di sekeliling bagian tengah batang tulang.
b. Osifikasi Intramembranosa
Osifikasi intramembranosa adalah proses pembentukan tulang
yang didahului oleh mesenkim jaringan ikat. Sebagian sel mesenkim
berdiferensiasi secara langsung menjadi osteoblas yang menghasilkan
matriks osteoid, yang cepat megalami kalsifikasi. Banyak pusat
osifikasi yang terbentuk, beranastomosis, dan menghasilkan suatu
anyaman tulang spongiosa yang terdiri dari batang, lempeng, dan duri
yang tipis disebut trabekula. Osteoblas di lakuna kemudian dikelilingi
oleh tulang dan menjadi osteosit. Seperti pada osifikasi endokondral,
saat osteosit berada dalam lakuna, osteosit membentuk suatu hubungan
antarsel yang kompleks disebut kanalikuli.
20
Gambar 1I.1.14 Proses Pembentukan Tulang (Sumber:Atlas Histologi diFiore)
21
II.2 Jaringan Otot
II.2.1 Klasifikasi Jaringan Otot.
Ada tiga jenis otot yaitu otot rangka, otot polos, dan otot jantung. Otot
rangka adalah otot yang menimbulkan pergerakan pada rangka; kadang-
kadang otot ini disebut otot volunter. Otot polos merupakan otot yang bekerja
dalam keadaan tidak sadar. Sedangkan otot jantung adalah otot yang
memiliki struktur seperti otot rangka namun bekerja dalam keadaan tidak
sadar seperti otot polos. (Snell, 2006)
a. Otot Rangka
Otot ini tersusun dari serabut-serabut otot lurik. Serat otot rangka
adalah sel multinukleus silindris panjang, dengan inti-inti tersebar di
perifer. Otot ini memiliki banyak nukleus karena penyatuan prekusor sel
otot mioblas selama perkembangan embrionik. Setiap serat otot terdiri dari
subunit-subunit yang disebut miofibril yang terentang di sepanjang serat.
Miofibril, selanjutnya terdiri dari banyak miofilamen yang dibentuk oleh
protein kontraktil tipis, aktin, dan protein kontraktil tebal, miosin. (Snell,
2006)
Otot rangka dikelilingi oleh jaringan ikat padat tidak teratur yang
dinamakan epimmisium. Dari epimisium, lapisan jaringan ikat kurang
padat tidak teratur namanya perimisium, masuk dan memisahkan bagian
dalam otot menjadi berkas-berkas yang lebih kecil yaitu fasikulus; setiap
fasikulus dikelilingi oleh perimisium. Selapis tipis serat jaringan ikat
retikular, endomisium, membungkus setiap serat otot. Diselubung jaringan
ikat terdapat pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe.
22
Gambar II.2.1 Otot rangka. (Sumber: Atlas Histologi diFiore)
Otot rangka mempunyai dua pelekatan atau lebih. Pelekatan yang
gerakannya paling sedikit disebut origo, dan yang pergerakannya paling
banyak disebut insersio. Pergerakan otot dilakukan dengan mengaktifkan
sejumlah unit motorik dan pada waktu yang bersamaan mengurangi
keaktifan unit motorik dari otot-otot yang bekerja berlawanan atau
antagonis. Bila dibutuhkan kekuatan maksimum, seluruh unit motorik otot
itu akan bekerja.
Semua pergerakan merupakan hasil kerja koordinasi banyak otot.
Namun, untuk mengerti kerja otot diperlukan pengetahuan mengenai
masing-masing otot.
23
Sebuah otot dapat bekerja melalui empat cara berikut:
1. Penggerak utama : sebuah otot adalah penggerak utama apabila otot
tersebut merupakan otot utama atau anggota kelompok otot utama
yang bertanggung jawab untuk pergerakan tertentu.
2. Antagonis : setiap otot yang kerjanya berlawanan dari penggerak
utama. Sebelum penggerak utama dapat berkontraksi, otot antagonis
harus dalam keadaan relaksasi yang seimbang; yang dihasilkan oleh
inhibisi refleks saraf.
3. Fiksator : otot ini merupakan otot yang berkontraksi secara isometric
(Contohnya, kontraksi yang meningkatkan tonus otot tetapi tidak
menimbulkan pergerakan) untuk menstabilkan origo otot penggerak
utama sehingga dapat bekerja secara efisien.
4. Sinergis : pada banyak tempat dalam tubuh, otot penggerak utama
melewati beberapa sendi sebelum otot itu mencapai sendi tempat
pergerakan utama terjadi. Untuk mencegah terjadinya pergerakan yang
tidak diinginkan pada sendi-sendi yang dilewati tersebut, sekelompok
otot yang disebut otot-otot sinergis berkontraksi dan menstabilkan
sendi-sendi tersebut.
Trunkus saraf yang menuju ke sebuah otot merupakan saraf
campuran, kira-kira 60% merupakan saraf motoris dan 40% saraf sensoris,
dan juga mengandung beberapa serabut saraf otonom simpatis. Saraf
masuk ke otot kurang lebih pada pertengahan kedalaman otot, dan sering
dekat pinggir; tempat masuk ini dikenal sebagai titik motoris. Susunan ini
memungkinkan otot bergerak dengan pengaruh minimum dar trunkus
saraf.
Saraf simpatis merupakan serabut tidak bermielin dan menuju ke
otot polos di dalam dinding pembuluh darah yang mendarahi otot.
Fungsinya adalah mengatur aliran darah ke otot.
24
b. Otot Polos
Otot polos memiliki distribusi yang luas dan ditemukan di banyak
organ berongga. Terdiri atas sel-sel panjang berbentuk gelondong yang
tersusun dalam berkas atau lembaran. Serat ototnya mengandung filamen
kontraktil aktin dan miosin; namun, filamen-filamen ini tidak tersusun
dalam cross-striation teratur seperti pada otot rangka dan otot jantung.
Akibatnya, serat otot ini tampak tidak berserat/polos. Merupakan otot
involunter, oleh karena itu berada dibawah saraf otonom dan hormon.
Serat-seratnya kecil berbentuk fumiformis dan mengandung satu inti di
tengah. (snell,2006)
Gambar II.2.2 Otot polos. (Sumber: Atlas Histologi diFiore)
25
Pada sistem pencernaan, otot polos juga menyebabkan makanan
dapat bercampur seluruhnya dengan enzim pencernaan. Kontraksi ritmik
dari serabut-serabut sirkular yang ada sepanjang saluran memeras isi
saluran ke luar. Kontraksi serabut-serabut longitudinal membawa dinding
saluran menjauhi isi saluran ke arah proksimal. Gerakan mendorong
dengan cara seperti ini disebut peristaltis.
a. Otot Jantung
Otot jantung terdiri dari atas serabut otot lurik yang bercabang-
cabang dan satu dengan yang lain saling berhubungan. Serat otot jantung
bentuknya silindris. Serat ini terutama terdapat di dinding dan sekat
jantung, dan dinding pembuluh darah besar yang melekat pada jantung.
Seperti otot rangka, serat otot jantung memperlihatkan cross-
striation yang jelas karena filamen aktin dan miosin tersusun teratur.
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan adanya stria A,
stria I, linea Z, dan unit sarkomer berulang. Namun, berbeda dari otot
rangka, otot jantung hanya memperlihatkan satu atau dua inti di tengah,
yang lebih pendek dan bercabang.
Ujung terminal otot yang berdekatan membentuk complexus
junctionalis end-to-end terpulas gelap yang disebut diskus interkalaris.
Diskus ini adalah tempat pelekatan khusus yang menyilang sel-sel jantung
pada interval yang tidak teratur dengan pola seperti tangga. Di diskus ini
terdapat nexus yang memungkinkan komunikasi ionik dan kontinuitas
antara serat-serat otot jantung yang berdekatan.
26
Gambar II.2.3 Otot jantung. (Sumber: Atlas Histologi diFiore)
Otot ini membentuk miokardium jantung. Serabut-serabutnya
cenderung tersusun dalam bentuk ulir dan spiral, dan otot ini mempunyai
sifat kontraksi yang spontan dan berirama. Serabut otot jantung khusus
membentuk sistem konduksi jantung.
Otot jantung dipersarafi oleh serabut saraf otonom yang berakhir
pada nodus sistem konduksi jantung dan miokardium.
27
Gambar II.2.4 klasifikasi otot (Sumber: Gunawan,2001)
Gambar II.2.5 struktur otot (Sumber:Atlas Histologi diFiore)
28
II.2.2 Mekanisme Kontraksi Otot
II. Mekanism Otot
Setelah struktur otot dan komponen-komponen penyusunnya
ditinjau, mekanisme atau interaksi antar komponen-komponen itu akan
dapat menjelaskan proses kontraksi otot.
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan-urutan
tahap tertentu(Guyton,2007). Berikut tahapannya:
1. Suatu potential aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai
ke ujungnya pada serabut otot.
2. Di setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu
asetilkolin, dalam jumlah sedikit.
3. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot
untuk membuka banyak kanal “bergerbang asetilkolin” melalui
molekul-molekul protein yang terapung pada membran.
4. Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin memungkinkan sejumlah
besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut
otot. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada
membran.
5. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot dengan
cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran
serabut saraf.
6. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan
banyakaliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot.
Di sini, potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma
melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah tersimpan di dalam
retikulum ini.
7. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin
dan miosin, yang menyebabkan kedua filamen tersebut bergeser satu
sama lain, dan menghasilkan proses kontraksi.
8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca++, dan ion-ion ini
29
akan tetap disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang
baru datang lagi; pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan
menyebabkan kontraksi otot terhenti.
Menurut fakta, kita telah mengetahui bahwa panjang otot yang
terkontraksi akan lebih pendek daripada panjang awalnya saat otot sedang
rileks. Pemendekan ini rata-rata sekitar sepertiga panjang awal. Melalui
mikrograf elektron, pemendekan ini dapat dilihat sebagai konsekuensi dari
pemendekan sarkomer. Sebenarnya, pada saat pemendekan berlangsung,
panjang filamen tebal dan tipis tetap dan tak berubah (dengan melihat
tetapnya lebar lurik A dan jarak disk Z sampai ujung daerah H tetangga)
namun lurik I dan daerah H mengalami reduksi yang sama besarnya.
Model pergeseran filamen tadi hanya menjelaskan mekanika kontraksinya
dan bukan asal-usul gaya kontraktil. Pada tahun 1940, Szent- Gyorgi
kembali menunjukkan mekanisme kontraksi. Pencampuran larutan aktin
dan miosin untuk membentuk kom-pleks bernama Aktomiosin ternyata
disertai oleh peningkatan kekentalan larutan yang cukup besar. Kekentalan
ini dapat dikurangi dengan menambahkan ATP ke dalam larutan
aktomiosin. Maka dari itu, ATP mengurangi daya tarik atau afinitas miosin
terhadap aktin. Selanjutnya, untuk dapat mendapatkan penjelasan lebih
tentang peranan ATP dalam proses kontraksi itu, kita memerlukan studi
kinetika. (Gunawan, 2001)
Miosin, yang merupakan produk proses ini memiliki ikatan dengan
ATP. Selanjutnya, pada tahap kedua, ATP yang terikat dengan miosin tadi
terhidrolisis dengan cepat membentuk kompleks miosin- ADP-Pi.
Kompleks tersebut yang kemudian berikatan dengan Aktin pada tahap
ketiga. Pada tahap keempat yang merupakan tahap untuk relaksasi
konformasional, kompleks aktin-miosin-ADP-Pi tadi secara tahap demi
tahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP sehingga kompleks yang
tersisa hanyalah kompleks Aktin- Miosin yang siap untuk siklus hidrolisis
ATP selanjutnya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa proses terkait dan
30
terlepasnya aktin yang diatur oleh ATP tersebut menghasilkan gaya
vektorial untuk kontraksi otot.
Hidrolisis ATP dapat dikaitkan dengan model pergeseran filamen.
Pada mulanya, kita mengasumsikan jika cross-bridges miosin memiliki
letak yang konstan tanpa berpindah-pindah, maka model ini tak dapat
dibenarkan. Sebaliknya, cross-bridges (jembatan silang) itu harus
berulangkali terputus dan terkait kembali pada posisi lain namun masih di
daerah sepanjang filamen dengan arah menuju disk Z. Melalui pengamatan
dengan sinar X terhadap struktur filamen dan kondisinya saat proses
hidrolisis terjadi, Rayment, Holden, dan Milligan mengeluarkan postulat
bahwa tertutupnya celah aktin akibat rangsangan (berupa ejeksi ADP) itu
berperan besar untuk sebuah perubahan konformasional (yang
menghasilkan hentakan daya miosin) dalam siklus kontraksi otot. Postulat
ini selanjutnya mengarah pada model “perahu dayung” untuk siklus
kontraktil yang telah banyak diterima berbagai pihak.
Pada mulanya, ATP muncul dan mengikatkan diri pada kepala
miosin S1 sehingga celah aktin terbuka. Sebagai akibatnya, kepala
melepaskan ikatannya pada aktin. Pada tahap kedua, celah aktin akan
menutup kembali bersamaan dengan proses hidrolisis ATP yang
menyebabkan tegaknya posisi kepala S1. Posisi tegak itu merupakan
keadaan molekul dengan energi tinggi (jelas-jelas memerlukan energi).
Untuk mengikatkan diri dengan lemah pada suatu monomer aktin yang
posisinya lebih dekat dengan disk Z dibandingkan dengan monomer aktin
sebelumnya. Pada tahap keempat, Kepala S1 melepaskan Pi yang
mengakibatkan tertutupnya celah aktin sehingga afinitas kepala S1
terhadap aktin membesar. Keadaan itu disebut keadaan transien.
Selanjutnya, pada tahap kelima, hentakan daya terjadi dan suatu geseran
yang turut menarik ekor kepala S1 tadi terjadi sepanjang 60 Angstrom
menuju disk Z. Lalu, pada tahap akhir, ADP dilepaskan oleh lengkap.
Gerakan otot lurik tentu dibawah komando atau suatu kontrol yang
disebut impuls saraf motor. Sejak tahun 1940, ion Kalsium diyakini turut
31
berperan serta dalam pengaturan konraksi otot. Kemudian, sebelum 1960,
Setsuro Ebashi menunjukkan bahwa pengaruh Ca2+ ditengahi oleh
Troponin dan Tropomiosin. Ia menunjukkan aktomiosin yang diekstrak
langsung dari otot (sehingga mengandung ikatan dengan troponin dan
tropomiosin) berkontraksi karena ATP hanya jika Ca2+ ada pula.
Kehadiran troponin dan tropomiosin pada sistem aktomiosin tersebut
meningkatkan sensitivitas sistem terhadap Ca2+ . Di samping itu, subunit
dari troponin, TnC, merupakan satu-satunya komponen pengikat Ca2+.
Sebuah impuls saraf yang tiba pada sebuah persambungan
neuromuskular (sambungan antara neuron dan otot) akan dihantar
langsung kepada tiap-tiap sarkomer oleh sebuah sistem tubula transversal /
T. Tubula tersebut merupakan pembungkus-pembungkus semacam saraf
pada membran plasma fiber. Tubula tersebut mengelilingi tiap miofibril
pada disk Z masing-masing. maka semua sarkomer pada sebuah otot akan
menerima sinyal untuk berkontraksi sehingga otot dapat berkontraksi
sebagai satu kesatuan utuh. Sinyal elektrik itu dihantar (dengan proses
yang belum begitu dimengerti) menuju retikulum sarkoplasmik (SR). SR
merupakan suatu sistem dari vesikel (saluran yang mengandung air di
dalamnya) yang pipih, bersifat membran, dan berasal dari retikulum
endoplasma. Sistem tersebut membungkus tiap-tiap miofibril hamper
seperti rajutan kain. Membran SR yang secara normal non-permeabel
terhadap Ca2+ itu mengandung sebuah transmembran Ca2+ -ATPase
yang memompa Ca2+ kedalam SR untuk mempertahankan konsentrasi
[Ca2+] bagi otot rileks. Kemampuan SR untuk dapat menyimpan Ca2+
ditingkatkan lagi oleh adanya protein yang bersifat amat asam yaitu
kalsequestrin (memiliki situs lebih dari 40 untuk berikatan dengan Ca2+ ).
Kedatangan impuls saraf membuat SR menjadi permeable terhadap
Ca2+ .Akibatnya, Ca2+ berdifusi melalui saluran-saluran Ca2+ khusus
menuju interior miofibril, dan konsentrasi internal [Ca2+] akan bertambah.
Peningkatan konsentrasi Ca2+ ini cukup untuk memicu perubahan
konformasional dalam troponin dan tropomiosin. Akhirnya, kontraksi otot
32
terjadi dengan mekanisme “perahu dayung” tadi. Saat rangsangan saraf
berakhir, membran SR kembali menjadi impermeabel terhadap Ca2+
sehingga Ca2+ dalam miofibril akan terpompa keluar menuju SR.
Kemudian otot menjadi rileks seperti sediakala.
Gambar II.2.6 mekanisme kontraksi otot (Sumber:Gunawan,2001)
33
II.3 Kalsium
Kalsium adalah kation ekstrasel utama. Peran utama kalsium adalah
untuk kontraksi dan eksitasi otot jantung dan otot lainnya, transmisi sinap
sistem saraf, koagulasi, dan sekresi hormon dan regulator lain yang
memerlukan eksositosis. Kadar kalsium normal dalam plasma 8,5-10,4
mg/dL, 45% terikat protein plasma terutama albumin, 10% terikat dengan
dapar anion seperti sitrat dan fosfat. Empat puluh lima persen sisanya ada
dalam bentuk ion dan merupakan bentuk aktif. Kadar kalsium dalam cairan
ekstrasel 1% dari keseluruhan total kalsium tubuh sementara kadarnya dalam
sel dijaga sekitar 1/10.000 dari kadar ekstrasel. Fungsi utama kalsium intrasel
adalah second messenger intraselular untuk mengatur pembelahan sel,
kontraktilitas otot, pergerakan sel, dan sekresi. Sumber kalsium utama dan
satu-satunya adalah diet antara lain susu dan produknya seperti keju dan
yogurt, sayur-sayuran berwarna hijau, ikan dalam kaleng yang lengkap
dengan tulangnya seperti sardin, kacang-kacangan, dan makanan jadi yang
difortifikasi dengan kalsium seperti jus, dan sereal. (Setyorini, 2009)
Absorbsi kalsium di saluran cerna terjadi di proksimal duodenum
yang tergantung pada vitamin D aktif dan bersifat difusi aktif yang
memerlukan calsium binding protein (CaBP) atau kalbindin. Efektivitas
absorbsi kalsium di usus dipengaruhi oleh asupan kalsium. Semakin rendah
kadar kalsium dalam makanan yang dikonsumsi, semakin aktif pula usus
melakukan absorbsi. Sembilan puluh sembilan persen kalsium ekstrasel
terdapat dalam tulang dalam bentuk hidroksiapatit yang mencerminkan
keseimbangan antara proses pembentukan dan resorpsi tulang. Keseimbangan
metabolisme kalsium diatur oleh tiga faktor, hormon paratiroid, vitamin D,
dan kalsitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Membran sel kelenjar
paratiroid mengandung sensor kalsium yang dapat mendeteksi kadar kalsium
darah. Aktivasi reseptor kalsium terjadi bila kadar kalsium darah tinggi,
menyebabkan pelepasan fosfolipase A2, asam arakidonat, dan leukotrien.
Leukotrien menginhibisi sekresi hormon paratiroid melalui degradasi 90%
granul sekretori yang mengandung bentuk preformed hormon paratiroid.
34
Aktivasi reseptor kalsium tidak akan terjadi bila kadar kalsium darah rendah.
Hormon paratiroid bekerja dengan berikatan dengan reseptor membran sel
organ target, yaitu reseptor hormon paratiroid 1 di ginjal dan tulang. Hormon
paratiroid meningkatkan reabsorbsi kalsium dengan mempermudah pori
kalsium di tubulus distal ginjal terbuka. Hormon paratiroid meningkatkan
degradasi tulang dengan bekerja pada osteoblas melalui RANKL di tulang.
Hormon paratiroid juga menstimulasi hidroksilasi 25-OH-vitamin D3
menjadi bentuk aktifnya (kalsitriol). Efek kalsitonin terhadap kalsium
bertentangan dengan efek hormon paratiroid. Kalsitonin menginhibisi
aktivitas osteoklas, mengurangi resorpsi tulang, dan meningkatkan ekskresi
kalsium melalui ginjal, jadi fungsi kalsitonin menurunkan kadar kalsium
darah. (Setyorini, 2009)
35
II.4 Vitamin D
II.4.1 Sumber Vitamin D
Sumber vitamin D utama manusia adalah sinar matahari dan diet.
Sinar ultraviolet B (290-315 nm) yang diabsorbsi kulit mengubah 7-
dehidrokolesterol menjadi previtamin D3 yang tidak stabil dan cepatdiubah
menjadi vitamin D3 ( kolekalsiferol). Vitamin D3 kemudian keluar dari sel
kulit, masuk ke pembuluh kapiler kulit, dan diikat oleh vitamin D binding
protein (DBP). Vitamin D dalam makanan diabsorbsi di usus halus dan
dengan bantuan asam empedu, diubah menjadi vitamin D2 (ergokalsiferol).
Vitamin D3 masuk ke pembuluh limfe setelah diabsorbsi untuk kemudian
masuk ke sirkulasi dan berikatan dengan DBP dan lipoprotein. Vitamin D3
kemudian dimetabolisme di hati oleh calciol-25-hydroxylase menjadi pre-
hormon 25-OH D3 (kalsidiol) yang masuk ke dalam darah dan di sirkulasi
berikatan dengan DBP. Bentuk 25-OH D3 memiliki waktu paruh dua minggu
dan kadarnya mencerminkan kadar vitamin D secara keseluruhan, kadar
normal 15-50 ng/mL. Konsentrasi kurang dari 25 ng/mL menyebabkan
peningkatan hormon paratiroid dan resorpsi tulang. Pre-hormon 25-OH D3
dilepas dari ikatannya dengan DBP di ginjal, berikatan dengan megalin sel
tubulus, masuk ke dalam sel tubulus dan mengalami hidroksilase di
mitokondria. Calcidiol-1- hydroxylase menghasilkan bentuk aktif vitamin D
yaitu 1,25-dihidroksi D3 (kalsitriol) sedangkan calcidiol- 24-hydroxylase
menghasilkan bentuk tidak aktif yaitu 24,25-dihidroksi vitamin D (24-
hidroksikalsidiol). Kalsitriol menjalankan fungsinya dengan berikatan dengan
vitamin D receptor (VDR) di usus halus. Kompleks kalsitriol-VDR berikatan
lagi dengan retinoic acid X receptor (RXR) di nukleus dan kompleks
kalsitriol- VDR-RXR ini kemudian berikatan dengan vitamin D responsive
element (VDRE) kalsium epitel. (Setyorini, 2009)
36
II.4.2 Fungsi Vitamin D
Fungsi utama vitamin D adalah sebagai pengatur keseimbangan kadar
kalsium dengan mengatur absorbsi kalsium di usus halus, interaksi dengan
hormon paratiroid sehingga mobilisasi kalsium dari tulang meningkat, dan
mengurangi ekskresi kalsium melalui ginjal. Bukti nyata efektivitas vitamin
D meningkatkan mineralisasi belum terbukti walaupun defisiensi vitamin D
sering menyebabkan defisit nyata mineral tulang. Deposisi mineral tulang
normal memerlukan konsentrasi kalsium dan fosfat optimal yang tergantung
keadekuatan absorbsi kalsium. Osteoblas adalah satu-satunya komponen sel
tulang yang mengandung reseptor kalsitriol. Ikatan kalsitriol dengan
osteoblas menginduksi pelepasan osteokalsin, protein yang mengandung
residu asam-karboksiglutamat dan IL-1 yang meningkatkan proses resorpsi.
Efek vitamin D pada metabolisme kalsium di ginjal adalah sebaliknya, yaitu
meningkatkan reabsorbsi kalsium oleh sel tubulus. Defisiensi vitamin D
menyebabkan absorbsi dan reabsorbsi kalsium dan fosfat tidak adekuat
sehingga terjadi penurunan konsentrasi kalsium plasma. Penurunan
konsentrasi kalsium plasma menyebabkan peningkatan sekresi hormon
paratiroid yang bertujuan mengembalikan konsentrasi kalsium plasma tetapi
dengan resorpsi dari tulang. Kadar fosfat sendiri akan tetap di bawah normal
karena hormon paratiroid justru akan menyebabkan ekskresi fosfat melalui
urin sehingga tidak terjadi mineralisasi tulang baru dan matriks kartilago
yang menyebabkan tulang menjadi rapuh. (Setyorino,2009)
Kekurangan Vitamin D pada anak-anak dapat bermanifestasi sebagai
rakhitis (itu adalah penyebab paling umum dari rakhitis gizi), yang
menyajikan sebagai membungkuk dari kaki. Kekurangan vitamin D dalam
hasil orang dewasa dalam osteomalacia, yang menyajikan sebagai matriks
tulang termineralisasi buruk. Ini orang dewasa dapat mengalami nyeri otot
kronis dan nyeri.
Vitamin D juga meningkatkan penyerapan fosfor dari distal usus
kecil. Kalsium dan fosfor dari penyerapan usus juga penting untuk
37
mineralisasi yang tepat dari tulang. Fungsi utama kedua dari vitamin D
adalah keterlibatan dalam pematangan osteoklas, yang mengisap kalsium dari
tulang.
Istilah vitamin D mengacu kepada vitamin D2 atau D3 vitamin.
Vitamin D3, juga dikenal sebagai cholecalciferol, yang baik dibuat di kulit
atau diperoleh dalam makanan dari lemak ikan. Vitamin D2, juga dikenal
sebagai ergocalciferol, diperoleh dari jamur iradiasi, seperti ragi. Vitamin D2
dan vitamin D3 yang digunakan untuk melengkapi produk makanan atau
terkandung dalam multivitamin. (Setyorini, 2009)
II.4.3 Fisiologi Vitamin D
Produksi vitamin D3 di kulit melibatkan serangkaian reaksi memulai
dengan 7-dehydrocholesterol. Setelah paparan ultraviolet (UVB) radiasi B
antara panjang gelombang 290-315 nm, 7-dehydrocholesterol diubah menjadi
previtamin D3, yang kemudian diubah menjadi vitamin D3 setelah reaksi
isomerisasi termal diinduksi dalam kulit. Dari kulit, baru dibentuk vitamin
D3 memasuki sirkulasi dengan cara mengikat protein yang mengikat vitamin
D (DBP). Untuk menjadi aktif, vitamin D membutuhkan 2 hydroxylations
berurutan untuk membentuk 1,25-dihydroxy vitamin D (1,25 [OH] 2 D).
Vitamin D awalnya dihidroksilasi dalam posisi 25 dengan mikrosoma
hati dan / atau mitokondria enzim vitamin D 25-hidroksilase. Hidroksilasi
kedua terjadi di ginjal dan dilakukan oleh enzim P450 25-hydroxy vitamin D-
1 alpha-hidroksilase.
Setelah memasuki sel, 1,25 (OH) 2 D hormon berikatan dengan
reseptor vitamin D (VDR). Reseptor vitamin D terikat kemudian membentuk
heterodimer dengan reseptor asam retinoat X (RXR). Heterodimer ini
kemudian pergi ke inti untuk mengikat asam deoksiribonukleat (DNA) dan
meningkatkan transkripsi vitamin D-gen terkait. (Tangpricha,2012)
38
II.4.4 Patofisiologi
Kekurangan vitamin D dapat mengakibatkan berbagai hal.
(Tangpricha,2012). Misalnya:
1. Kurangnya paparan sinar matahari : ini menyebabkan kekurangan vitamin
D disintesis cutaneously, orang dewasa di panti jompo atau lembaga
perawatan kesehatan berada pada resiko yang sangat tinggi.
2. Vitamin D mersorbpsi masalah : Orang-orang yang telah menjalani
reseksi dari usus kecil beresiko untuk kondisi ini, penyakit yang
berhubungan dengan vitamin D malabsorpsi termasuk sariawan, sindrom
usus pendek, dan cystic fibrosis.
3. Jumlah minimal vitamin D dalam ASI manusia : The American Academy
of Pediatrics merekomendasikan suplemen vitamin D dimulai pada usia 2
bulan untuk bayi menyusui secara eksklusif dengan ASI.
4. Obat : Beberapa obat yang berhubungan dengan kekurangan vitamin D,
obat-obatan seperti Dilantin, fenobarbital, dan rifampisin dapat
menginduksi enzim hepatik p450 untuk mempercepat katabolisme
vitamin D.
II.4.5 Epidemiologi
Angka Mortalitas / Morbiditas di Amerika Serikat yang disebabkan
oleh kekurangan vitamin D paling tinggi diantara orang-orang yang sudah
berusia lanjut, dilembagakan, atau dirawat di rumah sakit. Di Amerika
Serikat, 60% dari penghuni panti jompo dan 57% dari pasien rawat inap
ditemukan menjadi vitamin D kekurangan.
Namun, kekurangan vitamin D tidak terbatas pada populasi lanjut usia
dan dirawat di rumah sakit, beberapa penelitian telah menemukan prevalensi
tinggi kekurangan vitamin D di antara yang sehat, dewasa muda. Sebuah
studi menetapkan bahwa hampir dua pertiga dari yang sehat, orang dewasa di
Boston adalah vitamin D yang cukup pada akhir musim dingin.
39
Produksi vitamin D menurun dengan bertambahnya umur, membuat
populasi lansia lebih bergantung pada vitamin D. Asupan makanan tinggi
bervitamin D mungkin diperlukan untuk mencapai tingkat serum yang
optimal dari 25 (OH) D. (Tangpricha,2012)
II.4.6 Prognosa
Pengobatan kekurangan vitamin D dapat mengurangi resiko patah
tulang pinggul dan nonvertebral. Sebuah meta-analisis oleh Boonen et al dari
wanita menopause dan pria berusia 50 tahun atau lebih tua melaporkan resiko
patah tulang pinggul menemukan bahwa vitamin lisan suplementasi D
mengurangi resiko patah tulang pinggul sebesar 18% saat vitamin D dan
kalsium yang diambil bersama-sama. Sebagian besar percobaan yang
menunjukkan efikasi antifraktur vitamin D yang digunakan sekitar 800 IU
vitamin D3. The 25 minimum (OH) D di mana tingkat efikasi antifraktur
diamati adalah 30 ng / ml (74 nmol / L), menunjukkan ambang batas untuk
tingkat yang optimal dari 25 (OH) D untuk perlindungan fraktur.
Dalam studi ini, dosis lebih dari 400 IU / hari ditemukan untuk
mengurangi patah tulang oleh setidaknya 20% pada individu berusia 65 tahun
atau lebih. Berbeda dengan studi Boonen, para peneliti menyatakan bahwa
efek ini adalah independen dari suplemen kalsium.
Kekurangan vitamin D berkontribusi terhadap osteoporosis dengan
mengurangi penyerapan kalsium. Pengobatan kekurangan vitamin D telah
terbukti meningkatkan kepadatan mineral tulang. Suplementasi vitamin D
telah dikaitkan dengan penurunan dan kekuatan otot ditingkatkan pada orang
tua. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa suplemen vitamin D
mengakibatkan penurunan jatuh dari sekitar 22% pada subyek lansia rawat
jalan dan dilembagakan, dibandingkan dengan kontrol. Meta-analisis
memeriksa kekuatan otot yang berhubungan dengan suplementasi vitamin D
ditemukan signifikan peningkatan bergoyang postural berkurang, waktunya
up and go hasil tes, dan bawah ekstremitas kekuatan dalam analisis
40
dikumpulkan dari 13 studi. Data epidemiologi menunjukkan bahwa vitamin
D kekurangan tempat dewasa beresiko untuk mengembangkan kanker, ini
rupanya termasuk payudara, usus, dan kanker prostat. Beberapa penelitian
menggunakan sel-sel kanker pada tikus berbudaya. Model juga telah
mendukung gagasan bahwa vitamin D mencegah pertumbuhan kanker. lebih
besar, uji klinis acak yang dilakukan pada manusia untuk membangun peran
vitamin D dalam pencegahan kanker (Tangpricha,2012).
Kekurangan vitamin D dapat meningkatkan resiko tipe I dan tipe II
diabetes mellitus. Sebuah meta-analisis mengevaluasi efek suplementasi
vitamin D (menggunakan dosis suplemen rata-rata sekitar 500 IU per hari)
pada semua penyebab kematian di 18 uji coba terkontrol secara acak dan
menemukan pengurangan resiko 7% relatif untuk kematian.
41
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Sistem pergerakan manusia terdiri dari tulang, otot, dan sendi.
Tulang terklasifikasi menjadi beberapa macam. Menurut lokasi dibagi
menjadi tulang axial, apendikular, dan acral. Menurur bentuknya dibagi
menjadi tulang pipih dan tabung. Sedangkan menurut ukuran di bagi
menjadi tulang piph, tulang panjang dan tulang pendek. Berdasarkan jenis
jaringan tulang dapat di klasifikasikan menjadi tulang spongiosa, tulang
kompakta. Dan menurut umur tulang di bagi menjadi tulang muda (imatur)
dan tulang dewasa (matur). Serta menurut perkembangan tulang dibagi
menjadi Intramembran tulang dan Intracartilaginous.
Sel-sel penyusun tulang adalah osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Senyawa matriks tulang tersususn atas anorganik dan organik. Anorganik
berupa kalsium dan fosfor. Sedangkan organik berupa kolagen tipe I
sebanyak 90% dan 10% dari bahan amorf termasuk glikosaminoglikan.
Mikroskopis bangunan tulang tersusun atas sistem haversian, Lamela
Interstitial, dan Lamela Circumferential. Pembentukan tulang itu bisa
dengan cara osifikasi endokondral dan osifikasi intramembranosa. Osifikasi
endokondral adalah proses pembentukan tulang yang berasal dari tulang
rawan hialin yang terkalsifikasi. Sedangkan osifikasi intramembranosa
adalah pembentukan tulang yang bersal dari jaringan ikat mesenkim yang
berdiferensiasi.
42
Otot terbagi menjadi tiga jenis, yaitu otot serat lintang (otot lurik),
otot polos, dan otot jantung. Otot serat lintang (otot lurik) bekerja secara
sadar. Sedangkan otot polos dan otot jantung bekerja secara tidak sadar.
Kalsium adalah salah satu mineral yang sangat penting untuk proses
pembentukan matriks tulang. Peran utama kalsium adalah untuk kontraksi
dan eksitasi otot jantung dan otot lainnya.
\
43
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S., Sigit, J I., Ditia Y. 2009. Kadar Asam Laktat Hasil Metabolisme
Anaerob pada Atlet. Jurnal IPTEK Olahraga, Vol 11 No 1. Bogor.
Eroschenko, V P. 2010. Atlas Histologi diFiore. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Guyton, A C, 1990, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Guyton, A C, dan Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. EGC: Jakarta.
Gunawan A. 2001. Mekanisme dan Mekanika Pergerakan Otot.
INTEGRAL,Vol.6, No.2.
Snell, R E. 2006. Anatomi Klinik Dasar ed.6. EGC: Jakarta
Setyorini, A. 2009. Pencegahan Osteoporosis dengan Suplementasi Kalsium
dan Vitamin D pada Penggunaan Korti Kosteroid Jangka Panjang. Sari
Pediatri, Vol.11, No.1. Bali
Kirby, B J. 2011. Skeletal Recovery After Weaning Does Not Require PTHrP.
Journal of Bone and Mineral Research, Vol.26, No.6, pp 1242-1251.
Rosenzweig, H L. 2011. NOD2 Deficiency Results in Increased Susceptibility to
Peptidoglycan-Induced Uveitis in Mice. IOVS, Vol.52, No.7.
Hirose, S. 2007. A Histological Assessment on the Distribution of the Osteocytic
Lakunar Canalicular System Using Silver Staining. J Bone Miner Metab
25:374-380.
Pounds, J G. 1991. Cellular and Molecular Toxicity of Lead in Bone.
Enviromental Health Perspective, Vol.91, pp 17-32.
Steenvoorden. 2007. RAGE and Activation of Chondrocytes and Finroblast-Like
Synoviocytes in Joint Disease.Doctoral Thesis Verden University.
Premkumar, S. 2011. Textbook of Craniofacial Growth. Jitendar P Vij.