META-ANALISIS EFEKTIVITAS PENDEKATAN
of 103
/103
Embed Size (px)
Transcript of META-ANALISIS EFEKTIVITAS PENDEKATAN
SAINS DAN MATEMATIKA
Khairunnisa, S.Pd, M.Si
ii
META-ANALISIS EFEKTIVITAS PENDEKATAN PROBLEM SOLVING DALAM PEMBELAJARAN SAINS DAN MATEMATIKA Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Telp. 021-7401925, 7426828, Fax. 7426828 Cetakan I, Oktober 2013 ISBN: S978-602-9483-17-8 Penulis Dr. Kadir, M.Pd Burhanuddin Milama, S.Pd, M.Pd Khairunnisa, S.Pd, M.Si Setting & Layout: Heryfida All Rights Reserved Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak dibenarkan memproduksi ulang setiap bagian artikel, ilustrasi dan isi buku ini dalam bentuk apapun juga
[email protected]
Highlight
iii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamuálaikum Wr. Wb.
Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menginspirasi kemajuan peradaban dunia, serta menjadi rahmat bagi alam dan kemuliaan manusia.
Perubahan pesat, cepat dan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan profesi merupakan ciri dari apa yang akan berlangsung di masa depan. Pendidikan Sains dan Matematika akan memainkan peranan penting untuk mempersiapkan individu dan masyarakat dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut. Kebutuhan masyarakat akan pemahaman Sains dan matematika di era penuh perubahan tersebut akan terus meningkat, sehingga menuntut penguasaan pengetahuan maupun kemampuan baru. Dengan demikian dibutuhkan adaptability yang cukup tinggi bagi individu dan masyarakat. Mengingat tuntutan penguasaan pengetahuan dan kemampuan baru ini. Pendidikan Sains dan Matematika seharusnya dapat meningkatkan kesadaran dan kontrol diri siswa untuk membangun kemampuan belajar matematika akan hal-hal yang baru.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dan menelaah efektivitas pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika. Studi ini mengajukan permasalahan pada bagaimana besar pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari aspek hasil belajar sains dan matematika secara keseluruhan, jenjang pendidikan subyek, lama waktu perlakuan, bidang ilmu yang diteliti, ukuran sampel penelitian; dan variabel moderator yang dilibatkan dalam penelitian.
Terakhir kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, dan semoga apa yang telah dilaksanakan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Wassalam
Jakarta, 2013
Tim Peneliti
Oktober, 2013
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menelaah efektivitas pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika. ditinjau dari aspek: (1) hasil belajar sains dan matematika secara keseluruhan; (2) jenjang pendidikan subyek; (3) lama waktu perlakuan; (4) bidang ilmu yang diteliti; (5) ukuran sampel penelitian; dan (6) variabel moderator yang dilibatkan dalam penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah survai dan analisis terhadap jurnal penelitian dengan mengambil 16 buah artikel hasil penelitian dalam jurnal internasional sebagai unit analisis kemudian dikelompokkan menjadi 128 subpenelitian. Pengaruh relatif dari penelitian- penelitian yang menerapkan pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika dilakukan dengan menggunakan teknik meta-analisis dari Glass. Kesimpulan hasil penelitian bahwa: (1) Secara keseluruhan pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika mampu meningkatkan hasil belajar responden pada kelompok eksperimen sebesar 1,079 kali simpangan baku kelompok kontrol. Ternyata pendekatan problem solving memberikan pengaruh yang lebih efektif daripada pendekatan lain pada kelompok kontrol, (2) Pendekatan problem solving dari segi jenjang pendidikan subyek dalam pembelajaran Sains dan Matematika mampu meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 1,130 kali simpangan baku kelompok kontrol yang bukan perlakuan pendekatan problem solving. Ternyata jenjang pendidikan Mahasiswa dan pelatihan Guru memberikan besar pengaruh pendekatan problem solving tergolong tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA, (3) Pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari lama waktu perlakuan adalah tergolong tinggi yaitu 2,037 kali simpangan kelompok kontrol. Ternyata perlakuan selama 6 minggu memberikan besar pengaruh pendekatan problem solving tergolong tinggi dibanding 2 minggu, 3 minggu, 8 minggu, 4 bulan, 1 semester, dan 1 tahun, (4) Pengaruh pendekatan problem solving pada kelompok eksperimen berdasarkan jenis bidang ilmu sebesar 1,425 kali simpangan baku kelompok kontrol. Ternyata bidang ilmu Fisika memberikan besar pengaruh tertinggi dibandingkan dengan bidang Self Regulation Learning, Desain Pembelajaran, Pembelajaran Matematika Sekolah, Sains, Agricultural, Pembelajaran Matematika Berbasis Komputer, dan bidang ilmu Kimia, (5) Pengaruh
vi
pendekatan problem solving ditinjau dari ukuran sampel sebesar 2,066 kali simpangan baku kelompok kontrol. Besar pengaruh pendekatan problem solving tertinggi untuk ukuran sampel penelitian sebesar 80 orang, dikuti 620, 268, 60, 32, 102, 104, 77, 240, 86, 49, 47, 92, dan terendah 122 orang, (6) Pengaruh pendekatan problem solving dengan pelibatan atribut atau variabel moderator adalah tergolong tinggi yaitu 2,026 kali simpangan kelompok kontrol. Besar pengaruh pendekatan problem solving tertinggi bila dikombinasikan (interaksi) variabel gender.
Kata Kunci: Meta-Analisis, Effect Size, Pendekatan Problem Solving, Pembelajaran, Sains dan Matematika.
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................ iii ABSTRAK. ........................................................................................ v DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL .............................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xi DAFTAR GRAFIK ............................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xv BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7 D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ........................................... 7
BAB II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL 9
A. Pengertian Masalah ................................................................ 9 B. Definisi Problem Solving ....................................................... 11 C. Pembelajaran Problem Solving ............................................... 16 D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa ....................................................................... 22 E. Pengertian Pembelajaran Sains dan Matematika ...................... 30 F. Konsep Meta-Analisis ............................................................ 37 G. Kajian Meta Analisis yang Relevan ....................................... 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 41
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 41 B. Metode Penelitian ................................................................... 41 C. Sumber Data .......................................................................... 41 D. Instrumen Penelitian ............................................................... 42 E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 42 F. Teknik Analisis Data .............................................................. 42
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 45
A. Deskripsi Data ....................................................................... 45 B. Temuan Penelitian ................................................................. 50
1. Rata-rata Besar Pengaruh Secara Keseluruhan ............ 50
Halaman
viii
2. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan Jenjang Pendidikan Subyek ....................................................................... 50
3. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan lama Perlakuan 52 4. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan Bidang Ilmu ... 53 5. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan Ukuran Sampel
Penelitian (Sample Size) ............................................. 55 6. Rata-rata Besar Pengaruh Pendekatan Problem Solving
Dengan Pelibatan Variabel Moderator ........................ 57 C. Pembahasan Hasil Penelitian ................................................. 59 D. Keterbatasan Penelitian .......................................................... 65
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 67
A. Kesimpulan ........................................................................... 67 B. Rekomendasi .......................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Daftar Judul Artikel dan Nama Jurnal Publikasi ................... 46 Tabel 4.2 Pengaruh Jenjang Pendidikan Subyek ................................. 50 Tabel 4.3 Pengaruh Lama Waktu Perlakuan ....................................... 52 Tabel 4.4 Pengaruh Bidang Ilmu ........................................................ 54 Tabel 4.5 Pengaruh Ukuran Sampel Penelitian ................................... 56 Tabel 4.6 Pengaruh Pendekatan Problem Solving dan Variabel
Moderator ............................................................................ 57
Gambar 2.1. Tingkat Kompleksitas Keterampilan Intelektual Menurut
Gagne ............................................................................. 13 Gambar 2.2 Model Problem solving menurut Gick, 1986 ................... 21 Gambar 2.3. Kemampuan Problem solving berdasarkan Gender .......... 23 Gambar 2.4 Kemampuan Problem solving setiap level gender ............ 24 Gambar 2.5 Kemampuan Problem solving Dilihat Dari Pekerjaan
Orang Tua ....................................................................... 26 Gambar 2.6 Kemampuan Problem solving Menurut Tingkat
Pendidikan Orang Tua ..................................................... 27 Gambar 2.7 Kemampuan Problem solving dilihat dari Struktur
Keluarga ......................................................................... 28 Gambar 2.8 Kemampuan Problem solving Dilihat Dari Tempat Lahir
dan Bahasa Sehari-Hari ................................................... 30
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Pengaruh aspek Jenjang pendidikan .................................... 51 Grafik 4.2 Pengaruh aspek Lama Perlakuan ........................................ 53 Grafik 4.3 Pengaruh aspek Bidang Ilmu .............................................. 55 Grafik 4.4. Pengaruh aspek Ukuran sampel (orang) ............................. 56 Grafik 4.5. Pengaruh aspek pelibatan variabel moderator..................... 58
Halaman
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 CODING META ANALISIS (SAINS) ............................. 73 Lampiran 2 CODING META ANALISIS (MATEMATIKA) .............. 79
Halaman
1
pengetahuan, teknologi, budaya dan profesi merupakan ciri dari apa yang
akan berlangsung di masa depan. Pendidikan Sains dan Matematika akan
memainkan peranan penting untuk mempersiapkan individu dan masyarakat
dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut. Kebutuhan masyarakat
akan pemahaman Sains dan matematika di era penuh perubahan tersebut akan
terus meningkat, sehingga menuntut penguasaan pengetahuan maupun
kemampuan baru. Dengan demikian dibutuhkan kemampuan adaptability
yang cukup tinggi bagi individu dan masyarakat. Mengingat tuntutan
penguasaan pengetahuan dan kemampuan baru ini. Pendidikan Sains dan
Matematika seharusnya dapat meningkatkan kesadaran dan kontrol diri siswa
untuk membangun kemampuan belajar matematika akan hal-hal yang baru.
Pentingnya mengembangkan pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan adaptability adalah cukup beralasan. Hal ini mengingat bahwa
proses pembelajaran Sains dan Matematika selama ini masih didominasi oleh
sistem tradisional seperti ceramah dan drill yang kurang kondusif untuk
mempersiapkan anak didik dalam menghadapi era masa depan yang serba
sulit dan tidak menentu. Proses pembelajaran saat ini kebanyakan masih
belum menunjukkan hasil yang memuaskan, upaya guru ke arah peningkatan
kualitas proses belajar mengajar belum optimal, metode, pendekatan dan
evaluasi yang dikuasai guru belum beranjak dari pola tradisional, dan hal ini
berdampak negatif terhadap daya serap siswa yang ternyata masih tetap
lemah. Disamping itu, masih ada kenyataan yang menunjukkan bahwa
pendidikan kita dewasa ini lebih memaksakan kepada peserta didik, dan
lebih melaksanakan informasi tekstual daripada mengembangkan
kemampuan membudayakan belajar dan membangun individu belajar.
2
berkembang menjadi kurang kreatif. Kegiatan Sains dan Matematika siswa
hanya berdasarkan perintah atau tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Salah
satu contoh mendukung kenyataan ini adalah siswa hanya akan
menyelesaikan soal-soal latihan yang diperintahkan oleh gurunya, ataupun
siswa akan belajar Sains dan Matematika di rumah apabila diberikan
pekerjaan rumah (PR) yang telah dilengkapi dengan rumus dan algoritma
oleh gurunya. Konsekuensinya bila siswa diberi soal yang berbeda dengan
soal latihan maka mereka akan membuat kesalahan atau error layaknya
komputer. Siswa tidak terbiasa memecahkan masalah Sains dan matematika
yang ada di sekililing mereka. Hal ini menunjukkan bahwa guru merupakan
pengendali dari aktivitas siswa dalam belajarnya.
Di sisi lain, hasil belajar Sains dan Matematika siswa umumnya
masih rendah. Hasil belajar yang dimaksud tidak hanya pada aspek
kemampuan mengerti matematika sebagai pengetahuan (cognitive) tetapi juga
aspek sikap (attitude) terhadap matematika. Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur hasil belajar matematika adalah rangking skor
Sains dan Matematika siswa sekolah lanjutan pada kompetisi berlevel
internasional dan nasional.
Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa, siswa Indonesia hanya
menempati rangking ke-39 dari 42 negara partisipan TIMSS dengan
perolehan skor rata-rata 397 dari skor maksimal 1000.4 Begitupula secara
nasional, rata-rata Nilai Ebtanas Murni (NEM) siswa SMU berada di bawah
5,0 dalam skala 0 sampai dengan 10, sebagai perbandingan bahwa untuk
propinsi DKI Jakarta dari 22268 siswa yang tersebar di 411 SMU Negeri dan
Swasta se-DKI Jakarta, rata-rata Nilai Ebtanas Murni pelajaran matematika
IPA adalah sebesar 3,98.
Selanjutnya untuk aspek sikap siswa terhadap mata pelajaran Sains
dan Matematika di sekolah dapat diketahui tidak hanya dari beberapa laporan
penelitian tetapi pada opini siswa di sekolah bahwa mereka tidak suka atau
3
adalah disebabkan beberapa hal: (1) kurikulum yang padat, (2) rendahnya
kualitas buku paket lantaran banyak ditulis tanpa melibatkan orang
pendidikan matematika atau guru matematika, (3) media belajar yang kurang
efektif, (4) metode pengajaran yang tradisional dan tidak interaktif, dan (5)
buruknya sistem evaluasi, yang hanya mengejar solusi tetapi mengabaikan
proses mendapatkan solusi.
Berdasarkan kondisi real di atas, untuk meningkatkan hasil belajar
Sains dan Matematika, kreativitas, sikap positif siswa dalam belajar Sains dan
matematika sesuai dengan tuntutan era penuh perubahan, maka harus
dikembangkan pembelajaran dengan pembelajaran Sains dan Matematika
yang tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga
membantu siswa untuk mencerna dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri serta memberdayakan mereka untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya. Pembelajaran Sains dan Matematika yang demikian itu
tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan hafalan, latihan pengerjaan soal
yang bersifat mekanistik, rutin, dan algoritmis, serta proses
pembelajaran dengan yang cenderung berpusat kepada guru yang akan
menimbulkan budaya konsumtif antara lain, kebiasaan menerima informasi
secara pasif, seperti mencatat, mendengarkan, dan meniru. Diperlukan sebuah
evaluasi yang dapat membelajarkan siswa, sehingga dapat mengubah dari
situasi guru mengajar kepada situasi siswa belajar, dari pengalaman ber-sains-
matematis guru kepada pengalaman ber-sains-matematis siswa, dari alam
berfikir guru ke alam berfikir siswa. Ciri-ciri pembelajaran seperti ini dapat
menumbuhkan budaya produktif, seperti menulis gagasan, merancang model,
meneliti, memecahkan masalah, menemukan pola, mengkomunikasi-kan
gagasan baru baik secara individual maupun kelompok.
Khusus untuk bidang matematika, perhatian pemerintah dan pakar
pendidikan matematika untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa
tidak hanya tertuju kepada kurikulum berbasis kompetensi seperti yang
4 digalakkan di sekolah sekarang ini, bahkan dalam rangka mengatasi
rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika, sekarang ini tengah diuji-
cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan
humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju.
Misalnya di Belanda sekarang telah dikembangkan pendekatan
pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME).
Terdapat lima karakteristik utama dari pendekatan RME, yaitu: (1)
menggunakan pengalaman siswa di dalam kehidupan sehari-hari, (2)
mengubah realita ke dalam model, kemudian mengubah model melalui
matematisasi vertikal sebelum sampai kepada bentuk formal, (3)
menggunakan keaktifan siswa, (4) dalam mewujudkan matematika pada diri
siswa diperlukan adanya diskusi, tanya-jawab, dan (5) adanya keterjalinan
konsep dengan konsep, topik dengan topik sehingga pembelajaran matematika
lebih holistik daripada parsial. Dengan pendekatan ini diduga peningkatan
hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan menyajikan materi
yang dekat dengan kehidupan sehari-hari atau yang dapat dibayangkan oleh
siswa.
pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning.1
Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam
menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan
masalah-masalah contextual. Pendekatan seperti ini diduga mampu
mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena
dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut.
Menurut Becker dan Shimada, di negara Sakura Jepang saat ini
sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the open-ended approach.2
Dengan pendekatan ini, diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa
dapat dilakukan dengan memberi soal-soal terbuka yang memiliki banyak
1 K.R. Howey, Contextual Teaching and Learning (New York: ERIC, 2001), p. 105. 2 J.P. Becker & S Shimada, The Open- Ended Approach: A New Proposal for Teaching
Mathematics (Reston, Virginia: 1997), p.2.
5
jawaban dari soal yang diberikan.
Di negara tetangga Singapura, pendekatan pembelajaran di sekolah
dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract approach.3 Peningkatan
aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui
perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian
siswa. Leader, et al. (1995), bahwa di negara Kangguru Australia sedang
dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks yang
disebut mathematics in context.4 Sedangkan di Indonesia sendiri di tingkat
Sekolah Dasar tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Reliastik
Indonesia atau disingkat PMRI.
matematika adalah pendekatan berbasis masalah matematika. Pendekatan ini
dapat menjadi alternatif karena disamping dapat mewadahi karakteristik
pendekatan yang sedang digalakkan di bebarapa negara juga menjadi salah
satu tujuan pembelajaran Sains dan Matematika di sekolah.
Kemampuan pemecahan masalah Sains dan Matematika dapat dinilai
berdasarkan tahap-tahap penyelesaian masalah dan kuantitas serta kualitas
respon siswa pada situasi masalah yang diberikan. Pembelajaran dengan
pendekatan problem solving dapat membangun struktur kognitif siswa. Proses
ini dilakukan dengan cara mengaitkan skemata, yaitu suatu struktur mental
atau kognitif berupa bentukan mental, kontruksi hipotesis; seperti kreativitas,
kemampuan, dan naluri yang dimiliki seseorang untuk beradaptasi dan
mengkoordinasi secara intelektual dengan lingkungan sekitarnya dalam
rangka menyelesaikan dan mengajukan masalah atau membentuk soal sendiri.
Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah, disamping dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan atau mengajukan masalah, juga
3 K.T. Hong, Primary Mathematics, (Singapore: CDME), p. 112.
4 G. Leader, et al., Learning Mathematics in Context, (Ed) In J. Wakefield & L. Velardi (Melbourne: The Mathematical Association of Victoria, 1995), p. 78.
6 dapat meningkatkan metakognisi, yaitu pengetahuan tentang kognisi dan
mekanisme pengendalian diri serta monitoring kognitif siswa terhadap tugas-
tugas matematika. Sedangkan kemampuan matematika, dan metakognisi
siswa dapat dicapai secara memadai bila ditunjang oleh berbagai strategi
pemecahan masalah yang memadai pula. Secara teoritis penciptaan model
belajar dengan kelompok kecil diduga dapat meningkatkan kemampuan
sains-matematika siswa. Oleh karena pembelajaran sains-matematika yang
efektif memerlukan model pembelajaran yang tepat, sehingga dapat
mengembangkan kesadaran dan pola pikir sains-matematika siswa.
Bertitik tolak dari pemetaan sejumlah pendekatan, permasalahan,
keuntungan dan dugaan, seperti telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi telaah utama dalam penelitian ini adalah menganalisis pendekatan
pemecahan masalah dan mempelajari pengaruhnya teradap hasil belajar Sains
dan Matematika.
analisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana besar pengaruh pendekatan problem solving terhadap
hasil belajar sains dan matematika secara keseluruhan?
2. Bagaimana besar pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari
aspek jenjang pendidikan subyek penelitian?
3. Bagaimana pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari aspek
lama waktu perlakuan?
bidang ilmu yang diteliti?
ukuran sampel penelitian?
variabel moderator yang dilibatkan penelitian?
7
sebagai berikut:
hasil belajar secara keseluruhan.
dari aspek jenjang pendidikan subyek atau sampel yang dilibatkan
dalam penelitian.
dari aspek lama atau interval waktu perlakuan yang digunakan dalam
penelitian.
4. Menganalisis besar pengaruh pendekatan problem solving ditinjau
dari aspek cabang atau jenis bidang ilmu dalam area Sains dan
Matematika.
dari aspek ukuran sampel (sample size) yang digunakan dalam
penelitian Sains dan Matematika.
berinteraksi (kombinasi) dengan variabel moderator dalam
pembelajaran Sain dan Matematika.
Manfaat penelitian meta-analisis adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang rata-rata pengaruh pendekatan
problem solving dalam pembelajaran sains dan matematika terhadap
hasil belajar dipandang dari beberapa aspek pembelajaran.
2. Keunggulan dari pendekatan problem solving dapat menginspirasi
guru/dosen untuk memperkaya KBM pembelajaran sains dan
matematika di kelas, yang pada akhirnya dapat memotivasi siswa
untuk meningkatkan hasil belajarnya.
belajar mandiri di rumah untuk memperdalam pemahamannya tentang
konsep-konsep sains dan matematika serta bidang studi lain yang
memungkinkan penggunaan strategi problem solving.
4. Hasil peneitian meta-analisis ini dapat memberikan masukan atau
informasi bagi peneliti lanjut untuk melakukan kajian efektivitas
pendekatan problem solving dari berbagai sudut pandang dalam
rentang waktu yang sifatnya longitudional tentang kekuatan dan
kelemahan pendekatan problem solving dalam pembelajaran sains
atau matematika.
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Masalah Problem solving merupakan inti dari pembelajaran Sains dan
Matematika. Orang yang pertama kali memperkenalkan pendekatan problem solvingdi sekolah adalah serorang pengarang terkenal John Dewey, yang banyak menerbitkan karangan pada tahun 1884 – 1948.
Menurut John Dewey, masalah adalah sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang belum pasti. Teori ini timbul karena kurikulum pembelajaran dibuat sedemikian yang tujuannya sebenarnya adalah untuk memecahkan masalah yang ada dan berkaitan dengan “keperluan serta interest” yang berkembang pada suatu waktu tertentu. Menurut pendapatnya masalah yang perlu dikemukakan memiliki 2 kriteria:1
a) masalah yang dipelajari harus sesuatu yang penting untuk masyarakat dan perkembangan kebudayaan;
b) masalah yang dipelajari adalah sesuatu yang penting dan relevan dengan permasalahan yang dihadapi siswa Bell, mengemukakan bahwa suatu situasi dikatakan masalah bagi
seseorang bila ia sadar akan keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan, bahwa ia mau dan perlu melakukan tindakan, dimana situasi itu tidak segera dapat ditemukan pemecahannya.2 Serupa dengan pendapat tersebut Hayes seperti dikutip Helgenson, mengatakan bahwa suatu masalah adalah merupakan kesenjangan antara keadaan sekarang dengan tujuan yang ingin dicapai, sedangkan belum diketahui cara tertentu untuk mencapai tujuan tersebut.3 Dengan demikian masalah dapat diartikan sebagai pertanyaan yang harus dijawab pada saat itu, sedangkan belum ada rencana solusi yang jelas.4
1 Arifin, M, dkk. Strategi Belajar Mengajar Kimia (Bandung:Jurusan Pendidikan Kimia UPI,
2003) p. 95-96 2 F. H. Bell, Teaching and Learning Mathematics in Secondary School (New York: Brown
Company Publisher, 1978), p. 48. 3 S.L. Helgenson, Problem Solving Research in Middle Junior High School Science Education
(Columbus: The Ohio State University, 1992), p.122. 4 J. Hawton, Problem Solving – Its Place in The Math Program (Melbourne: The Mathematical
Association of Victoria, 1992), pp. 119-123.
10
Masalah dapat juga berarti suatu tugas yang apabila kita membaca, melihat atau mendengarnya pada waktu tertentu, tetapi kita tidak mampu untuk segera menyelesaikannya pada saat itu juga.5 Hudoyo melihat masalah dalam kaitannya dengan prosedur yang digunakan seseorang untuk menyelesaikannya berdasarkan kapasitas kemampuan yang dimilikinya. Bahwa seseorang mungkin dapat menyelesaikan suatu masalah dengan prosedur rutin, tetapi orang lain dengan cara tidak rutin.6
Polya, mengatakan bahwa sebuah soal dikatakan masalah jika soal tersebut merupakan soal yang sulit dan penuh tantangan.7 Sedangkan menurut Ruseffendi, bahwa suatu soal merupakan masalah bila memenuhi tiga ciri, yaitu, pertama bila soal itu tidak dikenalnya. Maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua ialah siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya; terlepas dari apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga sesuatu soal merupakan masalah bila ada niat untuk menyelesaikannya.8 McGivney dan DeFranco, mengemukakan bahwa setiap masalah dalam pembelajaran matematika mengandung tiga hal penting, yaitu: (1) informasi, (2) operasi, dan (3) tujuan.9
Menurut Vessen suatu masalah adalah ketidaksamaan antara dua pernyataan atau lebih yang disampaikan kepada siswa pada waktu proses belajar mengajar berlangsung10
Berdasarkan beberapa pengertian masalah (problem) yang telah
dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa suatu soal atau tugas tertentu
dapat merupakan masalah bagi orang tertentu, tetapi belum tentu merupakan
masalah bagi orang lain. Dengan kata lain suatu soal mungkin merupakan
masalah bagi seseorang pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu
merupakan masalah pada waktu yang berbeda. Dalam matematika, soal yang
5 D. Coffey Kolsch. P & M. Mackinlay, Assessing Problem Solving and Project Work. In J.
Wakefield and L. Velardi (Eds). CML (Melbourne: The Mathematical Association of Victoria, 1992), pp. 196-201.
6 Herman Hudoyo, Strategi Mengajar Matematika (Malang: IKIP Malang, 1990), p. 36. 7G. Polya, Mathematical Discovery: On Understanding, Learning, and Teaching Problem
Solving (New York: Jhon Willey Inc, 1981), p. 117. 8E.T. Russeffendi, op. cit., p. 336. 9J.M. McGivney & T.C. DeFanco, Geometry Proof Writing: A Problem Solving Approach a’la
Polya, The Mathematics Teacher Journal : Vol. 88, 1995, pp. 552- 555. 10 Arifin, M, dkk. Strategi Belajar Mengajar Kimia (Bandung:Jurusan Pendidikan Kimia UPI,
2003) p. 97
soal yang tidak merupakan masalah disebut soal rutin (rutine problem).
Adapun soal yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup soal yang
penyelesaiannya menuntut siswa untuk menerapkan langkah-langkah
penyelesaian secara baik dan benar untuk mencapai hasil akhir.
Dalam kaitannya dengan asesmen kinerja berbasis masalah, maka
dalam penelitian ini peneliti memilih masalah Sciense dan Matematika yang
terdapat pada pada hasil-hasil penelitian pendekatan problem solving baik
yang telah dipublikasikan melalui jurnal ilmiah maupun yang belum
dipublikasikan.
Menurut Wena, M dalam Suharsono, kemampuan problem solving
sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran
sependapat bahwa kemampuan problem solving dalam batas-batas tertentu,
dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan11
Saat ini, problem solving banyak dijadikan sebagai komponen utama
kurikulum di berbagai negara (AAAS, 1993; NCSS, 1997; NCTE, 1996;
NCTM 1989, 1991). Misalnya, dalam Standar Kurikulum Badan Guru
Matematika Nasional (NCTM) 1989, dinyatakan bahwa: Problem solving
hendaknya menjadi perhatian utama dalam kurikulum matematika. Problem
solving senantiasa menjadi tujuan pembelajaran utama dan selalu dijadikan
bagian dalam aktivitas pembelajaran matematika. Problem solving bukanlah
topik yang terpisah, namun merupakan sebuah proses yang harus selalu ada
dalam setiap program pembelajaran dan menyediakan konteks yang
menyediakan ruang bagi pengembangan konsep dan keterampilan” (NCTM,
1989).12
11 Wena, M, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) p.53 12 Jamie Kirkley, Principles for Teaching Problem Solving (USA:Indiana University, 2003)p.1
12 Definisi kemampuan problem solving menurut PISA:
...kemampuan individu untuk menggunakan proses kognitif untuk
mengatasi dan memecahkan masalah lintas bidang ilmu dalam
kehidupan nyata, di mana cara problem solvingtidak tersurat dengan
jelas dan melibatkan lebih konten-konten dalam lebih dari satu bidang
ilmu, matematik, sains, atau bahasa.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa:13
a. Setting masalah yang disajikan haruslah nyata. Masalah harus
merepresentasikan konteks yang dekat dengan kehidupan sehari-hari
siswa.
b. Masalah yang disajikan tidak dapat dipecahkan secara langsung hanya
dengan menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang siswa
sudah peroleh sebelumnya atau pernah dipraktikkan di sekolah.
masalah yang ditampilkan harus berupa permasalahan baru yang
memungkinkan siswa berpikir mengenai hal yang harus dilakukan.
c. Masalah tidak boleh hanya dibatasi dalam satu konten bidang studi
yang pernah dipelajari siswa atau dipraktikkan di sekolah.
Polya, mengartikan problem solving sebagai suatu usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu
mudah segera dapat dicapai.14 Sedangkan problem solving menurut
McGivney dan DeFranco, meliputi dua aspek, yaitu masalah untuk
menemukan (problem to find) dan masalah membuktikan (problem to
prove).15 Pendapat lain dari Dess yang melihat problem solving sebagai suatu
kegiatan, yaitu merupakan kegiatan manusia dalam menerapkan konsep-
konsep dan aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya.16
13 Programme for International Student Assessment, Problem Solving for Tomorrow’s World (OECD, 2003) p. 26-28 14G. Polya, op. cit., pp. 23-25. 15J.M. McGivney & T.C. DeFanco, op. cit., 552- 555. 16R. L Dess, The Role of Cooperative Learning In Increasing Problem-Solving Ability In A
College Remedial Course. Journal for Research in Mahematics Education. Vol. 5, 1996, pp.407-421.
13
sebagai aktivitas mental kompleks yang mengandung berbagai kegiatan dan
keterampilan kognitif. Problem solving menuntut keterampilan berpikir
tingkat tinggi seperti “visualisasi, asosiasi, abstraksi, pemahaman, manipulasi,
penjelasan, analisis, sintesis, generalisasi-yang harus diorganisasikan dan
dikoordinasikan satu sama lain”.17
Menurut Dahar, problem solving adalah merupakan kegiatan yang
melibatkan pembentukan aturan-aturan tingkat tinggi. Untuk keperluan
tersebut diperlukan seseorang untuk memiliki dahulu sebagai prasyarat-
prasyarat adalah:
ATURAN-ATURAN TINGKAT TINGGI
17 Jamie Kirkley, Principles for Teaching Problem Solving (Indiana: Indiana University,
2003)p.3 18 Dahar, R. W.,Teori-Teori Belajar (Jakarta:Dikti, 1988)
Prasyarat
Prasyarat
Prasyarat
Prasyarat
14
solving matematika menjadi tiga pengertian yang berbeda. Pertama, teaching
via problem solving. Problem solving matematika dalam hal ini difokuskan
pada bagaimana mengajarkan isi atau materi matematika. Kedua, teaching
about problem solving. Hal ini melibatkan strategi pembelajaran dengan
pendekatan problem solving matematika secara umum. Ketiga, teaching for
problem solving. Pendekatan ini dimaksudkan sebagai suatu cara tentang
bagaimana memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk
memecahkan masalah matematika yang dihadapi.19 Anderson mendukung
pengertian yang ketiga di atas dengan memberi penekanan pada aspek strategi
yang dipilih oleh siswa dalam memecahkan masalah.20
Utari, menegaskan bahwa problem solving dapat berupa menciptakan
ide baru, menemukan tehnik atau produk baru. Bahkan di dalam pembelajaran
matematika, selain problem solving mempunyai arti khusus, istilah tersebut
juga mempunyai interpretasi yang berbeda. Misalnya menyelesaikan soal
cerita atau soal yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Dari sejumlah pengertian tersebut, dapat dikatakan
bahwa problem solving merupakan usaha nyata dalam rangka mencari jalan
keluar atau ide yang berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai.21
Pentingnya kegiatan problem solving dalam pembelajaran matematika
terlihat dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh NCTM untuk pembelajaran
matematika. Problem solving merupakan rekomendasi pada urutan pertama.
Untuk lebih jelasnya isi rekomendasi tentang problem solvingtersebut: (1) the
mathematics curriculum should be organized around problem solving, (2) the
definition and language of problem
19 A. J. Baroody & R.T.C. Niskayuna, Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8.
Helping Children Think Mathematically (New York: Merill, 1993), pp. 45-47. 20 J. Anderson, Some Teachers’ Beliefs And Perseptions Of Problem Solving In P.C Clarkson
(Ed). Technology ini Mathematics Education (Melbourne: Mathematics Education Research Group of Australia, 1996), pp. 30-37.
21Utari Sumarmo, Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Matematika pada Guru dan Siswa SMP (Bandung: IKIP Bandung, 1994), pp.8-11.
15
solving in mathematics should be developed, (3) mathematics teachers should
create classroom environment in which problem solving can flourish, (4)
appropriate curricular materials to teach problem solving should be
developed.22
Inti dari rekomendasi NCTM tentang problem solving di atas, yaitu
problem solvingsebagai tujuan, proses dan keterampilan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Branca bahwa terdapat tiga interpretasi umum mengenai
pemecahan masalah, yaitu (1) problem solving sebagai tujuan (goal) yang
menekankan pada aspek mengapa matematika diajarkan di sekolah. Hal ini
berarti bahwa problem solving bebas dari materi khusus dan sasaran yang
ingin dicapai adalah bagaimana cara memecahkan masalah matematika. (2)
problem solving sebagai proses (process) diartikan sebagai kegiatan yang
aktif. Dalam hal ini penekanan utamanya terletak pada metode, strategi atau
prosedur yang digunakan oleh siswa dalam meyelesaikan masalah hingga
mereka menemukan jawaban, dan (3) problem solving sebagai keterampilan
(basic skill) menyangkut dua hal, yaitu: (a) keterampilan umum yang harus
dimiliki oleh siswa untuk keperluan evaluasi, dan (b) keterampilan minimum
yang diperlukan siswa agar dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.23 Menurut Lovitt dan Lowe, bahwa baik rekomendasi dari NCTM
dan pendapat Branca tentang problem solving matematika, maka dapat
dikatakan bahwa problem solving tidak hanya berfungsi sebagai pendekatan,
akan tetapi juga sebagai tujuan.24
Dalam interpretasi problem solving sebagai proses, untuk materi dan
siswa pada berbagai tingkat sekolah terdapat keserupaan langkah atau strategi
pemecahan masalah. Polya, mengemukakan empat langkah utama dalam
problem solving yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan solusi atau
22NTCM, An Agenda for Action: Recommendation for School Mathematics (Reston Virgnia,
1980), pp. 2-5. 23N.A. Branca, Problem Solving as A Goal, Proses, and Basic Skill. In S. Krulik and R.E. Reys
(Ed). Problem Solving in School Mathematics (Washington DC: NTCM, 1980), pp.35. 24C. Lovitt & I. Lowe, Problem Solving in Mathematics: Chance and Data. In M. Horne and M.
Suplle (Eds). Mathematics Meeting the Challenge (Melbourne: The Mathematical Assocition of Victoria, 1992), pp. 46-52.
16 penyelesaian, (3) melaksanakan rencana, dan (4) memeriksa kebenaran proses
dan menemukan jawaban itu sendiri.25
Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang siswa, sehingga
dikategorikan sebagai good problem solver dalam pembelajaran matematika
sebagaimana dikemukakan Suydam, yaitu siswa mampu: (1) memahami
konsep dan terminologi, (2) menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi, (3)
menyeleksi prosedur dan variabel yang benar, (4) memahami ketidak
konsistenan konsep, (5) membuat estimasi dan analisis, (6) menvisualisasikan
dan menginterpretasikan data, (7) membuat generalisasi, (8) menggunakan
berbagai strategi, (9) mencapai skor yang tinggi dan baik hubungannya
dengan siswa lain, dan (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes
kecemasan.26
menyelesaikan masalah hingga menemukan jawaban soal.
C. Pembelajaran Problem Solving
Problem solving dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Problem solving tidak sekedar sebagai bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi. Apabila seseorang telah mendapatkan suatu kombinasi perangkat aturan yang terbukti dapat dioperasikan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi maka ia tidak saja dapat memecahkan suatu masalah, melainkan juga telah berhasil menemukan sesuatu yang baru.
25G. Polya, op. cit., pp. 5- 14. 26M.N. Suydam, Untangling Clues From Research on Problem Solving. In S Krulik and R. E.
Reys (Eds). Yearbook. Problem Solving in School Mathematics (Virginia: NCTM, 1980), pp. 35-50
17
kelak di masyarakat. Untuk menghasilkan siswa yang memiliki kompetensi
yang andal dalam pemecahan masalah, maka diperlukan serangkaian strategi
pembelajaran pemecahan masalah. Berdasarkan kajian beberapa literatur
terdapat banyak strategi problem solving yang kiranya dapat diterapkan dalam
pembelajaran.
mengenai pengembangan kemampuan problem solving abstrak
(dekontekstualisasi), seseorang dapat menggunakan kemampuan ini dalam
berbagai situasi (konteks).27
masalah:28
Tahap-tahap problem solving di sekolah oleh pelajar, dalam hal ini
yang dimaksudkan adalah problem solving soal, menurut Melters adalah:29
a. Tahap analisis masalah untuk mendapatkan rumusan masalah dan menyimpulkan data yang ada
b. Tahap perencanaan pemecahan masalah memecahkan rumus standar meneliti hubungan antar konsep membuat transformasi
c. Tahap melakukan perhitungan d. Tahap pengecekan 27 Jamie Kirkley, op. cit., pp. 3 28 Wena, M, op. cit., pp. 56 29 Arifin, M, dkk. op. cit., pp. 98
18
a. Saya mampu/bisa (I can)
Tahap membangkitkan motivasi dan membangun/menumbuhkan
keyakinan diri siswa
b. Mendefinisikan (Define)
gambar grafis untuk memperjelas permasalahan
c. Mengeksplorasi (Explore)
dihadapi
dan menggunakan flowchart untuk menggambarkan permasalahan yang
dihadapi
mungkin untuk memecahkan masalah yang dihadapi
f. Mengoreksi kembali (Check)
mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan
g. Generalisasi (Generalize)
pelajari dalam pokok bahasan ini? Bagaimanakah agar problem
solvingyang dilakukan bisa lebih efisien? Jika problem solving yang
dilakukan masih kurang benar, apa yang harus saya lakukan? Dalam hal
ini dorong siswa untuk melakukan umpan balik/ refleksi dan mengoreksi
kembali kesalahan yang ada.
19
empat tahap:31
Salah satu contoh model problem solving ini adalah model IDEAL
dari Bransford yang terdiri atas tahapan:32
a. Mengidentifikasi masalah
tahap ini guru membimbing siswa untuk memahami aspek-aspek
permasalahan, seperti membantu untuk mengembangkan/menganalisis
permasalahan, mengajukan pertanyaan, mengkaji hubungan antardata,
memetakan masalah, mengembangkan hipotesis-hipotesis
tersebut dan memilih informasi yang relevan
Dalam tahap ini kegiatan guru meliputi membantuu dan membimbing
siswa, melihat hal/data/variabel yang sudah diketahui dan hal yang belum
diketahui, mencari berbagi informasi yang ada dan akhirnya merumuskan
permasalahan
melihat dari berbagai sudut pandang
Dalam tahap ini kegiatan guru adalah membantu dan membimbing
siswa mencari berbagai alternatif pemecahan masalah, melakukan
brainstorming, melihat alternatif problem solving dari berbagai sudut
pandang dan akhirnya memilih satu alternatif problem solvingyang
paling tepat
31 Wena, M, op. cit., pp. 60 32 Jamie Kirkley, op. cit., pp. 3
20 d. Mengaplikasikan strategi problem solving
Melakukan langkah-langkah problem solving sesuai dengan
alternatif yang telah dipilih. Dalam tahap ini siswa dibimbing secara tahap
demi tahap dalam melakukan pemecahan masalah
e. Mengevaluasi efek dari solusi yang dipilih
Dalam tahapan ini kegiatan guru adalah membimbing siswa
melihat/mengoreksi kembali cara-cara problem solving yang telah dilakukan,
apakah sudah benar, sudah sempurna, atau sudah lengkap.n Di samping itu,
siswa juga dibimbing untuk melihat pengaruh strategis yang digunakan dalam
pemecahan masalah.
Model ideal ini serupa dengan model lainnya dan masih dipergunakan
dalam berbagai seting pelatihan akademik maupun perusahaan, dan bukan
sebagai bagian dari kurikulum atau lingkungan kerja nyata.
Penelitian kognitif selama 20 tahun terakhir telah melahirtkan model
problem solving yang baru. Sekarang kita menganal bahwa problem solving
memuat komponen kognitif, perilaku, dan sikap. Pada tahun 1983, Mayer
mendefinisikan problem solving sebagai proces multi langkah di mana
seseorang harus menemukan adanya hubungan antara pengalaman lalu
(skema) dengan masalah yang sedang dihadapi lalu melakukan tindakan untuk
memecahkannya. Mayer menyebutkan tiga karakteristik problem solving:33
1. Problem solving merupakan tindakan kognitif namun dilakukan
berdasarkan perilaku
3. Problem solving meruapakn sebuah proses yang melibatkan
manipulasi atau operasi atas pengetahuan sebelumnya (Funkhouser
and Dennis, 1992).
Proses problem solving ditunjukkan pada gambar 2 berikut (Gick, 1986)
33 Jamie Kirkley, op. cit., pp. 4
21
Model ini mengidentifikasi tahapan dasar ketiga aktivitas kognitif dalam
problem solving:
yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan serta kondisi masalah
b. Pencarian solusi, meliputi mendefinisikan tujuan dan
mengembangkan rencana solusi untuk mencapai tujuan
c. Mengimplementasikan solusi, meliputi eplikasi rencana dan
mengevaluasi hasil tindakan/solusi.
pengetahuan, yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural
(Gagne, 1985). Pengetahuan deklaratif sangat erat berhubungan dengan
pengetahuan kontekstual.
materi atau pengetahuan faktual dalam sebuah bidang ilmu atau domain
keterampilan
memiliki struktur tersusun secara kontinyu dari mulai yang terstruktur
dengan baik, sedang, dan kurang baik (Newell & Simon, 1972). Posisi
masalah akan menentukan cara pemecahannya
22 D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan problem solving
siswa
seluruh dunia dilihat dari perbedaan gender, pekerjaan orang tua, tingkat
pendidikan orang tua, struktur keluarga, tempat lahir dan bahasa sehari-hari34.
1. Kemampuan problem solving dilihat dari perbedaan gender
Hasil studi PISA 2003 menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
dalam beberapa aspek yang diukur, misalnya dalam tes membaca, siswa
perempuan umumnya lebih unggul daripada laki-laki, sedangklan siswa laki-
laki lebih unggul dalam matematika.
Menurut paparan sebelumnya, menganai adanya korelasi yang kuat
antara kemampuan analitis yang diperlukan dalam bidang matematika dan
problem solving, begitu juga korelasi antara hasil penilaian terhadap kedua
bidang tersebut dalam tes PISA.
Kemampuan matematis siswa laki-laki dapat disebabkan karena
mereka menguasai matematika lebih baik daripada siswa perempuan atau
karena mereka telah memiliki keterampilan generik yang membantu mereka
memecahkan masalah matematis. Gambar di bawah menunjukkan perbedaan
gender dalam penilaian kemampuan problem solving. Diagram batang di
sebelah kanan garis menunjukkan siswa laki-laki memiliki kemampuan lebih
tinggi daripada siswa wanita.
34 PISA, Problem Solving for Tomorrow’s World, 2003. pp 104 - 118
23
Kemampuan Problem solving berdasarkan Gender
Dengan jelas, terlihat bahwa di beberapa negara, seperti Indonesia, Tailand, Islandia, Norwegia, dan Swedia, siswa perempuan memiliki kemampuan problem solving lebih baik daripada laki-laki dengan besar perbedaan sebesar 30 poin. Kemampuan siswa perempuan ini berada pada level 3. Sebaliknya, di Macao-Cina, siswa laki-laki memiliki kemampuan lebih baik.
24
Gambar 2.4 Kemampuan Problem solving setiap level gender
Gambar 2.4 menunjukkan persentase siswa laki-laki dan perempuan
yang memiliki kemampuan rpoblem solving di bawah level 1 dan yang
menempati level 3. Perbandingan ini menunjukkan bahwa di beberapa negara
siswa laki-laki lebih banyak memiliki kemampuan pada level 3 dan di bawah
level 1. Di negara-negara OECD pada umumnya, 18% siswa laki-laki dsan
16% siswa perempuan berada di bawah level 1, dan 19% siswa laki-laki dan
18% siswa perempuan mampu mencapai level 3. Dapat dikatakan bahwa
variansi kemampuan problem solving siswa laki-laki lebih besar daripada
siswa perempuan, sedangkan siswa perempuan memiliki kemampuan problem
solving yang hampir merata. Rata-rata standar deviasi kemampuan problem
25
solving siswa laki-laki pada negara-negara OECD lebih tinggi 6 poin daripada
siswa perempuan. Hal ini terlihat di Hongkong-Cina. Sedangkan di Polandia,
Portugis, Turki dan Lichensdtein, standar deviasi untuk siswa laki-laki lebih
besar atau sama dengan 12 poin daripada siswa perempuan.
Namun, di Indonesia, hal ini tidak nampak, di mana persentase
siswa perempuan dan laki-laki yang memiliki kemampuan problem solving di
bawah level 1 hampir sama, dengan hanya sangat sedikit siswa yang memiliki
kemampuan pada level 3. Walaupun terdapat data, namun PISA tidak bisa
menjelaskan penyebab pasti dari adanya pengaruh perbedaan gender terhadap
kemampuan problem solving di beberapa negara. Walaupun mungkin salah
satu faktornya adalah perbedaan jumlah siswa perempuan dan laki-laki dalam
suatu negara, seperti yang terjadi di Islandia, di mana jumlah siswa
perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Di lain pihak, beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan
problem solving siswa perempuan dan laki-laki relatif sama, seperti di
Belanda, Yunani dan Itali.
Status pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat
sosioekonomi siswa, yang diyakini ada hubungannya dengan tingkat
kemampuan problem solving siswa. Terdapat perbedaan kemampuan problem
solving siswa dengan tingkat sosioekonomi tinggi (orangtua bekerja dalam
bidang kesehatan, dosen, dan hukum) dibandingkan dengan yang memiliki
tingkat sosioekonomi rendah (orangtua bekerja sebagai petani kecil,
penegamudi, dan pelayan restoran) yang mencapai 76 poin. Gambar 2.5
menunjukkan rata-rata kemampuan problem solving siswa pada setiap tingkat
sosioekonomi. Panjang garis yang berbeda menunjukkan perbedaan
kemampuan problem solving berdasarkan tingkat sosioekonomi siswa di
setiap negara.
tinggi memiliki rata-rata skor kemampuan problem solving sebesar 542 atau
26 lebih besar 42 poin di atas rata-rata negara OECD. Sedangkan rata-rata skor
kemampuan problem solving siswa dengan tingkat sosioekonomi rendah
hanya mencapai 465. Artinya, siswa yang tingkat sosioekonominya rendah
pada umumnya hanya menunjukkan kemampuan pada level 1 (basic problem
solvers), sedangkan siswa dengan tingkat sosioekonomi tinggi umumnya
menunjukkan kemampuan di level 2. Namun, perbedaan ini tidak tampak
pada beberapa negara.
Orang Tua
tingkat pendidikan orang tua (OECD 2000). ISCED (International Standard
Classification of Education) megklasifikasikan tingkat pendidikan tertinggi di
27
tua terhadap kemampuan problem solving. Pengaruh yang terbesar terlihat di
negara Republik Chenya, Hungaria, Polandia, dan Republik slovakia.
Sedangkan pengaruh yang terkecil nampak di Brazil, Indonesia, Hongkong-
Cina, dan Tunisia. Pengaruh ini justru tidak terlihat di negara Macao-Cina.
Walaupun menurut hasil studi PISA sebelumnya dan data pada
gambar 2.6, disinyalir ada pengaruh tingkat pendidikan orangtua terhadap
kemampuan problem solving, namun kita tidak dapat menmukan adanya
generalisasi hubungan konsisten antara keduanya untuk setiap negara.
Gambar 2.6
.
28 4. Kemampuan Problem solving Dilihat Dari Struktur Keluarga
Struktur keluarga merupakan salah satu faktor lain yang memengaruhi kemampuan probelm solving siswa. Misalnya, siswa yang hidup dengan orang tua tunggal akan memperoleh dukungan yang lebih minim dibandingkan siswa yang hidup dengan kedua orangtua. Gambar 2. 7 menunjukkan pengaruh struktur keluarga dan pengaruhnya terhadap kemampuan problem solving.
Di negara-negara OECD, antara 11-33% siswa hidup hanya dengan orangtua tunggal, dan mereka menunjukkan kemampuan probelm solving rata-rata 23 poin lebih rendah daripada mereka yang hidup dengan orangtua lengkap atau dengan dua wali. Di 16 negara, pengaruh ini tidak terlihat signifikan (Korea, Austria dan Protugis), berbeda dengan yang ditermukan di AS dan Belgia. Adapun di Mexico dan Turki dengan angka siswa yang hidup dengan orangtua tunggal terbanyak, pengaruh ini cukup kecil, namun cukup signifikan.
Gambar 2.7
29
5. Kemampuan Problem Solving Dilihat dari Tempat Lahir dan Bahasa
Sehari-Hari
Dalam studi PISA, status imigrasi diketahui melalui wawancara, lalu
hasilnya dikategorikan menjadi siswa asli (native), yaitu siswa dan
orangtuanya yang lahir di negara tempat uji PISA, atau generasi pertama
siswa dilahirkan di negara uji PISA, namun orangtuanya lahir di negara lain
dan siswa asing (nonnative), yaitu mereka yang dilahirkan di negara lain.
Pengaruh tempat kelahiran terhadap kemampuan problem solving ditunjukkan
dalam gambar 2.8.
Siswa generasi pertama dan siswa nonnative di negara-negara OECD
menunjukkan kemampuan problem solving 26 poin dan 36 poin lebih rendah
daripada siswa native. Namun negara-negara yang menjadikan bahasa Inggris
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, walaupun tingkat imigrasinya tinggi,
pengaruh ini sangat kecil. Di beberapa negara Eropa (Belgia, Perancis,
Jerman, dan Swiss) persentase siswa nonnative dan generasi pertama antara
12-20%, perbedaan kemampuan problem solving dengan siswa native tidak
terlalu besar.
berbeda dengan bahasa nasional, memiliki skor rata-rata kemampuan problem
solving 39 poin lebih rendah daripada mereka yang berbicara dengan bahasa
yang sama dengan bahasa pada soal PISA atau bahasa nasional. Pengaruh
tidak berkaitan dengan persentase siswa yang berbicara bukan dalam bahasa
nasional di rumahnya.
Sehari-Hari
Tujuan pengajaran Sains (IPA) dan Matematika, menurut
Rutherford dan Ahlgren (1990) agar siswa dapat memakai pengetahuan IPA
dan matematika dari dunia nyata dan memiliki kebiasaan berpikir IPA dan
matematika pada waktu yang bersamaan. Oleh karena itu perlu dijembatani
jurang antara IPA dan matematika sekolah dengan IPA dan matematika dunia
nyata.
31
Pertanyaan klasik yang sering muncul apabila kita akan membahas
mengenai sains adalah apakah itu sains? Istilah sains secara umum mengacu
kepada masalah alam (nature) yang dalam penelitian ini, pengertian
pengajaran sains dibahas dalam konteks lima definisi sains, yaitu: sains
sebagai gejala alam, sebagai kegiatan manusia, sebagai bidang ilmu, sebagai
proses untuk mengetahui, dan sains sebagai mata pelajaran sekolah. Berikut
ini uraian dari lima definisi sains tersebut.
a. Sains sebagai Gejala Alam
Berdasarkan definisi ini, pengetahuan sains dapat dilihat disekitar
kehidupan manusia. Sains dan pengetahuan sains dirumuskan berdasarkan
pengamatan terhadap gejala alam yang ada. Pengertian yang diperoleh dengan
cara ini sangat mungkin berbeda-beda karena pengertian yang dirumuskan
bergantung pada bagaimana dan siapa yang melakukan pengamatan dan
merumuskan pengertian terhadap apa yang telah diamati.
Definisi pengetahuan sains diberikan Ziman (1980) yang menyatakan
bahwa apa yang diajarkan dalam sains hanyalah beberapa aspek dari
penampakan obyek atau gejala. Jadi pengetahuan sains terbatas pada apa yang
berhasil diamati di alam semesta. Manusia mempelajari keadaan alam semesta
dengan menggunakan inderanya, seperti mata, telinga, tangan, mulut dan
hidung. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa mengenal alam semesta melalaui
indranya. Sebaliknya jika kita tidak melihat, mendengar dan merasakan, kita
tidak mengetahui apa yang ada disekitar kita, kita juga tidak mengetahui
sesuatu yang sedang berlangsung disekitar kita, kita juga tdak mungkin
mempunyai ide tentang keadaan alam semesta.
b. Sains Sebagai Kegiatan Manusia
Berdasarkan pandangan ini, sains didefinisikan sebagai hasil kegiatan
manusia. Sebagaian besar kegiatan yang dilakukan manusia sangat dekat
dengan sains dan pengetahuan sains. Newton (1988: 23) menyatakan bahwa
sains bertujuan untuk memenuhi keingintahuan manusia. Oleh karena itu,
32 sains dan pengetahuan sains tidak dapat dilepaskan dari aspek kejiwaan
manusia, seperti perasaan, sikap dan perilaku. Newton lebih jauh menyatakan
bahwa sains terkadang memberikan kepuasan dan kesenangan, namun juga
tidak jarang menimbulkan frustasi dan kekecewaan. Sebagai kegiatan
manusia, sains memerlukan moral dan etika perbuatan. Sains menuntut
kejujuran, integritas, keterbukaan, penghargaan terhadap fakta, teori dan
argumentasi. Karakteristik ini harus menginspirasi pengajaran sains.
,
Sebagai bidang ilmu sains dikelompokan menjadi dua, yaitu ilmu
murni, (pure science) dan ilmu terapan (applied science), walaupun pada
kenyataannya kedua bidang ilmu tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Dalam pandangan umum, bidang sains murni dikaitkan dengan bidang
ilmu murni seperti Biologi, Kimia, dan Fisika, serta cabang-cabangnya seperti
mikrobiologi, genetika, ekologi. Sedangkan sains terapan dikaitkan dengan
bidang ilmu seperti Pertanian, Kedokteran, Perikanan, dan lain-lain.
d. Sains Sebagai Proses untuk Mengetahui
Sains sebagai proses untuk mengetahui juga dikenal dengan sains
sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Berdasarkan
pandangan ini, sains dikaitkan dengan proses atau metode yang dikenal
dengan metode ilmiah.
akhirnya digeneralisasi. Dalam hal ini indra manusia (mata, telinga, hidung,
lidah dan tangan) memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Generalisasi yang melampaui fakta yang tidak tercakup dalam
pengamatan dapat membantah pemikiran induktif. Sebaliknya, menurut
pandangan deduktif, pengetahuan terhadap suatu gejala diperoleh berdasarkan
33
teori atau hukum yang telah dirumuskan. Menurut pandangan deduktif suatu
gejala dapat dijelaskan dengan teori dan hukum yang telah dirumuskan.
e. Sains sebagai Mata Pelajaran Sekolah
Di sekolah, sains dikenal sebagai mata pelajaran, seperti Biologi,
Kimia, dan Fisika. Pembelajaran sains di sekolah umumnya dikaitkan dengan
dua aspek sains, yaitu sebagai bidang ilmu dan sebagai proses untuk
mengetahui. Alters menyatakan bahwa kebanyakan buku-buku sains yang ada
memaparkan keadaan sains secara alamiah.35 Selanjutnya DeBoer36
mengarisbawahi bahwa semua bidang pelajaran mengandung bidang ilmu
yang telah dirumuskan dan serangkaian proses yang mencakup perkembangan
ilmu tersebut. Kedua aspek ini selalu menjadi bagian dari tujuan pembelajaran
sains disamping tujuan lainnya. Sebagai contoh, Curriculum Standard
frameworks (CSF) negara bagian Victoria Australia menetapkan topik-topik
sains yang diajarkan dari tahun pertama hingga tahun ketujuh meliputi:
natural and processed material (materi alam dan buatan), physical world
(dunia fisik), earth and beyond (bumi dan alam semesta), life and living
(hidup dan kehidupan). Setiap topik terdiri atas beberapa subtopik, misalnya
topik materi alam dan buatan mencakup subtopik struktur materi, sifat-sifat,
dan pengunaannya, serta reaksi dan perubahannya.
Jika menggunakan sudut pandang yang lebih menyeluruh, sains
seharusnya dipandang sebagai cara berpikir (a way of thinking) untuk
memeroleh pemahaman tentang alam dan sifat-sifatnya, cara untuk
menyelidiki (a way of investigating) bagaimana fenomena-fenomena alam
dapat dijelaskan, sebagai batang tubuh pengetahuan (a body of knowledge)
yang dihasilkan dari keingintahuan (inquiry) orang. Menggunakan
pemahaman akan aspek-aspek yang fundamental ini, seorang guru sains (IPA)
35 Brian J Alter. Whose Nature of Science. Journal of Research in Science Teaching. (1997).
pp. 39 – 55. 36 George E De Boer. A History of Ideas In Science Education: Implication for Practice.
Teacher College Press. (New York, 1971), p. 217
34 dapat terbantu ketika mereka menyampaikan pada para siswa gambaran yang
lebih lengkap dan menyeluruh tentang semesta sains.
f. Sains sebagai cara untuk berpikir (Way of Thinking)
Sains merupakan aktivitas manusia yang dicirikan oleh adanya proses
berpikir yang terjadi di dalam pikiran siapapun yang terlibat di dalamnya.
Pekerjaan para ilmuwan yang berkaitan dengan akal, menggambarkan
keingintahuan manusia dan keinginan mereka untuk memahami gejala alam.
Masing-masing ilmuwan memiliki sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang
memotivasi mereka untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka
temui di alam. Ilmuwan digerakkan oleh rasa keingintahuan yang sangat
besar, imajinasi, dan pemikiran dalam penyelidikan mereka untuk memahami
dan menjelaskan fenomena-fenomena alam. Pekerjaan mereka termanifestasi
dalam aktivitas kreatif dimana gagasan-gagasan dan penjelasan-penjelasan
tentang fenomena alam dikonstruksi di dalam pikiran.
g. Sains sebagai cara untuk menyelidiki (Way Of Investigating)
Siapa saja yang berkeinginan memahami alam dan menyelidiki
hukum-hukumnya harus mempelajari gejala alam/peristiwa alam dan segala
hal yang terlibat di dalamnya. Petunjuk-petunjuk yang ada pada gejala alam
pada kenyataannya telah tertanam di alam itu sendiri.
Sains terbentuk dari proses penyelidikan yang terus menerus. Hal
yang menentukan sesuatu dinamakan sebagai sains adalah adanya pengamatan
empiris. Jika ketajaman perhatian kita pada fenomena alam ditandai dengan
adanya penggunaan proses ilmiah seperti pengamatan, pengukuran,
eksperimen, dan prosedur-prosedur ilmiah lainnya, maka itulah pengetahuan
ilmiah.
35
h. Sains Sebagai Batang Tubuh Pengetahuan (A Body Of Knowledge)
Sains merupakan batang tubuh pengetahuan yang terbentuk dari
fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hipotesis-hipotesis, teori-teori,
dan model-model membentuk kandungan (content) sains. Pembentukan ini
merupakan proses akumulasi yang terjadi sejak zaman dahulu hingga
penemuan pengetahuan yang sangat baru.
2. Hakekat Matematika dan Pembelajaran Matematika
Matematika dikenal dengan ilmu eksak atau ilmu pasti.
Berdasarkan etimologis, kata matematika mempunyai arti “ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari bernalar”.37 Menguasai ilmu matematika sama dengan
kemampuan menangani angka dengan baik dan berpikir logis.
Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικ - mathmatiká)
adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para
matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan konjektur
baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang
kaku dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian.38
Matematika timbul karena pikiran manusia yang berhubungan
dengan ide, proses, dan penalaran yang terdiri dari aritmetika, aljabar,
geometri, dan analisa. Matematika juga dipandang sebagai ratunya ilmu,
maksudnya bahwa matematika itu tidak bergantung kepada bidang studi lain,
merupakan dasar ilmu pengetahuan dan untuk dapat memahaminya
membutuhkan simbol dan istilah yang telah disepakati bersama.
Simbol dan istilah yang menjadi inti dari matematika, terorganisasi
mulai dari unsur yang tidak terdefinisi dan yang didefinisikan ke aksioma atau
postulat, hingga membentuk dalil atau teorema. Aksioma merupakan hal yang
37 Erman Suherman, et al. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Bandung: UPI,
2003), h.18. 38 “Matematika”, http://id.wikipedia.org/wiki/Matematika#cite_note-1 diakses 3 Oktober 2011,
pukul 06.00
36 mendasar dari matematika karena merupakan suatu pernyataan yang dianggap
benar dan hal-hal yang mudah diterima.39 Dalil atau teorema dalam
matematika bisa digunakan, jika sudah dibuktikan menggunakan aksioma atau
postulat. Berdasarkan elemen-elemenenya, matematika dinamakan juga
sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematik, memiliki sifat bahasa simbol
yang efektif, keteraturan yang indah, serta kemampuan analisis kuantitatif.40
Berbagai makna matematika dipaparkan oleh para ahli, diantaranya
sebagai berikut:
pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,
tetapi matematika utamanya untuk membantu manusia dalam
memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam,
matematika dipandang sebagai suatu hal untuk menyelesaikan
persoalan.
2. James dan James (1976) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu
tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep
yang berhubungan satu sama lain yang terbagi kedalam tiga bidang,
yaitu aljabar, analisis dan geometri.
3. Reys, dkk (1984) mengatakan bahwa matematika adalah analisis
tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni,
suatu bahasa, dan suatu alat.41
Dengan kata lain, belajar matematika sama dengan belajar logika,
kedudukan matematika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai ilmu dasar.
Langkah awal yang harus ditempuh untuk dapat berkecimpung di dunia sains,
teknologi atau disiplin ilmu lainnya adalah menguasai alat atau ilmu dasarnya,
39 Wono Setya Budhi, “Mengajar Matematika agar Tumbuh Pengalaman Bermatematika”,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, (UIN Jakarta: September, 2010)
40 Utari Sumarmo, ”Berpikir Matematika Tingkat Tinggi: Eksperimen dengan Siswa dan Mahasiswa Melalui Beragam Pendekatan dan Strategi”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, (UIN Jakarta:September, 2010), h.3
41 Erman Suherman, op.cit., h.18-19
37
menyelesaikan suatu masalah.
para ahli, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah dasar dari ilmu
pengetahuan yang membentuk logika, konsep-konsep, pola, dan merupakan
suatu alat yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
F. Konsep Meta-Analisis
menggabungkan hasil temuan beberapa penelitian yang berbeda, atas suatu
(atau beberapa) hipotesis atau teori yang sama.42
Metode-metode ini digunakan untuk meringkas, merangkum dan
memperoleh intisari hasil temuan dari sejumlah penelitian. Beberapa metode
atau teknik statistik yang sering digunakan dalam meta-analisis, antara lain:
himpunan metode Rosenthal, himpunan metode Cooper, dan metode Glass.
Penelitian ini akan menggunakan metode/teknik analisis menurut Glass, Mc
Graw dan Smith (1981).
perkataan meta-analisis merupakan analisis statistik atau analisis integratif
tentang hasil analisis penelitian-penelitian. Meta analisis bersifat kuatitatif,
dan memakai analisis statistik untuk memperoleh sari informasi yang berasal
dari sejumlah data dari penelitian-penelitian sebelumnya. Meta-analisis juga
harus bersifat primer, karena diperlukan rata-rata tiap kelompok eksperimen,
kelompok kontrol, dan simpangan baku kelompok kontrol.
Melakukan meta-analisis dari suatu hasil-hasil penelitian pada
dasarnya untuk menarik konklusi umum dari hasil-hasil penelitian mengenai
suatu pokok permasalahan.
42 Lesile Kish. (1987). Statistical Design for Research. (New York. 1987).
38
dikonversikan menjadi besar pengaruh atau lebih dikenal dengan effect size,
dengan rumus sebagai berikut:
EX rata-rata kelompok eksperimen, KX rata-rata kelompok kontrol, dan KS simpangan baku kelompok kontrol.
Harga menunjukkan perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, yang ditentukan berdasarkan satuan simpangan baku relatif terhadap simpangan baku kelompok kontrol. Besar pengaruh pada kedua kelompok perlakun bisa bersifat negatif dan positif, bergantung selisih antara rata-rata variabel dependen (kriterion) pada kedua kelompok perlakuan. Pengaruh bersifat positif artinya pengaruh variabel yang diteliti pada kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol. Sebaliknya Pengaruh bersifat negatif artinya pengaruhnya lebih besar pada kelompok kontrol daripada kelompok eksperimen. Besar-kecilnya harga simpangan baku kontrol (SK) menentukan besar-kecil pengaruh bersifat positif dan negatif. Pada pengaruh yang bersifat positif, makin kecil simpangan baku kelompok kontrol, maka pengaruh yang berbunyi bahwa “kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol” akan menjadi besar. Begitupula untuk pengaruh yang bersifat negatif.
Kelemahan meta-analisis ialah bahwa cara ini tidak dapat menilai penelitian berdasarkan kualitas. Untuk itu peneliti yang akan melakukan meta- analisis harus mampu menilai memadai tidaknya penelitian-penelitian yang dipakai subyek, terutama dipandang dari segi metodologi. (Glass dkk dalam Toeti, 1989: 6).
Selanjutnya Slavin (1984) menyatakan bahwa meta-analisis tidak bebas dari subyektivitas. Selama melakukan meta-analisis harus diambil keputusan secara hati-hati mengenai: (a) penelitian yang akan diambil untuk disintesis, (b) variable yang dipakai untuk koding (c) bentuk koding yang akan dipakai, dan (d) bagaimana meninterpretasikan informasi yang diperoleh dari penelitian-penelitian tersebut dalam hubungannya dengan kode yang
39
G. Kajian Penelitian Meta-Analisis Yang Relevan
Beberapa hasil penelitian bersifat meta-analisis, baik yang dilakukan di luar negeri maupun di dalam negeri mencoba melihat pengaruh strategi pembelajaran terhadap hasil belajar. Penelitian (Stone, Getsi, Langer dan Glass; Schaefli, Rest,dan Thoma; Willig dalam Toeti, 1989: 7) secara umum mengungkapkan bahwa pengaruh perlakuan dalam bentuk strategi pembelajaran adalah positif atau kelompok eksperimen cenderung lebih tinggi hasilnya dibanding kelompok kontrol.
Penelitian Toeti (1989) tentang meta-analisis keefektivan strategi instruksional, yang melaporkan bahwa strategi instruksional dapat meningkatkan hasil belajar siswa dikelompok eksperimen sebanyak 1,5 kali simpangan baku kelompok kontrol. Besar pengaruh tersebut paling tinggi terdapat pada siswa SMP meskipun sifatnya tidak konsisten, dan paling rendah di TK, sedangkan ditingkat Perguruan tinggi rata-rata besar pengaruh adalah sedang namum konsisten sifatnya. Strategi instruksional selama 31 – 36 minggu memberikan pengaruh tertinggi. Hasil meta-analisis ini mengungkapkan pula bahwa ternyata pemakaian media mampu memberikan rata-rata pengaruh tertinggi, disusul oleh pengaturan bahan instruksional. Strategi bidang studi Olah Raga dan Teknik memberikan rata-rata pengaruh tertinggi, sedang Seni Rupa dan Kependidikan besar pengaruhnya adalah sedang.
Selanjutnya, penelitian Juliati (1993) tentang meta-analisis hubungan hasil belajar terhadap sikap, mengungkapkan bahwa hasil belajar matematika dan sains pada SD tidak memberikan pengaruh terhadap sikap dan strategi instruksional siswa SD tersebut. Begitupula hasil belajar matriks dan semantik pada PT juga tidak memberikan pengaruh terhadap sikap dan prestasi akademik mahasiswa. Justru pada tingkat SMA hasil belajar Botani dan Geologi memberikan pengaruh tertinggi terhadap sikap siswa SMA. Seperti halnya pada tingkat SD, pada Pegawai perubahan kerja dan jabatan juga tidak memberikan pengaruh terhadap sikap pegawai tersebut.
40
Berbeda dengan penelitian di atas, Xin Ma dan Kishor (1992) melakukan meta-analisis untuk penelitian-penelitian bersifat korelasional mengenai hubungan antara sikap terhadap matematika dengan prestasi belajar matematika. Hubungan tersebut dikaitkan dengan sejumlah Variabel dependent, yaitu tingkat, latar belakang suku, pemilihan sampel, ukuran sampel, dan tanggal publikasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada hubungan tersebut, juga tidak ada interaksi antara gender, tingkat, dan latar belakang suku pada hubungan antara sikap terhadap matematika dengan prestasi matematika.
Penelitian meta-analisis lain, yang dilakukan Kadir (2005) melaporkan bahwa secara keseluruhan rata-rata besar pengaruh strategi peta konsep terhadap proses belajar siswa adalah tergolong tinggi, yaitu kira-kira 1.73 kali simpangan baku kelompok kontrol. Ditinjau dari segi jenjang pendidikan subyek penelitian, strategi peta konsep yang diterapkan pada jenjang Guru memberikan rata-rata besar pengaruh tertinggi, sedangkan terendah adalah pada jenjang SD. Besar pengaruh bersifat konsisten terdapat pada jenjang SD.
Dari segi lama perlakuan, rata-rata besar pengaruh strategi peta konsep adalah tertinggi bila perlakuan dilakukan selama 24 minggu, dan terendah bila dilakukan selama 6 minggu. Sedangkan jika dilihat dari jenis bidang ilmu yang dieksperimenkan, strategi peta konsep yang diterapkan pada bidang Sains untuk Guru memberikan rata-rata besar pengaruh tertinggi, disusul Ekologi dan Genetik, sedangkan terendah terdapat pada bidang Mikrobiologi. Strategi peta konsep memberikan rata-rata besar pengaruh yang bersifat konsisten pada bidang Ekologi dan Genetik. Selanjutnya dari segi penambahan variabel eksperimental dalam strategi peta konsep memberikan rata-rata besar pengaruh tertinggi apabila strategi tersebut melibatkan tiga kondisi musim (Summer, Spring, Fall), selanjutnya strategi peta konsep dengan tiga kondisi pembelajaran (IW, CP, dan CP-CM) dan gender, sedangkan yang terendah bila penerapan strategi peta konsep tidak melibatkan faktor lain. Strategi peta konsep memberikan rata-rata besar pengaruh bersifat konsisten terjadi dengan melibatkan kondisi pembelajaran dan gender.
41
Penelitian ini akan dilaksanakan di berbagai Perguruan Tinggi dan
Lembaga-lembaga Penelitian yang menghasilkan publikasi penelitian secara
internasional yang melibatkan pendekatan problem solving sebagai tema atau
perlakuan penelitian. Waktu efektif pelaksanaan penelitian pada bulan April
sampai dengan Nopember 2012.
komparatif yaitu survai dan analisis terhadap hasil publikasi ilmiah hasil
penelitian baik koleksi jurnal penelitian yang ada di kepustakaan maupun
elektronik jurnal. Arikel jurnal hasil penelitian yang akan dianalisis adalah
artikel yang berkaitan dengan pembelajaran Sains dan Matematika dengan
pendekatan berbasis masalah.
Data penelitian terdiri atas 16 hasil penelitian bertemakan
pendekatan problem solving yang diambil dari jurnal hasil penelitian berskala
internasional. Ke-16 jurnal/hasil penelitian tersebut selanjutnya dipakai
sebagai unit analisis untuk penelitian meta-analisis ini. Jenis penelitian yang
akan dianalisis adalah jenis penelitian eksperimen atau kuasi-eksperimen yang
dilakukan pada satuan pendidikan (Dasar, Menengah, PT) yang melibatkan
pendekatan problem solving sebagai perlakukan (treatment).
42 D. Instrumen
pemberian kode (coding data). Adapun variabel-variabel yang dipakai dalam
koding data untuk menjaring informasi mengenai besar pengaruh pendekatan
problem solving adalah:
b. Jenjang pendidikan subyek penelitian
c. Lama waktu perlakuan
f. Pelibatan variabel moderator
h. Variabel terikat penelitian
E. Teknik Pengumpulan Data
problem solving dan kelompok kontrol dengan strategi/metode lain. Data
tentang rata-rata sub penelitian tiap-tiap kelompok ekperimen dan kelompok
kontrol serta simpangan baku kelompok kontrol diperoleh dari masing-masing
sub penelitian tersebut.
F. Analisa Data
perhitungan besar pengaruh (effect Zise) dengan rumus Glass (1981) sebagai
berikut:
K
KE
berdasarkan:
b) sLama waktu perlakuan
d) Ukuran sampel (sample size)
e) Jenis variabel moderator atau atribut yang berinteraksi dengan pendekatan
problem solving.
pendekatan problem solving terhadap hasil belajar secara keseluruhan
digunakan rumus:
n σx1.96
n = Jumlah sub-penelitian
buah yang terbagi menjadi 128 sub-penelitian. Penelitian ini telah dipublikasi
dalam jurnal internasional. Pengelompokan hasil penelitian dilakukan
berdasarkan jenjang pendidikan responden atau sampel penelitian, lama
perlakuan, bidang ilmu, jumlah sampel, dan interaksi pembelajaran dengan
pendekatan problem solving dengan moderator yang dilibatkan dalam
penelitian.
dijelaskan sebagai berikut:
1. menurut jenjang pendidikan subjek penelitian: sebanyak 9 sub-penelitian jenjang Sekolah Dasar (SD), 15 jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), 72 jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), 29 jenjang Mahasiswa, dan 3 sub-penelitian pada Pelatihan Guru;
2. menurut lama perlakuan: sebanyak 28 sub-penelitian dilakukan selama 2 minggu, 8 sub-penelitian dilakukan selama 3 minggu, dan 3 sub-penelitian dilakukan selama 6 minggu, 8 sub-penelitian dilakukan selama 8 minggu, 46 sub-penelitian dilakukan selama 4 bulan, 27 sub-penelitian dilakukan selama 1 semester, dan 8 sub-penelitian dilakukan selama 1 tahun;
3. menurut bidang ilmu: sebanyak 4 sub-penelitian bidang ilmu Fisika, 8 bidang ilmu Sains, 6 bidang Kimia, 3 bidang Agricultural, 40 bidang pembelajaran matematika sekolah, 51 bidang pembelajaran berbasis komputer, 6 bidang desain instruksional, 10 sub-penelitian bidang psikologi pembelajaran, yaitu self regulation learning;
4. menurut jumlah sampel: sebanyak masing-masing 8 sub-penelitian dengan sampel 32 dan 92 orang, 22 sub-penelitian dengan sampel 47 orang, 1 sub- penelitian dengan sampel 49 orang, masing-masing 6 sub-penelitian dengan sampel 60 dan 102 orang, masing-masing 2 sub-penelitian dengan sampel 77, 80, 86, dan 260 orang, 4 sub-penelitian dengan sampel 104 orang, 52 sub-penelitian dengan sampel 122 orang, 3 sub-penelitian
46
dengan sampel 240 orang, 10 sub-penelitian dengan sampel 268 orang, dan terdapat 2 sub-penelitian dengan sampel 620 orang;
5. menurut variabel (moderator) yang dilibatkan dengan pendekatan problem solving: sebanyak 116 sub-penelitian tidak melibatkan variabel moderator, 7 sub-penelitian melibatkan variabel gender, dan 5 sub-penelitian melibatkan gender dan matematika, sains dan kimia (Masaki).
Deskripsi data 16 hasil penelitian (7 penelitian Sains dan 9 penelitian bidang matematika) berikut judul penelitian, peneliti, institusi dan nama jurnal yang mempublikasi hasi penelitian disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Daftar Judul Artikel Dan Nama Jurnal Publikasi
No Judul Artikel Peneliti/Institusi Nama Jurnal SAINS
1. Effects of the problem solving strategies instruction on the students’ physics problem solving performances and strategy usage
1. Serap Çal1kan, 2. Gamze Sezgin Selçuk, 3. Mustafa Erol
Department of Secondary Science and Mathematics Education, Dokuz Eylül University, Buca Education Faculty, Turkey
Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010) 2239–2243, Received October 19, 2009; revised December 28, 2009; accepted January 11, 2010.
2. The Application of Problem Solving Method on Science Teacher Trainees on the Solution of the Environmental Problems
Mustafa Dogru, Akdeniz University, Antalya, TURKEY. E-mail: [email protected]
Journal of Environmental & Science Education, 2008, 3 (1), 9 – 18 ISSN 1306-3065 © 2008 by Gokkusagi Ltd. All Rights Reserved
3. The Influence Of Problem Solving On Studying Effectiveness In Physics
Svetlana Ganina1, Henn Voolaid
Address for correspondence: [email protected]
4. Effect of Problem Solving Method on Science Process Skills and Academic Achievement
Elvan NCE AKA, Ezgi GÜVEN, Mustafa AYDODU
Journal Of Turkish Science Education Volume 7, Issue 4, December 2010
47
5. The effects of students’ problem solving skills on their understanding of chemical rate and their achievement on this issue
Fulya Öner Armaan, afak Uluçnar Sar, Aye Yalçn Çelik 2009, 1. Education
Faculty,Department of Primary Science Education, Gazi University, Ankara, 06500, Türkiye.
2. Education Faculty , Department of Primary Science Education, Amasya University, Amasya, Türkiye
3. Education Faculty, Department of Secondary Science and Mathematics Education, Gazi University, Ankara, 06500, Türkiye
Procedia Social and Behavioral Sciences 1 (2009) 2678–2684, Received October 8, 2008; revised December 16, 2008; accepted January 4, 2009
6. The effect of Problem Solving Method on Science Teacher Trainees on the Solution of the Environmental Problems a Study
Dr. Vandana Manapure Principal, S.K. Wankhede College of Education, Nagpur
Indian Streams Research Journal, Vol. 1, Issue II / March 2011, pp.17- 27
7. A Comparative Analysis of the Effect of Greeno Problem Solving and Demonstration Teaching Methods on Students’ Achievement in Agricultural Science
1Daluba, Noah E. and 2Mama, Romanus O. 1Department of Agricultural Education, Kogi State College of Education, P. M. B. 1033, Ankpa, Kogi State, Nigeria. 2Department of Vocational Teacher Education, University of Nigeria. Nsukka, Enugu State
Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS) 3 (2): 179-18 Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studie
48
explanation training on students’ problem solving in high-school mathematics
Regina M.F. Wong, Michael J. Lawson *, John Keeves School of Education, Flinders University, Adelaide, SA, Australia
Learning and Instruction 12 (2002) 233–262
9. The Effect of Logo and CAI Problem-Solving Environments on Problem- Solving Abilities and Mathematics Achievements
Michael T. Battista and Douglas H. Clements Kent State University
Computers tn Human Behavior, Vol. 2, pp. 183- 193, 1986
10. The effects of individually personalized computer- based instructional program on solving mathematics problems
Heng-Yu Ku *, Christi A. Harter, Pei-Lin Liu, Ling Thompson, Yi-Chia Cheng Department of Educational Technology, College of Education at the University of Northern Colorado, Greeley, CO 80639, USA
Computers in Human Behavior 23 (2007) 1195–1210
11. Computer-assisted learning for mathematical problem solving
Kuo-En Chang a,*, Yao- Ting Sung b, Shiu-Feng Lin a.Department of Information and Computer Education, National Taiwan Normal University, 162, Ho Ping East Road, Sec 1, Taipei, Taiwan, ROC b.Department of Educational Psychology and Counseling, National Taiwan Normal University, Taipei, Taiwan, ROC
Computers & Education 46 (2006) 140–151
12. Effect of experience and mode of presentation on problem solving
Damien J. Williams, Jan M. Noyes *Department of Experimental Psychology, University of Bristol, 8
Computers in Human Behavior 23 (2007) 258–274
49
13. Embedding game-based problem-solving phase into problem-posing system for mathematics learning
Kuo-En Changa a,*, Lin- Jung Wua a, Sheng-En Wenga a, Yao-Ting Sung b a Graduate Institute of Information and Computer Education, National Taiwan Normal University, 162 Ho-Ping East Road, Sec. 1, Taipei 10610, Taiwan b.Department of Educational Psychology and Counseling, National Taiwan Normal University, 162 Ho-Ping East Road, Sec. 1, Taipei 10610, Taiwan
Computers & Education 58 (2012) 775–786
14. Visualization in Mathematics Learning: Arithmetic Problem- solving and Student Difficulties
Rhonda D.L. Booth Michael O.J. Thomas, The University of Auckland, Auckland, New Zealand
Journal Of Mathematical Behavior, 18 (2), 169±190 ISSN 0732- 0213.
15. A Problem Solving Model as a Strategy for Improving Secondary School Students’ achievement and Retention in Further Mathematics
1 Adebola S. IFAMUYIWA, MStan, 2 Sakiru I. AJILOGBA Email: [email protected]
ARPN Journal of Science and Technology ©2011-2012. All rights reserved. VOL. 2, NO. 2, March 2012 ISSN 2225-721
16. Epistemic profiles and self-regulated learning: Examining relations in the context of mathematics problem solving
Krista R. Muis * Department of Educational and Counseling Psychology, McGill University,3700 McTavish St., Montreal, Que., Canada H3A 1Y2 Available online 3 January 2007
Contemporary Educational Psychology 33 (2008) 177–208
50
hasil atau temuan penelitian sebagai berikut:
1. Rata-rata Besar Pengaruh Secara Keseluruhan
Hasil analisis mengungkapkan bahwa secara keseluruhan rata-rata
besar pengaruh pendekatan problem solving atau yang dapat dikaitkan dengan
problem solving dengan penelitian-penelitian yang sifatnya eksperimental
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebesar 1.079 dengan interval
besar pengaruh (effect size) berkisar 0.787 - 1,372 ( = 0.05) dan
simpangan baku 1,690.
Berdasarkan temuan data yang terangkum pada Tabel 4.2 diperoleh
rata-rata besar pengaruh berdasarkan jenjang pendidikan subyek
1,130Δ dan 0,939σA
Tabel 4.2 Pengaruh Jenjang Pendidikan Subyek
Statistik Jenjang Pendidikan Sampel Penelitian Mean SD SMP SMA Mahs Guru
n 9 15 72 29 3 - 0,619 1,291 0,907 1,514 1,320 1,130 0,139 0,626 1,970 1,543 0,419 0,939 Kv 0,225 0,485 2,172 1,019 0,317 0,844
Keterangan: Kv = Koefisien varians
jenjang Mahasiswa, disusul pelatihan Guru, SMP, SMA dan terendah pada
jenjang SD. Namun bila dilihat dari koefisien simpangan baku yang diperoleh
maka data besar pengaruh dari paling konsisten ke kurang konsisten berturut-
51
turut adalah jenjang SD, pelatihan Guru, SMP, Mahasiswa, dan jenjang
pendidikan SMA. Hal yang sama bila ditinjau dari koefisien variansi (/)
maka SD menempati konsistensi tertinggi sebesar 22,5% disusul pelatihan
Guru sebesar 41,9%, SMP sebesar 62,6%, Mahasiswa 154,3%, dan jenjang
pendidikan SMA sebesar 197%.
Hal ini berarti bahwa untuk SD penyebaran data pengaruh pendekatan
problem solving 22,5% lebih dekat ke rata-rata effect size, disusul pelatihan
Guru 41,9%, SMP 62,6%, Mahasiswa 154,3%, dan jenjang pendidikan SMA
197%. Dengan kata lain, data jenjang pendidikan Mahasiswa memberikan
pengaruh rata-rata pendekatan problem solving lebih baik jika dibandingkan
jenjang pendidikan lainnya walaupun penyebaran datanya kurang konsisten.
Secara visual rata-rata besar pengaruh dari aspek jenjang pendidikan
disajikan pada grafik 4.1.
Dari grafik 4.1 terlihat bahwa jenjang pendidikan Mahasiswa
menempati posisi tertinggi dalam skor rata-rata besar pengaruh terhadap hasil
belajar dalam pembelajaran Sains dan Matematika.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
ra ta
-r at
a pe
ng ar
Dari temuan data yang terangkum pada Tabel 4.3 diperoleh rata-rata
besar pengaruh dan simpangan baku berdasarkan lama waktu perlakuan
adalah 2,037Δ dan 1,519σA .
Statistik Lama Perlakuan
Mean 2 Minggu
n 28 8 3 8 46 27 8 -
1,565 1,489 7,467 1,178 0,430 0,725 1,404 2,037
1,555 0,467 4,902 0,436 0,810 0,418 2,045 1,519
Kv 0,994 0,314 0,656 0,370 1,884 0,577 1,457 0,893
Berdasarkan hasil analisis sebagaiman yang dirangkum pada Tabel
4.3 diatas menunjukkan bahwa rata-rata besar pengaruh pendekatan problem
solving dari tertinggi ke terendah berturut-turut adalah 6 minggu, 2 minggu, 3
minggu, 8 minggu, 1 tahun, 1 semester, dan 4 bulan. Bila ditinjau penyebaran
data yang diperlihatkan melalui koefisien variansi (/) maka perlakuan
yang diberikan selama 3 minggu dan 8 minggu lebih konsisten dibandingkan
dengan perlakuan selama 2 atau 6 minggu atau 4 bulan, 1 semester, dan 1
tahun. Dengan demikian lama perlakuan selama 3 dan 8 minggu lebih dekat
ke rata-rata effect size dibandingkan lama perlakuan lainnya. Artinya, dari
segi penyebaran rata-rata pengaruh, perlakuan 3 dan 8 minggu
penyebarannya lebih baik daripada 2 minggu atau 4 minggu, begitupula
selama 4 bulan, 1 semester dan 1 tah
Khairunnisa, S.Pd, M.Si
ii
META-ANALISIS EFEKTIVITAS PENDEKATAN PROBLEM SOLVING DALAM PEMBELAJARAN SAINS DAN MATEMATIKA Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Telp. 021-7401925, 7426828, Fax. 7426828 Cetakan I, Oktober 2013 ISBN: S978-602-9483-17-8 Penulis Dr. Kadir, M.Pd Burhanuddin Milama, S.Pd, M.Pd Khairunnisa, S.Pd, M.Si Setting & Layout: Heryfida All Rights Reserved Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak dibenarkan memproduksi ulang setiap bagian artikel, ilustrasi dan isi buku ini dalam bentuk apapun juga
[email protected]
Highlight
iii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamuálaikum Wr. Wb.
Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menginspirasi kemajuan peradaban dunia, serta menjadi rahmat bagi alam dan kemuliaan manusia.
Perubahan pesat, cepat dan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan profesi merupakan ciri dari apa yang akan berlangsung di masa depan. Pendidikan Sains dan Matematika akan memainkan peranan penting untuk mempersiapkan individu dan masyarakat dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut. Kebutuhan masyarakat akan pemahaman Sains dan matematika di era penuh perubahan tersebut akan terus meningkat, sehingga menuntut penguasaan pengetahuan maupun kemampuan baru. Dengan demikian dibutuhkan adaptability yang cukup tinggi bagi individu dan masyarakat. Mengingat tuntutan penguasaan pengetahuan dan kemampuan baru ini. Pendidikan Sains dan Matematika seharusnya dapat meningkatkan kesadaran dan kontrol diri siswa untuk membangun kemampuan belajar matematika akan hal-hal yang baru.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dan menelaah efektivitas pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika. Studi ini mengajukan permasalahan pada bagaimana besar pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari aspek hasil belajar sains dan matematika secara keseluruhan, jenjang pendidikan subyek, lama waktu perlakuan, bidang ilmu yang diteliti, ukuran sampel penelitian; dan variabel moderator yang dilibatkan dalam penelitian.
Terakhir kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, dan semoga apa yang telah dilaksanakan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Wassalam
Jakarta, 2013
Tim Peneliti
Oktober, 2013
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menelaah efektivitas pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika. ditinjau dari aspek: (1) hasil belajar sains dan matematika secara keseluruhan; (2) jenjang pendidikan subyek; (3) lama waktu perlakuan; (4) bidang ilmu yang diteliti; (5) ukuran sampel penelitian; dan (6) variabel moderator yang dilibatkan dalam penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah survai dan analisis terhadap jurnal penelitian dengan mengambil 16 buah artikel hasil penelitian dalam jurnal internasional sebagai unit analisis kemudian dikelompokkan menjadi 128 subpenelitian. Pengaruh relatif dari penelitian- penelitian yang menerapkan pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika dilakukan dengan menggunakan teknik meta-analisis dari Glass. Kesimpulan hasil penelitian bahwa: (1) Secara keseluruhan pendekatan problem solving dalam pembelajaran Sains dan Matematika mampu meningkatkan hasil belajar responden pada kelompok eksperimen sebesar 1,079 kali simpangan baku kelompok kontrol. Ternyata pendekatan problem solving memberikan pengaruh yang lebih efektif daripada pendekatan lain pada kelompok kontrol, (2) Pendekatan problem solving dari segi jenjang pendidikan subyek dalam pembelajaran Sains dan Matematika mampu meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 1,130 kali simpangan baku kelompok kontrol yang bukan perlakuan pendekatan problem solving. Ternyata jenjang pendidikan Mahasiswa dan pelatihan Guru memberikan besar pengaruh pendekatan problem solving tergolong tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA, (3) Pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari lama waktu perlakuan adalah tergolong tinggi yaitu 2,037 kali simpangan kelompok kontrol. Ternyata perlakuan selama 6 minggu memberikan besar pengaruh pendekatan problem solving tergolong tinggi dibanding 2 minggu, 3 minggu, 8 minggu, 4 bulan, 1 semester, dan 1 tahun, (4) Pengaruh pendekatan problem solving pada kelompok eksperimen berdasarkan jenis bidang ilmu sebesar 1,425 kali simpangan baku kelompok kontrol. Ternyata bidang ilmu Fisika memberikan besar pengaruh tertinggi dibandingkan dengan bidang Self Regulation Learning, Desain Pembelajaran, Pembelajaran Matematika Sekolah, Sains, Agricultural, Pembelajaran Matematika Berbasis Komputer, dan bidang ilmu Kimia, (5) Pengaruh
vi
pendekatan problem solving ditinjau dari ukuran sampel sebesar 2,066 kali simpangan baku kelompok kontrol. Besar pengaruh pendekatan problem solving tertinggi untuk ukuran sampel penelitian sebesar 80 orang, dikuti 620, 268, 60, 32, 102, 104, 77, 240, 86, 49, 47, 92, dan terendah 122 orang, (6) Pengaruh pendekatan problem solving dengan pelibatan atribut atau variabel moderator adalah tergolong tinggi yaitu 2,026 kali simpangan kelompok kontrol. Besar pengaruh pendekatan problem solving tertinggi bila dikombinasikan (interaksi) variabel gender.
Kata Kunci: Meta-Analisis, Effect Size, Pendekatan Problem Solving, Pembelajaran, Sains dan Matematika.
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................ iii ABSTRAK. ........................................................................................ v DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL .............................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xi DAFTAR GRAFIK ............................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xv BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7 D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ........................................... 7
BAB II. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL 9
A. Pengertian Masalah ................................................................ 9 B. Definisi Problem Solving ....................................................... 11 C. Pembelajaran Problem Solving ............................................... 16 D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa ....................................................................... 22 E. Pengertian Pembelajaran Sains dan Matematika ...................... 30 F. Konsep Meta-Analisis ............................................................ 37 G. Kajian Meta Analisis yang Relevan ....................................... 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 41
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 41 B. Metode Penelitian ................................................................... 41 C. Sumber Data .......................................................................... 41 D. Instrumen Penelitian ............................................................... 42 E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 42 F. Teknik Analisis Data .............................................................. 42
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 45
A. Deskripsi Data ....................................................................... 45 B. Temuan Penelitian ................................................................. 50
1. Rata-rata Besar Pengaruh Secara Keseluruhan ............ 50
Halaman
viii
2. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan Jenjang Pendidikan Subyek ....................................................................... 50
3. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan lama Perlakuan 52 4. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan Bidang Ilmu ... 53 5. Rata-rata Besar Pengaruh Berdasarkan Ukuran Sampel
Penelitian (Sample Size) ............................................. 55 6. Rata-rata Besar Pengaruh Pendekatan Problem Solving
Dengan Pelibatan Variabel Moderator ........................ 57 C. Pembahasan Hasil Penelitian ................................................. 59 D. Keterbatasan Penelitian .......................................................... 65
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 67
A. Kesimpulan ........................................................................... 67 B. Rekomendasi .......................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Daftar Judul Artikel dan Nama Jurnal Publikasi ................... 46 Tabel 4.2 Pengaruh Jenjang Pendidikan Subyek ................................. 50 Tabel 4.3 Pengaruh Lama Waktu Perlakuan ....................................... 52 Tabel 4.4 Pengaruh Bidang Ilmu ........................................................ 54 Tabel 4.5 Pengaruh Ukuran Sampel Penelitian ................................... 56 Tabel 4.6 Pengaruh Pendekatan Problem Solving dan Variabel
Moderator ............................................................................ 57
Gambar 2.1. Tingkat Kompleksitas Keterampilan Intelektual Menurut
Gagne ............................................................................. 13 Gambar 2.2 Model Problem solving menurut Gick, 1986 ................... 21 Gambar 2.3. Kemampuan Problem solving berdasarkan Gender .......... 23 Gambar 2.4 Kemampuan Problem solving setiap level gender ............ 24 Gambar 2.5 Kemampuan Problem solving Dilihat Dari Pekerjaan
Orang Tua ....................................................................... 26 Gambar 2.6 Kemampuan Problem solving Menurut Tingkat
Pendidikan Orang Tua ..................................................... 27 Gambar 2.7 Kemampuan Problem solving dilihat dari Struktur
Keluarga ......................................................................... 28 Gambar 2.8 Kemampuan Problem solving Dilihat Dari Tempat Lahir
dan Bahasa Sehari-Hari ................................................... 30
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Pengaruh aspek Jenjang pendidikan .................................... 51 Grafik 4.2 Pengaruh aspek Lama Perlakuan ........................................ 53 Grafik 4.3 Pengaruh aspek Bidang Ilmu .............................................. 55 Grafik 4.4. Pengaruh aspek Ukuran sampel (orang) ............................. 56 Grafik 4.5. Pengaruh aspek pelibatan variabel moderator..................... 58
Halaman
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 CODING META ANALISIS (SAINS) ............................. 73 Lampiran 2 CODING META ANALISIS (MATEMATIKA) .............. 79
Halaman
1
pengetahuan, teknologi, budaya dan profesi merupakan ciri dari apa yang
akan berlangsung di masa depan. Pendidikan Sains dan Matematika akan
memainkan peranan penting untuk mempersiapkan individu dan masyarakat
dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut. Kebutuhan masyarakat
akan pemahaman Sains dan matematika di era penuh perubahan tersebut akan
terus meningkat, sehingga menuntut penguasaan pengetahuan maupun
kemampuan baru. Dengan demikian dibutuhkan kemampuan adaptability
yang cukup tinggi bagi individu dan masyarakat. Mengingat tuntutan
penguasaan pengetahuan dan kemampuan baru ini. Pendidikan Sains dan
Matematika seharusnya dapat meningkatkan kesadaran dan kontrol diri siswa
untuk membangun kemampuan belajar matematika akan hal-hal yang baru.
Pentingnya mengembangkan pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan adaptability adalah cukup beralasan. Hal ini mengingat bahwa
proses pembelajaran Sains dan Matematika selama ini masih didominasi oleh
sistem tradisional seperti ceramah dan drill yang kurang kondusif untuk
mempersiapkan anak didik dalam menghadapi era masa depan yang serba
sulit dan tidak menentu. Proses pembelajaran saat ini kebanyakan masih
belum menunjukkan hasil yang memuaskan, upaya guru ke arah peningkatan
kualitas proses belajar mengajar belum optimal, metode, pendekatan dan
evaluasi yang dikuasai guru belum beranjak dari pola tradisional, dan hal ini
berdampak negatif terhadap daya serap siswa yang ternyata masih tetap
lemah. Disamping itu, masih ada kenyataan yang menunjukkan bahwa
pendidikan kita dewasa ini lebih memaksakan kepada peserta didik, dan
lebih melaksanakan informasi tekstual daripada mengembangkan
kemampuan membudayakan belajar dan membangun individu belajar.
2
berkembang menjadi kurang kreatif. Kegiatan Sains dan Matematika siswa
hanya berdasarkan perintah atau tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Salah
satu contoh mendukung kenyataan ini adalah siswa hanya akan
menyelesaikan soal-soal latihan yang diperintahkan oleh gurunya, ataupun
siswa akan belajar Sains dan Matematika di rumah apabila diberikan
pekerjaan rumah (PR) yang telah dilengkapi dengan rumus dan algoritma
oleh gurunya. Konsekuensinya bila siswa diberi soal yang berbeda dengan
soal latihan maka mereka akan membuat kesalahan atau error layaknya
komputer. Siswa tidak terbiasa memecahkan masalah Sains dan matematika
yang ada di sekililing mereka. Hal ini menunjukkan bahwa guru merupakan
pengendali dari aktivitas siswa dalam belajarnya.
Di sisi lain, hasil belajar Sains dan Matematika siswa umumnya
masih rendah. Hasil belajar yang dimaksud tidak hanya pada aspek
kemampuan mengerti matematika sebagai pengetahuan (cognitive) tetapi juga
aspek sikap (attitude) terhadap matematika. Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur hasil belajar matematika adalah rangking skor
Sains dan Matematika siswa sekolah lanjutan pada kompetisi berlevel
internasional dan nasional.
Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa, siswa Indonesia hanya
menempati rangking ke-39 dari 42 negara partisipan TIMSS dengan
perolehan skor rata-rata 397 dari skor maksimal 1000.4 Begitupula secara
nasional, rata-rata Nilai Ebtanas Murni (NEM) siswa SMU berada di bawah
5,0 dalam skala 0 sampai dengan 10, sebagai perbandingan bahwa untuk
propinsi DKI Jakarta dari 22268 siswa yang tersebar di 411 SMU Negeri dan
Swasta se-DKI Jakarta, rata-rata Nilai Ebtanas Murni pelajaran matematika
IPA adalah sebesar 3,98.
Selanjutnya untuk aspek sikap siswa terhadap mata pelajaran Sains
dan Matematika di sekolah dapat diketahui tidak hanya dari beberapa laporan
penelitian tetapi pada opini siswa di sekolah bahwa mereka tidak suka atau
3
adalah disebabkan beberapa hal: (1) kurikulum yang padat, (2) rendahnya
kualitas buku paket lantaran banyak ditulis tanpa melibatkan orang
pendidikan matematika atau guru matematika, (3) media belajar yang kurang
efektif, (4) metode pengajaran yang tradisional dan tidak interaktif, dan (5)
buruknya sistem evaluasi, yang hanya mengejar solusi tetapi mengabaikan
proses mendapatkan solusi.
Berdasarkan kondisi real di atas, untuk meningkatkan hasil belajar
Sains dan Matematika, kreativitas, sikap positif siswa dalam belajar Sains dan
matematika sesuai dengan tuntutan era penuh perubahan, maka harus
dikembangkan pembelajaran dengan pembelajaran Sains dan Matematika
yang tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga
membantu siswa untuk mencerna dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri serta memberdayakan mereka untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya. Pembelajaran Sains dan Matematika yang demikian itu
tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan hafalan, latihan pengerjaan soal
yang bersifat mekanistik, rutin, dan algoritmis, serta proses
pembelajaran dengan yang cenderung berpusat kepada guru yang akan
menimbulkan budaya konsumtif antara lain, kebiasaan menerima informasi
secara pasif, seperti mencatat, mendengarkan, dan meniru. Diperlukan sebuah
evaluasi yang dapat membelajarkan siswa, sehingga dapat mengubah dari
situasi guru mengajar kepada situasi siswa belajar, dari pengalaman ber-sains-
matematis guru kepada pengalaman ber-sains-matematis siswa, dari alam
berfikir guru ke alam berfikir siswa. Ciri-ciri pembelajaran seperti ini dapat
menumbuhkan budaya produktif, seperti menulis gagasan, merancang model,
meneliti, memecahkan masalah, menemukan pola, mengkomunikasi-kan
gagasan baru baik secara individual maupun kelompok.
Khusus untuk bidang matematika, perhatian pemerintah dan pakar
pendidikan matematika untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa
tidak hanya tertuju kepada kurikulum berbasis kompetensi seperti yang
4 digalakkan di sekolah sekarang ini, bahkan dalam rangka mengatasi
rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika, sekarang ini tengah diuji-
cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan
humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju.
Misalnya di Belanda sekarang telah dikembangkan pendekatan
pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME).
Terdapat lima karakteristik utama dari pendekatan RME, yaitu: (1)
menggunakan pengalaman siswa di dalam kehidupan sehari-hari, (2)
mengubah realita ke dalam model, kemudian mengubah model melalui
matematisasi vertikal sebelum sampai kepada bentuk formal, (3)
menggunakan keaktifan siswa, (4) dalam mewujudkan matematika pada diri
siswa diperlukan adanya diskusi, tanya-jawab, dan (5) adanya keterjalinan
konsep dengan konsep, topik dengan topik sehingga pembelajaran matematika
lebih holistik daripada parsial. Dengan pendekatan ini diduga peningkatan
hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan menyajikan materi
yang dekat dengan kehidupan sehari-hari atau yang dapat dibayangkan oleh
siswa.
pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning.1
Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam
menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan
masalah-masalah contextual. Pendekatan seperti ini diduga mampu
mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena
dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut.
Menurut Becker dan Shimada, di negara Sakura Jepang saat ini
sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the open-ended approach.2
Dengan pendekatan ini, diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa
dapat dilakukan dengan memberi soal-soal terbuka yang memiliki banyak
1 K.R. Howey, Contextual Teaching and Learning (New York: ERIC, 2001), p. 105. 2 J.P. Becker & S Shimada, The Open- Ended Approach: A New Proposal for Teaching
Mathematics (Reston, Virginia: 1997), p.2.
5
jawaban dari soal yang diberikan.
Di negara tetangga Singapura, pendekatan pembelajaran di sekolah
dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract approach.3 Peningkatan
aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui
perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian
siswa. Leader, et al. (1995), bahwa di negara Kangguru Australia sedang
dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks yang
disebut mathematics in context.4 Sedangkan di Indonesia sendiri di tingkat
Sekolah Dasar tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Reliastik
Indonesia atau disingkat PMRI.
matematika adalah pendekatan berbasis masalah matematika. Pendekatan ini
dapat menjadi alternatif karena disamping dapat mewadahi karakteristik
pendekatan yang sedang digalakkan di bebarapa negara juga menjadi salah
satu tujuan pembelajaran Sains dan Matematika di sekolah.
Kemampuan pemecahan masalah Sains dan Matematika dapat dinilai
berdasarkan tahap-tahap penyelesaian masalah dan kuantitas serta kualitas
respon siswa pada situasi masalah yang diberikan. Pembelajaran dengan
pendekatan problem solving dapat membangun struktur kognitif siswa. Proses
ini dilakukan dengan cara mengaitkan skemata, yaitu suatu struktur mental
atau kognitif berupa bentukan mental, kontruksi hipotesis; seperti kreativitas,
kemampuan, dan naluri yang dimiliki seseorang untuk beradaptasi dan
mengkoordinasi secara intelektual dengan lingkungan sekitarnya dalam
rangka menyelesaikan dan mengajukan masalah atau membentuk soal sendiri.
Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah, disamping dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan atau mengajukan masalah, juga
3 K.T. Hong, Primary Mathematics, (Singapore: CDME), p. 112.
4 G. Leader, et al., Learning Mathematics in Context, (Ed) In J. Wakefield & L. Velardi (Melbourne: The Mathematical Association of Victoria, 1995), p. 78.
6 dapat meningkatkan metakognisi, yaitu pengetahuan tentang kognisi dan
mekanisme pengendalian diri serta monitoring kognitif siswa terhadap tugas-
tugas matematika. Sedangkan kemampuan matematika, dan metakognisi
siswa dapat dicapai secara memadai bila ditunjang oleh berbagai strategi
pemecahan masalah yang memadai pula. Secara teoritis penciptaan model
belajar dengan kelompok kecil diduga dapat meningkatkan kemampuan
sains-matematika siswa. Oleh karena pembelajaran sains-matematika yang
efektif memerlukan model pembelajaran yang tepat, sehingga dapat
mengembangkan kesadaran dan pola pikir sains-matematika siswa.
Bertitik tolak dari pemetaan sejumlah pendekatan, permasalahan,
keuntungan dan dugaan, seperti telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi telaah utama dalam penelitian ini adalah menganalisis pendekatan
pemecahan masalah dan mempelajari pengaruhnya teradap hasil belajar Sains
dan Matematika.
analisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana besar pengaruh pendekatan problem solving terhadap
hasil belajar sains dan matematika secara keseluruhan?
2. Bagaimana besar pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari
aspek jenjang pendidikan subyek penelitian?
3. Bagaimana pengaruh pendekatan problem solving ditinjau dari aspek
lama waktu perlakuan?
bidang ilmu yang diteliti?
ukuran sampel penelitian?
variabel moderator yang dilibatkan penelitian?
7
sebagai berikut:
hasil belajar secara keseluruhan.
dari aspek jenjang pendidikan subyek atau sampel yang dilibatkan
dalam penelitian.
dari aspek lama atau interval waktu perlakuan yang digunakan dalam
penelitian.
4. Menganalisis besar pengaruh pendekatan problem solving ditinjau
dari aspek cabang atau jenis bidang ilmu dalam area Sains dan
Matematika.
dari aspek ukuran sampel (sample size) yang digunakan dalam
penelitian Sains dan Matematika.
berinteraksi (kombinasi) dengan variabel moderator dalam
pembelajaran Sain dan Matematika.
Manfaat penelitian meta-analisis adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang rata-rata pengaruh pendekatan
problem solving dalam pembelajaran sains dan matematika terhadap
hasil belajar dipandang dari beberapa aspek pembelajaran.
2. Keunggulan dari pendekatan problem solving dapat menginspirasi
guru/dosen untuk memperkaya KBM pembelajaran sains dan
matematika di kelas, yang pada akhirnya dapat memotivasi siswa
untuk meningkatkan hasil belajarnya.
belajar mandiri di rumah untuk memperdalam pemahamannya tentang
konsep-konsep sains dan matematika serta bidang studi lain yang
memungkinkan penggunaan strategi problem solving.
4. Hasil peneitian meta-analisis ini dapat memberikan masukan atau
informasi bagi peneliti lanjut untuk melakukan kajian efektivitas
pendekatan problem solving dari berbagai sudut pandang dalam
rentang waktu yang sifatnya longitudional tentang kekuatan dan
kelemahan pendekatan problem solving dalam pembelajaran sains
atau matematika.
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Masalah Problem solving merupakan inti dari pembelajaran Sains dan
Matematika. Orang yang pertama kali memperkenalkan pendekatan problem solvingdi sekolah adalah serorang pengarang terkenal John Dewey, yang banyak menerbitkan karangan pada tahun 1884 – 1948.
Menurut John Dewey, masalah adalah sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang belum pasti. Teori ini timbul karena kurikulum pembelajaran dibuat sedemikian yang tujuannya sebenarnya adalah untuk memecahkan masalah yang ada dan berkaitan dengan “keperluan serta interest” yang berkembang pada suatu waktu tertentu. Menurut pendapatnya masalah yang perlu dikemukakan memiliki 2 kriteria:1
a) masalah yang dipelajari harus sesuatu yang penting untuk masyarakat dan perkembangan kebudayaan;
b) masalah yang dipelajari adalah sesuatu yang penting dan relevan dengan permasalahan yang dihadapi siswa Bell, mengemukakan bahwa suatu situasi dikatakan masalah bagi
seseorang bila ia sadar akan keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan, bahwa ia mau dan perlu melakukan tindakan, dimana situasi itu tidak segera dapat ditemukan pemecahannya.2 Serupa dengan pendapat tersebut Hayes seperti dikutip Helgenson, mengatakan bahwa suatu masalah adalah merupakan kesenjangan antara keadaan sekarang dengan tujuan yang ingin dicapai, sedangkan belum diketahui cara tertentu untuk mencapai tujuan tersebut.3 Dengan demikian masalah dapat diartikan sebagai pertanyaan yang harus dijawab pada saat itu, sedangkan belum ada rencana solusi yang jelas.4
1 Arifin, M, dkk. Strategi Belajar Mengajar Kimia (Bandung:Jurusan Pendidikan Kimia UPI,
2003) p. 95-96 2 F. H. Bell, Teaching and Learning Mathematics in Secondary School (New York: Brown
Company Publisher, 1978), p. 48. 3 S.L. Helgenson, Problem Solving Research in Middle Junior High School Science Education
(Columbus: The Ohio State University, 1992), p.122. 4 J. Hawton, Problem Solving – Its Place in The Math Program (Melbourne: The Mathematical
Association of Victoria, 1992), pp. 119-123.
10
Masalah dapat juga berarti suatu tugas yang apabila kita membaca, melihat atau mendengarnya pada waktu tertentu, tetapi kita tidak mampu untuk segera menyelesaikannya pada saat itu juga.5 Hudoyo melihat masalah dalam kaitannya dengan prosedur yang digunakan seseorang untuk menyelesaikannya berdasarkan kapasitas kemampuan yang dimilikinya. Bahwa seseorang mungkin dapat menyelesaikan suatu masalah dengan prosedur rutin, tetapi orang lain dengan cara tidak rutin.6
Polya, mengatakan bahwa sebuah soal dikatakan masalah jika soal tersebut merupakan soal yang sulit dan penuh tantangan.7 Sedangkan menurut Ruseffendi, bahwa suatu soal merupakan masalah bila memenuhi tiga ciri, yaitu, pertama bila soal itu tidak dikenalnya. Maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua ialah siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya; terlepas dari apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga sesuatu soal merupakan masalah bila ada niat untuk menyelesaikannya.8 McGivney dan DeFranco, mengemukakan bahwa setiap masalah dalam pembelajaran matematika mengandung tiga hal penting, yaitu: (1) informasi, (2) operasi, dan (3) tujuan.9
Menurut Vessen suatu masalah adalah ketidaksamaan antara dua pernyataan atau lebih yang disampaikan kepada siswa pada waktu proses belajar mengajar berlangsung10
Berdasarkan beberapa pengertian masalah (problem) yang telah
dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa suatu soal atau tugas tertentu
dapat merupakan masalah bagi orang tertentu, tetapi belum tentu merupakan
masalah bagi orang lain. Dengan kata lain suatu soal mungkin merupakan
masalah bagi seseorang pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu
merupakan masalah pada waktu yang berbeda. Dalam matematika, soal yang
5 D. Coffey Kolsch. P & M. Mackinlay, Assessing Problem Solving and Project Work. In J.
Wakefield and L. Velardi (Eds). CML (Melbourne: The Mathematical Association of Victoria, 1992), pp. 196-201.
6 Herman Hudoyo, Strategi Mengajar Matematika (Malang: IKIP Malang, 1990), p. 36. 7G. Polya, Mathematical Discovery: On Understanding, Learning, and Teaching Problem
Solving (New York: Jhon Willey Inc, 1981), p. 117. 8E.T. Russeffendi, op. cit., p. 336. 9J.M. McGivney & T.C. DeFanco, Geometry Proof Writing: A Problem Solving Approach a’la
Polya, The Mathematics Teacher Journal : Vol. 88, 1995, pp. 552- 555. 10 Arifin, M, dkk. Strategi Belajar Mengajar Kimia (Bandung:Jurusan Pendidikan Kimia UPI,
2003) p. 97
soal yang tidak merupakan masalah disebut soal rutin (rutine problem).
Adapun soal yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup soal yang
penyelesaiannya menuntut siswa untuk menerapkan langkah-langkah
penyelesaian secara baik dan benar untuk mencapai hasil akhir.
Dalam kaitannya dengan asesmen kinerja berbasis masalah, maka
dalam penelitian ini peneliti memilih masalah Sciense dan Matematika yang
terdapat pada pada hasil-hasil penelitian pendekatan problem solving baik
yang telah dipublikasikan melalui jurnal ilmiah maupun yang belum
dipublikasikan.
Menurut Wena, M dalam Suharsono, kemampuan problem solving
sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran
sependapat bahwa kemampuan problem solving dalam batas-batas tertentu,
dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan11
Saat ini, problem solving banyak dijadikan sebagai komponen utama
kurikulum di berbagai negara (AAAS, 1993; NCSS, 1997; NCTE, 1996;
NCTM 1989, 1991). Misalnya, dalam Standar Kurikulum Badan Guru
Matematika Nasional (NCTM) 1989, dinyatakan bahwa: Problem solving
hendaknya menjadi perhatian utama dalam kurikulum matematika. Problem
solving senantiasa menjadi tujuan pembelajaran utama dan selalu dijadikan
bagian dalam aktivitas pembelajaran matematika. Problem solving bukanlah
topik yang terpisah, namun merupakan sebuah proses yang harus selalu ada
dalam setiap program pembelajaran dan menyediakan konteks yang
menyediakan ruang bagi pengembangan konsep dan keterampilan” (NCTM,
1989).12
11 Wena, M, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) p.53 12 Jamie Kirkley, Principles for Teaching Problem Solving (USA:Indiana University, 2003)p.1
12 Definisi kemampuan problem solving menurut PISA:
...kemampuan individu untuk menggunakan proses kognitif untuk
mengatasi dan memecahkan masalah lintas bidang ilmu dalam
kehidupan nyata, di mana cara problem solvingtidak tersurat dengan
jelas dan melibatkan lebih konten-konten dalam lebih dari satu bidang
ilmu, matematik, sains, atau bahasa.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa:13
a. Setting masalah yang disajikan haruslah nyata. Masalah harus
merepresentasikan konteks yang dekat dengan kehidupan sehari-hari
siswa.
b. Masalah yang disajikan tidak dapat dipecahkan secara langsung hanya
dengan menggunakan pengetahuan atau keterampilan yang siswa
sudah peroleh sebelumnya atau pernah dipraktikkan di sekolah.
masalah yang ditampilkan harus berupa permasalahan baru yang
memungkinkan siswa berpikir mengenai hal yang harus dilakukan.
c. Masalah tidak boleh hanya dibatasi dalam satu konten bidang studi
yang pernah dipelajari siswa atau dipraktikkan di sekolah.
Polya, mengartikan problem solving sebagai suatu usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu
mudah segera dapat dicapai.14 Sedangkan problem solving menurut
McGivney dan DeFranco, meliputi dua aspek, yaitu masalah untuk
menemukan (problem to find) dan masalah membuktikan (problem to
prove).15 Pendapat lain dari Dess yang melihat problem solving sebagai suatu
kegiatan, yaitu merupakan kegiatan manusia dalam menerapkan konsep-
konsep dan aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya.16
13 Programme for International Student Assessment, Problem Solving for Tomorrow’s World (OECD, 2003) p. 26-28 14G. Polya, op. cit., pp. 23-25. 15J.M. McGivney & T.C. DeFanco, op. cit., 552- 555. 16R. L Dess, The Role of Cooperative Learning In Increasing Problem-Solving Ability In A
College Remedial Course. Journal for Research in Mahematics Education. Vol. 5, 1996, pp.407-421.
13
sebagai aktivitas mental kompleks yang mengandung berbagai kegiatan dan
keterampilan kognitif. Problem solving menuntut keterampilan berpikir
tingkat tinggi seperti “visualisasi, asosiasi, abstraksi, pemahaman, manipulasi,
penjelasan, analisis, sintesis, generalisasi-yang harus diorganisasikan dan
dikoordinasikan satu sama lain”.17
Menurut Dahar, problem solving adalah merupakan kegiatan yang
melibatkan pembentukan aturan-aturan tingkat tinggi. Untuk keperluan
tersebut diperlukan seseorang untuk memiliki dahulu sebagai prasyarat-
prasyarat adalah:
ATURAN-ATURAN TINGKAT TINGGI
17 Jamie Kirkley, Principles for Teaching Problem Solving (Indiana: Indiana University,
2003)p.3 18 Dahar, R. W.,Teori-Teori Belajar (Jakarta:Dikti, 1988)
Prasyarat
Prasyarat
Prasyarat
Prasyarat
14
solving matematika menjadi tiga pengertian yang berbeda. Pertama, teaching
via problem solving. Problem solving matematika dalam hal ini difokuskan
pada bagaimana mengajarkan isi atau materi matematika. Kedua, teaching
about problem solving. Hal ini melibatkan strategi pembelajaran dengan
pendekatan problem solving matematika secara umum. Ketiga, teaching for
problem solving. Pendekatan ini dimaksudkan sebagai suatu cara tentang
bagaimana memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk
memecahkan masalah matematika yang dihadapi.19 Anderson mendukung
pengertian yang ketiga di atas dengan memberi penekanan pada aspek strategi
yang dipilih oleh siswa dalam memecahkan masalah.20
Utari, menegaskan bahwa problem solving dapat berupa menciptakan
ide baru, menemukan tehnik atau produk baru. Bahkan di dalam pembelajaran
matematika, selain problem solving mempunyai arti khusus, istilah tersebut
juga mempunyai interpretasi yang berbeda. Misalnya menyelesaikan soal
cerita atau soal yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Dari sejumlah pengertian tersebut, dapat dikatakan
bahwa problem solving merupakan usaha nyata dalam rangka mencari jalan
keluar atau ide yang berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai.21
Pentingnya kegiatan problem solving dalam pembelajaran matematika
terlihat dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh NCTM untuk pembelajaran
matematika. Problem solving merupakan rekomendasi pada urutan pertama.
Untuk lebih jelasnya isi rekomendasi tentang problem solvingtersebut: (1) the
mathematics curriculum should be organized around problem solving, (2) the
definition and language of problem
19 A. J. Baroody & R.T.C. Niskayuna, Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8.
Helping Children Think Mathematically (New York: Merill, 1993), pp. 45-47. 20 J. Anderson, Some Teachers’ Beliefs And Perseptions Of Problem Solving In P.C Clarkson
(Ed). Technology ini Mathematics Education (Melbourne: Mathematics Education Research Group of Australia, 1996), pp. 30-37.
21Utari Sumarmo, Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Matematika pada Guru dan Siswa SMP (Bandung: IKIP Bandung, 1994), pp.8-11.
15
solving in mathematics should be developed, (3) mathematics teachers should
create classroom environment in which problem solving can flourish, (4)
appropriate curricular materials to teach problem solving should be
developed.22
Inti dari rekomendasi NCTM tentang problem solving di atas, yaitu
problem solvingsebagai tujuan, proses dan keterampilan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Branca bahwa terdapat tiga interpretasi umum mengenai
pemecahan masalah, yaitu (1) problem solving sebagai tujuan (goal) yang
menekankan pada aspek mengapa matematika diajarkan di sekolah. Hal ini
berarti bahwa problem solving bebas dari materi khusus dan sasaran yang
ingin dicapai adalah bagaimana cara memecahkan masalah matematika. (2)
problem solving sebagai proses (process) diartikan sebagai kegiatan yang
aktif. Dalam hal ini penekanan utamanya terletak pada metode, strategi atau
prosedur yang digunakan oleh siswa dalam meyelesaikan masalah hingga
mereka menemukan jawaban, dan (3) problem solving sebagai keterampilan
(basic skill) menyangkut dua hal, yaitu: (a) keterampilan umum yang harus
dimiliki oleh siswa untuk keperluan evaluasi, dan (b) keterampilan minimum
yang diperlukan siswa agar dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.23 Menurut Lovitt dan Lowe, bahwa baik rekomendasi dari NCTM
dan pendapat Branca tentang problem solving matematika, maka dapat
dikatakan bahwa problem solving tidak hanya berfungsi sebagai pendekatan,
akan tetapi juga sebagai tujuan.24
Dalam interpretasi problem solving sebagai proses, untuk materi dan
siswa pada berbagai tingkat sekolah terdapat keserupaan langkah atau strategi
pemecahan masalah. Polya, mengemukakan empat langkah utama dalam
problem solving yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan solusi atau
22NTCM, An Agenda for Action: Recommendation for School Mathematics (Reston Virgnia,
1980), pp. 2-5. 23N.A. Branca, Problem Solving as A Goal, Proses, and Basic Skill. In S. Krulik and R.E. Reys
(Ed). Problem Solving in School Mathematics (Washington DC: NTCM, 1980), pp.35. 24C. Lovitt & I. Lowe, Problem Solving in Mathematics: Chance and Data. In M. Horne and M.
Suplle (Eds). Mathematics Meeting the Challenge (Melbourne: The Mathematical Assocition of Victoria, 1992), pp. 46-52.
16 penyelesaian, (3) melaksanakan rencana, dan (4) memeriksa kebenaran proses
dan menemukan jawaban itu sendiri.25
Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang siswa, sehingga
dikategorikan sebagai good problem solver dalam pembelajaran matematika
sebagaimana dikemukakan Suydam, yaitu siswa mampu: (1) memahami
konsep dan terminologi, (2) menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi, (3)
menyeleksi prosedur dan variabel yang benar, (4) memahami ketidak
konsistenan konsep, (5) membuat estimasi dan analisis, (6) menvisualisasikan
dan menginterpretasikan data, (7) membuat generalisasi, (8) menggunakan
berbagai strategi, (9) mencapai skor yang tinggi dan baik hubungannya
dengan siswa lain, dan (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes
kecemasan.26
menyelesaikan masalah hingga menemukan jawaban soal.
C. Pembelajaran Problem Solving
Problem solving dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Problem solving tidak sekedar sebagai bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi. Apabila seseorang telah mendapatkan suatu kombinasi perangkat aturan yang terbukti dapat dioperasikan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi maka ia tidak saja dapat memecahkan suatu masalah, melainkan juga telah berhasil menemukan sesuatu yang baru.
25G. Polya, op. cit., pp. 5- 14. 26M.N. Suydam, Untangling Clues From Research on Problem Solving. In S Krulik and R. E.
Reys (Eds). Yearbook. Problem Solving in School Mathematics (Virginia: NCTM, 1980), pp. 35-50
17
kelak di masyarakat. Untuk menghasilkan siswa yang memiliki kompetensi
yang andal dalam pemecahan masalah, maka diperlukan serangkaian strategi
pembelajaran pemecahan masalah. Berdasarkan kajian beberapa literatur
terdapat banyak strategi problem solving yang kiranya dapat diterapkan dalam
pembelajaran.
mengenai pengembangan kemampuan problem solving abstrak
(dekontekstualisasi), seseorang dapat menggunakan kemampuan ini dalam
berbagai situasi (konteks).27
masalah:28
Tahap-tahap problem solving di sekolah oleh pelajar, dalam hal ini
yang dimaksudkan adalah problem solving soal, menurut Melters adalah:29
a. Tahap analisis masalah untuk mendapatkan rumusan masalah dan menyimpulkan data yang ada
b. Tahap perencanaan pemecahan masalah memecahkan rumus standar meneliti hubungan antar konsep membuat transformasi
c. Tahap melakukan perhitungan d. Tahap pengecekan 27 Jamie Kirkley, op. cit., pp. 3 28 Wena, M, op. cit., pp. 56 29 Arifin, M, dkk. op. cit., pp. 98
18
a. Saya mampu/bisa (I can)
Tahap membangkitkan motivasi dan membangun/menumbuhkan
keyakinan diri siswa
b. Mendefinisikan (Define)
gambar grafis untuk memperjelas permasalahan
c. Mengeksplorasi (Explore)
dihadapi
dan menggunakan flowchart untuk menggambarkan permasalahan yang
dihadapi
mungkin untuk memecahkan masalah yang dihadapi
f. Mengoreksi kembali (Check)
mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan
g. Generalisasi (Generalize)
pelajari dalam pokok bahasan ini? Bagaimanakah agar problem
solvingyang dilakukan bisa lebih efisien? Jika problem solving yang
dilakukan masih kurang benar, apa yang harus saya lakukan? Dalam hal
ini dorong siswa untuk melakukan umpan balik/ refleksi dan mengoreksi
kembali kesalahan yang ada.
19
empat tahap:31
Salah satu contoh model problem solving ini adalah model IDEAL
dari Bransford yang terdiri atas tahapan:32
a. Mengidentifikasi masalah
tahap ini guru membimbing siswa untuk memahami aspek-aspek
permasalahan, seperti membantu untuk mengembangkan/menganalisis
permasalahan, mengajukan pertanyaan, mengkaji hubungan antardata,
memetakan masalah, mengembangkan hipotesis-hipotesis
tersebut dan memilih informasi yang relevan
Dalam tahap ini kegiatan guru meliputi membantuu dan membimbing
siswa, melihat hal/data/variabel yang sudah diketahui dan hal yang belum
diketahui, mencari berbagi informasi yang ada dan akhirnya merumuskan
permasalahan
melihat dari berbagai sudut pandang
Dalam tahap ini kegiatan guru adalah membantu dan membimbing
siswa mencari berbagai alternatif pemecahan masalah, melakukan
brainstorming, melihat alternatif problem solving dari berbagai sudut
pandang dan akhirnya memilih satu alternatif problem solvingyang
paling tepat
31 Wena, M, op. cit., pp. 60 32 Jamie Kirkley, op. cit., pp. 3
20 d. Mengaplikasikan strategi problem solving
Melakukan langkah-langkah problem solving sesuai dengan
alternatif yang telah dipilih. Dalam tahap ini siswa dibimbing secara tahap
demi tahap dalam melakukan pemecahan masalah
e. Mengevaluasi efek dari solusi yang dipilih
Dalam tahapan ini kegiatan guru adalah membimbing siswa
melihat/mengoreksi kembali cara-cara problem solving yang telah dilakukan,
apakah sudah benar, sudah sempurna, atau sudah lengkap.n Di samping itu,
siswa juga dibimbing untuk melihat pengaruh strategis yang digunakan dalam
pemecahan masalah.
Model ideal ini serupa dengan model lainnya dan masih dipergunakan
dalam berbagai seting pelatihan akademik maupun perusahaan, dan bukan
sebagai bagian dari kurikulum atau lingkungan kerja nyata.
Penelitian kognitif selama 20 tahun terakhir telah melahirtkan model
problem solving yang baru. Sekarang kita menganal bahwa problem solving
memuat komponen kognitif, perilaku, dan sikap. Pada tahun 1983, Mayer
mendefinisikan problem solving sebagai proces multi langkah di mana
seseorang harus menemukan adanya hubungan antara pengalaman lalu
(skema) dengan masalah yang sedang dihadapi lalu melakukan tindakan untuk
memecahkannya. Mayer menyebutkan tiga karakteristik problem solving:33
1. Problem solving merupakan tindakan kognitif namun dilakukan
berdasarkan perilaku
3. Problem solving meruapakn sebuah proses yang melibatkan
manipulasi atau operasi atas pengetahuan sebelumnya (Funkhouser
and Dennis, 1992).
Proses problem solving ditunjukkan pada gambar 2 berikut (Gick, 1986)
33 Jamie Kirkley, op. cit., pp. 4
21
Model ini mengidentifikasi tahapan dasar ketiga aktivitas kognitif dalam
problem solving:
yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan serta kondisi masalah
b. Pencarian solusi, meliputi mendefinisikan tujuan dan
mengembangkan rencana solusi untuk mencapai tujuan
c. Mengimplementasikan solusi, meliputi eplikasi rencana dan
mengevaluasi hasil tindakan/solusi.
pengetahuan, yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural
(Gagne, 1985). Pengetahuan deklaratif sangat erat berhubungan dengan
pengetahuan kontekstual.
materi atau pengetahuan faktual dalam sebuah bidang ilmu atau domain
keterampilan
memiliki struktur tersusun secara kontinyu dari mulai yang terstruktur
dengan baik, sedang, dan kurang baik (Newell & Simon, 1972). Posisi
masalah akan menentukan cara pemecahannya
22 D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan problem solving
siswa
seluruh dunia dilihat dari perbedaan gender, pekerjaan orang tua, tingkat
pendidikan orang tua, struktur keluarga, tempat lahir dan bahasa sehari-hari34.
1. Kemampuan problem solving dilihat dari perbedaan gender
Hasil studi PISA 2003 menunjukkan adanya perbedaan kemampuan
dalam beberapa aspek yang diukur, misalnya dalam tes membaca, siswa
perempuan umumnya lebih unggul daripada laki-laki, sedangklan siswa laki-
laki lebih unggul dalam matematika.
Menurut paparan sebelumnya, menganai adanya korelasi yang kuat
antara kemampuan analitis yang diperlukan dalam bidang matematika dan
problem solving, begitu juga korelasi antara hasil penilaian terhadap kedua
bidang tersebut dalam tes PISA.
Kemampuan matematis siswa laki-laki dapat disebabkan karena
mereka menguasai matematika lebih baik daripada siswa perempuan atau
karena mereka telah memiliki keterampilan generik yang membantu mereka
memecahkan masalah matematis. Gambar di bawah menunjukkan perbedaan
gender dalam penilaian kemampuan problem solving. Diagram batang di
sebelah kanan garis menunjukkan siswa laki-laki memiliki kemampuan lebih
tinggi daripada siswa wanita.
34 PISA, Problem Solving for Tomorrow’s World, 2003. pp 104 - 118
23
Kemampuan Problem solving berdasarkan Gender
Dengan jelas, terlihat bahwa di beberapa negara, seperti Indonesia, Tailand, Islandia, Norwegia, dan Swedia, siswa perempuan memiliki kemampuan problem solving lebih baik daripada laki-laki dengan besar perbedaan sebesar 30 poin. Kemampuan siswa perempuan ini berada pada level 3. Sebaliknya, di Macao-Cina, siswa laki-laki memiliki kemampuan lebih baik.
24
Gambar 2.4 Kemampuan Problem solving setiap level gender
Gambar 2.4 menunjukkan persentase siswa laki-laki dan perempuan
yang memiliki kemampuan rpoblem solving di bawah level 1 dan yang
menempati level 3. Perbandingan ini menunjukkan bahwa di beberapa negara
siswa laki-laki lebih banyak memiliki kemampuan pada level 3 dan di bawah
level 1. Di negara-negara OECD pada umumnya, 18% siswa laki-laki dsan
16% siswa perempuan berada di bawah level 1, dan 19% siswa laki-laki dan
18% siswa perempuan mampu mencapai level 3. Dapat dikatakan bahwa
variansi kemampuan problem solving siswa laki-laki lebih besar daripada
siswa perempuan, sedangkan siswa perempuan memiliki kemampuan problem
solving yang hampir merata. Rata-rata standar deviasi kemampuan problem
25
solving siswa laki-laki pada negara-negara OECD lebih tinggi 6 poin daripada
siswa perempuan. Hal ini terlihat di Hongkong-Cina. Sedangkan di Polandia,
Portugis, Turki dan Lichensdtein, standar deviasi untuk siswa laki-laki lebih
besar atau sama dengan 12 poin daripada siswa perempuan.
Namun, di Indonesia, hal ini tidak nampak, di mana persentase
siswa perempuan dan laki-laki yang memiliki kemampuan problem solving di
bawah level 1 hampir sama, dengan hanya sangat sedikit siswa yang memiliki
kemampuan pada level 3. Walaupun terdapat data, namun PISA tidak bisa
menjelaskan penyebab pasti dari adanya pengaruh perbedaan gender terhadap
kemampuan problem solving di beberapa negara. Walaupun mungkin salah
satu faktornya adalah perbedaan jumlah siswa perempuan dan laki-laki dalam
suatu negara, seperti yang terjadi di Islandia, di mana jumlah siswa
perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Di lain pihak, beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan
problem solving siswa perempuan dan laki-laki relatif sama, seperti di
Belanda, Yunani dan Itali.
Status pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat
sosioekonomi siswa, yang diyakini ada hubungannya dengan tingkat
kemampuan problem solving siswa. Terdapat perbedaan kemampuan problem
solving siswa dengan tingkat sosioekonomi tinggi (orangtua bekerja dalam
bidang kesehatan, dosen, dan hukum) dibandingkan dengan yang memiliki
tingkat sosioekonomi rendah (orangtua bekerja sebagai petani kecil,
penegamudi, dan pelayan restoran) yang mencapai 76 poin. Gambar 2.5
menunjukkan rata-rata kemampuan problem solving siswa pada setiap tingkat
sosioekonomi. Panjang garis yang berbeda menunjukkan perbedaan
kemampuan problem solving berdasarkan tingkat sosioekonomi siswa di
setiap negara.
tinggi memiliki rata-rata skor kemampuan problem solving sebesar 542 atau
26 lebih besar 42 poin di atas rata-rata negara OECD. Sedangkan rata-rata skor
kemampuan problem solving siswa dengan tingkat sosioekonomi rendah
hanya mencapai 465. Artinya, siswa yang tingkat sosioekonominya rendah
pada umumnya hanya menunjukkan kemampuan pada level 1 (basic problem
solvers), sedangkan siswa dengan tingkat sosioekonomi tinggi umumnya
menunjukkan kemampuan di level 2. Namun, perbedaan ini tidak tampak
pada beberapa negara.
Orang Tua
tingkat pendidikan orang tua (OECD 2000). ISCED (International Standard
Classification of Education) megklasifikasikan tingkat pendidikan tertinggi di
27
tua terhadap kemampuan problem solving. Pengaruh yang terbesar terlihat di
negara Republik Chenya, Hungaria, Polandia, dan Republik slovakia.
Sedangkan pengaruh yang terkecil nampak di Brazil, Indonesia, Hongkong-
Cina, dan Tunisia. Pengaruh ini justru tidak terlihat di negara Macao-Cina.
Walaupun menurut hasil studi PISA sebelumnya dan data pada
gambar 2.6, disinyalir ada pengaruh tingkat pendidikan orangtua terhadap
kemampuan problem solving, namun kita tidak dapat menmukan adanya
generalisasi hubungan konsisten antara keduanya untuk setiap negara.
Gambar 2.6
.
28 4. Kemampuan Problem solving Dilihat Dari Struktur Keluarga
Struktur keluarga merupakan salah satu faktor lain yang memengaruhi kemampuan probelm solving siswa. Misalnya, siswa yang hidup dengan orang tua tunggal akan memperoleh dukungan yang lebih minim dibandingkan siswa yang hidup dengan kedua orangtua. Gambar 2. 7 menunjukkan pengaruh struktur keluarga dan pengaruhnya terhadap kemampuan problem solving.
Di negara-negara OECD, antara 11-33% siswa hidup hanya dengan orangtua tunggal, dan mereka menunjukkan kemampuan probelm solving rata-rata 23 poin lebih rendah daripada mereka yang hidup dengan orangtua lengkap atau dengan dua wali. Di 16 negara, pengaruh ini tidak terlihat signifikan (Korea, Austria dan Protugis), berbeda dengan yang ditermukan di AS dan Belgia. Adapun di Mexico dan Turki dengan angka siswa yang hidup dengan orangtua tunggal terbanyak, pengaruh ini cukup kecil, namun cukup signifikan.
Gambar 2.7
29
5. Kemampuan Problem Solving Dilihat dari Tempat Lahir dan Bahasa
Sehari-Hari
Dalam studi PISA, status imigrasi diketahui melalui wawancara, lalu
hasilnya dikategorikan menjadi siswa asli (native), yaitu siswa dan
orangtuanya yang lahir di negara tempat uji PISA, atau generasi pertama
siswa dilahirkan di negara uji PISA, namun orangtuanya lahir di negara lain
dan siswa asing (nonnative), yaitu mereka yang dilahirkan di negara lain.
Pengaruh tempat kelahiran terhadap kemampuan problem solving ditunjukkan
dalam gambar 2.8.
Siswa generasi pertama dan siswa nonnative di negara-negara OECD
menunjukkan kemampuan problem solving 26 poin dan 36 poin lebih rendah
daripada siswa native. Namun negara-negara yang menjadikan bahasa Inggris
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, walaupun tingkat imigrasinya tinggi,
pengaruh ini sangat kecil. Di beberapa negara Eropa (Belgia, Perancis,
Jerman, dan Swiss) persentase siswa nonnative dan generasi pertama antara
12-20%, perbedaan kemampuan problem solving dengan siswa native tidak
terlalu besar.
berbeda dengan bahasa nasional, memiliki skor rata-rata kemampuan problem
solving 39 poin lebih rendah daripada mereka yang berbicara dengan bahasa
yang sama dengan bahasa pada soal PISA atau bahasa nasional. Pengaruh
tidak berkaitan dengan persentase siswa yang berbicara bukan dalam bahasa
nasional di rumahnya.
Sehari-Hari
Tujuan pengajaran Sains (IPA) dan Matematika, menurut
Rutherford dan Ahlgren (1990) agar siswa dapat memakai pengetahuan IPA
dan matematika dari dunia nyata dan memiliki kebiasaan berpikir IPA dan
matematika pada waktu yang bersamaan. Oleh karena itu perlu dijembatani
jurang antara IPA dan matematika sekolah dengan IPA dan matematika dunia
nyata.
31
Pertanyaan klasik yang sering muncul apabila kita akan membahas
mengenai sains adalah apakah itu sains? Istilah sains secara umum mengacu
kepada masalah alam (nature) yang dalam penelitian ini, pengertian
pengajaran sains dibahas dalam konteks lima definisi sains, yaitu: sains
sebagai gejala alam, sebagai kegiatan manusia, sebagai bidang ilmu, sebagai
proses untuk mengetahui, dan sains sebagai mata pelajaran sekolah. Berikut
ini uraian dari lima definisi sains tersebut.
a. Sains sebagai Gejala Alam
Berdasarkan definisi ini, pengetahuan sains dapat dilihat disekitar
kehidupan manusia. Sains dan pengetahuan sains dirumuskan berdasarkan
pengamatan terhadap gejala alam yang ada. Pengertian yang diperoleh dengan
cara ini sangat mungkin berbeda-beda karena pengertian yang dirumuskan
bergantung pada bagaimana dan siapa yang melakukan pengamatan dan
merumuskan pengertian terhadap apa yang telah diamati.
Definisi pengetahuan sains diberikan Ziman (1980) yang menyatakan
bahwa apa yang diajarkan dalam sains hanyalah beberapa aspek dari
penampakan obyek atau gejala. Jadi pengetahuan sains terbatas pada apa yang
berhasil diamati di alam semesta. Manusia mempelajari keadaan alam semesta
dengan menggunakan inderanya, seperti mata, telinga, tangan, mulut dan
hidung. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa mengenal alam semesta melalaui
indranya. Sebaliknya jika kita tidak melihat, mendengar dan merasakan, kita
tidak mengetahui apa yang ada disekitar kita, kita juga tidak mengetahui
sesuatu yang sedang berlangsung disekitar kita, kita juga tdak mungkin
mempunyai ide tentang keadaan alam semesta.
b. Sains Sebagai Kegiatan Manusia
Berdasarkan pandangan ini, sains didefinisikan sebagai hasil kegiatan
manusia. Sebagaian besar kegiatan yang dilakukan manusia sangat dekat
dengan sains dan pengetahuan sains. Newton (1988: 23) menyatakan bahwa
sains bertujuan untuk memenuhi keingintahuan manusia. Oleh karena itu,
32 sains dan pengetahuan sains tidak dapat dilepaskan dari aspek kejiwaan
manusia, seperti perasaan, sikap dan perilaku. Newton lebih jauh menyatakan
bahwa sains terkadang memberikan kepuasan dan kesenangan, namun juga
tidak jarang menimbulkan frustasi dan kekecewaan. Sebagai kegiatan
manusia, sains memerlukan moral dan etika perbuatan. Sains menuntut
kejujuran, integritas, keterbukaan, penghargaan terhadap fakta, teori dan
argumentasi. Karakteristik ini harus menginspirasi pengajaran sains.
,
Sebagai bidang ilmu sains dikelompokan menjadi dua, yaitu ilmu
murni, (pure science) dan ilmu terapan (applied science), walaupun pada
kenyataannya kedua bidang ilmu tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Dalam pandangan umum, bidang sains murni dikaitkan dengan bidang
ilmu murni seperti Biologi, Kimia, dan Fisika, serta cabang-cabangnya seperti
mikrobiologi, genetika, ekologi. Sedangkan sains terapan dikaitkan dengan
bidang ilmu seperti Pertanian, Kedokteran, Perikanan, dan lain-lain.
d. Sains Sebagai Proses untuk Mengetahui
Sains sebagai proses untuk mengetahui juga dikenal dengan sains
sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Berdasarkan
pandangan ini, sains dikaitkan dengan proses atau metode yang dikenal
dengan metode ilmiah.
akhirnya digeneralisasi. Dalam hal ini indra manusia (mata, telinga, hidung,
lidah dan tangan) memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Generalisasi yang melampaui fakta yang tidak tercakup dalam
pengamatan dapat membantah pemikiran induktif. Sebaliknya, menurut
pandangan deduktif, pengetahuan terhadap suatu gejala diperoleh berdasarkan
33
teori atau hukum yang telah dirumuskan. Menurut pandangan deduktif suatu
gejala dapat dijelaskan dengan teori dan hukum yang telah dirumuskan.
e. Sains sebagai Mata Pelajaran Sekolah
Di sekolah, sains dikenal sebagai mata pelajaran, seperti Biologi,
Kimia, dan Fisika. Pembelajaran sains di sekolah umumnya dikaitkan dengan
dua aspek sains, yaitu sebagai bidang ilmu dan sebagai proses untuk
mengetahui. Alters menyatakan bahwa kebanyakan buku-buku sains yang ada
memaparkan keadaan sains secara alamiah.35 Selanjutnya DeBoer36
mengarisbawahi bahwa semua bidang pelajaran mengandung bidang ilmu
yang telah dirumuskan dan serangkaian proses yang mencakup perkembangan
ilmu tersebut. Kedua aspek ini selalu menjadi bagian dari tujuan pembelajaran
sains disamping tujuan lainnya. Sebagai contoh, Curriculum Standard
frameworks (CSF) negara bagian Victoria Australia menetapkan topik-topik
sains yang diajarkan dari tahun pertama hingga tahun ketujuh meliputi:
natural and processed material (materi alam dan buatan), physical world
(dunia fisik), earth and beyond (bumi dan alam semesta), life and living
(hidup dan kehidupan). Setiap topik terdiri atas beberapa subtopik, misalnya
topik materi alam dan buatan mencakup subtopik struktur materi, sifat-sifat,
dan pengunaannya, serta reaksi dan perubahannya.
Jika menggunakan sudut pandang yang lebih menyeluruh, sains
seharusnya dipandang sebagai cara berpikir (a way of thinking) untuk
memeroleh pemahaman tentang alam dan sifat-sifatnya, cara untuk
menyelidiki (a way of investigating) bagaimana fenomena-fenomena alam
dapat dijelaskan, sebagai batang tubuh pengetahuan (a body of knowledge)
yang dihasilkan dari keingintahuan (inquiry) orang. Menggunakan
pemahaman akan aspek-aspek yang fundamental ini, seorang guru sains (IPA)
35 Brian J Alter. Whose Nature of Science. Journal of Research in Science Teaching. (1997).
pp. 39 – 55. 36 George E De Boer. A History of Ideas In Science Education: Implication for Practice.
Teacher College Press. (New York, 1971), p. 217
34 dapat terbantu ketika mereka menyampaikan pada para siswa gambaran yang
lebih lengkap dan menyeluruh tentang semesta sains.
f. Sains sebagai cara untuk berpikir (Way of Thinking)
Sains merupakan aktivitas manusia yang dicirikan oleh adanya proses
berpikir yang terjadi di dalam pikiran siapapun yang terlibat di dalamnya.
Pekerjaan para ilmuwan yang berkaitan dengan akal, menggambarkan
keingintahuan manusia dan keinginan mereka untuk memahami gejala alam.
Masing-masing ilmuwan memiliki sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang
memotivasi mereka untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka
temui di alam. Ilmuwan digerakkan oleh rasa keingintahuan yang sangat
besar, imajinasi, dan pemikiran dalam penyelidikan mereka untuk memahami
dan menjelaskan fenomena-fenomena alam. Pekerjaan mereka termanifestasi
dalam aktivitas kreatif dimana gagasan-gagasan dan penjelasan-penjelasan
tentang fenomena alam dikonstruksi di dalam pikiran.
g. Sains sebagai cara untuk menyelidiki (Way Of Investigating)
Siapa saja yang berkeinginan memahami alam dan menyelidiki
hukum-hukumnya harus mempelajari gejala alam/peristiwa alam dan segala
hal yang terlibat di dalamnya. Petunjuk-petunjuk yang ada pada gejala alam
pada kenyataannya telah tertanam di alam itu sendiri.
Sains terbentuk dari proses penyelidikan yang terus menerus. Hal
yang menentukan sesuatu dinamakan sebagai sains adalah adanya pengamatan
empiris. Jika ketajaman perhatian kita pada fenomena alam ditandai dengan
adanya penggunaan proses ilmiah seperti pengamatan, pengukuran,
eksperimen, dan prosedur-prosedur ilmiah lainnya, maka itulah pengetahuan
ilmiah.
35
h. Sains Sebagai Batang Tubuh Pengetahuan (A Body Of Knowledge)
Sains merupakan batang tubuh pengetahuan yang terbentuk dari
fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hipotesis-hipotesis, teori-teori,
dan model-model membentuk kandungan (content) sains. Pembentukan ini
merupakan proses akumulasi yang terjadi sejak zaman dahulu hingga
penemuan pengetahuan yang sangat baru.
2. Hakekat Matematika dan Pembelajaran Matematika
Matematika dikenal dengan ilmu eksak atau ilmu pasti.
Berdasarkan etimologis, kata matematika mempunyai arti “ilmu pengetahuan
yang diperoleh dari bernalar”.37 Menguasai ilmu matematika sama dengan
kemampuan menangani angka dengan baik dan berpikir logis.
Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικ - mathmatiká)
adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para
matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan konjektur
baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang
kaku dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian.38
Matematika timbul karena pikiran manusia yang berhubungan
dengan ide, proses, dan penalaran yang terdiri dari aritmetika, aljabar,
geometri, dan analisa. Matematika juga dipandang sebagai ratunya ilmu,
maksudnya bahwa matematika itu tidak bergantung kepada bidang studi lain,
merupakan dasar ilmu pengetahuan dan untuk dapat memahaminya
membutuhkan simbol dan istilah yang telah disepakati bersama.
Simbol dan istilah yang menjadi inti dari matematika, terorganisasi
mulai dari unsur yang tidak terdefinisi dan yang didefinisikan ke aksioma atau
postulat, hingga membentuk dalil atau teorema. Aksioma merupakan hal yang
37 Erman Suherman, et al. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Bandung: UPI,
2003), h.18. 38 “Matematika”, http://id.wikipedia.org/wiki/Matematika#cite_note-1 diakses 3 Oktober 2011,
pukul 06.00
36 mendasar dari matematika karena merupakan suatu pernyataan yang dianggap
benar dan hal-hal yang mudah diterima.39 Dalil atau teorema dalam
matematika bisa digunakan, jika sudah dibuktikan menggunakan aksioma atau
postulat. Berdasarkan elemen-elemenenya, matematika dinamakan juga
sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematik, memiliki sifat bahasa simbol
yang efektif, keteraturan yang indah, serta kemampuan analisis kuantitatif.40
Berbagai makna matematika dipaparkan oleh para ahli, diantaranya
sebagai berikut:
pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,
tetapi matematika utamanya untuk membantu manusia dalam
memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam,
matematika dipandang sebagai suatu hal untuk menyelesaikan
persoalan.
2. James dan James (1976) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu
tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep
yang berhubungan satu sama lain yang terbagi kedalam tiga bidang,
yaitu aljabar, analisis dan geometri.
3. Reys, dkk (1984) mengatakan bahwa matematika adalah analisis
tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni,
suatu bahasa, dan suatu alat.41
Dengan kata lain, belajar matematika sama dengan belajar logika,
kedudukan matematika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai ilmu dasar.
Langkah awal yang harus ditempuh untuk dapat berkecimpung di dunia sains,
teknologi atau disiplin ilmu lainnya adalah menguasai alat atau ilmu dasarnya,
39 Wono Setya Budhi, “Mengajar Matematika agar Tumbuh Pengalaman Bermatematika”,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, (UIN Jakarta: September, 2010)
40 Utari Sumarmo, ”Berpikir Matematika Tingkat Tinggi: Eksperimen dengan Siswa dan Mahasiswa Melalui Beragam Pendekatan dan Strategi”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, (UIN Jakarta:September, 2010), h.3
41 Erman Suherman, op.cit., h.18-19
37
menyelesaikan suatu masalah.
para ahli, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah dasar dari ilmu
pengetahuan yang membentuk logika, konsep-konsep, pola, dan merupakan
suatu alat yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
F. Konsep Meta-Analisis
menggabungkan hasil temuan beberapa penelitian yang berbeda, atas suatu
(atau beberapa) hipotesis atau teori yang sama.42
Metode-metode ini digunakan untuk meringkas, merangkum dan
memperoleh intisari hasil temuan dari sejumlah penelitian. Beberapa metode
atau teknik statistik yang sering digunakan dalam meta-analisis, antara lain:
himpunan metode Rosenthal, himpunan metode Cooper, dan metode Glass.
Penelitian ini akan menggunakan metode/teknik analisis menurut Glass, Mc
Graw dan Smith (1981).
perkataan meta-analisis merupakan analisis statistik atau analisis integratif
tentang hasil analisis penelitian-penelitian. Meta analisis bersifat kuatitatif,
dan memakai analisis statistik untuk memperoleh sari informasi yang berasal
dari sejumlah data dari penelitian-penelitian sebelumnya. Meta-analisis juga
harus bersifat primer, karena diperlukan rata-rata tiap kelompok eksperimen,
kelompok kontrol, dan simpangan baku kelompok kontrol.
Melakukan meta-analisis dari suatu hasil-hasil penelitian pada
dasarnya untuk menarik konklusi umum dari hasil-hasil penelitian mengenai
suatu pokok permasalahan.
42 Lesile Kish. (1987). Statistical Design for Research. (New York. 1987).
38
dikonversikan menjadi besar pengaruh atau lebih dikenal dengan effect size,
dengan rumus sebagai berikut:
EX rata-rata kelompok eksperimen, KX rata-rata kelompok kontrol, dan KS simpangan baku kelompok kontrol.
Harga menunjukkan perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, yang ditentukan berdasarkan satuan simpangan baku relatif terhadap simpangan baku kelompok kontrol. Besar pengaruh pada kedua kelompok perlakun bisa bersifat negatif dan positif, bergantung selisih antara rata-rata variabel dependen (kriterion) pada kedua kelompok perlakuan. Pengaruh bersifat positif artinya pengaruh variabel yang diteliti pada kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol. Sebaliknya Pengaruh bersifat negatif artinya pengaruhnya lebih besar pada kelompok kontrol daripada kelompok eksperimen. Besar-kecilnya harga simpangan baku kontrol (SK) menentukan besar-kecil pengaruh bersifat positif dan negatif. Pada pengaruh yang bersifat positif, makin kecil simpangan baku kelompok kontrol, maka pengaruh yang berbunyi bahwa “kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok kontrol” akan menjadi besar. Begitupula untuk pengaruh yang bersifat negatif.
Kelemahan meta-analisis ialah bahwa cara ini tidak dapat menilai penelitian berdasarkan kualitas. Untuk itu peneliti yang akan melakukan meta- analisis harus mampu menilai memadai tidaknya penelitian-penelitian yang dipakai subyek, terutama dipandang dari segi metodologi. (Glass dkk dalam Toeti, 1989: 6).
Selanjutnya Slavin (1984) menyatakan bahwa meta-analisis tidak bebas dari subyektivitas. Selama melakukan meta-analisis harus diambil keputusan secara hati-hati mengenai: (a) penelitian yang akan diambil untuk disintesis, (b) variable yang dipakai untuk koding (c) bentuk koding yang akan dipakai, dan (d) bagaimana meninterpretasikan informasi yang diperoleh dari penelitian-penelitian tersebut dalam hubungannya dengan kode yang
39
G. Kajian Penelitian Meta-Analisis Yang Relevan
Beberapa hasil penelitian bersifat meta-analisis, baik yang dilakukan di luar negeri maupun di dalam negeri mencoba melihat pengaruh strategi pembelajaran terhadap hasil belajar. Penelitian (Stone, Getsi, Langer dan Glass; Schaefli, Rest,dan Thoma; Willig dalam Toeti, 1989: 7) secara umum mengungkapkan bahwa pengaruh perlakuan dalam bentuk strategi pembelajaran adalah positif atau kelompok eksperimen cenderung lebih tinggi hasilnya dibanding kelompok kontrol.
Penelitian Toeti (1989) tentang meta-analisis keefektivan strategi instruksional, yang melaporkan bahwa strategi instruksional dapat meningkatkan hasil belajar siswa dikelompok eksperimen sebanyak 1,5 kali simpangan baku kelompok kontrol. Besar pengaruh tersebut paling tinggi terdapat pada siswa SMP meskipun sifatnya tidak konsisten, dan paling rendah di TK, sedangkan ditingkat Perguruan tinggi rata-rata besar pengaruh adalah sedang namum konsisten sifatnya. Strategi instruksional selama 31 – 36 minggu memberikan pengaruh tertinggi. Hasil meta-analisis ini mengungkapkan pula bahwa ternyata pemakaian media mampu memberikan rata-rata pengaruh tertinggi, disusul oleh pengaturan bahan instruksional. Strategi bidang studi Olah Raga dan Teknik memberikan rata-rata pengaruh tertinggi, sedang Seni Rupa dan Kependidikan besar pengaruhnya adalah sedang.
Selanjutnya, penelitian Juliati (1993) tentang meta-analisis hubungan hasil belajar terhadap sikap, mengungkapkan bahwa hasil belajar matematika dan sains pada SD tidak memberikan pengaruh terhadap sikap dan strategi instruksional siswa SD tersebut. Begitupula hasil belajar matriks dan semantik pada PT juga tidak memberikan pengaruh terhadap sikap dan prestasi akademik mahasiswa. Justru pada tingkat SMA hasil belajar Botani dan Geologi memberikan pengaruh tertinggi terhadap sikap siswa SMA. Seperti halnya pada tingkat SD, pada Pegawai perubahan kerja dan jabatan juga tidak memberikan pengaruh terhadap sikap pegawai tersebut.
40
Berbeda dengan penelitian di atas, Xin Ma dan Kishor (1992) melakukan meta-analisis untuk penelitian-penelitian bersifat korelasional mengenai hubungan antara sikap terhadap matematika dengan prestasi belajar matematika. Hubungan tersebut dikaitkan dengan sejumlah Variabel dependent, yaitu tingkat, latar belakang suku, pemilihan sampel, ukuran sampel, dan tanggal publikasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada hubungan tersebut, juga tidak ada interaksi antara gender, tingkat, dan latar belakang suku pada hubungan antara sikap terhadap matematika dengan prestasi matematika.
Penelitian meta-analisis lain, yang dilakukan Kadir (2005) melaporkan bahwa secara keseluruhan rata-rata besar pengaruh strategi peta konsep terhadap proses belajar siswa adalah tergolong tinggi, yaitu kira-kira 1.73 kali simpangan baku kelompok kontrol. Ditinjau dari segi jenjang pendidikan subyek penelitian, strategi peta konsep yang diterapkan pada jenjang Guru memberikan rata-rata besar pengaruh tertinggi, sedangkan terendah adalah pada jenjang SD. Besar pengaruh bersifat konsisten terdapat pada jenjang SD.
Dari segi lama perlakuan, rata-rata besar pengaruh strategi peta konsep adalah tertinggi bila perlakuan dilakukan selama 24 minggu, dan terendah bila dilakukan selama 6 minggu. Sedangkan jika dilihat dari jenis bidang ilmu yang dieksperimenkan, strategi peta konsep yang diterapkan pada bidang Sains untuk Guru memberikan rata-rata besar pengaruh tertinggi, disusul Ekologi dan Genetik, sedangkan terendah terdapat pada bidang Mikrobiologi. Strategi peta konsep memberikan rata-rata besar pengaruh yang bersifat konsisten pada bidang Ekologi dan Genetik. Selanjutnya dari segi penambahan variabel eksperimental dalam strategi peta konsep memberikan rata-rata besar pengaruh tertinggi apabila strategi tersebut melibatkan tiga kondisi musim (Summer, Spring, Fall), selanjutnya strategi peta konsep dengan tiga kondisi pembelajaran (IW, CP, dan CP-CM) dan gender, sedangkan yang terendah bila penerapan strategi peta konsep tidak melibatkan faktor lain. Strategi peta konsep memberikan rata-rata besar pengaruh bersifat konsisten terjadi dengan melibatkan kondisi pembelajaran dan gender.
41
Penelitian ini akan dilaksanakan di berbagai Perguruan Tinggi dan
Lembaga-lembaga Penelitian yang menghasilkan publikasi penelitian secara
internasional yang melibatkan pendekatan problem solving sebagai tema atau
perlakuan penelitian. Waktu efektif pelaksanaan penelitian pada bulan April
sampai dengan Nopember 2012.
komparatif yaitu survai dan analisis terhadap hasil publikasi ilmiah hasil
penelitian baik koleksi jurnal penelitian yang ada di kepustakaan maupun
elektronik jurnal. Arikel jurnal hasil penelitian yang akan dianalisis adalah
artikel yang berkaitan dengan pembelajaran Sains dan Matematika dengan
pendekatan berbasis masalah.
Data penelitian terdiri atas 16 hasil penelitian bertemakan
pendekatan problem solving yang diambil dari jurnal hasil penelitian berskala
internasional. Ke-16 jurnal/hasil penelitian tersebut selanjutnya dipakai
sebagai unit analisis untuk penelitian meta-analisis ini. Jenis penelitian yang
akan dianalisis adalah jenis penelitian eksperimen atau kuasi-eksperimen yang
dilakukan pada satuan pendidikan (Dasar, Menengah, PT) yang melibatkan
pendekatan problem solving sebagai perlakukan (treatment).
42 D. Instrumen
pemberian kode (coding data). Adapun variabel-variabel yang dipakai dalam
koding data untuk menjaring informasi mengenai besar pengaruh pendekatan
problem solving adalah:
b. Jenjang pendidikan subyek penelitian
c. Lama waktu perlakuan
f. Pelibatan variabel moderator
h. Variabel terikat penelitian
E. Teknik Pengumpulan Data
problem solving dan kelompok kontrol dengan strategi/metode lain. Data
tentang rata-rata sub penelitian tiap-tiap kelompok ekperimen dan kelompok
kontrol serta simpangan baku kelompok kontrol diperoleh dari masing-masing
sub penelitian tersebut.
F. Analisa Data
perhitungan besar pengaruh (effect Zise) dengan rumus Glass (1981) sebagai
berikut:
K
KE
berdasarkan:
b) sLama waktu perlakuan
d) Ukuran sampel (sample size)
e) Jenis variabel moderator atau atribut yang berinteraksi dengan pendekatan
problem solving.
pendekatan problem solving terhadap hasil belajar secara keseluruhan
digunakan rumus:
n σx1.96
n = Jumlah sub-penelitian
buah yang terbagi menjadi 128 sub-penelitian. Penelitian ini telah dipublikasi
dalam jurnal internasional. Pengelompokan hasil penelitian dilakukan
berdasarkan jenjang pendidikan responden atau sampel penelitian, lama
perlakuan, bidang ilmu, jumlah sampel, dan interaksi pembelajaran dengan
pendekatan problem solving dengan moderator yang dilibatkan dalam
penelitian.
dijelaskan sebagai berikut:
1. menurut jenjang pendidikan subjek penelitian: sebanyak 9 sub-penelitian jenjang Sekolah Dasar (SD), 15 jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), 72 jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), 29 jenjang Mahasiswa, dan 3 sub-penelitian pada Pelatihan Guru;
2. menurut lama perlakuan: sebanyak 28 sub-penelitian dilakukan selama 2 minggu, 8 sub-penelitian dilakukan selama 3 minggu, dan 3 sub-penelitian dilakukan selama 6 minggu, 8 sub-penelitian dilakukan selama 8 minggu, 46 sub-penelitian dilakukan selama 4 bulan, 27 sub-penelitian dilakukan selama 1 semester, dan 8 sub-penelitian dilakukan selama 1 tahun;
3. menurut bidang ilmu: sebanyak 4 sub-penelitian bidang ilmu Fisika, 8 bidang ilmu Sains, 6 bidang Kimia, 3 bidang Agricultural, 40 bidang pembelajaran matematika sekolah, 51 bidang pembelajaran berbasis komputer, 6 bidang desain instruksional, 10 sub-penelitian bidang psikologi pembelajaran, yaitu self regulation learning;
4. menurut jumlah sampel: sebanyak masing-masing 8 sub-penelitian dengan sampel 32 dan 92 orang, 22 sub-penelitian dengan sampel 47 orang, 1 sub- penelitian dengan sampel 49 orang, masing-masing 6 sub-penelitian dengan sampel 60 dan 102 orang, masing-masing 2 sub-penelitian dengan sampel 77, 80, 86, dan 260 orang, 4 sub-penelitian dengan sampel 104 orang, 52 sub-penelitian dengan sampel 122 orang, 3 sub-penelitian
46
dengan sampel 240 orang, 10 sub-penelitian dengan sampel 268 orang, dan terdapat 2 sub-penelitian dengan sampel 620 orang;
5. menurut variabel (moderator) yang dilibatkan dengan pendekatan problem solving: sebanyak 116 sub-penelitian tidak melibatkan variabel moderator, 7 sub-penelitian melibatkan variabel gender, dan 5 sub-penelitian melibatkan gender dan matematika, sains dan kimia (Masaki).
Deskripsi data 16 hasil penelitian (7 penelitian Sains dan 9 penelitian bidang matematika) berikut judul penelitian, peneliti, institusi dan nama jurnal yang mempublikasi hasi penelitian disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Daftar Judul Artikel Dan Nama Jurnal Publikasi
No Judul Artikel Peneliti/Institusi Nama Jurnal SAINS
1. Effects of the problem solving strategies instruction on the students’ physics problem solving performances and strategy usage
1. Serap Çal1kan, 2. Gamze Sezgin Selçuk, 3. Mustafa Erol
Department of Secondary Science and Mathematics Education, Dokuz Eylül University, Buca Education Faculty, Turkey
Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010) 2239–2243, Received October 19, 2009; revised December 28, 2009; accepted January 11, 2010.
2. The Application of Problem Solving Method on Science Teacher Trainees on the Solution of the Environmental Problems
Mustafa Dogru, Akdeniz University, Antalya, TURKEY. E-mail: [email protected]
Journal of Environmental & Science Education, 2008, 3 (1), 9 – 18 ISSN 1306-3065 © 2008 by Gokkusagi Ltd. All Rights Reserved
3. The Influence Of Problem Solving On Studying Effectiveness In Physics
Svetlana Ganina1, Henn Voolaid
Address for correspondence: [email protected]
4. Effect of Problem Solving Method on Science Process Skills and Academic Achievement
Elvan NCE AKA, Ezgi GÜVEN, Mustafa AYDODU
Journal Of Turkish Science Education Volume 7, Issue 4, December 2010
47
5. The effects of students’ problem solving skills on their understanding of chemical rate and their achievement on this issue
Fulya Öner Armaan, afak Uluçnar Sar, Aye Yalçn Çelik 2009, 1. Education
Faculty,Department of Primary Science Education, Gazi University, Ankara, 06500, Türkiye.
2. Education Faculty , Department of Primary Science Education, Amasya University, Amasya, Türkiye
3. Education Faculty, Department of Secondary Science and Mathematics Education, Gazi University, Ankara, 06500, Türkiye
Procedia Social and Behavioral Sciences 1 (2009) 2678–2684, Received October 8, 2008; revised December 16, 2008; accepted January 4, 2009
6. The effect of Problem Solving Method on Science Teacher Trainees on the Solution of the Environmental Problems a Study
Dr. Vandana Manapure Principal, S.K. Wankhede College of Education, Nagpur
Indian Streams Research Journal, Vol. 1, Issue II / March 2011, pp.17- 27
7. A Comparative Analysis of the Effect of Greeno Problem Solving and Demonstration Teaching Methods on Students’ Achievement in Agricultural Science
1Daluba, Noah E. and 2Mama, Romanus O. 1Department of Agricultural Education, Kogi State College of Education, P. M. B. 1033, Ankpa, Kogi State, Nigeria. 2Department of Vocational Teacher Education, University of Nigeria. Nsukka, Enugu State
Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS) 3 (2): 179-18 Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studie
48
explanation training on students’ problem solving in high-school mathematics
Regina M.F. Wong, Michael J. Lawson *, John Keeves School of Education, Flinders University, Adelaide, SA, Australia
Learning and Instruction 12 (2002) 233–262
9. The Effect of Logo and CAI Problem-Solving Environments on Problem- Solving Abilities and Mathematics Achievements
Michael T. Battista and Douglas H. Clements Kent State University
Computers tn Human Behavior, Vol. 2, pp. 183- 193, 1986
10. The effects of individually personalized computer- based instructional program on solving mathematics problems
Heng-Yu Ku *, Christi A. Harter, Pei-Lin Liu, Ling Thompson, Yi-Chia Cheng Department of Educational Technology, College of Education at the University of Northern Colorado, Greeley, CO 80639, USA
Computers in Human Behavior 23 (2007) 1195–1210
11. Computer-assisted learning for mathematical problem solving
Kuo-En Chang a,*, Yao- Ting Sung b, Shiu-Feng Lin a.Department of Information and Computer Education, National Taiwan Normal University, 162, Ho Ping East Road, Sec 1, Taipei, Taiwan, ROC b.Department of Educational Psychology and Counseling, National Taiwan Normal University, Taipei, Taiwan, ROC
Computers & Education 46 (2006) 140–151
12. Effect of experience and mode of presentation on problem solving
Damien J. Williams, Jan M. Noyes *Department of Experimental Psychology, University of Bristol, 8
Computers in Human Behavior 23 (2007) 258–274
49
13. Embedding game-based problem-solving phase into problem-posing system for mathematics learning
Kuo-En Changa a,*, Lin- Jung Wua a, Sheng-En Wenga a, Yao-Ting Sung b a Graduate Institute of Information and Computer Education, National Taiwan Normal University, 162 Ho-Ping East Road, Sec. 1, Taipei 10610, Taiwan b.Department of Educational Psychology and Counseling, National Taiwan Normal University, 162 Ho-Ping East Road, Sec. 1, Taipei 10610, Taiwan
Computers & Education 58 (2012) 775–786
14. Visualization in Mathematics Learning: Arithmetic Problem- solving and Student Difficulties
Rhonda D.L. Booth Michael O.J. Thomas, The University of Auckland, Auckland, New Zealand
Journal Of Mathematical Behavior, 18 (2), 169±190 ISSN 0732- 0213.
15. A Problem Solving Model as a Strategy for Improving Secondary School Students’ achievement and Retention in Further Mathematics
1 Adebola S. IFAMUYIWA, MStan, 2 Sakiru I. AJILOGBA Email: [email protected]
ARPN Journal of Science and Technology ©2011-2012. All rights reserved. VOL. 2, NO. 2, March 2012 ISSN 2225-721
16. Epistemic profiles and self-regulated learning: Examining relations in the context of mathematics problem solving
Krista R. Muis * Department of Educational and Counseling Psychology, McGill University,3700 McTavish St., Montreal, Que., Canada H3A 1Y2 Available online 3 January 2007
Contemporary Educational Psychology 33 (2008) 177–208
50
hasil atau temuan penelitian sebagai berikut:
1. Rata-rata Besar Pengaruh Secara Keseluruhan
Hasil analisis mengungkapkan bahwa secara keseluruhan rata-rata
besar pengaruh pendekatan problem solving atau yang dapat dikaitkan dengan
problem solving dengan penelitian-penelitian yang sifatnya eksperimental
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebesar 1.079 dengan interval
besar pengaruh (effect size) berkisar 0.787 - 1,372 ( = 0.05) dan
simpangan baku 1,690.
Berdasarkan temuan data yang terangkum pada Tabel 4.2 diperoleh
rata-rata besar pengaruh berdasarkan jenjang pendidikan subyek
1,130Δ dan 0,939σA
Tabel 4.2 Pengaruh Jenjang Pendidikan Subyek
Statistik Jenjang Pendidikan Sampel Penelitian Mean SD SMP SMA Mahs Guru
n 9 15 72 29 3 - 0,619 1,291 0,907 1,514 1,320 1,130 0,139 0,626 1,970 1,543 0,419 0,939 Kv 0,225 0,485 2,172 1,019 0,317 0,844
Keterangan: Kv = Koefisien varians
jenjang Mahasiswa, disusul pelatihan Guru, SMP, SMA dan terendah pada
jenjang SD. Namun bila dilihat dari koefisien simpangan baku yang diperoleh
maka data besar pengaruh dari paling konsisten ke kurang konsisten berturut-
51
turut adalah jenjang SD, pelatihan Guru, SMP, Mahasiswa, dan jenjang
pendidikan SMA. Hal yang sama bila ditinjau dari koefisien variansi (/)
maka SD menempati konsistensi tertinggi sebesar 22,5% disusul pelatihan
Guru sebesar 41,9%, SMP sebesar 62,6%, Mahasiswa 154,3%, dan jenjang
pendidikan SMA sebesar 197%.
Hal ini berarti bahwa untuk SD penyebaran data pengaruh pendekatan
problem solving 22,5% lebih dekat ke rata-rata effect size, disusul pelatihan
Guru 41,9%, SMP 62,6%, Mahasiswa 154,3%, dan jenjang pendidikan SMA
197%. Dengan kata lain, data jenjang pendidikan Mahasiswa memberikan
pengaruh rata-rata pendekatan problem solving lebih baik jika dibandingkan
jenjang pendidikan lainnya walaupun penyebaran datanya kurang konsisten.
Secara visual rata-rata besar pengaruh dari aspek jenjang pendidikan
disajikan pada grafik 4.1.
Dari grafik 4.1 terlihat bahwa jenjang pendidikan Mahasiswa
menempati posisi tertinggi dalam skor rata-rata besar pengaruh terhadap hasil
belajar dalam pembelajaran Sains dan Matematika.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
ra ta
-r at
a pe
ng ar
Dari temuan data yang terangkum pada Tabel 4.3 diperoleh rata-rata
besar pengaruh dan simpangan baku berdasarkan lama waktu perlakuan
adalah 2,037Δ dan 1,519σA .
Statistik Lama Perlakuan
Mean 2 Minggu
n 28 8 3 8 46 27 8 -
1,565 1,489 7,467 1,178 0,430 0,725 1,404 2,037
1,555 0,467 4,902 0,436 0,810 0,418 2,045 1,519
Kv 0,994 0,314 0,656 0,370 1,884 0,577 1,457 0,893
Berdasarkan hasil analisis sebagaiman yang dirangkum pada Tabel
4.3 diatas menunjukkan bahwa rata-rata besar pengaruh pendekatan problem
solving dari tertinggi ke terendah berturut-turut adalah 6 minggu, 2 minggu, 3
minggu, 8 minggu, 1 tahun, 1 semester, dan 4 bulan. Bila ditinjau penyebaran
data yang diperlihatkan melalui koefisien variansi (/) maka perlakuan
yang diberikan selama 3 minggu dan 8 minggu lebih konsisten dibandingkan
dengan perlakuan selama 2 atau 6 minggu atau 4 bulan, 1 semester, dan 1
tahun. Dengan demikian lama perlakuan selama 3 dan 8 minggu lebih dekat
ke rata-rata effect size dibandingkan lama perlakuan lainnya. Artinya, dari
segi penyebaran rata-rata pengaruh, perlakuan 3 dan 8 minggu
penyebarannya lebih baik daripada 2 minggu atau 4 minggu, begitupula
selama 4 bulan, 1 semester dan 1 tah