Merawat Hutan menjaga Kehidupan - TFCA...

94
Merawat Hutan menjaga Kehidupan Institut Green Aceh (IGA) | Yayasan Leuser Internasional (YLI) PETRA | Komunitas Konservasi Indonesia (KKI WARSI) | JIKALAHARI Pembelajaran dari Mitra TFCA-SUMATERA ADMINISTERED BY KEHATI - THE INDONESIAN BIODIVERSITY FOUNDATION 2012

Transcript of Merawat Hutan menjaga Kehidupan - TFCA...

Merawat Hutan menjaga KehidupanInstitut Green Aceh (IGA) | Yayasan Leuser Internasional (YLI)PETRA | Komunitas Konservasi Indonesia (KKI WARSI) | JIKALAHARI

Pembelajaran dari Mitra

TFCA-SUMATERA ADMINISTERED BY KEHATI - THE INDONESIAN BIODIVERSITY FOUNDATION2012

tentang tfca-sumatera

Photo oleh Adi Usman Musa

TENTANG TFCA-SUMATERA

TFCA-Sumatera adalah program pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for Nature Swap-DNS) antara Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia dengan dua mitra LSM yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Program ini menyediakan pendanaan hibah bagi LSM lokal dan Perguruan Tinggi di Indonesia yang bekerja pada isu-isu konservasi dan restorasi hutan Sumatera di tingkat lansekap. Total komitmen pendanaan untuk 8 tahun program (2009-2018) adalah US $ 30 juta

Mitra yang dapat menerima dana hibah TFCA-Sumatera adalah lembaga-lembaga lokal berupa Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok-kelompok Masyarakat, dan Universitas yang berfokus pada upaya melestarikan dan merestorasi hutan Sumatera.

Kegiatan TFCA di Sumatera diarahkan pada kawasan-kawasan prioritas yang dinilai penting dan signifikan. Program TFCA-Sumatera berfokus pada 13 bentang alam yang kaya akan keanekaragaman hayati, yang terdiri dari ekosistem penting baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, koridor dan ketersambungan antar habitat, serta kawasan ekosistem pertanian yang dikelola oleh komunitas lokal di seluruh Sumatera. Bentang alam yang menjadi prioritas adalah: 1) Kerumutan – Semenanjung Kampar -Senepis; 2) Hutan Batang Toru dan TN Batang Gadis; 3) Ekosistem Kerinci Seblat; 4) Ekosistem Leuser dan TN Gunung Leuser;

tentang tfca-sumatera

5) Kawasan Hutan Bukit Barisan Selatan; 6) Sembilang- Berbak; 7) TN Siberut dan Kepulauan Mentawai; 8) Ekosistem Tesso Nilo; 9) TN Bukit Tiga Puluh; 10) TN Way Kambas; 11) DAS Toba Barat; 12) Hutan dataran rendah Angkola; 13) Hutan warisan Ulu Masen/Seulawah.

Oversight Committee (OC) merupakan komite yang mengawasi dan mengambil keputusan dalam pelaksanaan Program TFCA-Sumatera. OC TFCA-Sumatera beranggotakan 7 anggota lembaga, dimana 4 lembaga yang terlibat dalam perjanjian konservasi hutan merupakan anggota tetap (permanent members) dan 3 lainnya merupakan lembaga yang ditunjuk (designated members).

Lembaga Oversight Committee terdiri dari:Anggota tetap:1. Kementerian Kehutanan mewakili Pemerintah Indonesia;2. USAID mewakili Pemerintah Amerika Serikat;3. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI); 4. Conservation International (CI) Anggota yang ditunjuk:1. Transparency International-Indonesia (TI-I); 2. Universitas Syiah Kuala; 3. Indonesia Business Link.

tentang tfca-sumatera

Photo oleh Ali Sofiwan

KATA PENGANTAR

Program TFCA-Sumatera adalah bentuk konkrit implementasi perjanjian pengalihan utang untuk lingkungan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat antara Indonesia dan Amerika Serikat yang ditujukan untuk menyediakan dukungan bagi program–program pelestarian hutan di Sumatera.

Elemen-eleman dalam masyarakat yang direpresentasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi didorong untuk melakukan aksi yang nyata di tingkat bentang alam untuk mengembalikan daya dukung hutan terhadap kehidupan di Sumatera yang sudah terlanjur rusak akibat tekanan pembalakan liar, perambahan, konversi lahan maupun akibat berbagai kebijakan yang tidak pro lingkungan.

Buku ini menggambarkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mitra untuk merestorasi kawasan dan menyelamatkan berbagai keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dengan tetap memperhatikan unsur manusia yang memainkan peran utama dalam setiap kegiatan konservasi.

Konservasi sendiri seringkali dibenturkan dengan kegiatan pembangunan, dimana konotasi kata konservasi lebih cenderung dianggap sebagai perlindungan semata yang tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menikmati dan memanfaatkan alam yang merupakan karunia dari Tuhan. Konservasi dianggap menghambat upaya pembangunan. Padahal, menurut UU Kehutanan 41/1999, didalam makna konservasi telah tercakup tiga aspek, yaitu aspek perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan.

Dalam menjalankan programnya, mitra TFCA-Sumatera juga seringkali mendpat benturan serupa. Kata ‘konservasi’ sering membuat alergi masyarakat yang kuatir mereka tidak akan mendapat akses untuk memanfaatkan lingkungan. Namun berkat pendekatan-pendekatan yang baik, para

mitra TFCA-Sumatera mengadirkan kegiatan perlindungan, pelestarian dan restorasi yang sejalan dengan pemanfaatan sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat.

Menanamkan pengertian dan pentingnya konservasi alam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam buku ini disajikan perjalanan mitra TFCA-Sumatera bekerja dalam konservasi bersama masyarakat dan stakeholder terkait. Mereka adalah Institut Green Aceh, Konsorsium Sahabat (Petra), Yayasan Leuser Internasional, Jikalahari dan KKI-Warsi. Para mitra ini merupakan mitra dari siklus hibah pertama yang menjalin komitmen untuk menjalankan program dalam durasi sampai dengan 3 tahun terhitung sejak 2011.

Buku ini diharapkan dapat menjadi pengantar dan sarana penyebaran informasi bagi publik untuk lebih mengenal program-program yang dilakukan oleh mitra yang mendapat dukungan dari TFCA-Sumatera. Dengan demikian masyarakat diharapkan juga dapat berkontribusi untuk ikut bersama-sama berkontribusi menyelamatkan hutan Sumatera.

Di masa mendatang masih terbuka kesempatan berkontribusi menyelamatkan hutan Sumatera paling tidak di 13 kawasan prioritas lewat kesempatan yang dibuka dalam siklus-siklus hibah.

Apresiasi kami kepada para mitra yang telah memainkan perannya dengan baik dalam mewujudkan cita-cita bersama untuk mengembalikan daya dukung lingkungan Sumatera yang bagi kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas.

Samedi, PhdDirektur Program

tentang tfca-sumatera

Foto oleh Jeri Imransyah

tentang tfca-sumatera

EditorialSunudyantoroAli Sofiawan

PenulisAdiseno

Photo CoverAdi Usman Musa Ali Sofiawan

Administrator

Tropical Forest Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) adalah program bilateral pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for Nature-Swap) antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat serta dua lembaga yang menjadi swap partner yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Program ini menyediakan hibah untuk LSM dan Perguruan Tinggi lokal dalam mengelola hutan tropis di Sumatera secara lestari di tingkat bentang alam.

Tentang TFCA - SUMATERA

Kata Pengantar

Ada Apa dengan Hutan Sumatera

Polisi Para Gajah

Meramu di Hutan Buru

Menjaga Harangan di Batang Toru

Dengan Adat Menjaga Hutan

Berembuk untuk Semenanjung Kampar

DAFTAR ISI03

05

09

17

25

35

45

55

KEMENTERIAN KEHUTANAN

Universitas Syiah Kuala

tentang tfca-sumatera

8

Tutupan hutan tinggal sekitar

29%, padahal Sumatera

diperkirakan membutuhkan

tutupan lahan minimal 40%

untuk menciptakan keseimbangan

antara faktor ekologi, sosial dan

ekonomi Kawasan konservasi

yang ada belum mampu

melindungi keanekaragaman

hayati Sumatera dan dalam posisi

yang terfragmentasi dan tidak

berhubungan satu dengan lainnya.

Sisa hutan yang ada menjadi sangat

penting untuk dilindungi.

8

Foto oleh Ali Sofiawan

9

Analisis kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan konservasi memperlihatkan bahwa banyak ekosistem penting Sumatera berada di luar kawasan konservasi terutama di daerah-daerah dataran rendah. Sebagian besar ekosistem penting yang masuk di dalam jaringan kawasan konservasi berada di dataran tinggi. Oleh sebab itu menyelamatkan hutan yang tersisa di Sumatera baik yang berada di kawasan konservasi maupun yang berada di luarnya, menjadi sangat penting untuk saat ini. Penyelamatan tersebut dapat dalam bentuk perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru dan pengelolaan hutan secara lestari sehingga mampu berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati beserta jasa yang ditimbulkannya. Pemerintah dan dunia internasional menyadari bahwa untuk melindungi kawasan hutan tropis dunia beserta kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya perlu diselamatkan kawasan-kawasan yang bernilai penting. Sumatera termasuk salah satu kawasan yang merupakan hutan bernilai konservasi bernilai tinggi, namun di saat yang bersamaan laju deforestasi (konversi), termasuk yang tertinggi.

Data menunjukkan antara 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan sebanyak 12 juta hektar. Ini setara dengan 48 persen tutupan hutan Sumatera. Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2008, hutan primer yang tersisa tinggal 29 persen saja. Padahal Sumatera membutuhkan setidaknya 40 persen hutan primer untuk dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konservasi keanekaragaman hayati yang dimiliki.

ADA APA DENGAN HUTAN SUMATERA

ada apa dengan hutan sumatera

9

10

KONFLIK SATWA-MANUSIA

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan contoh nyata problem deforestrasi yang mendapat prioritas penanggulangan. KEL rawan terhadap deforestasi dan kerusakan habitat. Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Antara lain, tekanan penduduk, buruknya implementasi tata ruang serta dampak dari faktor politik yang melingkungkupi daerah Aceh sebelumnya.

KEL terletak di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini memiliki hutan yang menjadi habitat satwa kunci. Ambil contoh hutan Singkil yang masuk dalam kawasan ini. Hutan seluas 11.000 hektar ini sebagian besar terdiri dari lahan gambut di tengah daerah rawa, hutan bakau, dan hutan riparian di sepanjang sungai. Kawasan ini merupakan salah satu sisa habitat yang ideal untuk konservasi orangutan. Di sini, populasi orangutan diperkirakan lebih dari 1.600 ekor.

Wilayah pergerakan gajah di KEL juga semakin banyak terkikis. Kawasan hutan makin menyempit. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh penebangan dan deforestasi untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Atau, konversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Akar penyebab utama kerusakan tadi adalah kemiskinan dan ketimpangan. Sejurus itu, terbit kebijakan publik yang tidak tepat. Plus, tidak ditegakkannya hukum secara baik.

Untuk itu penting dibangun suatu koridor yang menjadi penghubung antar kawasan hutan yang untuk menjaga habitat gajah. Koridor itu sesungguhnya merupakan tempat untuk bergerak populasi gajah ke dalam kawasan Leuser yang lebih luas. Yayasan Leuser Indonesia yang sudah sejak 1993 bergerak dalam kegiatan pelestarian lingkungan Leuser menyatakan kerusakan habitat ini merupakan ancaman paling berat bagi keselamatan satwa maupun bagi daya dukung hidup masyarakat secara keseluruhan.

Data menunjukkan antara 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan sebanyak 12 juta hektar. Ini setara dengan 48 persen tutupan hutan Sumatera. Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2008, hutan primer yang tersisa tinggal 29 persen saja. Padahal Sumatera membutuhkan setidaknya 40 persen hutan primer

ada apa dengan hutan sumatera

10

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

11

TEKANAN TERHADAP RAWA GAMBUT

Harimau juga merupakan satwa kunci lain di Sumatera. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) merupakan flag species atau spesies satwa yang menduduki puncak rantai makanan. Harimau juga menjadi spesies payung. Perlindungan terhadap harimau akan melindungi pula keanekaragaman hayati habitatnya.

Blok hutan rawa gambut Senepis memiliki populasi harimau yang cukup besar, sekitar 30 ekor. Blok ini masuk dalam bentang alam Kerumutan - Semenanjung Kampar - Senepis dan ekosistemnya masuk dalam ecoregion Sumatra Freshwater Swamp Forest.

Kini, hutan rawa gambut tropika di Indonesia merupakan ekosistem yang kondisinya sangat terancam. Terbitnya Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tahun 2009 malah menambah kekuatiran masyarakat. Isi rancangan itu menyebutkan bahwa arah pemanfaatan ruang adalah bagi pengembangan industri kehutanan. Sebagian kecil untuk perkebunan dan konservasi. Peruntukan bagi industri kehutanan dan perkebunan skala besar di lahan gambut mengancam pengelolaan pertanian dan perikanan masyarakat lokal.

Pemanfaatan areal lahan gambut yang tidak berkelanjutan dengan cara membangun kanal-kanal untuk mengeringkan gambut menyebabkan terjadinya emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global.

Pemanfaatan areal lahan gambut yang tidak berkelanjutan dengan cara membangun kanal-kanal untuk mengeringkan gambut menyebabkan terjadinya emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global

ada apa dengan hutan sumatera

11

Foto

ole

h Y

LI

12

MENYUSUTNYA KAWASAN HUTAN

Sumatera juga punya kekayaan Kawasan Hutan Batang Toru. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Batang Toru Barat dengan luas 101.000 hektar, dan Batang Toru Timur yang disebut juga Sarulla Timur atau Selindung dengan luas 62.000 hektar. Ada juga Taman Nasional Batang Gadis dengan luas 108.000 hektar. Kawasan Hutan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis berada dalam satu bentang alam Pegunungan Bukit Barisan. Dua kawasan ini masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Kedua kawasan tersebut diidentifikasi dan disepakati oleh para ilmuwan sebagai satu dari 62 kawasan penting bagi keanekaragaman hayati (key biodiversity area) yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Kawasan tersebut dikategorikan memiliki fungsi ekologis penting. Kawasan ini dikategorikan sebagai “Kawasan Rawan Bencana Alam” karena terletak di daerah vulkanis aktif.

Kawasan Hutan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis, dan kawasan penghubung di antara dua kawasan itu kini mengalami deforestasi dan degradasi hutan alam. Di kawasan Batang Toru pada tahun 2003 – 2007, terdeteksi areal terdeforestasi seluas 882 hektar pada 669 lokasi berbeda.

TNKS merupakan salah satu taman nasional terluas di Indonesia. Dengan luas 1.368.000 hektar, keragaman hayati TNKS sangat tinggi. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi tahun 2009 menyebutkan TNKS antara lain memiliki 4.000 macam flora, 352 jenis burung dan 144 jenis mamalia.

12

ada apa dengan hutan sumateraFo

to o

lehY

LI

13

Di Taman Nasional Batang Gadis terdeteksi kawasan hutan alam yang terdeforestasi ada pada areal 219 hektar. Titik deforestrasi di kawasan ini tersebar pada 55 lokasi. Pemicu deforestasi adalah ekploitasi tambang swasta, pembangunan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, dan adanya kawasan hutan produksi. Semua faktor tadi membentuk fragmentasi areal. Sehingga satwa tidak dapat memanfaatkan koridor untuk berpindah antar kedua kawasan tersebut. Bahkan semenjak Mahkamah Agung memenangkan gugatan PT. Sorik Mas Mining atas Menteri Kehutanan melalui keputusan MA no 29/P/HUM/2004. Kawasan yang disebut Taman Nasional Batang Gadis kini terfragmentasi menjadi 4 bagian kecil-kecil yang makin menyulitkan penjagaan kawasan dan mobilisasi satwa.

MENYUSUTNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI

Kekayaaan lain yang dimiliki Sumatera adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). TNKS merupakan salah satu taman nasional terluas di Indonesia. Dengan luas 1.368.000 hektar, keragaman hayati TNKS sangat tinggi. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi tahun 2009 menyebutkan TNKS antara lain memiliki 4.000 macam flora, beberapa diantaranya merupakan flora langka dan endemik. Misalnya, pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia alborera), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi), dan bunga bangkai (Amorphophallus titanium dan A. decussilvae). Terdapat pula 352 jenis burung dan 144 jenis mamalia. Berbagai jenis burung seperti rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang (Anthrococeros convexus), merak Sumatera (Polypectron chalcurun) terdapat di sini. Juga berbagai jenis satwa besar seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), siamang (Sympalangus syndactylus), tapir (Tapirus indicus) dan berbagai macam satwa lain terdapat di TNKS.

Mengelola TNKS secara bersama-sama dan terpadu sungguh penting. Bukan saja untuk alasan ekologis, tapi juga demi alasan yang berdimensi sosial dan budaya. Kawasan TNKS dan penyangganya merupakan kawasan tempat hidup komunitas tradisional. Di sana ada Orang Rimba, suku Melayu, Orang Kerinci, Suku Rejang, dan Orang Lebong. Orang Rimba merupakan komunitas khusus. Kehidupan mereka sangat bergantung pada sumber daya hutan. Kawasan penyangga TNKS merupakan salah satu home range penting bagi Orang Rimba.

13

ada apa dengan hutan sumatera

14

Di sekitar TNKS juga ada desa-desa tradisional. Secara umum penduduknya merupakan suku Melayu. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok dengan marga berbeda. Kawasan klaim adat mereka juga berbeda. Sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan TNKS dan daerah penyangganya.

TNKS merupakan taman nasional yang batasnya telah temu gelang dan definitif. Permasalahan pengelolaan kawasan di dalam taman lebih banyak berkaitan dengan agenda penegakan hukum serta koordinasi. Permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan pada kawasan penyangga TNKS jauh lebih kompleks. Persoalan klaim adat, kepentingan sektoral yang beragam, kuatnya ego kedaerahan, ketidakpastian izin pada kawasan hutan produksi pada bekas lahan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), konflik satwa dan manusia, serta persoalan lainnya.

MELINDUNGI HUTAN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Fenomena di atas menggambarkan serangkaian masalah yang dihadapi hutan Sumatera. Perlu adanya tindakan nyata untuk menahan laju kerusakan yang sudah terlanjur masif. Tropical Forest Conservation Action for Sumatera merupakan suatu upaya untuk mendukung tercapainya pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan untuk mensejahterakan masyarakat. Keberadaanya diharapkan dapat membantu upaya menahan laju kerusakan hutan yang semakin parah dan meningkatkan daya dukung lingkungan bagi masyarakat, yang tercermin dalam visinya yaitu kelestarian keanekaragaman hayati hutan tropis untuk menopang terciptanya pembangunan berkelanjutan di pulau Sumatera.

Di antara banyak masalah lingkungan di Sumatera, TFCA-Sumatera memberi perhatian pada penetapan, restorasi, perlindungan dan pemeliharaan kawasan konservasi, dan kawasan lindung lain. Fokus diarahkan pada pengembangan dan penerapan sistem kelola sumberdaya alam. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan ekosistem dan lahan dan pengembangan sumberdaya manusia, seperti peningkatan kapasitas kelembagaan, program penyadaran publik, dan sebagainya.

14

ada apa dengan hutan sumatera

1515

Photo oleh Ali Sofiawan

16

Sebagian besar hutan Singkil

merupakan hutan gambut di tengah

daerah rawa, hutan bakau, dan

hutan riparian di sepanjang sungai.

Kawasan hutan ini menyimpan

karbon dalam jumlah yang

cukup baik. Berdasarkan studi

lapangan, kawasan Suaka Marga

Satwa diperkirakan memiliki

175.180.000 ton karbon. Jumlah

ini setara dengan 642.910.000

ton CO2 yang diserap dari

atmosfer.

polisi para gajah

16

Photo oleh Ali Sofiawan

17

Konflik antara gajah dan manusia merupakan masalah klasik yang sudah lama terjadi di daerah-daerah yang memiliki persinggungan dengan jalur gajah. Masyarakat merasa hewan berbelalai ini adalah hama pengganggu kebun ladang dan rumah mereka. Setiap rombongan gajah lewat, ada saja kebun yang rusak, sawit yang dicuri dari kebun, tanaman yang terinjak, dan sebagainya.

Masyarakat yang merasa berada pada sisi korban, tidak terima dengan keadaan ini hingga kerap kali terdengar di media gajah mati diracun. Kesadaran akan perilaku gajah serta bagaimana cara meminimalisir konflik perlu dilakukan agar kasus-kasus yang merugikan baik manusia maupun gajah tidak lagi terulang. Yayasan Leuser Internasional mencoba menjawab tantangan ini dengan mendirikan Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan basecamp bagi patroli gajah untuk mengamankan kawasan dari timbulnya konflik satwa-manusia.

Gampong Naca berada di dalam kawasan koridor satwa Singkil Bengkung. Koridor ini terletak di sebelah selatan Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh. Di sini Yayasan Leuser Internasional bekerja untuk Memperkuat Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan. Lokasi proyek berada di dalam Taman Nasional Leuser di dalam batas KEL secara keseluruhan. Di dalam Kawasan Ekosistem Singkil terdapat satu dari beberapa kawasan hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia. Hutan rawa gambut Singkil atau Rawa Singkil memiliki luas sekitar 110.000 hektar. Sebagian dari kawasan ini telah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa.

polisi para gajah

POLISI PARA GAJAH

17

18

Hutan Singkil juga menyimpan banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan, dan banyak jenis reptil langka yang terancam punah. Kawasan ini merupakan salah satu sisa habitat yang ideal untuk konservasi orangutan. Diperkirakan, kawasan ini memiliki populasi lebih dari 1.600 orangutan. Wilayah gajah di KEL semakin banyak terkikis. Di kawasan Singkil terdapat satu-satunya koridor yang membuat populasi gajah yang tersisa dapat bertahan. Koridor itu membuat gajah dapat bergerak ke dalam kawasan Leuser yang lebih luas.

Ancaman paling berat yang dihadapi kawasan itu adalah kerusakan habitat. Terutama disebabkan oleh penebangan dan deforestasi untuk konversi menjadi lahan pertanian atau menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Ancaman lain dalam kawasan bentang lahan tersebut adalah hilangnya koridor Singkil-Bengkung yang sempit dengan rentang hanya sekitar 2,5 kilometer yang menghubungkan bagian utara KEL dengan bagian selatan hutan rawa Singkil.

Koridor ini mendapat ancaman dari perambahan dan jalan raya yang memotongnya. Situasi masyarakat sekitar yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan ketimpangan ekonomi membuat kawasan koridor ini potensial untuk dirambah. Ini ditambah

Yayasan Leuser Internasional mencoba menjawab tantangan ini dengan mendirikan Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan basecamp bagi patroli gajah untuk mengamankan kawasan dari timbulnya konflik satwa-manusia.

polisi para gajah

18

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

19

lagi dengan kebijakan publik yang tidak tepat. Situasi makin mencemaskan akibat penegakan hukum tak berjalan baik. Oleh YLI kawasan tersebut hendak dijadikan kawasan ekosistem. Di dalam kawasan ini, tinggal masyarakat Singkil. Mereka tinggal di 131 desa. Mereka berjumlah sekitar 60 ribu jiwa pada setidaknya 17 ribu rumah tangga. Di kawasan ini, ada Kecamatan Trumon yang terletak dalam jalan penghubung antara ibukota Kabupaten Aceh Selatan, Tapak Tuan ke ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan. Akses dari kota Kecamatan Trumon menuju menuju berbagai desa masih sangat terbatas.

Selain masalah akses, hukum juga belum tegak untuk bisa mencegah kecenderungan perusakan hutan. Sumber daya yang ada pun juga terbatas. Alih-alih digunakan untuk kelestarian, insentif keuangan yang dikucurkan justru cenderung untuk kegiatan yang menimbulkan kerusakan pada hutan.

Abu Hanifah Lubis yang merupakan koordinator Yayasan Leuser Internasional (YLI) untuk Program TFCA-Sumatera mengatakan, YLI bertujuan mempertahankan keanekaragaman hayati dan keutuhan ekologi dengan menjamin kesinambungan manfaat yang menunjang kesejahteraan masyarakat yang hidup di daerah sekitarnya.

Peran YLI dalam TFCA-Sumatera, menurut Abu, ada tiga. Pertama, membantu upaya pemerintah menetapkan kepemilikan lahan dan batas kawasan. Kedua, melakukan pengelolaan sehingga tak ada lagi konflik antara manusia dan satwa, khususnya gajah. Ketiga, melakukan rehabilitasi lahan di kawasan suaka margasatwa dan kawasan koridor. Untuk menjalankan kegiatan ini, TFCA -Sumatera menyediakan hibah Rp 5,3 M untuk kegiatan yang dilakukan dalam rentang waktu 3 tahun. Pada tahun pertama (2011), TFCA-Sumatera mengucurkan dana sebesar Rp 1,1 M.

YLI memiliki dua tempat wilayah kerja. Pertama, Suaka Margasatwa Rawa Singkil dengan luas 102.500 hektar. Dan, wilayah kerja kedua pada koridor Singkil-Bengkung yang luasnya 2.700 hektar.

YLI sudah membuat tim untuk memperbaiki tata batas Suaka Margasatwa Singkil. Demarkasi ini berdiri di Kabupaten Subulussalam dan Aceh Selatan. Tim ini telah melakukan survei lapangan di sepanjang perbatasan. Tim juga sudah mengkomunikasikan ihwal demarkasi ini kepada masyarakat.

YLI memiliki dua tempat wilayah kerja. Pertama, Suaka Margasatwa Rawa Singkil dengan luas 102.500 hektar. Dan, wilayah kerja kedua pada koridor Singkil-Bengkung yang luasnya 2.700 hektar.

polisi para gajah

19

Conservation Response Unit

Conservation Response Unit (CRU) atau Unit Tanggap Konservasi adalah suatu konsep yang meyakini bahwa diperlukan suatu strategi konservasi untuk mengelola keanekaragaman hayati.

Metode CRU merupakan suatu unit yang terdiri dari gajah liar yang dijinakkan beserta para pawangnya untuk mendukung dan menjaga kawanan dan habitat gajah liar dan habitatnya.

20

Dari survei lapangan, tim YLI menemukan bahwa di sepanjang kawasan yang berbatasan dengan demarkasi telah terjadi konversi lahan. Kawasan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dan jalan akses. Persoalan seperti ini tentunya tidak bisa dibatasi oleh YLI sendiri, perlu pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan. Tim pun belum melakukan perencanaan lebih lanjut pada program YLI komponen pertama ini. Ada masalah hukum di sana. Selanjutnya, YLI berupaya melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk memecahkan masalah tersebut.YLI berusaha mencari solusi bagaimana kawasan suaka margasatwa tetap terlindungi, dan masyarakat tetap bisa hidup di dalamnya. Saat ini telah terbit Surat Keputusan dari Kabupaten Aceh Selatan, dan dari Wali Kota Subulussalam tentang penetapan batas Rawa Singkil. Surat itu menetapkan pembentukan panitia tata batas Rawa Singkil. Namun, telah terjadi banyak perambahan lahan di sana. Itulah sebabnya, tata batas menjadi sungguh penting. Persoalannya, masyarakat butuh lahan. Padahal, lahan itu berada di dalam kawasan yang sudah ditetapkan sebagai suaka margasatwa.

Abu Hanifah optimistis pada untuk dua komponen kegiatan lain, yakni konflik manusia versus satwa, dan rehabilitasi lahan keberhasilan telah dicapai. YLI membentuk dua kelompok masyarakat pembibitan di Desa Ie Jerenih dan Desa Naca. Pembentukan kelompok ini disertai dengan dibuatkannya fasilitas pembibitan. Kelompok-kelompok pembibitan telah dilatih oleh YLI dan Badan Penyuluhan Pertanian Aceh Selatan. Kelak, mereka akan menyediakan bibit untuk rencana memulihkan koridor Singkil-Trumon.

Selama ini rehabilitasi hutan dilakukan dengan cara mendatangkan bibit untuk ditanam oleh masyarakat. Pola itu, kata Abu, diubah. Masyarakat dilibatkan langsung sejak dari awal. YLI bersama masyarakat mencari tanaman asli dari lantai hutan di koridor Singkil-Trumon. Selain menyediakan bibit berupa tanaman hutan, kelompok masyarakat juga menyediakan tanaman produksi. “Entah itu duren, atau langsat,” kata Abu Hanifah.Tanaman produksi ini ditanam di sekitar desa, seperti di pinggir jalan desa. YLI juga memprioritaskan rehabilitasi pada lahan yang dekat mata air dan pinggir sungai. Menurut Hanifah,

Suasana peresmian CRU Trumon yangdiresmikan tanggal 28 Juni 2012. Empat ekor gajah siap melakukan patroli rutin.

polisi para gajah

20

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

21

jika pembibitan berhasil, maka masyarakat akan menerima bayaran berdasarkan jumlah bibit yang bisa ditanam. Bayaran ini merupakan insentif atas upaya konservasi. Sedangkan untuk tanaman produksi, jika kelak menghasilkan akan menjadi hak masyarakat. “Itu menjadi ekonomi alternatif bagi mereka,” kata Abu Hanifah.

PENDIRIAN CONSERVATION RESPONSE UNIT

Salah satu program utama YLI adalah mendirikan Conservation Response Unit (CRU) untukmenangani konflik antara gajah dan manusia. Abu Hanifah menyatakan, pada tahun 2010 masyarakat meminta kepada bupati Aceh Selatan agar diadakan patroli gajah di daerah mereka. Resolusi konflik gajah-manusia dilakukan dengan menggunakan patroli gajah jinak. Patroli ini untuk menggiring gajah liar keluar dari pemukiman penduduk. Patroli ini juga untuk menangkap gajah liar.

Keberhasilan secara cepat membangun markas patroli gajah di Trumon ini adalah berkat dukungan penuh masyarakat dan lembaga pemerintah. Kendala yang dihadapi saat pembangunan, menurut Abu Hanifah, sulitnya mendapatkan kayu legal. “Karena saat pembangunan CRU, moratorium penebangan kayu tengah diterapkan oleh pemerintah sehingga untuk mendapatkan kayu jadi agak susah,” tutur Hanifah.

Pemasangan patok penada kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil

polisi para gajah

21

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

22

Kini, gajah-gajah beserta pawangnya dari PLG Saree sudah beroperasi di CRU Trumon yang diresmikan tanggal 28 Juni 2012. Empat ekor gajah siap melakukan patroli rutin. Gajah ini lulusan dari sekolah gajah yang didirikan tahun 1994 di Taman Hutan Cut Nyak Dien, sebuah taman hutan yang berada di kaki gunung Seulawah. Patroli gajah jinak ini diharapkan juga dapat membantu untuk mengawasi kegiatan illegal. Jadi, patroli gajah jinak bukan sekadar untuk memantau dan menggiring gajah liar.

Patroli ini diharapkan dapat dilaksanakan bersama-sama dengan aparat pemerintah dan masyarakat. Keberhasilan pembentukan CRU-Trumon merupakan buah dukungan semua pihak ini. Patroli gajah jinak ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran terhadap tapal batas. Selain itu, patroli juga untuk memantau kawasan guna membantu upaya rehabilitasi. Penanaman kawasan yang rusak membutuhkan upaya bersama masyarakat dan lembaga pemerintah.

Selain itu, patroli gajah jinak merupakan upaya yang mengutamakan kepentingan gajah liar sendiri. “Penanggulangan konflik manusia-satwa liar adalah proses dan upaya atau kegiatan mengatasi atau mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar,” kata Sesdakab Harmaini.

Menurut Abu Hanifah, CRU-Trumon kelak akan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Merekalah yang untuk selanjutnya mendukung CRU –Trumon. YLI pun mempersiapkan pelatihan penanganan konflik bagi masyarakat.

Saaat ini anggaran untuk operasional CRU-Trumon ini sudah diajukan ke Kabupaten Aceh Selatan. “Harapan kami setahun saja operasional CRU-Trumon dengan dana TFCA-Sumatera. Setelah itu pemerintah kabupaten dan masyarakat yang akan melanjutkan,” ujar Hanifah.

CRU-Trumon kelak akan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Merekalah yang untuk selanjutnya mendukung CRU –Trumon.

polisi para gajah

22

23

Ancaman lain dalam kawasan bentang lahan tersebut adalah hilangnya koridor Singkil-Bengkung yang sempit dengan rentang hanya sekitar 2,5 kilometer yang menghubungkan bagian utara KEL dengan bagian selatan hutan rawa Singkil.

polisi para gajah

23

Photo oleh YLI

24

Tantangan yang dihadapi kawasan

konservasi ini cukup berat. Di

antaranya pembalakan liar

yang melibatkan banyak pihak,

perambahan hutan, perburuan

flora-fauna yang dilindungi,

kebakaran hutan, dan lainnya.

Berbagai kejahatan kehutanan

tersebut terjadi dengan berbagai

modus. Kejahatan kehutanan

terkadang juga memanipulasi

masyarakat lokal.

meramu di hutan buru

24

Photo oleh Netty Riana Sari

25

meramu di hutan buru

MERAMUDI HUTANBURUBasri gundah gulana. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Aceh Tengah ini hanya bisa tersenyum hambar. BKSDA yang ia pimpin mengelola Taman Buru Linge Isaq seluas 800 juta meter persegi. Tapi, jangan kaget, balai ini hanya punya lima petugas jaga. Basri berusaha membandingkan luas lahan ini dengan lapangan bola Old Trafford milik Manchester United, atau lapangan Santiago Bernabeu milik klub kaya raya Spanyol, Real Madrid. Luas Taman Buru Linge Isaq sama dengan 112.024 kali luas lapangan milik klub papan atas Eropa itu.

Basri menggambarkan, untuk satu lapangan bola, ada tiga orang yang menjaga. Yakni, seorang wasit dan dua orang hakim garis. Dengan perbandingan penjaga lapangan bola, menurut Basri, setidaknya 33.615 petugas untuk menjaga Taman Buru Linge Isaq. Tentu, membandingkan lapangan bola Old Trafford atau Santiago Bernabeu dengan Taman Buru Linge Isaq merupakan sesuatu yang tak sepadan.

Tapi, ia seperti ingin mengatakan, betapa tak memadainya jumlah petugas BKSDA Resor Aceh Tengah dalam mengelola Taman Buru Linge Isaq. ”Staf kami hanya punya sepeda motor untuk melakukan monitoring kawasan seluas itu”, kata Basri.

Kawasan ini sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak 1 Februari 1978 melalui surat keputusan menteri pertanian. Taman Buru Linge Isaq berada di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Isaq adalah nama ibukota Kecamatan Linge. Dari kota Takengon, Isaq dapat dicapai sekitar satu jam perjalanan kendaraan bermotor. Namun, kawasan taman buru terluas di Indonesia ini tidak dikelola secara optimal. Akibatnya kawasan ini pun dirambah oleh masyarakat. Banyak lahan hutan berubah menjadi kebun kopi milik masyarakat.

25

26

Basri mengatakan, selama ini BKSDA Resor Aceh Tengah menghadapi berbagai kendala dalam pengelolaan Taman Buru Linge Isaq. Selain personel yang terbatas, peralatan yang tersedia juga sangat minim.

Kecamatan Linge, yang memiliki 26 kampung, terletak di bagian dalam cincin Taman Buru. Di antara 26 kampung itu, lima kampung di Kemukiman Wihni Dusun Jamat berbatasan langsung dengan Taman Buru: Kampung Jamat, Reje Payung, Delung Sekinel, Kute Reje, dan Kampung Linge. Ada juga beberapa kampung lain yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi ini. Jamat bisa ditempuh dengan empat jam perjalanan darat kendaraan bermotor dari Takengon.

Sebagai daerah terpencil dan terisolasi selama bertahun-tahun, Jamat memang sangat tertinggal dari segi infrastruktur seperti jalan, jembatan, sarana pendidikan, dan fasilitas infrastruktur lainnya. Baru pada tahun 2011, ada pengerasan jalan sepanjang 21 kilometer dari Owaq menuju Jamat. Sebagian ruas jalan telah beraspal.

Kerisauan Basri senada dengan Adie Usman Musa yang sempat menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute Green Aceh (IGA). Lembaga ini menjadi koordinator konsorsium untuk kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Taman Buru Linge Isaq dan Sekitarnya

26

meramu di hutan buruFo

to o

leh

Ali

Sofi

awan

27

yang diarahkan pada Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Taman Buru. Lembaga yang menjadi anggota konsorsium ini adalah Yayasan Institut Green Aceh, Yayasan Lebah, Yayasan Ekowisata Aceh, Yayasan Pugar. Mereka adalah LSM konservasi yang bergerak di Aceh dan dalam konsorsium ini mempunyai peran masing-masing untuk mencapai tujuan konsorsium memperbaiki keanekaragaman hayati dan meningkatkan taraf hidup.

Menurut Adi, Taman Buru berbeda dengan tempat lain. Pasca konflik Aceh, kata dia, orang tidak peduli pada Taman Buru. Taman Buru seperti tidak bertuan, tidak dikelola, dan tidak ada yang mengelola. Adie juga sedih melihat tak sebandingnya jumlah petugas dan luasnya Taman Buru dengan petugas BKSDA yang menjaga kawasan itu. “Dari ujung sini ke ujung, butuh empat jam untuk menjangkau. Itu pun untuk yang ada jalannya. Kalau tak ada jalan, pasti lebih susah,” kata Adie.

Namun tersedianya prasarana jalan yang baik juga seperti buah simalakama. Sebab, jalan juga menjadi akses bagi tindak kejahatan lingkungan hidup. Perkara jalan ini pula yang membuat kondisi Taman Buru Linge Isaq kian sulit. Pada bagian tengah kawasan Taman Buru Linge Isaq, ada jalan yang menjadi jalur transportasi dari Kota Takengon menuju Kabupaten Gayo Lues.

Bagian Kawasan Taman Buru yang terpotong jalan berada di Burlintang dan Ise-Ise. Dua kawasan ini juga menjadi perlintasan satwa. Ada beberapa jenis satwa hidup di kawasan ini. Misalnya, babi hutan (Sus sp), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus unicolor), harimau Sumatera (Panthera tigris), owa (Hylobates moloch), orang utan (Pongo abelii), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), dan macan dahan (Neofelis diardi).

Tantangan yang dihadapi kawasan konservasi ini cukup berat. Di antaranya pembalakan liar yang melibatkan banyak pihak, perambahan hutan, perburuan flora-fauna yang dilindungi, kebakaran hutan, dan lainnya. Berbagai kejahatan kehutanan tersebut terjadi dengan berbagai modus. Kejahatan kehutanan

Program-program konservasi cenderung ditolak oleh masyarakat. Menurut dia, masyarakat cenderung resisten ketika diajak bicara konservasi. Sebab, ada pandangan di masyarakat bahwa program konservasi itu artinya tak boleh ini tak boleh itu. “Padahal, masyarakat juga butuh lahan,” kata Adie.

27

meramu di hutan buru

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

anFo

to o

leh

Adi

e U

sman

Mus

a

28

terkadang juga melibatkan masyarakat lokal. Menghadapi berbagai kejahatan kehutanan di Taman Buru Linge Isaq dan sekitarnya, Dinas Kehutanan Aceh Tengah menempatkan satu regu Polisi Hutan yang berkedudukan di Isaq, ibukota Kecamatan Linge. Sedangkan pemerintah pusat mempunyai tim di BKSDA Resor Aceh Tengah.

Melalui IGA, TFCA-Sumatera mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki manajemen pengelolaan Taman Buru. Upaya membenahi Taman Buru Lingse Isaq menjadi kawasan wisata buru dilakukan melalui pembuatan rencana pengelolaan, konservasi keanekaragaman hayati, rehabilitasi lahan kritis, serta penguatan ekonomi masyarakat sekitar.

Ada 3 komponen program yang dijalankan oleh Konsorsium IGA, yaitu komponen konservasi, rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat. Diharapkan konsorsium IGA dapat berkontribusi

untuk menghasilkan rencana pengelolaan kawasan Taman Buru selama 25 tahun.

Namun Adie juga menambahkan bahwa program-program konservasi cendrung ditolak oleh masyarakat. Menurut dia, masyarakat cenderung resisten ketika diajak bicara konservasi. Sebab, ada pandangan di masyarakat bahwa program konservasi itu artinya tak boleh ini tak boleh itu. “Padahal, masyarakat juga butuh lahan,” kata Adie. Itulah sebabnya, IGA tak melakukan program penetapan tapal batas. Sesungguhnya, program ini jadi kebutuhan, misalnya untuk mengimplementasikan perencanaan. “Kami tidak sampai tata batas. Itu sangat sensitif. Kami tak masuk ke situ karena tata ruang provinsi belum selesai,” kata Adie.

Untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap konsep lingkungan hidup agar mereka aktif berpartisipasi mengelola Taman Buru, maka menurut Konsosrsium IGA diperlukan adanya suatu pendampingan intensif. Mendampingi masyarakat, kata Adie, tak bisa seperti turis yang datang sehari lalu pulang. Untuk membangun kepercayaan masyarakat, maka pendamping harus tinggal di lokasi masyarakat yang didampingi tinggal.

28

meramu di hutan buruFo

to o

leh

Ali

Sofi

awan

29

Dari situ, pendamping bisa melihat banyak sekali kearifan lokal yang selama ini tidak lagi mereka jalankan. Namun, begitu pendamping datang untuk memperkuat agar kearifan lokal dijalankan lagi, maka semangat masyarakat pun tumbuh lagi. Apalagi, jika mampu mengawinkan kearifan lokal itu dengan pengetahuan modern. “Kemampuan mereka untuk melihat pentingnya konservasi demi pengelolaan sumber daya berkelanjutan, jadi bagus,” kata Adi.

KELESTARIAN KEKAYAAN HAYATI LINGE ISAQ

Taman Buru Linge Isaq punya banyak kekayaan vegetasi. Terutama didominasi oleh jenis-jenis vegetasi dari suku Myrtaceae, Annonaceae, Staphyllaceae, Meliaceae, Theaceae, dan Clusiaoeae. Lantai hutan yang ditutupi humus tebal juga banyak ditumbuhi anakan dari tumbuhan tersebut.

Orangutan dan harimau sumatera yang merupakan species kunci Sumatera juga ada di sana. Hal ini menjadi pendorong Konsorsium IGA untuk mencari dukungan pendanaan dari TFCA-Sumatera agar memprioritaskan kawasan Taman Buru. Taman Buru Linge Isaq juga terancam oleh usaha ekonomi yang berlangsung di sana. Selain perusahaan HPH/IUPHHK di dalamnya juga terdapat hutan produksi yang dikelola perusahaan swasta.

Untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap konsep lingkungan hidup agar mereka aktif berpartisipasi mengelola Taman Buru, maka menurut konsorsium IGA diperlukan adanya suatu pendampingan intensif.

29

meramu di hutan buru

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

30

Dari segi perubahan sumber daya alam, terdapat kecenderungan perubahan dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, kawasan konservasi Taman Buru di Jamat. Pada daerah ini konservasi agak terjaga. Meski begitu, tetap saja terjadi ancaman terhadap kondisi fisik kawasan konservasi, dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Ancaman berupa kegiatan illegal logging, kebakaran hutan, perburuan satwa liar yang dilindungi, dan sebagainya sering terjadi di banyak titik yang jadi pintu masuk ke areal Taman Buru. Ini terjadi, misalnya di Jamat, Ise-ise, Pantan Nangka, Serule, Burlintang, dan Jagong.

Masyarakat Jamat sudah menerapkan pola agroforestry dalam pengelolaan lahan sejak lama. Pola agroforestry ini memungkinkan kawasan penyangga konservasi yang dikelola masyarakat mempunyai multifungsi terhadap masyarakat dan lingkungan. Baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya masyarakat. Namun, tetap perlu ada kesepahaman

antara masyarakat dan pemerintah serta pihak lain. Tujuannya, untuk memastikan bahwa lahan masyarakat tersebut tidak masuk dalam wilayah Taman Buru yang merupakan kawasan konservasi.

Ini semua menjadi modal bagi upaya pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan Konsorsium Insitute Green Aceh. Yakni, melakukan pendekatan melalui pendampingan.

Kepada mereka dilakukan pendampingan agar tetap menegakkan kearifan lokal. “ Di sana, masyarakat berburu tidak menggunakan senapan, tetapi pakai tombak. Mereka tidak menombak induk betina atau anaknya. Mereka akan menombak jantannya,” ungkap Adie. Ini merupakan satu contoh pengembangan pemberdayaan masyarakat, sekaligus mempertahankan sumberdaya alam.

Mempertahankan status Taman Buru merupakan sebuah pertanyaan besar. Dan, itu perlu dijawab melalui rencana tata ruang wilayah. Perencanaan yang partisipatif tentunya dengan melibatkan masyarakat. Syamsul Hidayat dalam laporan penelitiannya tahun 1997 juga mempertanyakan ihwal ini. Hidayat mengutip penelitian tahun 1981. Penelitian itu menyatakan hanya 20 persen dari luas areal Taman Buru merupakan tempat terbuka dan datar, atau padang rumput. Sehingga, jika ditinjau dari segi letak, keadaan topografi, dan kerapatan hutan, maka kawasan ini kurang ideal sebagai Taman Buru.

Masyarakat Jamat sudah menerapkan pola agroforestry dalam pengelolaan lahan sejak lama. Pola agroforestry ini memungkinkan kawasan penyangga konservasi yang dikelola masyarakat mempunyai multifungsi terhadap masyarakat dan lingkungan.

30

meramu di hutan buruFo

to o

leh

Ali

Sofi

awan

31

Hidayat sendiri berpendapat berdasarkan potensi flora dan fauna yang teramati di kawasan hutan Serule dan lsaq, maka sangat dimungkinkan status Taman Buru Lingse lsaq untuk dikaji ulang. Pengkajian ulang suatu status kawasan tetap berprinsip pada upaya konservasi secara menyeluruh. Tentu dengan melibatkan masyarakat sekitar. Ini seperti tertuang pada pasal 4 UU no.5 tahun 1990 “Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat.”

Bila ditinjau dari potensi yang ada sekarang, akan Iebih tepat kiranya jika kawasan ini sebagian atau seluruhnya diubah menjadi cagar alam. Yaitu suatu suaka alam yang berbubungan dengan keadaan alamnya yang khas. Termasuk alam hewani dan alam nabati yang dimiliki. Ini perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pertimbangan lain untuk pentingnya mengkaji ulang Taman Buru ini adalah potensi satwa buru yang semakin berkurang. Juga, terancamnya satwa liar yang dilindungi.

Konsorsium IGA sendiri sedang melaksanakan survey potensi yang hasil sementaranya tertuang dalam suatu laporan yang berjudul Hasil Survey Potensi Sumberdaya Alam dan Fisiografi Taman Buru Linge Isaq Kabupaten Aceh Tengah.

Dari hasil pendataan IGA ke penduduk, terungkap bahwa sebelum masuknya HPH di Taman Buru Linge Isaq, rusa masih bisa dilihat seperti gerombolan sapi. Satwa buru ini bisa dijumpai dalam jarak hanya 20 sampai 30 meter saja. Namun setelah, penebangan pinus untuk kebutuhan pulp kertas, pemandangan seperti ini menghilang. “Perburuan mulai banyak, dan kawasan mulai terbuka,” kata Adie. Ia mengutip pernyataan orang-orang tua yang tinggal di kawasan dampingannya.

Rusa dapat dijumpai dalam jarak hanya 20 sampai 30 meter saja. Namun setelah, penebangan pinus untuk kebutuhan pulp kertas, pemandangan seperti ini menghilang. “Perburuan mulai banyak, dan kawasan mulai terbuka,” kata Adie.

31

meramu di hutan buru

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

32

PENGELOLAAN KAWASAN

Adie pun juga mendukung agar status Taman Buru dievaluasi secara menyeluruh. Ia menyatakan bahwa mempertahankan status taman buru tidak relevan lagi. Perubahan status kawasan ini, kata dia, memerlukan kebijakan politik. Mengubah status kawasan konservasi seperti Taman Buru perlu persetujuan DPR. Dalam ranah ini, TFCA-Sumatera memang tidak mengambil bagian.

Menurut Adie, saat ini ada tarik ulur antara Pemerintah Daerah Aceh dengan Pemerintah Pusat mengenai kewenangan pengelolaan seluruh kawasan konservasi. Pemerintah Daerah Aceh menuntut pengelolaan otonom seluruh kawasan. Ini sesuai janji sebagai Daerah Istimewa. Apa pun hasilnya nanti, kata Adie, yang harus dilakukan adalah menguatkan kapasitas kelembagaan di tingkat desa.

Yang sudah dilakukan adalah memperkuat kapasitas masyarakat di lima kampung. TFCA-Sumatera pun mempersiapkan berbagai infrastruktur di sana. Antara lain dibuatkan berbagai pusat pengembangan ekonomi, sehingga bisa mengakses ke berbagai produk. Masyarakat juga mengembangkan tanaman coklat dan kemiri. ”Ini merupakan salah satu program untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi Taman Buru Isaq Linge,” kata Adie.

Saat ini sedang dikembangkan juga program-program ekowisata. Pemandangan di sekitar taman buru Linge Isaq sangat indah. Hamparan pegunungan dan lembah berpadu dengan sungai besar dan kecil menciptakan pemandangan yang spektakuler. Udara pun masih bersih karena sangat sedikit polusi di sana.

Saat ini sedang dikembangkan juga program-program ekowisata. Pemandangan di sekitar taman buru Linge Isaq sangat indah. Hamparan pegunungan dan lembah berpadu dengan sungai besar dan kecil menciptakan pemandangan yang spektakuler. Udara pun masih bersih karena sangat sedikit polusi di sana.

32

meramu di hutan buruFo

to o

leh

Ali

Sofi

awan

33

Harapannya program ini meningkatkan perekonomian rakyat. ”Selain menjaga kelestarian cagar budaya tersebut, kami juga mempromosikan situs-situs budaya untuk menarik kunjungan wisatawan,” katanya Adie. Selain itu, menurut Adie, di kawasan ini juga dikembangkan Agro Forestry hasil hutan seperti rotan yang kemudian diolah menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. ”Kami membuat bengkel kerja kerajinan untuk mengembangkan ini,” katanya.

Langkah lanjut IGA baru bisa diukur ketika rencana tata ruang, termasuk untuk Taman Buru Linge Isaq sudah jadi. Bersamaan dengan implementasi rencana itu, IGA berharap kapasitas dan kelembagaan di tingkat masyarakat sudah terbentuk. Adie mengatakan, IGA berusaha melakukan implementasi tersebut melebihi dari apa yang sudah terangkum dalam design program.

Peningkatan kapasitas dilakukan melalui proses semacam multi level marketing. Para pemimpin atau tokoh masyarakat diberi pelatihan. Harapannya, bisa menular pada orang di sekeliling mereka. Selanjutnya, orang-orang itu pun menularkan pada yang lain. Konsorsium berharap cara kerja ini bisa membuah hasil pada empat komponen: pengelolaan Taman Buru Linge Isaq yang berkelanjutan, konservasi, rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat.

33

meramu di hutan buru

Hutan BuruMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi hutan buru adalah hutan wisata yang di dalamnya terdapat satwa buru yg memungkinkan diselenggarakannya perburuan yg teratur bagi kepentingan rekreasi.

Linge Isaq ditetapkan sebagai kawasan pengembangan wisata buru melalui surat Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 70/Kpts/um/2/1978 tanggal 7 Februari 1978 dengan luas areal mencapai kurang lebih 80 ribu hektar.Keberadaannya diperkuat kembali melalui keputusan Menteri Kehutanan tentang arahan fungsi hutan dan perairan Provinsi Aceh nomor: 170/kpts-II/2000 dengan luas kurang lebih 86.704 hektar, namun pemanfaatan kawasan tersebut belum berjalan secara optimal.

Taman buru Linge Isaq memiliki potensi keanekaragaman hayati cukup tinggi, Kawasan ini sangat strategis sebagai sistem penyangga kehidupan, terutama sebagai hulu dari tiga Daerah Aliran Sungai(DAS) besar, diantaranya DAS Krueng Jambo Aye, DAS Krueng Peusangan dan DAS Simpang Kiri/Gelombang.

34

menjaga harangan di batang toru

34

Salah satu akar masalah konservasi

Sumatera adalah terfragmentasinya

kawasan-kawasan konservasi.

Keberadaannya seperti pulau-pulau

terpencil. Isolasi satu sama lain

melemahkan daya tahan.

Untuk menyambungkan kawasan

konservasi perlu dibangun

koridor antarkawasan. Satwa

di suatu kawasan, masih punya

pilihan untuk masuk ke kawasan

seberang melalui koridor yang

dibangun.

Foto oleh Netty Riana Sari

35

menjaga harangan di batang toru

MENJAGA HARANGAN DI BATANG TORU

35

Salah satu akar masalah konservasi Sumatera adalah terfragmentasinya kawasan-kawasan konservasi. Keberadaannya seperti pulau-pulau terpencil. Isolasi satu sama lain melemahkan daya tahan.

Untuk menyambungkan kawasan konservasi perlu dibangun koridor antarkawasan. Satwa di suatu kawasan, masih punya pilihan untuk masuk ke kawasan seberang melalui koridor yang dibangun. Oleh karena itu Perkumpulan Prakarsa Pengembangan Partisipasi untuk Rakyat (Petra) yang bergiat di Sumatera Utara mengusulkan pada TFCA-Sumatera agar mendukung program mereka dalam Inisiatif Konservasi dan Konektivitas Koridor Lansekap Hutan Batang Toru – Taman Nasional Batang Gadis.

Program konservasi dan koridor ini menyambungkan tiga lokasi perlindungan habitat alamiah utama. Pertama, Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) yang terdiri dari Kawasan Batang Toru Barat dengan luas 101.000 hektare. Kedua, Batang Toru Timur/Sarulla Timur/Selindung dengan luas 62.000 hektare. Dan ketiga, Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan luas 108.000 hektare. Ketiga kawasan itu terletak dalam satu bentang alam yang sama di Pegunungan Bukit Barisan dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Terpisahnya Sungai Batang Toru dan Sungai Batang Gadis menjadi penghalang ekologi bagi distribusi satwa dan tumbuhan liar. Kedua kawasan ini dipisahkan oleh lanskap hutan alam dan lanskap yang termodifikasi oleh kegiatan manusia yang diperkirakan panjangnya 75 – 100 kilometer.

36

KEKAYAAN HAYATI

Kawasan Batang Toru dan Batang Gadis diidentifikasi oleh para ilmuwan sebagai salah satu dari 62 lokasi kawasan penting bagi keanekaragaman hayati (key biodiversity area) yang tersisa di Sumatera. Kawasan TNBG mewakili kawasan biogeografis Danau

Toba bagian selatan. Dan, KHBT mewakili kawasan transisi biogeografis Danau Toba bagian selatan dan bagian utara.

Kedua kawasan tersebut masih menyimpan satwa liar karismatik terancam punah secara global. Misalnya, orangutan Sumatera (Pongo abelli), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Tapir (Tapirus indicus), Kambing Hutan (Naemorhedus

sumatraensis), Elang Wallacea (Spizaetu nanus), bunga terbesar dan tertinggi di dunia, yaitu Raflesia gadutnensis dan Amorphophalus baccari serta Amorphophalus gigas.

Kawasan Hutan Batang Toru merupakan habitat bagi setidak-tidaknya 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis tumbuhan. Berdasarkan status konservasinya, teridentifikasi 20 spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Sebanyak 12 spesies yang terancam punah berdasarkan kategori IUCN dan 14 spesies termasuk dalam kategori CITES (Convention International of Trade of Endagered Species).

Untuk spesies burung, tercatat 51 spesies masuk dalam daftar satwa yang dilindungi sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Sebanyak 61 spesies masuk kategori IUCN sebagai satwa yang terancam punah secara global. Dan, delapan spesies masuk dalam daftar CITES. Selain jenis burung tersebut, ada 21 jenis burung migran, delapan jenis endemik, dan empat jenis berkontribusi dalam pembentukan kawasan Endemic Bird Area (EBA)

Di TNBG dapat ditemukan 47 jenis mamalia khas Sumatera. Di antaranya 26 jenis ikategorikan jenis mamalia yang dilindungi undang-undang dan terancam punah secara global. Selain itu, terdapat 247 jenis burung. Di antaranya 47 merupakan jenis burung yang dilindungi undang-undang Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. TNBG telah ditetapkan sebagai Daerah Penting Burung (Important Bird Area).

36

menjaga harangan di batang toruFo

to o

leh

Net

ty R

iana

Sar

i

37

Kawasan Hutan Batang Toru juga merupakan satu-satunya kantong populasi orangutan Sumatera yang masih tersisa di kawasan biografis Danau Toba bagian Selatan. Orangutan di sini mempunyai keunikan tersendiri dari sisi genetis dan morfologis. Ini beda dengan populasi orangutan Sumatera di sebelah utara kawasan biografis Danau Toba. KHBT masih mampu menyimpan populasi minimum yang mampu bertahan hidup sebanyak 400 – 600 individu. Ini terdiri dari populasi di KHBT bagian Barat sebanyak 250 individu, dan di KHBT bagian Timur (Sarula/Selindung) sebanyak 150 individu.

Sedangkan di TNBG dapat ditemukan 47 jenis mamalia khas Sumatera. Di antaranya 26 jenis dikategorikan jenis mamalia yang dilindungi undang-undang dan terancam punah secara global. Misalnya, harimau Sumatera, tapir, kambing hutan, dan kemungkinan besar juga masih ditemukan orang utan Sumatera. Selain itu, terdapat 247 jenis burung. Di antaranya 47 merupakan jenis burung yang dilindungi undang-undang Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. TNBG telah ditetapkan sebagai Daerah Penting Burung (Important Bird Area).

Di TNBG juga ditemukan 1.500 mikroba yang bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan dan pangan masa depan. Jumlah jenis flora pohon berdiameter setinggi dada ≥ 10 cm yang dapat teridentifikasi adalah sebanyak 184 jenis. Jenis-jenis pohon di TNBG lebih kaya dibandingkan lokasi-lokasi hutan dataran rendah lainnya di Sumatera Utara. Dalam petak cuplikan penelitian seluas 200 meter persegi, tercatat 222 jenis flora berpembuluh. Ini berarti jumlah tertinggi di dunia. Sebelumnya catatan tertinggi di dunia ini ditemukan di hutan dataran rendah Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau.

Pendi Siregar, koordinator konsorsium PETRA, menceritakan awal mula terbentuknya konsorsium yang juga mempunyai nama Konsorsium Sahabat yang terdiri dari beberapa NGO dan kelompok masyarakat penggiat konservasi di Sumatera Utara dalam menjalankan program TFCA-Sumatera di koridor Batang Toru dan Batang Gadis.

Ia mengisahkan bahwa kondisi Batang Toru itu tidak seperti Taman Nasional Batang Gadis. TNBG muncul dari adanya usulan masyarakat untuk meningkatkan status kawasan sebagai taman

Di TNBG juga ditemukan 1.500 mikroba yang bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan dan pangan masa depan. Jumlah jenis flora pohon berdiameter setinggi dada ≥ 10 cm yang dapat teridentifikasi adalah sebanyak 184 jenis. Jenis-jenis pohon di TNBG lebih kaya dibandingkan lokasi-lokasi hutan dataran rendah lainnya di Sumatera Utara. Dalam petak cuplikan penelitian seluas 200 meter persegi, tercatat 222 jenis flora berpembuluh. Ini berarti jumlah tertinggi di dunia. Sebelumnya catatan tertinggi di dunia ini ditemukan di hutan dataran rendah Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau.

37

menjaga harangan di batang toru

38

nasional. Masyarakat mengajukannya melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal (Madina), disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. “Prakarsa ini tidak terlepas dari keinginan, dorongan, dan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat,” kata dia. Prakarsa juga tumbuh dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup. Mereka punya keinginan kuat untuk menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa dan relatif utuh di Provinsi Sumatera Utara. Harapannya, agar dapat mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Dokumen tentang prakarsa menetapkan Taman Nasional ini dimuat pada situs Kementerian Kehutanan.

Namun status taman nasional menjadi terancam walaupun kawasan tersebut telah mengantongi surat penetapan dari Menteri Kehutanan melalui SK-126/MENHUT-II/2004 tanggal 29 April 2004 Tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas Dan Hutan Produksi Tetap menjadi Taman Nasional. Ternyata, perusahaan patungan Australia (Sihayo Gold Limited ) dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yaitu PT Sorikmas Mining, melakukan uji materil ke Mahkamah Agung terhadap Surat Keputusan penetapan Taman Nasional Batang Gadis. Hasilnya, MA menggugurkan status Taman Nasional yang termuat pada Putusan MA bernomor 29/P/HUM/2004.

Kawasan yang terfragmentasi merupakan jalan masuk bagi para perambah. Di KHBT, faktor pemicu deforestasi dan degradasi hutan terdiri dari perambahan hutan akibat spekulasi lahan. Ini didorong oleh kegiatan eksploitasi pertambangan emas, penebangan kayu, dan pembangunan infrasruktur Pembangkit Tenaga Panas Bumi. “Kalau masyarakat pinggir hutan penghasilannya sudah mapan, dia tidak akan serbu hutan” ujar Pendi.

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT

Sejak 2011, dua komoditas utama dipilih sebagai fokus untuk peningkatan ekonomi masyarakat, yaitu komoditas karet dan kakao. Dua jenis tanaman keras ini sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. PETRA telah melaksanakan banyak sekali sekolah lapang bagi petani. Paling tidak, dalam jangka waktu singkat hasil yang bisa diukur adalah munculnya minat kelompok tani untuk melakukan pembibitan secara swadaya dengan didampingi tenaga lapangan PETRA. “Sebelumnya, mereka selalu meminta

38

menjaga harangan di batang toru

39

bibit dari pemerintah. Tapi kan pemerintah terbatas anggarannya,” terang Pendi.

Kini, kelompok-kelompok itu berkegiatan. Petani mulai memelihara tanaman kakao. Sebelumnya, mereka membiarkan saja tanaman itu tumbuh liar. Nilai konservasi yang dikejar, adalah mendorong para petani mulai menanam di hutan. Pada masa setelah reformasi, banyak terjadi perambahan hutan dan penebangan ilegal. Pada kawasan hutan ini, PETRA melakukan rehabilitasi dengan tanaman kakao.

Antisipasi permasalahan pada aktifitas program di tahun kedua pun sudah dilihat oleh PETRA. Sebelum menjalankan rencana pemasaran, PETRA mempelajari alur pemasaran. Komoditas itu dibeli pengumpul desa lalu disalurkan ke pengumpul kecamatan. Selanjutnya, pengumpul kecamatan meneruksan ke pedagang besar yang masuk ke Medan. Menurut Pendi, para petani mulai menyadari bahwa selama ini keuntungan eksportir itu sangat besar. “Kami ingin mendorong petani bukan hanya menamam dan merawat, tapi juga mendapat bagian keuntungan dari rantai tataniaga kakao,” ujarnya.

PETRA sudah mengontak eksportir kakao dan menyatakan siap membantu. Ada dana konservasi yang dianggarkan. Untuk setiap kilogram kakao telah disiapkan sekitar Rp 50. Uang ini akan dikembalikan ke kelompok dan selanjutnya digunakan untuk membikin pembibitan. Pada awal TFCA-Sumatera, PETRA melakukan pendampingan pada satu areal seluas satu hektare tanaman kakao. Hasilnya cuma 600 kilogram biji kering per tahun. Padahal di tempat lain itu bisa dapat 1.800 kilogram.

Sejak 2011, dua komoditas utama dipilih sebagai fokus untuk peningkatan ekonomi masyarakat, yaitu komoditas karet dan kakao. Dua jenis tanaman keras ini sudah dikenal masyarakat sejak dahulu.

39

menjaga harangan di batang toru

Foto

ole

h N

etty

Ria

na S

ari

40

Budidaya Karet tidak selancar budidaya kakao. Pendi khawatir, begitu mereka paham budidaya karet yang lebih baik, mereka malah akan merambah ke dalam hutan. Karet berbeda dengan kakao yang bisa ditanam di sela pepohonan. Karet harus ditanam di lahan yang terbuka, tanpa penghalang tumbuhan lain. PETRA pun mendorong agar masyarakat menanam karet di areal yang memang sudah ratusan tahun digunakan untuk menanam pohon itu.

Pendi mengatakan, kini muncul kelompok- kelompok yang menanam karet secara swadaya. Para pendamping menganjurkan agar di antara tanaman karet disisipi tanaman pete dan durian. Tenaga pelatih untuk sekolah lapangan yang digunakan PETRA adalah dari Kementerian Pertanian. “Pada tahun kedua kami fokus bagaimana menjual hasil panen kebun,” kata Pendi.

Menurut Pendi, upaya ini ditujukan agar mereka bisa menjual secara bersama-sama. Kini, jaringan pemasaran kakao dan karet sudah dirintis hingga ke Medan. Pemantauan harga jual di Medan juga dilakukan. “Kami menghubungi langsung pabrik getah karet itu,” kata Pendi. Dari pabrik getah dapat keterangan bahwa jika atas nama kelompok dalam sebulan bisa panen 20 ton maka bisa langsung disetor. Masyarakat tak perlu lagi menjual karet ke pedagang atau pengumpul.

PETRA juga mewaspadai kemungkinan adanya pergeseran pengumpul tingkat desa, yakni dari individu ke kelompok petani saja. Sebab, masyarakat sudah bilang hendak membawa sendiri kakao ke Medan. Menurut Pendi, bukan seperti itu yang diharapkan. “Kalau itu yang dilakukan, saya kuatirkan akan ada lagi pedagang pengumpul di desa. Pengumpul desa bilang ini dari kelompok. Padahal dia sesungguhnya pengumpul. Ujungnya, yang meningkat pendapatan pengumpul,” tuturnya. Menurut Pendi, kelompok harus memiliki aturan main yang baku agar bersatu dan kuat. Baru, setelah itu, PETRA yang membawa ke pasar eksportir di Medan.

Hal yang sama juga terjadi pada komoditas kopi. Kopi memang tidak masuk dalam dampingan TFCA-Sumatera. Namun, dari

40

menjaga harangan di batang toruFo

to o

leh

Net

ty R

iana

Sar

i

41

temuan di lapangan kopi dengan karet itu berimbang. Peserta yang mengikuti pelatihan kakao, atau peserta pelatihan karet juga mempunyai tanaman kopi.

Dari penelusuran pasar kopi luwak di tingkat petani hanya\Rp 24.000 per liter. Di Tapanuli satuan perdagangan kopi tidak diukur dengan ukuran berat timbangan kilogram, melainkan dengan ukuran liter. Satu liter kopi setara dengan 1,2 kilogram. Sedangkan harga di agen mencapai Rp 175.000 per liter. Marjin besar ini tentu menjadi perhatian PETRA. Lalu, PETRA mencoba membawa sendiri kopi luwak menggunakan ke Medan. Mereka membawa sebanyak 200 kilogram. Di ibukota Sumatera Utara itu, PETRA menjual dengan marjin hanya Rp 5.000. Artinya, mendapatkan untung bruto Rp 1.000.000.

Menurut Pendi, kopi jelas bisa menjadi program mandiri. Apalagi tanaman kopi bukan seperti karet. Kopi bisa ditanam disela-sela pohon. “Kopi bisa ditanam di hutan yang sudah ada pohon durian, pete, dan tanaman hutan lainnya. Tanaman kopi butuh pelindung. Ini beda dengan karet”, tutur Pendi.

Ia menjelaskan bahwa upaya ini sesuai dengan tujuan konservasi. Menurut Pendi, kalau PETRA cerita tentang konservasi maka masyarakat akan bertanya untuk apa hutan itu diselamatkan. Tapi, jika masyarakat punya kopi luwak dan punya kakao, masyarakat akan aktif mengelola. Maksudnya, jika para petani di tepi hutan aktif membudidayakan komoditasnya untuk memperbaiki kesejahteraan, mereka pasti menjaga hutan mereka itu.

HARANGAN RARANGAN

Masyakarat sekitar Mandailing Natal mengenal konsep pemeliharaan hutan yang disebut dengan “harangan rarangan” di masyarakat Mandailing Natal (Madina). Sudah sejak lama masyarakat Madina menjalankan kearifan lokal yang masih bertahan sampai saat ini. Secara tradisional masyarakat telah melindungi hutan alam dan sumber air serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana.

Misalnya, melalui tata cara, lubuk larangan, penataan ruang banua atau huta, tempat keramat ‘Naborgo-borgo’ atau ‘Harangan Rarangan’ (hutan larangan) yang tidak boleh diganggu dan dirusak. Dalam pandangan hidup masyarakat Mandailing, air

41

menjaga harangan di batang toru

Harangan Rarangan

Harangan Rarangan atau sering diartikan sebagai hutan larangan adalah beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini masih lestari. Biasanya dibentuk atas kesepakatan masyarakat yang sudah turun temurun dengan maksud menyelamatkan satwa dan habitat alam dan sumber air.

Sudah sejak lama masyarakat Madina menjalankan kearifan lokal yang masih bertahan sampai saat ini. Secara tradisional masyarakat telah melindungi hutan alam dan sumber air serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana, misalnya melalui tata cara lubuk larangan, penataan ruang banua/huta, tempat keramat ‘naborgo-borgo’ atau ‘harangan rarangan’ (hutan larangan) yang tidak boleh diganggu dan dirusak.

Dalam pandangan hidup masyarakat Mandailing, air merupakan ‘mata air kehidupan’ yang bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis, sehingga harus dilindungi keberadaannya.

42

merupakan mata air kehidupan yang bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi, dan ekologis. Sehingga, harus dilindungi keberadaannya. “Harangan itu harapan kami. Kami menanam di batas-batas hutan ini,” kata Pendi. Harangan itu adalah istilah di Madina. Sedangkan di Tapanuli Selatan disebut Tombak. Ini sebetulnya adalah hutan adat.

Harangan ini mereka jaga untuk sumber air mereka. Mereka punya peraturan secara turun temurun, bahwa tak boleh menebang hutan. Namun, kondisi ideal ini tetap memiliki hambatan. Di Sumatera Utara hutan adat tidak diakui pemerintah. PETRA akan mendorong lahirnya Peraturan Desa yang melarang merusak hutan. Pendi melihat kini masyarakat mulai menanam di tiga lokasi Harangan. Masyarakat menanam di lahan-lahan kritis di sekitar Harangan.

Menurut Pendi kebutuhan bibit di daerah yang ditangani PETRA saat ini sekitar 20 ribu. Kebutuhan ini bahkan menjadi pelajaran yang didapat di Harangan. Mereka melakukan pembibitan dengan cara yang sederhana sekali. Misalnya, setelah makan durian enak, bijinya dijadikan bibit dengan cara memasukkannya ke polybag atau ember pecah.

Menurut Pendi pendampingan ini pun membantu PETRA untuk lebih dekat pada masyarakat karena manfaat yang mereka bawa. Pendi menilai keterlibatan masyarakat dalam komoditas karet, kakao, dan kopi merupakan keberhasilan TFCA-Sumatera pada tahun pertama. Dalam konteks Harangan, PETRA harus masuk ke kebijakan dengan upaya mendorong Peraturan Desa. Namun, Pendi meyakini bahwa yang utama adalah bagaimana mengangkat harkat masyarakat pinggiran hutan agar bisa hidup makmur.

Melalui tata cara, lubuk larangan, penataan ruang banua atau huta, tempat keramat ‘Naborgo-borgo’ atau ‘Harangan Rarangan’ (hutan larangan) yang tidak boleh diganggu dan dirusak. Dalam pandangan hidup masyarakat Mandailing, air merupakan mata air kehidupan yang bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi, dan ekologis. Sehingga, harus dilindungi keberadaannya.

42

menjaga harangan di batang toruFo

to o

leh

Net

ty R

iana

Sar

i

43

Masyarakat sekitar Mandailing Natal mengenal konsep pemeliharaan hutan yang disebut dengan “harangan rarangan” di masyarakat Mandailing Natal (Madina). Sudah sejak lama masyarakat Madina menjalankan kearifan lokal yang masih bertahan sampai saat ini. Secara tradisional masyarakat telah melindungi hutan alam dan sumber air serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana.

43

menjaga harangan di batang toru

Foto oleh Netty Riana Sari

44

dengan adat menjaga hutan

44

Salah satu persoalan klasik dalam

pengelolaan kawasan konservasi

adalah persoalan akses masyarakat

terhadap hutan dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat. WARSI

bersama dengan Sumatra Sustainable

Support (SSS) berusaha menyentuh

isu ini dengan berfokus pada

Mempertahankan tutupan hutan

tersisa di lansekap ekosistem taman

nasional Kerinci Seblat untuk menjamin

kelestarian keanekaragaman hayati,

mendukung kehidupan komunitas lokal

serta menjadikannya salah satu wilayah

utama keragaman hayati yang penting.

Foto oleh Ali Sofiawan

45

dengan adat menjaga hutan

DENGAN ADATMENJAGA HUTAN

45

Salah satu persoalan klasik dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah tidak jelasnya tapal batas hutan di tingkat tapak. WARSI bersama dengan Sumatra Sustainable Support (SSS) berusaha menyentuh isu ini dengan berfokus pada Mempertahankan Tutupan Hutan Tersisa di Lansekap Ekosistem Taman Nasional Kerinci Seblat untuk Menjamin Kelestarian Keanekaragaman Hayati, Mendukung Kehidupan Komunitas Lokal serta Menjadikannya Salah Satu Wilayah Utama Keragaman Hayati yang Penting.

Komunitas Konservasi Indonesia atau biasanya disebut dengan Warsi, lahir dari Yayasan Warung Konservasi Lingkungan yang berdiri pada 19 Januari 1999. Organisasi ini berkembang menjadi Perkumpulan KKI-WARSI pada Juli 2002 dengan fokus daerah dampingan di lanskap Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Seperti umumnya persoalan hutan di tempat lain, TNKS menghadapi masalah deforestasi dan degradasi akibat dari banyak faktor, baik di dalam maupun di luar kawasannya. Di antaranya menyangkut perambahan atau pembukaan lahan, penebangan liar, konversi peruntukan lahan, ekspansi perkebunan dan hutan tanaman, dan pertambangan.

WARSI memilih keterlibatan dalam peraturan. “Kami mengupayakan adanya dokumen yang terkait dengan pengaturan tata ruang”, kata Yul Qori, Koordinator WARSI untuk Program TFCA-Sumatera. Fokus WARSI diarahkan pada dua daerah, yaitu Kabupaten Bungo dan Solok Selatan. Tujuan keterlibatan TFCA-Sumatera dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah untuk memastikan acuan pembangunan daerah. Sebab, pengaturan tata ruang yang baik memiliki keterkaitan yang kuat dengan kelestarian lingkungan hidup.

46

KAWASAN TN KERINCI SEBLAT

Wilayah kerja WARSI sejak awal memang di kawasan ekosistem Taman Nasional Kerinci Seblat. Karenanya TFCA-Sumatera mendukung program-program mereka untuk mempertahankan kawasan ini. Dengan luas 1.368.000 hektar, TNKS merupakan salah satu Taman Nasional terluas di Indonesia. Lanskap kawasan ini membentang dari Utara ke Selatan mengikuti Bukit Barisan.

Berbagai tipe ekosistem khas dan unik ada di kawasan ini. Di antaranya, hutan dataran rendah (low land forest), hutan bukit (hill forest), dan hutan sub-montana (sub-montane forest) hutan montana rendah (lower montane forest). Ada juga hutan montana sedang (mid-montane forest), hutan montana tinggi (upper montane forest), padang rumput sub-alpine (sub-alpine thicket), dan lahan basah lain pada wilayah berawa.

Eksosistem TNKS juga kaya dengan keragaman hayati. Menurut data Badan Penelitian Pembangunan Daerah Jambi tahun 2009, TNKS mempunyai 4.000 macam flora. Di antaranya flora langka dan endemik seperti pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia alborera), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi), dan bunga bangkai (Amorphophallus titanium dan A. decussilvae). Di TNKS juga terdapat 37 jenis mamalia, 139 jenis burung, 10 jenis reptil, enam jenis amphibi, dan enam jenis

Berbagai tipe ekosistem khas

dan unik ada di kawasan ini.

Di antaranya, hutan dataran

rendah (low land forest),

hutan bukit (hill forest),

dan hutan sub-montana

(sub-montane forest) hutan

montana rendah (lower

montane forest). Ada juga

hutan montana sedang

(mid-montane forest), hutan

montana tinggi (upper

montane forest), padang

rumput sub-alpine (sub-alpine

thicket), dan lahan basah lain

pada wilayah berawa.

46

dengan adat menjaga hutanFo

to o

leh

Ali

Sofi

awan

47

primata.

Kawasan ini juga menjadi habitat endemik beberapa jenis satwa langka yang dilindungi. Satwa langka ini menjadi flagship species di ekosistem kawasan TNKS: Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephans Sumatrensis), Harimau Sumatera (Phantera Tigris Sumatrensis), dan Tapir (Tapirus Indicus).

Pada kawasan penyangga taman nasional, terdapat kawasan hutan produksi (HP) bekas konsesi HPH yang sangat luas. Kawasan tersebut merupakan satu kesatuan dengan lanskap Taman Nasional Kerinci Seblat. Luas hutan produksi bekas konsesi HPH pada daerah penyangga TNKS di Provinsi Jambi saja mencapai 338.000 hektar. Lanskap kawasan hutan produksi ini tersambung dengan areal konsesi HPH PT. Andalas Merapi Timber di kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat yang kemudian menyambung dengan kawasan hutan Bukit Rimbang Baling di perbatasan Provinsi Riau dan Sumatra Barat.

Selanjutnya kawasan hutan ini menyatu dengan eksosistem Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Dengan kondisi seperti itu maka kawasan penyangga TNKS memiliki peran sangat penting. Tidak hanya bagi kelestarian TNKS sendiri tetapi juga bagi ekosistem lain di Sumatera bagian tengah. Pengelolaan hutan alam tersisa pada daerah penyangga TNKS di sisi Utara-Timur-Selatan akan mendukung kelestarian kehidupan keragaman hayati pada koridor ekosistem TNKS dan ekosistem TNBT.

UPAYA MELESTARIKAN KAWASAN

WARSI merumuskan ada lima tujuan yang menjadi jadi target kerja WARSI dalam program TFCA-Sumatera. Pertama, terjaminnya kelestarian lanskap ekosistem kawasan TNKS melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Kedua, bertambahnya luasan hutan yang dikelola berbasis komunitas. Ini biasa disebut Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), guna mendukung pelestarian TNKS. Ketiga, berkurangnya

47

dengan adat menjaga hutan

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

48

lahan kritis. WARSI melakukan kegiatan advokasi bersama masyarakat yang mendukung kelestarian lanskap dan ekosistem TNKS. Keempat, berkembangnya usaha ekonomi masyarakat yang sejalan dengan upaya konservasi TNKS. Atau, disebut juga ekonomi berbasiskan PHBM. Dan kelima, promosi praktik-praktik pengelolaan hutan yang lestari untuk diadopsi.

Itu juga kenapa ketika rancangan RTRW yang hendak disusun konsultan ternyata menggunakan data yang sudah 20 tahun ketinggalan, maka WARSI menawarkan data terbaru. Selama ini penyusunan tata ruang di tingkat kabupaten dilakukan oleh konsultan yang dibayar. Konsultan itu berasal dari pihak luar dengan durasi waktu kerja yang begitu singkat. “Sehingga data-data yang digunakan sangat jauh dari kondisi perkembangan kabupaten terkini,” tutur Yul Qori.

WARSI berusaha mengawal agar bagaimana tata ruang di kabupaten itu, terutama kabupaten Bungo dapat disusun berdasarkan kondisi terkini. Dan, di Kabupaten Bungo penyusunan tata ruang berjalan dengan baik. WARSI berhasil mendapatkan citra satelit tahun 2011 baik Kabupaten Bungo maupun Kabupaten Solok Selatan.

Kebetulan sekali, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah tidak memiliki tenaga pengolah peta digital atau GIS (Geographical Information System), sedangkan WARSI memiliki tim GIS. “Jadi kami menyiapkan data terkini mengenai kondisi ruang dan pola ruang. Kami juga membuatkan peta tematik yang dibutuhkan,” kata Yul Qori. Hasil pemetaan itu pun bukan langsung dimanfaatkan. Bersama Bappeda, WARSI melakukan koordinasi dan konfirmasi ke Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Koordinasi ini menghasilkan beberapa catatan perbaikan.

48

dengan adat menjaga hutanFo

to o

leh

M. J

eri I

man

syah

49

Secara sosial, ekonomi, dan budaya, WARSI menyiapkan bagaimana pada narasi tata ruang disusun berdasarkan kondisi fisik goegrafis saat ini. WARSI juga melakukan studi, khususnya ke desa dampingan. WARSI mengambil sampel desa dampingan di dua kecamatan untuk mewakili Kabupaten Bungo. Penyusunan tata ruang dilakukan melalui melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Ia menyatakan bahwa KLHS merupakan prasyarat sesuai amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Bahwa, untuk suatu kegiatan perlu adanya KLHS. Dan, kami sudah masuk dari bagian tim KLHS itu,” kata Yul Qori. Berdasarkan kajian itu, WARSI hendak memasukkan alternatif narasi tentang perlunya perlindungan kawasan hulu. Salah satu bentuk perlindungan itu bisa menggunakan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Selain itu, bisa juga dalam bentuk upaya penyelamatan lahan masyarakat berupa Agroforestry.

Kawasan TNKS dan penyangganya merupakan kawasan tempat hidup komunitas tradisional seperti Orang Rimba, suku Melayu, Orang Kerinci, suku Rejang, dan Orang Lebong. Kasus paling khusus adalah Orang Rimba karena kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya hutan. Kawasan penyangga TNKS merupakan salah satu home-range penting bagi Orang Rimba.

Sedangkan desa-desa tradisional di sekitar TNKS secara umum penduduknya disebut suku Melayu. Tapi, mereka masih terbagi lagi secara khusus dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari marga yang berbeda. Kelompok-kelompok tersebut juga punya kawasan klaim adat versi mereka. Dan, sebagian besar klaim adat itu tumpang tindih dengan kawasan Taman dan daerah penyangganya. Inilah yang menjadi catatan WARSI dari aspek sosial budaya di kawasan ekosistem TNKS.

Kawasan TNKS dan penyangganya merupakan kawasan tempat hidup komunitas tradisional seperti Orang Rimba, suku Melayu, Orang Kerinci, suku Rejang, dan Orang Lebong.

49

dengan adat menjaga hutan

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

50

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

WARSI mengusung konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dalam menyusun RTRW Kabupaten. Tujuannya agar kawasan yang masuk sebagai hutan adat, hutan desa yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat desa, dapat diperkuat kedudukannya. PHBM perlu diperkuat kedudukannya karena permasalahannya berkaitan dengan pengelolaan hutan pada kawasan penyangga TNKS. Permasalahan di sini jauh lebih kompleks.

Sebab, di sana ada tuntutan adat, kepentingan sektoral yang beragam, kuatnya ego kedaerahan, ketidakpastian izin pada kawasan hutan produksi bekas HPH, konflik satwa dan manusia, dan sejumlah masalah lain. “Kalau saja kondisi seperti ini tidak kami pengaruhi, kemungkinan besar PHBM akan mendapat tekanan perubahan fungsi,” ujar Yul Qori.

Ia menyatakan, kawasan ini memiliki banyak potensi tambang, juga perkebunan. Kekuatan korporasi ini masuk melalui program kemitraan. Padahal, melalui pola kerja kemitraan akan terjadi perubahan alih fungsi. Misalnya, dari kebun karet jadi kebun

sawit. Itulah sebabnya WARSI mengusahakan agar PHBM masuk ke dalam Rancangan Umum Tata Ruang. Wilayah atau desa yang telah menjadi PHBM, atau masih berupa kebun karet lokal, atau agroforestry, dilindungi. Sebab, posisi wilayah tersebut secara geografi itu berada di bagian hulu.

Di dalam PHBM ada empat titik kelola. Kelola kawasan, kelola kelembagaan, kelola usaha, dan peningkatan kapasitas

manusia. Kelola kawasan ini dalam bentuk rehabilitasi hutan. Misalnya dengan penanaman demi meningkatkan nilai ekologinya. Sedangkan kelola usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. “Suatu desa tumbuh secara ekologi, dan secara ekonomi tumbuh berkembang pendapatannya,” katanya.

WARSI mengusung konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dalam menyusun RTRW Kabupaten. Tujuannya agar kawasan yang masuk sebagai hutan adat, hutan desa yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat desa, dapat diperkuat kedudukannya.

50

dengan adat menjaga hutanFo

to o

leh

Ali

Sofi

awan

51

Yul Qori mengatakan, pada narasi RTRW Kabupaten disebutkan bahwa untuk daerah hulu dengan kemiringan lahan hampir 40 persen, tidak layak dijadikan perkebunan atau kegiatan tambang. “Kami ingin masukkan proyek-proyek itu ke dalam tata ruang sehingga ke depan tidak beralih fungsi,” kata Yul Qori.

Sebab, kata dia, ancaman masuknya korporasi sehingga terjadi alih fungsi lahan sudah benar-benar terjadi. Ia mengambil contoh di Kabupaten Merangin, Jambi. Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Merangin tahun 2009, di kabupaten ini terdapat konsesi HPH seluas 228.200 hektar yang merupakan blok hutan yang menyatu dengan kawasan TNKS. Selanjutnya menurut data Poros Masyarakat Kehutanan Merangin tahun 2010, terdapat rencana pembangunan HTI pada areal bekas konsesi tersebut seluas 83.675 hektar. Ini terdiri dari kawasan HP dan HPT bekas konsesi PT. Serestra II, PT. Nusalease TC, dan PT. Rimba Kartika. Pembangunan HTI ini rencananya akan dilakukan oleh PT. DAM (Duta Alam Makmur).

Saat ini menurutnya keberhasilan WARSI selama setahun pertama menjalankan program TFCA-Sumatera, adalah bertambah luasnya PHBM. Menurut dia, sudah ada 25 desa di wilayah TNKS yang dapat izin pencadangan areal kerja dari Menteri Kehutanan. Sebelumnya, hanya ada satu di Lubuk Beringin. Di kawasan ini, sewaktu TFCA-Sumatera baru akan berjalan, baru mendapat izin pencadangan areal dan Hak Pengelolaan Hutan Desa.

Proyek ini kemudian mereka lanjutkan. Dan, mereka membuat rencana kerja selama 35 tahun. Ada juga rencana kerja per tahun. Pekerjaan tersebut dimulai April 2011. “Sekarang sudah punya rencana kerja yang disahkan Gubernur dan Bupati,” kata Yul Qori bangga. Ia mengakui bahwa di 24 desa lain masih pada tahap studi. Dan, di Kabupaten Merangin juga sudah 17 desa yang mendapat izin dari Menteri Kehutanan.

Di Kabupaten Bungo yang berawal dari hanya satu desa yakni di Lubuk Beringin, kemudian bisa menyebarkan ke empat desa tetangganya. “Dari empat desa itu, tiga sudah mendapat izin Menteri. Satu desa sudah diverifikasi oleh tim Kementerian Kehutanan, tinggal menunggu hasilnya,” ungkap Yul Qori.

Getok tular pelaksanaan PHBM berlanjut hingga Kabupaten Solok. Ada yang sudah mendapat izin menteri, dan juga surat izin

51

dengan adat menjaga hutan

Macam Hutan Rakyat

Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.

(sumber: wikipedia)

52

gubernur untuk Hak Pengelolaan Hutan Desa. Di Solok Selatan, satu Nagari sudah memperoleh izin dari menteri dan surat izin HPHD dari Gubernur. “Kami sudah melakukan sosialisasi di empat nagari. Kami juga sudah melakukan pemetaan untuk satu nagari. Dan, proses terus berkembang,” kata Yul Qori optimistis.

Keberhasilan tersebut bukan melalui proses instan. Sebab, WARSI memang sudah lama mendampingi desa-desa di Kabupaten Bungo. Hubungan baik dengan masyarakat maupun pemerintahan sudah dibangun sejak lama. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Merangin. Di Solok dan Solok Selatan, WARSI memang relatif lebih baru. Sehingga, perkembangannya pun kalah cepat dibandingkan dengan kabupaten yang lainnya.

Namun, Yul Qori menyakini bahwa lesson learned selama di kedua kabupaten sebelumnya, bisa menjadi dasar untuk melangkah maju. Contohnya adalah di Solok Selatan. Baru satu tahun masuk, pada tahun kedua WARSI sudah bisa mengembangkan sembilan nagari lagi. “Proses ke situ terus kami lakukan dengan serius,” katanya. Keberhasilan lain, kata Yul Qori, orang yang tinggal di rangkaian TNKS relatif lebih peduli terhadap konservasi.

WARSI juga memperhatikan beberapa faktor pada masa persiapan awal pengusulan PHBM bagi suatu desa agar hasilnya lebih cepat. Selain faktor sosial, ekonomi, budaya, WARSI juga melihat apa kearifan lokal yang hidup di sana. Khususnya adalah kearifan lokal dalam pengelolaan berkelanjutan. Jika di sana sudah ada lubuk larangan, ada aturan menangkap ikan, atau aturan memanen buah, ada sesuatu yang boleh diatur secara hukum adat, maka itu sudah menjadi dasar yang kuat. Itu semua modal besar untuk menjalankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Membangun Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dilakukan melalui sistim penyusunan tata ruang maupun langsung melakukan pendampingan pada masyarakat. PHBM dilakukan baik secara ekonomi maupun secara ekologi. PHBM ini merupakan alat atau media bagi WARSI untuk meningkatkan rehabilitasi lahan. Sekaligus, media untuk memberdayakan perekonomian masyarakat desa hutan.

52

dengan adat menjaga hutan

53

Padahal kawasan ini kondisi hutan alamnya masih sangat baik dan memiliki peran penting sebagai penyangga TNKS. Sebab, kawasan itu merupakan wilayah hidup harimau Sumatera yang sudah langka. Selain itu, kawasan ini juga merupakan water catchment area Batang Merangin yang merupakan salah satu sub-Daerah Aliran Sungai Batanghari. Kini, aliran air di situ dimanfaatkan sebagai sumber air bagi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di empat kecamatan: Jangkat, Sungai Tenang, Lembah Masurai, dan Muara Siau.

MENGHARMONISASI KONSERVASI DAN PEMANFAATAN

Salah satu contoh pencapaian WARSI juga dapat dilihat di Desa Guguk. Di desa itu terdapat tanah adat seluas 650 hektar. Ada banyak sekali satwa langka, seperti harimau sumatera dan kijang emas. Yul Qori menjelaskan bahwa jarak hutan adat dengan desa sangat dekat. Hanya dibatasi sungai Merangin. Tapi di Desa Guguk satwa liar dan manusia hidup dengan harmonis.

Ia membandingkan dengan situasi tak harmonis antara manusia dan satwa, yang juga masih di dalam wilayah Kabupaten Merangin. Ia mengatakan, di desa yang hutannya sudah beralih fungsi untuk HTI dan perkebunan yang cukup besar, konflik antara manusia versus satwa justru terjadi. “Ada kasus di Jambi terutama di Merangin, ada orang dimakan harimau,” kata Yul Qori. Akibat hutan beralih fungsi, kata Yul Qori, salah satunya harimau masuk ke permukiman. Yul Qori yakin pengelolaan hutan adat atau pengelolaan hutan yang bukan hutan adat, menjamin keharmonisan antara satwa dan manusia.

Sawah hasil dari pemanfaatan sub-Daerah Aliran Sungai Batanghari

53

dengan adat menjaga hutan

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

54

berembuk untuk semenanjung kampar

54

Hutan rawa gambut mempunyai

fungsi penting. Yaitu, menyimpan

air untuk mencegah terjadinya

banjir dan sebagai daerah

tangkapan air. Hutan gambut

juga jadi penyangga dari intrusi air

laut, menyaring polutan yang dapat

menyebabkan degradasi pada danau,

sungai, dan air bawah tanah. Hutan

rawa gambut juga menyediakan

produk kayu dan non kayu, dan

menyediakan habitat bagi satwa.

Foto oleh Ali Sofiawan

Foto oleh Ali Sofiawan

55

berembuk untuk semenanjung kampar

55

BEREMBUK UNTUK SEMENANJUNG KAMPARKonsorsium Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau atau disingkat Jikalahari memilih cara tersendiri dalam melindungi Lansekap Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis dan Ekosistemnya yang terletak di Propinsi Riau dengan menghimpun kesepakatan dari semua pihak yang berkepentingan dalam suatu kawasan.

Jikalahari yang beranggotakan Yayasan Mitra Insani, Elang, Riau Woman Working Group, Yayasan Kabut Riau, Perkumpulan Alam Sumatera dan Yayasan Bunga Bangsa bekerja dalam Lansekap Kerumutan - Semenanjung Kampar - Senepis dan ekosistemnya yang masuk dalam ecoregion Sumatra Freshwater Swamp Forest. Wilayah ekosistem (ecoregion) ini hanya menyebar pada bagian pesisir timur Sumatera.

EKOSISTEM GAMBUT

Hutan rawa gambut mempunyai fungsi penting. Yaitu, menyimpan air untuk mencegah terjadinya banjir dan sebagai daerah tangkapan air. Hutan gambut juga jadi penyangga dari intrusi air laut, menyaring polutan yang dapat menyebabkan degradasi pada danau, sungai, dan air bawah tanah. Hutan rawa gambut juga menyediakan produk kayu dan non kayu, dan menyediakan habitat bagi satwa.

Peranan penting dari rawa gambut yang lain adalah sebagai penyimpanan karbon. Vegetasi semi lapuk menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan mencegahnya lepas ke atmosfer sebagai karbondioksida, penyebab pemanasan global. Sekitar 15 persen total karbon yang disimpan di lahan gambut dapat ditemukan di rawa gambut tropis.

Areal bergambut di dunia diperkirakan mencapai 420 juta hektar hingga 500 juta hektar. Indonesia diperkirakan mempunyai

56

cadangan gambut seluas 17 juta hektar. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai cadangan gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat.

Hutan rawa gambut tropika di Indonesia adalah ekosistem yang kondisinya sangat terancam saat ini. Ini mengingat sudah terbagi habisnya lahan mineral untuk keperluan industri kehutanan dan perkebunan skala besar. Target berikut industri dan perkebunan adalah memanfaatkan area hutan rawa gambut.

Blok hutan rawa gambut Kerumutan yang masih tersisa saat ini hanyalah Suaka Marga Satwa Kerumutan dan sekitar 44 ribu hektar di bagian barat SM. Kerumutan. Selebihnya sudah dan sedang berubah pemanfaatannya menjadi HTI dan perkebunan sawit perusahaan skala besar.

Kondisi yang sama terjadi pada blok hutan rawa gambut di Semenanjung Kampar. Kawasan itu terancam deforestasi, degradasi, dan kebakaran sejak 2000. Kawasan ini masih mempunyai hutan rawa gambut alami yang masih bagus sebesar 40 persen di bagan tengah. Ini terdiri dari 4 kawasan konservasi berupa danau.

Keberadaan kawasan tersebut sangat tergantung pada 60 persen area yang ada di sekitarnya. Saat ini, kawasan sekitar itu sedang dan berpotensi berubah menjadi industri hutan tanaman dan perkebunan skala besar. Konsep Ring Kampar APRIL yang saat ini gencar disosialisasikan juga memberikan ancaman terhadap 40 persen hutan alam yang masih bagus.

Blok hutan rawa gambut Senepis dengan populasi harimau yang cukup besar, sekitar 30 ekor, juga sedang mengalami ancaman.

Tempat pembibitan mangrove. Blok hutan rawa gambut Kerumutan yang masih tersisa saat ini hanyalah Suaka Marga Satwa Kerumutan dan sekitar 44 ribu hektar di bagian barat SM. Kerumutan. Selebihnya sudah dan sedang berubah pemanfaatannya menjadi HTI dan perkebunan sawit perusahaan skala besar.

56

berembuk untuk semenanjung kamparFo

to o

leh

M. J

eri I

man

syah

57

Kondisi habitat kritis karena kegiatan konversi hutan alam menjadi HTI. Ancaman dengan dampak yang lebih besar juga datang dari pembangunan jalan yang membelah kawasan.

Secara umum, ancaman terhadap pelestarian lanskap Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis adalah adanya penebangan dan konversi hutan alami. Selain itu, ancaman dari pembangunan jalan dan pembuatan drainase untuk pengembangan HTI dan kebun sawit pada lahan gambut. Kondisi ini menyebabkan terlepasnya karbon yang ada di atas dan di bawah hutan rawa gambut alami. Kebakaran juga mempercepat proses terlepasnya karbon ke udara.

Pada sisi lain, masyarakat sekitar yang selama ini sangat bergantung pada sumber daya alam yang masih alami, mulai tersingkirkan oleh kehadiran perusahaan besar. Padahal, banyak usaha masyarakat lokal yang masih bisa sejalan dengan pengelolaan ekosistem rawa gambut secara lestari. Misalnya, budidaya perikanan, budidaya lidah buaya, dan lainnya. Budi daya masyarakat ini tak mengakibatkan menurunnya level air dalam kawasan.

Untuk menghadapi kemungkinan dampak permanen bagi kelestarian hutan rawa gambut ini di masa depan, maka diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan efektif Lanskap Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis. Perlindungan dan pengelolaan ini untuk menekan dampak lingkungan dan sosial.

MENDUDUKKAN PARA PIHAK

Tuduhan pembukaan lahan gambut tanpa izin, hanya satu dari beberapa konflik yang melibatkan Jikalahari. Hal ini dikatakan oleh Susanto Kurniawan, kordinator Konsorsium Jikalahari untuk Program TFCA-Sumatera. Susanto mengatakan, menghubungkan para orang berkonflik memang agak repot. Apalagi jika Jikalahari menjadi pihak yang juga terlibat dalam konflik. Susanto mengatakan,

Jikalahari berhasil membentuk Forum Multipihak yang terdiri dari unsur masyarakat, pemerintah dan swasta untuk mengawasi pengelolaan 700 000 hektar Semenanjung Kampar untuk membantu pemerintah KPHP Tasik Besar Serkap.

57

berembuk untuk semenanjung kampar

Foto

ole

h A

li S

ofiaw

an

58

dalam proyek ini banyak pihak yang mengatakan bahwa kawasan tersebut memang harus diselamatkan. “Tapi, banyak pihak itu tidak pernah bisa duduk bersama,” kata Susanto.

Toh akhirnya, Jikalahari berhasil memfasilitasi semua pihak. Mereka kemudian duduk bersama untuk membicarakan masa depan kawasan. “Setidaknya, kami punya kepentingan bersama untuk perlindungan kawasan,” begitu kata Susanto. Sehingga, terbentuk Forum Multi Pihak. Bagi Jikalahari, itu merupakan langkah besar pencapaian dalam Program TFCA-Sumatera di wilayah Kerumutan- Semenanjung Kampar-Senepis.

Langkah-langkah mempertemukan pihak-pihak yang tadinya berkonflik tidaklah mudah. Semua pihak perlu menahan diri. Ia menggambarkan bagaimana ada konflik dengan soal perizinan untuk perusahaan RAPP (PT Riau Andalan Pulp & Paper) 327 tahun 2009. Ketika itu Jikalahari bicara tentang perlindungan kawasan. Namun tahu-tahu izin konsesi untuk RAPP dikeluarkan pemerintah.

Dengan adanya Forum Multi Pihak ini para pihak menjadi bisa duduk bersama. Diskusi terjadi dalam tim-tim kecil yang dibentuk. Hasil diskusi di tim kecil ini kemudian dibawa ke pertemuan besar. Jadi, kata Susanto, prosesnya memang agak panjang. Selanjutnya, mereka memunculkan orang- orang yang dianggap tidak menjadi bagian dari konflik. Tentu, bukan sekadar duduk dan berbicara yang menjadi tujuan Forum Multi Pihak. Mereka sepakat bahwa, menyelamatkan lanskap Kerumutan- Semanjung Kampar – Senepis membutuhkan tindakan.

Menurut Susanto, forum memang sudah terbentuk. Forum juga sudah menyusun tindakan apa yang hendak mereka kerjakan. Namun, kata Susanto, ketika bicara pola ruang, maka di sana bicara tentang kepentingan. Persoalan kepentingan tidak bisa selesai hanya dengan forum. Sebab, kata dia, selain bicara dengan forum, pola ruang juga bicara dengan pemerintah terutama gubernur. Forum kemudian membentuk semacam Dewan Pakar. Di situ, ada Lembaga Adat Melayu. Kenapa Lembaga Adat Melayu? Sebab, dia adalah lembaga informal yang keberadaannya diakui oleh pemerintah.

Menyiasati pola ruang, menurut Susanto, mengusung kepentingan masyarakat. Ini dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat.

58

berembuk untuk semenanjung kampar

Rawa GambutGambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi.

Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule.

59

Tujuannya agar masyarakat bisa turut mengelola kawasan untuk kesejahteraan mereka sendiri. Masyarakat sekaligus menjadi pengawas dan pelaku pelaksanaan perlindungan lingkungan hidup. Jadi harus ada suatu badan.

Badan itu kemudian bekerja. Selanjutnya, mereka menyepakati suatu pola ruang. Kemudian, bicara tentang Praktek Pengelolaan terbaik (Best Management Practice, BMP) yang telah ada. Susanto lebih suka menggunakan istilah pola ruang sebagai pengganti istilah tata ruang. “Kami telah mendorong masyarakat mengenai adanya pola ruang yang ideal. Masyarakat saja bisa kenapa perusahan tidak bisa,” kata Susanto.

Menurut dia, secara logika yang bisa menerapkan dengan efisien perubahan menuju Best Management Practice adalah organisasi perusahaan. Namun karena BMP ini juga menyangkut pengelolaan kelestarian lingkungan hidup, maka sulit misalnya bagi perkebunan sawit, atau industri kertas untuk menjalankannya. Strategi membangun BMP pada masyarakat sekitar hutan adalah dengan memberikan jaminan masa pemilikan (tenure) pada masyarakat. Caranya, dengan memberikan status hutan adat, atau hutan desa. “Yang kami sedang lakukan adalah bagaimana lahan- lahan yang clear and clean di kawasan itu bisa dikelola oleh masyarakat,” kata Susanto.

Upaya ini, menurut dia, mendapat tanggapan dari pemerintah kabupaten. Ia melihat bahwa pemerintah kabupaten berinisiatif untuk menyediakan ruang bagi masyarakat. Bupati Pelalawan sudah memberikan respons positif juga dengan kerja. Ia memberikan lahan sekitar 4.000 hektar yang akan dikelola masyarakat untuk hutan desa. Lahan itu diberikan di Desa Serapung, Kecamatan Kuala Kampar, dan di Desa Sedamai. Lahan itu sudah diverifikasi Kementerian Kehutanan untuk mendapatkan izin. “Kami menunggu izinnya keluar,” kata Susanto.

Setelah ada jaminan kepemilikan tercapai, kata Susanto, Jikalahari masuk ke masyarakat petani. Sebab, ada perkebunan sawit di situ. Lalu, mereka bicara tentang BMP. Di Desa Dosan, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak Sri Indrapura adalah contoh awal pelaksanaan BMP pada hutan desa.

Mereka membuat lahan contoh yang hanya dua hektar. Lahan itu dikerjakan dengan konsep pengelolaan lingkungan. Bahkan,

59

berembuk untuk semenanjung kampar

60

mereka atur dalam buku. Hasilnya lumayan lebih baik. Dan, itu memotivasi petani untuk melakukan perbaikan tanaman. Mereka bisa melihat, lahan dua hektar itu pada awalnya hanya panen 300 kilogram. Tapi dengan adanya perlakuan tersebut, panen menjadi 800 kilogram. Bahkan terakhir itu 1.300 kilogram.

PERLINDUNGAN HUTAN OLEH MASYARAKAT

Masyarakat bahkan bukan saja melakukan pengelolaan ramah lingkungan. Masyarakat desa juga melindungi kawasan hutan. Komitmen tidak melakukan ekspansi kebun sawit diikrarkan oleh 1.156 kepala keluarga yang memiliki lahan perkebunan sawit seluas 3.500 hektar. Berdasarkan komitmen Asosiasi Koperasi Sawit Siak Sejahtera pada Februari 2011, sekitar 740 hektar wilayah hutan yang tersisa di tujuh desa disepakati untuk dilindungi dan tidak akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan kelompok petani di sana sedang mengusahakan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Inisiatif dari kelompok petani sawit kecil bila dibandingkan dengan para raksasa pengusaha Kebun Kelapa Sawit di Indonesia ini kiranya layak disebut yang pertama dan patut mendapat acungan jempol.

Selain melindungi, upaya restorasi dilakukan. Ini terjadi di Sungai Rawa, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. Di kawasan ini, mangrove rusak. Jikalahari membuat peta wilayah mana saja yang rusak. Jikalahari juga melakukan penanaman di wilayah yang rusak itu. Inisiatif masyarakat tumbuh. Mereka mengumpulkan bibit, menanam segala macam, hingga merawatnya.

Jikalahari juga melakukan pendekatan kepada kaum perempuan. Di antaranya di Desa Teluk Binjai, Kecamatan Meranti di Kabupaten Pelawan, dan di Desa Sungai Berbari, Kecamatan Pusako, Kabupaten Siak. Ketika bicara tentang pengelolaan sumberdaya, perempuan jadi bagian dari penerima segala macam dampak. Kaum perempuan yang menjadi sasaran adalah istri para nelayan. Para perempuan didorong untuk kreatif di rumah tanggannya, untuk membantu ekonomi rumah tangga.

Susanto memberi contoh di Berbari, Siak. Perempuan di sana biasa membeli sayuran. “Kami bilang, kenapa harus membeli kalau ibu- ibu ini bisa menanam,” kata Susanto. Maka, masuklah program pemberdayaan melalui penanaman sayur. Pelaksanaan program

60

berembuk untuk semenanjung kampar

61

ini menimbulkan pertanyaan, apakah mereka memiliki lahan. Ternyata tidak. Atas inisiatif masyarakat, mereka memanfaatkan lahan desa.

Dari penanaman sayur, Jikalahari bisa memunculkan lagi topik peningkatan ekonomi. “Apa yang biasanya tersedia, jahe,” ungkap Susanto. Selama ini jahe dijual mentah. Biasanya, jahe dipanen dan dijual dengan harga sangat rendah. Mereka lalu didorong untuk mengolah jahe. Jahe diolah menjadi bubuk. Penjual jamu banyak menampung hasil olahan jahe ini. Sehingga, nilai jual jahe jadi meningkat.

Menurut Susanto, hasil dari upaya ini adalah menjadikan masyarakat kreatif. Mereka terus mengembangkan keterampilan ekonomi. Jikalahari lalu bertanya kepada masyarakat, setelah ekonomi meningkat, apa yang hendak dilakukan. Mereka bisa mengumpulkan uang. Lalu bicara tentang kebutuhan hidup. Jikalahari kemudian bicara kepada masyarakat, mengapa mereka tidak berkumpul lagi untuk membentuk CU, credit union. Sehingga, dana akan memutar di situ. Masyarakat bisa saling membantu melalui kredit tersebut.

Masyarakat bahkan bukan saja melakukan pengelolaan ramah lingkungan. Masyarakat desa juga melindungi kawasan hutan. Komitmen tidak melakukan ekspansi kebun sawit diikrarkan oleh 1.156 kepala keluarga yang memiliki lahan perkebunan sawit seluas 3.500 hektar.

61

berembuk untuk semenanjung kampar

Pho

to o

leh

M. J

eri I

man

syah

62

30 Juni 2009Penandatanganan Forest Conservation Agreement

September 2009staf pertama TFCA-Sumatera

Juni 2010Call for Concept Paper pertama

November 2010Persetujuan penetapan mitra hibah pertama

24 Februari 2011 Penandatanganan perjanjian hibah dengan mitra- mitra pertama TFCA-Sumatera

April 2011Pembukaan siklus Hibah II

April 2012Pembukaan Siklus Hibah III

Timeline TFCA - Sumatra

tentang tfca-sumatera

62

Photo oleh M. Jeri Imansyah

63

YAYASAN LEUSER INTERNASIONAL (YLI)Yayasan Leuser Internasional mengambil focus di Kawasan Singkil di Aceh Selatan karena kawasan ini mempunyai arti penting dan strategis bagi konservasi kawasan.

Koridor Trumon-Bakongan merupakan area yang menghubungkan antara

hutan pegunungan kawasan Bakongan di sebelah utara dengan Suaka

Margasatwa Rawa Singkil di sebelah selatan. Di sini satwa dari kawasan

pegunungan menemukan celah untuk turun ke daerah rawa begitu pula

sebaliknya. YLI mencoba melindungi kawasan dengan melakukan kegiatan

reboisasi kawasan dengan menjalin kolaborasi yang erat dengan Pemerintah

maupun masyarakat.

Salah satu proyek yang cukup penting untuk pengamanan kawasan adalah

dibangunnya Conservation Response Unit (CRU) untuk mengatasi konflik

gajah-manusia yang marak terjadi akibat makin terdesaknya habitat gajah

oleh aktifitas manusia. Dengan memiliki empat gajah patroli, CRU menjadi

tumpuan untuk mengatasi gangguan gajah yang bersinggungan dengan

kepentingan penduduk.

INSTITUT GREEN ACEH (IGA)Aktifitas Institut Green Aceh berfokus di wilayah penyangga Kawasan Ekosistem Leuser dengan tujuan untuk mempertahankan dan mengembalikan fungsi kawasan konservasi, keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar Taman Buru Linge Isaq, Aceh Tengah.

Lewat berbagai program seperti perumusan rencana pengelolaan Taman Buru

Linge Isaq, meningkatkan kapasitas masyarakat, pemberlakuan aturan adat,

membentuk tim monitoring illegal logging dan kebakaran hutan, survey

kekayaan flora fauna dan keanekaragaman hayati kawasan dan berbagai

kegiatan lainnya, Institut Green Aceh bermitra bersama pemerintah daerah

dan BKSDA untuk melindungi kawasan dengan berbasis masyarakat.

Diharapkan masyarakat dapat diajak bersama untuk memelihara kawasan

sekaligus mendapat manfat berupa peningkatan ekonomi melalui berbagai

hasil hutan seperti pemanfaatan kayu, rotan, madu hutan, dan sebagainya.

Pengelolaan pengetahuan yang didapat selama pelaksanaan proyek

merupakan data dasar yang sangat penting bagi para pihak yang terlibat

untuk pengelolaan kawasan secara lestari.

PROFIL MITRA TFCA-SUMATERA

tentang tfca-sumatera

63

64

PETRALewat berbagai inisiatif yang dikembangkannya, Petra yang merupakan

kependekan dari Perkumpulan Prakarsa Pengembangan Partisipasi untuk Rakyat dan Bina Keterampilan Pedesaan bergiat untuk

membangun penghubung antara Hutan Batang Toru dengan Taman Nasional

Batang Gadis di Sumatera Utara.

Dalam rangka menjamin keberlanjutan kehidupan mahluk hidup pada masa

sekarang dan masa akan datang, Petra berusaha mempertahankan hutan

primer yang tersisa, keanekaragaman hayati berikut jasa lingkungan yang

diciptakannya dengan memprtahankan ketersinambungan ekologis antar

habitat lansekap Batang Toru dengan Taman Nasional Batang Gadis melalui

koridor alami.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Petra adalah melibatkan peran aktif

masyarakat dalam melakukan kegiatan reboisasi di kawasan koridor.

Masyarakat juga dilatih pembibitan dan pemeliharaan hutan yang

baik melalui sekolah-sekolah lapang yang diadakan pembentukan dan

pendampingan Kelompok Petani SL-PHT Kakao, Pendirian Bank Pohon,

pembentukan forum Petani Coklat di tingkat Kecamatan, dan pembentukan,

kelompok pemasaran, dan penguatan akses pasar aksport coklat

Pendekatan adat dan pendekatan agama dipakai sebagai pendekatan

Program. Masyarakat diingatkan kembali akan pentingnya menjaga hutan

Rarangan (hutan adat desa). Pengayaan materi khotbah di masjid dan gereja

dengan materi yang bermuatan aktif dilakukan oleh Petra.

KOMUNITAS KONSERVASI INDONESIA(KKI WARSI)Komunitas Konservasi Indonesia (KKI WARSI) yang telah lama bergelut di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) mengajukan program mempertahankan kawasan hutan alam tersisa pada ekosistem TNKS untuk menjamin kelestarian keragaman hayati, mendukung kehidupan komunitas lokal serta menjadikannya salah satu Key Biodiversity Area yang penting di Sumatera.

WARSI berjuang untuk memperluas kawasan hutan yang dapat dikelola

oleh komunitas masyarakat. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

(RTRWK) dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjamin tetap lestarinya

kawasan TNKS. Pengukuhan Hutan Nagari dan Hutan Adat diupayakan lewat

dikeluarkannya SK oleh Menteri Kehutanan.

tentang tfca-sumatera

64

65

Masyarakat didorong untuk mengelola kawasan hutannya sendiri lewat

sistem yang disebut Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).

Penguatan dilakukan terhadap aspek ekonomi lokal, fasilitasi akses

pasar, perbaikan mutu produk, serta praktek-praktek pengelolaan hutan

lestari. Warsi juga mendorong adanya model Desa Wisata konservasi yang

diharapkan mampu mebmningkatkan kesehjahteraan pada masyarat tanpa

harus megeksploitasi hutan.

JIKALAHARIJikalahari bercita-cita untuk menciptakan suatu strategi perlindungan jangka panjang bagi Lanskap Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis dan Ekosistemnya.

Bentang alam yang terletak di bagian utara Kepulauan Riau ini menghadapi

berbagai tantangan yang dapat mengancam keberadaannya seperti

ancaman pelepasan karbon dari pembukaan kawasan rawa hingga ancaman

terhadap hidupan liar seperti Harimau Sumatera.

Untuk itu Jikalahari mengadakan beberapa jenis kegiatan seperti membangun

kesepakatan para pihak yang berkepentingan untuk melindungi Bentang

Alam Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis dan ekosistemnya, lewat

kegiatan penyadartahuan, mendorong upaya penegakan hukum terhadap

pelanggaran kesepakatan dan kejahatan keuangan.

Selain itu Jikalahari juga memainkan peranan sebagai mitra Kementerian

Kehutanan untuk pengelolaan bentang alam dengan mengedepankan aspek

tata ruang yang menjadi acuan bersama, menerapkan prinsip pemanfaatan

sumberdaya alam yang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekologi

dan ekonomi masyarakat

tentang tfca-sumatera

65

66

Foto oleh Ali Sofiawan

67

68

Human-Wildlife Conflict

The Leuser Ecosystem Region (Kawasan Ekosistem Leuser, KEL) is one of the important conservation areas in Sumatra facing pressure from deforestation and habitat destruction. There are several underlying causes: population pressure, poor implementation of spatial planning, and factors related to Aceh’s political status.

KEL spans two provinces: Aceh and North Sumatera. KEL is a rich wildlife habitat, home to significant flora and fauna. In the 11,000-hectare Singkil swamp forest, varied habitat types including peat swamp, mangroves, and riverine forest offer one of Indonesia’s last remaining ideal habitats for orangutan conservation. The local orangutan population is estimated to be more than 1,600 individuals.

The range of KEL’s elephant populations is declining, as is forest cover. The forest suffers

from logging and agricultural conversion, especially conversion for palm oil and rubber plantations. The root causes of this damage are poverty and inequality, exacerbated by improper public policy. Furthermore, there is rather weak law enforcement regarding forest crime.

Therefore, it is important to safeguard a corridor that can connect these forest areas and maintain elephant habitat. The Leuser Foundation of Indonesia, active since 1993 in Leuser’s environmental activities, claims that damage to this habitat is the most serious threat to the safety of local animals and ecosystem carrying capacity in general.

Pressure On Peat Swamp Forest

Another key species in Sumatra is the Sumatran Tiger (Panthera sumatraensis tigris), a top predator and umbrella species—protection targeted for tigers also means protection of the local habitat. The peat swamp forest block in

The Forest Situation in Sumatra

Pho

to b

y A

li S

ofiaw

an

68

69

Senepis has an estimated tiger population of approximately 30 individuals. This block is part of the larger Kerumutan-Kampar-Senepis eco-region.

Indonesia’s tropical peat swamp forests are highly threatened ecosystems. Pressures to peat swamp forest include: conversion for industrial forestry and large-scale plantations on peat land area; intensifying community agriculture and fishery practices; and unsustainable draining of peat lands through canal-building—resulting in potent carbon emissions that contribute to climate change.

Declining Forest Cover

Sumatra is also site to the Batang Toru Forest. This forest includes 101,000-hectare West Batang Toru and East Batang Toru—also known as East Sarulla or Selindung—with an area of 62,000 hectares. Nearby is Batang Gadis National Park, with an additional 108,000 hectares. Together, Batang Toru Forest and Batang Gadis National Park make up the Bukit Barisan Mountains landscape of North Sumatra province. This eco-region has been identified by scientists as one of 62 remaining key biodiversity areas in Sumatra

due to its important ecological functions. The area is classified as a “Disaster Prone Area” as it is located in an area of active volcanism.

Batang Toru Forest, Batang Gadis National Park, and the corridor in between are now experiencing significant deforestation and forest degradation. Between 2003 and 2007, in Batang Toru alone, deforested area covered 882 hectares, in 669 different locations.

In Batang Gadis National Park there are just 219 hectares of remaining natural forest, with deforestation encroaching on 55 locations within this area. Here, deforestation accelerants include: mining exploitation; development of a geothermal power plant; and pre-existing production forests. These factors have contributed to the creation of fragmented forest areas in which wildlife cannot easily roam.

Following a Supreme Court decision in favor of PT. Sorik Mas Mining’s concession claims in Decision No. 29/P/HUM/2004, Batang Gadis National Park was divided into 4 smaller areas. This development complicates the area’s security and animal mobility.

Declining Biodiversity

Kerinci Seblat National Park (TNKS) is another biodiversity-rich treasure in the region, and is one of the largest national parks in Indonesia. The park covers 1,368,000 hectares (Martadireja, 2007). According to data from the Regional Development Planning Agency of Jambi (2009), TNKS has over 4,000 species of flora, some of them endemic. Notable Jambi flora include Pinus merkusii (Kerinci strain), Harpulia alborera, Rafflesia arnoldi, Amorphophallus titanium, and A. decussilvae.

Pho

to b

y A

li S

ofiaw

an

69

70

TNKS management that incorporates all stakeholders is crucial, not solely for ecological purposes but also for social and cultural considerations. A number of traditional communities live in the TNKS area and its buffer zone, such as the Orang Rimba, Malay tribes, the Kerinci people, the Rejang Tribe, and the Lebong Tribe. All these peoples are forest dependent and rely on areas in TNKS buffer zone for their traditional home range.

Problems related to sustainable management of the national park are often related to poor law enforcement and coordination. Local customs (adat) claims, an assortment of sectoral interests, uncertainty of licensing for the production forest area on ex-concession land, and conflict between wildlife and humans are some of the other problematic issues in TNKS management.

Protecting Forest for Community Wellbeing

There is great need for action to curb the already massive damage to Sumatran forests. That is why Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) is supporting the achievement of sustainable environmental management for the welfare of local communities. The program will assist in efforts to curb deforestation and increase community and environmental carrying capacity. This goal is reflected in its vision: sustainable tropical forest biodiversity that supports sustainable development on the island of Sumatra.

TFCA-Sumatera focuses on supporting the establishment, restoration, protection, and maintenance of conservation areas and other protected areas through development and application of natural resource management systems. This includes ecosystem management and human resource development efforts such as institutional capacity building and public awareness programs.

Pho

to b

y do

c Y

LI

Pho

to b

y A

li S

ofiaw

an

70

71

Conflict between elephants and human is a long-existing problem, common in areas where human settlement converges with elephant habitat. Communities see the animal as a disruptive pest in their fields and villages; when elephants trespass in villages, they damage and eat crops.

Communities feel they are victims in this situation, and it is necessary to develop awareness of how to live alongside elephants and minimize conflict. The Leuser International Foundation (Yayasan Leuser Internasional/YLI) seeks to address this challenge with its Conservation Response Unit (CRU).

Gampong Naca is located in the Singkil Bengkung wildlife corridor in the southern part of Leuser Ecosystem area in Aceh Province. The Leuser International Foundation works to promote community-based sustainable conservation in the South Aceh-Singkil strategic area of Aceh Province. The project is located in Leuser National Park on the KEL border. The area is dominated by peat swamp, covering around 110,000 hectares. Parts of the area have been designated as wildlife sanctuary.

This area is one of the last remaining ideal habitats for orangutan conservation. It is estimated that more than 1,600 orangutan live in this area. The elephant range is getting smaller; in the Singkil area there is the only one corridor that sustains an elephant population. The most severe threat to elephant conservation is habitat destruction due to logging activities and forest land conversion for agriculture, palm oil, and rubber plantation purposes. The Singkil Bengkung corridor is a 2.5 km-long pathway connecting the Singkil swamp forest to the rest of the KEL area upstream.

Elephant Patrols

This corridor is exposed to new roads traversing the area, making it an easy target for forest encroachment; this situation is exacerbated by weak law enforcement. There are 131 villages within the area with at least 60,000 inhabitants in at least 17,000 households. The ecosystem lies within Trumon Sub-district, located along the roadway between South Aceh District, Tapak Tuan, and the North Sumatera provincial capital, Medan. Access from center of Trumon Sub-district to the surrounding rural villages is still limited. YLI hopes to make this area part of the Singkil ecosystem in order to enhance preservation activities.

Abu Hanifah Lubis, YLI coordinator for the TFCA-Sumatera project, said that YLI aims to attain biodiversity and ecological integrity by ensuring benefits for the community living in surrounding areas. There are three main actions undertaken by YLI in Singkil: first, assisting the government in determining land ownership and area borders; second, conducting proper management that prevents human-wildlife conflict, with elephants in particular; and third, promoting land rehabilitation in the sanctuary area and along the corridor line.

TFCA-Sumatera agreed to support YLI by providing grants amounting to IDR 5.3 billion

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

71

72

for a three-year program. In the first year (2001), TFCA-Sumatera disbursed about IDR 1.1billion. YLI has two operational target areas: Rawa Singkil Sanctuary covering 102,500 hectares, and Singkil-Bengkung corridor covering 2,700 hectares.

YLI has established a team to conduct field surveys and eventually restore boundary markings around the Rawa Singkil wildlife reserve. The demarcation stretches along Subulussalam District to Southern Aceh District. YLI found that conversion has been occurring along the border, both for palm oil plantation and for road access. This problem cannot be handled solely by YLI; the government must take firm action and enforce the law.

Abu Hanifah is optimistic for the achievement of two other project components: human-wildlife conflict mitigation and land rehabilitation. Regarding the latter, YLI has established a tree nursery facility and two nursery community groups at Ie Jerenih village and Naca village. The community groups have been trained by

YLI and the Agricultural Extension Agency of South Aceh. The facility will provide seedlings for restoring forest in the Singkil-Trumon corridor. The community role in the project will hopefully develop a sense of ownership.

The seeds for reforestation come from native species of the Singkil-Trumon corridor. In addition, the project will plant productive and useful fruit trees like durian or langsat. Fruit trees will be planted near the village and along the village’s main road. YLI also prioritizes rehabilitation of forest near springs and rivers. The community will receive incentive payments based on the number of surviving trees. Any fruits harvested will belong to the community. “This generates important alternative income,” Abu Hanifah says of the project.

Establishment of the Conservation Response Unit

One of the main YLI programs is the Conservation Response Unit (CRU) that deals with human-elephant conflict. In 2010, the

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

72

73

Singkil-Bengkun community asked the bupati (regent) of South Aceh District to establish an elephant patrol in their area.

Conflict resolution between elephants and locals has been carried out by mobilizing tame elephants to help herd wild elephants to a safe area outside human settlements. The success of the quickly-constructed basecamp in Trumon is a proof of the full support provided by community and government agencies to this project.

One of the obstacles to building the basecamp was procuring legal timber. “While the CRU was building, the logging moratorium was in force in Aceh, therefore it was a bit difficult to get wood material for this project,” Abu remarked. Elephants and their mahout from PLG Saree have been active in CRU Trumon from 28 June, 2012 with four elephants ready to do routine patrolling. These elephants were trained at Cut Nyak Dien Forest Park elephant school, established in 1994 in Seulawah, Aceh. The tame elephant patrol can be utilized for monitoring

illegal activities in addition to monitoring and herding wild elephants.

Joint efforts between government agencies and the community aim to curb local ecological pressures, one of the evaluation points included in the TFCA-Sumatera feasibility study. The elephant patrol is expected to increase awareness about the importance of local boundaries. In addition, the patrol will also monitor the area and assist rehabilitation efforts jointly undertaken by the community and government agencies.

In the future, CRU-Trumon will be handed over to the local community and government. Efforts will be made by TFCA-Sumatera to ensure a stable transition and future sustainability of CRU-Trumon.

Pho

to o

leh

M. J

eri I

man

syah

73

74

Basri, head of the Natural Resources Conservation Agency (Balai Konservasi Sumber Daya Alam, BKSDA) in Central Aceh district, can only smile bitterly. He leads the BKSDA responsible for Linge Isaq Hunting Park. The park covers 800 million square meters, but his agency has just five officers to guard the entire park.

The Buru Linge Isaq Hunting Park is equivalent in size to 112,024 football pitches. While football pitches benefit from three guards—two line men and one referee—the park is ill equipped to guard its territory. Basri notes that many thousands of guards would be needed to maintain the same oversight ratio. This shortfall is a common problem in Indonesian parks and conservation areas.

This area has been a conservation area since 1 February, 1978 by decree of the Ministry of Agriculture. It is located in Linge Sub-district in Central Aceh District. Linge Sub-district includes 26 villages located in the central part of the park. Five villages directly border the park: Jamat, Reje Payung, Delung Sekinel, Kute Reje, and Linge village.

In the local TFCA-Sumatera funded project, the Insitute Green Aceh (IGA) coordinates a consortium for conservation of Linge Isaq Hunting Park and adjacent areas in order to improve conservation efficiency, protect biodiversity, and generate community income for those living around the hunting park. Members of the IGA consortium include Yayasan Institut Green Aceh, the Lebah Foundation, the Ekowisata Aceh Foundation, and the Pugar Foundation. These Aceh-based conservation NGOs each play their own part in achieving the consortium’s goals: the Lebah Foundation focuses on policy, Pugar focuses on economic empowerment for communities, the IGA handles critical land rehabilitation and habitat restoration, and Yayasan Ekowisata Aceh handles the biodiversity protection.

Given Aceh’s unique post-conflict situation, there is a lack of general knowledge about forest status in the Hunting Park, with many people unaware of the authority or tenure situation in the park. Insufficient forest guard staffing makes management even more difficult. “From corner to corner, it is a four hour journey. Some parts are accessible and others are inaccessible. If there is no access, it might be more difficult to reach the destination,” said Adie Usman Musa (former IGA Director). However, any infrastructure improvement and road construction create another problem by enabling access for environmental criminals. There is already established road access through the park that links Takengon to Gayo Lues District.

The Hunting Park is divided at Burlintang and Ise-ise. These two areas function as a wildlife corridor and supports significant fauna: wild boar (Sus scrofa), deer (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus unicolor), Sumatra tiger (Panthera tigris), gibbon (Hylobates moloch), orang utan (Pongo abelii), long-tailed macaque (Macaca

GUARDING THE HUNTING FOREST

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

74

75

fascicularis), and clouded leopard (Neofelis diardi).

The conservation challenge in this area is immense; there is illegal logging involving many parties, forest encroachment, illegal poaching, and forest fires, among other issues. Forest crimes occur with various modus operandi, with locals sometimes involved in environmental crime. There are concessions/IUPHHK in the area, as well as privately managed production forests. In order to deal with these problems, the Forestry Agency of Central Aceh decided to place a group of Forest Police guards at Isaq, the capital of Linge Sub-district. The central government is also assisting by appointing a team placed at the Office of Conservation and Natural Resources Authority, Central Aceh.

Through the IGA, TFCA-Sumatera supports the government’s efforts in improving the management of the Hunting Park. Numerous efforts have sought to turn Linge Isaq Hunting Park into a successful recreational park through creation of management plans, biodiversity conservation, land rehabilitation, and strengthening of community livelihoods.

The IGA consortium is expected to come up with a 25-year management plan for the Hunting Park area. However, Adie noted that the conservation programs have historically been rejected by the community. According to him the community tends to be resistant when encouraged to address conservation problems. There is a growing assumption among community members that conservation programs means prohibition of access to forest resources.

Meanwhile, the community needs land: “That’s why IGA does not initiate programs to delineate forest zones, although it is realized that delineation programs are necessary for

plan implementation. We limit ourselves by not involving ourselves too much in forest boundary issues. This is very sensitive. We do not want to address the issue of forest boundaries as provincial spatial planning is not ready yet,” explains Adie.

To change the community’s negative view on the issue of environmental considerations, there should be intensive effort to disseminate knowledge. This effort must be long-term: to build trust in the community, project assistants should stay with the community rather than visit for a day at a time. This allows greater collaboration and understanding.

From this interaction, project assistants may identify traditional wisdom practices that are no longer widely applied. Assistants can help promote traditional practices and values with the aim of improving management and community well-being. In addition, if they are able to harmonize traditional wisdom and modern knowledge, they can elevate community awareness of the importance of conservation in safeguarding natural resources, such as the park’s tremendous richness in flora. Here, the forest is dominated by myrtaceae, annonaceae, staphyllaceae, meliaceae, theaceae and clusiaoeae. It is also home to Sumatra’s most emblematic species, the Orangutan and Sumatran Tiger.

In the Jamat area, conservation efforts are still in place despite constant threat from illegal logging, forest fires, wildlife poaching, and other activities that often occur near the access point to the Hunting Park area.

The Jamat community has long-standing agroforestry operations, and the locals have positive values and practices from ecological, economic, and socio-cultural points of view.

75

76

However, it is necessary to promote a common understanding between the community, government and other stakeholders regarding management and ensuring that the community does not encroach on the conservation areas designated within the park. Luckily, local custom already incorporates a conservation paradigm. For example, local people still practice hunts in the traditional way, using spears instead of guns. They will not aim their spears at females or juveniles, choosing to hunt adult males in order to preserve population health and sustain resource use.

Maintaining park status as a “hunting park” is a major challenge, and participatory planning must involve the local community. There are serious questions about the geophysical limitations to the hunting situation, promulgated by researchers such as Syamsul Hidayat in reports of 1981 and 1997. His research noted that only 20% of the total area in the Hunting Park is the flat, open space or savanna ideal for hunting activity.

Considering the topography and forest density, this area is not ideal for appointment as a hunting park. Hidayat’s opinion is also based on the flora and fauna populations observed in Serule and Isaq forests, which are in decline—hunted species in particular. It might be possible to re-evaluate the status of Linge Isaq Hunting Park while keeping the conservation principles in-line with holistic management involving the local community.

As Article 4 of Law No. 5 of 1990 states, “Conservation of natural resources and ecosystems is the responsibility and obligation of government and society.” If park status review takes place, it would be appropriate if some part or the whole area were stipulated to be natural reserve due to its unique natural characteristics and the richness of wildlife and plants in the area.

The IGA consortium is currently conducting a survey on Linge Isaq resources. The results will be published in a report titled “Hasil Survey Potensi Sumberdaya Alam dan Fisiografi

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

76

77

Taman Buru Linge Isaq Kabupaten Aceh Tengah,” or “Results from Survey on Natural Resources Potential and Physiography of Linge Isaq Hunting Park in Linge Isaq, Central Aceh District.”

According to data collected from the community, before concessions started to operate in Linge Isaq Hunting Park, large herds of deer were still very common and could be approached with relative ease. After pine logging for pulp and paper began, the deer vanished. “Hunting is quite intense and the area opened up,” according to Adie, quoting elders living in the area.

Hunting Park Management

Adie supports thorough review of the Hunting Park’s status. Continuing the park’s status as a hunting park is no longer appropriate, he believes, but changing the area’s status will need political will, as the decision requires consent from Parliament. There is also friction between the local Aceh government and the national government regarding management authority throughout the conservation area; the government of Aceh demands autonomous management of the entire region. This is in line with its privilege and authority as a Special Region.

Further capacity building initiatives are needed at the village level; thus far there has been community capacity building in five sub-villages. TFCA-Sumatera has been preparing support for development of new livelihood options, such as cacao and hazelnut cultivation.

In addition, a number of ecotourism programs are developing. The Linge Isaq Hunting Park landscape is very beautiful, featuring mountainous areas, rivers, and creeks and spectacular natural scenery. The park’s clean,

fresh air is free from pollutants. Ecotourism is expected to increase community’s economic welfare. “In addition to sustaining cultural preservation, we also promote cultural sites for attracting foreign visitors,” Adie remarked. Agroforestry for forest products has been developed to produce value-added products such as rattan. “We created a handicraft workshop for developing this product,” said Adie. IGA’s next step can only be assessed once spatial planning—including allocation for Linge Isaq Hunting Park—has been finalized. In line with this plan, IGA hopes that initial community-level capacity and institutions will already be in place.

Capacity building has been carried out with a multilevel marketing style. Trainings were provided for community leaders, who in turn are expected to pass their knowledge to their respective communities. The consortium expects this method will result in better management in all aspects: sustainable management, conservation, rehabilitation, and community development.

77

78

One of the underlying problems for conservation in Sumatra is the fragmentation of conservation areas in the region. They are vulnerable small islands: isolation weakens the ecosystem’s resilience. Therefore, corridors to connect these scattered conservation areas must be established. This will enable wildlife to migrate from one conservation area to another.

With this vision, Perkumpulan Prakarsa Pengembangan Partisipasi untuk Rakyat (PETRA) requested TFCA-Sumatera’s support for their program in North Sumatra: an initiative for conservation and connectivity linking Batang Toru Forest and Batang Gadis National Park in North Sumatra Province. This conservation program will link three main natural protected

habitats: 1) Batang Toru Forest Region (KHBT), consisting of the West Batang Toru area of 101,000 ha; 2) East Batang Toru/East Sarulla/Selindung covering 62,000 ha; and 3) Batang Gadis National Park (TNBG), covering 108,000 ha. These three areas are located in the Bukit Barisan landscape of North Sumatra Province.

Batang Toru Forest and TNBG have been identified by scientists as two of the 62 remaining key important biodiversity locations in Sumatra. The Park represents the biogeographic region of

southern Lake Toba, while Batang Toru forest represents the transitional are between northern and southern Lake Toba.Both regions still safeguard populations of charismatic endangered wildlife: Sumatran orangutan (Pongo abelli), Sumatran tiger (Panthera tigris sumatraensis), tapir

KEEPING HARANGAN IN BATANG TORU

Pho

to o

leh

Net

ty R

iana

Sar

i

78

79

(Tapirus indicus), forest goats (Naemorhedus sumatraensis), Wallace’s Hawk-Eagle (Spizaetus nanus), and the largest and tallest flowers in the world, Rafflesia gadutnensis , Amorphophalus baccari, and Amorphophalus gigas. The Batang Toru Forest area is home to at least 67 mammal species, 287 bird species, 110 reptile/amphibian species, and 688 plant species. 20 of the mammal species are protected by Government Regulation No. 7/1999. Around 12 species are threatened by extinction based on the IUCN category, and 14 species are included in CITES (Convention on International of Trade of Endangered Species).

About 51 bird species are included in the list of protected fauna according Government Regulation No. 7, 1999. About 61 species are listed by the IUCN as threatened by extinction and 8 are included in the CITES list. Besides these species, there are 21 migrant bird species, 8

categorized as endemic, and 4 types contributing to the establishment of an Endemic Bird Area (EBA).

The Batang Toru Forest is the only remaining enclave of the Sumatran orangutan in the southern biographical region of Lake Toba. Orangutan populations in Batang Toru have their own unique genetic and morphology characteristics. They are different from the Sumatran orangutan populations on the northern side of the Lake Toba biogeographic region. The Batang Toru Forest is supporting a minimum population of 400-600 individuals.

In TNBG there are 47 mammal species endemic to Sumatra. Among these, 26 species are categorized as protected mammals and threatened by extinction, among them the Sumatran tiger, tapir, forest goat, and quite

Pho

to o

leh

Net

ty R

iana

Sar

i

79

80

possibly the Sumatran orangutan. There are around 247 bird species: 47 species are protected by Indonesian law, 7 species are threatened with extinction, and 12 species are endangered. TNBG has been designated as an Endemic Bird Area (EBA).

In TNBG one can also find more than 1,500 microbe species that are useful for medicine and food needs. There are 184 identified trees species with a diameter ≥ 10 cm at breast height. Tree species richness in Batang Gadis is greater than in other lowland forest locations across North Sumatra. In a pilot research plot of 200 m2, 222 vessel-containing flora were documented—the highest density in the world. Before this, the highest recorded density was noted in the lowland forest of Tesso Nilo National Park in Riau Province.

Pendi Siregar, Secretary of PETRA, states that Batang Toru Forest’s condition is somewhat different from that of TNBG. The park was established by a community initiative to attain national park status from the local government of Mandailing Natal district (Madina); it was then approved by the North Sumatra People’s Representative Council and legalized by the Ministry of Forestry. This initiative was successful due to strong support from local community leaders. The initiative was also supported by environmental NGOs. This desire to save the remaining, undisturbed natural forests of North Sumatra is expected to bring long-term benefits to both the local community and the government.

Unfortunately, Batang Gadis’ national park status is now in peril, despite having the strong support of the Ministry of Forestry decree SK-126/MENHUTII/2004 of 29 April 2004: “Function Change and Protection Forest Appointment, Limited Production Forest and Permanent Production Forest to become a National Park.”

PT. Sorikmas Mining, a joint venture between an Australian company (Sihayo Gold Limited) and PT Aneka Tambang Tbk. (Antam), has made an appeal to the Supreme Court against the Decree. The Supreme Court decided to dismiss National Park status as documented by Supreme Court decision No. 29/P/HUM/2004.

In Batang Toru , deforestation and degradation is caused by forest encroachment as a result of land speculation stimulated by gold mining exploitation, timber harvest, and development of a geothermal power plant. “If the community living near the forest could live in a decent situation, they would not encroach on the forest,” Pendi remarked.

Income Generating Activities

In 2011, rubber and cacao are selected as the focal point for generating new community income, as these two species have long been acknowledged by locals. PETRA has since conducted many field trainings for farmers, which have generated significant interest, at least in the short-term. Farmers are provided seedlings and assistance by PETRA’s field staff. The field school instructors come from the Ministry of Agriculture. As Pendi notes, “Before, they have always asked the government to supply them seedlings for farming activities, and frequently the government has not been able to cover their needs due limited budget. Now the groups are already active.”

Farmers have begun to cultivate the cacao plant in earnest; before, they had to rely on wild cacao alone. PETRA intends to encourage farmer groups to start planting in forest areas to rehabilitate lands degraded during the Reform Era by widespread encroachment and illegal logging.

Before executing this livelihoods project, PETRA

80

81

focused on developing a marketing scheme. The commodities will be bought by collectors at the village level and then distributed to the sub-district level, which will then link to larger trading operations in Medan. According to Pendi, the farmers have already recognized the high profit margins: “We want to encourage the farmers not only in planting and taking care of the trees, but also in receiving profit from the cacao trading scheme,” he said. PETRA has made contact with cacao exporters who are willing to help.

For every kilo of cacao, IDR 50 is allocated for conservation. This money will be used for a cacao nursery. At the inception of the TFCA-Sumatera project, PETRA tested a pilot cacao plot of one hectare. The harvest was only 600 kilograms of dry seed for the year. This yield was very low, as on average, yield per hectare is around 1,800 kilograms.

The rubber cultivation program faces some difficulties. Pendi is afraid that once farmers better understand rubber cultivation, they will encroach on forest land. Rubber—unlike cacao which can be planted in a multi-cropping system—needs open space and is intolerant to shade. This leads farmers to clear forest lands for monocrop rubber plantations. PETRA is encouraging farmers to plant rubber in areas that have allocated for rubber for many years already. Pendi noted that currently there is growing intention among farmers to plant rubber by themselves. In the field school, PETRA advises farmers to intersperse petai and durian plants with rubber trees in the new plantations.

The network for cacao and rubber marketing has been established up to Medan, the capital of North Sumatra Province; this is where project coordinators monitor for sale prices. PETRA has worked directly with a local rubber sap processing factory, which will accept a minimum harvest of

20 tonnes per farmers’ group per month. Farmers do not have to sell their rubber through traders or collectors.

Likewise, PETRA is considering shifting cacao collection from an individual responsibility to a cooperative effort by farmer groups. Originally, the community was told that they must bring their cacao to Medan on their own. Pendi is concerned: “If they do it on their own, I am afraid there will be intermediary traders will begin operating at the village level. In the end, the collector would receive the increasing income and sales margins from collecting activities.” According to him, the group must exercise their own fixed roles and responsibilities, but unite to strengthen their community.

In the future, PETRA will bring cacao to exporters in Medan; the same is being planned for coffee production. Although coffee is not included in TFCA-Sumatera’s assistance plan, coffee and rubber are produced in almost equal volume in the area. Cacao and rubber training participants usually possess some coffee plantations.

From market observation on luwak coffee at the local level suggests that the price is only IDR 24,000 per liter (in Tapanuli, coffee units are measured in liters rather than kilograms; one liter of coffee is equal to 1.2 kilograms). However, the middleman price can reach IDR 175,000 per liter. This significant margin led PETRA to sell luwak coffee directly in Medan. PETRA brought a supply of 200 kilograms and sold with a margin of IDR 5,000, meaning that PETRA received a gross income of around IDR 1,000,000. Coffee is thus another promising program for PETRA. Furthermore, unlike rubber, coffee plants can be planted in mixed gardens with other plants. Coffee can be planted in the forest alongside durian, petai, and other forest species.

81

82

“In the second year we will focus on how to sell the harvested products from the garden,” said Pendi. According to him, this effort is designed so smallholders can sell their harvest together. All of PETRA’s efforts are in line with organization conservation goals. If PETRA were to simply tell locals to implement conservation activities, they would question the efficacy; however, if they are educated on the benefits of a healthy forest, people will assume their own active role, especially cacao and luwak coffee farmers.

Harangan Rarangan

The Mandailing Natal community (Madina) believes in a concept of harangan rarangan, which means “customary forest.” It is a long tradition in the Madina community—harangan is the Madina term, while in South Tapanuli, people refer to the practice as tombak. For generations, the local community has protected their natural forest and springs and utilized local natural resources wisely. For example, the forest is protected by a number of traditional rules: lubuk

larangan, a type of forbidden forest; spatial planning measures known as banua or huta; the sanctuary (naborgo-borgo); and the prohibited forest (harangan rarangan).

For the Mandailing, water is the source of life and is intertwined with social, cultural, economic, and ecological institutions and symbolism. Harangan is their solution for preserving their water sources. They plant trees along forest borders and preserve the harangan, following rules passed from generation to generation that prohibit any logging in the forest.

However, their effort faces obstacles. In North Sumatra, the government does not recognize customary forest management. PETRA will foster village-based regulations that secure forests and prohibit degradation. The community has started plantings in three critical harangan locations. PETRA needs about 20,000 seedlings for their entire operational area.

82

Pho

to o

leh

Net

ty R

iana

Sar

i

82

83

One of the classic problems in conservation area management is unclear marking of forest borders. KKI-WARSI and Sumatera Sustainable Support (SSS) are attempting to improve this forest issue through a program proposed to the TFCA-Sumatera Program, namely “Preserving the remaining forest cover in Kerinci Seblat National Park Ecosystem Landscape to guarantee biodiversity conservation, support local community living, and protect an major biodiversity area.”

KKI-WARSI evolved from the Environmental Conservation Kiosk Foundation established on 19 January 1999 and become KKI-WARSI in July 2002. WARSI focuses on Kerinci Seblat National Park (TNKS) as their main target area, also working in Bungo District and South Solok, working mostly on policy concerning forest. As

with other forest areas, TNKS is vulnerable to deforestation and degradation both within and outside the national park boundary. WARSI is also involved in the arrangement of local spatial planning (RTRW) to ensure an agreed reference for local development. They believe good spatial planning has a strong linkage with environment sustainability.

Kerinci Seblat National Park

WARSI’s activities in Kerinci Seblat National Park have been ongoing since WARSI’s establishment. With an area covering 1,368,000 hectares, TNKS is one of the largest national parks in Indonesia. From north to south, the park runs along the Barisan mountain range. Various unique ecosystem types exist here: lowland forest, hill forest, sub-montant forest, lower montane forest, mid-montane forest, upper montane forest, sub-alpine thicket, and other wetland types in swamp areas.

PROTECTING THE FOREST WITH LOCAL VALUES

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

83

84

The TNKS ecosystem is rich with biodiversity. According to the Agency of Local Development Research of Jambi Province, TNKS had 4,000 types of flora in 2009. Among them are rare and endemic flora like Kerinci Pines (Kerinci Pinus merkusii), pacat (Harpulia alborera), Rafflesia (Rafflesia arnoldi), and Amorphophallus titanium and A. Decussilvae. In TNKS there are 37 types of mammal species, 139 bird species, 10 reptile species, 6 amphibian species, and 6 primate species. It is the endemic habitat of protected rare wildlife species: Dicerorhinus sumatrensis, Elephans sumatrensis, Panthera Tigris Sumatrensis, and Tapirus Indicus.

In the Park’s buffer zone there is a vast production forest area (HP) of 338,000 hectares located on former concession land, now integrated with the Kerinci Seblat landscape. This production forest is connected to PT Andalas Merapi Timber concession in South Solok District, West Sumatra, which in turn connects with Bukit Rimbang Baling Forest on the border of Riau Province and West Sumatra.

This forest area is also adjacent to the Bukit Tigapuluh National Park (TNBT) ecosystem. The TNKS buffer zone thus plays very significant roles, not only for the sustainability of TNKS itself but also for the protection of other ecosystems in central Sumatra. The remaining natural forest in the TNKS buffer zone will support biodiversity within the corridor formed by the TNKS and TNBT ecosystems.

WARSI has formulated five targets as part of the TFCA-Sumatera program. First, to ensure sustainability of the TNKS ecosystem landscape through revision of district-based spatial planning. Second, bringing more forest areas under community-based management. Third, minimizing critical lands. Fourth, the development of community livelihoods in line

with efforts to conserve TNKS; community-based forest management used as a foundation for economic resiliency. Fifth, to foster adoption of sustainable forest management practices.

Before WARSI joined the effort to develop local spatial planning, paid consultants using data that was 20 years outdated were in charge of regional planning. Furthermore, the consultancy work was not optimal due to the very short time allocated

for planning. The local Development and Planning Agency was then in need of a new staffer in charge of digital mapping and Geographical Information Systems (GIS).

WARSI’s in-house GIS team fit the bill and brought WARSI into the decision-making process: “We prepare the latest updates of field situations and spatial pattern. We also develop the thematic maps needed,” said Yul Qori, TFCA-Sumatera Project Manager. In 2011, WARSI obtained satellite imagery covering Bungo and South Solok districts. WARSI now provides up-to-date data and technical assistance for the planning process. In Bungo District, this arrangement has worked well.

However, results from the mapping cannot be used immediately. Together with Bappeda (the local Development Agency), WARSI coordinates

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

84

85

and confirms results with the National Agency for Coordination of Survey and Mapping (Bakosurtanal). Based on this collaboration, some notes are generated for improving the spatial plan.

Regarding social, economic, and cultural aspects, WARSI helps prepare narrations on spatial planning based on current geographical conditions. WARSI also conducts studies with affected villages. Two villages in two sub-districts were appointed to represent Bungo District. The spatial planning development also refers back to the Assessment of Strategic Environment (KLHS) document.

KLHS is a required planning element according the Act No. 32/1999 on Protection and Management of the Environment. “Therefore, any activities should be equipped with KLHS and team members are familiarized with the document,” said Yul Qori. WARSI plans to publish a report on the importance of upstream protection, including approaches like community-based forest management and agroforestry techniques.

The TNKS area and its buffer zone are home to traditional community tribes like the Orang Rimba, Malay tribes, Kerinci people, Rejang tribe, and Lebong tribe. The Orang Rimba in particular are heavily dependent on forest resources, and the TNKS buffer zone is their traditional home range. Malay tribes dominate the traditional villages around TNKS. Some Malay families

maintain their own customary claims, and regard a considerable part of the National Park area and buffer zone as their own. This has been a major concern for WARSI as a socio-cultural issue.

Community Based Forest Management (CBFM)

WARSI promotes CBFM spatial planning at the district level. The aim is to strengthen management of customary forest and community forests by local communities, particularly in the buffer zone. There are four nodes of management in CBFM: area/region management, institutional management, business management, and capacity building.

Here, the issue is far more complex because in addition to pressure from adat communities, there are a number of sectoral interests, uncertain rights to ex-concession forest area, human-wildlife conflict, and other issues. “If we do not control the situation, most likely CBFM will be forced to change its function and direction,” said Yul Qori.

He said that this area has great mining potential, with some estates already in force. Corporations have typically entered through partnership programs. These schemes sometimes push for land use conversion—for instance, from rubber to palm oil. This is why WARSI has pushed for CBFM to be integrated in the Spatial Planning General Design, allowing CBFM villages maintaining rubber plantations or agroforestry to be legally secured at the policy-making level.

Yul Qori cited a spatial planning document stipulating that mining action and plantation are not allowed in upstream areas with a slope of over 40 percent. “We want to include these projects in spatial planning considerations so that in the future, function will not be changed,” said Yul Qori.

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

85

86

The threat of corporate development in the area is already realized. According to data from the Office of Forestry and Estate of Merangin District, Jambi, as of 2009, there were forest concessions totaling 228,200 hectares overlapping with the TNKS area. According to the data of Poros Masyarakat Kehutanan Merangin, in 2010 there was a plan to build an Industrial Timber Estate (HTI) in an ex-concession area of 83,675 hectares. The area is comprised of ex-production forest and limited production forest on a former concession to PT Serestra II, PT Nusalease TC, and PT Rimba Kartika.

WARSI’s achievements in its first year running the TFCA-Sumatera program have secured of a larger area for CBFM. 25 villages in the TNKS area have received licenses for working area allocation from the Ministry of Forestry.

Before TFCA-Sumatera began its CBFM push, there was already one CBFM operation in Lubuk Beringin. When TFCA-Sumatera had just started, the operation was receiving its permit for managing the village forest. Following TFCA-Sumatera intervention, they are continuing the project with a long-term work plan of 35 years. The document also contains an annual work plan, starting from April 2011. “We have a working plan that is already legalized by the Governor and District leader” said Yul Qori. He added that 24 other villages are under a feasibility study for similar certification. In Merangin District, about 17 villages have received licenses from the Ministry of Forestry.

The effort to implement CBFM continues in Solok District. Some have already received Ministry licenses and others have received the Governor’s license for Village Forest Management rights. In South Solok, one nagari (customary area) has received a license from the Ministry and an HPHD (Local Forest Concession License/Hak

Pengusahaan Hutan Daerah). “We have already shared the CBFM concept in four nagari. We also already developed mapping for one nagari. The process is ongoing,” reports an optimistic Yul Qori.

It is not a simple matter to reach success. WARSI has been working for a long time in assisting villages in Bungo District and has forged a good relationship with the community and government over the years. The situation is similar in Merangin District. In Solok and South Solok however, WARSI is a relative newcomer. Therefore, development is not as far along as in the other districts.

Yul Qori, believes that lessons learned in the former two districts can be used as the basis for future work. In just its second year in South Solok, WARSI was able to develop nine nagari. In another success story, people who live in or near the national park are more knowledgeable and concerned about conservation issues. WARSI’s experience provides some lessons for preparation of new CBFM proposals and acceleration of the organization process.

In addition to social, economic, and cultural factors WARSI has also investigated local traditional wisdom, especially concerning sustainable management. If there are already rules in place such as those concerning lubuk larangan (forbidden forest), fish harvest, or regulation on fruit harvesting, there is already a strong foundation for CBFM.

CBFM development is carried out through a spatial planning system and directly through community assistance work. CBFM is practiced economically and ecologically. It is moreover a tool for WARSI to conduct land rehabilitation, as well as to empower local community economies and livelihoods.

86

87

Harmonizing Conservation and Sustainable Use

In Gugu village, a project location for the TFCA-Sumatera–WARSI program, there is a traditional adat area of 650 hectares containing many rare species such as the Sumatran tiger and golden deer. The distance between the adat forest and village is quite short, with only the Merangin River in between. Nonetheless, in Gugu humans and wildlife are living in harmony.

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

This is in contrast with situation of human-wildlife conflict still occurring in the Merangin District area. In some villages the forest has been converted into industrial timber estates. In such cases, conflict between humans and wildlife are quite common. “There are cases in Jambi, especially in Merangin District, where a man was eaten by a tiger,” Yul Qori noted. He is convinced that proper traditional or non-traditional forest management will ensure greater harmony between wildlife and humans.

87

88

The Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) consortium chose its own method for protecting the Kerumutan-Kampar-Senepis landscape along the Sumatran coast in Riau Province. Jikalahari is made up of Yayasan Mitra Insani, Elang, Riau Women’s Working Group, Yayasan Kabut Riau, Perkumpulan Alam Sumatera, and Yayasan Bunga Bangsa. They are working to build agreements/consents between all interested stakeholders working in this shared landscape.

Peat Swamp Ecosystem

Peat swamp forest has a number of important functions: absorbing floodwaters during rainy season and releasing moisture during the dry season; functioning as a buffer against sea water intrusion; filtering pollutants that might cause the degradation of lakes, rivers, and ground water; providing timber and non-timber products; offering habitat for wildlife; and many more.

Peat swamps also store carbon in huge quantities in semi-decayed vegetation, preventing it from escaping into the atmosphere as carbon dioxide, the main greenhouse gas responsible for global warming. About 15% of carbon stored in peat swamps worldwide can be found in tropical peat swamp forests.

It is estimated that the world has 420-500 million hectares of peat swamp land. Indonesia is estimated to have around 17 millions hectares, the fourth largest stock after Canada, Russia, and the United States. Yet Indonesia’s tropical peat swamp forest is under great threat. Since so much land has been allocated for production forest and large-scale estates, peat swamp forest areas are the next targets for industry and estate development.

The only remaining peat swamp forest in SM Kerumutan is a 44,000-hectare forest located in the western area. The rest has been degraded or converted into timber estates or large-scale palm oil plantations. A similar situation is developing in the peat swamp forest remaining on the Kampar peninsula.

Deforestation, degradation, and forest fires have threatened this area since 2000. The remaining high-quality natural peat swamp in the central part of Kampar is only 40% of the overall peat swamp forest cover. The survival of this area depends on the surrounding 60%. The area faces potential conversion into forest plantation and estate; pulp and paper company APRIL’s Kampar Ring project poses a direct threat to the remaining 40% of high-quality natural peat forest.

The peat swamp forest block in Senepis faces a similar threat. Even with a relatively high tiger population of around 30 individuals, the swamp’s existence is in question as it is slated to be converted into an Industrial Timber Estate (HTI). Another threat is the road construction now splitting the peat swamp area.

There are many local livelihoods still respecting sustainable use of peat swamp ecosystems: fish farming and aloe vera cultivation among many others. However, communities that have been very dependent on natural resources are being eliminated by the presence of large companies. To anticipate the impact of peat swamp forest loss in the future, it is important to conserve and take effective measures to save the landscape; concrete measures should be taken to minimize the impact on environment and social aspects.

COUNSEL FOR KAMPAR PENINSULA

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

88

89

BRINGING PARTIES TOGETHER

Alleged of peat land clearing without permission is one of several conflicts involving Jikalahari, according to Susanto Kurniawan, the Jikalahari Consortium liaison for TFCA-Sumatera. He remarked that connecting people in conflict areas is somewhat troublesome, especially as Jikalahari is one of the parties involved in the conflict. Many people agree that the peat swamp forest needs to be rescued, “But the parties do not want to sit together,” Susanto said.

With tireless efforts, Jikalahari finally succeeded in facilitating a meeting of all parties, who were are able to sit together to talk about the future of area. “At least we have the same interest in protecting the area,” said Susanto. The parties agreed that they needed to establish a multi-stakeholder forum. For Jikalahari, this is a big

step in the TFCA-Sumatera program in the Kerumutan-Kampar-Senepis landscape.

It was not easy. Past experience proved that conversation could only do so much. Susanto described a case in which there was conflict over licensing for the RAPP company (PT Riau Andalan Pulp & Paper) No. 327 in 2009. At that time, Jikalahari insisted on talking about area protection, but the next thing they knew, the concession licenses for RAPP had been issued.

With this new multi-stakeholder forum, all parties could sit together and have detailed discussion in smaller groups. Results from small group discussion were then brought to the larger

meeting. This process took a little bit more time than other methods. The program also worked to include and give voice to peoples/representatives that were assumed to be neutral in the existing conflict. All consortium members agreed that saving the Kerumutan-Kampar-Senepis landscape required immediate action.

The forum also developed a plan for future action. However, Susanto noted that talking about spatial planning means talking about vested interests among consortium members. Ideally the local government can be involved to facilitate a win-win solution for a common future. The forum also created an Expert Council that includes a Malay customary institution (Lembaga Adat Melayu). Its involvement is a strategic choice as it is an informal institution with strong influence on locals, especially in traditional aspects; the government also recognizes the key role of this

customary institution. The community’s interest should be given more weight in designing a spatial planning. It should then be empowered to manage the area for its own welfare.

The community should also take the lead in monitoring and implementing environmental protection, creating an institution to organize these procedures. According to

Susanto, in order to implement an effective and efficient change toward best management practices (BMP), a community has to form a relevant enterprise.

The BMP strategy for communities living in or near forests is marked by community tenurial rights—the granting of status to village forest and customary forest. “We are trying to get government recognition and status for the community to manage the community land,” said Susanto.

The District government has signaled support for this initiative, with willingness to provide some space for communities. The Head of Pelalawan

Pho

to o

leh

Ali

Sofi

awan

89

90

District responded in kind by licensing 4,000 hectares of land for communities to manage at Serapung and Segamai villages in Kuala Kampar District. The Ministry of Forestry has approved the land for licensing; “We are now waiting for the license to be issued,” said Susanto. Jikalahari has also been actively preparing the community to conduct BMP. At Dosan Village, Bunga Raya Sub-District, Siak Sri Indrapura District, there is an initial BMP pilot project in the village forest.

A group of oil palm farmers were targeting for BMP in the palm oil, using a 2-hectare sample plot. The land was developed with a sustainable management method. The results have been relatively favorable, and farmers have been motivated to improve their practices. Palm kernel harvested per hectare was around 800 kilograms and even 1,300 kilograms in the last harvest of 2012.

Community Forest Protection

Communities not only conduct environmentally friendly management, but they also commit to protecting the forest area, pledging that they will not expand their palm oil area. About 1,156 families have been managing community palm oil in an area of 3,500 hectares. Based on a commitment made by Siak SejahteraCooperative Association members in February 2011, the remaining 740 hectares in seven villages would not be converted into land for palm oil plantation.

Some have even sought a certification license from the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). This initiative from a small palm oil farmers group should be lauded as it is the first time local farmers have pursued certification.

The mangrove forest in Sungai Rawa, Sungai Apt Sub-district, Siak District has been severely degraded. Jikalahari has assisted communities in land mapping in these degraded areas. They have also restored the land, providing mangrove seedlings and planting them with the community. The community’s initiative is growing. They are collecting seeds, planting a variety of species, and taking care of the seedlings.

Jikalahari realizes that women’s groups are one of the critical factors of success in achieving the program goals. Women can be vulnerable but are also key to building a family’s economic capacity. At Teluk Binjai village, Meranti Sub-district, Pelalawan District, and at Sungai Berbari village, Pusako Sub-district, Siak District, women are encouraged to plant their own vegetables instead of buy them in the market. Since they do not have ample land to plant the vegetables, they asked to use village land, to which the head of the village agreed. Adding value is also key: “The use of ginger, for instance,” Susanto notes. Previously, ginger was sold directly as raw ginger at a very low price. The community is now encouraged to process the ginger into powder. Many jamu (an herbal medicine) sellers collect processed ginger powder and the value of ginger increases.

According to Susanto, the result of this effort is a more creative community, able to continue developing economic skills. Locals speak of improving their income and wellbeing. There are many ideas that might be expanded in order to generate greater welfare, such as establishing a credit union to enable locals to generate more economic activity through credit. This idea is still in process.

90

91

Tropical Forest Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) is a debt-for-nature swap bilateral initiative between the US and Indonesian governments with two partners, Conservation International and KEHATI-The Indonesian Biodiversity Foundation. The program provides grants to local NGOs and universities in order to save the remaining tropical forest in Sumatera at the landscape level. The total funding commitment for the 8-year program (2010-2018) is USD 30 million.

The parties involved in TFCA created an Oversight Committee (OC) to oversee the administration of the Accounts and ensure that all funds deriving from the payments are applied in accordance to the terms of the FCA Agreement. The Organizing Committee consists of seven voting members, of which 4 are Permanent Members and 3 are Designated Members. Permanent Members are: the Ministry of Forestry, representing the Government of Indonesia; USAID representing the US Government; Conservation International; and KEHATI-The Indonesian Biodiversity Foundation. The Designated Members are: Transparency International-Indonesia (TI-I), Syiah Kuala University, and Indonesia Business Link. The Oversight Committee (OC) is responsible for monitoring and makes decisions regarding implementation of TFCA-Sumatera projects.

The TFCA-Sumatera Program focuses on the biodiversity rich landscapes: important ecosystems within and around protected areas; corridors and habitat connections; and agro-ecosystem areas managed by local communities. The landscape priorities are: 1) Kerumutan Peninsula-Kampar-Senepis; 2) Batang Toru Forest Range and Batang Gadis; 3) Kerinci Seblat Ecosystem; 4) Leuser Ecosystem and Gunung Leuser National Park; 5) Bukit Barisan Selatan Forest Area; 6) Sembilang-Berbak; 7) Siberut National Park and the Mentawai Islands; 8) Tesso Nilo Ecosystem; 9) Bukit Tigapuluh National Park; 10) Way Kambas National Park; 11) Western Toba Barat; 12) Angkola lowland forest; and 13) Ulu Masen/Seulawah Heritage Forest.

About TFCA-Sumatera

91

92

Referensi

Onrizal, Erwin A Perbatakusuma dan Nurdin Sulistiyono. Kandungan Karbon Rawa Singkil dan Potensi Pengembangan Produk Jasa Lingkungan di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Kertas kerja disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Produksi Tanaman Bahan Bakar Nabati dan Perkebunan Sawit Berkelanjutan” pada tanggal 11 – 12 Agustus 2009 di Subulussalam.

Penghitungan Deforestasi Indonesia tahun 2008. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan. Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. 2008

http://bitra.or.id/2012/2011/05/30/konservasi-koridor-batang-toru-batang-gadis/?wpmp_switcher=mobile&wpmp_tp=2

http://www.warsi.or.id/projects/tfca_ind.php

Wawancara dengan para nara sumber: Adie Usman Musa (IGA), Abu Hanifah (YLI),Effendi Siregar (Petra), Susanto Kurniawan (Jikalahari) dan Yul Qari (KKI-Warsi).

92

9393

94

Tropical Forest Action for Sumatera

(TFCA-Sumatera) is a Debt-for-Nature Swap bilateral program initiative between US Government and Indonesian Government with two Swap Partners that is

Conservation International and KEHATI-The Indonesian Biodiversity Foundation.The program provide grant to local NGOs and universities to save the remaining

tropical forest in Sumatera at landscape level.

TFCA-Sumatera Production 2013