Menyoal Metode Hisab

16
Menyoal Metode Hisab,.. ternyata metode hisab buat menentukan dimulainya puasa, itu tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays م ي ح ر ل ا ن م ح ر ل ه ا ل م ال س بAssalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Amma Ba’du, Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim. Sebagaimana firman-Nya: ٍ م يِ لَ عٍ م يِ كَ حْ نُ د َ لْ نِ مَ ا" نْ ر ُ $ قْ ل ى اَ $ قَ لُ $ تَ لَ - كَ / نِ 2 اَ و“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. An Naml: 6) Dan juga firman-Nya: ُ م يِ لَ عْ ل اُ م يِ كَ حْ ل اَ وُ هَ و“Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf: 84)

description

ertt

Transcript of Menyoal Metode Hisab

Menyoal Metode Hisab,

Menyoal Metode Hisab,.. ternyata metode hisab buat menentukan dimulainya puasa, itu tidak diajarkan oleh NabiMuhammad

Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays

Sebagaimana firman-Nya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS. An Naml: 6)

Dan juga firman-Nya: Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS. Az Zukhruf: 84)

Allah Taala juga berfirman: Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (QS. At Tiin: 8)

yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun demikian.

Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wataala.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair Radhiallahuanhu, Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Taala

Dua Metode Yang Ditetapkan Syariat

Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:

1.RUYATUL HILAL (MELIHAT HILAL DENGAN MATA)

Sebagaimana firman Allah Taala: Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu

Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahuanhu , Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya

2.JIKA HILAL TIDAK NAMPAK, MAKA BULAN SYABAN DIGENAPKAN MENJADI 30 HARI

Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: (Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan syaban menjadi 30 hari

Para Ulama Telah Ber-IjmaPara ulama telah ber-ijma bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi.

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan: Ibnu As Sabbagh berkata:Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan.

Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf:Puasa di hari ketiga puluh bulan Syaban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama

Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan.

Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bidah dan HARAM HUKUMNYA, disebabkan beberapa hal di bawah ini:

Pertama,metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas

Kedua,Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabiin, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka.

Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahualaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bidah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.

Ketiga,para ulama telah ber-ijma untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.

Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan: . : . Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahualam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutabaah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits (Perkirakanlah), maksudnya adalah perkirakanlah sekitar itu. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna adalah perkirakanlah orbit dan posisi bulan, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih).

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (25/132) berkata: . . . . . .Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram.Banyak nash dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ruyah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian.

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata: . : .Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syiah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka.

Beberapa Syubhat

Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas). Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang memiliki penyakit hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah:

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari tawilnya, padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS. Al Imran: 7)

Berkaitan dengan ayati ini,Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Ilaamul Muwaqqiin, memberikan 99 permisalan. Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan ini.

Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:

Syubhat pertama,metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ruyah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal.

Jawaban terhadap syubhat ini,yang ditetapkan oleh Allah Taala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal, bukan posisi aktual (waqi al haal) dari hilal.Sebagaimana sabda Nabi Shallallahualaihi Wasallam: Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya

Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah yang diperintahkan.Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun.Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Taala menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan demikian.Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul, lalu orang-orang melihatnya dan mengira itu hilal.Sesungguhnya Allah Taala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar bintang, namun Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu sebagai patokan.Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari, selesai. Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?

Syubhat kedua,hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.

Jawabannya,yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syariat kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.

Syubhat ketiga,hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat ataukah tidak

Jawabannya,syariat hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.

Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh

Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat yang nyeleneh, bertentangan dengan ijma ulama.Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma ulama.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syariyyah, agar terhindar dari budaya ikut-ikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.

Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syariyyah, manusia menjadi goncang. Terkadang membuat mereka berbuat bidah dan terkadang membuat mereka berlebih-lebihan dari syariat.

Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan bertentangan dengan ijma.Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa, yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum matahari terbit pada tanggal 12 Dzulhijjah di Mina.Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahuanhuma.Demikian juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.Khilafiyah Seputar Ruyah Hilal

Adapun kaitannya dengan hukum seputar ruyah hilal, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ruyah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri.

Yang lebih kuat, wallahualam, ruyah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib,ia berkata: : : . : : . : . : : Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami melihat hilal itu pada malam Jumat. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: Kapan engkau melihat hilal?. Saya katakan: Kami di Syam melihatnya pada malam Jumat. Ibnu Abbas berkata: Engkau melihatnya malam Jumat?. Kujawab: Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa, dan Muawiyah pun berpuasa. Ia berkata lagi:Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga syaban genap 30 hari atau karena kami melihatnya. Aku berkata kepadanya: Mengapa engkau tidak mengikuti ruyah Muawiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?. Ia menjawab: Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam.

Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah mereka sendiri, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahuanhuma.

Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi Thalin Radhiallahuanhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad, Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.

Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ruyah masing-masing negerinya.

Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari.

Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan syaban menjadi 30 hari.

Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ruyah. Kemudian kaum muslimin di sana beracuan pada ketetapan dan hasil ruyah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat tim ini haruslah menggunakan ruyah syariyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan syaban menjadi 30 hari.

Beberapa Fatwa Ulama

Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:

Fatwa Lajnah Ad Daimah Saudi Arabia (10/104) : : { } :{ } : Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh karena itu, dalil-dalil Al Quran dan sunnah menetapkan ruyah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Taala berfirman: Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS. Al Baqarah: 185)

Allah Taala juga berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji (QS. Al Baqarah: 189)

Nabi Shallallahualaihi Wasallam juga bersabda: Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan syaban menjadi 30 hari

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahualaihi Wasallam telah menetapkan ruyah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ruyah hilal syawal. Beliau Shallallahualaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang.

Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahualaihi Wasallam, masa khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang tentu lebih utama dan lebih baik.

Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bidah yang sama sekali tidak memiliki kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syariat

Juga fatwa Lajnah Ad Daimah yang lain (3127): Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ruyah hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Syaban. Demikian juga jika hilal syawal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari.

Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam Majmu Fatawa beliau (15/110), berkata: . . :- : : . . . : { } . Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ruyah. Sedangkan kemunculan bulan baru secara aktual tanpa menggunakan ruyah syariyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan ijma para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai ruyah, ijma ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang mendebat sunnah Nabi Shallallahualaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat ijma salaf.Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:

Pertama,Nabi Shallallahualaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan berlebaran jika melihat hilal, dalam sabda beliau Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnyaLalu beliau menafsirkan sendiri perkataan beliau: Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat hilal

Kedua,beliau Shallallahualaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada malam ke 30 syaban, maka bulan syaban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi.

Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain selain ruyah, tentu Nabi Shallallahualaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya.

Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ruyah dan penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syari. Karena aturan agama yang sudah ada itu terus berlaku hingga hari kiamat.

Allah Taala berfirman: Dan Rabb-mu itu tidak pernah lupa (QS. Maryam: 64)Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ruyah hilal dalam hadits di atas maknanya adalah mengetahui hilal atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ruyah (melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena ruyah dalam hadits ini adalah fiil mutaaddi yang mengacu pada satu maful saja, yang menunjukkan makna penglihatan bukan pengilmuan.

Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ruyah itu menggunakan mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syariyyah dibanding orang yang lain. Justru perintah ruyah hilal lebih pas dengan maqashid syariyyah bahwa Islam itu agama yang mudah.

Karena ruyah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedung-gedung.

Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan maqashid syariyyah.

Karena umumnya manusia tidak paham ilmu astronomi.Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim

Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengaharap pahala.

Abdul Aziz Ar RaysPengasuh situs http://islamancient.com/28 / 8 / 1431Sumber: http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904Penerjemah: Yulian PurnamaArtikel www.muslim.or.id