Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji
-
Upload
mappi-fhui-masyarakat-pemantau-peradilan-indonesia -
Category
Government & Nonprofit
-
view
292 -
download
2
Transcript of Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji
MaPPI
ztllzwT
U]NUNfifiU P]RUBAHAN
DAil BALIII ,Enu,lPemasyarakatan)(Studi Awal Penerapan Konsep
MENUNGGU PERUBAHAN
DARI BALIK JERUJI(STUDI AWAL PENERAPAN KONSEP PEMASYARAKATANI
Oleh :
Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN dan LBH JAKARTA
Penyunting:Topo Santoso
Hasril Hertanto
Tim Peneliti :
1. Asfinawati : Direktur LBH Jakarta2. Muhammad Gatot : Kepala Litbang LBH Jakarta3. Hasril Hertanto: Ketua Harian MaPPI FHUI4. M. Ali Aranoval : Kepala Monitoring MaPPI FHUI5. Fulthoni : Kepala Bidang Operasional KRHN6. Lolong Manting : Staf Program KRHN
Partnership For Governance Reform
Pustakawati: Riana EkawatiManajer Penerbitan: Ike BambangManajer Proyek Soffan LubisLay Out Isi : Ashep Ramdhan
Tak satu bagran pun dari buku ini yang dapat diproduksi ulang, disimpandalam bentuk sistem pengambilan, atau dialihkan dalam bentuk atausarana apa pun, termasuk elektronik, mekanik, foto kopi, rekaman, atauapa saja, tanpa sebelumnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yangbersangkutan.
Izin dapat diperoleh secara langsung dari Kemitraan bagr Pembaruan TataPemerintahan di IndonesiaIND: telepon: l+621213902566, faks: (+62) 2L 2302933,e-mail: [email protected]. id
Katalog Dalam TerbitanMenunggu perubahan dari balik jeruji : Studi
awal penerapan konsep pemasyarakatan / olehtim peneliti MaPPI FHUI, KRHN dan LBH Jakarta: pen5runting, Topo Santoso, Hasril Hertanto ;
tim peneliti, Asfinawati ... [et a1.]. --Jakarta : Kemitraan, 2OO7110 hlm .;21,5 x 15,5 cm
1. Penjara. I. Topo Santoso II. Hasril HertantoIII. Asfinawati
Katalog Perpustakaan Kemitraan-Data dalam PublikasiCatatan katalog buku ini tersedia pada Perpustakaan Nasional Indonesia.
ISBN: 979-979-26-9616-5
Untuk keterangan mengenai semua publikasi Kemitraan, silakan kunjungisitus web kami di http: / /www.kemitraan.or.id lpage /publications /books/
Hak cipta @ 2OO7, Partnership. Hak cipta dilindungi.
DAFTAR ISI
V
viiviii
Bab I PENDAHULUAN
Bab III ASPEK KELEMBAGAAN DALAM PROSES PEMASYARAKATAN
13
A. Struktur Organisasi 1,6
B. Sumber Daya Manusia................ 21,
C. Mekanisme Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi 25
D. Pelaksana Konsep Pemasyarakatan ............ 26
E. Mekanisme Pengawasan 27
F. Koordinasi dan Kerjasama Kelembagaan............ 29
G. Akuntabilitas dan Transparansi................... 29
Bab TV SARANA DAN PRASARANA DALAM PROSES
PEMASYARAKATAN...... 31.
A. Instrumen Peraturan ...................... 31
B. Over Kapasitas.............. 32
C. Bangunan dan Letak Lapas 34
7
7
8
9
9
D. Sistem Pengamanan ................. B6
E. Sarana Pembinaan dan Kerja 40F. Fasilitas Kesehatan 4gG. Sistem Informasi dan Komunikasi............. 46H. Anggaran................. 4g
Bab V IMPLEMENTASI KONSEP PEMASYARAKATAN 49
A. Administrasi dan Pengelompokan Warga Binaan 49B. Konsep dan Model Pembinaan 5j.
C. Partisipasi Warga Binaan dalam Proses Pembinaan. 56
E. Organisasi tidak Resmi Warga Binaan dalam Lapas !....!..r...;.....!.!.........! 6g
Bab VI PENUTUP 70
70
72
74
90
97
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
Sekilas tentang LBH ]akarta, KRHN, MaPPI,
UU No. l?Tahun L995
Daftar Pustaka
V1
DAT"TAR SIITGI(ATAN
AKIP Akademi Ilmu pemasyarakatanBAPAS Balai pemasyarakatanBengker Bengkel KerjlCMB Cuti Menjelang BebasDPR Dewan perwakilan RakyatFGD Focus Group DiscussionHAM Hak Asasi ManusiaHaKI Hak atas Kekayaan IntelektualKalapas Kepala Lembaga pemasyarakatanKepmen Keputusan MenteriKPLP kesatuan pengamanan Lembaga pemasyarakatanKIMWASMAT Hakim pengawas dan pengamatKUHP Kitab Undang-Undang Hukum pidanaKUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidanaLapassustik LembagapemasyarakatanKhususNarkotikaLP/ L,apas Lembaga pemasyarakatanLBH Lembaga Bantuan HukumLSM Lembaga Swadaya MasyarakatPB pembebasan BersyaratPP Peraturan pemerintahSDM Sumber Daya ManusiaSKB Surat Keputusan BersamaUU Undang-UndangWBP Warga Binaan Pemasyarakatan
KATA PENGANTAR
Sistem peradilan pidana terdiri dari beberapa sub sistem yang saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya. sub sistem tersebut terdiri daripenyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, penuntutan dilakukan oleh
Kejaksaan, pemeriksaan persidangan dilakukan oleh pengadilan, dan
terakhir pelaksanaan pidana yang dilakukan oleh lembaga
pemasyarakatan. Ketiga lembaga tersebut saling berkaitan dan memilikipengaruh yang besar dalam rangka penegakan hukum. Namun dalam
perkembangannya lembaga pemasyarakatan sebagai muara dari sistem
peradilan pidana jarang sekali mendapatkan perhatian. Maka takmengherankan apabila permasalahan yang ada di dalam lembaga tersebutjarang sekali diketahui. Pemberitaan media massa seringkali bernada
memojokan tanpa berupaya untuk mencari solusi atas permasalahan
tersebut.
Permasalahan yang sangat kompleks di tubuh lembaga
pemasyarakatan membutuhkan perhatian dan dukungan dari masyarakat.
Dukungan tersebut tidak perlu selalu diwujudkan dengan memberikan
bantuan dana atau apapun yang bersifat materi. Dalam rangka
memberikan dukungan tersebut maka sejumlah lembaga swadaya
masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta(LBH Jakarta) didukung oleh Kemitraan (Partnerships for Gouerrlance
Reform) berupaya memberikan dukungan tersebut. Dukungan itudilakukan dengan membuat pemetaan atas permasalahan yang ada dilembaga pemasyarakatan.
Saat ini telah banyak kegiatan penelitian yang dilakukan oleh
Lembaga Pemasyarakatan maupun lembaga lain, namun belum dapat
memberikan perubahan yang berarti. Dalam rangka membantu proses
pembaruan tersebut maka pemetaan ini dilakukan sehingga hasil akhiryang diharapkan adalah sejumlah kegiatan yang dapat membantu proses
pembaruan itu sendiri.
Pemetaan yang dihasilkan dalam kegiatan tentunya belum dapat
dikatakan sebagai gambaran utuh atas segala permasalahan yang ada.
Namun tim peneliti berharap hasil pemetaan ini dapat menjadi awal proses
pembaruan L€mb"ga Pemasyarakatan. Pemetaan yang dilakukan tidakhanya tertuju pada pelaksanaan pemasyarakatan itu sendiri tetapi
mencakup pula organisasi pelaksana dan organ pendukung. Meskipun jauh
dari kesempurnaan, hal ini dapat dipandang sebagai wujud kepedulian
masyarakat pada proses pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.
Kegiatan kajian dan penulisan buku ini tidak akan dapat berjalan
dengan baik apabila tidak ada dukugrgan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu kami ingin menyampaikan terima kasih khususnya kepada
Bapak Mohamad Sobary selaku Direktur Eksekutif Kemitraan beserta
manajemen Kemitraan. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada
jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia yang telah memberi kemudahan dan informasi selama
pelaksanaan kajian. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Prof.Dr.
AdrianuS Meliala, Bp Soffan Lubis serta rekan-rekan Cluster Securitg and
Justice Gouernance di Kemitraan.
Jakarta, 18 Oktober 2OO7
Tim Peneliti.
BAB IPENDAIIULUAN
Hukum pidana Indonesia mengenal pidana penjara sebagai salah satu
hukuman yang paling dominan dalam menerapkan sanksi pidana. Pasal 1O
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenal dua macam pemidanaan
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 1 Pidana pokok terdiri daripidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim. Pidana pokok maupun pidana tambahan hanya dapat diterapkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara
pidana hanya dapat terjadi setelah seorang tersangka diproses menurut
hukum acara pidana yang berlaku berdasarkan bukti-bukti yang kuat.
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 2OO4 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dihadapkan ke
pengadilan selain berdasarkan undang-undang. Seseorang tidak dapat
d{jatuhi pidana kecuali pengadilan karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang y€rng
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan terhadap dirinya.
Ketentuan Pasal 6 tersebut secara tegas menyatakan bahwa seseorang
hanya dapat dijatuhi pidana berdasarkan alat bukti yang sah dan adanya
keyakinan dari pengadilan, dalam hal ini majelis hakim, bahwa seseorang
telah bersalah. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut maka diperlukan
sebuah hukum acara yang mengatur proses pengujian bukti-bukti untuk
llndonesia, Kitab Undang-Undang Hulo,tm Pidana, Pasal 1.0.
I
menyatakan seseor€rng bersalah dan melanggar hukum. Ketentuan
mengenai hukum acara tersebut diatur di dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-undang tersebut mengatur proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan pidana yang
terangkum dalam sebuah sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system). Dalam kerangka sistem peradilan pidand terpadu
tersebut setidaknya terdapat empat lembaga yang bertanggungjawab dalam
penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas).
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusipenegakan hukum merupakan muara dari peradilan pidana yang
menjatuhkan pidana penjara kepada para terpidana. Pelaksanaan
hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata sebagai sebuah
upaya balas dendam dan menjauhkan narpidana dari masyarakat.
Pemenjaraan terhadap narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem
Pemasyarakatan. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah danbatas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatanberdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antarapembina, yang dibina, dan mdsyarakat untuk meningkatkan kualitasWarga Binaan Pemasyarakatan agff menyadari kesalahan,memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehinggadapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktifberperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagaiwarga yang baik dan bertanggung jawab.
Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak
memberikan nilai tambah bagi seorang narapidana guna memperbaiki
hidupnya. Pemeqjaraan menurut sistem pemasyarakatan tidak ditujukan
untuk membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat
perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sistem pemasyarakatan
dikembangkan dengan maksud aga-r terpidana menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan
bertanggung jawab.
Menilik tujuan yang hendak dicapai maka pemenuhan hak dasar
para narapidana menjadi suatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut
sangat penting untuk menjadi perhatian dalam melaksanakan sistem
pemasyarakatan yang mendasarkan pada asas-asas pemasyarakatan. Asas-
asas pemasyarakatan yang dimaksud adalahz:
a. Pengagoman. Yartg dimaksud dengan pengagoman adalah perlakuanterhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungimasyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh WargaBinaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada WargaBinaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalammasyarakat.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan. Yang dimaksud denganpersamaqn perlakuan dan pelaganan adalah pemberian perlakuandan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatantanpa membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan dan Pembimbingan. Yang dimaksud dengan pendidikandan pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan danbimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila,antara lainpenanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikankerohanian,dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
d. Pengtnrmatan harkat dan martqbat manusia, Yang dimaksud denganpenghormatan harkat do:n martabat manusia adalah bahwa sebagaiorang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetapdiperlakukan sebagai manusia.
e. Kehilangan kemerdekaan merupqkan satu-sa.tunga pendeitaan Yangdimaksud dengan kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satungapenderitaan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus beradadalam Lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga negaramempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama diLapas, Warga Bihaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknyayang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanyatetap di lindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan,makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olahraga, atau rekreasi
f. Terjaminnga hak unhtk tetap berhubungan dengan keluarga danorang-orang tertentu. Yang dimaksud dengan terjaminnga lwk untuktetap berlutbungan dengan lceluarga dan orang-orang ter-tentu adalahbahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di Lapas,
Pasal 5.
2lndonesia, Undang-Undang Tentang Pemasgarakatan, LN No. 77 Tahun 1995; TLN No. 3614,
tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakatdan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lainberhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburanke dalam Lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dankesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga sepertiprogram cuti mengunjungr keluarga.
Sistem pemasyarakatan yang dijalankan berdasarkan undang-
undang tersebut menempatkan para narapidana sebagai seorang manusia
yang melakukan kesalahan dan harr.s dibina untuk kembali ke jalan yang
lurus. Hal itu ditunjukkan dengan penyebutan narapidana menjadi Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pembinaan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan di Lapas dilaksanakan secara intra mural (di dalam Lapas)
dan ekstra mural (di luar Lapas).
Pembinaan secara ekstra mural yang dilakukan di Lapas disebutasimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatanyang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkanmereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstramural juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaituproses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telahmemenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali ditengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasanBAPAS.3
Namun upaya pembinaan yang dilakukan oleh I"apas maupun Bapas
tersebut nampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan
sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan prasarana
dan sarana yang memadai sehingga menimbulkan berbagai permasalahan.
Pada umumnya permasalahan timbul karena adanya pengabaian terhadap
asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Permasalahan yang sering kali mengemuka adalah tidak adanya
persamEran perlakuan kepada para warga binaan, seringkali terjadi pungli,
adanya kesulitan warga binaan untuk bertemu dengan pihak keluarga,
adanya kesan bahwa l,embaga Pemasyarakatan merupakan ajang sekolah
begi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorarlg, minimnya standar
pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain
3lndonesia, Ibid, penjelasan Pasal 6 ayat (1)
4
yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahan
yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian masyarakat
terhadap lembaga pemasyarakatan.
Pemberitaan media massa menyebutkan bahwa di dalam Lembaga
Pemasyarakatan kerap terjadi tindak kekerasan terhadap narapidana.
Tindak kekerasan ini dilakukan oleh sesama WBP dan pejabat sipir penjara.
Hasil penelitian LBH Jakarta di 5 wilayah Jakarta menemukan, kekerasan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama 2003-2005, 25 o/o
diantarariya dilakukan di dalam lapas. Dalam Lembaga Pemasyarakatan
juga sering terdengar adanya pungutan liar yang dilakukan petugas kepada
para pengunjung. Bahkan tidak sedikit narapidana yang bertambah jahat
setelah keluar dari penjara.
Kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan adanya persoalan yang
serius di dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Jikadikualifikasikan persoalan-persoalan tersebut adalah pertama, masih
minimnya jaminan perlindungan hak-hak narapidana. Kedua, tidak adanya
pengawasan yang efektif terhadap penyelenggaraan Lembaga
Pemasyarakatan. Ketiga, lemahnya regulasi (kebijakan) yang berimplikasipada penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat, terdapat
kelemahan dalam kerangka organisasi birokrasi yang menangani
pemasyarakatan. Beberapa kelemahan yang ditenggarai terjadi di dalam
penyelenggaraan pemasyarakatan harus dicarikan jalan keluar yang tidaksekadar tambal sulam antara satu kebijakan dengan kebijakan yang
lainnya. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di tubuh lembaga
pemasyarakatan dan untuk mencari jalan penyelesaian yang akan
ditempuh maka perlu dilakukan sejumlah penelitian, meskipun kelemahan
yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakat seringkali diberitakan
oleh media massa. Gambaran yang diberikan oleh media massa belum
cukup memadai untuk melihat secara seksama permasalahan yang terjadi
di dalamnya.
Penelitian awal sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran yangjelas teltang peta permasalahan di lembaga pemasyarakatan. Hasilpenelitian ini akan dijadikan pijakan awal untuk men]rusun sejumlahkebijakan dalam rangka pembaruan lembaga pemasyarakatan.
Pembenahan dan pembaruan Lembaga Pemasyarakatan mesti dilakukanmengingat adanya perubahan-perubahan di tubuh kepolisian, kejaksaandan pengadilan sudah dilakukan dan tengah berjalan. Sebagai satukesatuan yang terintegrasi datam criminal justice sastem, tanpa dilakukanpembaruan dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan, tujuanuntuk memberikan keadilan hukum bisa tidak tercapai. oleh karena itupembaruan dalam sistem penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan harus
segera dimulai
BAB IIKONSEP DAN PERKEMBANGAN PEMASYARAKATAN
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dalam perjalanannya
mempunyai sejarah yang cukup panjang4. Dinamika lembaga ini tentunya
tidak terlepas dari bagaimana sistem hukum yang mensyaratkan adanya
sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam suatu masyarakat terhadap
mereka yang melakukan kejahatan atau pelanggaran. Perkembangan
lembaga pemasyarakat ternyata berkaitan erat dengan kondisi politikhukum yang terjadi di Indonesia, untuk itu dalam penelitian ini sejarah
lembaga pemasyarakatan dapat diuraikan sebagai berikut.
A. Masa Pra Kemerdekaan
Lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam perjalanannya
mempunyai sejarah yang cukup panjang berdasarkan perkembangan
kenegaraan beserta kebijakan politik hukumnya. Pada masa pra
kemerdekaan penjara disebut gestrafien kwartier. Di Jawa dan Madura
gestraften kutartier adalah satu atau lebih bangunan tembok segi empat
atau melingkar yang berisi 10 sampai 15 orang narapidana. Diluar Jawa
dan Madura gestrafienkuqrtier ini terdiri dari bangunan-bangunan daruratyang dibuat dari kayu. Dalam penjara tidak ada tempat pekerjaan karena
semua pekerjaan dilakukan di luar tembok penjara.s Perlakuan terhadap
narapidana ketika itu sangat tidak manusiawi, kesehatan tidak terpelihara,
walaupun saat itu telah berlaku reglement op de orde en tucht dari tahun
1872, Staatsblad 1971 No. 78 yang ditujukan untuk mengatur tata tertib
terpidana dan juga mengatur sementara pekerjaan-pekerjaan terpidana.
aDisarikan dari situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada alamat websitehttp://www.ditjenpas.go.id/index.php . diakses pada tanggal 18 Maret 20O7.
s Pada saat itu belum dikenal pemisahan narapidana berdasarkan kategori perbuatan.Narapidana laki-laki dan perempuan ditempatkan menjadi satu dan tidak dipisah
Sejak tahun 1905 timbul kebijakan baru oleh kolonial yakni pidana kerja
paksa di mana terpidana ditempatkan di pusat-pusat penampungan besar
di wilayah yang di sebut gewestelijke centralen. Terpidana kemudian
dipekerjakan pada proyek-proyek besar untuk keperluan umum seperti
pembuatan jalan, tambang-tambang, proyek-proyek irigasi, dan lain.lain.
Oleh karena itu dibangunlah penjara pusat.
Penjara-penjara Pusat tersebut terdiri dari bangunan dengan ukuranyang sangat besar dan dengan kapasitas penampungan kurang lebih 700
sampai 27OO orang. pada saat itu telah dilakukan pemisahan terpidana
berdasarkan jenis kejahatannya sehingga di penjara pusat terdapat tembok-
tembok pemisah yang jumlahnya begitu banyak. Selain itu penjara pusat
juga menerapkan "sistem kamar bersama" yang berisi kurang lebih 25
orang terpidana. Sistem kamar bersama ini kemudian menjadi ciri khas
dari "Penjara-penjara Sentral" (Centrale Geuangenissen).6
B. Masa Berlakuaya KUHP
Sesudah berlakunya KUHP tahun 19i8 terjadi perubahan yang
mendasar mengenai penjara dan segala peraturannya. Perubahan tersebut
diantaranya adalah hukuman rampasan kemerdekaan yang bukan pidana
harus diadakan sarana Iisik atau bangunan tersendiri, oleh sebab itu selain
sistem Strafgeuangenissen diadakan pula sistem Huizen uan Beutaing (HvBl
atau yang disebut dengan "Rumah Tahanan" yang fungsi utamanya ialah
untuk menampung orang-orang yang belum dihukum atau belum tentu
dihukum, mereka yang ditahan atau mereka yang disandera sambil
menunggu keputusan tentang perkaranya. Selain itu dilakukan
penyempurnaan kebijakan dalam memperlakukan terpidana antara lain
berupa realisasi klasifikasi, penerapan Pasal 26, Wetboek uan Strafrecht
(KUHP) dan peluasannya Dalam periode ini dilaksanakan pemberian lepas
bersyarat yang pertama setelah 3 tahun setelah KUHP berlaku. Selain ituberkaitan dengan Pasal 20 KUHP maka bagi semua terpidana baik pidana
6 Organisasi Kepenjaraan saat itu sudah mulai tertib dengan adanya Kepala Umsan Kepenjaraan(Hoofd uan het Geuangeni,sutezen) yeng membawahi pejabat-pejabat seperti Inspektur, Direkhrr,Pegawai-pegawai telmik, Administrasi, dan bidang lain.
penjara maupun pidana kurungan yang lamanya tidak lebih dari satubulan diwajibkan bekerja dipenjara pada siang hari dan sehabisnya bebas
berada diluar penjara. z
C. Masa PenJaJahan Jepang
Di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 struktur organisasi
Kepenjaraan tidak berubah semuanya masih berdasarkan sistem
kepenjaraan yang telah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda, akan
tetapi semua posisi puncak seperti kepala kepenjaraan sepenuhnya
dipegang oleh orang Jepang. Keadaan kesehatan terpidana pada saat ituumumnya sangat menyedihkan. Pada tahun 1944 rata-rata setiap hari 25
orang terpidana meninggal dunia di rumah penjara Cipinang karena
mengidap penyakit disentri dan malaria. Obat-obatan tidak ada, yang ada
hanya tata kina yang langsung dibuat dari kulit pohon kina dimanapersediaannya sangat sedikit. Untuk pengobatan disentri dipergunakan
obat-obat tradisionil, keadaan makanan pun sangat menyedihkan.a
D. Masa Kemerdekaan
Setelah merdeka tahun 1945 semua penjara telah dikuasai oleh
Republik Indonesia. Menteri Kehakiman R.I yang ketika itu dijabat oleh
Prof. Mr. Dr Supomo mengeluarkan Surat Edaran No. G.8/ 58S tentang
Kepenjaraan yang memuat beberapa pokok aturan diantaranya: bahwayang pertama-tama harus diperhatikan dan diusahakan ialah kesehatan
orang-orang terpenjara, Pekerjaan bagr ora"ng-orang terpenjara harus
diperhatikan antara lain sebagai sarana memperbaiki tabiatnya, perhatian
khusus diminta untuk usaha-usaha dibidang pertanian guna mencukupimakanan orang-orang terpenjara, perlakuan terhadap orang-orang
terpenjara selalu mengingat perikemanusiaan dan keadilan, tanpa pandang
bulu apakah Indonesia, Eropa, Tionghoa, dan lain-lain.
7 Semula ketentuan ini hanya berlaku bagi terpidana kurungal dengan lama pidana tidak lebihdari 6hari. lStaatsblod 1925 No. 28)t Walaupun dalam teori Kepenjaraan Jepang, perlakuan terpidana harus berdasarkan"reformasi atau rehabilitasi" namun kenyataan lebih merupakan exploitasi atas manusia.
Saat itu Reglemen Penjara Staatsblad 1917 No.7O8 masih tetap berlaku
kecuali haf-hal yang bersangkutan dengan pengurusan dan pengawasan
atas penjara-penjara, terutama Pasal 15 s/ d 20 dan Pasal 22 s/ d 24. Pasal-
pasal tersebut diubah dengan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25
Februari 1946 No.G.8l23O yang mengatur mengenai Struktur Organisasi
dan Ketatalaksanaan dari Jawatan Kepenjaraan. Aturan tersebut /pada
hakekatnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pelnerintah
tentara Jepang, dimana penyebutan nama jabatan diubah kedaldm bahasa
Indonesia. Sejak tahun 1946 kantor pusat kepenjaraan dikehal dengan
"Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Penampungan"
(penampungan sebagai sebutan dari reclasseeirug.
Dalam sejarah Kepenjaraan Indonesia, periode Republik Indonesia
Serikat terkenal dengan adanya "Penjara-penjara Darurat". Ada beberapa
macarn penjara darurat yakni penjara darurat yang berisi beberapa orang
terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya; Penjara
darurat yang khusus didirikan dalam tempat-tempat pengungsian sebagai
tempat untuk orang-orang yang dianggap sebagai mata-mata musuh;
penjara-penjara darurat yang merupakan komponen dari tata peradilan
pidana darurat yang diadakan dalam rangka mempertahankan eksistensi
dan konsistensi dari Negara Republik Indonesia. Penjara-penjara darurat
tersebut diadakan bersamaan dengan diadakannya Pengadilan-pengadilan
Darurat sebagai realisasi dari instruksi Menteri Kehakiman Republik
Indonesia yang pada waktu itu berada dalam pengungsian.
Pada saat sistem penjara darurat dilakukan, narapidana menjalankan
tugas pembersihan bangsal-bangsal tempat penampungan terpidana,
memasak, bercocok tanam dan diperbantukan kepada pemerintah setempat
untuk keperluan yang bermanfaat untuk umum. Pada saat itu penjagaan
dilakukan oleh sedikit pegawai kepenjaraan yang berada dalam
pengungsian tanpa senjata dengan penerangan sangat minim. Jumlah
terpidana berkisar antara 25 sampai 60 orang. Pada saat darurat
perkelahian antar para terpidana hampir tidak ada, tidak ada narapidana
yang melarikan diri baik ketika sedang dihukum maupun ketika diadakan
10
pelatihan pengungsian bahkan ketika pengungsian sedang terjadiwalaupun pelaksanaanya dilakukan diwaktu malam.
Pada tanggal 19 Mei 1950 dicapai kata sepakat diantara negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur
untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945. Setelah dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dikeluarkan Surat Putusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa
dan "Reklassering" tanggal 14 Nopember 1950 No. J.H. 6/19/16 yang
mempersatukan urusan kepenjaraan di seluruh nusantara dalam satu
organisasi. Yang perlu diidentifikasikan mengenai periode kepenjaraan R.I
ialah adanya latar belakang falsafah yang baru dibidang kepenjaraan yakni
resosialisasi, yang pada waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern
di dunia kepenjaraan nasional. Adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan diNusakambangan pada tahun 1951 dan adanya Konperensi Dinas
Kepenjaraan di Sarangan pada tahun 1956 merupakan tonggak-tonggak
sejarah dalam perkembangan sistem Koreksi di Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Maret 1962 No. J.H. 8.6/71 tentang
Pendidikan Narapidana, yallg antara lain memuat arah pimpinan
kepenjaraan yang telah ditetapkan oleh Saharjo, SH, Menteri Kehakiman
pada waktu itu yakni pemasyarakatan narapidana dalam artimempersiapkan narapidana lahir/batin untuk kembali ke masyarakat.
Sistem Pemasyarakatan sebagai proses tidak sarna dengan sistem
klasifikasi sebagai proses, sebagai diartikan di Amerika Serikat karena
sistem klasifikasi sebagai proses tidak mengikutsertakan secara aktif dan
positif elemen masyarakat, sedang yang menjadi fokus pada sistem
klasifikasi adalah individu terpidana, berlainan dengan proses berdasarkan
Sistem Pemasyarakatan yang fokusnya ditujukan kepada kesatuan
hubungan yang terjalin antara individu dan masyarakat serta alamnya,
dibawah kekuasaan T\rhan Yang Maha Esa. Disini letaknya Pancasila dari
Konsepsi Pemasyarakatan
Selanjutnya diterbitkan juga surat edaran tanggal 23 April 1962 no.
J.H. 8.1./40 tentang Pedoman Pemasyarakatan Narapidana yang antara
11
lain memberi petunjuk-petunjuk mengenai pendidikan, diantaranya
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan yang khas darimasyarakat sekelilingnya. Dalam periode ini secara resmi dipergunakan
istilah-istilah "narapidana" untuk orang hukuman, "tindakan penertiban"
untuk hukuman disiplin, "pidana" dan istilah hukuman, "tahananpencegahan" untuk tahanan preventif dan "tahanan sandera" untukdigidzel. Istilah narapidana sebetulnya berasal dari pemikiran R.A. Kusnun,
S.H. dimana nara diartikan sebagai kaum dan pidana berarti hukuman.
Pada tanggal 2O s/d 22 Maret 1975 dilaksanakan Lokakarya Evaluasi
Sistem Pemasyarakatan. Iokakarya tersebut membahas tentang Peraturan
Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya sebagai landasan
struktural yang dapat dijadikan dasar bagi segi-segi operasional
Pemasyarakatan, Sarana Personalia, Sarana Keuangan dan Sarana Fisik.
Dalam Lokakarya tersebut diambil kesimpulan, bahwa hal-hal tersebut
belum memadai. Lokakarya ini berhasil membuahkan kerangka dasar
manual pembinaan bagi terpidana, sebagai langkah untukmenyi:mpurnakan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Salah satu
langkah yang konkrit yang patut dicatat dan yang terjadi pada permulaan
periode ini ialah penrusunan manual-manual yang fliperlukan dalam
rangka realisasi perlakuan terpidana berdasarkan konsepsi
pemasyarakatan.
I2
BAB IIIASPEK KELEMBAGAAN DALAM PROSES PEMASYARAKATAN
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
mengartikan pemasyarakatan sebagai kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari
sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Terkait dengan sistem
pemidanaan tersebut perlu dihubungkan dengan Standard Minimum Rules
for tlrc Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Kovenan Sipil Politik pada
tahun 1966 yang menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk
merehabilitasi pelaku kej ahatan.
Konsep Sistem Pemasyarakatan dalam instrumen nasional
sebagaimana termaktub dalam 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr.
Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang
hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam Standard
Minimum Rules for th.e Treatment of Prisoner tahun 1957. Baik Konsep
Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum
Bagi Perlakuan terhadap Narapidana di Indonesia sedikitnya menganut
filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, namun
demikian ditingkat implementasi masih sangat lemah karena adanya
berbagai faktor diantaranya kesenjangan antara konsep pemasyarakatan
dengan realitas pelaksanaan di lapangan, kurangnya anggaran dan
rendahnya SDM serta kelemahan ditingkat organisasi kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan.
Berkenaan dengan pola pemidanaan dan penentuan sanksi perlu
digali secara mendalam dan ditentukan secara tepat karena pemahaman
mengenai pemidanaan dapat memberikan arah dan pertimbangan untuk
menetapkan pemberian sanksi dalam suatu tindak pidana. Dalam konteks
13
pembaharuan hukum pidana berkaitan dengan sistem sanksi harus
dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan, hal ini penting
untuk melihat apa maksud dan capaian yang hendak diinginkan darisebuah proses pembaharuan dalam hukum pidana.
Oleh karena itu Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa
hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah
titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal.Tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara,
sarana atau tindakan yang akan digunakan.e Permasalahannya selama inibelum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positifIndonesia. 10 Akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan
banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang ada dalam
KUHP saat ini tidak konsisten dan tumpang tindih.
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang
surut. Dalam perkembangannya, teori pemidanaan yang bertujuanrehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuanrehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun t97O-an telah terdengar
tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta
indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis
pedoman. ll Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi ini lahir "Model
Keadilan" yakni sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang
dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan
pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert modet) yang
didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan
Qtreuention) dan retribusi (retibution). Dasar retribusi dalam just desert
model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patutditerima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan
tindakan-tindakan kejahatan lagr dan mencegah orang-orang lain
melakukan kejahatan. Di samping just desert modeljuga terdapat model
gM.rludi d- B*du Nawawi Arief, Teorileori dan Kebijakan Pidana,PT ALUMNI, Bandmg, 1998, hlm. 96loM.
Sol"hoddio, ,9o tem Sanlai dalam Hulum Pidana,PT Rajt CirafiidoPemada, 2003, hlrn. 131.
" solehuddin, op. cit., hlm. 61.
t4
lain yaitu restoratiue justice model yang seringkali dihadapkan pada
r etributiu e ju stice mo del. 72
Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh tindak
kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu
berakhir di penjara, padahal penjara bukan solusi terbaik dalam
menyelesaikan masalah-masalah kejahatan. Saat ini dikenal suatu
paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorattue justice, di mana
pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya
kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Secara lebih rinci Muladi
menyatakair bahwa restoratiue justice model mempunyai beberapa
karakteristik yaitu : 13
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korbal. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan
ekonomis; dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
plbid.t'M,rludi, Kapita Selekta Hulatm Pidana,Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,l995,hlm. t27-129.
15
Dijelaskan dalam UU Pemasyarakatan bahwa yang dimaksud dengan
sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilakukan secara terpadu antara Pembina yang dibina dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan
agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakpidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
alrtif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga binaan yang baik dan bertanggungjawab. Paradigma inisesungguhnya sesuai dengan model restoratiue justice jika dilihat dalam
konteks pembaruan sistem pembinaaan bagi narapidana di lembaga
pemasyarakatan.
Undang-undang pemasyarakatan menekankan adanya kesatuan
implementasi antara sistem, kelembagaan dan cara pembinaan fagi warga
binaan pemasyarakatan. Sistem dan cara pembinaan dalam konsep
pemasyarakatan tidak berdiri sendiri melainkan terikat erat dengan
kelembagaan pemasyarakatan sebagai instrumen yang akan menerapkan
sistem dan cara pembinaan. Kelembagaan dalam kenyataannya mempunyai
peran yang sangat penting bagi keberhasilan proses pembinaan warga
binaan pemasyarakatan. Dalam penelitian ini kelembagaan meliputibeberapa hal yakni mengenai organisasi, dan Sumber Daya Manusia
Struktur Organisasl
Pada dasarnya pengorganisasian lembaga pemasyarakatan diaturdalam berbagai peraturan perundang-undangan baik dalam Undang-
undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah
No. 32 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 28 tahun 2006
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.09-PR.07-10 Tahun 2OO7 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Hukum dan HAM, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan
t6
Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan aturan teknis lainnya.
1. Struktur Organisasi Departemen Hukum dan HAM
Dalam struktur organisasi Departemen Hukum dan HAM Kepala
LAPAS bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor
Wilayah (Kakanwil) Departemen Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil
bertanggungjawab langsung kepada Menteri. Menteri membawahi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagaimana Kakanwil membawahi
Koordinator Pemasyarakatan. Baik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
maupun Kordinator Pemasyarakatan hanya mempunyai hubungan
teknis dengan Lembaga Pemasyarakatan tetapi tidak mempunyai
hubungan secara struktural.
Di sisi lain Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mempunyai fungsi
untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pemasyarakatan, demikian juga Koordinator Pemasyarakatan di Kantor
Wilayah mempunyai tugas melaksanakan pembinaan pengendalian dan
pengawasan serta pemeriksaan di bidang teknis pemasyarakatan.
Ironisnya, kedua sub organisasi ini tidak mempunyai hubungan
struktural dengan lembaga pemasyarakatan sebagai pelaksana. Menun1t
Keputusan Menteri tentang Organisasi dan Tata Ke{a Lapas, hubdngan
antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Lapas dilakukan
secara fungsional dalam rangka bimbingan teknis kemasyarakatan
melalui Kepala Kantor Wilayah Dephukham. Hal ini menjadi
permasalahan sebab pada dasarnya organisasi diarahkan untukmencapai tujuan secara efisien dan efektif melalui kegiatan yang
terpadu.14
Sebelum tahun 1984 pernah digunakan sistem lwlding menyangkut
struktur organisasi Pemasyarakatan. Mulai dari tingkat Direktorat
t+J. Winardi, Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemery Jekarta, PT. RajaGra-findo: 2005, hal. 767-162.
l7
Jenderal hingga unit pelaksana teknis berada dalam satu kesatuan
struktural, dimana kepala Lapas bertanggungjawab kepada kepala
kantor direktorat, kepala kantor direktorat bertanggungjawab kepada
kepala kantor wilayah direktorat, kepala kantor wilayah direktorat
bertanggungjawab kepada direktur pemasyarakatan dan direktur
bertanggungj awab kepada menteri.
Dengan sistem ini, maka jalinan struktural, fungsi, tugas dan
wewenang sangat menunjang kine{a pemasyarakatan sehingga pada
saat itu kine{a organisasi begitu efektif dan efisien. Pada dasarnya
keinginan untuk kembali ke sistem holding sangat kuat ditingkat
pelaksana teknis.ls Sebaliknya sistem integrated yang ada saat inimempunyai banyak kelemahan diantaranya kurangnya jalinan
struktural, fungsi, tugas dan wewenarlg antara direktorat dengan divisi
pemasyarakatan di kantor wilayah dan unit pelaksana teknis
pemasyarakatan.
Selain itu posisi sebagai Direktur pada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dapat diisi oleh pihak lain secara politis, bukan secara
karier. Sebagai contoh Departemen Hukum dan HAM membawahi juga
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal
Imigrasi, Direktorat Jenderal HaKI dan lain-lain, dimana bisa saja terjadi
orang yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur pada Direktorat HaKI
dapat menduduki jabatan sebagai Direktur pada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Yang lebih mengkhawatirkan apabila yang menjadi
Direktur adalah mereka yang berasal dari pihak luar Departemen
Hukum dan HAM1o.
Masalah yang mungkin timbul adalah menyangkut kualitas dan
pemahaman dari Direktur tersebut mengenai Konsep, Visi dan Misi
pemasyarakatan yang justru sanga! dibutuhkan dalam pemmusan dan
pelaksanaan kebijakan mengenai pemasyarakatan. Masalah yang sama
juga mencakup kedudukan Kakanwil, dimana Kakanwil juga diangkat
15 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
16 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.KP.01.05 Tahun 1994Tanggal 8 Pebruari 1994 tentang PoIa Penjenjangan Karier Pejabat Pemasyarakatan DepartemenKehal<imal.
18
langsung oleh Menteri, dan bisa diisi oleh mereka yang bukan daridirektorat pemasyarakatan akan tetapi berasal dari direktorat Imigrasi,
direktorat HAKI atau bagian lain.
Satu hal yang cukup mendapat perhatian adatah keberadaan Balai
Pertimbangan Pemasyarakatal,lT sebagai badan yang khususmemberikan nasehat dan pertimbangan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Kedudukannya yang
noq struktural seharusnya membuat badan ini terbuka kepada
masyarakat.
Susunan anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan periode tahun
2006 adalah sebagai berikut:
ANGGOTA BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN (BPP)DILANTIK 5 SEPTEMBER 2006
NAMA BIDANG KEAHLIANProf. Dr. Mustofa, M.Si Spesialisasi KriminologiProf. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA Spesialisasi Hukum PidanaProf. Dr. Andi Hamzah, SH Spesialisasi Hukum Pidana dan HAMDrs. Agun Gunaqiar Sudarsa, Bc.IP Spesialisasi Tokoh Masyar akatDr. Seto Mulyadi, S.Psi, M.Si Spesialisasi Masalah AnakDrs. Hasanuddin, Bc. IP, SH Sp e sialisasi P emasy ar akatanDr. Rudy Satriyo M, SH, MH Spesialisasi Peradilan PidanaNursyahbani Katjasungkana, SH Spesialisasi Masalah WanitaDrs. R. Soegono, MM Spe sialias i P emasyarak atanDrs. Purniati Spesialisasi Lembaga Swa day a Masyarakat
Dr. Imam Prasodf o Spesialiasi Sosioloei
Akan tetapi sejauh ini kegiatan badan tersebut tidak pernah didengar atau
diketahui publik. Padahal kalau dilihat unsur yang duduk dalam badan
tersebut terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, dan para tokoh
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pembinaan warga binaan
pemasyarakatan dan para ahli di bidang pemasyarakatan. Badan seperti iniseharusnya dipikirkan kembali untuk masalah pertanggungjawabanya
dalam arti tidak hanya bertanggungjawab kepada menteri akan tetapi
tzDibentuk berdasarkan KeputusanM.02.PR.08.03 Tahun L999 tentang BalaiPemasyarakatan
Menteri Hukum dan Perundang-undangan NomorPertimbangan Pemasyarakatan Dan Tim Pengamat
t9
bertanggungjawab juga kepada masyarakat dengan cara memberikan
laporan kgpada masyarakat tentang kegiatan yang sudah dilakukan atau
bisa menjadi organ yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal
terhadap kinerja Organisasi dan pembinaan di Lembaga pemasyarakatan
dan secara keseluruhan sebagai wakil masyarakat dalam rangka
mendukung pembinaan terhadap warga binaan.
2. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan
Struktur organisasi LP sebagaimana diatur dalam M.01.PR.07.03
Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
menyebutkan bahwa tugas keamanan dan ketertiban secara teknis dan
administratif dipisahkan. Secara teknis, pelaksanaan tugas keamanan dan
ketertiban berada di bawah kendali Kesatuan Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan (KPLPJ sedangkan secara administratif kendali tugas
berada dibawah Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib.
Permasalahan yang sering dijumpai adalah mengenai dua bidang yang
mengatur mengenai hal yang sama ini, dalam pelaksanaannya seringkali
tidak harmonis dan menjurus ke arah konflik horizontal antar petugas.
Akibatnya, efektifitas dan efisiensi kerja menjadi kurang sehingga tujuan
organisasi yang diharapkan dapat dicapai cenderung tidak maksimal. Di
samping itu, bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib dinilai sebagai
bidang yang kurang sekali beban kerjanya jika dibandingkan dengan bidang
lain dalam organisasi LP18.
Saat ini koordinasi kerja antara sub organisasi Lapas yang
mempunyai kewenangan menjalankan fungsi pembinaan dan Bapas yang
mempunyai kewenangan menjalankan fungsi pembimbingan belum selaras.
Lapas memandang bagian kerja Bapas seharusnya ketika warga binaan
pemasyarakatan mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang
bebas. Tetapi, pada kenyataanya Bapas memang terlibat sejak awal ketika
warga binaan menjalani proses pembinaan di Lapas. Masalah timbul karena
lsWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OO7
20
belum adanya aturan teknis yang mengatur deskripsi kerja masing-masing
bagian.
Sejauh ini berdasarkan analisis sementara sistem organisasi yang
meliputi pembinaan dan pembimbingan di LP tidak mempunyai perbedaan
sedangkan masing-masing penanganan warga binaan mempunyai
karakteristik tersendiri contoh, pembinaan dan pembimbingan bagt
pemasyarakatan anak, pemasyarakatan wanita, pemasyarakatan narkoba
seharusnya berbeda.
B. Sumber Daya Manusla
1. Rekrutmen
Pada prinsipnya yang disebut dengan rekrutmen adalah proses untuk
mencari dan menarik para pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh
organisasi tertentu. Selanjutnya, rekrutmen juga dapat didefinisikan
sebagai serangkaian aktifitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan
motivasi, kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang diperlukan guna
menutupi kekurangan yang teridentifikasi dalam perencanaar]
kepegawaianle.
Umumnya pegawai yang berkerja di LP, saat melamar pertama kali
harapannya adalah memang menjadi pegawai Departemen Hukum dan
HAM. Tidak terbayang dibenak mereka akan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan. Dari awal, motivasi pelamar sudah berbeda dengan ketika
mereka ditempatkan sebagai pegawai LP. Semangat kerja menurun dan
sebagian besar tidak bersemangat untuk bekerja dan ini sangat
mempengaruhi aktifitas organisasi secara keseluruhan.zo Selain motivasi,
masalah kemampuan, keahlian dan pengetahuan harus diperhitungkan
juga pada proses rekrutmen pegawai LP.
Kelemahan ini diakibatkan oleh sistem rekrutmen yang semuanya
dipusatkan di Sekretariat Jenderal Departemen sehingga standar yang
digunakan adatah standar Departemen bukan standar masing-masing
le Ambar Teguh Sulistiyani dan Rosidah, Manajem.en Sumber Daga Manusia (Konsep Teoidan Pengembangan d.alam Konteks Organisasi Publik),\ogeJ<atta: Graha Ilmu, 2003. Hal.134
20 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
2t
Direktorat Jenderal akibatnya kualitas pegawai yang te{aring sangat minimbaik dari segi motivasi, keahlian, kemampuan dan pengetahuannya.
2. Pengembangan SDM/Pendidikan dan LatihanPendidikan pada umumnya berkaitan dengan persiapan bagi calon
tenaga yang diperlukan oleh suatu instansi atau organisasi sedangkanpelatihan diartikan seb"gai bagian dari pendidikan yang memiliki tduanuntuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan pegawai yang sudahmenduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu2l. Pendidikan dan latihanbaik pra jab atan (pre-seruice training) atatr dalam jabatan (in-service training)
fagi petugas dan pejabat LP kurang memadai. HaI ini mengakibatkankesenjangan antara konsep pemasyarakatan dengan implementasi proses
pembinaan di lapangan.
Pada kenyataannya pendidikan yang dilaksana-kan oleh Departemen
Hukum dan HAM masih bersifat umum seperti diklat struktural. (spada,
Spama, Diklat Pimpinan dan lain-lain). Sejauh ini mereka yang menjadipegawai LP sangat sedikit yang berasal dari lulusan akademi ilmupemasyarakatan (AKIP) , rata-rata mereka yang lulusan AKIp mempunyaipenguasaan dan pemahaman yang cukup baik dalammengimplementasikan tujuan pemasyarakatan kualitasnya berbeda denganyang bukan lulusan AKIP. Hai negatif dari penggunaan tenaga lulusan AKIpadalah diabaikannya mereka yang lulusan 51, 52 dan 53, tetapi bukanalumni AKIP akibatnya tenaga potensial tersebut tidak berkembang ketikamereka ditempatkan di LP.zz
Banyaknya pegawai yang tidak mengikuti pendidikan teknispemasyarakatan sejak awal bertugas, pada akhirnya menghasilkan pegawai
yang tidak memahami konsep dan tujuan pemasyarakatan. Hal inidiperburuk dengan kurangnya kesadaran sebagian petugas Lapas sehingga
terjadi persekongkolan antara pegawai dan narapidana. penyelenggaraan
diklat rata-rata satu (1) kali setiap tahun ditambah lagi masih ada pegawai
21 Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daga Manusia, Jakarta, Rineka Cipta, 2003,hal. 28.
rzRahardi Ramelan, disampaikan pada /ocus group discussion Penelitian LP, Jokartg- 22 Mei2007
22
Lapas yang masih berijasah SD dan SMp sehingga kualitas pemahamannya
mengenai konsep dan tujuan pemasyarakatan sangat terbatas23.
Pelatihan selama ini dilaksanakan oleh Kantor wilayah Departemen
Hukum dan HAM dengan metode pengajuan program berdasarkananggaran yang disetujui oleh Sekretariat Jenderal Departemen. pelatihan
tersebut meliputi materi teknis pemasyarakatan dan materi keahlian umumseperti komputer, manajemen dan lain-lain. Pelatihan ini tidak dilakukansecara rutin dan berkesinambungan sehingga peningkatan kualitas pegawai
tidak maksirnal2a. Padahal dengan kualitas pegawai yang dari awal tidakmemiliki keahlian, kemampuan dan pengetahuan tentang teknisPemasyarakatan, pelatihan ini menjadi sangat penting dan harus secara
rutin dilaksanakan sehingga pemahaman mengenai konsep dan tujuanpemasyarakatan dapat terlaksana.
Masalah lain adalah mengenai jumlah personil Lp yang tidaksebanding dengan jumlah penghuni. Tenaga-tenaga Lp yang ada belumsesuai dengan kebutuhan riil dalam proses pemasyarakatan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Bukan hanya itu, seharusnya Lp ditunjangdengan tenaga-tenaga ahli kemasyarakatan seperti psikolog, psikiater,
sosiolog, guru, dan tenaga ahli di bidang produksi. Kenyataannya banyakpegawai LP yang juga merangkap sebagai psikolog, guru, dan tenaga ahlidibidang produksi. Masalahnya pegawai Lp tersebut secara personal tidakmempunyai kemampuan yang memadai untuk itu, antara lain bukanlulusan psikologi atau minimal pernah mengikuti pelatihan sebagai psikolog
atau sebagai guru bahkan sebagai ahli di bidang produksi, akibatnyatujuan pembimbingan dan pembinaan kurang tercapai.2s
3. Mutasi Promosi
Promosi diartikan sebagai kegiatan pemindahan pegawai dari suatujabatan kepada jabatan yang lebih tinggi. Promosi akan selalu diikuti oleh
tugas, tanggungjawa! dan wewenang yang lebih tinggi dari jabatan yang
23Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT
2aWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OO7
2sWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT
23
diduduki sebelumnya26 sedangkan mutasi secara gramatikal dapat
diartikan.sebagai perpindahan jabatan atau perubahan jabatan dari satu
posisi ke posisi lainnya, baik secara fungsional, struktural maupun
kewilayahanzz.
Alasan melakukan promosi dan mutasi diantaranya untuk menjamin
stabilitas kepegawaian, memajukan pegawai dan mempertinggi semangat
kerja pegawai serta menempatkan seseorang yang tepat di posisi yang tepat.
Secara empiris ditemukan bahwa pegawai LP banyak yang tidakmendapatkan kesempatan mutasi dan promosi secara merata. Di satu sisi
ada pegawai yang teratur promosi dan mutasinya sedangkan di sisi lain ada
yang tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkan promosi dan mutasi
secara teratur.2s
Pola karier sebagai pola pembinaan pegawai negeri sipil yang
mehggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan
dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihatr,
kompetensi serta masa jabatan seseorang sejak pengangkatan pertama
dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun seharusnya dilaksanakan
secara transparan dan bertanggungiawab. Kenyataan yang terjadi adalah,
seseorang yang diusulkan untuk promosi atau mutasi tidak tahu alasannya
bahkan pegawai tersebut tidak tahu kalau usulan itu ditolak atau tidakditindaklanjuti. Kenyataan lain, ada juga pegawai yang "mengawal" usulan
promosi itu hingga tingkat pusat sehingga membuka peluang kolusi dan
nepotisme.2e Sistem administrasi kepegawaian yang terpusat dan tertutupdi Kesekretariatan Jenderal Departemen Hukum dan HAM dianggap sebagai
salah satu penyebab mengapa pola karier bagi pegawai LP bermasalah.
zoAlex S. Nitisemito, Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daga Manusia), Jakarta:Ghalia Indonesia, 1996. Hal. I 1
27Tim Pen5rusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar BahasaIndonesia, ed. II, cet. 9, Jakarta: Pusat Pembinarn dan Pengembalgan Bahasa DepartemenPendidikan dan Kebudayaar, hal. 7 90
2sWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OOT2eWawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP,2OO7
4. Kesejahteraan SDM
Mengenai kesejahteraan pegawai LP, secara umum dirasakan masihkurang akan tetapi diakui bahwa pemerintah telah memperhatikankekurangan tersebut dengan memberikan tunjangan-tunjangan dengan
harapan kekurangan tersebut dapat ditutupi.3o Mengenai pemberian
tunjangan bagi petugas pemasyarakatan sebelumnya telah dikeluarkanKeputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1996 tentang Thnjangan petugas
Pemasyarakatan dimana sebelumnya tunjangan ini berlaku bagi Golongan Isebesar Rp. 25.000, Golongan II sebesar Rp. 35.000, dan Golongan IIIsebesar Rp. 45.000. karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan makaPemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 106 tahun 2000 telahmelakukan perubahan terhadap besarnya tunjangan yakni Golongan Isebesar Rp. 100.O00, Golongan II sebesar Rp. 110.000, dan Golongan IIIsebesar Rp. 120.000, aturan ini tidak berlaku bagi pegawai yang telahmenerima tunjangan struktural dan tunjangan fungsional
C. Mekanlsme Perencanaan, Monitoring dan EvaluasiMekanisme perencanaan, monitoring dan evaluasi di Lp pada
umumnya mengikuti mekanisme baku yang sudah ditetapkan dalamseluruh aturan normatif yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum danHAM. secara teknis perencanaan dan monitoring serta evaluasi dilakukanoleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sedangkan secara administratifperencanaan, monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Kantor WilayahDepartemen Hukum dan HAM melalui divisi pemasyarakatan. Dengan
demikian LP sebagai unit pelaksana teknis sebenarnya tinggal menjalankan
semua program yang sudah digariskan baik secara teknis maupun secara
administratif.
Pada ranah implementasi terkadang ketentuan normatif tidak berlakuyang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya kelemahan
manajerial dan kualitas SDM. Hal yang pating mudah ditemui untukdijadikan contoh lemahnya perencanaan, monitoring dan evaluasi di Lp di
30 Wawancara dengan Pejabat LP dan Pegawai LP, 2OOT
25
bidang bina kerja. Walaupun sudah ada kerjasama tertulis antara
Departemen Kehakiman, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Sosial yang
dibuat tahun 198+ tetap saja tidak ada tindakan untukmengimplementasikan hal yang menjadi tanggungiawab masing-masing
instansi. HaI ini dapat kita lihat meskipun bidang bina kerja telah
mengeluarkan keluhan bahwa saat ini sulit untuk menjalin kerjasama
dengan Balai Latihan Ke{a sehingga praktis kegiatan yang bisa dilakukan
oleh bidang bina kerja adalah kegiatan yang lokal saja seperti menanam
saJruran di dalam lingkungan penjara. Pejabat struktural di LP tidakmelihat ini seb"gai masalah sehingga implementasi monitoring dan evaluasi
terhadap kegiatan bina kerja tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal yang
sama juga terjadi di bidang pembinaan pendidikan dimana program paket
belajar yang selama ini berjalan masih menggunakan tenaga pengajar daripegawai LP meskipun sudah ada kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaaan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kegiatan perencanaan,
monitoring dan evaluasi di LP sangat lemah dan perlu ditinjau kembati.
D. Pelaksanaan Konsep Pemasyarakatan
Implementasi konsep pemasyarakatan sebagaimana dijabarkan UU
pemasyarakatan dititik beratkan dalam dua hal yakni pembinaan dan
pembimbingan. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan
disesuaikan dengan asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945. dan
standard minimum rules yang kemudian tercermin dalam sepuluh prinsippemasyarakatan. Salah satu kelemahan dalam sistem pembinaan adalah
tidak wajibnya semua warga binaan mengikuti kegiatan pembinaan di LP
seperti di Bina Kerja semua dikembalikan kepada warga binaan untuk aktifatau tidak, dengan demikian dalam proses tersebut kegiatan pembinaan
praktis hanya diikuti oleh mereka yang aktif sedangkan yang tidakmengikuti kegiatan tersebut tidak mendapatkan kegiatan lain yang wajib
diikuti. i
Kelemahan dalam sistem pemidanaan juga dapat dilihat dalam masa
orientasi atau pengenalan dalam LP dimana bercampurnya mereka yang
dihukum karena narkoba, pembunuhan, pencurian dengan tindak pidana
26
ringan lainnya tidak membuat mereka menjadi baik tetapi justru membuat
mereka mendapatkan komunikasi dan transformasi pengetahuan dan
membina relasi yang cenderung mengindikasikan adanya pengulangan
perbuatan tindak pidana. Karakteristik hukuman berdasarkan masing-
masing perbuatan pidana justru tidak tertangani dengan baik sehingga
pelaksanaan konsep pemasyarakatan juga tidak berjalan dengan baik.
Pemenuhan pelaksanaan konsep pemasyarakatan sering tersandung
dengan kurangnya kemampuan profesional dan integritas moral. Sejatinya
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10
Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan telah mengatur
secara rinci bagaimana teknis pola pembinaan yang seharusnya
dilaksanakan. Namun aturan tersebut pada akhirnya menjadi sekedar teori
sebagai akibat lemahnya beberapa faktor utama dan faktor pendukung
yang mempengaruhi pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan yakni:
Pola dan tata letak bangunan, struktur organisasi, lemahnya
kepemimpinan, kualitas dan kuantitas petugas, manajemen, kesejahteraan
petugas, sarana dan fasilitas pembinaan, anggaran, sumber daya alam
serta kualitas dan ragam program pembinaan. hal ini diperburuk dengan
lemahnya koordinasi antara petugas, masyarakat dan warga binaan
sehingga terkesan pelaksanaan konsep pemasyarakatan seperti setengah
hati dan jalan di tempat.
E. Mekanisme Pengawasan
Banyak pendefinisian mengenai pengawasan, diantaranya
didefinisikan sebagai segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau
kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.3l Bentuk
pengawasan di organisasi pemerintah secara umum diatur dalam Lampiran
Inpres No. 15 tahun 1983 dan dalam Inpres No. 1 tahun 1989 yaitu:
1. Pengawasan Melekat
2. Pengawasan Fungsional
3tsujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengautasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986,hal.20
27
3. Pengawasan Masyarakat
4. Pengawasan Legislatif
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.0i.PR.07.03 Tahun 1985
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan mengatur dua
bentuk pengawasan yakni pengawasan melekat dan pengawasan
fungsional. Pengawasan melekat yang dilakukan oleh setiap pimpinan
satuan organisasi sedangkan secara fungsional melalui Inspektorat
Jenderal Departemen Hukum dan HAM. Pengawasan masyarakat dan
pengawasan legislatif tidak ada mekanismenya dalam sistem organisasi
pemasyarakatan.
Terkait pengawasan melekat yang dilakukan oleh pimpinan satuan
organisasi di LP dalam tataran pelaksanaan terasa kurang efektif karena
masih ada semangat pimpinan untuk melindungi bawahan, di sisi lain demi
prestise organisasi dalam wilayah kerjanya pimpinan cenderung melakukan
pengawasan secara tertutup dan jarang mengambil pembinaan,
pendisiplinan hingga tindakan pada oknum petugas yang menyimpang.
Sebagai contoh saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat
memberhentikan sementara Kepala Lapas karena adanya penyimpangan
atau pelanggaran yang dilakukan, akan tetapi dasar pemberhentian Kepala
l,apas tersebut menjadi tidak jelas karena didasarkan pada kebijakan
bukan berdasarkan pada peraturan. Artinya ada kebutuhan untuk melihat
kembali sistem dan regulasi pengawasan dan penjatuhan sanksi di
organisasi pemasyarakatan.
Instrumen pendisiplinan selain dalam Keputusan Menteri Hukum dan
HAM juga digunakan PP.30 tahun 1980 yang mengatur sanksi administratif
sedangkan untuk penyimpangan yang menjurus ke delik pidana digunakan
instrumen umum seperti KUHP. Sejauh ini masih ditemukan petugas yang
melanggar dan telah dijatuhkan hukuman iidana narnun statusnya tetap
menjadi pegawai aktif di LP32. Ini menunjukan lemahnya pengawasan baik
ditingkat pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional.
ez Ahgan, disampaikan pada focus group discussion Penelitian LP, Jakarta - 22 Mei 2007
28
F. Koordlnasl dan Kerjasama Kelembagaan
Koordinasi internal dalam organisasi LP pada umumnya masih
kurang. Sebut saja lemahnya koordinasi antara bidang registrasi dan
bidang bimbingan kemasyarakatan mengenai data warga binaan dan
tahanan. Yang sering terjadi adalah sulitnya bidang bimbingan
kemasyarakatan guna mengakses data yang dibuat oleh bidang registrasi.
Idealnya data yang dimiliki oleh bidang registrasi secara komputerisasi
dimiliki oleh setiap bidang teknis. Dalam penelitian ditemukan, masih ada
bidang lain yang mencatat secara manual data tahanan dan warga binaan
walaupun di bidang registrasi sudah dikomputerisasi.
Mengenai kerjasama antar lembaga telah dikeluarkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.UM.O6.07.127 Tahun 1988
tentang Tata Cara Pembuatan Kerja Sama Dengan Instansi Lain Dan Pihak
Swasta. Meskipun ada aturannya kondisi di lapangan menunjukan banyak
sekali kelemahan Kerjasama kelembagaan praktis kurang berjalan
diakibatkan kurangnya inisiatif masing-masing instansi untuk bekerja
sanna, hal yang dapat dijadikan contoh adalah lemahnya kerjasama antara
lembaga pemasyarakatan dengan departemen sosial, departemen tenaga
kerja, departemen pendidikan dan LSM yang peduli dengan pembinaan di
lembaga pemasyarakatan. HaI lain yang merupakan teknis hukum adalah
mengenai lemahnya pelaksanaan peran KIMWASMAT dan peran Jaksa
Pengawas sebagaimana diatur dalarn KUHAP, jalan keluar seperti
koordinasi dan konsolidasi justru tidak terlihat.
G. Akuntabilitas dan Transparansi
Prinsip tata pemerintahan yang baik (good gouentancel saat ini
banyak digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kinerja instansi
pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang mengabdi pada publik.
Diantara beberapa prinsip tata pemerintahan yang baik adalah prinsip
akuntabilitas atau pertanggungjawaban dan prinsip transparansi atau
keterbukaan. Dua prinsip ini belum terlihat dalam organisasi dan
manajemen Lembaga Pemasyarakatan. Akuntabilitas dapat digunakan
sebagai mekanisme untuk menilai atau mengevaluasi seluruh pelaksanaan
29
fungsi, tugas dan wewenang dalam suatu lembaga. Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata
Ke{a Lembaga Pemasyarakatan mengatur mengenai akuntabilitas namun
akuntabilitas tersebut bersifat internal tidak bersifat eksternal akibatnya
masyarakat tidak mengetahui apa yang akan, sedang dan sudah dilakukan
oleh lembaga pemasyarakatan sedangkan dalam prinsip pemasy.arakatan
tanggungjawab pembinaan tidak hanya di lembaga tetapi juga masyarakat.
Oleh sebab itu lembaga pemasyarakatan melalui Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan harus membuat mekanisme akuntabilitas yang dapat
diakses oleh publik.
Sebangun dengan itu prinsip transparansi juga perlu ditingkatkan,
transparansi disini diartikan sebagai keterbukaan lembaga untuk
memberikan akses informasi mengenai kinerja lembaga pemasyarakatan
kepada masyarakat. Prinsip transparansi ini dapat dimulai dengan
membuat web site dan membuatpress release tentang segala kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga sebagai bentuk keterbukaan kepada masyarakat,
dalam hal ini lembaga melihat publik sebagai mitra untuk bersama
melakukan pembinaan terhadap warga binaan dengan proses sosialisasi
program pembinaan, keterbukaan yang saat ini dilakukan oleh organisasi
pemasyarakatan dalam hal ini menteri hukum dan HAM adalah dengan
melakukan dengar pendapat dengan DPR. Lemahnya transparansi dapat
diukur dengan sulitnya masyarakat untuk mengakses informasi yang
terjadi dalam LP.
30
BAB IV
SARANA DAN PRASARANA DALAM PROSES PEMASYARAKATAN
A. Instrumen Peraturan
Proses pemasyarakatan mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang tersebar di berbagai peraturan dari undang-undang,
peraturan pemerintah, dan keputusan menteri. Secara umum, peraturan-
peraturan yang terkait dengan proses pemasyarakatan sudah cukup
memadai, dan jika diperbandingkan antara ketentuan yang ada dengan
Standard Minimam Rules for tLrc Treatment of Prisonerg diketahui tidak ada
gap yang besar. Banyak ketentuan dalam standar minimal tersebut
sebenarnya telah diadopsi dalam sistem pemasyarakatan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan.
Meskipun demikian masih ada beberapa ketentuan yang perlu
dikritisi lebih lanjut, diantaranya terkait dengan proses pemenuhan hak
Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB).
Untuk memperoleh hak-hak ini memerlukan prosedur yang panjang dan
sulit untuk dipenuhi oleh warga binaan. Karena rumitnya prosedur ini,
banyak warga binaan yang enggan untuk mengajukan permohonan.
Menurut pengakuan Rahardi Ramelan,33 proses memperoleh hak ini sangat
panjang. Untuk mengurusnya saja Rahardi Ramelan membutuhkan waktu
3 bulan dengan setumpuk dokumen yang diperlukan. Sayangnya, menurut
Rahardi, setelah semua persyaratan dipenuhi ternyata Menteri Hukum dan
HAM menolak permohonan itu tanpa alasan yang jelas.
Dasar hukum pokok penyelenggaraan pemasyarakatan adalah UU No.
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Melalui undang-undang ini diatur
berbagai hal terkait dengan pemasyarakatan. Hanya saja, tidak semua hal
dapat diatur melalui undang-undang, sehingga undang-undang ini
33Ttanskrip FGD, Baseline gtrueg Pelaksanaan Sbtem Pemasgarakatan Di LembogaPemasAarakata4 MAPPI FH UI, KRHN, LBH Jakarta dan Partnership, 16 Mei 2007, di Jakarta.
31
mengarnanatkan untuk diterbitkan setidaknya 12 peraturan pemerintah
guna mengatur lebih lanjut melengkapi undang-undang ini. Hanya sqja,sejak UU No. 12 Tahun 1995 disyahkan pemerintah barr menerbitkan'4buah PP yaitu PP 3r /1999 tentang pembinaan dan pembimbingan wargaBinaan Kemasyarakatan, PP 32/1999 tentang syarat dal Tata caraPelaksanaan Hak warga Binaan Kemasyarakatan, pp sz /lggg tentangKerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan pembimbingan warga BinaanPemasyarakatan, dan PP No. 58 Tahun 1999 tentang syarat-syarat danTata cara Pelaksanaan wewenang T\rgas dan Tanggungjawab perawatan
Tahanan.
Selain itu, empat PP yang ada juga mengamanatkan penerbitanKepmen. Sayangnya sampai saat ini, masih banyak Kepmen yang belumditerbitkan memenuhi perintah PP. wataupun ada beberapa Kepmen yangberlaku, tetapi Kepmen tersebut terbit sebelum pp dikeluarkan. Artinya pp
dibentuk dengan menyesuaikan Kepmen yang ada. padahal sehaiusnya,Kepmen yang mengikuti ketentuan Pp.
B. Over Kapasitas
Saat ini, problem yang dialami oleh hampir semua Lp adalah overkapasitas. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah warga binaan.saat ini, di LP cipinang jumlah penghuni 3800 orang, padahal kapasitashanya untuk 1500 orang, LP Tangerang jumlah penghuni 3.753 kapasitas800 orang, LP Bekasi penghuni I77O orang kapasitas 300 orang, LpPaledang 1639 kapasitas 500 orang, dan Lp Narkotika cirebon penghuni1143 kapasitas 362 orang. secara nasional, prosentase peningkatanpenghuni LP lebih tinggi dibanding perkembangan bangunan Lp. pada
tahun 2003 penghuni LP (Tahanan dan Narapidana) ZL.S8Z orangkapasitas 64.345 orang, tahun 2004 penghuni 86.450 orang kapasitasuntuk 66.891 orang, tahun 2005 penghuni97.67l orang kapasitas untuk68.L4L orang, dan tahun 2006 penghuni 118.453 orang kapasitas 76.550orang. Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen darikapasitas yang semestinya.
32
Kondisi ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalamstandard Minimum Rules for Treatment of Prisoners. standar minimar yangharus dipenuhi oleh suatu lembaga terkait dengan akomodasi tahananadalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihunisendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian bagi ruangan yang besar
dapat ditempatkan lebih dari satu orang tahanan dengan cerrn-at memilihtahanan yang akan ditempatkan dalam satu kamar. Untuk nrangan yang
sempit dan ditempati lebih dari satu tahanan sifatnya harus sementara.
Selain tidak sesuai dengan standar minimal, menurut petugas Lp,
kelebihan kapasitas juga mempengaruhi proses pembinaan yang dilakukan.Proses pembinaan menjadi tidak optimal dan Balai Latihan kerja kurangberjalan. Konsentrasi lebih dititikberatkan pada pengamanan dari padapembinaan, sehingga banyak sumber daya LAPAS tersedot untukpengaman€rn dibandingkan dengan pembinaan.
Adanya tren peningkatan jumlah penghuni Lapas, tidak terlepas dariadanya peningkatan angka kejahatan, terutama kasus narkoba. penghuni
Lapas d.idominasi oleh mereka yang terkena kasus narkoba. Apabila
diprosentase, penghuni Lapas dengan kejahatan narkoba, baik pengedar
maupun pemakai, mencapai kurang lebih 23 persen dari total penghuni
Lapas.
Untuk mengatasi problem kelebihan kapasitas, ad.a beberapa langkah
bisa ditempuh. Pettama" perlu ada pemindahan warga binaan. perlu ada
keseimbangans+ kapasitas jumlah hunian antara Lapas satu dengan Lapas
yang lain dengan jalan melakukan pemindahan warga binaan.3s
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari petugas di Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, penyebaran penghuni Lapas tidak merata. Ada Lapas
yang penghuninya masih dibawah kapasitas, tetapi ada beberapa Lapas
34LAPAS di Jawa Tengah, misalnya Kedung Pane Semarangpenghuninya.
3sMenurut petugas LP, pemindahan warga binaan bukanpemindahan warga binaan dapat mempengaruhi kemanan LAPAS.yang enggan dipindah dengan berbagai alasan.
masih memadai untuk ditambah
pekerjaan yang mudah. KarenaSelain itu, banyak warga binaan
33
yang kelebihan warga binaan,eo bahkan hingga hampir 4OO o/o dari daya
tampung. "
Ked.ua, memperrnudah prosedur pemenuhan hak-hak warga binaan
meliputi Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat
(PB) secara konsisten dan transparan. Jika cuti menjelang bebas dan
pembebasan bersyarat diterapkan secara konsisten, dipastikan dapat
mengurangi secara signifikan penghuni Lapas. Menurut Rahardi Ramelan
yang pernah menghuni di Lapas Cipinang, prosedur memperoleh hak-hak
ini sangat sulit.
C. Bangunan dan Letak Lapas
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam bangunan Lapas
yaitu konsep bangunan dan letak bangunan. Kedua hat ini harus
disesuaikan dengan konsep dan gagasan pemasyarakatan. Konsep
bangunan Lapas terkait dengan desain bangunan apakah sesuai dengan
konsep pemasyarakatan dan ruang-ruartg penghuni memadai sebagai
tempat tinggal (sesuai standart kesehatan). Mengacu pada ketentuan
Standard Minimum Rrttes for Treatment of Prisoners, seluruh kelengkapan
dalam kamar harus memenuhi standar kesehatan yang meliputi volume
udara, luas lantai, penerangan, pemanasan dan ventilasi. Di seluruh ruang
pencahayaan alami dan masuknya udara segar harus dapat dirasakan oleh
seluruh tahanan. Bagian untuk membuang hajat dan mandi harus tersedia
dan tetap te{aga kebersihannya, sehingga dapat digunakan setiap saat oleh
tahanan.3T
Secara umum, kondisi bangunan Lapas belum sesuai dengan
standar minimal, bahkan dapat dikatakan tidak manusiawi. Ruang-ruang
sel sangat sempit, tidak disediakan tempat tidur, tidak ada sirkulasi udara
yang memadai, dan tidak ada kamar mandi dan toilet. Ketiadaan toilet ini
mengakibatkan warga binaan kesulitan jika harus buang air, terutama di
malam hari karena setiap warga binaan pada umumnya diwajibkan masuk
3t LAPAS Cipinang, Bekasi, Paledang, Tangerang, dan Narkotika Cirebon yang menjadi objekpenelitian ini, semuanya mengalami kelebihan warga binaan.
3z Pasal 10, 1 L, L2 dan L 3 Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners
34
sel sejak pukul 17.00 - 06.00 wIB. Dalam kurun waktu tersebut semua
warga binaan harus berada di sel yang dikunci sehingga men5rulitkan
mereka untuk keluar. Untuk menyiasati masalah ini warga binaanmemanfaatkan plastik atau bahan yang lain sebagai tempat menampungkotoran, yang akan dilempar keluar l,apas atau dibuang pagt hari, setelah
sel dibuka.'
Bangunan-bangunan gedung Lapas yang ada saat ini, sebagian besar'merupakan warisan kolonial Belanda yang dibangun untuk tdrran pidanapenjara (penjeraan). Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi ManusiaHamid Awaluddin, infrastruktur Lapas hampir 60 persen merupakanpeninggalan Belanda, yang lokasinya tidak memenuhi syarat karena beradadi tengah permukiman.se Meskipun demikian menurut Rahardi Ramelan,3e
bangunan Lapas peninggalan Belanda secara konsep masih lebih baikdibandingkan dengan bangunan Lapas yang baru dibangun. Rahardimencontohkan, dalam fasilitas dan tempat tidur. Konsep Lapas peninggalan
Belanda ada lubang angin untuk sirkulasi udara di bawah tempat tidur.Fungsi lubang ini selain untuk sirkulasi udara, juga untuk mencegah
rematik karena tidur langsung bersentuhan dengan lantai/tanah.Sementara pada Lapas baru tidak tersedia lubang angrn. Selain itu, petugas
tidak menyediakan kasur, sehingga banyak penghuni yang terkena rematik.Kondisi ini diperkuat oleh Adi Sujatno, mantan Direktur JenderalPemasyarakatan Depkumham, bahwa bangunan Lp jaman peninggalan
Belanda masih bermanfaat seperti di LP Madiun, Sukamiskin, Madura.Bangunan-bangunan itu tahan hingga ratusan tahun dan masih alnanuntuk pembinaan.
Selain itu, bangunan Lapas juga belum menunjang proses
pembinaan, karena ruang yang tersedia banyak dipergunakan untuk ruangsel. Hampir semua Lapas, minim ruang publik atau ruang terbuka yang
dapat dimanfaatkan oleh warga binaan untuk berbagai aktivitas. Untukmenunjang proses pembinaan, diperlukan ruang d.engan luas yang
ssRepublika, Sabtu, 14 April 2OO7, 80 Persen Napi Meninggal karena Narlaba.3elYanskrip FGD, Baseline Surueg Pelaksanaan Sstem Pemasgarakatan D Lembaga
Pemasgarakata4 MAPPI FH UI, KRHN, LBHJakartadan Partnership, 16Mei2OO7, diJalarta.
35
memadai terutama untuk keperluan program pembinaan. Secara umum,
kebutuhan fasilitas yang mendukung proses pembinaan adalah ruang serba
BU[a, ruang sekolah, taman, perpustakaan, rualtg kerja (pertaniaan,
perternakan, perikanan, bengkel, lapangan olahraga, dll.). Minimnya ruang
publik dalam Lapas, salah satunya disebabkan karena keberadaan Lapas
mayoritas berada di tengah kota sehingga sulit untuk memperoleh luas
tanah yang memadai.
D. Sistem Peugamanan
Hampir di semua Lapas, aspek pengamanan menjadi aspek utama.
dalam proses pemasyarakatan. Mereka beralasan, jika ada warga binaan
kabur dari Lapas atau terjadi keributan antar warga binaan dapat
berimplikasi jauh, bahkan berimbas pada sanksi disiplin. Beda halnya jika
terjadi kegagalan dalam proses pembinaan yalg tidak punya imbas apa-
apa, terutama bagi pegawai Lapas di bidang pembinaan. Untuk itu,
pengamanan lebih diutamakan .dibandingkan dengan pembinaan. Terkait
dengan pengamanan, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu
sistem pengamanan, SDM pengamanan dan sarana pengamanan. Ketiga hal
ini sangat mempengaruhi proses pemasyarakatan.
Secara umum, sistem pengamanan penjara diklasifikasi menjadi tiga
kategori yatf:. maximum securitg, super maximum seanritg, dan minimum
seanitg.ao Ciri-ciri penjara yang menggunakan maximum securitg adalah
narapidana diisolasi di dalam sel, human contact dilaksanakan seminimal
mungkin, narapidana tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan
narapidana lain (atau dengan petugas peqjara), narapidana dilarang untuk
mendekorasi sel mereka, narapidana dikurung dalam sel selama 16 jam
sehari, dan apabila ia akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang
lain, maka ia harus dirantai baik tangan, pinggang, hingga kedua kakinya.
Adapun ciri-ciri penjara dengan sistem super maximrum securitg
adalah narapidana dikurung dalam sel selama 23 jam sehari, narapidana
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tindakan yang dilakukan
+oWidiada Gunakaya S.A, SH, SeTarah dan Konsepsi Pemasgarakatan, Arrnico, Jakarta, 1988.
36
terhadap mereka bersifat represif, tidak ada interaksi antar narapidana,
kebebasan berkreatifitas sangat terbatas, lingkungan yang dikontrol secara
penuh, sistem kunci yang permanen, dan kontrol psikologi dan fisik secara
total. Sementara, ciri-ciri dari sistem penjara dengan minimum securitg
adalah narapidana boleh berinteraksi dengan penjaga maupun narapidana
lainnya, narapidana dikurung dalam sel selama 11 jam sehari, narapidana
diperbolehkan untuk mendekorasi sel mereka dan apabila ia akan
dipindahkan ke tempat lain, ia tidak dirantai. Berdasarkan kategori di atas,
hampir semua Lapas di Indonesia menggunakan sistem pengaman€rn
minimum secuitg, walaupun ada beberapa l,apas yang menggunakan
maximum securitg. r
Melihat sarana pengamanan yang ada, dapat dianggap cukup
memadai. Pengamanan dibuat secara berlapis melalui beberapa pos
pengamanan. Dan, hampir semua sistem pengamanan sel di Lapas,
menggunakan sistem gembok.a2 Setiap pos bertanggungiawab untukmemeriksa orang-orang yang hendak berhubungan dengan warga binaan.
Selain sistem pengamanan dibuat secara berlapis, di beberapa Lapas seperti
Lapas Cipinang dan Narkotika Cirebon, juga sudah dibekali dengan fasilitas
sarana pengamarlan yang super ketat seperti X Ray, Metal Detector, serta
Jammer (a1at pemutus sambungan telepon selular dari luar maupun dalam
Lapas).
Meskipun prosedur pengamanan telah dibuat sedemikian rupa
nampaknya belum mampu membendung penyelundupan barang terlarang
atau transkasi illegal di Lapas. tembaga pemasyarakatan (LP) disinyalir
menjadi tempat transaksi narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba)
terbesar.a3 Selain lemahnya pengawasan di dalam LP, hat ini juga
4rDi Ir{I'AS Batu Nusakambangan, terdapat beberapa sel yang menggunakan sistempengamanan maximum security. Sel-sel ini terpisah dengan blok hunian dal warga binaan yangberada dalam sel ini terpisah satu sama lain dan tidak dapat berkomunikasi. Di LP NarkotikaCipinang juga menggunakan sistem pengamanan ini.
42Beberapa kalangan menilai, sistem ini sudah saatnya ditihjau, mengingat sistem ini sangatberbahaya bagi warga binaan, terutamajika terjadi kebakaran. Warga binaan akan sulit dievakuasi,jika terjadi kebakaran. Sudah saatnya dipikirkan menggunakan sistem pengamanan sel yang lebihbaik.
43 Temngkapnya pabrik narkoba di Rumah Tahanan Negara @utan) Kelas I Medaeng, Jawa Timurmenjadi salah satu bukti dari masalahhttp: / /txlmr.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/ 2OO7 / OS /28lbrk,2OO7O528-LOO766,id.html.
37
Lihat,
disebabkan oleh kecilnya risiko yang dihadapi para pengedar narkoba
ketika bertransaksi di dalam LP. Sebab, jika diketahui mengedarkan
narkoba di dalam LP, para pengedar tidak mungkin ditembak seperti halnya
jika mereka diketahui bertransaksi di luar LP.aa Bahkan, ada warga binaan
yang dapat mengendalikan jaringan internasional pengedar narkoba melalui
telepon seluler. Hal ini bisa dilakukan karena dibantu dan memperoleh
berbagai kemudahan dari aparat setelah sebelumnya memberikan
kompensasi dalam bentuk uang.
Untuk menanggulangi masalah ini, beberapa upaya telah dilakukan,
diantaranya dengan melakukan penggeledahan setiap pengunjung yang
datang dan dilakukanya penggeledahan rutin (harian, mingguan, bulanan)
terhadap sel-sel warga binaan. Hanya saja setiap penggeledahan dilakukan,
jarang ditemukan barang-barang terlarang tersebut.as Selain itu upaya juga
dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kemampuan bagian
keamanan dengan membekali petugas dengan berbagai ketrampilan khusus
seperti pengetahuan tentang narkoba, intelijen, sistem pengamanan Lapas,
dan deteksi dini terhadap penyelundupan narkoba ke dalam atau keluar
Lapas/rutan.
Persoalan lain yang juga penting terkait dengan pengarnanan adalah
masih bebasnya peredaran uang di dalam LAPAS.46 Pada masa
kepemimpinan Menteri Hukum & HAM Yuzril Ihza Mahendra, Depkumham
pernah mencanangkan Lapas bebas dari peredaran uang.aT Larangan
peredaran uang di Lapas/rutan dilatarbelakangi oleh adanya pemahaman
bahwa tidak semua penghuni Lapas/rutan disamakan dengan masyarakat
yang ada di alam bebas. Dalam praktek menunjukkan, peredaran uang di
Lapas/rutan sering menjadi masalah, tidak saja soal masalah keamanan
tetapi hubungan di antara sesarna penghuni Lapas/rutan dan hubungan
44 Kompas, 22 Maret 2OO3, Lembaga Pemasgarakatan Tempat Transaksi Narkoba Terbesar.4sMenurrt informasi, setiap ada renca$a penggeledahan selalu bocor ke warga binaan,
sehingga mereka membersihkan ruErng-ruang sel mereka, sehingga tidak ditemukan alat bulrti.46 Di LAPAS Narkoba Cipinang transaksi oleh warga binaan menggunakan buku kredit.
Caranya, seseorang menitipkan sejumlah uang ke petugas. Sebagai gantinya ia akan mendapat bukukredit. Dengan buku ini warga binaan dapat membeli barang-barang yang diinginkan di koperasi.Transaksi di Koperasi tidak menggunakan uang melainkan buku kredit.
a7 Ada 27 r apas/rutan yang dinyatakan bebas dari peredaran uang yang tersebar di ProvinsiLampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Yoryakarta, dal Jawa Timur sudah dinyatakan bebasperedaran uang, dan empat lagi sedang dalam proses ya-kni LP kelas II A Narkotika Jakarta, LP II BCianjur, LP II B Ciamis, dan Rumah Ta-hanan Demak,
38
antara penghuni Lapas/rutan dengan petugas Lapas/rutan. Adanya
peredaran uang telah menimbulkan efek negatif seperti suap menJruap,
sogok menyogok, dan peras memeras.4s Beberapa warga binaan yang lolos
dari Lapas, ternyata memberikan sejumlah uang kepada penjaga kemanan.
Sampai saat ini, meskipun sudah diadakan pencanangan Lapas bebas
peredaran uang, masih banyak warga binaan yang memegang uang.
Persoalan keamanan yang lain terkait dengan kekerasan. Tindakan
kekerasan masih saja terjadi di Lapas meskipun intensitasnya berkurang.
Perkelahian yang menelan korban jiwa pada Februari dan Maret 2001.
Sedikitnya, lima orang kehilangan nyawa dan 22 orang luka parah. Bahkan,
dalam kerusuhan Maret 2OOl, para napi sempat membakar gedung lapas
yang didirikan sejak zarrrarl Belanda itu, dan menantang aparat dengan
segala macam senjata tajam. Pada Oktober 2001 juga terjadi kekerasan
yang melibatkan ratusan napi penghuni Blok I Lapas Cipinang. Dalam
kejadian itu dua orang meninggal dunia, dan tidak kurang empat orang
lainnya luka parah akibat perkelahian massal yang diduga melibatkan dua
kelompok besar napi di lapas kelas satu itu. Pada April 2006 lalu, terjadi
perkelahian massal antara narapidana (napi) yang tinggal di Blok A dengan
napi di Blok E. Pemicunya adalah perseteruan antara Sammy Key dan
Berti, dua pentolan pemuda Maluku yang punya pengaruh di Lapas.ae
Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana,
tawuran seperti itu merupakan satu dari tiga jenis kekerasan yang terjadi di
Lapas. Secara umum ada tiga bentuk kekerasan di lapas. Pertama,
kekerasan individual; kedua, kekerasan kolektif; lwtiga, kekerasan yang
berhubungan dengan pengaturan. Kekerasan individual biasanya terjadi di
antara napi atau dengan salah seorang sipir penjara. Sedangkan kekerasan
kolektif sering terjadi dalam masalah riot (kerusuhan, huru hara dan
keributan). Kekerasan bentuk ini biasanya tidak secara spontan, tapi
merupakan akumulasi persoalan yang mereka hadapi di penjara. Khusus
mengenai kekerasan jenis ketiga, kekerasan itu timbul karena adanya
interaksi tidak sehat antara napi dan para petugas. Masalah utama yang
48 Kompas, 27 Lembaga Pemasgarakatan Bebas Peredaran Uang, Kamis, 19 Agustus 2004ae http : / / www. suarapembaruan. com/ News / 2 007 / 0 2 / 2 5 / Utama/ uto L . htm
39
sering muncul di permukaan adalah soal penghukuman fisik. Para pgtugas
menganggapnya sebagai bagran hukuman, tetapi para napi memandangnya
sebagai bentuk penyiksaan. so
Perihal kekerasan sangat mungkin terjadi di Lapas mengingat jumlah
liunian yang melebihi kapasitas. Selain itu, potensi kekerasan juga dapat
terjadi mengingat latar belakang para warga binaan yang beragam, dan
seringkali pertengkaran melibatkan kelompok dalam jumlah yang cukup
besar.. Kekerasan juga dapat terjadi karena adanya perlakuan yang tidak
sama atau diskriminatif terhadap para warga binaan.sl Untuk itu, d.alam
rangka menjaga keamanan, petugas kemanan bekerjasama dengan Ketua
Kelompok yang ada di Lapas. Ketua kelompoklah yang akan "dipegang"
untuk mengamankan kelompok yang dipimpinnya.sz Terkait dengan
kekerasan yang dilakukan petugas, menunjukkan masih lemahnya
pemahaman petugas terhadap konsep dan implementasi pemasyarakatan.
Terkait dengan konsep pengamanan, Susanto Heru, Kalapas Cirebon,
menawarkan pendekatan konsep keamanan berbasis kemanusiaan. Dengan
jumlah pegawai 75 orang dan mengurusi 1162 warga binaan, sulit untukmenciptakan suasana kondusif jika pendekatan yang dilakukan adalah
murni pengamanan. Warga binaan harus disentuh alam bawah sadarnya,
salah satu caranya adalah dengan melakukan shaing, berbincang-bincang
dengan minimal 10 orang setiap hari. Dengan pendekatan kemanusiaan inidiharapkan, faktor keamanan tidak menjadi penghambat bagi proses
pemasyarakatan.
E. Sarana Pembinaan dan Kerja
Proses pemasyarakatan dapat berhasil apabila ditunjang dengan
berbagai sarana yang memadai dalam proses pembinaan dan kerja. Dalam
hal ini ada dua instrumen penting yaitu fasilitas dan SDM. Sarana fisikterkait dengan ketersediaan fasilitas pembinaan maupun mang yang
to tbid" di L"p"" Cipinang khususnya di Blok II, kondisinya sangat berbeda dibandingkan blok
lainnya. Blok II banyak dihuni mantan pejabat ataupun orang terkenal sehingga tidak ada persoalandengal kekerasan di sana
sz Hasil Wawancara dengan Petugas LAPAS
40
memadai bagi proses pembinaan. Secara umum, fasilitas yang tersedia
sangat minim dan tidak layak bagi proses pembinaan. Ruang publik dan
ruang kerja sangat terbatas, karena ruang yang tersedia lebih banyak
dimanfaatkan untuk hunian. Selain itu, masih minimnya sarana olah raga,
kesenian, media massa, audio visual, perpustakaan, dan balai kerja,
sehingga proses pembinaan berjalan tidak optimal.
Konsep pembinaan drt?* rangka pemasyarakatan tidak didukung
dengan sarana dan prasarana yang memadai. Salah satu contohnya perihal
pelatihan kerja yang tidak didukung dengan instruktur yang cukup baikjumlah maupun keahliannya. Pernah dilakukan kerjasama dengan Balai
Latihan kerja, tapi saat ini proses kerjasama tersebut tidak berjalan.ss
Untuk membantu proses pembinaan, terutama dalam proses pelatihan,
telah dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menaker, Mensos,
Menkum dan HAM) perihal kerjasama dalam rangka pemberian pelatihan
pada Warga Binaan. Namun kesepakatan ini implementasinya terhambat
karena era otonomi daerah. SKB ini tidak berjalan dengan baik karena
semua kembali kepada Kepala Daerah rnasing-masing. Tidak semua Lapas
memiliki kerjasama dengan Pemerintah Daerah. sa
Untuk memanfaatkan tenaga-tenaga di Lapas, sering dilakukan
kerjasama-kerjasama dengan dunia usaha untuk memproduksi sesuatri.
Hanya saja, implementasinya banyak menemui hambatan. Menurut
Rahardi Ramelan, perlu ada sinkronisasi proses pembinaan dengan dunia
bisnis. Penjara seringkali menyebabkan ertreme idleness (keberadaan yang
tidak berdaya guna). Hal ini terkait dengan lebih banyaknya kegiatan-
kegrata4 yang kurang bermanfaat di penjara. Padahal, warga binaan adalah
tenaga kerja potensial yang dapat menggerakkan kegiatan ekonomi,
misalnya industri. Dengan kerjasama antara penjara dengan dunia bisnis,
Lapas relatif akan mendapatkan manfaat dari keuntungan kegiatan
ekonomi tersebut. Hanya saja, menurut Anang,ss banyak hambatan dalam
melaksanakan kegiatan pelatihan dan kerja. Ruang yang dapat
s3 Wawancara dengan Petugas LAPASsa Wawancara dengan Petugas LAPASss Wawancara dengan Petugas LAPAS
4l
dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas sangat minim. Selain itu, kualitasproduk w-arga binaan masih dibawah standar, sehingga beberapa kerjasama
banyak ditinjau ulang.
Seperti telah diulas dalam pembahasan terdahulu, bahwa mayoritas
penghuni Lapas karena terlibat kasus narkoba. Ada penanganan yang
berbeda antara narapidana kasus narkoba dengan kasus pidana pada
umumnya. Sebagaimana diatur dalam undang-undang yang ada, yaitu UU
Narkolika No. 5 tahun 1997 dan UU No. 22 tahun 1997 tentang
Psikotropika mengatur tentang kewajiban menjalani perawatan dan
rehabilitasi bagi narapidana atau tahanan yang termasuk pecandu dan
pengguna narkoba. Untuk itu, Idealnya, Lapas narkotika berdiri sendiri
karena pola pembinaErannya berbeda dengan Lapas pada umum. Banyak
dampak negatif, jika narapidana narkotika dicampur dengan narapidana
umum. Pendekatan yang dilakukan di Lapas umum adalah mengenai
keamanan dan pembinaan, sementara Lapas khusus narkotika, selain
kemanan dan pembinaan, juga perawatan kesehatan dan rehabilitasi(khususnya pemakai). Konsep yang akan diimplementasikan dalam Lapas
khusus narkotika adalah menjadi Lapas terpadu yaitu selain pengamanan
dan pembinaan, juga menyediakan pengobatan yang lengkap dan proses
rehabilitasi.
Lapas Khusus Narkotika hingga saat ini masih kurang jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah warga binaan yang membutuhkanpenanganan tersebut. Di seluruh Indonesia Lapas khusus narkotikaberjumlah 13 tempat, yaitu Lapas Khusus Narkotika Pematang Siantar,
Lapas Khusus Narkotika Lubuk Linggau, Lapas Khusus Narkotika Cipinang
Jakarta, Lapas Khusus Narkotika Bandar Lampung, Lapas Khusus
Narkotika Soekarno Hatta - Bandung, Lapas Khusus Narkotika Besi Nusa
Kambangan, Lapas Khusus Narkotika Madiun, Lapas Khusus NarkotikaPamekasan, Lapas Khusus Narkotika Krobokan - BaIi, Lapas Khusus
Narkotika Maros, Lapas Khusus Narkotika Abepura, Lapas Khusus
Narkotika Cirebon, dan Lapas Khusus Narkotika Martapura. Hanya saja,
dari 13 tempat tersebut yang berfungsi secara utuh sebagai Lapas
42
narkotika baru empat tempat, yakni yang di Cipinang
Lampung, Besi - Nusakambangdfl, dan Cirebon.
Jakarta, Bandar
F. Fasilltas Kesehatan
Problem umum yang hampir ada di setiap Lapas adalah minimnya
fasilitas kesehatan. Dalam beberapa waktu terakhir ini Lapas menjadi
sorotan publik men5rusul tingginya tingkat kematian di l,apas. Menurut
data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penghuni Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang meninggal sepanjang 2006
mencapai 813 orang. Bahkan, medio Januari-Februari 2OO7 62 watga
binaan meninggal di berbagai LP di Indonesia. Angka kematian tertinggi ada
di lima provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara dan
Jawa Timur. Dari jumlah total tersebut, 70 hingga 75 persen adalah
narapidana kasus narkoba, sehingga dicurigai kasus kematian iniumumnya berlatarbelakang penyalahgunaan narkoba yang kerap
bergandengan dengan HIV/AIDS. Aspek kesehatan menjadi aspek yang
sangat vital di Lapas.
Standar minimal internasional telah mengatur tentang hak napi
untuk memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan jasmani dan
rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan jiwa, pengobatan yang tepat,
serta penyembuhan kelainan mental dan ketersediaan dokter spesialis.
Selain itu, sarana yang berhubungan dengan air dan benda-benda toilet
harus disediakan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan tahanan.
Ruang untuk menjaga penampilan tahanan harus disediakan guna
perawatan rambut dan jenggot dan dimungkinkan untuk bercukur teratur.
Untuk melihat pelaksanaan pelayanan kesehatan di Lapas, setidaknya
dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sistem pelayanan, sarana dan SDM.
Sistem pelayanan kesehatan belum dikelola secara maksimal. Sistem
yang ada di LP belum ideal khususnya terkait dengan bagran kesehatan.
Bagian kesehatan berada di bawah Kasubsie Bimkemaswat padahal
seharusnya klinik ini mandiri dan bertanggungjawab langsung kepada
Kalapas, agar tidak ada hambatan struktural dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Hal ini juga diperlukan untuk mengefektifkan proses penanganan
43
kesehatan. Bidang kesehatan adalah bidang fungsional, bukan strukturaljadi tidak tepat diletakkan di bawah Kasubsie Bimkemaswat. Jika inginoptimal dalam penanganan orang-orang yang sakit, tenaga medis harusdibebaskan dari belenggu struktural agar lebih konsentrasi dalammemberikan pelayanan kesehatan. selain itu, dalam memberikanpelayanan kesehatan belum ada mekanisme dan standar yang saina antarasatu Lapas dengan Lapas yang lain. Dalam bekerja di Lapas sebagai tenaga
medis sangat ditentukan kreativitas dan inisiasi dari dokter masing-masing,karena memang belum ada sistem yang mengarahkan atau menuntuntenaga kesehatan untuk bekerja.so
Pelayanan kesehatan diberikan pada setiap Lapas melalui fasilitasklinik kesehatan. Menurut Rahardi Ramelan, poliklinik di Lapas memang
ada, tetapi sangat terbatas fasilitasnya. Bahkan, poliklinik Lapas tidakdilengkapi dengan laboratorium yang memadai.sT pad.ahal, banyak penyakityang dialami oleh warga binaan perlu deteksi laboratorium. Klinikmemberikan pelayanan kesehatan kepada para warga binaan, dan apabilaada klinik tidak mampu mengatasi penyakit yang diderita warga binaan,biasanya dibawa ke rumah sakit yang telah disepakati. Menurut Rahardi,napi yang dibawa ke RS harus punya ain dan surat izin itu ada biayanya.
Bagi napi miskin sulit berharap bisa dirawat di RS karena tak sanggup
membayar ongkos agar surat izin ihtkeluar.Untuk mendetriksi berbagai penyakit yang dibawa oleh warga binaan,
setiap napi yang baru masuk selalu diperiksa dari aspek kesehatan. Apakahmereka sudah membawa penyakit-penyakit sebelum masuk Lp. Apabila ada
indikasi penyakit-penyakit yang cukup berat, maka akan dilakukanpemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan ini penting sehingga dapat dilakukanlangkah-langkah penanganan untuk kesehatannya. Hanya saja, tidaksemua Lapas melakukan hal ini. Banyak napi yang dijebloskan ke Lp
Tangerangs8 tidak diperiksa dulu kesehatannya sehingga ketika berbaur
s6 Wawancara dengan Dokter LApASsTKompas Cyber Media, lO April 2007, Napi Sr:lit Berharao Peneobatan, Ledakan Kematian
Bakal Terjadi.
ss Hasil wawancara dengan Petugas LAPAS
44
dengan napi lain maka penyakit bawaan dari luar menyebar ke napi yang
lain.
Apabila klinik Lapas sudah tidak sanggup mengobati atau alat yang
kurang, biasanya warga binaan yang sakit dibawa ke Rumah Sakit Umum
dan biasanya menempati Kelas III. Namun seringkali pihak rumah sakit
sering melakukan penolakan perawatan dengan alasan tidak tersedianya
kamar perawatan di kelas III. Pihak Lapas tidak dapat berbuat banyak
karena memang anggaran yang tersedia hanya untuk biaya pengobatan
kelas III. Belum lagi anggaran untuk opnarne, dimana anggaran yang ada
tidak dapat menjangkau biaya RSU. Pasien bisa dibawa ke rumah sakit
swasta sepanjang ada kesanggupan dari keluarga. Untuk mengatasi
minimnya anggaran, penting untuk dipikirkan perlunya asuransi kesehatan
bagi kaum miskin (Askeskin), mengingat, banyak warga binaan yang tidak
mampu.
Lapas pada dasarnya adalah rumah sakit yalg kompleks. Tetapi
tenaga kesehatan di Lapas masih sangat terbatas. Belum ada pemerataan
distribusi bagi tenaga kesehatan dan belum ada system standarisasi dalam
penempatan tenaga kesehatan. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin
menyatakan,se akan mengangkat seribu dokter dan paramedis yang
ditempatkan di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Rencana ini sangat baik,
terutama untuk meningkatkan pelayanan terhadap warga binaan.
Pemenuhan tenaga kesehatan seharusnya disesuaikan dengan
kebutuhan Lapas yakni jumlah warga binaan dan spesialisasi penyakit
yang sering diaiami warga binaan. Saat ini, klinik Lapas masih minim
paramedis. Seharusnya tenaga kesehatan/dokter dibantu oleh paramedic
(perawat), sehingga tidak semua pekerjaan di pegang oleh dokter. Selain itu,
Lapas sangat memerlukan dokter-dokter ahli untuk menangani penyakit-
penyakit khusus, seperti kulit, penyakit dalam, dll. Banyak penyakit-
penyakit yang sebenarnya tidak bisa diserahkan kepada dokter umum.6o
ss Pidato Menteri Hukum dan HAM Hari Bakti Pemasyarakatan ke 43
oo Hasil wawancara dengan Dokter LAPAS di LP Pemuda Tangerang
45
Untuk menjadi tenaga kesehatan di Lapas dibutuhkan kemauan yang
kuat dan komitmen yang tinggi, karena memberikan layanan di Lapas
sangat berbeda dengan memberikan pelayanan kesehatan pada umumnya.
Hanya saja, tidak ada orientasi awal yang menjelaskan tentang bagaimana
bekerja di Lapas. Seharusnya sejak awal perlu ada pratugas yang
memberikan gambaran kepada mereka tentang bekerja di Lapas besertaproblem yang dihadapi, sehingga setidaknya seorang dokter akan bersiap-
siap. Setelah tenaga medis tersebut bertugas, mereka sangat membutuhkan
berbagai perkembangan baru dalam dunia kesehatan. Tetapi, tidak ada
pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh tenaga kesehatan untukmeningkatkan kapasitasnya sehingga dapat menunjang kerja-kerja dalampelayanan kesehatan. Pendidikan yang berjalan, hanya pendidikan prajabatan, yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan tugas-tugas
fungsional sebagai dokter yang akan bertugas di Lapas. Setelah dokter
bekerja, seharusnya ada pelatihan-pelatihan untuk memperbaharui
berbagai perkembangan dalam dunia kesehatan. 61
G. Sistem Informasi Dan Komunikasi
Sistem informasi menjadi bagian penting dalam proses
pemasyarakatan. Ada tiga hal yang dapat dilihat dari proses komunikasidalam proses pemasyarakatan yaitu komunikasi internal Lapas,
komunikasi Lapas dengan masyarakat dan komunikasi Lapas dengan
instansi-instansi terkait dalam proses pemasyarakatan.
Sistem komunikasi dan informasi internal, masih dikelola secara
manual. Belum ada sistem komunikasi yang bersifat onhne, yang dapat
menghubungkan petugas satu dengan yang lainnya. Lapas belum memilikidatabase yang bersifat online tentang kondisi dan perkembangan warga
binaan yang dapat diakses oleh semua petugas La.pas. Sistem teknologi
informasi sama sekali belum menyentuh lembaga pemasyarakatan. Di
Lapas masih ada masalah dalam transparansi data dan informasi. Saat inidata warga binaan berada di Kasubsie Registrasi dan ini sulit diakses oleh
0t Hasil Wawancara dengan Dokter LAPAS di LP Pemuda Tangerang dan Bekasi.
46
seksi-seksi teknis. Proses pelayanan di seksi lain masih dilakukan secara
manual .sehingga jika membutuhkan data warga binaan membutuhkan
waktu yang cukup lama. Idealnya, ada database yang bisa on line darr
dapat diakses langsung oleh seksi lainnya. Selain itu, penggunaan teknologi
seperti komputer belum dimanfaatkan dengan maksimal. Saat ini banyak
petugas yang tidak bisa dan tidak mau menggunakan komputer sehingga
fasilitas tersebut justru banyak digunakan oleh warga binaan.62 Sudah
saatnya managemen Lapas menggunakan sistem berbasis IT.
Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
baik adatah menyangkut akuntabilitas dan transparansi. Adanya
akuntabilitas dan transparansi menjadi salah satu penilaian penting
terhadap kinerja pemerintahan. Sebagai bentuk pertanggungiawaban
publik, semua institusi publik berkewajiban melaporkan kinerjanya kepada
publik. Lapas merupakan institusi publik yang seharusnya juga
menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi. Masyarakat harus
memperoleh akses yang mudah terhadap berbagai informasi yang terkait
dengan proses pemasyarakatan. Misalnya, database warga binaan. Lapas
harus membangun sistem komunikasi publik berbasis teknologi informasi,
dimana semua informasi seputar proses pemasyarakatan tersedia dan
dapat diakses dengan mudah.
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasyarakatan, La"pas terkait
dengan instansi-instansi lain, terutama instansi pemerintah. Lapas dapat
berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam rangka pemasyarakata,
misalanya departemen kesehatan, perguruan tinggi, Balai Latihan Kerja,
dan lain-lain. Koordinasi ini diperlukan, untuk lebih mengefektifkan proses
pemasyarakatan. Hanya saja, proses komunikasi yang dengan berbagai
instansi yang ada tidak berjalan dengan baik.
62 Wawancara dengan Petugas LAPAS
47
H. Anggaran
Secara umum, anggaran yang tersedia untuk proses pemasyarakatan
masih minim. Semakin meningkatnya jumlah warga binaan' semakin
meningkatpulakebutuhanterhadapanggaran.Pen5rusunananggaranbagi
makanan narapidana, pembiayaan gedung, ruang kerja, perlengkapan
kantor, peralatan kesehatan, perlengkapan keamanan belum didasarkan
pada kebutuhan riil proses pemasyarakatan'
Realisasi terhadap kebutuhan anggaran tidak sesuai dengan
kebutuhan proses pembinaan di Lapas' Birokrasi dalam penJrusunan
anggaran mengakibatkan anggaran tidak sesuai dengan kebutuhan' Se1ain
itu, jumlah warga binaan kondisinya tidak tetap' dan kecenderungannya
selalu mengalami kenaikan' Padahal acuan anggaran yang dipergunakan
untuk memenuhi anggaran Lapas adalah data terakhir pada saat
mengajukan anggaran. Sehingga seringkali Lapas mengalami devisit
anggaran karena meningkatnya jumlah warga binaan secara signifikan'
Meskipun anggaran tidak memadai, Lapas harus tetap memenuhi
kebutuhan warga binaan sesuai dengan fakta yang ada'
48
BAB VIMPLEMENTASI KONSEP PEMASYARAKATAN
A. Admlnistrasi dan Pengelompokan Warga Binaaa
Standar Internasional mengenai pencatatan dan pengelompokan
tahanan telah diatur dalam Standar Minimal Pembinaan Tahanan
(Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners). Standar ini telah
dibahas datam Kongres Pertama PBB di Jenewa pada tahun 1955 dan
disetqjui oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 663C (XXIV), pada
tanggal 31 Juli 1975 dan 2076 (lXll) pada tanggal 13 Mei 1977.63
Ketentuan ini menggariskan keharusan WBP yang dicatat dalam bukuinduk pendaftaran. Pencatatan harus terkait dengan identitas, pasal pidana
yang dikenakan, tanggal masuk dan bebas.
Standar Internasional dimaksud di atas telah ada pula dalam
ketentuan UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. MenurutUU Pemasyarakat tersebut tindakan pertama terhadap seorang tahanan
atau Warga Binaan Pemasyarakatan adalah adanya pendaftaran dan
pencatatan identitas. Pendaftaran meliputi pencatatan putusan pengadilan,
jati diri dan harta pribadi yang dibawah, pemeriksaan kesehatan,
pembuatan pas foto6a, pengambilan sidik jari6s, pembuatan berita acara
serah terima.66
Hasil survei di 5 (lima) Lapas tidak ditemui WBP yang terlewatkan
dalam pencatatan. Secara administrasi WBP pada saat datang langsung
dicatat pada bagian pencatatan di dalam Lapas. Petugas melakukan
es Adnan Buyung Nasution & Patra M Zen, Insfiumen Intennasional Pokok Hak Asasi Manusia,Penerbit Yayasan Obor Indonesia, YLBHI, Kelompok Kerja Ake Arif, Ja]<arta 2006, }:eJ. 429-430
6a Surat Direkhrr Jenderal Pemasyarakatan Nomor E-PK.02.0f-130 Tahun 1987 tentangPermintaan Pas Photo Tahanan dan Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E-PK.O2.O1-145Tahun 1987 tentang Permiutaan Pas Photo Tahanan
6s Surat Direktur Jenderal Pemasyerakatan Nomor E-PK.O3.O1-1O Tahun 1987 tentangAdministrasi Sidik Jari Napi/Tahanan Di Lapas/Rutan
66 Surat Direk:tur Jenderal pema'syarakatan Nomor E.PS.O1.O1-9 Tahun 1988 tenta-ng BeritaAcara Penerimaan Tahanan.
49
pencatatan hal-hal yang berkaitan dengan identitas diri, dari nama, usia,
ciri-ciri, tjnggi badan, serta Pasal pidana yang dikenakan, pengambilan
sidik jari dan foto. Masalah administrasi muncul ketika putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap terlambat diterima oleh Lapas, sehingga
memperlambat eksekusi pembebasan WBP. Untuk mengatasi masalah inibelum ada upaya koordinasi yang intensifantara pihak Lapas dengan Jaksa
selaku pihak eksekutor. 6z
Selain itu, persoalan administrasi pada level pencatatan tidak
mencakup pemisa-han WBP berdasarkan berat ringannya tiirdak pidana
yang dilakukan. Kondisi seperti ini oleh beberapa kalangan dirasakan
sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk khususnya pada WBP
yang menjalankan masa pidana yang lebih ringan. Kondisi pengelompokan
masa pidana yang tidak berjalan dengan baik, sangat memungkinkan
pertukaran perilaku buruk dari WBP yang lebih berat masalah pidananya
ke yang lebih ringan. Temuan dilapangan, WBP hanya diklasifikasikan
berdasarkan baru dan lama, yang baru ditempatkan pada penampungan
hingga akhirnya mendapatkan penempatan pada kamar hunian. Tidak
ditemui pengelompokan ruang berdasarkan tindak pidana yang dilakukan
WBP. Begitupun dengan WBP yang telah berkali-kali keluar masuk Lapas,
dimana tidak ada penempdtan khusus bagr residivis di Lapas.
Pengelompokan ruang ta-hanan hanya menggunakan kategori penghuni
lama dan baru. Hal ini juga dianggap sebagai masalah, terutama dampak
pada pemulihan perilaku WBP selama di dalam Lapas.
Standar Internasional mengharuskan adanya pengelompokan WBP
berdasarkan umlrr, catatan kejahatan, jenis kelamin, pemisahan orang-
orang yang belum diadili, orang yang menjalani hukuman, serta tahanan
yang belum cukup umur dengan tahanan dewasa. (Pasal 8). Pengelompokan
ini dalam rangka menghindari pertukaran watak buruk antara WBP serta
memudahkan proses pembinaan WBP itu sendiri. (Pasal 67, 68 dan 69)
67 Pengakuan disampaikan oleh Pegawai Lapas dan Mantan Narapidala pada Focus GroupDiscussion di Partnership Govemment Reform pada tanggal 22 Mei 2007 dan pernyataan inimemperkuat pernyataan Kalapas serta staf lapas Pemuda II Tangerang.
50
secara nasional pemisahan antara jenis kelamin dan usia telah dilakukan.Terdapa! Lapas Anak, Lapas Perempuan dan 13 Lapas Narkoba, narnunpermasalahan tidak berhenti pada pembagian tersebut, tetapi harus jugapada pengelompokan WBP berdasarkan catatan kejahatan dankejahatannya sendiri.
Secara yuridis, ketentuan perundang-undangan nasionalmenggariskan adanya penggolongan warga binaan didatam lembaga
pemasyarakatan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggolongan
adalah umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatandan kriteria lainnya untuk kepentingan pembinaan.6s Berdasarkan
ketentuan ini maka dapat terlihat antara standar minimal, sebagaimana
telah diadopsi oleh pemerintah dalam uu, dengan realitas yang terjadi tidaksejalan. Pencapaian penggolongan jenis kejahatan, lama pidana dan WBp
yang sering keluar masuk tidak terjadi dalam la.pas, yang imbasnya padapola pembinaan WBP. Penggolongan WBP di dalam Lapas justru lahirberdasarkan kultur dan kehidupan WBp di dalam Lapas. WBp
mengelompokkan diri berdasarkan etnis dan rasnya sendiri untukkepentingan mengamankan WBP dari bahaya kelompok lainnya. pola
seperti ini telah menjadi semacam sistem tidak tertulis yang jelas
berdampak pada konsep pemasyarakatan yang telah dicita-citakan.
B. Konsep dan Model Pembinaan
Konsep pemasyarakatan menginginkan adanya keterlibatanmasyarakat, instansi pemerintah dan swasta dalam proses pembinaan
wBP. Keterlibatan ini dimaksudkan untuk mendorong terjadinya jalinanhubungan antaran WBP dengan kehidupan di luar Lapas. WBp diharapkantidak dikucilkan dalam kehidupannya setelah selesai menjalankan
kehidupan di dalam Lapas serta secara maksimal dapat berinteraksiditengah-tengah masyarakat. Temuan terkait dengan konsep dan model
pembinaan pada 5 (lima) Lapas yang dikunjungi tidak memberikan
68 Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 18 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
51
gambaran yang membahagiakan, dimana konsep dan model pembinaan
masih di atas kertas saja.
Pada prinsipnya konsep pemasyarakatan telah dipahami sebagai
paradigma yang ideal, tidak ada penolakan dari para pegawai maupun
birokrasi di Lapas sendiri atas konsep yang telah diusung 43 tahun yang
lalu. Namun pada kenyataannya konsep pemasyarakatan hanya menjadi
wacana, belum terlihat hasil dari konsep pemasyarakatan yang diterapkan
melalui pola pembinaan. Masalah terbesar tidak terimplementasikannya
konsep pemasyarakatan ini sangat dipengaruhi oleh komitmen dari para
pegawai tapasnya sendiri. Kesamaan visi dan misi di Lapas sangat
memperrnudah penerapan konsep pemasyarakatan di lapangan.6s Namun
demikian, dominasi model pembinaan dan berjalan atau tidaknya
pembinaan sepenuhnya berada di tangan Kalapas. Artinya, hanya Kalapas
yang memiliki visi dan misi serta komitmen tinggi, yang dapat menjalankan
konsep pemasyarakatan. 70
Keberhasilan pembinaan di Lapas pada akhirnya akan sepenuhnya
berada di tangan Kalapas. Sistem yang ada telah menjadikan individu
sebagai faktor penentu berjalannya sistem di dalam Lapas. Besarnya peran
individu Kalapas ini dapat diukur dari kelengkapan pengaturan mengenai
model atau program pembinaan di perundang-undangan. Pasal 15 (2) UU
L2/lggs, misalnya menjelaskan program pembinaan WBP diatur lebih
lanjut melalui Peraturan Pemerintah yang kemudian muncul PP 31/1999.
Pada Pasal 10 (6) PP 3LlL999 tidak d{jelaskan secara tegas soal jenis dan
bentuk kegiatan program pembinaan. Sebab pengaturan masalah program
pembinaan dinyatakan kemba-li diatur lebih lanjut dengan keputusan
menteri. Pendelegasian soal program pembinaan oleh Menteri hingga saat
sekarang belum ada. Pola pembinaan yang ada masih menggunakan
6ePernyataan ini disampaikari oleh Kalapas Sustik Cirebon da.lam sebuah wawancara danbeberapa pegawai lainnya, yang menyatakan bahwa keberhasilan pembinaan di Lapassustik Cirebontidak lepas dari peran seluruh pegawai Lapas. Komitmen serta kerjasama yang baik telah melahirkansuatu sistem pembinaan yang terstruktur dan sistematis.
ToPendapat diperoleh dari pengamatan peneliti dari l,apassustik Cirebon dm l,apas.Paledang -Bogor, dimana pada Lapassustik Cirebon model pembinaan be{alan sebagaimana yang telahdigariskan dalam UU Nomor 12 Tahun 1995, sedangkan Lapas Paledaag - Bogor mengalamiperubahan yang sigrrifikan pada saat mendapatkan Kalapas baru.
52
pendekatan Keamanan. Hat ini tentu tidak sesuai dengan konsep
pemasyarakatan yang disusun dalam UU l2lL995 dan kemajuan teknologi
dan informasi yang pesat.
Masalah lain yang timbul pada Lapas adalah terkait dengan : (1)
kelebihan kapasitas, (2) minimnya anggaran, (3) tidak memiliki cukupnrangan dan fasilitas, dan (4) tidak memiliki tenaga ahli atau orang yang
berkompeten di bidangnya. Keempat masalah ini merupakan keadaan yang
sedang dihadapi oleh Lapas, namun tidak dapat dljadikan sebagai dasar
gagalnya penerapan konsep dan model pembinaan. Misalnya pada
Lapassustik Cirebon, meskipun menghadapi kondisi yang sama dengan
Lapas lainnyaTt, narnun perencanaan dan aplikasi program pembinaan
tetap berjalan dengan baik, begitupun yang terjadi pada Lapas Paledang -Bogor. Disini peran Kalapas menjadi sangat dominan untuk mengawal
proses pembinaan berjalan atau tidak di dalam Lapas serta secara cermat
mengatasi masalah-masalah yang timbul.
Pada Lapas-lapas yang perencanaan serta aplikasi pembinaanya tidakberjalan jelas mempengaruhi keadaan WBP. Rasa malas, jenuh, dan putus
asa mempengaruhi perilaku dan kejiwaan WBP. Para WBP tidak diwajibkan
mengikuti pembinaan rohani, pendidikan, menjaga kesehatan serta
meningkatan kualitas hidupnya didalam Lapas. Keadaan yang demikian
buruk justru sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap
kondisi Lapas. Kondisi Lapas yang penuh dengan masalah karena
kegagalan penanganannya berpeluang menjadikan WBP tertekan secara
psikis (sfress) dan berpeluang besar mengulang perbuatannya pada saat
keluar dari Lapas. Pada akhirnya pandangan masyarakat tidak berubah
terhadap Lapas, dimana Lapas adalah tempat pemenjaraan penjahat dan
sebagai tempat penghukuman yang menimbulkan efek jera.
Oleh karena itu, untuk mengawal konsep dan model pembinaan
berjalan, maka keberadaan Kalapas sangat menentukan berhasil tidaknya
konsep pemasyarakatan. Kalapas juga sepenuhnya harus mendapatkan
71 Menurut Kapalas, masalah yang dihadapi di Lapassustik Cirebon antara lain kelebihankapasitas dengan perbandingan 1:3 serta anggaran pembinaan yang terbatas dimana pengajuananggaran di tahun 2006 1.000 WBP tetapi hanya disetujui anggaran untuk sekitar 600 WBP.
53
dukungan dari staf yang mampu merencanakan, melaksanakan serta
membaca. kondisi di dalam Lapas. Apabila kondisi ini sebaliknya, dimana
Kalapas justru tidak memiliki komitmen, kreatifitas serta bahasa yang sama
dengan stafnya dalam melaksanakan pembinaan terhadap WBP maka
hasilnya sudah dapat diprediksikan, pembinaan pasti tidak berjalan dan
praktek yang menyimpang di Lapas akan semakin besar.
Selain itu, penguasaan model pembinaan menjadi sangat penting
untuk dipahami oleh para petugas di lapangan. Pembinaan yang terbqgt ke
dalam 4 (empat) tahap, yaitu : tahap awal, tahap lanjutan satu, talrap
lanjutan dua dan tahap akhir merupakan sistem yang harus diterapkan
secara efektif di lapangan. Pada Lapassustik Cirebon, sebagai sebuah
contoh, seluruh tahapan pembinaan berjalan dan mudah sekali
dioperasionalkan. Setiap adanya perpindahan tahapan, dari tahap awal ke
tahapan lanjutan hingga tahapan akhir, dibarengi pula dengan peningkatan
pola-pola pembinaan serta perpindahan kamar hunian WBP. Misalnya,
seorang WBP yang telah melewati tahap awal berupa pengenalan
lingkungan, latihan pernafasan dan hsik, maka WBP bersangkutan dapat
masuk ke tahap lanjutan dengan mengikuti program pembinaan
pendidikan dan lainnya. Kamar hunian pun secara otomatis berpindah
sesuai dengan pergantian tahap pembinaannya. WBP yang berada di blok A
akan berpindah ke kamar hunian di blok B, C dan seterusnya sesuai
dengan tahapan pembinaan hingga akhimya WBP bebas dari Lapas.
Hal merata terjadi dalam pembinaan yang telah berlangsung di La.pas,
khususnya Lapas yang masih menjalankan pola pembinaan, yaitu tidak
adanya kekhususan dalam program pembinaan berdasarkan
kemampuan llatar belakang akademis, minat, serta ketrampilan dan
keahlian. Hal ini pula yang menimbulkan kebosanan dan tidak berminatnya
WBP dalam mengikuti program pembinaan.T2
Selain itu keterlibatan masyarakat sangat penting untuk program
pembinaan WBP. Dalam konsep pemasyarakatan unsur masyarakat baik
secara perorangan maupun lembaga dan instansi pemerintah menjadi
72 Keterangan ini diperoleh dari WBP maupun petugas pada saat diwawancarai.
54
pihak penting untuk membiasakan WBP dalam kehidupan nyata sehari-
hari dimasyarakat. Hal ini sebagaimana di atur dalam UU Pemasyarakatan,
yang secara tegas menyatakan peran dari kelompok masyarakat baikprofesional, tokoh agama, pengusaha dapat bekerjasama dalam pembinaan
WBP.73 Begitupun dengan pihak pemerintahan, dimana program
pembinaan dapat berupa peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan YME,
kesadaran bangsa dan bernegara, intelektual, sikap dan perilaku,
kesehatan jasmani dan rohani, kesadaran hukum, reintegrasi sehat dengan
masyarakat, ketrampilan kerja, latihan kerja dan produksi. 7+
Hanya sqja, kerjasama dengan masyarakat dan instansi pemerintah
tidak ditemukan dalam Lapas. Berdasarkan hasil temuan dilapangan,
Lapas sulit mengadakan kerjasama dengan pihak masyarakat maLrpun
instansi pemerintah dalam pelaksanaan kerjasama pembinaan. Pada aspek
kerohanian memang mendapatkan respon baik dari masyarakat maupun
instansi pemerintah, akan tetapi pada masalah lainnya, seperti tenaga
kerja, perindustrian, perdagangan dan lain-lainnya, pihak Lapas sulitmendapatkan akses kerjasama, begitupun pada masalah kesehatan.
Meskipun di beberapa l,apas terdapat kerjasama dengan pihak
masyarakat dalam hal perdagangan, masalah pengawasan atas kerjasama
yang dilakukan pada tingkat Lapas hanya dilakukan oleh Kalapas. Hal inimenimbulkan pertanyaan, bagaimana pola pengawasan yang dilakukan
oleh Kalapas, apakah hanya terkait dengan kualitas kerjasama atau juga
termasuk dengan penerimaan WBP atas upah kerja yang dilakukannya
didalam Lapas. dalam pertemuan dengan Lapas yang melakukan kerjasama
dengan perusahaan masalah pendapatan WBP atas kerjanya sangat kecil,
bahkan tidak diketahui besaran upahnya. Dengan demikian, sistem
73 ibid., Pasal 1O sampai dengan Pasal 12 PP Nomor 57 Tahun 1999 Tentang KeiasamaPenyelenggaraal Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjelaskanKeterlibatan masyarakat baik berupa organisasi maupun perorangan dengan lingkup kerja nasionalmaupun internasional. Bentuk organisasi masyarakat harrs bempa badan hukum yayasan,koperasi, lemboga swadaya masyarakat dan organisasi lainnya sedangkan untuk perorangan terkaitdengan keahlian seperti dokter, psikolog, pendidik, pemuka, agama, pengusaha dan tenaga ahlilainnya.
7a Pasal 2 sampai dengarr Pasal 7 PP Nomor 57 Tahun 1999 Tentang Kerjasama PenyelenggaraanPembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyard.katan
55
pengawasan dalam kerjasama juga perlu diatur lebih rinci dalam
perundaqg-undangan.
C. Partislpasi Warga Blnaaa Dalam Proses Pembinaan
Walau Pasal 15 (1) UU l2ll995 menyatakan WBP wajib mengikuti
secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, temuan di
lapangan menunjukkan tidak semua warga binaan mengikuti pola
pembinaan atau aktifitas yang sama. Sarana pra sarana dan fasilitas yang
tidak mendukung ditambah dengan berlebihnya penghuni Lapas
menjadikan penyebab rendahnya tingkat partisipasi warga binaan dalam
proses pembinaan. Namun Lapassustik Cirebon telah membuktikan, meski
Lapas mengalami kelebihan kapasitas namun hal itu tidak menjadi
halangan bagi proses pembinaan WBP. Seluruh WBP tidak ada satu pun
yang luput dari program pembinaan di sana. Kunci dari keberhasilan
Lapassustik menjalankan program yang efektif adalah (1) administrasi yang
baik, (2) sistem database WBP yang dapat dilihat pada setiap tahapan, (3)
pengukuran kualitas pembinaan yang dilakukan setiap hari, (4)
pengawasan ketat, (5) sistem perpindahan tahapan diikuti dengan
perpindahan ruang penahanan yang dilakukan secara berjenjang dan (6)
Partisipasi WBP.
Pada beberapa Lapas yang pembinaannya berjalan, partisipasi WBP
merupakan pihak yang ikut menginisiasi pembinaan. Hal ini berjalan efektif
dan berdampak positif bagi pelaksanaan pembinaan di Lapas. Terjadi
simbiosismuhtalisme, seperti kekurangan tenaga pengajar/pembina, dan
permasalahan dana yang minim dapat ditembus dengan keterllibatan WBP
sebagai tenaga pengajar dan peke{a di Bengkel Kerja (Bengker). Aktifitas inimenumbuhkan semangat dan motivasi baru seperti dinyatakan salah
seorang WBP terkait tetap terjaganya motivasi hidup di dalam Lapas.
Keberadaan seseorang di Lapas berdampak pada psikis oleh karena
pembatasan kebebasan, sehingga mempengafl.rhi keinginan beraktivitas.
Partisipasi yang tinggi dari warga binaan pada program pembinaan ternyata
membawa pengaruh pada disiplin dan keteraturan di datam Lapas.
56
D. Pemenuhan Hak Warga Binaan
Pada saat WBP masuk kedalam Lapas, hak-hak yang fund.amental
tidak pernah diberitahukan. Pengarahan hanya tertuju pada sikap sopan,
disiplin dan tunduk patuh kepada senior atau petugas menjadi lebih
menonjol. Pengetahuan hak WBP mengalir begitu saja seiring dengan WBP
menjalani masa pidana di dalam Lapas. Lebih banyak hak-hak tersebut
diketahui setelah menjalani masa pidana, namun demikian WEIP tidak
berani menuntutnya. Temuan dilapangan ada beberapa Lapas yang peduli
dengan pemenuhan hak WBP tetapi pemenuhan tersebut tidak
disampaikan kepada WBP sebagai hak. Secara fundamental pemenuhan
hak telah diatur secara rinci dalam UU maupuan ketentuan pelaksananya.
Hak-hak yang telah diatur tersebut meliputi :
1. Pel,aksanaan ibadah sesuai deagan agama atau keperceyaarnya
Hak melaksanaan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan para
WPB harus dipenuhi dengan cara menyediakan petugas untuk memberikan
pendidikan dan bimbingan agama. Selain itu kerjasama pendidikan dan
bimbingan agama dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan instansi,
badan masyarakat dan perorangan. Kegiatan keagamaan wajib diikuti oleh
seluruh WPB sesuai dengan keyakinan masing-masing.Ts
Temuan yang diperoleh dari lapangan, rumah ibadah yang paling
banyak ditemui adalah Masjid dan Gereja, sedangi<an untukkelenteng/vihara dan pura terbatas bahkan pada wilayah tertentu tidak
ada. Untuk pelaksanaan keyakinan masing-masing WBP tidak dihalangi
oleh petugas, bahkan meskipun tidak ada rumah ibadah WBP
dipersilahkan untuk mencari tempat yang layak untuk beribadah.
Kerjasama dengan pihak luar lebih banyak pada persoalan ibad.ah,
ceramah dari ustadz, pendeta dan pastur yang lebih banyak diisi dari
masyarakat. Fasilitas bagi penganut agama Islam seperti pesantren marak
7s Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syaratdan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan PemasyaJakatan dan silahkan baca pula SuratDirektur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.PP.O3.7O-224 Tahun 1984 tentang Penertiban DalamPenyuluhan fuama Di LPILPAN
57
di Lapas, akan tetapi untuk mengikuti pendidikan di pesantren WBP harus
membayar kepada pegawai Lapas.To
2. Memperoleh perawatan rohani maupun jasmani
Hak ini hanya diterapkan pada Lapas dimana program pembinaannya
berjalan, seperti di Lapassustik Cirebon. Seluruh tahapan pembinaan dapat
berjalan sesuai dengan standar yang telah berlaku didalam Lapas.
Pendidikan budi pekerti, tata krama dan sopan santun dalam pergaulan
sehari-hari diajarkan pada tahap pengenalan lingkungan. Hal inidikarenakan adanya petugas yang secara teratur memantau pelaksanaan
kegiatan perawatan rohani. Sedangkan pada Lapas lainnya tidak didapati
pola perawatan hak ini dengan kata lain keseharian WBP sepenuhnya
diserahkan kepada WBP.
Begitupun dengan perawatan jasmani dimana kesempatan untuk olah
raga dan rekreasi diberikan seluas-luasnya kepada WBP. Akan tetapi yang
terjadi di lapangan adalah, kegiatan olahraga dan rekreasi terbatas oleh
karena sarana dan pra-sarana yang kurang memadai serta tenaga pelatih
yang terbatas. Sehingga WBP mengalami kesulitan untuk memperoleh
perawatan secara fisik.
Perawatan lainnya yaitu berupa perawatan jasmani yang meliputi
kebersihan diri, dimana terdapat sejumlah perlengkapan untuk menjaga
fisik tetap bersih dan sehat. Perlengkapan yang harus diberikan kepada
WBP pada saat masuk kedalam l,apas meliputi pakaian, perlengkapan tidurdan perlengkapan mandi.
Pakaian bagi WBP pria berupa :
1. 2 (dua) stel pakaian seragam;
2. 1 (satu) stel pakaian kerja;
3. 2 (dua) buah celana dalam;
4. 1 (satu) lembar kain sarung;
5. 1 (satu) pasang sandal jepit.
Bagi WBP perempuan meliputi :
1. 2 (dua) stel pakaian seragam;
76 Keterangan diperoleh dari WBP
58
2. 1 (satu) stel pakaian kerja;
3. 1. (satu) stel mukena;
4. 2 (dua) buah BH;
5. 2 (dua) buah celana dalam;
6. 1 (satu) unit pembalut wanita;
7. 1 (satu) pasang sandal jepit. TT
Dari data yang yang diterima, perlengkapan ini harus dibeli oleh WBP
sendiri di koperasi Karyawan Lapas. Kalaupun diberikan terbatas pada
pakaian WBP saja sebanyak 1 (satu) buah satu tahun satu kali78.
3. Mendapatkan pendidikan dan pengaJaran
Setiap WBP berhak mendapatkan pendidikan baik di dalam maupun
pendidikan diluar Lapas yang meliputi sekolah negeri, tempat latihan kerja
yang dikelola Lapas atau tempat latihan milik pemerintah. Pada Lapas-
lapas yang kelebihan penghuni program ini relatif tidak berjalan sehingga
hak WBP pun tidak terpenuhi. Berbeda dengan Lapassustik, Bekasi dan
Paledang, program pendidikan berjalan dengan baik meskipun sebagian
besar hanya memiliki pendidikan informal. Kalaupun ada yang memiliki
pendidikan formal jumlahnya sangat sedikit.
Dalam ketentuan ditambahkan, pelaksanaan pendidikan dapat
bekerjasama dengan instansi'pemerintah dan organisasi kemasyarakatan
yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. Untuk kurikulum yang
diberlakukan di dalam Lapas harus disesuaikan dengan kurikulum yang
berlaku di tingkat pendidikan dasar maupun menengah, dan WBP pun
berhak atas surat tanda tamat belajar apabila telah mengikuti pendidikan
dan pengajaran hingga selesai. 7e
4. Pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
Standarisasi pelayanan kesehatan dipenuhi dengan cara melibatkan
seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja dalam poliklinik
zzPasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan penjelasan dalam Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun1999 Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
T8Keterangan berkaitan dengan ini diperoleh dari WBP pada Lapas yang dikunjungi
Tgibid.,PaseJ 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Penjelasan
s9
beserta dengan fasilitas kesehatan lainnya8o. Standar ini ditemui dihampir
setiap Lapas, dimana terdapat tenaga medis, peralatan dan ruangperawatan. Akan tetapi mengenai tenaga ahli serta peralatan dapat
dikatakan sangat terbatas dan tidak layak. Hal ini diakibatkan kapasitas
WBP yang melebihi standar penampungan tidak diimbangi dengan
penambahan tenaga medis, peralatan dan perbaikan alat medisnya sendiri.
Masih ditemui WBP yang harus membayar biaya obat. Demikian pula
dengan rumah sakit rujukan, ada yang masih harus dibayar oleh WBP
sendiri. Biaya ini termasuk untuk membiayai penjaga dari instansi
beruvenang yang menunggui WBP di rumah sakit rujukan.
Pada prinsipnya setiap WBP dapat dengan mudah berobat di dalam
Lapas. Dalam beberapa kasus, terdapat WBP yang sakit tetapi dibiarkan
saja oleh petugas sehingga mengakibatkan kematian. Meski keluhan sakit
telah disampaikan tetapi perawatan infensif tetap tidak dilakukan oleh
pihak Lapas termasuk juga penyebaran penyakit menular. Kegagalan
dianogsa penyakit pada saat WBP masuk maupun terhadap WBP lama
menimbulkan penyebaran penyakit di lingkungan Lapas. Umumnya
penyakit menular yang muncul di Lapas adalah HIV/AIDS, dan penyakit
kulit.
Bagi WBP yang direkomendasikan untuk dirawat di rumah sakit
umum harus mendapatkan rekomendasi dokter dan diijinkan oleh Kalapas.
Terkadang untuk izin berobat keluar Lapas pun harus membayar ke
Kalapassl, dimana agar mendapatkan kemudahan untuk berobat keluar.
Meskipun sudah diizinkan untuk berobat keluar, biaya perawatan
sepenuhnya ditanggung oleh pihak keluarga, dengan alasan pihak rumah
sakit rujukan menolak pasien di kelas yang distandarkan oleh Lapas,
dengan alasan penuh atau tidak ada kamar. Pihak keluarga dalam hal inidapat mengusulkan tempat perawatan lainnya, asa-lkan menggunakan
aolbid., Pejelasan Pasal 14 ayat (2) menyatakal maksud "poliklinik beserta fasilitasnya" meliputiperlengkapan kesehatan, termasuk di dalamnya perlengkapan kefarmasian, misalnya alat-alatsuntik, rontgen, dan obat-obatan. Dan yang dimaksud dengan "tenaga kesehatan lainnya" antara lainperawat atau bidan.
8lPernyataan ini disampaikan mantan WIIP pada FGD yang diadakan oleh PartnershipGoverment Reform pada tan gg;d 22 Mei, 2OO7
60
biaya sendiriez. Padahal berdasarkan ketentuan yang berlaku WBP yang
dirawat grada rumah sakit sepenuhnya ditanggung oleh Negars.as
Terkait dengan makanan, beberapa Lapas menyajikan makanan dan
minuman dengan kualitas baik. Pada hari-hari tertentu dihidangkan
makanan dan minuman sebagai penambah glzi Wgps+. Potret ini berbeda
dengan Lapas yang mengabaikan pemenuhan hak makanan dan minuman,
dimana penyajiannya dianggap tidak memadai oleh WBP. Dampaknya WBP
harus membuat dapur umum didepan kamar huniannya masing-masing
serta menanam sa5ruran di pekarangan blok hunian.es
s2Keterangan diperoleh dari pegawai t apasssibid., Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Penjelasannya84Di Lapas Paleda:rg - Bogor diberikan minuman tambahan berupa susu sebanyak dua kali
seminggu begitupun di lapassustik Cirebon yang memberikan makanan tambahan sebanyak satukali dalam seminggu
ssPemandangan ini dapat dilihat pada Lapas Pemuda II Tangerang, dimaoa kondisi blok-blokhunian sangat memprihatinkan, dimana pada halaman kamar banyak dapur-dapur umum milikWEIP dan tanaman sayur malrur yang dikonsumsi sendiri oleh WIIP.
6t
5. Menyampalkan keluhan
Kotak-kotak untuk menyampaikan keluhan selama ini . telahdisediakan oleh pihak Lapas dan keluhan pun dapat disampaikan langsung
kepada Kalapas. Mengenai efektifitas penyampaian keluhan, meskipun
telah ada kotak khusus, belum diketahui seberapa efektif tindak lanjut(follou upl atas keluhan WBP. Secara obyektif sebenarnya dapat diukur darikondisi Lapas, sebab WBP sudah seharusnya menyampaikan keluhan atas
kondisi ruang tahanan yang sempit dan fasilitas yang tidak memadai, tetapi
WBP menganggap kondisi seperti itu adalah biasa.
Ketidakpedulian WBP untuk mengkritisi kondisi mang tahanan dan
minimnya sarana dipengaruhi oleh rasa takut WBP untuk memberikanpengaduan kepada pihak petugas Lapas. Artinya, meski dibolehkan oleh
ketentuan WBP menyampaikan keluhan, baik berupa pengaduan secara
tertulis maupun lisan86, WBP tetap enggan menyampaikannya.
6. Memperoleh bahan bacaan & me',glkuti siaran medla
Bahan bacaan dan media massa penyediaannya sangat terbatas
bahkan tidak ada. WBP sulit mendapatkan koran dan buku-buku sebagai
bahan bacaan yang menunjang program pembinaan kepribadian dan
kemandirian WBP. Menurut ketentuan, WBP dapat memperoleh informasi
melalui, setidak-tidaknya 1 (satu) buah televisi, radio dan media elektroniklain yang disediakan oleh Lapas, yang hanya untuk kepentingan bersama.8T
Pengamatan dilapangan ditemui alat elektronik untuk kepentingan pribadi,
dimana dapat dilihat pada kamar hunian di beberapa Lapas.
86ibid., Pasal 26 dan Penjelasannya
g7ibid., Pasal 27 dar:- Pasal 28
62
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerJean yang dtlakukan
Setiap WBP yang bekerja berhak mendapatkan upah atau premi
sebagai bentuk imbalan jasa atau pekerjaan yang menghasilkan barang
atau jasa untuk memperoleh keuntungan. Besaran premi atau upah
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upah
atau premi yang diperoleh WBP dititipkan dan dicatat oleh Lapas dengan
maksud mengantisipasi yang bersangkutan pindah Lapas. Penghasilan
yang diperoleh bisa digunakan untuk keperluan dasar selama di Lapas atau
biaya pulang setelah selesai menjalani masa pidana.88
Standar dari ketentuan diatas tidak dapat memberikan gambaran
berapa besar WBP mendapatkan upahnya. Berdasarkan ketentuan undang-
undang berarti standar upah yang harus didapatkan WBP harus sesuai
dengan upa-h minimun atau provinsi. Meski ada yang menolak untukdisamakan dengan upah provinsi tetapi soal upah jelas tidak boleh dibeda-
bedakan. Belum lqgi masalah pemotongan, terdapat tiga potongan upahyang di WBP, yaitu : potongan pajak negara, premi Lapas, potongan untukbengkel kerja dan sisanya diserahkan kepada kepada WBP. Dapat
disimpulkan bahwa upah yang jatuh ketangan WBP sangat kecil oleh
karena adanya potongan serta ketidakjelasan besaran upah yang
sebenarnya.
8. Menerlma kunJungan keluarga, penaslhat hukum, atau orang
tertentu lalnnya
Kunjungan yang dilakukan oleh pihak keluarga, penasihat hukum
atau orang tertentu seperti rohaniawan merupakan hak dari WBP. 8e
Kunjungan diberikan sepenuhnya oleh Lapas kepada keluarga, penasehat
hukum atau pihak lainnya. Hat ini sepenuhnya terjadi diseluruh Lapas
*8ibid., Pasal 29 dan penjelasan
geibid., Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 penjelasan
63
yang telah dikunjungi, narnun menjadi masalah pada saat kunjungan itu
ternyata dikenakan biaya kunjunganeo.
Mengenai ruang kunjungan yang tidak ramah terhadap pengunjung,
ditemui pad.a beberapa Lapas. Ruangan sangat terbuka, dimana antara
pengunjung dengan wBP tidak terdapat batas pertemuan. Dalam ketentuan
diharuskan adanya ruang yang arnan dan terjamin penjagaannya.
Faktanya, kondisi seperti itu tidak didapati pada beberapa Lapas yang telah
disurvei. Keramaian pengunjung dan wBP dengan pengamanall. minim
merupakan pemandangan yang terjadi di dalam Lapas.el
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remlsi)
Pengurangan masa pidana (remisi) banyak diberikan bagi wBP yang
berkelakuan baik dan membantu kerja-kerja petugas Lapas' Tahanan
Pendamping (Tamping) atau petugas lainnya yang berasal dari wBP akan
lebih mudah mendapatkan remisi karena dianggap tunduk pada
"keinginan" petugas atau dengan kata lain membantu tugas-tugas Negara di
dalam Lapas. umumnya remisi diberikan sepenuhnya kepada wBP setiap
hari kemerdekaan, hari raya dan momentum lainnya' e2
Alasan lain mendapatkan remisi tidak ditemukan dalam penelitian
lapangan, tetapi dalam kasus Tommy Soeharto yang banyak mendapatkan
remisi, dikarenakan sering melakukan tugas bela negara dan tugas
kemanusian berupa pemberian donor darah' Ttrgas negara berupa
memberikan bantuan pembangunan dan donor darah dianggap pihak
Lapas layak mendapatkan remisi.
eoFenomeoa ini terjadi diseluruh Lapas, ada yang secara diam-diam memungut biaya kunjungan,
dari pint, masuk hinlga duduk dalam ru",,g -k
tJut g"n ada pula yang telah menetapkan biaya
kunjungan agar tidak menjadi lia:. Uang diperolih dari penetapaa biaya ini dig,nakan unh:kr."pJ"ifig"" operasiona.l Lapk sedangkarr y""g ti., ada pula yang diterima secara pribadi
erpasal 4Z jo. pasal 23 ayat (4) Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.o1-pR.oi.oi i"fr',]" 2oo3 Tanggal ro April 2003 tentang Pola Bangunan Unit
Pelaksana Tekrris Pemasyarakatan
s2op.cit,, Pasal 34, Pasal 35 dan Penjelasan
64
IO. Asimtlasieo termasuk cuti mengunJungi keluargaea
Urituk mendapatkan asimilasi ini tidak mudah, banyak persyaratan
yang harus dilalui agar hak ini dapat dinikmati. Hal ini dianggap
mempersulit pelaksanaan hak, yang dampaknya banyak WBp yang tidakdapat segera berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat.
Penghambat lainnya adalah pengurusan asimilasi dan cuti membutuhkanbiaya yang tidak sedikit sebagai salah satu syarat pengajuan kepada pihak
Lapas dan pihak lainnya.es
Beberapa Lapas memberikan asimilasi kepada WBP untuk bekerja diindustri pembuatan batu bata, tukang cukur dan tempat lainnya. Proses
asimilasi ini tetap dikontrol secara ketat oleh petugas Lapas termasuk juga
melibatkan pemeerintahan setempat. Meskipun ketentuan ini telah
menggariskan hakim pengawas dan pengamat terlibat narnun hal ini tidakpernah terjadi.
Pembinaan dan pembimbingan terhadap WBP yang sedang menjalani
asimilasi meliputi: pendidikan, latihan keterampilan, kegiatan sosial, danpembinaan lainnya di luar Lapas berada di bawah naungan Petugas La.pas
sedangkan kegiatan pada pihak ketiga, bekerja mandiri, dan penempatan diLapas Terbuka dibawah tanggungjawab petugas Lapas dan atau BAPAS.
Kegiatan ini diberitahukan secara tertulis kepada pemerintah daerah,
kepolisian, pengamat setempat dan hakim pengawas dan pengamat.
1 1. Pembebasan Bersyarate6
Untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi WBP sangatlah tidakmudah. Surat keterangan dari RT, RW dan Kelurahan serta suratketerangan dari instansi lainnya merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Perlu pula mempunyai keluarga untuk menjamin, tidak sedang
gsibid., Pasal 36 sampai dengan Pasal 4O dan penjelasannya
gcibid.,Pasal 41, Pasal 42 dan penjelasannya
esKeterangan diperoleh dari FGD di Partnership Government Reform pada tanggal 22 Md,2OO7dan menguatkan hasil wawancara dengan WBP yang menyatakan biaya pengumsan tersebut ada.
e6ibid., Pasal 43, Pasal 48 dan penjelasan
65
mempunyai perkara lain dan tidak sedang melanggar disiplin. Khusus
untuk kqterangan tidak sedang mempunyai perkara lain, pengurusan
dilakukan ke Kejaksaan. Belum lagi terkait dengan proses pemeriksaan di
tingkat TPP yang memakan waktu berbulan-bulan. Pemeriksaan juga
sampai pada tingkat Dirjen yang kemudian kembali lagi kepada Kanwil dan
akhirnya kepada Lapas.
Banyaknya WBP yang berhak mengurus Pembebasan Bersyarat di
satu sisi dan proses pengurusannya yang berbelit-belit di sisi lain,
menimbulkan peluang dimanfaatkannya posisi ini. Ada wBP yang dimintai
sejumlah uang untuk menyelesaikan seluruh prosesnya dan ada pula yang
memberikan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih.
Kondisi ini menyebabkan WBP yang tidak memiliki uang menjadi
tidak berminat untuk mengurus pembebasan bersyarat. Saat ini realisasi
PB/CMB berjumlah kurang lebih 480 wBP per tahun. Bandingkan misalnya
dengan jumlah WBP yang dipidana dengan masa pidana 1 - 20 tahun
dengan jumlah 58.000 wElP per tahun. Bila dibandingkan kedua data
tersebut maka realisasi PB dari WBP yang berhak kurang dari 10%'
salah satu usulan untuk mengubah kondisi di atas adalah dengan
mengganti kewenangan Litmas Bapas dengan wali pendamping yang
merupakan petugas l"apas. Bila dilihat dari kewenangan Bapas men\mt uU
12/1995 yaitu memberikan bimbingan di Bapas, maka penggantian
kewenangan ini juga sesuai. sedangkan tentang keterangan tidak sedang
mempunyai perkara lain diusulkan agar putusan/vonis dilampiri surat
sedang mempunyai perkara lain sehingga bila tidak ada lampiran berarti
tidak sedang mempunyai perkara lain.
Persoalan minimnya pembebasan bersyarat terkait pula dengan cara
pandang Kalapas. Dikarenakan PB merupakan hak WBP maka hal ini tidak
dianggap menjadi tanggung jawab dan kinerja yang harus diulmr oleh
pejabat Lapas. Karena itu terdapat pula usulan agar target capaian PB
menjadi salah satu ukuran kinerja Kalapas.eT catatan penting mengenai
eTKeterangan ini diperoleh pada saat Konsinyasi hasil penelitian diHotel Cemara pada tanggal 14
Juni 2OO7 bersama dengan Direktur Pembinaan Diden Pemasyarakatan'
66
hal ini adalah per4binaan harus berjalan optimal agar tujuan dari konsep
pemasyarakatan tidak menjadi sia-sia atau formalistis belaka.
Persoalan mendasar mengenai PB adalah WBP yang dipidana kurangdari 1 tahun tidak memenuhi kualifikasi untuk mendapatkannya. Salah
satu usulan untuk mengatasinya adalah melalui cuti menjelang bebas
(cMB).
12. Mendapatkan cuti menJelang bebases
Cuti menjelang bebas untuk pengurusannya satna persis dengan pola
Pembebasan Bersyarat. Pengurusan tidak lepas dari syarat administrasiyang berbelit dan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Meskipun syarat-
syarat sudah dipenuhi, namun bila otoritas pemberi cuti tidak memberikan
rekomendasi maka hak ini tidak dapat dijalanfuasss.
13. Hak-hak Lainloo (Politik, Surat men5/urat, Izln Keluar)
Dari perbincangan dengan beberapa WBP yang menjalani masa
pidana pada tahun 2004, prinsipnya WBP mengikuti pemilu pada tahun
2004. Umumnya tidak ada yang menjadi anggota partai tetapi tetap dapat
memilih pada pemilu tersebut.
Bagi WBP yang ingin berkomunikasi dapat melakukan proses suratmen5rurat. Beberapa Ia.pas, penggunaarl komunikasi lewat telepon genggam
lebih sering digunakan oleh WRP. Berdasarkan temuan, hal ini sulitdikontrol oleh petugas Lapas, terutama mengenai isi dari komunikasiantara WBP dengan pihak luar. Begitupun dengan kebebasan untuk surat
men5rurat, isi surat tetap dikontrol oleh pihak Lapas.
e8ibid., Pasal 49 danpenjelasan
eeHal ini disampaikan oleh RahadiGovernment Reform, dimana beliaumenjelang bebas. Seluruh syarat telahmenjb.lankan hak cutinya.
Looibid., Pasal 44 dan penjelasan
Ramelan pada FGD pada tanggal 22 Mei 2OOT di Partnershipmenceritakan pengalaman pribadi dalam mengurus cuti
dipenuhi, namun pihak menteri tidak memberikan ijin untuk
67
E. Organlsasi Tidak Resml Ddam Lapas
Orlanisasi tidak resmi merupakan media tidak resmi berkumpulnya
WBP di dalam Lapas. Keberadaannya secara hukum tidak diakui namun
keberadaannya nyata diketahui oleh petugas-petugas Lapas. Organisasi iniberbeda dengan organisasi WBP yang sengaja dibentuk dan diperbolehkan
oleh Lapas, misalnya saja tim sepak bola, musik dan perkumpulan
kreativitas lainnya.
Organisasi tidak resmi mengelompokan diri berdasarkan ideologi,
suku, dan asal kedatangan. Salah satu fungsi pengelompokan itu adalah
untuk memberikan perlindungan kepada anggotanya yang terancam oleh
anggota kelompok lainnya. Organisasi ini terkadang juga bekerja untuk
orang yang membayarnya untuk kepentingan pengamanan. Bukan saja
pengarnanan yang dilakukan di dalam narnun pengamanan keluar pun
dapat dilakukan oleh organisasi ini.
Kelompok yang paling menonjol berdasarkan etnis adalah WBP dari
Bugis, Arek Suroboyo, Ambon, Flores dan Madura. Sedangkan untuk
kelompok agama lebih dominan adalah kelompok Islam garis keras.
Kelompok-kelompok ini telah lama ada hingga saat sekarang.
Keberadaannya sangat mengkhawatirkan terutama pada kemungkinan
terjadinya konflik horisontal yang hanya menunggu w€tldu. 101
Jaringan organisasi tidak resmi seperti yang ada di Lapas Cipinang,
memiliki wilayah-wilayah kerja diluar Lapas, seperti di wilayah Tanjung
Priok, Cawang dan lain sebagainya. Wilayah-wilayah ini memiliki hubungan
dekat dengan organisasi tidak resmi di dalam Lapas, salah satunya untuk
kepentingan pengamanan diluar dan pemasaran Narkoba di dalam Lapas.
101 Orgardsasi tidak resmi disampaikan oleh Rahadi Ramelan di Foczrs Group DiscussionKemitraan Indonesia. Rahadi menyatakan organisasi ini tidak boleh ada tetapi keberadaannyadibiarkan oleh petugas. Perkumpulan ini umumnya ada karena berdasarkan agama, ras dan etnisdimana pengelompokannya mempengaruhi perlindungan bagi setiap WIIP yang menjadi anggota.Konflik horisontal hanya tinggal tunggu waktu saja.
68
Keberadaan organisasi tidak resmi diketahui oleh struktur resmi dan
hampir spluruh petugas berpendapat keberadaan organisasi tak resmi tidakmungkin dapat dihapuskan. Meskipun demikian, petugas Lapas tetap
memanfaatkan organisasi ini untuk kepentingan pengamanan Lapas.
Pemanfaatan lain juga untuk kepentingan pelestarian pungli yang
dilakukan petugas Lapas.
6i9
Bab VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga pemasyara,katan sebagai muara dalam sistem peradilan
pidana memiliki peran besar dalam melakukan tugas resosialisasi pelaku
tindak pidana. Lembaga pemasyarakatan memiliki sejarah yang sangat
panjang seiring dengan riwayat kolonialisme di Indonesia. Sejarah panjang
tersebut tentunya tidak berjalan mulus, namun banyak permasalahan yang
timbul hingga saat ini. Berdasarkan pemaparan pada bagran terdahulumaka dapat disimpulkan bahwa:
1. Permasalahan yang kerap kali terjadi di lembaga pemasyarakatal terkait
dengan proses pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia antara
lain:
a. Tingkat hunian Lapas yang melebihi daya tampung khususnya Lapas
kelas IA di kota besar.
b. Kelebihan daya tampung tersebut memiliki dampak secara langsung
pada pemenuhan hak-hak WBP. Masih banyak hak-hak WBP yang
tidak dapat dipenuhi oleh Lembaga Pemasyarakatan. Para WBP harus
hidup dalam lingkungan yang serba minim, misalnya fasilitas
kesehatan, fasilitas praktik kerja, fasilitas mandi cuci kakus (MCK),
dan pendidikan.
c. Pada beberapa Lapas masih terdapat praktik kekerasan dan praktikpemerasan kepada WBP ataupun pembesuk yang dilakukan oleh
petugas maupun sesama WBP.
d. Terdapat permasalahan dalam kerangka organisasi birokrasi
Pemasyarakatan yang saat ini berada di bawah Departemen Hukum'dan Hak Asasi Manusia. Organisasi Lapas yang berlangsung saat ini
70
memiliki konsep integrated. Konsep tersebut pada praktiknya
menimbulkan permasalahan dalam hal koordinasi antara DirektoratJenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Hukum dan HAM di setiap
provinsi dan Lembaga Pemasyarakatan di setiap daerah.
e. Petugas pembina masih perlu mendapatkan pemahaman yang
menyeluruh atas konsep pemasyarakatan dan metode pembinaan
bagi warga binaan. Petugas pembina pemasyarakatan masih perlu
ditingkatkan dari segi kualitas maupun kuantitas personal dan
kelembagaan.
2. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi
masalah tersebut antara lain:
a. Membangun Lapas baru untuk mengatasi kelebihan penghuni pada
Lapas di daerah kota besar.
b. Anggaran yang direalisasikan bagi pembinaan di Lapas tidak sesuai
dengan jumlah yang d4jukan sehingga dibutuhkan kemampuan
kepala Lapas untuk mengatur pengeluaran. Oleh karena itumemimpin Lapas dibutuhkan seni tersendiri terlebih lagi dengan
anggaran yang sangat terbatas.
c. Untuk mengatasi penyimpangan yang dilakukan oleh petugas Lapas
telah dilakukan upaya pengawasan yang tegas, salah satunya adalah
pencopotan jabatan bagi mereka yang terbukti melanggar aturan.
Sedangkan bagi WBP akan dikenakan upaya tindakan.
d. Struktur organisasi yang berlaku saat ini belum mendapatkan
perhatian dari pemerintah untuk dievaluasi efektifitasnya meskipun
telah ada masukan untuk kembali ke sistem lwlding.
e. Dalam upaya meningkatkan kuantitas petugas Lapas, saat ini telah
direncanakan penambahan jumlah pegawai sebanyak 9000 orang
yang terbagi datam tiga tahap. Setiap tahap akan merekrut sebanyak
3000 orang. Namun dalam upaya peningkatan kualitas petugas
masih bertumpu pada kebijakan lama dengan pola pendidikan dan
latihan.
7l
f. Konsep pemasyarakatan yang dianut dalam lembaga pemasyarakatan
pada saat ini belum sepenuhnya diterapkan secara benar. Berbagai
penyimpangan dan keterbatasan pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan pembinaan wBP masih menjadi halangan utama dalam
upaya merealisasikan konsep pemasyarakatan secara utuh'
g. Prioritas yang harus dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan
adalah dengan mela-kukan restrukturisasi organisasi Lembaga
Pemasyarakatan dari tngkat pusat hingga daerah. Restrukhrrisasi itu
harus ditunjang juga dengan upaya peningkatan kualitas petugas
pembina dan pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana Lapas.
Selain itu pada tahap kebijakan perlu segera dibentuk peraturan
pelaksana sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-undang No.
12 Tahun 1995. Peraturan pelaksana masih menggunakan ketentuan
lama sebelum undang-undang tersebut berlaku, selain itu baru
terdapat empat peraturan pemerintah yang berhasil dibuat dari 12
peraturan pemerintah yang seharusnya dibentuk.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut maka tim Peneliti
merekomendasikan beberapa hal terkait dengan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan:
1. Perlu dilakukan perubahan yang mendasar di Lembaga Pemasyarakatan
berkenaan dengan organisasi dan pemenuhan hak-hak wBP. Perubahan
tersebut harus direncanakan secara terarah melalui sebuah cetak biru
Lembaga Pemasyarakatan. cetak biru tersebut harus dapat merinci
prograrn pembaruan Lembaga Pemasyarakatan yang harus dicapai
dalam kurun waktu tertentu. Perlu komitmen yang kuat dan dukungan
dana yang besar untuk merealisasikan hal itu.
2. Untuk mengatasi ouer capaata yang dihadapi lembaga pemasyarakatan
maka perlu dilakukan langkah yang cepat dan tepat untuk
menguranginya. Langkah tersebut salah satunya adalah mempermudah
pemberian Pembebasan Bersyarat (PB) dan cuti Menjelang Bebas (cMB).
Kesulitan dalam memperoleh PB dan CMB tersebut ditenggarai menjadi
72
3.
salah satu faktor penyebab ouer capacitg. Pada sisi lain, lancarnyapemberian PB dan CMB akan memudahkan proses asimilasi bagi WBp.
Pengawasan terhadap WBP dan petugas perlu diperketat sehingga
menghindari penyim'pangan yang mungkin atau akan dilakukan oleh
mereka. Pemberian sanksi harus dibarengi dengan pemberian
penghargaan bagi mereka yang berprestasi.
Petugas Lapas seharusnya diberi rumah tinggal yang layak dan letaknya
tidak jauh dari tempat mereka bertugas untuk memudahkan proses
pembinaan bagi WBP.
Dalam jangka pendek perlu dilakukan peningkatan fasilitas bagi WBp
sebagai upaya pemenuhan hak-haknya.
Perlu dilakukan peningkatan kesejahteraan bagr petugas dan pegawai
negeri lainnya yang bekerja di Lapas.
4.
5.
6.
73
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1995
TENTANG
PEMASYAMKATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia
harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu;
b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak
sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan;
c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, merupakan rangkaian
penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan beftanggung jawab;
d. bahwa sistem kepenjaraan yang diatur dalam Ordonnantie op de Voorwaardelijke
Invrijheidstelling (Stb. 1917-749, 27 Desembet L9LT jo. Stb. 1926-488) sepanjang yang berkaitan
dengan pemasyarakatan, Gestichten Reglement (Stb. l9L7-708, 10 Desember 1917),
Dwangopvoeding Regeling (Stb. 1917-74L,24 Desember 1917) dan Uiwoeringsordonnantie op de
Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb. 1926487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan
dengan pemasyarakatan, tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
e, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-
undang tentang Pemasyarakatan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor I Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik
Indonesia II Nomor 9) jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660)
yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,
74
Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Lembaran
Negara.Tahun 1975 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKIISN MKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSIGN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMASYAMKATAN.
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal I
Dalam Undang-undang ini yang dimakud dengan:
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
2. sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakanakan secara terpadu antara
pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyaraka! dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan
pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
4' Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan
bimbingan Klien Pemasyarakatan.
5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik pemasyarakatan, dan Klien
Pemasyarakatan.
6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di l-ApAS.
8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS
Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk
dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
75
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahrun.
9. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam
bimbingan BAPAS.
10. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
pemasyarakatan.
Pasal 2
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyaraka! dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
Pasal 3
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi
secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab.
Pasal 4
(1) LAPAS dan MPAS didirikan di setiap ibukoB kabupaten atau kotamadya.
(2) Dalam hal dianggap perlu, di tingkat kecamatan atau kota administratif dapat didirikan Cabang
LAPAS dan Cabang BAPAS.
BAB IIPEMBINAAN
Pasal 5
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang teftentu.
76
Pasal 5
(1) Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di TAPAS dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS.
(2) Pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
sebagaimana diatur lebih lanjut dalam BAB III.
(3) Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
a. Terpidana bersyaraU
b, Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang
tua asuh atau badan soSial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh
atau badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua
atau walinya.
Pasal 7
1. Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan
dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
2. Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimakud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan Pejabat
Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
(2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di angkat dan diberhentikan oleh
Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan,
Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan
kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan
sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
77
(2) Ketentuan mengenai ke{asama sebagaimana dimakud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB IIIWARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
Bagian Pertama
Narapidana
Pasal 10
(1) Terpidana yang diterima di IAPAS wajib didaftar.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status Terpidana menjadi
Narapidana.
(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di
LAPAS.
Pasal 11
Pendaftaran sebagaimana dimakud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi :
a. pencatatan:
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Terpidana.
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di I-APAS dilakukan penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang duatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kiteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
(2) Pembinaan Narapidana Wanita di IAPAS dilaksanakan di I-APAS Wanita.
78
Pasal 13
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Narapidana diatur leUh lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasa! 14
(1) Narapidana berhak:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikankeluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku'
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Naiapidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih.lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah,
Pasal 16
(1) Narapidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS ke LAPAS lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. proses peradilan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
79
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Narapidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 17
(1) Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, tdrdakwa, atau
sebagai saki yang dilakukan di I-APAS tempat Narapidana yang bersangkutan menjalani pidana,
dilaksanakan setelah penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang
berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala l-ApAS.
(2) Kepala LAPAS dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan penyidikan di LApAS
sebagaimana dimakud dalam ayat (1).
(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar LApAS setelah
mendapat izin Kepala LAPAS.
(4) Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar LAPAS untuk
kepentingan :
a. penyerahan berkas perkara;
b. rekonstruksi; atau
c. pemeriksaan di sidang pengadilan.
(5) Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimakud dalam ayat (4)
Narapidana hanya dapat dibawa ke luar I-APAS setelah mendapat izin tertulis dari Direktur, Jenderal Pemasyarakatan.
(6) Jangka waktu Narapidana dapat dibawa ke luar I-APAS sebagaimana dimakud dalam ayat (3)
dan ayat (5) setiap kali paling lama 1 (satu) hari.
(7) Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemerikaan di sidang pengadilan terhadap
Narapidana sebagaimana dimakud dalam ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum
pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, Narapidana yang
bersangkutan dapat dipindahkan ke LAPAS tempat dilakukan pemerikaan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16.
Bagian Kedua
Anak Didik Pemasyarakatan
Paragraf 1
Anak Pidana
Pasal 18
(1) Anak Pidana ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak Pidana yang ditempatkan di LAPAs Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
didaftar.
80
Pasal 19
Pendaftaran sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) meliputi :
I a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Pidana.
Pasal 2O
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Pidana di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar:
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan id. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Pasal 21
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Anak Pidana diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Anak Pidana memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kecuali huruf g.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Anak Pidana wajib mengikuti secara teftib program pembinaan dan kegiatan t€rtentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimakud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
81
Pasal 24
(1) Anak Pldana dapat dipindahkan dari satu I-APAS Anak ke LAPAS Anak lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan;
d. proses peradilan; dan
e. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Anak Negara
Pasal 25
(1) Anak Negara ditempatkan di I-APAS Anak.
(2) Anak Negara yang ditempatlcn di LAPAS Anak sebagaimana dimakud dalam ayat (1) wajib
didaftar.
Pasal 26
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Negara.
Pasal 27
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara di HPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar:
a, umur;
b. jenis kelamin; .
c. lamanya pembinaan; dan
d. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
82
Pasal 28
Ketentuan nnengenai pendaftaran dan penggolongan Anak Negara diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 29
(1) Anak Negara memperoleh hak-hak sebagaimana dimakud dalam Pasal 14, kecuali huruf g dan i.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3O
(1) Anak Negara wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan teftentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Anak Negara dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain untuk kepentingan :
a, pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Negara sebagaimana
dimakud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Anak Sipil
Pasal 32
(1) Anak Sipil ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak Sipil yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana dimakud dalam ayat (1) wajib didaftar.
(3) Penempatan Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum
berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang pada saat
penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1
(satu) tahun dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
83
Pasal 33i
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. penetapan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Sipil.
Pasal 34
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Sipil di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lamanya pembinaan; dan
d. kiteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Pasal 35
Ketentuan mengenai pendaftaran dan penggolongan Anak Sipil diatur tebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 35
(1) Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kecuali huruf g, i, ( dan
huruf l.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelakanaan hak-hak Anak Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
(1) Anak Sipil wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu'
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
84
Pasal 38
(1) Anak Sipil dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke IAPAS Anak lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Klien
Pasal 39
(1) Setiap Klien wajib mengikuti secara tertib program bimbingan yang diadakan oleh BAPAS.
(2) Setiap Klien yang dibimbing oleh BAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftar.
Pasal 4O
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan:
1. putusan atau penetapan pengadilan, atau Keputusan Menteri;
2. jati diri;
b. pembuatan pasfoto;
c. pengambilan sidik jari; dan
d. pembuatan berita acara serah terima Klien.
Pasal 4t
Ketentuan mengenai pendaftaran Klien diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 42
(1) Klien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 terdiri dari :
a. Terpidana bersyaraU
b. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau
cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang
tua asuh atau badan sosial;
85
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direkorat
Jenderal Pemasyarakatan yang ditunju( bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh
atar-r badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua
atau walinya.
(2) Dalam hal bimbingan Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan oleh
orang tua asuh atau badan sosial, maka orang tua asuh atau badan sosial tersebut wajib
mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam hal bimbingan Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dilakukan oleh orang
tua atau walinya, maka orang tua atau walinya tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman
pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 43
Dalam hal bimbingan Anak Negara diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial dan Anak
yang diserahkan kepada orang tua atau walinya sebagaimana dimakud dalam Pasal 42 ayat (1)
huruf c, d, dan e, maka BAPAS melakanakan :
a. pengawasan terhadap orang tua asuh atau badan sosial dan orang tua atau wali agar kewajiban
sebagai pengasuh dapat dipenuhi;
b. pemantapan terhadap perkembangan Anak Negara dan Anak Sipil yang diasuh.
Pasal 44
Ketentuan mengenai program bimbingan Klien diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN
DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN
Pasa! 45
(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan atau peftimbangan kepada
Menteri.
(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli
di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non
pemerintah dan perorangan lainnya.
(4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat
terkait lainnya beftugas :
a. memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam
melaksanakan sistem pemasyarakatan;
86
b. membuat penilaian atas pelakanaan program pembinaan dan pembimbingan; atau
c. menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.
(5) Pemberitukan, susunan, dan tata kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat
Pemasya rakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB V
KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Pasal 46
Kepala LAPAS bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di LAPAS yang dipimpinnya.
Pasal 47
(1) Kepala 1APAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di
lingkungan I-APAS yang dipimpinnya.
(2) Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimakud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana atau Anak Pidana; dan atau
b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib :
c, memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-
wenang; dan
d. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS.
(4) Bagi Narapidana atau Anak Pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan sunyi sebagaimana
dimakud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri
dapat duatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua ) kali 6 (enam) hari.
Pasal 48
Pada saat menjalankan tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana
keamanan yang lain.
Pasa! 49
Pegawai Pemasyarakatan diperlengkapi dengan sarana dan prasarana lain sesuai dengan kebutuhan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
87
Pasal 50
Ketentuan mengenai keamanan dan ketertiban I-APAS diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB VI
KETENTUAN LAII{
Pasal 51
(1) Wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada Menteri.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung
jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah,
BAB VXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan
pemasyarakatan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan
pelaksanaan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB VIIIKETENTUAN PENUTUP
Pasa! 53
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini:
1. Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Stb. L9l7-749, 27 Desember 1917 jo. Stb.
1926-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan;
2. Gestichtenreglement (Stb. L9LT -708, 10 Desember 1917);
3. Dwangopvoedingsregeling (Sls. l9L7-74L,24 Desember 1917); dan
4. Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb. L926-487,5 November 1926)
sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan; dinyatakan tidak berlaku.
88
Pasal 54a
Undangrundang ini mulal berlaku pada tdnggEl diundangkan.
Agar setiap orang mengetahulnla, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di lakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEI{ REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakafta
pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI NEGAM SEKRETARIS NEGAM
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA flNUru 1995 NOMOR 77
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36L4
89
STKII,ASI TTNTANG LBH JAKAR'TA
L,embaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta didirikan atas gagasan yangdisampaikan pada Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) ke IIItahun 1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan dari Dewan PimpinanFusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor OO1/Kep/IO/1970 tanggal26 Oktober 197O yang isi penetapan pendirian l,embaga Bantuan HukumJakarta dan Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28Oktober I97O.
Pendirian LBH Jakarta yang didukung pula oleh Pemerintah Daerah(Pemda) DKI Jakarta ini, pada awalnya dimaksudkan untuk memberikanbantuan hukum bagi orang-orang yang Udak mampu dalammemperJuanglran hak-haknya, terutama ralryat miskin yang digusur'dipinggirkan, di PHK, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia padalrmwnnya.
Lambat laun LBH Jakarta menjadi organisasi penting bagi gerakan pro-demokrasi. Hal ini disebabkan upaya LBH Jakarta membangun danmenjadikan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi sebagaipilar gerakan bantuan hukum di Indonesia. Cita-cita ini ditandai dengansemangat perlawanan terhadap rezim orde baru yang dipimpin olehSoeharto yang berakhir dengan adarrya pergeserankepemimpinan pada tahun 1998. Bukan hanya itu, semangat melawanketidakadilan terhadap seluruh penguasa menjadi bentuk advokasi yangdilakukan sekarang. Semangat ini merupakan bentuk peng-kritisanterhadap perlindungan, pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusiadi Indonesia.
Hingga saat ini, LBH Jakarta telah menerima ribuan pengaduandari masyarakat. Terhitung mulai tahun 2OO2 hirrgga 2006 tercatat 5.7L8kasus masuk, dengan jumlah 96.68f orang terbantu. Banyaknyapengaduan yang masuk, mengindikasikan kebutuhan masyarakat akanbantuan hukum. Oleh karen€rnya, semoga situs ini dapat memberikaninformasi lebih tentang kinerja LBH Jakarta serta membantu penyelesaianpermasalahan yang terjadi dimasyarakat. Kepercayaan Anda semua yangdapat memberikan komitmen kepada kami untuk senantiasa membela parapencari keadilan.
90
SEKTLAS KONSORSIUM REFORMASI HUKUM NASTONTTL (KRrrN)
Reformasi hukum mempunyai arti penting guna membangun desainkelembagaan legi pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Untukkepentingan itu dalam sistem politik yang demokratis, hukum harusmemberi kerangka struktur organisasi formal bagi bekerjanya lembaga-lembaga negara, menumbuhkan akuntabilitas normatif dan akuntabilitaspublik dalam proses pengambilan keputusan politik, serta dapatmeningkatkan kapasitasnya sebagai sarana penyelesaian konflik politik.
Dalam konsteks perubahan sosial politik yang tengah terjadi di Indonesia,upaya:upaya reformasi hukum perlu diartikan tidak saja sebagaipenggantian atau pembaruan perundang-undangan, akan tetapi jugaperubahan asumsi dasar dari sebuah tata hukum yang berlandaskan ide-ide diskriminatif dan kesenjangan sosial menjadi ide-ide persamaan didepan hukum dan keadilan sosial. Reformasi hukum juga harusmengandung makna dipilihnya strategi adaptasi atas perkembangan nilai-nilai hukum --dalam hal ini nilai-nilai hak asasi manusia (HAM)- yangsecara internasional telah disepakati.
Seperti pada umuurnya di negara-negara yang tengah mengalamiperubahan sosial politik, terdapat p.rla tuntutan keras untukmenundukkan otoritas politik dan proses sosial ekonomi kepadapembatasan yang ditentukan oleh sekumpulan aturan yang otpnomsecara konseptual dan diterapkan oleh suatu sistem hukumotonom. Tuntutan itu dimaksudkan untuk memunculkan danmerealisasikan gagasan negara hukum . yang secara formal,ideologis, dan simbolis tidak mungkin ditumbuhkan pada nilai-nilaikekuasaan yang lain. Dengan kata lain, terwujudnya hukum yangadil dan berpihak kepada kepentingan ralryat dalam rangkapenguatan dan pembentukan' masyarakat sipil (civil society),menginginkan selalu agar hukum dapat otonom, Udak menjadiinstrumen politik kekuasaan dan kepentingan politik ekonomiglobal. Sehingga di datam proses perubahan, pergantian,pembuatan, dan pembentukan hukum yang diinginkan di atas,mutlak diperlukan ruang publik yang demokratis. Proses yangsecara transparan dapat melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya sebagai subjek perubahan, mendorong menumbuhkan danmengembangkan ide/gagasan alternatif serta turut menentukandiakomodir dan dijaminnya hak dan kepentingan ralryat yang lebihluas
9l
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) sebagai organisasimasyarakat sipil, memandang perlu untuk secara langsung dan kontinSrumenyikapi perubahan-perubahan hukum yang tengah terjadi. Sejakkelahirannya pascareformasi Mei 1998, organisasi yang didirikan olehpraktisi hukum dan akademisi yang ahli di bidang hukum, berupaya untukturut serta mendorong dan menentukan landasan serta arah perubahanhukum yang lebih demokratis, menghargai HAM, menjamin hak-hak rak5rat,dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat.Visi:Terwujudnya hukum yang berkeadilan dan dihormati oleh semua pihakdengan berpijak pada prinsip demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia(HAM).
Misi:1. Mempromosikan dan memperjuangkan hukum yang demokratis dan
menghargai HAM.2. Mendorong partisipasi publik dalam merumuskan, melakukan, dan
menentukan hukum yang demokratis.3. Memperkuat pembentukan institusi dan proses penegakan hukum yang
melindungi dan menjamin prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM.
92
SEKILAS MAPPI
Latar Belakang
Reformasi hukum mempunyai arti yang sangat penting untuk membangundan menciptakan kapasitas kelembagaan suatu bangsa yang didasarkanpada hukum sebagai landasan. Untuk alasan itulah, dalam sistem politikdan demokrasi, hukum seharusnya memberikan gambaran formal sebuahstruktur organisasi sebagai pelaksanaan institusi nasional, penguatanakuntabilitas kelembagaan serta pertanggungjawaban kepada masyarakat.Dimana dalam pengambilan keputusan, terkait dengan proses politik,hukum harus sesuai dengan peningkatan kapasitasnya sebagai mediapenengah dalam rekonsiliasi konflik politik.
Dalam konteks perubahan sosial politik yang terjadi di Indonesia saat ini,usaha-usaha reformasi hukum seharusnya dapat diinterpretasikan, tidakhanya mengubah atau memperbaharui aksi-aksi, tetapi juga mengubahasumsi dasar dari rancangan hukum yang didasarkan pada ide-idediskriminatif dan ketidaksesuaian sosial menjadi ide yang mengedepankanpersamaan hukum dan keadilan sosial. Reformasi hukum seharusnyadiartikan sebagai strategi adaptasi bagi nilai-nilai pengembangan hukum,dalam hal ini nilai-nilai hak asasi manusia yang disahkan secarainternasional.
Seperti di beberapa negara yang memiliki perubahan sosial politik, disanaterdapat pula permintaan kuat untuk menggerakan kekuatan politik danproses sosial ekonomi menjadi batasan yang diatur oleh beberapa aturantersendiri yang secara konseptual diimplementasikan oleh sistem hukumprivat. Permintaan itu bertujuan untuk membuat danmengimplementasikan ide-ide langsa yang didasarkan pada hukum secaraformal. secara ideologi dan secara simbolik, yang dalam hal ini tidakmungkin diciptakan oleh kekuatan yang lain. Dengan kata lain, eksistensikeadilan hukum berdiri di belakang manusia yang bertujuan untukmemperkuat dan menciptakan masyarakat madani yang selalu mendukungtegaknya hukum bukan hanya sebagai instrumen politik dan agendaekonomi politik global. Dalam proses perubahan, pembaharuan danpenciptaan pola hukum yang diharapkan, adalah suatu keharusan bagisuatu bangsa untuk memiliki ruang demokrasi publik. Proses tranparansiakan melibatkan partisipasi masyarakat dalam suatu subjek perubahanyang akan membangun dan mengembangkan ide atau opini yang sejalandengan hak-hak manusia yang terlindungi dan terakomodasi oleh hukum.
93
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia sebagai sebuah organisasimasyarakat melihat pentingnya tindakan secara langsung danberkelanjutan terhadap reformasi hukum yang saat ini sedang berjalan.Organisasi ini didirikan oleh para praktisi hukum dan akademisi yang ahlidi bidang hukum dan tetap menjaga serta mendukung arah kebijakanreformasi hukum yang lebih demokratis, menghargai hak asasi manusia,adanya jaminan terhadap kehidupan manusia dan tegaknya hukum.
Visi dan Misl
A. VisiVisi dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia adalahmenciptakan supremasi hukum sebagai penyangga utama prosesdemokratisasi dan keadilan di Indonesia.
B. Misi(l) Membangun suatu sistem peradilan yang ideal baik secara
institusional yaitu lembaga dan aparatnya maupunsubstansialnya yaitu peraturannya dalam rangka menciptakansupremasi hukum di Indonesia
(2) Menumbuhkembangkan budaya hukum di masyarakat Indonesia(3) Membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa sebagai benteng terakhirkeadilan.
(4) Memfasilitasi masyarakat agar dapat menjalankan fungsi sebagaielemen pengawas terhadap kinerja lembaga peradilan.
94
SEK!LAS
.sEcuRrw AND JUSTTCE GOVERNANCE (SJG) CLUSTER
PARTNERSHTP FOR GOVERNANCE REFORM lN INDONESIA (KEMITRAAN)
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di lndonesia adil€th lembagamulti-pihak yang dibentuk untuk memacu pembaruan tata pemerintahan dilndonesia. Kemitraan merupakan badan hukum lndonesia yang berbentukperkumpulan perdata nirlaba, yang secara teknis beroperasi sebagai proyekProgram Pembangunan Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations DevelopfientProgramme - UNDP). Lembaga pelaksana proyek ini adalah Direktorat Fungsionarisdi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Kemitraan bekerja dengan instansi pemerintah dan organisasi-organisasimasyarakat sipil (civil society organizations atau CSOs) untuk melaksanakanagenda pembaruan nasional. Dengan dukungan masyarakat internasional,Kemitraan melibatkan secara bersama-sama pemerintah lndonesia, lembagalegislatif, lembaga yudikatif dan masyarakat sipil untuk mengupayakan pelaksanaantata pemerintahan yang baik dan berkelanjutan di lndonesia. Masyarakatinternasional menyediakan dukungan teknis dan pendanaan, tetapi kepemimpinandan tanggungjawab keberhasilannya tetap berada pada para pemangkukepentingan nasional.
Kemitraan telah merumuskan rencana strategis yang baru berdasarkanpencapaian di tahun - tahun sebelumnya. Berdasarkan evaluasi tata pemerintahandan hasil dari pencapaian sebelumnya, Kemitraan memutuskan untuk memfokuskanpada 3 kelompok program, yaitu Tata Pemerintahan dalam Pelayanan Publik (PublicService Govemane - PSG), Tata Pemerintahan Demokratis (DemocraticGovemance - DEG), dan Tata Pemerintahan dalam sector Keamanan dan Peradilan(Security and Justice Governance - SJG).
Tujuan utama SJG adalah mengembangkan demokrasi, hak asasi manusia,kemudahan mengakses dan keberlanjutan dalam sektdr keamanan dan peradilanmelalui penguatan lembaga yang menerapkan prinsip transparansi, partisipatorisdan akuntabilitas.
95
Pembaruan sektor keamanan dan peradilan adalah salah satu agendapembaruan tata pemerintahan terpenting dan sangat sensitif bagi lndonesia.Prakarsa Kemitraan dalam mendukung tata pemerintahan keamanan dan peradilanuntuk periode 2007-2011 akan dilaksanakan oleh . kelompok program TataPemerintahan dalam Sektor Keamanan dan Peradilan. Program ini dilaksanakandalam kerjasama erat lintas pidang dengan bidang anti korupsi dan desentralisasi.Kelompok program ini memfokuskan pada lima bidang prioritas:
1. Tata pemerintahan dalam sistem peradilan pidana2. Tala pemerintahan dalam kepolisian3. Tata pemerintahan dalam kebijakan pertahanan dan penggunaan rniliter4. Tala pemerintahan dalam memerangi kejahatan lintas negara5. Tata pemerintahan dalam kebijakan dan tindakan Negara yang be/sifat
campur tangan dan mengontrol
96
DAFTAR PUSTAI(A
Gunakaya Widiada. Sejarah dan Konsepsi Pemasgarakatan. Armico.Jakarta. f988.
http: / /www.ditjenpas.go.id/index.php?option=com content&task=view&id=86&Itemid= I &limit= 1 &limitstart=28
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Indonesia. Peratttran Pemerintah Tentang Kerjasama Peng eleng g araanPembinaan dan Pembimbingan Warga BinaanPemasgarakatan. PP No 57 Tahun f 999.
Indonesla. Peraturan Pemerintah Tentang Sgarat dan Tata CaraPelaksantnan Hok W arg o Btwan Pernasg arakatatt. PP Nomor32 Tahun 1999.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan. LN No. 77Tahun 1995.TLN No. 3614.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pemasgarakatan. UU No. 12 LNNo. 1O8. Tahun 1995. TLN No. 4234.
Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan NomorM.O2.PR.O8.O3 Tahun 1999 tentang Balai PertimbanganPemasyarakatan Dan Tim Pengamat Pemasyarakatan
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RepublikIndonesia Nomor M.OI-PR.OI.Ol Tahun 2OO3 Tanggal 1O April2OO3 tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana TeknisPemasyarakatan
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia NomorM.Ol.KP.O1.O5 Tahun 1994 Tanggal 8 Pebruari 1994 tentangPola Penjenjangan Karier Pejabat PemasyarakatanDepartemen Kehakiman.
Kertanegara. Satochid. HukumPtrtana Kumpulan Kuiiah Bagian Satu.Balai Lektur Mahasiswa.
97
Kompas Cyber Media. Napi Sullt Bertwrap Pengobatan, LednkanKematian Bakal Terjadi. 1O April 2OO7.
Kompas. 27 Lembaga Pemnsgarakatan Bebas Perednran Uqrg, Kamis.19 Agustus 2OO4
Kompas. Lembag a Pemasg arakatan Tempat T}ansaks i. N arkobaTerbesar. 22 Maret 2OOB
Nasution. Adnan Buyung dan Patra M 7-en, htstrumen lntemnsi.onal PokokHak AsasiMam.rs,ir-. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. YLBHI.Kelompok Kerja Ake Arif. Jakarta 20O6.
Nitisemito. Alex S. Monajemen Personalia (Manqjemen Sumber DagaManusia). Jakarta : Ghalia Indonesia. 1996.
Notoatmodjo. Soekidjo. Pengetnbangan Sumber Daga Mamsin. Jakarta.Rineka Cipta. 2003.
Republika, 80 Persen N api Meninggql karena N arkoba. 1 4 April 2OO7 .
Standard Minimum RulesJor Treatment oJ Prisoners
Sujamto. Beberapa Pengeitian di Bidang PerEanoasan. Jakarta: GhaliaIndonesia. 1986.
Sulistiyani. Ambar Teguh dan Rosidah. Man4jetnen Sumber Daga Mqnusia(Konsep Teoi dnn Pengembangan dalam Konteks OrganlsasiPubLk). Yograkarta: Graha Ilmu. 2003.
Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor B. pS. O /. O I -9 Tahun I 988Itentang Berita Acara Penerimaan Tahanan.
Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E-PK.O2.O1-13O Tahun1987 tentang Permintaan Pas Photo Tahanan
Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E-PK.O2.OL-145 Tahun1987 tentang Permintaan Pas Photo Tahanan
Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E-PK.OS.O1-10 Tahun1987 tentang Administrasi Sidik Jari Napi/Tahanan Di Lapas/Rutan
98
\
Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan tentang Penertiban Dalam, PenyuluhanAgama Di LPILPAN Nomor E.PP.O3.lO-224 Tahun1984
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Kamus Besar Balusa Indaresia. ed. II. cet. 9. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikandan Kebudayaan.
Winardi. J . Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Org anis asi dan Man4j efftenJakarta. PT. Raja Grafindo: 2OO5
Wiriaatmadja.Tenne R. Pokok-Pokok usutan Penetitinn. Bandung: Unpad1991.
99