Menulis untuk telinga penyunting bambang bujono

32
MENULIS UNTUK TELINGA Buku "Menulis untuk Telinga: " ini, sebagaimana kata penyuntingnya -- Bambang Bujono, bukan sekadar terjemahan atau saduran, melainkan keduanya. Buku yang aslinya berjudul Writing Broadcast News -- Shorter, Sharper, Stronger karya Mervin Block ini dicetak dalam Bahasa Indonesia pada 2005 dan diterbitkan di Jakarta atas kerjasama KBR68H bekerjasama dengan Media Development Loan Fund (MDLF), yang kini berubah nama menjadi Media Development Investment Fund (MDIF) untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang minim referensi tentang jurnalisme penyiaran. Semoga pemuatan versi online (yang dimuat secara berseri) buku "Menulis untuk Telinga" ini berguna bagi Anda yang ingin belajar tentang jurnalisme penyiaran, terutama radio. salam, PortalKBR.com Pendahuluan Belajarlah dari Kesalahan Sebagai jurnalis, Anda tentu setuju bahwa menulis itu pekerjaan. Tetapi mungkin Anda tidak menyadari, pekerjaan tersebut bukan hanya dilakukan ketika sedang menulis. Pekerjaan ini dijalani dari sebelum dan sampai setelah Anda menulis. Sebelum, itulah ketika Anda baru menangkap atau mencetuskan gagasan dan hasil yang diinginkan. Setelah, ketika Anda menandai kekurangan dan kesalahan dalam naskah Anda tersebut, dan memikirkan cara memperbaikinya agar naskah itu lebih berbicara, mudah dipahami, mengesankan, karena itu patut dihargai. Buku ini berangkat dari setelah Anda menulis: mencatat dan merumuskan berbagai kesalahan dan yang pantas dianjurkan yang ditemukan dalam tulisan. Kemudian segala yang dicatat dan dirumuskan itu disusun sebagai pedoman menulis berita untuk radio ini. Beberapa rumusan mungkin sudah Anda ketahui. Beberapa yang lain bisa saja tidak Anda sadari bahwa Anda tidak mengetahuinya. Dan beberapa lagi mungkin tidak Anda pedulikan. Buku pedoman atau pegangan atau apa pun namanya ini, adalah panduan bagi penulis berita radio untuk membuat tulisan mereka --sebagaimana disebutkan pada subjudul buku ini -- lebih ringkas, lebih tajam, lebih kuat. Panduan ini hasil dari 20 tahun kerja di meja redaksi dan diperhalus di kelas-kelas perguruan tinggi. Karena itu bisa dikatakan panduan ini benar-benar bermanfaat, sama seperti yang dikatakan oleh iklan-iklan peranti rumah tangga itu: sederhana, dapat diandalkan, dan sudah teruji. Jadi, tak peduli seberapa berpengalamannya pun Anda, Anda akan menulis lebih baik kalau mengikuti panduan ini. Buku ini disusun setelah penulisnya memperoleh kebijakan

description

Ebook untuk jurnalis radio

Transcript of Menulis untuk telinga penyunting bambang bujono

MENULIS UNTUK TELINGA

Buku "Menulis untuk Telinga: " ini, sebagaimana kata penyuntingnya -- Bambang Bujono, bukan sekadar terjemahan atau saduran, melainkan keduanya.

Buku yang aslinya berjudul Writing Broadcast News -- Shorter, Sharper, Stronger karya Mervin Block ini dicetak dalam Bahasa Indonesia pada 2005 dan diterbitkan di Jakarta atas kerjasama KBR68H

bekerjasama dengan Media Development Loan Fund (MDLF), yang kini berubah nama menjadi Media Development Investment Fund (MDIF) untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang

minim referensi tentang jurnalisme penyiaran.

Semoga pemuatan versi online (yang dimuat secara berseri) buku "Menulis untuk Telinga" ini berguna bagi Anda yang ingin belajar tentang jurnalisme penyiaran, terutama radio.

salam,

PortalKBR.com

Pendahuluan

Belajarlah dari Kesalahan

Sebagai jurnalis, Anda tentu setuju bahwa menulis itu pekerjaan. Tetapi mungkin Anda tidak menyadari, pekerjaan tersebut bukan hanya dilakukan ketika sedang menulis. Pekerjaan ini dijalani dari sebelum dan sampai setelah Anda menulis. Sebelum, itulah ketika Anda baru menangkap atau mencetuskan gagasan dan hasil yang diinginkan. Setelah, ketika Anda menandai kekurangan dan kesalahan dalam naskah Anda tersebut, dan memikirkan cara memperbaikinya agar naskah itu lebih berbicara, mudah dipahami, mengesankan, karena itu patut dihargai.

Buku ini berangkat dari setelah Anda menulis: mencatat dan merumuskan berbagai kesalahan dan yang pantas dianjurkan yang ditemukan dalam tulisan. Kemudian segala yang dicatat dan dirumuskan itu disusun sebagai pedoman menulis berita untuk radio ini. Beberapa rumusan mungkin sudah Anda ketahui. Beberapa yang lain bisa saja tidak Anda

sadari bahwa Anda tidak mengetahuinya. Dan beberapa lagi mungkin tidak Anda pedulikan.

Buku pedoman atau pegangan atau apa pun namanya ini, adalah panduan bagi penulis berita radio untuk membuat tulisan mereka --sebagaimana disebutkan pada subjudul buku ini -- lebih ringkas, lebih tajam, lebih kuat.

Panduan ini hasil dari 20 tahun kerja di meja redaksi dan diperhalus di kelas-kelas perguruan tinggi. Karena itu bisa dikatakan panduan ini benar-benar bermanfaat, sama seperti yang dikatakan oleh iklan-iklan peranti rumah tangga itu: sederhana, dapat diandalkan, dan sudah teruji. Jadi, tak peduli seberapa berpengalamannya pun Anda, Anda akan menulis lebih baik kalau mengikuti panduan ini. Buku ini disusun setelah penulisnya memperoleh kebijakan

mengenai penulisan berita dari prosa lama, dan menemukan beberapa pengetahuan dari pengalaman menulisnya hari demi hari.

Menulis untuk radio di sini mencakup dari menulis berita sangat pendek sampai menulis laporan utama yang panjang, dari naskah yang dibacakan oleh pembawa acara sampai

laporan reporter sebagai bahan.

Di samping belajar tentang yang harus dilakukan, seorang penulis juga belajar tentang yang harus tidak dilakukan. Yang harus dilakukan tentulah mengacu pada hal-hal yang

dianggap baik; sedangkan yang harus tidak dilakukan ditemukan dari kesalahan-kesalahan.

Berdasarkan pengalaman, rupanya lebih bermanfaat dan efisien belajar dari kesalahan, karena seringkali kesalahan merupakan guru terbaik. Semakin cepat Anda membuat banyak kesalahan pertama, semakin cepat Anda dapat mengoreksinya, dan semakin lekas Anda belajar menulis berita untuk radio yang lebih ringkas, lebih tajam, dan lebih kuat. Sebagaimana musisi yang sukses menampilkan pesonanya karena mengetahui not not yang tidak akan dimainkannya, penulis untuk

radio akan menghasilkan tulisan yang informatif dan membuat pendengar betah

mendengarkannya karena penulis itu tahu apa saja yang harus dihindarinya.

I. Sembilan Belas Kesalahan Besar

Daftar 19 ―jangan‖ tidak disusun berdasarkan derajat kesalahannya— yang pertama tak berarti kesalahan yang lebih berat atau lebih ringan daripada yang kemudian. Yang perlu diingat,

naskah Anda akan merana dan terlupakan akibat kesalahan Anda.

1. Jangan memulai tulisan dengan kata-kata “seperti diharapkan” atau “seperti diperkirakan” dan sejenisnya.

Membuka berita dengan kalimat yang mengandung ―seperti diharapkan‖ atau ―seperti diperkirakan‖ hanya akan menimbulkan pertanyaan ―Siapa yang mengharapkan atau memperkirakan?‖ Kalimat pembuka seperti itu menimbulkan keraguan pada pendengar. Berita disiarkan karena memang mengandung informasi baru atau perkembangan baru dari berita yang masih berkembang; karena itu dengan sendirinya berita tersebut tidak diharapkan, atau tidak diperkirakan.

"Seperti diperkirakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempertahankan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI meski DPR sudah menyetujui pengunduran diri Jenderal itu."

Seperti diperkirakan oleh siapa? Tidak semua pendengar Anda memperkirakan demikian. Jenderal Endriartono mengundurkan diri dekat sebelum Bambang Yudhoyono memenangkan pemilihan presiden. Jenderal penggantinya, yang dipilih oleh Presiden Megawati Sukarnoputri yang masih aktif waktu itu, sudah disetujui oleh DPR tapi belum sempat dilantik karena keburu terpilih presiden baru. Jadi siapa memperkirakan Jenderal Endriartono diangkat kembali? Mungkin satu-dua analis politik dan militer memperkirakan begitu, tapi mereka tidak mewakili pendapat umum. Dengan mencantumkan

―seperti diperkirakan‖, seolah-olah hal itu sudah menjadi pendapat umum. Seandainya masyarakat pada umumnya sudah memperkirakakan hal itu, masalah berpindah dari soal kalimat ke kriteria berita: kalau memang sudah diketahui umum, kenapa pula diberitakan? Bukankah berita ini basi?

Ada beberapa versi ―seperti diperkirakan‖ atau ―seperti diharapkan‖. Antara lain, ―Bukan hal yang tidak terduga kalau akhirnya ia menang ...‖, dan ―Setelah lama menunggu akhirnya pegawai honorer itu diangkat juga…‖. Sebagai kalimat awal sebuah berita ―seperti yang diharapkan‖ dan sejenisnya membuat pendengar tak langsung menangkap informasi

yang penting: ―ia menang‖ dan ―pegawai itu diangkat‖.

Namun dalam berita tertentu ―seperti diharapkan‖ atau ―seperti diperkirakan‖ bisa dipakai. Yakni bila yang ―mengharapkan‖ itu jelas disebutkan. Misalnya, ―Seperti diperkirakan oleh pelatih kita, tim Thomas Cup Indonesia bertemu dengan tim Cina di babak final, dan kalah.‖ Tapi

perlu dicatat, tekanan berita ini bukan pada kekalahan tim Indonesia, melainkan pada prediksi pelatih. Anda membuat pendengar menunggu informasi lebih lanjut tentang kenapa pelatih tersebut punya prediksi seperti itu. Tapi bila ternyata isi berita adalah soal kekalahan Indonesia, sebaiknya ―Seperti diperkirakan oleh pelatih kita‖ dihilangkan saja.

2. Jangan memulai suatu berita dengan “Secara mengejutkan”.

Terdengar dari radio pada suatu hari berita ini:

- Secara mengejutkan Jakarta membatalkan rencana pembelian helikopter dari Rusia.

- Perkembangan yang mencengangkan terjadi pada kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara.

Sebagaimana dalam hal ―seperti diperkirakan‖, dua kalimat ini langsung mengundang pertanyaan: yang mengejutkan itu yang seperti apa? Mana pula perkembangan yang

mencengangkan dalam kasus Buyat?

Biasanya ―secara mengejutkan‖ dan sejenisnya digunakan oleh wartawan untuk menyatakan bahwa berita yang ditulisnya ini penting. Masalahnya, kalimat tersebut tidak atau

belum memberikan cukup informasi bahwa memang ada yang mengejutkan atau mencengangkan. Anda akan lebih membuat pendengar tertarik bila kalimat awal langsung menceritakan yang mengejutkan atau mencengangkan itu tanpa memakai kata ―mengejutkan‖ dan ―mencengangkan‖.

Memang, biasanya pada kalimat kedua dan seterusnya diceritakanlah hal yang mengejutkan itu. Tapi untuk apa menunda informasi yang penting tersebut dengan kalimat yang bisa dihilangkan tanpa mengurangi isi berita? Langsung menceritakan yang penting akan lebih memperkuat tulisan Anda.

3. Jangan memulai cerita dengan mengatakan seseorang “membuat berita,” atau

“diberitakan,” atau “mendominasi berita.”

Sering kita dengar berita seperti ini:

- Gus Dur kembali membuat berita.

- Gajah-gajah liar di Lampung diberitakan menerobos ladang ...

- Bencana tsunami mendominasi berita selama sebulan terakhir ini.

Subyek yang disebutkan dalam suatu warta berita tentulah ―pembuat‖ berita. Jadi penulis yang mengatakan bahwa seseorang atau sesuatu ―membuat berita,‖ hanya membuang-buang waktu — bagi penulis itu sendiri dan pendengar. Lebih dari itu pemakaian kata-kata tersebut mengurangi kekuatan beritanya sendiri karena kalimat tersebut mengesankan yang

dibacakan oleh penyiar bukan berita, melainkan berita tentang berita. Lebih ringkas dan tajam bila penulis langsung menceritakan apa yang dilakukan Gus Dur, kenapa gajah-gajah

masuk ladang, dan apa saja yang terjadi sesudah bencana tsunami?

Bentuk lain dari ―membuat berita‖ ini misalnya, ―Hari ini pemain badminton itu membuat sejarah‖.

Berita tentang seorang atlet yang menjadi juara dunia merupakan peristiwa yang berharga diberitakan. Jadi peristiwanya itu sendirilah yang perlu langsung diceritakan, bukannya komentar kita bahwa atlet itu membuat sejarah. Pendengar radio perlu berita yang

ringkas, tajam, dan langsung.

Tidakkah yang layak berita itu yang ―tidak biasa‖? Ingat soal anjing menggigit orang (ini biasa)

dan orang menggigit anjing (ini tidak biasa).

4. Jangan memulai cerita dengan mengatakan, “Suatu

perkembangan baru terjadi tadi malam.”

Setiap berita diharapkan baru, berdasarkan perkembangan terakhir. Beberapa penulis mencoba lebih meyakinkan soal ―berita baru‖ itu dengan mengatakan, ―Suatu perkembangan baru yang penting malam ini …‖ Atau, ―Kisah yang akan Anda dengar berikut ini cerita baru‖.

Penulis lain mengawali beritanya dengan ―Berita utama kami malam ini adalah …‖

Baru atau tak baru, utama atau bukan biarlah pendengar yang menilai. Beritakan saja peristiwanya; bila itu peristiwa baru, ya baru; bila itu berita pertama, ya utama. Bila ternyata

berita yang Anda sampaikan tidak mengandung hal baru, perlu ditinjau kembali kriteria

peliputan dan layak berita di radio Anda.

5. Jangan menyebutkan bahwa sebuah berita sebagai berita “baik,” atau “buruk,” “menarik,” atau “yang mengganggu.”

Sebuah siaran radio tak mungkin memuaskan seluruh pendengar. Yang baik bagi sebagian orang, mungkin buruk bagi sebagian yang lain. Yang dianggap baik bagi orang kota mungkin buruk bagi warga dusun. Lagi pula yang baik pada awalnya bisa buruk di akhirnya. ―Ini berita baik, Bank Indonesia berhasil menaikkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika,‖ kata sebuah radio. Benarkah semua orang menilai begitu? Bagi pedagang sayur dan hasil laut dari Medan yang menjual dagangannya di Singapura, ini berita buruk: pendapatan mereka dalam rupiah menurun.

Lebih baik langsung saja beritakan peristiwa atau masalahnya, tanpa menilai baik-buruknya di awal berita. Tugas Anda bukan menulis resensi tentang berita. Kalau itu yang dilakukan,

sama saja Anda menyajikan berita basi: yang aktual bukan beritanya, melainkan resensinya.

Tentu, ada perkecualian, bila penyebutan baik atau buruk itu baik atau buruk untuk pihak yang pasti. Misalnya, ―Hari ini Gubernur Jakarta mempunyai berita baik untuk karyawan gubernuran -- gaji mereka dinaikkan; dan berita buruk bagi pedagang kakilima -- mereka tak dibolehkan berdagang di trotoar jalan mana pun.‖ Masih dalam lingkup baik dan buruk ini

adalah kalimat berita yang menyebutkan sebuah berita sebagai ―tidak biasa.‖

6. Jangan memulai berita dengan anak kalimat, jangan membuat kalimat beranak-cucu.

Anak kalimat membuat kalimat lebih panjang, dan membuat pendengar harus lebih mencermatinya untuk memahaminya. Pada umumnya pendengar mendengarkan radio sambil mengerjakan hal-hal lain. Begitu kalimat berita itu ―meminta‖ pendengar untuk lebih

berpikir karena kalimat itu susah ditangkap sambil lalu, pendengar akan mengabaikan berita

itu.

Selain itu, kalimat yang diawali oleh anak kalimat lebih berpeluang salah. Misalnya kalimat

berita yang terdengar di suatu hari ini:

Saudara, bila kita memandang Jakarta saat ini, bayangan kota metropolitan yang berudara bersih,

masih teramat jauh dari batasan ideal.

Kalimat ini membingungkan: kota berudara bersih dikatakan masih teramat jauh dari batasan ideal. Baru dari transkripsi beritanya (yang memungkinkan kita membaca ulang kalimat ini) kita bisa memilah-milah bahwa ―kota metropolitan yang berudara bersih‖ sebenarnya anak kalimat keterangan untuk ―batasan ideal‖ itu. Jadi, kenapa tak berpedoman pada kalimat tunggal seperti ini:

Saudara, Jakarta saat ini masih teramat jauh dari batasan kota metropolitan yang ideal.

Untuk membuat kalimat berita yang jelas dan tidak kabur, gunakan susunan kalimat dasar: subyek-predikat–obyek. Susunan ini memudahkan pendengar memahami berita Anda. Jika Anda meletakkan anak kalimat setelah subyek, Anda memisahkan subyek dan predikat;

semakin jauh jarak subyek dari predikat, pendengar semakin sulit mengingat subyeknya, sementara itu penyiar terus menyampaikan kalimat demi kalimat. Pendengar akan mengikhlaskan berita ―sulit‖ tersebut. Apalagi bila Anda membuat kalimat beranak-cucu, kalimat seperti itu makin berpotensi membingungkan, bahkan pendengar bisa salah menangkap maksud Anda.

Pengakuan ini disampaikan Ayu F. Shahab, pengacara bekas menteri agama Said Agil Husein Al

Munawar, yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi Dana Abadi Umat.

Siapa yang menjadi tersangka? Menurut kalimat itu bisa Ayu Shahab, bisa Said Agil. Ini membingungkan. Membaca kalimat pembuka ini, mestinya berita yang disampaikan tentang pengakuan sang pengacara. Karena itu keterangan tentang Said Agil Husein adalah tersangka dalam kasus ini, sebaiknya dicantumkan belakangan saja. Namun bila isi berita tentang Said Agil Husein sebagai tersangka, ―pengakuan sang pengacara‖ yang sebaiknya

ditaruh di belakang.

Jadi, para penulislah yang seharusnya memikul beban itu: menyusun kalimat sederhana agar pendengar mudah dan tidak keliru memahami informasi yang disampaikan. Jangan memindahkan beban itu kepada pendengar—yang tak punya kesempatan mengingat-ingat kata-kata yang terdahulu, atau menanyakan ke studio apa sebenarnya

maksud penulisnya. Pikirkanlah pendengar selagi menulis, dan menulislah untuk mereka.

7. Jangan memulai cerita dengan suatu kutipan.

Pendengar tidak dapat melihat tanda petik. Mereka tidak bisa melihat naskah Anda. Karena itu bila penyiar memulai dengan suatu kutipan, pendengar segera mengasumsikan kata-kata tersebut ucapan pembaca berita itu sendiri atau penulis beritanya. Bila memang diperlukan kutipan karena suatu alasan —kutipan itu merupakan pendapat yang kontroversial, misalnya— cara terbaik agar pendengar tak salah tangkap ialah dengan menyebutkan sumbernya terlebih dahulu.

Misalkan berita yang diawali kutipan ini:

―Demi kesejahteraan yang adil, manajemen penggajian di organisasi militer mesti diubah, agar kesejahteraan prajurit dan jenderal masuk akal.‖ Itulah pendapat seorang ekonom dalam

diskusi di lembaga penelitian sipil semalam.‖

Mula-mula pendengar mungkin mengira ini sebuah editorial alias sikap redaksi radio tersebut mengenai kesenjangan gaji di militer. Baru setelah beberapa kalimat, pendengar mafhum, ini berita tentang sebuah diskusi penting. Lalu apa soalnya? Tidak ada; tapi coba

bandingkan bila berita itu ditulis seperti ini:

Seorang ekonom, dalam sebuah diskusi di lembaga penelitian sipil semalam mengatakan, manajemen penggajian di organisasi

militer mesti diubah. Itu demi rasa keadilan, agar perbandingan kesejahteraan antara prajurit dan

jenderal masuk akal, katanya.

Berita kedua lebih jelas dan mudah ditangkap oleh pendengar karena sesuai dengan cara kita bercakap-cakap sehari-hari. Kita mengatakan, ―Pak RT meminta warga untuk sekali sepekan menguras bak mandi untuk mencegah nyamuk demam berdarah berkembang biak.‖ Terasa janggal ucapan yang begini dalam sebuah percakapan: ―Untuk mencegah nyamuk demam berdarah berkembang biak, ‗kuraslah bak mandi sekali sepekan‘. Begitulah

Pak RT meminta warganya.‖

Mengawali berita dengan kutipan tak menjadi masalah bila disebutkan sumbernya terlebih dahulu. Namun bila Anda mementingkan pendengar (dan untuk apa berita ditulis bila

bukan untuk pendengar), buang jauh-jauh gagasan menggunakan kutipan di awal berita.

8. Jangan memulai cerita dengan “Inilah ....”, “Adalah ...”, atau “Ada”.

Kata-kata tersebut seringkali tak berguna, dan melemahkan kalimat. Kekuatan kalimat terutama terletak pada kata kerja aksi. Kalimat memperoleh kelincahan dan semangatnya dari kata kerja aksi seperti ―tembak‖ atau ―pukul‖ atau ―ledak‖ atau ratusan kata lainnya yang mengekspresikan aksi. Memang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ―adalah‖ dan

―ada‖ tergolong kata kerja, namun bukan kata kerja aksi. Kata-kata ini lebih sebagai kata kerja penghubung, bersifat pasif, dan seringkali bisa dihilangkan tanpa mengubah arti kalimat.

Adalah kemarin batas akhir amnesti bagi para TKI, Tenaga Kerja Indonesia, tak berdokumen yang berada di Malaysia.

Ada sekitar 71 rumah, mereka tertimbun sekitar 2,5 juta ton sampah dengan ketinggian 20 meter

yang terjadi pada pukul 2 dini hari kemarin.

Terasa lebih kuat bila kalimat tersebut tanpa ―adalah‖: ―Kemarin batas akhir amnesti bagi TKI ...‖

Demikian juga dengan menghilangkan ―ada‖ dalam kalimat kedua, kalimat ini jadi lebih kuat (catatan: tentu saja kalimat kedua ini perlu disunting: kata ganti ―mereka‖ bukan untuk benda, jadi hilangkan saja; angka 71 lebih baik dibulatkan menjadi 70, dan perlu segera diinformasikan lokasi peristiwa). ―Sekitar 70 rumah tertimbun

kira-kira 2,5 juta ton sampah setinggi 20-an meter. Ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten

Bandung pada pukul 2 dini hari kemarin.‖

9. Jangan memulai cerita dengan menyebutkan nama orang yang bukan nama besar atau

nama tidak populer.

Nama membuat berita, tapi bila itu nama besar yang dikenal. Seseorang tak dikenal menjadi berita biasanya karena peristiwa yang melibatkan orang itu merupakan peristiwa penting. Berita tanpa nama besar sebaiknya dimulai dengan peristiwa yang penting itu, penyebutan nama boleh kemudian. Mendahulukan nama yang tak dikenal dalam sebuah berita tragis mengurangi ketragisan beritanya.

Peristiwa seorang siswa SD yang menggantung diri karena keluarganya tak mampu membiayai sekolahnya di negara yang menerapkan wajib belajar, sangat layak berita. Tragedi ini jarang, dan nilai misi beritanya besar. Biarpun begitu, sebaiknya penyebutan nama siswa ini

bukan di pembukaan agar ketragisan itu lebih kuat tersampaikan.

Bahkan nama besar pun kadang masih perlu ditopang dengan atribut yang berkaitan dengan kebesaran namanya agar meyakinkan. Misalnya, Bekas Ketua MPR Amien Rais, Pelukis Affandi, Ekonom Kwik Kian Gie, dan sebagainya. Dengan demikian awal berita lebih

jelas, menghindari pendengar bertanya-tanya: Amien Rais yang mana, Affandi yang mana?

Perlu pula diingat, biarpun berita Anda menyangkut nama besar, nama ini tak perlu diulang-ulang sepanjang berita. Buatlah pendengar memusatkan perhatian pada beritanya.

10. Jangan memulai cerita dengan kata ganti orang.

Cobalah Anda menjadi pendengar, dan menyimak berita berikut:

Dialah pengacara yang benar-benar berupaya menegakkan hukum dan keadilan. Ia tetap bersemangat meski yang dibelanya dalam posisi sama sekali tak menang: tokoh PKI yang menjadi musuh resmi pemerintah dan dimusuhi sebagian masyarakat. Yap Thiam Hien,

pantang menyerah...

Siapakah "dia"? Pendengar -- yang tak mungkin menyimak kembali kata-kata yang sudah lewat --

mungkin bingung; "dia" bisa pengacara itu, bisa juga tokoh PKI yang dibelanya. Juga, Yap Thiam Hien bisa pengacara itu, bisa juga tokoh PKI itu. Berbeda bila ini berita surat kabar; selain pembaca bisa mengulang baca, banyak unsur yang membantu menjelaskan agar pembaca lebih mudah dan cepat memahami beritanya: ada judul, ada subjudul, foto dan keterangan foto—hal-hal yang mustahil ada di radio. Ini sebabnya berita radio diharuskan disampaikan dalam kalimat sederhana: subyek-predikat-obyek. Penggunaan kata ganti orang di awal kalimat hanya akan membuat kalimat itu tak mudah dan tak cepat dipahami.

Pendengar ingin mendengarkan berita, bukan mau bingung.

11. Jangan menulis kalimat pertama dengan menggunakan kata “kemarin.”

Berita radio bukan sejenis arsip, atau kliping di perpustakaan. Para pendengar menginginkan informasi yang mutakhir. Kalimat pertama sebuah berita radio yang menyatakan bahwa peristiwanya terjadi kemarin, bakal membuat pendengar mengernyitkan dahi. Peristiwa kemarin untuk berita radio, usang sudah. Jika Anda harus membuka cerita yang mengisahkan kejadian kemarin, cobalah cari sudut pandang atau fokus yang memungkinkan Anda memakai kata ―hari ini.‖

Adalah kemarin batas akhir amnesti bagi para TKI Tenaga Kerja Indonesia tak berdokumen yang

berada di Malaysia.

Kalimat ini sudah dipakai sebagai contoh kemubaziran penggunaan kata ―adalah‖ (lihat nomor 8).

Secara keseluruhan, kalimat pembuka ini memberi kesan berita yang disampaikan sudah ketinggalan karena memberitakan soal kemarin. Kita mesti melatih keterampilan untuk menulis kalimat pertama tanpa menghubungkan dengan kemarin. Untuk berita radio, kemarin sudah lama berlalu. Sebaiknya kalimat pertama ini diganti dengan yang terjadi setelah batas akhir amnesti lewat. Misalnya, ternyata masih sekitar 750.000 TKI ilegal tinggal di Malaysia. Mereka sengaja bertahan dan menempuh risiko bukannya tanpa alasan: gaji

belum dibayarkan.

Contoh lain:

Perundingan keempat antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, berakhir kemarin. Delegasi Gerakan Aceh Merdeka menolak tawaran otonomi khusus dari

pemerintah Indonesia.

Kalimat kedua jelas lebih layak dinaikkan menjadi kalimat pertama: langsung memberikan

informasi hasil perundingan keempat tersebut.

12. Jangan membuka berita dengan kalimat tanya.

Bagaimana kesan pertama Anda mendengar kalimat pembuka sebuah berita ini?

Apa yang pantas dilakukan seseorang terhadap saudara yang tengah menderita? Membantu dengan apa yang ia bisa lakukan.

Bahkan setelah jawaban dibacakan, serasa ini bukan awal dari sebuah berita radio, melainkan lebih mirip kalimat iklan. Bandingkan misalnya dengan iklan ini: ―Anda terserang flu? Minum saja ....‖ Atau, kalimat itu terdengar seperti dalam acara quiz. Kalimat pertanyaan memang mudah dibuat, tapi jarang memikat. Mungkin peristiwa yang sangat jarang terjadi, cenderung ajaib, bisa diberitakan dengan kalimat tanya sebagai pembuka: ―Bagaimana mungkin anak tiga tahun itu terseret gelombang tsunami, dan ditemukan terapung-apung di lauttak kurang suatu apa dua hari kemudian?‖ Namun selalulah ingat bahwa

pendengar tak ingin ditanya, mereka ingin mendengar berita.

13. Jangan memulai cerita dengan kalimat negatif, yang mengandung kata “tidak”, atau

“bukan”.

Kalimat positif lebih kuat daripada kalimat negatif. Bandingkan kata-kata ini: ―tidak murah–mahal‖, ―tidak jadi–batal‖, ―tidak pintar bodoh‖, ―bukan lurus–belok‖, ―bukan goreng rebus‖, dan lain-lain. Kalimat positif juga berguna untuk mengurangi kemungkinan penyiar alpa, tak membaca kata

―tidak‖ atau ―bukan‖ yang berakibat kalimat jadi berbeda artinya. Daripada mengatakan,

―Dampak naiknya harga BBM pada inflasi ternyata tidak besar,‖ lebih baik, ―Dampak naiknya harga BBM pada inflasi ternyata kecil.‖ Atau, ―Tak ada yang tak mungkin dalam politik,‖ jauh

lebih mudah dan cepat ditangkap pendengar kalau diubah: ―Segalanya mungkin dalam politik.‖

14. Jangan memulai berita dengan kata “lagi”, atau “sekali lagi”, atau kata lain yang

maksudnya menceritakan bahwa sebuah peristiwa yang sama terulang.

Jika Anda memulai berita dengan ―lagi‖ atau ―kembali‖— apa pun jadinya berita itu— terkesan bahwa ini berita yang sama dengan sebelumnya, tanpa perkembangan baru.

Pendengar menangkapnya sebagai berita ulangan.

Penembakan kembali terjadi di Kota Ambon semalam. Dua orang tewas dalam peristiwa itu.

Tahun ini Pemerintah kembali berjanji akan menyediakan dana pelayanan kesehatan dan

pendidikan gratis untuk keluarga miskin.

Lagi, Indonesia termasuk empat besar dalam hal negara terkorup menurut survei International

Transparency 2004.

Saudara, hari ini Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK, kembali memeriksa sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum. Kali ini, anggota KPU yang diperiksa adalah Anas Urbaningrum ...

Kelanjutan sebuah berita, atau terjadinya suatu peristiwa yang hampir sama dengan sebelumnya tentu saja tetap layak diliput. Masalahnya, cara menyampaikannya. Lebih baik bukan berlanjutnya atau terulangnya peristiwa tersebut yang ditekankan, melainkan fakta barunya. ―Dua orang tewas di Ambon semalam. Ini korban penembakan keseratus satu sejak dua tahun lalu ...‖ Kalimat kedua, ―Pemerintah berjanji menyediakan dana pelayanan kesehatan

dan pendidikan gratis untuk keluarga miskin. Ini janji pemerintah yang kesekian kali, dan

belum pernah terwujud.‖ Contoh yang ketiga, ―Survei International Tranparency menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ketiga tahun 2004 ini. Survei sebelumnya, Indonesia di peringkat kedua.‖ Terakhir, ―Anas Urbaningrum, mantan ketua HMI yang dikenal jujur,

diperiksa oleh KPK sehubungan dugaan korupsi di KPU.‖

Banyak penulis memakai ―lagi‖, ―sekali lagi‖, atau ―kembali‖ karena memang itulah yang terjadi, sama dengan penggunaan ―kemarin‖ karena peristiwanya memang terjadi sehari sebelumnya (lihat nomor 11). Sebaiknya diupayakan mencari fakta barunya (seperti telah dicontohkan) atau mengambil angle lain agar berita tersebut tetap segar dan terasa

sebagai berita ―hari ini.‖ Dalam hal KPK memeriksa anggota KPU itu misalnya, bisa saja angle tentang apa dan siapa Anas Urbaningrum, tokoh muda yang sejauh ini dikenal ―bersih‖.

15. Jangan meringkas terlalu banyak informasi ke dalam satu kalimat.

Terlalu banyak fakta, terlalu banyak nama, terlalu banyak angka, terlalu banyak kata, terlalu banyak bagi pendengar. Mereka tidak dapat memproses fakta yang terus mengalir. Tak peduli begitu kompleks peristiwanya, pekerjaan kita menyajikan berita kepada pendengar sedemikian rupa hingga berita itu mudah dipahami. Kuncinya penulis harus memahami pokok masalah. Kemudian ia menyeleksi segala data dan fakta yang diperlukan

untuk mendukung pokok masalah tadi.

Standar Nilai Ujian Akhir Nasional, UAN, yang sekarang diubah menjadi Ujian Nasional, UN, naik dari 4,01, menjadi 4,25, ini menakutkan para siswa karena terbukti berdasarkan data UAN pada 2003 jumlah siswa yang tidak lulus UAN melonjak gila-gilaan karena ada satu

daerah, siswa yang tidak lulus UAN lebih dari 10 ribu orang.

Kalimat ini panjang, malah sangat panjang, dan susah dipahami karena penulisnya menumpuk banyak informasi. Ada perubahan nama ujian, ada angka-angka. Substansi kalimat ini, ketakutan para siswa karena standar nilai ujian dinaikkan. Hal yang pokok inilah yang

perlu diutamakan, dijadikan kalimat pertama. Informasi selebihnya silakan ditaruh pada

kalimat sesudahnya, bilamana perlu.

Penaikan standar nilai Ujian Nasional dari 4,01 menjadi 4,25 menakutkan para siswa. Tahun lalu, standar nilai masih 4,01, toh banyak siswa tak lulus. Bahkan di satu wilayah lebih dari

10.000 siswa gagal dalam ujian, yang waktu itu masih disebut Ujian Akhir Nasional.

16. Jangan menggunakan gaya penulisan berita surat kabar.

Belajarlah dari ―kesalahan‖ berita surat kabar. Mendengarkan alinea pertama berita di surat kabar yang dibacakan oleh rekan Anda, akan sangat berguna. Cara ini efektif untuk mengetahui apa saja yang tak layak ditiru dari surat kabar untuk penulisan berita radio. Kalimat pertama berita surat kabar sebenarnya bukan bagian pertama dari keseluruhan berita. Sebelum pembaca membaca kalimat pertama itu ia sudah membaca judul, subjudul, mungkin sudah pula memperhatikan foto dan membaca keterangan foto. Penulis berita surat kabar memperhitungkan itu semua, dan cara seperti ini tak cocok untuk penulisan berita radio.

Berikut sebuah contoh alinea pertama berita dari sebuah kantor berita yang oleh buku The Art of Editing (Brian S. Brooks dan Jack Z. Sissors, Allyn & Bacon, cetakan ke-7, 2001)

dianggap sebagai salah satu intro terbaik untuk surat kabar:

Ombak satu setengah meter menghajar wajahnya, dinginnya air. Danau Marion membekukan tubuhnya, dan sejenak terpikir oleh Lynne Heath untuk pasrah dan tenggelam. Tapi wataknya yang keras kepala segera menguasai dirinya dan ia pun berjuang untuk mencapai

pantai.

Seandainya berita ini dibacakan di radio, akan terkesan seperti sebuah awal cerita pendek, bukan berita. Dua kalimat itu tak menceritakan pentingnya kisah Lynn Heath di Danau Marion. Tapi tak demikian halnya dengan pembaca yang menyimak berita tersebut di surat kabar. Sebelum membaca reportase tentang Heath yang hampir terseret ombak itu, mungkin pembaca sudah melirik judul berita, subjudul, dan foto—hal-hal yang mendukung pentingnya berita ini. Mungkin Lynne Heath nama yang populer, atau Danau Marion waktu itu sedang menjadi berita karena sesuatu hal. Yang seperti ini tak cocok untuk berita radio.

17. Jangan melupakan atau menganggap tidak penting pendengar.

Cara terbaik untuk meraih sebanyak mungkin pendengar, menulislah dengan membayangkan seolah-olah Anda sedang berbicara dengan pendengar. Ingatlah selalu bahwa pendengar itu tak mempunyai kesempatan untuk berbicara atau bertanya kepada Anda. Jangan membuat pendengar bingung karena tak mengerti yang mereka dengarkan; jangan membuat pendengar bertanya-tanya; jangan membuat mereka harus berpikir untuk mencernak siaran berita Anda. Andalah yang seharusnya jungkir balik dan berpikir

keras menyusun berita yang mudah dimengerti pendengar.

Menulis itu kerja keras; orang yang mengatakan ―menulis itu mudah‖, kalau ia bukan menipu, ia orang yang belum pernah mencoba atau tidak tahu bagaimana melakukannya dengan baik. Menceritakan berita yang kompleks dalam waktu 20 detik merupakan satu tantangan bagi setiap penulis radio; menceritakannya dengan jelas dan mudah didengar jauh lebih menantang. Ingatlah kata-kata Konfucius, ―Tulisan sambil lalu susah didengar, tulisan yang susah-payah mudah didengar.‖ Sambil lalu, maksudnya tulisan begitu saja

ditulis tanpa penulisnya

memikirkan khalayaknya; sedangkan tulisan yang dibuat dengan susah payah, merupakan hasil

kerja keras penulisnya yang ingin agar khalayak mudah dan cepat memahami tulisannya.

18. Jangan menakut-nakuti pendengar, jangan memerintah pendengar.

Coba dengarkan berita ini:

- Proses pembelian helikopter Rusia itu memang sangat ruwet, melibatkan banyak orang, dan membingungkan siapa saja.

- Silakan menyimak berita ini dengan baik, singkirkan apa saja yang membuat Anda tak bisa

berkonsentrasi untuk mendengarkan kisah penting ini.

Mendengar berita pertama, mungkin pendengar segera memutuskan untuk tak ikut terlibat dalam keruwetan. Untuk berita kedua, pendengar mungkin tersinggung: apa hak penyiar memerintah dia? Jadi, sekali lagi, langsung saja sampaikan isi berita yang penting

itu, bukan yang lain-lain.

19. Jangan membuat kesalahan fakta.

Kesalahan paling telak di antara semuanya: kesalahan fakta. Ini bisa berakibat pada kredibilitas radio Anda. Karena itu selalu pertimbangkan setiap kata dan angka dan istilah yang Anda tulis: sudahkah benar ini semua. Siaplah selalu dengan kamus, kliping, dan mental yang yakin

bahwa malu bertanya salah faktanya.

Setelah Anda membaca ―19 Kesalahan Besar‖ ini, cobalah mengingat-ingatnya selagi menulis naskah Anda berikutnya. Mudah-mudahan naskah Anda tersebut jauh lebih bisa Anda banggakan daripada naskah-naskah sebelumnya. Tapi inilah pedoman terpenting: jangan terintimidasi oleh pedoman atau pegangan cara menulis apa pun. Gunakan pedoman itu selagi Anda anggap penting, tinggalkan atau langgarlah satu-dua atau seluruhnya bila Anda merasa harus begitu—sepanjang Anda yakin bahwa pelanggaran ini untuk menghasilkan tulisan

yang baik buat pendengar.

Menulis bukanlah sejenis ilmu eksakta: memiliki banyak rumus yang pasti. Menulis adalah sebuah kebebasan, dan kebebasan akan membuahkan hasil yang baik asal Anda tahu kapan mengikuti pedoman, dan kapan harus meninggalkannya. Walau begitu, melanggar

suatu pedoman tidaklah bijaksana, kecuali Anda sudah paham menyiasatinya.

II. Lima Belas Kesalahan Ringan

Selain ―19 kesalahan besar‖ buku Writing Broadcast News Shorter, Sharper, Stronger pun mendaftar 15 kesalahan ringan. Biar bukan kesalahan besar, kata buku itu, tetap saja kesalahan namanya. Mungkin di antara ke-15 kesalahan ringan ini antara yang satu dan

yang lain mirip; yang berbeda pendekatannya.

1. Jangan memulai berita dengan kata-kata yang dikarang-karang atau dibuat-buat.

Itulah kata-kata yang tak langsung berkaitan dengan berita yang hendak disampaikan. Mungkin penulisnya berniat menarik perhatian, hasilnya kemubaziran. Di antaranya, ―Pada suatu ketika …‖, ―Pada akhirnya itu harus terjadi.‖, ―Secara resmi Presiden membuka pameran ….‖, ―Percaya atau tidak…‖, ―Hari ini pasar modal berjalan seperti biasa …‖, ―Setelah agak lama tak terdengar …‖, ―Inilah berita hari ini.‖ Kata-kata yang dicetak miring itu tak berfungsi,

mengganggu perhatian.

2. Jangan pula mengakhiri cerita dengan kata-kata kosong tanpa makna.

Yang paling sering terdengar: ―Selanjutnya, mampukah polisi mengungkapkan siapa pelakunya?‖ Atau, ―Tunggu saja perkembangan berikutnya‖, dan ―Jumlah korban kemungkinan akan terus bertambah.‖

Contoh lain: ―Waktulah yang akan berbicara‖, ―Kini bola di tangan tim pemberantasan korupsi…‖, ―Peristiwa seutuhnya belum dapat dikatakan …‖ , ―Tidak seorang pun tahu

siapa sebenarnya pembunuh itu …‖ ―Belum ada hasil akhir yang bisa dilaporkan …‖

3. Jangan menggunakan kata-kata seperti yang lazim digunakan para sekretaris dalam

surat-menyurat.

Para sekretaris yang baik biasanya sudah menyimpan sejumlah kata dan rangkaian kata tertentu yang siap pakai.Misalnya, ―Menjawab surat Anda‖ atau ―Salam dan hormat kami.‖

Para notaris, pengacara, jaksa, hakim juga menyimpan kalimat-kalimat yang diperlukan dalam kontrak, dalam tuntutan, dalam pembelaan kalimat-kalimat yang dipakai secara otomatis dengan sedikit usaha. Dalam berita radio, kata atau kalimat simpanan para sekretaris

dan lain-lain itu memang jarang atau tak pernah dipakai. Namun, yang senada dengan itu sering terdengar. Misalnya, ―Menurut konferensi pers yang diadakan oleh …‖, ―Dalam satu pernyataan yang sudah disiapkan …‖, ―Dalam satu kudeta tidak berdarah sebelum fajar, ...‖ ―Begitulah sengketa itu diakhiri.‖, ―Dalam kunjungan kenegaraan tersebut Presiden …‖ Itu

semua kalimat yang tinggal ketik dan bisa dipakai untuk membuka berita yang mana saja. ―Kunjungan kenegaraan‖ itu bisa dipakai ketika presiden berkunjung ke negara mana pun. ―Kudeta tidak berdarah‖ bisa digunakan untuk kudeta di mana saja. ―Menurut konferensi pers‖ bisa ditulis untuk konferensi pers kapan saja, tentang apa saja. Itulah kalmat-kalimat

tanpa makna, tanpa daya pikat.

4. Jangan boros kata. Anda hanya membuang-buang waktu mengetik, dan hasilnya tulisan

terasa kurang bertenaga.

Pemborosan kata sering terjadi dalam penggunaan kata sambung (dan, maka, tapi, pula, demikian, apabila, ketika, sementara,

karena, sehingga, walaupun, jikalau, adapun dan lain sebagainya). Baca sekali lagi kalimat Anda, hilangkan semua kata sambung (seringkali fungsi kata sambung cukup diwakili tanda baca koma); jika makna kalimat tak berubah, Anda memang boros dengan kata-kata itu. Selain kata sambung, juga kata depan seringkali tak diperlukan, dan sejumlah kata yang lain.

- Ratusan orang tewas tertimbun sampah, dan puluhan lainnya dinyatakan hilang.

- Sehingga pemerintah pekan depan berencana mencanangkan gerakan nasional

pemberantasan sarang nyamuk.

- Persoalannya, tak banyak yang ingat untuk membikin pagar rapat agar bantuan tak

diselewengkan.

- Tapi pemerintah juga berkejaran dengan waktu untuk memikirkan bagaimana nasib mereka

yang kini menganggur.

- Di situs itu Burks hanya menyebut bahwa si agen mengaku senang dengan pekerjaannya, kendati harus menjalani hidup secara rahasia.

- Jika pemerintah baru menyusun rencana tahap kedua, maka lembaga Perserikatan Bangsa-

Bangsa untuk pembangunan, UNDP,

[sudah] selangkah lebih maju.

- Jika anggaran pilkada benar-benar ditetapkan dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maret 2005, maka pemilihan kepala daerah bisa dilangsungkan tepat

waktu.

- Gus Dur mutlak menolak kepemimpinan partai hasil muktamar luar biasa itu. (Catatan: menolak dengan sendirinya mutlak. Bila tak dimaksudkan sebagai mutlak, perlu ada keterangan lain di belakang menolak; misalnya, Ia menolak hasil muktamar, tapi mendukung terpilihnya

ketua umum.)

- Secara resmi Gubernur Jawa Timur meresmikan jembatan Suromadu.

- Total ke-13 korban kecelakaan itu dibawa ke tiga rumah sakit berbeda.

- Fakta membuktikan, polusi di Jakarta terburuk di Asia Tenggara.

- Selagi ia mudik, sementara itu rumahnya dibobol pencuri.

- Adapun Partai Sosialis tak lagi terdengar kabarnya.

Akhirnya, kata-kata tambahan ini (tercetak tebal) tidak menambah apa-apa kecuali menjadikan

kalimat lebih tambun, termasuk ―akhirnya‖ di awal kalimat ini.

5. Jangan menggunakan kata-kata non-radio. Kata non-radio kata yang susah dipahami

dengan cepat oleh sebagian besar pendengar.

Mendeteksi kata non-radio mudah saja; berangkatlah dari diri sendiri. Ketika Anda menulis dan harus membuka kamus untuk satu kata yang hendak Anda pakai, segeralah buang kata itu bila kata tersebut belum jamak—itulah kata non-radio, yang seorang jurnalis radio pun tak

tahu artinya. Tapi jika kata yang tak Anda ketahui artinya itu sudah umum, Andalah masalahnya: jadi carilah di kamus. Dan jangan ragu menanyakan arti kata yang tak Anda ketahui artinya yang diucapkan oleh narasumber dalam sebuah wawancara—jangan-jangan

si narasumber juga tak paham benar makna kata itu.

Namun dalam berita ekonomi dan bisnis, mungkin juga seni dan olah raga serta ilmu dan teknologi, seringkali penggunaan kata yang tak populer dalam percakapan sehari-hari tak bisa dielakkan. Jadi, kata itu perlu dijelaskan artinya bila terpaksa dipakai.

Kebijakan yang paling baik buat penulis radio: simpan katakata yang tidak biasa, untuk

membuat teka-teki silang.

6. Jangan menggunakan kata-kata tanpa fungsi.

Seringkali untuk lebih menjelaskan atau untuk memberikan tekanan pada peristiwanya, kita

tambahkan satu kata di depannya.

Kata tersebut tak menambah apa pun kecuali memperpanjang kalimat.

- Aktivitas pelatihan di kolam renang terhenti. (Pelatihan di kolam renang terhenti.)

- Insiden penembakan di Poso. (Penembakan di Poso.)

- Situasi keramaian pasar malam dimulai petang hari. (Keramaian pasar malam dimulai petang

hari.)

- Warga Jakarta sering mengalami kebanjiran. (Warga Jakarta sering kebanjiran.)

- Di masa reformasi atmosfir percaturan politik Indonesia semakin demokratis. (Di masa reformasi percaturan politik Indonesia semakin demokratis.)

- Sehabis hujan biasanya kondisi udara sejuk dan bersih Sehabis hujan biasanya udara sejuk dan

bersih.

- Sejumlah 300 orang hadir dalam rapat umum Tiga ratus orang hadir dalam rapat umum.

- Ia dibayar senilai Rp 6 juta. (Catatan: bila ia dibayar dengan uang, senilai bisa dihapus; tapi bila

ia dibayar dengan bukan uang, misalnya barang seharga Rp 6 juta, senilai bisa dipakai).

- Koruptor itu dijatuhi hukuman selama 12 tahun; atau, Koruptor itu dijatuhi hukuman 12 tahun lamanya -- Koruptor itu dijatuhi hukuman 12 tahun.

7. Jangan menggunakan kata sehingga kata itu samar-samar maknanya.

- Profesor itu diduga terlibat penjiplakan sebuah disertasi. (Tak jelas apakah profesor ini pelaku utama, hanya membantu, atau sebagai penguji yang meluluskan penulis disertasi itu meski

ia tahu disertasi tersebut hasil jiplakan).

- Kenaikan tarif angkutan penyeberangan disambut aksi mogok oleh para sopir bus dan pihak-

pihak yang merasa dirugikan. (Siapa pihak-pihak ini?).

Bila memungkinkan, sebutkan secara spesifik: keterlibatan professor itu dalam hal apanya; siapa pihak-pihak yang dirugikan, apakah para pengguna angkutan penyeberangan, aparat kepolisian, karyawan bea dan cukai, atau siapa?

8. Jangan menggunakan frasa yang lagi jadi mode.

Sebenarnya penggunaan frasa yang lagi mode secara tepat menjadikan kalimat lebih komunikatif; tapi ini untuk tulisan feature di media cetak. Dalam berita radio pemakaian frasa yang lagi mode cenderung membingungkan. Pernah judul sandiwara kelompok komidi Srimulat menjadi frasa populer dan masuk pula ke dunia jurnalistik: ―Untung ada Gepeng.‖ Waktu itu bermunculan judul, atau kalimat awal atau akhir tulisan berita di surat kabar menggunakan frasa ini. Misalnya, ―Untung ada Bang Ali‖. Atau frasa yang lebih baru dan menjadi mode, ―Ada apa dengan Cinta,‖ judul sebuah film. Dalam berita di media ―Cinta‖ bisa diganti dengan siapa saja: ―Ada apa dengan Pak Hakim?‖, ―Ada apa dengan Ketua BPK?‖, dan sebagainya. Bila frasa yang modis ini muncul dalam berita radio, baik di awal atau akhir

berita, kejenakaan dan ketangkasan frasa ini tak akan efektif, malah bisa membingungkan.

Pembaca media cetak punya kesempatan berpikir dan mengingat-ingat hingga memungkinkan pembaca itu menemukan frasa aslinya. Peluang ini tak dimiliki pendengar radio; jadi sebaiknya penggunaan frasa dihindari saja.

9. Jangan menggunakan kata-kata susah yang kira-kira tak cepat dipahami oleh

pendengar.

Media radio sejauh ini tak berdiri di depan dalam penciptaan istilah atau pemopuleran kata yang jarang digunakan. Yang berperan dalam hal ini media cetak (surat kabar, majalah, buku). Bahkan radio pun disarankan tak memakai kata atau istilah baru sebelum kata atau istilah itu luas dipakai. Kata-kata seperti pindai, kelindan, barik, lindap, lambuk meski kadang

muncul di majalah, rasanya belum populer benar.

Juga, eufemisme atau penghalusan kata yang belum populer benar lebih baik tak digunakan untuk berita radio. Meninggal dunia untuk mati sudah bukan persoalan. Tapi menghilangkan nyawa untuk membunuh agak jauh kaitannya: yang hilang mungkin

ditemukan kembali, namun yang tewas tak akan kembali selamanya.

Ada pertimbangan lain; penghalusan dapat berakibat mengaburkan makna kata itu, dan ini berbahaya: lama kelamaan kita bisa lupa arti sebenarnya. ―Terjadi salah pembukuan keuangan di departemen itu‖. Lebih baik digunakan saja kata korupsi. Juga beberapa

singkatan, meski dijamin dipahami oleh pendengar, mengaburkan arti perbuatan yang terkandung di dalamnya. KKN misalnya, tak langsung menunjuk pada korupsi, kolusi, atau nepotisme; juga HAM. Tidakkah lebih baik singkatan tersebut tak digunakan, dan kata-kata selengkapnya yang dipakai? Operasi militer di Aceh melanggar HAM. Bandingkan dengan Operasi militer di Aceh melanggar hak asasi manusia. Kalimat pertama mengharuskan

pendengar mengingat kepanjangan HAM, dan kemudian baru merasakan makna kalimat itu. Sedangkan kalimat kedua langsung membuat pendengar memahami maknanya.

10. Jangan menggunakan kata-kata muluk.

Ada penulis yang sok keren, memilih kata-kata yang tidak biasa, yang tidak umum. Satu berita

tentang pengumpulan dana untuk Aceh terdengar seperti ini:

Konferensi Tingkat Tinggi Darurat Tsunami di Jakarta berjalan bak kontes kemurahan hati.

Mungkin penulis berita ini berpikir kata ―lomba‖ terlalu umum, harus diganti dengan kata lain

yang ―berkelas‖. Bukan masalah untuk mengudarakan kata ini, meskipun Anda memperlambat pemahaman pendengar. Di media kita ―kontes‖ dari bahasa Inggris ini lazim dipakai dalam ―kontes kecantikan‖ atau ―kontes ternak‖. Anehnya, istilah kontestan kita

pakai untuk menyebut para calon angggota legislatif dalam pemilihan umum. Contoh lain:

– Setelah enam hari tertutup rapat akibat isolasi tsunami, Meulaboh ibukota Aceh Barat akhirnya

mulai menampakkan tanda kehidupan.

(Bahkan pemakaian kata isolasi salah; hilangkan saja.)

Novelis Mark Twain pernah mengatakan, ―Saya tidak pernah menggunakan kata metropolitan

dengan imbalan tujuh sen bila saya bisa mendapatkan jumlah yang sama dengan menulis kata kota.‖

11. Awas penggunaan kata secara salah.

Pastikan Anda tahu arti kata sebelum menggunakannya. Bila Anda ragu arti sebuah kata, periksalah dalam kamus. Kadangkala kita suka bingung menggunakan picu dan pacu.

– Gempa bumi dan gelombang tsunami hebat yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara memicu

banyak orang berpikir tentang pentingnya teknologi untuk memantau dua bencana alam itu.

Yang dimaksudkan dengan memicu di kalimat itu tentulah memacu (mempercepat). Pengertian kalimat tersebut positif. Sedangkan memicu (menggerakkan sesuatu yang berakibat membahayakan) berkonotasi negatif, misalnya ―Pabrik tahu yang mencemari lingkungan itu mengimbau agar warga setempat tak membeli tahu dari tempat lain; imbauan

itu memicu kemarahan penduduk.‖

Lantas kata tegar, kita mesti hati-hati memakainya. Di media massa umumnya tegar diartikan tabah: ―Bapak itu begitu tegar kehilangan istri dan anak dalam bencana tsunami.‖ Seharusnya digunakan tabah saja. Sebab, tegar berarti tidak lentur atau kaku, atau teguh dan tak mudah berubah dalam pendirian. Kira-kira tegar cocok untuk kata Inggris rigid. Lantas pelecehan seksual. Sering terdengar: ―Seorang karyawan dipecat gara-gara melakukan pelecehan seksual terhadap resepsionis baru itu.‖ Yang dilecehkan tentulah

―resepsionis baru itu‖, bukan ―seksual‖.

12. Berhentilah menggunakan kata-kata atau frasa asing.

Pendengar radio begitu beragam tingkat ekonomi-sosialnya, juga pendidikannya, dan dengan demikian beragam pula tingkat pengetahuannya. Mereka mestinya juga menonton TV, dan kita tahu bahwa film-film asing di TV kita kebanyakan sudah disulih suara, dan beberapa

film asing yang ditayangkan masih dengan bahasa aslinya dilengkapi terjemahan Indonesianya. Tak ada lagi film asing yang dibiarkan dengan bahasa asli dan tanpa terjemahan. Pengenalan kata asing kepada masyarakat, apalagi dengan artinya, makin jarang. Karena itu stasiun radio sudah harus mengambil kebijakan berbau xenophobia

dalam hal kata dan istilah. Ini memudahkan pendengar memahami sajian radio. Tentu tak ada salahnya sebuah stasiun radio membuka program pelajaran bahasa asing, dan menyiarkan berita dari stasiun radio luar negeri dalam bahasa Inggris, misalnya. Tapi ini tak

berkaitan langsung dengan soal menggunakan kata asing dalam tulisan berita sendiri.

Kalau terpaksa memakai istilah asing, dalam berita hukum misalnya, sebaiknya disertai penjelasam. Tak semua pendengar paham bahwa terdakwa diadili in absentia. Juga kata asing yang lagi modis pun sebaiknya disertai bahasa Indonesianya atau penjelasannya. Di satu edisi sebuah surat kabar digunakan istilah-istilah asing dengan atau tanpa terjemahan atau penjelasan: good governance, illegal logging, sales promotion, cover girl, account executive, ekstradisi (dari extradition), feed back, human interest, maestro, law enforcement, show room, intellectual property right, stakeholder, informal, browsing, local election, tensi (dari tension), aspirasi (dari aspiration). Pembaca media cetak puya kesempatan menengok

kamus, peluang yang tak dimiliki pendengar radio.

Dalam berita radio jauh lebih bermanfaat kata-kata sederhana yang dipakai dalam percakapan

sehari-hari daripada kata-kata asing, apalagi bila kata-kata tersebut tak tepat pemakaiannya.

13. Jangan memberi tempat kata-kata klise.

Pakar bahasa bernama Henry W. Fowler mengutuk katakata klise, tapi sekaligus mencemaskan imbauan untuk tak menggunakan kata-kata klise. Sebab, katanya, anjuran untuk tak menggunakan kata klise sama sekali akan membuat para penulis terlambat menyerahkan

naskah, dan para jurnalis pun mengulur batas waktu penyelesaian tulisan.

Tampaknya kita tak mungkin terhindar dari kata klise. Padahal, kata pujangga Inggris termasyhur, William Shakespeare, menggunakan kata-kata klise sama seperti memakai barang usang. Ada pula yang mengibaratkan kata-kata klise sebagai polutan: menyebabkan polusi dalam

tulisan.

Yang bisa dilakukan, sesedikit mungkin menggunakan kata klise. Dengarlah nasihat George Orwell, penulis novel 1984 yang kesohor itu: ―Jangan pernah menggunakan

metafora, kiasan, atau deskripsi yang sering Anda lihat pada tulisan-tulisan.‖

14. Jangan mengganti kata yang mudah dipahami dengan kata lain yang dirasa lebih ekspresif namun ternyata berbeda maknanya.

Terkecuali, kata yang lebih ekspresif itulah yang sesuai dengan kenyataannya.

- Direktur itu mengatakan, keuntungan bank yang dipimpinnya lebih daripada yang ditargetkan.

- Direktur itu mengklaim, keuntungan bank yang dipimpinnya lebih daripada yang ditargetkan.

- Jaksa bertanya kepada terdakwa, siapa yang memutuskan harga pembelian kotak pemilu itu.

- Jaksa menyudutkan terdakwa, siapa yang memutuskan harga pembelian kotak pemilu itu.

Dalam kalimat pertama, mengatakan bersifat netral, sang direktur sekadar memberikan keterangan. Dalam kalimat kedua, mengklaim berkonotasi mendesakkan kebenaran menurut sang direktur. Mungkin klaim itu dinyatakan karena ada yang menyangsikan bahwa

bank tersebut untung.

Pada kalimat keempat, menyudutkan menggantikan bertanya dengan tidak tepat. Kata menyudutkan memiliki konotasi membuat tak berdaya, seperti contoh ini: ―Jaksa menyudutkan terdakwa dengan mengajukan barang bukti yang sulit diingkari bahwa itu milik terdakwa.‖ Kalimat keempat terasa janggal, karena yang dilakukan jaksa sama sekali tidak menyudutkan terdakwa. Contoh lain: ―Tutup mulutmu!‖ teriaknya, dan ―Tutup mulutmu!‖ katanya. Kalimat kedua terasa janggal karena ―katanya‖ tak mengandung

makna perintah.

Kadang seorang penulis takut menggunakan kata yang sama berulang-ulang dalam satu tulisan. Mungkin mereka takut dinilai perbendaharaan katanya kerontang. Mengganti satu kata dengan kata yang lain sah-sah saja, bahkan dianjurkan, sejauh penulis itu mampu

menemukan kata pengganti yang cocok dan tetap mudah dimengerti pendengar.

Penulis lain mungkin merasa tak kreatif kalau hanya menggunakan kata-kata biasa yang digunakan sehari-hari. Lalu ia mencoba mencari kata-kata yang dianggapnya mencerminkan daya kreativitasnya, menunjukkan ―intelektualitas‖nya. Digantilah harapan dengan ekspektasi, rasa aib menjadi stigma, janji menjadi komitmen, pameran menjadi ekshibisi, percepatan menjadi akselerasi, suhu menjadi temperatur, garis tengah menjadi diameter dan lain sebagainya. Sejauh tak mengubah makna, soal mengganti kata ini silakan

saja, dengan catatan: kata tersebut juga mudah dipahami pendengar.

15. Hindari provokasi.

Para provokator mengubah pertengkaran kecil di antara dua pejabat menjadi bentrokan atau saling menyerang. Bila pertengkaran kecil ini berkepanjangan, para provokator meningkatkannya menjadi perang. Suatu perubahan kecil dalam undang-undang misalnya, agar menarik, dilaporkan bahwa telah terjadi revolusi. Seorang menteri yang tidak hadir dalam sidang kabinet, dilaporkan bahwa telah terjadi kemungkinan pembangkangan. Temuan

lembaga antikorupsi senilai beberapa miliar, oleh provokator diubah menjadi beberapa ratus

miliar.

Penulis bukan provokator. Penulis yang mengambil peran provokator adalah penulis yang gagal menemukan sesuatu yang penting atau menarik dalam bahan berita. Ia merasa perlu membesar-besarkan peristiwanya atau menggelembungkan datanya. Mungkin cara ini berhasil

menarik perhatian pendengar. Namun pendengar akan kecewa setelah berita lengkap

disampaikan, dan ternyata tak ada peristiwa atau data seseru yang disampaikan di awal berita.

Jurnalis yang tak mampu menggambarkan suatu keadaan — bisa karena bahan kurang, bisa juga karena kemampuan si wartawan tak sampai, bisa keduanya merasa terbantu oleh kata sifat. Maka untuk menggambarkan suasana sebuah gedung yang menjadi sengketa dan lama tak terurus dikatakan: Gedung itu terlihat misterius. Untuk menggambarkan suka-citanya satu

partai yang memenangkan pemilu, wartawan yang hanya memiliki sedikit fakta dan terlalu banyak fantasi menulis: Kantor pusat Partai Anu malam itu sungguh meriah, berbagai makanan dan minuman diedarkan, banyaknya hadirin membuat ruangan penuh-sesak.

Bagaimana pendengar bisa menangkap kemeriahan itu? Jangan-jangan meriah hanya karena

pengeras suara demikian keras; makanan hanya dua macam, minuman hanya kopi dan teh. Dan ruangan memang penuh sesak tapi itulah ruangan berukuran 5X10 meter dengan

hadirin mungkin kurang dari 100 orang.

Terdengar berita dari sebuah stasiun radio: ―Drama penyanderaan dua wartawan TV berakhir sudah.‖ Penulis berita ini tahu bahwa berakhirnya suatu peristiwa menegangkan adalah antiklimaks, karena itu tidak menarik. Padahal tak ada lagi waktu untuk berpikir. Maka diambillah kata drama dengan harapan agar berita ini terdengar penting. Tapi bagaimana itu drama pembajakan? Andaipun ini berita lanjutan, tetap perlu diberikan gambaran drama penyanderaan itu. Bila tidak, pendengar hanya bisa bertanya-tanya: ―Di mana dramanya?‖ Jika saja para penulis ini mempunyai sedikit lebih banyak fakta, ia tak perlu

menyembunyikan kekurangannya di balik kata misterius,

sungguh meriah, penuh sesak, drama, dan sebagainya.

Yang kita inginkan sederhana saja: sebuah laporan jurnalistik yang jujur, karena itu bisa dipercaya; jernih, karena itu mudah dan cepat dimengerti; cerdas, karena itu memberikan

analisis dengan argumen yang masuk akal dan kuat.

III. Tiga Puluh yang Dianjurkan

Sebenarnya cukup sudah ―Sembilan Belas Kesalahan Fatal‖ dan ―Lima Belas Kesalahan Ringan‖ menjadi pedoman menulis berita radio yang ringkas, tajam, dan kuat. Namun tak ada salahnya menyusun pedoman itu dari sisi lain: kalau ada yang tak boleh dilakukan, agar lengkap, perlu pula daftar yang dianjurkan dilakukan. Apa pun namanya ini pedoman, seperangkat alat pengingat, prinsip-prinsip, petunjuk, atau kaidah akan membantu jurnalis radio menulis dengan lebih baik dan pada gilirannya akan membantu pendengar memperoleh informasi yang akurat, penting, bermanfaat.

1. Awal yang kuat—berarti setengah pekerjaan telah dilakukan.Pengantar berita menentukan keseluruhan. Lebih dari itu, kalimat pertama dari pengantar menentukan apakah pendengar akan tetap mendengarkan atau tidak. Bila kalimat awal ini buruk, ibarat Anda berlayar dengan kompas kecil yang rusak dantidak tepat: Anda akan tersasar, mungkin kandas di karang, atau tenggelam. Pedoman untuk ini silakan baca ―Sembilan Belas Kesalahan Fatal‖ dan ―Lima Belas Kesalahan Ringan‖.

2. Baca dan pahami bahan naskah. Jika Anda tidak memahami bahan naskah, bagaimana Anda bisa menulis berita yang mudah dimengerti pendengar? Terlalu banyak penulis yang mengambil kata-kata atau frasa dari naskah sumber dan laporan reporter, lalu memasukkannya ke dalam naskah tanpa

mengetahui artinya. Ketika kritik meluncur, jawaban sudah tersedia: ―Lo, begitulah yang disebutkan dalam laporan.‖

3. Garis bawahi atau lingkari fakta-fakta kunci. Dengan menandai laporan reporter dan sumber lain, Anda dengan cepat bisa melihat yang penting, yang harus dimasukkan ke dalam naskah Anda, dan yang kurang atau tidak penting yang dapat diabaikan. Cara ini sangat membantu, agar Anda dapat meringkas yang penting dan menarik, membuang yang tidak perlu. Juga, cara ini mempermudah Anda mencek kembali data dan fakta: sesuaikah antara yang Anda tulis dan laporan reporter serta bahan lain itu.

Menandai hal-hal yang penting sejalan dengan kriteria layak berita. Karena itu seorang penulis mesti curiga bila ia tidak menemukan yang penting dalam sebuah atau lebih bahan berita. Jangan-jangan peristiwa yang diliput memang tak layak diberitakan. Buku Writing Broadcast News—Shorter, Sharper, Stronger menganjurkan Anda berpedoman pada rumusan layak berita menurut Melvon

Mencher, penulis buku Basic News Writing. Mencher mengatakan, peristiwa layak diberitakan bila ―berdampak pada banyak orang, merupakan peristiwa atau situasi luar biasa atau khusus, dan menyangkut pribadi yang dikenal luas atau orang-orang terkenal.‖ Nilai berita

peristiwa itu akan bertambah bila ada unsur-unsur ―konflik‖ dan ―kehangatan‖. Kriteria layak berita yang lain mengangkat ―kehangatan‖ sebagai kriteria utama, karena berita basi bukan

lagi berita.

4. Pikirkan sejenak sebelum menulis. Bahkan jika Anda sedang dikejar waktu, luangkan 30 detik untuk berpikir: sebenarnya ini berita tentang apa, bagian paling penting yang mana, dan bagaimana cara terbaik menuliskannya.

5. Menulislah seperti Anda bercakap-cakap. Menulis untuk radio itu suatu kompromi. Tidak ada orang yang benar-benar menulis sebagaimana ia bercakap-cakap, dan tak ada orang yang bercakap-cakap sebagaimana ia menulis untuk radio. Yang pasti, menulis untuk radio bukanlah menulis hanya untuk

dibaca, melainkan menulis untuk kemudian dibacakan kepada pendengar. Dan pendengar tidak dapat membaca naskah Anda; mereka hanya dapat mendengarkan, itu pun tanpa dapat mengulangdengarkan ketika itu juga. Karena itu kunci pokok menulis untuk radio adalah membayangkan bahwa tulisan Anda akan didengarkan, bukan dibaca. Jadi, menulislah

seolah Anda melakukan percakapan. Dengan kata lain, menulislah dengan bahasa sehari-hari, langsung ke pokok masalah, tidak berputar-putar, dan gunakan kata-kata yang kita pakai berbicara sehari-hari. Itulah yang memungkinkan pendengar menangkap berita Anda

dari kata ke kalimat untuk kemudian menemukan keseluruhan cerita dengan mudah.

6. Gunakan kaidah penulisan berita radio. Jangan memakai bahasa surat kabar. Berita di surat kabar biasanya meringkas who, what, when, where, why, dan how pada paragraf pertama atau kedua. Menulis berita surat kabar berpedoman pada pola yang dinamakan piramida terbalik—menempatkan fakta menurut urutan kepentingan dari atas ke bawah. Jurnalis surat kabar membangun kebiasaan

front loading (muat di muka): menempatkan seluruh bahan terbaik di muka.

Pola tersebut bukan semata untuk kepentingan pembaca, melainkan juga untuk kepraktisan penyuntingan. Pola ini untuk mengejar tenggat waktu: editor tak perlu pusing-pusing bila naskah kepanjangan— potong saja dari bawah, dari yang paling kurang penting, kurang penting, dan seterusnya. Teknik ini berakibat penulisan berita surat kabar makin menyimpang jauh dari cara orang berbicara. Tapi ini tak menjadi masalah bagi pembaca, yang dengan indera penglihatannya bisa menjelajahi seluruh lembar surat kabar dan memilih berita yang paling menarik baginya. Pembaca merdeka untuk membaca headline dan berita singkat dengan kecepatan yang ia kehendaki, mengulangbaca bila masih kurang mengerti, menyelesaikan membaca satu berita atau beralih ke judul yang lain sebelum selesai membaca yang pertama. Pembaca surat kabar pun dalam memahami teks dibantu judul, subjudul, foto, dan infografik—unsur-unsur yang tak dimiliki berita radio.

Sementara itu indera pendengar tak semerdeka indera penglihatan. Indera penglihatan aktif, sedangkan indra pendengar pasif, hanya menerima. Indera pendengar tergantung yang

diperdengarkan, dan tidak bisa melakukan ―mendengarkan dengan cepat‖ seperti yang bisa dilakukan oleh indera penglihatan, ―membaca dengan cepat.‖ Itulah alasan bahwa naskah radio mesti sederhana, jelas, dan langsung.

Tentu saja, baik dan buruknya sebuah stasiun radio bukan karena para wartawannya mengikuti kaidah penulisan berita radio atau tidak, melainkan apakah tulisan mereka mencapai sasaran. Namun, penulis berpengalaman tahu, kaidah membantu berita sampai pada sasaran.

7. Yakinkan diri sendiri bahwa menulis secara sederhana itu mulia. Anda menulis berita untuk pendengar umum, yang terdiri dari berbagai tingkatan, kepentingan, latar belakang pengetahuan. Bayangkan Anda duduk berkeliling di meja makan dengan seorang editor, bankir, profesor, dan bercerita tentang kopi yang Anda nikmati. Anda mencoba menjelaskan kopi itu, sementara itu pelayan Anda menguping dari dapur. Berita radio yang ditulis dengan baik sama dengan penjelasan

Anda tentang kopi itu yang bisa membuat pelayan Anda paham, juga membuat profesor, bankir,

dan editor tersebut tertarik dan mengerti tanpa mereka merasa direndahkan.

8. Tahan diri dari pembukaan yang terlalu panjang lebar. Menulislah langsung menuju pokok persoalan. Kalimat pembuka yang panjang lebar dan menumpuk banyak informasi tak jarang kita dengar dari radio. Mungkin banyak penulis menganggap cara ini merupakan jalan pintas menyajikan berita dengan cepat dan lengkap. Tapi itu berbahaya: membuat pendengar bingung, kesulitan menghubungkan satu informasi dengan yang lain.

Pembukaan yang panjang lebar bisa juga menunjukkan bahwa penulisnya tak bisa menentukan pokok persoalan meski sudah berulang kali membaca naskah sumber, sudah menandainya, sudah memikirkannya. Dengan kata lain ia lagi macet.

Jika hal seperti itu menimpa Anda, lupakan sejenak bahan-bahan itu. Lalu tulislah berita tersebut menurut yang Anda ingat. Anda mungkin tidak yakin mengenai yang Anda tulis itu. Tapi inilah salah satu cara menerobos kebuntuan pikiran. Tentu Anda harus mengulangbaca tulisan ―apa adanya‖ itu, dan Anda akankaget: tiba-tiba menemukan yang ingin Anda beritakan, dan merombak total tulisan ―apa adanya‖ tadi.

Mungkin Anda kehilangan waktu karena melakukan ―asal tulis‖ yang harus ditulis-ulang tersebut. Untuk menebus kehilangan itu, cobalah menulis ulang dengan teknik seperti berikut. Bayangkan Anda menceritakan suatu peristiwa kepada seorang teman melalui telepon umum, dan kebetulan Anda kehabisan uang; atau lewat telepon genggam yang pulsa atau baterainya tinggal sedikit. Singkat kata, Anda harus berhemat. Karena itu Anda tidak akan berbicara panjang lebar, melantur ke segala hal, atau mengatakan lebih daripada yang perlu dikatakan. Anda tahu, yang diperlukan oleh teman Anda adalah masalah pokoknya. Anda akan menceritakannya secara terburu-buru, dan hanya menyinggung poin-poin yang penting. Tapi tentu saja Anda tidak akan mengatakan kepada teman itu seperti Anda membuat telegram atau menulis ―pesan singkat‖ di telepon genggam.

Misalkan Anda menceritakan sebuah pompa bensin meledak tadi pagi, dan 50 orang menjadi korban. ―Lima puluh orang terbunuh dalam ledakan sebuah pompa bensin di sudut perempatan terminal bus tadi pagi.‖ Anda tak akan mengatakan seperti itu karena ini bukan cara yang umum orang berbicara

menyampaikan informasi untuk menarik perhatian. Ini mungkin membuat teman Anda kurang tertarik mendengarkannya. Anda ingin menekankan ―50 orang terbunuh‖ akibat ―ledakan pompa bensin‖. Anda lupa, orang terbunuh sering terjadi, pompa bensin meledak relatif jarang. Yang seperti ini bisa lebih berkesan: ―Pompa bensin di sudut terminal bus meledak tadi pagi, menewaskan 50 orang.‖ Kata sebuah tak diperlukan, kecuali yang meledak lebih dari satu. Kata meledak dan menewaskan lebih impresif daripada ledakan dan terbunuh.

Menulislah langsung menuju pokok persoalan.

Setelah kalimat yang mudah dipahami dan menggugah rasa ingin tahu lebih lanjut itu, informasi apa pun yang berkaitan dengan peristiwa tersebut akan didengarkan oleh si teman tadi. Misalkan informasi sebab ledakan, identitas korban, tindakan polisi, jumlah kerugian dan sebagainya. Yang perlu diingat, sampaikan semua itu dengan ringkas, dengan kalimat tunggal, tidak berliku-liku

sehingga cerita Anda tersampaikan lengkap sebelum uang, pulsa, atau baterai telepon selular Anda habis.

9. Sebutkan sumber berita sebelum menuliskan beritanya. Ini hal yang tak bisa ditawar bila berita tersebut tak bisa dikonfirmasikan, namun karena berita itu dianggap begitu ―penting‖ maka disiarkan juga. Misalnya, sebuah radio menyiarkan tentang masih hidupnya pelaku skandal tambang emas Busang yang diduga bunuh diri sekian lama lalu. Berita ini dimuat surat kabar Singapura, dan radio itu tak bisa mengonfirmasi berita tersebut.

Menurut Straits Times, istri Michael Guzman mengatakan pernah ditelepon suaminya dari Jakarta enam minggu setelah suaminya dinyatakan tewas bunuh diri pada 1997. Ketika itu Guzman

diberitakan meloncat ke luar dari helikopter yang terbang di atas hutan Kalimantan; mayatnya ditemukan di belukar, dikoyak-koyak binatang.

Pendengar sejak awal sudah tahu bahwa radio tersebut tak berhasil mengonfirmasi berita itu. Terserah kepada pendengar untuk tetap menyimak berita itu karena menganggapnya penting, atau beralih ke gelombang lain karena ia tak suka mendengarkan berita dari sumber kedua. Apa pun reaksi pendengar, kredibilitas radio itu terjaga— pendengar tak merasa ditipu dengan trick

pemberitaan. Bandingkan bila sumber berita baru disebutkan di kalimat kedua, apalagi ketiga.

Istri Michael Guzman menyatakan pernah ditelepon suaminya dari Jakarta enam minggu setelah suaminya dinyatakan tewas bunuh diri pada 1997. Delapan tahun lalu Guzman diberitakan meloncat ke luar dari helikopter yang terbang di atas hutan Kalimantan; mayatnya ditemukan di belukar dikoyak-koyak binatang liar. Demikian menurut Straits Times.

Nilai kedua berita radio ini tak berubah: sekadar memberitakan kembali tanpa konfirmasi. Namun cara menulis berita versi kedua mengecewakan pendengar: ternyata berita ini sekadar mengutip dari media lain. Antusias pendengar turun bukan karena isi beritanya, melainkan karena radio ini melakukan trick sengaja atau tidak. Alhasil, sumber dahulu pendapatan, sumber kemudian tak

berguna.

10. Usahakan subyek dekat dengan predikat. Semakin dekat predikat dengan subyek, semakin mudah pendengar mengikuti berita Anda. Pegangan untuk ini tiada lain selalulah membuat kalimat tunggal: subyek-predikat-obyek. Hal ini sudah disebutkan pada bab sebelumnya, tapi penting untuk selalu diingat. Ini cara menghindari godaan menjelaskan subyek dengan menyisipkan anak kalimat. Penjelasan itu berisiko memperlambat informasi sampai ke pendengar. Lebih daripada itu, kalimat

beranak itu bisa membuat kesal pendengar karena terpaksa mencari-cari hubungan subyek dan predikat. Kalimat tunggal juga untuk menghindari pemakaian koma. Terutama pada kalimat

pembuka, koma memperlambat sampainya informasi ke pendengar.

Namun kadangkala kalimat tunggal sebagai pembuka berita dirasa kurang cukup. Hal ini masih bisa ditoleransi sejauh subyek tetap dekat dengan predikat. Artinya, anak kalimat yang bisa ditoleransi adalah anak kalimat yang menerangkan obyek. Pada suatu hari terdengar siaran berita dari KBR68H.

Isu politik uang mulai membayangi pasangan Syaukani HR - Syamsuri Aspar yang merupakan calon bupati Kutai Kertanegara, yang mengantongi perolehan suara paling banyak versi penghitungan manual dan penghitungan cepat atau quickcount National Democratic Institute atau NDI.

Kalimat panjang tersebut masih bisa ditoleransi karena yang pokok jelas tersampaikan (―Isu politik uang membayangi Syaukani HR-Syamsuri Aspar‖). Sedangkan anak kalimat di belakangnya merupakan keterangan obyek. Seandainya Syaukani- Syamsiar dijadikan subyek, anak kalimat

tersebut akan menjadi keterangan subyek, dan subyek menjadi berjauhan dengan predikat:

Pasangan Syaukani HR-Syamsuri Aspar yang merupakan calon bupati Kutai Kertanegara, yang mengantongi perolehan suara paling banyak versi penghitungan manual dan penghitungan cepat atau quickcount National Democratic Institute atau NDI mulai dibayangi isu politik uang.

Memerlukan konsentrasi lebih untuk memahami kalimat kedua ini. Bisa-bisa pendengar menangkap bahwa NDI yang dibayangi politik uang.

Namun kalimat pertama, apalagi kedua, tetap saja kurang cocok untuk berita radio yang seharusnya lebih ringkas, tajam, dan kuat. Lebih baik kalimat tersebut dijadikan dua kalimat atau lebih:

Isu politik uang mulai membayangi pasangan Syaukani HR - Syamsuri Aspar. Maklum, salah satu calon bupati dan wakil bupati Kutai Kertanagara itu mengantongi suara paling banyak versi penghitungan manual. Pun, menurut versi penghitungan cepat NDI, pasangan itu unggul.

Atau,

Pasangan Syaukani HRSyamsuri Aspar mulai dibayangi isu politik uang. Maklum, salah satu calon pasangan bupati dan wakil bupati Kutai Kertanagara itu mengantongi suara paling banyak versi penghitungan manual. Pun, menurut versi penghitungan cepat NDI, pasangan itu unggul.

11. Kalimat dengan satu gagasan lebih mudah dan cepat ditangkap pendengar. Pendengar tak melihat naskah Anda, dan mereka tak mungkin membacanya ketika itu juga. Karena itu berita yang tidak berbelit-belit, disampaikan dengan kalimat sederhana, membantu pendengar lebih cepat dan mudah memahaminya. Pendengar radio lazimnya mendengarkan secara sambil lalu, sambil melakukan hal-hal lain.

Sejak berdiri dua pekan pasca musibah gempa dan gelombang tsunami, posko Pemulihan Hubungan Keluarga Palang Merah Indonesia, PMI dan Komite Internasional Palang Merah, ICRC di Banda Aceh kerap dikunjungi para pencari anggota keluarga yang hilang akibat musibah gempa dan tsunami akhir tahun lalu.

Setidaknya tiga hal yang hendak disampaikan pembuka berita ini. Mereka yang mencari keluarga yang hilang; berdirinya posko pemulihan hubungan keluarga; serta musibah gempa dan tsunami. Lebih baik alinea pembuka ini disunting menjadi dua kalimat aktif.

Dua pekan setelah musibah gempa dan gelombang tsunami, PMI dan ICRC mendirikan Posko Pemulihan Hubungan Keluarga di Banda Aceh. Sejak itu mereka yang kehilangan anggota keluarga akibat musibah di akhir tahun lalu itu mencarinya ke posko tersebut.

12. Gunakan kata-kata pendek dan kalimat ringkas. Berpikirlah sederhana. Kata-kata yang paling banyak digunakan dalam percakapan biasanya pendek-pendek. Kita ingin ibu-ibu di rumah yang sedang memasak, bapak-bapak yang lagi menyopir, mereka yang sedang memikirkan berbagai masalah, mereka yang mungkin berada di tengah keramaian terminal bus, mudah dan cepat

menangkap siaran berita Anda. Untuk itu berita radio mesti ringkas, tak berbelit-belit, dan menggunakan kata-kata pendek seperti ketika kita bercakap-cakap sehari-hari. Kita tak biasa bicara, ―Apakah kamu sudah makan?‖, melainkan ―Kamu sudah makan?‖; bahkan lebih ringkas lagi, ―Sudah makan?‖ Atau, ―Agar supaya engkau nanti selamat tak kurang

suatu apa, berdoalah‖, tapi cukup, ―Agar kau selamat, berdoalah‖.

Tentu saja menulis kalimat persis seperti yang kita omongkan kalau kita bercakap-cakap berkemungkinan tak jelas artinya. Bahasa lisan seringkali merupakan kalimat tak lengkap. ―Sudah makan?‖ tanpa subyek. ―Dia saja,‖ tak menyertakan predikat. Jadi, selain membayangkan

seperti bercakap-cakap, ketika Anda menulis berita radio ingat selalu membuat kalimat lengkap— dan sedapat mungkin tunggal: subyek-predikat-obyek.

13. Gunakan kata-kata yang dikenal dalam kombinasi yang dikenal. Menggunakan kata-kata yang dikenal saja belum cukup. Kita harus menggunakannya dengan cara yang biasa kita dengar dalam

percakapan. Seorang penyiar belum lama ini mengatakan, ―Konferensi Tingkat Tinggi Darurat Tsunami di Jakarta berjalan bak kontes kemurahan hati.‖ Tak ada masalah sebenarnya dengan kalimat ini. Cuma ―kontes kemurahan hati‖ terasa tak lazim, karena ―kontes‖

biasanya dihubungkan dengan kecantikan atau ternak. Ketaklaziman memperlambat sampainya informasi ke pendengar. (Lihat juga Bab 2).

14. Manusiawikan naskah Anda. Tulislah tentang orang, bukan sesuatu yang abstrak, misalnya, warga masyarakat, data statistik, kelompok, kondisi atau situasi dan semacamnya. Orang lebih nyata, mudah dibayangkan, dibandingkan dengan warga masyarakat. Angka kelahiran dan kematian itu

abstrak, lebih baik menggantinya dengan bayi yang lahir dan orang yang meninggal.

―Angka kelahiran di Jawa Barat tahun lalu menurun setelah semua desa berlistrik.‖ Lebih baik, ―Jumlah bayi yang lahir di Jawa Barat tahun lalu menurun setelah semua desa berlistrik.‖ Siaran pers Jasa Marga menyatakan, ―Angka kematian akibat kecelakaan lalu-lintas di jalan tol tahun ini meningkat 25%.‖ Lebih mudah melekat di kepala bila kalimat itu diubah, ―Korban meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas di jalan tol tahun ini meningkat 25%.‖

Orang ingin mendengar berita tentang orang, sesuatu yang nyata, berdarah dan berdaging, bukan yang abstrak.

Jangan berasumsi, jangan berspekulasi, jangan main tebak-tebakan. Kita hanya percaya pada

fakta. Apalagi bila ketidakjelasan itu adalah selembar keterangan pers, Anda harus lebih hati-

hati. Foto: Heru Hendratmoko/KBR68H

15. Aktifkan naskah Anda. Berceritalah dengan kalimat aktif. Kalimat pasif lemah karena subyek tidak melakukan tindakan melainkan ditindak. ―Hakim itu dilempar sepatu oleh terdakwa yang merasa dibohongi.‖ Lebih kuat disampaikan dalam kalimat aktif: ―Terdakwa

yang merasa dibohongi itu melemparkan sepatu ke arah hakim yang mengadilinya.‖ Pada

beberapa kasus, jika subyek lebih penting daripada

tindakan, kalimat pasif mungkin lebih berkesan. ―Presiden dilempari tomat oleh seseorang tak dikenal begitu turun dari kendaraan.‖

Itu lebih kuat daripada, ―Begitu Presiden turun dari kendaraan, seseorang tak dikenal melemparinya dengan buah tomat.‖ Tapi pada umumnya kalimat pasif perlu dihindari,

karena memperlemah kalimat, dan kalimat lemah kurang daya tariknya buat pendengar.

16. Upayakan subyek sedekat mungkin dengan predikat. Pengaruh bahasa daerah dan bahasa Inggris seringkali membuat kita suka menyelipkan kata yang berfungsi sebagai

penghubung yang sebenarnya tidak perlu.

- Saudara, ratusan ribu nyawa telah melayang akibat tsunami.

- Tak seperti lazimnya program transmigrasi, kali ini sasaran adalah para TKI yang sebelumnya

bermasalah di Malaysia

- Survei Lembaga Swadaya Masyarakat Transparansi Internasional Indonesia menunjukkan Jakarta adalah kota paling korup di Indonesia

17. Tulislah berita tentang peristiwa yang terjadi, bukan kemungkinan-kemungkinan. Karena itu sedapat mungkin hindari penggunaan kata-kata mungkin, tampaknya, agaknya, tentunya, semestinya, seharusnya, menurut sumber. Kata-kata itu membuat pendengar bertanya-

tanya, berita yang Anda siarkan memang terjadi atau akan terjadi, atau fiktif belaka?

Kehidupan tentunya berjalan normal, dan bagaimana kondisi pendidikan secara keseluruhan

di Aceh dari TK hingga perguruan tinggi?

Berita ini tentang keadaan daerah Aceh dua minggu setelah diserang tsunami. Kalau daerah bencana sudah normal kembali, kata tentunya sama sekali tak berguna. Kalau belum, kata tentunya ganti saja dengan belum. Jika laporan koresponden dari Aceh tidak jelas, Anda harus minta laporan yang jelas. Sebab, tentunya (dan sederet kata yang sudah disebutkan) juga mengandung ketidakpastian: bisa tentunya belum atau tentunya tidak.

Pengunaan kata-kata itu mencerminkan penulisnya tidak yakin tentang berita yang ditulisnya. Bagaimana kalau penggunaan kata-kata itu sekadar gaya penulisan? Boleh saja, tapi itu gaya yang mubazir. Anda menulis berita, bukan menyampaikan harapan, bukan

ramalan.

18. Buat kalimat Anda dalam bentuk positif. Cobalah menghindari kata-kata bukan, tidak, belum

pada kalimat pembuka. Kata-kata ini melemahkan berita yang Anda sampaikan. ―Tim pencari fakta belum menemukan titik terang.‖ Kalau belum, mengapa Anda beritakan? Lebih baik kalimat negatif ini diubah menjadi positif, misalnya, ―Tim pencari fakta terus berupaya keras menemukan titik terang.‖ Biar belum bagus benar, kalimat kedua ini lebih

baik daripada yang pertama. Bila bahan memungkinkan, langsung saja diceritakan upaya tim pencari fakta untuk mencari titik terang itu.

19. Memulai tulisan dengan kalimat positif juga berarti menghindari pengunaan kalimat tanya.

Menggunakan kalimat tanya termasuk cara termudah untuk mulai menulis. Tapi ingatlah tugas Anda bukan bertanya, melainkan menyampaikan berita. Jarang sekali kalimat tanya menjadi pembuka yang baik.

Apa yang pantas dilakukan seseorang terhadap saudara yang tengah menderita? Membantu

dengan apa yang ia bisa lakukan.

Andai Anda terpaksa menggunakan kalimat tanya sebagai pembuka, jawaban haruslah diberikan segera, pada kalimat sedekat mungkin dengan kalimat pembuka. Kalimat contoh tersebut memberikan jawaban sangat segera, namun belum menceritakan bantuan yang dilakukan. Lebih baik langsung menceritakan yang dilakukan ―seseorang‖ itu ―terhadap Saudaranya.‖

20.Gunakan kata ganti sesuai dengan yang digantikan. Umumnya kita tak mengalami kesulitan untuk mengganti orang pertama tunggal (aku), orang pertama jamak (kami), kata ganti yang melibatkan orang pertama dan kedua (kita), kata ganti orang kedua tunggal (kamu) dan jamak (kalian/kamu sekalian), kata ganti orang ketiga tunggal (dia) dan jamak (mereka).

Namun untuk kata ganti yang bukan orang hewan atau benda-benda sulit. Untuk mudahnya,

banyak penulis menyamakan kata ganti orang dan kata ganti untuk bukan orang. ―Ada sekitar

71 rumah, mereka tertimbun sekitar 2,5 juta ton sampah setinggi 20 meter.‖

Bila berita ini ada di media cetak, pembaca bisa langsung mengerti bahwa ―mereka‖ menggantikan ―sekitar 71 rumah.‖ Pendengar radio bisa salah tangkap, mengira selain rumah juga ada banyak orang (mereka) tertimbun sampah. Selain itu, kata ganti mereka

untuk bukan orang seharusnya dihindari. Kata ganti orang harus dihormati bukan karena orang makhluk tertinggi di dunia, melainkan agar ia, mereka, kalian jelas mewakili siapa.

Contoh kalimat tersebut bukan contoh yang baik, karena sebenarya kalimat itu tak memerlukan kata ganti, cukup: ―Ada sekitar 71 rumah, tertimbun sekitar 2,5 juta ton sampah setinggi 20 meter.‖ Bila terpaksa mengulang subyek yang bukan orang, ulangi saja kata itu. ―Lantai perpustakaan di tingkat dua melengkung karena terlalu banyak buku. Mereka akan dipindahkan ke lantai bawah.‖ Agar pendengar tak menduga bahwa yang akan

dipindahkan adalah karyawan perpustakaan, lebih baik kalimat kedua diubah: ―Buku-buku itu akan dipindahkan ke lantai bawah.‖

21. Letakkan kata atau kata-kata yang ingin Anda tekankan pada awal kalimat. Karena itu di awal kalimat gunakan kata atau kata-kata yang kuat, dan relevan dengan isi berita. Kata-kata awal yang lemah membuat pendengar kurang tertarik mengikuti berita seterusnya. Bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris dalam meletakkan kata penting yang perlu ditekankan. Bahasa Inggris meletakkan kata itu di akhir kalimat.

- Matters went from bad to worse between United States and Libya today.

- Relations between Unites States and Libya have gone from bad to worse.

Kalimat pertama menekankan hubungan antara Amerika Serikat dan Libya, yang kedua tentang memburuknya hubungan. Kalimat pertama kurang menarik perhatian karena hubungan AS dan Libya bukan berita baru. Kalimat kedua lebih menarik, memberitakan hubungan yang

makin buruk. Tapi dalam bahasa Indonesia, sebaliknya, yang di depan yang penting.

- Memburuk, hubungan antara Amerika Serikat dan Libya.

- Hubungan antara Amerika Serikat dan Libya memburuk.

Kalimat pertama lebih kuat, lebih mengundang perhatian pendengar. Terdengar berita dari

sebuah stasiun radio:

Kenaikan tarif di angkutan penyeberangan di 14 titik lintas penyeberangan disambut aksi mogok

oleh para sopir bus.

Kalimat itu akan lebih berkesan bila menekankan pemogokan dan bukan kenaikan tarif yang mestinya sudah diketahui pendengar sebelumnya.

Para sopir bus mogok, menyambut kenaikan tarif angkutan penyeberangan di 14 titik lintas.

Adakalanya meletakkan yang penting di depan harus melanggar kaidah yang lain, misalnya

harus menggunakan kalimat negatif. (Lihat nomor 18). Misalnya, kalimat ini :

- Seorang demonstran melempari presiden dengan tomat busuk.

- Presiden dilempari tomat busuk oleh seorang demonstran.

Demonstran melakukan hal yang aneh-aneh, itu biasa. Tapi itu seorang presiden dilempari tomat jarang terjadi, karena itu lebih penting ditekankan dalam pemberitaan, meski

harus disampaikan dalam kalimat negatif.

22. Gunakan singkatan dan akronim—secara hati-hati. Singkatan dan akronim bersifat percakapan dan menghemat waktu bila singkatan atau akronim itu sudah populer. Penyebutan singkatan jenis sekolah sudah sangat umum: SD, SMP, SMU atau SMA, SMK. Juga nama departemen, misalnya dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan disingkat dengan sangat baik: Departemen P & K. Kemudian datang usul yang diterima bulat-bulat oleh pemerintah: singkatan nama departemen disesuaikan dengan singkatan dalam militer. Maka akrab atau tak akrab, membingungkan atau tidak, media massa pun ramai-ramai mengikutinya. Muncullah Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional); Deplu (Departeman

Luar Negeri); Depdagri (Departemen Dalam Negeri), Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah), dan banyak lagi. Juga, Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia); Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tagerang, Bekasi).

Fungsi media massa antara lain sebagai penyebar informasi yang akurat dan jernih. Karena itu lebih informatif menyebutkan lengkap Departemen Pertahanan daripada Dephan. Atau bila dalam satu berita nama departemen yang panjang harus disebutkan seringkali, sebut saja selengkapnya pada penyebutan pertama, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, misalnya, selanjutnya cukup Departemen Hukum. Juga untuk Komnas HAM, bisa disingkat menjadi Komisi itu, atau lebih panjang sedikit, Komisi Hak Asasi Manusia itu. Jadi,

meringkaslah pada tempatnya, dan kalau perlu memperpanjang pada tempatnya pula. Memang, memanjangkan singkatan tak sesuai dengan semboyan ―lebih ringkas‖, namun pas

dengan semboyan ―lebih tajam‖.

23. Hemat kata-kata, buang yang tidak perlu. Baca kembali naskah Anda, mungkin Anda menandai beberapa kata yang bisa dihilangkan. Dan lihatlah, setelah beberapa kata dihilangkan kalimat tetap lengkap tanpa mengubah arti, malah lebih tajam dan kuat. Alhasil, semakin sedikit kata yang Anda gunakan untuk mengatakan satu berita, semakin jelas dan

lebih kuat berita tersebut.

Tsunami berlalu, meninggalkan setumpuk masalah. Upaya evakuasi korban, pembersihan puing-puing, dan penanganan pengungsi terus dilakukan. Tapi di samping tiga hal itu, pemerintah

harus memikirkan bagaimana nasib mereka yang kini menganggur. Upaya membuka lapangan kerja yang paling mungkin dilakukan kini, adalah lewat program-program padat

karya.

Bandingkan dengan ini:

Tsunami meninggalkan setumpuk masalah buat pemerintah: penyelamatan korban, pembersihan

puing, penanganan pengungsi.

Pemerintah juga harus memikirkan mereka yang kini menganggur dengan membuka lapangan

kerja padat karya.

Satu alinea dengan empat kalimat disunting menjadi hanya dua kalimat, dan terasa hasilnya lebih tajam dan kuat. Yang perlu Anda lakukan hanyalah membaca tulisan Anda sekali lagi sambil

memelototi kata-kata yang bisa dihapuskan tanpa mengubah arti kalimat.

Sebuah anekdot tentang kata atau kalimat mubazir dilontarkan oleh seorang penulis Inggris, Harold Evans, dalam bukunya, Newsman’s

English. Begini terjemahan bebasnya. Seorang penjual ikan di London memasang tulisan di papan: IKAN SEGAR DIJUAL DI SINI. Seorang teman membujuknya agar menghapus kata SEGAR, karena ia tidak diharapkan menjual ikan yang tidak segar. Sesudah itu, kata DI SINI pun diusulkan dihilangkan karena jelas-jelas ia menjual ikan di tokonya. Lalu kata

DIJUAL, perlukah itu, tanya si teman. Bukankah ia tak

hendak menggratiskan ikan-ikannya? Akhirnya kata itu dihapus pula. Tinggallah kata IKAN . Kemudian teman itu beranjak dari toko tersebut. Tapi 10 detik kemudian teman itu sudah berada di toko itu lagi, dan mengusulkan kata IKAN pun dihapus. Katanya: ―Dari jauh bau

ikan sudah menyengat, tak perlu orang diberitahu bahwa kau jualan ikan.‖

24. Tulis hanya poin utama saja, buang hal-hal sepele. Ini masih berkaitan dengan nomor 23, dari sisi lain. Penulis yang ―terikat‖ dengan naskah hasil riset dan atau laporan reporter biasanya menulis panjang lebar. Salah satu alasannya, untuk apa capai-capai mengumpulkan bahan bila tak banyak dikutip. Tapi kita menulis bukan untuk periset, bukan pula untuk rekan reporter yang mungkin menghabiskan dua hari mengejar sumber. Kita menulis untuk

pendengar, dan pendengar tidak tahu atau tidak peduli dengan bahan yag panjang lebar.

Pendengar ingin mendapatkan informasi yang jelas, ringkas, menarik.

25. Jangan membebek pada naskah sumber. Berita radio ada kalanya mengandalkan berita dari kantor berita atau surat kabar atau berita di internet. Bila sumber-sumber berita itu ditulis dengan bagus, cekatan, dan jenaka, seringkali kita pinjam kata dan gaya sumber. Ini harus dihindari. Jika kita meminjam kata dan gaya tersebut, akan ada saja pendengar yang

ingat pada sumber kita, dan jatuhlah nama stasiun radio kita atau sedikitnya nama kita.

Kita harus menuliskan kembali berita itu dalam kata dan gaya kita sendiri. Mungkin, ada sejumlah istilah dan deskripsi yang sulit diubah dalam berita dari sumber itu. Bagaimanapun kita harus menceritakan kembali dengan istilah dan cara kita sendiri dalam menggambarkan sesuatu.

Ini juga untuk menghindari tuduhan bahwa kita menjiplak.

26. Tempatkan elemen waktu, jika Anda membutuhkannya, setelah kata kerja. Pendengar yang mendengarkan berita Anda mempunyai alasan kuat untuk percaya bahwa seluruh berita Anda

adalah berita hari ini, bukan berita kemarin, bukan besok. Karena itu, seperti sudah ditulis di bagian lain, berita kemarin mesti diubah sudut pandangnya agar kata kemarin tak harus

digunakan, dan berita bisa disampaikan sebagai berita hari ini.

Hingga pagi ini, masih belum diketahui dengan pasti keberadaan dua wartawan TV yang

disandera.

Jika ini berita pertama dalam kasus penyanderaan wartawan itu, keterangan waktu mungkin tak perlu. Bila berita ini merupakan berita lanjutan, keterangan waktu diperlukan untuk menekankan sudah berapa lama penyanderaan berlangsung. Namun sebaiknya keterangan waktu digeser ke belakang kata disandera, dan akan lebih baik lagi bila ditambahkan sudah berapa lama mereka disandera hingga pagi ini itu. Yang penting dari

berita ini, nasib dua wartawan itu belum diketahui.

27. Tulislah yang Anda ketahui, tinggalkan bila Anda meragukan sebuah informasi. Sesaat

sebelum mengudara, bila kita menangani begitu banyak naskah, mungkin kita tidak bisa menemukan jawaban semua masalah: bahan sumber yang tak jelas, kalimat yang artinya mendua, data yang tidak konsisten, dan lain sebagainya. Penting diingat, dalam keadaan seperti itu jangan berasumsi, jangan berspekulasi, jangan main tebak-tebakan. Kita hanya percaya pada fakta. Apalagi bila ketidakjelasan itu adalah selembar keterangan pers, Anda harus lebih hati-hati. Keterangan pers ditulis oleh orang yang tidak bekerja untuk kita, dan keterangan itu ditulis untuk kepentingan institusi mereka, bukan kepentingan publik. Kadang, kepentingan mereka dan kita bertemu, dan kita menemukan rilis mereka bermanfaat. Tetapi rilis itu mungkin akurat mungkin tidak, mungkin lengkap mungkin tidak,

mungkin sudah imbang sebagai berita, meliput dua pihak, mungkin belum.

Jika Anda terpaksa menggunakan keterangan pers, pastikan bahwa itu bukan berita bohong. Jika Anda tak keburu melakukan pencekan, tulislah berita itu dan mengaitkannya dengan nama yang disebut dalam keterangan tersebut. Sastrawan besar Hemingway pernah berujar, kemampuan paling berharga seorang penulis, ―membangun mesin pendeteksi kebohongan yang tahan banting.‖ Sumber masalah lainnya ialah informasi lewat telepon, dan informasi itu terdengar sangat menarik dan penting. Bila ini terjadi, dengarkan saja baik-baik kata-kata penelepon itu, bertanyalah dan perlakukan setiap informasi yang

disampaikan lewat telepon tersebut sebagai berita berharga yang potensial.

Begitu Anda menutup telepon, jangan langsung menulis. Periksa dulu semua yang Anda catat dari penelepon tadi, dan kalau perlu langsung hubungi sumber lain untuk mengonfirmasi cerita yang Anda peroleh itu

Sebagai wartawan yang harus mendengar dari sana dan sini, bahkan ibarat informasi datang dari Iblis pun perlu didengarkan. Begitu Anda mengonfirmasi berita dari Iblis itu dan ternyata benar, berita tersebut milik Anda. Silakan menuliskannya untuk pendengar.

28. Jangan membuat pertanyaan tanpa jawaban. Ini berkaitan erat dengan nomor 19. Bila kita tak tahu kapan, misalnya, pembunuh Munir akan terungkapkan, sangat tidak dianjurkan membuat kalimat pembuka seperti ini: ―Kapan pembunuh Munir terungkapkan?‖

Anda tak bisa menjawabnya. Bahkan bila kalimat tanya tersebut dimaksudkan untuk menyindir pihak-pihak yang berkewajiban mengungkapkan siapa si pembunuh, jangan memakai kalimat tersebut. Lebih baik mencari kalimat lain, misalnya, ―Usaha tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir sudah maksimal, laporan sudah diserahkan ke presiden, tapi pemerintah tak kunjung menindaklanjutinya."

Sehubungan dengan kalimat tanya tak berjawab, dianjurkan untuk tidak menyelipkan fakta yang masih harus dijelaskan. ―Tak seorang pun di kantor itu bisa memberi tahu alamat korban.‖

Ini hanya menunjukkan bahwa Anda (dan tim Anda) kurang keras bekerja. Dan seandainya Anda dan tim sudah bekerja mati-matian, ini pun tak perlu diberitahukan kepada pendengar siapa percaya? Lebih baik memberitakan dengan sudut pandang lain hingga soal alamat korban

bisa menunggu di berita selanjutnya.

29 Baca naskah Anda keras-keras; jika naskah itu terdengar seperti untuk berita surat kabar, tulis

ulang. Yang harus diperhitungkan

dari naskah Anda bukan yang terlihat pada tulisan melainkan bagaimana naskah itu terdengar. Jika kedengarannya tidak seperti bahasa percakapan, melainkan lebih sebagai naskah

untuk dicetak di surat kabar dan dibaca, tulis kembali.

30. Seringlah menulis ulang tulisan sendiri. Inilah cara belajar menemukan kesalahan dalam

tulisan Anda dan memperbaikinya.

Periksa semua nama, tanggal, jumlah, fakta-fakta: benarkah demikian? Setelah ada jarak waktu, Anda bisa menjadi pendengar yang baik untuk naskah Anda sendiri, dan melakukan otokritik. Apakah tulisan Anda jelas dan tidak kusut? Apakah kata-kata yang Anda gunakan tepat dan tidak mubazir? Dan dalam susunan yang benar? Dan apakah kata-

kata itu mudah didengarkan?

Juga, apakah setiap informasi benar? Akurasi amat penting. Sebuah kantor berita bersemboyan begini: ―Get it first, but first get it right.‖ Jadilah yang pertama mendapatkan berita, tapi pertama-tama dapatkan berita yang benar. Itulah semboyan situs tempointeraktif, ―Be the first, but first get the truth.‖ Jadilah yang pertama, tapi pertama-tama dapatkan berita

yang benar.

Manfaat menulis ulang diceritakan dalam wawancara George Plimpton dengan sastrawan Amerika Hemingway untuk Paris Review:

P: Berapa banyak penulisan kembali yang Anda lakukan?

H: Tergantung. Saya menulis kembali bagian akhir Farewell to Arms, halaman terakhirnya, 39 kali sebelum saya akhirnya puas.

P: Apakah ada masalah teknis? Apa yang membuat Anda menulis kembali naskah itu?

H: Untuk menemukan kata-kata yang tepat.

Tetapi kita tidak punya waktu sebanyak yang dimiliki Hemingway. Kita menulis dalam keadaan terburu-buru dan jarang merevisinya pada waktu senggang. Mungkin, setelah sering menuliskan kembali naskah-naskah kita yang sudah disiarkan kita mudah menemukan kata-kata yang tepat, membuat alur tulisan mengalir dengan jelas, dan peka terhadap data

dan fakta yang harus dikonfirmasikan.

Penulis yang baik selalu bertanya di dalam hati sehabis menulis sebuah kalimat: ―Apa saya tidak salah?‖ Jadi baca kembali, periksa kembali. Dan jangan lupa, berdoalah agar naskah Anda

benar.

Jadi, kira-kira urutan menulis berita radio itu begini. Anda harus membaca bahan dan menyerapnya hingga bahan itu menjadi milik Anda. Membacalah dengan kritis, tandai yang Anda yakini kebenarannya dan penting—yang akan Anda gunakan juga tandai yang meragukan, yang masih perlu konfirmasi. Setelah itu, sempat atau tak sempat melakukan konfirmasi, Anda gunakan semua yang diuraikan di buku ini—seperti pilot melihat daftar yang harus di cek sebelum terbang—sebagai pegangan menulis. Caranya, Anda harus sudah menyerap semua yang Anda setujui dari buku ini hingga insting Anda bekerja sesuai yang Anda setujui itu. Atau, lupakan semuanya dan menulislah menurut yang Anda anggap terbaik. Yang penting, pertimbangkanlah kritik, dari mana pun datangnya, terutama dari

pendengar.

IV. Tujuh Kesalahan Pengantar

PENDENGAR tak selalu mendengarkan berita dari awal. Itu sebabnya berita radio disusun sederhana, dengan kalimat sederhana, agar pendengar yang tak mengikuti dari awal setidaknya bisa menangkap sepotong berita itu. Kemudian terserah pendengar, akan mengikuti terus berita itu karena menganggap penting topik beritanya, atau tidak. Dalam hal ini berita radio mengandalkan pada penulisan berita yang baik, seperti diuraikan dalam tiga bab terdahulu, untuk memikat pendengar agar terus mendengarkan.

Akan halnya untuk pendengar yang mengikuti berita dari awal, redaksi berita radio tak hanya mengandalkan pedoman penulisan yang baik. Redaksi mempunyai peluang untuk tak membiarkan pendengar pindah gelombang. Peluang itu ada pada pengantar atau disebut juga lead-in atau intro, yang dibacakan oleh penyiar sebelum membacakan beritanya. Karena itu penulisan pengantar harus

diupayakan sedemikian rupa untuk merebut dan memikat pendengar agar mendengarkan

berita radio yang akan disiarkan.

Sebuah pengantar yang baik boleh dikatakan telah merebut 50% perhatian pendengar— selebihnya tergantung beritanya. Pengantar bisa dikatakan berfungsi sebagai promosi beritanya, sebagai iklan. Namun, ―iklan‖ ini harus jujur, tak seperti umumnya iklan yang lebih indah daripada warna aslinya, atau asal menarik perhatian, relevan atau tak relevan dengan yang diiklankan. Penulis pengantar mau tak mau harus menemukan hal yang menarik atau bermanfaat atau sesuatu yang eksklusif atau apa pun dari berita yang hendak diantarkannya, yang kira-kira membuat pendengar akan terus mendengarkan. Hal atau hal-hal itulah yang dijadikan bahan pengantar.

Bukan hanya itu; bila sebuah berita tanpa konteks, tugas pengantarlah untuk menjelaskan konteksnya. Misalnya sebuah berita hanya merupakan reportase antrean BBM di sebuah pompa bensin sepanjang 4 km di Lampung. Penulis berita hanya merangkum keluh-kesah para sopir truk dan bus yang antre, dan keterangan pihak pompa bensin bahwa jatah BBM dikurangi hingga 40%. Dalam hal seperti ini pengantar bisa menceritakan latar belakang kenapa antrean ini terjadi. Umpamanya pengantar bisa menceritakan keharusan Pertamina menghemat BBM, karena makin banyak BBM dikeluarkan makin besar Pertamina menalangi subsidi. Soalnya, dana subsidi dari pemerintah datang belakangan. Pengurangan pasokan juga untuk mencegah ―penimbunan‖ BBM. Masalahnya, kenapa masyarakat yang dikorbankan, kenapa pemerintah tak mencari jalan keluar agar masyarakat tak dirugikan?

(Catatan: bila pengantar mempertanyakan soal itu, berita harus memberikan jawabannya;

bila tidak, pengantar tak perlu mempersoalkannya.)

Bagaimana bila penulis pengantar tak juga menemukan hal yang menarik dari beritanya, bahkan tak juga paham sebenarnya berita yang harus diantarkannya ini tentang apa? Ini tergantung kebijakan stasiun radio masing-masing. Cara paling mudah, kembalikan berita itu kepada penulisnya, ganti dengan berita lain.

Biarpun mirip iklan, pengantar tak bisa mengabaikan unsur-unsur berita (5W+1H: apa, di mana,

kapan, siapa, kenapa, dan bagaimana). Namun, berbeda dengan intro berita surat kabar yang biasanya menumpuk unsur-unsur tadi di alinea-alinea awal, yang perlu segera disampaikan di pengantar berita radio hanyalah unsur di mana (peristiwa yang diberitakan ini terjadi), selain apa (yang sebenarnya terjadi). Sebab, pendengar akan lebih mudah

memahami dan mengingat sebuah peristiwa bila lokasi kejadian diketahui. Unsur yang lain lebih baik disajikan dalam beritanya, agar pengantar tak dipenuhi keterangan. Apalagi soal kapan, tak perlu ditegaskan, karena diasumsikan bahwa radio selalu memberitakan

peristiwa terbaru.

Sesuai pembagian berita radio, ada dua jenis pengantar: untuk berita keras (hard news) dan berita lunak (soft news, yang biasanya berbentuk features dan menekankan segi-segi human interest). Yang untuk berita keras, selain perlu menginformasikan lokasi di mana peristiwa itu terjadi, juga harus menyampaikan pentingnya berita itu disiarkan. Pengantar untuk features lebih susah. Selain harus juga mengandung dua hal dalam pengantar hard news yang sudah disebutkan, dalam pengantar features mesti ada sesuatu yang lain yang bisa menjual features yang akan dibacakan. Umumnya, reportase yang dramatis, prestasi luar biasa seseorang, termasuk yang bisa menjual. Jam terbang seorang penulislah yang bisa memberikan ―pedoman‖ pengantar untuk features.

Agar menarik pendengar, berapa panjang pengantar sebaiknya ditulis? Yang penting, jangan sampai pengantar begitu membosankan sehingga sebelum berita disiarkan pendengar sudah mematikan radionya. Sekadar pegangan, yang terpendek adalah pengantar satu kalimat, kira-kira lima detik; terpanjang, harus kurang dari setengah menit, taruhlah sekitar 20 detik.

Berikut tujuh hal yang harus dihindarkan dari pengantar.

1. Jangan memasukkan dalam pengantar kata-kata kunci yang ada dalam berita yang akan disiarkan. Pengantar semacam ini merugikan beritanya. Begitu mendengarkan beritanya, pendengar merasa bahwa ia pernah mendengarkan hal serupa sebelumnya. Ini bila kata-kata kunci di pengantar dan dalam beritanya cukup jauh jaraknya. Bila jarak itu dekat, kesan bahwa pengantar hanya

mengopi beritanya atau berita sekadar mengulang pengantar tak bisa dielakkan. Misalnya pengantar untuk berita tentang serbuk antraks yang diterima Kedutaan Besar Indonesia di Canberra. ―Pemerintah, melalui Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa, meminta warga negara Indonesia yang berada dan akan bepergian ke Australia lebih waspada. Menurut Marty pula, Pemerintah RI belum berencana mengeluarkan larangan berkunjung atau travel warning ke Australia,‖ demikian pengantar itu. Bila sesudah itu

langsung terdengar suara Marty Natalegawa bahwa ia meminta warga negara Indonesia di Australia dan yang akan mengunjungi benua itu ―untuk lebih waspada, meski pemerintah Indonesia belum mempertimbangkan mengeluarkan travel warning,‖ pendengar akan

menilai pengantar sekadar menirukan isi berita.

2. Jangan mengambil hal yang eksklusif atau mengejutkan dari berita untuk pengantar. Berita tentang dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta berpengantar seperti ini: ―Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD Jakarta M. Taufik memaksa anggota tim pengadaan barang

KPU Jakarta untuk menandatangani dokumen-dokumen pengadaan logistk pemilu 2004. Jika surat kontrak kerja antara KPU Jakarta dengan perusahaan rekanan tersebut tidak ditandatangani, dia diancam akan dipecat ...‖ Lantas diperdengarkan rekaman keterangan

Muhamad Amin, seorang anggota tim pengadaan barang, bahwa ia dipaksa manandatangani dokumen pengadaan logistik. Jika ia tak mau, ia akan dipecat.

Berita ini kehilangan hal yang eksklusif atau mengejutkan —ketua KPUD yang memaksa anggotanya— karena hal itu sudah diceritakan di pengantar. Sebaiknya pengantar memilih yang lain, misalnya memberikan konteks berita, menceritakan tentang terbongkarnya korupsi di beberapa KPU, termasuk di KPUD Jakarta dan pusat. Lalu tutuplah pengantar dengan kalimat: ―Kenapa korupsi di

KPUD DKI Jakarta bisa terjadi? Dengarlah keterangan Muhamad Amin, anggota tim pengadaan barang KPUD Jakarta.‖ Pengantar ini menjadikan keterangan Muhamad Amin

eksklusif, setidaknya mengejutkan.

3. Jangan menulis pengantar untuk berita keras seperti pengantar untuk features dan sebaliknya. Ini akan membuat pendengar merasa ditipu. Buku Writing Broadcast News—Shorter, Sharper, Stronger mengibaratkan pengantar sebuah etalase toko. Bila dandanan etalase toko berlian

dipakai utuk etalase toko sepatu, misalnya, etalase ini tak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka yang ingin membeli sepatu tak masuk ke toko ini, mereka yang berniat melihat-lihat berlian akan kecewa, mungkin tertawa, atau marah kemungkinan besar mereka tak akan kembali ke toko itu biarpun ketika hendak membeli sepatu.

4. Jangan menulis pengantar yang isi informasinya bertentangan dengan beritanya. Suatu hari terdengar pengantar berita dari sebuah stasiun radio tentang bom yang meledak di kediaman seorang ustaz. Pengantar itu mengutip kesaksian seorang tetangga bahwa sebelum terdengar ledakan ia melihat dua orang lelaki tak dikenal membawa senjata AK-47 berjalan bolak-balik di depan rumah ustaz itu. Hal yang sama diceritakan dalam beritanya, hanya saja dalam berita disebutkan

bahwa dua lelaki itu membawa senapan angin, seperti hendak menembak burung. Rasanya ini hanya kesalahan kecil, namun seringkali yang kecil ini kalau terlalu sering akan menurunkan kepercayaan pendengar.

5. Jangan melebih-lebihkan berita. Ini sudah disinggung pada pengantar tulisan tentang pengantar ini. Mungkin, dengan cara yang ―lebih indah dari warna aslinya‖ kita berhasil merebut banyak pendengar. Tapi ini juga berarti akan banyak yang kecewa. Bagaimanapun pengantar adalah bagian dari jurnalistik dan karena itu penulis pengantar harus mengindahkan kaidah jurnalistik yang baik, bukan lalu jadi tukang obat pinggir jalan.

6. Jangan membuat pengantar yang meragukan. Biasanya hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, beritanya memang amburadul, tak jelas arahnya. Kedua, penulis pengantar tak sempat membaca dengan baik beritanya. Dalam hal seperti itu, penulis pengantar yang hati-hati akan menulis pengantar seperti menulis ramalan bintang: apa pun yang terjadi ramalan itu cocok. Soalnya kalimat demi kalimat tak menunjuk pada satu hal yang spesifik. Risikonya, pengantar jadi datar,

tidak menarik.

Cara lain yang aman dan lebih baik daripada ramalan bintang meski tetap kurang bermutu adalah sedikit mengembangkan kalimat pertama dari beritanya. Sebuah naskah berita sampai di penulis pengantar dan satu setengah menit lagi harus disiarkan. Dari sekilas membaca penulis itu tahu bahwa beritanya tentang penaikan cukai rokok, namun isi berita itu sendiri tak tertangkap olehnya. Kalimat pertama berita itu tentang ketidaksetujuan seorang gubernur, dengan alasan kenaikan cukai mendorong orang membuat cukai palsu. Inilah pengantar yang lebih baik dari ramalan bintang itu: ―Rencana penaikan cukai rokok sekitar 15% segera ditentang oleh gubernur Jawa Timur. Menurut gubernur, penaikan cukai mendorong pembuatan cukai palsu, dan tujuan pemerintah meningkatkan pendapatan dari cukai tak akan seperti diharapkan.‖

7. Jangan mengakhiri pengantar dengan informasi yang tidak sesuai dengan awal berita. Mungkin ini jarang terjadi, namun perlu dicatat. Salah satu kebiasaan penulis pengantar, menutup pengantar dengan informasi bahwa liputan beritanya dikerjakan oleh reporter A. Bila kemudian yang terdengar adalah suara sumber berita yang diwawancarai A, pendengar akan bertanya-tanya, sejak kapan seorang reporter boleh menyampaikan pendapatnya secara langsung dalam beritanya.