menulis kreatif

96
1

description

prinsip menlis kreatif

Transcript of menulis kreatif

Page 1: menulis kreatif

1

Page 2: menulis kreatif

2

MENULIS KREATIF Panduan Menulis Kreatif

Suhariyadi – Seri Modul Penulisan Sastra

Penerbit

SANGGAR SASTRA UNIROW

2011

Page 3: menulis kreatif

3

MENULIS KREATIF Panduan Menulis Kreatif Hak Cipta © Suhariyadi

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia

Oleh Penerbit SANGGAR SASTRA UNIROW,

Mei 2011

Jl. Manunggal No. 65

Tuban

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis

Perpustakaan Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia

UNIROW Tuban

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Page 4: menulis kreatif

4

KATA PENGANTAR

Buku ini ditulis sebagai Modul Pengembangan Diri mahasiswa Program

Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UNIROW, Tuban, di bidang

penulisan kreatif. Di samping itu, buku ini juga dapat dipakai untuk kalangan

pelajar dan remaja yang sedang bergairah menulis. Pada modul ini terfokus pada

penulisan sastra, sedangkan pada seri selanjutnya akan ditulis jenis penulisan

kreatif non-sastra. Sebagai modul, buku ini berisi teknik-teknik bagaimana

menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan. Semoga kehadirannya dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Tujuan disusunnya buku ini sekedar memberikan pedoman bagi

mahasiswa, pelajar, remaja, ataupun para penulis pemula. Kerap kali mereka

mengeluhkan kebuntuhan untuk menuangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan

ke dalam bentuk tulisan. Dari berbagai kegiatan pelatihan penulisan yang diikuti

penulis sebagai nara sumbernya, ada dua hal yang melatarbelaknginya. Pertama,

mereka belum memahami hakikat tulisan yang akan mereka ciptakan. Kedua,

mereka belum menguasai teknik menuangkan ide dan gagasannya itu dengan

cara yang mudah, cepat, dan produktif. Berdasarkan dua hal itu modul ini dibuat.

Banyak hal yang belum sempurna dalam modul ini. Oleh karena itu,

penulis terbuka terhadap masukan, kritik, dan saran untuk kesempurnaannya.

Tak ada gading tak retak. Begitu pula yang terjadi dalam modul ini. Banyak hal

yang belum terkatakan. Banyak hal yang belum waktunya diungkapkan. Masih

banyak waktu untuk itu. Masih banyak kesempatan untuk menciptakan. Kiranya

sebatas itulah modul ini ditulis. Terima kasih untuk semua pihak yang telah

membantu penyusunan modul ini. Semoga karya dan kekaryaan memiliki

manfaat bagi kemslahatan umat. Amin.

Penulis

Page 5: menulis kreatif

5

DAFTAR ISI

SIASAT SASTRA Pijakan Mencipta Karya Sastra MANUSIA HERO Obyek Penciptaan Karya Sastra KONFLIK Titik Kemenarikan Karya Sastra IDE PENULISAN Sebuah Premis tentang Problema Manusia KERANGKA PENULISAN Membangun Aliran Cerita yang Menarik BAGAIMANA PUISI ITU TERCIPTA? BAGAIMANA CERPEN ITU TERCIPTA? BAGAIMANA DRAMA ITU TERCIPTA? BAGAIMANA ESAI ITU TERCIPTA? BELAJAR SASTRA Menulis Sastra Mesti Belajar Sastra

Page 6: menulis kreatif

6

SIASAT SASTRA Pijakan Mencipta Karya Sastra

alam jagad kesusasteraan dikenal istilah: imajinasi, fiksi, dan ekspresi. Ketiga istilah tersebut menyarankan proses kesadaran manusia dalam

penciptaan karya sastra. Istilah imajinasi mengandung pengertian perenungan, penghayatan, pemikiran, dan perasaan. Di dalam imajinasi itulah, seseorang mengembara ke ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas tak bertepi dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan, ingatan, pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke dalam alam sadar dan bawah sadarnya. Itulah mengapa imajinasi disebut juga pembayangan. Bahasalah yang akan mewadahi hasil imajinasi tersebut ke dalam kata, frase, kalimat, paragraf, dan wacana, yang kemudian disebut sastra.

Sedangkan istilah fiksi mengandung pengertian rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tak perlu dicari kebenarannya dalam realitas. Ia berisi peristiwa, tokoh, dan tempat, yang kemudian ditampung dalam bahasa naratif dan disebut dengan sastra (wacana naratif). Itulah mengapa istilah fiksi bertolak belakang dengan realitas atau faktual. Kedua istilah itu, imajinasi dan fiksi, merupakan rangkaian tak terpisahkan. Pengalaman pengembaraan imajinasi seseorang akan memunculkan fiksi yang terwadahi dengan bahasa dan disebut karya sastra. Beberapa ahli sastra menyebutnya dengan cerita rekaan atau prosa fiksi. Sedangkan istilah ekspresi mengandung pengertian cara mengungkapkan apa yang diimajinasikan seseorang dengan sarana bahasa. Setiap orang memiliki ekspresi yang berbeda-beda. Setiap kreator memiliki gaya masing-masing. Ia bersifat individual. Karena bahasa menjadi medianya, maka ekspresi seseorang akan tampak pada penggunaan kata, frase, kalimat, paragraf, dan wacana. Bahasa fiksi dengan demikian merupakan hasil dari pengolahan secara kreatif, imajinatif, dan fiktif. Dari pilihan kata hingga wacana yang lengkap, akan memunculkan cara dan gaya bagaimana seseorang mengungkapkan apa yang diimajinasikan dan difiksikan. Tak heran jika seseorang memiliki teknik, kebiasaan, dan pengetahuan untuk itu. Dalam ekspresi ada penyikapan terhadap obyek yang diungkapkan dalam karya sastra. Penyikapan itu dipengaruhi banyak hal, antara lain: tingkat penghayatan, pemikiran, kemampuan, ideologi, kebiasaan, lingkungan, pengalaman, dan sebagainya. Di samping itu, dalam ekspresi terdapat juga teknik

D

Page 7: menulis kreatif

7

tentang bagaimana menyusun obyek yang diungkapkan melalui unsur-unsur wacana sastra yang diciptakan. Dalam pengetahuan wacana disebut dengan strategi pewacanaan. Strategi pewacanaan merupakan model, skema, dan fokalisasi yang digunakan seseorang dalam menciptakan karya sastra. Adanya penyikapan dan teknik ekspresi itulah menandai adanya penyiasatan dalam karya sastra. Sebutlah dalam konteks pembicaraan ini disebut Siasat Sastra. Hal ihwal Siasat Sastra muncul lantaran adanya kreativitas pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Adanya sikap terhadap obyek yang diungkapkan dan gaya atau teknik terhadap bahasa sebagai media, merupakan dua hal yang menandai siasat sastra. Sikap pengarang terhadap obyek yang diungkapkan mengandung berbagai kemungkinan yang luas, seluas samudra imajinasi pengarang itu.Bahkan lebih luas dari realitas. Makanya kebenaran dalam imajinasi dan fiksi berbeda dengan kebenaran dalam realitas. Tak perlu mencari kebenaran realitas dalam karya sastra. Terdapat jarak antara keduanya; kebenaran imajinatif dan kebenaran obyektif. Di antara keduanya ada jarak di mana sikap kreatif dan estetis berada di dalamnya. Adanya sikap kreatif dan estetis-imajinatif itulah, apa yang tidak mungkin dalam realitas, menjadi mungkin dalam karya sastra. Apa yang tidak lumrah dalam realitas, menjadi lumrah dalam karya sastra. Apa yang tidak logis dalam realitas, menjadi logis dalam karya sastra. Begitu sebaliknya. Tak pelak lagi adanya kecenderungan munculnya shok psikologis bagi pembacanya ketika membaca karya sastra. Apa yang sudah biasa dialami dalam realitas, menjadi sesuatu yang tidak biasa dalam karya sastra. Bisa saja hal itu tidak lazim dalam realitas dan tidak disadari pembacanya. Pertunjukan Uncle Tom Cabin karya Stowe, pada akhirnya menjadi terapi bagi penontonnya, yang semuanya kulit putih Amerika, bahwa perlakuan kulit putih terhadap kulit hitam merupakan perbuatan yang tak adil dan tidak sesuai dengan hakikat moral dan kemanusiaan. Jika kemudian, para penonton merasakan simpati atas apa yang diceritakan dalam pertunjukan tersebut, sesungguhnya terdapat kesadaran moral yang selama ini tidak pernah terjadi dalam realitas. Ketika rakyat Uni Sovyet dibungkam kebebasan mengeluarkan pendapatnya, maka novel Boris Pasternak berjudul Doktor Zivago menjadi medianya. Betapapun pada akhirnya Boris Pasternak harus menerima hukuman mati, sesungguhnya ia telah mengungkapkan sebuah kemungkinan kebenaran yang diyakininya, yang dalam realitasnya sangat tabu di negeri itu. Begitu juga ketika tubuh dan organ intim manusia tabu dan vulgar secara etika untuk diungkapkan dalam realitas, para sastrawan wanita, seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, dan banyak pengarang wanita lainnya, justru mengungkapkannya dalam karya sastra. Begitu juga Abidah El-Khaliqie dalam novelnya berjudul Perempuan Berkalung Surban, mengungkapkan hal yang tak terungkapkan dalam realitas. Itu menjadi sebuah kemungkinan sebagai kebenaran yang harus diungkapkan. Itu menjadi sebuah sikap pengarang dalam memandang obyek yang diungkapkan dalam karya sastranya. Dan itu merupakan siasat sastra yang selalu muncul dalam jagad kepengarang kesusasteraan.

Page 8: menulis kreatif

8

Siasat sastra dalam perwujudannya sebagai sikap pengarang, merupakan wujud intelektualitas dan keyakinan akan suatu kebenaran hidup. Pada tataran inilah karya sastra bukan sekedar khayalan belaka. Bukan sebagai hasil dari lamunan pengarang terhadap apa yang diceritakan. Tak pelak lagi, sepanjang sejarahnya, kesusateraan selalu berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan. Sepanjang sejarahnya, kesusasteraan selalu menjadi media sosialisasi dan pendidikan bagi masyarakatnya. Bahkan dalam sejarahnya itu, kesusasteraan pernah menjadi media bagi sebuah pembangunan karakter bangsa (character bulding). Di mata kelompok realisme sosial, yang bersumber pada pemikiran marxisme, menjadikan karya sastra sebagai alat propaganda ideologi dan politiknya. Dan bahkan jauh sebelum itu, ketika masyarakat belum mengenal ilmu pengetahuan yang sedisiplin sekarang, karya sastra adalah pengetahuannya. Sebagai pembangun karakter bangsa dan pengetahuan tentang hidup, karya sastra perlu menyiasati segala bidang kehidupan. Ia mesti menyiasati bagaimana dan sebaiknya dan seharusnya hidup yang lebih baik dan bermoral. Ia menjadi sebuah alternatif cara pandang dan bersikap terhadap semua persoalan hidup agar lebih bermakna bagi pemiliknya. Banyak kemungkinan dan pilihan untuk menjalani kehidupan yang penuh intrik ini. Intrik kehidupan selalu ada dalam perjalanan hidup manusia. Lika-liku problema kehidupan adalah intrik yang harus dipecahkan agar kehidupan manusia menjadi harmonis. Manusia untuk itu harus menyikapi semua hal agar arah perjalanan kehidupannya menuju kepada kemaslahatan. Penyikapan tersebut merupakan bentuk pemikiran, penghayatan, pengalaman, dan kebijaksanaan hidup. Di situlah siasat sastra menempatkan penyikapan terhadap obyek yang diceritakan pengarang turut memberikan sumbangan bagi masyarakatnya. Persoalan bahasa sebagai media ekpresi pengarang juga menjadi siasat sastra. Licensia Poetica menjadi label bagi kebebasan pengarang untuk membangun bahasanya sebagai perwujudan siasat sastra itu. Hak untuk secara kreatif menggunakan dan menyusun bahasa dalam karya sastra menjadi persoalan yang tak pernah habis dibicarakan. Bahkan secara keilmuan muncul cabang ilmu bahasa dan sastra yang disebut stilistika dan retorika. Kedua cabang ilmu itu menjadi disiplin yang mencoba menjelaskan kaedah-kaedah bagaimana suatu bahasa tampak estetik dan menarik. Wilayah kajian keduanya akan sampai pada suatu proposisi bahwa terdapat siasat yang dipakai pengarang dalam mengekspresikan karyanya. Persoalan ekspresi sesungguhnya berdasarkan pada hakikat karya sastra sebagai karya seni yang indah. Jika pada tataran penyikapan terhadp obyek merupakan substansi isi, maka ekspresi menjawab bagimana substansi itu diungkapkan dengan cara yang indah dan menarik. Horatius mengatakan karya sastra memiliki fungsi dulce et utile; mendidik dan menghibur. Bagaimana mengajarkan suatu kebijaksanaan hidup yang baik dengan cara menghibur. Berdasarkan inilah kualitas karya sastra bisa diukur apakah ia tergolong karya sastra yang cukup menjadi bahan bacaan pengisi waktu luang, sekali baca lantas tidur, atau ada sesuatu yang mesti dipahami, dimengerti, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan yang lebih baik. Sebuah apresiasi karya sastra akan

Page 9: menulis kreatif

9

diawali pada tingkat hiburan hingga pada aplikasi ke dalam kehidupan pembacanya. Sarana bahasa jelas menyediakan semua kebutuhan bagi ekspresi pengarang ketika menciptakan karya sastra. Keluasan dan keleluasaan berbahasa yang dimiliki bahasa itu sendiri dan/atau pengarang, memungkinkan banyak ragam siasat sastra dalam bidang ekspresi. Keluasan dan keleluasaan berbahasa sejauh keluasan dan keleluasaan karya sastra yang beraneka ragam gaya ekspresinya. Setiap pengarang memiliki gaya ekspresi yang berbeda-beda. Setiap karya sastra memiliki penyiasatan bahasa yang bermacam-macam. Namun demikian, ada prinsip-prinsip dasar yang sama di antara mereka. Prinsip-prinsip dasar tersebut tampak pada wilayah yang mana yang menjadikan pengarang dan karya sastranya menyiasati bahasa sebagai bentuk siasat sastra. Pilihan kata, penciptaan simbol, imaji, gaya bahasa, bangunan kalimat, penciptaan dan penyimpangan makna, bangunan bunyi, struktur cerita (wacana), merupakan wilayah yang sangat diperhatikan oleh pengarang. Ia tidak sekedar memperlakukan semua itu dalam konteks kebahasaan, tetapi ia olah dan manfaatkan untuk tidak saja menampung makna tetapi juga perasaan. Bahasa dalam karya sastra tidak saja mewadahi sebuah pengertian sebagaimana dalam sistem yang mengaturnya, tetapi juga mampu mewadai apa yang ada dalam gejolak jiwa pengarangnya. Untuk itu acap kali pengarang mengadakan penyimpangan, pembaharuan, dan pendobrakan terhadap sistem bahasa. Ketidaklaziman bahasa sering muncul sebagai bentuk siasat sastra. Semua itu sengaja dilakukan untuk memunculkan kekhasan gaya ekspresi pengarangnya. Semua itu sengaja dilakukan untuk memunculkan efek kejiwaan dan suasana dalam karya sastra. Begitu pentingnya siasat sastra dalam penciptaan karya sastra, menjadikan ia sebagai wilayah kajian yang tak mungkin dilepaskan dari semua kajian dengan pendekatan dan teori apa saja. Psikologi sastra, sosiologi sastra, filsafat sastra, strukturalisme, postrukturalisme, stilistika, hingga studi budaya sastra, mesti bersentuhan dengan persoalan siasat sastra itu. Oleh karena itu, kehadirannya tidak perlu berdiri sendiri sebagai sebuah pendekatan atau teori sastra. Siasat sastra sebatas sebagai wacana pemikiran tentang prinsip-prinsip dasar penciptaan karya sastra. Ia juga sebagai wacana pemikiran tentang bagaimana pembaca memahami sebuah strategi kewacanaan yang terkandung dalam karya sastra. Dengan begitu, pembaca dapat mengambil manfaat dalam proses pembacaan karya sastra itu.

_________________

Page 10: menulis kreatif

10

MANUSIA HERO Obyek Penciptaan Karya sastra

ejak peradaban manusia ada, sastra dan moral-sosial tak dapat dipisahkan. Pertama, sastra diciptakan untuk memberikan pencerahan bagi pembaca

dan pendengarnya. Sastra memberikan pengajaran mengenai budi pekerti dan moral yang baik. Nilai-nilai tuntunan sangat menonjol tanpa mengabaikan tatanan keindahannya. Kedua, karya sastra lahir dari perenungan, penghayatan, pengalaman batin, dan rasa yang dalam dari pengarangnya. Karya sastra bukan semata sebagai khayalan untuk menghibur. Lebih dari itu, karya sastra menjadi wujud dari sebuah kebijaksanaan tentang hidup yang sempurna dan bermanfaat. Tidak heran jika zaman dahulu para sastrawan akan menyiapkan mata batinnya yang jernih, suci, dan hening sebelum menciptakan karya sastra. Karya sastra diharapkan menjadi penuntun bagaimana menciptakan harmonisasi antara jagad mikro (sumber penulisan karya sastra) dengan jagad makro (sumber eksistensi hidup manusia). Karya sastra mengungkapkan persoalan hidup manusia dalam hubungan sarwa (hubungan antara manusia dengan manusia, alam semesta, dan Tuhan). Hubungan sarwa tersebut selalu melahirkan problema yang menuntut manusia untuk menyelesaikannya. Akhir dari persoalan hidup yang diungkapkan dalam karya sastra itu akan selalu menuju pada keharmonisan atau ketidakharmonisan hubungan. Akhir harmonis menjadi tuntunan positif bagaimana seyogyanya manusia mengambil sikap dalam menyelesaikan persoalan yang menimpanya. Akhir tidak harmonis menjadi tuntunan negativ, seharusnya manusia tidak mengambil sikap tertentu agar persoalan hidup yang menimpanya tidak berakhir secara tragis dan menyedihkan. Keanekaragaman gaya penceritaan dalam karya sastra memiliki tujuan yang sama, bagaimana seharusnya bersikap selayaknya untuk menyelesaikan persoalan hidup. Manusia pada dasarnya adalah seorang Hero. Itulah yang sesungguhnya ingin diungkapkan sastrawan melalui karya sastranya. Hidup adalah sebuah perjuangan. Manusia hidup dengan begitu mesti mengalami dan melakukan sebuah perjuangan. Perjuangan melawan keterbatasan; perjuangan melawan kejahatan; perjuangan melawan nafsu; dan perjuangan melawan persoalan-

S

Page 11: menulis kreatif

11

persolan yang muncul dalam perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Dalam hukum moral, Hegel menggambarkan sebuah dialektika; sebuah sistesa dari internalisasi tesa dan antitesa. Keharmonisan pada dasarnya tercipta dari keterpaduan suatu hal dengan hal lain. Dalam pemikiran ini, perjuangan manusia sebagai Hero adalah perjuangan untuk menyelesaikan persoalan melalui hubungan antara dua hal yang berbeda. Keberhasilan perjuangan itu tergantung pada bagaimana manusia mampu memadukan keduanya secara harmonis. Karya sastra mengungkap manusia sebagai hero dalam misinya untuk mengharmoniskan dirinya dan lingkungannya. Heroisme manusia dalam sastra bukannya tanpa intrik. Ada sumber yang melahirkan persoalan yang dihadapi manusia. Sumber persoalan itu dapat bersal dari dirinya sendiri, karena manusia memiliki nafsu, ambisi, keinginan, harapan, cita-cita, kebutuhan, dan sebagainya. Sumber persoalan dapat juga berasal dari orang lain, karena faktor yang sama. Sumber persoalan tersebut juga bisa berasal dari sebuah kolektivitas, yaitu masyarakat dan sistem sosiokulturalnya. Sumber dirinya sendiri, orang lain, atau masyarakat, merupakan wujud dari sifat dinamis manusia. Semuanya serba berubah; semuanya serba berkembang. Tak ada yang tetap, kecuali perubahan dan perkembangan itu sendiri. Persoalan demi persoalan selalu muncul. Satu terselesaikan, yang lain akan muncul. Beraneka ragam kualitas dan bentuknya. Manusia harus menyadarinya. Lantas, semua itu menuntut manusia menyikapinya dan menyelesaikan agar harmonisasi selalu tercipta. Persoalan yang menuntut manusia Hero dalam sastra merupakan bola salju. Ia akan berjalan semakin besar; semakin menekan psikologis manusia hero tersebut. Inilah sebuah intrik. Di sinilah konflik yang melahirkan suspense (baca: ketegangan) dalam cerita sastra tercipta. Di situ pula daya tarik secara artistik dan estetis tercipta dalam karya sastra. Pembaca akan semakin tenggelam dan terlibat dalam intrik manusia Hero sebagai tokoh utama yang diceritakan. Kedalaman intrik itu tergantung pada kedalaman pimikiran, penghayatan, perenungan, dan pandangan hidup pengarangnya. Di samping itu, kedalaman intrik tersebut juga tergantung pada keluasan wawasan pengarang dalam memandang persoalan hidup yang diceritakan. Dalam kualitas kedalaman intrik itu pula akan ditemukan suatu sikap dan ideologi pengarangnya. Keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup terhadap suatu kebenaran, menjadi sebuah ideologi yang tersamarkan dalam karya sastra. Manusia hero yang diceritakan, akan digambarkan berdasarkan keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup tertentu. Analisis kritis terhadap karya sastra akan sampai kepada kedalaman itu. Membaca karya-karya sastra di zaman awal kebangkitan bangsa Indonesia misalnya, kita akan menangkap sebuah pertarungan ideologi para pengarang-pengarangnya. Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Armyn Pane, Mohamad Yamin, dan pengarang-pengarang lainnya, sangat inten dan serius menanamkan pandangan-pandangan, keyakinan-keyakinan, dan kepercayaan-kepercayaan terhadap masa depan bangsa yang bagaimana seharusnya dibangun. STA yang kebarat-baratan, Armyn Pane yang ketimur-timuran, dan

Page 12: menulis kreatif

12

pengarang lain yang mengintegrasikan timur-barat, menjadi tonggak sejarah bagi pemikiran kebangsaan. Bahkan pertarungan dalam karya sastra melebar ke wilayah polemik di media massa; kemudian terkenal dengan sebutan Polemik Kebudayaan. Manusia hero yang diceritakan oleh mereka, berhadapan dengan persoalan hidup yang ditentukan oleh latar belakang kehidupannya sendiri dan masyarakatnya. Akhir cerita manusia hero, pada akhirnya ditentukan oleh pandangan hidup pengarangnya. Pembaca akan menangkap sikap dan pandangan yang diyakini oleh pengarangnya. Pertarungan ideologi semakin ramai, bahkan cenderung ke luar konteks kesasteraan, pada masa 50-an dan 60-an. Jika manusia hero pada zaman 30-an ditarik ke dalam wilayah semangat kebangkitan bangsa, pada zaman ini manusia hero ditarik ke dalam wllayah politik praktis. Khususnya pada pengarang yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), faham ideologi realisme sosialis yang dianutnya bersumber pada haluan politik PKI. Semboyan politik sebagai panglima menjadikan karya sastra sebagai alat propaganda politik. Akhirnya, manusia hero pun diciptakan sebagai cerminan perjuangan kelas sesuai pandangan mereka. Oleh karena itu, mereka mengganyang semua karya sastra dan pengarang yang tidak sehaluan. Pengarang-pengarang yang terhimpun dalam Manifes Kebudayaan menjadi sasaran mereka. Mereka beranggapan, karya-karya sastra yang diciptakan pengarang-pengarang kelompok Manifes Kebudayaan, tidak memberikan pencerahan bagi masyarakat. Karya sastra tersebut dianggap picisan, tak berkualitas, dan sangat perlu dibakar. Bisa diduga bagaimana manusia hero yang diceritakan oleh para pengarang Lekra ini. Pertarungan ideologi terus berlanjut. Seolah jagad kesusasteraan Indonesia penuh dengan intrik; sebagaimana intrik hidup yang dialami manusia hero. Di akhir pemerintahan Soeharto hingga kejatuhannya, manusia hero dalam sastra diceritakan sebagai tokoh yang termarjinalkan, terjajah, dan mengalami ketidakmerdekaannya. Manusia hero mengalami persoalan hidup dari luar dirinya yang menjajah, membatasi ruang hidupnya. Hidup manusia hero mengalami keterkungkungan. Raung hidup yang seharusnya menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan ketenangan, justru membelenggu dirinya. Hidup manusia hero pada akhirnya tidak merdeka, tidak bebas. Manusia hero mesti melawan. Manusia hero harus melepaskan dirinya atas ketidakmerdekaannya itu. Mengapa manusia hero mengalami kehidupan seperti itu? Bukan mengada-ada jika pertanyaan itu mengarah pada jawaban bahwa kondisi bangsa Indonesia pada saat itu mengalami represifitas atas rezim kekuasaan Soeharo dan Orde Barunya. Ada suara ideologi perlawanan yang mengarahkan perjalanan hidup manusia hero. Manusia hero menjadi media untuk menyuarakan ideologi itu. Dalam sebuah kata pengantar buku Supaat I. Lathief, Eksistensialisme, Mistisisme Religius (2008), Sutardi mengemukakan karya sastra merupakan hasil kesadaran kejiwaan masyarakat, sebagai sejarah mentalitas, sebagai cermin masyarakat, dokumen sosial budaya, serta sebagai sistem pemikiran, sistem pengetahuan yang dihadirkan pengarang dalam menangkap, memandang, dan memahami sebuah realitas. Keberadaan realitas di mata seorang pengarang

Page 13: menulis kreatif

13

diolah, diinternalisasi, dan ditransendensikan melalui penjelajahan mendalam ke dalam wilayah pemikiran dan perasaan. Pemikiran di atas pada dasarnya ingin mengemukakan bahwa karya sastra tidak hanya dipandang sebagai dunia fiksional, tetapi juga suatu reflektif dari keadaan sosial di mana karya sastra itu lahir. Dari sudut pandang yang terakhir tersebut, menempatkan karya sastra sebagai juru bicara bagi situasi dan semangat zamannya. Dengan memahami karya sastra dapat dilihat rekaman peristiwa, psikologi, pandangan kolektif, orientasi nilai, ideologi, dan bahasa yang ada dalam masyarakat yang melahirkannya. Ujung pemahaman terhadapnya akan sampai pada fenomena sosial dan sejarah masyarakat. Di situlah tempat manusia hero dalam sastra memperoleh eksistensinya dalam konteks antarhubungan sastra dan masyarakat. Tetapi hubungan sastra dan masyarakat bukanlah bersifat langsung. Hubungan keduanya dimediasi oleh kompetensi kreatif pengarangnya. Pemikiran, pandangan, dan ideologi pengarang sebagai individu dan kolektif merupakan mediasi yang menjebatani keduanya. Fakta sastra tidak langsung difahami sebagai fakta sosial. Struktur sastra tidak lantas diperlakukan sebagai struktur sosial masyarakat. Fakta dan struktur sastra memang berangkat dari fakta dan struktur sosial. Tetapi kehadirannya ke dalam karya sastra melalui proses pengolahan kreatif dan imajinatif pengarangnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap karya sastra dalam paradigma sosiologi sastra harus diletakkan pada pola hubungan sastra, pengarang, dan masyarakat. Pembicaraan tentang hubungan sastra dan masyarakat tidak mungkin menafikan pengarangnya. Justru dalam konteks pembicaraan itu, eksistensi pengarang semakin penting. Di satu pihak pengarang merupakan penghasil karya sastra. Kualitas karya sastra ditentukan oleh proses pergulatan kesadaran yang utuh dari pengarangnya. Di lain pihak, pengaruh masyarakat terhadap karya sastra melalui proses internalisasi dan asimilasi dalam diri sastrawan. Sangat tidak masuk akal jika pembicaraan tentang hubungan sastra dan masyarakat tidak berangkat dari pengarangnya. Melepaskan eksistensi dan posisi pengarang dalam pembicaraan tentang hubungan sastra dan masyarakat sama halnya dengan memperlakukan karya sastra sebagai barang mati. Pembicaraan semacam itu menghilangkan esensi karya sastra sebagai perwujudan dari proses daya dan vitalitas imajinasi dan inteletualitas. Karya sastra bukanlah semata-mata sebagai teks wacana yang bisa diurai unsur-unsurnya begitu saja. Hakikat unsur-unsur karya sastra adalah pergulatan pemikiran, imajinasi, dan kreatifitas. Ia tidak begitu saja muncul karena ada konvensi internal (sistem struktur obyektif) yang mengaturnya sebagai piranti wacana. Tetapi kehadirannya merupakan suatu bentuk dinamisasi kesadaran manusia dalam bermasyarakat. Dalam dinamisasi kesadaran manusia itulah karya sastra menjelaskan secara utuh kehadiran fakta dan struktur sosial masyarakat ke dalam fakta dan struktur karya sastra.

______________

Page 14: menulis kreatif

14

ekiranya ada manusia yang begitu terkungkung karena dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya, dialah Abu, tokoh utama drama Kapai-Kapai karya

Arifin C. Noer. Betapa tidak. Ia terkungkung karena kebodohan, kemiskinan, dan keringnya pedoman hidup (agama). Ia juga terkungkung oleh mentalitas dan perlakuan yang kurang adil dari lingkungan sosial, yang memang cenderung tidak berpihak pada orang-orang sekelas dia. Belum lagi, kesukaan dia bermalas-malasan dan berharap sesuatu yang tidak rasional. Itu juga merupakan kondisi keterkungkungan Abu. Itulah manusia hero ciptaan Arifin C. Noer. Manusia rekaan yang dihadirkan untuk ditafsirkan, difahami, dan kemudian direnungkan pembacanya. Problematika Abu adalah problematika “aku” dalam mitos sebagai ideologi budaya masyarakat. Fenomena kerja dalam masyarakat, di mana Abu berkecimpung di dalamnya, adalah mitos. Pertama, mitos tentang dominasi status sosial atas terhadap kelas bawah. Dominasi dalam konteks ini adalah penguasaan secara represif (cenderung menjajah) dari kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Sebagai pesuruh (buruh), Abu adalah orang dalam status sosial bawah, dengan demikian, ia adalah pihak yang dikuasai secara represif itu. Jika Abu, sebagaimana menjadi sasaran umpatan, hinaan, lemparan kesalahan, dan perlakuan yang tidak adil dari majikannya, itu adalah resiko yang harus diterima Abu yang hidup dalam mitos itu.

Kedua, mitos yang berkembang dalam budaya masyarakat modern yang liberal-kapitalis. Mitos itu adalah, buruh adalah instrumen atau alat produksi. Ia adalah bagian dari sistem teknis dalam alur kerja yang prosedural dan mekanis. Akibatnya, ia tidak memiliki kesadaran sebagai manusia. Dalam karya sastra ini, Abu adalah robot di antara robot-robot yang lain (hal. 56-58). Dalam situasi seperti ini, ia bukan lagi (bernama) Abu, karena hanya manusia yang bernama. Sedangkan robot hanya memiliki sebutan sebagaimana isyarat bel. Ia harus patuh dan tunduk mengikuti hukum rutinitas sebagai mesin. Ia harus membuang jauh kesadarannya sebagai manusia yang bebas.

Berbeda pula dengan manusia hero ciptaan Pramudya Ananta Toer dalam novel Arok Dedes. Arok adalah manusia hero yang ambisius, licik, dan pintar. Ia tahu apa yang mesti dilakukan ketika kekuasaan tidak berpihak pada kelas bawah. Ia meleburkan diri dalam kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan. Arok tidak ingin terjebak pada regimitasi yang dibangun kekuasaan. Arok juga tak ingin membuka diri untuk menentang regim kekuasaan itu. Ia sangat menyadari posisinya. Ia sangat hafal apa kekurangan dan kelebihannya. Arok adalah manusia hero yang menyatu pada kekuasaan yang kelak harus direbutnya. Blok solidaritas harus dibangun atas orang-orang yang memiliki pengaruh. Blok itulah yang akan memerangi kekuasaan, bukan semata-mata dirinya. Ia cukup menguasai blok itu. Pada akhirnya, manusia hero yang satu ini benar-benar dapat memperoleh tujuan hidupnya. Berbeda dengan Abu yang selamanya harus terjebak pada kebodohannya sendiri. Arok tak ingin terjebak. Lebih baik menjebak.

Arok hanyalah manusia rekaan yang hero. Ia tak pernah ada dalam realitas. Meskipun Arok yang lain benar-benar ada dalam sejarah, tapi Arok

S

Page 15: menulis kreatif

15

dalam Pramudya adalah manusia fiksional. Keduanya berbeda. Tak nyata dan nyata; fiksional dan realitas. Kalau Arok fiksional begitu nyata dan pintar, karena manusia hero yang satu ini diciptakan dengan berlandaskan pada intelektualitas seorang Pramudya Ananta Toer. Dengan begitu, manusia hero Arok tak bisa dipahami hanya sebagai manusia biasa yang penuh ambius dan nafsu kekuasaan. Juga bukan manusia hero yang berjuang untuk menghadapi persoalan hidup yang mengungkung. Ada sesuatu di balik manusia hero itu, yaitu sebuah ideologi. Sebuah keyakinan, kepercayaan, dan pandangan hidup harus menjadi peta bagi sosok manusia hero Arok. Peta itulah yang nyata, bukan Arok. Arok hanyalah sarana, ideologi adalah penumpangnya. Arok adalah manusia hero yang menyuarakan ideologi itu.

Sama dengan Abu dan Arok, Maya juga manusia hero ciptaan Nukila Amal dalam novel Cala Ibi. Ketiganya merupakan sarana menyuarakan sebuah keyakinan, kepercayaan, dan pandangan dunia pengarangnya. Tapi peta ideologi yang menuntun manusia hero Maya berbeda. Jika manusia hero Abu tenggelam dalam arus keterkungkungannya, Arok menyatu untuk merebut yang mengungkungnya, maka manusia hero Maya adalah subyek yang terbelah. Maya adalah manusia hero yang terkungkung, sekaligus manusia hero yang kritis untuk menilai identitas yang mengungkungnya. Siapakah sebenarnya yang mengungkungnya; sebuah persoalan yang harus diurai oleh manusia hero Maya agar pembaca memahaminya dan mengambil sikap atas semua itu. Maya adalah manusia hero mirip sel dalam tubuh manusia. Ia bisa membelah agar sekali waktu dapat menceritakan apa yang dialaminya, sekali waktu pula ia dapat memperbincangkannya. Dan sekali waktu pula ia menumpang mesin waktu agar bisa mencatat masa lalu dan masa kini, agar bisa menentukan arah bagi masa depannya.

Kalau manusia hero Abu beridentitas tunggal yang tak dapat berbuat apa-apa atas obyek yang mengungkungnya, Arok adalah manusia hero tunggal yang mampu membelah obyek yang mengungkungnya, maka Maya adalah manusia hero yang dapat membelah dirinya sendiri agar dapat bercerita dari semua sisi obyek yang mengungkungnya. Ketiganya dihidupkan pengarangnya agar mampu menyuarakan apa yang ada dalam diri pengarang. Ketiganya adalah fiksional, tapi nyata. Ketiganya tak nyata, tapi nyata. Kata “Cala Ibi”, kenyataan yang tak nyata, ketaknyataan yang nyata. Abu, Arok, dan Maya memang tak nyata, tapi ideologi yang menuntun dan disuarakannya itulah yang nyata. Ketika ketiga manusia hero itu disodorkan kepada pembacanya, ketika itu pula sebuah pertarungan ideologi terjadi. Ideologi yang telah lama menghegemoni melawan ideologi yang ingin menandinginya. Ideologi yang berkuasa melawan ideologi yang ingin berkuasa. Ketiga contoh sastra di atas hanyalah segelintir dari sekian ratus karya sastra Indonesia yang lahir dengan manusia-manusia hero di dalamnya. Mereka membawa suara amsing-masing. Mereka mencipta manusia hero dengan ideologi masing-masing. Mereka juga membawa kekentalan sebuah pesan masing-masing. Masih banyak karya-karya sastra yang lain, yang tak kalah ramainya dalam menyuarakan pandangan-pandangan pengarangnya melalui manusia heronya masing-masing. Semuanya sudah disodorkan kepada pembaca.

Page 16: menulis kreatif

16

Tinggal bagaimana pembaca memahami, menyikapi, dan lantas mengkayakan wawasan berpikir. Aplikasinya tergantung pembaca. Itulah realitas fiksi manusia hero sebagai obyek yang diungkapkan pengarang dalam karya sastranya. Persoalan ini semakin penting dipahami di dalam konteks penciptaan karya sastra. Oleh karena itulah, penulis pemula perlu memahami persoalan itu. Acap kali karya sastra yang beredar di pasaran tidak memberikan pencerahan apa-apa, selain menghibur. Itu terjadi lantaran penulisnya kurang memiliki pretensi untuk menghadirkan manusia hero bagi pembacanya. Karya sastra semacam itu akan dinilai pembacanya sebagai karya sastra penglipur lara.

________________

Page 17: menulis kreatif

17

KONFLIK Titik Kemenarikan Karya Sastra

akikatnya karya sastra mengungkapkan konflik yang bersumber dari problema hidup yang dihadapi tokohnya. Konflik itulah yang

menggerakkan alur cerita dari awal hingga akhir. Jika ditarik garis, karya sastra dari awal hingga akhir ceritanya, mengetengahkan sosok manusia mendapatkan masalah, masalah itu semakin runcing karena kehadiran tokoh lain, akibatnya timbul pertikaian atau pertarungan, pertikaian dan pertarungan tersebut menuju suatu titik ketegangan (suspens), dan kemudian terjadi penyelesaian. Urutan tersebut membangun alur cerita konvensional yang lazim diketemukan dalam karya sastra. Pengembangan dan kronologisnya tergantung kreativitas pengarang. Garis urutan alur di atas bukanlah garis linear dan lurus, melainkan bergerak ke atas. Kehadiran konflik yang wajib ada dalam cerita, mengakibatkan gerakan alur tersebut bergerak memuncak. Gerakan itulah yang membangun suasana cerita, yang pada gilirannya akan dirasakan pembaca. Keterlibatan emosional pembaca terjadi karena mengikuti gerakan itu. Itulah kenapa kadang-kadang pembaca merasa penasaran, sayang untuk berhenti membacanya, atau timbul ketidaksabaran untuk segera menyelesaikan cerita yang dibacanya. Tetapi gerakan alur semacam itu tak akan pernah ada tanpa kehadiran sebuah konflik. Konflik yang mampu menggerakkan alur di atas tidak sekedar berupa pertikaian atau pertentangan secara fisik, tetapi juga melibatkan psikologis tokoh-tokohnya. Bahkan dapat dikatakan, bahwa konflik merupakan tataran psikologis manusia yang sedang menghadapi problema hidup. Terdapat bagan segitiga yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal tersebut, sebagaimana berikut ini.

Bagan 1: Relasi Tiga Komponen Pembangun Dinamika Alur

H

KONFLIK

PROBLEMA HIDUP

TOKOH

Page 18: menulis kreatif

18

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menuju ke suatu konflik yang menarik, kompleks, dan penuh ketegangan psikologis, baik yang berlangsung dalam cerita maupun dalam diri pembaca. Jika kembali kepada pembicaraan terdahulu, beberapa syarat tersebut dapat dikatakan, adanya problema hidup yang besar menghadang manusia hero untuk menyelesaikannya. Problema hidup yang besar memiliki pengertian, ia menyangkut suatu perjuangan yang tidak hanya bertujuan untuk dirinya sendiri, tetapi juga orang banyak. Adanya kompleksitas permasalahan yang sambung menyambung sehingga himpitan yang dirasakan tokoh berasal dari berbagai sudut. Problema semacam itu biasanya berasal dari suatu keadaan masyarakat yang mengancam atau menghadang tujuan hidup tokoh tersebut. Kebalikan dari itu adalah, tokoh berusaha untuk meraih suatu keinginan untuk dirinya sendiri dan mendapatkan tantangan dari tokoh yang lain. Problema semacam itu tidak menuntut tokoh untuk menyelesaikan himpitan itu secara kompleks, melainkan bagaimana memenangkan pertarungannya dengan tokoh lain. Perhatikan tingkat kompleksitas problema hidup dari yang paling sederhana hingga yang besar.

Bagan 2: Kompleksitas Problema Hidup Tokoh Cerita

Seorang gadis mencintaiseorang pria, tetapimendapatkan rintangandari gadis lainnya yangjuga mencintainya.

Seorang gadis mencintaiseorang pria dari lingkungankeluarga yang berbeda,sehingga banyak rintanganyang harus dihadapi untukmeraih cintanya itu.

Seorang perempuan yangmencintai seorang pria darikelas bangsawan, sehingga iamendapatkan tantangan darimasyarakat.

Seorang perempuan yangmenentang tradisi dan adatdengan menikahi seorangpria dari kasta atas, sehinggaia harus menghadapi sanksidan tekanan dari masyarakat

Page 19: menulis kreatif

19

Bagan di atas memperlihatkan problema hidup yang berbeda-beda kompleksitas dan himpitan yang dialami seorang tokoh perempuan. Semakin ke bawah menunjukkan problema hidup semakin kompleks dan rumit. Problema 1 dan 2 lebih berorientasi pada dirinya sendiri dan tantangan yang dihadapi hanya berasal dari tokoh lain. Berbeda dengan problema 3 dan 4, menunjukkan gambaran yang semakin kompleks dan tekanan atau himpitan yang dialami tokoh perempuan tersebut semakin besar. Problema 4 menggambarkan problema hidup yang lebih besar yang dialami oleh tokoh. Tokoh perempuan yang diceritakan tidak saja mendapatkan tantang dari tokoh lain, tetapi juga oleh kekuaran masyarakat yang lebih luas. Konflik yang ditimbulkannya lebih menekan dan menegangkan, baik dalam diri tokoh yang diceritakan maupun pembacanya. Dan, problema semaca ini juga akan memunculkan konflik yang lebih menarik dalam diri pembaca. Bahkan memberikan makna yang dalam bagi pembaca tentang arti sebuah perjuangan demi kemerdekaan dan keadilan. Cerita semacam ini menempatkan karya sastra dalam peran dan tanggung jawabnya bagi masyarakatnya. Agar pembicaraan tentang hal tersebut semakin jelas dan konkrit, marilah kita memperbincangkan sebuah karya sastra bergenre drama berjudul Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer. Karya sastra tersebut merupakan salah satu contoh dalam kesusastraan Indonesia yang mengungkapkan tentang bagaimana konflik-konflik yang ditimbulkan bergerak dinamis karena adanya kompleksitas dan kerumitan problema yang dialami tokohnya.

Sekiranya ada manusia yang begitu terkungkung karena dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya, dialah Abu, tokoh utama drama Kapai-Kapai. Betapa tidak. Ia terkungkung karena kebodohan, kemiskinan, dan keringnya pedoman hidup (agama). Ia juga terkungkung oleh mentalitas dan perlakuan yang kurang adil dari lingkungan sosial, yang memang cenderung tidak berpihak pada orang-orang sekelas dia. Belum lagi, kesukaan dia bermalas-malasan dan berharap sesuatu yang tidak rasional. Itu juga merupakan kondisi keterkungkungan Abu. Itulah manusia ciptaan Arifin C. Noer. Manusia rekaan yang dihadirkan untuk ditafsirkan, difahami, dan kemudian direnungkan pembacanya. Sosok manusia yang bagaimanakah yang diciptakan Arifin C. Noer itu? Apakah sosok manusia seperti itu merupakan potret manusia Indonesia yang direkam Arifin C. Noer? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menarik untuk dicari jawabannya selepas membaca drama Kapai-Kapai. Di situlah, menurut penulis, letak kekuatan dramatik dan estetika karya sastra ini. Di situ pula letak kepekaan dan kecerdasan Arifin C. Noer sebagai pengarangnya dituntut untuk menyelami problematika yang dihadirkannya.. Problematika Abu adalah problematika “aku” dalam mitos sebagai ideologi budaya masyarakat”. Fenomena kerja dalam masyarakat, di mana Abu berkecimpung di dalamnya, adalah mitos. Pertama, mitos tentang dominasi status sosial atas terhadap kelas bawah. Dominasi

Page 20: menulis kreatif

20

dalam konteks ini adalah penguasaan secara represif (cenderung menjajah) dari kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Sebagai pesuruh (buruh), Abu adalah orang dalam status sosial bawah, dengan demikian, ia adalah pihak yang dikuasai secara represif itu. Jika Abu, sebagaimana diceritakan dalam drama Kapai-Kapai ini, menjadi sasaran umpatan, hinaan, lemparan kesalahan, dan perlakuan yang tidak adil dari majikannya, itu adalah resiko yang harus diterima Abu yang hidup dalam mitos itu.

Kedua, mitos yang berkembang dalam budaya masyarakat modern yang liberal-kapitalis. Mitos itu adalah, buruh adalah instrumen atau alat produksi. Ia adalah bagian dari sistem teknis dalam alur kerja yang prosedural dan mekanis. Akibatnya, ia tidak memiliki kesadaran sebagai manusia. Dalam karya sastra ini, Abu adalah robot di antara robot-robot yang lain. Dalam situasi seperti ini, ia bukan lagi (bernama) Abu, karena hanya manusia yang bernama. Sedangkan robot hanya memiliki sebutan sebagaimana isyarat bel. Ia harus patuh dan tunduk mengikuti hukum rutinitas sebagai mesin. Ia harus membuang jauh kesadarannya sebagai manusia yang bebas. Dengan demikian, Abu dibentuk sebagai bagian dari sistem teknis. Kesadaran dia adalah kesadaran yang bersifat material; bukan kesadaran sebagai manusia. Fenomena kerja Abu ada dalam kedua mitos tersebut. Karena mitos merupakan bagian dari (kelompok) sosial dan mengatur kehidupan sosial itu, maka kehadirannya bersifat kolektif. Meskipun mitos itu diproduksi oleh pemilik kerja (borjuis), tetapi dalam praktiknya ia memiliki kekuatan untuk mengatur dan mengikat. Penolakan terhadap mitos itu, berakibat keluarnya dia dari kolektivitas masyarakat. Sedangkan Abu dituntut untuk berkerja demi keberlangsungan kehidupan ekonominya. Mau tidak mau, Abu harus menerima mitos itu. Ia harus mengalami keterkungkungan dala mitos tersebut. Betapa pun mitos itu menjadikan dia pada posisi yang dirugikan. Paling tidak, ia mengalami ketidakbebasan untuk memilih. Dengan demikian, sebagai manusia ia kehilangan sebagian dari kemanusiaannya; ia mengalami keterasingan dalam keberadaannya sebagai (manusia) buruh. Dalam kedudukan sosial sebagai seorang pesuruh, Abu dan keluarganya tergolong berstatus ekonomi di bawah garis kemiskinan. Kata kunci dalam status seperti itu adalah: marjinal, korban, bodoh, lapar, derita, harap, dan mimpi. Hal ini juga merupakan bagian dari mitos tentang kemiskinan. Seseorang dengan status sosial dan ekonomi rendah mencipatakan kondisi kemiskinan dalam kehidupannya. Mitos itu merefleksikan keadaan yang cenderung mengungkung, tidak mengenakkan, dan tak bahagia. Abu harus mengalami kehidupan bersama Iyem, istrinya, dalam penderitaan karena kemiskinannya itu. Karena kemiskinannya itu pula, ia dan istrinya merasakan kelaparan yang luar biasa; hidup dalam ketidakbahagiaan. Bahkan dalam kasih sayangnya sebagai seorang

Page 21: menulis kreatif

21

ayah dan ibu, mereka harus tega membunuh orok yang baru lahir, agar lepas dari penderitaan yang akan dialaminya sebagai bagian dari kehidupan orang tuanya. Sosok Abu, di samping sebagai orang berstatus sosial rendah dan ekonomi bawah, adalah tokoh yang bodoh dan malas. Ia juga seorang yang jauh dari pedoman hidup (agama). Kehadiran tokoh Kakek dengan nasehatnya tentang hakikat kehidupan sebagai manusia yang beragama, diterjemahkan Abu dalam konteks mimpi-mimpi dan harapannya tentang Cermin Tipu Daya. Konsep Tuhan, neraka, surga, kematian, dan ujung waktu dunia, disampaikan Kakek kepada Abu sebagai nilai-nilai yang mempedomani manusia. Tetapi Abu terlalu bodoh untuk memahami semua ini. Karakter Abu semacam ini melandasi bentuk kesadarannya untuk menyelesaikan persoalan ketertindasan dan kemiskinannya itu. Jika kemudian Abu memilih hidup dalam mimpi-mimpi dan harapannya, itulah bentuk kesadaran Abu yang muncul untuk menyelesaikan semua beban yang mengungkungnya. Ia harus mencari pemecahan persoalan-persoalan hidup yang menghimpitnya. Dalam drama ini diceritakan, bagaimana Abu terobsesi pada mimpinya menjadi seorang pangeran rupawan sebagaimana dongeng emak; menjadi seorang kesatria yang gagah berani melawan jin penculik putri cina; dan menjadi Ali Baba (pen. tokoh pahlawan dalam dongeng masyarakat Parsi) yang ingin menggapai ujung dunia. Mimpi-mimpi dan harapannya untuk memperoleh Cermin Tipu Daya. Dengan Cermin Tipu Daya itulah ia akan kaya raya, berkuasa, dan menjadi seorang kesatria. Sebuah pilihan penyelesaian hidup yang dilandasi oleh kebodohan, kemalasan, dan keringnya pedoman hidup yang bersumber dari agama. Hal ini juga mitos dari sekian mitos-mitos yang lain yang dihadirkan pengarangnya. Kebodohan, kemalasan dan keringnya pemahaman agama, akan mendorong seseorang untuk memilih jalan yang irasional. Mimpi dan harapan yang dikejar Abu hanyalah semu belaka. Ia terkungkung dalam keadaan yang ‘kapai-kapai’; bergerak seolah-olah dapat meraihnya. Pada akhirnya, kehidupan Abu bersama Iyem terkungkung dalam kegelandangan, yang mengembara dalam penderitaan untuk mencapai ujung dunia. Tak ada arah untuk ke sana. Tak ada pedoman untuk mencapai tujuannya itu. Pemahaman tentang kehidupan hanyalah sebatas materi (fisik), bukan hakikatnya. Oleh karena itulah, ia terkungkung dalam harapan dan mimpinya itu; ia terkungkung oleh kebodohannya sendiri; dan ia juga terkungkung dalam penderitaan yang tak terselesaikan. Jika kemudian Abu di ujung kematiannya, sesungguhnya ia mengalami kapai-kapai itu. Sosok manusia seperti itulah yang digambarkan Arifin dalam karyanya yang berjudul Kapai-Kapai. Apakah sosok manusia seperti itu merupakan potret masyarakat Indonesia yang direkam oleh Arifin C. Noer? Yang jelas, sosok manusia dalam karya sastra itu hanyalah

Page 22: menulis kreatif

22

sebuah rekaan. Kalau ia merupakan fakta, ia adalah fakta imajiner. Tidak ada hubungan langsung dengan realitas sosialnya. Tetapi, dalam paradigma sosiologi sastra dikemukakan, pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. Fakta imajinatif dalam drama Kapai-Kapai dan fakta obyektif di mana karya sastra itu diciptakan, memiliki benang merah yang menghubungkan keduanya. Pemahaman terhadap hal itu akan semakin tampak jika pemahaman terhadap substansi tematis, dipahami dalam konteks peristiwa sosial budaya yang melingkupi kehadiran karya sastra tersebut. Dalam konteks sejarahnya, naskah Kapai-Kapai ini diciptakan Arifin C. Noer pada tahun 1969 dan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1970. Pada masa itu konstelasi sosial politik terjadi pada bangsa Indonesia, yaitu tenggelamnya rezim Orde Lama dan munculnya rezim Orde Baru. Perubahan politik dan kekuasan tersebut membawa harapan baru terhadap perubahan kondisi masyarakat Indonesia yang selama ini berlangsung. Kondisi kemiskinan, represi dan dominasi kekuasaan, rendahnya tingkat intelektual masyarakat akibat belum berkembangnya dunia pendidikan, dan sebagainya, merupakan problema sosial yang dialami masyarakat. Dalam situasi masyarakat yang demikian, naskah Kapai-Kapai muncul dengan mengangkat persoalan kemiskinan. Kemiskinan dalam naskah drama ini dipandang sebagai persoalan yang paling esensial. Melalui simbol-simbol yang dihadirkan pengarang secara surealis, kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks; tidak saja karena persoalan ekonomi semata, tetapi juga persoalan manusia dan kemanusiaannya. Dengan menempatkan tokoh utama, Abu, sebagai cerminan masyarakat kelas bawah, pengarang ingin mendudah habis kompleksitas persoalan kemiskinan tersebut. Mimpi, harapan, kebodohan, dominasi kekuasaan kaum borjuis, dan rutinitas kehidupan yang penuh penderitaan, tertata dalam simbol-simbol dan idiom-idiom yang dipilih pengarang.

Tema kemiskinan dipandang oleh Arifin C. Noer dari berbagai sudut

pandang. Kata ‘kemiskinan’ bukan semata-mata persoalan ekonomi, melainkan

sebuah kompleksitas hidup yang rumit. Dalam keadaan miskin yang dialami

seseorang, tidak saja karena minimnya kesempatan ekonomi yang didapat,

melainkan juga karena kepribadian orang itu, minimnya iman keagamaan,

penjajahan status sosial atas, sistem kerja, dan juga sistem sosiokultural

Page 23: menulis kreatif

23

masyarakatnya. Premis tersebut memunculkan problema hidup yang dihadapi

tokoh bernama Abu. Tokoh itulah sebagai manusia hero yang mengalami

himpitan dan tegangan, yang pada gilirannya mengakibatkan konflik-konflik.

Titik-titik konflik itulah yang memunculkan daya tarik bagi pembacanya.

Karya sastra berjudul Kapai-Kapai di atas merupakan salah satu contoh

bagaimana konflik yang menarik bersumber dari problema hidup yang kompleks

dan besar yang dialami oleh tokoh yang diceritakan. Himpitan dan tantangan

menekan psikologis tokoh, berasal dari berbagai sudut. Konflik-konflik psikologis

pada akhirnya muncul menggerakkan alur menuju kepada konflik yang besar dan

berujung pada keadaan yang tragis. Cerita semacam itu memiliki kekuatan yang

luar biasa yang mampu menarik perhatian pembacanya. Jelas pengarang

membutuhkan penghayatan, pemikiran, dan keyakinan yang bersumber dari

dirinya sendiri, masyarakat, dan referensi lainnya.

Meskipun daya tarik karya sastra juga bersumber dari unsur-unsur

lainnya, seperti bahasa dan struktur penceritaan, namun demikian unsur konflik

menjadi daya tarik utamanya. Konflik yang menarik tidak mungkin bersumber

dari problema hidup yang biasa saja, yang dialami tokoh. Konflik yang menarik

merupakan ketegangan psikologis yang sangat dalam menekan seorang tokoh,

dan itu tidak mungkin dimunculkan oleh problema yang sederhana. Itulah

mengapa seorang penulis pemula mesti memahami bagaimana membangun

konflik yang menarik bagi pembacanya.

__________________

Page 24: menulis kreatif

24

IDE PENULISAN Sebuah Premis tentang Problema Manusia

emahaman tentang manusia hero sebagai obyek penciptaan karya sastra, yang telah dibahas pada bab sebelumnya, sesungguhnya sudah

mengarahkan pada penentuan ide penulisan. Demikian juga dengan pembahasan tentang konflik sebagai titik kemenarikan karya sastra, telah mengarahkan pada bagaimana menciptakan problema hidup sebagai topik cerita. Kedua pembahasan tersebut mengarah pada seorang tokoh yang mengalami problema hidup dan konflik yang ditimbulkannya. Pada bagian ini akan dibahas dengan meletakkannya pada konteks penciptaan dan pemilihan ide penulisan.

Manusia hero dalam menghadapi intrik kehidupan yang disikapi dari sudut pandang keyakinan dan pemikiran pengarang (ideologi), merupakan suatu ide penulisan. Persoalannya adalah, manusia hero yang bagaimana dan intrik kehidupan macam apa yang akan diungkapkan dalam karya sastra. Dengan sudut pandang bagaimana manusia hero tersebut dapat menyelesaikan problema (intrik hidup) yang menghadangnya. Apakah ambisi dan konspirasi manusia hero sebagaimana dalam novel Arok karya Pramudya Ananta Toer? Apakah kebodohan manusia hero sebagaimana dalam drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer? Ataukah ketidakmerdekaan dan keprihatinan seorang Maya sebagai manusia hero dalam novel Cala Ibi karya Nukila Amal? Semuanya terserah pada pengarang. Bagaimanakah menciptakan ide penulisan semacam itu? Atau tepatnya, bagaimana menemukan ide penulisan semacam itu? Sebagaimana dalam realitas, problema hidup manusia bisa besar dan rumit atau sebaliknya, kecil dan tidak banyak menguras emosi dan pikiran untuk menyelesaikannya. Problema yang besar lebih rumit, kompleks, dan memunculkan konflik yang besar pula. Problema semacam itu, tentunya membutuhkan manusia hero sebagai sosok yang besar dan menarik. Problema yang dihadapi sosok manusia hero semacam itu, jelas memerlukan pemikiran dan penyikapan yang besar pula dari pengarangnya. Pemikiran dan penyikapan pengarang akan berpijak pada apa yang diyakini pengarang sebagai suatu kebenaran. Dengan begitu, manusia hero akan dapat menyelesaikan problema hidup yang dihadapinya itu.

P

Page 25: menulis kreatif

25

Sebaliknya, problema yang kecil atau sederhana akan menciptakan manusia hero yang sederhana pula. Konflik dan intrik hidup yang dihadapi tak terlalu rumit, kompleks, dan biasanya tak begitu menarik perhatian pembacanya. Pengarangnya pun tak perlu menguras pemikiran dan penyikapan yang besar dan dalam. Karya sastra semacam ini dapat menjadi awalan bagi penulis pemula yang ingin berkecimpung di jagad penulisan karya sastra. Karya-karya para remaja misalkan, cenderung berkutat pada persoalan cinta yang biasa terjadi di dunia sekitarnya. Bahkan penyelesaian problema cinta acap kali lazim dijumpai dalam kehidupan. Kemenarikan karya sastra remaja ini terletak pada kedekatan tematis dengan sasaran pembaca yang hendak ditembak. Dan dengan sedikit intrik hidup dunia remaja yang berbunga-bunga dan menuntut suatu kebebasan, sebagaimana sifat usia remaja, cerita mereka akan mengasyikan bagi pembacanya, yang juga remaja. Problema hidup yang besar --dengan sendirinya menciptakan manusia hero dan menuntut pemikiran yang besar pula-- membutuhkan berbagai sumber inspirasi. Realitas masyarakat jelas menjadi sumber ide yang sangat kaya untuk digali. Tetapi tidak cukup, pengarang mesti menggali juga dari sumber-sumber lain, seperti: buku, koran, majalah, TV, internet, biografi, sejarah, dan sebagainya. Di sinilah seorang pengarang dituntut memiliki minat baca, suka mengamati lingkungan, dan kecerdasan. Tanpa itu, tidak mungkin tercipta karya sastra beride besar. Ide penulisan sesungguhnya sebuah premis. Premis merupakan kalimat pernyataan yang mengandung problema dan konflik tentang kehidupan manusia. Belajar dari karya-karya sastra, dari sastrawan yang banyak dibicarakan para kritikus dan ahli sastra, dapat dipahami betapa karya-karya itu menjadi menarik untuk diperbincangkan lantaran mengungkapkan sebuah premis yang kompleks dan mengandung problematika hidup yang rumit. Betapa karya-karya sastra tersebut mengangkat problema kehidupan penuh intrik yang dialami manusia hero sebagai tokohnya. Sebagai contoh, berikut ini beberapa premis yang menjadi ide karya-karya sastra yang telah banyak menguras perhatian kritikus sastra, ahli sastra, pengamat sastra, akademis sastra, dan peneliti sastra. 1. Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman

hidup, dan penindasan 2. Negeri ini layaknya sebuah rumah sakit. Tinggal kita menjadi dokternya atau

pasiennya 3. Masa depan adalah pilihan hari ini. Apa yang kita seriusi hari ini, itulah masa

depan itu. 4. Manusia modern cenderung mengalami schizofrenia di tengah-tengah

kehidupan serba gemerlap oleh citra zaman modern sebagai pengaruh masuknya budaya luar.

5. Tradisi dan adat pernikahan pada masyarakat X yang cenderung berpihak pada laki-laki, merupakan bentuk penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan.

Page 26: menulis kreatif

26

6. Penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan sesungguhnya bersumber pada nilai-nilai tradisi dan budaya masa lalu yang masih dipertahankan masyarakat.

Premis-premis di atas banyak ditemukan dalam karya-karya sastra yang ditulis sastrawan yang tergolong mapan dalam jagad kesustraan Indonesia modern. Arifien C, Noer, Pramudya Ananta Toer, Oka Rusmini, N. Riantiarno, Nukila Amal, dan beberapa sastrawan lainnya, telah memberikan pencerahan dan pemikiran yang cerdas bagi pembacanya. Melalui premis-premis tersebut, ide penulisan mengandung problema kehidupan penuh intrik, kompleks, dan rumit. Sudah tentu akan menciptakan manusia hero yang besar. Melalui premis-premis itu juga menuntut sikap dan pemikiran yang besar pula dari pengarangnya. Premis-premis di atas berasal dari upaya pengarang secara sungguh-sungguh merenungkan, menghayati, dan memikirkan tentang hakikat kehidupan manusia. Premis-premis di atas jelas membutuhkan sumber ide yang kaya dan beragam. Pengalaman hidup dan konteks realitas masyarakat, jelas menjadi sumber utamanya. Hal itu didorong oleh kesadaran dan tanggung jawab pengarang untuk memberikan penilaian, pendidikan, kritik, dan alternatif bagi masyarakatnya. Betapapun imajinatif dan fiktifnya sebuah karya sastra, ia selalu merefleksikan apa yang ada di dalam realitas. Karena itulah karya sastra memiliki manfaat bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat ke depan. Kalau Horatius mengatakan dengan istilah dulce et utile, maka Aristoteles mengatakan Catharsis; pencerahan dan penyucian nafsu-nafsu manusia. Premis-premis di atas juga membutuhkan sumber dari khazanah literatur yang ada. Wacana-wacana pemikiran dari buku, media massa, dan trand pemikiran zaman, menjadi sumber diciptakannya ide penulisan karya sastra itu. Itulah kenapa seorang pengarang dituntut memiliki minat baca yang tinggi. Menulis dan membaca merupakan pasangan yang tak mungkin dilepaskan. Minat baca yang tinggi menjadikan seseorang memiliki kekayaan pengetahuan yang tinggi pula. Kekayaan pengetahuan itu pada gilirannya akan dapat meningkatkan kualitas tematis karya sastra. Logika dan kebenaran tetap menjadi dasar bagi diciptakannya premis-premis sebagai ide penulisan. Lantas bagaimanakah membangun premis yang layak untuk sebuah penulisan karya sastra? Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana berikut ini. 1. Mengandung konflik yang kompleks dan besar 2. Menarik dan penuh intrik kehidupan 3. Bermanfaat untuk pencerahan bagi pembaca 4. Didasarkan atas logika dan kebenaran Keempat syarat di atas dapat dipahami dengan kembali kepada pembahasan dalam bab-bab terdahulu.

Kalau kembali kepada pembahasan tentang salah satu contoh karya sastra Indonesia berjudul Kapa-Kapai karya Arifin C. Noer di atas, dapat menjadi pelajaran bagaimana keempat syarat tersebut terpenuhi oleh karya sastra tersebut. Dapat ditarik sebuah premis dari karya sastra tersebut, yaitu:

Page 27: menulis kreatif

27

“Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman hidup, penindasan, dan sistem sosiokultural masyarakatnya”. Premis di atas menjadi ide penulisan Arifin C. Noer sebagai pengarangnya. Sosok Abu, sebagai tokoh yang diceritakan, merupakan seorang yang mengalami kemiskinan lantaran kebodohan dan kemalasannya, kering akan tuntunan agama, penindasan kelompok masyarakat yang berstatus sosial atas, dan adanya mitos-mitos masyarakat yang tidak berpihak pada seorang yang berstatus sosial seperti dirinya.

_______________

Page 28: menulis kreatif

28

KERANGKA PENULISAN Membangun Aliran Cerita yang Menarik

engapa harus membuat kerangka? Pertanyaan ini sering kali ditanyakan oleh penulis pemula, lantaran dia beranggapan bahwa pembuatan

kerangka semakin mempersulit dirinya dalam menulis. Dalam benak mereka hanya terdapat kata menulis, menulis, dan menulis. Tak perlu berpikir yang lain. Lepas dari pendapat semacam itu, peran kerangka penulisan sangat penting untuk membentuk cerita yang runtut, jelas, dan mengalir secara enak dan menarik bagi pembaca. Keruntutan dan kejelasan alur sangat diperlukan agar apa yang diceritakan menarik ketika dibaca. Tanpa itu, jangan disalahkan jika karya yang sudah susah payah dihasilkan tidak dibaca secara tuntas oleh pembaca. Fungsi kerangka jelas memberikan pedoman bagaimana seharunya cerita yang sedang ditulis itu runtut dan jelas. Runtut dalam pengertian ini adalah, terdapat tahapan alur yang utuh sehingga pembaca memahami dari awal sampai akhir sebagai sebuah aliran cerita yang kronologis dan bersebab-akibat. Sedangkan jelas memiliki pengertian logis atau masuk akal apa yang diceritakan. Meskipun tahapan alur dibolak-balik, sebagaimana dalam jenis alur sorot balik, tetapi masih dapat dikembalikan ke dalam urutan yang runtut (konvensional). Pembolak-balikan tahapan alur hanya sebuah penataan peristiwa yang diceritakan sesuai dengan kreativitas pengarangnya. Sedangkan kejelasan lebih mengarah pada adanya logika sebab-akibat (kausalitas) dan hubungan waktu (kronologis). Betapapun imajinatifnya karya sastra, tetap masih mengikuti hukum kedua logika tersebut agar pembaca dapat memahaminya dengan kacamata realitas. Namun demikian, terdapat karya-karya sastra yang tidak mengikuti hukum logika di atas karena terdapat pandangan dan pemikiran yang melatarbelakangi konsep penulisan. Salah satu contohnya adalah karya-karya Iwan Simatupang yang didorong oleh pemikiran eksistensialisme yang melatarbelakanginya. Menghadapi karya satra tersebut memerlukan proses pembacaan yang berbeda dengan kebanyakan karya-karya sastra yang cenderung realis. Kerangka penulisan merupakan urutan peristiwa demi peristiwa yang diceritakan dari awal hingga akhir sehingga membentuk alur. Secara konvensional, urutan tersebut menunjukkan tahapan alur yang terdiri atas: eksposisi, konflik, Rising action/penanjakan, klimaks, penyelesaian. Eksposisi

M

Page 29: menulis kreatif

29

merupakan tahap pengenalan tokoh dan latar belakangnya. Dalam tahap ini diceritakan tentang siapakah tokoh itu sesungguhnya. Konflik merupakan tahap alur di mana tokoh utama mulai mengalami suatu masalah. Masalah itu semakin kompleks dan menghimpit tokoh tersebut dalam tahap rising action atau penjakan. Pada akhirnya masalah tersebut menimbulkan klimak yang menegangkan pada tahap klimak. Di ujung cerita masalah tersebut terselesaikan dalam tahap penyelesaian.

Urutan tersebut disusun berdasarkan urutan sebab-akibat dan urutan waktu. Perlu diingat bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat. Tanpa hubungan sebab-akibat tidak mungkin terjadi alur cerita. Sedangkan hubungan waktu lebih mengarah pada peristiwa yang diceritakan tersebut mengikuti hukum peristiwa sebab lebih dulu terjadi dari pada akibat. Seting atau latar waktu dan tempat kejadian menunjukkan urutan waktu terjadinya peristiwa. Cerita tentang rangkaian peristiwa tentang seseorang yang bangun tidur kesiangan, di sekolah mendapatkan masalah karena buku PR-nya tertinggal, dimarahi guru, lantas ia kena hukuman membersihkan toilet sekolahan, jelas menunjukan urutan waktu, sekaligus urutan sebab-akibat.

Dengan kerangka penulisan semacam itu, seorang penulis akan mempedomaninya ketika menuliskan ceritanya. Kerangka cerita akan menuntun penulis setahap demi setahap, dari awal hingga akhir, saat menceritakan peristiwa dalam tulisannya. Dengan begitu, alur akan terjaga dalam urutan yang logis dan jelas. Tetapi dalam prosesnya bisa jadi seorang penulis merubah dan memvariasikan sesuai dengan pertimbangan dan kreativitasnya. Kerangka penulisan memang bukan sebuah pedoman yang kaku dan pasti. Ia tetap akan mengalami perubahan dan perbaikan. Kerangka diperlakukan sebagai garis besar sehingga acap kali diperlukan penambahan detil-detil. Meskipun detil-detil tersebut peristiwa yang kecil, pengarang beranggapan sangat penting kehadirannya dalam cerita.

Kerangka cerita seyogyanya ditulis. Tetapi tidak jarang kerangka penulisan tersebut berada di benak pengarang. Pengarang yang satu ini tidak mau repot-repot menuliskannya. Ia cukup menuliskannya dalam ingatan sambil dipikirkan, dihayati, dan direnungkan yang kemudian mengalami kematangan di otaknya. Baru kemudian penulis menuangkannya dalam tulisan. Bisa saja seperti itu. Tetapi bagi penulis pemula atau yang daya ingatnya lemah, sebaiknya kerangka penulisan tetap ditulis di kertas. Setiap saat dibaca dan disempurnakan. Penyempurnaan kerangka penulisan akan terus berlangsung berdasarkan inspirasi, pemikiran ataupun referensi yang dipelajari penulis. Jika dirasa sudah mencapai kematangan, penulis dapat mengembangkannya dalam bentuk tulisan. Kerangka penulisan hanya diperuntukkan genre prosa dan drama, sedangkan genre puisi tidak membutuhkannya. Tulisan bergenre puisi menampung kilatan-kilatan emotif dan artistik dalam bentuk kata, frase, atau kalimat, tanpa berpretensi menceritakan suatu urutan cerita yang beralur. Bahkan dalam bentuk puisi balada, yang cenderung memiliki cerita, genre ini tetap mengutamakan imaji-imaji dan sarana puitik yang mampu membangun suasana emotif dan pengalam imajinatif penyairnya. Bentuk puisi ini tidak

Page 30: menulis kreatif

30

semata-mata ingin menceritakan sebuah kisah atau peristiwa, melainkan suasana yang ditimbulkan oleh kisah atau peristiwa tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam bab tentang bagaimana puisi itu tercipta pada bagian buku ini selanjutnya. Bagi penulis pemula, sekali waktu perlu belajar dari karya penulis yang sudah mapan; membacanya, mengurainya menjadi sebuah kerangka penulisan. Dengan belajar dari karya orang lain, dapat diserap bagaimana membangun alur cerita yang logis dan jelas, sehingga pembaca tertarik. Penulis pemula tersebut dapat mengambil karya sastra yang telah banyak dibicarakan para kritikus atau ahli sastra. Banyaknya pembicaraan tentang suatu karya menunjukkan pengakuan atas kualitas karya tersebut. Salah satu contoh, cerpen karya

________________

Page 31: menulis kreatif

31

BAGAIMANA PUISI ITU TERCIPTA?

nda ingin menulis? Ya, menulislah! Tak perlu repot. Menulis itu tidak ribet. Malah lebih ribet dari pada orang makan. Orang menulis hanya butuh

bolpein dan kertas. Sedangkan orang ingin makan, harus masak dulu, menuangkan di piring, lantas melesakkan makanan itu ke mulut. Ribet, kan? Lebih ribet dari menulis.

Menulis itu kebiasaan. Orang bisa karena biasa. Jadi, biasakan menulis. Bisa apa saja dan tentang apa saja. Menulis itu ibarat mengasah pedang, semakin lama di asah, semakin tajam juga. Yang dibutuhkan menulis adalah ketajaman. Oleh karena itu perlu diasah, seperti mengasah pedang. Semakin lama diasah, semakin tajam. Semakin tajam daya menulis seseorang, semakin lancar ia mengalirkan pikiran dan perasaannya ke dalam bentuk tulisan.

Proses menulis itu juga ibarat mata air yang mengalir ke sungai. Biarlah ia mengalir menjadi sungai dan bermuara ke samudra lepas. Percayalah, orang-orang, ikan-ikan, batu-batu, bahkan kotoran sekalipun memanfaatkannya untuk sebuah perjalanan hidupnya. Janganlah ditutupi mata air itu. Janganlah dibendung sungai itu. Otak kita adalah sumber mata air. Ia mengalirkan isinya untuk bermuara menjadi tulisan. Jadi, biasakanlah otak kita seperti itu. Janganlah Kamu biarkan mata air (otak) itu diam membeku. Salurkanlah menjadi tulisan. Jangan dibiasakan mendiamkan pikiran dan perasaan ke dalam otak. Paling-paling akan memenuhi ruang bawah sadar kita. Tapi jika ia disalurkan ke dalam tulisan, akan bermanfaat bagi orang lain. Dapat juga kelak menjadi profesi sebagai seorang penulis. Profesi sebagai penulis sekarang ini, mendatangkan imbalan materi yang lumayam. Bagian Satu: BERBAGAI MODEL PENCIPTAAN PUISI

agi saya, membaca puisi sesungguhnya bertujuan memahami dan menikmati puisi itu. Bisa keduanya, atau mungkin terbatas pada salah

satunya. Itu toch tergantung pada puisinya. Ada puisi yang cukup bisa difahami, tetapi bukan untuk dinikmati. Atau sebaliknya, puisi yang sebatas untuk dinikmati tanpa harus memahami maknanya. Atau keduanya, difahami dan dinikmati. Memahami puisi merupakan usaha untuk menangkap makna dan

A

B

Page 32: menulis kreatif

32

artinya. Sedangkan menikmati puisi lebih mengarah pada menangkap kedalaman perasaan, sikap, nada, dan gaya yang muncul ketika membaca puisi.

Puisi memang cukup pendek untuk bisa menampung sebuah pengertian. Ia sekedar menangkap kilatan momen-momen puitik yang muncul dalam diri penyairnya. Puisi berkecenderungan tidak berbicara apa-apa, kecuali perasaan yang dicitrakan melalui bahasa. Apalagi membaca puisi-puisi yang kental dengan permainan kata dan perasaan. Alhasil, kita cukup menikmati kedalaman perasaan aku lirik (Penyair ?). Berpijak pada asumsi di atas kita dapat mengatakan, ada model puisi yang mengutamakan kekuatan sarana puitika bahasa: simbol, rima, bunyi, imaji, diksi, dan metafora. Model puisi demikian, penyairnya memiliki kekayaan perbendaharaan kata dan ungkapan-ungkapan untuk menumbuhkan kenikmatan dan keindahan ketika puisi ini dibaca. Ia lebih mementingkan efek artistik dalam diri pembaca ketika membaca puisi tersebut. Tidak penting apakah makna puisi tersebut dapat dipahami atau tidak. Ia hanya menangkap kilatan-kilatan emotif yang muncul dalam diri penyairnya melalui rangkaian kata dan tipografi. Puisi-puisi Balai Pustaka dan Pujangga Baru merupakan contoh puisi yang sangat memperhatikan penataan dan penyusunan kata untuk memenuhi keindahan bunyi. Puisi-puisi lirik dan auditorium dapat dijadikan contoh model puisi tersebut pada aspek imaji, metafora dan simbol yang dipakai. Sedangkan puisi mantra, karya Sutarji Choulsoum Bachri misalnya, merupakan contoh puisi yang lebih mementingkan bunyi dari pada makna. Bahkan Sutardji secara terang-terangan ingin melepaskan kata dari maknanya dalam credonya. Akibat yang ditimbulkan dari model puisi yang demikian itu adalah, (1) puisi tersebut menjadi puisi gelap (frismatis) dan (2) puisi yang gagal. Akibat pertama memang menjadi kesengajaan penyairnya sebagai konsekuensi style yang dipilih.

Sementara akibat kedua cenderung karena ketidakmampuan penyairnya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Ada model puisi yang tidak mementingkan bahasa. Ia lebih mementingkan pesan yang ingin disampaikan penyairnya kepada pembacanya. Kata-kata yang dipilih sebagaimana kata-kata yang sering dijumpai dalam bahasa sehari-hari. Puisipuisi Chairil Anwar misalnya, tidak mempersoalkan kata-kata yang dipakai, tetapi pesan dan makna yang diungkapkan begitu kuat membangun kualitasnya. Ini semakin terlihat apabila puisi-puisi Chairil Anwar tersebut dibandingkan dengan puisi-puisi pada pereode sebelumnya, Pujangga Baru dan Balai Pustka. Oleh karena itu, Chairil Anwar dianggap sebagai pembaharu sastra Indonesia modern (Avant Garde). Model puisi yang ketiga di samping mengutamakan kekuatan bahasa juga kekuatan penghayatan dan pendalaman terhadap isi (subject matter). Puisi seperti ini mampu mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan penyairnya melalui pilihan kata, simbol, persajakan, imaji, dan metafora yang tertata. Pembaca tidak saja memperoleh kenikmatan yang ditimbulkan oleh cara penyair mengungkapkan makna melalui sarana bahasa yang dipakai, tetapi juga makna di balik sarana bahasa tersebut. Penyair-penyair seperti Sapardi Djoko Damono, Gunawan Muhamad, Ayip Rosidi, Abdul Hadi WM., dan penyair lainnya yang sudah mapan, merupakan contoh bagaimana

Page 33: menulis kreatif

33

mereka sangat kuat dalam pengungkapan dan pendalaman apa yang ingin disampaikan dalam puisi-puisinya.

Model-model puisi di atas dapat dijadikan referensi bagaimana menciptakan puisi, khususnya bagi pemula. Paling tidak ada tigal hal yang harus diperhatikan di dalam menciptakan puisi. Pertama, kekayaan perbendaharaan kata, simbol, imaji, dan metafora. Hal ini dapat diperoleh apabila seseorang sering membaca puisi. Keseringan membaca puisi orang lain akan menambah perbedaharaan bahasa seseorang. Dan itu merupakan modal yang sangat berarti dalam menciptakan puisi.

Kedua, kepekaan emosi, pikiran, dan perasaan terhadap semua hal yang ada di lingkungan sekitar. Kepekaan emosi, pikiran, dan perasaan ini akan memunculkan kedalaman penghayatan dan perenungan terhadap apa yang ingin disampaikan dalam puisi yang diciptakannya. Perasaan empati, simpati, inisiatif, reflektif, daya kritis, dan kekuatan untuk menangkap di balik realitas, merupakan kepekaan perasaan dan pikiran yang akan bermuara ke dalam puisi.

Ketiga, keseringan di dalam menciptakan puisi. Pikiran dan perasaan sebagai sumber penulisan puisi sesunggungnya merupakan suatu proses kesadaran. Ia bersifat dinamis; senantiasa bergerak dan berjalan dalam diri seseorang. Namun demikian, proses pikiran dan perasaan tersebut tidak akan teraktualisasi tanpa diungkapkan ke dalam tulisan dan tindak tutur seseorang. Kebiasaan seseorang mengaktualisasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, baik melalui tulisan maupun tuturan, akan menentukan kefasihan atau ketrampilan seseorang dalam berbicara atau menulis. Ide dan inspirasi hanyalah pendorong seseorang untuk memikirkan dan merasakan dalam dirinya. Dan apa yang dipikirkan dan dirasakan tersebut diungkapkan melalui media bahasa. Puisi merupakan salah satu ragam tulisan yang membutuhkan kefasihan atau keterampilan tersebut. Semakin sering menulis puisi semakin fasih dan terampil.

Keterpaduan ketiga hal di atas akan membangun kualitas puisi. Teknik menulis puisi berkisar pada hal-hal di atas. Namun demikian, terlepas dari itu semua, menulis puisi mesti berangkat dari kegairahan bersastra. Tanpa kegairahan bersastra tidak mungkin tercipta tradisi mencipta karya sastra (puisi). Pada hakikatnya pencintaan karya sastra merupakan kebiasaan yang terbangun karena komitmen dan motivasi dalam menggairahkan bersastra, baik secara indidual maupun dalam konteks yang lebih luas (berkesenian). Bagian Dua: DARI PERISTIWA, IMAJINASI, KE PUISI

uisi ditulis bukan semata-mata untuk mengungkapkan suatu perilaku, peristiwa, atau suatu ruang dan waktu. Tetapi makna di balik itu semua

yang diungkapkan dalam puisi. Suatu peristiwa yang terjadi dalam realitas hanyalah sebuah fakta. Pemahaman terhadapnya sebatas suatu rangkaian kejadian yang secara empiris dilihat atau didengar. Tetapi bukan fakta empiris itu yang esensial bagi seorang penyair. Fakta itu hanyalah ide dan inspirasi yang

P

Page 34: menulis kreatif

34

mendorong penyair untuk mencipta sebuah puisi. Sementara sumber kekayaan tematis dan makna dalam penciptaan puisi tersebut terletak pada penghayatan, perenungan, tanggapan, pemikiran, dan perasaan penyairnya terhadap fakta empiris itu. Bagi penyair, biarlah peristiwa sebagai sebuah fakta menjadi bagian dari sejarah. Bukan tugas seorang sastrawan untuk melaporkan dan mencatatnya, melainkan sejarawan atau seorang jurnalis. Makna apa dibalik peristiwa, adalah hal yang terpenting. Peristiwa penembakan mahasiswa demonstran di zaman orde lama, di mata Taufiq Ismail menjadi bahan perenungan dan penghayatan untuk diungkapkan dalam puisinya berikut ini.

Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba Sore itu Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi (1966)

Begitu pula dengan Rendra, ketika mengamati realitas masyarakat yang

begitu timpang; antara kemiskinan dan gaya hidup sebagaian masyarakat yang membanggakan kekayaannya.

…………………. Janganlah kamu bilang negeri ini kaya Karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa Jangan bilang dirimu kaya Bila tetanggamu memakan bangkai kucing

Banyak peristiwa dalam sejarah hidup manusia terlupakan begitu saja. Ketika ia menengok ke sejarah hidupnya itu, tidak sekedar rentetan peristiwa demi peristiwa telah terjadi dalam hidupnya, tetapi ada pencerahan di sana. Chairil Anwar mengungkapkan hal itu ke dalam puisinya berjudul Selamat Tinggal (1959).

Selamat Tinggal

Aku berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya?

Page 35: menulis kreatif

35

Kudengar seru menderu - dalam hariku? – Apa hanya ingin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah………….!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal……..!! Selamat Tinggal………!!

Ketiga penyair di atas didorong oleh suatu peristiwa yang terjadi dalam realita, baik realitas di luar dirinya yang diamatinya, maupun realitas dalam sejarah hidupnya yang telah dialaminya. Taufiq Ismail bukan ingin mencatat sebuah peritiwa penembakan para mahasiswa di tahun 60-an ketika berdemonstrasi menentang tirani orde lama. Rendra bukan ingin melaporkan suatu realitas yang terjadi di lingkungannya ketika ia mengamati terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat. Dan Chairil Anwar bukan ingin mengungkapkan tentang kejelekan dan kekurangan dirinya. Ketiganya berusaha untuk mengungkapkan apakah makna di balik semua peristiwa itu. Peristiwa-peristiwa itu merupakan momen puitik yang muncul dari dalam pikiran, perasaan, perenungan, dan penghayatan ketiga penyair itu. Kalau peristiwa yang diamati dan dialami bersumber dari realitas sebagai fakta empiris (obyektif), tetapi puisi yang terinspirasi dari peristiwa itu bersumber dari kesadaran penyairnya sebagai fakta imajinatif. Jika dalam sejarah, suatu peristiwa yang ditulis oleh banyak orang, akan menghasilkan laporan yang sama. Seorang penulis sejarah harus melaporkan fakta demi fakta itu sendiri. Jika terdapat perbedaan di antara mereka, hanya satu yang diakui kebenarannya. Semua hal yang terjadi dalam peristiwa itu mesti dicatat. Tidak ada yang ditutup-tutupi atau sengaja dihilangkan. Kalau itu terjadi, sesungguhnya ia tidak berpretensi menulis sejarah, tetapi ada kepentingan lain. Sebaliknya, peristiwa yang sama akan menghasilkan pengungkapan yang berbeda-beda dalam puisi. Penyair bukan ingin menulis sejarah, agar orang lain mengetahui tentang peristiwa itu. Penyair menangkap pengalaman puitik ketika menghadapi, merenungkan, dan menghayati peristiwa itu. Apakah makna di balik peristiwa itu? Apakah hakikat peristiwa itu? Apakah yang bergejolak di dalam batin penyair? Bagaimana sikap, pandangan, pemikiran, suasana perasaan yang timbul dalam diri penyair ketika melihat peristiwa itu? Serangkaian pertanyaan itulah yang berlangsung dalam proses penciptaan puisi. Bandingkan dengan puisi berikut ini, yang ditulis oleh seseorang yang berusaha untuk belajar menulis puisi.

Page 36: menulis kreatif

36

Kata Itu Kata itu … Slalu aku tunggu Slalu aku rindu Slalu ingin aku dengar darimu Kata itu … Tak pernah terucap darimu Tak pernah terdengar olehku Tapi, sikapmu lembut Perhatianmu melebihi sahabat Perlahan, hati ini mulai terlambat Kata itu … Belum juga terucap Kini … Semua sudah terlambat Kata itu … Baru kau ucap Aku telah bersamanya Kau telah jadi miliknya Kata itu … Hanya menyiksa kita. Karya: Nikmah (2009) dokumen Sanggar Sastra Unirow Tuban

Teknik pengungkapan dalam puisi di atas cukup bagus. Penulisnya memiliki pemahaman bagaimana ia mesti menuangkan sesuatu yang dialaminya atau dirasakannya dalam bentuk puisi, bukan dalam bentuk genre sastra yang lain. Pilihan kata, pengulangan yang sengaja disusun, tipografi, dan efisiensi penggunaan kata, menunjukkan ia cukup memiliki modal untuk menulis puisi. Keberanian dan kejujurannya untuk mengungkapkan sepenggal kisah yang dialami aku lirik (penyairnya?) untuk diketahui pembaca, patut dihargai. Lantas, bagaimana jika puisi ini ditempatkan dalam konteks pembicaraan tentang hubungan peristiwa dan penciptaan puisi yang telah disampaikan di atas? Itu hal yang penting untuk menjadi masukan dan pertimbangan bagi penulis puisi berjudul Kata Itu di atas. Puisi berjudul Kata Itu di atas mencoba merekam suatu peristiwa yang dialami aku lirik ketika ia menanti ucapan seseorang ‘sahabat’ yang tak kunjung terucap. Apa itu? Kalau ditilik dari baris-baris terakhir: Semua sudah terlambat/…./Kata itu …/Baru kau ucap/Aku telah bersamanya/Kau telah jadi miliknya/, kata itu adalah ungkapan cinta. Semuanya sudah terlambat. Keterlambatan itu Hanya menyiksa kita. Hal yang ingin diungkapkan penyairnya merupakan suatu peristiwa yang biasa dan banyak dialami orang lain yang seumur dengan penulis puisi itu. Seandainya penulis mau lebih dalam lagi merenungkan dan menghayati apa makna di balik peristiwa itu, akan terlihat

Page 37: menulis kreatif

37

kedalaman pengalaman batin penulisnya itu. Perhatian penulisnya terhadap apa yang dinanti cukup berlebih. Perulangan kata itu memang cukup berhasil untuk mengungkapkan efek emotif, tetapi kurang mampu mengungkapkan kedalaman emosi dan perasaan ketika penantian itu begitu menyiksa aku lirik. Mari kita bandingkan bagaimana ketersiksaan aku lirik begitu dalam terungkap dalam pengucapan puisi berikut.

…………………….. Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah melelh dari muka Sambil berjalan kau usap juga. Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah. Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku. ……………………….. Kepada Peminta-Minta Chairil Anwar (1959)

Bukan maksud penulis untuk membandingkan seorang penulis puisi pemula dengan penyair sekelas Chairil Anwar. Paling tidak, dengan memperbandingkan itulah, kita dapat belajar. Salah satu hal yang bisa kita ambil dari puisi Chairil Anwar tersebut adalah, bagaimana Chairil mampu mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan ketika melihat seorang pengemis di hadapannya. Ada perasaan mencekam dalam diri aku lirik (Cairil Anwar?) ketika melihat pengemis yang bercacar dan bernanah seolah mengingatkan dirinya akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Untuk melengkapi pembicaraan ini, berikut ditampilkan sebuah puisi karya seorang pelajar yang dimuat dalam Kaki Langit (Horison, Edisi VII, 2008:15).

Aku dan Kamu Aku mendayung Semakin menjauh dari tepi Menyelami kamu Dan mendengar keluhmu

Page 38: menulis kreatif

38

Aku terus mendayung Mengelus tubuhmu Dari menikmati Indahmu Hingga Aku tenggelam ke dalammu Karya: Biazamsha Kharisma Pinatih

Puisi di atas cukup memberikan bukti bahwa penulisnya telah mampu mengungkapkan apa yang ada dalam gejolak pikiran dan perasaanya. Pilihan kata, imaji, metafora, dan kedalaman imajinasi terungkap dalam puisinya itu. Tetapi, jika pada puisi Kata Itu, penulisnya kurang dalam menukik dan mengembara ke kedalaman perasaan dan imajinasinya. Sedangkan pada puisi Aku dan Kamu, penulisnya telah mampu menukik dan mengembara ke kedalaman perasaan dan imajinasinya, tetapi kurang mengendalikan pengembaraannya itu sehingga imajinasinya tidak tersusun dengan baik. Terasa puisinya meloncat-loncat tak tertata. Paling tidak, keduanya memiliki awal yang baik sebagai modal menjadi seorang penulis puisi (penyair).

Ujung pembicaraan ini sesungguhnya mengarah pada imajinasi. Karena imajinasi itulah sebuah puisi dibangun lewat media bahasa. Di awal tulis ini dikemukakan bahwa sumber kekayaan tematis dan makna dalam penciptaan puisi terletak pada penghayatan, perenungan, tanggapan, pemikiran, dan perasaan penyair terhadap fakta empiris (baca: ide dan inspirasi). Substansi pemikiran ini sesungguhnya adalah puisi merupakan tempat bermuaranya pengembaraan imajinasi penyairnya. Di dalam samudra perasaan dan pikirannya, majinasi seorang penyair mengembara ke mana-mana. Ia menukik, meloncat-loncat, masuk ke ruang tak terbatas, bahkan ke tempat yang paling mustahil sekali pun. Ia akan menjadi liar tak terkendali jika penyair itu tidak mengarahkan dan memfokuskannya pada puisi yang akan ia tulis. Imajinasi-imajinasi itu harus tertata dan terhubung satu sama lain sehingga puisi yang ditulisnya tidak terasa meloncat-loncat. Ia menjadi padu dalam mengungkapkan makna yang ingin disampaikan dalam puisinya itu. Puisi berikut merupakan contoh bagaimana penulisnya telah mampu mengembara di ruang imajinasinya secara bebas. Tetapi, karena pengembaraan itu tidak terkendali dan terpusat, imajinasi dalam puisi tersebut terasa ke mana-mana dan tak tertata secara padu.

Pengarung Lautan Malam

Hidup dalam lingkaran pijaran kobaran api Menghirup dunia kebebasan lintangan alam Melingkar dalam gerombolan yang membentang Bertarung membelah ombak samudra kegelapan Menari di tengah-tengah badai angin malam Terdengar jejak prajurit dalam dunia mimpi

Page 39: menulis kreatif

39

Berjalan di atara pohon tua dan guguran dedaunan kering ………………………….. Karya: M. Faizal Rosyidin

Kaki Langit (Horison, Edisi VII, 2008)

Di samping kurang padu dan terfokus, puisi di atas terasa berlebihan; jika tidak boleh dikatakan bombastis. Puisi tersebut terkesan meloncat dari satu titik ke titik yang lain sebelum mampu mengungkapkan makna yang ingin diungkapkan penyairnya. Namun demikian, kekuatan pengembaraan imajinasi penyairnya sungguh merupakan kekayaan tak ternilai dalam proses penciptaan puisi selanjutnya. Tinggal bagaimana mengasah teknik dan cara mengendalikan pengembaraan imajinasi yang begitu liar dan ke mana-mana itu. Dengan demikian, hubungan peristiwa dan imajinasi dalam penciptaan puisi terletak pada ide dan ispirasi yang bersumber dari peristiwa yang dialami penyairnya untuk mendorong pengembaraan ke dalam imajinasi (perasaan dan pikiran). Pada gilirannya, pengembaraan itu bermuara ke dalam puisi lewat media bahasa dan sarana puitik.

Bagian Tiga: BAHASA MEMBANGUN PUISI

ika peristiwa menjadi pendorong (inspirasi) dan imajinasi menjadi jiwa puisi, maka bahasa merupakan medianya. Artinya, imajinasi yang menjadi dasar

penciptaan puisi akan dijilmakan atau diungkapkan dalam bahasa (kata). Oleh karena itu, kata-kata yang dipilih pengarang bukan semata-mata mengungkapkan makna puisi, tapi juga mampu memberikan efek emosional atau perasaan penyairnya. Kata-kata yang dipilih haruslah mampu mengungkapkan gambaran perasaan dan suasana batin penyair ketika puisi itu ditulis. Di sinilah nilai puitika akan nampak dalam puisi yang diciptakan penyairnya. Bagaimanakah puisi bisa mengejawantahkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diimajinasi penyairnya? Puisi menggunakan sarana puitika bahasa untuk itu. Sarana puitika yang dimaksud adalah kata, ungkapan, imaji, dan gaya bahasa. Seorang penyair akan memilih, menciptakan, dan menata sarana puitika itu agar mampu menyampaikan perasaan dan imajinasinya ke dalam puisi. Itu bersifat khas; berbeda atara penyair yang satu dengan yang lain. Orang menyebutnya sebagai style. Marilah kita mencermati puisi berikut.

Padamu Jua Habis kikis Hilang terbang Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu

J

Page 40: menulis kreatif

40

Kaulah kandil kemerlap Pelita jendela di malam gelap Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu. ………………… Amir Hamzah

Bandingkan dengan puisi Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan Sutarji Choulsum Bachri berikut ini.

Selamat Tinggal Aku berkata Ini muka penuh luka Siapa Punya? Kudengar seru menderu - dalam hatiku? Apa hanya angin lalu? …………………….. Chairil Anwar

Istri -- istri mesti digemateni Ia sumber berkah dan rejeki (Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul) Istri sangat penting untuk ngurus kita Menyapu pekarangan Memasak di dapur Mencuci di sumur Mengirim rantang ke sawah Dan ngeroki kita kalau kita masuk angin Ya, istri sangat penting untuk kita. Darmanto Jatman

SEPISAUPI Sepisau luka sepisau duri Sepisau dosa sepukau sepi

Page 41: menulis kreatif

41

Sepisau duka serisau diri Sepisau sepi sepisau nyanyi Sepisapa sepisaupi Sepisapanya sepisaupi Sepisanya sepikau sepi Sepisaupa sepisaupi Sepikul diri keranjang duri …………….. Sutarji Choulsum B.

Keempat puisi di atas berbeda style-nya. Perbedaan itu dapat dilihat pada penataan dan penciptaan sarana retorikanya. Baik kata-kata yang dipilih, ungkapan, imaji, dan gaya bahasanya. Karena memang, dalam hal style tak ada yang sama di antara para penyair. Ia khas dan pribadi milik penyair. Tapi penyair keempat puisi itu sama dalam hal kesadarannya untuk menggunakan sarana puitika yang mampu mewadahi perasaan, pemikiran, dan imajinasinya. Dalam puisi Padamu Jua, Amir hamzah sangat tertip dan selektif dalam memilih kata-katanya. Ia memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (persajakan) agar puisinya itu menimbulkan irama sebagaimana sebuah orkestra yang melantunkan lagu bernada syahdu. Pasangan kata-kata: Habis – kikis, hilang – terbang, kembali – seperti, padamu – dahulu, kaulah – kandil – kemerlap, pelita – jendela, kemerlap – gelap, pulang – perlahan, dan Sabar – setia – selalu, menimbulkan irama ketika puisi itu dibaca. Sekaligus, pembaca akan mampu merasakan irama dan nada perasaan penyairnya ketika menulis puisi itu. Perasaan syahdu penyairnya mampu dimunculkan oleh kata-kata yang dipilih. Begitu juga imaji kinetik/gerak dan imaji visual yang diciptakan Amir Hamzah berikut: Segala cintaku hilang terbang (imaji kinetik/gerak) dan Kaulah kandil kemerlap, Pelita jendela di malam gelap, Melambai pulang perlahan (imaji visual). Imaji atau pencitraan yang dicipta mampu mengkonkritkan perasaan dan batin penyair yang abstrak. Imaji atau citra memang berfungsi untuk mengkonkritkan apa yang diabstraksikan (diimajinasikan/dirasakan) penyair ketika mencipta puisinya. Berbeda dengan puisi Chairil Anwar yang cenderung atau terkesan tidak terlalu memusingkan pilihan kata-katanya. Kata-kata yang dipilih sebagaimana kata-kata yang dipakai sehari-hari. Tidak ada kata-kata klise dalam puisinya yang berjudul Selamat Tinggal itu. Memang itulah style khas dari kepenyairan Chairil Anwar. Hal itu terlihat juga dalam puisi-puisinya yang lain. Tetapi bukan berarti Cairil tidak menata dan memilih kata-kata yang ada dalam puisi tersebut. Meskipun kata-kata terkesan biasa, tetapi Cairil tetap memilih kata-kata itu sebagai sarana puitika untuk mewadahi perasaan dan emosinya. Baris Aku berkaca/ Ini muka penuh luka/Siapa punya?//, mengandung simbol dan emosi sebagaimana yang dirasakannya ketika mencipta puisi tersebut. Kata berkaca dan muka penuh luka menggambarkan introspeksi (mawas diri) atas kejelekan

Page 42: menulis kreatif

42

dan dosa-dosa yang pernah dia lakukan. Baris Ini muka penuh luka memunculkan imaji visual yang menjijikkan dan perasaan menderita yang dialami aku lirik (penyairnya?). Imaji tersebut mampu mengkonkritkan (membuat nyata) perasaan Chairil yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya secara abstrak. Style atau gaya Darmanto Jatman berbeda pula. Puisi yang berjudul Istri sangat bernuansa Jawa. Sebagai orang Jawa yang juga tinggal di Jawa Tengah (Semarang), puisinya itu mengalirkan sikap dan nada ke-jawa-annya. Baris puisinya: Istri mesti digemateni/ ia sumber berkah dan rejeki//…/mengirim rantang ke sawah/dan negeroki kita kalau kita masuk angin/, terasa dekat dengan suasana kehidupan masyarakat Jawa. Kata digemateni (gemati), berkah, rejeki, rantang, sawah, dan ngeroki, merupakan kata-kata yang lazim dijumpai dalam kosa kata bahasa Jawa. Style yang dipilih Darmanto Jatman semacam itu sangat relevan dengan makna dan pesan yang akan disampaikan lewat puisinya itu. Penyair dalam puisinya itu ingin mengungkapkan pandangannya tentang peran dan kedudukan istri berdasarkan pandangan hidup sebagai orang Jawa. Lain jadinya apabila konsep istri (wanita) Jawa diungkapkan dengan gaya yang berbeda. Dengan demikian, ada kesengajaan penyairnya untuk membangun nada dan menata sarana putika yang bernuansa Jawa untuk mengungkapkan tema ke-jawa-an itu. Pada masa 70-an, dunia kesusasteraan Indonesia diwarnai eksperimentasi besar, ketika suhu kebudayaan di tanah air lepas dari dominasi Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi pada PKI. Salah satu bentuk eksperimen tersebut salah satunya di bidang puisi. Penyair Sutarji Choulsoum Bachri merupakan penyair yang sangat frontal memberontak konvensi (aturan) puisi yang berlaku sebelumnya. Dalam konsep kepenyairannya (kredo), Sutarji ingin membebaskan kata dari maknanya. Ia berangkat dari mantra; genre puisi lama Indonesia. Puisi yang berjudul Sepisaupi di atas merupakan salah satu contoh betapa dia tidak memperhatikan sistem bahasa yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Pada penyair sebelumnya, hal itu tidak pernah dilakukan. Dalam puisi di atas, jelas Sutarji dengan sengaja menyimpang dari sistem bahasa yang ada. Dengan begitu, sepisaupi tidak memilki arti apa-apa jika dipandang dari sistem bahasa Indonesia. Penyairnya sengaja menggabung kata-kata: sepi – pisau – pikul digabung menjadi sepisaupi. Berdasarkan gaya dan cara yang dipakai penyairnya seperti itu akan didapatkan makna interpretatif; sepi itu seperti pisau yang mengiris dan berat seperti barang sepikul. Baris pertama /sepisau luka sepisau duri/ dapat dimaknai: sepi itu seperti pisau yang mengiris-iris luka, sepi itu seperti pisau yang mengiris-iris duri. Sesungguhnya Sutarji berusaha memunculkan bunyi yang ditimbulkan dari kata-kata yang digabung itu. Meskipun Sutarji dalam kredonya ingin melepaskan kata dari maknanya, tetapi sebenarnya dia tidak serta merta meninggalkan makna dari kata-kata yang dipakai. Berdasarkan style atau gaya yang dipakai memang cenderung makna tidak diperhatikan, tetapi apabila kata-kata yang digabung tersebut diurai akan nampak maknanya. Begitu juga dengan puisi-puisi yang lainnya, dia berusaha untuk tidak memperhatikan makna karena kata sengaja dirusak (dalam tanda petik) untuk menciptakan style-nya itu. Puisinya yang berjudul Tragedi Winka &

Page 43: menulis kreatif

43

Sihka, Sutarji sengaja membalik kata kawin dan kasih menjadi winka & sihka. Dengan membalik kata tersebut, dia akan berbicara tentang ketidaksempurnaan sebuah perkawinan karena munculnya konflik dalam liku-liku kehidupan manusia yang mengalaminya. Oleh karena itu dalam puisinya itu, Sutarji menyusun tipografinya seperti huruf “Z” yang menyimbulkan lika-liku hidup dalam perkawinan. Itulah perbedaan dari keempat style atau gaya yang dipakai oleh penyairnya. Perbedaan itu disebabkan oleh pemilihan kata, ungkapan, simbol, imaji, dan gaya bahasa yang dipakai dan ditata sedemikian rupa dalam puisinya. Penataan tersebut dimakusudkan untuk mewadahi apa yang dipikirkan dan dirasakan penyairnya ketika menciptakan puisinya. Setiap penyair akan berbeda, karena masalah style atau gaya tersebut bersifat khas. Kalau kemudian terdapat persamaan dengan puisi-puisi yang ditulis oleh penyair lainnya, dalam teori sastra disebut sebagai intertekstual. Saling mempengaruhi di antara para penyair tentunya pasti terjadi. Gaya Amir Hamzah tentu akan banyak dijumpai dalam puisi-puisi sezamannya (Pujangga Baru). Begitu juga pada zaman 45-an, puisi-puisi Chairil Anwar banyak mempengaruhi penyair-penyair lainnya. Itu pun berlangsung pada zaman-zaman sesudahnya, zaman 60-an, 70-an, 80-an atau pada zaman sekarang. Atas dasar model yang sama itulah dapat dirumuskan sebuah angkatan sebagaimana yang dilakukan kritikus sastra seperti H.B. Yasin, Ayip Rosidi, dan kritikus-kritikus lainnya. Di samping terdapat pertimbangan yang lain, misalnya semangat zaman, untuk mengelompokkan sastra Indonesia dalam angkatan yang berbeda. Itu tugas seorang kritikus sastra. Bagian Empat CITRA MENGKONKRITKAN SUASANA

pa yang menyebabkan sebuah puisi begitu nyata dan dalam di benak pembaca? Jawabnya adalah citra atau imaji. Pengalaman estetik dan

imajinatif yang dialami penyair ketika puisi dicipta, merupakan pengalaman yang abstrak. Ia merupakan pengembaraan dalam samudra imajinasi pengarangnya. Pengalaman itu berupa letupan-letupan perasaan dan suasana; kilatan puitik. Ketika penyair menangkapnya melalui kata-kata dan ditulis di atas kertas, jadilah sebuah puisi. Dengan begitu, puisi sesungguhnya sebuah abstraksi dari pengalaman. Tapi bayangkan, seandainya tidak ada sarana stilistik-bahasa, apa mungkin pengalaman estetik dan imajinatif itu dapat juga dirasakan oleh orang lain? Tidak mungkin. Bahkan hanya dengan rangkaian kata-kata saja, tak mungkin itu terjadi. Di sini puisi bukan sekedar kata dirangkai dengan kata menjadi kalimat atau baris. Puisi bukanlah sebuah pengertian yang ditimbulkan oleh bahasa yang dipakai pengarangnya, sebagaimana dalam komunikasi sehari-sehari. Tidak sekedar pesan ‘arti’, tapi juga ‘rasa’. kata-kata yang dipilih penyair disusun dalam suatu pencitraan tertentu. Tujuannya, pengalaman estetik dan imajinatif itu menjadi konkrit. Apa yang didengar, dirasa, dilihat, dan dilihat

A

Page 44: menulis kreatif

44

bergerak, diungkapkan melalui citra itu. Oleh karena itu, dalam teori sastra ada jenis citra visual, audio, suasana, gerak, dan sebagainya. Perhatikan bebera kutipan puisi berikut ini.

Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu - dalam hariku? – Apa hanya ingin lalu?

Selamat Tinggal, Chairil Anwar

Puisi Chairil di atas terasa konkrit, karena kehadiran citra visual dan audio. Baris: Ini muka penuh luka/Siapa punya?// adalah citra visual yang mengkonkritkan suasana perasaan yang menjijikkan. Penyair tidak perlu berbicara secara langsung tentang kehidupannya yang penuh dosa dan menjijikkan itu. Ia cukup mewakilkannya pada bangunan citra: Ini muka penuh luka. Kehadiran citra visual tersebut lebih mampu menggambarkan apa yang dirasa dan diimajinasikan (pengaman puitik, sestetik) dari pada seandai Chairil berbicara secara langsung, misalnya: “Hidupku menjijikkan/Ini hidupkukah?”. Bandingkan itu dengan baris puisi Chairil di atas. Begitu juga dengan citra audio pada baris selanjutnya: Kudengar seru menderu/-dalam hariku/...//. Pembaca seolah ikut mendengar betapa perasaan Chairil yang gelisah, sedih, berdegup kencang, seperti suara mesin yang keras dan terus menerus (menderu). Citra audio tersebut lebih konkrit dan mengena untuk menggambarkan suasa perasaan Chairil. Meskipun baris tersebut bisa saja diungkapkan melalui rangkaian kata yang maknanya sama, tetapi pencitraan yang dibangun Chairil lebih mengena, konkrit dan gelisah. Bandingkan seandainya baris tersebut diganti: “Kudengar suara memekakkan telinga, dalam hariku, apa karena akan mati? Untuk memberikan gambaran betapa puisi Chairil ini terasa konkrit dan bersuasana kejiwaan, berikut ini ditampilkan puisi itu secara lengkap.

Selamat Tinggal Aku berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu - dalam hariku? – Apa hanya ingin lalu? Lagu lain pula

Page 45: menulis kreatif

45

Menggelepar tengah malam buta Ah………….!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal……..!! Selamat Tinggal………!!

Chairil Anwar

Puisi Chairil Anwar di atas terasa sangat kuat, meskipun singkat. Pertama, pilihan kata yang padat, tak perlu melebar dan berpanjang-panjang. Kedua, penggunaan gaya bahasa metafora (Ini muka penuh luka) dan personifikasi (menggelepar tengah malam buta). Ketiga, pencitraan yang sangat menonjol (baris tebal menunjukkan pencitraan tersebut). Keempat, adanya persajakan (rima) atau pilihan kata yang memiliki persamaan bunyi: berkaca-luka-punya, seru menderu-hariku-ingin lalu, lagu lain pula, menebal-mengental-kukenal-selamat tinggal. Persamaan bunyi (aliterasi dan asonansi) seakan membangun nada orkestra lewat kata. Keempat hal itulah menjadi trade mark bagi Chairil Anwar, yang sebelumnya tak dilakukan penyair-penyair lain. Oleh karena itulah, Kenapa kemudian penyair ini disebut sastrawan pembaharu, pendobrak, avant-garde, dan pelopor sastrawan angkatan ’45. Sampai saat ini, pembaharuan Chairil tersebut masih berpengaruh sebagian besar penyair. Bagaimana dengan Anda? Meskipun bukan satu-satunya gaya pengungkapan yang ada dalam kesusasteraan Indonesia, nampaknya gaya Chairil Anwar masih bisa menjadi referensi bagi penciptaan puisi kemudian. Bukankah kita harus belajar dari yang ada. Selanjutnya terserah Anda.

_______________

Page 46: menulis kreatif

46

BAGAIMANA CERPEN ITU TERCIPTA?

pa yang membedakan puisi dari cerpen? Puisi jelas lebih padat, singkat, dan sangat bergantung pada pilihan kata, simbol, dan gaya bahasa.

Sementara cerpen lebih melebar atau menjabarkan obyek yang ingin diungkapkan. Kalau puisi menangkap momen puitik berupa kilatan perasaan, penghayatan, dan perenungan yang muncul dalam diri penyairnya, maka cerpen menangkap satu peristiwa yang unik dan menarik tentang kehidupan suatu tokoh menghadapi suatu problema. Karena itulah cerpen lebih bergantung pada konflik yang dialami tokohnya. Apakah yang menyamakan puisi dan cerpen? Sebagai karya sastra, puisi dan cerpen sama-sama didorong oleh imajinasi, fiksi, dan ekspresi. Ketiga istilah itulah dikenal dengan apa yang disebut siasat sastra. Oleh karena itu, akan lebih jelas jika penulis pemula memahami siasat sastra yang telah dibahas pada awal buku ini, sebagai pijakan pengetahuan menciptakan karyanya. Dengan siasat sastra itulah, pengarang menciptakan karya sastranya. Karena siasat sastra itulah, sebuah karya sastra memiliki kualitas. Bagian Satu TEMA – IDE PENULISAN – KERANGKA PENULISAN

Marilah membahas tentang bagaimana menulis cerita pendek berdasarkan apa yang pernah dikemukakan di awal buku ini. Kalau disarikan, apa yang telah dikemukakan terdahulu, bahwa karya sastra (baca: prosa dan drama) berangkat dari komponen ide penulisan, obyek yang diceritakan (manusia hero dan problematika hidupnya), konflik, dan kerangka penulisan. Penulisan cerita pendek dapat dimulai dari menciptakan komponen-komponen tersebut. Hal itu bisa disebut dengan istilah treetment. Perhatikan bagan urutan berikut ini.

A

Page 47: menulis kreatif

47

Bagan 3: Treatmen Cerita

Tema dalam konteks ini diartikan sebagai wilayah atau bidang pemikiran yang melandasi cerita. Oleh karena itu, tema akan dengan sendirinya muncul ketika ide penulisan dibuat. Ide penulisan merupakan sebuah premis atau pernyataan yang mengandung sebuah problema kehidupan yang hendak diberikan kepada pembaca melalui karya sastra. Sedangkan obyek yang diceritakan berwujud problema kehidupan yang bagaimanakah dan siapakah yang mengalaminya sesuai dengan ide penulisan. Sementara kerangka penulisan adalah susunan atau rangkaian peristiwa dari awal hingga akhir, yang berhubungan secara sebab-akibat, menjadi alur cerita. Kerangka penulisan dibuat berdasarkan obyek yang hendak diceritakan dalam suatu karya sastra. Ujung dari treetment tersebut adalah suatu cerita pendek yang ditulis berdasarkan komponen-komponen yang disusun sebelumnya. Semakin ke atas, komponen tersebut semakin abstrak. Sebaliknya, semakin ke bawah semakin konkrit. Dengan demikian, tema menduduki posisi paling abstrak, sedangkan pengembangan paling konkrit. Ide penulisan lebih abstrak dari pada obyek yang diceritakan, tetapi lebih konkrit dari pada tema. Bagan di atas menunjukkan urutan yang bisa dilakukan dalam proses penulisan cerita pendek; dari tingkat abstrak (pemikiran) ke arah konkrit (cerita). Berikut ini sebuah contoh penerapan treetment tersebut.

TEMA

IDE PENULISAN

OBYEK YANG DICERITAKAN

KERANGKA PENULISAN

PENGEMBANGAN

Page 48: menulis kreatif

48

Bagan 4: Treetment cerita, diadaptasi dari cerita dalam naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer

Ketiga komponen di dalam treetment di atas menjadi landasan atau dasar penulisan cerita pendek; bisa juga untuk genre prosa yang lain. Ketiganya bisa ditulis di sebuah catatan khusus atau hanya diingat ke dalam otak. Tetapi sebelum penulisan di mulai, perlu dimatangkan dengan penghayatan, perenungan, dan pemikiran. Dapat juga diperkaya dengan sumber-sumber referensi yang ada. Setelah dirasa matang dan sempurna, barulah dibuat sebuah kerangka penulisan. Kembali kepada pembahasan tentang kerangka penulisan terdahulu, penyusunan kerangka penulisan mengikuti prinsip urutan sebab-akibat (kausalitas). Peristiwa yang satu sebagai sebab munculnya peristiwa selanjutnya, dan seterusnya, hingga membentuk alur dari awal hingga akhir. Perhatikan juga tahapan alur yang telah disinggung di depan. Jangan lupa, cerita pendek lebih singkat dari pada novel atau roman. Jika novel dan roman mengungkapkan rentang waktu yang relatif panjang, maka novel hanya menceritakan satu saja peristiwa. Oleh karena itu, cerpen memiliki halaman lebih sedikit dari pada genre prosa yang lain. Dengan begitu, kerangka penulisannya pun lebih sedikit. Berdasarkan ide penulisan dan obyek yang diceritakan di atas, dibuatlah kerangka penulisan. Berikut ini contoh kerangka penulisan berdasarkan ide penulisan dan obyek yang diceritakan di atas.

TEMA

Kemiskinan

IDE PENULISAN

Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman hidup, dan penindasan

OBYEK YANG DICERITAKAN

Sosok Abu, buruh pabrik yang miskin karena bodoh, malas, kurangnya tuntunan agama, perlakuan majikan yang menindas, sistem kerja yag tidak

manusiawi, dan mitos dalam masyarakat yang tidak memihak pada status sosialnya

Page 49: menulis kreatif

49

KERANGKA PENULISAN 1

Abu duduk termenung di atas kursi malas kesukaannya. Hujan di luar menembus genting yang banyak berlubang di atas

rumahnya. Adzan magrib berkumandang. Tapi Abu tetap dalam lamunannya menjadi raja yang elok rupawan.

2 Iyem, istri Abu, marah-marah melihat suaminya cuma

bermalas-malasan. Rumahnya hampir tenggelam oleh air hujan. Dia panik, barang-barang di dalam rumahnya hanyut terbawa

air. 3

Lamunan Abu masih terbawa esok harinya di pabrik tempat dia bekerja. Majikannya marah-marah melihatnya. Sumpah

serapah dilontarkan pada Abu. Dan Abu pun dipecat tanpa uang pesangon

4 Abu pun beralih menjadi kuli kasar. Lebih keras lagi sistem kerja

di tempat pekerjaannya yang baru. Abu dan temannya hanya seperti robot. Ia diatur oleh mesin-mesin. Bukan sebaliknya. Abu semakin hilang aspek kemanusiawiannya karena sistem

kerja seperti itu. 5

Perlakuan majikan di tempat yang baru tak kalah jahatnya dari pada majikannya yang lama.

6 Abu dan Iyem akhirnya pergi dari semua penderitaan itu.

Mereka pergi menggelandang mencari Cermin Tipu Daya yang dijual Nabi Sulaeman di ujung dunia, seperti lamunan dan

mimpi-mimpinya. 7

Abu meninggal dalam perjalanannya itu sebelum mendapatkan impiannya itu.

Diadaptasi dari cerita drama berjudul “Kapai-Kapai” karya Arifin C. Noer

Kerangka penulisan di atas semakin konkrit memperlihatkan bagaimana cerita dalam cerpen yang akan ditulis nantinya. Ada kesinambungan antara tema, ide penulisan, obyek yang diceritakan, dan kerangka penulisan. Tahap yang ada di bawah menerjemahkan tahap di atasnya. Tahap yang ada di bawah merupakan penkonkritan tahap di atasnya. Kesinambungan itu akan mempermudah bagaimana mengembangkannya menjadi sebuah cerita pendek yang utuh.

Page 50: menulis kreatif

50

Bagian Dua PENGEMBANGAN CERITA: Paragraf Awal, Unsur Pelukisan, Dan Dialog Pengembangan cerita merupakan tahap penulisan cerita pendek yang sebenarnya. Dalam tahap inilah cerpen secara utuh ditulis. Dengan adanya kerangka penulisan yang telah matang, penulis lebih mudah menulis cerpen berdasarkan urutan dalam kerangka itu. Tetapi banyak hal yang bakal terjadi saat penulis mengembangkan kerangka tersebut menjadi cerita yang utuh. Bisa jadi penulis menambahi hal-hal yang tidak tercantum dalam kerangka. Peristiwa-peristiwa kecil akan dihadirkan pada tahap ini. Hal-hal yang ditambahkan tersebut merupakan bentuk penghidupan cerita agar lebih menarik. Tetapi secara garis besar, alur cerita tetap berdasarkan kerangka penulisan. Di sinilah imajinasi dan ekspresi penulis secara total dituangkan dalam cerita. Di sinilah gaya penceritaan penulis diwujudkan melalui rangkaian kalimat menjadi paragraf; paragraf menjadi wacana naratif. Unsur wacana dalam cerita pendek (demikian juga dalam genre prosa yang lain) terdiri atas pelukisan dan dialog. Di dalam wacana cerpen keduanya hadir untuk menceritakan obyek yang diceritakan. Pelukisan merupakan gambaran tentang tokoh, peristiwa yang terjadi, dan tempat peristiwa itu terjadi. Ketiganya diceritakan dengan kalimat-kalimat yang mengalir dan menarik. Sedangkan dialog merupakan apa yang diucapkan oleh tokoh cerita. Dituntut kekayaan bahasa, kepiawian menyusun kalimat yang indah dan enak dibaca, dan kemampuan menggambarkan secara imajinatif apa yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Itulah sebuah style yang hanya dimiliki penulis itu sendiri. Ia berbeda dengan penulis yang lain. Hal itu akan terlihat saat cerpen itu dibaca. Awalilah cerita pendek dengan untaian kalimat yang menarik dan ekspresif. Untaian kalimat semacam itu diperlukan untuk menarik pembaca agar termotivasi membaca seterusnya. Hal itu lazim dilakukan penulis-penulis lain. Perhatikan beberapa contoh bagaimana penulis yang telah mapan dalam kesusasteraan Indonesia mengawali karyanya, baik cerpen maupun novel.

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan—kadang-kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tetapi bisa menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk kemudian pelan-pelan memetiknya.... “Empat Cerita Buat Cinta” dalam Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor

Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan.

“Cala Ibi” karya Nukila Amal

Page 51: menulis kreatif

51

Bayi matahari yang masih merah menggeliat bangun dari tidurnya lalu merangkak mengangkasa mengikuti busur langit. Ia dan ayahnya duduk di atap rumah mereka sambil memandang ke kejauhan. Rambutnya masih acak-acakan sisa sentuhan bantal sepanjang malam. Piyama biru muda bertabur bintang, bulan, planet, dan astronot masih melekat di tubuhnya. Kancing teratas piyama itu tanggal dan menyisakan dua lubang kecil tempat sehelai benang yang tidak begitu panjang pernah mengakar. Mata-bocahnya yang tampak besar menyiratkan kekaguman. “Karnaval” karya Bramantio

Paragraf awal dipakai penulis sebagai pijakan untuk masuk ke dalam cerita. Ada beberapa kebiasaan dilakukan penulis menyusun paragraf awal tersebut. Pertama, penulis memilih paragraf awal itu dengan lukisan tentang tempat di mana peristiwa yang dialami tokoh utama terjadi. Namun demikian, pelukisan tempat tersebut disesuaikan dengan isi cerita. Jika cerita menggambarkan tentang nasib tokoh utama yang kurang beruntung misalnya, lukisan tempat menggambarkan suasana yang muram. Jika sebaliknya, akan diceritakan suasana tempat yang cerah, nyaman, dan indah. Perhatikan contoh paragraf awal yang menggambarkan hal tersebut.

Di ujung perkampungan yang sesak itu ada jalan memintas yang dekat bagi para pejalan kaki kalau mereka hendak pergi ke jalan raya, menyetop bus kota atau kalau mereka hendak pergi ke pusat perbelajaan. Jadi, jalan pintas itu sangat penting. Tetapi bagi pemilik mobil jalan pintas itu tidak bisa dimanfaatkan. Mereka harus menyusuri jalan beraspal. Para pejalan kaki tidak mau menggunakan jalan beraspal itu.............

“Hukuman untuk Tom” dalam Bibir dalam Pispot

karya Hamsad Rangkuti (2003) Kedua, penulis menyusun paragraf awal dengan gambaran tentang identitas tokoh utama. Penulis akan menyusun kalimat demi kalimat untuk menggambarkan siapakah tokoh utama yang akan diceritakan, bagaimana sikapnya tentang sesuatu yang bakal terjadi, profilnya, kebiasaan, atau pun latar belakang kehidupannya. Contoh berikut merupakan paragraf awal yang dipakai Nukila Amal untuk menggambarkan latar belakang tokoh yang diceritakan.

Page 52: menulis kreatif

52

Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan.

“Cala Ibi” karya Nukila Amal

Dengan kalimat metaforis dan bersajak (rima), Nukila Amal mengawali novelnya dengan menggambarkan latar belakang tokoh utamanya. Paragraf tersebut sangat indah dan menarik berkat penataan dan pilihan kata dan lambang yang benar-benar tergarap. Paragraf awal semacam itu akan menarik perhatian dan motivasi pembaca untuk terus membaca karya sastra tersebut. Ketiga, penulis menyusun paragraf awalnya dengan menggambarkan tentang identitas tokoh utamanya. Cara ini juga banyak digunakan penulis untuk mengawali karyanya. Dalam halaman terdahulu telah dikutip paragraf awal yang dipakai cerpenis Yogya, Agus Noor, untuk membuka ceritanya.

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan—kadang-kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tetapi bisa menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk kemudian pelan-pelan memetiknya....

“Empat Cerita Buat Cinta” dalam Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor (2010)

Paragraf awal cerpen karya Agus Noor di atas melukiskan tokoh utamanya, Peri Pemetik Air Mata, dengan rangkaian kalimat yang mengalir cukup cair dan indah. Gaya bahasa digunakan untuk mengkonkritkan lukisan tentang tokoh tersebut. Pilihan frase seperti : arak-arakan capung, cawan mungil keemasan, Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tetapi bisa menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini, dan air mata itu menggelantung di pelupuk, sangat indah dengan kandungan metafora dan ironisme yang penulis pilih. Paragraf awal di atas akan menggugah motivasi pembaca untuk terus membaca. Ada banyak gaya yang dipakai penulis untuk membuka ceritanya. Tetapi pada umumnya, penulis menggunakan ketiga cara tersebut. Dengan gayanya masing-masing penulis menyusun paragraf awal dengan penataan kalimat, frase, dan kata, sebaik-baiknya. Cara yang dipakai penulis untuk mengawali ceritanya di atas dapat menjadi pembelajaran bagi penulis pemula bagaimana mengawali pengembangan kerangka penulisan yang telah disusun sebelumnya. Tapi yang tak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan kerangka penulisan menjadi cerita yang utuh dan menarik. Kerangka penulisan yang telah

Page 53: menulis kreatif

53

disusun sebelumnya, merupakan teknik awal untuk menuju ke sana. Yang kedua adalah bagaimana pelukisan dan dialog sebagai unsur pengembangan kerangka penulisan juga tertata. Sebelum membahas hal tersebut perlu dipahami terlebih dahulu fungsi unsur pelukisan dan dialog dalam cerita. Pelukisan merupakan gambaran atau penjelasan yang dilakukan oleh penulis ke dalam teks cerita. Ada empat hal yang digambarkan atau dijelaskan melalui pelukisan, yaitu: (1) apa yang dilakukan tokoh; (2) peristiwa yang terjadi; (3) apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh; dan (4) suasana, tempat, dan waktu (seting/latar). Penulis sendiri yang mengambil peranan untuk itu. Penulis menjadi seorang pengamat yang serba tahu, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak. Itulah mengapa penulis mampu menjelaskan dan menggambarkan apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh di dalam batinnya. Berikut ini beberapa contoh pelukisan yang dipakai oleh cerpenis Indonesia.

Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya. Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadipadang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya. Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk. Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk. Ronggeng Dukuh Paruk karya A. Tohari

Page 54: menulis kreatif

54

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya. Ibu, lelaki sejati itu seperti apa? Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan. Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Cerpen Laki-Laki Sejati karya Putu Wijaya

Dalam batin Corrie, terjadi pergulatan. Ia berusaha menyakinkan dirinya bahwa perkawinan antar dua bangsa tidak akan membawa bahagia. Namun ia tak dapat memungkiri suara hatinya yang mencintai Hanafi. Dengna kesadaran yang dipaksakan. Corrie menulis surat perpisahan dengan Hanafi. Surat itu berisi pandangan-pandangan Corrie seperti petuah ayahnya. Ia juga mengatakan jika kedudukan Hanafi Corrie belum sederajat maka perkawinan bagi mereka adalah mustahil. Corrie tak dapat menerima Hanafi. Salah Asuhan, karya abdul Muis Sesungguhnya, ia mengetahui, pemuda yang ada di hadapannya tidak lain adalah anak tirinya. Namun, keadaan juga yang menuntut mereka menjadi korban. Wanita pemilik losmen itu mati dengan keris pusakanyasendiri setelah ia membunuh Profesor Tabib yang memaksanya demi memuaskan nafsu setan. Juga si penyair mati dalam berondongan peluru musuh setelah ia mengadakan perlawanan demi kehidupan dan demi bangsanya. “Losmen Sederhana hanya tinggal puing yang membara dan lesu mengepulkan asap kelam-kelam. Terkuburlah di bawah reruntuhan dan sekitarnya pengkhianatan dan pejuang-pejuang tanpa baju seragam, tanpa bintang, tanpa nama, dan tanpa pertanda.” Tanpa Nama, “Domba-Domba Revolusi” karya B. Sularto

Page 55: menulis kreatif

55

Memperhatikan contoh pelukisan di atas dapat dipahami bahwa penulis menggunakan unsur pelukisan tersebut untuk menggambarkan apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan tokoh yang diceritakannya. Apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan tokoh tidak mungkin disampaikan melalui dialog, sehingga kehadiran pelukisan sangat diperlukan untuk itu. Sedangkan dialog merupakan unsur wacana yang berupa percakapan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain; bisa juga dengan dirinya sendiri. Unsur dialog biasanya ditandai dengan tanda petik ganda untuk mengawali dan mengakhirinya. Pada bagian-bagian tertentu, dialog tersebut diikuti dengan penjelasan dengan menggunakan kata: kata, tanya, tutur, tukas, sahur, jawab, timpal, ujar, potong, dan sebagainya, untuk menjelaskan atau mengkonkritkan bagaimana tokoh tersebut berdialog. Berikut contoh penulisan dialog yang dimaksud.

“Seniman memanfaatkan resolusi polaroid yang berbeda dengan film,” tutur Jose dalam salah satu ceramahnya. “Warna polaroid terlalu intens, terlalu dramatis. Terkesan tak nyata. Lucas Samara mempercayai fotografi polaroid untuk mendapatkan imaji-imaji fantastis.”

“Maksudmu?” “Intinya, Andri,” Jose menepuk bahuku. “Polaroid kerap menipu.

Berlebihan. Artifisial.” “Lalu Warhol dengan kelamin-kelaminnya?” Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha

“Malaikat itu sebenarnya baik, dia hanya ingin membunuh iblis tersebut, tapi ia lupa bahwa malaikat tidak boleh membunuh, Darah iblis itu kotor dan tak boleh menyentuh kemurnian, dan malaikat itu adalah makhluk yang nurni yang tak boleh terkotori oleh darah iblis.” “Apakah dia tidak bisa melihat surga?” Michail menggeleng dan lagi-lagi mata itu berubah menjadi ungu. “Michail, aku juga mungkin tidak bisa melihat surga...” “Kenapa kau berkata seperti itu?” “Surga tempat manusia-manusia yang baik kan? Surga hanya untuk tempat anak-anak yang manis dan selalu menurut perintah orangtuanya, surga juga tempat anak manis yang mau belajar dan jadi anak baik.” Dadaisme karya Dewi Sartika (2004) Baginda segera mendukung bayi yang ternyata seorang bayi perempuan. Tiba-tiba muncul seraut wajah yang dikenalnya sebagai wajah istrinya dari istana di tengah rimba tempo dulu.

Page 56: menulis kreatif

56

”kakanda Mundingsari, bayi itu adalah anak kita! Dia kuserahkan kepada kakanda untuk kau besarkan di kalangan manusia.” kata istrinya itu. ”Di kalangan manusia? Apa maksudmu adinda?” tanya prabu Mundingsari. Tak mengerti. ”Sebenarnya bahwa aku dari kalangan siluman...!” sahut istrinya tiu. Baginda prabu Mundingsari merasa heran dan hanya tertegun smapi beberapa saat. Dia tidak tahu dan tidak menyadari ketika bayangan wajah putri siluman istrinya itu menghilang.

Dongeng Populer Anak karya Tira Ikranegara dan M.B., Rahimsyah

Dialog muncul dalam cerpen sejauh dialog tersebut dapat menggerakkan jalannya cerita. Dialog-dialog yang cenderung bosa-basi dan tidak begitu penting peranannya dalam pergerakan jalannya cerita (alur), alangkah baiknya tidak dicantumkan. Hal ini menghindari agar cerpen, yang nota bene cerita yang pendek dan ringkas, tidak melebar ke mana-mana. Dengan begitu, cerita menjadi efektif, beralur cepat, dan terfokus pada satu peristiwa yang diceritakan. Ingat, bahwa cerpen hanya mengambil obyek penceritaan pada satu peristiwa yang unik dan menarik, berbeda dengan novel dan roman. Namun demikian, dialog akan semakin hidup dengan variasi pelukisan yang dilakukan oleh penulis. Pelukisan tersebut, dalam kaitannya dengan dialog, menggambarkan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan tokoh ketika berdialog dan apa yang dilakukan tokoh sambil berdialog. Dapat dikatakan bahwa wacana cerpen, juga novel, dan roman, merupakan perpaduan antara unsur dialog dan pelukisan. Dialog dilakukan tokoh, sedang pelukisan dilakukan oleh penulis sebagai pengamat. Perpaduan keduanya akan menimbulkan pergerakan cerita dan suasana yang timbul dalam cerita. Penulis yang piawai memadukan keduanya menjadikan cerita yang ditulis mengalir seolah tanpa berhenti. Sebaliknya, ketidakpaduan kedua unsur tersebut akan menimbulkan kesan cerita terputus-putus dan carut-marut. Akibatnya, cerita menjadi tidak menarik. Untuk menghindari hal tersebut diupayakan adanya kesinambungan antara unsur dialog dan pelukisan dalam hal isi atau pokok yang dibicarakan. Perhatikan Putu Wijaya memberikan contoh bagaimana keterpaduan antara pelukisan dan dialog menjadikan cerpennya enak dibaca.

Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.

Page 57: menulis kreatif

57

"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak." Taksu melihat kunci itu dengan dingin. "Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum. "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?" Taksu memandang saya. "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?" Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali. "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!" Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya

Seperti cerpen-cerpen yang lain, pada kutipan di atas Putu Wijaya membangun ceritanya melalui pelukisan dan dilanjutkan dengan dialog untuk memunculkan pertikaian antara dua tokoh yang diceritakannya. Pelukisan dalam contoh di atas dikemukakan oleh penulis yang bertindak sebagai tokoh aku, yang membelikan sebuah mobil untuk anaknya, Taksu, asalkan anaknya itu merubah niatnya untuk menjadi guru. Pelukisan tersebut dilanjutkan dengan dialog antara aku dan Taksu yang menggambarkan perbedaan sikap antara kedua tokoh tersebut. Dengan demikian, jalan cerita tersebut digerakkan oleh perpaduan antara pelukisan dan dialog. Kehadiran Keduanya sangat penting dalam menjelaskan cerita. Dihilangkannya salah satu unsur tersebut menjadikan cerita tersebut tidak jelas atau timpang. Dengan demikian, unsur pelukisan dan dialog dalam wacana cerita memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tetapi kehadiran keduanya dipadukan untuk mengembangkan dan menggerakkan cerita. Keduanya sama-sama penting. Berbeda dengan karya sastra genre drama, karya sastra jenis ini hanya memerlukan unsur dialog. Sedangkan kehadiran unsur pelukisan tidak sepenting unsur dialog tersebut. Hal itu dikarenakan naskah drama diciptakan untuk didialogkan oleh aktor di atas panggung.

Page 58: menulis kreatif

58

Bagian Tiga PENGEMBANGAN CERITA: Bahasa Ekspresif Dan Imajinatif Aspek lain yang perlu diperhatikan oleh penulis pemula dalam mengembangkan kerangka penulisan adalah bahasa. Bahasa sangat penting peranannya dalam cerita pendek karena melalui bahasa itulah cerita diwadahi, diekspresikan, dan dimunculkan keartistikannya. Oleh karena itulah, bahasa dalam sastra sering disebut bahasa ekspresif dan imajinatif. Beberapa ahli menyebutnya bahasa puitik dan artistik. Hal itu menyarankan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra tidak semata-mata untuk menampung pengertian, tetapi juga emosi dan imajinasi penulisnya. Ia melampaui persoalan sistem bahasa atau tata bahasa. Kata, frase, dan kalimat dirangkai berdasarkan pilihan yang selektif, gaya bahasa, perpaduan bunyi atau persajakan, dan gaya penceritaan yang khas yang dimiliki masing-masing penulis. Pertama, pilihan kata sangatlah penting untuk diperhatikan. Dalam khazanah kosa kata bahasa Indonesia sering dijumpai beberapa kata yang memiliki kesamaan makna. Bagi penulis hanya satu kata yang tepat untuk mewadahi apa yang ingin dikemukakan. Perhatikan sebuah kalimat yang diambil dari cerpen Hamsad Rangkuti berjudul Lagu di Atas Bukit berikut ini, beserta alternatif kosa kata lain yang memiliki makna relatif sama.

Sebuah bus jarak jauh meluncur

Sebuah bus malam jarak jauh

meluncur

bergerak

berjalan

melesat

menderu

Kata meluncur dalam konteks kalimat Sebuah bus jarak jauh meluncur, memiliki relatif kesamaan makna dengan kata: bergerak, berjalan, melesat, dan menderu. Namun demikian, dari sekian kata tersebut, kata meluncur menadi pilihan untuk mewadahi apa yang dimaksud oleh penulisnya. Kata tersebut sangat tepat untuk menampung apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penulis. Dalam proses pembacaan, kata tersebut akan memiliki kesan lebih dari bergerak, berjalan, melesat, dan menderu. Begitu juga dalam contoh kalimat berikut.

Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib

Saat kesadarannya

terisap,

tertarik; ditarik

terfokus

lamat-lamat didengarnya tangisan

yang begitu gaib pelan-pelan

lambat-lambat

Page 59: menulis kreatif

59

Penggunakan kata terisap dan lamat-lamat dalam kalimat Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, merupakan pilihan yang tepat. Di samping terdapat nilai rasa, kedua kata tersebut berpadu dalam persajakan (rima) yang indah. Contoh di atas menyarankan bahwa pilihan kata sangat diperhatikan penulis dalam penggunaan bahasanya. Nilai rasa, asosiasi, perlambangan, dan pertukaran makna, menjadi landasan bagi penulis untuk memilih kata. Apalgi dalam puisi, pilihan kata semakin penting lantaran puisi merupakan ungkapan perasaan dan imajinasi yang singkat dan padat. Puisi merupakan genre sastra yang mengungkapkan makna secara tidak langsung. Meskipun cerpen cenderung tidak seperti puisi, namun pilihan kata yang digunakan berdasarkan pertimbangan yang sama sebagaimana dalam puisi. Meskipun hal itu tidak sebegitu mendalam dibandingkan puisi. Kedua, penggunaan sarana literer juga perlu diperhatikan dalam mengembangkan kerangka penulisan menjadi cerita yang utuh. Sarana literer yang dimaksud adalah gaya bahasa. Bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan seefektif mungkin agar memperoleh efektivitas dan ekspresivitas pengungkapan cerita. Salah satu siasat yang digunakan adalah melalui penggunaan gaya bahasa. Gaya bahasa atau disebut dengan majas merupakan teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah (denotatif), melainkan pada makna tersiratnya (konotatif). Namun demikian, penggunaan gaya bahasa tidak sepekat dalam puisi. Gaya bahasa dalam genre prosa (cerpen, novel, dan roman) cenderung menggunakan gaya bahasa yang lazim dipakai masyarakat. Dapat disebutkan di sini jenis-jenis gaya bahasa yang sering dipakai dalam karya sastra, yaitu: metafora, antitesis, ironi, personifikasi, dan paradoks. Fungsi gaya bahasa dalam cerita tidak saja menimbulkan efek estetis, tetapi juga mengkonkretkan, mengintensitaskan, dan menampung gagasan yang luas. Gaya bahasa juga dapat menggambarkan suasana yang akan diceritakan penulis kepada pembaca. Suasana batin tokoh, tempat, dan suasana peristiwa yang terjadi dalam cerita, acapkali lebih efektif dan kena jika diungkapkan melalui gaya bahasa. Pengungkapan cerita secara langsung pada bagian-bagian tertentu, sering menjemukan dan mendatar saja kesan yang ditangkap. Tetapi dengan menggunakan gaya bahasa, pengungkapan bagian-bagian tersebut lebih efektif dan ekspresif. Perhatikan beberapa contoh berikut ini, betapa penulis cukup efektif dan ekspresif menggambarkan apa yang hendak diucapkan.

Bunga-bunga yang mekar seperti memberi warna pada senja. Udara terasa segar. Daun-daun yang melambai, seperti menyerahkan hijaunya pada musim. Waktu merambat berputar pada sumbu. Rasa terik yang tadi diam-diam melangkah memasuki kelam yang menyeruak dari segenap dataran hijau. Warna-warna berubah mengelam. Kesenyapan mengedap dalam dada desa. Sepi tiba-tiba meriung seperti kawah gunung. Sepi yang mengalir seakan denyutan nadi. Seperti menguraikan kehidupan yang abadi.

Page 60: menulis kreatif

60

Apotik Hijau karya Korrie Layun Rampan Kepada pepohonan yang sedang menghijau di musim rendheng, kepada alam yang menebarkan bau tanah terguyur hujan, Ratmi meluruhkan semuanya. Tentang cinta, tentang kejujuran, kepastian hidup. Terlebih kepada keberaniannya berpikir dan bersikap. Ada sesuatu yang telah mendoktrin pikirannya, bahwa menikah tidak ditentukan oleh umur. Bahwa menikah bukan berarti hidupnya berhenti. Aku Ratmi bukan Kartini karya Cipriana Mereka menyebutnya ibu kota. Tapi ia telah berubah menjadi seorang pelacur tua yang operasi plastik berkali-kali, gemar berdandan penuh polesan penuh utang, menggali lubang menutup dan menggali lagi, tak usai. Tubuhnya membumbungkan uap panas menyajikan fatamorgana di wujudnya yang tak cantik alami Cala Ibi karya Nukila Amal Ketika semua orang merasakan guncangan hebat pada hampir seluruh tatanan serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta ketidakpastian demikian mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan hidup berada pada puncak taruhan yang amat menakutkan. Maka adalah fitrah manusia untuk mendapatkan tempat yang teduh, tempat jiwa dapat memperoleh kembah ketenangannya. Dan tak usah dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti itu orang ingin segera memperoleh kepastian bahwa lembaga tempat dia menyerahkan kesetiaan dasarnya tidak rusak. Lembaga ini adalah ibu yang selalu bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa berupa rumpun-rumpun bambu yang menjadi saksi kelahirannya, bisa berupa pancuran air yang mengucur abadi atau bisa berupa haribaan seorang nenek yang sudah apek. Jantera Bianglala karya A. Tohari

Bagian yang tercetak tebal dalam kutipan menunjukkan gaya bahasa yang dipakai pengarang. Kutipan di atas mengungkapkan betapa gaya bahasa sangat diperlukan penulis untuk memberikan efek dan penekanan yang dalam. Metafora, paralelisme, dan personifikasi, sengaja digunakan untuk itu. Unsur pelukisan atau naratif terasa indah dibaca dan menimbulkan kedalaman makna yang tidak mungkin tercapai jika diungkapkan secara tersurat (eksplisit; langsung). Meskipun terdapat makna tambahan secara tersirat, gaya bahasa yang dipakai dalam genre prosa di atas tidak terlalu sulit dipahami.

Page 61: menulis kreatif

61

Perlambangan secara metaforis yang digunakan lazim dipakai dalam masyarakat. Oleh karena itulah, gaya bahasa dalam prosa tidak sepekat dalam genre puisi. Hal-hal itulah yang penting untuk dipahami dalam mengembangkan kerangka penulisan. Seorang penulis pemula hendaklah belajar dari karya-karya penulis yang sudah matang dalam menciptakan karya sastranya. Penataan paragraf awal dan penggunaan gaya bahasa merupakan dua hal yang sangt penting untuk dipahami dan digunakan untuk mengembangkan kerangka penulisan menjadi cerita utuh. Meskipun masih banyak lagi unsur-unsur yang perlu dipahami, tetapi sebagai permulaan, kedua hal di atas menjadi awalan yang baik bagaimana mengembangkan cerita dari ide penulisan, obyek yang diungkapkan, dan kerangka penulisan, yang sebelumnya sudah dibuat. Bagian Empat PENGEMBANGAN CERITA: Menulis Spontan

Pada bagian keempat ini akan diperkenalkan sebuah teknik menulis yang dewasa ini banyak dipraktikkan oleh penulis pemula. Agar pemahamannya lebih mudah, berikut ini akan dijelaskan secara populer dan cair. Tapi yang perlu diingat bahwa teknik ini hanya cara untuk membantu memecahkan kebuntuhan menulis yang sering dikeluhkan oleh para penulis pemula. Apabila teknik ini telah berhasil memecahkan masalah tersebut, perlu dikembangkan teknik-teknik yang lain. Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber yang referensinya ada di bagian bawah. Engkau pasti pernah menulis, bukan? Beberapa tulisan bahkan. Di mana sekarang semua itu? Kau buang begitu saja? Atau kau simpan di antara tumpukan kertas-kertas? Pernahkah kau berikan temanmu untuk dibaca? Dikritik? Atau kau baca sendiri karena malu kalau dibaca orang lain? Takut kalau tulisanmu jelek? Ketika kau menulis, pernahkah merasakan pikiranmu blank? Tak ada ide sama sekali, sedangkan keinginan menulismu begitu besar? Atau sebaliknya, begitu banyak ide yang Kau pikirkan, tapi tak satu kalimat pun muncul? Barangkali juga, baru satu atau dua kalimat, sudah macet? Tak ada kalimat lagi yang muncul. Paling lancar, satu atau dua pargraf dapat Kau tulis, setelah itu mandeg? Kau pun merasa bingung harus bagaimana. Bertanya ke sana ke mari, tak bisa mengatasi masalahmu. Pelajaran yang diberikan guru bahasamu di sekolah, juga tak mampu mengatasi persoalan itu. Sedang buku-buku teknik menulis yang pernah Kau baca mengemukakan, menulis itu gampang. Tapi, ternyata sulit. Semua teknik telah Kau lakukan. Semua trik telah kau coba. Hasilnya, tetap saja, tidak memuaskan. Lumrah kalau terjadi kebingungan seperti itu. Wajar kalau terjadi permasalahan seperti itu. Semua itu kerap kali dialami oleh seseorang yang baru belajar menulis. Tapi jangan kehilangan keyakinan, bahwa menulis itu memang gampang. Benar kata guru bahasamu. Benar juga kata buku-buku yang pernah Kau baca. Menulis itu semudah orang berbicara. Bukankah Kau tidak mengalami kesulitan jika berbicara? Bahkan Kau bisa berbicara semalam suntuk bersama teman-temanmu? Lantas, mengapa Kau sulit menulis? Bukankah berbicara dan menulis itu sama. Sama-sama mengungkapkan apa yang Kau rasakan dan

Page 62: menulis kreatif

62

pikirkan. Sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya. Sama-sama berangkat dari ide untuk disampaikan. Bukankah perbedaannya hanya karena berbicara menggunakan bahasa lisan, sedangkan menulis menggunakan bahasa tulis? Kenapa mesti sulit? Kenapa berbicara begitu mudah? Marilah kita coba mengurainya persoalan itu. Barangkali Kau mengatakan, berbicara begitu mudah karena sudah terbiasa. Benar! Orang bisa karena biasa., begitu ungkapan yang sering kita dengar. Berbicara dan menulis itu sebuah keterampilan berbahasa. Karena suatu keterampilan, keduanya dibangun oleh kebiasaan kita. Oleh karena itu, biasakan Kau menulis. Kau akan terampil menulis, semudah Kau berbicara, jika kau memiliki kebiasaan. Segeralah menulis. Apa saja. Jangan takut tulisanmu nantinya akan jelek atau bagus. Tak perlu malu diejek temanmu. Terus saja menulis. Sekali waktu, berikan kepada gurumu atau temanmu untuk dibaca. Mintalah saran. Jangan takut dikritik, karena kritik itu bersifat membangun. Apa yang kita sangka bagus, barangkali sebaliknya jika dibaca orang lain. Bukankah penilaian orang lain lebih obyektif dari pada kita nilai sendiri? Di samping karena kebiasaan, pernahkah Kau berpikir jawaban yang lain, kenapa berbicara itu lebih mudah dari pada menulis? Benar, berbicara lebih bersifat spontan. Sedangkan kalau Kau menulis, disibukkan dengan berpikir dulu, ditimbang-timbang dulu. Kalau demikian, kenapa Kau tidak menggunakan cara spontan untuk menulis; seperti spontanitas dalam berbicara? Sebutlah teknik menulismu itu dengan istilah Teknik Menulis Spontan. Semua cara bisa dilakukan agar terampil menulis. Termasuk cara spontan dapat Kau lakukan. Sah-sah saja. Apalagi teknik menulis spontan itu mempunyai dasar yang masuk akal juga. Kenapa tidak!? Sebenarnya, tidak hanya berbicara saja seseorang melakukannya secara spontan. Semua tindakan kita sehari-hari, sesunggunya diawali oleh spontanitas. Ketika melihat sesuatu yang aneh, indah, atau menarik, kita langsung saja mendekat. Tak perlu berpikir dulu untuk memperhatikannya. Kita secara spontan bertindak. Atau kalau Kau pernah ke Mal, lantas melihat sebuah baju yang bagus dengan diskon 50%, serta merta Kau menghampirinya. Spontan Kau memegang dan membolak-balik pakaian itu. Tak perlu berpikir dulu. Barangkali juga, ketika ada cewek atau cowok yang cantik atau tampan, spontan kau menatapnya tak berkedip, meskipun di sampingnya ada pacarnya. Itu pun juga spontanitas. Tak perlu berpikir dulu untuk merasa tertarik dan menatapnya. Bahkan seorang yang temperamental, bisa spontan meninju seseorang yang menabraknya. Juga tak perlu berpikir dulu. Kenapa tindakan kita cenderung spontan? Sebagaimana mesin yang bergerak berdasarkan sistem yang mengaturnya, manusia pun memiliki sistem. Sebutlah hukum alam. Tuhan yang menciptakan hukum itu. Dalam teori Psikologi, itu disebut hukum naluriah. Manusia memiliki naluri bermacam-macam. Salah satunya adalah spontanitas. Bagaimana naluri spontannitas itu muncul dalam diri manusia? Otak manusia itu terdiri atas dua belahan, yaitu otak kanan dan kiri. Kedua belahan tersebut memiliki sifat yang berbeda-beda. Otak kanan lebih menyukai kebebasan, spontanitas, dan tanpa aturan. Sedangkan otak kiri cenderung sistematis, runut, penuh pertimbangan. Keduanya telah deprogram,

Page 63: menulis kreatif

63

bahwa secara naluriah, otak kanan lebih dahulu digunakan, baru kemudian otak kiri. Itulah sebuah hukum alam yang mengatur tindakan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, wajar jika Kau akan secara spontan tertarik, mendekat, bertindak, atau pun melakukan apa saja ketika melihat baju yang bagus dengan diskon 50% di sebuah Mal atau ada cewek/cowok cantik/tampan lewat di depanmu. Baru setelah itu, Kau berpikir; “Beli tidak, ya?” “Sayang sudah ada yang punya.” Itulah hukum alam yang mengatur naluri manusia. Di dalam menulis sering kali kita berpikir dulu; menimbang-nimbang dulu. Coba perhatikan cerita teman-temanmu yang pernah mengikuti diklat menulis berikut ini. 1. Saya ingin menulis, tapi apa yang harus saya tulis? 2. Otak saya penuh ide, tapi saya sulit menuangkannya dalam tulisan. 3. Otak saya penuh ide, tapi baru satu paragraf, atau bahkan baru satu atau dua

kalimat, mandeg. 4. Saya telah membuka-buka buku, mencari sesuatu dalam buku itu. Tapi tak

menemukan yang saya cari. Lantas mandeg. Tak bisa menulis. 5. Aduh! Besuk harus mengumpulkan tugas mengarang, tapi saya belum

mengerjakan sama sekali. Gawat! Saya bingung harus menulis apa? Mungkin apa yang dialami mereka, juga Kau alami. Kenapa? Karena mereka dibebani oleh pikiran dan pertimbangan tertentu ketika akan menulis. Dalam hukum naluri manusia di atas, mereka menggunakan otak kiri dahulu. Itu menyalahi hukum alam yang telah mengatur manusia. Ingat! Manusia akan menggunakan otak kanannya dahulu, baru kemudian otak kirinya. Spontan, bebas, dan tanpa aturan dahulu, baru kemudian dipikirkan dan ditimbang-timbang. Seseorang yang baru belajar menulis, sering berpikir dahulu sebelum menggunakan kebebasan dan spontanitasnya untuk menulis. Akhirnya, keinginan menulis tak mampu diwujudkan. Mandeg. Tak satu pun tulisan dibuatnya. Barangkali baru satu atau dua paragraf, sudah macet. Bahkan baru satu atau dua kalimat ditulis, sudah berhenti; meskipun sebelumnya banyak ide yang ingin dituangkan dalam tulisan itu. Jika semua itu tidak mau terjadi dalam proses menulis, kembalilah ke dalam hukum alam: spontan dahulu (otak kanan) baru memikirkan dan mempertimbangkannya (otak kiri). Sampai di sini Kau tentu bertanya, bagaimana caranya menulis spontan itu? Langkah-langkah apa yang harus saya lakukan? Ada dua langkah yang mesti Kau lakukan untuk menulis spontan. Pertama, mulailah menulis secara spontan. Apapun yang muncul di pikiran, langsung ditulis saja. Bahkan ketika Anda bingung harus menulis apa, tulis saja kebingungan itu. Apa susahnya menulis seperti ini:

Entah kenapa hari ini pikiranku terasa bingung. Tak ada ide sama sekali. Keinginan menulis tinggal keinginan. Macet. Blank. Biasanya pikiranku penuh ide. Tetapi hari ini terasa kosong. tidak menghasilkan tulisan. Sedangkan saya harus belajar menulis. Harus bisa menulis.

Apa susahnya menulis seperti itu. Kebingungan, tak ada ide, pikiran terasa kosong, justru itulah bahan untuk tulisan. Biarkan spontanitas muncul. Tak perlu

Page 64: menulis kreatif

64

dihantui pikiran apapun. Tulislah kalimat demi kalimat yang muncul secara spontan. Biarkan seperti air yang mengalir. Tak perlu dibendung dengan pertimbangan-pertimbangan, karena itu akan memacetkan spontanitas itu. Hilangkan semua beban pikiran. Hilangkan semua ketakutan atau keraguan yang ada. Tak perlu berpikir apakah tulisan yang dihasilkan itu salah atau benar, jelek atau baik, berkualitas atau tidak. Pokoknya, kita menulis dan menulis; menangkap spontanitas yang muncul. Janganlah diedit atau direvisi sebelum tulisan itu selesai. Walau tulisan itu kacau balau, kalimatnya ngelantur ke sana ke mari, banyak salah ketik, atau terasa tulisan tersebut sangat jelek, membosankan, dan tak ada bagus-bagusnya, bahkan bila banyak kalimat yang berisi kata-kata vulgar, membuka aib, dan seterusnya, biarkan saja. Jangan diedit atau direvisi dulu. Lanjutkan saja proses menulis hingga semua ide tertuang dalam bentuk tulisan. Begitu Anda mulai mengedit, maka itu akan menjadi sumber kemandegan yang baru. Ada saatnya nanti untuk mengedit, merevisi, dan mempertimbangkan secara rasional dilakukan. Itulah tahap pertama menulis secara spontan. Otak kananlah yang bekerja secara spontan, bebas, dan tanpa aturan. Apapun yang terjadi dalam tulisan tersebut, tidak menjadi soal, toh nanti bisa dipikirkan, dipertimbangkan, dan diperbaiki. Proses spontanitas akan berhenti jika dirasa tulisan sudah selesai. Ide-ide yang muncul seketika sudah tertuang dalam tulisan. Atau mungkin selesainya sebuah tulisan spontan didasarkan atas target jumlah halaman yang harus dicapai; dua halaman atau lebih, tergantung penulisnya. Setelah tahap spontanitas selesai, diamkan dahulu tulisan itu sekitar satu atau dua hari. Atau kalau buru-buru, satu atau dua jam cukup. Lalu baca lagi tulisan tersebut. Kini, mulailah memperbaiki, menambah, mengurangi, atau pun memasukan kutipan-kutipan dari pendapat pakar. Tahap inilah otak kiri mulai digunakan. Pada tahap inilah pertimbangan dan pemikiran untuk menjadikan tulisan itu lebih baik, sistematis, dan teratur, dilakukan. Hal-hal berikut ini bisa dilakukan. 1. Buatlah tulisan tersebut menjadi lebih bagus. Kata-kata dan kalimat diganti

atau diperbaiki agar enak dibaca. Boleh jadi, perlu ditambah kalimat-kalimat lainnya agar lebih jelas, padat, dan tidak meloncat-loncat. Kalau perlu, ditambahkan kutipan-kutipan dari buku para ahli. Dalam tulisan ilmiah dan non-fiksi, kutipan dari para ahli sangat perlu untuk memperkuat pendapat penulis. Jadikan paragraf demi paragraf. Tulisan mesti terdiri atas beberapa paragraf agar lebih mudah dibaca dan teratur. Akan lebih baik jika ketika dalam tahap spontanitas, telah dilakukan menulis paragraf demi paragraf.

2. Bila ada salah ketik, saatnya diperbaiki. Kesalahan ejaan dan tanda baca yang terjadi dan sengaja dibiarkan saja ketika tahap spontanitas, saat inilah diperbaiki sesuai ejaan yang berlaku.

3. Bila topiknya melebar ke mana-mana, saatnya difokuskan ke tujuan semula. Hapuslah kalimat-kalimat yang terlalu melebar dan tidak berkaitan dengan ide atau focus tulisan (paragraf). Setiap paragraf selalu berbicara tentang satu ide atau gagasan. Kalimat-kalimat yang tidak menjelaskan ide atau gagasan paragraf, hapuslah atau ganti dengan kalimat yang sesuai.

Page 65: menulis kreatif

65

4. Bila Kau merasa tulisannya kurang menarik, kini saatnya dibuat lebih menarik. Tulisan yang menarik pada umumnya dibangun oleh kalimat-kalimat yang pendek, jelas, dan enak dibaca. Kalau terpaksa harus panjang, gunakanlah tanda koma atau titik koma. Bacalah sekali waktu buku pedoman EYD untuk itu. Terserah bagaimana penulis melakukannya agar tulisan itu menjadi menarik. Tulisan yang menarik sesungguhnya adalah perwujudan dari style (gaya) penulisnya. Setiap penulis memiliki style berbedabeda.

Teknik menulis spontan di atas hanyalah sebuah metode untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang sering terjadi pada seseorang yang baru belajar menulis. Keterampilan menulis sesungguhnya adalah sebuah kebiasaan. Tetapi kebiasaan tersebut harus diawali dengan melancarkan spontanitas. Pada dasarnya, menulis dan berbicara adalah keterampilan berbahasa yang dibangun atas spontanitas. Namun demikian, spontanitas akan terjadi jika di dalam otak tersedia berbagai informasi. Untuk itu, membaca sangat dibutuhkan bagi seorang penulis agar spontanitas yang terjadi berdasarkan pencairan atas apa yang dibaca itu. Tulisan yang kaya dan padat didasarkan atas kekayaan dan kepadatan informasi dan penalaran manusia. Teknik menulis spontan juga merupakan cara untuk memperlancar aliran penalaran seseorang ke dalam bentuk tulisan. Spontanitas mesti dibiasakan layaknya sumber air yang tak terbendung. Seringnya seseorang melancarkan spontanitas itu, akan memunculkan kalimat demi kalimat secara mudah, deras, dan cepat untuk ditulis. Bahkan, bagi seorang penulis yang sudah terbiasa, terjadi berkelibatan ide-ide dan kalimat-kalimat yang muncul. Tak jarang dia kuwalahan untuk menampungnya dalam tulisan. Kalau itu terjadi, menulis itu pekerjaan yang mudah, cepat, dan produktif. Coba teknik ini Kau gunakan untuk mengembangkan kerangka penulisan yang telah kaususun sebelumnya. Disarikan dari beberapa sumber: 1. Founder & Mentor (Sekolah-Menulis Online).2009. Cara Modern Menjadi Penulis Hebat,

www.SekolahMenulis Online.com. 2. ________________ 2009. Menerbitkan Buku Itu Gampang! Panduan Langkahlangkah

Penulisan & Penerbitan Buku untuk Pemula, www.MenerbitkanBukuItuGampang.com. 3. Peter Elbow.2007. Writing Without Teacher. Jakarta: Publishing.

_____________

Page 66: menulis kreatif

66

BAGAIMANA NASKAH DRAMA ITU TERCIPTA?

rama ditulis untuk tujuan dipentaskan di atas panggung dalam pertunjukan teater. Oleh karena itu, drama berbentuk dialog, yang

natinya disampaikan aktor di atas panggung. Tetapi bukan berarti drama hanya semata-mata untuk sebuah pementasan. Drama juga memiliki tujuan untuk dibaca, sebagaimana puisi, cerpen, novel, dan roman.

Hakikat drama adalah konflik. Konflik tentang seorang tokoh yang mengalami problematika hidup. Perjalanan hidup seorang manusia yang mengalami himpitan dan tekanan sehinggan manuntutnya untuk menyelesaikan problema tersebut. Himpitan dan tekanan itulah menimbulkan konflik, baik fisik maupun psikologis, yang dialami tokoh. Pada tataran inilah drama dan cerpen memiliki kesamaan.

Sebagaimana cerpen, drama ditulis berdasarkan ide penulisan. Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, ide penulisan berbentuk sebuah premis; kalimat pernyataan yang mengandung problema. Problema tersebut berupa intrik kehidupan yang dijalani tokoh. Pada akhirnya, problema itu menimbulkan konflik. Premis merupakan pemikiran, gagasan, atau ide yang melandasi seorang penulis menyusun drama. Premis bisa disebut dengan gagasan dasar drama yang akan menuntun arah aktor dari awal sampai akhir. Beberapa ahli mengatakan bahwa premis disebut sebagai: tema, ide dasar, tesis, tujuan, ide pokok, subjek, dll. Meskipun begitu, semua istilah tersebut pada dasarnya sama, yaitu ide dasar yang menjadi landasan dalam menyusun naskah drama. Premis itulah yang pertama kali harus dipahami penulis drama jika ingin. Pertanyaan yang mesti diajukan adalah, “Ide atau gagasan apakah yang ingin dikemukakan penulis melalui naskah tersebut?” Jawaban terhadap pertanyaan tersebut akan juga memberikan landasan pemikiran bagi pekerja teater nantinya dalam menyuguhkan naskah tersebut di atas panggung. Cerita dalam naskah lakon hanyalah sebuah bahasa simbol yang maknanya mengarah pada premis tersebut. Bahasa panggung juga sebuah simbol yang bermakna pada premis tersebut. Oleh karena itu, bahasa panggung yang berupa dialog, seting, idiom, akting, artistik, dan sebagainya, yang dihadirkan di atas panggung akan difokuskan pada pengungkapan premis tersebut.

D

Page 67: menulis kreatif

67

Oleh karena itu, awalilah penulisan drama dengan membuat sebuah premis. Bagaimanakah premis yang layak untuk sebuah penulisan naskah drama itu? Ada tigal yang harus diperhatikan untuk membuat premis, sebagaimana berikut ini. 1. Mengandung konflik 2. Menarik dan penuh intrik kehidupan 3. Bermanfaat untuk pencerahan bagi pembaca/penonton Konflik merupakan ketegangan yang disebabkan oleh problema hidup yang menghimpit dan mengungkung tokoh utama. Ketegangan demi ketegangan yang dialami tokoh itulah yang kemudian menimbulkan kekuatan dramatik saat drama dipentaskan di atas panggung. Konflik semacam itu dapat diwujudkan apabila terdapat intrik kehidupan yang kompleks dan rumit yang melanda tokoh utama. Dari manakah penulis memperoleh premis semacam itu? Terdapat beberap cara yang bisa dilakukan untuk itu. 1. Membaca 2. Mendengar 3. Melihat 4. Memikirkan Sebagaimana yang sering diucapkan dalam buku ini, bahwa menulis dan membaca merupakan pasangan yang tak bisa dilepaskan. Menulis akan memperoleh kekayaan isinya apabila penulis memiliki minat baca yang tinggi. Hasil proses membaca itulah yang kemudian menjadi bahan pembuatan premis. Berbagai sumber bacaan tersedia dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh penulis. Buku, majalah, koran, dan internet, merupakan sumber bacaan yang tak pernah akan habis-habisnya untuk digali. Seorang penulis juga mesti suka suka mengamati lingkungan sekitarnya. Masyarakat juga merupakan sumber penulisan yang kaya dan tak akan pernah habis untuk digali sebagai bahan pembuatan premis. Penulis mesti mendengar dan melihat apa yang terjadi di tengah arus kehidupan masyarakat. Penulis juga mesti mendengar dan melihat bagaimana polah tingkah manusia dalam menjalani hidup sehari-hari. Dan semua itu mesti dipikirkan, direnungkan, dihayati, disikapi, dan diimajinasikan penulis. Ada sebuah makna dibalik semua hal yang telah dibaca, didengar, dan dilihat penulis. Makna itulah yang mengarahkan penulis kepada sebuah premis. Dengan keyakinan dan pemikiran terhadap suatu makna hidup, premis yang menjadi ide penulisan akan memberikan pencerahan dan pendidikan yang bermanfaat bagi pembaca/penonton. Inilah sebuah proses awal penulisan karya yang membutuhkan keseriusan, keyakinan, dan sikap tentang suatu kebenaran. Apakah langkah selanjutnya setelah ide penulisan dibuat? Susunlah sebuah treatment. Treatment adalah sebuah kerangka penulisan yang nantinya akan dikembangkan menjadi sebuah naskah drama. Treatment untuk penulisan naskah drama berbeda dengan cerpen, novel, atau roman. Berikut ini salah satu

Page 68: menulis kreatif

68

contoh treatmen yang disusun secara terbalik dari naskah drama yang telah jadi karya Arifin C. Noer berjudul Kapai-Kapai.

1. PREMIS : kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh dari pedoman hidup, dan penindasan

2. TOKOH : a. Abu

1) Status : buruh pabrik, 28 th., miskin, kelas sosial bawah 2) Karakter : malas, bodoh, jauh dari agama, pemimpi,

tertindas b. Iyem

1) Status : miskin, kelas sosial bawah, bodoh 2) Karakter : bodoh, jauh dari agama, keras, penuntut

c. Emak 1) Status : pendongeng, tokoh tak realis (surealis) 2) Karakter : perayu, pintar, berkuasa

d. Kelam 1) Status : tokoh tak-realis (surealis) 2) Karakter : kejam, keras

e. Kakek 1) Status : orang tuan, 60 th., tokoh agama 2) Karakter : bijaksana, penuh perhatian

3. ADEGAN

a. Abu sedang mendengarkan dongeng emak tentang pangeran rupawan

b. Hinaan majikan terhadap abu c. Abu bermimpi menjadi pangeran d. Iyem marah-marah melihat abu hanya tidur; bermalas-malasan e. Dongeng emak tentang cermin tipu daya yang dijual nabi sulaeman

di ujung dunia f. Dan seterusnya. Baca “kapai-kapai” karya Arifin C. Noer

Treatment di atas akan menjadi pedoman bagi penulis pada langkah berikutnya, yaitu mengembangkan treatment menjadi naskah drama. Sebelum dikemukakan tentang apa yang harus dilakukan untuk mengembangkannya, berikut ini akan dijelaskan tentang unsur pembangun karya sastra yang bergenre drama.

Page 69: menulis kreatif

69

Drama memiliki unsur pembangun atau disebut struktur, yang berbeda dengan cerpen, novel, atau roman. Ada dua macam struktur dalam drama, yaitu struktur tertutup dan struktur terbuka. Struktur tertutup (closed drama) dimana laku plot dari awal sampai akhir menggambarkan resolusi dan kesimpulan dari persoalan yang diungkapkan. (biasanya untuk lakon konvensional). Dalam struktur tertutup ini, alur berjalan berdasarkan hubungan sebab-akibat yang jelas dan realistis. Sedangkan struktur terbuka (open drama) tidak mengharuskan adanya kaitan waktu, kejadian, dan peristiwa. Juga tidak mewajibkan laku lakon mengikuti alur atau plot dari awal sampai akhir yang menghasilkan kesimpulan (konklusi). Biasanya struktur demikian digunakan dalam drama berjenis kontemporer, seperti lakon absurd. Berikut ini dikemukakan unsur-unsur yang ada dalam drama, sebagaimana dikemukakan Eko Santoso dkk. dalam bukunya Seni Teater Jilid 1 untuk SMK (2008), diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Tetapi dalam konteks penulisan drama, hanya tiga unsur yang dibicarakan, yaitu: penokohan, bahasa, dan gaya atau tipe naskah drama. Tiga hal itulah unsur utama yang perlu mendapatkan perhatian utama dalam menulis naskah drama. Penokohan Menurut perannya tokoh dapat dibedakan menjadi: a. Protagonis: tokoh utama yang menggerakkan plot dari awal sampai akhir dan

memiliki kehendak tetapi dihalangi oleh tokoh lain. b. Antagonis: tokoh yang menentang atau melawan tokoh protagonis. c. Deutragonis: tokoh lain yang berada di pihak protagonis. d. Foil: tokoh lain yang berada di pihak antagonis. e. Tritagonis (confidante): tokoh yang dipercaya (berada di pihak) protagonis dan

antagonis. f. Utility: tokoh pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung

rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Sedangkan menurut Kategori Cassady, penokohan dalam naskah dapat dilihat berdasarkan ciri-cirinya, yaitu: a. karakter fisik: mengungkap ciri-ciri fisik karakter; b. latar belakang: mengungkap segala sisi dari sang karakter, latar keluarga,

pendidikan, budaya, kegemaran, latar pekerjaan, dan lain sebagainya; c. sikap dan pendirian: menekankan cara pandang dan berpikir tokoh dalam

menghadapi persoalan hidup, menyikapi masalah, dan sikapnya terhadap hubungan dengan karakter lain;

d. tingkah laku: memberikan gambaran perilaku karakter dalam kehidupan e. ciri dominan: memberikan citra khusus bagi sang karakter misalnya, ia adalah

seorang tokoh moralis, propagandis atau individualis. Berdasarkan Jenis dan Sifat Karakternya, tokoh dalam naskah dapat digolongkan ke dalam empat jenis sebagai berikut.

Page 70: menulis kreatif

70

a. Flat Character: tokoh yang dibekali karakterisasi oleh pengarang secara datar atau lebih bersifat hitam putih.

b. Round Character: tokoh yang diberi pengarang secara sempurna, karakteristiknya kaya dengan pesan-pesan dramatik.

c. Caricatural Character: karakter yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir.

d. Theatrical Character: karakter yang tidak wajar, unik, lebih bersifat simbolis. Bahasa Tidak kalah pentingnya di dalam sebuah naskah drama adalah bahasa. Bahasa dalam naskah adalah media sastra. Untuk dapat benar-benar mengerti naskah drama, aktor harus mempelajari kata-kata, kalimat, dan dialog yang ada di dalamnya. Sebagai seorang aktor, analisa naskah yang dilakukannya tidak seperti cara seorang sastrawan yang menafsirkannya untuk kepentingan sastra, tetapi seorang aktor berusaha memecahkan masalah bagaimana menghidupkannya kembali di atas panggung atau di depan kamera. Penulis drama selalu memulai tulisannya dengan visi. Setiap karakter di naskah tersebut hidup dalam diri si penulis sebagai bagian dari seluruh mekanisme yang memberi ekspresi pada visi tersebut. Visi yang memberi fondasi pada kata-kata adalah sesuatu yang dapat dimengerti jika kita meraihnya ke dalam melalui kata-kata. Visi lebih mendasar daripada kata-kata. Visi adalah kekuatan yang menyokong kata-kata. Visi adalah embrio komunikasi. Oleh karena visinya, seorang penulis naskah mempunyai arah untuk memilih dan mengkombinasikan sedemikian rupa, untuk menciptakan karakter-karakter dalam situasi-situasi mereka, dan memberikan struktur menurut gaya tertentu. Para aktor dapat meraih ke visi tersebut dengan menganalisa detail-detail ini, dengan cara memutarbalikkan proses rekonstruksi naskah tersebut. Pendekatan ini lebih berarti daripada menganalisanya secara naluri dan memberikan respon secara garis besarnya saja. Dalam produksi, sutradara akan memberikan bimbingan untuk melihat visi naskah melalui konsep produksinya. Begitu pula dengan si aktor, mengembangkan visi yang sejalan dengan konsep sutradara. Unsur penting dalam naskah drama, yaitu: a. karakter dibangun dengan bahasa mereka; b. peran bahasa dalam membangun adegan dan suasana peristiwa. Kedua hal di atas sangat diperhatikan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, pemahaman bahasa naskah mutlak diperlukan untuk memahami naskah. Tipe / Gaya Naskah Tipe atau gaya lakon atau naskah akan menentukan seorang sutradara dalam membawakan naskah tersebut ke atas panggung. Meskipun sering kali karena kreativitas, tipe atau gaya lakon dalam naskah disesuaikan dengan konsep sutradara. Tetapi dalam konteks pemahaman naskah, perlu juga dipahami tipe atau gaya naskah yang akan digarap sehingga memperoleh perbandingan dengan konsep sutradara.

Page 71: menulis kreatif

71

Tipe atau gaya lakon atau naskah dapat disebut juga dengan genre. Masing-masing genre akan membawa variasi atau sub-genre. Paling tidak dapat dikemukakan dua tipe, yaitu: a. genre: Realism: sub genrenya: naturalis, selective realism, suggestive realism b. genre: Simbolis Unsur penokohan, bahasa, dan tipe atau gaya naskah drama, perlu mendapatkan prioritas penting dalam mengembangkan treatmen. Unsur penokohan memiliki peranan penting dalam naskah drama karena unsur itulah yang akan diwujudkan seorang aktor di atas panggung. Tanpa tokoh dan penokohan tidak akan terjadi pertunjukan teater. Pertunjukan teater sesungguhnya mengungkapkan karakter manusia yang saling berbenturan. Karena itulah dalam treatment penokohan mesti dibangun oleh penulis sebelumnya. Penokohan meliputi ciri fisik, sosial, dan psikologis. Dengan katakan lain, penulis harus memahami persoalan tokoh dan penokohan yang akan ditulis dalam dramanya dengan mencari jawaban atas pertanyaan: siapakah tokoh yang ada di dalam naskah drama tersebut? bagaimanakah karakter yang dimiliki? Dapat dirangkum ke dalam dua penekanan pada status dan karakter. Perhatikan contoh treatment di atas. Fungsinya dalam penulisan adalah, status dan karakter akan tercermin dalam dialog yang diucapkan. Naskah drama ditulis dalam bentuk dialog. Dialog inilah mesti dibuat dengan memperhatikan siapa yang berdialog. Status dan karakter seorang tokoh akan mempengaruhi kualitas dialog yang diucapkan. Perhatikan kutipan naskah dialog yang menggambarkan hal tersebut.

1. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan Majikan : Bangsat kamu! Kerja sudah hampir tiga tahun masih

saja kamu melakukan kesalahan yang sama. Lebih bodoh kamu daripada kerbau! (Keluari)

2. Majikan : Abu!

Abu : (Diam) Majikan : Anjing!

Abu : Ya, Tuan. Majikan : Anjing!

Abu : Ya, Tuan. Majikan : Anjing!

Abu : Ya, Tuan. Majikan : Anjing!

Abu : Ya, Tuan. Abu merangkak

Majikan : Ini pesangonmu! Keluar! Hancur perusahaan!

Page 72: menulis kreatif

72

Kedua kutipan di atas mengungkapkan dua status dan karakter yang berbeda dari dua tokoh yang diceritakan. Tokoh majikan jelas memiliki status sosial lebih tinggi dari tokoh Abu. Perbedaan status tersebut menjadikan tokoh majikan lebih berkuasa dari Abu yang berstatus sosial di bawahnya. Karakternya pun cukup jelas. Tokoh majikan berkarakter keras, sewenang-wenang, berkuasa, dan kasar. Sedang Abu berkarakter terhina dan bodoh. Kutipan di atas cukup berhasil menggambarkan tokoh dan penokohannya. Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan di atas, penokohan diwujudkan ke dalam bahasa (dialog). Penulis akan mempertimbangkan kata, frase, dan kalimat percakapan yang bagaimana yang mampu mewujudkan status dan karakter tokoh yang diceritakan. Seorang yang bodoh atau tidak berpendidikan jelas memiliki ciri khas bahasa yang berbeda dengan seorang terpelajar. Begitu juga seorang yang memiliki karakter keras berbeda dengan tokoh yang berkarakter lembut. Seorang yang sedang marah, bertanya, memberitahu, menyangkal, membantah, jelas memiliki susunan bahasa yang berbeda-beda. Hal-hal itulah yang menjadi perhatian bagi penulis. Di samping itu, pengembangan treatment juga mesti memperhatikan tipe atau gaya naskah yang akan ditulis. Tipe drama yang manakah yang akan dibuat seorang penulis. Naskah drama bergaya realis cenderung mengungkapkan cerita dan dialog lebih dekat dengan kenyataan. Berbeda dengan naskah drama yang bertipe atau bergaya puitis. Gaya puitis cenderung mengungkapkan dialog-dialog yang tidak mungkin diketemukan dalam realitas. Dialog-dialognya cenderung berbentuk puisi dan pembawaannya di atas panggung juga cenderung seperti deklamasi. Naskah drama bertipe simbolis misalkan, cenderung menggunakan perlambang-perlambang yang maknanya secara tersirat. Begitu juga penulisan naskah drama musikal, cenderung dialog-dialognya berupa lagu-lagu yang hendak dinyanyikan di atas panggung. Oleh karena itu, penulis mesti memiliki tujuan sehubungan dengan gaya atau tipe naskah drama. Apakah penulis ingin menulis drama realis, simbolis, musikal, teaterikalisasi puisi, atau gaya yang lain. Berikut ini beberapa contoh kutipan drama dengan beberapa gaya atau tipe yang berbeda-beda. Kutipan 1 TIDAK SEPERTI HARI BIASA, KUBURAN DESA ‘GIRILOYO’ YANG TERLETAK DI PERBUKITAN DESA GIRI GARING MENJADI RAMAI OLEH WARGA DESA YANG MENANGKAP TANGAN PENCURI MAYAT. WARGA MENCOBA MENGHAKIMI DAN MENGHUKUM PENCURI MAYAT DENGAN ANEKA MACAM PERTANYAAN YANG SESEKALI DISERTAI PUKULAN, HANTAMAN KE ARAH MUKA DAN TUBUHNYA. WARGA 1 : Oh iblis, setan alas, demit gentayangan. Dasar manusia tak

punya martabat, tega-teganya mengganggu mayat. Orang sudah mati kok ya di ganggu.

WARGA 2 : Ngaku saja mas, kamu mau mencuri mayat ini tho? WARGA 3 : Tidak mau ngaku ?, (SAMBIL MEMUKUL KEPALA PENCURI

MAYAT) nih… rasakan bogem mentahku. WARGA 2 : Pasti kamu cari pesugihan.

Page 73: menulis kreatif

73

WARGA 1 : Kasihan kan keluarganya, kalau jenazah yang sudah coba diistirahatkan, kamu permainkan seperti itu..!

WARGA 4 : (MENGAYUNKAN SEPOTONG BAMBU KE TUBUH PENCURI) Oh, kanibal ! Pemakan Bangkai !

PERONDA 1 : Kamu bukan warga sini ya ? Kamu pendatang ya ? kamu mau mengganggu ketenangan warga sini ya ?

PENCURI MAYAT : (HANYA DIAM) WARGA 5 : Sedari kalau tadi ditanya baik-baik tidak mau menjawab,

hanya diam, gelang-geleng kepala. Kurang ajar ! kamu nantang warga sini ya ? (SEMAKIN MARAH DAN LANGSUNG MEMUKULI PENCURI MAYAT. KEMUDIAN DIIKUTI WARGA LAIN YANG KEMUDIAN BERKEROYOKAN IKUT MENGHAJARNYA).

PERONDA 1 : Ayo, ngaku saja ! daripada badanmu aku remuk seperti peyek kepinyak !

PENCURI MAYAT : (HANYA DIAM, BIAR BAGAIMANAPUN TETAP PADA POSISI SALAH, DAN TAK MUNGKIN MELAWAN WARGA DESA YANG BANYAK JUMLAHNYA).

WARGA 5 : Huh ! Gregetan aku. Ditanya baik-baik nggak mau ngaku, dipukuli juga nggak mau buka mulut. Ayo kita kubur saja hidup-hidup biar tahu rasa !

PARA WARGA : (BERSAHUTAN) Ayo. Kita kubur biar merasakan jadi orang mati. Aku siapkan galian. Dikubur saja bersama kuburannya Lik Rukmini yang mau dicuri. Ayo, ayo !.Biar tahu rasa.

ANJING ANJING MENYERBU KUBURAN

Karya : Puthut Buchori Adaptasi cerpen karya : Kuntowijoyo

Kutipan 2 01. BAPAK : Hidup bagai puisi peristiwa demi peristiwa adalah kata-kata keindahan dan kesedihan didalamnya adalah makna sedang tangis dan tawa bagai musik yang mengiringinya 02. PEKERJA : Hidup seperti mimpi apa yang terjadi esok dan hari ini adalah sebuah misteri apa yang terwujud dalam harapan dan keinginan sulit kita pahami 03. BAPAK : Memahami keterbatasan

Page 74: menulis kreatif

74

menyadari ketidakmampuan adalah pintu gerbang memasuki mata batin untuk merasakan indahnya mengenal karunia Illahi yang memancar menerangi hati Beberapa saat setelah istirahat dirasa cukup menyegarkan badan dan pikiran,

mereka melanjutkan kerjanya. Sesaat berikutnya, beberapa PEKERJA datang dan ikut bergabung dalam kerja. Selang beberapa saat kemudian terjadi dialog lagi. Musik, bloking menyesuaikan.

04. PEKERJA : Sisa hidup di usia kita tidak boleh sia-sia tiap detik bisa berguna dan ketidakmampuan bisa kita bina untuk bekal menghadap-Nya 05. BAPAK : Usia tua tidak boleh membunuh kita dalam berkarya tidak membelenggu kita dalam ruang dan waktu tidak memaksa kita menunggu dalam bisu hingga musnah segala nilai diri dari segala fungsi hidup ini 06. PEKERJA : Kematian adalah akhir dari batas ketidakmampuan batas akhir dari segala ilmu yang terbingkai oleh ruang dan waktu bukan dari keputusasaan kaum fakir yang hadir dari kecelakaan pikir 07. BAPAK : Bila kecelakaan pikir terjadi yang membawa kita kehilangan nilai diri hingga hidup tak bermanfaat lagi adalah sebuah kematian yang sangat memalukan Eutanasia karya R. W. Adyaksa

Kutipan 3

Creon : Oedipus, kau menuduhku berkhianat dan bersekongkol dengan Theresias untuk memberikan ramalan palsu. Dan kau menuduhku tanpa membiarkan aku berbicara.

Oedipus : Apa? Mendengarkan bahwa kau bukan penjahat? Creon : Aku memang bukan penjahat. Oedipus : Aku punya bukti-buktinya.

Page 75: menulis kreatif

75

Creon : Jelaskan kepadaku. Oedipus : Kau yang mendesakku untuk memanggil peramal itu. Saat dia di sini dia

menuduhku membunuh Laius, tuduhan yang telah kalian sepakati bersama.

Creon : Kalau itu yang dia katakana, aku hanya mendengar darimu. Lagipula untuk apa aku berbuat demikian. Itu tidak benar, dan gila bila aku tidak setia. Pikirkanlah. Mana yang harus dipilih: memerintah dalam ketakutan ataukah menikmati tidur nyenyak sambil tetap memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seorang penguasa? Aku akan selalu memilih yang kedua. Mengapa harus aku sia-siakan hidup semacam itu demi sesuatu yang lebih tinggi namun menjadi jahat dalam meraihnya? Kalau tidak percaya tanyalah pada Orakel. Kalau kau mendengar aku berkomplot melawanmu, bunuhlah aku. Tidak adil kau menuduh tanpa bukti yang teruji. Kesedihan akan menimpa orang yang mendorong ke samping sahabat-sahabatnya yang setia.

Oedipus : aku tidak percaya ucapanmu. Hatimu busuk sampai ke jantungmu. Creon : Kau menuduhku dengan tidak benar dan kau tak akan bisa membunuhku

sampai kau membuktikan kebenaran tuduhanmu. Oedipus : Kau berani mendikte apa yang harus kulakukan? Kau yang melakukan

pengkhianatan maka kau harus patuh. Jocasta : Wahai! Mengapa kalian bertengkar saat bencana menimpa negeri ini?

Tenangkanlah amarah kalian berdua. Pergilah Creon sebelum amarahmu semakin meluap.

Creon : Saudariku, Suamimu menghendaki kematianku! Oedipus : Sebab ia tertangkap basah berkomplot menjatuhkan aku dari

singgasana.

Oedipus Dan Jocasta Adaptasi Dari Raja Oedipus Karya: Sopokles Terjemahan Menelaos & Yannis Stephanides Adaptasi Cerita Oleh: Silvia A Purba

Kutipan 4 Kakek : Sekarang jkau nyanyi. Nenek menggeleng sambil tersenyum manja. Kakek : Seperti dulu. Nenek menggeleng sambil tersenyum manja. Kakek : Nyanyi seperti dulu. Nenek : Malu Kakek : Sejak dulu kau selalu begitu. Nenek : Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi. Kakek : Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau

lagi. Nenek : Saya tidak mau menyanyi. Kakek : Kapanpun? Nenek : Kapanpun. Kakek : Juga untuk saya. Nenek : Juga untuk kau.

Page 76: menulis kreatif

76

Kakek : Sama sekali? Nenek : Sama sekali. Kakek : Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar

kau menyanyi. Nenek : Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak

ada gunanya. Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu. Kakek : Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang

salah saya. Tetapi kalau ejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.

Nenek : Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.

Kakek : Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji. Nenek : Tentu, tentu. Kakek : Kau mau menyanyi. Nenek : Tentu, sayang, tentu. Kakek : Kapan? Nenek : Suatu ketika. Kakek : Sebelum saya mati? Nenek : Ya, sayang, ya, sayang. Kakek : Sekarang. Nenek : Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta

beberapa hari yang lalu? Kakek : (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang. Nenek : Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya

sakit. Kakek : Kau melebih-lebihkan. Nenek : Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu

kau tahu. Kakek : Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui.

Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….

Nenek : Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-nyebut soal kematian.

Kakek : Maaf, tidak lagi. Nenek : Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat. Kakek : Apa? Nenek : Kau harus menyanyi. Kakek menggelengkan kepalanya. Nenek : Kalu begitu, kau tak saya maafkan. Kakek : Dan sorga saya…? Nenek : Mungkin, tertutup. Kakek : Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya

batuk. Nenek : Tidak. Satu lagu. Kakek : Nanti batuk.

Page 77: menulis kreatif

77

Nenek : Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.

Kakek : Satu lagu? Nenek : Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang

penyanyi. Kemudian kakek menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir nenek bertepuk tangan dengan semangat. Nenek : Suara kau tidak pernah berubah. Kakek : Mna album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya

menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.

Nenek : Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu. Kakek : Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya. Nenek : Habis pandangan kau nakal. Kakek : Habis kau juga suka mencuri pandang. Nenek : Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium

saya. Kakek : Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu

mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

Pada Suatu Hari karya Arifin C. Noer

Keempat kutipan drama dari penulis yang berbeda di atas, memiliki perbedaan gaya masing-masing. Perbedaan tersebut terlihat pada ragam bahasa yang digunakan. Terdapat drama yang cendrung realis dengan warna kejawa-jawaan, drama puitik, dan drama yang sarat dengan romantik. Pembaca dapat menemukan ragam tersebut jika mencermati kutipan-kutipan di atas. Penulisnya sadar betul tipe atau gaya yang bagaimana drama yang ditulisnya itu. Masih banyak diketemukan gaya dan tipe yang berbeda-beda dari drama yang ada dalam khazanah kesusasteraan Indonesia. Namun demikian, dari keanekaragam tipe atau gaya tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu tipe atau gaya realis dan non-realis.

_______________

Page 78: menulis kreatif

78

BAGAIMANA ESAI ITU TERCIPTA?

Esai tentang Esai

Di kalangan sebagian ahli, esai dimasukkan sebagai salah satu genre

sastra. Artinya, esai telah memenuhi syarat untuk disebut sastra. Dari sisi bahasa

dan cara pengungkapan, pendapat sebagian ahli tersebut ada benarnya. Tapi dari

sisi apa yang diungkapkan dan tujuannya, terdapat perbedaan yang mencolok

dibanding genre sastra lain, seperti puisi, cerpen, novel, roman, dan drama.

Namun demikian, apapun pendapat orang, semua akan setuju jika dikatakan

bahwa esai lebih dekat dengan ragam sastra dari pada ragam yang lain. Bahkan

sangat jauh jarak yang membedakan antara ragam yang digunakan dalam esai

dengan tulisan ilmiah.

Ibarat sebuah renungan, esai ditulis untuk mengungkapkan apa yang

direnungkan itu. Di sana terdapat bentuk-bentuk proses kesadaran penulisnya,

seperti: perasaan, pemikiran, penghayatan, pembayangan, pengayalan, dan

pengargumentasian. Di sana juga terdapat emosi, nafsu, suasaana perasaan

(mood), libidinal, dan memori bawah sadar. Semuanya serba ada dalam proses

penulisan esai. Kalau kemudian esai dibaca, semua itu seperti anak katak

berloncatan dari balik semak-semak bernama esei. Bukankah pembaca itu

seperti orang yang menguak-uak, mengibas-ibas, dan menyibak-nyibak

kerimbunan tanaman di belantara bahasa? Ia ingin mengetahui ada apa di dalam

kerimbunan itu. Dan anak-anak katak seperti terganggu olehnya dan

berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya. Pembaca yang tak jijik pada

katak, ia akan melihatnya dengan takjub, senang, dan geli. Sebaliknya yang jijik,

ia akan marah, mengumpat, bahkan membanting apa yang dibacanya.

Sementara para perempuan yang biasa berperasaan, merasakan sedih, prihatin,

terharu, tersenyum, penasaran, dan penuh rasa simpati dan empati.

Tapi esai juga seperti argumentasi seorang profesor senior berambut

botak dengan kaca mata kecil bundar menggantung sedikit ke bawah matanya.

Tak terbantahkan, lantaran ia berisi proposisi-prosisi paradigmatis yang

kebenarannya tak perlu diuji lagi selain diterima begitu saja menjadi cara

pandang tentang hakikat realitas. Kalau hanya omongan seorang anggota dewan

Page 79: menulis kreatif

79

saja, dilibas. Kalau hanya ceramah dosen di depan mahasiswa saja, belum ada

apa-apanya. Bahkan omongan presiden, pengacara pokrol bambu, atau orator

ulung sekalipun, esai tetap berada di jajaran teratas. Ia kelak akan langgeng

dikenang oleh pembacanya. Bahkan sangat membekas menjadi sebuah tradisi

ilmiah yang tak ilmiah, karena memang esei bukan tulisan ilmiah.

Esai juga seperti ajaran kebijakan filosofis tentang hakikat kehidupan. Ia

hasil dari kontemplasi manusia tentang hakikat kebenaran. Esai

mempertanyakan segala hal ihwal yang ada dan keadaannya. Yang ada, nampak,

dan nyata, dipertanyakan dalam renungan-renungan penuh makna. Tujuannya,

agar esai dapat membuka cakrawala pembaca tentang sesuatu yang masih samar

menjadi nyata; yang nampak menjadi terang, dalam kenyataan atau

ketidaknyataannya. Tujuannya, agar esai dapat memberikan pencerahan dan

penyucian terhadap nafsu-nafsu, hasrat-hasrat, dan kehendak yang cenderung

meledak-ledak dalam diri manusia. Maka, esai membangun kualitasnya dengan

untaian kalimat persuasif dan ekspresif. Maka, esai membangun substansinya

dengan kebijakan-kebijakan hidup.

Berlebihankah, mengibaratkan esai seperti anak katak berloncatan dari

balik semak belantara bahasa? Seperti proposisi seorang profesor senior? Atau,

seperti ajaran filsuf yang mempertanyakan hakikat hidup ini? Semuanya serba

mungkin. Semuanya bisa terjadi dalam sebuah esai. Tidak masalah esei akan

seperti apa. Yang penting, esai adalah bentuk ekspresi berbahasa yang

mengungkapkan manusia dan kemanusiaannya dari perspektif subyektif dan

obyektif berbaur menjadi satu. Sebuah strategi pelisanan yang khas, yang berada

di kedua ujung wacana reflektif-subyektif dan argumentatif-obyektif. Mana ada

ragam tulisan seperti itu, selain esai?

Di ujung yang satu, esai merupakan tulisan reflektif-subyektif. Itulah

kenapa sebagian ahli memasukkannya dalam genre sastra. Dua aspek di

dalamnya yang menjadikan esai lebih dekat dengan sastra; bahkan dikatakan

memang jenis sastra. Pertama, esai ditulis dengan memperhatikan style bahasa.

Kata, frase, kalimat, dan paragraf, disusun tidak hanya untuk menampung

sebuah pengertian, tetapi juga mewadahi perasaan penulisnya. Bahasa esai

mengalir seperti alir sungai membawa kesegaran bagi pembacanya. Bahasa esai

juga menggelora seperti gelegak gunung Merapi hendak memuntahkan sekian

kubik lava panas. Kesegaran dan kemurkaan, mengalir dalam untaian bahasa

yang digunakan esai. Karenanya, esai adalah wacana khas dan individual seperti

karya sastra. Ia berbeda antara satu esei dengan esai yang lain dari penulis yang

berbeda. Tak ada satu pun gaya bahasa yang sama di antara sekian juta penulis

di dunia. Bahasa memiliki kekuatan dan kekayaannya untuk digunakan,

dimodivikasi, digarap, dan di-style-kan, meski tanpa mengorbankan makna

tuturannya.

Page 80: menulis kreatif

80

Kedua, esai mempunyai cara pengungkapan yang khas pula. Tidak hanya

bahasanya yang khas, tapi juga bagaimana cara penulis mengungkapkan apa

yang ingin diungkapkan. Ada daya ekspresi di dalam esai. Ekspresi itu berkaitan

dengan sikap, pandangan, dan wawasan yang dimiliki penulisnya. Esai ditulis

bukan sekedar untuk menampung sebuah fakta, seperti wacana sejarah. Esai

bukan sekedar menampung konsep, seperti wacana pengetahuan. Esei juga

bukan sekedar menampung aturan-aturan untuk dipedomani, seperti wacana

hukum. Tapi esai ingin mengungkapkan sebuah persoalan yang direfleksikan dari

kehidupan dengan sudut pandang kemanusiaan. Itulah mengapa ada sikap,

pandangan, dan keyakinan di dalam esai, sebentuk ideologi kewacanaan.

Ideologi kewacanaan merupakan wujud intelektualitas dan keyakinan akan suatu

kebenaran hidup.

Bahasa yang khas dan cara pengungkapan mengindikatorkan adanya

kreativitas dan imajinasi penulisnya. Kreasi dan imajinasi adalah terminologi

dalam jagad kesusasteraan. Ketika keduanya masuk ke dalam ranah esai, ia telah

memenuhi syarat sebagai sebuah karya sastra. Di dalam imajinasi itulah

seseorang mengembara ke ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas

tak bertepi dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan,

ingatan, pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke dalam alam

sadar dan bawah sadarnya. Bahasalah yang akan mewadahinya melalui kata,

frase, kalimat, paragraph, dan wacana, yang kemudian disebut sastra. Demikian

juga dalam esai, penulis mengembara dalam kesadarannya untuk mengais-ngais

memori, pengalaman, pemikiran, penghayatan, perenungan, bahkan khayalan,

yang kemudian disebut imajinasi. Melalui bahasa, hasil pengembaraan itu

menjadi untaian kalimat yang sarat dengan semua itu.

Di ujung yang lain, esai adalah tulisan argumentasi-obyektif. Kebenaran

dijunjung tinggi sebagai obyek yang ingin diungkapkan. Semua hal yang ditulis

dengan cara dan gaya apapun, kebenaran menjadi tujuannya. Kalau ragam ilmiah

berlandaskan pada kerangka berpikir teoritis, maka esai menggunakan jalan

refleksi-subyektif untuk mengungkapkan kebenaran itu. Kalau ragam ilmiah ingin

menjelaskan dan membuktikan sebuah kebenaran dengan kacamata keilmuan,

maka esai ingin mengritik, menilai, mendudah, mengungkap, dan menunjukkan

sebuah kebenaran dengan kacamata refleksi. Kalau ragam ilmiah berangkat dari

asumsi dan hipotesis, maka esai berpijak pada sebuah keyakinan, kepercayaan,

pandangan, sikap, dan ideologi. Kalau dalam ragam ilmiah didukung oleh bukti-

bukti, maka dalam esai didukung oleh metafor, tamsil, ibarat, adagium,

keyakinan, peristiwa, dogma, dan aksioma-aksioma. Dengan demikian, esei

menggunakan sudut pandang pribadi untuk menjelaskan hakikat sebuah

kebenaran. Dalam esai ekspresi menjadi impresi, sedang dalam tulisan ilmiah

teoritisasi menjadi proposisi. Tapi keduanya dengan cara berlainan, sama-sama

Page 81: menulis kreatif

81

ingin menjelaskan suatu kebenaran untuk dapat digunakan dalam kehidupan ini.

Kalau tulisan ilmiah akan ditumbangkan oleh teori baru, maka esai akan

ditenggelamkan oleh perjalanan waktu.

Sampai di ujung pemikiran ini, marilah kita membahas contoh esai berikut

ini, agar apa yang dikemukakan di muka menjadi konkrit dan jelas.

1

Marxisme, Posmodernisme, Ketika Tak Ada lagi Revolusi

Oleh: Gunawan Muhamad

“Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa bicara begitu tak pernah paham sedikitpun apa itu hidup—mereka tak pernah merasakan nafasnya, jantungnya….” —Dr. Zhivago

PADA awalnya 1917. Kemudian 1993. Dua peristiwa besar, yang berhubungan dengan agenda “membentuk kembali hidup”, telah mengubah permukaan dunia seperti dua gelombang gempa yang ganjil, sebab ada yang hancur setelah itu, dan ada yang terbentuk. Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme, yang berlangsung sebagai “sepuluh hari yang mengguncangkan dunia”, seperti dilukiskan John Reid tentang Revolusi Oktober yang bermula di St. Petersburg, Rusia. Yang kedua ialah sebuah perubahan Yang tak kalah mengguncangkannya, meskipun hampir tanpa letupan bedil: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina) membatalkan banyak hal dalam agenda Marxisme, sesuatu yang sebenarnya bermula di tahun 1989, ketika Tembok Berlin bebas diruntuhkan orang ramai. Dua perubahan, dua guncangan besar: Marxisme adalah harapan dan keyakinan penting selama kurang satu setengah abad, sesuatu yang demikian jelas, tegas, memukau dan menularkan inspirasi. Tapi Marxisme juga dalam bentuknya yang dicoba dalam suatu transformasi sosial—ternyata dengan cepat merapuh. Selama beberapa tahun terakhir ia telah didiskreditkan secara luas, dan hampir di seluruh dunia tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk “mengubah dunia”. Yang tersisa adalah “menerangkan dunia”—terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar—ketika politik sayap kiri merosot, atau mengalami perubahan diri, di pelbagai penjuru. Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan?

Page 82: menulis kreatif

82

Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini pengaruh Marxisme, sisa-sisanya dalam pemikiran kita, tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekadar membayang dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan, ia pernah dicoba—setidaknya sebagian unsurnya, mungkin juga sebersit semangatnya—dengan mempraktikkan “sosialisme Indonesia” dan “ekonomi terpimpin”. Ia pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, dan ia pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang diajarkan secara luas tentang “ideologi negara” di tahun 1960-an (yang disebut “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”). Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang—dan pada gilirannya paham yang dilarang itu memikat banyak anak muda dan cendekiawan Indonesia secara diam-diam, hingga sekarang, sebagi sejenis pernyataan pembangkangan, apalagi di sebuah masyarakat yang mulai mengalami secara nyata gerak kapitalisme, dan masih punya masalah distribusi pendapatan yang menajam. Sesudah itu sepi. Tak terdengar suara revolusi. Bukan maksud saya untuk berbicara tentang “akhir sejarah” sekarang, tetapi nampak suatu kecenderungan yang jelas, terutama di dekat kita: setelah Marxisme tersingkir dan digagalkan, yang menggantikan (di Rusia, di Eropa Timur, di Cina) ialah sejenis sikap pragmatik, kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut satu ajaran; kriteria legitimasinya hampir sepenuhnya dikaitkan dengan hasil atau performativitas. Dalam pelbagai variasinya sebenarnya yang terjadi sekarang ialah semacam pemborjuisan (embourgoisement) dunia: sebuah proses yang menampakkan ciri-ciri modernitas yang dikenal dalam buku-buku sejarah ketika borjuasi Eropa mengambil peran dan mengubah permukaan bumi “sesuai dengan citranya”, untuk meminjam kata-kata dalam Manifesto Komunis. Dengan kata lain, menjadi semakin berperannya rasionalitas, dalam arti kebebasan dari ilusi dan takhayul, dan meluasnya desakralisasi lingkungan sosial dan alam, juga bangkitnya etos tentang obyektivitas ilmiah.

Tulisan ini termuat dalam buku ”Setelah Revolusi Tak Ada Lagi” (Edisi

Revisi), Pustaka Alvabet, Jakarta, september 2005. Halaman, 169-192].

2

PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI, SEBUAH PERADABAN

Oleh: Suhariyadi

Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung teater, siapakah tokoh utama pengemban cerita untuk diungkapkan di atas panggung itu? Mereka adalah penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga aktor inilah yang akan memainkan perannya secara ekspresif agar pertunjukkan yang dimainkan

Page 83: menulis kreatif

83

meyakinkan dan menghanyutkan penontonnya. Siapakah penontonnya? Mereka adalah rakyat yang tidak memiliki akses untuk mendekati lingkaran ketiga aktor tersebut. Narasi apakah yang akan dibangun dan diungkapkan dalam pertunjukkan itu? Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik zaman yang berasal dari kepentingan-kepentingan kelompok dan tekanan-tekanan eksternal yang tidak bisa dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita dapat mengapresiasi bagaimana pertunjukkan itu berlangsung, sebaiknya kita urai pertunjukkan itu secara interpretatif. Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini jelas mengambil perspektif subyektif dengan pisau analisis rasional; bukan lantaran dengan perspektif subyektif itu lantas tidak menggunakan rasional untuk memahami persoalan ini. Dan sebagaimana layaknya mengapresiasi sebuah pertunjukkan teater, tulisan ini harus bermula dari narasi sebagai skenario yang akan dimainkan. Tetapi yang perlu diingat, bahwa pertunjukkan ini bergenre modern, meski naskah atau skenario tersebut tidak tertulis. Cukup seperti dalam teater tradisional, narasi yang akan dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi oleh para aktor di atas panggung. Proses berperadaban yang terjadi hingga sekarang ini, sesungguhnya sebuah narasi yang diciptakan dan sekaligus menjadi pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Foucault, seorang tokoh pencetus postrukturalisme dan posmodernisme Barat, mengatakannya sebagai Diskursus. Namun demikian, narasi itu adalah sebuah wacana kebudayaan yang tidak cukup dipahami secara tekstual, melainkan terdapat makna dibalik yang kasat mata itu, yaitu proses produksi dan konteks yang melatarbelakanginya. Proses produksi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses sejarah bagaimana narasi itu terbentuk dan siapakah yang berperan dalam produksi narasi itu. Sedangkan konteks yang melatarbelakanginya itu jelas adalah sosial, budaya, politik, ideologi, ekonomi, dan sebagainya, dari masyarakat di mana narasi itu diciptakan, dipedomani, dan mengatur dirinya. Teks (baca: narasi) dan Konteks. Kedua hal tersebut akan muncul ketika seseorang mau mendudah dan mengurai hingga ke akar narasi itu. Kalau perlu, hingga ke aspek filosofis yang mendasari terbangunnya narasi itu.

Esai Gunawan Muhamad, kutipan pertama, jelas tidak berpretensi untuk

menjadi tulisan ilmiah, meskipun apa yang diungkapkannya itu sering kali

menjadi pembicaraan dan penulisan dalam konteks ilmiah. Bahkan, meskipun

dalam esainya itu Gunawan Muhamad banyak mengacu pemikiran dan teori

yang pernah ada dalam tradisi pemikiran dunia. Dengan bahasanya yang cair dan

dibumbui dengan pilihan kata bernilai rasa tertentu dan metafor, juga

bercampur kode secara kebahasaan, esai tersebut ingin mengungkapkan

perjalanan rasionalitas manusia semenjak Weber, Marxis, hingga sekarang,

posmodern, khususnya di Indonesia. Meskipun apa yang diungkapkan sangat

berat bagi pembaca kalangan tertentu, tetapi esai tersebut, dengan sasaran

pembaca khusus, mampu mewadahi suatu sikap, pandangan, dan keyakinan

Page 84: menulis kreatif

84

penulisnya. Bahasa dan gaya pengungkapan Gunawan Muhamad sangat khas,

dengan sudut pandangnya yang reflektif subyektif miliknya.

Gunawan Muhamad merupakan salah satu penulis produktif di Indonesia

yang menulis dengan bentuk esai. Catatan Pinggir-nya yang termuat di majalah

Tempo, dan juga telah diterbitkan dalam buku, merupakan tulisan esai yang

sangat digemari pembaca darisemua kalangan. Sebagai sastrawan dan mantan

wartawan, Gunawan Muhamad tidak sulit untuk menulis dengan gaya esai.

Bahkan dapat dikatakan, dia merupakan penulis spesialis esai. Memang ada

semacam kecenderungan bahwa esai kebanyakan ditulis oleh seorang sastrawan

ataupun orang yang terjun di bidang kesastraan. Sebut nama Emha Ainun Najib,

dia juga seorang penyair sekaligus piawai menulis esai. H.B. Yassin, Nirwan

Dewanto, Budi Darma, Mangunwijaya, Zawawi Imron, Taufik Ismail, Agus R.

Sarjono, Ayu Utami, Beni Setia, Jamal D. Rahman, Acep Iwan Saidi, dan yang

lainnya, merupakan para penulis esai yang piawai, di samping mereka seorang

penulis sastra. Karena kedekatan esai pada sastra menjadikan jenis tulisan ini

cenderung ditulis seorang yang terjun di dunia sastra. Namun demikian, ada

beberapa penulis esei yang memiliki latar belakang jauh dari sastra, tapi esai

yang ditulisnya sangat bagus, misalnya Fakri Ali dari komunitas Utan Kayu.

Jauh berbeda dengan kutipan kedua. Esai kedua juga mengungkapkan

persoalan yang sering juga menjadi topik pembahasan di kalangan akademis.

Perjalanan kebudayaan di Indonesia selalu menjadi topik yang tak pernah akan

habis dibicarakan orang. Jika Gunawan Muhamad membicarakan topiknya

dengan mengupas sisi-sisi yang jarang disinggung orang, tetapi dalam esai kedua,

penulis mencoba membahasakan topiknya dengan sebuah analog dalam

pertunjukan teater. Sebuah refleksi acap kali tak terkira dan tak terduga orang

lain. Dalam refleksi bukan apa yang ada di permukaan yang utama, tetapi apa

yang tersemunyi di dalamnya. Refleksi dapat memunculkan gambaran sisi-sisi

gelap, samar di depan orang lain, menjadi terang. Ketika banyak orang

meributkan sesuatu sebagaimana yang tampak dan terjadi, sebuah refleksi

meliuk-liuk untuk memandang sesuatu itu pada sisi yang lain.

Cara pengungkapan seperti itu bukan tanpa rasional dan argumentasi.

Sebuah kebenaran adalah ranah yang harus dipikirkan, dianalisis, dan diabstraksi

oleh logika umum. Karena cara reflektif-subyektif dan pilihan gaya bahasa yang

khas, sebuah esei menjadi lain saat dibaca. Kebenaran dan sebuah fakta dikupas

pada sisi-sisi yang masih samar, tersembunyi, dan penuh ketakterdugaan. Hal itu

tak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan secara serius rasional dan argumentasi

yang memadai. Itulah gaya dalam tulisan esai. Bandingkan dengan tulisan dengan

bentuk yang lain berikut ini.

Page 85: menulis kreatif

85

1

Semua penelitian pada hakekatnya merupakan usaha mengungkap kebenaran. Kebenaran ini dapat dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar adalah kebenaran inderawi yang diperoleh melalui pancaindera kita dan dapat dilakukan oleh siapa saja; lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui kegiatan sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang terpelajar. Pada lapis di atasnya lagi adalah kebenaran falsafati yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh masyarakat luas. Sedangkan pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka yang meyakininya.

Kalau kebenaran falsafati dan religi saja memungkinkan adanya tafsir yang menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh kebenaran ilmiah. Kita semua dilahirkan aebagai mahluk yang unik, masingmasing di antara kita berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat dibedabedakan, seperti misalnya sidik jari dan DNA, apalagi yang kasatmata yang ada dalam otak dan hati kita masing-masing. Suatu gejala atau peristiwa yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang yang berlainan.

(Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc., Landasan Berpikir dan Pengembangan Teori

dalam Penelitian Kualitatif, dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.05/Th.IV/

Desember 2005).

2

Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma mengacu pada serangkaian proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan dipersepsikan. Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata. Paradigma memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat.

Disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana hubungan antara peneliti—yang mencari tahu—dengan orang-orang atau fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti.

Amir Purba, Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis, Majalah Kajian Media Dictum on line.http://dictum4magz.wordpress.com, download 3 April 2010.

Page 86: menulis kreatif

86

Kedua contoh tulisan di atas beragam ilmiah. Dalam tulisan bentuk ini

cenderung menghindari pilihan kata dan kalimat yang bisa menimbulkan salah

tafsir, menggunakan istilah-istilah dalam terminologi keilmuan, sistematis, serius,

baku, dan didukung argumentasi yang kuat; kalau perlu didukung oleh data-data

yang akurat. Ada aturan yang lebih ketat dalam tulisan beragam ilmiah. Berbeda

dengan esai yang cenderung menggunakan semua aspek dalam bahasa,

termasuk nilai rasa dan gaya bahasa, untuk menambah daya tariknya. Aturan

penulisan esai tidak begitu ketat, bahkan cenderung sebuah pilihan bebas.

Hal-hal itulah yang menjadi ciri dan hakikat tulisan esai. Tak ada salahnya

untuk mencoba menciptakannya. Acap kali sebuah esai lebih bisa menampung

sebuah pemikiran secara santai, cair, dan mudah, sekali pun membahas

persoalan yang serius. Selamat mencoba.

_________

Page 87: menulis kreatif

87

BELAJAR SASTRA Menulis Sastra Mesti Belajar Sastra

ulit membayangkan seorang penulis karya sastra tidak belajar mengenai sastra. Katak dalam tempurung. Peribahasa ini tepat digunakan untuk

menggambarkan hal itu. Dikira tulisannya sudah bagus, tetapi ketika di letakkan di tengah-tengah arus perkembangan karya sastra, ternyata tulisannya itu jauh dari apa yang disebut bagus. Mengapa? Karena penulis seperti itu tak membuka diri terhadap apresiasi dan referensi tentang segala hal yang berkaitan dengan apa yang ditulisnya. Belajarlah sastra untuk menulis sastra. Sebagai pengayaan bagi penulis yang hendak terjun di dunia penulisan karya sastra, berikut ini dikemukakan apa dan bagaimana belajar sastra itu. Ingat, menulis dan membaca merupakan pasangan yang tak mungkin dilepaskan satu sama lain. Menulis sastra mesti membaca sastra.

Dialog Imajiner Bersama Sastrawan Sastra itu demokratis! Begitu kalimat pertama yang keluar dari bibir seorang sastrawan memulai percakapannya. Sastrawan yang satu ini memang sering kali berdiskusi dengan anak-anak muda yang menyenangi sastra. Bahkan dengan seseorang yang tidak suka sastra sekalipun, ia tak menolak jika diajak berdiskusi. Baginya, tak ada salahnya orang berbicara tentang sesuatu dengan orang yang tidak menyukai sesuatu itu.

Lantas apa maksud ucapan sastrawan itu? Kalimat ini yang berkelebat di benak orang-orang yang mendengarnya. Sebagai seorang sastrawan yang telah matang, ia tahu apa yang berkecamuk di benak mereka. Ia tak ingin membuat penasaran anak-anak muda itu.

“Kalau ada teks bacaan yang begitu terbuka, sehingga bermacam-macam kepentingan dan tujuan orang dapat membacanya, itu adalah sastra. Dari tukang becak hingga pejabat, dari pelajar SD hingga seorang profesor, dari pengangguran hingga penguasaha yang super sibuk, sastra dapat dibacanya. Dari orang yang tak bisa tidur hingga larut sampai seorang yang maniak membaca, karya sastra dapat dibacanya. Dari seorang yang mencari hiburan sampai akademisi yang ingin menambah ilmu, karya sastra menyodorkan dirinya untuk dibaca. Memang, ia menyiapkan berpuluh wajah untuk ia tampakkan sesuai dengan siapa dan bagaimana membacanya. Tak memandang anak-anak atau orang tua, laki-laki atau perempuan, di perempatan jalan atau disembarang tempat, sastra tidak menolak untuk dibaca.” Kata sastrawan itu dengan

S

Page 88: menulis kreatif

88

keyakinan dan kepercayaan dirinya. Sementara mereka yang mendengarnya manggut-manggut seperti hewan yang dicocok hidungnya.

“Atau bisa dikatakan, tidak ada objek yang begitu fleksibel sehingga merambah ke mana-mana, melampaui batas-batas ruang dan waktu, selain sastra. Itulah makna demokratis yang melekat dalam sastra.” Seorang mahasiswa yang sering dicekoki dengan teori-teori sastra dari Barat nampak begitu penasaran. Belum pernah ia menjumpai dalam referensi manapun proposisi yang mengatakan bahwa sastra itu demokratis. Sastrawan itu cukup peka untuk memahami apa yang berkecamuk di benak mahasiswa itu. Meski tak sempat menyelesaikan, ia juga pernah makan bangku kuliah. “Sebagai bahan bacaan, karya sastra bersifat terbuka. Ia mau menerima siapapun dan dengan pola pikir apapun sebagai landasan berfikir untuk memahami dirinya. Bukankah sifat demokratis itu harus terbuka kepada siapapun, kan!? Di samping berdasarkan Ilmu sastra sebagai landasan teoritis membaca sastra secara ilmiah. Karena sifat terbuka inilah, ilmu tentang sastra menjadi multidisipliner. Ketika teori sosial menjadi landasan berfikir untuk memahami sastra, maka muncullah Sosiologi Sastra. Begitu juga Psikologi memberikan proposi-proposinya untuk menjelaskan aspek kejiwaan dalam karya sastra itu, maka muncullah Psikologi Sastra. Ilmu politik, Komunikasi, Ekonomi, hingga gerakan-gerakan pemikiran yang ada di masyarakat, turut pula memberikan landasan berfikir untuk menjelaskan aspek-aspek sastra dari kaca mata mereka. Belum lagi Studi Budaya, Antropologi, Linguistik, Filsafat, Jurnalistik, sampai teori tafsir agama (kitab), menjadi pisau untuk memahami sastra. Tidak heran jika kemudian proses membaca sastra ramai memenuhi ruang publik masyarakat. “Apa sebenarnya hakikat karya sastra sehingga dia bersifat terbuka dan fleksibel itu?” Tanya mahasiswa itu semangat. Tak pernah dosennya menerangkan materi seperti itu. Apalagi dari referensi yang sempat ia baca. Buku saja belum tentu sekali satu tahun ia beli. “Sastra merupakan dunia yang unik, ujarnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. “Di mana letak keunikan sastra? Sastra merupakan dunia fiktif yang memiliki seribu wajah. Banyaknya wajah yang dimunculkan sastra, sebanyak kesadaran (imajinasi) manusia yang membacanya. Banyaknya rupa yang diperlihatkan sastra, sebanyak aspek-aspek kehidupan realitas kehidupan dimana sastra itu diciptakan. Imajinasi dan realitas adalah dua sisi dari mata uang yang bernama sastra. Dua wajah yang bolak-balik muncul dalam proses pembacaannya. Ketika dipandang sebagai imajinatif, sastra memunculkan realitas masyarakat. Ketika ditangkap sebagai realitas, ia menjilma sebagai karya imajinatif. Dua hal yang sebenarnya bertentangan, imajinasi dan realitas, justru bersama-sama hadir dalam sastra.”

“Sastra juga merupakan dunia kemungkinan. Artinya, ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak atas penafsirannya yang beraneka ragam terhadap makna karya sastra. Tujuan dan harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal

Page 89: menulis kreatif

89

ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas karya sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), fiksionalitas, ciptaan, dan sifat imajinatifnya.”

“Sebagai dunia kemungkinan, karya sastra dapat menghadirkan apa yang tidak mungkin terjadi dalam realitas, bisa mungkin dalam karya sastra. Atau sebaliknya, yang mungkin dan pasti dalam realitas, menjadi tidak mungkin dan tidak pasti dalam karya sastra. Sebagai dunia kemungkinan, karya sastra juga dapat menghadirkan peristiwa yang dianggap logis di dalam realitas menjadi tidak logis. Atau sebaliknya, yang tidak logis dalam realitas, menjadi logis dalam karya sastra.”

“Kualitas dunia sastra bermuara pada realitas dipandang dari sisi imajinasi; imajinasi dipandang dari sisi realitas. Itulah yang kemudian memunculkan dunia fiksi dalam sastra. Itu juga yang kemudian menghadirkan realitas dalam sastra. Karya fiksi (imajinasi; sastra) menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Karya fiksi juga memandang realitas diluar sebagai sumber dan sasaran diciptakannya karya sastra itu, sehingga dalam karya sastra juga memiliki hubungan dengan realitas di sekelilingnya (masyarakat). Karya sastra memiliki realitas sendiri, sedangkan realitas di luar sastra adalah realitas tersediri pula. Tapi keduanya menyatu dalam karya sastra itu. Dalam karya sastra, perbedaan antara fakta dan fiksi seringkali berada dalam batas yang sangat relatif. Kadang kala begitu tipis dan sulit ditarik garis tegas. Tetapi dalam waktu yang lain, dapat sangat jelas batas-batas itu. Tidak sedikit karya sastra yang secara sadar mencoba mengangkat fakta atau peristiwa-peristiwa faktual, sehingga ia tampak lebih dekat pada gambaran sosiologis masyarakat. Tetapi karya sastra tidak sekedar melaporkan realitas itu sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya.

”Saudara-Saudara…” lanjut sastrawan itu sambil menyeruput kopi yang telah tersedia di atas meja. “Bagaimana sifat demokratis, fleksibel, terbuka, dan penuh kemungkinan itu bisa difahami dan dimanfaatkan dalam kehidupan ini? Itulah yang perlu kita pahami. Jangan salah persepsi seperti zaman modern sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi memperlakukan karya sastra secara keliru.”

“Zaman modern dengan faham modernismenya cenderung mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alhasil, manusia-manusia menjadi obyek bagi ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Sedangkan manusia itu mempunyai jiwa dan sifat kemanusiaannya. Seharusnya menjadi subyek. Janganlah manusia disetir oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia bisa menjadi robot. Akhirnya, manusia mengalami dehumanismenya. Bahaya bagi masa depan peradaban. Tanda-tanda untuk itu telah muncul. Perang terjadi karena kecanggihan teknologi kemiliteran manusia; Eksplorasi alam secara besar-besaran sehingga merusak keseimbangan alam; dampak polusi sehingga terjadinya global warming; belum lagi pola hidup yang berubah: konsumtif, materialis, individual, seks bebas, longgarnya hubungan sosial dan keluarga,

Page 90: menulis kreatif

90

demoralisasi, kekerasan dan perkelahian. Inilah saatnya kita memperluas wawasan dan cara pandang kita. Dunia ini tak akan mungkin menjadi baik jika manusia hanya berkutat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa dilandasi dengan humaniora dan agama. Persepsi kita tentang kesenian, termasuk sastra, mesti berubah, karena di dalam karya sastra itu kaya akan kemungkinan dan cara pandang yang lebih manusiawi.”

Malam semakin menggigil di tubuh sastrawan dan para pendengarnya itu. Mereka semakin merapatkan duduknya untuk sekedar mengurangi kedinginannya. Mereka tak akan terusik oleh suasana malam. Mereka tak akan bergeming. Seolah ada yang mesti diseriusi. Seolah ada yang mengkhawirkan dalam dunia fana ini. Itu lebih penting dari dinginnya malam. Gemirisik daun diterpa angin, seakan menjadi musik yang mendukung membangun suana perbincangan itu.

“Lantas bagaimana karya sastra itu memandang realitas?” Tanya seorang guru sastra yang sejak tadi cuma terbengong saja lantaran ia butuh untuk memperkaya profesinya.

“Ya. Kalau karya sastra juga memiliki peranan dalam membangun masa depan, tentunya ia memiliki cara untuk menjadikan realitas menjadi sumber penciptaannya. Dengan begitu, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan.” Pendapat yang lain mendukung pertanyaan sang guru sastra itu. Nampaknya semakin malam, semakin semangat untuk mendudah habis rahasia keunikan karya sastra.

“Berbagai pendapat muncul berbeda-beda dalam menjelaskan hal itu. Dalam teori mimesis misalnya, semenjak Plato, filsuf dari Yunani, yang kemudian diperbaruhi muridnya, Aristoteles, hingga sekarang, memandang karya sastra merupakan peniruan secara kreatif dari realitas Seni (termasuk sastra) menurut Aristoteles merupakan kegiatan meniru atau tiruan dari dunia, alam, benda, dan manusia. Menurut teori mimesis ini, karya sastra manampilkan wajah sebagai perwujudan hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni (sastra) dengan alam semesta. Tentunya realitas (alam semesta) yang dipikirkan dan diolah secara kreatif oleh pengarangnya. Dengan demikian, membaca karya sastra dengan landasan berfikir teori mimesis ini menempatkan karya sastra itu sebagai produk peniruan kenyataan, produk dinamis, representasi kenyataan semesta secara fiksional, dan produk imajinasi.”

“Berbeda dengan teori mimesis, Strukturalisme Genetik yang dicetuskan Lucien Goldman mengemukakan dua pendapatnya mengenai karya sastra. Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Sehingga hubungan karya sastra dan masyarakat tak terelakkan. Tetapi hubungan keduanya dimediasi oleh pandangan dunia (ideologi) pengarangnya. Sebagai produk dari dunia sosial yang senantiasa berubah-ubah, karya sastra merupakan kesatuan dinamis yang bermakna, sebagai perwujudan nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa penting zamannya. Dalam istilah Strukturalisme Genetik

Page 91: menulis kreatif

91

karya sastra menyuarakan pandangan dunia (ideologi) subjek kolektif pengarangnya.”

Seorang sosiolog, Karl Manheim memandang karya seni (termasuk sastra) menyampaikan maknanya dalam tiga tingkat: objectif meaning (hubungan sastra dengan dirinya sendiri), expressif meaning (hubungan sastra dengan penciptanya), dan documentary meaning (hubungan sastra dengan konteks sosialnya). Dari sudut pandang ini, pembacaan karya sastra mengikuti prosedur tiga tingkatan makna tersebut. Dalam teori Semiotika, karya sastra dipandang sebagai sistem struktur yang terdiri atas penanda, petanda, dan sistem yang menghubungkan keduanya. Pembacaan karya sastra mengarah pada memaknai tanda yang bermakna realitas yang terkandung dalam karya sastra itu.”

“Mas kalau sudah menyinggung teori-teori seperti itu, sampeyan seperti seorang dosen,” ujar sang mahasiswa.

“Wah, kamu itu sudah merendahkan saya lho,” jawab sastrawan itu sambil tertawa ngakak. “Guyon!” lanjutnya. “Jangan dilaporkan dosenmu, nanti mereka pada tersinggung.”

“Masih banyak saya kira teori-teori yang memberikan pandangannya tentang karya sastra. Psikoanalitis Freud, Strukturalisme Levi Straus dan Todorof, Cultural Materialism Richad Johnson, dan beberapa pemikiran yang lain, berpijak pada pandangan yang berbeda-beda. Semua itu semakin meramaikan studi sastra dan memapankan sifat sastra yang demokratis (terbuka).”

“Saya pikir, Mas…,” kata sang mahasiswa, yang nampaknya dia memiliki kekritisan yang lumayan, “keterbukaan karya sastra itu juga karena fenomena sastra yang dewasa ini semakin berkembang”

“Maksudnya?” Pancing sastrawan sambil tersenyum. “Dewasa ini muncul jenis sastra baru sebagai pengaruh perkembangan

masyarakat modern. Di samping puisi, prosa, dan drama, muncul jenis cybersastra, sastra Koran, dan sastra jurnalistik”

“Masuk akal pendapat Kamu” “Cyber sastra menjadi ramai akhir-akhir ini karena pengaruh

perkembangan teknologi informasi (internet). Meskipun belum banyak yang meneliti keberadaan cyber sastra, karena memang relative baru, genre sastra ini mempunyai kekhasan sendiri. Sedangkan sastra Koran, beberapa pendapat menyamakan dengan sastra jurnalistik, keberadaannya relatif lama. Sementara sastra jurnalistik, saya cenderung membedakan dengan sastra koran, muncul dalam ranah ilmu komunikasi. Sastra jurnalistik menurut saya merupakan jenis wacana jurnalistik dengan menggunakan bahasa ragam sastra. Di dunia akademis, sastra jurnalistik telah lama menjadi objek kajian disiplin Ilmu Komunikasi. Semakin berkembangnya jenis sastra ini menyebabkan berkembangnya pembacaan sastra. Meluasnya kajian Ilmu Komunikasi yang mengambil sastra sebagai objek kajian, jelas akan menggunakan teori komunikasi sebagai landasan berfikirnya. Begitu juga ketika penelitian sastra merambah ke ranah Ilmu Politik, jelas akan membedah karya sastra dari sisi Ilmu Politik.

Dalam perbincangan suatu malam pada minggu-minggu berikutnya, setelah beberapa minggu tak tampak batang hidungnya, sastrawan memulainya

Page 92: menulis kreatif

92

dengan kalimat yang mengundang penasaran pendengarnya. Maklum, karena minat bacanya yang tinggi dan kesukaanya berdiskusi hingga pagi.

“Kalau membaca sastra kita ibaratkan lompat jauh, mesti harus mempunyai tumpuan. Tanpa itu, lompatan kita tidak mungkin optimal” Analogi sederhana yang sengaja dipakai sastrawan untuk menarik perhatianpendengarnya. Seperti biasanya, orang-orang pun menunggu penjelasan sastrawan dengan penasaran. Lantas apa kaitannya lompat jauh dengan membaca sastra?

Tumpuan yang dipakai seorang pelompat jauh harus dibuat dengan baik, tepat, dan relevan. Dengan begitu dapat mendorong pelompat jauh itu semaksimal mungkin; sesuai dengan kapasitas dia sebagai atlet.

Dalam membaca sastra, seorang juga juga harus membangun tumpuhan, tempat dia berpijak dan memandang tentang objek bacaannya. Dan itu kita sebut dengan cara pandang. Pembaca jelas memiliki cara pandang terhadap karya sastra. Cara pandang dia terhadap dunia sastra menjadi sumber untuk merumuskan apa tujuan dia membaca itu, bagaimana cara membacanya, dan seberapa dalam dia membaca. Oleh karena itu, pembaca sastra akhirnya bermacam-macam golongan. “Mas, saya ini seorang pelajar. Di sekolah guru saya menyuruh saya belajar sastra. Katanya, belajar sastra itu ya membaca sastra. Membaca sastra itu ya belajar sastra. Kock melingkar-lingkar begitu, ya?” “Coba baca tulisan saya berikut ini secara seksama. Dalam tulisan itulah, nanti kamu menemukan penjelasannya.”

Tingkatan Belajar Sastra Pada hakikatnya belajar sastra adalah membaca sastra. Dengan demikian,

belajar sastra memiliki cakupan pengertian yang luas, seluas pengertian dan jenis membaca sastra yang pernah dilakukan orang selama ini. Belajar sastra adalah proses membaca karya sastra untuk memahami segala hal yang berhubungan dengan karya sastra itu. Di samping karya sastra sebagai dunia yang otonom dan memiliki aspek yang beraneka ragam, belajar sastra juga terdiri atas berbagai tingkatan kualitas, menyangkut proses, tujuan, dan hasil dari belajar sastra itu. Dapat dikemukakan, tingkatan orang belajar sastra terdiri atas tingkat mengerti, memahami, menghayati, dan mengaplikasikan dalam kehidupan nyata; sebagaimana tingkatan orang mengapresiasi dan menganalisis karya sastra.

Belajar sastra dapat dilakukan secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung, seseorang belajar sastra tanpa melalui pengetahuan sastra atau kajian-kajian terhadap karya sastra seperti: resensi, apresiasi, kritik, dan sebagainya yang dilakukan orang lain. Cara seperti ini bertujuan untuk memahami makna karya sastra dengan melibatkan pengalaman langsung ke dunia pengarang yang tercermin dalam karya sastra yang dipelajarinya. Sedangkan belajar sastra secara tak langsung, seseorang berangkat dari pengetahuan atau kajian orang lain terhadap karya sastra. Seseorang tidak langsung berhadapan dengan karya sastra, tetapi belajar tentang prinsip-prinsip tentang karya sastra ataupun hasil-hasil pemahaman karya sastra yang pernah

Page 93: menulis kreatif

93

dilakukan orang lain. Cara ini dilakukan dengan tujuan agar seseorang itu memiliki bekal teoritis dan konseptual tentang karya sastra yang akan dipelajarinya. Kedua cara di atas memiliki kelebihan dan kelemahan. Cara langsung memiliki kelebihan dalam hal keterlibatan pengalaman estetika dalam mempelajari karya sastra. Keterlibatan pengalaman estetika ini sangat penting, karena karya sastra merupakan karya seni yang estetis dan imajinatif. Pemahaman yang utuh dapat terjadi apabila proses mempelajari karya sastra mampu melibatkan semua aspek kesadaran dan pengalaman hidup seseorang. Namun demikian, cara ini membutuhkan bekal kepekaan dan pengetahuan untuk dapat menangkap makna karya sastra yang dipejarinya. Bagi seseorang yang telah memiliki kepekaan dan pengetahuan tentang sastra, mempelajari secara langsung akan relatif mudah dibandingkan dengan yang baru tingkat belajar sastra. Oleh karena itu, diperlukan cara tidak langsung secara bergantian. Kedua cara tersebut bisa dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam mempelajari karya sastra. Selain itu, belajar sastra memiliki banyak cara, tergantung dasar yang dipakai. Berdasarkan tujuannya, mempelajari karya sastra dapat digolongkan kedalam: (1) belajar sastra secara akademis dan ilmiah, (2) belajar sastra secara kritis, (3) belajar sastra secara apresiatif, dan (3) belajar sastra secara alamiah. Pertama, belajar sastra secara akademis dan ilmiah memiliki metode dan prosedur yang ketat karena memiliki tujuan agar hasil-hasilnya dapat bernilai ilmiah dan akademis. Metode dan prosedur ditentukan oleh teori yang dipakai. Contoh belajar sastra dengan cara ini tampak pada kegiatan-kegiatan penelitian dan apresiasi sastra yang dilakukan para akademisi dan ilmuwan sastra di perguruan tinggi.2 Di sampingn itu, belajar sastra secara ilmiah dan akademis merupakan studi dalam konteks keilmuan. Kedua, belajar sastra secara kritis bertujuan untuk memahami kelebihan dan kekurangan karya sastra yang dipelajarinya. Cara kritis ini biasa dilakukan oleh kritikus atau sarjana sastra untuk membantu memberikan pertimbangan kepada pengarang dan pembaca. Ketiga, seseorang yang memiliki minat terhadap karya sastra, sesungguhnya adalah orang yang secara alamiah berusaha untuk mempelajari dan menggauli karya sastra sebagaimana orang membaca sastra sebagai hobi. Ia tidak harus berlandaskan pada teori atau pengetahuan tentang sastra. Cara ini bertujuan untuk menyalurkan minat dan kesenangannya membaca karya sastra. Di antara mereka, membaca sastra dilakukan karena memiliki minat menulis sastra juga. Mereka menyadari bahwa kreativitasnya di bidang menulis sastra tidak mungkin dilepaskan dari kebiasaan membaca dan belajar sastra. Berdasarkan proses atau prosedurnya, belajar sastra juga dapat digolongkan kedalam: (1) belajar sastra secara impresif, (2) belajar sastra secara teoritis, dan (3) belajar sastra secara filosofis. Belajar sastra secara impresif adalah belajar sastra untuk kepentingan pemenuhan kesan akan cerita yang terkandung dalam karya sastra. Kepuasan dan kenikmatan menjadi tujuan utama dalam belajar sastra golongan ini. Sedangkan belajar sastra secara teoritis

Page 94: menulis kreatif

94

merupakan usaha untuk memahami karya sastra dengan memakai prinsip-prinsip teoritis tertentu. Dasar teori yang dipakai dalam belajar sastra golongan ini menunjukkan bahwa usaha-usaha belajarnya berorientasi pada keilmuan dan akademis. Cara belajar ini cenderung dilakukan para ilmuwan dan mahasiswa sastra. Sementara cara belajar sastra secara filosofis pada dasarnya merupakan usaha untuk memahami pesan-pesan, ajaran-ajaran, dan pemikiran tentang kehidupan yang terkandung dalam karya sastra. Objek karya sastra yang dipelajari kebanyakan adalah karya para pengarang yang telah memiliki predikat sebagai seorang filsuf, pemikir, tokoh agama, atau intelektual, disamping dia sebagai seorang sastrawan. Cara belajar golongan ini tidak mengutamakan aspek-aspek kesasteraannya, tetapi isi dari karya sastra. Meskipun terdapat perbedaan yang khas di antara golongan belajar sastra di atas, tetapi secara hirarkis berurutan. Dengan kata lain, ada beberapa tahapan yang dilalui seseorang dalam belajar sastra, meskipun tahapan tersebut tidak secara sadar diketahui dan dilalui dalam prosesnya. Pada kasus tertentu, seseorang dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam tahapan tersebut. Tetapi pada kasus lain, seseorang hanya berhenti pada tingkatan tertentu. Itu semuanya tergantung pada tujuan, motivasi, dan keseriusan seseorang dalam belajar sastra. Dalam sistem hirarki, belajar sastra memiliki empat tingkatan dan tahapan. Pertama, tingkat rekreatif. Pada tingkatan ini seseorang belajar sastra untuk memperoleh hiburan. Sekali seseorang membaca dan memahami ceritanya, selesai sudah. Hiburan dan kepuasan atau sebaliknya, menjadi tolok ukur keberhasilan orang itu. Kedua, tingkat informatif. Pada tingkat ini seseorang belajar sastra untuk memperoleh fakta-fakta, informasi, ataupun materi pengetahuan yang ada dalam karya sastra yang dipelajarinya. Pada tingkat ini, seseorang berasumsi bahwa karya sastra yang dipelajarinya memuat hal-hal yang ingin ia ketahui. Kalau pada tingkat rekreatif seseorang ingin terhibur, pada tingkat ini seseorang ingin memperoleh materi tentang sesuatu hal.

Ketiga, tingkat kreatif. Pada tingkat ini seseorang belajar sastra bertujuan untuk memperoleh bekal dan referensi untuk menulis karya sastra atau kreativitas penciptaan yang lain. Seseorang belajar sastra pada tingkat ini berasumsi bahwa untuk menciptakan karya sastra, seseorang harus belajar tentang karya sastra orang lain. Karya sastra menjadi bahan atau materi dalam proses kreativitas yang dilakukan seseorang. Barangkali juga, seseorang berusaha untuk memperoleh inspirasi, mengadaptasi, ataupun belajar teknik menulis karya sastra. Keempat, tingkat analitis. Tingkat ini dilakukan seseorang dalam konteks akademis dan keilmuan. Para ilmuwan, peneliti, sarjana, dan mahasiswa, merupakan orang-orang yang belajar sastra demi kepentingan keilmuan dan komitmen disiplinnya. Hasil-hasil yang diperoleh pada tingkat ini berupa laporan penelitian, kritik ilmiah, artikel dan esei, ataupun paper bersifat studi. Kelima, tingkat filosofis. Pada tingkat ini belajar sastra merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas persoalan-persoalan kehidupan dan kebenaran. Oleh karena itu, hanya karya-karya sastra tertentu yang dipelajari. Seseorang pada tingkat ini tidak semata-mata untuk belajar sastra. Lebih dari itu, orang tersebut

Page 95: menulis kreatif

95

pada hakikatnya belajar tentang hidup dan kehidupan dari pengalaman orang lain melalui karya sastra (pengarang).

Keenam, tingkat aplikatif. Tingkatan ini melampaui batas-batas karya sastra sebagai karya seni. Karya sastra tidak diberlakukan sebagai karya seni yang imajinatif, estetis, dan fiktif, melainkan karya sastra adalah sumber pencapaian kehidupan yang lebih baik dan luhur. Pada masa silam, tingkatan ini sesungguhnya telah melekat dalam fungsi sosial dan religius karya sastra sebagai satu-satunya ragam wacana masyarakat. Pendidikan, agama, sosial, filsafat, dan nilai-nilai kebenaran, menjadi materi yang diungkapkan dalam karya sastra. Orang belajar tentang hidup, kebenaran, kesempurnaan, etika dan moral, dan agama, melalui karya sastra. Oleh karena itu, sastrawan pada masa itu adalah seseorang yang dianggap memiliki tingkat pengetahuan dan religiusitas yang tinggi. Pada masa sekarang, tingkat aplikatif dalam belajar sastra bertujuan menemukan hal-hal yang positif untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat Sastra sebagai Sebuah Samudra Kalau karya sastra adalah samudra, maka belajar sastra adalah seorang penyelam yang merambah ke kedalamannya untuk menemukan apa yang dicari. Dia bisa saja ingin menemukan keindahan di dasar samudra itu. Dapat pula ingin menemukan hewan atau tumbuhan yang ada di dalamnya. Atau ingin menemukan bangkai kapal yang tenggelam berabad-abad yang lalu. Barangkali juga ingin menemukan batu karang, pasir, bahkan mutiara. Seorang penyelam bisa menggunakan alat apa saja untuk menyelam, asalkan memang memadai untuk kegiatan penyelaman di dalam samudra. Hasil temuannya dapat menjadi bahan pameran di museum oceanologi dan sejarah, laporan petualangan ke samudra, atau laporan reaserch. Karya sastra adalah samudra kreasi imajinasi dari penciptanya. Karya sastra juga samudra kehidupan yang diciptakan pengarangnya. Karya sastra merupakan tiruan atau jiplakan kenyataan (mimetik). Tetapi karya sastra juga merupakan hasil dari khayalan yang secara kreatif diolah dan dibangun menjadi sebuah dunia; dunia fiksi. Psikologi menggambarkan karya sastra adalah samudra (suatu keadaan) kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar. Sementara Sosiologi menggambarkan karya sastra adalah samudra yang bermata ganda bagai sekeping mata uang logam. Di satu sisi, ia adalah dunia imajinasi yang berdiri sendiri, di sisi lain ia menampakan wajah sosial di mana karya sastra itu diciptakan. Bagi seorang arsitek, karya sastra merupakan bangunan yang tersusun atas unsur-unsur yang terstruktur membentuk sebuah sistem. Sedang Pembaca Sastra, karya sastra adalah sebuah samudra yang masih samar-samar dan perlu dikonkritkan oleh pemaknaan pembacanya. Mengapa begitu banyak penjelasan tentang karya sastra? Banyak orang memiliki pandangan bermacam-macam tentang suatu hal. Itu semua tergantung pada cara pandang yang mereka pakai dalam melihat suatu hal itu. Begitu juga

Page 96: menulis kreatif

96

pandangan dan penjelasan tentang karya sastra. Cara pandang orang bermacam-macam terhadap karya sastra. Mereka memiliki dasar filosofis dan konseptual untuk dipakai memahami karya sastra. Oleh karena itu, selama ini usaha untuk mendefinisikan karya mengalami kesulitan. Masing-masing orang memiliki definisi sendiri-sendiri sesuai kebutuhan dan cara pandang masing-masing.

_______________