Menolong_ Perlu Pilih-pilih

3
MENOLONG: PERLU PILIH-PILIH "Kalau kita mau berwudu, air yang tersedia sedikit sekali, hanya pas untuk membasuh anggota wudu yang wajib saja; kemudian, pada saat yang sama ada seorang yang sangat kehausan dan memerlukan air itu untuk diminum; kebetulan orang itu beda agama dengan kita; apa yang harus dilakukan? Melanjutkan berwudu atau memberikan air tersebut kepada yang kehausan tadi?" Seorang jemaah pengajian bertanya kepada ustaz. "Wudu saja. Tidak perlu menolong orang kafir!" Jawan ustaz pada pengajian di sebuah masjid yang menggunakan pengeras suara. Mendengar hal itu, Sri, seorang ibu rumah tangga yang tinggal tidak begitu jauh dari tempat pengajian kaget sekali. Segera ia menerangkan kepada anak-anaknya yang juga mendengar ceramah itu bahwa tidak demikian seharusnya. "Dalam hal ibadah (mahdhah), kita melaksanakannya, sesuai keyakinan, ajaran agama, atau mazhab masing-masing. Akan tetapi, dalam hal muamalah (ibadah ghoir mahdhah), urusan hidup keseharian; kita harus saling menolong dengan siapa pun. Tidak perlu melihat perbedaan suku, bangsa, ataupun agama!" Ceramah itu ia dengar Jumat pagi, 26 April 2013. Keesokan harinya ia bercerita kepada suaminya hal kekagetan itu. "Kok, bisa- bisanya ustaz berfatwa seperti itu." Cerita itu, sampai juga kepada saya. Jadi teringat saya akan sebuah anekdot yang kabarnya berasal dari Almarhum Gus Dur. Kisah ini muncul saat terjadi pertikaian di dalam tubuh Partai Khusus Berkelahi, eh..., maaf..., Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Waktu itu, ada dua kepengurusan PKB, satu di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar, lainnya berada di kubu Alwi Shihab. Sehubungan dengan kekisruhan yang sedang terjadi di partai politik itu, tersebutlah seorang ustaz, bersama santri yang

Transcript of Menolong_ Perlu Pilih-pilih

Page 1: Menolong_ Perlu Pilih-pilih

MENOLONG: PERLU PILIH-PILIH

"Kalau kita mau berwudu, air yang tersedia sedikit sekali, hanya pas untuk membasuh anggota wudu yang wajib saja; kemudian, pada saat yang sama ada seorang yang sangat kehausan dan memerlukan air itu untuk diminum; kebetulan orang itu beda agama dengan kita; apa yang harus dilakukan? Melanjutkan berwudu atau memberikan air tersebut kepada yang kehausan tadi?" Seorang jemaah pengajian bertanya kepada ustaz.

"Wudu saja. Tidak perlu menolong orang kafir!" Jawan ustaz pada pengajian di sebuah masjid yang menggunakan pengeras suara.

Mendengar hal itu, Sri, seorang ibu rumah tangga yang tinggal tidak begitu jauh dari tempat pengajian kaget sekali. Segera ia menerangkan kepada anak-anaknya yang juga mendengar ceramah itu bahwa tidak demikian seharusnya. "Dalam hal ibadah (mahdhah), kita melaksanakannya, sesuai keyakinan, ajaran agama, atau mazhab masing-masing. Akan tetapi, dalam hal muamalah (ibadah ghoir mahdhah), urusan hidup keseharian; kita harus saling menolong dengan siapa pun. Tidak perlu melihat perbedaan suku, bangsa, ataupun agama!"

Ceramah itu ia dengar Jumat pagi, 26 April 2013. Keesokan harinya ia bercerita kepada suaminya hal kekagetan itu. "Kok, bisa-bisanya ustaz berfatwa seperti itu." Cerita itu, sampai juga kepada saya.

Jadi teringat saya akan sebuah anekdot yang kabarnya berasal dari Almarhum Gus Dur. Kisah ini muncul saat terjadi pertikaian di dalam tubuh Partai Khusus Berkelahi, eh..., maaf..., Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Waktu itu, ada dua kepengurusan PKB, satu di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar, lainnya berada di kubu Alwi Shihab.

Sehubungan dengan kekisruhan yang sedang terjadi di partai politik itu, tersebutlah seorang ustaz, bersama santri yang mendampinginya, suatu sore, berjalan di trotoar. Baru saja beberapa langkah kaki mengayun, di depan mereka terjadi kecelakaan lalu lintas. Seseorang terluka dan memerlukan pertolongan segera. Si santri bergegas menghampirinya. Ia menoleh, mohon izin kepada gurunya.

"Tanya dulu, apa agamanya!"

"Apa agama kamu?" tanya santri kepada korban.

"Islam," korban menjawab.

"Islam, katanya, Ustaz. Bagaimana?" santri memohon arahan selanjutnya.

"OK!" kata sang guru.

Page 2: Menolong_ Perlu Pilih-pilih

"Tapi, sebentar," ustaz sepertinya mau menambahkan kata,"...tanyakan, Islamnya NU atau Muhammadiyah!"

"NU, dia bilang."

"Bagus, lanjutkan! Oh iya, coba tanyakan apa partainya! Apakah dia PPP, Golkar, PDIP, atau PKB! Orang NU, kan, ada di mana-mana."

Si murid pun bertanya masalah itu dan si korban, dengan susah payah, menjawab, "PKB!"

"Tolong dia!" kata gurunya.

"Tapi, satu lagi dech! PKB-nya, PKB Muhaimin atau PKB Alwi?"

Ketika disampaikan pertanyaan ini, korban tabrakan itu menjawab, "Allahu Akbar!" Kemudian ia menutupkan matanya, untuk selamanya.

Cerita ini menyindir kita, yang kalaupun menolong orang, mesti ada pamrih di dalam diri. Kita akan membantu seseorang, jika dia ada hubungan dengan kita. Baik itu hubungan keagamaan, kepartaian, kesukuan, kekerabatan, atau ikatan-ikatan lainnya. Kalau tidak ada hubungan itu, tak perlulah kita menolong orang lain. Apa begitu?

Apakah kita tidak pernah mendapat kebaikan dari orang-orang yang berbeda dari kita, baik agama, suku, bangsa, atau pun partai? Apakah ketika kita keluar rumah, lalu naik kendaraan umum (angkot, metro mini, bus, atau taksi), kita harus bertanya dulu, apa agama Pak sopir.

Terus, saat belanja di pasar, di toko, super market; kita bertanya juga partai apa yang diikuti pemilik toko dan para karyawannya?

Ketika istri mau melahirkan dan ditolong bidan, suster, atau dokter; apakah kita perlu tanya dahulu apa suku dan bangsa mereka? Siapa pemilik rumah sakit itu?

Apakah seusia gini, hingga bisa hidup sekarang ini, kita tidak pernah mendapat bantuan orang lain yang berbeda agama, dalam bentuk apa pun?

"Tidak bisa jawab? Pasti!"

Tidaklah pada tempatnya, kita merasa paling suci; dan paling berhak mewakili Tuhan di dunia ini, bahwa kitalah yg paling benar, yang paling layak mendapat pertolongan, yang lain tidak berhak sama sekali! Bahwa dunia hanya milik kita (dan orang hanya mengontrak saja!). Sampai surga pun kita kavling-kavling, hanya untuk kita saja! Betapa besarnya kepala kita! Nauudzubillaahi min dzaalik!

Ciomas, Minggu pagi, 28 April 2013.Salam,

jr