Menjawab Tafsir Misoginis

34
Menjawab Tafsir Misoginis (1) Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al- Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita. Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil. Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju

Transcript of Menjawab Tafsir Misoginis

Page 1: Menjawab Tafsir Misoginis

Menjawab Tafsir Misoginis (1)

Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan

pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan

wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan

berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung

keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan

adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-

ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum

Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita,

bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.

Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera

dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi

setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala

sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan

manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan

insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan

perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan

dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta

menempatkannya secara adil.

Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam

merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak

perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat

mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya

skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana

pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel

ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering

dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran

wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas

perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.

Akar Permasalahan Tafsir Misoginis

Di dalam kitab-kitab hadis dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya

menyandang gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah

merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku tinggalkan

setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari perempuan”.[1]“Sebesar-

Page 2: Menjawab Tafsir Misoginis

besarnya bala tentara setan adalah wanita, marah,…”[2]“Sesungguhnya perempuan

imannya, akalnya,…adalah kurang…”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan

perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…”[4] Semua itu dijadikan senjata

oleh para musuh Islam untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama

tersebut menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang

dipahami oleh orang awam? Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas

bagaimana kita menginterpretasi hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode

tertentu makna yang lebih dalam dari teks tersebut dapat dipahami?

Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita

ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang

tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan

lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa

sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap

sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil

secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam

dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.

Penarikan kesimpulan semacam ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Kenapa?

Jika kita benar-benar ingin mengetahui perempuan dalam prespektif Islam, maka kita

harus menelaah ajaran Islam itu sendiri dari sumber-sumbernya. Dengan kata lain,

kita harus mengetahui apa yang dijadikan sumber dan tolok ukur dalam Islam. Kalau

yang dijadikan sumber dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis, maka harus merujuk

pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, setelah itu baru dapat menarik

kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan. Apakah

dibenarkan dengan hanya melihat sebuah hadis yang belum jelas apakah hadis

tersebut memenuhi standar atau tidak, legal atau tidak, lalu kita to the point

mengambil kesimpulan dan mengatakan, “Seperti inilah Islam memandang

perempuan!”

Misoginis, Sebuah Definisi

Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis,

liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu,

untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa

aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang

berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5] Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga

Page 3: Menjawab Tafsir Misoginis

ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan,

“misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang

“misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara

terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran

pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan,

seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.[6]

Menjawab Tafsir Misoginis

Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis

kontroversial sebagai berikut: Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya …adalah

kurang.[7]Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya

lemah…[8]Apakah teks-teks seperti di atas menunjukkan kekurangan perempuan

secara eksistensial? Jika teks-teks tersebut menunjukkan kekurangan eksistensial

perempuan, lantas bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti Maryam as dan

Asyiah as, dimana Allah swt telah memuji mereka dalam al-Qur’an. Atau juga seperti

sosok Khadijah as, dan Fathimah Zahra as dimana Allah swt telah memuji mereka

melalui Rasul-Nya, dsb. yang merupakan manusia sempurna (insan kamil)? Padahal,

konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus

sempurna juga?

Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat beberapa langkah yang harus

dilalui: Pertama, menganalisa sanad hadis tersebut, apakah memenuhi standar legal

yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak terdapat masalah,

lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, harus memahami muatan hadis tersebut.

Untuk memahami muatan teks suatu hadis, terutama seperti hadis di atas, kita harus

melihat semua teks-teks hadis yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di

antara hadis-hadis tersebut atau tidak? Ketiga, melihat situasi dan kondisi ketika

riwayat tersebut disampaikan oleh perawi hadis, sehingga dapat lebih mudah

memahaminya. Inilah langkah-langkah umum untuk memahami hadis dengan benar.

Kembali kepada hadis di atas, benarkah dispensasi pada masa haid

menyebabkan kekurangan iman? Berkenaan dengan kekurangan iman perempuan,

terdapat tiga hadis yang menggunakan ungkapan: “memiliki kekurangan dan

kelemahan dari sisi agama”, dan dalam satu riwayat lain menggunakan ungkapan

“memiliki kekurangan dari sisi iman”. Sedang maksud dari kekurangan sisi agama di

sini adalah berkurangnya taklif (kewajiban syar’i) dimana hal ini sama sekali tidak

Page 4: Menjawab Tafsir Misoginis

berhubungan dengan derajad kemuliaan. Dispensasi yang diberikan Allah kepada

wanita untuk tidak melaksanakan shalat dan puasa pada masa menstruasi dinyatakan

sebagai kekurangan di dalam bahasa riwayat tersebut.

Sebenarnya dengan adanya dispensasi tersebut (hilangnya beberapa kewajiban

di saat menstruasi) tidak menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan, oleh karena;

Pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid

sebenarnya adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan. Karena bukankah Tuhan

yang melarang wanita untuk shalat dan puasa dalam keadaan itu? Tidak ada yang

lebih bernilai kecuali ketaatan terhadap perintah-Nya. Bukankah Iblis telah beribadah

hingga beribu tahun tapi pada akhirnya terusir karena menolak perintah Tuhan untuk

bersujud kepada Adam?[9]

Kedua, meskipun perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah (shalat

dan puasa) tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai masa taklif, dimana

perempuan telah mencapai usia balig pada umur 9 tahun sedang laki-laki lima belas

tahun.[10]Pada usia 50 tahun seorang perempuan akan memasuki masa menopause

hingga tiada lagi halangan untuk melaksanakan ibadah secara penuh. Dan bukankah

pada masa hamil dan menyusui perempuan tetap dapat melaksanakan kewajibannya?

Selain itu, pada masa kehamilan dan menyusui, Tuhan memberikan pahala istimewa

kepada para wanita sebagaimana diisyaratkan pada beberapa riwayat. Rasul

bersabda:“Pahala wanita hamil seperti pahalanya orang yang berjihad di jalan Allah.

Melahirkan menyebabkan perempuan terampuni dari dosa-dosanya, begitupun pahala

orang yang menyusui seperti pahala orang yang membebaskan budak di jalan

Allah”[11]Oleh karena itu, dari sisi kuantitas waktu pelaksanaan peribadatan antara

laki-laki dan perempuan tidaklah jauh berbeda.

Ketiga, dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan; “Perempuan

mempunyai kekurangan dari sisi iman” ialah ingin mengisyaratkan bahwa dengan

adanya dispensasi dalam beberapa jenis peribadatan akan menjadi lahan (baca:

potensi) untuk melemahnya iman. Untuk menghindari hal tersebut, Rasulullah saw

memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid, ketika waktu shalat tiba

hendaknya ia membersihkan diri kemudian berwudlu. Setelah itu menghadap kiblat

untuk berdoa’ dan bermunajat kepada Allah swt.[12] Dengan melakukan hal ini, maka

wanita dapat mengganti kekosongan hubungan spiritual dengan Tuhannya yang

terputus akibat menstruasi, melalui jenis ibadah lain.

Page 5: Menjawab Tafsir Misoginis

Keempat, kehendak alami Tuhan (iradah takwini) memang menghendaki penciptaan

sistem anatomi tubuh khusus bagi perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Pada

perempuan, harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya

pembuahan, kehamilan dan lahirlah generasi penerus. Dengan kata lain, menstruasi di

luar kehendak perempuan dan sudah menjadi suratan ciptaannya. Mungkinkah Tuhan

menghukumi sesuatu dengan positif dan negatif sementara hal tersebut di luar

kehendak dan ikhtiyar manusia? Tentu jawabannya adalah tidak.

Kelima, kita dapat menelaah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persamaan

nilai serta kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam surat al-

Ahzab: 35, Ali-Imran:105, al-Hadid:12, an-Nahl:97 dan lain-lain. Bahkan al-Qur’an

dengan sangat jelas menyatakan istri Fir’aun sebagai suriteladan bagi orang-orang

mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam

ayat berikut:“Dan Allah membuat istri fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang

beriman…”[13] Kalaulah perempuan secara umum imannya kurang, mungkinkah

sebagian mereka dapat dijadikan teladan bagi orang-orang beriman? Begitupula jika

kita menelaah hadis-hadis lain yang menjelaskan tentang keagungan para wanita yang

sempurna imannya. Dalam sebuah hadis Rasul bersabda:

“Derajat Fathimah sejajar dengan Ali, serta lebih utama dari para lelaki yang ada pada

zamannya…”.[14] [islamalternatif.com]

Perempuan dalam Islam: Hadith Misoginis versi Fatima Mernissi

Kajian, perbincangan, atau diskursus masalah perempuan, merupakan topik

yang terus hidup sejak lama sampai sekarang. Hal ini berkembang seiring dengan

pembahasan hak-hak asasi manusia, yang tidak hanya berimplikasi pada tataran

politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk

Islam, dan diantaranya adalah permasalahan perempuan dalam Islam.

Islam muncul di saat perempuan mengalami puncak keteraniayaan, dimana

hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka

dapatkan. Islam datang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan menuju cahaya.

Islamlah yang mengangkat derajat dan martabat perempuan dan memberikan hak-hak

Page 6: Menjawab Tafsir Misoginis

mereka secara adil. Islam menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki,

seperti firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujârah ayat 13,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara

kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Artinya derajat laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pandangan Allah,

ketaqwaan lah yang membedakan satu sama lainnya. Begitu pula, banyak hadis yang

menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.

Namun demikian, ada saja dikalangan orang Islam sendiri yang dengan

pemahamannya yang liar mendkonstruksi ajaran Islam, dan berakhir dengan

menyalahkan ajaran Islam. Diantaranya adalah Fatima Mernissi, yang

mengungkapkan keresahannya tentang peranan perempuan dalam Islam,

mempertanyakan hadis-hadis yang dianggap meminggirkan perempuan, yang dikenal

sebagai ayat-ayat misoginis.

Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang

berarti ”kebencian terhadap perempuan” (Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus

Inggris-Indonesia, 1986, Jakarta, Gramedia, hal: 382). Dalam kamus ilmiah popular

terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci

perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan

perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”.

Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin

sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat

perempuan.

KAJIAN HADIS-HADIS MISOGINIS[1]

Oleh : Hasani Ahmad Syamsuri[2]

Pendahuluan dan Wacana Awal

Akhir-akhir ini kajian keislaman semakin menarik dan banyak bermunculan

seiring dengan kehadiran wacana gender dalam studi Islam. Diskursus tersebut

merupakan suatu keharusan karena merupakan tuntutan kemanusiaan atas berbagai

kebutuhan kehidupan keseharian-nya. Dalam masalah keagamaan hal yang demikian

Page 7: Menjawab Tafsir Misoginis

untuk dapat lebih membumikan pesan-pesan yang ada di dalam dasar idealnya (al-

Qur’an dan hadis). Perbedaan gender bukan merupakan suatu masalah yang serius

manakala tidak menimbulkan berbagai persoalan seperti ke-senjangan keadilan.

Namun, pada kenyataannya adanya perbedaan gender acapkali menyebabkan adanya

persoalan ketidakadilan baik di pihak laki-laki sendiri dan bahkan juga kebanyakan

terjadi terhadap perempuan.

Dalam hal ini, gender merupakan sebuah persoalan sosial budaya yang

tentunya tidak semua orang mampu dengan jernih memahami adanya ketidakadilan

gender. Persoalan tersebut akan semakin rumit manakala terkait erat dengan doktrin

ajaran agama. Untuk memahami sejauh mana ada tidaknya kesenjangan gender,

menurut Mansour Fakih paling tidak dapat dilihat dalam bidang: Marginalisasi

perempuan, Subordinasi, Streotipe, Kekerasan dan Beban kerja yang berlebihan.

Piranti-piranti dalam melihat adanya ketidakadilan gender di atas dijadikan

pedoman dalam menelaah teks-teks ajaran agama. Tujuan tidak lain adalah untuk

kemaslahatan umat manusia atau dalam bahasa al-Syatibi adalah li masalih al-ibad fi

daraini. yang dapat terwujud manakala dipenuinya kebutuhan daruri manusia yakni

menjaga agama, harta, keturunan, jiwa dan akal. Paradigma tersebut saat ini perlu

penyempurnaan karena banyak problem kehidupan kemanusiaan yang lebih urgen

termasuk adalah ketidakadilan gender. Persamaan (equality), keadilan, HAM dan

menjaga lingkungan hidup sekarang ini merupakan suatu yang qat’i yang harus

terwujud bagi kemanusiaan. Adapun sarana untuk mencapai hal tersebut dapat

berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Dalam berbagai literatur diungkap tentang bagaimana Islam mengentaskan

berbagai ketidakadilan terutama jika dikaitkan dengan persoalan kaum perempuan

dari penindasan. Adanya pembatasan poligami dan berbagai ajaran Islam lainnya pada

masa lalu merupakan suatu hal yang luar biasa dilakukan oleh Islam yang

membedakan dengan agama lainnya. Berbagai ajaran tersebut sukses dapat diakses

oleh umat Islam berkat adanya penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dari

sini dapat dinyatakan bahwa Rasulullah saw. merupakan mubayyin atas apa yang

terdapat dalam al-Qur’an(expounder of the Qur’an).

Kajian masalah hadis mesoginis, menjadi topik yang masih hangat, seiring

dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada

permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum

bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-

Page 8: Menjawab Tafsir Misoginis

relung keyakinan pribadi pada setiap orang, yang tak ayal menimbulkan perdebatan.

[3]

Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha

membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an,

menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan

ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas

dianggap meminggirkan wanita.[4]

Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera

dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi

setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala

sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan

manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan

insani. Pada saat itupula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan

perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan

dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta

menempatkannya secara adil.

Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam

merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak

perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat

mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya

skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana

pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini.

Sudah menjadi kesepakatan bahwa hadis merupakan sumber hukum yang

kedua setelah al-Qur’an. Peranan hadis adalah sangat besar sekali, karena sebagai

penjelas atas hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an dan bahkan lebih dari itu dapat

menjadi rujukan utama manakala di dalam al-Qur’an tidak ada ketentuannya. Kajian

atas hadis Nabi Muhammad saw. dirasa masih ketinggalan dibandingkan dengan

kajian dalam al-Qur’an. Padahal, realitas masyarakat Islam telah berubah dari waktu

ke waktu dan tempat ke tempat sehingga memungkinkan adanya pemahaman yang

baru dan lebih membumi.

Makalah ini mencoba menganalisa secara objektif beberapa teks di dalam

doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk

menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks

itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan

Page 9: Menjawab Tafsir Misoginis

keyakinan atas doktrin tersebut. Tulisan ini akan membahas tentang format penelitian

hadis-hadis misoginis. Kajian dilakukan sebagaimana penelitian hadis yang ada

dengan memberikan nuansa gender maintreaming berikut langkah-langkah yang

dilakukan dan contoh-contohnya.

Misoginis, Sebuah Definisi

Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis,

humanis, liberalis dan lain lain) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris.

Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke

dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata

“misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5]

Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti:

benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan

perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki

yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga

digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir

memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam

beberapa teks hadis di atas.[6] Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan orang yang membenci wanita.[7]

Istilah hadis sebagaimana diketahui adalah sesuatu yang disandarkan kepada

Rasulullah saw. baik ucapan, perbuatan maupun taqrir. Istilah hadis kemudian

dikaitkan dengan istilah misoginis.

Istilah “misoginis” yang membenci perempuan masih menimbulkan banyak

perdebatan panjang. Fungsi Rasulullah saw. diutus Allah adalah tidak lain

mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Banyak contoh

yang dilakukan Rasulullah saw. dalam konteks semacam hal itu seperti pembatasan

perkawinan, perbudakan dan sebagainya. Adanya teks-teks hadis yang “misoginis”

merupakan respon atas masyarakat pada saat itu yang berbudaya patriarkhi dan

menindas perempuan. Bukankan perempuan pada masa Jahiliyah tidak dihargai sama

sekali. Kelahiran anak perempuan merupakan aib dan oleh sebab itu di antara mereka

ada yang mengkubur hidup-hidup perempuan dengan harapan tidak menanggung

beban malu. Seiring dengan fajar Islam yang ditandai dengan dengan diutusnya

Rasulullah saw. secara pelan-pelan bentuk penindasan atas perempuan dihilangkan.

Oleh karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka

penulisan istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas, kajian atas

Page 10: Menjawab Tafsir Misoginis

hadis-hadis “misoginis” perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah Islam yang

sesungguhnya.

Arti Penting Penelitian Hadis

Sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan) hadis bukan merupakan suatu

pelalaian terhadap hadis. Keberadaan hadis telah didudukkan oleh sahabat dengan

baik. Mereka dengan sangat hati-hati dalam mengambilnya dalam menetapkan hujjah.

Namun, niat baik tersebut tidaklah disambut baik oleh mereka yang ingin merusak

Islam dan mereka yang berusaha menjustifikasi dan melegitimasi pemikirannya. Oleh

karena itu, muncullah berbagai upaya pemalsuan hadis dan inkar al-sunnah.

Fenomena inkar al-sunnah ada di setiap zamannya dengan bentuk yang berbeda-beda.

Mereka ini merasa cukup dengan al-Qur’an saja.

Berbagai penjelasan Rasulullah saw. atas al-Qur’an dan berbagai persoalan

kehidupan umat Islam lain yang tidak diakomodir oleh al-Qur’an, maka dimuat dalam

hadis dan atau sunnah yang sangat berperan dalam kehidupan umat Islam awal.

Pijakan umat pada generasi sesudah Rasulullah saw. adalah terletak pada pengganti

Rasulullah saw. Keberadaan hadis terus dijaga oleh sahabat dan generasi sesudahnya.

Seiring dengan luasnya kekuasaan Islam sunnah akhirnya meluas ke berbagai

daerah dan disepakati. Oleh karena itu, hadis berkembang luas dan ia ada merupakan

suatu fakta yang tidak terelakkan dalam sejarah. Mereka ini sangat hafal terhadap apa

yang didengar dan dilihat dari anutan mereka. Melalui fenomena ini Fazlur Rahman

menganggap berdosa secara historis. Namun, kontroversi yang muncul adalah kapan

hadis dibukukan? Ini merupakan perdebatan yang sengit di kalangan orientalis dan

pemikir Islam. Dari sisi kesejarahan inilah memunculan pentingnya penelitian hadis.

Sampai di sini, sunnah sudah menjadi opini publik sampai pada abad ke-2 H.

sunnah sudah disepakati oleh kebanyakan ulama dan dipresenstasikan sebagai hadis.

Hadis adalah verbalisasi sunnah. Oleh karena itu, Fazlur Rahman menganggap upaya

reduksi sunnah ke hadis ini telah memasung kreativitas sunnah dan menjerat ulama

Islam dalam memasang rumusan yang kaku.

Fazlur Rahman lebih jauh mengungkap kekakuan dalam hal ini membuat

mereka akan terjerembab pada vonis yang tidak sedap, yaitu inkar al-sunnah. Inilah

yang membedakan dengan kajian terhadap al-Qur’an. Penafsiran seseorang terhadap

al-Qur’an bagaimanapun keadaannya baik liberal maupun sangat liberal tidaklah

dianggap sebagai sebuah penyelewengan sehingga dijuluki sebagai seorang yang

ingkar al-Qur’an.

Page 11: Menjawab Tafsir Misoginis

Kaum muslimin sepakat menerima sunnah dan menisbatkannya kepada Nabi

Muhammad saw. Kemudian sunnah tersebut diformulasikan dalam bentuk verbal dan

kemudian disebut dengan istilah hadis. Dari sini jelas, bahwa sunnah merupakan

proses kreatif yang terjadi terus menerus sedangkan hadis adalah pembakuan secara

kaku.

Berbeda dengan pemikiran Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah

artikel yang berjudul “Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya?” dimuat dalam buku

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)

mengemukakan sebaliknya.[8] Ia tidak setuju tentang yang pertama kali beredar di

kalangan kaum muslimin adalah sunnah. Baginya, yang pertama kali adalah hadis.

Tesis ini dibuktikan dengan data historis di mana ada sahabat yang menghafal dan

menulis ucapan Nabi Muhammad saw. Dus, sejak awal, hadis memang sudah ada.

Hadis sudah terbukukan dalam berbagai kitab hadis yang jumlahnya banyak

dengan ragam metode penulisannya. Dengan berbagai trend besar di dalamnya. Tentu

saja, kitab-kitab yang beredar di masyarakat tersebut tidak semuanya bernilai sahih.

Masih banyak hadis-hadis yang populer di masyarakat ternyata jika diteliti secara

mendalam maka kualitasnya lemah (da’if). Kenyataan tersebut belum menyentuh

pada persolan esensial dari sebuah hadis. Karena diskursus penelitian hadis (tahqiq al-

hadis) hanya berkutat pada persoalan keabsahan suatu hadis dilihat dari anasirnya.

Inilah yang banyak dilakukan ulama terdahulu dan acapkali masih sering dilakukan

oleh para pakar sampai saat ini karena tidak samanya paradigma yang digunakan oleh

ulama dalam menentukan kualitas hadis.

Menjawab Hadis-Hadis “Misoginis”

Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis kontroversial

sebagai berikut:

1. Hadis tentang wanita diciptakan dari tulang rusuk

علي بن حسين حدثنا قاال حزام بن وموسى كريب ابو حدثنا�دة عن��رة عن زائ��جاعي ميس��ازم أبي عن اآلش� أبي عن ح

�ه الله صلى الله رسول قال قال عنه الله رضي هريرره� علي�اء استوصوا وسلم��ان بالنس��ة ف��لع من خلقت المرئ� وان ض�ان أعاله الضلع شيءفي اعوج��ه ذهبت ف��رته تقيم� وان كس[9الشيخان(] )رواه بالنساء فاصتوصوا أعوج يزل لم تركته

Page 12: Menjawab Tafsir Misoginis

Artinya: Abu Kuraib dan Musa bin Hizam menceritakan kepada kami, keduanya

berkata: menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Zaid, Maisaroh al-Asyja’I,

Abi Hatim dan Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Berwasiatlah

kepada para wanita karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya

tulang rusuk itu yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila kamu ingin

meluruskannya, maka kamu harus mematahkannya dan bila kamu membiarkannya,

maka tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah yang baik kepada wanita. (H.R.

Syaikhani[10])

Hadis tersebut di atas tampaknya dipahami oleh para ulama terdahulu secara

harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metaforik,

bahkan ada yang menolak kesahihan hadis tersebut.

Misalnya Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan al-Quran mengatakan,

ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan pria. Bila tidak

disadari hal ini, akan terjadikan pria bersikap tidak wajar meskipun kaum pria

berupaya, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan wanita,

sebagaimana tidak berhasilnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[11]

Dikemukakan pula oleh teolog muslimah Fatima Mernissi dalam Women and

Islam: An Historical and Theological Enquiry keduanya menolak pandangan

penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Dengan alasan bahwa, konsep semacam ini

dating dari Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang penuh kontroversi. Karena itu,

keduanya secara tegas menolak otentisitas dan validitas hadis tentang penciptaan ini,

meski bersumber dari Sahih Bukhari mapun Sahih Muslim.[12]

Menurut hemat penulis, secara rasional hadis di atas bias didekati dengan dua

pendekatan. Pertama, tidak bisa dipahami dengan makna harfiah. Oleh karena itu,

diperlukan interpretasi yang bisa dimengerti secara metaforik berisi peringatan kepada

kaum pria agar menghadapi kaum wanita dengan bijaksana, tidak kasar dan tidak

keras. Hal ini karena kita meyakini bahwa hadis sahih Bukhari ini sanadnya sahih.

Sementara matan hadis Bukhari adalah suatu hadis yang belum tentu qathiy al-wurud

dalalahnya, sehingga bias saja hadis ini ditolak.

Kedua, hadis sahihain yang ada di atas, tidak diterjemahkan dengan makna

harfiah. Misalnya, Ibnu Hajar dalam syarah Bukhari, menyatakan bahwa sabda

rasulullah tersebut, berkaitan dengan wasiat sehingga ia mengulangi kata wasiat ini

dalam satu hadis. Ini menunjukkan bahwa makna thalab (huruf “sin”) mempunyai arti

cariah wasiat dari dirimu sendiri sehubungan dengan hak-haknya, atau carilah wasiat

Page 13: Menjawab Tafsir Misoginis

dari orang lain tentang wanita. Bahkan dapat diartikan “terimalah wasiatku ini tentang

wanita dan lakukanlah wasiat ini; sayangilah mereka dan bergaullah dengan mereka

dengan sebai-baiknya.[13]

Demikian pula dalam syarah Umdat al-Qari karya al-Aini dikatakan bahwa

maksud hadis tersebut adalah “carilah wasiat dari dirimu sendiri tentang hak-hak

mereka (kaum wanita) dengan baik”. Ini mengandung makna anjuran untuk berbuat

baik kepada kaum wanita.[14]

2. Hadis tentang Kesetaraan Laki-laki dan perempuan Sebagai Hamba

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’I, Abu Dawud, Ibn

Majah, dan Ahmad bin Hanbal yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki

kelebihan dari segi Ibadah. Hadis itu adalah sebagai berikut:

�ا: عن الله رضي عمر بن عبدالله حديث��ول عنهم��ه رس� الل�لم عليه الله صلى��ه وس��ال أن��ا ق��ر ي��اء معش��دقن النس� تص

�ة فقالت النار أهل أكثر رأيتكن فاني االستغفار وأكثرن� امرئ�ال النار أهل أكثر الله رسول يا لنا وما جزلة منهن��ثرن ق� تك�ير وتكفرن اللعن��ا العش��ات من رأيت وم��ل ناقص� ودين عق�ان الله رسول يا قالت منكن لب لذي أغلب��ل ومانقص� العق�دل امرأتين فشهادة العقل نقصان أما قال الدين��هادة تع� ش�ا الليالي وتمكث العقل نقصان فهذا رجل��لى م��ر تص� وتفط.الدين فهذا رمضان في

Artinya: Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar r.a. katanya: Rasulullah saw. Telah

bersabda: Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar.

Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan

yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum

perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah saw., bersabda:

kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan

akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan

itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?

Rasulullah saw., bersabda: maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah saw.,

bersabda: maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama

dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu

juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya

Page 14: Menjawab Tafsir Misoginis

kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan

kekurangan agama.[15]

Kata kekurangan akal dan agama dalam hadis ini tidak berarti perempuan

secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui prestasi dan kreatifitas akal

dan ibadah laki-laki. Hadis ini menggambarkan keadaan praktis sehari-hari laki-laki

dan permpuan di masa Nabi, laki-laki memperoleh otoritas persaksian satu berbanding

dua dengan permpuan, karena ketika itu fungsi dan peran public berada di pundak

laki-laki. Kekurangan agama terjadi terjadi pada diri perempuan karena memang

hanya perempuanlah yang menjalani masa menstruasi. Laki-laki tidak menjalani

siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan ibadah-ibadah wajib tanpa

alas an lain yang dapat dibenarkan. Peniadaan sejumlah iabadah dalam masa

menstruasi, seperti shalat dan puasa, adalah dispensasi khusus bagi perempuan dari

Tuhan. Mereka dikenakan akibat apa pun dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan akibat

apa pun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi.

3. Hadis tentang Perhiasaan adalah Istri yang Shalihah

�داني نمير بن عبدالله بن محمد حدثني��دثنا الهم��ه ح� عبدالل�د بن��وة يزي��برني حي��رحبيل أخ��ريك بن ش��ه ش��مع أن��ا س� أب

�ه عن يحدث الحبلي عبدالرحمن��ر بن عبدالل��ول أن عم� رس�اع وخير متاع الدنيا قال وسلم عليه الله صلى الله��دنيا مت� ال

[16مسلم(] الصالحة. )رواه المرئةArtinya: Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani menceritakan

kepadaku, Abdullah bin Yazid Hiwah menceritakan kepadaku, Syarahbil bin Syarik

member kabar kepaku, bahwasannya Aba Abdurrahman Al-Hubli mendengar cerita

dari Abdullah bin Amar, bahwasannya Rasulullah Saw., bersabda Dunia adalah

perhiasan , dan sebaik-baik perhiasan itu adalah wanita shalihah. (H.R. Muslim).

Sebagai agama dan aliran menganggap wanita sebagai penggoda atau wanita

adalah makhluk penghibur baik untuk anak-anak maupun suami atau pihak-pihak lain

yang membutuhkan jasa baik mereka. Karena itu, ada sebagian orang yang

menganggap bahwa wanita adalah sebagai pemuas nafsu belaka atau sebagai bumbu

masak atau pembantu rumah tangga.

Islam telah mengangkat kedudukan seorang wanita sebagai istri dan

menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad. Rasulullah bersabda

“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah orang orang yang paling baik

Page 15: Menjawab Tafsir Misoginis

akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik

kalian adalah yang paling baik (dalam bergaul) dengan istrinya.[17] Dan ini

merupakan hak pribadi sang istri. Jika disuruh dalam hal-hal yang maksiat, maka

tidak perlu didengar dan ditaati. Bahkan, al-Qur’an memberikan penekanan terhadap

hak-hak wanita sebagai istri sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Baqarah

2:228, Dan bagi para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang makruf”. Bahkan di ayat yang lain, suami istri

diumpamakan bagaikan pakaian. Surat al-Baqarah 2:187 yang artinya: “mereka itu

pakaian kamu, dan kamu pakaian mereka”. Islam menyatakan bahwa pria dan wanita

diciptakan untuk satu sama lain, yang satu melindungi yang lain dan saling

membutuhkan.

Menurut Hamka, surat al-Baqarah 2:187 ini merupakan kalimat yang sangat

halus dan mendidik sopan santun di antara manusia; bila suami istri bersatu, mereka

pakai memakai bahkan menjadi satu tubuh (sehingga disebut setubuh dalam bahasa

kita).[18]

Islam tidak pernah menghilangkan kepribadian seorang wanita sebagai

seorang istri hanya karena telah melangsungkan perkawinan. Islam juga telah

meleburnya di dalam kepribadian sang suami meski tidak melepas bebas seperti yang

biasa di Barat, yang menjadikan wanita bebas melangkah, Tidak dapat dikenal nasab,

gelar keluarga, bahkan tidak dikenal juga bahwa dia istri seorang.[19]

Ajaran islam telah menentukan kepribadian seorang wanita sebagai istri. Kita

dap0at mengenal nama istri-istri Rasul dan nama nasab mereka.[20] Namun sebagian

masyarakat, keterkurungan atau keterikatan seorang istri dalam keinginan dan

kekuasaan sang suami masih terus berjalan sampai sekarang.

4. Hadis tentang Wanita adalah Aurat

�ام حدثنا عاصم بن عمرو حدثنا بشر بن محمد حدثنا� عن هم�ادة��ورق عن قت��وص أبي عن م��ه عن اآلح��بي عن عبدالل� الن�لى��ه ص��ه الل��لم علي��ال وس��رأة ق��ورة الم��اذا ع��رجت ف� خ

[21غريب] حديث هذا عيسى أبو قال الشيطان استشرفهاArtinya: Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Umar bin Asim,

menceritakan kepada kami, Himam menceritakan kepada kami dari Qatadah, Musa

dari Musa, dari Abi al-Ahwas, dari Abdullah dari Nabi Saw., bersabda: Sesungguhnya

Page 16: Menjawab Tafsir Misoginis

wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar dari rumahnya maka diincar-incar oleh setan.

Menurut Abu Isa Hadis ini termasuk hadis gharib.

Wanita dianggap sebagai sumber fitnah dan birahi para kaum pria, bahkan

dianggap fitrah atau sudah menjadi kodratnya. Dikatakan bahwa barang siapa yang

menyangkal kebenaran ini, bukan hanya bodoh, akan tetapi adalah hipokrit dan

menipu diri sendiri.[22]

Akan juga berimplikasi negative ketika dikatakan bahwa akal wanita tidak

seperti akal pria, menjadikan wanita menjadi pasif. Ini berkelanjutan kepada

kehidupannya yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pasif, akan Nampak dalam

kehidupan berkeluarga karena kepasifan dari seseorang wanita yang dimiliki,

dikuasai. Sekalipun jatuh cinta, misalnya, wanita tidak pernah menhgungkapkan

perasaannya. Dia hanya dipacari, kiemudian disunting atau dipinang dan diperistri.

Setelah diperistri, secara otomatis dia masuk dalam wilayah kekuasaan suami. Dia

tidak lagi disebut si Anu, Sri, Siti, tetapi nyonya si A. setelah bergelar nyonya, dia

harus melayani suaminya, mengatur rumah tangga. Bila dia cerai maka disebutlah

janda, sedang suami jarang bergelar duda, dan seterusnya.

Perbedaan gender ini, mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang

dianggap oleh masyarakat sebagai ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan

stereotype yang dilekatkan pada kaum hawa atau wanita yang sebenarnya hanyalah

rekayasa social sebagai teori nature atau biasa di sebut dengan social contruction,

akibatnya terkukuhkan menjadi kodrat cultural yang dalam proses berabad-abad telah

mengakibatkan terpinggirnya posisi kaum perempuan.

Menurut hemat pemakalah, anjuran membolehkan wanita mempunyai peran

ganda yakni sebagai istri dan ibu rumah tangga serta pendidik di luar rumahnya,

dengan syarat tetap tidak menggangu peran domestiknya.

5. Hadis tentang Pemimpin Perempuan

Islam tidak menghalngi kaum wanita untuk memasuki berbagai profesi sesuai

dengan keahliannya. Seperti menjadi gutu atau dosen, dokter, pengusaha, menteri,

pengusaha, hakim dan lain-lain. Bila dia mampu, boleh menjadi perdana menteri atau

presiden, asalkan dalam kepemimpinannya memperhatikan hokum-hukum syariat

Islam. Misalnya, tidak terbengkalai urusan-urusan rumahtangganya, harus ada

persetujuan dari suami, bila dia bersuami.

Hanya saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hokum

hokum tentang boleh tidaknya kaum wanita untuk menjadi hakim dan top leader

Page 17: Menjawab Tafsir Misoginis

(perdana menteri atau kepala Negara), karena adanya hadis sahih yang diriwayatkan

oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’I, dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah Saw., bersabda:

امرءة أمرهم ولو القوم يفلح لنArtinya: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin

mereka seorang wanita”.[23]

Tidak ada perbedaan pendapat pendapat di kalangan ulama bahwa hadis

tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala Negara Islam (khalifah);

ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wanita dalam menjadi qadi

(hakim). Menurut jumhur ulama tidak boleh, Abu Hanifah membolehkan hakim

wanita dalam maswalah perdata dan tidak membolehkan dalam masalah jinayah.

Sementara Muhammad Jarir al-Thabari membolehkan hakim wanita secara mutlak.

Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn al-hazm dari aliran al-Zahiriyyah.[24]

Dr. Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati mengatakan:

Hadis tersebut di atas, melarang wanita sendirian menentukan urusan

bangsanya, sesuai dengan asbab al-wurud hadis itu, yaitu telah diangkatnya Bint

Kisrah untuk menjadi ratu/pemimpin Persia. Sudah diketahui bahwa sebagian besar

raja-raja pada masa itu, kekuasaannya ditangan sendiri, hanya ia sendiri yang

mengurusi rakyat dan negerinya, ketetapan tidak boleh digugat.[25]

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa wanita boleh menjadi

kepala Negara yang penting adalah bahwa wanita yang diusung menjadi kepala

Negara harus memenuhi syarat-syarat yang di sebut di atas. Dalam hal ini tentu saja

selama selama masih ada kaum pria yang lebih mampu, maka sebaiknya jabatan itu

diserahkan kepada pria. Persoalannya adalah, siapa antara pria dan wanita yang lebih

klayak dan pantas untuk menjadi top leader. Wallau a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola

1994

Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.

al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin

Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Kairo: al-Sya’b, t.t.

Al-Aini, Umdat alQari, Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.

Page 18: Menjawab Tafsir Misoginis

Al-Nasa’I, Abu Abdurrahkam bin Syuaib, Sunan al-nasai, Mesir: Musthafa al-bab al-

halabi, 1964

Abu Dawud, al-Sijastani Sulaiman bin al-Asy’at Abu, Sunan Abu Dawud, Mesir:

Musthafa al-bab al-Halabi, 1952

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, cet.

kedelapan, h. 660

Mernissi, Fatimma, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, USA:

Oxford, 1991

Hamka, Tafsir al-Azahar, Jakarta: Pustaka, 1988

Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.

al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: Isa al-bab al-halabi, 1467.

Echols, Jhon, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia1986

Rakhmat, Jalaluddin, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

al-Mu’ati, Kamal Jaudah Abu, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, kairo: Dar al-

Hadi, 1980

al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Musthafa al-bab

al-Halaby, 1975

al-Qardhawi, Yusuf, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, Kairo: Wahbah,

1996

M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Surabaya: Al-IHlash, 1987

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001

Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996

Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran,

Yogyakarta: LKiS, 1999

[1] Makalah ini disajikan pada mata kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer

Senin, 30 Maret 2009, yang diasuh oleh DR. H. Syahabuddin, M.A.

[2] Pemakalah adalah Mahasiswa S3 UIN Jakarta, konsentrasi Tafsir Hadis, TA 2008

[3] Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari

segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan

anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat

perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin

Page 19: Menjawab Tafsir Misoginis

secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya

terhadap perbedeaan jenis kelamin inilah yang disebut dengan jender. lihat lebih

lanjut, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001),

cet. 2, h. 1.

[4] Sejak lima belas abad yang lampau, islam telah menghapuskan diskriminasi

berdasarkan kelamin. Dalam sejarah, Islam lahir ditengah masyarakat jahiliyyah,

suatu masa ketika seorang ibu melahirkan bayi wanita maka dikuburkan dalam

keadaan hidup-hidup atau jika dibiarkan hidup, ia akan menaggung cercaan, dan

hidup dalam keadaan hina. Dan perlakuan ini dikecam keras oleh Islam. Firman

Allah: Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)

anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia

menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang

disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung

kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah,

alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Q.S. al-Nahl/16: 58-59). Lihat,

Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran,

(Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. 1, h. 1

[5] Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta,

Gramedia1986), h. 382.

[6] A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:

Arkola 1994), h. 473.

[7] Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996,

cet. kedelapan, h. 660

[8] Jalaluddin Rakhmat, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

[9] Lihat, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin

Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Sya’b, t.t.), jilid 3, juz 7, h. 34,

lihat pula, Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.), h. 625.

[10] Syaikhani / Bukahri Muslim adalah matan Bukhari dan Muslim sama sedang

sanadnya ada yang berbeda. Sedang Muttafaq alaih, adalah sanadnya berbeda antara

Bukahri dan Muslim sedang matannya sama. Dr. Syahabuddin, M.A., Hasil Penelitian

Pribadi, disampaikan dalam kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer.

[11] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 300

Page 20: Menjawab Tafsir Misoginis

[12] Fatimma Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry,

(USA: Oxford, 1991), h. 44

[13] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),

jilid VII, h. 177

[14] Al-Aini, Umdat alQari, (Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.), jilid XVI, h. 364

[15] Bukhari dalam kitab al-haidh, hadis no. 293 dan kitab al-zakah, hadis no 1369.

Muslim dalam kitab al-iman, hadis no 114. Al-Nasa’I, bab shalat al-‘Idain, hadis no.

1558 dan 1561. Abu Dawud, hadis no. 4059. Ibn Majah, hadis no. 1278 dan 3993.

Ahmad bin Hanbal, jilid II, h. 66 dan jilid III, h. 36, 46, dan 54.

[16] Imam Muslim, Shahih Muslim, op.cit., jilid 2, h. 1467.

[17] Muhammad Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Musthafa al-

bab al-Halaby, 1975), jilid 2, h. 457.

[18] Hamka, Tafsir al-Azahar, (Jakarta: Pustaka, 1988), jilid 2, h. 106.

[19] Yusuf al-Qardhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, (Kairo:

Wahbah, 1996), h. 154.

[20] Misalnya, Khadijah binti Khuwailid, Maimunah binti Haris, Aisyah binti Abu

Bakar, Shafiyah binti Huyay (Yahudi yang pernah memerangi Nabi), Nafsah binti

Umar.

[21] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, op. cit. , jili 2, h. 259.

[22] M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-IHlash,

1987), h. 34-49.

[23] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), jilid 1,

cet. Ke-4, h. 102.

[24] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, (kairo: Dar

al-Hadi, 1980), h. 137

[25] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah.. h. 137