MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN …eprints.ulm.ac.id/3882/1/ penelitian flakat.pdfOleh :...
-
Upload
vuongtuyen -
Category
Documents
-
view
245 -
download
7
Transcript of MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN …eprints.ulm.ac.id/3882/1/ penelitian flakat.pdfOleh :...
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DENGAN
MEDIA PAPAN FLAKAT PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN
KELAS VII SMPLB YPLB BANJARMASIN
Oleh : Agus Pratomo Andi Widodo, M.Pd
ABSTRAK
Kata Kunci: Media Papan Flakat, Kemampuan Membaca, Tunagrahita
Ringan
Membaca merupakan hal utama dalam proses pembelajaran. Kemampuan
membaca harus dimiliki semua anak termasuk anak tunagrahita ringan. Penelitian
ini dilakukan terhadap anak tunagrahita ringan yang sulit menerima pembelajaran
membaca. Permasalahan yang terdapat pada anak yaitu masih terpaling dalam
menyebutkan beberapa huruf dan sulit dalam membaca gabungan huruf yang
sudah menjadi suku kata dan kata. Sesuai dengan permasalahan yang telah
dikemukakan di atas maka, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan
kemampuan membaca permulaan pada anak tunagrahita ringan kelas VII SMPLB
YPLB Banjarmasin dalam penggunaan media papan flakat.
Penelitian ini menggunakan suatu rancangan eksperimen dengan
penelitian subjek tunggal, atau lebih dikenal dengan istilah Single Subject
Research (SSR). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain A-B-
A. Anak dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita ringan kelas VII SMPLB
YPLB Banjarmasin, yang berinisial AR. Sistem pencatatan data menggunakan
observasi langsung dan tes. Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis visual dalam kondisi dan antar kondisi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan terhadap kemampuan
membaca permulaan anak tunagrahita ringan. Kesimpulan yang dapat diambil
dalam penelitian ini adalah penggunaan media papan flakat dapat meningkatkan
kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas VII di SMPLB
YPLB Banjarmasin.
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar kepada pencapaian tujuan
pembangunan nasional Indonesia. Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) merupakan satu keseluruhan yang terpadu dari semua
satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.1
Tujuan Pendidikan (KEMDIKNAS) : Undang-undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2
Sekolah luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
mengalami tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena
memiliki hambatan penglihatan, pendengaran, kecerdasan atau mental,
fisik, sosial, emosional. Sekolah luar biasa merupakan tempat dan program
pembelajaran yang disiapkan untuk anak-anak yang memiliki hambatan
agar potensi dan bakatnya berkembang.
1 Umar Tirtarahardja & Sulo Lipu La sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
hlm 263. 2 Faturrahman, dkk, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm 67.
2
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 yang
menyatakan bahwa: warga negara yang mempunyai kelainan fisik,
emosional, mental dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Sekolah luar biasa atau pendidikan khusus adalah sekolah formal
yang diselenggarakan khusus menangani anak yang memiliki hambatan.
Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan sepanjang hari di kelas khusus.
Tujuan sekolah luar biasa untuk mengembangkan kemampuan/potensi dan
bakat yang dimiliki anak.3
Anak tunagrahita kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang
bersifat abstrak, yang sulit dan berbelit-belit. Hambatan yang dialami
tunagrahita bukan sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk
selama-lamanya dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala
hal dalam pelajaran seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan,
menggunakan simbol-simbol berhitung, dan semua pelajaran yang bersifat
teoritis. Tunagrahita juga terhambat dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.4
Anak tunagrahita merupakan anak yang mengalami hambatan
mental, sosial dan intelektual di bawah rata-rata. Klasifikasi anak
tunagrahita yaitu ringan, sedang, dan berat. Anak tunagrahita ringan
disebut juga educable atau mampu didik dengan IQ 50-75. Hambatan
intelektual pada anak tunagrahita yang mengakibatkan kesulitan dalam
3 Kemis dan Ati Rosnawati, Pendidikan ABK Tunagrahita, (Jakarta: Luxima, 2013), hlm 19. 4 Moh. Amin, Ortopedagogik Anak Tunagrahita, (Jakarta: Dirjen Dikti, 1995), hlm 11.
3
belajar akademik. Anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam
belajar akademik dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.5
Anak tunagrahita ringan yang pada hakikatnya mempunyai
intelektual di bawah rata-rata tidak memungkinkan untuk menerima
pembelajaran yang sulit bersifat semi abstrak bahkan abstrak. Modifikasi
dalam pembelajaran bisa menggunakan metode dan media yang menarik.
Penggunaan metode dan media yang menarik membantu tunagrahita
dalam proses belajar dapat memahami materi yang disampaikan.6
Karakteristik kesulitan akademik anak tunagrahita terutama yaitu
membaca, karena melalui membaca seseorang memperoleh berbagai
pengetahuan. Membaca merupakan dasar atau alat untuk menguasai
berbagai ilmu pengetahuan. Banyak membaca sudah tentu membuat
pengetahuan akan bertambah.7
Membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan
mental. Aktivitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata
dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan
pemahaman. Orang dapat membaca dengan baik jika mampu melihat
huruf-huruf dengan jelas, mampu menggerakkan mata secara lincah,
mengingat simbol-simbol bahasa dengan tepat, dan memiliki penalaran
yang cukup untuk memahami bacaan.8
5 Ardhi Wijaya, Teknik Mengajar Siswa Tunagrahita, (Yogyakarta:Imperium, 2013), hlm 32. 6 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.Cit., hlm 22. 7 Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), hlm 200. 8 Ibid
4
Pentingnya membaca dalam kehidupan sehari-hari sangatlah
diperlukan agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Membaca
merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh semua anak. Melalui
membaca anak dapat mengikuti berbagai mata pelajaran di sekolah.
Karena membaca merupakan hal utama dalam proses pembelajaran.
Pentingnya membaca dalam proses pembelajaran untuk memahami isi
bacaan pada setiap materi bidang studi yang diajarkan.9
Membaca merupakan keterampilan yang harus diajarkan sejak
anak masuk SD apabila anak mengalami kesulitan belajar membaca harus
secepatnya diatasi. Kesulitan belajar membaca atau disleksia sangat
bervariasi tetapi semua menunjuk kemungkinan adanya gangguan pada
fungsi otak.10 Umumnya anak tunagrahita ringan memiliki kemampuan
yang kurang dalam hal mengingat (memori) yang diduga dari neurologis
(syaraf), sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca anak
tunagrahita ringan dipengaruhi oleh aspek persepsi dan aspek memori
yang merupakan proses mental yang terletak di otak. Persepsi diperlukan
dalam belajar untuk menganalisis informasi yang diterima, misalnya
dalam membedakan huruf-huruf. Mengingat (memori) diperlukan dalam
belajar untuk menyimpan informasi dan pengalaman yang pernah
diajarkan, misalnya dalam mengingat huruf-huruf.11
9 Learner (dikutip) Mulyono Abdurrahman, ibid 10 Mulyono Abdurrahman, Op.Cit, hlm 220. 11 Ardhi Wijaya, Op.Cit, hlm 33.
5
Sekolah tempat penelitian terdapat satu anak yang tergolong
tunagrahita ringan, anak sangat sulit menerima pembelajaran membaca.
Anaknya berada di kelas VII dan seharusnya sudah bisa membaca
pemahaman. Anaknya sudah mengenal huruf, namun ada beberapa huruf
yang masih terpaling misalnya huruf j dibaca l, b dibaca d, dan sulit dalam
membaca gabungan huruf-huruf yang sudah menjadi suku kata dan kata,
misalnya ba, bi, bu, be, bo anak cuma bisa menyebutkan huruf-hurufnya
saja, seharusnya itu dibaca satu suku kata. Anak kesulitan dalam
menuliskan kata-kata yang dilisankan misalnya peneliti perlihatkan buku,
dan anak menyebutkan itu buku, kemudian peneliti minta menuliskan
tulisan buku anak menulisnya bubu.
Anak mengalami kesalahan saat membaca seperti penghilangan
kata atau huruf, pengucapan kata salah dan makna berbeda misalnya
‘nama’ dibaca ‘mama’, pengucapan kata dengan bantuan guru, anak
kurang percaya diri. Anak tunagrahita saat pelajaran terlihat bosan, serta
metode pengajaran guru dalam menyampaikan materi selalu mencatat.
Kesulitan anak untuk membaca tersebut menjadi penyebab sulitnya anak
untuk menerima pembelajaran. Berbagai kesalahan membaca tersebut
anak termasuk mengalami masalah pada membaca permulaan.12
Menurut Haris menyatakan ada lima tahapan perkembangan
membaca, yaitu (1) kesiapan membaca, (2) membaca permulaan, (3)
keterampilan membaca cepat, (4) membaca luas, (5) membaca
12 Mulyono Abdurrahman, Op.Cit, hlm 210-211
6
sesungguhnya.13 Lima tahap perkembangan tersebut peneliti melihat, anak
masih dalam tahap membaca permulaan.
Membaca permulaan yaitu tahap perkembangan pertama yang
harus dimiliki anak seperti pengenalan huruf, penggabungan huruf
menjadi per suku kata, kemudian melanjutkan penggabungan suku kata ke
kata, dan tahap terakhir penggabungan kata ke kalimat. Mengetahui dasar-
dasar membaca permulaan itu anak dapat melanjutkan ke tahap
selanjutnya yaitu membaca pemahaman, cepat, luas dan sesungguhnya.14
Tahap membaca permulaan ada empat kelompok anak dengan
kemampuan yang berbeda, yaitu (a) anak yang sudah dapat membaca satu
kalimat sederhana, (b) anak yang sudah dapat membaca kata, (c) anak
yang baru mengenal huruf, dan (d) anak yang sama sekali belum mengenal
huruf.15
Mengingat permasalahan di atas, maka upaya guru untuk
mempercepat membaca permulaan adalah menggunakan metode
pembelajaran yang tepat. Banyak metode yang disarankan dalam
kurikulum baik metode secara umum maupun khusus pembelajaran
membaca permulaan. Kenyataannya masih banyak siswa yang tidak
mampu membaca permulaan dikarenakan guru kurang jeli dalam memilih
metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan kemampuan anak.
Menurut peneliti salah satu alternatif mengajar yang akan diberikan
13 Op.Cit, hlm 201. 14 Ibid 15 Deded Koswara, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Berkesulitan Belajar Spesifik, (Jakarta:
Luxima,2013), hlm 21.
7
kepada anak yaitu menggunakan media pembelajaran yang menarik seperti
media papan flanel kata. Proses pembelajarannya dengan melihat gambar
lalu mencari kata-katanya sesuai gambar yang ingin dipelajari. Media
papan flanel kata yaitu papan yang dilapisi kain flanel untuk melekatkan
sesuatu diatasnya dimana dapat dilekatkan item-item flanel yang berisi
kumpulan huruf, suku kata yang dapat disusun menjadi kata, kata menjadi
kalimat setelah melihat gambar.
Permasalahan dalam penggunaan papan flanel bukan sesuatu hal
yang asing untuk dijadikan sebagai bahan penelitian dalam meningkatkan
kemampuan membaca. Terbukti dari penelitian Titik Asroriyah,
mengatakan membaca awal melalui penggunaan media papan flanel pada
anak kelompok B TK ABA Kalikotak mengalami peningkatan dari
persentase rata-rata kelas kemampuan membaca awal saat pratindakan
sebesar 47,22%, pada siklus I sebesar 56,11%, pada siklus II sebesar
67,5%, pada siklus III sebesar 79,44%. Tindakan pada siklus III dihentikan
karena telah mencapai indikator keberhasilan.16
Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Suratmi juga
menggunakan flanel huruf untuk meningkatkan keterampilan membaca
pada anak kelompok B TK Asih Sejati di Depok Sleman Yogyakarta pada
2010-2011. Suratmi mengatakan dalam penelitiannya yaitu adanya
16 Titik, A.”Peningkatan Kemammpuan Membaca Awal Melalui Penggunaan Media Papan Flanel
pada Anak Kelompok B di TK ABA Kalikotak SendangSari Minggir Sleman”. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.
8
peningkatan kemampuan membaca dibandingkan dengan menggunakan
media lainnya.17
Melalui papan flanel kata, anak dapat memiliki keterampilan
membaca yaitu agar dapat membaca dengan mengenal huruf dan
menyusun suku kata sehingga menjadi kata. Menggunakan media seperti
itu untuk menguraikan dan menggabungkan kembali akan lebih mudah.
Adanya permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan
dengan Media Papan Flakat pada Anak Tunagrahita Ringan Kelas VII
SMPLB YPLB Banjarmasin.
B. Rumusan Masalah
Judul dan latar belakang masalah di atas, maka peneliti bisa
merumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah dengan penggunaan media papan flakat dapat
meningkatkan kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita ringan
kelas VII SMPLB YPLB Banjarmasin ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dikemukakan di
atas maka, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan
17 Suratmi,”Peningkatan Kemampuan Membaca dengan Papan Flanel Huruf pada Anak Kelompok
B TK Asih Sejati Depok Sleman Yogyakarta”, Penelitian Pendidikan. Yogyakarta. TK Asih Sejati
D.I. Yogyakarta.
9
kemampuan membaca permulaan pada anak tunagrahita ringan kelas VII
SMPLB YPLB Banjarmasin dalam penggunaan media papan flakat.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi guru, siswa dan
peneliti lainnya, antara lain untuk:
a. Bagi guru di sekolah luar biasa khususnya guru mata pelajaran bahasa
indonesia, yaitu sebagai bahan masukan dalam upaya penyusunan
program pembelajaran bahasa indonesia, melalui media papan flakat
dengan menarik, menyenangkan, praktis, efisien serta guru dapat
membuat sendiri.
b. Bagi siswa, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
siswa kelas VII tunagrahita ringan di SMPLB YPLB Banjarmasin
untuk lebih bersemangat dalam belajar membaca.
c. Bagi peneliti lainnya, sebagai bahan informasi dan referensi dalam
pelaksanaan penelitian yang relevan dengan kemampuan membaca
anak.
E. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
Variabel penelitian pada dasarnya adalah suatu hal yang berbentuk
apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga
10
diperoleh informasi tentang hal tersebut kemudian ditarik
kesimpulannya.18
Variabel independen (variabel bebas) adalah merupakan variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel dependen (variabel
terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel bebas.19
Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini dengan melalui media
papan flakat.
b. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan
membaca permulaan yang diantaranya meliputi membaca
huruf, suku kata ke kata.
2. Definisi Operasional
a. Anak Tunagrahita Ringan disebut juga educable atau mampu didik
yang memiliki hambatan intelektual di bawah rata-rata anak pada
umumnya yang mengakibatkan kesulitan dalam belajar akademik
serta terhambat dalam perilaku adaptif.
b. Membaca Permulaan yaitu tahap perkembangan pertama yang
harus dimiliki anak seperti pengenalan huruf, penggabungan huruf
18 Deni Darmawan, Metode Penelitian Kuantitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm 108. 19 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D , (
Bandung: Alfabeta, 2012), hlm 61.
11
menjadi per suku kata, kemudian melanjutkan penggabungan suku
kata ke kata, dan tahap terakhir penggabungan kata ke kalimat.
c. Media papan flanel kata (Flakat) yaitu papan yang dilapisi kain
flanel untuk melekatkan sesuatu diatasnya dimana dapat dilekatkan
berisi kumpulan huruf, suku kata yang dapat disusun menjadi kata,
kata menjadi kalimat setelah melihat gambar.
12
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Anak Tunagrahita
1. Pengertian Anak Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang
signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa
perkembangannya.1
Tunagrahita adalah suatu kondisi anak yang kecerdasannya jauh
di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan
ketidakcakapan terhadap komunikasi sosial.2
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan
memiliki intelegensi dibawah intelegensi normal dengan skor IQ sama
atau lebih rendah dari 70. Intelegensi yang dibawah rata-rata anak
pada umumnya jelas ini akan menghambat segala aktifitas
kehidupannya sehari-hari, dalam bersosialisasi, komunikasi, dan yang
lebih menonjol adalah ketidakmampuannya dalam menerima pelajaran
yang bersifat akademik sebagaimana anak-anak sebayanya atau anak-
anak pada umumnya.3
1 Ardhi wijaya, Op.Cit, hlm 21. 2 E. Kosasih, Cara Bijak Memahami ABK, (Bandung: Yrama Widya, 2012), hlm 5. 3 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.Cit, hlm 1.
13
Tunagrahita memiliki arti yang menjelaskan kondisi anak yang
kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan
intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.4
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang
signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa
perkembangan.5
Kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian di atas bahwa
anak tunagrahita yaitu dimana kondisi fungsi intelektual di bawah
rata-rata yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes, yang muncul sebelum
usia 16 tahun atau masa perkembangan yang menunjukkan hambatan
dalam perilaku adaptif.
2. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Banyak pengarang dan para ahli mengklasifikasikan anak
tunagrahita berbeda-beda, sesuai dengan bidang ilmu dan pandangan
masing-masing. Pengelompokkan pada umumnya didasarkan pada
taraf intelegensinya, yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang,
dan berat. Kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan
diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC).
4 T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm 103. 5 Yani Meimulyani dan Caryoto, Media Pembelajaran adaftif, (Jakarta: Luxima, 2013), hlm 15.
14
Pengelompokkan klasifikasi anak tunagrahita yang diukur dengan tes
WISC, sebagai berikut:6
a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita Ringan disebut juga mooron atau debil.
Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan
menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Tunagrahita
ringan masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung
sederhana. Bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang
mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan
untuk dirinya sendiri.
Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi
tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian,
peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan
dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di
pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.
Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak
mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.
Tunagrahita akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak
dapat merencanakan masa depan, dan bahkan suka berbuat
kesalahan.
Umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami
gangguan fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Sulit
6 T. Sutjihati Somantri, Op.Cit, hlm 106-108..
15
dibedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak
pada umumnya.
b. Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok
ini memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 54-40 menurut Skala
Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai
perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Tunagrahita
sedang dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri
dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan
berhitung. Tunagrahita sedang masih dapat menulis secara sosial,
misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya. Masih dapat
dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum,
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu,
membersihkan perabot rumah tangga. Kehidupan sehari-hari, anak
tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
Anak tunagrahita sedang masih dapat bekerja di tempat kerja
terlindung (sheltered workshop).
c. Tunagrahita Berat
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot.
Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala
16
Binet dan antara 39-25 menurut Skala Weschler (WISC).
Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19
menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala Weschler
(WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat
dicapai kurang dari tiga tahun.
Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan
secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan. Bahkan mereka
memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.
Penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran
sebagai berikut:7
a. Educable
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam
akademik setara dengan anak regular pada kelas 5 Sekolah Dasar.
b. Trainable
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri,
pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas
kemampuannya untuk mendapat pendidikan secara akademik.
c. Custodial
Pemberian latihan yang terus menerus dan khusus, dapat melatih
anak rentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan
kemampuan yang bersifat komunikatif.
7 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.Cit, hlm 11.
17
Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki
banyak kelebihan dan kemampuan. Anak mampu dididik dan
dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit,
memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah
diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisiknya tidak begitu
mencolok. Anak tunagrahita ringan mampu berlindung dari
bahaya apapun. Anak tunagrahita ringan tidak memerlukan
pengawasan ekstra.8
Pendidikan anak tunagrahita ringan tidak terlepas dari
tujuan pendidikan pada umumnya, hanya pendidikan tunagrahita
ringan perlu dirumuskan kembali dengan mengacu pada
kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan adalah sebagai
berikut:9
a. Mengembangkan keterampilan dasar belajar di sekolah
meliputi, membaca, menulis, matematika.
b. Mengembangkan kebiasaan hidup sehat.
Kesimpulannya dari pendapat diatas anak tunagrahita ringan
disebut juga educable atau mampu didik. Hambatan intelektual pada
anak tunagrahita yang mengakibatkan kesulitan dalam belajar
8 Yani Meimulyani dan Caryoto, Loc.Cit, hlm 15. 9Kirk (dikutip oleh) Astati,Tersedia Online : ( https://www.google.co.id/search?sclient=psy-
ab&site=&source=hp&btnG=Telusuri&q=klasifikasi+anak+tunagrahita#q=karakteristik+anak+tun
agrahita+ringan) diakses tanggal 16 oktober 2015.
18
akademik. Anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam belajar
akademik dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
3. Karakteristik Tunagrahita Ringan
Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana
perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak
mencapai tahap perkembangan yang optimal. Terdapat beberapa
karakteristik umum tunagrahita yang dapat dipelajari, yaitu:10
a. Keterbatasan Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan
keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-
masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari
pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai
secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi
kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa
depan.
Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal
tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat
abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga
terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau
cenderung belajar dengan membeo.
10 T. Sutjihati Somantri, Op.Cit, hlm 105.
19
b. Keterbatasan Sosial
Anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri
sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu anak tunagrahita
memerlukan bantuan.
Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar,
tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana,
sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Anak
tunagrahita juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan
sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
c. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau
tugas dalam jangka waktu yang lama. Anak tunagrahita memiliki
keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Anak tunagrahita
bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat
pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi
sebagaimana mestinya. Anak tunagrahita membutuhkan kata-kata
konkret yang sering didengarnya, selain itu perbedaan dan
persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-
latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil,
keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan
pendekatan yang konkret.
20
Pendapat lain juga ada mengemukakan beberapa karakteristik
anak tunagrahita secara umum, sebagai berikut:11
a. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru.
b. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang
baru.
c. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita
berat.
d. Terhambat dalam fisik dan motorik serta perkembangan gerak.
e. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri.
f. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim.
g. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus.
Karakteristik umum tunagrahita ringan yaitu dengan tingkat
kecerdasan (IQ) berkisar 50-70, dalam penyesuaian sosial maupun
bergaul, mampu menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih
luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil, tingkat
ringan, memiliki kemampuan paling tinggi setaraf dengan anak kelas
5 SD, mampu diajarkan membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Sosialisasi tunagrahita ringan masih mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial secara terbatas.12
Keadaan fisiknya tidak ada perbedaan sama sekali dengan anak
pada umumnya. Hanya berbeda dalam proses menyerap pelajaran
yang diberikan. Tunagrahita ringan sangat lambat dalam merespon
11 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.Cit, hlm 17. 12 Sarjanaku.com (http://www.lintasjari.com/2013/05/ciri-ciri-karakteristik-anak.html)
21
apa yang dijelaskan dan mempelajari hal-hal yang baru, sehingga
dalam belajar perlu diulang-ulang dan pemberian materi bersifat
konkret.
4. Faktor-faktor penyebab tunagrahita ringan
Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi tunagrahita. Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa
faktor:13
a. Genetik (kerusakan/kelainan Biokimiawi, Abnormalitas
Kromosomal).
b. Sebelum lahir (pre-natal)
1) Infeksi Rubella (cacar)
2) Faktor Rhesus (Rh)
c. Kelahiran (natal) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada
saat kelahiran.
d. Setelah lahir (post-natal) akibat infeksi misalnya: meningitis
(peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu
kekurangan gizi seperti kekurangan protein.
e. Faktor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan.
f. Gangguan metabolism/nutrisi
1) Phenylketonuria
2) Gargoylisme
13 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.cit., hlm 15 .
22
3) Cretinisme
Penyebab Tunagrahita secara umum sebagai berikut:14
a. Infeksi dan/atau intoxikasi
b. Rudapaksa dan/atau sebab fisik lain
c. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi atau nutrisi
d. Penyakit otak yang nyata (kondisi setelah lahir/post-natal)
e. Akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir (pre-natal) yang
tak diketahui
f. Akibat kelainan kromosomal
g. Gangguan waktu kehamilan (gestational disorders)
h. Gangguan pasca-psikiatrik/gangguan jiwa berat (post-
psychiatrik disorders)
i. Pengaruh lingkungan
j. Kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan
5. Kesulitan membaca anak tunagrahita
Tunagrahita ringan mengalami kesulitan belajar terutama
dalam bidang pengajaran akademik, sedangkan untuk bidang studi,
non akademik tidak banyak mengalami kesulitan. Masalah-masalah
yang sering dirasakan dalam kaitannya dengan proses belajar
mengajar diantaranya: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan
14 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.Cit, hlm 16.
23
dalam belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan
berpikir abstrak yang terbatas, daya ingat yang lemah dan sebagainya.
Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan
proses belajar siswa tunagrahita:15
a. Siswa mendapat kesulitan memfokuskan perhatian pada sebuah
tugas dalam waktu yang lama.
b. Siswa mendapat kesulitan mengenal dan berfokus pada aspek-
aspek tugas yang sangat penting.
c. Siswa mendapat kesulitan memindahkan dan menyamaratakan
kemampuan dari satu konteks lainnya.
d. Siswa sulit mendapat keterangan dengan mudah yang
berhubungan dengan masalah yang utama, sehingga ketinggalan
memahami arti bacaan atau pelajaran.
e. Siswa melupakan informasi dengan sangat cepat dibanding yang
lainnya.
Umumnya anak tunagrahita ringan memiliki kemampuan yang
kurang dalam hal mengingat (memori) yang diduga dari neurologis
(syaraf), sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca
anak tunagrahita ringan dipengaruhi oleh aspek persepsi dan aspek
memori yang merupakan proses mental yang terletak di otak. Persepsi
diperlukan dalam belajar untuk menganalisis informasi yang diterima,
misalnya dalam membedakan huruf-huruf. Mengingat (memori)
15 David Smith, Sekolah Inklusif, (Bandung: Nuansa,2012), hlm 120.
24
diperlukan dalam belajar untuk menyimpan informasi dan pengalaman
yang pernah diajarkan, misalnya dalam mengingat huruf-huruf.16
Kemampuan mengingat ini mempunyai dua tingkatan yaitu
ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka
panjang (long term memory). Mengingat sesuatu, baik yang dilihat
maupun yang didengar dalam tempo yang sangat singkat, disebut
ingatan jangka pendek (short term memory). Belajar sangat erat
hubungannya dengan ingatan jangka pendek. Anak yang mengalami
kesulitan dalam ingatan jangka pendek akan sangat sulit untuk
menyimpan informasi atau pengalaman belajar dalam ingatan jangka
panjang.17
Siswa-siswa yang diberi istilah anak terbelakang mental
mampu didik (educable mentally retarded) diharapkan dapat belajar
membaca dan menulis pada tingkat sekolah dasar namun dengan
langkah yang sedikit pelan.18
Terdapat berbagai macam kesulitan yang sering dialami anak
kelas permulaan, kesulitan-kesulitan tersebut juga akan dialami bagi
anak tunagrahita dalam belajar membaca permulaan. Salah satunya
anak tunagrahita ringan di kelas VII di SMPLB YPLB Banjarmasin.
Anak sudah mampu mengenal huruf, namun ada sebagian huruf yang
sulit anak bedakan, kemudian anak mengalami kesulitan ketika
diminta membaca huruf yang sudah digabung, seperti ba, bi, bu, be, 16 Ardhi Wijaya, Loc.Cit, hlm 33. 17 Op.Cit, hlm 34. 18 David Smith, Op.Cit, hlm 116.
25
bo. Anak mampu mengucapkan huruf satu persatu tetapi masih belum
memiliki kemampuan membaca dengan menyambung satu maupun
dua suku kata. Hal ini terjadi karena kemampuan mengingat anak
lemah sehingga anak sering lupa dengan pelajaran yang telah
diberikan sebelumnya.
Mengingat kemampuan membaca permulaan pada anak
tunagrahita ringan, seringkali terbatas bahkan lemah untuk itu maka
dibutuhkan sebuah metode, pendekatan atau sebuah media yang dapat
mempermudah dan membantu anak tunagrahita agar anak dapat
menghadapi masalah atau kendala yang dihadapinya selama ini dalam
membaca permulaan.
B. Membaca Permulaan
1. Pengertian Membaca Permulaan
Membaca mengandung beberapa pengertian. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, membaca diartikan (1) melihat dan
memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau dalam
hati), (2) mengeja atau melafalkan apa yang tertulis.19 Hal itu
menunjukkan bahwa untuk dapat membaca diperlukan adanya
keterampilan khusus, yang dalam konteks ini adalah mengeja dan
melafalkan bacaan yang tertulis. Membaca adalah suatu aktivitas
menyerap atau menangkap ide pokok atau pesan moral yang tersirat
19 Sulistyowati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Buana Raya, 2005), hlm 28.
26
dalam sebuah tulisan.20 Empat aspek keterampilan berbahasa dalam
dua kelompok kemampuan yaitu (1) keterampilan yang bersifat
menerima (reseptif) yang meliputi keterampilan membaca dan
menyimak (2) keterampilan yang bersifat mengungkap (produktif)
yang meliputi ketrampilan menulis dan berbicara.21
Membaca teknis atau permulaan adalah proses decoding atau
proses pengenalan kata atau mengubah simbol-simbol tertulis berupa
huruf atau kata menjadi sistem bunyi.22
Kemampuan membaca permulaan adalah suatu kemampuan
yang dimiliki anak untuk membaca simbol, membaca huruf, kata, dan
kalimat sederhana yang menghubungkan bahasa lisan dan tulisan.23
Tingkatan membaca permulaan, pembaca belum memiliki
keterampilan kemampuan membaca yang sesungguhnya, tetapi masih
dalam tahap belajar untuk memperoleh keterampilan atau kemampuan
membaca. Membaca pada tingkatan ini merupakan kegiatan belajar
mengenal bahasa tulis.
Melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan
lambang-lambang bunyi bahasa tersebut, untuk memperoleh
kemampuan membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan
membunyikan (a) lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata
20 Rizem Aizid, Bisa Baca Secepat Kilat, (Jogjakarta: Bukubiru, 2011), hlm 22. 21 Muchlisoh (dikutip oleh) Iyandri tiluk wahyono, Pengertian dan tujuan membaca permulaan.
Tersedia: online (http://gudangartikels.blogspot.co.id/2011/08/pengertian-dan-tujuan-membaca-
permulaan.html) diakses tanggal 20 oktober 2015. 22 Imam Yuwono, Identifikasi dan Asesmen ABK, (Banjarmasin: Pustaka Banua, 2015), hlm 147. 23 Choirun Nisak Aulina, Penerapan Metode Whole Language dalam Meningkatkan Kemampuan
Membaca Permulaan Anak TK Kelompok B, Jornal Penelitian Dosen Pemula, hlm 12.
27
untuk memberi arti, dan (c) memasukkan makna dalam kemahiran
bahasa.
Membaca permulaan merupakan suatu proses keterampilan
dan kognitif. Proses keterampilan menunjuk pada pengenalan dan
penguasaan lambang-lambang fonem, sedangkan proses kognitif
menunjuk pada penggunaan lambang-lambang fonem yang sudah
dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat.24
Membaca permulaan merupakan suatu kemampuan yang perlu
dimiliki, dikuasai, dan dilaksanakan secara kontinyu oleh siswa
Sekolah Dasar karena tercantum dalam kurikulum Bahasa Indonesia.25
Tahap membaca permulaan umumnya dimulai sejak anak
masuk kelas satu SD, yaitu pada saat berusia sekitar enam tahun.
Meskipun demikian, ada anak yang sudah belajar membaca lebih awal
dan ada pula yang baru belajar membaca pada usia tujuh tahun atau
delapan tahun.26
Simpulan dari pendapat di atas membaca permulaan yaitu
tahap perkembangan pertama yang harus dimiliki anak seperti
pengenalan huruf, penggabungan huruf menjadi per suku kata,
kemudian melanjutkan penggabungan suku kata ke kata, dan tahap
terakhir penggabungan kata ke kalimat. Tahapan ini anak diharapkan
bisa membunyikan dan membedakannya huruf maupun suku kata.
24 Nuryati (dikutip oleh) Choirun Nisak Aulina, ibid. 25 Ujang Sarjo, Efektivitas Penerapan Metode Struktural Analitik Sintetik dalam Pembelajaran
Membaca Permulaan, Journal Penelitian Pendidikan, (Majalengka: STKIP YASIKA), hlm 10. 26 Mulyono Abdurrahman, Loc.Cit, hlm 201.
28
2. Tujuan Membaca Permulaan
Membaca hendaknya mempunyai tujuan terhadap pengetahuan
yang akan dipahaminya dalam menemukan fenomena lingkungan
sekitar. Seseorang yang membaca dengan suatu tujuan, cenderung
lebih memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai
tujuan. Tujuan membaca yaitu dapat memperoleh informasi yang ada
dilingkungan sekitar yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain
sebagai dasar melakukan tindakan maupun memberikan respon
terhadap lingkungan. Informasi yang diperoleh mengandung nilai-nilai
yang dapat diambil manfaatnya, sehingga sesuatu yang diperoleh dari
membaca dapat memperkaya pengetahuan dalam dirinya.27
Membaca mempunyai tujuan keterampilan dan untuk mencari
kepuasan batin. Tercapainya tujuan membaca tidak hanya memerlukan
keterampilan memahami yang tersirat saja, melainkan juga
keterampilan memahami yang tersurat dalam sebuah teks bacaan
(buku).28
Tujuannya membaca adalah agar siswa memiliki kemampuan
memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar,
sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Tujuan membaca
27 Ria Anggraeni, Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan, Tersedia Online:
(http://eprints.uny.ac.id/24487/1/SKRIPSI.pdf) diakses tanggal 16 Oktober 2015.
28 Rizem Aizid, Op.Cit., hlm 31.
29
permulaan yaitu agar “Siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat
sederhana dengan lancar dan tepat“.29
3. Pelaksanaan Membaca Permulaan
Pelaksanaan membaca permulaan dilakukan dalam dua tahap,
yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan
menggunakan buku. Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan
dengan cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga
selain buku misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu
kalimat. Pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan
membaca dengan menggunakan buku sebagai bahan pelajaran.30
Langkah-langkah membaca permulaan, sebagai berikut:
mengenal unsur kalimat, mengenal unsur kata, mengenal unsur huruf,
merangkai huruf menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi
kata.31 Pendapat lain mengemukakan langkah-langkah pengajaran
membaca permulaan sebagai berikut menentukan tujuan pokok
bahasan yang akan diberikan.32 Tujuan ini dapat mengembangkan
bahan pengajaran setelah bahan pelajaran dan bahan latihan disusun,
kemudian harus memikirkan cara menyampaikannya, setelah itu urutan
pemberian bahan-bahannya, serta cara mengaktifkan siswa.
29 Depdikbud 1994 (dikutip oleh) Iyandri tiluk wahyono, Lo.cit 30 ibid 31 Ritawati,1996:51 (dikutip oleh) Joe, Tersedia Online:
http://infomasjoe.blogspot.co.id/2013/03/hakekat-membaca-permulaan.html diakses 10 Februari
2016
32 Sibarani akhadiah (1992:1993:34), Ibid.
30
Tahap latihan yang dibuat guru dapat membuat kombinasi baru,
baik dengan kata maupun suku kata, dan huruf. Hal ini mudah
dilakukan dengan kartu-kartu yang tersedia, anak dapat bermain
menggunakan kartu-kartu tersebut, misalnya membentuk suku kata,
kata ataupun kalimat. Cara mengetahui apakah anak telah mencapai
tujuan yang ditetapkan, guru dapat membuat tes formatif. Guru dapat
menggunakan berbagai cara yang dianggap baik untuk kelangsungan
pembelajaran. Tujuan pengajaran membaca dapat tercapai dengan
baik, jika sebaiknya guru menetapkan langkah-langkah tersebut
dilakukan secara berulang-ulang.
C. Media Pembelajaran
1. Pengertian Media Pembelajaran
Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru
sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif,
khususnya objek secara visualisasi. Apabila seseorang hanya
mengetahui kata yang mewakili suatu objek, tetapi tidak mengetahui
objeknya disebut verbalisme. Masing-masing media mempunyai
keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang
sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan
pengajar dalam pembelajaran.33
33 Sitti Aisa Andi Baso, dkk, Peningkatan Kemampuan Membaca permulaan, (Jurnal Kreatif
Tadulako Online Vol 2 No 1 ISSN 2354-614X), hlm 12.
31
Media pembelajaran merupakan sarana perantara dalam proses
pembelajaran.34 Media belajar merupakan kombinasi antara alat
(hardware) dan bahan (software).35
Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari guru ke siswa sehingga dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian
siswa sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran terjadi dan
berlangsung lebih efisien.36
Kata media pendidikan digunakan secara bergantian dengan
istilah alat bantu atau media komunikasi, seperti yang dikemukakan
oleh Hamalik (1986) mengatakan bahwa hubungan komunikasi akan
berjalan lancar dengan hasil yang maksimal apabila menggunakan alat
bantu yang disebut media komunikasi. Sementara itu, Gagne’ dan
Briggs (1975) secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran
meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi
materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder,
kaset, video kamera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto,
gambar, grafik, televisi, dan komputer. Media adalah komponen
sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi
34 Daryanto, Media Pembelajaran, (Bandung: Satu Nusa, 2010), hlm 4. 35 Zainal aqib, model-model media dan strategi pembelajaran kontekstual (inovatif), (Bandung:
Yrama Widya, 2013), hlm 50. 36 Yani Meimulyani dan caryoto, Op Cit., hlm 34.
32
intruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk
belajar.37
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran
merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam proses kegiatan
belajar mengajar untuk menyampaikan pesan/materi pelajaran agar
pembelajaran berjalan dengan efektif dan kondusif.
2. Fungsi Media Pembelajaran
Media pembelajaran memiliki beberapa fungsi untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa. Secara umum media pendidikan
mempunyai kegunaan sebagai berikut:
a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik
(dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera seperti
misalnya:
1) Obyek terlalu besar-bisa digantikan dengan realitas gambar, film
bingkai, film dan model.
2) Obyek yang kecil-dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai,
film dan gambar.
3) Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat dibantu high
speed photography atau low speed photography.
37 Azhar, Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 4.
33
c. Menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat
diatasi sikap pasif anak didik sehingga dalam hal ini media berguna
untuk:
1) Menimbulkan kegairahan belajar.
2) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik
dengan lingkungan.
3) Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut
kemampuan dan minatnya.
4) Sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lagi dengan
lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan
kurikulum, dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap
siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan apabila latar
belakang guru dan siswa sangat berbeda. Masalah ini dapat
diatasi dengan media pendidikan.
Media dapat mengatasi berbagai macam hambatan diantaranya
mengurangi sifat verbalisme, mengatasi keterbatasan ruang, waktu
dan tipe belajar siswa karena kelemahan disalah satu indera,
mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar
kepada murid memperingankan beban guru, dan mempermudahkan
belajar murid atau siswa.38
38 Arief S. Sadiman (dikutip oleh) Yani Meimulyani & Caryoto, Op.Cit, hlm 36.
34
3. Jenis Media Pembelajaran
Terdapat beberapa jenis media yang dapat digunakan sebagai
penunjang pembelajaran. Jenis media pembelajaran antara lain.39
a. Media Auditif
Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan
kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, dan
piringan hitam. Media ini cocok untuk orang mempunyai
kelainan dalam pendengaran.
b. Media Visual
Media visual adalah media yang hanya mengandalkan
indera penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan
gambar seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai)
foto, gambar atau lukisan, cetakan. Ada pula media visual yang
menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film
bisu, film kartun.
c. Media Audiovisual
Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur
suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai
kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media
yang pertama dan kedua.
Ada beberapa macam jenis pembelajaran diantaranya:40
39 Yani Meimulyani & Caryoto, Op.Cit, hlm 39 40 Agus Wasito Dwi doso Warso, Proses Pembelajaran & penilaiannya, (Yogyakarta: graha
cendekia, 2014), hlm 120.
35
a. Media visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun,
komik
b. Media audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan
sejenisnya
c. Project still media : slide, over head projektor (OHP), in focus
dan sejenisnya
d. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD,
VTR), Komputer dan sejenisnya.
Mengenai jenis-jenis media yang sudah dijelaskan diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa media terdiri dari beberapa jenis, yaitu
media audio, media visual, dan media audiovisual. Media audio
merupakan media yang hanya dapat didengar melalui indera
pendengaran misalnya radio kaset. Media visual mencakup media
yang dapat dilihat melalui indera penglihatan misalnya papan flanel.
Media audio visual yaitu gabungan dari media audio dan media visual
seperti televisi, video pendidikan. Ketiga jenis media tersebut tentu
saja memiliki fungsi yang sama, sehingga dapat digunakan untuk
menunjang proses pembelajaran.
D. Media Papan Flanel Kata
1. Media Papan Flanel Kata
Media pembelajaran sangat dibutuhkan untuk melakukan sebuah
proses belajar mengajar di sekolah karena dengan menggunakan
media, anak akan lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran secara
36
efektif. Media pembelajaran yang ditawarkan banyak jenisnya, baik
berupa media audio, visual, maupun audiovisual. Salah satu media
yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak tunagrahita ringan
terutama dalam membaca permulaan yaitu menggunakan media papan
flanel. Papan flanel merupakan jenis media visual.
Media papan adalah media pelajaran dengan papan sebagai
bahan baku utamanya yang dapat dirancang secara memanjang
maupun secara melebar.41 Papan flanel adalah papan yang dilapisi kain
flanel untuk melekatkan sesuatu diatasnya, misalnya suatu bentuk
persegi empat panjang ditempelkan pada papan tersebut. Bentuk ini
bisa menempel dipapan tersebut karena biasanya dilapisi sepotong
kertas ampelas. Sejalan dengan itu media papan flanel adalah suatu
papan yang dilapisi kain flanel atau kain yang berbulu dimana padanya
dilekatkan potongan gambar-gambar atau simbol-simbol yang lain.
Gambar-gambar atau simbol-simbol tersebut biasanya disebut item
flanel.42
Papan flanel adalah media grafis yang efektif sekali untuk
menyajikan pesan-pesan tertentu pada sasaran tertentu pula. Papan
berlapis kain flanel ini dapat dilipat sehingga praktis. Gambar-gambar
yang akan disajikan dapat dipasang dan dicopot dengan mudah,
41 Mulyani Sumantri dan Johar Permana (dikutip oleh) Ujang S Hamdi. 2009. Papan Flanel dan
Papan Buletin. Tersedia: Online (http://wwwsaepulhamdi.blogspot.co.id/2009/12/papan-flanel-
dan-papan-buletin.html). Diakses tanggal: 16 Oktober 2015 42 Daryanto, Media Pembelajaran, (Bandung: Satu Nusa, 2010), hlm 22.
37
sehingga dapat dipakai berkali-kali.43 Papan flanel atau flannel board
termasuk media pembelajaran visual dua dimensi yang dibuat dari kain
flanel yang ditempelkan pada sebuah papan atau triplek, kemudian
membuat guntingan-guntingan kain flanel atau kertas amplas yang
dilekatkan pada bagian belakang gambar-gambar yang berhubungan
dengan bahan-bahan pelajaran.44
Menurut beberapa pendapat yang diungkapkan oleh para ahli,
dapat disimpulkan bahwa papan flanel merupakan suatu media
pelajaran dengan papan sebagai bahan baku utamanya, serta dapat
dirancang secara memanjang maupun secara melebar dan lapisan yang
digunakan dalam media papan ini adalah berupa kain flanel. Papan
flanel berfungsi untuk melekatkan item-item flanel yang sudah dilapisi
potongan kertas ampelas sehingga dapat dengan mudah menempel.
Papan flanel juga dapat dibuat sendiri karena bahan yang digunakan
mudah ditemukan. Penelitian ini menggunakan media papan flanel
untuk menempelkan huruf, suku kata menjadi kata yang sudah dilapisi
potongan kertas ampelas sehingga dapat memudahkan proses
pembelajaran membaca permulaan.
43 Andang Ismail (dikutip oleh) Adhel isnarini, 2012, media dua dimensi, Tersedia: online
(http://bit.ly/fxzulu
http://adhelisnarin.blogspot.co.id/2012/12/media-dua-dimensi.html) diakses tanggal 16 oktober
2015. 44 Hujair AH Sanaky (dikutip oleh) Adhel Isnarini, Ibid.
38
2. Manfaat media papan flanel kata
Pengertian di atas sudah jelas bahwa papan flanel adalah salah
satu media yang cocok untuk memfasilitasi peserta didik sebagai
media pembelajaran khususnya membaca permulaan. Papan flanel
mempunyai banyak kegunaan untuk pendidik maupun peserta didik.
Papan flanel memiliki banyak kegunaan yaitu dapat dipakai
untuk jenis pembelajaran apa saja, sebagai arena permainan untuk
melatih keberanian dan keterampilan siswa dalam memilih bahan
tempel yang cocok. Menyalurkan bakat dan minat peserta didik dalam
menggambar, mewarnai, dan lain-lain. Penelitian ini kegunaan papan
flanel dipakai untuk jenis pembelajaran membaca permulaan, dapat
memupuk siswa untuk belajar aktif dengan membaca dan untuk
menyalurkan bakat dan minat peserta didik dalam membaca dengan
kegiatan mengenal huruf, membaca gambar, suku kata dan kata.
3. Langkah-Langkah Pembuatan Media Papan Flanel Kata
Alat :
a. Gunting
b. Jarum
c. Karter
d. Lem
Bahan :
a. Kain flanel
39
b. Triplek/papan
c. Benang wol
d. Kertas ampelas
e. Tali
Cara Membuat :
a. Siapkan Bahan dan alat yang sudah disediakan,
b. Potong triplek ukuran persegi panjang, pasang pengait untuk
menempelkan di dinding,
c. Potong flanel sampai menyelimuti ukuran triplek,
d. Jahit sisi triplek, sisakan bagian bawahnya untuk memasukkan
triplek,
e. Print suku kata, sebagai item penempel di flanel,
f. Tempel printan tersebut ke kain flanel menggunakan lem
kemudian baru pasang ampelas sebagai perekat ke flanel saat
digunakan.
g. Kemudian cetak bentuk huruf-huruf dari flanel, potong sesuai
bentuknya, lalu tempel ampelas
4. Keunggulan dan Kelemahan Media Papan Flanel Kata
Papan flanel kata sangat cocok digunakan untuk membaca
permulaan pada anak tunagrahita ringan. Hal ini dikarenakan papan
flanel kata memiliki keefektifan dalam penggunaannya. Keunggulan
papan flanel kata adalah dapat dibuat sendiri, item-item dapat diatur
40
sendiri, dapat dipersiapkan terlebih dahulu, item-item dapat digunakan
berkali-kali, memungkinkan penyesuaian dengan kebutuhan siswa,
menghemat waktu dan tenaga.45 Beberapa keunggulan dari papan
flanel kata, antara lain:
a. Memotivasi dan mengaktifkan peserta didik belajar.
b. Mudah membuatnya dan dapat dirancang oleh guru, peserta
didik, atau kerjasama antara keduanya.
c. Digunakan untuk berbagai bidang studi mata pelajaran.
d. Isi pesan mudah diganti-ganti.
e. Dapat dibuat sendiri.
f. Item-item dapat diatur sendiri.
g. Dapat dipersiapkan terlebih dahulu.
h. Item-item dapat digunakan berkali-kali.
i. Memungkinkan penyesuaian dengan kebutuhan anak.
j. Menghemat waktu dan tenaga.
Selain memiliki beberapa keunggulan papan flanel kata juga
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan media papan flanel kata
yaitu memerlukan dana, mudah rusak bila tidak dirawat secara teratur
dan memerlukan keterampilan dan ketekunan, tidak menjamin pada
benda berat karena penyangga dapat lepas bila ditempelkan, dan bila
terkena angin sedikit saja bahan yang ditaruh pada papan kata tersebut
akan berhamburan.
45 Daryanto, Op.Cit, hlm 23.
41
5. Langkah-Langkah Penggunaan Media Papan Flanel Kata
Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan media
papan flanel kata dalam meningkatkan kemampuan membaca
permulaan pada anak tunagrahita ringan, antara lain:
a. Mempersiapkan media yang akan digunakan untuk
pembelajaran.
b. Mengkondisikan anak agar siap melakukan pembelajaran.
c. Guru memperkenalkan media papan flanel kata dan cara
menggunakannya,
d. Guru mengenalkan huruf vokal/ konsonan cetak kecil/kapital
dan pengucapannya. Anak diberi kesempatan untuk menirukan
serta mencari huruf kemudian menempelkannya dipapan flanel.
e. Memberi contoh menyusun suku kata sesuai gambar yang
diperlihatkan.
f. Anak diberi kesempatan untuk membaca dan merangkai huruf
menjadi sebuah kata yang ditempel dipapan flanel kata.
g. Anak diberi kesempatan untuk menghubungkan gambar dan
kata serta menyebutkan huruf-huruf yang ada di kata. Selain itu
anak juga dapat menempel gambar kemudian menempelkan
tulisan kata yang sesuai didekatnya.
h. Anak memperhatikan guru saat memberi contoh membaca
gambar yang ingin dibaca dan selanjutnya anak membaca
gambar yang sudah tersusun item huruf atau suku kata.
42
i. Anak yang mampu membaca diberikan reward berupa ucapan
seperti “pintar”,”bagus”,”baik”,”hebat” sehingga anak akan
merasa senang dan termotivasi dalam mengikuti pembelajaran
khususnya membaca permulaan.
E. Kerangka Berfikir
Anak tunagrahita yaitu dimana kondisi fungsi intelektual dibawah
rata-rata dari anak pada umumnya dan terhambat dalam perilaku adaptif.
Salah satu karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu masih mampu
diberikan pembelajaran tingkat dasar seperti membaca, menulis dan
berhitung. Membaca permulaan telah diperkenalkan ketika anak berada di
SD. Ternyata terdapat sebagian besar anak yang masih mengalami
kesulitan dalam membaca khususnya anak tunagrahita ringan di SMPLB
kelas VII, misalnya ketika guru menulis kata sederhana di papan tulis yang
seharusnya anak baca, tetapi terdapat anak yang belum mampu membaca
tulisan tersebut karena belum mengenal hurufnya. Anak masih bingung
antara huruf “b”dan“d”, “j”dan “L” lalu “B” dan “m”,”q”,”x”,”z”, “E”
dibaca “t”, “Q” dibaca “o”, hal ini dikarenakan huruf-huruf tersebut
hampir sama bentuknya namun berbeda bunyinya. Terlihat bahwa anak
masih membutuhkan bantuan dari guru untuk mengeja huruf tersebut.
Salah satu media menarik yang dapat digunakan untuk membaca
permulaan pada anak tunagrahita ringan yaitu media papan flanel kata
(flakat). Papan flanel kata (flakat) adalah media grafis yang efektif untuk
43
menyajikan pesan-pesan tertentu pada sasaran tertentu pula. Papan flanel
kata (flakat) berfungsi untuk melekatkan gambar, suku kata, dan bentuk-
bentuk huruf alphabet yang sudah dilapisi potongan kertas amplas
sehingga dapat dengan mudah menempel. Kegiatan ini guru menempel
gambar beserta huruf yang sudah disusun menjadi suku kata maupun kata.
Kemudian anak membaca kata yang sudah disusun oleh guru. Kegiatan
membaca permulaan menggunakan media papan flanel kata (flakat) maka
anak dapat membaca gambar, mengenal bentuk huruf, membaca huruf
sesuai bunyi, membaca suku kata. Setelah menggunakan media papan
flanel kata (flakat), anak menjadi tertarik dan termotivasi untuk belajar
membaca. Oleh sebab itu, membaca permulaan untuk anak tunagrahita
ringan dapat ditingkatkan menggunakan media papan flanel kata.
44
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir
Karakteristik ATG (kognitif, konsentrasi (pemusatan perhatian),
memori (mudah lupa), persepsi (membedakan bentuk dan bunyi
huruf)
Kemampuan ATG dalam membaca
permulaan kurang lancar
PENGGUNAAN MEDIA PAPAN FLAKAT
media menarik sehingga anak bisa fokus, pembelajaran
diulang-ulang agar anak mudah ingat, bentuk huruf konkrit sehingga bisa dilihat dan
diraba, item-item flanel bisa dibuat sesuai dengan
kebutuhan anak
Peningkatan kemampuan membaca permulaan anak
tunagrahita ringan
45
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini digunakan suatu rancangan eksperimen dengan
penelitian subjek tunggal, atau lebih dikenal dengan istilah Single Subject
Research (SSR). Eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan
sebab akibat antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti
dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor
lain yang mengganggu.46 Rancangan eksperimen dengan penelitian subjek
tunggal ini digunakan karena jumlah subjek dalam penelitian ini bersifat
tunggal dan terbatas, hanya satu orang. Pada penelitian eksperimen subjek
tunggal, subjek atau partisipannya bisa satu orang, dua orang bahkan lebih.
Tujuannya untuk mengetahui seberapa besar pengaruh suatu perlakuan
yang akan diberikan kepada subjek.47
Single Subject Research (SSR) merupakan sebuah strategi dalam
penelitian untuk mencatat perubahan tingkah laku secara individual. Ini
akan saling memberikan pengaruh antara perlakuan dari perubahan
tingkah laku. Penelitian ini akan dibuat berupa perlakuan menggunakan
media papan flakat untuk meningkatkan kemampuan membaca huruf dan
suku kata pada anak tunagrahita ringan kelas VII di SMPLB YPLB
Banjarmasin. Melihat ada atau tidaknya pengaruh terhadap kemampuan
46 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta,2010), hlm 9. 47 Juang Sunanto, Pengantar Penelitian Dengan Subjek Tunggal, (Jepang: University of Tsukuba,
2005), hlm 12.
46
membaca huruf dan suku kata sebelum diberikan intervensi, saat diberikan
intervensi bahkan setelah diberikan intervensi.
Penelitian ini akan menggambarkan perubahan-perubahan ketika
diterapkan penggunaan media papan flakat dengan menganalisis dan
mengukur hubungan antara media papan flakat dan kemampuan membaca
huruf dan suku kata pada anak tunagrahita ringan di kelas VII di SMPLB
YPLB Banjarmasin.
B. Desain Penelitian
Desain penelitian eksperimen dengan subyek tunggal
menggunakan pola desain A-B-A. Desain tersebut menunjukkan adanya
hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas.48
Penggunaan desain A-B-A ingin mengetahui seberapa besar pengaruh
penggunaan media papan flanel kata dalam meningkatkan kemampuan
membaca permulaan anak tunagrahita ringan dalam membaca huruf dan
suku kata. Menggunakan rancangan SSR terdapat tiga tahapan, yaitu
Baseline-1 (A-1), Intervensi (B), Baseline-2 (A-2), berikut gambar grafik:
48 Juang Sunanto, Op.Cit, hlm 59.
47
Gambar 3.1
Desain Penelitian A-B-A
Keterangan :
A1 = Baseline 1, merupakan kemampuan awal subjek penelitian sebelum
mendapat perlakuan. Seperti kondisi awal kemampuan membaca
huruf dan suku kata ketika belum diberikan intervensi. Pada
baseline 1 subjek penelitian tidak sama sekali diberikan intervensi.
Fase baseline dilakukan sebanyak 4 sesi/hari dan sampai data yang
diperoleh stabil.
B = Intervensi, kondisi kemampuan anak dalam membaca huruf dan suku
kata selama memperoleh perlakuan atau intervensi. Fase intervensi
ini akan dilakukan sebanyak 6 sesi/hari sampai data yang diperoleh
stabil dengan menggunakan media papan flakat.
A2 = Baseline 2, merupakan pengulangan kondisi awal atau kemampuan
dasar subjek peneliti dalam kemampuan menyambung suku kata.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
A-1 B A-2
48
Pada tahap ini pula disebut evaluasi dari intervensi yang dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana intervensi dapat berpengaruh
terhadap kemampuan membaca huruf dan suku kata anak
tunagrahita ringan dan dilakukan sebanyak 4 sesi/hari.
C. Prosedur Penelitian
Target behavior yang akan diubah yaitu kemampuan membaca
permulaan dalam membaca bunyi huruf, suku kata.
1. Menentukan baseline satu
Tahap ini siswa tunagrahita ringan akan diberikan tes membaca
permulaan yaitu membaca huruf dan suku kata tanpa pemberian
intervensi.
Hal pertama yang dilakukan adalah mengkondisikan anak agar
dapat memperhatikan tulisan pada tes yang ditunjukkan oleh peneliti
dengan suasana yang baik dan kondusif. Anak diminta untuk
berkonsentrasi ketika diminta untuk membaca huruf dan gabungan
suku kata yang diacak. Anak akan diberikan waktu yang cukup dan
telah diperhitungkan sebelumnya untuk membaca huruf dan suku kata
yang diperintahkan.
Pengukuran pada baseline-1 (A1) dilakukan sebanyak 4 sesi,
dimana setiap sesi dilakukan satu hari dalam waktu 30 menit. Soal
yang diberikan kepada subjek sebanyak 30.
49
Menentukan persentase kemampuan membacanya, hasil dinilai
dengan menggunakan kriteria penilaian besarnya persentase dihitung
dengan rumus:49
Keterangan:
P = Persentase
f = jumlah skor yang didapat
n = jumlah skor tertinggi
2. Prosedur Intervensi
Tahap ini anak tunagrahita ringan diberikan perlakuan, tidak jauh
berbeda pada tahap baseline satu. Pada tahap intervensi ini yang
berbeda dari tahap baseline satu adalah pada intervensi ini peneliti
memperkenalkan dan menjelaskan media pembelajaran yaitu papan
flakat yang terdiri dari barisan huruf yang kemudian dirangkai
menjadi suku kata yang berpola konsonan vokal yang disertai gambar.
Mengenalkan huruf A-Z dan pengucapannya. Ketika anak sudah
memahami, maka peneliti akan memperlihatkan sebuah gambar dan
meminta anak menyebutkan gambar yang dipegang peneliti disertai
dengan huruf dan suku kata. Anak akan menyusun suku kata yang
diacak pada media papan flakat dengan mendengar instruksi dari
peneliti, kemudian anak melafalkannya baik satu suku kata maupun
49 Ibid, hlm 16.
P= 𝑓
𝑛×100%
50
dua suku kata yang diperintahkan. Jika anak mengalami kesalahan
dalam membaca maka anak akan diberikan bantuan berupa cara
mengucapkan dan merangkai kata yang baik dan benar.
Pembelajaran membaca menggunakan media papan flakat dimulai
dari membaca huruf, menjadi suku kata. Penelitian ini akan
ditekankan pada membaca huruf dan merangkai suku kata yang akan
menjadi pokok materi pada penelitian ini. Mengetahui apakah anak
benar-benar telah mampu membaca suku kata yang dibacanya, maka
akan diberikan cara lain untuk mengetahui kemampuan membaca
yakni berupa pengecohan dengan dua kata yang lainnya yang hampir
mirip bentuk dan bunyinya. Pada tahap ini intervensi akan dilakukan
secara berulang-ulang sesuai dengan waktu yang diberikan dan
ditentukan sebelumnya.
Berikut adalah alur proses pembelajarannya:
3. Menentukan baseline dua
Pada baseline ini merupakan fase pengulangan dari baseline satu,
dimana anak tidak diberikan perlakuan. Hal pertama yang akan
dilakukan yaitu peneliti akan mengkondisikan anak kembali terlebih
dahulu pada kondisi belajar. Tahap baseline dua ini digunakan untuk
huruf k-a-k-i
Ka-ki Suku Kata
51
mengevaluasi anak dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan membacanya setelah diberikan intervensi. Hasil akan
dihitung dengan rumus yang sama seperti pada baseline satu dan
intervensi dalam bentuk persentase.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMPLB YPLB Banjarmasin yang
beralamat di jalan Yos Sudorso Gg 66 Komplek Airmantan Banjarmasin
Kalimantan Selatan.
Alasan peneliti memilih sekolah ini sebagai tempat yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Subjek penelitian bersekolah di SMPLB YPLB Banjarmasin.
2. Jenis dan karakteristik subjek sesuai tujuan dibuatnya media
pembelajaran.
3. Terjalinnya interaksi yang baik dan harmonis antara peneliti dengan
pihak sekolah baik dengan kepala sekolah, penelitian, masyarakat
lingkungan sekolah, dan subjek penelitian.
Tempat pengumpulan data dari tahap baseline 1 (A1) yang
dilakukan sebanyak 4 sesi, intervensi yang dilakukan sebanyak 6 sesi, dan
baseline 2 (A2) sebanyak 4 sesi sepenuhnya dilakukan di tempat tinggal
anak yang beralamat di Jalan Veteran Gang 5 Sejati No.33 Banjarmasin.
Ruangan yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah ruang tamu,
dengan kondisi ruangan yang sedikit bersih, pencahayaan yang cukup dan
sirkulasi udara di dalam ruangan sudah berjalan optimal.
52
Rumah tempat tinggal anak digunakan sebagai tempat
pengumpulan data atas kesepakatan antara pihak sekolah, orang tua dan
peneliti yang bertujuan agar kegiatan penelitian berjalan dengan efektif
dan tidak mengganggu kegiatan belajar dan mengajar di dalam kelas.
E. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini tunggal, yaitu seorang anak tunagrahita
ringan kelas VII SMPLB YPLB Banjarmasin (Terlampir).
F. Sistem Pencatatan Data
Sistem pencatatan data dalam penelitian ini akan diperoleh melalui
pencatatan dengan produk permanen. Pencatatan dengan produk permanen
ini dilakukan terhadap variabel atau target behavior yang dihasilkan oleh
subjek dimana datanya secara langsung berada pada dokumen tertentu.
Lembar tes yang dijawab anak itulah yang dimaksud sebagai produk
permanen, kemudian data diubah menjadi persentase.
Pengukuran dalam penelitian yang dilakukan peneliti sebagai berikut:
1. Observasi
Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan
pengamatan secara langsung mengenal fenomena-fenomena dan gejala
psikis maupun psikologi dengan pencatatan namun tetap mengadakan
pertimbangan kemudian mengadakan penilaian.50
50 Suharsimi Arikunto, Op.Cit,hlm 272.
53
Untuk memperkuat hasil pengamatan tentang kemampuan
membaca permulaan anak, maka peneliti mengamati kemampuan dasar
membaca anak dengan melihat proses pembelajaran oleh peneliti dan
terjun langsung menemui anak diteliti menggunakan huruf-huruf
alphabet dan suku kata yang ditempel pada dinding kelas.
2. Tes
Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk
mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan
aturan-aturan yang sudah ditentukan.51 Tes dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan dasar dan pencapaian atau prestasi.52
Kesimpulan di atas bahwa tes adalah suatu alat yang dipergunakan
untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan
atau bakat, berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan harus
dijawab dan dikerjakan oleh siswa baik secara individu maupun
kelompok dan hasilnya dapat dijadikan perbandingan dengan standar
yang telah ditentukan.
Tes yang digunakan adalah tes untuk mengukur kemampuan awal
(baseline) dan tes untuk mengukur kemampuan setelah dilakukan
intervensi. Bentuk tes yang dilakukan adalah tes perbuatan untuk
membaca huruf dan suku kata menjadi kata. Hasil kedua tes tersebut
akan dibandingkan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan yang
51 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm 67. 52 Suharsimi Arikunto, Op.Cit, hlm 266.
54
dicapai dalam membaca permulaan dengan menggunakan media
flakat.
Tes yang dilakukan berbentuk pre test dan post tes. Pre test
digunakan sebagai baseline (A-1), yaitu tes yang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan awal anak dalam membaca permulaan
sebelum diberikan intervesi. Post test diberikan pada saat intervensi
(B) dan setelah intervensi atau baseline 2 (A-2). Tes ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh intervensi yang telah diberikan dalam
kemampuan membaca huruf dan suku kata.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat yang
digunakan untuk memperoleh data-data yang diperlukan selama
penelitian berlangsung. Materi yang diberikan menyebutkan dan
menunjukkan bunyi huruf, membaca suku kata ke kata.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah media papan
flakat dan kriteria penilaian (Terlampir).
a. Media Papan Flakat
Media papan flakat adalah media pembelajaran untuk membaca
permulaan yang terbuat dari papan berlapis kain flanel sebagai
media tempelnya. Terdiri dari pias-pias potongan bentuk huruf A
sampai Z yang dibuat dari kain flanel juga, bentuk itu dibuat
menyerupai huruf sesungguhnya. Media ini menggunakan
beberapa indera seperti penglihatan, pendengaran serta perabaan
55
dan perasaan. Penglihatan disini dapat melihat dan membaca dan
kejelian anak dalam mencari pias-pias huruf dan melihat gambar,
pendengaran disini anak mendengarkan instruksi dari peneliti
dalam membaca, sedangkan perabaan dan perasaan anak akan
mampu menyimpan memori ingatan tentang bentuk-bentuk huruf.
b. Kartu gambar benda
Gambar digunakan sebagai panduan anak untuk mengingat
huruf dan suku kata dalam membaca permulaan ketika dilakukan
intervensi. Peneliti mengenalkan gambar kepada siswa terlebih
dahulu, kemudian siswa diminta untuk menyebutkan gambar yang
telah diperlihatkan kepadanya. Peneliti memperkenalkan huruf
menjadi suku kata berupa nama-nama benda terlebih dahulu dan
anak sambil menyebutkan. Selain itu anak diminta untuk
menyusun huruf dan memilih suku kata yang disediakan
mengunakan media papan flakat sesuai dengan yang disebutkan
peneliti berupa nama-nama benda.
G. Uji Validitas Instrumen
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat
kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Suatu instrumen yang valid
atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang
valid berarti memiliki validitas rendah.53
53 Suharsimi arikunto, Op.Cit, hlm 211.
56
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut
dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.54 Pada
penelitian ini, validitas dilakukan dengan cara menyusun butir soal
mengenai kemampuan membaca permulaan. Melakukan penelitian uji
ahli (judgement) kepada tim penilai, dan tim penilai pada perhitungan
validitas ini adalah para ahli dibidang pendidikan Bahasa Indonesia. Uji
validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi berupa expert-
judgement dalam hal ini adalah pakar dan guru. Instrumen yang berbentuk
tes, pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara
isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan.55
Data yang diperoleh dari penilaian tim ahli dinilai validitasnya
menggunakan rumus sebagai berikut :
P= 𝑓
∑𝑓 x 100%
Ket :
P = Presentase
f = jumlah cocok
∑ 𝑓 = jumlah penilai ahli56
54 Sugiyono, Op.cit, ( Bandung: Alfabeta, 2012), hlm 173. 55 Ibid, hlm 182 56 Millatulhaq, pengaruh senam irama terhadap keseimbangan tubuh anak tunagrahita sedang
SLB-C sukapura Bandung, tersedia online: repository.upi.edu (Bandung:universitas Pendidikan
Indonesia, 2014), hlm 11
57
Penilaian dilakukan oleh salah satu orang dosen dari jurusan
Bahasa Indonesia dan guru Bahasa Indonesia di SMPLB YPLB
Banjarmasin.
Tabel 3.1
Nama Validator Expert Judgement
No Nama Jabatan
1. Dewi Alfianti, M.Pd Dosen Jurusan Bahasa Indonesia
2. Erlina, S.Pd Guru Bahasa Indonesia di SMPLB YPLB
H. Uji Reliabilitas Data Pengukuran
Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul
data karena instrumen tersebut sudah baik.57 Reliabilitas data penelitian
sangat menentukan kualitas hasil penelitian. Hasil penelitian dapat
dipercaya salah satu syaratnya adalah data penelitian harus reliabel.
Penelitian ini aspek perilaku yang akan diukur adalah kemampuan
membaca permulaan. Pengamatan ini akan dilakukan oleh dua orang dan
untuk mengetahui apakah pencatatan data tersebut sudah reliabel atau
belum maka dihitung persentase agrement (percent agrement). Untuk
menghitung percent agrement dapat dilakukan dengan menghitung
persentase kesepakatan total (total percent agrement) dengan rumus :
𝑂 + 𝑁
𝑇 × 100 = ⋯ %
57 Suharsimi, Arikunto, Op.cit., hlm 221
58
Keterangan :
O (occurence agreement) adalah interval dimana target behavior terjadi
dan terjadi persamaan (agreement) antara pengamat 1 dan 2.
N (nonoccurence agreement) adalah interval dimana target behavior
tidak terjadi menurut kedua pengamat.
T adalah banyaknya interval yang digunakan58
I. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap terakhir sebelum menarik
kesimpulan. Data yang didapat diolah dianalisis ke dalam statistik
deskriptif. Sementara analisis data penelitian dengan SSR (single subject
research) ini menggunakan analisis visual. Penelitian pada kasus tunggal
penggunaan statistik yang komplek tidak dilakukan tetapi lebih banyak
mengunakan statistik deskriftif yang sederhana sebab dalam penelitian
dengan desain kasus tunggal terfokus pada data individu daripada data
kelompok.59
Analisis visual suatu grafik meliputi analisis dalam kondisi dan
antar kondisi. Analisis perubahan dalam kondisi dengan menganalisis
perubahan data dalam suatu kondisi seperti baseline atau kondisi
intervensi dan komponen yang akan dianalisis yakni tingkat stabilitas,
kecenderungan arah dan tingkat perubahan.
58 Juang Sunanto, Op.cit., hlm 29 59 Ibid hlm 93
59
Sementara menganalisis perubahan antar kondisi, data yang stabil
harus mendahului kondisi yang akan dianalisis tersebut. Aspek stabilitas
ada atau tidaknya pengaruh intervensi yang diberikan tergantung pada
aspek perubahan level serta besar kecilnya overlap yang terjadi antara dua
kondisi yang dianalisis.
Menganalisis pengaruh intervensi terhadap variabel terikat peneliti
tidak boleh hanya fokus pada perubahan level saja namun juga harus
memperhatikan panjang pendeknya intervensi atau pengukuran yang
diberikan pada kedua kondisi. Perbedaan prosedur pengukuran antar
kondisi juga harus diperhatikan. Penelitian ini dalam menganalisis datanya
menggunakan analisis visual meliputi analisis dalam kondisi dan antar
kondisi.
Komponen analisis dalam kondisi yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain:
1. Menentukan kondisi baseline dan intervensi
Kondisi baseline pertama ditulis A-1, intervensi ditulis B
kemudian pengulangan baseline pertama ditulis A-2, maka kondisi
grafik yang digunakan:
Kondisi A-1 B A-2
60
2. Menentukan panjang interval
Panjang kondisi dalam penelitian dilihat dari banyaknya data
poin atau skor pada setiap kondisi.60 Penelitian ini panjang interval
dengan menggunakan sesi pada setiap kondisinya yakni 4 sesi untuk
baseline (A-1), 6 sesi untuk intervensi (B) dan 4 sesi untuk baseline
(A-2) untuk setiap variabel atau kondisi.
Panjang interval
Kondisi A-1 B A-2
Panjang Kondisi
3. Menentukan Estimasi Kecenderungan
Mengestimasi kecenderungan arah untuk memberikan
gambaran perilaku yang sedang diteliti. Peneliti secara reliabel dapat
menentukan pengaruh kondisi (intervensi) yang dikontrol. Penelitian
ini menggunakan metode belah dua (split-middle). Karena metode ini
menggunakan urutan data secara pasti (median) maka dipastikan lebih
reliabel.
a. Bagi data pada posisi baseline pertama menjadi 2 bagian (1)
b. Bagian kanan dan kiri juga dibagi menjadi 2 bagian (2a)
c. Menentukan posisi median dari masing-masing belahan (2a)
d. Tarik garis sejajar dengan absis yang menghubungkan titik temu
antara (2a) dengan (2b)
60 Ibid, hlm 93
61
Estimasi kecenderungan arah
Kondisi A1 B A2
Estimasi kecenderungan arah
4. Menentukan kecenderungan stabilitas
Menentukan kecenderungan stabilitas, dalam hal ini
menggunakan kriteria stabilitas 15%, maka perhitungannya seperti ini.
Skor
tertinggi
X
Kriteria
stabilitas
=
Rentang
stabilitas
.... X 0.15 = ....
a. Menghitung mean level, yaitu semua skor dijumlahkan dan
dibagi dengan banyak poin data.
b. Menentukan batas atas, yaitu mean level ditambah setengah
rentang stabilitas.
c. Menentukan batas bawah, yaitu mean level dikurangi
setengah rentang stabilitas.
Menentukan persentase stabilitas dikatakan stabil apabila
85% - 90% sedangkan dibawah itu dikatakan tidak stabil
(variabel). Cara menghitung rentang stabilitas :
Banyak data poin yang
ada dalam rentang
:
Banyaknya
data point
=
Persentase
stabilitas
.... : .... = ....
62
5. Menentukan jejak data
Menentukan jejak data, hal ini sama dengan kecenderungan
arah. Memasukkan hasil yang sama seperti kecenderungan arah.
Apakah meningkat (+), menurun (-) atau sejajar dengan sumbu X
(=).
6. Menentukan level stabilitas dan rentang
Tingkat stabilitas menunjukkan derajat variasi atau besar dan
kecilnya rentang pada kelompok tertentu. Apabila rentang datanya
kecil atau tingkat variasinya rendah, maka data dikatakan stabil.
Secara umum 85% - 90% data dikatakan stabil, sedangkan dibawah
itu dikatakan tidak stabil. Menentukan tingkat dan rentang stabilitas
yaitu dengan cara menentukan rata-rata tingkat yang dilakukan
dengan cara menjumlahkan nilai seluruh titik data dan membagi
jumlahnya dengan jumlah titik data.
Level stabilitas dan rentang
Kondisi A1 B A2
Level stabilitas dan
rentang … . − … .
… . −. …
… . − . …
7. Menentukan level perubahan
Menentukan level perubahan dengan cara tandai hari
pertama dan data terakhir pada baseline A. Hitunglah selisih antara
kedua data dan tentukan arahnya menaik atau menurun dan beri
63
tanda (+) jika membaik, (-) memburuk, dan (=) jika tidak ada
perubahan. Level perubahan data dapat ditulis sebagai berikut.
Kondisi A1 B A2
Level perubahan … . −. . . .
(… . )
… . − … .
(… . )
… . − … .
(… . )
Komponen analisis antar kondisi yang digunakan dalam
penelitian ini anatara lain:
1. Menentukan jumlah variabel yang diubah
Pada data variabel yang akan diubah dari kondisi baseline
(A) ke intervensi (B) adalah 1.
Jumlah variabel yang diubah
Perbandingan kondisi
B1/A1
(2:1)
Jumlah variabel yang diubah 1
2. Menentukan perubahan arah dan efeknya
Menentukan perubahan kecenderungan arah dengan
mengambil data pada analisis dalam kondisi.
Perbandingan kondisi
B1/A1
(2:1)
Perubahan kecenderungan
arah dan efeknya
( − ) ( + )
positif
64
3. Menentukan kecenderungan stabilitas
Perubahan kecenderungan stabilitas antar kondisi dapat
dilihat efek dan pengaruh intervensi yang diberikan. Data yang
dapat dikatakan stabil bila menunjukkan arah mendatar, menaik,
dan menurun yang konsisten.
Perbandingan kondisi
B1/A1
(2:1)
Perubahan kecenderungan stabilitas
Variabel
Ke
Stabil
4. Menentukan level perubahan
Perubahan level dapat menunjukkan seberapa besar data
berubah. Tingkat perubahan data antar kondisi ditunjukkan dengan
selisih antara data terakhir pada kondisi pertama (baseline) dengan
data pertama pada kondisi berikutnya (intervensi). Nilai selisih
menggambarkan seberapa besar terjadi perubahan perilaku akibat
intervensi.
Perbandingan kondisi
B1/A1
(2:1)
Perubahan level
( .... - .....)
65
5. Menentukan data overlap
Menentukan overlap data pada kondisi baseline 1 (A1),
intervensi (B) dan baseline 2 (A2) dengan cara:
a. Lihat kembali batas bawah dan atas pada kondisi baseline
b. Hitung ada berapa data point pada kondisi intervensi (B)
yang berada pada rentang kondisi (A) (1)
c. Perolehan pada langkah 2 dibagi dengan banyaknya data
point dalam kondisi (B) kemudian dikalikan 100.
Perbandingan kondisi
B1/A1
(2:1)
Persentase overlap ......%
66
J. Jadwal Penelitian
No Tahap Kegiatan Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni
Minggu Ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1. Persiapan Judul
Proposal
BAB 1,2,3
Perijinan
2. Pelaksana
an
Baseline A1
Intervensi B
Baseline A2
3. Penyelesai
an
Analisis
data
Penyusunan
laporan
Tabel 3.2
Jadwal Penelitian
67
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran objektif mengenai
penggunaan media papan flakat untuk meningkatkan kemampuan membaca
permulaan anak tunagrahita ringan. Didapatkan data kemampuan subjek dari
tahap baseline 1 (A1), intervensi (B), dan baseline 2 (A2) dari tanggal 4 April
2016 sampai 19 April 2016. Target behavior dalam penelitian ini, yaitu membaca
bunyi huruf, suku kata. Jumlah subjek pada penelitian ini adalah satu orang anak
tunagrahita ringan kelas VII SMPLB YPLB Banjarmasin. Pengolahan data yang
digunakan peneliti ialah dengan persentase. Perhitungan persentase diperoleh dari
jumlah skor yang didapat oleh anak, dibagi skor maksimal dikalikan 100%.
dengan keterangan skor yaitu jika anak dapat menyebutkan/membaca dengan
lancar tanpa dibantu dapat nilai 5, jika anak dapat menyebutkan/membaca tetapi
tidak lancar/terputus-putus dapat nilai 4, jika anak dapat menyebutkan/membaca
dengan sedikit bantuan dapat nilai 3, jika anak hanya dapat
menyebutkan/membaca dengan dibantu dapat nilai 2, jika anak tidak dapat sama
sekali menyebutkan/membaca satu huruf pun dapat nilai 1.
Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan eksperimen subjek
tunggal atau Single Subject Research (SSR). Desain SSR yang digunakan dengan
pola desain A-B-A. Data yang dikumpulkan dianalisis melalui statistik deskriptif
dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Pada tahap baseline 1 (A1) dilakukan empat
68
sesi, tahap intervensi (B) enam sesi, dan tahap baseline 2 (A2) empat sesi. Berikut
hasil penelitian, analisis visual serta pembahasan yang disajikan peneliti.
A. Hasil Penelitian
1. Baseline 1 (A1)
Langkah pertama dalam memulai penelitian ini adalah menentukan
kondisi awal kemampuan anak sebelum diberikan intervensi. Hal ini
disebut dengan baseline 1 (A1). Menentukan kondisi baseline 1 pada
anak, peneliti menggunakan instrumen yang sudah disediakan untuk
mengukur kemampuan membaca permulaan. Hasil baseline 1 (A1) dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 4.1
Hasil Tahap Baseline 1 (A1)
Sesi
Jumlah
soal
Skor
maksimal
Skor tes Persentase (%))
1 (4 April 2016) 30 275 89 32,3
2 (5 April 2016) 30 275 79 28,7
3 (6 April 2016) 30 275 85 30,9
4 (7 April 2016) 30 275 85 30,9
Data primer: April, 2016
Tabel 4.1 menunjukkan hasil kemampuan subjek dalam
kemampuan membaca permulaan. Hasil observasi pada sesi ke 1 dengan
skor 89 memperoleh persentase 32,3%. Subjek dapat
menyebutkan/membaca dengan lancar tanpa dibantu ada 1 soal dalam
bentuk membaca bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital seperti
69
huruf /h/ dan /n/. Subjek dapat menyebutkan/membaca tetapi tidak
lancar/terputus-putus ada 1 soal dalam bentuk menyebutkan bunyi huruf
vokal/konsonan cetak kecil/kapital seperti huruf /d/ dan /p/, saat diminta
mengulang lagi dalam membaca, subjek merasa ragu-ragu dalam
menyebutkannya.
Subjek dapat menyebutkan/membaca 1 soal dengan sedikit bantuan
dalam bentuk membaca bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital.
Subjek hanya dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu 4 soal dalam
bentuk membaca bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital, 1 soal
membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, 2 soal membedakan huruf
konsonan cetak kecil/kapital, dan 1 soal menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar. Subjek tidak dapat sama sekali menyebutkan/membaca
satu huruf pun ada 1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf
vokal/konsonan cetak kecil/kapital yaitu /V/ dan /w/, 3 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf konsonan cetak kecil/kapital, 8 soal dalam bentuk
menyusun suku kata menjadi kata sesuai gambar, dan 5 soal dalam bentuk
memasangkan gambar dengan kata.
Hasil tes pada sesi ke 2 dengan skor 79 memperoleh persentase
28,7%. Subjek dapat menyebutkan/membaca 1 soal dengan sedikit
bantuan dalam bentuk membaca bunyi huruf /h/ dan /n/ karena huruf
tersebut terdapat dalam namanya sehingga subjek ingat. Subjek hanya
dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 6 soal dalam bentuk
70
membaca bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital, 1 soal dalam
bentuk membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, 2 soal membedakan
huruf konsonan cetak kecil/kapital, dan 1 soal dalam bentuk menyusun
suku kata menjadi kata sesuai gambar seperti /dagu/ subjek menyusunnya
menjadi /dabu/. Subjek tidak dapat sama sekali menyebutkan/membaca
satu huruf pun ada 1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf
vokal/konsonan cetak kecil/kapital seperti huruf /q/ dan /a/, 3 soal dalam
bentuk membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf konsonan cetak kecil/kapital, 8 soal dalam bentuk
menyusun suku kata menjadi kata sesuai gambar, dan 5 soal dalam bentuk
memasangkan gambar dengan kata. Sesi ke 2 ini subjek mengalami
penurunan perolehan persentase dikarenakan saat itu kondisinya lagi
kurang sehat.
Hasil tes pada sesi ke 3 dengan skor 85 memperoleh persentase
30,9%. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan ada
1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf /h/ dan /n/. Subjek hanya dapat
menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 6 soal dalam bentuk
membaca bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital, 3 soal dalam
bentuk membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, dan 4 soal dalam
bentuk membedakan huruf konsonan cetak kecil/kapital. Subjek tidak
dapat sama sekali menyebutkan/membaca satu huruf pun ada 1 soal dalam
bentuk membaca bunyi huruf /Q/ dan /o/, 1 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, 9 soal dalam bentuk
71
menyusun suku kata sesuai gambar, dan 5 soal dalam bentuk
memasangkan gambar dengan kata.
Hasil tes pada sesi ke 4 sama dengan sesi ke 3 yaitu dengan skor 85
memperoleh persentase 30,9%. Subjek dapat menyebutkan/membaca
dengan sedikit bantuan ada 1 soal masih dengan bentuk soal yang sama
pada sesi ke 1, 2, dan 3 yaitu membaca bunyi huruf /h/ dan /n/. Subjek
hanya dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 6 soal dalam
bentuk membaca bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital, 1 soal
dalam bentuk membedakan huruf vokal cetak kecil/kapital, 4 soal dalam
bentuk membedakan huruf konsonan cetak kecil/kapital, 1 soal dalam
bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai gambar seperti /pipi/
subjek menyusunnya menjadi /Ripi/, dan 2 soal dalam bentuk
memasangkan gambar dengan kata. Subjek tidak dapat sama sekali
menyebutkan/membaca satu huruf pun ada 1 soal dalam bentuk membaca
bunyi huruf /Q/ dan /o/, 3 soal dalam bentuk membedakan huruf vokal
cetak kecil/kapital, 8 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar, dan 3 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan
kata.
Kesulitan yang dialami oleh subjek pada hari pertama masih
beradaptasi dengan soal ketika disuruh menjawab soal untuk membaca
bunyi huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital subjek masih bingung
dengan huruf yang hampir sama bentuknya. Membedakan huruf
vokal/konsonon cetak kecil/kapital subjek tidak mengetahui kalau abjad
72
itu terdiri dari huruf vokal dan konsonan, sehingga subjek saat menjawab
soal cuma menerka-nerka. Menyusun suku kata menjadi kata sesuai
gambar, saat melihat gambar pada soal subjek mengetahui hanya
beberapa gambar yang sering dilihatnya sehingga subjek tahu namanya.
Saat disediakan potongan suku kata untuk ditempelkan pada bawah
gambar, subjek tidak tahu huruf apa saja yang cocok untuk nama gambar
tersebut. Selain itu, subjek belum begitu memiliki kesadaran bentuk,
bunyi serta arah huruf yang benar. Subjek masih terbolak balik memasang
suku kata jika tidak diingatkan kembali. Memasangkan gambar dengan
kata, pada soal sudah tersedia tulisan/nama gambar yang diinginkan.
Subjek hanya menyebutkan satu persatu hurufnya namun tidak bisa
merangkainya, misalkan /Tas/ dibaca /Ts/, /Pir/ dibaca /Pr/ sehingga saat
memilih gambar subjek hanya menerka-nerka. Sesi ke 3 subjek bisa
berkonsentrasi lagi, keadaannya sudah sehat kemudian mau mengerjakan
soal, peneliti memberi motivasi agar subjek terus berusaha dalam belajar
membaca walaupun salah. Secara visual, data pada tabel diatas dapat
digambarkan sebagai berikut :
73
Grafik 4.1
Hasil Tahap Baseline 1 (A1)
Grafik 4.1 dapat diketahui bahwa lamanya pengamatan dilakukan
sebanyak empat sesi dan data yang diperoleh pada sesi pertama 32,3%,
sesi kedua 28,7%, sesi ketiga dan sesi keempat mendapatkan hasil yang
sama yaitu 30,9% pada kondisi baseline A1.
2. Intervensi (B)
Setelah mengetahui kemampuan anak pada tahap baseline 1 (A1),
selanjutnya adalah tahap intervensi. Tahap ini subjek akan diberikan
intervensi kemampuan membaca permulaan dengan media papan flakat.
Hasil subjek setelah mendapat intervensi dapat dilihat dalam tabel berikut.
32.30% 28.70% 30.90% 30.90%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1 2 3 4
Sesi
Baseline 1 (A1)
74
Tabel 4.2
Hasil Tahap Intervensi
Sesi
Jumlah
Soal
Skor
Maksimal
Skor
Tes
Persentase
(%)
5 (8 April 2016) 30 275 126 45,8%
6 (9 April 2016) 30 275 130 47,2%
7 (11 April 2016) 30 275 136 49,4%
8 (12 April 2016) 30 275 165 60%
9 (13 April 2016) 30 275 168 61%
10 (14 April 2016) 30 275 173 62,9%
Data primer: April, 2016
Tabel 4.2 menunjukkan hasil kemampuan subjek dalam
kemampuan membaca permulaan pada pengamatan sesi ke 5 dengan skor
126 memperoleh persentase 45,8%. Proses membaca dalam menjawab
soal masih ada 5 soal yang tidak dapat sama sekali
menyebutkan/membaca dalam hal menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar kesulitan subjek yaitu tidak mengetahui beberapa nama
gambar yang tersedia saat dibantu menyebutkan gambarnya subjek tetap
tidak mengetahui suku kata apa yang tepat untuk nama gambar tersebut.
Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 5 soal dalam
bentuk membaca huruf vokal/konsonan cetak kecil/kapital, 2 soal dalam
bentuk membedakan huruf vokal, 2 soal dalam bentuk menyusun suku
kata menjadi kata sesuai gambar, dan 1 soal dalam bentuk memasangkan
gambar dengan kata. Subjek dapat menyebutkan /membaca dengan sedikit
75
bantuan ada 3 soal dalam bentuk membaca bunyi, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal, 4 soal dalam bentuk membedakan huruf
konsonan, 2 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai
gambar, dan 4 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata.
Hasil tes pada sesi ke 6 dengan skor 130 memperoleh persentase
47,2%. Subjek tidak dapat sama sekali menyebutkan/membaca ada 5 soal
dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai gambar, dan 1 soal
dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata. Subjek dapat
menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 5 soal dalam bentuk
membaca huruf, 1 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar, dan 1 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan
kata. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan ada 3
soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 8 soal membedakan huruf vokal
dan konsonan, 3 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar, dan 3 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan
kata.
Hasil tes pada sesi ke 7 dengan skor 136 memperoleh persentase
49,4%. Subjek tidak dapat sama sekali menyebutkan/membaca hanya ada
1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf /L/ dibaca /J/ dan /j/ dibaca /i/.
Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 3 soal dalam
bentuk membaca huruf, 3 soal membedakan huruf vokal, 2 soal
membedakan huruf konsonan, 5 soal dalam bentuk menyusun suku kata
menjadi kata sesuai gambar, dan 1 soal dalam bentuk memasangkan
76
gambar dengan kata. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan sedikit
bantuan ada 3 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 1 soal dalam
bentuk membedakan huruf vokal, 2 soal dalam bentuk membedakan huruf
konsonan, 4 soal dalam bentuk menyusun suku kata sesuai gambar, dan 4
soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata. Subjek dapat
menyebutkan/membaca tetapi tidak lancar/terputus-putus ada 1 soal yaitu
membaca huruf /h/ dan /n/.
Hasil tes pada sesi ke 8 dengan skor 165 memperoleh persentase
60%. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 2 soal
dalam bentuk membaca bunyi huruf, 1 soal dalam bentuk membedakan
huruf konsonan, 5 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan sedikit
bantuan ada 2 soal dalam bentuk membaca huruf, 4 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal, 3 soal dalam bentuk membedakan huruf
konsonan, 4 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai
gambar, dan 5 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata.
Subjek dapat menyebutkan/membaca tetapi tidak lancar/terputus-putus
ada 4 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf.
Hasil tes pada sesi ke 9 dengan skor 168 memperoleh persentase
61%. Subjek hanya dapat menyebutkan/membaca denga dibantu ada 3
soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 2 soal dalam membedakan
huruf vokal dan konsonan, dan 2 soal dalam bentuk menyusun suku kata
menjadi kata sesuai gambar. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan
77
sedikit bantuan ada 2 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 2 soal
membedakan huruf vokal dan huruf konsonan, 7 soal dalam bentuk
menyusun suku kata menjadi kata sesuai gambar, dan 2 soal dalam bentuk
memasangkan gambar dengan kata. Subjek dapat menyebutkan/membaca
tetapi tidak lancar/terputus ada 3 soal dalam bentuk membaca bunyi
huruf, 4 soal dalam bentuk membedakan huruf vokal dan huruf konsonan,
dan 3 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata.
Hasil tes pada sesi ke 10 dengan skor 173 memperoleh persentase
62,9%. Subjek hanya dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu ada 4
soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 2 soal dalam bentuk menyusun
suku kata menjadi kata sesuai gambar. Subjek dapat
menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan ada 2 soal membaca
bunyi huruf, 3 soal dalam bentuk membedakan huruf vokal, 4 soal dalam
bentuk membedakan huruf konsonan, 7 soal dalam bentuk menyusun
suku kata menjadi kata sesuai gambar, dan 1 soal dalam bentuk
memasangkan gambar dengan kata. Subjek dapat menyebutkan/membaca
tetapi tidak lancar/terputus-putus ada 1 soal dalam bentuk membaca bunyi
huruf /d/ dan /p/, 1 soal dalam membedakan huruf vokal, dan 4 soal dalam
bentuk memasangkan gambar dengan kata. Subjek dapat
menyebutkan/membaca dengan lancar ada 1 soal dalam bentuk membaca
bunyi huruf /h/ dan /n/.
Kesulitan yang terlihat pada hasil intervensi dari sesi ke 5 sampai
ke 10. Subjek masih harus diingatkan dalam membaca kalau tidak bisa
78
harus dieja jangan disebutkan hurufnya 1 persatu. Kondisi subjek setiap
pertemuan berbeda-beda moodnya turun naik. Kadang bersemangat dalam
mengerjakan soal kadang tidak sehingga mempengaruhi soal yang sudah
subjek ingat, membuat peneliti harus mengingatkan misalnya pada soal
tentang gambar subjek kadang ingat kadang tidak dengan nama gambar
yang seharusnya subjek ketahui. Tahap intervensi ini peneliti memberikan
treatment menggunakan media selalu berulang-ulang sampai subjek
mengerti. Menjawab soal pun dengan lisan, karena menjawab soal
langsung menggunakan medianya sehingga subjek langsung melihat dan
memegang huruf-huruf yang sudah disediakan. Terlihat dari skor dan
persentase yang diperoleh subjek, kemampuan dalam menjawab dan
membaca bunyi huruf dan suku kata meningkat.
Secara visual, data pada tabel diatas dapat digambarkan sebagai
berikut :
Grafik 4.2
Hasil Tahap Intervensi (B)
45.80% 47.20% 49.40%
60.00% 61% 62.90%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1 2 3 4 5 6
Sesi
Intervensi (B)
79
Grafik 4.2 pada kondisi intervensi dilakukan selama enam kali
pertemuan mendapatkan hasil yang meningkat dengan data yang
diperoleh sesi kelima 45,8%, sesi keenam 47,2%, sesi ketujuh 49,4%,
sedangkan sesi kedelapan mengalami peningkatan menjadi 60%, dan
terus meningkat pada sesi kesembilan menjadi 61%, hingga pada sesi
kesepuluh mendapatkan hasil 62,9%.
3. Baseline 2 (A2)
Tahap baseline 2 (A2) dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai
perbandingan apakah terdapat peningkatan terhadap kemampuan
membaca permulaan subjek setelah diberikan fase intervensi. Hasil dari
baseline 2 (A2) dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.3
Hasil Tahap Baseline 2 (A2)
Sesi
Jumlah
Soal
Skor
Maksimal
Skor
Tes
Persentase
(%)
11 (15 April 2016) 30 275 207 75,2
12 (16 April 2016) 30 275 210 76,3
13 (18 April 2016) 30 275 229 83,2
14 (19 April2016) 30 275 240 87,2
Data primer: April, 2016
Tabel 4.3 menunjukkan hasil kemampuan subjek dalam membaca
permulaan pada pengamatan sesi ke 11 dengan hasil skor tes 207
memperoleh persentase 75,2%. Subjek tidak dapat sama sekali
80
menyebutkan/membaca hanya ada 1 soal dalam bentuk menyusun suku
kata menjadi kata sesuai gambar, misalnya gambar /bumi/ subjek
menyebutnya /bulan/. Subjek hanya dapat menyebutkan/membaca dengan
dibantu hanya ada 1 soal juga, yaitu dalam bentuk membedakan huruf
konsonan. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan
ada 1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf yaitu /V/ dan /w/, 2 soal
dalam bentuk membedakan huruf vokal dan konsonan.
Subjek dapat menyebutkan/membaca tetapi tidak lancar/terputus-
putus ada 5 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 3 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal, 2 soal dalam bentuk membedakan huruf
konsonan, 8 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai
gambar, dan 4 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata.
Hasil tes pada sesi ke 12 dengan skor 210 memperoleh persentase
76,3%. Subjek hanya dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu hanya
ada 1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf /q/ dibaca /p/. Subjek
dapat menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan ada 2 soal dalam
bentuk membaca bunyi huruf, 1 soal dalam bentuk membedakan huruf
vokal, 2 soal dalam bentuk membedakan huruf konsonan, dan 2 soal
dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai gambar.
Subjek dapat menyebutkan/membaca tetapi tidak lancar/terputus-
putus ada 3 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal, 1 soal dalam bentuk membedakan huruf
konsonan, 7 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata sesuai
81
gambar, dan 5 soal dalam bentuk memasangkan gambar dengan kata.
Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan lancar tanpa bantuan ada 2
soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf vokal dan konsonan.
Hasil tes pada sesi ke 13 dengan skor 229 memperoleh persentase
83,2%. Subjek hanya dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu hanya
ada 1 soal yaitu dalam bentuk membaca bunyi huruf /q/. Subjek dapat
menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan ada 3 soal dalam bentuk
membaca bunyi huruf, 2 soal dalam bentuk membedakan huruf vokal dan
konsonan, dan 2 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi kata
sesuai gambar.
Subjek dapat menyebutkan/membaca tetapi tidak lancar/terputus-
putus ada 1 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 1 soal dalam bentuk
membedakan huruf konsonan, 3 soal dalam bentuk menyusun suku kata
menjadi kata sesuai gambar, dan 2 soal dalam bentuk memasangkan
gambar dengan kata. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan lancar
tanpa dibantu ada 3 soal dalam bentuk membaca bunyi huruf, 3 soal
dalam bentuk membedakan huruf vokal, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf konsonan, 3 soal dalam bentuk menyusun suku kata
menjadi kata sesuai gambar, dan 3 soal dalam bentuk memasangkan
gambar dengan kata.
Hasil tes pada sesi ke 14 dengan skor 240 memperoleh persentase
87,2%. Subjek dapat menyebutkan/membaca dengan dibantu hanya ada 2
82
soal saja yaitu dalam bentuk membaca bunyi huruf /q/ dan /a/, serta
membedakan huruf konsonan cetak kecil/kapital. Subjek dapat
menyebutkan/membaca dengan sedikit bantuan ada 2 soal yaitu dalam
bentuk membaca bunyi huruf /Q/ dan /o/, serta membedakan huruf vokal
cetak kecil/kapital, dan 2 soal dalam bentuk menyusun suku kata menjadi
kata sesuai gambar.
Subjek dapat menyebutkan/membaca tetapi tidak lancar/terputus-
putus ada 4 soal dalam bentuk, membaca bunyi huruf, membedakan huruf
vokal dan konsonan, menyusun suku kata menjadi kata, dan
memasangkan gambar dengan kata. Subjek dapat menyebutkan/membaca
dengan lancar tanpa dibantu ada 5 soal dalam bentuk membaca bunyi
huruf, 3 soal dalam bentuk membedakan huruf vokal, 2 soal dalam bentuk
membedakan huruf konsonan, 6 soal dalam bentuk menyusun suku kata
menjadi kata sesuai gambar, dan 4 soal dalam bentuk memasangkan
gambar dengan kata.
Terlihat dari skor dan persentase tersebut menunjukkan bahwa
adanya peningkatan kemampuan membaca bunyi huruf dan suku kata
sebelum diberikan intervensi dan sesudah diberikan intervensi.
Secara visual, data pada tabel diatas dapat digambarkan sebagai
berikut :
83
Grafik 4.3
Hasil Tahap Baseline 2 (A2)
Grafik 4.3 menjelaskan bahwa pada tahap baseline A2 dilakukan
empat kali pertemuan dengan data yang diperoleh dari sesi sebelas sampai
sesi empat belas yaitu 75,2%, 76,3%, 83,2%, dan 87,2%.
4. Perolehan Data Kemampuan Membaca Permulaan
Hasil perolehan data siswa yang bernama A.R dalam pengukuran
kemampuan membaca permulaan pada kondisi baseline 1 (A1), intervensi
(B), dan baseline 2 (A2) ditampilkan dalam tabel dan grafik berikut :
75.20% 76.30%83.20%
87.20%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1 2 3 4
Sesi
Baseline 2 (A2)
84
Tabel 4.4
Hasil Pengukuran Kemampuan Membaca Permulaan pada Siswa
Tunagrahita Ringan
Baseline 1 (A1) Intervensi (B) Baseline 2 (A2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
32,3
%
28,7
%
30,9
%
30,9
%
45,8
%
47,2
%
49,4
%
60
%
61
%
62,9
%
75,2
%
76,3
%
83,2
%
87,2
%
Data primer: April, 2016
Secara keseluruhan, grafik hasil pengukuran pada Baseline 1 (A1),
Intervensi (B), dan Baseline 2 (A2) dapat digambarkan sebagai berikut :
Grafik 4.4
Persentase Hasil Baseline 1 (A1), Intervensi (B), Baseline 2
(A2)
Grafik 4.4 menunjukkan hasil pengukuran dari baseline 1 (A1),
intervensi (B), dan baseline 2 (A2) terlihat kemampuan awal pada
baseline 1 (A1) mendapatkan persentase 32,3%, 28,7%, 30,9%,30,9%.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kemampuan Membaca Permulaan
Sesi
Baseline 1 (A1) Intervensi (B) Baseline 2 (A2)
85
Setelah diberikan intervensi data menunjukkan peningkatan dan pada
tahap baseline 2 (A2) grafik menunjukkan peningkatan.
B. Analisis Data
Peneliti menggunakan analisis visual untuk mengetahui ada atau
tidaknya pengaruh dari suatu perlakuan/treatment terhadap variabel
terikat, maka dibutuhkan analisis dalam kondisi dan analisis antar kondisi.
1. Analisis Visual Dalam Kondisi
a. Panjang Kondisi
Panjang interval menunjukkan jumlah sesi dalam setiap
fase yaitu fase Baseline 1 (A1), Intervensi (B), dan Baseline 2
(A2).
Tabel 4.5
Panjang Kondisi
kondisi A1 B A2
1. Panjang Kondisi 4 6 4
Data primer: April, 2016
b. Estimasi Kecenderungan Arah
Estimasi kecenderungan arah adalah melihat perkembangan
perilaku dengan menggunakan garis naik, sejajar atau turun,
dengan membelah dua (split-middle) dengan cara :
1) Membagi data pada fase baseline atau intervensi menjadi dua
bagian
86
2) Bagian kanan kiri juga masing-masing dibagi menjadi dua
bagian lagi
3) Tarik garis sejajar dengan absis yang menghubungkan titik
temu antara garis grafik dengan garis belahan kanan dan kiri,
garisnya naik, mendatar, atau turun.
Grafik 4.5
Estimasi Kecenderungan Arah
Tabel 4.6
Estimasi Kecenderungan Arah
Kondisi A1 B A1
2. Estimasi
Kecenderungan Arah
(-)
(+)
(+)
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
BASELINE 1(A1)
BASELINE 2(A2)
INTERVENSI(B1)
Sesi
87
Hasilnya dapat dilihat bahwa data baseline 1 (A1) adalah
menurun (-) sedangkan pada fase intervensi (B) terjadi
peningkatan dengan kecenderungan arah naik (+) dan baseline 2
(A2) kecenderungan arahnya juga naik (+).
c. Kecenderungan Stabilitas
Menentukan kecenderungan stabilitas (trend stability)
kemampuan anak dalam kondisi baseline maupun intervensi,
dalam hal ini menggunakan kriteria stabilitas 15%. Secara umum
jika 85%-90% data masih berada pada 15% diatas dan dibawah
mean, maka data dikatakan stabil, maka perhitungannya sebagai
berikut :
1) Menghitung trend stabilitas 15% (nilai tertinggi x kriteria
stabilitas)
2) Menghitung mean level (jumlah point data dibagi banyak sesi)
3) Menentukan batas atas (mean level ditambah setengah dari
trend stabilitas)
4) Menentukan batas bawah (mean level dikurang setengah dari
trend stabilitas)
5) Menentukan kecenderungan stabilitas data point (menghitung
banyaknya data sesi yang berada pada rentang batas atas dan
batas bawah, dibagi dengan banyaknya sesi. Jika persentase
mencapai 85% - 90% dinyatakan stabil, sedangkan dibawah itu
dinyatakan variabel
88
a) Baseline 1 (A1)
(1) Rentang stabilitas
= nilai tertinggi x kriteria stabilitas
= 32,3 x 0,15 = 4,84
(2) Mean level = Jumlah persentase tiap sesi
jumlah sesi
= 32,3+28,7+30,9+30,9
4 =
122,8
4 = 30,7
(3) Batas atas
= Mean level + 1 2⁄ rentang stabilitas
= 30,7 + 2,42 = 33,12
(4) Batas bawah
= Mean level - 1 2⁄ rentang stabilitas
= 30,7 – 2,42 = 28,28
Grafik 4.6
Kecenderungan Stabilitas Baseline 1 (A1)
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4
Pe
rse
nta
se
BASELINE 1(A1)
mean batas atas
batas bawah
89
Tabel 4.7
Kecenderungan Stabilitas Baseline 1 (A1)
Banyak data yang ada
dalam rentang
Banyak data Persentase
4 4 100%
Data primer: April, 2016
b) Intervensi (B)
(1) Rentang Stabilitas
= Nilai tertinggi x Kriteria Stabilitas
= 62,9 x 0,15 = 9,43
(2) Mean Level
= Jumlah persentase tiap sesi
Jumlah sesi
= 45,8+47,2+49,4+60+61+62,9
6 =
326,3
6 =54,38333
(3) Batas atas
= Mean level + 1 2⁄ rentang stabilitas
= 54,38333 + 4,71 = 59,0933
(4) Batas bawah
= Mean level - 1 2⁄ rentang stabilitas
= 54,38333 – 4,71 = 49,6733
90
Grafik 4.7
Kecenderungan Stabilitas Intervensi (B)
Tabel 4.8
Kecenderungan Stabilitas Intervensi (B)
Banyak data yang ada
dalam rentang
Banyak data Persentase
3 6 50%
Data primer: April, 2016
c) Baseline 2 (A2)
(1) Rentang stabilitas
= nilai tertinggi x kriteria stabilitas
= 87,2 x 0,15 = 13
(2) Mean level = Jumlah persentase tiap sesi
jumlah sesi
= 75,2+76,3+83,2+87,2
4 =
321,9
4 = 80,475
(3) Batas atas
= Mean level + 1 2⁄ rentang stabilitas
= 80,475 + 6,5 = 86,975
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Sesi 6
Intervensi (B)
mean
91
(4) Batas bawah
= Mean level - 1 2⁄ rentang stabilitas
= 80,475 – 6,5 = 73,975
Grafik 4.8
Kecenderungan Stabilitas Baseline 2 (A2)
Tabel 4.9
Kecenderungan Stabilitas Baseline 2 (A2)
Banyak data yang ada
dalam rentang
Banyak data Persentase
3 4 75%
Data primer: April, 2016
Tabel 4.10
Kecenderungan Stabilitas
kondisi A1 B A2
3. Kecenderungan
Stabilitas
Stabil
(100%)
Tidak Stabil
(50%)
Tidak Stabil
(75%)
Data primer: April, 2016
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4
BASELINE 2 (A2)
batas atas
Batas bawah
mean
92
Trend stability dari data di atas didapatkan hasil pada fase
baseline 1 (A1) 100% maka dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan stabilitasnya adalah stabil karena sesuai dengan
kriteria bahwa data stabil berkisar 85% hingga 90% yang artinya
pada fase baseline 1 (A1) rentang data cenderung kecil atau
variasi yang rendah yakni konsisten. Fase selanjutnya yaitu pada
fase intervensi dengan kecenderungan stabilitas data tidak stabil
dengan persentase 50% artinya pada fase ini memiliki variasi
yang cukup tinggi atau memiliki rentang yang cukup besar
sehingga menjadi tidak konsisten. Terakhir pada fase beseline 2
(A2) memiliki stabilitas yang tidak stabil juga karena mencapai
75% yang artinya pada fase ini memiliki variasi yang cukup
tinggi atau memiliki rentang yang cukup besar sehingga menjadi
tidak konsisten .
d. Jejak Data
Menunjukkan kecenderungan jejak data, sama dengan
kecenderungan arah, oleh karena itu masukkan hasil yang sama
seperti kecenderungan arah.
Tabel 4.11
Jejak Data
Kondisi A1 B A2
4. Jejak Data
(-)
(+)
(+)
93
e. Level Stabilitas dan Rentang
Menentukan level stabilitas dan rentang adalah dengan cara
memasukkan masing-masing kondisi angka terkecil dan angka
terbesar.
Tabel 4.12
Level Stabilitas dan Rentang
Kondisi A1 B A2
5. Level Stabilitas dan
Rentang
Stabil
28,7- 32,3
Variabel
45,8-62,9
Variabel
75,2-87,2
Data primer: April, 2016
f. Perubahan Level
Menentukan level perubahan dengan cara menandai data
pertama (hari ke 1) dan terakhir, hitung selisih kedua data tersebut
(data terakhir dikurangi data pertama) dan tentukan arahnya
menaik atau menurun dan beri tanda (+) jika membaik, (-)
memburuk, dan (=) jika tidak ada perubahan.
Tabel 4.13
Perubahan Level
Kondisi A1 B A2
6. Perubahan
Level
30,9%-32,3%
(-1,4%)
62,9%-45,8%
(+17,1%)
87,2 %-75,2%
(+12%)
Data primer: April, 2016
94
Level perubahan digunakan untuk mengetahui dan melihat
bagaimana data pada sesi terakhir, artinya perubahan yang terjadi pada
baseline 1 (A1) dari sesi pertama hingga terakhir adalah -1,4%,
sedangkan pada fase intervensi 17,1% dan pada fase baseline 2 (A2)
perubahan yang terjadi yaitu 12%.
Jika keenam komponen analisis visual dalam kondisi dimasukkan
dalam format rangkuman, maka dapat dilihat sebagai berikut ini:
Tabel 4.14
Rangkuman Analisis Visual Dalam Kondisi
Kondisi A1 B A2
1. Panjang Kondisi 4 6 4
2. Estimasi
Kecenderungan Arah
3. Kecenderungan
Stabilitas
Stabil
(100%)
Tidak Stabil
(50%)
Tidak Stabil
(75%)
4. Jejak Data
(-) (+)
(+)
5. Level Stabilitas dan
Rentang
Stabil
28,7-32,3
Variabel
45,8-62,9
Variabel
75,2-87,2
6. Perubahan Level 30,9%-32,3%
(-1,4%)
45,8%-62,9%
(+17,1%)
75,2%-87,2
(+12%)
Data primer: April, 2016
95
2. Analisis Visual Antar Kondisi
a. Jumlah Variabel yang Diubah
Jumlah variabel yang diubah pada penelitian ini dari
kondisi baseline (A) ke intervensi (B) berjumlah satu yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.15
Jumlah Variabel yang Diubah
Kondisi B/A1 A2/B
1. Jumlah Variabel yang Diubah 1 1
Jumlah variabel yang diubah adalah satu, yaitu
kemampuan membaca permulaan pada siswa tunagrahita
ringan.
b. Perubahan Kecenderungan Efeknya
Menentukan perubahan kecenderungan arah dengan
mengambil data pada analisis dalam kondisi di atas (naik,
tetap, turun), yaitu untuk melihat perubahan perilaku.
Tabel 4.16
Perubahan Kecenderungan Efeknya
Kondisi B/A1 A2/B
2. Perubahan
kecenderungan
efeknya
(+) (-)
(+)
(+)
96
Analisis antar kondisi perubahan kecenderungan
arah dan efeknya dapat dilihat bagaimana perubahan yang
terjadi pada subjek dapat dilihat bahwa perbandingan antara
fase intervensi dengan baseline 1 (A1) data cenderung naik
(+), sedangkan pada baseline 1 (A1) kecenderungan
menurun (-). Perbandingan pada baseline 2 (A2) dengan
intervensi yaitu pada fase baseline 2 (A2) data cenderung
naik (+) dan fase intervensi data pada grafik cenderung naik
(+). Perubahan kecenderungan stabilitas digunakan untuk
melihat stabilitas pada subjek dalam masing-masing kondisi
baik pada baseline 1 (A1) dan intervensi (B).
c. Perubahan Kecenderungan Stabilitas
Perubahan kecenderungan stabilitas adalah untuk
melihat stabilitas perilaku dalam masing-masing kondisi
baik baseline maupun intervensi.
Tabel 4.17
Perubahan Kecenderungan Stabilitas
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
3. Perubahan Kecenderungan
Stabilitas
Stabil
ke
Variabel
Variabel
ke
Variabel
97
d. Perubahan Level
Melihat perubahan antara akhir sesi pada baseline 1
(A1) dan awal sesi pada intervensi (B) yaitu dengan cara
menetukan data poin pada kondisi baseline (A1) pada sesi
terakhir dan sesi pertama pada kondisi intervensi (B),
kemudian berapa selisihnya dan tandai (+) bila naik dan (=)
tidak ada perubahan dan (-) bila turun. Baik buruknya
kondisi sesuai dengan tujuan penelitian.
Tabel 4.18
Perubahan Level
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
4. Perubahan
Level
30,9 - 45,8
(-14,9)
75,2 – 62,9
(+12,3)
Data primer: April, 2016
e. Persentase Overlap
Overlap adalah kesamaan kondisi antara baseline 1
(A1) dengan intervensi (B), dengan kata lain semakin kecil
persentase overlap maka semakin baik pengaruh intervensi
terhadap target behavior.
Data overlap pada fase baseline (A1) ke fase
intervensi (B) dan fase baseline (A2) dapat dilihat pada
tampilan grafik berikut.
1) Overlap tahap baseline 1 (A1) dan intervensi (B) adalah
untuk mengetahui apakah dalam tahap intervensi ada
98
skor yang masuk ke dalam batas dan batas bawah
baseline 1 (A1)
Grafik 4.9
Persentase Overlap B/A1
Tabel 4.19
Persentase Overlap B/A1
Data yang tumpang
tindih
Jumlah data tahap
intervensi
Persentase
0 6 0%
Data primer: April, 2016
2) Overlap tahap intervensi (B) dan baseline 2 (A2) adalah
untuk mengetahui apakah dalam tahap baseline 2 (A2)
ada skor yang masuk ke batas atas dan batas bawah
intervensi.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Grafik Overlap A1 dan B
Sesi
batas atas
batas bawah
99
Grafik 4.10
Persentase Overlap A2/B
Tabel 4.20
Persentase Overlap A2/B
Data yang Tumpang
Tindih
Jumlah data
tahap baseline
Persentase
0 4 0%
Data primer: April, 2016
Tabel 4.21
Persentase Overlap
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
5. Persentase Overlap 0% 0%
Data primer: April, 2016
Jika kelima komponen analisis visual antar kondisi dimasukkan
dalam format rangkuman, maka dapat dilihat sebagai berikut ini:
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Grafik Overlap B dan A2
Sesi
100
Tabel 4.22
Rangkuman Analisis Visual Antar Kondisi
Perbandingan Kondisi B/A1 A2/B
1. Jumlah Variabel
yang diubah
1 1
2. Perubahan
kecenderungan
efeknya
(+)
(-)
(+)
(+)
3. Perubahan
kecenderungan
stabilitas
Stabil
Ke
Variabel
Variabel
Ke
Variabel
4. Perubahan level 30,9 – 45,8
(-14,9)
75,2 – 62,9
(+12,3)
5. Persentase
Overlap
0% 0%
Data primer: April, 2016
C. Pembahasan
Hasil penelitian ini dapat dilihat besarnya pengaruh penggunaan
media papan flakat terhadap kemampuan membaca permulaan pada siswa
tunagrahita ringan kelas VII di SMPLB YPLB Banjarmasin. Hal ini dapat
diketahui dengan cara membandingkan bagaimana kemampuan awal siswa
tunagrahita sebelum dan sesudah diberikan bantuan dengan sebuah media
pembelajaran kemudian dari situlah dapat diambil kesimpulan bahwa anak
101
tunagrahita ringan belum mampu membaca suku kata baik satu atau dua
suku kata dan bahkan yang sudah tersusun menjadi sebuah kata yang
bermakna.
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang
signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan
dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Hal ini
berdampak pada perkembangan intelektual tunagrahita yang pada akhirnya
akan mempengaruhi perkembangan akademik.61
Melihat karakteristik yang dialami oleh subjek, subjek mengetahui
bunyi beberapa huruf namun belum mampu mengenal, mengetahui huruf
vokal dan konsonan. Subjek belum mampu membaca dengan lancar
dikarenakan belum mampu merangkai/menggabungkan huruf menjadi
suku kata, kemudian dalam membaca hanya menyebutkan hurufnya satu
persatu. Selain itu ditunjang dengan bahasa subjek yang terbentuk
berbeda. Subjek menggunakan bahasa banjar dan tidak begitu mengerti
bahasa Indonesia. Subjek tidak mengerti “cabe” subjek menyebutnya
“lombok”, subjek menyebut kepala pada gambar “dahi”, menyebut tangan
pada gambar “siku” menyebut tomat pada gambar “labu”, menyebut bulan
pada gambar “bumi”. Keterbatasan penguasaan bahasa yang dimiliki
subjek tersebut. Sama halnya dengan karakteristik anak tunagrahita yang
diungkapkan oleh T. Sutjihati Somantri yaitu anak tunagrahita memiliki
keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Anak tunagrahita bukannya
61 Ardhi Wijaya, Op. Cit, hlm 21.
102
mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan
(perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya serta
membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya.62
Kemampuan yang dimiliki subjek berinisial AR ini sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa anak tunagrahita mengalami cognitive
deficite yang tercermin dalam salah satu atau lebih proses kognitif yang
meliputi persepsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi dan
penalaran.63 Sangat terlihat sekali ketika subjek diminta menjawab
pertanyaan dari peneliti, terlihat lamban padahal sudah diberikan beberapa
petunjuk dari peneliti. Ketika dilakukan intervensi juga sangat terlihat
bahwa anak memiliki daya ingat yang lemah. Subjek mudah lupa dengan
huruf-huruf yang sebelumnya sudah bisa dijawabnya, sehingga
membutuhkan waktu yang lama padahal sebelumnya telah diberikan
petunjuk oleh peneliti.
Tahap baseline 1 (A1) dalam variabel membaca bunyi huruf dan
membaca suku kata belum dapat membaca dengan benar. Proses membaca
dalam menjawab soal hasilnya subjek tidak dapat menjawab dan membaca
pada soal yang diberikan, mulai dari pengamatan hari pertama sampai
pengamatan hari keempat subjek hanya bisa menjawab dan membaca
benar dengan dibantu 9 soal saja. Kesulitan yang dialami oleh subjek
ketika disuruh membaca bunyi huruf masih kebingungan dengan huruf
kecil/kapital yang memiliki bentuk yang sama seperti /V/ dan /w/, /L/ dan
62 T. Sutjihati Somantri, Loc.Cit, hlm 105. 63 Kemis dan Ati Rosnawati, Op.Cit, hlm 22-23.
103
/j/,/D/ dan /a/. Kesulitan yang dialami subjek itu karena masalah persepsi
bentuk dan bunyi huruf serta masalah memori dalam mengingat huruf.
Sejalan dengan pendapat Ardhi Wijaya yang menyatakan bahwa
pada umumnya anak tunagrahita memiliki kemampuan yang kurang dalam
hal mengingat (memory) yang merupakan suatu kesulitan kronis yang
diduga bersumber dari neurologis (syaraf), sehingga dapat disimpulkan
bahwa kemampuan membaca anak tunagrahita dipengaruhi oleh aspek
persepsi dan aspek memori yang terletak diotak. Persepsi diperlukan
dalam belajar untuk menganalisis informasi yang diterima. Misalnya,
seorang anak diperlihatkan bentuk /h/ dan /n/ atau angka /6/ dengan /9/.
Anak yang persepsi penglihatannya baik, akan dapat membedakannya,
sedangkan anak yang mengalami gangguan persepsi akan sangat sulit
untuk menemukan karakter yang membedakan kedua bentuk tersebut.64
Kesulitan membaca disebabkan karena kompetensi dasar membaca
belum tercapai dengan baik seperti mengenal huruf, menggabungkan dua
huruf menjadi suku kata (peleburan bunyi), menggabungkan suku kata
menjadi kata atau kesulitan dalam menyusun kata dalam kalimat.65
Tahap intervensi ini terdapat enam sesi. Saat subjek diberikan
intervensi dengan variabel membaca bunyi huruf dan suku kata subjek
mengalami peningkatan yang sangat baik pada setiap sesi. Sesi ke 5
sampai sesi ke 10 dalam proses membaca dan menjawab soal masih ada
64 ibid 65 Ardhi Wijaya, Op.Cit, hlm 34
104
beberapa soal yang tidak mampu dijawab subjek, dan banyak dibantu oleh
peneliti serta ada beberapa soal yang mampu dijawab subjek.
Saat memberikan perlakuan dengan media papan flakat (flanel
kata), perhatian subjek menjadi lebih fokus, subjek mudah diarahkan dan
dibimbing, subjek bersemangat bertanya saat melihat media papan flakat.
Saat memberikan soal secara lisan dan anak diminta untuk mencari huruf
yang diminta oleh peneliti, menyusun huruf menjadi suku kata, suku kata
menjadi kata sesuai nama gambar subjek terlihat antusias mencari apa
yang diminta oleh peneliti. Melakukan intervensi ini peneliti berusaha
memperhatikan mood subjek dalam kebiasaan belajarnya, membuat
suasana belajar yang menyenangkan, membuka komunikasi untuk
mendengarkan anak bercerita untuk menyampaikan pendapatnya,
memberikan motivasi dan semangat belajar serta subjek diajak belajar
dengan santai tanpa ada paksaan. Terlihat dari hasil jawaban subjek pada
sesi ke 10, kemampuannya dalam menjawab dan membaca variabel
membaca bunyi huruf dan suku kata meningkat. Cara membaca subjek
dengan ejaan yang benar tidak mengeja perhuruf melainkan persuku kata.
Peningkatan membaca yang dialami subjek dikarenakan adanya
penggunaan media pembelajaran yang menyenangkan/menggairahkan
yang membuat subjek bersemangat dalam belajar sambil bermain dalam
menyusun huruf maupun suku kata. Hal ini sejalan dengan pendapat Arief
S. Sadiman yang menyatakan bahwa fungsi media pembelajaran berguna
untuk menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi yang
105
lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan, memungkinkan anak
didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.66
Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan
(Association of Education and Communication Technology/ AECT) juga
mendefinisikan bahwa media sebagai segala bentuk dan saluran yang
digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi.67
Tahap baseline 2 (A2) terdapat empat sesi, soal membaca bunyi
huruf yang terdapat disoal dan dalam menyusun gabungan suku kata yang
diacak tidak diragukan lagi kemampuannya karena subjek sudah memiliki
kesadaran bunyi dan bentuk yang baik. Namun dalam hal membaca subjek
masih memerlukan latihan kembali. Peningkatan pada baseline 2 (A2)
karena subjek dapat membedakan bunyi dan bentuk huruf.
Sejalan dengan pendapat yang diungkapkan Ardhi Wijaya yaitu
belajar membaca anak harus terampil dalam mempersepsi bunyi fonem,
morfem, semantik dan sintaksis disebut dengan kemampuan
berbahasa/linguistik. Anak yang mempunyai kesadaran linguistik dengan
baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca.68
Hasil analisis dari pengolahan data yang telah dilakukan dan
disajikan dalam bentuk tabel, grafik garis dengan menggunakan desain A-
B-A, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan media papan flakat (flanel
kata) dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak
tunagrahita ringan. Hal tersebut dapat dilihat dari perolehan nilai
66 Arief S. Sadiman (dikutip oleh) Yani Meimulyani & Caryoto, Loc. Cit. 67 Arief S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm 6. 68 Ardhi Wijaya, Loc. Cit.
106
persentase subjek secara keseluruhan mulai dari tahap baseline 1 (A1),
intervensi sampai baseline 2 (A2). Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Silvia Rahmi yang mengatakan bahwa melalui Media
Papan Baca Flanel dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan
anak autis.69
Peningkatan persentase ini membuktikan bahwa dalam
pembelajaran membaca pada anak tunagrahita membutuhkan media
pembelajaran yang menarik bagi subjek sehingga mampu menumbuhkan
minat dalam belajar membaca.
69 Silvia Rahmi.”Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Melalui Media Papan
Baca Flanel Pada Anak Autis di Pusat Layanan Autis Banjarmasin”. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Banjarmasin. Universitas Lambung Mangkurat. Hlm, 117.
107
107
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap pengaruh penerapan media papan flakat
terhadap kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita ringan. Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan terhadap kemampuan membaca
permulaan anak tunagrahita ringan. Kesimpulan yang dapat diambil dalam
penelitian ini adalah penggunaan media papan flakat dapat meningkatkan
kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas VII di
SMPLB YPLB Banjarmasin.
B. Saran
Hasil kesimpulan diatas, maka peneliti memberikan saran
sebagaimana diuraikan berikut ini :
1. Bagi guru, hasil penelitian media yang digunakan dapat meningkatkan
kemampuan membaca permulaan pada anak. Berkenaan dengan hal itu,
media ini dapat dijadikan salah satu alternative media pembelajaran bagi
guru untuk meningkatkan kemampuan membaca di sekolah.
2. Bagi siswa, disarankan untuk melatih kemampuan membaca secara rutin
dan lebih giat baik menggunakan media papan flakat maupun media
pembelajaran lainnya
108
3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan penelitian mengunakan
media papan flakat kepada subjek yang lain dengan karakteristik yang
berbeda, dan dengan instrumen yang lebih lengkap atau lebih
bervariasi agar lebih menarik dan menyenangkan untuk anak.
109
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2010. Pendidikan Bagi anak Berkesulitan Belajar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Aizid, Rizem. 2011. Bisa Baca Secepat Kilat. Jogjakarta: Bukubiru.
Amin, Moh. 1995. Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Dirjen dikti.
Anggraeni, Ria. 2015. Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan
Melalui Penggunaan Media Papan Flanel pada Anak Kelompok B1 di
TK ABA Karangmojo XVII Karangmojo Gunung Kidul. Tersedia
Online: (http://eprints.uny.ac.id/24487/1/SKRIPSI.pdf) diakses tanggal
16 Oktober 2015.
Aqib, Zainal. 2013. Model-model Media dan strategi Pembelajaran Kontekstual
(Inovatif). Bandung: Yrama Widya.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
______________.2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Asroriyah, Titik. 2014. Peningkatan Kemampuan Membaca Awal Melalui
Penggunaan Media Papan Flanel pada Anak Kelompok B di TK
ABA Kalikotak Sendang Sari Minggir Sleman. Skripsi Tidak
Dipublikasikan (jurnal online). Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Astati, 2010. Klasifikasi Anak Tunagrahita. Tersedia Online:(
https://www.google.co.id/search?sclient=psy-
ab&site=&source=hp&btnG=Telusuri&q=klasifikasi+anak+tunagra
hita#q=karakteristik+anak+tunagrahita+ringan) diakses tanggal 16
oktober 2015.
Aulina, Choirun Nisak. Penerapan Metode Whole Language dalam Meningkatkan
Kemampuan Membaca Permulaan Anak TK Kelompok B, Jornal
Penelitian Dosen Pemula.
Azhar & Arsyad. 2014. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Baso, Sitti Aisa Andi, dkk, 2013. Peningkatan Kemampuan Membaca permulaan,
(Jurnal Kreatif Tadulako Online Vol 2 No 1 ISSN 2354-614X).
Darmawan, Deni. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Bandung: Satu Nusa.
Faturrahman, dkk. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
110
Hamdi, Ujang S. 2009. Papan Flanel dan Papan Buletin. Tersedia: Online
(http://wwwsaepulhamdi.blogspot.co.id/2009/12/papan-flanel-dan-
papan-buletin.html) diakses tanggal 16 oktober 2015.
Isnarini, Adhel, 2012, media dua dimensi, Tersedia: online (http://bit.ly/fxzulu
http://adhelisnarin.blogspot.co.id/2012/12/media-dua-dimensi.html)
diakses tanggal 16 oktober 2015.
Joe, Tersedia Online: http://infomasjoe.blogspot.co.id/2013/03/hakekat-membaca-
permulaan.html diakses 10 Februari 2016
Kemis dan Rosnawati, Ati. 2013. Pendidikan ABK Tunagrahita. Jakarta: Luxima.
Komaruddin & Tjuparmah, Yooke. Kamus Istilah KTI. Jakarta: Bumi Aksara.
Kosasih, E. 2012. Cara Bijak Memahami ABK. Bandung: Yrama Widya.
Koswara, Deded. 2013. Pendidikan ABK Berkesulitan Belajar Spesifik. Jakarta:
Luxima.
Meimulyani, Yani dan Caryato. 2013. Media Pembelajaran adaptif. Jakarta:
Luxima.
Millatulhaq. 2014. pengaruh senam irama terhadap keseimbangan tubuh anak
tunagrahita sedang SLB-C sukapura Bandung, tersedia online:
repository.upi.edu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Nurwahyuni, Dwi. 2012. Masalah yang dihadapi anak tunagrahita. Tersedia:
Online (http://chihoney.blogspot.co.id/2012/06/masalah-masalah-yang-
di-hadapi-anak.html) diakses tanggal 20 oktober 2015.
Rahmi, Silvia. 2016. Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan
Melalui Media Papan Baca Flanel Pada Anak Autis di Pusat Layanan
Autis Banjarmasin. Skripsi Tidak Diterbitkan. Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat.
Sadiman, Arief S. (dkk). 2010. Media Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers.
Sarjanaku.com (http://www.lintasjari.com/2013/05/ciri-ciri-karakteristik-
anak.html) diakses tanggal 20 oktober 2015.
Sarjo, Ujang. Efektivitas Penerapan Metode Struktural Analitik Sintetik dalam
Pembelajaran Membaca Permulaan, Journal Penelitian Pendidikan.
Majalengka: STKIP YASIKA.
Smith, David. 2012. Sekolah Inklusif. Bandung: Nuansa.
Somantri, T. Sutjihati. 2012. Psikologi anak Luar Biasa. Bandung: Refika
aditama.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
111
Sulistyowati. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Buana Raya.
Sunanto, Juang. 2005. Pengantar Penelitian Dengan Subjek Tunggal. Jepang:
University of Tsukuba.
Suratmi. 2010. Peningkatan kemampuan Membaca dengan Papan Flanel Huruf
pada anak Kelompok B TK Asih Sejati Depok Sleman Yogyakarta.
Penelitian Pendidikan (Jurnal Online). Yogyakarta: TK Asih Sejati D.I
Yogyakarta.
Tirtarahardja, Umar & Sulo, La S.L. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta
Trianto. 2011. Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembangan profesi
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Kencana.
Wahyono, Iyandri tiluk, Pengertian dan tujuan membaca permulaan. Tersedia:
online (http://gudangartikels.blogspot.co.id/2011/08/pengertian-dan-
tujuan-membaca-permulaan.html) diakses tanggal 20 oktober 2015.
Warso, Agus Wasito Dwi Doso. 2014. Proses pembelajaran & Penilaian.
Yogyakarta: Graha Cendekia.
Wijaya, Ardhi. 2013. Teknik Mengajar Siswa Tunagrahita. Yogyakarta:
Imperium.
Yuwono, Imam. 2015. Identifikasi dan Asesmen ABK. Banjarmasin: Pustaka
Banua.