MENGURAI SPEKULASI DALAM GEJOLAK HARGA...

14
Hari Habitat Dunia 2013 | 1 MENGURAI SPEKULASI DALAM GEJOLAK HARGA PERUMAHAN BANDUNG Oleh: Ismail Al Anshori Program Magister Studi Pembangunan – SAPPK ITB umah, secara fisik, berfungsi sebagai tempat berteduh. Ia menjadi tempat perlindungan seseorang dari bahaya, baik karena dari lingkungan alam (seperti cuaca, iklim, serangan binatang, dan bencana) maupun bahaya dari orang lain (kriminalitas). Ia juga merupakan tempat bagi seseorang untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan pribadinya, seperti beribadah, istirahat, dan membangun keluarga. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa jika seseorang memiliki rumah yang layak huni (apapun definisinya) maka ia akan bisa menjalani kehidupannya dengan aman, nyaman, dan bermakna. Secara finansial, Dalton (2006) menyebutkan bahwa rumah juga bisa berfungsi sebagai asuransi keuangan pribadi (private financial insurance). Jika seseorang memutuskan untuk membeli rumah, yang biasanya dilakukan secara mencicil, maka besaran cicilan — baik riil maupun relatif terhadap inflasi — berkurang seiring waktu. Cicilan rumah tersebut pun biasanya selesai sebelum usia produktif seseorang berakhir. Kondisi sebaliknya terjadi jika seseorang menyewa rumah tinggal. Harga sewa sebuah rumah selalu meningkat seiring dengan inflasi dan situasi yang berkembang. Karena itu, membeli rumah merupakan pilihan yang lebih menguntungkan untuk jangka panjang Dalton (2006). Fungsi ini akan sangat terasa manfaatnya saat seseorang sudah lanjut usia, yaitu ketika masa produktif telah berakhir. Lebih jauh, menurut Daoud (2011), kepemilikan rumah bisa memupuk solidaritas sosial. Seseorang yang berkeluarga dan menetap di suatu tempat akan memiliki keterikatan terhadap tempat tersebut. Keluarga sebagai “akar kehidupan” seseorang bertumbuh di dalam rumah dan berkembang bersanginan dengan dinamika lingkungan sekitarnya. Akhirnya rumah tidak hanya berfungsi sebagai “pengikat” kehidupan seseorang, tapi juga mengikatnya dengan masyarakat. Memang, seseorang yang memiliki rumah di suatu tempat tidak selalu menjamin dirinya akan memiliki ikatan sosial dengan masyarakat sekitarnya. Namun, ikatan sosial di sebuah masyarakat akan sulit dikembangkan jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Karena itu, rumah hendaknya tidak dilihat sebagai sebagai benda konsumsi. Ia harus dipandang selaku hak dasar bagi manusia, seperti halnya pendidikan dan kesehatan. PERUMAHAN DI BANDUNG SUDAH BUBBLE Meski rumah merupakan hal yang penting, namun persoalan perumahan di Bandung saat ini telah memasuki babak yang mengkhawatirkan. Harian Pikiran Rakyat 6 April yang lalu memberikan contoh, NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di Jalan Pajajaran adalah Rp 4,5 juta per meter persegi. Namun, harga riil (harga jual/pasar) di daerah tersebut telah menyentuh Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per meter persegi. Pergerakan harga ini diperkirakan disebabkan oleh tingginya permintaan untuk keperluan bisnis. Sementara, ruang yang ada tidak banyak tersedia. Contoh lain, masih dari artikel di harian ini, di kawasan Sekelimus, dekat bypass Jalan Soekarno-Hatta. NJOP di daerah tersebut, ungkap analis kredit lainnya, pada periode 2000-an masih sekitar Rp 900 ribu per meter persegi. Pada 2010 naik menjadi Rp 1,2 juta, dan pada 2012 sudah menjadi Rp 1,9 juta per meter persegi. Otomatis harga pasarnya melebihi, atau bahkan jauh di atas, nilai NJOP tersebut. Sementara di kawasan Jalan Soekarno Hatta lainnya, lanjutnya, pada 1990-an harga jualnya masih Rp 50 ribu per meter persegi. Pada 2000-an naik menjadi Rp 2 juta, dan saat ini berkisar Rp 3,5 juta per meter persegi. Mengutip pemberitaan media online bisnis-jabar.com 5 Desember 2012, Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit properti periode Januari hingga Oktober 2012 naik sekitar 30-43 persen. Angka ini, menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI Jabar dan Banten Lucky Fathul Aziz Hadibrata, terlalu tinggi. Kenaikan harga properti dipandang cenderung tidak terukur. Sebagai contoh, tidak ada harga jual perumahan atau apartemen di bawah Rp 100 juta. Sebagian besar dipatok pada harga lebih dari Rp 200 juta. Padahal biaya pembangunan perumahan tersebut tidak lebih dari Rp 50 juta. Pemerintah, menurut Lucky, harus segera menerbitkan kebijakan yang mengatur perumahan. “Kalau kondisi ini terus dibiarkan, akan berpotensi terjadi bubble,” tandasnya. R

Transcript of MENGURAI SPEKULASI DALAM GEJOLAK HARGA...

Hari Habitat Dunia 2013 | 1

MENGURAI SPEKULASI DALAM GEJOLAK HARGA PERUMAHAN BANDUNG

Oleh: Ismail Al Anshori Program Magister Studi Pembangunan – SAPPK ITB

umah, secara fisik, berfungsi sebagai tempat berteduh. Ia menjadi tempat perlindungan seseorang dari bahaya, baik karena dari lingkungan alam (seperti cuaca, iklim, serangan binatang, dan bencana) maupun bahaya dari orang lain (kriminalitas). Ia juga merupakan tempat bagi seseorang untuk mengembangkan

aspek-aspek kehidupan pribadinya, seperti beribadah, istirahat, dan membangun keluarga. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa jika seseorang memiliki rumah yang layak huni (apapun definisinya) maka ia akan bisa menjalani kehidupannya dengan aman, nyaman, dan bermakna.

Secara finansial, Dalton (2006) menyebutkan bahwa rumah juga bisa berfungsi sebagai asuransi keuangan pribadi (private financial insurance). Jika seseorang memutuskan untuk membeli rumah, yang biasanya dilakukan secara mencicil, maka besaran cicilan — baik riil maupun relatif terhadap inflasi — berkurang seiring waktu. Cicilan rumah tersebut pun biasanya selesai sebelum usia produktif seseorang berakhir. Kondisi sebaliknya terjadi jika seseorang menyewa rumah tinggal. Harga sewa sebuah rumah selalu meningkat seiring dengan inflasi dan situasi yang berkembang. Karena itu, membeli rumah merupakan pilihan yang lebih menguntungkan untuk jangka panjang Dalton (2006). Fungsi ini akan sangat terasa manfaatnya saat seseorang sudah lanjut usia, yaitu ketika masa produktif telah berakhir.

Lebih jauh, menurut Daoud (2011), kepemilikan rumah bisa memupuk solidaritas sosial. Seseorang yang berkeluarga dan menetap di suatu tempat akan memiliki keterikatan terhadap tempat tersebut. Keluarga sebagai “akar kehidupan” seseorang bertumbuh di dalam rumah dan berkembang bersanginan dengan dinamika lingkungan sekitarnya. Akhirnya rumah tidak hanya berfungsi sebagai “pengikat” kehidupan seseorang, tapi juga mengikatnya dengan masyarakat. Memang, seseorang yang memiliki rumah di suatu tempat tidak selalu menjamin dirinya akan memiliki ikatan sosial dengan masyarakat sekitarnya. Namun, ikatan sosial di sebuah masyarakat akan sulit dikembangkan jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.

Karena itu, rumah hendaknya tidak dilihat sebagai sebagai benda konsumsi. Ia harus dipandang selaku hak dasar bagi manusia, seperti halnya pendidikan dan kesehatan.

PERUMAHAN DI BANDUNG SUDAH BUBBLE

Meski rumah merupakan hal yang penting, namun persoalan perumahan di Bandung saat ini telah memasuki babak yang mengkhawatirkan. Harian Pikiran Rakyat 6 April yang lalu memberikan contoh, NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di Jalan Pajajaran adalah Rp 4,5 juta per meter persegi. Namun, harga riil (harga jual/pasar) di daerah tersebut telah menyentuh Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per meter persegi. Pergerakan harga ini diperkirakan disebabkan oleh tingginya permintaan untuk keperluan bisnis. Sementara, ruang yang ada tidak banyak tersedia.

Contoh lain, masih dari artikel di harian ini, di kawasan Sekelimus, dekat bypass Jalan Soekarno-Hatta. NJOP di daerah tersebut, ungkap analis kredit lainnya, pada periode 2000-an masih sekitar Rp 900 ribu per meter persegi. Pada 2010 naik menjadi Rp 1,2 juta, dan pada 2012 sudah menjadi Rp 1,9 juta per meter persegi. Otomatis harga pasarnya melebihi, atau bahkan jauh di atas, nilai NJOP tersebut. Sementara di kawasan Jalan Soekarno Hatta lainnya, lanjutnya, pada 1990-an harga jualnya masih Rp 50 ribu per meter persegi. Pada 2000-an naik menjadi Rp 2 juta, dan saat ini berkisar Rp 3,5 juta per meter persegi.

Mengutip pemberitaan media online bisnis-jabar.com 5 Desember 2012, Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit properti periode Januari hingga Oktober 2012 naik sekitar 30-43 persen. Angka ini, menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI Jabar dan Banten Lucky Fathul Aziz Hadibrata, terlalu tinggi. Kenaikan harga properti dipandang cenderung tidak terukur. Sebagai contoh, tidak ada harga jual perumahan atau apartemen di bawah Rp 100 juta. Sebagian besar dipatok pada harga lebih dari Rp 200 juta. Padahal biaya pembangunan perumahan tersebut tidak lebih dari Rp 50 juta. Pemerintah, menurut Lucky, harus segera menerbitkan kebijakan yang mengatur perumahan. “Kalau kondisi ini terus dibiarkan, akan berpotensi terjadi bubble,” tandasnya.

R

Hari Habitat Dunia 2013 | 2

Gambar 1. Harga Rumah Kelas Menengah dan Mewah Meningkat Tajam Mulai Tahun 2005 Triwulan Ketiga. Sumber: Indeks Harga Konsumen; Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia

Menurut data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, kenaikan harga rumah yang tidak wajar ini sebenarnya terjadi sejak 7 tahun belakangan. Menurut data tersebut, sejak akhir 2005 harga rumah di Bandung untuk kelas menengah dan mewah meningkat tajam. Dari 2004 hingga 2012, terjadi peningkatan 57 persen untuk rumah kelas menengah, dan 48 persen pada rumah mewah (Gambar 1).

Survei ini dilakukan melalui temu langsung dengan para pengembang perumahan. Artinya, para pengembang diperlakukan sebagai sensor, yaitu mereka dianggap selalu mengamati pergerakan harga pasar, lalu informasi pergerakan tersebut digunakan untuk menentukan harga jual properti yang mereka bangun. Karena itu, data dari BI ini bisa dianggap mewakili pergerakan harga rumah di Bandung secara agregat.

Sementara itu, dalam laporan yang bertajuk Jawa Barat Dalam Angka 2010, terdapat backlog atau kekurangan pasokan rumah yang cukup tinggi, yaitu sekitar 171 ribu unit rumah. Angka tersebut didapatkan dari jumlah keluarga yang membutuhkan rumah dikurangi dengan jumlah rumah yang ada di Bandung saat ini. Jumlah keluarga yang membutuhkan rumah di Bandung hingga 2009, dengan asumsi satu keluarga membutuhkan rumah satu unit, adalah 721 ribu. Sedangkan jumlah rumah layak huni, menurut data pelanggan listrik PLN, yakni sekitar 550 ribu unit1.

TUJUAN PENELITIAN DAN METODE PENGUMPULAN DATA

Pergerakan harga rumah yang “menggila” di Bandung ini ditengarai, tidak semata-mata karena ada backlog, tapi lebih diakibatkan oleh aktifitas spekulasi. Spekulasi ini kian menjadi-jadi karena pemerintah tidak tegas dalam menegakkan peruntukan bangunan sesuai dengan rencana tata kota. Meski pergerakan harga ini telah sering dibahas dan menjadi keprihatinan banyak pihak, hingga kini tidak ada peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Ia hanya mengatur legal-formal status kepemilikan rumah.

Atas dasar tersebut, kajian ini memiliki tujuan, (a) mengurai persoalan pergerakan harga rumah di Bandung menggunakan konsep social scarcity, (b) memprediksi pergerakan harga rumah jika kebijakan tidak berubah, dan (c) mengusulkan alternatif kebijakan yang bisa diambil.

Metode pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan dua buah cara. Pertama adalah dengan pengamatan lapangan di pemukiman sekitar daerah Dago, Gedung Sate, dan Jalan Riau. Ketiganya merupakan daerah yang paling banyak terdapat perubahan peruntukan kawasan perumahan. Kedua, mengumpulkan data sekunder, baik yang berasal dari institusi pemerintahan maupun media massa.

1 Penulis mengasumsikan bahwa semua rumah di Bandung menggunakan listrik dari PLN. Sebenarnya ada informan yang menyebutkan bahwa jumlah rumah di Bandung hampir 700 ribu unit. Namun, banyak di antara rumah tersebut yang tidak layak. Sayangnya, data jumlah rumah tersebut sulit diakses. Karena itu, penulis mengasumsikan angka pelanggan PLN ini sebagai jumlah rumah layak huni.

95

110

125

140

155

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Inde

ks H

arga

(Nor

mal

isas

i)

Harga Mewah

Harga Menengah

Harga Sederhana

Hari Habitat Dunia 2013 | 3

Bagian 1

SOCIAL SCARCITY

1.1 KELANGKAAN (SCARCITY) SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL

Ilmu ekonomi mainstream (atau lebih spesifik ekonomi neoklasik) mengasumsikan kelangkaan (scarcity) terjadi karena manusia memiliki keinginan-keinginan yang tidak terbatas (unlimited wants) sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Dalam kata lain, kelangkaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah pasti ada di dalam masyarakat, tanpa perlu dipertanyakan kembali. Kelangkaan dianggap sebagai fenomena fisik, yaitu keterbatasan material (physical limit), dan karena itu ia memiliki nilai. Sementara, pertanyaan tentang bagaimana asal muasal keinginan seseorang dan/atau bagaimana sumber daya yang langka terbentuk dalam kehidupan sosial tidak menjadi perhatian. Padahal, suatu benda atau jasa dianggap langka atau tidak adalah hasil dari konstruksi sosial (Daoud, 2011; Beckert, 2002 dalam Triantafyllopoulos, 2010).

Dalam kebijakan kepemilikan perumahan di Indonesia saat ini, yang sering menjadi pokok pembicaraan adalah bagaimana “menyeimbangkan” pasokan rumah dengan keinginan (permintaan). Jika lahan untuk hunian tapak (landed) sudah habis, maka dibangunlah hunian vertikal. Sementara bagaimana aktifitas para pelaku-pelaku pasar dalam pembentukan harga (price formation) tidak diperhatikan. Tak heran kemudian jika masyarakat luas dan pemerintah menganggap rumah sebagai komoditas konsumsi (consumption goods), dan bahkan instrumen investasi.

Harga di dalam pasar tidak terbentuk secara rasional, atau karena pilihan-pilihan yang paling optimal. Namun, dalam pembentukan harga tersebut para pelaku pasar saling aktif mempengaruhi sesuai dengan kepentingan, pengetahuan, dan harapan-harapan di masa mendatang. Seperti yang dikatakan oleh Fred Hirsh (2005) dalam Daoud (2011), kelangkaan tidak hanya terjadi karena ada keterbatasan penyediaan secara fisik, tapi juga keterbatasan tersebut terjadi secara sosial (social limits to growth).

Hirsh lalu membagi kelangkaan sosial ini menjadi dua. Pertama adalah “kelangkaan sosial langsung” (direct social scarcity). Konsep ini mengacu pada keinginan yang mendasarkan kepuasannya dari fenomena kelangkaannya itu sendiri. Dia memberikan contoh pengoleksi seni: jika kepuasan memiki sebuah karya Rembrandt datang hanya (atau didominasi) oleh fakta bahwa objek tersebut langka, maka itu disebut sebagai kelangkaan sosial langsung.

Yang kedua adalah “kelangkaan sosial insidental,” yaitu kelangkaan yang terwujud sebagai akibat dari interaksi sosial. Kelangkaan tipe ini berasal dari “kemacetan” (congestion) sosial sekaligus fisik. Congestion sosial terbentuk murni dari relasi sosial, misalnya peluang kerja atau posisi kepemimpinan (seperti kapten tim sepakbola atau kepala organisasi). Posisi-posisi sosial tersebut secara intrinsik memang langka. Sementara congestion fisik terjadi akibat pasokan tidak bisa mengikuti permintaan (keinginan).

Konsep kelangkaan sosial insidental di atas bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana interaksi sosial membuat pergerakan harga rumah di Bandung menjadi liar. Seperti telah disebut di bagian awal makalah ini, terdapat backlog (secara material) rumah sebesar 171 ribu unit. Namun, informasi backlog ini kurang bisa menjelaskan mengapa kenaikan harga rumah mewabah. Dari observasi di lapangan dan data sekunder ditemukan bahwa fenomena sosial dalam wujud perubahan peruntukan dan spekulasi akhir-akhir ini merupakan penyebab utamanya. Dalam kata lain, perubahan peruntukan dan spekulasi tersebut membentuk backlog sosial yang cukup signifikan. Sehingga bisa disimpulkan, harga rumah yang tidak wajar saat ini terjadi karena backlog rumah yang sebenarnya — yaitu terdiri backlog material dan backlog sosial — jauh di atas 171 ribu unit.

1.2 PENGERTIAN SPEKULASI

Di dalam pasar properti, terminologi “spekulasi” umumnya digunakan sebagai berikut: Pertama, ia memiliki makna yang hampir serupa dengan “investasi,” dan ini terkait erat dengan fenomena di pasar finansial, yang mana ekspektasi investor kadang terbentuk secara tidak akurat (Malpezzi dan Wachter 2005, dalam Triantafyllopoulos 2010). Kedua, terminologi tersebut mengacu pada tindakan membeli lahan lalu menahan lahan tersebut beberapa waktu, kemudian berniat menjualnya saat harganya naik di masa depan, tanpa ada investasi apapun untuk meningkatkan nilai dalam lahan tersebut (Gaffney 1994 dalam Triantafyllopoulos 2010). Tindakan spekulasi ini disebut oleh (Feder dalam Foldvary, 1996; Beckert, 2002) sebagai “memperkaya tanpa alasan” (enrichment without reason), sehingga akan menimbulkan masalah terkait keadilan sosial dan distribusi kesejahteraan bagi masyarakat (Triantafyllopoulos, 2010).

Hari Habitat Dunia 2013 | 4

Bagian 2

SIMULASI

Gambar 2 berikut adalah close loop diagram dari fenomena yang dibahas dalam makalah ini. Sementara itu, data dasar yang dipakai dalam kajian ini ditunjukkan dalam Tabel 1.

Gambar 2. Close Loop Diagram Model Pergerakan Harga Rumah di Bandung

Tabel 1. Data Dasar Yang Dipakai Dalam Kajian Ini

Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Stok Rumah 491.429 506.196 507.423 530.921 538.918** 551.969 563.579 575.704 587.828

Pertumbuhan Stok Rumah - 3,00 0,24 4,63 1,51 2,42 2,10 2,15 2,11

Penduduk 2.232.624 2.315.895 2.340.624 2.364.312 2.390.120 2.393.633 2.394.873 2.446.257 2.470.961

Rumah Tangga 568.320 672.896 681.990 686.400 - 721.920 722.294 - 736.240

Jiwa/Keluarga 3,93 3,44 3,43 3,44 - 3,32 3,32 - 3,32 **Angka yang berwarna merah adalah hasil interpolasi linier.

StokRumahSuplai Rumah

Depresiasi

PertumbuhanRumah

++

HargaRumahNormal Perubahan Harga

Normal+

Permintaan+

WaktuPermintaan

+ Backlog Normal

JumlahPenduduk

PertambahanPenduduk

+

Kebutuhan RumahTinggal

Jumlah AnggotaKeluarga Rata-Rata Tiap

Rumah-

Kebutuhan RumahPer Keluarga

+

+

+

-

WaktuDepresiasi

HargaRumah

Spekulasi

Perubahan HargaSpekulasi

PermintaanSpekulasi

-

+

+

Waktu PermintaanSpekulasi

+

BacklogSpekulasi+

Jumlah Rumah DenganKepemilikan Ganda

Persentase RumahYang Tidak Ditinggali

+

+

+

KoefisienSpekulasi

Alih FungsiKomersial

Cuci UangInvestasi Rumah

+

Backlog AkibatSpekulasi+

+

+

-

-

-

+

-

-

Hari Habitat Dunia 2013 | 5

Model Powersim

Sementara itu, model powersim diberikan pada Gambar 3. Model tersebut akan menghitung pergerakan harga rumah berdasarkan jumlah permintaan dan penawaran rumah. Formulasi harganya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mashayekhi (2009) sebagai berikut:

Harga= C * Harga_Ref * LN((0.01+permintaan)/(0.01+suplai rumah))

Dengan C adalah konstanta, dan harga referensi adalah harga normalisasi, yaitu 100, pada 2004.

Gambar 3. Model Powersim Pergerakan Harga Rumah di Bandung

Model ini digunakan untuk menjalankan 4 buah simulasi yaitu:

1. Pertama adalah simulasi dasar, yaitu jumlah penduduk, jumlah kebutuhan rumah, dan stok rumah. 2. Kedua, basis simulasi untuk menentukan basis harga “normal” sehingga didapatkan konstanta C. 3. Ketiga, simulasi mencari jumlah rumah yang tidak ditinggali oleh pemiliknya. 4. Keempat, prediksi menggunakan konsep kelangkaan sosial (social scarcity). Langkah ini dilakukan untuk

mendapatkan harga rumah “yang sebenarnya” pada 2012 jika aktifitas spekulasi ikut diperhitungkan. Lalu dilakukan prediksi harga pada 2014 dan hingga 2040. Berikutnya, kajian ini memprediksi kapan terjadi bubble perumahan di Bandung jika perilaku pasar serta situasi bisnis dan ekonomi masih sama seperti yang ada sekarang.

Depresiasi

perubahan_harga_S

Waktu_Rata2_Rumah

Suplai_Rumah

Permintaan_S

Investasi_rumah

Alih_fungsi_komersial

Cuci_uang

Harga_N_2004

Jml_i

Jml_c

Jml_k

Back_log_SS

perubahan_harga_NJml_Pertambahan_Penduduk

Angka_Kelahiran

Wkt_Permintaan

Rumah_Per_Keluarga

Harga_N

Back_log_N

Constant

Ability_to_pay_c

Willingness_to_pay_c

Ability_to_pay_k

Willingness_to_pay_k

Willingness_to_pay_i

Ability_to_pay_i

Jml_Anggota_Keluarga_Rata2

Kebutuhan_Rumah_Tinggal

Back_log_NPermintaan_N

Stok_Rumah

Penduduk

Wkt_PermintaanBack_log_S

Social_Scarcity

Switch_Skenario

Persen_Yg_tdk_ditinggali

Jml_rumah_pemilikan_ganda

Efek_Harga_S_Thd_Kpmilikn_Ganda

Harga_BI_M_MW

Harga_BI_T

Harga_BI_MW

Harga_S

Harga_BI_M

Harga_BI_S

Efek_Harga_S_Thd_Spekulasi

Pertumbuhan

Efek_Harga_S_Thd_Kpmilikn_Ganda

Hari Habitat Dunia 2013 | 6

2.1 SIMULASI DASAR

Data jumlah penduduk dari tahun ke tahun didapatkan dari sensus Badan Pusat Statistik (BPS). Ia menunjukkan pada 2010, jumlah penduduk Kota Bandung adalah 2.394.873 jiwa. sementara, jumlah keluarga di Bandung dari waktu ke waktu diperoleh dari dokumen Jabar Dalam Angka. Pada 2009, jumlah keluarga di Kota Bandung adalah 721 ribu. Lalu, menggunakan asumsi setiap keluarga membutuhkan 1 unit rumah, didapatkan jumlah kebutuhan rumah di Bandung. Data ini ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Jumlah Penduduk (Kiri) dan Jumlah Kebutuhan Rumah Tinggal

Sementara itu, dalam prosesnya penulis kesulitan untuk mendapatkan jumlah rumah di Bandung. Menurut salah satu informan, dikatakan bahwa jumlah rumah di Bandung saat ini sekitar 700 ribu unit. Namun di antara jumlah tersebut, terdapat banyak rumah yang tidak layak huni.

Sayangnya, penulis mengalami kesulitan mengakses data perumahan tersebut. Kemudian, untuk mengatasinya penulis mengasumsikan data jumlah pelanggan PLN sebagai jumlah rumah layak huni di Bandung (Gambar 6). Dari data jumlah kebutuhan rumah dan stok rumah, maka bisa didapatkan data backlog rumah di Bandung sebesar 160 ribu unit.

Gambar 5. Grafik Jumlah Stok Rumah.

Harga Acuan

Harga acuan untuk simulasi ini menggunakan data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Gambar 6) dalam rentang waktu 2004 hingga 2012 kuartal kedua. Pada data tersebut bisa dilihat bahwa harga rumah untuk kelas menengah dan mewah bergerak secara tidak wajar. Penulis mengasumsikan bahwa pergerakan harga rumah di kedua kelas tersebut telah terimbas oleh spekulasi, dengan kenaikan yang paling tinggi terdapat pada rumah kelas menengah. Sedangkan dinamika harga rumah sederhana relatif linier.

Gambar 6. Grafik Harga Rumah Sederhana (Merah), Menengah (Hijau), Mewah (Biru), Serta Rata-Rata Mewah dan Menengah

Time

Pen

dudu

k

2,004 2,006 2,008 2,010 2,0122,100,000

2,200,000

2,300,000

2,400,000

2,500,000

Time

Keb

utuh

an_R

umah

_Tin

ggal

2,004 2,006 2,008 2,010 2,012

600,000

650,000

700,000

750,000

Time

Harga_BI_S1

Harga_BI_M2

Harga_BI_MW3

Harga_BI_M_MW4

2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,01290

100

110

120

130

140

150

1 2 3 4 1 23 4

1

23

4

1

23 4

1

23

4

1

23

4

1

23

4

1

23

4

1

23

4

Time

Sto

k_R

umah

2,004 2,006 2,008 2,010 2,012

500,000

550,000

600,000

Hari Habitat Dunia 2013 | 7

2.2 HARGA KONDISI “NORMAL”

Dalam formula yang diberikan oleh Mashayekhi (2009) terdapat konstanta C yang harus ditentukan. Konstanta didapatkan dengan metode coba-coba (trial and error) menggunakan acuan pergerakan harga rumah jika jika situasi berlangsung normal, yaitu tidak ada pergerakan harga yang tidak wajar akibat spekulasi. Karena itu, pergerakan harga rumah tipe sederhana pada data IHK Bank Indonesia digunakan sebagai acuan pergerakan harga yang normal (Gambar 7). Asumsinya, rumah sederhana cukup steril dari aktifitas spekulasi. Dari simulasi ini didapatkan konstanta C sebesar 0,0176. Konstanta ini dijadikan dasar untuk simulasi berikutnya dengan skenario yang melibatkan spekulasi.

Gambar 7. Grafik Harga Rumah Sederhana (Data BI) dan Harga Normal (Hasil Simulasi).

2.3 SIMULASI JUMLAH RUMAH YANG TIDAK DIHUNI

Salah satu bentuk spekulasi yang bisa diamati secara kasat mata adalah banyaknya rumah yang tidak dihuni oleh pemiliknya. Dengan mengetahui jumlah rumah yang tidak ditempati, maka bisa diperkirakan berapa jumlah backlog penyediaan rumah yang sebenarnya. Untuk memperkirakan jumlah rumah yang tidak ditinggali pemiliknya, simulasi ini menggunakan pergerakan indeks harga rata-rata rumah menengah dan mewah sebagai basisnya. Asumsinya, rumah sederhana dianggap bebas dari aktifitas spekulasi. Dalam kata lain, pada kedua tipe rumah ini lah terdapat banyak rumah yang dijadikan objek “investasi” dan perubahan peruntukan. Dari simulasi ini didapatkan:

1. Jumlah rumah di Bandung yang tidak dihuni oleh pemiiliknya pada saat ini adalah sebanyak 24% (Gambar 8). 2. Dari situ bisa dihitung ada backlog penyediaan rumah total karena kepemilikan ganda sebanyak 300 ribu

unit. Angka ini hampir dua kali lipat dibandingkan informasi backlog rumah awal, yaitu 171 ribu unit.

Sementara itu, dikutip dari kompas.com 17 April 2012, hasil survey PT Cushman & Wakefield Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pengguna (end user) perumahan di wilayah Jabodetabek berkisar 75 hingga 80 persen.

Berdasarkan data survey tersebut, enduser pada pasar perumahan untuk wilayah Jakarta dan Bekasi sebesar 75%, sementara investor hanya 25%. Di kawasan Tangerang, tingkat pengguna rumah sebesar 79%, dan investor sebesar 21%. Di wilayah Bogor dan Depok, 78% pembeli rumah adalahenduser, sementara sisanya sebanyak 22% adalah investor. Di Jakarta, 77% pembeli rumah adalahenduser, sementara 23% lainnya adalah investor.

Hasil simulasi pada kajian ini ternyata bersesuaian hasil survey di Jabodetabek tersebut. Bisa dikatakan bahwa tren kepemilikan rumah di Jabodetabek tidak jauh berbeda dengan dinamika yang ada di Bandung.

Gambar 8. Grafik Harga Rumah Menengah (Warna Merah) Data BI dan Harga Spekulasi Hasil Simulasi

Time

Harga_BI_S_N1

Harga_N2

2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012100

110

120

130

1 21 2

12

12

12

12

1 2

1 21 2

Time

Harga_BI_M_MW1

Harga_S2

2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012100

110

120

130

140

150

1 21 2

1

2

1

2

1

2

1

2

1

2

1 2

1 2

Hari Habitat Dunia 2013 | 8

2.4 PREDIKSI MENGGUNAKAN KONSEP SOCIAL SCARCITY Angka indeks harga perumahan yang dilansir oleh BI didapatkan dari para pengembang di Kota Bandung. Padahal, dalam kenyataannya aktifitas jual beli rumah bukan hanya terjadi untuk rumah yang baru dibangun oleh pengembang saja. Transaksi jual-beli rumah juga berlangsung untuk rumah-rumah pada umumnya.

2.4.1 MENENTUKAN PARAMETER SPEKULASI

Atas dasar tersebut, penulis menduga indeks harga BI tersebut kurang akurat untuk menggambarkan pergerakan harga yang sebenarnya terjadi di pasar. Untuk menjawab teka-teki ini, penulis melakukan simulasi dengan memasukkan konsep kelangkaan sosial (social scarcity), atau dalam hal ini adalah aktifitas spekulasi. Elemen spekulasi tersebut terangkum dalam 3 buah aktifitas, yaitu:

1. Aktifitas investasi rumah, 2. Perubahan peruntukan rumah menjadi bangunan komersial, dan 3. Dugaan cuci uang melalui pembelian rumah.

Tantangan dalam simulasi ini adalah bagaimana mengkuantifikasi variabel-variabel tersebut. Literatur ekonomi menyebutkan bahwa ada dua parameter yang mempengaruhi perilaku pembeli, yaitu keinginan untuk membayar (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay). Kemudian, untuk mengkuantifikasi kedua parameter ke dalam simulasi ini, penulis menggunakan masyarakat kelas menengah Kota Bandung sebagai referensinya. Teknisnya, willingness to pay dan ability to pay warga kelas menengah Kota Bandung adalah bernilai 1. Dengan demikian, perkiraan kuantifikasi ketiga aktifitas spekulasi tersebut menggunakan angka relatif terhadap warga Bandung kebanyakan.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana memperkirakan penilaian spekulasi, sehingga prediksi dalam simulasi ini bisa cukup akurat. Untuk keperluan ini, penulis menggunakan informasi bahwa ada rule of thumb di kalangan pelaku pasar perumahan bahwa harga rumah di Kota Bandung pada umumnya akan naik menjadi 2 kali lipat setelah 10 tahun. Atau dalam hal ini, harga rumah pada 2014 adalah 2 kali lipat dibandingkan pada 2004.

Asumsi yang digunakan pada simulasi ini adalah:

a) Pertumbuhan jumlah penduduk adalah stabil, sama dengan angka kelahiran pada saat ini. b) Kebutuhan rumah tiap keluarga tetap 1 buah. c) Pertambahan stok rumah di Bandung adalah sebesar 3% dari 2004 hingga 2030, dan dari 2031 hingga 2040 2%.

Misalnya karena lahan sudah terbatas sehingga di waktu berikutnya tidak bisa dibangun rumah lagi, diasumsikan akan ada penambahan stok rumah melalui konsep hunian vertikal.

d) Jumlah rumah yang tidak dihuni adalah berdasarkan hasil simulasi pada skenario 2.3.4, yaitu sebanyak 24%.

Lalu secara coba-coba (trial error) penulis menentukan parameter spekulasi, sehingga simulasi menunjukkan indeks harga rumah menjadi 2 kali lipat pada 2014 (Gambar 9). Dari trial and error tersebut didapatkan parameter spekulasi sebagai berikut:

a) Aktifitas investasi rumah: Jumlah = 70 persen Ability to pay = 2 Willingness to pay = 1.5

b) Aktifitas komersial: Jumlah = 29 persen Ability to pay = 3 Willingness to pay = 3

c) Aktifitas cuci uang: Jumlah = 1 persen Ability to pay = 4 Willingness to pay = 4

Gambar 9. Grafik Prediksi Harga Rumah Pada 2014

Time

Har

ga_S

2,004 2,006 2,008 2,010 2,012 2,014100

120

140

160

180

200

Hari Habitat Dunia 2013 | 9

Gambar 11. Grafik Hasil Simulasi Harga Spekulasi (Biru)dan Harga Normal 2004-2040

Pada skenario ini, digunakan efek untuk menjelaskan pengaruh harga terhadap aktifitas spekulasi dan kepemilikan rumah. Diasumsikan bahwa kenaikan harga akan mengurangi aktifitas spekulasi, serta membuat orang melepas rumah yang selama ini tidak ditinggali. Nilai efeknya diberikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Efek Harga Terhadap Spekulasi (Kiri) dan Kepemilikan Ganda

2.4.2 TEKA-TEKI INDEKS HARGA PADA 2012

Indeks harga pada tahun 2012 kuartal kedua menurut survey Bank Indonesia menyebutkan bahwa indeks harga rumah kelas menengah adalah 157,29, rumah mewah mewah sebesar 147,76, dan indeks harga rata-rata untuk rumah menengah dan mewah senilai 152,53.

Namun, seperti telah disinggung di atas, apakah angka ini cukup merepresentasikan kenyataan? Rule of thumb para pelaku pasar menyebutkan bahwa harga pada 2014 adalah 2 kali lipat dibandingkan pada 2004. Pernyatan ini bisa dianggap sebagai prediksi atas dasar pengalaman mereka. Bisa pula ia diinterpretasikan sebagai harapan. Jika rule of thumb tersebut benar adanya, simulasi menunjukkan bahwa indeks harga rumah pada 2012 kuartal kedua adalah 181,72. Angka tersebut adalah indeks harga rumah yang tercipta karena adanya aktifitas spekulasi.

Di sisi lain, simulasi ini juga menunjukkan bahwa indeks harga “normal” yang seharusnya terjadi pada tempo ini adalah 138,78. Ia memperlihatkan terdapat selisih yang cukup besar antara indeks harga spekulasi dan harga normal, yaitu sebanyak 43 poin.

2.4.3 PREDIKSI INDEKS HARGA HINGGA 2040

Kemudian simulasi dilebarkan hingga tahun 2040 (Gambar 11). Jika diurai, hasil simulasi adalah sebagai berikut:

a) Indeks harga rumah pada 2020 diperkirakan akan senilai 307, atau 3 kali lipat dibandingkan harga pada 2004. Di sisi lain, indeks harga normal pada saat tersebut adalah 182. Bisa disimpulkan bahwa jika tidak ada spekulasi, indeks harga rumah pada 2020 akan lebih murah sebanyak 125 poin.

b) Pada 2030, indeks harganya adalah 478, sementara normalnya sebesar 241. c) Indeks harga tempo 2040 senilai 757, sedangkan harga normalnya adalah 322. Terdapat selisih antara harga

akibat spekulasi dan harga normalnya 371 poin.

Diperkirakan pada pertengahan 2020 hingga 2030 akan mulai muncul bubble perumahan. Pasalnya, harga di pasaran sudah melebihi dua kali lipat harga normalnya. Karena ada bubble, maka saat itu aktifitas spekulasi akan berkurang.

Time

Harga_S1

Harga_N2

2,010 2,020 2,030 2,040

200

400

600

800

1 2

1

2

1

2

1

2

GaHarg

DisDeng

(Warndi AS189

2.4.4 PRED

Tantangan secara nyatdan/atau bnilai instrinmasa depabisa diama

Gambar 13.

Dalam simudengan infdengan hamenyatakadari spekulsederhana dijadikan a

Simulasi mtelah menditu, bisa dipmuncul gej

Sekali lagi, para pelakuekonomi, ju

ambar 12.ga Rumahsesuaikangan Inflasia Merah)S Periode90 Hingga

2005

DIKSI BUBBLE

berikutnya adata. Situasi di se

bencana. Biasannsiknya (Shiller, an yang tidak koti dari harga ya

. Harga Rumah (

ulasi ini, dilakuflasi, atau hargarga yang norm

an bahwa hargalasi, Dalam katadianggap sesucuan harga “no

enunjukkan badekati 2 kali lipperkirakan bahjala-gejala bub

prediksi ini meu pasar masih sumlah pendud

alah memperkiekitar kejadian bnya ia diartikan

2012). Ia juga onsisten atau tang tiba-tiba tu

Tidak Disesuaika

kan simulasi haa rumah akibat

mal. Asumsi di ba rumah sederha lain, pergerakuai dengan tingormal.”

ahwa pada 203at dibandingkawa mulai sekitable.

enggunakan assama seperti seuk, dan stok ru

irakan kapan tebubble pun ber sebagai perdabisa dimaknai

tidak jelas. Kareurun drastis kar

an Dengan Inflas

arga rumah dis spekulasi diba

bagian awal simhana dianggap kan harga rumagkat inflasi, seh

0 indeks hargaan harga 2004. ar tahun 2025 a

sumsi bahwa peekarang. Serta,umah stabil.

erjadi bubble. Isrmacam-macamagangan bervolsebagai situasi

ena itu bubble jrena pelaku pa

Untuk melihaterjadi yang cdi AS iPemerfinansiharga 1990 (Gdenganmembkurang2003 it

si) Rata-Rata dan

sesuaikan andingkan mulasi ini

bebas ah ingga ia

rumah Karena akan

erilaku pertumbuhan

stilah bubble sem, bisa berupa lume besar nami perdagangan juga disebut hasar sudah tidak

memperkirakat kejadian bubbdi sana merupanggih dan mani sebenarnya intah Federal Aal. Bubble kemrumah mendekGambar 12). Prn kebijakan di eolehkan kredit

g mampu (subptu harga rumah

n Median (Mera

Har

ga_S

_Inf

latio

n_A

dj

2,005 2,011.0

1.5

2.0

GambaDisesuPeriod

Hari

endiri sebenarnbooming popu

mun dengan haaset berdasark

arga spekulatif.k bisa menangg

n kapan bisa teble di Amerika

pakan hasil dariasif. Ruwetnya dimulai pada a

AS berbagai turudian terjadi pkati 2 kali lipat raktek spekulasera Bush Jr. padbagi mereka y

prime mortgageh naik tajam (G

ah) di AS Pada 19

Tim

10 2,015 2,020

ar 14. Hasil Simuaikan Dengan Ine 2004 Hingga 2

Habitat Dunia 20

nya sulit dijelasulasi, migrasi, rearga yang jauhkan tafsiran nila. Fenomena bugung harga.

erjadi bubble, pSerikat. Bubble skema spekulamasalah perum

awal 1990-an sarunan produk pada 2008 padadibandingkan

si ini lalu diperpda 2003 yang

yang sebenarnye). Imbasnya, seambar 13).

963 Hingga 2011

me

2,025 2,030 2,03

ulasi Harga Rumnflasi (Warna Me2040

013 | 10

kan esesi, dari ai di bble

perlu e yang asi

mahan aat pasar a saat tahun

parah

ya ejak

1

35 2,040

ah erah)

Hari Habitat Dunia 2013 | 11

Bagian 3

ANALISIS DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

Dinamika harga perumahan di Bandung yang liar ini bukan tanpa sebab. Terdapat beberapa hal yang diperkirakan membuat perubahan peruntukan dan praktek spekulasi di Bandung tumbuh subur belakangan ini. Berikut adalah beberapa diantaranya yang dirasakan dan diamati oleh penulis:

a) Tidak ada kebijakan yang mengatur distribusi kepemilikan rumah; diserahkan kepada mekanisme pasar.

Hingga saat ini tidak terdapat kebijakan yang mengatur distribusi kepemilikan rumah. Tidak hanya di Bandung, memang di Indonesia belum ada peraturan serupa. Kebijakan tentang kepemilikan rumah selama ini diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Masalahnya, sistem pasar adalah sistem yang berdasarkan pada kompetisi (Dokko & Edelstein, 1992; Ball et al., 1998, dalam Triantafyllopoulos 2010). Karena kompetisi, maka akan ada pihak yang ditinggalkan. Dalam hal ini, ada sebagian masyarakat Kota Bandung yang kesulitan menikmati rumah layak huni.

b) Manisnya bisnis FO, kafe, resto, dan hotel.

Pelancong dari daerah Jabodetabek, dan akhir ini bahkan dari negeri jiran, yang membanjiri Bandung menyediakan peluang pasar yang sangat besar. Ada gula ada semut. Warga yang melihat kesempatan ini lalu menyediakan wadah untuk menampung para pelancong tersebut. Maka menjamurlah usaha FO (factory outlet) dan kafe di seantero Bandung. Kedua bisnis ini memanfaatkan budaya masyarakat yang suka berbelanja dan gemar nongkrong.

Sementara itu, kekayaan kuliner tataran Sunda lalu menjadi bisnis resto yang berkembang pesat. Ia didorong pula oleh kebiasaan masyarakat yang doyan botram, makan bersama-sama. Usaha yang menyediakan penginapan pun otomatis bertambah. Banyak kawasan perumahan yang akhirnya dibangun hotel berbiaya murah (low cost hotel) untuk menampung para pelancong.

Karena kue di bisnis ini begitu menggoda, akhirnya banyak pengusaha yang melirik bidang usaha ini. Kebetulan pula warga Bandung begitu kreatif dalam mengemas bisnisnya. Imbasnya, investor pun tidak segan mengucurkan uangnya ke dalamnya.

c) Booming perkebunan sawit dan pertambangan batubara.

Pada periode awal 2000-an, aktifitas perkebunan sawit dan pertambangan batubara tumbuh dengan pesat. Saat itu perijinan untuk membuka perkebunan dan pertambangan dipermudah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Kedua sektor ini, secara bisnis, memiliki resiko yang kecil dan investasi yang rendah. Akibatnya, bermunculan banyak orang kaya baru (OKB) yang mempunyai dana berlebih, baik pengusaha maupun pegawainya. Membeli properti adalah cara yang banyak dilakukan untuk “memarkir” uang yang mereka kumpulkan.

d) Biaya pendidikan naik secara drastis.

Perubahan harga yang tiba-tiba pada 2005 juga bertepatan dengan tingginya kenaikan biaya pendidikan di Bandung saat itu. Misalnya, pada 2003 Institut Teknologi Bandung (ITB) mulai memberlakukan “jalur khusus 45 juta.” Kemudian, seiring dengan hal ini, biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi lainnya mulai ikut naik. Tingginya biaya pendidikan tersebut membuat hanya orang tua yang bekantong tebal yang bisa memasukkan anaknya ke perguruan tinggi seperti ITB. Akibatnya komposisi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi berubah menjadi didominasi kaum kelas atas.

Secara kasat mata, ini bisa dilihat dari lahan parkir yang tidak mampu lagi menampung kendaraan roda empat milik mahasiswa, meski tempat parkir tersebut telah diperluas. Munculnya anak-anak dari orang tua berkantong tebal membuat harga kontrakan rumah dan kos-kosan di Bandung meningkat tajam. Sebagian orang tua mahasiswa pun membeli apartemen dan rumah di tengah kota, baik untuk tempat tinggal anaknya selama kuliah maupun ketika orang tua tersebut berkunjung.

Hari Habitat Dunia 2013 | 12

ALTERNATIF KEBIJAKAN

Liarnya pergerakan harga rumah di Bandung pada kajian ini memperlihatkan bahwa selain disebabkan oleh keluarga yang membutuhkan rumah tinggal, kenaikannya juga didorong oleh mereka yang sebenarnya tidak membutuhkan rumah untuk dihuni. Dengan demikian, jika memang benar-benar ingin menjalankan amanat pada sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” pemerintah tidak boleh begitu saja menyerahkan urusan perumahan yang begitu mendasar ini kepada pasar. Aktifitas jual-beli rumah harus diatur sedemikian rupa agar berpihak bagi mereka yang benar-benar membutuhkan rumah.

Inti dari kebijakan yang diambil adalah membatasi peluang spekulasi rumah. Tujuannya adalah untuk menjaga agar harga rumah pada tingkat yang sesuai dengan daya beli masyarakatnya. Dengan demikian, harga rumah akan tetap terjangkau dan masyarakat bisa mendapatkan haknya untuk memiliki tempat tinggal. Berikut adalah beberapa alternatif kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah:

1. Menertibkan kepemilikan rumah.

Ide dasarnya adalah karena jumlah lahan terbatas, maka pemerintah harus mengatur agar sebanyak mungkin warga yang bisa menikmati rumah. Karena itu, warga yang telah atau ingin memiliki rumah lebih dari satu buah harus dicegah. Alasan lain, rumah yang dijadikan objek spekulasi umumnya tidak ditinggali oleh pemiliknya.

Ada dua cara untuk menjalankan ide ini. Pertama, pemerintah mengeluarkan ketentuan bahwa setiap pemilik rumah harus menempati rumah yang dimilikinya. Pengecualian diberikan bagi mereka yang bepergian ke luar daerah atau luar negeri untuk sementara waktu. Jika tidak ditempati, maka dikenai pajak yang tinggi. Kedua, menggunakan instrumen pajak seperti pada langkah pertama untuk membatasi pemilik rumah yang berasal dari luar kota (dalam hal ini yang berasal dari luar Bandung). Alasannya, rumah di suatu tempat hendaknya diprioritaskan bagi penduduk yang bermukim atau bekerja di tempat tersebut.

2. Mengatur-ulang peruntukan rumah di Bandung.

Perubahan peruntukan menjadi komersial yang marak akhir-akhir ini membuat harga rumah meningkat drastis. Pasalnya, pebisnis yang melihat rumah berlokasi strategis akan tetap bersedia membelinya walau harganya tinggi. Bukan hanya rumah yang menjadi tempat usaha saja, rumah lain di sekitarnya juga ikut terkena efek kenaikan harga. Namun demikian, pengaturan peruntukan ini harus teteap mengapresiasi inisiatif warga Bandung untuk mengembangkan bisnis secara mandiri.

Pemerintah bisa melakukan kebijakan “isolasi” spekulasi rumah, yaitu mengisolasi aktifitas spekulasi hanya pada wilayah tertentu. Contohnya, pemerintah menetapkan hanya daerah perumahan tertentu yang boleh diubah untuk kegiatan komersial. Jika pendekatan kawasan kurang manjur, rumah yang boleh diubah peruntukannya dibatasi hanya pada rumah-rumah yang berada di pinggir jalan tertentu. Selain rumah-rumah tersebut, pemerintah harus mengatur secara ketat, baik dari sisi peruntukan maupun kepemilikannya.

3. Mengendalikan penyewaan rumah.

Menyewakan rumah merupakan modus yang banyak dilakukan orang ketika memiliki rumah yang tidak ditempati. Aktifias penyewaan ini, selain bisa menjaga agar rumah tetap terawat, juga memberikan pendapatan yang lumayan tinggi bagi pemilik rumah. Karena itu, peluang usaha untuk menyewakan rumah merupakan salah satu motif seseorang untuk memiliki rumah lebih dari satu buah.

Masalahnya adalah tarif penyewaan rumah biasanya melampaui tingkat inflasi (Dalton, 2006). Terlebih bila ada calon pembeli baru dengan kantong lebih tebal, misalnya karena muncul gedung perkantoran atau golongan mahasiswa dari keluarga kelas atas, maka kenaikan harga sewa bisa naik signifikan. Karena itu, perlu ada pengaturan misalnya dengan mewajibkan ijin khusus bagi kegiatan penyewaan rumah seperti ini. Contoh ijin khusus ini, seperti yang dilakukan di Finlandia, adalah dengan memberikan ketentukan bahwa yang berwenang menyewakan rumah adalah badan usaha, bukan perorangan (Ruonavaara).

4. Kebijakan selektif.

Karena lahan yang tersedia terbatas, salah satu solusi yang sering muncul menghadapi persoalan perumahan adalah meminta pemerintah membangun hunian vertikal, misalnya rumah susun (rusunami atau rusunawa) untuk menambah jumlah hunian. Ini mengacu pada kebijakan pemerintah Singapura melalui program HDB. Namun jika kepemilikan tidak diatur, berapapun suplai hunian yang diberikan, maka akan terjadi bubble. Untuk jenis suplai hunian yang dibangun oleh pemerintah ini pengaturannya bisa dilakukan “kebijakan selektif.” Ia bertujuan agar

Hari Habitat Dunia 2013 | 13

masyarakat kelas bawah bisa menikmati rumah. Teknisnya, penentuan siapa yang bisa membeli properti didasarkan pada kebutuhan akan tempat tinggal dan tingkat penghasilan, bukan hanya menggunakan mekanisme “first come first served” (Ruonavaara).

Target kebijakan selektif ini adalah masyarakat yang paling membutuhkan atau hidupnya kurang beruntung. Alasannya sederhana: adalah adil untuk menggunakan kekuasaan yang dimiliki pemerintah untuk menjalankan kebijakan yang berpihak kepada mereka yang kurang beruntung, bukan kepada mereka yang telah mampu mendapatkan barang atau jasa bagi mereka sendiri (Ruonavaara).

5. Disinsentif bagi spekulan.

Mengidentiifikasi lalu menindak para spekulan bukan hal yang mudah. Namun, ada yang bisa dilakukan pemerintah dari sisi finansial untuk mengurangi pergerakannya. Baru-baru ini pemerintah Cina memberlakukan nilai down payment (DP) yang berbeda untuk rumah pertama dan rumah berikutnya (Ge, 2011). DP untuk rumah pertama sebesar 30 persen, lalu yang kedua 50 persen. Kebijakan ini lalu dikombinasikan dengan menolak sebagian besar pengajuan kredit untuk pembelian rumah ketiga. Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang menurunkan aktifitas spekulasi properti.

Lebih jauh, Henry George George (1879/1997) dalam Triantafyllopoulos (2010) menandaskan bahwa spekulasi lahan, yang didorong oleh sistem perbankan yang akomodatif, adalah tindakan yang destruktif dan mengacaukan kemajuan ekonomi. Dengan demikian, perbankan bisa berperan aktif dalam upaya mengatasi persoalan ini dengan menjaga prinsip kehatian-hatian.

Bagian 4

KESIMPULAN

“Man is the center of every study aiming at understanding society.” - Alfred Marshall, Principles of Economics (1890)

Simulasi tentang harga rumah di Bandung ini menunjukkan bahwa pergerakan harga yang liar tersebut disebabkan oleh fenomena sosial, bukan semata-mata karena kekurangan pasokan. Berikut adalah beberapa simpulan yang bisa ditarik dari kajian ini:

1. Jumlah rumah di Bandung yang tidak dihuni oleh pemiliknya ternyata cukup tinggi, yaitu sebanyak 24%. Dalam kalimat lain, terdapat backlog penyediaan rumah sebanyak 300 ribu unit.

2. Tindakan spekulasi merupakan penyebab utama harga rumah tidak lagi rasional. Perubahan peruntukan yang terjadi secara tidak terkendali turut menyuburkan aktifitas spekulasi tersebut.

3. Jika menghitung pula elemen spekulasi, simulasi menunjukkan bahwa indeks harga pada 2012 kuartal kedua adalah sebesar 181,72. Ada perbedaan 30 poin dengan indeks harga yang dilansir oleh Bank Indonesia pada kisaran angka 150.

4. Simulasi pada kajian ini memprediksi bahwa jika perilaku pasar perumahan di Bandung masih seperti sekarang, tanpa ada pengaturan dari pemerintah, maka peristiwa bubble seperti di Amerika Serikat akan benar-benar meletus di Bandung. Waktu terjadinya bubble diperkirakan pada akhir periode 2020 hingga 2030, yaitu saat indeks harga rumah (yang disesuaikan dengan inflasi) mendekati 2 kali lipat dibandingkan harga pada 2004.

5. Pemerintah harus bertindak secara progresif menghadapi persoalan ini. Selain untuk menegakkan keadilan dengan mencukupi kebutuhan warga akan tempat tinggal, juga agar ekonomi tidak ambruk karena bubble sektor perumahan. Caranya adalah dengan mengatur perilaku para pelaku pasar sektor perumahan.

Hari Habitat Dunia 2013 | 14

REFERENSI Conley, Dalton; dan Gifford, Brian. Home Ownership, Social Insurance, and the Welfare State. Sociological Forum, Vol.

21, No. 1, March 2006.

Daoud, Adel. (2011). Scarcity, Abundance, and Sufficiency – Contributions to social and economic theory. Department of Sociology, Univerisity of Gothenburg. Sweden.

Ge, Janet Xin. (2011). The Impacts Of Anti-Speculation Policies On House Price Movements: The Case Of Guangzhou, China. School Of The Built Environment, University Of Technology Sydney. Australia.

Jabar Dalam Angka 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2010. Badan Pusat Statistik Jawa Barat.

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota Bandung Tahun 2011

Lindblom, Charles E. (2001) The Market System. Yale University Press.

Mashayekhi, Ali N., Soheil Ghili, & Arash Pourhabib. (2009). Real Estate Cycles: A Theory Based on Stock-Flow Structure of Durable Goods Markets. Sharif University of Technology.

Ruonavaara, Hannu. Home Ownership And The Nordic Housing Policies In The 'Retrenchment Phase'. Department of Sociology. University of Turku.

Shiller, Robert. (23 Juli 2012). Bubbles without Markets. www.project-syndicate.org/commentary/bubbles-without-markets

Triantafyllopoulos, Nikolaos. (2010). Land Speculation and Property Market (In)Efficiency. Department of Planning and Regional Development. University of Thessaly, Yunani.

Widodo, Nyoto. (2011). Pertumbuhan Ekonomi Jakarta Berkualitas? Badan Pusat Statistik.

LAMPIRAN

Persamaan (Equation)

flow Harga_N = +dt*perubahan_harga_N flow Harga_S = +dt*perubahan_harga_S flow Penduduk = +dt*Jml_Pertambahan_Penduduk flow Stok_Rumah = +dt*Suplai_Rumah -dt*Depresiasi aux Depresiasi = Stok_Rumah/Waktu_Rata2_Rumah aux Jml_Pertambahan_Penduduk = Angka_Kelahiran*Penduduk aux perubahan_harga_N = Constant*Harga_N*LN((0.01+Permintaan_N)/(0.01+Suplai_Rumah)) aux perubahan_harga_S = Constant*Harga_S*LN((0.01+Permintaan_S)/(0.01+Suplai_Rumah)) aux Suplai_Rumah = Pertumbuhan*Stok_Rumah aux Alih_fungsi_komersial = Jml_k*Ability_to_pay_k*Willingness_to_pay_k aux Back_log_N = Kebutuhan_Rumah_Tinggal-Stok_Rumah aux Back_log_S = Back_log_N+Jml_rumah_pemilikan_ganda+IF(Switch_Skenario_3=0, 0, Back_log_SS) aux Back_log_SS = Jml_rumah_pemilikan_ganda*Social_Scarcity aux Cuci_uang = Jml_c*Ability_to_pay_c*Willingness_to_pay_c aux Investasi_rumah = Jml_i*Ability_to_pay_i*Willingness_to_pay_i aux Jml_rumah_pemilikan_ganda = Stok_Rumah*IF(Switch_Skenario_1_2=0, Persen_Yg_tdk_ditinggali_T_0,

Persen_Yg_tdk_ditinggali_M_1) aux Kebutuhan_Rumah_Tinggal = (Penduduk/Jml_Anggota_Keluarga_Rata2)/Rumah_Per_Keluarga aux Social_Scarcity = Investasi_rumah+Alih_fungsi_komersial+Cuci_uang const Angka_Kelahiran = 0.0117 const Waktu_Rata2_Rumah = 100