Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

91
1 MENGURAI FAKTOR PENGHAMBAT PENDIDIKAN SUKU KAMORO © Program Studi Pascasarjana Manajemen Universitas Katolik SOEGIJAPRANARTA 2011dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) Penerbit Universitas Katolik Soegijapranata. Jl. Pawiyatan Luhur IV/1, Bendan Duwur, Semarang 50234 Telp. (024) 8316142, 8441555 (hunting) Fax: (024) 8415429, 8442265 E-mail: [email protected] PENELITI: Leonardus Tumuka EDITOR: Thomas B. Santoso, Ed.D Rudi Elyadi REVIEWER: Prof. Vincent Didiek W. Aryanto, Ph.D. Prof. Dr. Andreas Lako. PENATA TEKS: FX. Triyono ISBN 978-602-8011-54-9

Transcript of Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

Page 1: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

1

MENGURAI FAKTOR PENGHAMBAT PENDIDIKAN SUKU KAMORO © Program Studi Pascasarjana Manajemen Universitas Katolik

SOEGIJAPRANARTA 2011dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK)

Penerbit Universitas Katolik Soegijapranata. Jl. Pawiyatan Luhur IV/1, Bendan Duwur, Semarang 50234 Telp. (024) 8316142, 8441555 (hunting) Fax: (024) 8415429, 8442265 E-mail: [email protected] PENELITI: Leonardus Tumuka EDITOR: Thomas B. Santoso, Ed.D Rudi Elyadi REVIEWER: Prof. Vincent Didiek W. Aryanto, Ph.D. Prof. Dr. Andreas Lako. PENATA TEKS: FX. Triyono ISBN 978-602-8011-54-9

Page 2: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Suku Kamoro atau yang cenderung diidentifikasi sebagai masyarakat Kamoro merupakan salah satu suku yang tergolong besar dengan jumlah penduduk kira-kira 18.000 jiwa yang tersebar di 59 kampung yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Mimika (Harple, 2000; BPS Timika, 2010; Mimika Dalam Angka, 2010). Suku ini disebut suku besar karena memiliki sub suku. Guna mempermudah dalam pengidentifikasian maka dinamakan suku Kamoro. Mata pencaharian utama suku ini adalah berburu dan meramu makanan yang tersedia di alam. Mereka mengambil dari alam tanpa harus bekerja keras untuk menanam. Ikan air tawar, maupun berbagai jenis ikan yang terdapat di air asin serta sagu telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari suku Kamoro. Berkaitan dengan ketersediaan alam yang melimpah itulah yang turut menjadi andil bagi masyarakat Kamoro mengapa masyarakat tersebut sangat mencintai alam dan dekat dengan alam sekitarnya.

Penelitian yang dilakukan bersama Yayasan Binterbusih di Kampung Kaugabu, Kabupaten Mimika – bertepatan dengan berlangsungnya kampanye pendidikan – ditemukan dua orang mahasiswa peserta beasiswa dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK) yang tidak melanjutkan studi di salah satu universitas di pulau Jawa (Yayasan Binterbusih, 2011). Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK) adalah salah satu lembaga yang menyalurkan beasiswa bagi putera-puteri asal Kabupaten Mimika, terutama suku Amugme dan Kamoro serta lima Kekerabatan suku lainnya, yakni: Suku Dani, Suku Lani, Suku Damal, Suku Mee, dan Suku Duga. Ketua Yayasan Binterbusih, Paulus Sudiyo, sempat mengajak kedua mahasiswa tersebut agar dapat kembali ke kota studinya di Jawa. Namun, mereka tetap tidak ingin kembali ke kota studi. Alasan yang disampaikan oleh kedua mahasiswa tersebut adalah karena ibunya sudah tua, dan sebagai anak harus membantu ibunya agar dapat memenuhi kebutuhan

Page 3: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

3

hidup sehari-hari. Ironis memang, namun ini merupakan sebuah fakta yang ditemukan di lapangan. Menurut data LPMAK, sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh) orang mahasiswa serta pelajar yang berasal dari Suku Kamoro selama tahun 2006-2010 diberhentikan sebagai peserta beasiswa. Alasan pemberhentiannya beragam, mulai dari alasan mengundurkan diri, terlibat kasus asusila, hingga menghilang tanpa adanya informasi yang jelas dari lembaga studi.

Pada tahun 2011, peneliti menemukan kasus krusial dimana mahasiswa Kamoro angkatan 2004 yang kuliah di Yogyakarta harus di drop out (DO) karena terlampau lama dalam menyelesaikan studinya. Mahasiswa tersebut sebetulnya berada pada masa tugas akhir. Namun ketika diberikan pilihan pulang untuk terlibat dalam kegiatan keorganisasian di Timika atau menyelesaikan studi dengan catatan semester genap 2011 harus selesai, ia lebih memilih untuk pulang ke Timika-Papua. Tabel I menggambarkan jumlah pelajar dan mahasiswa Kamoro yang tidak melanjutkan studi pada tahun tersebut. Jika melihat data dalam Tabel I tersebut secara detail kemudian mengarahkan fokus pada jumlah pelajar maupun mahasiswa pada lembaga studi yang paling banyak memilih untuk tidak melanjutkan studi maka dapat ditemukan bahwa pada jejang S1, jumlah mahasiswa sebanyak 41 orang selama 4 tahun telah mengundurkan diri dari lembaga studi sehingga menempati posisi dengan jumlah terbanyak. Sementara pada posisi kedua, siswa SMA/SMK sebanyak 22 orang telah mengundurkan diri.

Page 4: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

4

Tabel 1

DATA PELAJAR DAN MAHASISWA KAMORO TAHUN 2006-2010 YANG TIDAK MELANJUTKAN STUDI

NO KOTA STUDI JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH SLTP/SMP SMA/SMK MATRIKULASI D3 S1 S2

1 Timika 0 0 0 0 10 0 10 2 Jayapura 4 15 0 0 5 0 24 3 Semarang 0 4 1 1 7 1 14 4 Bandung 0 0 0 0 3 0 3 5 Surabaya 0 0 4 0 10 0 14 6 Manado 0 3 2 0 5 0 10 7 Manokwari 0 0 1 0 1 0 2

TOTAL 4 22 8 1 41 1 77

Sumber: LPMAK 2010

Data dari salah satu lembaga mitra LPMAK yaitu Yayasan BINTERBUSIH menunjukan, dari tahun ke tahun jumlah mahasiswa asli suku Kamoro di bandingkan suku-suku lain yang juga merupakan penerima beasiswa LPMAK terus mengalami penurunan. Tabel 1.1 dan tabel 1.2. menjelaskan penyebaran mahasiswa Kamoro per kota studi. Hasilnya, mahasiswa Kamoro di tiga kota studi (Jakarta, Bandung, dan Solo) tidak ditemukan karena tidak ada yang terdaftar kuliah di perguruan tinggi kota tersebut. Sementara itu ada tiga kota yang menjadi pilihan mahasiswa Kamoro, yaitu Semarang, Yogyakarta dan Malang. Jumlah keseluruhan mahahsiswa Kamoro pada ketiga kota tersebut sebanyak 10 orang. Sebelumnya ketiga kota tersebut menjadi kantong-kantong mahasiswa Kamoro mengenyam pendidikan. Namun, mereka kemudian sedikit demi sedikit meninggalkan kota studi. Mereka pulang secara bergelombang dengan masalah yang rata-rata mirip. Antara lain, mengundurkan diri, pulang tanpa informasi yang jelas, libur namun tidak kunjung kembali untuk menyelesaikan studinya serta berbagai hal lain.

Page 5: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

5

Tabel 2 PENYEBARAN MAHASISWA BEASISWA LPMAK DI PULAU JAWA TAHUN 2010/2011

NO SUKU SUKU/KOTA STUDI

JUMLAH Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Solo Malang

1 AMUGME 11 6 9 14 0 10 50 2 KAMORO 0 0 6 3 0 1 10 3 DANI 0 1 1 0 0 0 2 4 DAMAL 0 0 2 0 0 0 2 5 MONI 1 0 1 2 1 1 6 6 MEE 0 0 1 0 0 0 1 7 LAINNYA 1 0 0 4 0 0 5

TOTAL 13 7 20 23 1 12 76 Sumber: LPMAK dan Yayasan BINTERBUSIH (2011)

Tabel 2 merupakan tabel penyebaran mahasiswa peserta program beasiswa LPMAK yang masuk dalam kategori beasiswa umum. Yang dimaksud dengan beasiswa umum di sini adalah beasiswa yang diberikan oleh LPMAK, yang ditangani oleh Yayasan Binterbusih di Semarang, yaitu mahasiswa yang berada di kost sesuai dengan pilihannya namun tetap dibina oleh yayasan Binterbusih. Sedangkan peserta program beasiswa khusus adalah peserta program beasiswa LPMAK yang ditangani oleh sebuah lembaga studi. Misalnya Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang, Universitas Katolik Widyamandala Surabaya, IKOPIN Bandung, Universitas Samratulangi Manado Sulawesi Utara (UNSRAT), Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwar- Papua Barat serta beberapa Universitas lain Indonesia.

Pada beberapa kota studi di pulau Jawa, mahasiswa Kamoro lebih cenderung memilih untuk kuliah di Semarang dan Yogyakarta. Sehingga sampai dengan April 2011, berdasarkan tabel di atas ditemukan tersisa 6 (enam) mahasiswa Kamoro yang berada di Semarang serta 3 (tiga) mahasiswa Kamoro yang studi di Yaogyakarta. Sementara salah satu mahasiswa Kamoro lagi lebih memilih untuk kuliah di Malang-Jawa Timur.

Page 6: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

6

Bandingkan dengan suku kerabatnya Amugme. Mahasiswa Amugme lebih mendominasi tabel di atas, sebab rata-rata mahasiswa tersebut masuk dan memulai perkuliahan sejak awal hingga akhir tanpa pengurangan yang signifikan. Pertambahan jumlah yang dilihat pada suku Amugme pada prinsipnya tidak semata-mata dipengaruhi oleh banyaknya jumlah mahasiswa yang kuliah pada suatu tahun tertentu, melainkan merupakan akumulasi dari mereka yang lama belum selesasi studi tetapi memilih bertahan dan satu atau dua orang yang memulai kuliah pada tahun berikutnya, ditambah lagi mahasiswa yang diterima permohonan beasiswanya. Satu hal yang penting dari mahasiswa Amugme adalah niat serta tekad untuk berhasil. Hal itu dapat dilihat pada tabel 1.3 dibawah ini. Tabel 3 DATA JUMLAH PEMINAT STUDI PADA PERGURUAN TINGGI DARI 7 (TUJUH) SUKU

NO SUKU TAHUN ANGKATAN JUMLAH 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

1 AMUGME 5 2 5 10 7 16 1 1 5 52

2 KAMORO 3 2 1 1 1 0 2 0 0 10

3 DANI 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3

4 DAMAL 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

5 MONI 0 0 0 3 2 0 1 0 0 6

6 MEE 0 0 0 0 1 0 1 0 0 2

7 PAPUA LAIN 0 1 0 0 1 0 0 0 0 2

TOTAL 8 5 6 15 14 17 5 1 5 76

Sumber: LPMAK & Yayasan BINTERBUSIH (2011)

Tabel 1.3. di atas menggambarkan jumlah mahasiswa pertahun (angkatan) dimulai dari tahun 2003-2010, yang masih atau baru tercatat sebagai mahasiswa peserta program beasiswa LPMAK pada perguruan tinggi. Mahasiswa Kamoro yang masuk pada tahun 2003 dan 2004, rata-rata pulang sebelum menyelesaikan studi. Namun masih ada pula mahasiwa Kamoro angkatan 2003 yang bertahan untuk menyelesaikan studinya.

Page 7: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

7

Dapat dilihat pula kekosongan mahasiswa Kamoro pada tahun 2008 dan 2010, serta minimnya jumlah mahasiswa Kamoro mulai dari tahun 2003. Malahan jumlahnya makin menurun. Penurunan tersebut sebetulnya disebabkan oleh mahasiswa Kamoro yang dengan sendirinya memutuskan untuk meninggalkan kota studi untuk pulang kampung, kembali ke Timika.

Setelah membaca tabel 2 dan tabel 3 di atas dapat diperkirakan bahwa dari 10 orang misalnya yang dikirim oleh LPMAK ke setiap daerah studi di Pulau Jawa maupun di pulau-pulau sekitarnya di Indonesia, untung-untungan jika ada satu atau dua orang yang berhasil dalam menyelesaikan studinya. Sebab kebanyakan dari pelajar maupun mahasiswa yang dikirim untuk melanjutklan studinya, banyak yang tidak dapat melanjutkan studi dan putus di tengah jalan, walaupun pada prinsipnya tingkat kemampuan penyesuaian diri dalam meyelesaikan pendidikan masuk dalam kategori mampu.

Penelitian ini layak dilakukan, mengingat fakta menyebutkan bahwa selama 13 tahun (1998-2010), dengan beasiswa serta kesempatan yang begitu besar diberikan kepada mahasiswa suku Kamoro oleh LPMAK, hanya 7 (tujuh) orang dari total 49 (empat puluh Sembilan) orang yang berhasil menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar sarjana. Sementara suku-suku kekerabatannya lebih banyak menyelesaikan studinya.

Page 8: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

8

Tabel 4

DATA ANGKATAN STUDI DAN JUMLAH MAHASISWA KAMORO SELAMA 13 TAHUN (1998-2010)

NO ANG-KATAN

JUMLAH MAHASISWA AKTIF (∑) DAN LULUSAN (L) DALAM TAHUN AKADEMIK TOTAL

2004 / 2005

2005 / 2006

2006 / 2007

2007 / 2008

2008 / 2009

2009 / 2010

∑ L ∑ L ∑ L ∑ L ∑ L ∑ L ∑ L %

TASE / THN

1 1998 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 00,00 2 1999 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 1 50,00 3 2000 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 00,00 4 2001 9 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 9 2 22,22 5 2002 5 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 5 2 40,00 6 2003 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 00,00 7 2004 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 00,00 8 2005 2 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 3 2 66.67 9 2006 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 3 0 00,00

10 2007 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 00,00

11 2008 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 00,00

12 2009 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2 0 00,00

13 2010 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 00,00

JUMLAH 36 1 0 2 3 1 1 1 1 2 1 0 42 7 16.67

Sumber: Yayasan Binterbusih Semarang (2010).

Tidak banyak pelajar dan mahasiswa yang mengenyam pendidikan maupun menyelesaikan pendidikan tepat waktu serta dengan jumlah tamatan yang lebih banyak. Peserta pelajar maupun mahasiswa kebanyakan malahan putus asa dan meninggalkan pendidikan lalu kembali tanpa membawa keberhasilan ke Timika. Persoalan ini menyebabkan tidak sedikit pengangguran usia produktif dan angkatan kerja (usia, 15-44 tahun: sumber BKKBN) yang kemungkinan akan terus bertambah besar di Kabupaten Mimika yaitu 5,87% dengan masing-masing 10,25 persen (wanita) dan 5,29 persen (Pria) dari total jumlah 87.811 orang (sumber BPS Timika 2003). Sedangkan data BPS dan Bappenas 2010, dengan jumlah penduduk Mimika sebesar 183.633 jiwa jumlah indeks pembangunan manusia di Kabupaten Mimika sebesar 64,8.

Page 9: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

9

Di kalangan pengusaha, ini adalah kesempatan yang sangat menguntungkan. Apalagi ada kebiasaan negatif yang diadopsi oleh generasi muda Kamoro dari sebuah proses modernisasi yaitu mengonsumsi minuman keras. Kesempatan kemudian dipergunakan oleh kelompok pengusaha dengan penyediaan minuman keras secara besar-besaran dan mudah ditemukan. Hasilnya tidak sedikit generasi mudah suku Kamoro yang kemudian menggantungkan hidupnya pada minuman keras. Hasil dari bekerja sebulan tidak tanggung-tanggung untuk dihabiskan hanya dalam satu-dua hari untuk mengonsumsi minuman keras. Alhasil tidak sedikit orang yang kemudian meninggal dunia akibat minuman keras. Pada bulan Januari 2011 misalnya, 5 orang Kamoro meninggal akibat mengonsumsi minuman keras di kampung Nayaro Mimika (sumber: Republica.co.id, Januari 2011, yang dilampirkan oleh Forum.detik.com).

Karena tidak banyak generasi mudah Kamoro yang tertarik untuk bersekolah sungguh-sungguh dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, hal itu berimplikasi pada kesempatan kerja. Dimana banyak posisi penting dalam pemerintahan tidak dapat diisi oleh generasi mudah suku Kamoro. Pada penemuan lain ditemukan jumlah generasi mudah yang rata-rata tamatan SD juga SMP mencari pekerjaan, sementara kriteria yang dibutuhkkan di daerah adalah minimal SI, terutama pemerintah daerah atau yang merencanakan memiliki pekerjaan yang jauh lebih baik. Bukan merupakan rahasia umum bahwa pendidikan merupakan kekuatan yang juga sekaligus menjadi modal dalam menyongsong tantangan masa depan. Saat ini penduduk dunia, bahkan masyarakat kecil tidak ketinggalan mendorong generasinya untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, sebagai salah satu intelektual suku Kamoro, peneliti terinspirasi untuk melakukan penelitian ini.

1.2. Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.2.1. Masalah Penelitian

Penelitian ini hanya difokuskan untuk dapat mengidentifikasi faktor penghambat ketertarikan suku Kamoro terhadap pendidikan formal.

Page 10: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

10

Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi alasan lulusan SMA dari suku Kamoro tidak tertarik melanjutkan studi di pergruan tinggi ?

2. Apa yang melatarbelakangi mahasiswa Kamoro tidak mampu menyelesaikan studinya di perguruan tinggi?

3. Bagaimana strategi/upaya-upaya yang dapat dilakukan sehingga mahasiswa suku Kamoro dapat bertahan untuk menyelesaikan studinya di perguruan tinggi ?

1.2.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi alasan mahasiswa Kamoro tidak tertarik untuk

studi di pergruan tinggi. 2. Mengidentifikasi faktor penghambat mahasiswa Kamoro yang tidak

dapat menyelesaikan studi di perguruan Tinggi. 3. Mengidentifikasi latarbelakang mahasiswa Kamoro tidak dapat

menyelesaikan studinya. 4. Menemukan strategi/upaya-upaya yang dapat dilakukan agar

mahasiswa Kamoro dapat bertahan untuk menyelesaikan studi dan mengembangkan Sumber Daya Manusia Suku Kamoro melalui pendidikan formal.

1.2.3. Kegunaan Penelitian

1. Menemukan solusi terbaik dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi calon peserta penerima beasiswa, terutama kriteria yang tepat dari sekian banyak calon mahasiswa Kamoro yang sesuai, yang diharapkan dapat bertahan dalam studi dan menyelesaikanya.

3. Sebagai rekomendasi bagi pihak-pihak terkait terutama Pemerintah Daerah Kab. Mimika, PT. Freeport Indonesia, Lembaga pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK) serta pemerhati masalah sosial dan pendidikan terutama

Page 11: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

11

Yayasan BINTERBUSIH serta berbagai organisasi sosial lain dalam memberikan plihan-pilihan alternatif bagi penyelesaian berbagai hambatan tersebut.

Page 12: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

12

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Melalui Pendidikan Formal

Sutjipto (2005), mengatakan bahwa pendidikan formal atau lebih dikenal dengan sistem persekolahan, mempunyai peranan yang amat menentukan perkembangan potensi manusia secara maksimal, sehingga manusia itu memiliki ketajaman response terhadap lingkungannya, ketrampilan, intelektual, sehat dan berkehidupan yang baik, koperatif, mempunyai motivasi yang tinggi untuk berprestasi, mampu berkompetisi, toleran, dapat menghargai pendapat orang lain dan mampu mencapai kebahagiaan hidup.

Pendidikan merupakan ranah yang sangat penting pada jaman ini. Bukan karena dapat menghantarkan seseorang meraih sukses melainkan pendidikan membentuk seseorang setidaknya dapat menghargai hidup sebagaimana mestinya. Fungsi pendidikan Nasional menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selanjutnya untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kapada Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan Nasional harus berfungsi sebagai alat 1. Pengembangan pribadi, 2). Pengembangan warga negara, 3). Pengembangan kedudukan, 4). Pengembangan bangsa, (Suryosubroto 2010;12). Suryosubroto juga menuliskan bahwa pendidikan dapat dibedakan dari berbagai jenis yang diantaranya, pendidikan intelek, pendidikan keagamaan, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan jasmani, pendidikan kemiliteran, pendidikan vakasional (pekerjaan), pendidikan kerumahtanggaan dan sebagainya, (Suryosubroto 2010; 16).

Namun pendidikan pun tidak serta merta dapat dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat sesuai dengan harapan UUD 1945 karena kondisi masyarakat yang cukup berat. Analisis SWOT yang dilakukan oleh Sam M Chan dan Tuti T. Sam (2007;78), menyebutkan bahwa kondisi ekonomi keluarga cukup signifikan berpengaruh pada perekonomian keluarga. Oleh karena itu, keluarga miskin/ekonomi lemah amat mengabaikan

Page 13: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

13

pendidikan di keluarga. Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga justru adalah penanaman nilai-nilai negatif. Menurut mereka, pada keluarga menengah ke atas, pendidikan keluarga justru menjejalan penanaman budaya kekerasan akibat orang tua terlalu sibuk. Dengan demikian pendidikan menjadi tidak tertanam secara utuh dalam diri anak. Hasilnya sumber daya manusia yang diharapkan kelak memperoleh pengetahuan yang bukan hanya sekedar ilmu pengetahuan melainkan moral pun tidak dapat tertanam secara maksimal dalam diri anak.

Orang tua dengan berbagai kesibukan tanpa mempedulikan pekembangan anak tentunya akan menjadi penghambat bagi kemajuan pengetahuan anak tersebut, dengan demikian tentu akan menghambat pembangunan sumber daya manusia di suatu daerah karena mentalitas dan juga karena pandangan hidup. Koenjaningrat juga mengemukakan bahwa ada dua golongan sikap mentalitas yang menghambat pembangunan. Yang pertama bermuara dari konsep dasar pandangan hidup/nilai budaya yang sudah berakar beberapa generasi, sedang yang kedua pada nilai budaya yang tercipta sejak zaman revolusi kemerdekaan. Sikap-sikap menghambat tersebut adalah sebagai berikut, 1.Mentalitas tidak menghargai karya sebagai karya. Dalam sikap ini karya dipandang sebagai yang menghasilkan nafkah dan kedudukan. Maka sejauh hal itu telah dicapai, nilai karya tidak ada lagi.

2. Sikap tidak menghargai masa depan. Sebaliknya sikap ini lebih memandang masa lampau sebagai suatu nilai yang perlu diwat dan dipertimbangkan. Sikap ini tidak mendorong hidup hemat, menabung atau mengatur perencanaan.

3. Mentalitas menyerah pada nasib. Mentalitas ini sebagai akibat dari pandangan bahwa manusia hanyalah kepingan dari mikrokosmos, ia terbawa dalam aliran makrokosmos tanpa bisa berbuat apa-apa. Mentalitas ini disebut sebagai mentalitas sentripetal yang lebih mendorong manusia untuk menjadi intovert, dan memusatkan perhatian pada diri sendiri.

4. Mentalitas konformisme, adalah mentalitas yang mendorong orang untuk selalu bernasib sepenanggungan, harus selalu baik dan sama dengan yang lain dan jangan sampai menonjolkan diri. Semangat ini tidak sesuai dengan jiwa pembangunan. Karena di dalam jiwa pembangunan dituntut

Page 14: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

14

untuk berprestasi dan menunjukan kemampuannya, kalau perlu melebihi yang rata-rata.

5. Mentalitas meremehkan mutu. Hal ini tumbuh karena keadaan yang sudah sekian lama orang hidup serba kekurangan sehingga kalau ada sesuatu pun itu merupakan prestasi sendiri. Mentalitas ini menyebabkan kita tidak bisa bersaing, yakni sesuatu yang berkaitan dengan prestasi hasil karya kita. Akibat kemudian, kita selalu terus ketinggalan dalam lajur pasar produksi.

6. Mentalitas suka menerabas mencari kemudahannya, mencari yang paling gampang dan segera menghasilkan apa yang diinginkan. Nilai karya tidak tampak di sini. Juga tidak ada pengharapan terhadap proses yang normal. Pada hal proses itu sendiri membutuhkan nilai-nilai baru yang kadang tidak terduga.

7. Mentalitas tidak percaya pada diri sendiri. Mentalitas ini sebenarnya hanya sebagian akibat nilai-nilai budaya yang terbiasa menggantungkan diri pada sesama yang kebetulan statusnya berada di atas. Mentalitas penghambat lain adalah mentalitas tak berdisiplin murni, terakhir mentalitas tak bertanggung jawab. hal inilah menurut Koenjaningrat menjadi penghambat kemajuan.

Berkaitan dengan sumber daya manusia, Werther da Davids (1996, 596), Mendefinisikan Sumber daya Manusia (human resource) sebagai “the people who are ready, willing, and able to contribute to organizational goals”, atau orang-orang yang siap dan mampu berkontribusi mencapai tujuan organisasi. Kesiapan sumber daya manusia sendiri tentunya tidak serta merta kesiapan yang hanya dilandasi oleh pengetahuan, melainkan juga diharapkan memiliki akhlak yang baik serta dapat dipercaya dan berkontribusi dalam organisasi sesuai dengan GBHN/1973, yang menyebutkan tujuan pendidikan ialah membentuk manusia pembangunan yang berjiwa pancasila. Selanjutnya GBHN/1978 mencantumkan dasar dan tujuan pendidikan nasional: pendidikan nasional berdasarkan atas pancasila dan tujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertinggi semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Page 15: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

15

Tentunya pertemuan antara pengetahuan dan moral akan semakin membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Ndraha (1999;12),“Pengantar Teori pengembangan Sumber Daya Manusia”, mengatakan, SDM berkualitas tinggi adalah SDM yang mampu menciptakan bukan saja nilai komparatif tetapi juga nilai konpetitif-generatif-indovatif dengan menggunakan energi tertinggi seperti intelligence, creativity, dan imagination; tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar seperti bahan mentah, lahan, air, tenaga dan otot. Dengan demikian sumber daya manusia dapat bersaing dalam menciptakan sesuatu yang berguna jika mampu menggabungkan berbagai sisi yang dimilikinya. Selain yang dikemukakan oleh Ndraha, Mangunwidjaya (1997) mencoba mengklarifikasi nilai kecerdasan dan membuat analisis situasi kontemporer baik secara makro (“kecerdasan bangsa”) dan Mikro (“kecerdasan orang”) melalui artikel, “ mata rantai paling lemah,” pada Kompas edisi 19 Juli 1997. Analisisnya berawal dari anggapan dasar bahwa bangsa yang tidak cerdas hanya mengikuti emosi belaka atau dangkal cara penggagasannya. Tidak tahu hubungan kausal sebab dan akibat, apalagi urutan prioritas...., dan berakhir pada kekerasan, penindasan hak-hak asasi warga negara, khusnya kaum lemah, suka berbahasa teror serta rekayasa paksaan-paksaan yang justru senjata makan tuan. Orang yang tidak cerdas biasanya mudah memakai kekerasan sebagai cara penyelesaian soal.

Santiago (2007) dari Universitas Borobudur mengatakan, salah satu prioritas dalam pembangunan yaitu diperlukan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Guna mencapai SDM tersebut maka diperlukan pengembangan dan perubahan SDM. Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu pembangunan perlu dan terus dilaksanakan. Pengembangan SDM merupakan suatu proses jangka panjang untuk meningkatkan potensi dan efektivitas komponen bangsa yaitu, manusia Indonesia. CIDA (Canadian International Development Agency) seperti dikutip oleh Effendi (1993) bahwa pengembangan sumber daya manusia menekankan manusia baik sebagai alat (means) maupun sebagai tujuan akhir pembangunan.

Pengembangan sumber daya manusia bahkan menjadi keharusan mutlak sebab berkaitan dengan berbagai tantangan tidak terduga pada

Page 16: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

16

masa yang akan datang. Siagian (1993), mengemukakan bahwa untuk menghadapi tuntutan tugas sekarang maupun dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan, pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak. Tujuan pengembangan sumber daya manusia menurut Martoyo (1992) adalah dapat ditingkatkannya kemampuan, keterampilan dan sikap karyawan/anggota organisasi sehingga lebih efektif dan efisien dalam mencapai sasaran-sasaran program ataupun tujuan organisasi. Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksud sangat berkaitan dengan pembangunan, sebab juga dapat membantu mengatasi problema masyarakat. Sumber daya manusia yang unggul dan baik dapat mengatasi berbagai hal, termasuk problema masyarakat.

Nawawi (2006;5), dalam Pembangunan dan problema masyarakat, mengatakan bahwa pembangunan di Indonesia seharusnya juga diletakan dalam skala filsafati dan dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya adalah skala untuk meletakan “pembangunan”, sinonim dari “development” itu pada teknis naturalistik semata-mata. Masyarakat pun tentu perlu diberdayakan. Soetomo (2011,88) dalam Pemberdayaan Masyarakat (2011;88) mengatakan bahwa unsur utama dari pemberdayaan masyarakat adalah pemberian kewenangan dan pengembangan kapasitas masyarakat. Selanjutnya menurutnya, kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh karena apabila masyarakat telah memperoleh kewenangan tetapi tidak atau belum mempunyai kapasitas untuk menjalankan kewenangan tersebut maka hasilnya juga tidak optimal. Masyarakat berada pada posisi marginal disebabkan karena kurang memiliki kedua unsur tadi, kewenangan dan kapasitas.

2.2. Faktor Yang Terkait Dengan Pengembangan SDM

Masyarakat Kamoro Pengembangan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Kamoro

tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan masyarakat Kamoro itu sendiri. Kebiasaan yang dimaksud diantaranya, 1). kedekatan terhadap ekosistem alamnya (tanah, pasir, pantai, ikan, sagu, dayung, perahu, bulan, bintang, hujan, petir, guntur, kilat, dll.) 2). Hubungan antara orang tua dan anak, 3). Budaya adat suku, bahasa daerah, kelompok sukunya, 4). Serta berbagai hal lain (sumber: pengalaman hidup seorang peneliti).

Page 17: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

17

Memikirkan kemajuan mungkin akan menjadi sebuah tantangan dan akan berbenturan dengan pandangan kecintaannya terhadap alam. Sebab alam telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari suku Kamoro. Hal ini pulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa generasi suku Kamoro saat ini minim motivasi prestasi untuk bersaing pada jenjang pendidikan tinggi, termasuk jenjang pendidikan menengah. Jika dikaitkan dengan pandangan MC. Clelland, Psikolog Amerika dalam “the achieving Society, New York The Mcmillan Compay” 1961, yang mengatakan bahwa, faktor yang paling menentukan kemajuan seseorang adalah ada tidaknya suatu sikap yang berkiblat kepada prestasi atau bermotivasi prestasi maka motivas bersaing untuk berprestasi bagi generasi mudah suku Kamoro menjadi sebuah tantangan.

Mengenai motivasi prestasi yang dimaksud oleh David MC.Clelland tersebut pun cukup sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat Kamoro. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa kemajuan suku ini akan sulit jika tidak diupayakan secara serius, sehingga dapat memunculkan keinginan untuk dapat bersaing serta berprestasi. Lalu bagaimana dengan kemjuan yang menjadi harapan bagi suku ini, apakah memang benar bahwa suku Kamoro tidak menginginkan kemajuan sukunya atau ada unsur lain yang turut menyebabkan suku ini terindikasi kesulitan berkembang pada aspek pendidikan? Economic and Social Commision For Asia Pasific, (ESCAP,1999) mengemukakan bahwa, permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian, melainkan juga akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan demikian, ketertinggalan yang kompleks semakin menjadi nyata sekaligus menjadi momok yang mematikan setiap sendi kehidupan masyarakat baik moderen maupun tradisional.

Nampaknya jika mengatakan bahwa pembangunan tidak berhasil jika tidak dapat merubah hidup masyarakat ada benarnya juga. Sebab sebetulnya keberhasilan, kemajuan masyarakat yang tercakup dalam pembangunan itu dikatakan berhasil jika masyarakat secara umum dapat berkomitmen untuk pembangunan yang dimaksud. Siagian (2005:48-53) yang dikutip oleh Nawawi (2009; 12) menyebutkan bahwa keberhasilan

Page 18: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

18

penyenggaraan pembangunan dalam suatu segi kehidupan dan penghidupan bangsa menuntut komitmen seluruh komponen masyarakat. Idealnya, berdasarkan strategi dan rencana pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah, semua warga masyarakat turut menjadi “pemain” dan tidak ada yang sekedar menjadi “penonton”.

Pemerintah dalam hal ini memegang peranan yang sangat besar. Nawawi (2006;22-23) mengatakan bahwa peranan pemerintah secara spesifik dapat dibagi atas tiga kelompok fungsional, yaitu: (1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan, seperti penyelenggaraan peradilan, pertahanan dan keamanan, mengadakan hubungan diplomatik, dan penyelenggaraan keuangan negara (2) Dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan umum, yaitu memberikan pelayanan dan dukungan (3) Dalam rangka penyelenggaraan tugas pembangunan, pemerintahan umum, yaitu memberikan pelayanan tugas pembangunan seperti, pembangunan bangsa, (“cultural and political development”), dan pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social political development) yang diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat bangsa. Dalam mengemban tugas itulah, pemerintah mengembangkan “sistem intervensi” berupa berbagai bentuk kebijakan publik. Dengan demikian, semestinya pemerintah pun dapat menjadi kontributor untuk perubahan menuju kemajuan bagi suku Kamoro.

Page 19: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

19

2.3. Kerangka Pikir Penelitian

Penjelasan

Guna mengidentifikasi faktor penghambat pengembangan Sumber daya Manusia suku Kamoro maka dibuatlah pendekatan-pendekatan. Istilah “Pendekatan” merupakan kata terjemahan dari bahasa inggris, approach. Maksudnya adalah sesuatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah studi atau penelitian. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud antara lain, pendekatan budaya, Pendekatan Politis, pendekatan Antropologis, Pendekatan Keluarga dan pendekatan Individu. Tujuan pendekatan-pendekatan tersebut adalah menganalisis tiap-tiap aspek yang disebutkan satu persatu. Hal itu berawal dari pandangan peneliti mengenai adanya kontribusi berbagai aspek yang disebutkan turut berkontribusi dan menjadi faktor penghambat ketertarikan suku Kamoro terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia.

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto 1993). Sementara itu, Koentjaraningrat mengatakan bahwa

Identifikasi Faktor Penghambat Pengembangan SDM Suku Kamoro

aspek Budaya

Aspek Politis

Aspek Antropologis

Aspek Keluarga

Aspek Individu

1. Latar belakang Ketidak tertarikan untuk studi 2. Penghambat penyelesaian studi 3. Ketidak mampuan menyelesaikan studi.

Strategy/upaya yang dapat dilakukan agar mahasiswa Kamoro dapat bertahan dan menyelesaikan studi

Page 20: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

20

budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.

Pendekatan budaya dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kontribusi atau tidaknya unsur budaya dalam ketidak tertarikan suku Kamoro terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia. Karena ada kemungkinan budaya menjadi unsur yang turut berkontribusi bagi terjadinya hambatan pendidikan pada suku Kamoro.

Selain itu pendekatan politis juga digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan politis sangat penting karena membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisa system politik dan perilaku politik. Politik mempelajari alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan keputusan, peran dan sistem pemerintahan termasuk pemerintah dan organisasi internasional, perilaku politik dan kebijakan publik.

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda (Wikipedia, 08 Juni 2011) yaitu antara lain: (1) politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, (2) politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, (3) politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat, dan (4) politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Selain itu juga dilakukan pendekatan Antropologis.

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau

Page 21: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

21

muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.

Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal. Tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama. Antropologi mirip sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Koentjaraningrat (1992), mendefinisikan Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan

Keluarga turut mempengaruhi perkembangan individu. Dengan demikian, pendekatan keluarga sangat penting dilakukan. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Keluarga dalam penelitian ini sangat penting karena kesuksesan individu pada prinsipnya ditentukan oleh keluarga.

Individu, merupakan bagian yang menentukan kedepan. Jika keluarga dapat mendidik dengan baik maka hasilnya Individu akan dapat menyelesaikan berbagai tantangan yang kelak dihadapi dalam lingkungannya. Individu berasal dari kata latin, “individuum” yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dapat untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan, demikian pendapat Dr. A. Lysen.

Page 22: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

22

Setelah memahami keseluruhannya maka dapat ditemukan apakah sosiologi, politik, antropologi, keluarga dan Individu pada bagiannya sendiri mempengaruhi ketidak tertarikan untuk menyelesaikan studi, ataukah keseluruhan aspek tersebut menjadi kontribusi hambatan yang terjadi pada mahasiswa suku Kamoro. Dengan demikian dapat disusun strategi serta upaya-upaya yang tepat dalam menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut.

2.4. Definisi Operasional

2.4.1. Latarbelakang Ketidak Tertarikan untuk Studi

Latar belakang adalah dasar atau titik tolak untuk memberikan pemahaman kepada pembaca atau pendengar mengenai apa yang ingin disampaikan. Selain itu, latar belakang dapat pula mengandung perbandingan dan penyempurnaan atas tulisan mengenai topik yang sama sebelumnya.

Ketidak tertarikan memuat dua kata yaitu tertarik dan tidak tertarik. Tertarik dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI) adalah menaruh minat, kena tarik; ditarik. Sementara Ketertarikan merupakan hal, keadaan, atau peristiwa tertarik. Sehingga ketidak tertarikan adalah tidak adanya minat sehingga tidak tertarik pada suatu keadaan.

Studi atau belajar menurut KBI Online adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu beriteraksi dengan lingkungannya. W.H. Burton (1984) mendefinisikan belajar : “Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment”.

Dengan demikian, latarbelakang ketidaktertarikan untuk studi merupakan dasar atau titik tolak yang menjadi landasan mahasiswa Kamoro tidak menaruh minat pada ilmu atau belajar pada perguruan tinggi.

Page 23: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

23

2.4.2. Penghambat penyelesaian studi

Hambatan dalam KBI adalah halangan; rintangan; (2) kayu penghalang dan sebagainya. Sementara penyelesaian artinya proses, cara, perbuatan, menyelesaikan dalam usaha memperoleh ilmu. Sehingga penghambat menyelesaikan studi berarti rintangan dalam usaha menyelesaikan studi.

Aspek-aspek yang menjadi penghambat dalam studi menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Ganesha Singaraja (1999), antara lain, 1). Sangat formal birokratisnya hubungan antara mahasiswa dan pegawai, 2). kuantitas sarana dan prasarana jika ditinjau dari rasio luas ruang berbanding jumlah mahasiswa kurang memadai, 3). Terbatasnya jumlah dan luas ruang yang ada berpengaruh pada penjadwalan, 4). kondisi lingkungan sekitar.

2.4.3. Ketidakmampuan menyelesaikan studi.

Mampu adalah kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu. Sedangkan tidak merupakan kondisi partikel untuk menyatakan pengingkaran, penolakan atau penyangkalan. Sehingga ketidak mampuan merupakan penolakan terhadap sesuatu yang diakibatkan oleh suatu kondisi tidak memiliki kesanggupan atau kuasa untuk menyelesaikan atau menyudahkan (menyiapkan) pekerjaan, menyempurnakan sesuatu hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

2.4.4. Strategi pengembangan sumber daya manusia

Strategy merupakan ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya (KBI online). Pengembangan sumber daya manusia merupakan keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tersedianya tenaga yang kompetensi.

Sehingga strategi pengembangan sumber daya manusia yang dimaksud dalam penelitian adalah ilmu dan seni yang dapat digunakan guna tercapainya ketersediaan tenaga terampil yang telah memiliki keterampilan dalam bidang pengetahuan di perguruan tinggi dari suku Kamoro.

Page 24: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

24

2.4.5. Ketidaktertarikan terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia suku Kamoro.

Ketidak tertarikan yang dimaksud di sini adalah tidak adanya minat sehingga tidak tertarik pada pentingnya penyelesaikan studi di perguruan tinggi untuk tercapainya manusia terampil dari suku Kamoro.

2.4.6. Ketidakmampuan dalam menyelesaikan studi

ketidak mampuan merupakan penolakan terhadap sesuatu yang diakibatkan oleh suatu kondisi tidak memiliki kesanggupan atau kuasa untuk menyelesaikan atau menyudahkan (menyiapkan) pekerjaan, menyempurnahkan sesuatu hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Ketidakmampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan mahasiswa Kamoro dalam menyelesaikan studi, sehingga hasilnya tidak memunculkan tenaga terampil dari suku tersebut.

Aspek-aspek hambatan antara lain adalah kurangnya motivasi dari diri mahasiswa, kurangnya dorongan dari orang tua serta aspek politis yang mungkin dapat berkontribusi bagi mahasiswa Kamoro.

Page 25: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

25

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Objek dan lokasi Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian

Sugiono menyatakan bahwa objek penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.” (2009:38). Objek peneliitian dalam penelitian ini adalah 3.1.1.a. Mahasiswa suku Kamoro Dengan kategori: (a). Mahasiswa aktif kuliah (b) Mahasiswa putus kuliah (c). Mahasiswa yang lulus kuliah 3.1.1.b. Orang tua dari: (a) Mahasiswa Aktif Kuliah (b) Mahasiswa putus kuliah (d) Mahasiswa yang lulus kuliah

3.1.2. Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian merupakan suatu kegiatan yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan data secara optimal. Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data atau informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa yang merupakan wilayah dimana mahasiswa Kamoro berada dan studi ditempat tersebut. Selain itu, Timika-Papua juga dimasukan sebagai lokasi penelitian karena banyak mahasiswa yang berhenti melanjutkan studi berada. Di sisi lain, Timika pun merupakan tempat dimana orang tua mahasiswa Kamoro berada.

3.2. Populasi dan sampel 3.2.1. Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002:108). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Semua Mahasiswa Kamoro yang studi di Pulau Jawa dan pernah tercatat atau sedang tercatat sebagai peserta program beasiswa LPMAK dan Orang

Page 26: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

26

tua dari mahasiswa tersebut. Teknik yang digunakan adalah sampling technique, dengan kategori sebagai berikut:

1. Mahasiswa tersebut masih aktif kuliah 2. Mahasiswa yang telah putus kuliah 3. Mahasiswa yang telah lulus kuliah

Tabel 5 Perencanaan Jumlah mahashiswa

NO TAHUN SEDANG

STUDI PUTUS STUDI

LULUS STUDI JUMLAH

1 2003 3 2 0 5

2 2004 2 3 1 6

3 2005 2 3 2 7 4 2006 2 3 0 5 5 2007 1 2

3

6 2008 3 1 0 4 7 2009 3 0 0 3 8 2010 0 0 1 1

JUMLAH 16 14 4 34 Sumber: LPMAK 2010

3.2.2. Sampel

Mengingat keterbatasan waktu, penelitian ini menggunakan sampel penelitian. Menurut Suharsimi (1998:117) sampel penelitian adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sedangkan menurut Hadi (1984:70) populasi penelitian adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran generalisasi dan sampel-sampel yang akan diambil dalam suatu penelitian. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling yang memiliki kategori sebagai berikut:

b.1. Mahasiswa b.1.1. Mahasiswa Aktif Kuliah diambil 5 orang dengan

kategori: 1.a Selalu pergi ke Kampus untuk kuliah

Page 27: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

27

1.b. Mengerjakan tugas kuliah 1.c. Terlibat aktif dalam kegiatan organisasi Kampus

(BEM, Himpunan mahasiswa, dll) b.1.2. Memiliki nilai kuliah min, 2. 50 b.1. 3. Putus Kuliah 3 orang dengan kategori:

b.1.3.1. Tidak berpikir untuk kembali melanjutkan studi

b.1.3.2. Tahun berhenti kuliah 2003-2010 b.1.4. Lulus kuliah 3 orang dengan kategori:

b.1.4.1. Tercatat sebagai mahasiswa berprestasi di kampus

b.1.4.2. Lulus langsung diterima kerja b.1.4.3. Selesai studi 4-5 tahun

b.2. Orang tua

Diambil dari orang tua mahasiswa yang aktif kuliah, yang tidak aktif kuliah dan yang lulus Kuliah:

b.2.a. Orang tua mahasiswa aktif kuliah 5 orang b.2.a.1. Asli suku kamoro b.2.a.2. Mampu menggunakan bahasa daerah

suku Kamoro dengan baik dan benar b.2.a.3. Bertempat tinggal di Timika

b.2.b. Orang tua mahasiswa yang tidak aktif kuliah 3 orang

b.2.b.1. Asli suku Kamoro b.2.b.2. Tinggal di kota Timika b.2.b.3. Mampu menggunakan bahasa Kamoro

dengan baik dan benar

b.2.c. Orang tua dari anak yang telah lulus kuliah 3 orang b.2.c.1. Asli suku Kamoro b.2.c.2. Tinggal di kota Timika b.2.c.3. Mampu menggunakan bahasa Kamoro dengan baik dan benar.

Page 28: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

28

3.3. Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

3.3.1. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh informasi dengan cara bertanya jawab secara langsung dengan subjek yang hendak diambil informasinya, serta partisipatif. Ketiga metode ini diharapkan dapat membantu dalam proses pengumpulan data. Wawancara sangat penting dalam memperoleh informasi mengenai suatu hal dengan adanya interaksi antara interviewer dan subjek yang diinterview. Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden dengan cara bercakap-cakap secara tatap muka. 3.3.2. Kuesioner

Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan analis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik beberapa orang utama di dalam organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem yang diajukan atau oleh sistem yang sudah ada. Quesioner dalam penelitian ini sangat penting karena dengan quesioner diharapakan peneliti memperoleh data yang lebih akurat. 3.3.3. Observasi

Kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan agar peneliti dapat lebih dekat dan merasakan kondisi dari objek yang menjadi sasaran penelitian.

Page 29: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

29

Tabel 6 Pengumpulan Data

No ASPEK YANG DITELITI

SUMBER INFORMASI (RESPONDEN)

METODE PENGUMPULAN DATA

INFORMASI YANG DIPEROLEH

1 Budaya

Tokoh adat Wawancara Masalah Ekonomi, dukungan orang tua

Kepala suku Wawancara Masalah ekonomi Ketua Lembaga Adat Masyarakat Kamoro

Wawancara Tidak berada di tempat

2 Politis

Anggota Dewan Partai Politik

Wawancara

Dukungan Orang tua kurang Tidak ada kebijakan Pemerintah Untuk menyelesaikan masalah masyarakat

3 Antropologi

Kepustakaan (library Research)

Penelusuran Pustaka

Kamoro bergantung sepenuhnya pada alam

Awalnya Kamoro sekolah den gan baik

4 Keluarga

Ortu anak aktif kuliah Wawancara Dukungan Kuat, ekonomi

Minim Ortu anak putus kuliah Wawancara Dukungan kuat, ekonomi

minim ortu anak lulus kuliah Wawancara Dukungan kuat, bekerja

keras untuk pendidikan anak

5 Individu

Mahasiswa aktif kuliah

Wawancara + Quisioner

2009 baru sada akan pentingnya pendidikan

Mahasiswa lulus kuliah

Wawancara + Quisioner Motivasi individu tinggi

Mahasiswa putus kuliah

Wawancara + Quisioner

Motivasi berhasil sangat minim, masalah ekonomi

Page 30: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

30

3.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam suatu penelitian. Melalui peroses ini data-data yang telah dikumpulkan akan dapat berarti dan akan sangat berguna dalam proses memecahkan masalah dalam penelitian. Menurut Nazir (1998;419) analisa adalah Mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkat data sehingga mudah dibaca. Tujuan dari analisa adalah untuk mereduksi data agar dapat dikerjakan, dimanfaatkan dan dipahami sedemikian rupa sehingga berhasil menyimpulkan suatu fenomena yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Fungsi analisis deskriptif adalah memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yakni keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2005). Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dengan demikian penelitian dengan analisis deskriptif menurut peneliti dalam penelitian ini adalah suatu analisis yang digunakan untuk memperoleh informasi akurat yang kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan data yang ada guna menemukan karakteristik, atau sifat yang dimiliki suatu objek yang diteliti. 3.5. Instrumen penelitian

Merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yg bermanfaat untuk menjawab permasalahan penelitian. Dengan adanya instrumen penelitian diharapkan penelitian yang dilakukan dapat dengan mudah terlaksana serta memperoleh hasil sesuai seperti yang diharapkan oleh peneliti dalam memperoleh informasi mengenai faktor penghambat ketertarikan suku Kamoro terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan formal.

Page 31: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

31

Selanjutnya instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat di table 7 halaman 35.

Tabel 7 Tabel instrumen Penelitian

Instrumen Penelitian

Alat bantu Fungsi

Panduan wawancara

1. Voice recorder 2. Laptop 3. Kamera 4. Buku MSDM,

Antropologi, Sosiologi, Politik, Jurnal

5. Buku, balpoin 6. Laptop

Konsistensi Interview Sebagai pegangan dalam melakukan wawancara, mencatat, merekam, memotret, serta referensi dalam pengumpulan data dan mengelola serta mendokumentasikan hasil temuan di lapangan

Catatan kepustakaan

Buku-buku: MSDM, Antropolgy, Sosiologi, Politik, Jurnal dll

Sebagai literatur dalam penelitian

Interview Guide

Interview Guide Paper (Kuesioner)

Sebagai pedoman dalam melakukan wawancara dengan responden

Dalam pelaksanaan penelitian disiapkan berbagai instrumen yang dapat digunakan sebagai unsur yang sangat penting dalam pengambilan data di lapangan. Voice recorder merupakan sebuah alat yang dapat digunakan dalam memperoleh data hasil wawancara dengan cara merekam percakapan yang terjadi selama proses interview berlangsung dengan responden. Selanjutnya kamera dapat digunakan sebagai salah satu elemen validasi yang sangat penting dengan cara mengambil gambar situasi yang terjadi selama pengumpulan data maupun merekam objek penelitian. Hal

Page 32: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

32

itu berguna dalam memperoleh kondisi fisik objek penelitian maupun berbagai kemungkinan yang terjadi, yang dapat digunakan sebagai bukti. Panduan wawancara befungsi sebagai elemen yang tidak kalah pentingnya, yang bertujuan membantu peneliti agar tetap menjaga konsistensi untuk memperoleh data dengan tetap mengacu pada informasi yang menjadi sasaran tanpa mengarahkan perhatian pada elemen lain. Hal itu dapat membantu peneliti agar tetap fokus dalam memperoleh data secara akurat. Panduan wawancara adalah pegangan peneliti untuk tetap konsisten dalam menggali informasi dari responden. Laptop kemudian dapat membantu peneliti agar setelah memperoleh data, dapat diinput kemudian diproses sesegera mungkin menjadi sebuah karya ilmiah yang sangat berguna bagi penulisan hasil penelitian. Selanjutnya buku maupun ballpoint berfungsi sebagai elemen yang sangat penting dalam melakukan pencatatan hasil wawancara maupun berbagai kondisi tertentu yang terjadi selam kegiatan pengumpulan data berlangsung. Buku-buku, jurnal dan sebagainya merupakan referensi penting selama penelitian berlangsung. Tujuannya adalah memperoleh informasi yang penting melalui sumber referensi, sekaligus sebagai pembanding. Interview gude merupakan lembaran yang telah disusun oleh peneliti agar dapat membantu dalam konsistensi menggali serta memperoleh data yang telah direncanakan dalam pengambilan data. Lembaran questioner merupakan lembaran yang telah disiapkan berisi daftar pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan, guna memperoleh data seakurat mungkin, terutama data yang tidak dapat ditemukan selama proses wawancara berlangsung.

Page 33: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Keadaan Suku Kamoro

Suku Kamoro merupakan suku yang mencintai alam serta sering

berada dan hidup di wilayah dataran rendah Kabupaten Mimika. Karena hidup pada dataran rendah, maka suku tersebut tidak dapat dipisahkan dari transportasi air, berupa perahu (“U”/ku) dan dayung (Po) yang terbuat dari kayu pilihan. “U”/ku merupakan bahasa daerah suku Kamoro, yang artinya perahu. Demikian pula mereka menyebut dayung dengan menggunakan bahasa Kamoro disebut “Po”. Mereka membuat perahu dan dayung dengan motif yang dikembangkan secara turun temurun, baik berupa ukiran bunga, maupun berbagai jenis motif lain, yang dikembangkan secara turun temurun, termasuk membuat ukiran patung serta berbagai ornamen tradisional yang diwariskan kepada keturunan suku Kamoro yang lain.

Suku Kamoro tidak dapat dipisahkan dari air. Bagi mereka air merupakan sumber kehidupan bagi keberlangsungan hidup suk maupun tempat berlangsungnya peradaban suku Kamoro. oleh sebab itu pulah budaya Kamoro lebih didominasi kehidupan air. Mulai dari berburu buaya di sungai sebagai mata pencaharian, transportasi untuk berinteraksi dengan suku lain, hingga seni membuat perahu yang melambangkan status sosial pembuat dan pemiliknya (Kaskus, 11 Agustus 2011). Suku Kamoro sangat memperhatikan kelestarian alam. Hal itu menyebabkan berbagai tingkah laku serta pola pencarian kebutuhan hidupnya selalu menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Salah satu contoh mengenai tingkah laku suku kamoro dapat diketahui dari tradisi berburu buaya. Tradisi berburu dari suku Kamoro merupakan salah satu contoh yang memperlihatkan cara yang unik, dimana mereka menggunakan senter serta “kalowai” atau dalam bahasa Kamoro di sebut “Pomo” untuk dapat berburu dan menangkap hewan buruan tersebut. Pomo merupakan sebuah alat yang biasanya digunakan oleh suku Kamoro untuk dapat memburu buaya di sungai. Selain kalowai, mereka juga menggunakan senter untuk dapat menemukan keberadaan buaya di

Page 34: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

34

sungai. Demi mengabadikan berbagai kebiasaan serta hal yang berhubungan dengan air, suku Kamoro juga membuat berbagai jenis ukiran. Salah satu cotoh dari ukiran yang dimaksud adalah ukiran buaya. Seniman Kamoro juga biasanya mengukir perahu serta berbagai ornamen lain yang dianggap penting dan sakral bagi sukunya.

Sumber: Souvenirpapua.blogspot.com 2010.

Gambar 1: Ukiran patung buaya buatan suku Kamoro. Suku Kamoro juga sering melakukan pesta adat yang disebut

“aerepao” atau “karapao”, yang bertujuan melestarikan budaya leluhur dan memperkuat kekerabatan di antara suku Kamoro, tetapi juga sebagai penghormatan kepada roh leluhur. Penghormatan kepada leluhur disebut totem mbitoro. Ritual dibuka dengan pemancangan Patung mbitoro yang merupakan simbol pemujaan terhadap roh leluhur. Hal tersebut melambangkan tekad warga suku Kamoro untuk menjaga tradisi nenek moyang yang tersisa setelah budaya animisme mereka terkikis pasca kedatangan Hindia Belanda pada 1925 yang diikuti kehadiran penyebaran agama Katolik. 4.1.1. Wilayah

Wilayah suku Kamoro membentang sepanjang 300 kilometer, mulai dari Teluk Etna di bagian barat, hingga sungai Otakwa di belahan timur. Hamparan wilayah itu terdiri dari rawa-rawa dan hutan. Berdasarkan catatan sejarah, suku Kamoro telah mengenal dunia luar sejak 1876 ketika ekspedisi Surabaya dilakukan (Harple, 2000:99).

Page 35: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

35

Wilayah suku Kamoro pun tidak dapat dilepaskan dari kehidupan air. Salah satu antropolog (Trisnu, 2008) bahkan mengatakan lebih senang menyebut mereka sebagai manusia air karena seluruh kehudupan serta wilayah tempat tinggal suku Kamoro selalu identik bahkan tidak dapat di pisahkan dari kehidupan air. Masyarakat suku Kamoro yang wilayah ekologinya adalah dataran rendah dan pantai sangat bergantung pada sumber bahan makanan yang tersedia di sekitarnya. Bahan makanan itu adalah ikan, karaka/kepiting, siput, dan udang yang terdapat di pantai dan sungai-sungai, serta sagu yang dipangkur dari pohon-pohon yang tumbuh di daerah rawa-rawa (Trisnu, 2008; 115). Selanjutnya Trisnu juga menambahkan kutipan Sudarman dkk (1997) bahwa penduduk suku Kamoro sangat akrab dengan falsafah 3-S, yaitu sagu, sungai dan sampan. Karena makanan pokok suku Kamoro adalah sagu dan ikan sementara untuk melakuan perjalanan jauh membutuhkan sampan atau perahu.

Page 36: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

36

Sumber: BPS Timika tahun 2009

Gambar 2: Peta Kabupaten Mimika Suku Kamoro bermukim pada bagian dataran rendah dipinggiran

laut Arafuru. Wilayah tersebut sekaligus merupakan wilayah yang menjadi basis suku Kamoro dalam mengembangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan suku tersebut. Berburu, meramu serta mengumpulkan berbagai makanan di alam menjadi bagian tidak dapat dipisahkan dari suku ini. Kebiasaan tersebut kemudian diwariskan secara turun temurun pada generasi suku Kamoro selanjutnya. Wilayah di

Page 37: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

37

Kabupaten Mimika yang menjadi basis suku Kamoro dapat disebutkan pada tabel berikut:

Tabel 8 Wilayah Persebaran Suku Kamoro

Distrik/Pemerintahan Nama Kampung/Kelurahan

Status

1. Mimika Barat 1. Kokonao 2. Migiwia 3. Mimika 4. Kyura 5. Apiri 6. Paripi/Ipaya 7. Yaraya 8. Amar 9. Kawar 10. Manuar

Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa

2. Mimika Barat Jauh 1. Potowaiburu 2. Yapakopa 3. Aindua 4. Ta pormai 5. Umar

Desa Desa Desa Desa Desa

3. Mimika Barat Tengah

1. Pronggo 2. Kipia 3. Mapar 4. Akar 5. Wumuka 6. Kapiraya 7. Uta 8. Mupuruka

Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa

4. Mimika Barat Tengah

1. Pronggo 2. Kipia 3. Mapar 4. Akar 5. Wumuka 6. Kapiraya 7. Uta + Mapuruka

Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa

Page 38: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

38

Lanjutan Tabel 8

5. Mimika Timur 1. Paumako 2. Tipuka 3. Hiripau 4. Kaugapu 5. Wania 6. Mwapi/Mware 7. Kadun Jaya 8. Pigapu

Desa Desa Desa Desa

Kelurahan Desa Desa Desa

6. Mimika Timur Tengah

1. Keakwa 2. Yiwaka 3. Atuka 4. Aikawapuka 5. Kamora

Desa Desa Desa Desa Desa

7. Mimika Baru

1. Nawaripi 2. Koperapoka 3. Inauga 4. Kwamki 5. Harapan

Desa Kelurahan

Desa Kelurahan Kelurahan

8. Agimuga

1. Faka Fuku 2. Sempan Timur

Desa Desa

Sumber: BPS Mimika 2006.

Suku Kamoro sangat jarang bermigrasi ke tempat lain. Hal itu berkaitan dengan kebiasaan suku tersebut, terutama kedekatan dengan sukunya agar dapat saling mendukung jika berada dalam kondisi yang sulit. Selain itu mereka juga akan lebih dekat dengan kehidupan air. Kedekatan dengan alam menjadi salah satu hal yang turut mempengaruhi suku Kamoro untuk tidak bermigrasi ke tempat lain.

Bagi suku Kamoro, alam tidak serta-merta untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, melainkan merupakan unsur yang sangat penting, sekaligus menjadi penyeimbang kehidupan sosial, budaya, serta

Page 39: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

39

adat istiadat yang melekat pada suku tersebut. Untuk itu kerusakan alam sesungguhnya dapat menyebabkan kehancuran seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik kehidupan sosial, budaya, adat istiadat serta berbagai unsur lain yang melekat pada suku Kamoro. Hal itulah yang menyebabkan suku Kamoro sangat mencintai alam serta berbagai kebiasaan hidup suku tersebut.

4.1.2. Pendidikan Formal Suku Kamoro

Usaha untuk dapat mengenyam pendidikan bagi suku Kamoro di Kabupaten Mimika mengalami penurunan yang signifikan. Hal itu dapat dilihat dari jumlah peserta program beasiswa yang dimulai dari PWT2 tahun 1997, hingga berubah nama menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat Irian Jaya (LPMI), dan kemudian menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK). Walaupun ketiga periode serta rentan waktu tersebut cukup panjang (1997-2010), kurang lebih 14 tahun. Namun waktu yang dimaksud belum dapat memberikan jawaban mengenai signifikannya peningkatan jumlah mahasiswa suku Kamoro yang menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

Suku Kamoro telah lama mengenal dunia luar sebelum tahun 1940. Hal itu dapat diketahui dari sumber yang diterbitkan oleh misionaris Tilburg tahun 1940, yang menggambarkan banyaknya anak-anak dari suku Kamoro yang telah mengenyam pendidikan. Mereka harus memikul tumang sagu untuk dapat tetap melanjutkan studinya. Situasi pada gambar berikut menggambarkan semangat yang luar biasa yang terpancar dari anak-anak suku Kamoro tahun 1940. Mereka tidak memakai pakaian yang indah seperti sekarang jaman modern, melainkan cawat (pakaian adat suku Kamoro), bahkan ada yang tidak mengenakan pakaian.

Page 40: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

40

Sumber: Missiehuis MSC, Tilburg 1940, dari disertasi Todd Harple

Gambar 3.

Anak Kamoro pergi ke Sekolah berbekal tumang sagu

Gambar di atas menerangkan anak suku Kamoro membawah sagu sebelum memulai sekolah di Mimika pada tahun 1940). Dua guru dari Kei berdiri di bagian kiri, sementara bapak Tillemans berdiri di sebelah Kanan. Dari kondisi gambar tersebut dapat diketahui betapa semangatnya anak-anak Kamoro pada saat itu serta dukungan para guru untuk mengajari mereka dalam segalah keterbatasannya.

Dewasa ini pendidikan suku Kamoro semakin terpuruk. Spirit pendidikan pada suku tersebut justru mengalami penurunan yang sangat luar biasa. Bagaimana mungkin tahun 1940 suku Kamoro pergi ke sekolah bermodalkan sagu dan cawat, namun saat ini berbagai fasilitas pendidikan modern tidak dapat menjadi kontribusi bagi kemajuan suku Kamoro. Justru suku Kamoro semakin mengalami kemunduran dalam pendidikan. Karena dari tahun ke tahun suku kerabat lainnya terus berusaha sebaik mungkin untuk dapat mengenyam pendidikan, tetapi suku Kamoro justru nampak tidak tertarik untuk mengenyam pendidikan.

Page 41: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

41

Berdasarkan gambar grafik, awal PWT2 masih di dominasi oleh suku Kamoro, terutama jumlah peminat untuk dapat melanjutkan studi. Namun setelahnya, justru trend tersebut berbalik serta cenderung tidak mengalami peningkatan, melainkan penurunan.

Tabel 9 Data Perbedaan Jumlah Mahasiswa Tahun 2000 & 2011

NO SUKU TAHUN

PERINGKAT TAHUN

PERINGKAT 2000 2011

1 Amugme 5 II 50 I 2 Kamoro 7 I 10 II 3 Dani 2 IV 2 V 4 Damal 0 - 2 VI 5 Moni 3 III 6 III 6 Mee 0 - 1 VII 7 Duga 0 - 0 - 8 Papua lain 0 - 5 IV

Sumber: Yayasan Binterbusih (2010).

Data pada tabel di atas dimana menggambarkan peringkat ketertarikan akan pendidikan, dimana pada tahun 2000 menunjukan peserta program beasiswa suku Kamoro bereda pada posisi peringkat 1 (pertama). Namun pada tahun 2010, ketika semakin terbukanya kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan, jumlah mahasiswa suku Kamoro berkurang hingga menduduki posisi peringkat II (dua). Hal itu malahan terbalik, dimana peserta program beasiswa suku Amugme lebih dominan. Meskipun ada penambahan dua orang, namun data tahun 2010 justru jumlah peserta beasiswa asal suku Amugme mengalami panambahan yang signifikan dalam hal ketertarikan untuk melanjutkan studi pada perguruan tinggi. Jika tahun 2000 jumlah yang tercatat pada tabel sebanyak 5 orang, tahun 2010 jumlahnya berubah menjadi 50 orang. Ini sesuatu yang luar biasa karena sulitnya menemukan generasi dari masyarakat Amugme dan Kamoro yang berkeinginan untuk melanjutkan studi.

Page 42: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

42

Setelah dilihat data terbaru bulan Mei 2011, ada penambahan 2 orang peserta. Sehingga jumlahnya menjadi 52 orang. Perubahan tersebut bukan disebabkan oleh jumlah peserta yang dikirim sekaligus sebanyak-banyaknya, melainkan akumulasi dari peserta yang baru masuk kuliah dengan jumlah peserta yang masih bertahan dan tetap menempuh kuliah, ditambah jumlah peserta yang diterima sebagai peserta beasiswa pada tahun berjalan. Dengan demikian jumlah mahasiswa terus mengalami peningkatan. Hal itu sangat berbeda dengan mahasiswa asal suku Kamoro, dimana ada kecenderungan negatif lain yang menjadi pemicu yang bersangkutan harus dihentikan sebagai peserta program beasiswa. Mereka harus diberhentikan atau dengan sendirinya mengundurkan diri dari keikut sertaannya sebagai peserta program beasiswa.

Tabel 10 Data peserta program beasiswa yang diambil dari tahun 2003-

2011

No SUKU TAHUN ANGKATAN JUMLAH 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

1 AMUGME 5 2 5 10 7 16 1 1 5 52 2 KAMORO 3 2 1 1 1 0 2 0 0 10 3 DANI 0 0 0 1 1 1 0 0 0 3 4 DAMAL 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 5 MONI 0 0 0 3 2 0 1 0 0 6 6 MEE 0 0 0 0 1 0 1 0 0 2 7 PAPUA LAIN 0 1 0 0 1 0 0 0 0 2

TOTAL 8 5 6 15 14 17 5 1 5 76

Sumber: Yayasan Binterbusih & LPMAK tahun (2011)

Semenjak perubahan nama PWT2 menjadi LPMAK, Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro telah mengirimkan peserta yang terpilih dan berhak memperoleh beasiswa sebanyak lebih dari 900 orang dan hasilnya adalah tidak sedikit dari mereka yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Dari hasil tersebut jumlah

Page 43: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

43

mahasiswa Kamoro yang berhasil menyelesaikan studi pada perguruan tinggi adalah sebanyak 7 orang. Pada tahun 2006 jumlah peserta besiswa LPMAK suku Kamoro, baik pelajar SMA dan SMK maupun perguruan tingggi yang pernah diberhentikan berjumlah 77 orang. Hal itu berkaitan dengan kelengkapan berkas kemahasiswaan yang tidak sesuai diantaranya, kartu hasil studi (KHS), transkrip nilai (TN), kartu rencana studi (KRS) serta surat keterangan aktif kuliah (SKAK).

Berkas-berkas yang disebutkan merupakan berkas yang sangat penting bagi lembaga donor untuk memastikan bahwa mahasiswa yang diberikan beasiswa sedang studi dan masih aktif tercatat sebagai pelajar maupun mahasiswa pada suatu lembaga pendidikan sesuai dengan data yang tersedia. Selain itu, pengumpulan berkas kemahasiswaan merupakan tanggung jawab peserta program beasiswa. Sehingga jika sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan peserta program belum dapat memenuhi persyaratan dan hal tersebut terdeteksi dalam monitoring yang diadakan oleh lembaga donor maka beasiswanya dapat langsung dihentikan. Selain berkas tidak lengkap, ada beberapa hal lain yang menjadi penyebab mahasiswa Kamoro diberhentikan sebagai peserta program beasiswa. Hal itu dapat dilihat pada gambar grafik berikut:

Sumber data: LPMAK (2010)

Gambar 4: Penyebab putus kuliah dan diberhentikan sebagai peserta program

beasiswa LPMAK Pada tahun 2010 ditemukan mahasiswa peserta program beasiswa

LPMAK sebanyak 10 orang di pulau Jawa. Setelah mengamati

31

17

2

72 3 2 2 1 Data tidak lengkap

Mengundurkan diri

pending data belum lengkap

tidak aktif kuliah

Page 44: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

44

perkembangan data kemahasiswaaan, dalam perkembangan selanjutnya peneliti menemukan 2 (dua) orang mahasiswa Kamoro yang studi dengan biaya sendiri. Kedua peserta tersebut pernah tercatat sebagai peserta program beasiswa. Salah satunya, tercatat sebagai peserta program beasiswa pada saat masih studi di SMA sedangkan salah satunya lagi pernah memperoleh beasiswa hingga dihentikan pada tahun 2009 karena lewat masa studi.

4.1.3. Budaya Suku Kamoro Cluckhohn (1953) dalam karyanya yang berjudul Universal

Categories of Culture mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa serta kesenian. Jika dilihat dari pandangan tersebut maka suku Kamoro telah memiliki hampir kesemua tataran yang disebutkan.

Sebelum masuknya agama Katolik, suku Kamoro menganut paham animisme. Mereka meyakini ada kekuatan yang terdapat pada berbagai elemen alam. Sehingga mereka melindungi segalanya dengan baik. Jika melanggar aturan yang telah ditetapkan, akibatnya adalah akan ada kejadian tertentu pada mereka yang melanggarnya sebagai konsekwensi atas kesalahan yang telah dilakukan.

Suku Kamoro juga memiliki sistem organisasi kemasyarakatan, dimana kepala suku menjadi pemimpin suku tersebut. Mereka terorganisir dengan baik dalam berbagai kegiatan yang disepakati bersama untuk dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud misalnya, pesta adat suku Kamoro, persiapan memasuki Natal maupun tahun baru. Sebagai bagian penting dalam pengambilan keputusan, mereka akan mendiskusikan berbagai rencana. Setelah ditetapkan waktunya maka keputusan akan diambil kapan kegiatan tersebut akan dilangsungkan.

Suku Kamoro dalam melaksanakan upacara adatnya identik dengan Karapao/ Aerapao atau Arapao Ame (rumah Karapao). Rumah Karapao yang dimaksud merupakan rumah inisiasi yang didirikan dengan tujuan melangsungkan upacara adat bagi suku Kamoro. Bentuk rumah adat adalah memanjang serta tinggi menjualang hampir seukuran dengan patung Miro /bitoro (tidak ada ukuran yang disepakati secara adat). Bitoro

Page 45: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

45

adalah sebuah ukiran patung dari kayu pilihan yang dibuat oleh suku Kamoro untuk melangsungkan sebuah upacara adat. Dalam pelaksanaan upacara adat, suku Kamoro akan bergotong royong menyiapkan berbagai kebutuhan yang kelak digunakan untuk dimakan secara bersama-sama. Beberapa hal yang berkaitan dengan persiapan melangsungkan upacara adat tersebut antara lain: 1. Pemotongan kayu khusus sebagai kerangka bangunan. Kayu tersebut

disebut dalam bahasa Waonaripi dengan nama tapeo juga kayu dari pohon bakau mudah yang dianggap kuat untuk dapat menopang bangunan.

2. Penyiapan daun sagu/daun nipa untuk pembuatan atap rumah adat 3. Pencarian sagu, siput, ikan serta berburu binatang hutan, seperti babi

hutan dan sebagainya.

Seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut perbaikan pada berbagai hal dimana persaingan tidak dapat dihindari oleh siapapun termasuk suku Kamoro maka suku Kamoro kemudian membentuk sebuah lembaga yang diberinama Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO). Lembaga ini diharapkan dapat menjawab berbagai keluhan maupun kendala yang dialami oleh adanya persaingan dalam berbagai ranah pada suku Kamoro, tetapi juga menjadi pijakan untuk menghadapi berbagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan adat, sosial serta berbagai hal yang berkaitan dengan masyarakat adat suku Kamoro. 4.2. Analisis

Berbicara mengenai suku Kamoro tentu akan ditemukan berbagai kompleksitas kelebihan serta kekurangan yang berkaitan dengan suku tersebut. Namun tentunya ada berbagai aspek yang menuntun suku tersebut sehingga disebut memiliki kelebihan. Walaupun demikian, suku Kamoro juga memiliki kekurangan. Kekurangan yang dimaksud dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk itu perlu dilakukan pendalaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan terhadap aspek budaya, politis, antropologis, keluarga serta aspek individu karena ke-5 aspek tersebut dianggap oleh peneliti dapat ditemukan faktor penghambat ketertarikan terhadap pentingnya pendidikan.

Page 46: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

46

4.2.1. Pendekatan Budaya Suku Kamoro

Semua budaya mengajarkan hal-hal yang baik dan positif termasuk budaya pada suku Kamoro. Namun ada hal-hal yang hendak didalami oleh peneliti untuk memahami persepsi mengenai ada tidaknya kontribusi budaya dalam ketidak tertarikan suku Kamoro terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia suku Kamoro.

Pada bagian awal telah disinggung mengenai budaya suku kamoro, terutama mengenai bagaimana proses pembuatan rumah adat suku Kamoro. Berikut adalah nilai positif dari pembuatan rumah adat tersebut, yaitu:

a. Kerja sama

Sebagai makhluk sosial, orang tidak dapat mengarungi hidup dengan sendirinya. Sehingga kebersamaan serta kekompakan menjadi hal yang akan mendukung dalam meringankan berbagai beban hidup yang harus dipikul. Hal itu juga dilakukan oleh suku Kamoro dalam pembuatan rumah adat. Proses pembuatan rumah adat ini membutuhkan waktu yang cukup lama, namun atas dukungan semua elemen masyarakat suku Kamoro yang dengan senang hati meringankan beban pekerjaan tersebut maka pembuatan rumah adat dapat diselesaikan dengan cepat.

b. Kerja keras

Suku Kamoro identik dengan suku yang suka bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ia harus mengarungi laut dengan perahu buatan tangannya, melawan arus yang deras di sungai untuk mencapai Kampung di bagian hilir, berburu babi hutan serta hewan lain untuk dapat dikonsumsi keluarga serta seluruh masyarakat suku Kamoro yang berada pada suatu perkampungan. Mereka juga bekerja keras untuk berkebun dan menanam berbagai jenis tanaman untuk kebutuhan keluarga di daerah aliran sungai. Semua pekerjaan yang ada dilakukan hingga tuntas, bahkan derasnya aliran sungai di wilayah suku Kamoro, suku ini akan dengan sekuat tenaga berjuang hingga sampai ke hulu, tempat dimana kebutuhan hidup berupa sagu serta berbagai buruan lain dapat ditemukan.

Page 47: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

47

c. Keakraban

Suku Kamoro merupakan suku yang mudah akrab dan mudah percaya kepada orang lain. Suku Kamoro menganggap semua manusia adalah sama sehingga harus saling menghargai. Suku ini bukan juga suku pendendam melainkan suku yang terbuka dalam mengungkapkan sesuatu. Kamoro juga merupakan suku yang riang dan menyukai seni, baik seni tari maupun seni memainkan musik. Suaranya yang khas menyebabkan musik yang dimainkan maupun lagu yang dinyanyikannya disukai banyak orang.

d. Tidak mudah menyerah

Suku Kamoro dalam melakukan perburuan selalu fokus. Ia tidak akan pulang sebelum memperoleh hasil buruannya. Hasil buruan itulah yang kemudian akan ditunjukan kepada seisi rumah dan lingkungannya sekaligus menunjukan dirinya sebagai pemburu sejati. 4.2.1.a. Kontribusi nilai Budaya

Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan sejak tahun 2010-2011 melalui observasi serta kampanye pendidikan dimana penulis terlibat secara langsung dalam kegiatan kampanye pendidikan yang diprakarsai oleh Yayasan Binterbusih dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro tahun 2009 dan 2011, serta penelitian yang dilakukan pada 8-26 Juli 2011 di Timika, ditemukan bahwa:

1. Terjadi pergeseran nilai budaya dari kebersamaan (komunal) ke Individualistik

2. Dari pekerja keras menjadi ketergantungan 3. Terjadi pergeseran perilaku

Hal itu dapat diketahui dari hasil Wawancara dengan mantan Pejabat Bupati Sementara Kabupaten Mimika (2009-2010), Bapak Allo Rafra (2011), yang mengatakan bahwa, “ dulu suku Kamoro yang sekolah sungguh-sungguh, dan bekerja sunguh-sungguh. Semangat orang Kamoro

Page 48: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

48

dulu jauh lebih baik daripada semangat orang kamoro saat ini untuk meningkatkan kesejahteraan”.

Ini berarti bahwa suku Kamoro pada prinsipnya merupakan suku yang suka bekerja keras. Namun akhir-akhir ini menjadi suku yang bergantung sepenuhnya kepada PT. Freeport, sehingga menyebabkan mereka hanya menunggu kapan akan diberikan uang. “Kehadiran PT. Freeport, dengan banyaknya dana yang diberikan menyenbabkan orang lebih senang buka tangan daripada bekerja” (bapak Allo Rafra, 2011, interview).

Dengan demikian, kebiasaan bekerja keras berubah menjadi bergantung sepenuhnya kepada PT.Freeport. Nilai budaya semestinya dapat menjadi kontribusi yang sanggup memotivasi pelajar dan mahasiswa Kamoro dalam mengenyam pendidikan. Namun nampak bahwa pergerseran-pergeseran yang terjadi menyebabkan nilai-nilai budaya justru semakin terkikis akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkaitan dengan kemajuan zaman. Dari tradisional dengan ciri khas yang segalah sumber daya benar-benar digunakan dengan cara yang tradisional, berubah menjadi modern dengan kebutuhan yang kompleks.

Lembaga Pengembangan Masyarakat Suku Kamoro (LEMASKO) belum dapat menjawab berbagai kebutuhan masyarakat adat suku Kamoro padahal persoalan menyangkut masyarakat adat dan wilayahnya sangat tergantung pada niat lembaga adat. Lembaga tersebut diharapkan dapat menengahi masyarakat dalam berbagai hal. Walaupun demikian, LEMASKO cukup berperan dalam pembicaraan mengenai pendidikan bagi suku Kamoro dalam kaitannya dengan LPMAK, (bapak Robert Waropea, Interview 2011).

Landas edisi 57/Tahun VI/April 2011 Halaman 12 mengenai adat dan Agama mengungkapkan bahwa di Mimika Persoalan adat selalu muncul. LEMASKO masih menerima banyak pengaduan yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Kenyataan di lapangan, posisi masyarakat adat selalu lemah dalam mempertahankan hak-hak tradisionalnya.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa LEMASKO masih sangat kesulitan untuk dapat menyeleasikan berbagai hal yang berkaitan dengan masyarakat adat suku Kamoro. Nampak pula bahwa lembaga adat yang

Page 49: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

49

didalamnya terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap capable dalam menjawab persoalan suku Kamoro tidak dapat berbuat banyak berkaitan dengan kondisi masyarakat Kamoro yang ada.

4.2.2. Pendekatan Aspek Politis

Aspek politis yang dimaksud di sini adalah aspek yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah. Adapun yang dimaksud dengan kebijakan di sini adalah ada tidaknya kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Mimika dalam mendorong pendidikan serta upaya-upaya yang dapat dilakukan guna menekan serta menimbulkan ketertarikan suku pribumi Amugme dan Kamoro untuk dapat melanjutkan studi dengan berbagai fasilitas serta seperangkat peraturan daerah yang lebih memihak terhadap masyarakat lokal.

Otonomi daerah terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Dimana pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk melakukan pembangunan dalam hal pengaturan rumah tangganya sendiri, baik dalam kategori pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah. Tentunya pemerintah daerah tetap bertanggung jawab terhadap gubernur. Pembangunan yang dimaksud termasuk didalamnya pembangunan pendidikan di daerah.

Selanjutnya sesuai Undang-Undan Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, hakikat desentralisasi berupa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah merupakan sebuah keniscayaan, melainkan daerahlah yang lebih memahami serta mengetahui permasalahannya sendiri.

UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pendidikan. Otonomi daerah membawah konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah, bersama-sama wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya wajib belajar 9 tahun. Sedangkan pemerintah

Page 50: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

50

provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Berdasarkan konsep undang-undang tersebut beberapa poin yang dapat dijadikan bagian yang penting berkaitan dengan pendidikan daerah Kabupaten Mimika adalah: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah

Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk dapat mengatur serta melakukan pembangunan dalam cakupan dengan daerah Kabupaten serta mengatur rumah tangganya sendiri.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, hakikat desentralisasi berupa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah merupakan sebuah keniscayaan, melainkan daerahlah yang lebih memahami serta mengetahui permasalahannya sendiri.

3. UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pendidikan. Otonomi daerah membawa konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan.

Pemerintah daerah Kabupaten Mimika masih terus barupaya meningkatkan dan mendorong pendidikan daerah. Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris dinas pendidikan Kabupaten Mimika, Bpk. Lesubun, (2011), “ada peningkatan dalam hal pelayanan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan pendidikan itu dengan ukuran bertambahnya infrastruktur serta perlengkapan-perlengkapan pendidikan, pertumbuhan jumlah peserta sekolah serta penambahan jumlah unit sekolah baru”. Namun berkaitan dengan keberpihakan pemerintah daerah terhadap masyarakat lokal secara serius belum nampak.

Berkaitan dengan upaya pemerintah daerah dalam bidang pendidikan melalui dinas pendidikan tahun 2009/2010 telah didirikan pusat pendidikan di Kabupaten Mimika yang berlokasi di Satuan Pemikiman (SP) V. Di sisi lain Pemerintah daerah kabupaten Mimika terus berupaya

Page 51: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

51

membangun infrastruktur pendidikan di daerah Mimika, meskipun masih banyak hal yang perlu pembenahan secara terus menerus. Misalnya banyak pegawai negeri yang berprovesi sebagai guru yang cenderung meninggalkan tempat tugas berbulan-bulan. Bahkan banyak sekolah di kampung-kampung yang tidak memiliki guru sama sekali. Menurut masyarakat setempat guru lebih cenderung menghabiskan waktu dengan berada di kota daripada berada di kampung-kampung dan menjalankan tugasnya mendidik dan mencerdaskan masyarakat sesuai dengan UUD 1945, yang merupakan salah satu fungsi Negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah pun terus mengupayakan penyebaran pendidikan di seluruh pelosok kabupaten Mimika. Penyebaran tersebut dapat dilihat pada grafik di bwah ini (grafik 1.3)

Sumber: BPS Mimika (2009)

Gambar 5. Penyebaran Infrastruktur Pendidikan di Kabupaten Mimika

Grafik di atas menggambarkan penyebaran jumlah infrastrukur

pendidikan terpadat hingga terendah. Mimika baru menjadi daerah yang dominan dalam jumlah infrastruktur pendidikan. Hal itu berkaitan dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut dibanding beberapa distrik lain. Mimika baru merupakan wilayah dimana infrastruktur pemerintahan serta aktivitas pemerintaha Kabupaten Mimika dijalankan. Hal itulah yang menyebabkan daerah tersebut menjadi sangat padat, dengan demikian infrastruktur pendidikan pun lebih banyak. Sementara jumlah

05

101520253035

TK

SD

SLTP

SMU

SMK

Page 52: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

52

infrastruktur terendah berada pada Distrik Jita dan serta Mimika Timur Jauh.

Mimika Barat yang terdiri dari 10 distrik memiliki sejarah panjang dalam bidang pendidikan. Kokonao adalah daerah dimana Misionaris Belanda menempah pendidikan bagi suku-suku yang terdapat di wilayah pantai Selatan, terutama suku Amugme dan Kamoro. Kokonao pula menjadi saksi perkembangan pendidikan di kabupaten Mimika.

Kota tua Kaokanao memiliki sejarah dalam melahirkan pendidik dan pejabat di Papua pada era 1960-an. Namun seiring perkembangan zaman, kota bersejarah ini dilupakan dan tak tersentuh pembangunan. Eksistensi Suku Kamoro yang mendiami wilayah Distrik Kaokanao perlahan-lahan hilang. Hak-hak dasar, keberadaan dan martabat Suku Kamoro dan Amungme perlahan-lahan tenggelam. Banyak potensi anak suku tak dibina. (VHRmedia, 2008).

Banyak orang pernah dididik di daerah tersebut, dan hasilnya tidak tanggung-tanggung. Banyak pejabat yang pernah menggenggam jabatan penting dalam kanca pembangunan serta turut berkontribusi dalam membangun Papua yang sebelumnya bernama Irian Jaya. Beberapa dari sekian banyak lulusan pada pendidikan di Kokonao dapat disebutkan sebagai berikut, Uskup Jhon Philip Saklil, bapak Jhon Nakiaya yang pernah menjabat sebagai kepala Delsos (Delegasi Sosial) pada Keuskupan Jayapura, yang Kemudian menjadi Sekretaris Eksekutif LPMAK dan mengakhiri masa jabatan pada tahun 2009, bapak Emanuel Kemong yang pernah menjabat sebagai guru kemudian menjadi Sekretaris Eksekutif Lembaga Pengembangan Amugme dan Kamoro sejak 2009 hingga sekarang (2011), serta masyarakat asli suku Kamoro lain yang kemudian mendominasi berbagai wilayah di Papua sebagai guru.

Saat ini Pemerintah daerah Mimika dianggap kurang serius dalam pengembangan sumber daya manusia masyarakat lokal baik dalam upaya memeberdayakan ekonomi masyarakat maupun upaya mengembangkan pendidikan secara serius, terutama masyarakat suku Kamoro. Karena tidak ada dorongan menyebabkan porsi untuk dapat memperoleh posisi di daerah pun menjadi minim. Alhasil seluruh posisi pun sulit dijangkau oleh pemuda/pemudi Kamoro.

Pemimpin Gereja Katolik Keuskupan Timika Mgr John Philip Saklil Pr (Timika (ANTARA News) tanggal, 29 Agustus 2010, mengatakan

Page 53: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

53

prihatin akan pendidikan anak-anak asli Papua terutama suku Kamoro di Timika yang kurang mendapat perhatian serius orang tua dan pemda setempat. Selanjutnya uskup juga mengatakan bahwa, "dewasa ini sebagian besar anak-anak suku Kamoro tidak sekolah. Akhirnya kantor-kantor pemerintah di Timika diisi oleh orang gunung dan orang-orang dari luar”.

Argumen uskup semakin mempertegas bahwa pemerintah daerah tidak memiliki rasa prihatin terhadap suku-suku tradisional, terutama suku Kamoro di Mimika. Mantan Penjabat Bupati Mimika Athanasius Allo Rafra yang pernah meresmikan sekolah sepakbola Kaokanao pada 1 Desember 2008 pernah mengatakan, "Saya terkesan oleh sambutan Suku Kamoro dengan tarian. Ada seorang mama yang membawa noken kosong dan memberikan ke saya sambil berkata ‘isilah noken ini sampai penuh'. Itu berarti selama ini pemerintah tak pernah memperhatikan pembangunan dan kehidupan masyarakat Kamoro," tuturnya. (VHR, 2011).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa berkaitan dengan aspek pemerintahan, suku Kamoro hingga saat ini belum menikmati hasil pembangunan serta perhatian dari pemerintah meskipun ada upaya-upaya yang baru mulai dijalankan dengan adanya sentra pendidikan di Timika-Papua.

Menurut Economic and Social Commision For Asia and the Pacific, (ESCAP,1999) permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya disebabkan oleh adanya penyimpangan perilaku atau masalah kepribadian melainkan juga akibat masalah struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pemerintah masih ragu dalam menjalankan sebuah peraturan karena berbagai pertimbangan misalnya mengenai guru yang tidak berada di sekolah di kampung-kampung terpencil. “Dinas pendidikan sulit menerapkan kebijakan apabila suaminya bekerja di Pemerintah Daerah Mimika, sementara istrinya guru di Kapiraya” (Bpk Lesubun, 2011, interview). Setelah melakukan kegiatan obeservasi serta interview yang melibatkan elemen masyarakat, pemerintah dan gereja, peneliti melihat bahwa:

Page 54: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

54

1. Pemerintah masih kesulitan menentukan sikap berkaitan dengan kondisi-kondisi wilayah di kabupaten Mimika, dimana setiap wilayah dipisahkan oleh gunung dan sungai serta laut

2. Gereja yang memiliki peran sentral berkaitan dengan basisnya, belum dapat memaksimalkan kemampuannya karena juga memiliki keterbatasan dalam menjangkau masyarakat;

3. Tidak adanya hubungan yang sinergis antara pemerintah daerah Kabupaten Mimika, terutama dinas pendidikan, gereja Katolik, perusahaan serta berbagai instansi lain dalam sebuah rencana serta pola penyelesaian masalah yang sistemastis serta diseriusi secara bersama-sama dalam menyelesaikan masalah pendidikan di kabupaten Mimika.

4.2.2.a. Kebijakan Pemerintah Daerah Mimika Mengenai Pendidikan Pribumi

Hasil penelitian menemukan bahwa pemerintah memiliki seperangkat aturan, juga perencanaan mengenai bagaimana mengembangkan pendidikan bagi suku pribumi, baik suku Amugme maupun suku Kamoro. Namun pemerintah belum dapat mengoptimalkan kebijakan tersebut serta perencanaannya karena berbagai faktor teknis di lapangan. Misalnya, pemerintah memiliki rencana untuk menempatkan guru PNS di kampung-kampung sekitar wilayah Mimika, namun belum dapat dilakukan karena suami atau istri guru tersebut salah satunya tugas di kota Timika. Apalagi infrastruktur jalan serta jarak yang harus ditempuh tergolong sulit dan jauh sehingga harus melewati sungai maupun laut.

Pemerintah daerah pun pada tahun 2009 telah membangun pusat pendidikan dimana penduduk asli daerah Amugme dan Kamoro serta kekerabatan yang berprestasi dapat diambil untuk mengenyam pendidikan di sana. 4.2.2.b. Kontribusi kebijakan pemerintah

Pemerintah daerah Mimika pada prinsipnya masih mencari pola. Yang dimaksud di sini adalah mengenai pola yang tepat dalam

Page 55: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

55

mengeksekusi kebijakan. Satu hal yang belum disentuh oleh pemerintah daerah adalah keberpihakan pendidikan pada universitas bagi suku pribumi Kabupaten Mimika yang berada pada berbagai kota studi di seluruh Indonesia.

Di sisi lain pemerintah daerah Mimika memiliki jumlah infrastruktur pendidikan yang cukup banyak, yang tersebar hampir di seluruh wilayah Mimika. Berdasarkan data yang dihimpun oleh peneliti, pada tahun 2009 pemerintah daerah Mimika memiliki jumlah infrastruktur pendidikan sebanyak 183 unit.

Sumber: BPS Mimika (2010)

Gambar 6. Data Penyebaran Infrastrutur Pendidikan di kabupaten Mimika.

Berbeda dengan pemerintah daerah kabupaten Mimika, Yayasan

Pendidikan dan persekolahan Katolik (YPPK) pun terus mengembangkan infrastruktur pendidikan. YPPK sendiri memiliki 37 unit sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Mimika. Rata-rata infrastruktur sekolah terdapat di wilayah mukim suku Kamoro. Hal itu berkaitan dengan mayoritas suku Kamoro beragama Katolik.

0

50

100

TK SD SMP SMA SMK

49

93

269

6

DATA JUMLAH INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN TAHUN 2009

Page 56: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

56

Sumber: YPPK Timika (2011)

Gambar 7: Jumlah Sekolah Katolik di Kabupaten Mimika

Masih banyak lagi lembaga pendidikan yang tersebar di Mimika

yang didirikan oleh lembaga pendidikan swasta lain. Namun karena penelitian ini lebih difokuskan pada suku Kamoro yang nota bene mayoritas Katolik dan pemerintah daerah sebagai pengelolah wilayah kabupaten Mimika, penulis hanya menyebutkan kedua instansi tersebut dalam penelitian ini.

4.2.2.c. Implementasi Kebijakan Pemerintah

Pengamatan di beberapa kampung suku Kamoro di pinggiran kota Timika serta kampung-kampung suku Kamoro, nampak bahwa terdapat gedung sekolah, namun murid terlantar tanpa guru. Ternyata setelah ditelusuri, guru yang semestinya mengajar di sana malahan mengadu nasib dengan membuat laporan bahwa telah melaksanakan tugas pengajaran pada semester berjalan. Nyatanya yang bersangkutan hanya berada di kota. Dengan demikian banyak siswa Kamoro yang tidak dapat membaca dan menulis dengan baik, padahal sudah berada pada kelas 5. Bahkan ada kasus lain dimana sekolah meluluskan anak yang belum dapat membaca dan menulis. Mereka mengerjakan soal ujian sehingga anak dapat naik kelas maupun lulus SD.

“Guru banyak meninggalkan sekolah. Hal lain yang mengherankan adalah guru mengerjakan soal ujian, hasilnya ketika masuk SMP hampir

05

1015202530

TK SD SMP SMA

JUMLAH SEKOLAH KATOLIK DI TIMIKA TAHUN 2011

Page 57: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

57

rata-rata semua tidak dapat membaca, menulis, dan menghitung”, (PSW, 2011, interview).

4.2.3. Pendekatan Antropologi

Berbeda dengan aspek kebudayaan, antropologi berkontribusi menyampaikan berbagai hal yang pernah dilakukan oleh suku Kamoro sebelumnya sekaligus memberikan gambaran mengenai kondisi pendidikan yang dikaitkan dengan budaya serta kondisi sosial masyarakat Kamoro. Papua pada umumnya serta Timika pada khususnya merupakan daerah yang sering menjadi langganan antropolog. Mulai dari antropolog Belanda pada zaman Belanda hingga Indonesia.

Suku Kamoro adalah salah satu suku di Papua yang sangat dimanja oleh alam. Alam menyediakan berbagai kebutuhan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain berbagai jenis hewan dan makanan, alam suku Kamoro juga menyediakan berbagai jenis buah yang dapat dikonsumsi tanpa harus menanam. Buah ore (bahasa Kamoro untuk buah rotan) yang memiliki rasa sedikit asam adalah salah satu jenis dari buah-buahan yang sering dikonsumsi oleh suku Kamoro. Selain buah rotan, alam juga menyediakan buah matoa, yang juga merupakan buah yang khas dan masuk sebagai salah satu buah asli Papua. Buah ini hampir dapat ditemukan di seluruh belahan bumi Papua. Selain buah berbagai jenis makanan, misalnya ulat sagu, tambelo (sejenis cacing, tidak dapat disamakan dengan cacing wawo). Tambelo memiliki kandungan protein yang tergolong tinggi sehingga menjadi primadona bagi suku Kamoro. Ketika suku tersebut mengonsumsi ‘O /tambelo, persepsi mereka adalah ada ‘energi’ baru yang dapat diperoleh setelahnya.

Suku Kamoro pun sangat bangga dengan segalanya. Bahkan tarian yang sering didendangkan, selain sebagai seni hidup bagi suku Kamoro, tarian serta canda dan tawa lepas diiringi tarian penjembutan memiliki arti bahwa ada suatu kebanggaan yang dalam yang sulit dilukiskan. Tarian bagi suku Kamoro bukan hanya sekedar inisiasi melainkan suatu inisiasi yang mengangkat dan bangga terhadap mereka yang oleh karenanya menyebabkan mereka harus melakukan tarian tersebut. Artinya tarian tersebut memiliki unsur serta perasaan mendalam mengenai kebanggaan terhadap suku serta adat istiadatnya.

Page 58: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

58

Masyarakat Kamoro adalah masyarakat yang hidup nomaden yang secara berkelompok memenuhi kebutuhan hidupnya. Suku ini pada prinsipnya tidak dapat hidup di daerah yang asing bagi mereka. Mereka bangga dengan tradisi dan kebudayaan nenek moyangnya. Sistem kekerabatan suku ini adalah patrilineal, dimana bapak memiliki peran yang lebih dominan dari seorang ibu. Salah satu contoh misalnya sistem pemberian marga. Setiap keturunan suku Kamoro akan mewarisi marga dari bapaknya. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan keluarga dikendalikan sepenuhnya oleh seorang bapak. Bapak kemudian menjadi dominan dalam pengambilan keputusan. Tidak ada keputusan tanpa melalui bapak apalagi berkaitan dengan budaya. Walaupun demikian, ibu pun memiliki kedudukan yang tidak kalah pentingnya. Ibu menamkan nilai-nilai moral bagi anak-anaknya, sehingga mereka dapat bertumbuh dengan baik menjadi generasi yang baik pula.

Tahun 1926- 1927 misionaris Belanda tiba di Indonesia (Disertasi Todd Harple, 2000; 3). Masyarakat Kamoro banyak diajarkan berbagai hal, termasuk menyediakan fasilitas pendidikan yang baik bagi masyarakat setempat. Tepatnya di Kokonao pusat pendidikan didirikan. Banyak orang Kamoro yang kemudian mengenyam pendidikan pada sekolah tersebut.

Sumber: Dokumen LPMAK 2009

Gambar 8. SMP Lecoco D Armanville

Page 59: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

59

Sekolah Lecoq D’Armanville yang hingga saat ini masih berdiri di kokonao menjadi sejarah kemajuan pendidikan masyarakat Kamoro. Suku Kamoro berbondong-bondong mengenyam pendidikan saat itu. Gambar berikut diambil tahun 1940 oleh misionaris Belanda

Sumber: Missiehuis MSC, Tilburg 1940, dari disertasi Todd Harple

Gambar 9. Anak Kamoro di Sekolah (1940), Dibimbing Oleh Guru Kei

Pemerintah Belanda yang gencar memajukan masyarakat Papua pada bidang pendidikan benar-benar terlihat di sana. Anak-anak Kamoro berlomba-lomba mengenyam pendidikan saat itu, meskipun tidak sedikit juga yang kemudian meninggalkan sekolah. Namun hasilnya tidak sedikit orang Kamoro yang kemudian menjadi guru hampir di seluruh daerah Papua. Banyak juga yang menjadi pemimpin pemerintahan, dimana waktu itu belum ada seorang pun dari Papua yang diangkat sebagai pemimpin pemerintahan di Papua, orang Kamoro telah menjadi pimpinan di Provinsi Papua, serta banyak instansi yang kemudian diduduki oleh suku Kamoro.

4.2.3.a. Pendidikan Kamoro Saat Ini

LPMAK menyediakan beasiswa sejak masa PWT2 hingga menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro. Namun, tidak banyak juga yang berhasil menyelesaikan pendidikan. Jika melihat pola penerapan kebijakan pendidikan LPMAK, pada prinsipnya sangat

Page 60: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

60

layak jika kemudian menjadi beasiswa prestasi. Karena sebelumnya LPMAK menerapkan sistem beasiswa motivasi. Beasiswa tersebut bertujuan menjaring sebanyak-banyaknya anak Amugme dan Kamoro agar dapat mengenyam pendidikan, hingga kemudian naik tingkat menjadi beasiswa prestasi. Melihat sepak terjang pendidikan Kamoro sejak tahun 1940, dimana anak-anak Kamoro mengenyam pendidikan dengan memikul tumang sagu agar dapat melanjutkan sekolah maka trend yang terjadi adalah trend menurun, yaitu dari ketertarikan untuk dapat mengenyam pendidikan kepada pandangan yang menganggap bahwa pendidikan tidak menjadi bagian yang dianggap penting.

4.2.4. Pendekatan Keluarga

Friedman (1998), menyatakan bahwa tipe-tipe keluarga dibagi atas keluarga inti, keluarga orientasi, keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang telah menikah, sebagai orang tua atau pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri dari suami istri dan anak-anak mereka, baik anak kandung maupun anak adopsi. Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga didalamnya yang seorang dilahirkan. Keluarga besar yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah seperti kakek dan nenek, paman dan bibi (Suprajitno, 2004).

Konsep keluarga di atas menjadi acuan yang sangat mendasar mengenai keluarga itu sendiri. Hal itu berkaitan dengan bagaimana memahami keluarga tersebut secara sendiri. Konsep keluarga perlu dibedah lagi dengan keluarga tradisional dan keluarga modern. Masing-masing konsep tersebut memiliki fungsi yang sama, namun tentu jika dijabarkan lebih lanjut ada perbedaaan yang sangat mencolok mengenai kedua hal tersebut.

Keluarga tradisional, merupakan tipikal keluarga di masa lalu seperti suami bekerja mencari nafkah demi istri dan anak, istri mengurus rumah, memasak dan merawat anak-anak. Anak-anak bersekolah dan belajar. Pada pagi hari semua berangkat kecuali ibu. Siang anak-anak pulang dan makan siang bersama ibunya. Sore harinya sang ayah pulang lalu melakukan kegiatan santai bersama keluarga. Berbincang santai, tukar pikiran, nonton televisi, makan malam. Hampir semua keluarga melakukan hal tersebut. Di negara berkembang hal tersebut masih sering

Page 61: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

61

terjadi. Kebanyakan masyarakat tradisional dengan mata pencaharian meramu dan mengumpulkan makanan sedikitnya mengadopsi hal tersebut. Disebut sedikit karena pada masyarakat tradisional Papua, justru para ibu yang menjadi tumpuan keluarga.

Berbeda dengan keluarga tradidional, keluarga modern memiliki tingkat pola pikir yang lebih baik. Hampir semua keluarga mengharuskan baik ayah maupun ibu untuk bekerja demi menambah penghasilan keluarga. Suami istri sejak pagi hari sudah berangkat meninggalkan rumah untuk bekerja di kantor atau di luar rumah dan pada malam hari barulah mereka pulang. Anak-anak menjadi kehilangan figur orang tua sepanjang hari. Kadang mereka hanya ditemani pengasuh, ataupun kakek dan neneknya.

Pola hidup keluarga Kamoro pada prinsipnya sama dengan kedua jenis keluarga di atas. Namun bedanya, keluarga Kamoro menggantungkan hidupnya dengan meramu dan mengumpulkan makanan yang telah tersedia di alam. Mereka menebang, menokok sagu, berburu babi serta menangkap ikan di sungai.

Ibu Kamoro lebih cekatan ketika menokok sagu serta menyaringnya. Kualitas sagu buatan para ibu Kamoro jauh lebih baik daripada para bapak Kamoro. Namun proses penebangannya dilakukan oleh para bapak. Prianya setelah menebang pohon sagu akan mencari ikan, mapun berburu babi hutan sehingga dapat dimakan setelah pulang.

Berkaitan dengan hal tersebut, anak-anak mereka sering dititipkan kepada keluarganya, bisa opah dan omah atau sanak keluarga lainnya. Pada sore harinya mereka baru pulang dari melakukan tokokan serta buruan. Sebagai upahnya, hasil pencaharian tersebut kemudian dibagikan kepada keluarga yang anaknya dititipkan.

Pada zaman modern keluarga Kamoro hidup terpisah antara satu dengan yang lain. Hal itu disebabkan oleh adanya perubahan tingkat kebutuhan hidup dan mekanisme pemenuhannya. Jika kebutuhan awal hanya dikhususkan pada berburu serta meramu makanan, saat ini ada tambahan, misalnya kebutuhan gula, kopi, susu, rokok, bahkan minuman keras. Hal itu sebagai implikasi dari laju pertumbuhan kota. Dimana masyarakat belum sempat dapat menyesuaikan diri secara perlahan, namun dipaksa oleh zaman untuk melalui suatu babakan baru yang disebut globalisasi yang kecenderungannya kea rah modern.

Page 62: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

62

Globalisasi akan membawah perspektif baru tentang konsep “Dunia Tanpa Tapal Batas” yang saat ini diterima sebagai realitas masa depan yang akan mempengaruhi perkembangan budaya dan membayar perubahan baru. Menurut Selo Soemardjan, “Globalisasi adalah terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarkat diseluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah yang sama”. Proses globalisasi lahir dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi transportasi dan komunikasi.

Globalisasi akan memberikan corak budaya baru, dan memberi dampak yang luas terhadap kebebasan budaya setempat dan mengukuhkan dominasi budaya Barat dalam budaya masyarakat di negara-negara berkembang melalui penjajahan baru, yaitu kebudayaan. Hal itu kemudian menjadi momok bagi masyarakat tradisional yang belum memahami manfaat serta bahaya yang mungkin dapat ditimbulkan.

Hasil penelitian menemukan bahwa, keluarga tetap memberikan dukungan. Namun dukungan yang dimaksud tidak maksimal dengan menggunakan fasilitas berupa bantuan materi yang cukup, hal itu berkaitan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh keluarga. Selain itu minimnya pengetahuan keluarga mengenai pentingnya pendidikan bagi anak ditambah belum adanya pandangan akan pentingnya saving/menabung. Sehingga hal itu menyebabkan masyarakat merasa kesulitan ketika anak-anaknya menghendaki untuk melanjutkan studi. alhasil pada akhirnya anak kesulitan untuk memperoleh pengetahuan di sekolah.

Di sisi lain keluarga Kamoro pun belum memiliki konsep yang tepat mengenai bagaimana cara mendukung anak agar dapat tetap melanjutkan studi. Misalnya di kota besar anak sebelum berangkat ke sekolah harus makan dulu, di sekolah di kasih jajan, kemudian pulang dijemput, atau berikan bantuan transportasi agar anak tersebut dapat kembali kerumah dengan selamat.

Pola interaksi antara orang tua dan anak-anak tidak berjalan dengan baik. Bahkan ada pula orang tua yang menyuruh anak agar segera pulang dari tempat studi. Tujuannya adalah agar dapat menopang ekonomi keluarga.

Pada kasus lain di temukan bahwa orang tua sangat menyayangi anak. Sehingga melepas anak pergi sekolah di kota yang jauh dalam

Page 63: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

63

persepsi orang tua adalah sangat berbahaya. Dan tentu akan sangat dirindukan. Ayah dari anak Kamoro justru memiliki perasaan rindu yang lebih mendalam daripada ibu Kamoro, meskipun tidak semua sama seperti itu.

Beberapa mahasiswa Kamoro patah semangat dalam melanjutkan studi, ketika mengetahui orang tua telah meninggal dunia atau dilemma lain. Sehingga melanjutkan studi terasa sangat berat. Hal itu menyebabkan mereka memutuskan untuk berhenti kuliah.

Mahasiswa yang telah lulus dalam menyelesaikan studi adalah mahasiswa yang telah siap menanggung seluruh resiko. Artinya mereka telah memahami dengan pasti apa yang akan terjadi. Sehingga mereka tetap fokus. Apapun masalah yang akan menghadang, mereka telah siap. Demikian pulah mahasiswa yang aktif kuliah. Namun bagi mahasiswa yang aktif kuliah, ketika terjadi sedikit kendala, muncul pesimis yang sering berujung pada berhenti di tengah jalan.

Mahasiswa yang telah berhenti kuliah pada prinsipnya memiliki semangat kuliah untuk melanjutkan studi, namun ada masalah-masalah tertentu yang sulit ditinggalkan yang dapat mengakibatkan mereka lebih cenderung tidak melanjutkan studi.

Keluarga semestinya dapat berkontribusi bagi kemajuan anak, terutama pada bidang pendidikan. Namun, hasilnya orang tua tidak menjadi pendorong bagi kemajuan bagi anak-anak mereka untuk melanjutkan studi, karena berbagai kondisi yang ada dalam keluarga. Bagi mahasiswa yang kemudian menyelesaikan studi, orang tua tetap melakukan pemantauan terhadap mereka. Namun tidak sedikit orang tua yang karena masalah ekonomi harus putus asa untuk menyekolahkan anak-anaknya. Orang tua kesulitan untuk dapat mendukung anak-anaknya pergi ke sekolah. Alhasil anak-anak pun karena tidak ada dorongan akhirnya putus sekolah.

Hasil penelitian, orang tua belum benar-benar berkontribusi untuk dapat mendorong anak-anaknya pergi ke sekolah. Dorongan yang diberikan hanya sebatas menyuruh anak ke sekolah tetapi orang tua tidak menyiapkan berbagai aspek yang dapat mendorong anak-anak tersebut agar dapat tetap melanjutkan pendidikannya tanpa hambatan yang dapat melemahkan keinginan dalam menempuh pendidikannya.

Page 64: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

64

4.2.5. Pendekatan Individu Sebagai pribadi, individu memiliki kehendak serta kesenangan yang

berbeda dengan orang lain. Ia memiliki ketertarikan tersendiri. Sehingga jika keinginannya tidak dapat terakomodir maka bisa saja individu tersebut melakukan pemberontakan. Hal itu merupakan suatu reaksi untuk memperoleh apa yang menjadi keinginanannya.

Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang memperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosio-psikologis.

Natur dan nature merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik-karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan. Seorang bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu. Sejak terjadinya pembuahan atau konsepsi kehidupan yang baru maka secara berkesinambungan dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang.

Mahasiswa Kamoro secara individu pada prinsipnya memiliki semangat untuk mencapai sesuatu. Namun semangat yang dimaksud hanya dapat nampak dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam perjalanan ada kendala yang cukup berat maka rencana yang ada dapat saja dibatalkan. Dalam penelitian terhadap mahasiswa Kamoro terdapat beberapa hal yang ditemukan berkaitan dengan sikap terhadap suatu masalah. Pada mahasiswa tugas akhir ditemukan dalam penyusunan tugas akhir kesulitan karena dosen tidak menjelaskan secara detail menganai apa yang seharusnya dilakukan, terutama berkaitan dengan kelengkapan referensi. Namun masih ada pulah yang ditemukan kesulitan dalam penyusunan karena kemampuan penulisan masih belum memadai. Hal itu menyebabkan mahasiswa tersebut kewalahan dalam menyusun tugas akhir. Setelah ditelusuri, beberapa dari antara mereka pernah mengambil paket C pada jenjang pendidikan untuk dapat segera menyelesaikan pendidikan pada tingkatan pendididkan dasar dan memasuki jenjang pendidikan lanjutan. Hasilnya banyak pengetahuan mengenai penulisan yang tidak didapatkan dan ketinggalan pengetahuan.

Page 65: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

65

Berbeda dengan mereka yang mengikuti paket C mapun B, rata rata mereka yang menyelesaikan tingkatan pendidikan dasar hingga pada tingkatan lanjutan dapat dengan mudah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh dosen, termasuk penulisan tugas akhir. Individu yang masuk dalam tataran masyarakat Kamoro kebanyakan telah terpengaruh oleh lingkungan. Sehingga mereka dapat dengan mudah terlibat berbagai hal yang kebanyakan merugikan mereka. Beberapa kasus misalnya peneliti menemukan, beberapa orang mahasiswa dari pulau Jawa harus dipulangkan karena perilaku yang melanggar aturan lembaga donor beasiswa yang berlaku.

Mahasiswa yang kemudian lulus kuliah telah mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi serta kendala yang ada. Di lapangan kerja, mereka mampu dan dapat diberikan kepercayaan. Mantan sekretaris eksekutif LPMAK, bapak Jhon Nakiaya, mengatakan bahwa Martabat Suku Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua, tenggelam akibat dampak arus globalisasi yang pesat. Kedua suku terbesar dan pemegang hak ulayat di Kabupaten Mimika ini tak mampu menghadapi arus globalisasi akibat tingkat pendidikan sangat rendah. Hilangnya harga diri ini memprihatinkan (VHRmedia, 2008).

Selanjutnya dikatakan pula bahwa, Kota tua Kaokanao memiliki sejarah dalam melahirkan pendidik dan pejabat di Papua pada era 1960-an. Namun, seiringnya perkembangan zaman, kota bersejarah di Papua selatan ini dilupakan dan tak tersentuh pembangunan. Eksistensi Suku Kamoro yang mendiami wilayah distrik Kaokanao perlahan-lahan hilang. Hak-hak dasar, keberadaan dan martabat suku Kamoro dan Amungme perlahan-lahan tenggelam. Banyak potensi anak suku tak dibina (VHRmedia, 2008).

Individu Kamoro sangat mudah menerima orang lain untuk dapat hidup bersama sebagai keluarga. Jika dikaitkan dengan mudah menerima pengaruh telah barang tentu menjadi bagian yang benar adanya. Di sisi lain Individu pun dihadapkan pada pilihan yang sulit, terutama masalah ekonomi orang tua. Beberapa kasus ditemukan bahwa ekonomi orang tua menjadi pemicu pelajar/mahasiswa Kamoro memutuskan berhenti melanjutkan studi. Menurut mereka kebutuhan hidup di kota studi sangat berat, terutama bagaimana mengalokasikan ketersediaan dana untuk dapat tetap bertahan hingga akhir bulan. Sehingga tidak sedikit mahasiswa

Page 66: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

66

Kamoro yang kemudian memutuskan untuk pulang. “Pesimis muncul karena kondisi ekonomi orang tua yang tidak memadai, dimana ikatan emosional menyebabkan kita bisa pulang” (fredi Matameka, 2011, Interview).

Dalam kondisi ini, anak-anak harus dihadapkan pada sebuah kondisi dimana pendidikan merupakan pilihan sulit. Mengingat ekonomi orang tua tidak dapat menopang dalam studi mereka. Alhasil pelajar/mahasiswa Kamoro harus putus kuliah di tengah jalan karena keterbatasan ekonomi yang dimiliki oleh orang tua. Pelajar/ mahasiswa Kamoro saat ini memiliki motivasi untuk bertahan menyelesaikan studi sangat kecil. Motivasi yang dimaksud membutuhkan perjuangan serta dorongan dari banyak orang. Sehingga dapat tetap mengenyam pendidikan. Suku Kamoro membutuhkan figur yang dapat dibanggakan dalam pendidikan, tetapi sekaligus memotivasi mereka yang sekolah.

Lingkungan masa kecil suku Kamoro sangat mempengaruhi pengambilan keputusan untuk dapat melanjutkan studi. Lingkungan masa kecil yang dimaksud turut membentuk watak serta karakter juang sebagian individu mahasiswa Kamoro yang hingga saat ini masih melanjutkan studi. Sanggup atau tidaknya mahasiswa maupun pelajar Kamoro dalam menempuh kuliah sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan masa kecil individu suku Kamoro.

Beberapa mahasiswa aktif kuliah suku Kamoro yang saat wawancara (2011) sedang menempuh kuliah tugas akhir mengakui bahwa lingkungan masa kecil telah membentuk mereka untuk tetap kuat dalam menyelesaikan kuliah walaupun banyak kendala yang dialami, termasuk orang tua meninggal. Bahkan ada mahasiswi Kamoro yang membiayai pendidikannya sambil bekerja. Kedua-duanya telah dibentuk wataknya oleh lingkungan masa kecil mereka.

Secara garis besar manusia sejak usia kanak-kanak hingga dewasa selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya, selama ia masih dapat bernapas. Dengan demikian, individu Kamoro sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Page 67: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

67

Dari 5 orang mahasiswa tugas akhir, angkatan 2003 rata-rata baru menyadari dan mengerti bahwa sekolah itu penting pada tahun 2009, dan awal 2010. Ini artinya jumlah mahasiswa Kamoro yang belum mengerti bahwa pendidikan itu merupakan hal yang sangat penting masih banyak.

4.3. Pembahasan

4.3.1. Budaya

Budaya Kamoro mengajarkan hal-hal positif. Dimana jika dipahami dengan baik oleh generasi mudah Kamoro, lebih khusus pelajar dan mahasiswa maka hasilnya akan terbentuk daya juang serta semangat untuk meraih keberhasilan dalam pendidikan. Karena berbagai unsur yang terletak dalam budaya mengajarkan hal-hal baik dan positif. Misalnya, Aerepao/karapa, atau pesta adat suku Kamoro mengandung unsur positif yang dapat diambi diantaranya, bagaimana komunikasi antar suku Kamoro berlangsung dan proses pengambilan keputusan dilakukan dalam menyelenggarakan pesta adat termasuk berbagai inisiasi yang mengiringi terjadinya pesta karapao.

Demikian pula ketika melakukan perburuhan di hutan maupun laut dan sungai untuk mencari buaya. Pemburu suku Kamoro ketika melakukan buruhan tidak akan pulang sebelum memperoleh hasil buruhan berupa daging babi, ikan dan berbagai hewan buruan lain. Mereka akan bertahan sehingga hewan atau hasil buruan yang menjadi sasaran telah mereka dapatkan. Budaya berburu yang diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi belum mengilhami semangat pelajar serta mahasiswa Kamoro yang hendak melanjutkan studi. Sehingga semangat untuk dapat tetap bertahan dalam menempuh dan menyelesaikan studi secara tuntas belum mengilhami generasi mudah Kamoro.

Budaya yang semestinya menjadi pendorong tidak dapat berbuat apa-apa. Nampak bahwa makna kebudayaan tersebut kemudian disalah kaprah ke ranah-ranah negatif yang kemudian terpaksa disebut budaya. Misalnya menjadi pecandu minuman keras serta berbagai kecenderungan negatif sebagai akibat mengonsumsi minuman keras.

Page 68: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

68

Budaya suku Kamoro yang semestinya menjadi spirit tidak dapat berbuat banyak karena konsep serta pandangan mengenai unsur-unsurnya telah digeser oleh berbagai kebiasaan yang muncul pada era 1990-an. Bahkan LEMASKO yang dianggap memiliki Kapabilitas, tidak dapat berbuat banyak. Pesta pora, mengonsumsi minuman keras serta berbagai hal lain telah mengalahkan budaya suku Kamoro.

Beberapa hal yang membutuhkan pembenahan secara serius yaitu: a. Keindahan alam Kamoro yang menawarkan berbagai hal yang

menyenangkan, sehingga anak Kamoro lebih senang pergi ke tempat pencarian untuk berburu bersama orang tua daripada pergi ke sekolah;

b. Kebudayaan Kamoro dimana ikatan serta kedekatan orang tua dan anak sangat dekat, sehingga anak merasa nyaman, sebab tempat terindah adalah bersama orang tua. Sekolah dirasa tidak begitu penting.

c. Kecintaan suku Kamoro terhadap alamnya. Sehingga pergi jauh hanya akan menyebabkan kerinduan yang mendalam akan alamnya. Begitu ada petir dan guntur & kilat akhirnya bersedih lalu memutuskan untuk pulang ke Timika yang menjadi kampung mereka.

4.3.2. Politik

Pemerintah daerah Mimika memiliki Konsep mengenai pendidikan, namun konsep tersebut belum terimplementasi secara penuh. Hal itu disebabkan oleh konsep yang belum dimasukan kedalam program, yang semestinya diimplementasikan. Selanjutnya pada tataran pendidikan, nampak keragu-raguan dalam mengambil keputusan. Fakta dilapangan ditemukan bahwa banyak guru yang tidak berada di tempat, yang mengadu nasib, namun karena tidak adanya kontrol dari dinas pendidikan menyebabkan tidak adanya solusi bagi sekolah yang membutuhkan guru.

Di satu sisi terindentifikasi ada dukungan pemerintah daerah dalam pendidikan bagi suku asli Amugme dan Kamoro, tetapi di sisi lain hal itu tidaklah menjadi program pemerintah yang seharusnya dijalankan dan menjadi program bersama yang dilakukan secara terus menerus. Berbagai kondisi di lapangan mengenai kesulitan-kesulitan masyarakat

Page 69: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

69

lokal tidak menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Justru yang terjadi adalah kurangnya koordinasi yang baik bagaimana cara mengatasi berbagai masalah yang terjadi.

Pemerintah daerah pun nampak belum memikirkan bagaimana masyarakat lokal dapat mengembangkan diri pada jaman modern karena belum ada program pemberdayaan masyarakat lokal dari pemerintah. Peran pemerintah malah banyak dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK).

Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga non-pemerintah, seperti gereja, serta yayasan lain untuk dapat berperan dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal. Karena pemerintah memiliki peran besar namun dalam implementasinya belum dapat memfokuskan suatu pekerjaan dan dilakukan secara tuntas. 4.3.3. Antropologi

Tahun-tahun sebelumnya suku Kamoro memiliki semangat untuk dapat belajar dengan serius. Bahkan bermodalkan tumang sagu anak kamoro tahun 1940 siap berangkat ke sekolah. Mereka mengenyam pendidikan dengan keseriusan. Keterbatasan tidak dapat membatasi mereka untuk mengenyam pendidikan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan kondisi pada zaman modern saat ini, dimana berbagai macam fasilitas lebih lengkap, bahkan diberikan beasiswa oleh LPMAK sejak PWT2. Namun jumlah yang berhasil menyelesaikan studi sangat minim. Sejak 13 tahun (1997-2010), hanya teridentifikasi 7 (tujuh) orang yang berhasil menyelesaikan studi serta dinyatakan lulus sarjana diperguruan tinggi.

Hal itu sangat berbeda dengan pendidikan Kamoro sebelumnya yang berhasil mencetak tenaga pengajar serta guru di wilayah Papua. Bahkan tidak sedikit pulah yang menjadi guru dan menjelajahi wilayah Papua sebagai tenaga pengajar. Mereka mengajar berbagai hal mulai dari olah raga, agama, matematika dan sebagainya. Hasil didikan mereka bahkan tersebar di seluruh wilayah Papua.

Page 70: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

70

Di sisi lain terjadi berbagai perubahan pada suku Kamoro yang disebabkan oleh perubahan ekosistem. Perubahan-perubahan yang dimaksud misalnya, terjadinya pengendapan pasir tailing di wilayah basis suku Kamoro, hilangnya tempat mata pencaharian suku Kamoro akibat endapan tersebut, serta berbagai hal lain.

Tabel 11

Perbedaan Kebiasaan Suku Kamoro Sebelum dan Setelah Tahun 1996

No Sebelum 1996 Setelah 1996

1

Ada kesukarelaan dalam bekerjasama Individual dan materialistik

2 Masyarakat kamoro tergatung penuh terhadap alam dan ekosisitemnya

Masyarakat Kamoro menggantungkan hidup sepenuhnya kepada PT.Freeport. Alam hanya pengalihan perhatian sementara untuk menunggu datangnya bantuan tersebut

3 Kekompakan Kekompakan mulai pudar

4 Kekeluargaan Individual dan materialistik

5 Kebersamaan tanpa kebencian Permusuhan antara keluarga satu dengan yang lain

6 Suku Kamoro mampu menokok sagu Keinginan serta kemampuan untuk menokok sagu mulai pudar bahkan sebagian daerah seperti Koperapoka,

Page 71: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

71

Nayaro, Nawaripi sudah hilang karena generasi baru rata-rata lebih tertaik untuk hidup di daerah perkotaan dengan asupan modernisasi

7 Pekerja keras Malas-malasan lebih cenderung bersantai-santai

8 Saling menghormati Ukuran penghormatan terletak pada materi

9 Tidak ada mabuk-mabukan dan mengonsumsi minuman keras yang berlebihan

Kebiasaan mengonsumsi munuman keras yang berlebihan

10 Tatanan hidup masyarakat sangat normal

Tetanan kehidupan masyarakat Kamoro sudah buyar dan hancur

Sumber: LPMAK, Yayasan Binterbusih, Todd Harple,

Nugroho Trisnu Keterangan: Penetapan tahun didasarkan pada perkiraan peneliti

Dalam paparan Antropolog UNNES, Nugroho Trisnu (2008;69),

muncul keinginan suku untuk meraih hidup yang makmur dan sejahtera terlepas dari belenggu keterbelakangan. Perubahan zaman yang diinspirasi oleh modernisme memunculkan berbagai hal lain dalam masyarakat suku Kamoro. Misalnya mengonsumsi minuman keras yang berlebihan, terjadi perubahan perilaku dalam masyarakat sehingga merusak tatanan kehidupan masyarakat serta berbagai hal lain. Menurut Trisnu, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, terutama berkaitan dengan kecemburuan sosial tidak mudah. Harus dicari penyelesaian sampai ke akar permasalahan agar bisa didapatkan solusi yang menyeluruh.

Page 72: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

72

4.3.4. Keluarga

Keluarga suku Kamoro saat ini dihadapkan pada masalah ekonomi yang sangat serius. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah orang tua suku Kamoro kesulitan bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sehingga membiarkan ataukah mendorong anak untuk pergi ke sekolah menjadi dilemma bagi mereka. Bingung adalah bahasa yang mungin dapat digambarkan pada kondisi tersebut.

Yang dimaksud dengan bingung di sini adalah mengenai mendorong anak berangkat ke sekolah dalam kondisi lapar ataukah membiarkan anak untuk memilih pergi ke sekolah atau tinggal. Sementara kedua pilihan tersebut merupakan pilihan yang menyenangkan bagi anak, sebab anak merasa bebas untuk menentukan pilihannya. Kurangnya pendidikan dan penanaman moral kepada anak karena titik fokus lebih diarahkan kepada bagaimana memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi pilihan yang sulit. Sementara memenuhi kebutuhan hidup bagi suku Kamoro dilakukan dengan cara meninggalkan rumah dan mencari di daerah pencarian secara bersama-sama, hingga menemukan hasil tangkapan yang diharapkan oleh mereka.

Jika ini dilakukan terus menerus, maka akan sulit bagi anak untuk pergi ke sekolah. Karena ketika pulang sekolah dalam kondisi lapar sesampainya di rumah tidak menemukan makanan yang dapat memenuhi rasa laparnya, anak tersebut akan menjadi malas untuk pergi ke sekolah pada hari berikutnya. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu banyak anak Kamoro yang memilih tidak melanjutkan sekolah. Perhatian serta dorongan orang tua Kamoro terhadap anaknya sangat minim. Jika ada, itupun satu dari antara lima puluh orang. Dan hal itu sangat langkah. Salah satu mahasiswi Kamoro yang saat ini (2011) masih kuliah dan berada pada penulisan tugas akhir bahkan sempat pernah diminta oleh orang tuanya untuk pulang ke Timika guna meringankan kondisi ekonomi orang tua. “Orang tua sempat pesimis dan minta agar segera pulang ke Timika karena keadaan ekonomi orang tua kurang baik” (A.W, 2011. Interview)

Di sisi lain, lingkungan di Timika yang tidak banyak dorongan untuk mengajak anak pergi ke sekolah menyebabkan banyak anak yang tidak perduli sekolah maupun tidak. Banyaknya anak usia sekolah yang tidak

Page 73: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

73

pergi ke sekolah terutama teman sebaya menyebabkan anak-anak Kamoro cenderung untuk tidak pergi ke sekolah.

Beberapa hal yang membutuhkan penanganan serius adalah: 1. Faktor ekonomi keluarga yang sangat minim karena tidak ada

penghasilan tetap, menyebabkan dukungan keluarga kepada anak untuk sekolah menjadi sangat minim;

2. Orang tua kurang memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, sehingga tidak termotivasi untuk terus mendorong anak-anak mereka;

4.3.5. Individu

Saat melakukan observasi di Timika pada dua sekolah tahun 2011, yaitu salah satu SMA negeri dan SMK swasta, penulis menemukan adanya 10 orang Kamoro di SMK. Sementara di SMA menenurut info kepala sekolahnya ada dua orang. Namun kepala sekolah sendiri tidak meyakini apakah mereka memang masih sekolah atau sudah berhenti sekolah. Setelah memahami lebih dalam ditemukan bahwa anak-anak Kamoro lebih cenderung di SMK karena keinginan setelah menamatkan SMK dapat langsung bekerja sesegera mungkin. Ada lagi pandangan guru yang mengarahkan anak Kamoro bahwa masuk SMA harus langsung lanjut kuliah. Sehingga jika tidak ingin lanjut kuliah dan langsung berkerja, sebaiknya jangan masuk SMA. Dengan demikian, anak Kamoro lebih memilih masuk SMK.

Mahasiswa Kamoro mudah pesimis ketika menghadapi kendala dalam perkuliahan. Ketika menghadapi sebuah kendala yang nampak menurut mereka hanyalah jalan buntuh. Sehingga kecenderungan berhenti melanjutkan kuliah lebih besar daripada melanjutkannya. Di sisi lain dukungan orang tua dalam proses belajar menjadi salah satu faktor yang juga sangat menentukan pergerakan mahasiswa tersebut. Putusnya komunikasi yang baik antara orang tua biasanya menjadi penyebab mahasiswa kurang bersemangat untuk melanjutkan studinya.

Individu Kamoro yang pernah berada di lingkungan dengan pengaruh pendidikan lebih besar akan menyebabkannya lebih semangat untuk menyelesaikan studinya.

Page 74: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

74

Beberapa hal yang perlu diperhatikan secara serius dari individu Kamoro adalah:

1. Pelajar/mahasiswa Kamoro belum mengerti pentingnya pendidikan. Untuk itu perlu pembinaan yang dilakukan melalui pendekatan persuasif yang dilakukan secara intensif;

2. Pergaulan yang terlampau bebas yang mengarah ke sex bebas. Alhasil hamil kemudian diberhentikan dari perkuliahan. Fakta di lapangan menunjukan hampir 80 persen mahasiswa maupun calon mahasiswa puteri dan putera terpaksa diberhentikan karena menghamili serta hamil di kota studi;

3. Kurangnya motivasi yang ada pada mahasiswa Kamoro untuk serius dan tekun serta menghindari minuman beralkohol;

4. Kurang memahami bagaimana proses pendidikan dapat ditempuh dan menyelesaikannya secara cepat, tepat dan tuntas;

Individu mahasiswa Kamoro sebetulnya menjadi penentu sukses tidaknya masa depannya. Namun pandangan akan prioritas hidupnya masih belum pasti sehingga butuh orang yang dapat memberikan pemahaman serta motivasi agar mereka dapat tetap bersemangat untuk melanjutkan studi.

Semua pendekatan yang digunakan terdeteksi memiliki faktor penghambat ketertarikan suku kamoro terhadap pentingnya pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Namun yang paling dimonan adalah:

1. Faktor keluarga yang berkaitan dengan masalah ekonomi keluarga dan dorongan terhadap anak yang sangat kurang, karena pendidikan keluarga sangat minim;

2. Individu yang berkaitan dengan masalah motivasi diri sendiri untuk sekolah;

3. Kecintaan akan alamnya yang sangat mendalam serta kebiasaan akan kebersamaan dengan orang tua yang sulit dipisahkan.

Page 75: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

75

4.4. Ikhtisar Penghambat Ketertarikan Suku Kamoro Terhadap Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Berdasarkan pada perumusan masalah pada bagian pertama maka teridentifikasilah beberapa hal berikut:

4.4.1. Alasan yang melatarbelakangi lulusan SMA dari suku Kamoro tidak tertarik melanjutkan studi di pergruan tinggi sebagai berikut: a. Ekonomi keluarga pada mahasiswa tersebut. Mahasiswa

Kamoro merasa sangat kesulitan untuk dapat bertahan melanjutkan studi karena kemampuan ekonomi orang tua yang tidak dapat mendukung mereka melanjutkan studi, meskipun pada prinsipnya mereka memperoleh beasiswa dari LPMAK.

b. Minimnya pengetahuan orang tua dalam mengatur serta merencanakan masa depan anak sejak kecil. Orang tua belum memiliki pandangan mengenai pentingnya pendidikan bagi keberlanjutan hidup anak tersebut di kemudian hari.

c. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan membangkitkan semangat untuk dapat belajar serta bersaing dalam bidang pendidikan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan akan pentingnya pendidikan masih sangat minim. Fakta di lapangan mahasiswa Kamoro tugas akhir angkatan 2003 baru mengerti pentingnya pendidikan pada tahun 2009.

4.4.2. Latarbelakang Mahasiswa Kamoro tidak Mampu

Menyelesaikan Studinya di Perguruan Tinggi adalah sebagai berikut:

a. Kualitas pendidikan dasar (SD), SMP dan SMA serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan,

Page 76: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

76

menyebabkan anak kebingungan bagaimana cara menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

b. Beberapa mahasiswa Kamoro mengikuti ujian persamaan dan memperoleh ijasah paket beberapa kali (SD ke SMP, SMP ke SMA dan lulus). Hasilnya minim pengetahuan sehingga kesulitan dalam penulisan. Sebab tugas-tugas kampus berkaitan dengan mekainisme penulisan yang tepat, terlebih penulisan tugas akhir.

c. “Kecelakaan” dan hamil sebelum menyelesaikan studi, sehingga memutuskan untuk pulang ke Timika-Papua.

d. Rindu akan kampung halaman yang berlebihan sehingga menyebabkan mereka pulang ke Timika dan tidak tertarik untuk melanjutkan studi lagi. Hal ini berkaitan dengan kedekatan emosional antara orang tua dan anak. Sebagian orang tua suku Kamoro lebih senang dikerumuni oleh tawa serta suara anak-anaknya. Ketika anak pergi jauh hanya akan menyekiti perasaan orang tua. Sehingga orang tua sakit, kemudian anak memutuskan untuk pulang.

e. Mudah putus asa dan berhenti ditengah jalan sebelum menyelesaikan studi

4.4.3. Srategi Penyelesaian Masalah 4.4.3.1 Strategi agar lulusan Sekolah Menengah Atas

asal suku Kamoro dapat melanjutkan studi di perguruan tinggi a. Perbaikan ekonomi keluarga suku Kamoro dengan

penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi usia produktif (18-45 tahun). Tujuannya adalah adanya pekerjaan tetap bagi suku kamoro yang anaknya sedang mengenyam pendidikan, baik pada tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.

b. Memberikan pendampingan serta dorongan yang dilakukan secara intensif kepada orang tua Kamoro agar menyekolahkan anaknya, melalui pertemuan-

Page 77: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

77

pertemuan dengan keluarga-keluarga Kamoro, diskusi mengenai pandangan mereka tentang pendidikan, bagaimana mereka memahami pendidikan terutama tujuan serta manfaatnya. Dengan demikian dapat diketahui kondisi yang sedang dialami agar dapat dicarikan solusi yang tepat. Selanjutnya pandangan tersebut dilanjutkan dalam mendampingi serta mendorong anak-anaknya pergi ke sekolah.

c. Pendampingan serta pencerahan kepada anak SD, SMP dan SMA mengenai pentingnya pendidikan dilakukan sedini mungkin. Terutama film yang menggambarkan profil mahasiswa setempat yang berhasil atau memberikan gambaran-gambaran lain tentang pentingnya pendidikan. Tujuannya adalah memunculkan motivasi dari anak tersebut. Sehingga ketika tamat SMA/SMK dapat langsung melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

d. Menghilangkan paradigma bahwa selesai SMA/SMK langsung bekerja agar tamatan SMA/SMK asal suku Kamoro dapat melanjutkan studi pada jenjang perguruan tinggi.

e. Membiasakan sedini mungkin untuk dapat menempatkan anak asli suku Kamoro agar berada pada kondisi persaingan pendidikan. Tujuannya agar anak tersebut termotivasi untuk dapat bersaing. Caranya program orang tua asuh/ atau orang tua angkat terutama profesi dokter, guru, Pilot, Perwira TNI AU, perwira polisi, Perwira TNI AL, dan Perwira TNI AD. Agar dapat disipli dan memiliki daya juang tinggi.

f. LEMASKO dapat menggunakan kemampuannya dalam memahami kondisi masyarakat adat suku Kamoro sehingga ketika mendorong anak-anak pergi ke sekolah membutuhkan dorongan yang serius dari LEMASKO.

Page 78: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

78

4.4.3.2. Strategi agar mahasiswa Kamoro mampu

menyelesaikan studinya di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:

1.3. Perbaikan kualitas pendidikan dasar (SD), SMP dan SMA dan penanaman nilai-nilai positif pentingnya pendidikan sedini mungkin di setiap sekolah-sekolah yang menjadi basis keberadaan suku Kamoro.

1.4. Menghilangkan program paket bagi mereka yang memang tidak terdaftar sebagai peserta pada ujian nasional. Program paket hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar tidak lulus SMP/SMA dan tidak memperbolehkan mengukiti ujian persamaan dengan tujuan melanjutkan kuliah jika dasarnya tidak memadai.

1.5. Pola asrama yang menanamkan pandangan positif bahaya pergaulan bebas secara intensif bagi pelajar putri suku Kamoro dan dan ditempatkan pada asrama yang memungkinkan minimnya kontak langsung dengan laki-laki sebelum menyelesaikan studi.

1.6. Memberikan pemahaman akan pentingnya nasehat orang tua kepada anak agar tidak mudah menyerah karena memikirkan kampung halaman, tetapi juga memberikan solusi akan kendala dari pelajar/mahasiswa Kamoro sesegera mungkin. Orang tua diharapkan memberikan informasi mengenai persaingan dunia kerja jika tidak memiliki ijasah.

1.7. Menanamkan motivasi bagi pribadi sedini mungkin agar tidak mudah putus asah.

1.8. LEMASKO berperan memberikan dorongan serta perhatian secara serius untuk melakukan kunjungan ke kota studi dimana pelajar maupun mahasiswa suku Kamoro berada.

Page 79: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

79

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan identifikasi faktor penghambat yang telah disusun dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Faktor penghambat ketertarikan suku kamoro terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan formal disebabkan oleh multifaktor. Artinya aspek budaya, aspek politis, aspek keluarga dan aspek individu turut berkontribusi dalam tidak tertariknya suku Kamoro terhadap pentingnya pengembangan sumber daya manusia. Namun aspek yang paling dominan adalah aspek keluarga dan aspek Individu. Ditambah kebijakan pemerintah yang tidak tegas dan belum terciptanya kerjasama antara berbagai instansi guna mendukung pendidikan secara serius di Kabupaten Mimika.

a. Aspek Budaya

Budaya mengajarkan hal-hal yang baik. Namun perkembangan jaman yang begitu pesat menyebabkan aspek budaya suku Kamoro yang semestinya dapat turut berkontribusi dalam penanaman nilai-nilai positif mengenai suku Kamoro tidak dapat berbuat banyak. Bahkan LEMASKO yang di dalamnya terdiri dari tokoh adat belum dapat berbuat banyak berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh suku Kamoro. b. Aspek Politis

Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika telah membangun jumlah infrastruktur pendidikan yang cukup banyak. Namun berkaitan dengan pendidikan di Kabupaten Mimika, masih banyak kendala yang harus dihadapi yaitu: 1. Wilayah di Kabupaten Mimika yang mengharuskan aktivitas untuk

menjangkau daerah yang satu dengan yang lain membutuhkan transportasi dan jarak tempuh dengan medan yang cukup berat, sehingga menyebabkan Pemerintah Daerah kesulitan dalam mengantisipasinya.

Page 80: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

80

2. Pemerintah daerah (dinas pendidikan) sulit menempatkan guru pada sebuah wilayah yang jauh karena salah satu dari suami atau istri yang berada di Kota Timika dan bekerja di kantor Pemerintah daerah jauh dari suami atau istri.

c. Aspek Keluarga 1. Kondisi ekonomi keluarga, karena tidak dapat mendukung dan

menimbulkan niat pada anak untuk tetap melanjutkan studi pada perguruan tinggi;

2. Minimnya pengetahuan orang tua dalam mengatur serta merencanakan masa depan anak sejak kecil. Orang tua belum memiliki pandangan mengenai pentingnya pendidikan bagi keberlanjutan hidup anak tersebut di kemudian hari.

3. Belum adanya prioritas orang tua dalam mendukung keberlangsungan pendidikan bagi anak. Orang tua belum menentukan pendidikan sebagai prioritas sehingga segalah upaya yang dilakukan tidak mengarah kepada bagaimana mendukung keberlangsungan pendidikan bagi anak.

d. Aspek Individu 1. Pelajar maupun mahasiswa Kamoro belum mengerti pentingnya

pendidikan. Hal itu menyebabkan mereka menganggap bahwa sekolah hanyalah kegiatan mengisi waktu luang. Sekolah bukanlah suatu kegiatan yang sangat penting sehingga harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh.

2. Pergaulan yang terlampau bebas, yang mengarah ke sex bebas. Alhasil hamil dan diberhentikan dari perkuliahan.

3. Kurangnya motivasi yang ada pada mahasiswa Kamoro untuk serius dan tekun dalam menempuh pendidikan.

4. Pelajar dan mahasiswa Kamoro belum memahami bagaimana proses pendidikan dapat ditempuh dan menyelesaikannya secara cepat, tepat dan tuntas, sehingga menyebabkan mereka cenderung lebih lambat dalam menyelesaikan studinya.

Page 81: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

81

5.2. Saran

Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 5.2.1. Bagi Aspek Budaya a. Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan

Kamoro (LPMAK) 1. Program Kampanye Pendidikan LPMAK yang dilakukan sejak

tahun 2009 ( Koperapoka, Nawaripi, Mware, Kaugapu dan kampung Hiripau) dan tahun 2011 (Ayuka, Aramsolki dan Fakafuku) telah berhasil membangkitkan semangat sekolah serta motivasi orang tua untuk mendorong anak pergi ke sekolah. Namun akan lebih baik jika LPMAK memiliki program jangka panjang, mulai memantau anak Kamoro dan Amugme sejak SD, SMP, SMA dengan terus melakukan pendekatan persuasif yang dilakukan secara intensif. Sehingga ketika lulus SMA langsung bisa dapat dipastikan untuk diambil guna melanjutkan studi pada jenjang perguruan tinggi.

2. LPMAK perlu melakukan Program orang tua asuh dengan latar belakang Guru, Dosen, Dokter akan memotivasi anak-anak Kamoro dan Amugme untuk sekolah. Anak-anak tersebut kemudian dititipkan untuk dididik dan ditanamkan moral serta pandangan-pandangan positif sesuai dengan kondisi keluarga tersebut dengan catatan orang tua asuh yang dimaksud memiliki agama yang sesuai dengan anak-anak tersebut. Namun untuk memulai hal ini, perlu pendampingan sejak SD, SMP & SMA agar mampu minimal pada 3 M yaitu Membaca, Menghitung, dan Menulis.

3. Kampanye pendidikan dilanjutkan dengan mendorong pemerintah daerah, serta gereja untuk mengirimkan guru ke tempat yang telah dilakukan kampanye atau ada orang yang dipercaya untuk tetap berada di sana mendampingi anak-anak belajar di luar jam sekolah yang dikontrak oleh LPMAK. Akan lebih baik jika Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika dapat andil di dalamnya.

Page 82: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

82

b. Lembaga Adat Masyarakat Kamoro (LEMASKO)

1. Menata internal LEMASKO agar memberikan dukungan secara serius bagi pendidikan suku Kamoro;

2. Mendorong kampung-kampung untuk menyekolahkan anak-anak suku Kamoro hingga ke perguruan tinggi, ikut memantau perkembangan pelajar & mahasiswa Kamoro di setiap kota studi dan memberi motivasi serta dorongan yang dapat membangkitkan semangat sekolah pada generasi mudah Kamoro;

3. LEMASKO nampak belum memiliki data mengenai jumlah pelajar maupun mahasiswa Kamoro di setiap kota studi. Untuk itu akan lebih baik jika LEMASKO dapat memilikinya, agar dapat menetapkan target bagi pendidikan pada suku Kamoro.

5.2.2. Saran Bagi Aspek Politik

a. Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika 1. Mimika sebaiknya membangun infrastruktur & transportasi

darat untuk menjangkau setiap daerah terisolir. 2. Perlu ada pembenahan sistem pendidikan di Kabupaten Mimika

yang mengharuskan guru tetap berada di tempat kerja dan tetap mengajar. Untuk itu Pemerintah Daerah harus tegas dalam menerapkan kebijakan dengan memberikan alternatif solusi yang tepat pula.

3. Bupati, kepala dinas pendidikan, dan pemimpin gereja sebaiknya turun ke lapangan untuk memastikan kondisi pendidikan di kampung-kampung, sekaligus melihat keberadaan guru dan menjawab keluhan guru dengan terjadinya implementasi kebutuhan guru di lapangan atas berbagai kendala yang muncul. Hal itu akan juga memotivasi guru untuk dapat tetap menjalankan tugasnya dalam mengajar.

4. Guru PNS perlu diatur suatu mekanisme yang baik agar dapat tetap berkonsentrasi penuh untuk mengajar dan mendidik. Sebab rata-rata di kampung-kampung yang jauh dari kota

Page 83: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

83

Timika, guru tidak berada di sekolah. Guru malahan mengadu nasib di Timika. Untuk itu mekanisme pemberian gaji sebaiknya dikembalikan ke gereja. Gereja yang akan membayar guru swasta & PNS maupun guru kontrak yang ditugaskan di daerah tertentu yang terisolir ketika diadakan kunjungan ke kampung-kampung setiap bulan oleh para pastor di Mimika. Untuk itu perlu adanya kerjasama antara Pemerintah daerah Kabupaten Mimika dan Gereja Katolik di Timika.

5. Perlu menerapkan peraturan jam sekolah agar anak usia sekolah tidak berada di jalan-jalan. Sehingga ada kondisi dimana lingukungan turut memantau anak-anak pergi ke sekolah.

b. PT. Freeport Indonesia 1. Memberikan kesempatan kepada masyarakat Kamoro untuk

bekerja di Freeport tanpa harus memiliki ijasah. Hal ini akan sangat membantu mereka memenuhi kebutuhan ekonominya, sekaligus mendorong anak-anak mereka pergi ke sekolah;

2. Memikirkan upaya untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat Kamoro terhadap PT. Freeport Indonesia melalui program yang berbasis kekuatan masyarakat lokal Kamoro. Karena ada indikasi ketergantungan masyarakat yang sangat besar terhadap PT. Freeport Indonesia.

3. Perlu dilakukan penelitian secara mendalam agar dapat menemukan solusi yang tepat bagi pengembangan ekonomi masyarakat Kamoro secara berkesinambungan, terutama menemukan sebuah strategi agar masyarakat Kamoro dapat hidup pada lingkungan alam yang tidak seperti dahulu. Karena ada indikasi masyarakat tersebut akan mengalami berbagai kendala jika suatu waktu PT.Freeport akan mengakhiri masa kontrak di Timika.

c. Saran Bagi gereja Katolik di Timika

1. Perlu dilakukan Kunjungan pastor kepada umat Kamoro guna memberikan masukan positif mengenai berbagai hal. Hal itu akan menyebabkan mereka merasa masih diperhatikan oleh gereja, sehingga kebiasaan negatif misalnya mengonsumsi

Page 84: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

84

minuman keras, serta berbagai hal dalam masyarakat Kamoro dapat dikurangi. Menurut peneliti, pendekatan gereja sangat dibutuhkan oleh masyarakat suku Kamoro saat ini.

5.2.3. Bagi penelitian selanjutnya

1. Perlu membedah lebih jauh dengan melihat aspek budaya suku Kamoro masa lalu dan masa sekarang. Tujuannya adalah untuk menemukan ada tidaknya elemen yang hilang dari suku Kamoro, sehingga turut mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat Kamoro dalam memandang dirinya, sesama warganya dan perubahan-perubahan yang terjadi.

2. Sebaiknya penelitian selanjutnya dilakukan oleh para ahli yang sekaligus mampu merekomendasikan dan rekomendasi tersebut dapat langsung ditindaklanjuti guna menyelesaikan faktor penghambat yang terjadi pada suku tersebut secara tuntas dan berkesinambungan.

Page 85: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

85

DAFTAR PUSTAKA

Al Maruzy, Amir, 2001. Karakteristik dan perbedaan individu. Diunduh dari

http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/01/karakteristik-dan-perbedaan-individu/ pada tanggal 01 Agustus 2011.

Bongas, Darniah (2010). Pendekatan Sosiologi Salah Satu Alat Untuk Memahami

Agama. Di akses dari: http://darniahbongas.wordpress.com/2010/07/03/pendekatan-sosiologi-salah-satu-alat-untuk-memahami-agama/ pada tanggal, 08 Juni 2011.

BPS Timika, diunduh dari: http://bps.papua.go.id/mimika/dokumentasi/IPM%20MIMIKA%202003.pdf pada 18 juni 2011.

Cheriet, 2011. Kaluarga Tradisional VS Keluarga Moderen. Diunduh dari: http://joyfulcherie.blogspot.com/2011/02/keluarga-tradisional-vs-keluarga-modern.html pada tanggal 30 Juli 2011.

Cassirer, Ernst. “Manusia dan Kabudayaan; Sebuah Esai Tentang Manusia”. PT.

Gramedia, Jakarta, 1987.

Faturohman, dk. Masalah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Oleh Faturochman

dan Ambar Widaningrum: http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/KORAN%20%20Masalah%20dan%20Pengembangan%20Sumberdaya%20Manusia.pdf

Gomes, Cardoso, 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia”. Andi, Yogyakart. Gunawan, Ali, 2010. Cara Mudah Menyusun Isntrumen Penelitian. diunduh dari

Page 86: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

86

http://www.slideshare.net/guns12380/cara-mudah-menyusun-instrumen-penelitian pada 31 Agustus 2011.

Gambar Kamoro Diunduh dari http://husyenfotografertimikablogspot.blogspot.com/2011_05_01_archive.html pada 05 Juli 2011

Human Resource Developmment Satrategy for South Africa (HRD-SA

2010-2030)

Harple Todd, 200. “Contgoling The Dragon: An Etno-Historical analysis of Social

Engagement Among The Kamoro Of South-West New Guinea (Indonesia

Papua/Irian Jaya), Australia National University (ANU).

Hikmat, Harry, 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Edisi Revisi”. Humaniora,

Bandung.

Iskandar, Ridwan, 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Diunduh dari: http://ridwaniskandar.files.wordpress.com/2009/05/5-pengembangan-sdm-1.pdf pada 12 Januari 2010.

Info PWT II LPMAK (2009). Enam Tahun Membangun Masyarakat. diundu dari,

http://www.lpmak.org/news.php?id=226 pada tannggal 18 Juni 2011.

Kusumahadi, Meth, 2007. Warga Berdaya, Catatan Perjalanan Tentang Desa. Satu

Nama, Yogyakarta. Kamoro Kelompok pengukir Penduduk Kamoro. diambil dari:

http://hoteltimikaindah.blogspot.com/2011/04/suku-\

Page 87: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

87

kamoro-kelompok-pengukir.html, tanggal 26 Mei 2011. http://www.universitasborobudur.ac.id/index.php/article/105-pengembangan-sumber-daya-manusia.html).

Kompus Baca, 2011. Dampak Globalisasi Terhadap Bangsa. Dianduh dari http://kampusbaca.blogspot.com/2011/01/makalah-ekonomi-dampak-globalisasi-bagi.html

Luther, Marten, 2009. Sosiologi Smadapare Scool. Diunduh dari http://sosiologismadapareschool.blogspot.com/2009/01/pengertian-individu.html

Mubyarto, 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Laporan Kaji Tindak Program IDT”.

Aditya Media, Yogyakarta. Makur, Markus. Amungme & Kamoro Bangkitkan Pendidikan Diunduh dari,

http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Suku-Amungme--Kamoro-Bangkitkan-Pendidikan-2966.html pada 06 Juli 2011.

Mengenal Lebih Dekat Suku Kamoro Papua. Diunduh dari:

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6595276, pada 11 Agustus 2011.

NN. Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak Diunduh dari:

http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=174652092576036 pada 01 Agustus 2011.

NN, 2009. Menentukan Instrumen penelitian diunduh dari: http://blogkatte.blogspot.com/2009/12/menentukan-instrumen-penelitian.html pada 11 Juni 2011.

Page 88: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

88

Ndraha, Taliziduhu, 1999. Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia. Rineka Cipta,

Jakarta.

Nawawi, Ismail, 2009. Pembangunan Dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep, Model,

Teori dari Aspek Ekonomi Dan Sosiologi”. Putra Media Nusantara, Surabaya.

Nugroho, Trisnu, 2008. PT. Freeport, Tanah Adat Kamoro, Kajian Teori-teori

Antropologi, UNNES PRESS.

Organisasi Komunitas Perpustakaan Indonesia (2007). Pengertian budaya kerja dan

tujuan .manfaat penerapannya pada lingkungan sekitar. diundu dari, http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-budaya-kerja-dan-tujuan-manfaat-penerapannya-pada-lingkungan-sekitar, pada tanggal 18 Juni 2011.

Patria, Bhina, 2010. Analisis Deskriptif. Diunduh dari www.inparametric.com pada 20

Maret 2011.

Prevost, Paul. Learning Community as a Local Development Strategy.

diunduh dari: http://ci-journal.net/index.php/ciej/article/view/266/224, pada 23 Agustus 2011.

PB, Triton. “Mengelola Sumber Daya Manusia, Kinerja, Motivasi, Kepuasan kerja, dan

produktivitas”. Oryza, Yogyakarta, 2009.

PSDM TB. Pengembangan Sumber Daya Manusia.diunduh dari: http://www.tbindonesia.or.id/pdf/PSDM-TB%20Indonesia%20WEBSITE.pdf, pada 09 Juni 2011.

Page 89: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

89

Pangestu. Individu. Diunduh dari http://panksgrunge.blogspot.com/2010/03/arti-individu.html pada 01 Agustus 2011.

Republica.Co.id. Gereja Bingung, Masyarakat Timika Tetap Doyan Mabuk Miras

http://forum.detik.com/gereja-bingung-masyarakat-timika-tetap- doyan-mabuk-miras-t229774.html di akses pada 10 Mei 2011.

Ruswanto, Wawan, 2010. Perkembnagan Teori Sosiologi abad ke-20. Diakses dari

http://pustaka.ut.ac.id/puslata/bmp/modul/SOSI4201/M3.pdf , pada tanggal, 08 Juni 2011.

Rural Development Programme for England 2007 – 2013 Leader Approach Local

Development

Setyawati, 1999. Aspek Penghambat Studi. Diunduh dari: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=28145&idc=32diundu pada tanggal 18 Juni 2011.

SIL International, 1996. Diunduh dari: http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.sil.org/linguaLinks/literacy/ReferenceMaterials/GlossaryOfLiteracyTerms/WhatIsFormalEducation.htm. pada tanggal 05 Juni 2011.

Sujipto, 2005. Konsep Pendidikan Formal dan Muatan Budaya Multicultural.

Soetomo. “Pemberdayaan Masyarakat, Mungkinkah Muncul Antitesanya?”. Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2011. Strategy for The Waveney Valley Prepared by NRBAS on behalf of the Local Action Group and the Accountable Body Easton College Easton Norfolk NR9 5DX January 2009.

Page 90: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

90

Sunny (2009). Teori Belajar.

Diakses dari http://lingkaranilmu.blogspot.com/2009/05/teori-belajar-adalah.html pada tanggal 09 Juni 2011.

Ucon, Izza, 2011. Otonomi Daerah Dengan Standar Nasional. Diunduh dari http://izzaucon.blog.uns.ac.id/2011/05/24/otonomi-daerah-dengan-standar-nasional-pendidikan-snp/ pada 05 Juni 2011.

Voice of Human Right (VHR). Suku Amugme dan Kamoro Bangkitkan pendidikan.

Diunduh dari, http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Suku-Amungme--Kamoro-Bangkitkan-Pendidikan-2966.html pada 06 Juli 2011.

Winardi, J, 2008. “Management of Cahange”. Kencana, Jakarta. Wikipedia, 2011. Ilmu Pilitik . Di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu, politik pada 08 Juni 2011 Wikipedia Project, 2011. Keluarga. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga, pada tanggal 08 Juni 2011. Yani Ahmad. Bukan Tidak Mau Sekolah, Tapi Orangtua Suku Laut Kurang. Mampu

Diunduh dari http://batam.tribunnews.com/2011/06/14/bukan-tidak-mau-sekolah-tapi-orangtua-suku-laut-kurang-mampu pada tanggal 01 Agustus 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_manusia http://www.nanampek.nagari.or.id/b38.html

Page 91: Mengurai Faktor Penghambat Pendidikan Suku Kamoro

91

http://www.un.org/Depts/escap/survey99/g0999.htm http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?module=news_detail&news_category_id=4&news_sub_category_id=54

Laporan Evaluasi Perkembangan guru kontrak keuskupan Timika tahun 20109-2010. Laporan Kampanye Pendidikan Yayasan Binterbusih dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK). BPS Mimika, “Mimika Dalam Angka” 2006. BPS Mimika,”Mimika Dalam Angka 2010”