Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan ... · hal-hal yang berkaitan dengan...

16
1 Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) disibukkan dengan banyaknya keputusan pejabat atas penetapan nilai pabean yang diajukan banding ke Pengadilan Pajak oleh importir. Banding merupakan hak setiap orang yang diatur Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Banding diajukan setelah keberatan atas keputusan pejabat Bea dan Cukai yang diajukan ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai ditolak. Saat ini penetapan pejabat yang banyak diajukan banding adalah penetapan yang berkenaan dengan nilai pabean. Penetapan pejabat ini berimplikasi pada kekurangan bea masuk, pajak dan dikenakannya sanksi administrasi berupa denda yang harus dibayar oleh Importir. Berkaitan dengan permasalahan penetapan nilai pabean ini, berikut ini data putusan dari Pengadilan Pajak atas pengajuan banding terutama terkait nilai pabean. Tabel 1 Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2010 Sumber : Kantor Pusat DJBC Dari data diatas selama tahun 2010 terdapat 3.866 putusan banding atas penetapan pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Jenderal Bea dan Cukai dimana terdapat 3.723 (96,3%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari 3.723 putusan banding tersebut ternyata yang dikabulkan mencapai 65,48% (sebanyak 2.438), suatu jumlah yang tentu sangat besar. Tabel 2 Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2011

Transcript of Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan ... · hal-hal yang berkaitan dengan...

1

Mengurai Benang Kusut Penerapan

Nilai Pabean Berdasarkan Nilai

Transaksi

Oleh :

Mohamad Jafar

Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

Akhir-akhir ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) disibukkan dengan

banyaknya keputusan pejabat atas penetapan nilai pabean yang diajukan banding ke

Pengadilan Pajak oleh importir. Banding merupakan hak setiap orang yang diatur

Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Banding diajukan setelah keberatan atas

keputusan pejabat Bea dan Cukai yang diajukan ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai

ditolak. Saat ini penetapan pejabat yang banyak diajukan banding adalah penetapan

yang berkenaan dengan nilai pabean. Penetapan pejabat ini berimplikasi pada

kekurangan bea masuk, pajak dan dikenakannya sanksi administrasi berupa denda

yang harus dibayar oleh Importir. Berkaitan dengan permasalahan penetapan nilai

pabean ini, berikut ini data putusan dari Pengadilan Pajak atas pengajuan banding

terutama terkait nilai pabean.

Tabel 1

Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2010

Sumber : Kantor Pusat DJBC

Dari data diatas selama tahun 2010 terdapat 3.866 putusan banding atas penetapan

pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Jenderal Bea dan Cukai dimana terdapat 3.723

(96,3%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari 3.723 putusan banding tersebut ternyata

yang dikabulkan mencapai 65,48% (sebanyak 2.438), suatu jumlah yang tentu sangat

besar.

Tabel 2

Data Putusan Pengadilan Pajak Berdasarkan Jenis Penetapan Tahun 2011

2

Sumber : Kantor Pusat DJBC

Dari data diatas selama tahun 2011 terdapat 3.469 putusan banding atas

penetapan pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Bea dan Cukai dimana terdapat

3.089 (89,04%) berkaitan dengan nilai pabean. Dari 3.089 putusan banding tersebut

ternyata yang dikabulkan mencapai 68,27% (sebanyak 2.109), meningkat dari tahun

2010 (65,48%).

Adanya sengketa nilai pabean tentu bukanlah hal yang produktif baik untuk

DJBC maupun importir, mengingat begitu banyaknya sumber daya yang harus

dikeluarkan, meliputi waktu, biaya, dan tenaga dalam proses penyelesaiannya.

Dengan latar belakang tersebut maka pembahasan tentang faktor-faktor penyebab

banyaknya kasus sengketa nilai pabean terasa begitu penting untuk kita kaji bersama.

Artikel ini penulis susun berdasarkan pengalaman penulis yang pernah bertugas

sebagai pemeriksa dokumen maupun sebagai pengajar mata diklat Nilai Pabean

serta diskusi informal dengan para pejabat yang bertanggung jawab pada penerapan

nilai pabean.

Permasalahan

Under Invoicing

Awal mula dari permasalahan banding sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu

masih banyaknya kasus under invoicing atas pemberitahuan barang yang diimpor.

DJBC sebagai institusi yang diberi tanggung jawab menghimpun bea masuk

berkewajiban mengoptimalkan penerimaan negara. Under invoicing tentu akan

menggerus penerimaan negara. Dampak lainnya dari under invoicing adalah

terancamnya produk dalam negeri sejenis karena kalah bersaing dengan produk luar

negeri. Kita tahu bahwa salah satu fungsi pungutan impor adalah sebagai barrier

untuk melindungi produk dalam negeri.

Di sisi lain, sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO),

Indonesia wajib meratifikasi berbagai agreement yang disepakati pada pendirian

lembaga perdagangan dunia tersebut. Salah satu butir kesepakatan dalam piagam

pembentukan WTO adalah pengaturan tentang nilai pabean yang digunakan untuk

menghitung bea masuk. Metode penetapan nilai pabean yang disepakati dalam

3

pembentukan WTO adalah digunakannya Artikel VII General Agreement on Tariff and

Trade (GATT) dimana pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk

menghitung bea masuk adalah nilai transaksi barang yang diimpor (transaction

value).

Nilai pabean sesuai kesepakatan WTO yang sering disebut dengan WTO

valuation atau GATT Valuation Agreement (GVA), mulai diterapkan di Indonesia sejak

disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Implikasi

dari digunakannya nilai transaksi adalah nilai pabean yang diberitahukan importir

harus diterima aparat pabean, sepanjang memenuhi persyaratan nilai transaksi.

Ketentuan ini bagi negara berkembang seperti Indonesia sangat sulit diterapkan

mengingat masih masih cukup banyak importir yang beresiko tinggi.

Kelemahan Peraturan Pelaksanaan

Dalam tataran praktis, dasar hukum penelitian hingga penetapan nilai pabean

oleh pejabat adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-160/KMK.04/2010

tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Dalam PMK ini diatur tentang

hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan diterimanya nilai transaksi dan dalam hal

apa nilai pabean yang diberitahukan tidak diterima oleh pejabat.

Salah satu ketentuan penting dalam PMK-160/KMK.04/2010 yang berpotensi

besar menimbulkan sengketa adalah pasal 8 (d) yang menyatakan bahwa nilai

transaksi tidak digunakan untuk penentuan nilai pabean bilamana pejabat Bea dan

Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur

untuk tidak menerima nilai transaksi yang diberitahukan.

Potensi sengketa sangat mungkin terjadi karena pada PMK ini tidak dijelaskan

wujud nyata dari terminologi bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur. Muncul

pertanyaan apakah database nilai pabean yang disusun oleh DJBC termasuk kategori

bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur ataukah tidak. Hal ini penting untuk

memberikan kepastian hukum baik kepada pejabat maupun kepada importir.

Ketentuan lainya yang diatur pada PMK-160/KMK.04/2010 yang berpotensi

besar menimbulkan sengketa adalah uji kewajaran nilai pabean. Perlu diketahui

bahwa uji kewajaran nilai pabean tidak diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan,

dan tidak terdapat secara eksplisit di Agreemet on Implementation of Article VII of

GATT. Ketentuan uji kewajaran ini diatur pada pasal 26 dan 27 PMK-

160/KMK.04/2010. Uji kewajaran nilai pabean dilakukan dengan menggunakan

DBNP I barang identik. Nilai pabean dianggap wajar bila nilai yang diberitahukan lebih

besar, sama dengan atau lebih kecil dari nilai di DBNP I sepanjang tidak lebih dari

5%.

DBNP II barang identik digunakan bilamana data tidak tersedia pada DBNP I.

Dalam uji kewajaran menggunakan DBNP II, nilai pabean dianggap wajar bila

diberitahukan lebih besar atau sama dengan nilai di DBNP II. Proses selanjutnya bila

4

nilai pabean diragukan karena dianggap tidak wajar adalah permintaan pejabat

kepada importir untuk menyerahkan deklarasi nilai pabean (DNP) dengan

melampirkan dokumen pendukung. Permintaan DNP hanya dikenakan kepada

importir kategori medium risk dan high risk. Bilamana DNP tidak diserahkan atau

pejabat meragukan keterangan dalam DNP dan konsultasi yang dilakukan tidak

meyakinkan pejabat, maka nilai transaksi yang diberitahukan tidak dapat diterima.

Bila kita kaji lebih lanjut PMK-160/KMK.04/2010 ini sebenarnya seperti ‘pukat

harimau’ yang digunakan untuk menjaring ikan. Karena adanya kekhawatiran ikan

besar akan lolos dari jaring, maka dibuatlah jaring dengan lubang yang kecil. Ikan

besar dapat diibaratkan importir berisiko tinggi dan ikan kecil untuk importir berisiko

rendah. Mekanisme uji kewajaran tak ubahnya cara kerja pukat harimau untuk

mengamankan keuangan negara.

Dalam tahap selanjutnya importir yang merasa telah memberitahukan nilai

pabeannya dengan benar tidak menerima penetapan pejabat sehingga mengajukan

keberatan. Bila keberatan yang diajukan ke Direktur Jenderal ditolak, maka importir

mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Kenyataannya sebagian besar banding

yang diajukan oleh importir dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Akhir-akhir ini cukup

banyak importir yang sebenarnya masuk kategori resiko tinggi yang pada awalnya

menerima penetapan pejabat, akhirnya juga mengikuti langkah importir beresiko

rendah mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Pengadilan Pajak menerima banding para importir karena berpatokan pada

bukti formal bahwa nilai transaksi telah memenuhi syarat yang dibuktikan dengan

dokumen invoice, purchase order, bukti pembayaran dan bukti-bukti lainnya. Di sinilah

titik krusialnya, yaitu Majelis Hakim Pengadilan Pajak memandang bahwa uji

kewajaran nilai pabean tidak diatur di Undang-Undang Kepabeanan, sementara

importir mampu membuktikan adanya nilai transaksi.

Analisis Masalah

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan, nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk adalah nilai

transaksi barang yang diimpor. Prinsip nilai pabean menurut GATT Valuation

Agreement pada hakekatnya berbanding terbalik dengan nilai pabean sesuai Brussel

Definition on Value (BDV) dimana nilai pabean ditetapkan dengan menggunakan

harga patokan yang ditetapkan oleh pejabat.

Dalam pelaksanaanya, terjadi gap antara teori dan praktek. Sejujurnya harus

kita katakan bahwa sebenarnya nilai pabean menggunakan WTO valuation masih

sulit diterapkan dalam kondisi Indonesia. Bagi negara-negara yang relatif maju

dengan importir yang relatif patuh tidak mengalami kesulitan dalam penerapan sistem

nilai pabean ini. WTO menyadari hal ini, sehingga dalam Agreement ini diberikan

catatan adanya perlakuan khusus untuk negara berkembang dalam penerapannya,

yaitu diberinya tempo pelaksanaan secara penuh ketentuan ini.

5

Negara dengan jumlah importir beresiko tinggi yang relatif masih besar sangat

sulit menerapkan model WTO valuation, karena tingkat kepatuhan yang masih

rendah. Sesuai situs kepresidenan, pada tahun 2006 jumlah importir resiko tinggi

sejumlah 6.200 importir atau sekitar 42%, importer dengan resiko menengah

sebanyak 2.900 importir atau sekitar 19,9%, dan importir resiko rendah sebanyak

5.413 importir, atau sekitar 37,29%. Salah satu pelanggaran yang potensial dilakukan

oleh para importir beresiko tinggi adalah under invoicing, dimana nilai pabean

diberitahukan lebih rendah dari yang seharusnya untuk menghindari pungutan impor.

Bilamana Indonesia menerapkan GATT Valuation Agreement (GVA) tanpa

mempertimbangkan kondisi market forces yang masih belum patuh pada ketentuan

kepabeanan (importir kategori beresiko tinggi) maka potensi hilangnya penerimaan

negara akan cenderung besar. Di sisi lain, bilamana nilai pabean ditetapkan

berdasarkan peraturan yang saat ini diberlakukan maka potensi meningkatnya

keberatan dan banding yang diajukan importir cenderung semakin besar. Mengapa

demikian, karena importir merasa telah memberitahukan nilai pabean sesuai transaksi

yang mereka lakukan dengan pemasok.

Sebenarnya keputusan pejabat yang tidak menerima nilai pabean dari importir

ketika meragukan pemberitahuan memiliki landasan dalam Artikel VII GATT. Pada

Agreement on Implementation of Article VII of GATT terdapat lampiran berkaitan

tentang kasus-kasus dalam hal pihak pabean mempunyai alasan untuk meragukan

kebenaran atau ketepatan nilai yang diberitahukan. Di dalam lampiran tersebut

dinyatakan bahwa bila pemberitahuan telah diajukan dan pihak pabean beralasan

untuk meragukan kebenaran atau ketepatan atas keterangan atau dokumen yang

diberikan untuk mendukung pernyataan di atas, pihak pabean dapat meminta importir

untuk memberikan penjelasan lebih lanjut termasuk dokumen dan bukti-bukti lainnya

yang menyatakan bahwa nilai yang diberitahukan mewakili jumlah keseluruhan dari

harga yang sebenarnya dibayar.

Selanjutnya, jika setelah menerima informasi lebih lanjut atau dalam hal tidak

ada penjelasan, pihak pabean masih meragukan kebenaran atau ketepatan nilai yang

diberitahukan maka memperhatikan hak yangbersangkutan untuk mengajukan

keberatan, nilai pabean dianggap tidak dapat ditetapkan menggunakan nilai transaksi.

Meskipun memiliki landasan dalam Agreement on Implementation of Article VII of

GATT, keputusan untuk menganggap nilai pabean tidak dapat menggunakan nilai

transaksi harus memiliki argumentasi yang kuat. Keraguan pejabat atas nilai yang

diberitahukan harus didukung dengan alasan yang kuat disertai bukti bahwa nilai

yang diberitahukan tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya atau seharusnya

dibayar.

6

Tabel 3

Ringkasan Ketentuan Nilai Pabean

Peraturan Pokok Pengaturan

UU No 10 Tahun 1995

jo UU No 17 Tahun

2006 tentang

Kepabeanan

Nilai pabean pada prinsipnya menggunakan nilai transaksi

Nilai transaksi diterima bilamana memenuhi syarat-syarat tertentu

KMK-690/KMK.05/1996

(telah dicabut)

Mengatur secara global tentang tatacara penetapan nilai pabean

sebagaimana yang diatur dalam Agreement on Implementation of

Article VII of GATT

Tidak terdapat uji kewajaran dalam tatacara penetapan

KEP-81/BC/1999

(tidak berlaku lagi)

Merupakan petunjuk pelaksanaan KMK-690/KMK.05/1996

Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan

kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 20% dari

Database Harga I barang identik atau serupa.

Terdapat pembatasan penggunaan metode I, dimana nilai

transaksi tidak diterima bilamana Pejabat Bea dan Cukai

mempunyai alasan berdasarkan data yang obyektif dan terukur untuk

meragukan kebenaran atau keakuratan pemberitahuan nilai transaksi.

KEP-33/BC/1999

(tidak berlaku lagi)

Merupakan perubahan pertama KEP-81/BC/1999

Perubahan atas uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan

kebenarannya bilamana lebih rendah dari Database Harga I

barang identik atau serupa.

KEP-44/BC/2001

(tidak berlaku lagi)

Merupakan perubahan kedua KEP-81/BC/1999

Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan

kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 10% dari

Database Harga I barang identik atau serupa.

KEP-17/BC/2005

(tidak berlaku lagi)

Merupakan perubahan keempat KEP-81/BC/1999

Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan

kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari

Database Harga I barang identik atau serupa.

P-01/BC/2007

(tidak berlaku lagi) Merupakan perubahan kelima KEP-81/BC/1999

Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan

kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari

Database Harga I barang identik.

Terdapat ketentuan uji profil importir dalam penetapan nilai

pabean, dimana bila termasuk kategori low risk dan harga

diragukan nilai transaksi tetap diterima, untuk medium risk

diterbitkan Informasi Nilai Pabean (INP), dan bilamana high risk

nilai transaksi ditolak.

PMK-160/2010

(yang saat ini berlaku) Merupakan pengganti KMK-690/KMK.05/1996

Terdapat ketentuan uji kewajaran dimana nilai pabean diragukan

kebenarannya bilamana lebih rendah lebih dari 5% dari

7

Database Nilai Pabean I barang identik atau lebih rendah dari

Database Nilai Pabean II

Terdapat ketentuan uji profil importir dalam penetapan nilai

pabean, dimana bila termasuk kategori low risk dan harga

diragukan nilai transaksi tetap diterima, untuk medium risk dan

high risk diterbitkan INP.

Terdapat pembatasan penggunaan metode I, dimana nilai

transaksi tidak diterima bilamana Pejabat Bea dan Cukai

mempunyai alasan berdasarkan data yang obyektif dan terukur untuk

meragukan kebenaran atau keakuratan pemberitahuan nilai transaksi.

Sayangnya hal-hal tersebut diatas tidak tercantum secara eksplisit di dalam

penjelasan Undang-Undang Kepabeanan, sehingga hakim tidak mempertimbangkan

hak pabean untuk meragukan dan tidak menerima nilai transaksi bilamana dalam

proses penelitian hingga konsultasi nilai pabean tidak diperoleh keyakinan tentang

kebenarannya. Selain hal itu banyaknya penetapan pejabat yang digugurkan dalam

sidang banding juga dapat disebabkan oleh banyaknya penetapan pejabat terkait

yang tidak didukung argumentasi yang kuat sehingga hakim berpandangan bahwa

tidak ada alasan kuat pejabat meragukan nilai yang diberitahukan.

Solusi

Secara umum permasalahan nilai pabean ini akan dapat diminimalisasi

bilamana DJBC secara sungguh-sungguh melakukan perbaikan, baik dalam aspek

internal maupun aspek eksternal. Aspek internal berkaitan dengan dukungan institusi

dan penyiapan pejabat yang profesional, sedangkan aspek eksternal berhubungan

dengan bimbingan kepatuhan dan law enforcement.

Masalah nilai pabean tidak hanya semata-mata berkaitan dengan tugas pejabat

pemeriksa dokumen (PFPD). Masalah nilai pabean sesungguhnya merupakan

masalah institusi DJBC yang dapat berpengaruh serius pada citra dan kinerja

organisasi secara signifikan. Maka sebaiknya DJBC melakukan langkah-

komprehensif dalam menangani permasalan ini. Langkah-langkah komprehensif itu

meliputi : revisi peraturan tentang nilai pabean, penguatan struktur organisasi, dan

law enforcement.

Revisi Peraturan

Petunjuk teknis penerapan nilai pabean adalah Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.

Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2006 tentang Kepabeanan, dimana pada ayat 7 dinyatakan bahwa Ketentuan

mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan peraturan menteri.

8

Secara umum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 berisi

ketentuan cara penetapan nilai pabean yang mengacu pada Agreement on

Implementation of Article VII of GATT, dengan beberapa aturan tambahan yang

mempertimbangkan situasi dan kondisi Indonesia. Proses penelitian dan penetapan

nilai pabean secara ringkas tergambar sebagaimana gambar 1 berikut ini.

Gambar 1

Proses penelitian dan penetapan nilai pabean dimulai setelah importir

menyerahkan pemberitahuan impor barang (PIB). Importir kategori Mitra Utama

(MITA) dan Importir Produsen (IP) kategori Low risk nilai pabean yang diberitahukan

langsung diterima. Selanjutnya penelitian atas kebenaran nilai pabean yang

diberitahukan importir-importir tersebut dilakukan dalam program audit kepabeanan.

Pejabat melakukan pengujian nilai pabean, meliputi harus adanya kondisi jual

beli, terpenuhinya persyaratan nilai transaksi, hingga kebenaran jumlah dan/atau

jenis barang dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik. Penetapan nilai pabean tidak

ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal persyaratan nilai transaksi tidak

terpenuhi. Bilamana persyaratan nilai transaksi terpenuhi, penelitian berlanjut pada uji

kewajaran nilai pabean menggunakan Database Nilai Pabean I (DBNP I) barang

identik. Taraf toleransi selisih kurang pemberitahuan dengan DBNP I barang identik

adalah maksimal 5%. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I)

9

dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. Jika nilai pabean diberitahukan tidak

wajar karena selisih kurang lebih dari 5% dari data barang identik pada DBNP I maka

dilakukan penelitian profil importir.

Uji kewajaran menggunakan Database Nilai Pabean II (DBNP II) barang

identik dilakukan jika tidak terdapat DBNP I barang identik yang dapat digunakan.

Tidak ada toleransi selisih kurang pada pemberitahuan nilai pabean pada uji

kewajaran ini. Nilai pabean dianggap wajar bilamana sama besar atau lebih tinggi

dengan DBNP II barang identik. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi

(metode I) dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. Bilamana tidak terdapat

data barang identik pada DBNP II maka dilakukan penelitian profil importir.Terdapat

empat kategori pada database profil importir, yaitu low risk (resiko rendah), medium

risk (resiko sedang), high risk (resiko tinggi), dan very high risk (resiko sangat tinggi).

Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal importir

termasuk kategori low risk.

Bilamana importir termasuk kategori medium risk, high risk dan very high risk,

maka diterbitkan Deklarasi Nilai Pabean (DNP). Selanjutnya pejabat meneliti DNP

dan dimungkinkan untuk konsultasi nilai pabean untuk meyakinkan kebenaran nilai

yang diberitahukan. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I)

dalam hal DNP didukung data yang mampu meyakinkan pejabat. Nilai pabean tidak

ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal DNP tidak diserahkan kepada

pejabat atau diserahkan melebihi waktu yang tentukan, yaitu 3 hari kerja untuk kantor

yang menggunakan Pertukaran Data Elektronik (PDE) atau 5 hari kerja untuk yang

belum menggunakan PDE.

Bilamana pejabat belum meyakini DNP yang diserahkan importir, maka

pejabat dapat meminta importir untuk menjelaskan lebih lanjut dalam konsultasi nilai

pabean. Nilai pabean tidak ditetapkan menggunakan nilai transaksi dalam hal importir

tidak memenuhi permintaan konsultasi nilai pabean atau konsultasi yang dilakukan

tidak meyakinkan pejabat. Pejabat peneliti dokumen membuat Lembar Penelitian dan

Penetapan Nilai Pabean (LPPNP) atas penetapan nilai pabean bilamana nilai

transaksi tidak diterima. Dari uraian di atas dapat kita mengambil kesimpulan bahwa

nilai transaksi dapat tidak diterima bilamana pejabat meragukan nilai pabean yang

diberitahukan dan importir tidak mampu meyakinkan pejabat atas kebenaran nilai

transaksinya.

Dari uraian tatacara penelitian dan penetapan nilai pabean di atas, terdapat

beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, pengecualian pengujian nilai

transaksi (nilai pabean diterima, selanjutnya merupakan obyek audit). Kedua,

mekanisme uji kewajaran yang mendahulukan penggunaan DBNP I (data lama)

daripada DBNP II (data baru). Ketiga, mekanisme uji profil yang pada akhirnya tetap

menerima nilai pabean bila importir kategori low risk. Keempat, efektifitas DNP yang

mayoritas tidak berdaya guna sehingga pada akhirnya nilai pabean ditolak karena

tidak meyakinkan pejabat.

10

Sebaiknya yang dikecualikan dalam pengujian nilai transaksi tidak hanya

importir MITA dan importir produsen low risk, namun seluruh importir kategori low risk.

Hal ini agar pejabat pemeriksa dokumen lebih fokus pada pemberitahuan nilai pabean

yang disampaikan oleh importir kategori medium risk hingga very high risk. Dari

beberapa diskusi dengan pejabat pemeriksa dokumen dan pejabat pada Pengadilan

Pajak, selama ini banyak penetapan pejabat yang kalah pada tingkat banding karena

penetapan cenderung kurang profesional. Implikasi dari kebijakan ini tentu kinerja

pejabat diharapkan lebih meningkat karena beban kerja yang selama ini dirasakan

sangat berat dapat berkurang. Diyakini bahwa salah satu faktor kurang baiknya hasil

penelitian dan penetapan pejabat adalah karena tingginya beban kerja sementara

waktu yang tersedia sangat terbatas.

Hal lain yang perlu diperbaiki adalah penggunaan DBNP I untuk uji kewajaran

nilai pabean. Bila data tidak tersedia di DBNP I selanjutnya digunakan DBNP II. Kita

harus ingat bahwa DBNP I disusun (salah satu sumbernya) dari DBNP II.

Penggunaan DBNP I sebelum DBNP II tentu kurang tepat karena data pada DBNP I

adalah data yang relatif lama. Memang DBNP I lebih lengkap dibanding DBNP II

namun karena harga barang sangat dipengaruhi waktu, maka seharusnya data yang

waktunya yang terdekat yang digunakan. Penulis pernah mendapatkan informasi,

terdapat pemberitahuan nilai pabean yang berdasarkan DBNP I tidak wajar karena

selisih kurang lebih dari 5%. Selanjutnya karena DNP tidak meyakinkan pejabat nilai

pabean menggunakan metode II (nilai transaksi barang identik). Dalam penerapan

metode II digunakan DBNP II barang identik sebagai dasar penetapan. Ternyata nilai

pabean yang diberitahukan lebih tinggi dibandingkan dengan data pada DBNP II.

Selanjutnya uji profil yang dilakukan bilamana harga yang diberitahukan tidak

wajar atau database tidak memuat data untuk uji kewajaran sebaiknya ditiadakan. Uji

profil sebaiknya dilakukan diawal proses penelitian nilai pabean, dimana untuk

importir kategori mitra utama (MITA) dan kategori low risk tidak perlu diperiksa oleh

pejabat pemeriksa dokumen (PFPD). PFPD lebih baik fokus pada importir yang

berisiko menengah ke atas yang potensi ketidakbenaran pemberitahuannya cukup

besar. Selain hal-hal tersebut diatas, perlu juga ditinjau ulang efektifitas DNP yang

mayoritas tidak berdaya guna. Banyak DNP yang tidak dilengkapi dengan dokumen

pendukung seperti sales contract, purchase order, LC/bukti transfer, dan dokumen

pendukung lainnya. Hampir tidak ada nilai pada DNP yang berbeda dengan nilai yang

diberitahukan pada PIB. Memang dimungkinkan adanya konsultasi nilai pabean

bilamana pejabat belum meyakini kebenaran pemberitahuan importir, namun tetap

saja hal ini tidak menjamin dilengkapinya data-data yang dibutuhkan pejabat.

Untuk mengatasi hal ini penulis sarankan agar dibentuk tim khusus yang

melakukan audit nilai pabean (nilai transaksi). Auditor nilai pabean ini sebaiknya

berada satu bidang dengan pejabat peneliti dokumen untuk memudahkan koordinasi

dan efektifitas kerja. Dengan audit nilai pabean ini diharapkan bukti-bukti kebenaran

atau ketidakbenaran nilai transaksi yang diberitahukan dapat diperoleh untuk diambil

keputusan. Dalam pelaksanaan audit ini pejabat dapat menggunakan semua sarana

yang memungkinkan untuk mendapatkan data, termasuk melakukan konfirmasi ke

11

perbankan dan kepada pemasok di luar daerah pabean. Bukti-bukti ini sangat penting

untuk penetapan nilai pabean dan sangat berguna bagi pejabat untuk meyakinkan

majelis hakim pada sidang banding di Pengadilan Pajak bila yang bersangkutan

mengajukan banding.

Saran-saran perbaikan dan simplifikasi prosedur penelitian dan penetapan

nilai pabean sebagaimana terurai diatas dapat kita ringkas dalam gambar 2 berikut

ini.

Gambar 2

Selain perbaikan dan penyederhaan tatacara penelitian nilai pabean, salah

satu critical point dalam peraturan Menteri Keuangan ini adalah adanya uji kewajaran

nilai transaksi dalam proses penetapan nilai pabean oleh pejabat. Uji kewajaran yang

dapat bermuara pada ditolaknya nilai transaksi diperkuat oleh ketentuan pasal 8 (d)

peraturan ini yang menyebutkan bahwa “nilai transaksi tidak digunakan dalam hal

pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang

obyektif dan terukur untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean”.

Mekanisme penetapan nilai pabean seperti ini bila kita kaji lebih lanjut sebenarnya

tidak memiliki landasan yang kuat pada Undang-Undang Kepabeanan.

12

Perlu kita ketahui bahwa pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

yang mengatur tentang nilai pabean beserta penjelasan pasal bersangkutan tidak

memberi ruang kepada pejabat untuk melakukan uji kewajaran dan menolak nilai

transaksi bila harga diragukan. Alih-alih mengatur tentang dapat ditolaknya nilai

transaksi bilamana harga diragukan, justru pasal 15 dan penjelasannya menegaskan

harus digunakannya nilai transaksi atas barang yang diimpor untuk penghitungan bea

masuk. Di sisi lain pada sidang banding argumentasi pejabat bahwa harga diragukan

setelah dilakukan uji kewajaran dan DNP tidak meyakinkan pejabat tidak diterima

majelis hakim, sehingga sebagian besar banding yang diajukan importir dikabulkan

oleh Pengadilan Pajak.

Berkenaan dengan kurang sinkronnya ketentuan nilai pabean yang tercantum

dalam Undang-Undang Kepabeanan dengan peraturan pelaksanaannya, maka perlu

dirumuskan ketentuan yang lebih memberi kepastian hukum kepada pejabat untuk

menolak nilai transaksi dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip Artikel VII GATT.

Ketentuan pada pasal 8 (d) dalam PMK-160/PMK.04/2010 yang menyebutkan bahwa

“nilai transaksi tidak digunakan dalam hal pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan

berdasarkan bukti nyata atau data yang obyektif dan terukur untuk tidak menerima

nilai transaksi sebagai nilai pabean” seharusnya diberikan penjelasan lebih lanjut

yang bersesuaian dengan Agreement on Implementation of Article VII of GATT. Hal

ini penting karena pada prakteknya para pejabat peneliti dokumen menggunakan

Database Nilai Pabean yang tersedia di Kantor Pabean untuk meragukan dan

selanjutnya dapat menolak nilai pabean yang diberitahukan.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas penelitian dan penetapan nilai pabean,

sebaiknya dipertimbangkan tambahan ayat dalam pasal 8 PMK-160/PMK.04/2010

yang berbunyi “nilai transaksi tidak digunakan dalam hal terdapat bukti kuat nilai yang

sebenarnya atau seharusnya dibayar tidak sesuai dengan nilai yang diberitahukan”.

Konsekuensi dari ketentuan ini berarti pejabat harus aktif mencari dan menemukan

evidance adanya nilai yang berbeda dari yang diberitahukan. Dengan demikian

mekanisme INP dan DNP tidak memadai untuk memenuhi ketentuan ini. Bilamana

ketentuan ini digunakan maka mekanisme yang lebih tepat adalah menggunakan

audit nilai transaksi. Dalam audit nilai transaksi pejabat dapat proaktif melakukan

penelitian kebenaran pemberitahuan hingga ke tempat importir, konfirmasi ke bank,

hingga konfirmasi ke pemasok di luar negeri.

Audit nilai transaksi harus dilakukan secara cepat karena sesuai Undang-

Undang Kepabeanan, pejabat diberikan batasan penelitian dan penetapan nilai

pabean selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean impor.

Proaktifnya pejabat dalam penelitian nilai transaksi menurut hemat saya lebih sesuai

dengan kondisi saat ini karena pada praktiknya banyak DNP yang diserahkan importir

tidak memadai untuk pengambilan keputusan pejabat.

13

Penguatan Struktur Organisasi

Mengingat begitu seriusnya permasalahan nilai pabean, hendaknya DJBC

membuat struktur yang berkosentrasi penuh pada penyiapan perangkat dan data nilai

pabean baik pada Kantor Pusat maupun di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan

Utama. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008

tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, saat ini telah ada Sub

Direktorat Nilai Pabean di Kantor Pusat DJBC yang bertugas melaksanakan

penyiapan penyusunan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan

pelaksanaan di bidang nilai pabean dan data harga.

Salah satu output dari Sub Direktorat Nilai Pabean adalah Database Nilai

Pabean (DBNP) I yang digunakan untuk uji kewajaran nilai pabean dan dapat

digunakan untuk penetapan nilai pabean. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal

Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean, DBNP I disusun

oleh Kantor Pusat dan harus dilakukan pemutakhiran secara periodik sekurang-

kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari para pejabat pemeriksa

dokumen, permasalahan utama DBNP I yang disusun Kantor Pusat tidak memadai

untuk pelaksanaan tugas di lapangan. Data yang dapat dihimpun pada DBNP I

sangatlah terbatas dan banyak yang tidak up to date. Berkaitan dengan

permasalahan tersebut penulis sarankan agar Subdit Nilai Pabean di Kantor Pusat

memperkuat Tim Nilai Pabean yang selama ini telah bekerja untuk menyusun dan

memutakhirkan database nilai pabean. Tim Nilai Pabean di Kantor Pusat harus diisi

oleh para pejabat dan pegawai yang betul-betul memiliki kompetensi dan konsisten

dalam membuat DBNP yang berdaya guna. Harus betul-betul disadari bahwa kualitas

DBNP I sangat menentukan kinerja pejabat pemeriksa dokumen di lapangan.

Permasalahan lainnya yang masih terkait dengan perangkat kerja pejabat

peneliti dokumen adalah masih belum optimalnya DBNP II. Sesuai dengan Peraturan

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean,

DBNP II disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dan berlaku di

wilayah kerja kantor bersangkutan, sedangkan DBNP I berlaku secara nasional.

Selain digunakan uji kewajaran dan dasar penetapan nilai pabean, DBNP II juga

digunakan sebagai sumber data dalam menyusun DBNP I oleh Kantor Pusat. Dengan

demikian, kualitas DBNP II yang disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan

Utama akan sangat mempengaruhi kualitas DBNP I. DBNP II yang lengkap dan up to

date akan sangat membantu tugas pejabat pemeriksa dokumen dalam penetapan

nilai pabean. Bila demikian halnya, maka pembentukan unit khusus yang menangani

nilai pabean di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama mutlak diperlukan.

Namun pada kenyataannya struktur organisasi pada DJBC belum bersesuaian

dengan kebutuhan tersebut diatas. Tidak sebagaimana di Kantor Pusat DJBC, di

Kantor Wilayah dan di KPU Bea dan Cukai, belum terdapat unit yang secara khusus

melaksanakan tugas dan menangani masalah nilai pabean. Mengacu pada Peraturan

14

Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, unit yang menangani

pelaksanaan nilai pabean di Kantor Wilayah dan KPU Bea dan Cukai adalah Bidang

Kepabeanan dan Cukai, sedangkan di Kantor Pabean unit yang melaksanakan tugas

yang berkaitan dengan adalah Seksi Kepabeanan dan Cukai.

Mengingat begitu seriusnya permasalahan nilai pabean, seharusnya DJBC

memperkuat struktur organisasinya dengan pejabat setingkat eselon IV di di Kantor

Wilayah dan KPU Bea dan Cukai dengan tugas khusus menyiapkan dan

melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan nilai pabean. Unit khusus nilai pabean

diharapkan bekerja optimal dan dapat memberikan assist yang tepat kepada pejabat

pemeriksa dokumen. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai

Nomor 40/BC/2010, pemutakhiran DBNP II dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua)

kali dalam 1 (satu) bulan.

Sebagaimana DBNP I, DBNP II juga belum memadai untuk pelaksanaan

tugas di lapangan. Data yang dapat dihimpun pada DBNP II juga sangat terbatas dan

banyak yang tidak up to date. Bahkan sebagian besar Kantor Wilayah dan KPU Bea

Cukai belum memiliki DBNP II secara formal karena database yang digunakan belum

ditetapkan secara resmi dalam aplikasi kantor pabean.

Penegakan Hukum

Masih banyaknya importir berkategori high risk harus diantisipasi DJBC

dengan menyiapkan jaring pengaman lainnya, yaitu penegakan hukum. Dalam hal

apa nilai pabean dapat dijerat dengan pelanggaran pidana kepabeanan? Betul bahwa

kesalahan pemberitahuan nilai pabean yang berakibat pada kekurangan pembayaran

bea masuk merupakan pelanggaran administratif yang dikenakan sanksi berupa

denda. Namun bilamana kedapatan dokumen yang digunakan sebagai pelengkap

pemberitahuan pabean (invoice) ternyata bukan dokumen yang sesungguhnya maka

tindakan ini termasuk kategori pelanggaran pidana kepabeanan yang diancam

dengan pidana penjara dan/atau pidana denda.

Dasar hukum dalam penindakan pelanggaran ini sangat jelas diatur dalam

Undang-Undang Kepabeanan, yaitu :

pada pasal 103 (a) disebutkan bahwa “Setiap orang yang menyerahkan

pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau

dipalsukan”,

pada pasal 103 (c) disebutkan bahwa “Setiap orang yang memberikan keterangan

lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban

pabean”,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara

paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit

15

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah)“.

Hingga saat in masih sering terdengar idiom “invoice pasar pagi” atau “invoice

pasar sore”, dimana harga dapat diatur oleh yangbersangkutan sebagaimana yang

mereka kehendaki. Invoice adalah dokumen yang dibuat oleh pemasok (eksportir) di

luar negeri. Invoice merupakan dokumen pelengkap pabean yang berisi data barang

yang diimpor termasuk harga yang disepakati antara penjual dan pembeli.

Bila dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan fisik

barang pejabat menggunakan profil importir dan hasil intelijen, dalam penegakan

hukum pada aspek nilai pabean ini hendaknya pejabat juga menggunakan cara yang

serupa agar untuk mendapatkan hasil yang optimal. Bilamana kedapatan Importir

melanggar pasal 103 ayat a atau pasal 103 ayat c, hendakknya DJBC tidak perlu ragu

untuk melakukan penegakan hukum, tentu setelah bukti-bukti yang cukup dapat

dihimpun untuk.

Kasus penggelapan pajak Asian Agri yang dibawa ke ranah pidana oleh

Direktorat Jenderal Pajak kiranya dapat menginspirasi DJBC. Setelah melalui proses

persidangan dan vonis di tingat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, pada

akhirnya Mahkamah Agung memutuskan bahwa Asian Agri bersalah telah melakukan

penggelapan pajak. Dalam petikan putusannya, MA menyatakan bahwa terdakwa

Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak (bekas Manajer Pajak Asian Agri) terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yaitu menyampaikan

Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap

secara berlanjut.

Penegakan hukum adalah amanat Undang-Undang yang bertujuan untuk

menjamin dipenuhinya hak-hak negara sekaligus sebagai shock therapy agar wajib

pajak (importir) lebih patuh dan mentaati ketentuan yang berlaku. Penegakan hukum

juga penting untuk internal Bea dan Cukai sebagai peneguh fungsi DJBC sebagai

penghimpun keuangan negara (revenue collector) dan pelindung masyarakat

(community protector).

Simpulan

1. Nilai pabean yang digunakan untuk menghitung bea masuk pada prinsipnya

menggunakan nilai transaksi barang yang diimpor. Tujuan utama digunakannya

nilai transaksi adalah agar tidak ada penetapan pejabat pabean yang bersifat

sewenang-wenang, sekaligus untuk mencegah adanya peberitahuan nilai pabean

oleh importir yang bersifat fiktif (under invoicing).

2. Penetapan nilai pabean oleh pejabat telah menimbulkan permasalahan yang

serius berupa banding di Pengadilan Pajak yang jumlahnya sangat signfikan dan

menguras banyak sumber daya, sementara putusan atas banding yang diajukan

ke Pengadilan Pajak sebagian besar dikabulkan oleh Majelis Hakim.

16

3. Perlu langkah-langkah komprehensif agar permasalahan nilai pabean dapat

diminimalisir, dengan cara melakukan penyempurnaan aturan pelaksanaan nilai

pabean, memperkuat struktur organisasi untuk mendukung pelaksanaan tugas

pejabat pemeriksa dokumen, dan melakukan penegakan hukum atas kegiatan

terkait nilai pabean yang termasuk tindak pidana kepabeanan.

Sumber :

1. Undang-Undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Departemen Keuangan

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk

Penghitungan Bea Masuk

5. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 40/BC/2010 tentang Database Nilai

Pabean

6. Agreement on Implementation of Article VII of GATT

7. Presiden Minta Dirjen Bea Cukai Tingkatkan, Senin, 6 November 2006, 14:45:29 WIB

Kinerjanya, http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/11/06/1212.html diakses

tanggal 28 Desember 2012