Mengukur APBN Inklusif - kemenkeu.go.idkemenkeu.go.id/sites/default/files/mengukur apbn...

2

Click here to load reader

Transcript of Mengukur APBN Inklusif - kemenkeu.go.idkemenkeu.go.id/sites/default/files/mengukur apbn...

Page 1: Mengukur APBN Inklusif - kemenkeu.go.idkemenkeu.go.id/sites/default/files/mengukur apbn inklusif.pdf · untuk Indonesia, kendati dampak negatif krisis keuangan ... Direktur ILO di

Mengukur APBN Yang Inklusif Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Dalam laporan terbaru ILO (International Labour Organization/Organisasi Perburuhan Internasional) untuk Indonesia, kendati dampak negatif krisis keuangan global dirasakan hampir di seluruh negara, Indonesia berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang positif dalam beberapa tahun terakhir. Target pertumbuhan ekonomi 6% setiap tahunnya pun diyakini akan mampu dicapai. Permasalahannya, pertumbuhan tersebut ternyata tidak mampu menjawab berbagai tantangan pasar tenaga kerja yang ada. Laporan tren ketenagakerjaan dan sosial di Indonesia tersebut juga menegaskan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia memiliki potensi-potensi yang belum tergali untuk menghasilkan lapangan kerja yang produktif. Tingkat pengangguran telah menurun namun indikator-indikator pasar tenaga kerja lainnya justru memperlihatkan tren yang berbeda dari kinerja pasar tenaga kerja Indonesia. Kualitas lapangan kerja yang tersedia masih tertinggal dibandingkan pertumbuhan jumlah lapangan kerja. Meski terjadi perluasan ekonomi dan kerja, kondisi lapangan kerja informal yang dikenal sebagai pekerjaan dengan produktivitas dan pendapatan yang rendah serta kegiatan kerja yang tidak aman, belum mengalami perubahan. Kesempatan kerja bagi kaum muda (usia 15-24) pun masih belum berkembang sejak awal 1990-an. Artinya, pasar tenaga kerja Indonesia tidak pernah sepenuhnya pulih dari dampak krisis keuangan Asia 1997/98. Direktur ILO di Indonesia memberikan pendapat bahwa dalam banyak hal, Indonesia lebih mampu mengatasi krisis keuangan global dibandingkan banyak negara lainnya dan prospek ekonomi di tahun-tahun mendatang pun terbilang cerah. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia dapat menangkap peluang ini dan mendorong keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Masih menurut laporan ini, Indonesia telah kehilangan daya saing dalam industri padat karya sementara pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan telah digeser oleh sektor jasa yang membutuhkan keterampilan yang relatif tinggi. Kesenjangan upah antara lulusan universitas dengan lulusan pendidikan menengah atau dasar semakin melebar, mencerminkan adanya ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan keterampilan ini. Kondisi ini tentu menjadi sangat menarik untuk dicermati. Terlebih, saat ini Indonesia sedang menghadapi periode transisi kepemerintahan yang baru. Periode 2014-2019 ini juga menjadi periode tahap ke-2 (2015-2019) dari perencanaan jangka panjang, dengan visi memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangunan kemampuan IPTEK sekaligus memperkuat daya saing perekonomian. Dari sisi eksternal, selain perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut, mulai diberlakukannya pasar bebas ASEAN tahun 2015 pun makin menguatkan tantangan tersebut. Mengukur pertumbuhan inklusif Hasil laporan ILO patut menjadi perhatian bersama dikarenakan adanya komitmen dari komunitas global perlunya menjalankan sistem 'pembangunan yang inklusif' agar dunia berhasil dalam mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan global. Fenomena kemiskinan dan ketidakadilan global ditunjukkan dengan adanya 20% populasi dunia yang mampu menikmati lebih dari 70% pendapatan dunia, atau dengan kata lain sebanyak 80% populasi dunia hanya mampu menikmati kurang dari 30% pendapatan dunia. Pembangunan inklusif dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan global karena pembangunan inklusif adalah pembangunan yang berkualitas, memperhitungkan pertumbuhan (pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan memperhatikan lingkungan (pro-environment). Menurut United Nations Development Program (UNDP), pembangunan inklusif ini menjadi anti-tesis dari model pembangunan eksklusif yang hanya memperhitungkan aspek pertumbuhan tetapi kurang

Page 2: Mengukur APBN Inklusif - kemenkeu.go.idkemenkeu.go.id/sites/default/files/mengukur apbn inklusif.pdf · untuk Indonesia, kendati dampak negatif krisis keuangan ... Direktur ILO di

memperhitungkan penyerapan tenaga kerja, pengurangan kemiskinan dan lingkungan sehingga terkadang terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, serta lingkungan yang rusak sebagai akibat proses pembangunan. Berdasarkan draft teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir tingkat pengangguran terus menurun. Namun diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas agar mampu menyediakan lapangan kerja yang lebih besar. Adanya penurunan laju penciptaan lapangan kerja di tahun 2011-2013 dibandingkan periode 2007-2010, penurunan jumlah pekerja secara nasional meskipun relatif kecil (10.000 pekerja) yang berimplikasi kepada tingkat pengangguran meningkat, sekiranya menjadi lampu kuning yang juga harus dicermati. Secara wilayah, tingkat kemiskinan masih relatif besar di kawasan Indonesia Timur, khususnya di Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Namun jumlah penduduk miskin terbesar tetap didominasi oleh Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tak lepas dari jumlah populasi ke-3 provinsi tersebut yang tercatat sebagai yang terbesar di Indonesia. Kebijakan pengelolaan populasi yang lebih bijaksana diharapkan mampu mengubah citra tersebut dalam beberapa tahun ke depan. Angka ketimpangan pendapatan antardaerah yang diwakili gini rasio di tahun 2012, secara umum sudah menunjukkan perbaikan di beberapa provinsi, meskipun secara nasional masih menunjukkan angka yang cukup tinggi. Secara nasional, gini rasio di tahun 2012 mencapai 0,41, stagnan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Persoalan serius justru muncul dari tingkat kesenjangan yang terjadi antarwilayah itu sendiri. Di wilayah Sumatera, share PDRB terhadap 33 provinsi mencapai 23,77%, tingkat pertumbuhan ekonomi 8,21%, PDRB/kapita mencapai Rp30,53 juta, tingkat kemiskinan sebesar 12,07% dan tingkat pengangguran 5,66%. Wilayah Kalimantan, share PDRB terhadap 33 provinsi mencapai 9,30%, tingkat pertumbuhan ekonomi 4,83%, PDRB/kapita Rp43,70 juta, tingkat kemiskinan 6,69% dan tingkat pengangguran 5,30%. Wilayah Sulawesi, share PDRB mencapai 4,74%, pertumbuhan ekonomi 8,67%, PDRB/kapita Rp17,86 juta, tingkat kemiskinan 13,99% dan tingkat pengangguran 5,23%. Wilayah Papua, share PDRB 1,79%, pertumbuhan ekonomi 6,38%, PDRB/kapita Rp30,43 juta, tingkat kemiskinan 30,50% serta tingkat pengangguran 3,97%. Wilayah Maluku, share PDRB 0,27%, tingkat pertumbuhan ekonomi 7,33%, PDRB/kapita Rp6,80 juta, tingkat kemiskinan 16,42% dan tingkat pengangguran 6,37%. Wilayah Nusa Tenggara, share PDRB 1,26%, pertumbuhan ekonomi 1,54%, PDRB/kapita Rp8,97 juta, tingkat kemiskinan 19,79% dan tingkat pengangguran 4,06%. Wilayah Jawa-Bali, share PDRB 58,87%, pertumbuhan ekonomi 6,58%, PDRB/kapita Rp27,61 juta, tingkat kemiskinan 11,36% dan tingkat pengangguran 6,65%. Stigma ketidakmampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menciptakan pertumbuhan yang inklusif, awalnya disebabkan masih tingginya beban belanja subsidi, khususnya subsidi energi. Hingga tahun 2008 saja, subsidi BBM ini sudah mencapai Rp139,1 triliun sementara subsidi listrik Rp83,9 triliun. APBN-P 2012 menyepakati subsidi energi Rp202,4 triliun, dengan alokasi subsidi BBM Rp137,4 triliun dan subsidi listrik Rp65,0 triliun, begitu pula dalam APBN-P 2013 besaran subsidi energi Rp299,8 triliun serta Rp282,1 triliun di tahun 2014 ini. Untungnya, beban tersebut perlahan sudah mulai terurai. Keberhasilan reformasi subsidi BBM harus betul-betul dijadikan momentum untuk menciptakan ”pertumbuhan yang inklusif” ke depannya. Jika tidak sekarang, kapan lagi? *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja