Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik dan … · 2020. 4. 27. · maiiusia,...

16
Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik dan Hukum Internasional Bhatara Ibnu Reza* Enforced disappearance or involuntary disappearance is a method used by the authority of state to vanish the unwanted actors in society by doing some act like arresting without justifiable -warrant or even kidnapping. The main factor of this act is the implementation of national security doctrine based on political consideration. This illegal act is not just against human rights, furthermore it makes the existence human being as a person vanish, as a result, law does not be able to provide protection guarantee. This existing illegal acts done by some government toward their inferiors are the reason why international law provides protection to society by declaring the enforced disappearance as a serious crime against fundamental rights in some international instrument such as Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance and Inter-American Convention on Forced Disappearance, Since 1999, United Nations Commission in Human Rights has produced Draft International Convention on the Protection of All Persons from Forced Disappearance. This article addresses those issue with the picture of cases happened in Indonesia. Pendahuluan Penghilangan paksa (enforced disappearance) atau penghilangan tidak dengan sukarela (involuntary disappearence) adalah metode yang digunakan oleh kekuatan untuk melmnpuhkan * Penulis dilahirkan di Paleinbang tahun 1975. Setelah inendapatkan gelar sarjana hukuni dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti (USAKTI), penulis melanjutkan studinya ke Program Pascasarjana di Program Hubungan Intemasionai. Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Ul (FISIP UI). Penulis banyak menyuinbangkan pemikirannya niengenai hak asasi manusia berbagai media, seperti radio dan internet Saat ini penulis merupakan peneliti pada 'the Indonesian Human Rights Monitor' (IMPARSIAL) Jakarta. Volume I Nomor 4 Juli 2004 769

Transcript of Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik dan … · 2020. 4. 27. · maiiusia,...

  • Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik

    Menguak Penghilangan Paksa:Suatu Tinjauan

    dari Segi Politik dan Hukum Internasional

    Bhatara Ibnu Reza*

    Enforced disappearance or involuntary disappearance is amethod used by the authority of state to vanish the unwantedactors in society by doing some act like arresting withoutjustifiable -warrant or even kidnapping. The main factor of thisact is the implementation of national security doctrine basedon political consideration. This illegal act is not just againsthuman rights, furthermore it makes the existence human beingas a person vanish, as a result, law does not be able to provideprotection guarantee. This existing illegal acts done by somegovernment toward their inferiors are the reason whyinternational law provides protection to society by declaringthe enforced disappearance as a serious crime againstfundamental rights in some international instrument such asDeclaration on the Protection of All Persons from EnforcedDisappearance and Inter-American Convention on ForcedDisappearance, Since 1999, United Nations Commission inHuman Rights has produced Draft International Convention onthe Protection of All Persons from Forced Disappearance. Thisarticle addresses those issue with the picture of caseshappened in Indonesia.

    Pendahuluan

    Penghilangan paksa (enforced disappearance) ataupenghilangan tidak dengan sukarela (involuntary disappearence)adalah metode yang digunakan oleh kekuatan untuk melmnpuhkan

    * Penulis dilahirkan di Paleinbang tahun 1975. Setelah inendapatkan gelarsarjana hukuni dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti (USAKTI), penulismelanjutkan studinya ke Program Pascasarjana di Program HubunganIntemasionai. Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Ul (FISIP UI). Penulisbanyak menyuinbangkan pemikirannya niengenai hak asasi manusia berbagaimedia, seperti radio dan internet Saat ini penulis merupakan peneliti pada 'theIndonesian Human Rights Monitor' (IMPARSIAL) Jakarta.

    Volume I Nomor 4 Juli 2004 769

  • jurnaiHuhim Intemasional

    perlawanan. Korban penghilangan paksa dapat saja terlebih dahuluditangkap, ditahan atau diculik. Karena sifatnya itulah, hukuminternasional mengkategorikannya sebagai kejahatan terhadapkemanusiaan (crimes against humanity) dan pelakunya merupakanmusuh umat manusia (kostis humani generis).

    Kejahatan ini tidak saja membuat manusia tercerabut dankebebasannya namun juga menghilangkan eksistensi dirinyasebagai persona. Yang terjadi kemudian, persona yang seharusnyaadalah subyek hukum menjadi tidak ada dan hukum tidak dapatmenjamin sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, hukum puntidak menjangkau korban penghilangan paksa. Selain itu, korbanpenghilangan paksa seringkali menghadapi penderitaan yang amatsangat inengingat dalam kasus-kasus yang telah terbongkar, merekainenjalani penyiksaan baik fisik niaupun mental.1

    Penyangkalan para pelaku akan keberadaan atau nasib parakorban yang mereka hilangkan menambah bobot kekejanianpenghilangan paksa. Keberadaan korban menjadi signifikan untukineagungkap kejahatan ini sekaligus jalan untuk menghukum parapelaku.

    Penghilangan paksa (enforced disappearence) ataupenghilangan tidak dengan sukarela (involuntary disappearence)pertama kali menjadi perhatiaa dunia ketika dibentuk KomisiPenyelidikan untuk Orang Hilang Sejak 25 Januari 1971(Commission of Inquiry into Disappearence since 25 January 1971)di Uganda oleh Idi Amin pada Juni 1974.2

    Namun yang dinilai paling sukses mempengaruhi dunia adalahKomisi Nasional Penghilangan Paksa (Commision National parala Desaparacion de Personas) dengan laporannya yang berjudulNunca Mas (Jangan Terulang Lagi). Dunia tidak akan pernah lupa

    'iKOHl Bersama KontraS, Penghilangan Orang Dengan Paksa atau TidakDengan Sjtkarela, (Jakarta: IKOHl, 2004). hal. 10.

    2 Priscilla B. Hayner, Limabelas Komisi Kebenaran 1974-1994: SebuahStudiPerbandmgan, (Jakarta: YLBHI, 1999). hal. 17.

    770 Indonesian Journal of International Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Sualu Tinjauan dari Segi Politik

    dengan apa yang dilakukan para ibu dari korban penghiianganpaksa yang tergabung dalam Madres de Plaza de Mayo sebagaimotor penggerak dalam pengungkapan orang hilang selama rezimrailiter berkuasa di Argentina.

    Aksi darnai mereka sangat terkenal diseluruh dunia, yaitudengan cara nielakukan demonstrasi damai dengan niembentangkansehelai kain bertuliskan nama keluarga mereka yang hilang disebuah tempat bernarna Plaza de Mayo di jantung kota BuenosAires, berhadapan dengan Casa Rosada, Istana Presiden, pada 28Juli 1982.

    Mendapatkan perhatian masyarakat internasional, pada SidangUmum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 20 Desember 1978,PBB mengeluarkan Resolusi 33/173 tentang Penghilangan Paksa.Resolusi merupakan bentuk keprihatinan dunia terhadap kasuspenghilangan paksa. Dan resolusi Majelis Urnum tersebut jugaraerninta Komisi Hak Asasi Manusia (UN Commission of HumanRights) PBB untuk rnempertirnbangkan rnasalah ini danmemberikan rekomendasi-rekoniendasi yang layak.3

    Pada 29 Februari 1980, Komisi HAM PBB mengeluarkanResolusi 20 (XXXVI) yang meinutuskan untuk niendirikanKelornpok Kerja untuk Penghilangan Paksa atau PenghilanganTidak Sukarela yang bertujuan untuk memeriksa masalah-inasalahyang relevan dengan dengan penghilangan paksa atau tidaksukarela.4

    Tulisan ini mencoba menelisik penghilangan paksa dari duasisi. Pertama, latar belakang belakang politik dari praktekpenghilangan paksa serta tujuan yang hendak dicapai dari praktekpenghilangan paksa. Kedua, penghilangan paksa dalam hukuminternasional. Selain instrumen interasional yang mengaturkejahatan ini, sejauh mana hukum internasional dapat rnenjangkaukejahatan penghilangan paksa sebagaimana termaktub dalam Draft

    3 KCOffl, qp.GV. hal. 13.4Ibid.ha\. 13.

    Volume I Nomor 4 Mi 2004 771

  • Jitrnal ffakum Internasional

    International Convention on the Protection of All Persons fromForced Disapperance.

    Watak Politik Dibalik Praktek Penghilangan Paksa

    Faktor utama yang inelatarbelakangi praktek penghilanganpaksa adaiah penerapan doktrin keamanaa nasional (nationalsecurity doctrine)? Doktrin iai dikembangkan oleh AS dan Perancisdi era 1950-an dan 1960-an untuk digunakan sebagaicounterinsitrgency yang kemudian praktiknya dilakukan oleh rejimmiliter di Amerika Selatan6 sehingga doktrin tersebut sangat kentaldengan pengaruh perang dingin saat itu.

    Selama kurun waktu perang dingin, hampir sernua rejim militerdi Amerika Selatan mempraktekkan penghilangan paksa. Salahsatunya adaiah rejini militer Argentina menggunakan doktrin ini,dimana dintezpretasikan negara berada dalam keadaan bahaya olehkonspirasi internasional yang bersumber pada kornunisineinternasional. Rejini militer kemudian mengkampanyekaa apa yangdisebutnya sebagai "ancaman subversif'. Ancaman subversiftersebut berakar dari marxisme, zionisme dan gerakanfreemasonry? Dari tiga hal tersebut kemudian memiliki cabang-cabang tersendiri yang memunculkan aktivis gerakan hak asasimaiiusia, partai sosialis, liberal deniokrat dan lain sebagainya.

    Berbeda dengan Argentina, masih menggunakan doktrin yangsama, Philipina dibawah Marcos dengan alasan ancamanpemberontakan komunis, mengumumkan keadaan darurat pada 2!September 1972. Dia juga mengganti konsitusi yang menjadikannyatetap berada dalam tampuk kekuasaan.8

    5 Jack Donnelly, International Human Rights: Second Edition, (Colorado:Westview Press, 2003). hal. 40.

    6 /« hal. 40.7 /« hal. 41.B History of Philipine, http://www.wellesley.edu/Activities/honiepage/

    filipina/philippines/bistorv/ history .html , (diakses, 17 April 2004).

    772 Indonesian Journal of/nternationat Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dariSegi Potitik

    Sesaat setelah penguniuan keadaan darurat, agen-agen peraerintahbeserta kelompok-keloinpok bersenjata (proxy army) tidak sajanielakukan penghilangan paksa tetapi juga penyiksaan,penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest) dan pembunuhanterhadap siapa saja yang dicurigai sebagai anggota pernberontakkomunis New People's Army (NPA) atau memiliki hubnngandengan mereka,

    Berakhirnya perang dingin tidak juga mengubah wajah doktrinkeamanan nasional. Keamanan nasional yang semula berupa sebuahsistem politik birokratik yang besar, dalam hal ini negara, kemudiandicitrakan dengan kewibawaan dan eksistensi dari pribadi kepalanegara. Penggunaan jargon Jama seperti komunis pada setiapgerakan pro-demokrasi masih didengung-dengungkan olehpenguasa

    Di Indonesia, Jenderal Soeharto setelah berhasil rnendudukitampuk kekuasaan di tahun 1966 melakukan penumpasan anggotapartai Koinunis Indonesia dengan membantai ratusan ribu manusiayang kemudian tercatat sebagai pembantaian terbesar abad 20.10Praktek penghilangan paksa di Indonesia dilakukan di beberapadaerah rawan konflik seperti Papua dan Aceh. Tidak hanya ituperistiwa berdarah seperti Tanjung Priok (1985) dan LampungBerdarah (1989) juga tak luput dari penghilangan paksa. Namunsetelah perang dingin berakhir, sasaran penghilangan paksa adalahpara aktivis politik yang niengambil posisi terhadap Soeharto danaktivis mahasiswa serta gerakan hak asasi nianusia.

    9 Daisy Yalerio, "Involuntary Disappearence in the Philipines and People'sResponse to This Cruel Phenomenon", dalam Asian Federation AgainstInvoluntary Disappearances (AFAD), Between Memory and Impunity: AConference of Asian and Latin American Lawyers, Jakarta, November 27-December 2,2000, (the Philipines, 2001). hal. 43.

    10 Robert Crib, Pembantaian PK1 di Jawa dan Bali 1965-1966, [IndonesianKitting of 1965-1966 Studies from Java and Bali\n oleh Eriika S.Alkhattab dan Narulita RusH, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hal. 1.

    Volume I Nomor 4 Juli 2004 773

  • Jurnal Hukum Internasional

    Doktrin keamanan nasional kenibali rnenguat pasca tragedi 11September 2001 yang rnengubah seluruh kebijakan negara-negaradunia dengan mulai turut serta dalarn kampanye melawan terorisrneyang dimotori AS. Kampanye tersebut sekaligus rnenenggelamkanisu utama dunia saat itu yaitu penegakan hukum (to promotejustice} dan penghormatan hak asasi manusia (to respect humanrights).

    Perubahan tersebut berdampak pula pada pola hubunganinternasional yang mengacu pada paradigma reatisme dirnananegara (state) sebagai aktor rasional dalarn hubungan internasionaldan isu keamanan (security) adalah agenda utama dalarn hubunganinternasional. Isu terorirne menjadi point of return terhadap sikapotoritarianisme negara.

    Praktek penghilangan paksa dengan tindakan sepertipenangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), penculikan(abduction) terhadap orang yang diduga pelaku tindak terorisrnemerupakan pengabaian terhadap hak-hak yang tidak dapat ditundapenerapannya (non-derogable rights), khususnya hak untukmendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum (right to betreated equal before the law). Narnun kemudian tindakan-tindakanmenjadi sah karena diakomodasi oleh undang-undang draconiantersebut. Pasca 911, berbagai negara di dunia khususnya negara-negara otoriter rnemanfaatkan isu terorisrne untuk memperkuatposisi mereka dengan melibas habis gerakan-gerakan masyarakatpro-demokrasi.

    Amnesty International (AI), sebuah NGO terkemuka yangbergerak dalarn bidang HAM ditingkat internasional telahrnenyusun daftar negara-negara yang eenderung mengembalikankekuatan terhadap peran negara dengan rnengeluarkan produkundang-undang anti-terorisme sejak agenda -war against terrorismyang dicanangkan oleh AS.n

    "Amnesty International telah nielakukan penelitian, sejak 911 tragedy,negara-negara dari A-Z telah inenyusun undaag-undang anti teror yang bersifatmengancani civil liberties dan mengabaikan hak-hak sipil dalam proses yudisial.

    774 Indonesian Journal of international Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjaitan dari Segi Politik

    Australia telah menyusun sebuah undang-undang antiterorisnie oieh Parlemen Federal Australia. Saat proses penyusunanundang-undang tersebut, di dalarn drafi-nya, undang-undang inirnengijinkan jaksa agung untuk melarang kelompok tertentu(certain groups) dan mengurangi hak mereka sebagai tersangkaselama penahanan. Setelah tragedi 911 di AS, Australia secepatnaungkin menerapkan peraturan tentang pemberian suaka secarategas.

    Di Belarusia, negara pecahan Uni Sovyet, telah menyusunundang-undang yang rnemperboiehkan penggeledahan rumah-rumah dan kantor-kantor tanpa pemberitahuan kepada otoritashukum terlebih dahulu. Selain itu, undang-uadang ini niengijinkankepaia operasi anti-teroris untuk mengatur aktivitas media persdalarn operasinya.

    {Canada telah pula inenerbitkan Bill C-36 atau Anti-TerrorismAct, banyak mendapatkanni kritik dari masyarakat sipil di Kanada.Seiain Bill C-36, Pada 29 April 2002, Canada juga menerbitkan C-17 tentang undang-undang keselamatan publik atau Public SafelyAct. Undang-undang memberikan wewenang bagi militer untukmenyatakan suatu daerah menjadi pengawasannya, menempatkanperalatan militer dan sem.ua otoritas sipil hams tunduk kepadakewenangan tersebut.

    Di Denmark, rancangan ainandemen hukum pidana Denmark,pengacara dan penasehat hukum dari tersangka teoris dapatdisangkakan bagian dari teroris. Rancangan undang-undang bagiAliens Act mengijinkan penolakan terhadap ijin tinggal yangdidasari tak hanya keamanan nasional tetapi juga ketertiban umum,kesehatan dan keamanan.

    India memiliki The March Prevention of Terrorism Act yangmengijinkan polisi untuk menahan tersangka selania tiga bulan

    Libat, Amnesty International, "Charting the War on Terrorism",www. amnestyttsa. orgfamnestynaw/warjerrorism. html.

    Volume I Nomor 4 Juli 2004 775

  • Jurnal ffukttm Internasional

    tanpa tuntutan/tuduhan apapun dan dapat ditambah tiga bulan lagiatas persetujuan pengadilan khusus. Undang-undang inibertentangan dengan the Indian Evidence Act yaitu denganpengakuan dihadapan polisi berlaku pula dalam pengadilan.Undang-undang anti-terorisme juga meniberikan ancarnan pidanaterhadap para jurnalis yang bertugas atau pekerjaan profesionallainnya yang mengadakan pertemuan dengan anggota dari"organisasi teroris", untuk keperluan apapun.

    Di Zimbabwe, Presiden Robert Mugabe selarna kerapanyepemilu tahun lalu mencap lawan politiknya sebagai "teroris" seiringterjadinya bentrokan antara pendukungnya dengan pendukungpihak oposisi. Zimbabwe juga menerbitkan The January PublicOrder Security Act yang mengijinkan polisi membubarkandemonstrasi serta menganggap kritik terhadap kepolisian, angkatanbersenjata dan presiden sebagai tindak kriminal. Sebuah undang-undang bernarna Access to Information and Protection of PrivacyAct mernperbolehkan pemerintah untuk inembredel surat kabar danmengancam para jurnalis dengan hukuman penjara terhadap artikel-artikel yang memposisikan pemerintah secara negatif.

    Sedangkan AS pasca tragedi 911, pada Oktober 2001,menyusun sebuah instrumen yang disebutnya sebagai Uniting andStrengthening America by Providing Appropriate Tools required toIntercept and Obstruct Terorrism atau USA PATRIOT ACT 2001yang memperbolehkan penahanan tanpa alasan yaag jelaskhususnya bagi non-warga negara AS jika pihak jaksa agung telah"meniiliki bukti-bukti kuat".

    PenghHangan Paksa dalam Hukum Interaasional

    a. Dasar Hukum

    Pada awalnya, penghilangan paksa belum secara tegas diaturdalam hukum internasional. Namun dernikian dapat dilihat dari hak-hak yang dilanggar. Sedemikian dahsyatnya kejahatan banyakrnelanggar hak asasi manusia yang termasuk dalam hak-hak yangtidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable

    776 Indonesian Journal of International Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Sualtt Tinjauan dari Segi Potitik

    rights).

    Mulai dari kehilangan hak kebebasan (right to liberty andsecurity of person), hak untuk tidak disiksa (right not to besubjected to torture and other cruel, inhuman or degradingtreatment or punishment, hak untuk hidup (rights to life), hak untukmendapatkan perlindungan hukuin (right to security of the person)serta hak diperlakukan sama dihadapan hukum (right to be treatedequal before the law). Sebagaimana Universal Declaration ofHuman Rights, menyatakan:

    "Everyone has the right to life, liberty and security of person."

    Sedangkan dalam Pasal 6 (1) International Covenant on Civiland Political Rights (ICCPR), secara jelas menyebutkan :

    "Every human being has the inherent right to life. This right shall beprotected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life,"

    Dikuatkan dengan Pasal 9 ICCPR yang menyatakan :

    "/. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shallbe subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprivedof his liberty except on such grounds and in accordance with suchprocedure as are established by law.

    2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of thereasons for his arrest and shall be promptly informed of any chargesagainst him.

    3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be broughtpromptly before a judge or other officer authorized by law to exercisejudicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time orto release. It shall not be the general rule that persons awaiting trialshall be detained in custody, but release may be subject to guaranteesto appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and,should occasion arise, for execution of the judgement.

    4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall beentitled to take proceedings before a court, in order that court maydecide without delay on the lawfulness of his detention and order hisrelease if the detention is not lawful.

    5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shallhave an enforceable right to compensation."

    12 Adopted and proclaimed by General Assembly Resolution 217 A (III) of10 December 1948

    Volume I Nomor 4 Mi 2004 777

  • Jarnal Hukum Internasional

    Pada tahun 1992 secara tegas hukuin internasional menyatakanpenghilangan paksa sebagai pelanggaran serius terbadap hak-hakiiindamental {fundamental rights) sebagai manusia. DalaniDeclaration on the Protection of All Persons from EnforcedDisappearence, penghilangan paksa dinyatakan sebagai "offence tohuman dignity*. Sementara dalam Inter-American Convention onForced Disapperence, penghilangan paksa dinyatakan sebagai, "agrave and abominable offence against the inherent dignity of thehuman being"14

    Majelis Uinum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga secara tegasniemandang penghilangan paksa sebagai :

    "Constitutes an offence to hitman dignity, a grave flagrant violations ofhuman rights and fundamental freedoms [...] and a violation of the rules ofinternatinal law"15

    Seiring dengan perkembangan hukum interoasional, penghilanganpaksa juga mendapatkan pengakuan oleh masyarakat inteniasionalsebagai kejahatan internasional dan dikategorikan sebagai kejahatanterhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam Pasal 7(1) huruf i Rome Statute of the International Criminal Court16inenyebutkan:

    "For the purpose of this Statute, "crime against humanity" means any of thefollowing acts when committed as part of a widespread or systematic attackdirected against any civilian population, with knowledge of the attack:...

    I3Pasai 1 Declaration on the Protection of All Persons from EnforcedDisappearence, A/Res/47/133,92nd Plenary Meeting, 18 December 1992.

    inter-American Convention on Forced Disappearence of Persons,Preamble, para.3.

    15 Resolusi 49/193 of the General Assembly, adopted 23 Desember 1994.Hal yang sama juga dapat dilihat dalam Resolusi Si/94 of 12 December 1996 dan53/150 of 9 December 1998. Lihat artikel Wilder Tayler,"Background to theElaboration of the Draft International Convention on the Protection of AllPersons from Forced Disapperance", dalam Jurnal International Commission ofJustice: The Review, "Impunity Crimes Against Humanity and ForcedDisappearance", No. 62-63 (September 2001).

    '6 Text of the Rome Statute circulated as document A/CONF/. 183/9 of 17July 1998 by proces-verbaux of 10 November 1999, 8 May 2000, 17 January2001 and 16 January 2002.

    778 Indonesian Journal of International Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik

    (i) "Enforced disappearance of persons" means the arrest, detention orabduction of persons by, or with the authorization, support oracquiescence of, a State or a political organization, followed by arefusal to acknowledge that deprivation of freedom or to giveinformation on the fate or whereabouts of those persons, with theintention of removing them from the protection of the law for aprolonged period of time."

    b. Draft International Convention on the Protection of AltPersons from Forced Disapperance

    Sejak 1999, sebagai langkah serius untuk memberantaspenghilangan paksa, Komisi Hak Asasi Manusia PerserikatanBangsa-Bangsa (PBB) telah menyusun sebuah draft konvensimengenai penghilangan paksa yang diberi nama "DraftInternational Convention on the Protection of All Persons fromForced Disapperance" (Selanjutnya disebut sebagai draftkonvensi).

    Sebelumaya draft ini telab di adopsi pada 1998 oleh Sub-Commission on Prevention of Discrimination and the Protection ofMinorities. Draft Koavensi ini terdiri dari tiga bab dan 39 pasal.Sekalipun masih bersifat rancangan Draft Konvensi ini merupakancerminan dari usaba komunitas internasional untuk memberantaspenghilangan paksa.

    Draft koavensi menyebutkan pengertian penghilangan paksasebagai:

    "For the purpose of this convention, forced disappearance is considered tobe the deprivation of a person's liberty, in whatever form or for -whateverreason, brought about by agents of the State lor by persons or groups ofperson acting with the authorization, support aquiesence of the State,followed by absence of information, or refusal to acknowledge thedeprivation of liberty or information, or concealment of the fate orwhereabouts of the disappeared person, "l?

    l7The draft international Convention on the Protection of All Persons fromForced Disapperance was adopted on 26 August 1998 by the Sub-Commission onPrevention of Discrimination and the Protection of Minorities, Resolusi 1998/25(UN Document E/CN.4/Sub.2/19, Annex, 19 August 1998).

    Volume I Nomor 4 Mi 2004 779

  • Jurnal Hitkum Internasional

    Bila diperhatikan, pengertian dari Draft Konvensi sangat jauhberbeda dengan pengertian yang dalam Statuta Roma Akan tetapiketentuan dalam Draft Konvensi sebenarnya tidak bertentangandengan ketentuan daiam Statuta Roma melainkan salirig melengkapiseperti ditegaskan dalam Pasal 1 (2):

    "This article is without prejudice to any international instrument or nationallegislation that does or may contains provisions of broader application,especially with regard to forced disappearences perpetrated by groups orindividuals other than those referred to at paragraph I of this article."

    Penyusunan draft konvensi sangat bias oleh pengalamanAmerika Selatan, karenanya ada beberapa hal yang spesiflk masihmenjadi perdebatan. Dalani hal pelaku, para aktivis dan korban dariAmerika Selatan sedikit keberatan dengan masuknya pelaku non-state actor. Konflik bersenjata internal antara pemerintah denganpemberontak seringkali menjadikan alasan negara untukrnenghindar bahwa penghilangan paksa dilakukan oleh pihak lawan.

    Bagainianapun juga, negara rnemiliki tanggungjawab utama(primary responsibility) dalam melindungi (to protect) warganegaranya dari penghilangan paksa. Sernentara dari segi peniberianhukuman dapat dijatuhkan kepada pelaku baik state actor maupunnon-state actor.

    Dalam Pasal 2 (1) draft konvensi, pelaku dikategorikan dalamtiga kelompok besar yaitu :

    a) Menganjurkan, inelakukan penghasutan atau menyarankandiiakukannya tindak penghilangan secara paksa;

    b) Konspirasi atau kolusi untuk melakukan tindakpenghilangan secara paksa;

    c) Percobaan untuk melakukan tindak penghilangan secarapaksa; dan

    d) Penyetnbunyian tindak penghilangan secara paksa.

    Pelaku pun tidak dapat berlindung dengan alasan perintahatasan (superior order) karena Pasal 9 draft konvensi telahmenyatakan secara tegas tidak satupun perintah atau instruksi daripejabat publik, sipil, militer atau lainnya dapat digunakan untukinenibenarkan penghilangan secara paksa. Setiap orang yaag

    780 Indonesian Journal of International Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Sualu Tinjauan dari Segi Politik

    menerima perintah atau instruksi seinacara itu meinpunya hak dankewajiban untuk tidak mematuhi dan negara menjamin untukrnenjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang memerintahkan,rnenganjurkan penghilangan paksa. Sungguhpun demikian, draftkonvensi melarang pengadilan untuk menjatuhkan hukuman matikepadapelaku.18

    Untuk kasus-kasus penghilangan paksa sebelurn berlakunyaDraft Konvensi karena ini berkaitan dengan asas legalitas dalamhukum pidana. Asas non-retroactive merupakan cardinal principledari hukum pidana. Dalam praktiknya, setiap konstitusi di berbagainegara deniokratis menolak menggeiar sebuah pengadilanberdasarkan pada kasus-kasus masa lampau (ex-post facto). DraftKonvensi tidak secara tegas menyebutkan permasalahan ini tetapipada Pasal 5 (1) Draft Konvensi menyatakan:

    "...This offence is continous and permanent as long as the fateor -whereabouts of disappeared person have not beendetermined with certainty."

    Pasal 10 (1) Draft Konvensi menegaskan, pelaku dan partisipanlainnya yang diduga terlibat kejahatan penghilangan paksa hanyadiadili oieh pengadilan umuin yang berwenang dalam setiap negara,dan bukan oleh pengadilan-pengadilan dengan yurisdiksi khususlainnya terutama pengadilan militer. Kekebalan, keistimewaan sertaperlakuan khusus lainnya yang dimiliki pelaku karena jabataanyajuga tidak diakui selama persidangan berlangsung terutamaberkenaan dengan Konvensi Wina 1961 tentang HubunganDiplomatik.

    Tidak ada pembatasan menurut undang-undang (no statutorylimitation) dalam rnemberlakukan proses pidana dan sanksi apapunyang muncul dari penghilangan secara paksa ketika penghilangan

    18 Masyarakat intemasional telah bersepakat untuk menghapuskan hukumanmatt dalain hukum nasional mereka karena bertentangan dengan hak untuk hidup(right to life) yang termasuk da!am non-derogabie rights. Terlihat dengandiadopsinya Second Optional Protocol oflCCPR (1990) Aiming of The Abolitionof Death Penalty,

    Volume I Nomor 4 Juli 2004 78

  • Jurnal Hufatm Internasional

    secara paksa merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. PBBjauh-jauh hari telah rnengantisipasi, bila negara melindungi pelakudengan inenggunakan peraturan perundang-undangan nasonaldengan mengadopsi sebuah konvensi beraama UN Convention onthe Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes andCrimes Against Humanity pada tahun 1968. Begitupula Pasal 29Statuta Roma juga rnengatur hal yang sama yaitu, genosida,kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang tidak dapatdiberlakukan penibatasan oleh undang-undang nasional.

    Penghilangan paksa tidak dapat dipandang sebagai kejahatanpolitik. Oleh karena itu negara-negara di dunia tidak memberikanstatus diplomatik, suaka atau pengungsi kepada pelaku. Begitu puladengan ekstradisi. Justru negara-negara pihak harus mernasukanpenghilangan paksa dalam perjanjian ekstradisi sebagai kejahatanyang dapat diekstradisikan.

    Perihal yurisdiksi, Draft Konvensi mengakui berlakunyayurisdiksi universal yaitu kewenangan negara mengadiliberdasarkan instrunien hukum internasional yang mengatur tentangkejahatan internasional, dirnana negara tersebut menjadi pihak, atauketentuan.hukum interaasional yang telah diakui sebagai jus cogensatau posisi tertinggi dalam hirarki nonna dan prinsip hukuininternasional yang bersifat tetap (peremptory) dan tak dapatdikurangi (non-derogable).™ Selain itu Draft Konvensi tidakmeniadakan yurisdiksi yang diberlakukan oleh MahkamahKejahatan Internasional.

    Mengenai korban, Pasal 24 (3) Draft Konvensi rnenyatakan :

    "For the purpose of this Convention, the term " victim of the offence offoreced disappearence" means the disappeared person, his or herrelatives, any dependant -who has direct relationship with her or him, andanyone who has suffered harm through intervening in order to prevent theforced disappearence or to shed light on the whereabouts of thedisappearedperson."

    19 M. Cherif Bassiouni, "International Crimes: Jus Cogens and QbligatioErga Omnes", Law and Contemporary Problems, Vol. 59. No. 4. (Autumn1996), hal. 67.

    782 Indonesian Journal of International Law

  • Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik

    Hal ini juga masih dapat diperdebatkan khususnya dalampeneiusuran latar belakang konflik. Dalam beberapa konflikkhususnya konflik agraria, kadangkala korban tidak menjadi targetlangsung naniun keluarga dan komunitasnya. Hal itu dilakukansebagai bentuk teror terbadap selurub komunitas. Korban jugadijamin penienuhan hak-hak reparasinya yang niencakup restitusirehabilitasi, kompensasi.

    Draft Konvensi mengamanatkan untuk raenibentuk sebuahkomite yang bernania Committee against Forced Disappearence(selanjutnya disebut Komite) yang bekerja untuk nielakukanpenyelidikan terhadap kasus-kasus penghilangan paksa, Komite iniberanggotakan 10 orang ahli yang memiliki moral yang tinggi dandiakui keinampuannya di bidang HAM. Mereka bertugas dalamkapasitas pribadinya dan independen. Para anggota Komitememiliki masa dua tahun dan dapat dipilih kembali. Selain ituKomite berfungsi sebagai penerima pengaduan bila negara pesertaberpendapat negara peserta lain tidak rnelaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvesi.

    Komite dapat meminta kerjasama negara peserta yangdiindikasikan telah terjadi praktek penghilangan paksa yang bersifatsistematis dan naeluas. Untuk menjaga independensi, Komiteselarna bekerja tidak nielibatkan satupun warga negara dari negarapeserta untuk terlibat dalam investigasi selain penerjemah. Seiuruhbiaya kegiatan yang dilakukan oleh Komite ditanggung oleh PBB.

    Penutup

    Berangkat dari pemaparan di atas sampailah pada suatukesirnpulan bahwa watak politik rejirn otoriter niemungkinkanpenghilangan paksa sebagai pilihan untuk membungkam gerakan-gerakan oposisi ataupun gerakan-gerakan demokrasi. Dalamkonteks perang dingin, penerapan doktrin keamanan nasional justrudijadikan dasar oleh rejim otoriter untuk mempertahankankekuasaan.

    Volume 1 Nomor 4 Juli 2004 7g3

  • Jurnat Hitfcum Intemasional

    Saat ini dunia sedang inenghadapi permasalahan global dengankampanye perang rnelawan terorisme yang dimanfaatkan sebagianrejim anti-deraokrasi untuk melakukan konsolidasi rejim, dengankembali menggunakan doktrin keamanan nasional. Sungguhpundernikian, hal itu tidak menyurutkan langkah perjuangan paraaktivis dan keluarga korban untuk menegakan keadilan. Merekamemandangaya sebagai tantangan untuk terus bergerak dalanimelakukan advokasi pemberantasan praktek penghilangan orang.

    Beberapa organisasi internasional non-pemerintah yangmemfokuskan diri pada isu penghilangan paksa seperti FEDEFAM(Federation Latinamericana de Asociaciones de Familiries deDetenidos-Desaparecidos) di wilayah Amerika Selatan; AFAD(Asia Federation Against Involuntary Disappearences) di wilayahAsia serta RADIF (Reseau Africain contre les DisparitionsForcees) yang menibawahi wilayah Afrika, telah membentuksebuah rantal solidaritas yang kuat untuk mendorong DraftInternational Convention on the Protection of All Persons fromForced Disapperance menjadi sebuah konvensi.

    Konvensi tersebut nantinya dapat rnelengkapi ketentuan-ketentuan dalam Rome Statute of the International Criminal Courtyang saat ini telah diratifikasi/aksesi oleh 94 negara sehingga apayang kernudian disebut sebagai upaya untuk metnutus rantaiiinpunitas (cycle of impunity) akan menjadi keayataan.Sebagaimana tekad para aktivis HAM dan keluarga korbanpenghilangan paksa seluruh dunia yaitu, "Nunca Mas". Janganpernah lag? teror ini terulang dan jangan pernah lagi kejahatan yangmemperkosa hak-hak manusia terulang lagi.

    784 Indonesian Journal of International Law