MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi...

89
BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU Pada akhir tahun 1966 pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang mengatur penggantian nama orang Tionghoa. 1 Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat dan budaya Indonesia merupakan bagian dari program besar nation and character building Indonesia.Penggantian nama perlu dilakukan karena hal itu mendorong terjadinya asimilasi. Sepanjang dapat dicermati, Keppres ini sama sekali tidak mewajibkan atau memaksa orang Tionghoa melakukan perubahan nama. Namun bagi orang-orang Tionghoa di Jawa Timur, hal itu tidak berjalan demikian. Tidak lama sesudah itu, persisnya pada tanggal 1 Januari 1967, Jenderal Soemitro, selaku Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah ketentuan lebih lanjut yang mengatur kehidupan orang Tionghoa di wilayah ini. Berbeda dari Keppres tersebut dan dari peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah pusat, peraturan yang dikeluarkan oleh Peperalda dengan tegas melarang pemakaian nama, bahasa dan aksara Tionghoa di ruang publik. Enam bulan kemudian, Presidium Kabinet Ampera, cikal bakal pemerintahan Orde Baru, mengambil jalan yang sama kerasnya dengan menghapus pemakaian istilah “Tionghoa” dari penggunaan publik dan dari administrasi pemerintahan negara serta menggantinya dengan istilah “Cina.” Alasannya, karena istilah Tionghoa dipandang 1 Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 tentang Ganti Nama Orang Cina.

Transcript of MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi...

Page 1: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

BAB IV

MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI

PEMERINTAH ORDE BARU

Pada akhir tahun 1966 pemerintah mengeluarkan suatu

peraturan yang mengatur penggantian nama orang Tionghoa.1

Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa asimilasi orang-orang

Tionghoa ke dalam masyarakat dan budaya Indonesia merupakan

bagian dari program besar “nation and character building Indonesia.”

Penggantian nama perlu dilakukan karena hal itu mendorong

terjadinya asimilasi. Sepanjang dapat dicermati, Keppres ini sama

sekali tidak mewajibkan atau memaksa orang Tionghoa

melakukan perubahan nama. Namun bagi orang-orang Tionghoa

di Jawa Timur, hal itu tidak berjalan demikian. Tidak lama

sesudah itu, persisnya pada tanggal 1 Januari 1967, Jenderal

Soemitro, selaku Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah

(Pepelrada) Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah ketentuan lebih

lanjut yang mengatur kehidupan orang Tionghoa di wilayah ini.

Berbeda dari Keppres tersebut dan dari peraturan-peraturan lain

yang dikeluarkan pemerintah pusat, peraturan yang dikeluarkan

oleh Peperalda dengan tegas melarang pemakaian nama, bahasa

dan aksara Tionghoa di ruang publik. Enam bulan kemudian,

Presidium Kabinet Ampera, cikal bakal pemerintahan Orde Baru,

mengambil jalan yang sama kerasnya dengan menghapus

pemakaian istilah “Tionghoa” dari penggunaan publik dan dari

administrasi pemerintahan negara serta menggantinya dengan

istilah “Cina.” Alasannya, karena istilah Tionghoa dipandang

1 Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tanggal 27

Desember 1966 tentang Ganti Nama Orang Cina.

Page 2: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

134 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

“mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psykopolitis yang

negatif bagi rakyat Indonesia.”2

Bab ini akan menyajikan cara-cara yang dilakukan oleh

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam menghadapi

tekanan kebijakan asimilasi yang berhubungan dengan nama

Tionghoa, karakteristik kelompok, status kewarganegaraan,

ideologi negara Pancasila dan bahasa Tionghoa. Pada bagian

pertama akan diuraikan tindakan-tindakan yang menampilkan

kepatuhan kepada kebijakan tersebut sementara di bagian kedua

akan disajikan tindakan-tindakan yang menghasilkan efek yang

berlawanan dengan sasaran yang mau dicapai oleh kebijakan

asimilasi.

A. Langkah-langkah Menuju Kepada Asimilasi

1. Perubahan Nama dan Bentuk Gereja

Berbeda dari saudara-saudarinya yang peranakan di

Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (GKI Jatim), dengan

namanya, Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Klasis Jawa Timur, orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT mudah sekali diidentifikasi

sebagai asing, bukan Indonesia dan dapat dituduh tidak mau

mengintegrasikan diri ke dalam bangsa Indonesia. Bahkan dengan

nama Gereja Kristen Tionghoa sekalipun, yang sudah mulai dipakai

selama beberapa waktu terakhir, mereka masih tetap mudah

diidentifikasi sebagai lembaga keagamaan asing. Namun sampai

akhir tahun 1966, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT belum

mengambil keputusan apa-apa. Nama-nama pribadi dan lembaga

kelembagaannya belum mengalami perubahan apa-apa. Keluarnya

kebijakan Pepelrada Jatim akhirnya memaksa orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT untuk melakukan perubahan.

2 Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pres.Kab/6/1967,

tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina.

Page 3: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 135 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Awal perubahan dilakukan dalam Sidang Lengkap DGI

Ke VI tahun 1967 di Makassar. Setelah menanti kesediaan

THKTKH Klasis Jatim untuk bergabung dengan Sinode GKI

Jatim yang tidak kunjung muncul juga, sidang DGI akhirnya

memutuskan memisahkan keanggotaan Sinode GKI Jatim dari

THKTKH Klasis Jatim dalam DGI. Namun demikian, mengingat

situasi politik yang sudah berubah sejak tahun 1965 sidang DGI

juga meminta THKTKH Klasis Jatim agar mengganti namanya

dengan nama yang “sesuai dengan [keadaan] masa sekarang.”3

Tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan para pemimpin lain di

Jawa Timur, utusan-utusan THKTKH Klasis Jatim setuju

memberi nama baru untuk THKTKH Klasis Jatim.4 Dalam nama

baru itu tiga huruf G, K dan T tetap dipertahankan tetapi bukan

lagi untuk Gereja Kristen Tionghoa melainkan untuk Gereja Kristus

Tuhan. Nama itu dapat diterima. Pada tanggal 29 Oktober 1967,

dalam Sidang Lengkap DGI Ke VI di Makassar, GKT secara

resmi diterima sebagai anggota tersendiri di dalam tubuh DGI.

Nama baru ini kemudian dibawa ke dalam arena Rapat

Tahunan THKTKH Klasis Jatim tahun 1967. Rapat yang

diadakan di gedung gereja empat jemaat THKTKH di Surabaya,

pada tanggal 8-10 Januari 1968, hanya dihadiri oleh unsur-unsur

internal THKTKH Klasis Jatim saja. Tidak ada pihak-pihak luar

yang diundang. Sejumlah utusan rapat mempertanyakan langkah

yang diambil oleh utusan-utusan yang hadir dalam sidang lengkap

DGI karena merasa tidak memberi mandat untuk melakukan

perubahan nama gereja.5 Setelah melalui perdebatan sengit peserta

rapat akhirnya dapat menerima pilihan tersebut. Penerimaan ini

dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, karena Gereja Kristen

Tionghoa Klasis Jatim telah diterima “mendjadi anggota tersendiri

dalam D.G.I.” Kedua, karena Sidang Lengkap Ke VI DGI

meminta supaya mereka memakai nama yang “sesuai dengan

3 Ringkasan Akta Rapat Tahunan Gereja Kristen Tionghoa (THKTKH)

Klasis Jatim Tahun 1967, butir V. 4 Wawancara bp PP, Malang, 7 Agustus 2009. 5 Ibid.

Page 4: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

136 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

[keadaan] masa sekarang.” Dan, ketiga, karena nama itu sendiri

diambil dari Alkitab, yakni dari Lukas 2:11, dari kabar malaikat

kepada gembala mengenai kelahiran Kristus, Tuhan. Keputusan

ini didukung oleh 33 suara. Sisanya, 21 suara, menolak.6

Selain nama gereja, rapat yang sama juga menerima

usulan perubahan nama tiga jemaat GKT di Malang. Jemaat GKT

berbahasa Indonesia, yang dulunya berasal dari jemaat berbahasa

Kanton, kini disetujui menjadi Gereja Kristus Tuhan Jemaat I.

Jemaat GKT berbahasa Amoy kini menjadi Gereja Kristus Tuhan

Jemaat II. Dan Jemaat berbahasa Hokchiu-Kuoyu sekarang

berganti menjadi Gereja Kristus Tuhan Jemaat III.7

Tiga bulan kemudian pertemuan dilanjutkan dengan

Sidang Sinode I GKT, yang diselenggarakan pada tanggal 29

April-3 Mei 1968 di gedung Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes)

Murnajati, Lawang. Sidang dihadiri oleh 50 orang utusan dari 15

jemaat dan sejumlah undangan. Tercatat hadir lima orang wakil

Sinode GKI Jatim dan sejumlah pejabat sipil, militer dan DGI.

Dari pihak pemerintah hadir Dirjen Bimas Kristen Departemen

Agama R.I., M. Abednego, dan Kepala Petugas Urusan Kristen,

Jawatan Urusan Agama Provinsi Jawa Timur, Rasjid

Padmosudiro. Pihak militer diwakili oleh Pdt. Mayor M.G.

Simanjuntak, Kepala Rawatan Rohani Protestan Kodam

VIII/Brawijaya, Jawa Timur, sementara DGI diwakili oleh Pdt.

Dr. S.A.E. Nababan, Sekretaris Umum DGI.

Di antara keputusan-keputusannya adalah menerima

konsep Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga

(ART) Sinode GKT yang disusun oleh sebuah panitia yang

dibentuk oleh sidang terakhir THKTKH Klasis Jatim pada bulan

Januari yang lalu.8 Dalam AD yang baru, sifat organisasi berubah

6 Ringkasan Akta Rapat Tahunan Gereja Kristen Tionghoa (THKTKH)

Klasis Jatim Tahun 1967, Butir V. 7 Ibid. Butir VII. 8 Ibid., Butir IV. Panitianya terdiri atas Badan Pekerja Harian

Sinode ditambah dengan Pdt. Yio Pek Eng, Pdt. Tsang To Hang, John Chen,

Page 5: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 137 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

dari sistem federasi, di mana tiap-tiap jemaat hidup secara

otonom, menjadi kesatuan (sinodal). Jemaat-jemaat anggota

THKTKH Klasis yang selama ini independen dan sepenuhnya

mengatur urusan-urursannya sendiri kini dilebur menjadi satu

dalam sebuah gereja yang baru. Dengan konsep baru ini, jemaat-

jemaat hanyalah ekspresi-ekspresi lokal dari sebuah gereja

universal yang satu, Gereja Kristus Tuhan (GKT).9

Dengan nama, bentuk organisasi dan anggaran dasar atau

tata gereja yang baru, GKT kemudian didaftarkan kepada notaris

Oe Siang Djie pada tanggal 23 Juli 1967. Dalam akta notaris itu

kembali dijelaskan bahwa alasan perubahan nama itu adalah

karena “perubahan-perubahan dalam bidang sosial dan politik

didalam negeri, setelah Indonesia mentjapai kedaulatannja” dan

demi “menjesuaikan nama Geredja dengan keadaan pada saat

ini.”10 Akta notaris ini, bersama-sama dengan AD dan ART GKT,

kemudian disahkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan

Masyarakat (Bimas) Beragama Kristen, Departemen Agama R.I.,

pada 10 September 1968. Dalam pertimbangannya Dirjen melihat

bahwa “perubahan nama jang dimohon adalah sesuai dengan

perkembangan Geredja Tiong Hwa Ki Tok Kauw Khoe Hwee

Oost-Java atau Geredja Tiong Hwa Ki Tok Kauw Khoe Hwee

Djawa Timur serta perkembangan masjarakat Indonesia dewasa

ini.”11 Dengan ini, kepatuhan GKT kepada kebijakan baru yang

Liem Boen Pien, Liong Sing Ngien dan Pdt. Phoa Oen Kheng dan Pdt. Peterus Prasetija.

9 Lihat Laporan/Ringkasan Akta Sidang Lengkap Tahunan 1968 Synode

Geredja Kristus Tuhan. Tekanan kepada bentuk kesatuan itu diperlihatkan oleh

penggunaan istilah ‘kesatuan’ yang berulang dalam sejumlah keputusan. Mis.

dalam poin X.1, XI.2., XI.3, XI.7. 10 Akta Notaris Oe Siang Djie, SH., No. 59, tanggal 23 Juli 1968

tentang Perubahan Nama Tiong Hoa Ki Tok Kauw Khoe Hwee Oost-Java atau Gereja Kristem Tionghoa Klasis Djawa Timur menjadi Geredja Kristus

Tuhan. 11 Surat Keputusan Direktur Djenderal Bimbingan Masjarakat Beragama

Kristen No. 5 Tahun 1968 tentang Perubahan Nama Geredja Tiong Hwa Ki

Tok Kau Khoe Hwee Oost-Java (Geredja Kristen Tionghoa Klasis Djawa Timur) Mendjadi Geredja Kristus Tuhan.

Page 6: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

138 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

diambil negara atas orang-orang Tionghoa diakui dan mendapat

stempel pengesahan negara.

2. Mengubah Orientasi Pelayanan Kepada Masyarakat dan

Bangsa Indonesia

Salah satu maksud kebijakan asimilasi adalah untuk

mengubah orientasi orang-orang Tionghoa dari negeri leluhurnya

kepada negara Indonesia.12 Orang-orang Tionghoa tidak boleh lagi

menjadi kelompok yang “seklusif rasial,”13 yang hanya berkumpul,

bergaul dan kawin-mawin dengan sesamanya saja. Mereka harus

dibuat berinteraksi dan menggabungkan dirinya dengan orang-

orang dari kelompok etnis lain. Di saat yang bersamaan mereka

juga harus membuka kelompoknya untuk dimasuki oleh orang-

orang dari etnis lain.

Perubahan nama THKTKH Klasis Jatim menjadi GKT

rupanya mengandung makna yang lebih dalam. Salah seorang

yang turut mengambil bagian dalam perubahan itu menjelaskan

satu dekade kemudian bahwa dengan nama yang baru, orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT kini “mengarahkan pelayanannya

pada pribumi.”14 Mereka mendekati kelompok etnis lain dan

membuka dirinya untuk dimasuki oleh etnis dan budaya lain. Hal

ini ditegaskan lagi hampir sepuluh tahun kemudian oleh Badan

Pengurus (BP) Sinode GKT dalam sebuah surat yang disampaikan

kepada seorang mahasiswa teologi yang mau menulis sebuah

skripsi tentang sejarah GKT. Dikatakan bahwa “sejak tahun 1968

Missi GKT bukan lagi hanya untuk menginjili orang-orang

12 Lihat Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan dan Adat-istiadat orang Tionghoa. 13 Lihat Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang

Kebijaksanaan Pokok yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asin, Bab II.

14 Pdt. Daniel Tanaya, “I.T.A. Pada Masa Lalu, Sekarang dan Masa Yang Akan Datang,” Gema Aletheia No. 13/14, Edisi Khusus Dies Natalis

Ke-X, 1969-1979: 9.

Page 7: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 139 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Tionghoa saja tetapi juga kepada suku-suku lain”15 di Indonesia.

Dan sebagai ganti kehidupan yang seklusif rasial yang dilarang

oleh Orde Baru, sebuah surat yang diterbitkan BP Sinode GKT

pada tahun 2008 menegaskan lagi bahwa perubahan nama

dimaksudkan supaya GKT dapat menjadi kelompok yang “lebih

inklusif dan lebih nyata dalam mengintegrasikan diri ke dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini.”16

Dua strategi yang dipakai untuk mengorientasikan

pelayanan kepada orang-orang non-Tionghoa ialah melalui

sekolah teologi GKT dan penanaman gereja di kalangan orang-

orang tersebut. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir,

kebutuhan tenaga pekerja gerejawi GKT disuplai oleh Madrasah

Alkitab Asia Tenggara (MAAT) atau yang sekarang dikenal

dengan nama Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT).17 Namun

15 Surat BP Sinode GKT kepada Ev. Francis Chandra, B.Th. No.

270/BPS/GKT/XII/85-89 tanggal 15 Oktober 1987 tentang rekomendasi

penulisan thesis. 16 Surat BP Sinode GKT kepada Majelis Jemaat dan Pengurus Pos

Pekabaran Injil GKT No. 296/BPS/GKT/XXIII/05-09 tanggal 1 September 2008. 17 MAAT lahir dari buah pekerjaan Pdt. Dr. Andrew Gih, seorang

pendeta dari Tiongkok. Selama beberapa waktu ia bahkan sempat bekerja sama dengan Pdt. Dr. John Sung untuk mengadakan KKR di ratusan kota di

Tiongkok. Setelah Tiongkok dikuasai oleh rezim komunis, ia pindah ke Hongkong. Di bawah payung lembaga The Evangelize China Fellowship (ECF)

yang didirikannya pada tahun 1946, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar Tiongkok.

Sesuai dengan visinya MAAT diarahkan untuk melayani kebutuhan gereja-gereja Tionghoa dan orang-orang Tionghoa Kristen yang berbahasa Tionghoa

di kawasan Asia Tenggara. Karena itu bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Tionghoa. Dosen-dosen yang mengajar semuanya adalah orang-orang

Tionghoa totok. Kehidupan kampus pun diwarnai oleh budaya Tionghoa

yang tebal. Pada tahun 1953-1964 MAAT sempat dipimpin oleh seorang mantan diplomat negara Tiongkok Nasionalis, yang berganti profesi menjadi

pendeta. Namanya James Hui. Setelah menyelesaikan tugasnya MAAT, rektor selanjutnya adalah Pdt. Peter Wongso. Ia adalah anak seorang pendeta

Methodist dari Tiongkok yang melayani di Medan. Untuk informasi mengenai Andrew Gih lihat “Ji Zhiwen” dalam Biographical Dictionary of

Chinese Christianity, http://www.bdcconline.net/en/stories/j/ji-zhiwen.php

(diakses pada 11.1.2014). Untuk MAAT atau SAAT lihat Rev. Paulus Suhindro Putra, S.Th., “Sejarah GKKK Jakarta: Visi Yang Tidak Berubah”

dalam 20 Th HUT Gereja Kristen Kalam Kudus Jakarta (Jakarta: Panitia HUT

Page 8: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

140 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

suplai yang diberikan ternyata tidak mampu juga mencukupi

kebutuhan GKT. Maka dalam rapat tahunan terakhir Gereja

THKTKH Klasis Jatim pada bulan Januari 1968 diputuskan untuk

mendirikan sebuah sekolah teologi sendiri. Namun tidak seperti

MAAT yang fokus melayani “kebutuhan hamba Tuhan di gereja-

gereja Tionghoa di Indonesia,”18 Institut Alkitab GKT, demikian

namanya pada awalnya, didisain untuk menjadi sekolah teologi

“yang terbuka untuk semua orang”19 dan untuk melayani

kebutuhan gereja-gereja lain yang bukan gereja Tionghoa juga.20

Sejak dimulai pada bulan Februari tahun 1969, sekolah

teologi GKT tersebut sudah menerima mahasiswa dari etnis non-

Tionghoa, demikian pula dengan dosen-dosen dan pekerja-pekerja

non-akademiknya. Dari dua belas orang mahasiwa/i yang

diterima di angkatan pertama tercatat ada seseorang dari etnis

Bali. Demikian pula, dari dua belas tenaga dosen pertama, salah

seorang di antaranya adalah non-Tionghoa. Angka ini terus

bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Sampai tahun 1998,

dari total 310 alumni Sekolah Tinggi Teologi Aletheia (STTA), 70

persennya adalah orang Tionghoa, sementara 30 persennya adalah

orang-orang non-Tionghoa. Mereka berasal dari berbagai gereja

non-Tionghoa di Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan dan sampai

ke pulau Nias.

XX, 2000) dan Pdt. Dr. Peter Wongso, “Almamater Yang Penuh Anugerah

Allah” dalam Daniel Lucas Lukito & Andreas Hauw, eds. Seminari Alkitab

Asia Tenggara: Inspired By the Word to Inspire the World (Malang: SAAT, 2012). 18 Lihat Rev. Paulus Suhindro Putra, S.Th dalam 20 Th HUT Gereja

Kristen Kalam Kudus Jakarta, 26. Menurut Peter Wongso, sejak tahun 1966

MAAT melakukan perubahan orientasi visi dan misinya dari kepada orang

Tionghoa menjadi lintas etnis. Karena itu sejak tahun itu bahasa pengantar kuliah diubah ke dalam bahasa Indonesia dan mulai diumumkan penerimaan

mahasiswa non-Tionghoa pula. Lihat Pdt. Dr. Peter Wongso dalam Lukito & Hauw, eds. Seminari Alkitab Asia Tenggara, 09.

19 Wawancara bp SC, Surabaya, 24 September 2011. 20 Pdt. Daniel Tanaya, “I.T.A. Pada Masa Lalu, Sekarang dan Masa

Yang Akan Datang” dalam Gema Aletheia No. 13/14, Edisi Khusus Dies

Natalis Ke-X, 1969-1979: 10.

Page 9: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 141 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Tabel 4.1. Data Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Aletheia

(STTA) Angkatan I-XXV Menurut Latar Belakang Gerejanya21

No Angkatan Tahun

Wisuda

Jumlah Lulusan Berdasarkan

Latar Belakang Gereja Total

Tionghoa Non Tionghoa

1 I 1973 12 --- 12

2 II 1974 18 2 20

3 III 1975 14 2 16

4 IV 1976 5 --- 5

5 V 1978 11 2 13

6 VI 1979 7 3 10

7 VII 1980 6 3 9

8 VIII 1981 2 3 5

9 IX 1982 5 4 9

10 X 1983 8 6 14

11 XI 1984 7 3 10

12 XII 1985 8 5 13

13 XIII 1986 6 2 8

14 XIV 1987 5 3 8

15 XV 1988 4 3 7

16 XVI 1989 10 6 16

17 XVII 1990 4 1 5

18 XVIII 1991 7 6 13

19 XIX 1992 13 4 17

20 XX 1993 6 4 10

21 XXI 1994 1 3 4

22 XXII 1995 10 4 14

23 XXIII 1996 17 8 25

24 XXIV 1997 15 6 21

25 XXV 1998 15 11 26

JUMLAH

216

94

310

21 Diolah dari Buku Data Alumni Institut Theologia Aletheia (Lawang:

PALITA, 2009).

Page 10: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

142 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Seklusifitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT juga

dibuka melalui usaha-usaha penanaman gereja baru di kalangan

orang-orang non-Tionghoa. Langkah resmi pertama dimulai dari

Sidang Sinode Ke-7 tahun 1975, dengan disahkannya program

pembukaan pos-pos pekabaran Injil (Pos PI) baru.22 Program ini

terlaksana pada tahun 1977 dengan dibukanya Pos PI di Sumbawa

Besar, Sendang (Tulung Agung) dan Mimbo-Situbondo.23 Dari

ketiga tempat ini, Sumbawa Besar dan Sendang adalah pos yang

didirikan di kalangan orang non-Tionghoa.

Setelah dua pos itu, dua pos lain yang ditanam di antara

orang-orang non-Tionghoa, adalah Pos PI Banyumanik, Semarang

dan Pos PI Sawojajar, Malang. Pos Banyumanik dimulai pada

akhir tahun 197924 sementara Pos Sawojajar pada bulan Desember

1985.25 Keduanya sama-sama berlokasi di tengah perkampungan

orang muslim. Selain di kedua tempat itu, tempat lain yang sempat

ditengok adalah Timor Timur. Lokasi ini jadi perhatian karena

saran Mayor Pdt. Dj. Bengngu, Kepala Rawatan Rohani Kodam

XVI/Udayana, yang hadir di persidangan sinode pada awal tahun

1980. Namun niat ini kemudian dibatalkan. Tidak ada penjelasan

resmi mengenai alasan pembatalannya. Namun dapat diduga

bahwa hal itu disebabkan oleh situasi keamanan yang belum

kondusif.26 Meski begitu, mengikuti permintaan, lagi-lagi, Mayor

Pdt. Dj. Bengngu, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sempat

memberikan “bantuan materiil (pakaian, obat-obatan, dan

22 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT ke-7 Tahun 1975, nomor

10.g. 23 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-8 Tahun 1977, nomor

21. 24 “Kronologis Berdirinya Pos PI GKT Banyumanik,” Bulletin Sinode

Gereja Kristus Tuhan No. 17, Desember 1992: 21-22. 25 “Mengenal Jemaat GKT: Pos PI Sawojajar,” Buletin Sinode Gereja

Kristus Tuhan No. 4 Tahun 1988: 6-7. 26 Pada masa itu di Timor Timur masih terus berlangsung operasi

tempur melawan kelompok-kelompok yang menentang aneksasi Timor Timur

oleh Indonesia. Tentang masa operasi tempur di Timor Timur lihat Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2009), 363-366.

Page 11: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 143 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sebagainya) kepada rakyat Timor-Timur guna ikut membantu

meringankan beban penderitaan mereka.”27

3. Memeluk Kewarganegaraan Indonesia

Dalam peraturan-peraturan resmi yang berhubungan

dengan asimilasi, sama sekali tidak ada klausul yang memaksa

orang-orang Tionghoa asing untuk menjadi warga negara

Indonesia. Dalam kebijakan pokok penyelesaian masalah orang

Tionghoa diatur bahwa hal itu diserahkan kepada pilihan orang

Tionghoa sendiri.28 Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa

pemerintahan Orde Baru tidak punya keinginan sama sekali untuk

me-WNI-kan orang-orang Tionghoa. Keinginan ini ada dan

tercermin dalam kesempatan yang diberikan oleh instruksi itu

untuk menjadi WNI. Situasi pasca 1965 dan kecurigaan tentang

peran negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam Gerakan 30

September 1965 membuat keinginan tersebut tidak berhenti hanya

sampai pada status legal-politik sebagai WNI, seperti yang pernah

disepakati dengan Pemerintah Tiongkok dalam Perjanjian Dwi-

Kewarganegaraan tahun 1955,29 tetapi lebih jauh lagi daripada itu,

orang Tionghoa harus menjadi WNI yang terasimilasikan ke

dalam masyarakat dan budaya Indonesia sepenuh-penuhnya.

Salah satu tandanya adalah nama yang bercorak Indonesia.30

Tetapi bagi orang-orang Tionghoa WNA di Jawa Timur

masih ada lagi tuntutan-tuntutan lain yang harus dipenuhi untuk

dapat diterima sebagai WNI sejati. Itu adalah mengganti

27 “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-9 Tahun 1979

(Tanggal 15-17 Januari 1980)” dalam Sinode GKT, Tata Gereja & Peraturan

Khusus, Edisi Revisi 2008 (Malang: Sinode GKT, 2008), 82. 28 Lihat Instruksi Ketua Presidium Kabinet Ampera No.

37/U/IN/6/1967 tanggal 7 Juni 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok

Penyelesaian Masalah Cina Bab I pasal 11. 29 Lihat David Mozingo, Chinese Policy Toward Indonesia 1949-1967

(Jakarta: Equinox Publishing, 2007), 117-118. 30 Lihat Keppres No. 240 tahun 1967, 6 Desember 1967, tentang

kebijaksanaan-kebijaksanaan pokok menyangkut WNI keturunan asing.

Page 12: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

144 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

agamanya, mengganti bahasa dan mengganti identitas suku.31

Untuk memaksa orang-orang Tionghoa WNA mau menjadi WNI

Jenderal Soemitro, Pepelrada Jatim, “memisahkan mereka yang

masuk WNI” dari “yang tetap WNA” dan memberi perlakuan

yang berbeda kepada keduanya. Jika yang WNI dibebaskan dari

pajak perorangan maka yang WNA wajib membayarnya.32 Lalu,

jika usaha dan tempat usaha para WNI dijamin aman maka

rumah dan tempat usaha orang-orang Tionghoa WNA akan

diambil alih dan diserahkan kepada orang-orang pribumi.33

Sampai pertengahan tahun 1966 orang-orang Tionghoa

asing di GKT hampir semuanya berkewarganegaraan asing.34

Alasan yang mendorong mereka tetap memilih berstatus demikian

dikarenakan kuatnya ikatan emosional dan kultural dengan negara

asalnya. Bagi generasi pertama yang lahir dan dibesarkan di

Tiongkok kesadaran pribadi sebagai warganegara Tiongkok sangat

kuat.35 Bagi mereka berlaku apa yang dalam peribahasa Tionghoa

dikatakan “Kalau daun jatuh maka ia harus kembali ke asalnya.”36

Sebagai bangsa Tionghoa mereka tidak mau mati di sini. Status

warga negara Tiongkok terus dipertahankan supaya bisa pulang

kembali dan meninggal di Tiongkok. Bagi generasi kedua, ikatan

dengan budaya dan kebangsaan Tiongkok lebih banyak

dipengaruhi oleh pendidikan yang diterimanya di sekolah-sekolah

asing Tionghoa, yang mendidiknya untuk mencintai budaya,

31 Ramadhan K.H, Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai

Pangkopkamtib (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), 119-121. 32 Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Menyingkap

Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: TransMedia

Pustaka, 2008), 989. 33 Ibid. Keputusan ini berujung kepada pengambilan paksa toko-toko

dan rumah-rumah milik orang Tionghoa asing di sejumlah kota di Jawa

Timur. 34 Kesempatan pertama diberikan setelah kemerdekaan Indonesia,

yakni sejak 1946-1947. Kesempatan kedua diberikan lagi pada 1950-1951 sebagai hasil kesepatan Konferensi Meja Bundar. Kesempatan ketiga

diberikan setelah UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Indonesia

disahkan. 35 Penjelasan bp SU, via telpon, 24 April 2013; Wawancara bp ST,

Surabaya, 31 Januari 2011; Wawancara bp TJ, 8 Februari 2010. 36 Wawancara bp TJ, 8 Februari 2010.

Page 13: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 145 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

bangsa dan tanah airnya di Tiongkok.37 Karenanya, seperti ayah

dan ibunya, mereka juga ingin pulang kembali ke Tiongkok pada

suatu hari nanti.38

Namun situasi pasca 1965 menempatkan orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT dalam keadaan yang benar-benar sulit.

Mulai tahun 1966 aksi-aksi anti-Tionghoa marak terjadi di mana-

mana sementara dampak pemberlakuan peraturan-peraturan

khusus untuk orang Tionghoa mulai terasa pahit. Kejadian pahit

pertama adalah penutupan sekolah-sekolah asing Tionghoa dan

pengambilalihan aset-aset sekolah itu oleh pemerintah dan

militer.39 Giliran berikutnya adalah rumah-rumah dan tempat-

tempat usaha orang Tionghoa.40 Seorang informan di kota Jember

menceritakan bahwa toko kepunyaan orang tuanya diambil alih

oleh tentara bersenjata lengkap dibantu oleh sejumlah besar warga

masyarakat.41 Informan lain yang tinggal di Malang hanya bisa

menyaksikan dengan sedih dan marah proses pengambilalihan

37 Lihat Lea F. Williams . “Nationalistic Indoctrination in the

Chinese Minority Schools in Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 1,

No. 3 (Feb., 1958): 12-17. Bnd. Wawancara bp SC, Surabaya, 24 Septmeber

2011; Wawancara bp TWL, Malang, 12 Agustus 2009; Wawancara ibu LA,

Jember, 18 September 2013. 38 Wawancara bp SC, Surabaya, 24 September 2011. Seorang

informan lain mengakui bahwa ia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen yang taat namun setelah sekolah asing Tionghoa ia malah

menjadi ateis dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia mulai berkenalan dengan tulisan-tulisan Marxisme semasa studinya di level menengah atas

pada tahun 1955-1958. Ia meninggalkan kepercayaan Kristennya dan

mengaku menjadi atheis selama lebih dari dua dekade kemudian. Ia begitu mencintai Tiongkok dan pemimpinnya. Lihat Wawancara bp TWL, Malang,

12 Agustus 2009. 39 Wawancara bp SU, Surabaya, 6 Februari 2010; Wawancara ibu

YKY, Surabaya, 9 Februari 2010; Wawancara ibu WW, Genteng, 27 Januari

2012; Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013; Wawancara bp TWL,

Malang, 12 Agustus 2009. 40 Wawancara bp DIS, Malang, 11 Desember 2010. 41 Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013.

Page 14: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

146 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

sebuah toko sepatu milik seorang Tionghoa yang ia kenal dengan

baik sekali.42

Segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan

penguasa militer di Jawa Timur serta aksi-aksi kekerasan massa

mereka memberi pesan yang sangat kuat kepada orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT bahwa mereka harus menjadi WNI jika

mau terus tinggal dan bekerja di Indonesia. Ongkos yang harus

dibayar akan sangat mahal sekali bila terus mempertahankan

status WNA-nya.43

Dua persoalan lain yang turut mempengaruhi pilihan

menjadi WNI, yang dihadapi oleh orang-orang Tionghoa Kristen

di GKT adalah masalah kepemilikan atas tanah dan properti di

atasnya, serta masalah kepengurusan gereja yang harus dijabat

oleh WNI. Menurut ketetapan hukum kolonial, lembaga

keagamaan seperti THKTKH Klasis Jatim diizinkan memiliki

tanah dan properti lainnya serta boleh diurus oleh orang-orang

asing. Namun setelah Indonesia merdeka, situasinya benar-benar

berubah seratus delapan puluh derajat. UU No. 5 tahun 1960

tentang Pokok-pokok Agraria mengaskan bahwa hanya WNI saja

yang dapat “memperoleh sesuatu hak atas tanah.”44 Orang asing

dan orang yang memiliki kewarganegaraan ganda, menurut Pasal

21 ayat 2 dan 3 tidak memiliki hak tersebut. Dengan peraturan ini

maka secara prinsip semua orang Tionghoa WNA di GKT tidak

bisa memiliki hak milik apapun atas tanah.

Pasal 49 memberikan jaminan bahwa tanah-tanah milik

badan-badan keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi oleh

42 Wawancara bp TWL, Malang, 12 Agustus 2009. Dalam catatan

Benny G. Setiono, kematian ini terjadi karena serangan jantung setelah

tokonya ditutup. Lihat Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, 989-990. 43 Seorang informan menceritakan bahwa alasan suaminya memilih

jadi WNI ialah karena jika tidak WNI maka “tidak boleh buka usaha.”

Sebagai anak tertua, suaminya bertanggung jawab mengurus keluarga dan

memelihara adik-adiknya. Agar bisa buka usaha dan usahanya jalan terus maka mau tidak mau suaminya akhirnya harus masuk WNI. Wawancara ibu

WW, Genteng, 27 Januari 2012. 44 Lihat Pasal 9.

Page 15: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 147 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

negara. Itu berarti sebagai lembaga keagamaan GKT seharusnya

bisa punya hak untuk memiliki tanah dan properti di atasnya.

Namun karena hampir semua orang GKT dan pengurus gereja ini

adalah WNA serta lembaga ini belum diakui oleh pemerintah

sebagai yang dapat memiliki hak milik maka sesuai dengan

Ketentuan-Ketentuan Konversi Pasal II Ayat 2 dari undang-

undang yang sama THKTKH Klasis Jatim hanya bisa

mendapatkan hak guna usaha atau hak guna bangunan saja.

Dengan keadaan ini maka semua tanah dan properti di atas tanah

orang Tionghoa Kristen di GKT, yang sejak awal abad ke-20 telah

dibeli dengan uang dan usaha mereka sendiri dan yang menurut

hukum kolonial diakui sebagai milik mereka, demi hukum kini

harus lepas dari kepemilikannya.

Jemaat berbahasa Kanton dari gereja THKTKH di

Surabaya pernah merasakan konsekuensi pahit dari undang-

undang baru itu. Pada tahun 1958 mereka pernah mengajukan

permohonan kepada Menteri Agraria supaya diizinkan

“memindahkan ke atas nama” Yayasan Tiong Hoa Kie Tok Kauw

Hwee (THKTKH) Surabaya, sejumlah tanah yang dibeli pada

tahun 20-an dan seterusnya oleh Tjhing Nian Tjik Kiem Hwee,

sebuah perkumpulan orang-orang Kristen jemaat Kanton di

Surabaya.45 Permohonan ini ditolak oleh Menteri Agraria pada 30

Desember 1961.46 Dasar penolakan tidak disebutkan. Namun

berdasarkan interpretasi Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur, hal

itu tampaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa “para pengurus

dan anggota-anggota” Yayasan THKTKH Surabaya adalah

“orang-orang warganegara asing” dan karena itu memenuhi

klausul Ps 21 UU No. 5/1960 tersebut.47 Dengan tiadanya izin itu

maka tanah-tanah tersebut dengan sendirinya menjadi milik

negara. Jemaat berbahasa Kanton dari gereja THKTKH Surabaya

45 Surat Permohonan kepada Menteri Agraria ini disampaikan

melalui kuasa hukumnya, Raden Slamet, pada tanggal 9 Agustus 1958. 46 Surat Keputusan Menteri Agraria No. Peta.6/27/13, tanggal 30

Desember 1961. 47 Surat Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur No. I/Agr/875/Ic kepada

Kepala Jawatan Agraria di Jakarta.

Page 16: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

148 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

masih dapat mempergunakannya namun dengan status “hak

pakai” sambil membayar ongkos sewa yang sangat besar setiap

bulan dan setiap tahun.48 Tanah dan rumah yang dibeli dengan

susah payah itu kini lepas dari kepemilikan karena ketentuan

undang-undang.

Dengan seluruh tekanan tersebut orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT kemudian berbondong-bondong memilih menjadi

WNI. Sejumlah pemimpin dan pekerja gerejawi Sinode GKT

langsung mengajukan permohonan untuk menjadi WNI beberapa

bulan setelah sidang sinode pertama tahun 1968 usai. Mereka

adalah Liong Sing Ngien, Liong Sing Hong dan Oh Kim Tjoen

dari Surabaya serta Pdt. Tong Tjong Hway, Tan Ie Lie dan Ko Lie

Ong dari Malang.49 Atas bantuan Pengurus DGI dan seorang pria

bernama Semangoen di Jakarta,50 pada awal tahun 1970

permohonan mereka dikabulkan, dan keenamnya mendapat status

resmi “warganegara Republik Indonesia.”51 Lalu, mengikuti

ketentuan kebijakan asimilasi, mereka mengganti namanya dengan

nama-nama Indonesia. Liong Sing Ngien menjadi Singgih Lukito

Setiawan, Pdt. Tong Tjong Hway menjadi Pdt. Joseph Tong, Tan

Ie Lie menjadi Daniel Tanaya, Liong Sing Hong menjadi Solomon

Lukito Setiawan dan Ko Lie Ong menjadi Albert Konaniah.

48 Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur tanggal 5

Mei 1962, yang ditujukan kepada Liong Sing Ngien, Kuasa Yayasan

THKTKH Surabaya. Uang sewa bulanannya adalah Rp 750,- dan Rp 2500,- sementara uang sewa tahunannya adalah Rp 4500,- dan Rp 15.000,-

49 Lihat Surat Kepala Seksi Intelligence Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 101 Surabaya kepada Kepala Pengadilan Negeri Surabaya No.

1587/C4/Intell/1968 tanggal 10 September 1968 tentang Pewarganegaraan

dan Surat Kepala seksi Orang Asing Kejaksaan Negeri Surabaya dan kepada

Kepala Pengadilan Negeri Surabaya No. 36/Pw/S10A/1968 tanggal 23 September

1968 tentang Keterangan tentang “politieke betrouwbaarheid.” . 50 Dalam surat ucapan terima kasih BP Sinode GKT kepada DGI,

dituliskan bahwa bantuan itu diterima “tak lama jang baru lalu.” Itu artinya, amat berdekatan dengan saat dikeluarkannya keputusan penerimaan

keenamnya menjadi WNI. Lihat surat ucapan terima kasih BP Sinode GKT

kepada DGI, tanggal 25 April 1970. 51 Lihat Surat Liong Sing Ngien kepada Bapak Semangoen di Jakarta,

tanggal 25 April 1970.

Page 17: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 149 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Paksaan lain yang turut mendorong para pemimpin GKT

memilih menjadi WNI adalah peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan WNA yang bekerja di Indonesia. Dalam

Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 Bab I Pasal 3

diatur bahwa setiap WNA “yang bekerja dan berusaha di

Indonesia harus memiliki izin kerja dan izin usaha yang sah.” Itu

artinya semua pekerja gereja asing yang bekerja sebagai pendeta

atau guru Injil di jemaat-jemaat THKTKH Klasis Jatim dan GKT

harus mempunyai surat izin kerja. Mereka yang tidak memiliki

izin kerja tidak diperbolehkan bekerja, apalagi memimpin sebuah

organisasi gereja. Soal ini mengemuka dalam kesadaran orang-

orang Tiongho Kristen di GKT ketika pada tahun 1970 Koo Twan

Tjhing, yang baru terpilih sebagai Ketua BP Sinode untuk kedua

kalinya, harus melepaskan jabatan itu karena masih berstatus

WNA.

Proses menjadi WNI sempat terhenti sesaat setelah pada

akhir tahun 1966 Menteri Kehakiman mengeluarkan suatu

instruksi penangguhan. Setelah hubungan diplomatik antara

Indonesia dan Tiongkok dibekukan pada akhir tahun 1967, pada 1

Februari 1968 izin kembali diberikan kepada pengadilan negeri

setempat untuk memproses permohonan orang-orang Tionghoa

asing yang ingin menjadi WNI. Hanya saja kali ini biayanya

dilipatgandakan dari Rp 30.000,- menjadi Rp 100.000,- per orang52

Meski ongkosnya begitu besar namun sejumlah besar orang

Tionghoa Kristen di GKT tetap saja mengajukan permohonan

menjadi WNI.53

4. Menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) yang Pancasilais

Orde Baru memposisikan dirinya berbeda dari Orde Lama

dengan tekad dan tujuannya untuk “memurnikan pelaksanaan

52 Ceramah Siauw Giok Tjhan Di Seminar PPI Belanda (5/10) dalam

http://www.minihub.org/siarlist/msg00709.html (diakses pada 18.12.2013) 53 Tiga orang informan riset ini mengakui mendapatkan

kewarganegaraannya pada tahun 1968.

Page 18: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

150 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.” Ia adalah “tatanan

seluruh peri-kehidupan Rakyat, Bangsa dan Negara yang

diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan Undang-

undang Dasar 1945.”54 Masyarakat yang hendak diwujudkan oleh

tatanan ini adalah “Masyarakat Pancasila,”55 sebuah masyarakat

yang tidak hanya memiliki Pancasila namun memahami dan

menghayati Pancasila “serta berusaha untuk mengetrapkannya

dalam kehidupan sehari-hari.”56 Oleh sebab itu, selain

pembangunan ekonomi, fokus lain yang menjadi perhatian

pemerintahan Orde Baru adalah membangun dan membina tiap-

tiap warganegara Indonesia menjadi insan-insan Pancasilais.

Tekanan pemerintahan Orde Baru kepada Pancasila

diketahui pula oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT.57

Karena itu dalam hubungannya dengan pemerintah, tanpa malu-

malu ditunjukkan sikap yang positif dan mendukung ideologi

negara tersebut. Malah, ketika sebagian besar pemimpin dan

pekerja-pekerja gerejawi GKT masih berstatus WNA, mereka

sudah memperlihatkan bahwa dirinya dan pekerjaannya adalah

yang memperjuangkan Pancasila. Itu dimulai pada tahun 1967

ketika Walikota Surabaya mengeluarkan peraturan baru yang

mengatur besaran biaya pembuatan kartu penduduk khusus bagi

orang asing. Sembilan orang pekerja gerejawi THKTKH Klasis

Jatim di Surabaya terkena dampak peraturan ini.58 Mengingat

54 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila.

(Jakarta: CSIS, 1976), 17. 55 Ibid., 22. 56 Ibid., 82. 57 Dalam Surat Kepala Staf PEPELRADA Jatim Kepada Ketua B.P.

Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jatim No. B 437/1966 tertanggal 6 Agustus 1966

tentang Pekabaran Injil, para pemimpin GKT diminta untuk menyerahkan

data diri lengkap semua anggota pengurus dan seluruh anggota jemaatnya.

Dasar permintaan itu adalah “Demi Pantjasila dan terbinanya ketenangan/ketertiban” umum. Surat ini tampaknya menjadi perkenalan

awal orang Tionghoa Kristen di GKT dengan ide pentingnya Pancasila di

mata penguasa baru. 58 Mereka adalah Pdt. Yio Pek Eng, Pdt. Tsang To Hang, Pdt. Ong

Beng Bian, Chiang Wing An, Siauw Kong Jan, Tong Tjong Eng, Wong Shu Ling dan Liem Bie Ging.

Page 19: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 151 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

jumlah yang harus dibayarkan sangat besar maka pada tanggal 15

Februari 1967 Badan Pengurus (BP) Gereja THKTKH Klasis

Jatim memohon kepada Walikota Surabaya agar membebaskan

biaya untuk kesembilan orang tersebut. Dasar yang dipakai ada

dua. Yang pertama adalah Surat Keputusan Pepelrada Jawa

Timur No. Kep.75/12/1966, yang isinya membebaskan semua

pekerja WNA di bidang keagamaan dari membayar Pajak Bangsa

Asing (PBA) menurut ketetapan UU No. 74 Tahun 1958. Yang

kedua adalah karena biaya hidup kesembilan orang itu diperoleh

bukan dari pekerjaan tetapi dari “persembahan jang diterima

daripada anggota2 djemaat jang mereka lajani didalam bidangnya

masing2.”59

Sampai mendekati akhir tahun 1967 permohonan tersebut

tidak digubris. Karena itu pada tanggal 2 Desember 1967, BP

Gereja THKTKH Klasis Jatim kembali bersurat dengan alasan-

alasan yang sama seperti di surat pertama.60 Namun permohonan

tetap tidak dihiraukan. Malah Kepala Bagian Penduduk dari

Kantor Kotamadya Surabaya menjelaskan bahwa kesembilan

orang itu “tetap diharuskan membajar beaja pendaftaran kartu

penduduk.” Pada awal tahun 1968 BP Gereja Kristen Tionghoa

(GKT) Klasis Jatim sekali lagi menyurati Walikota Surabaya.61

Surat kali ini berbeda dari surat bulan Desember karena disertai

dengan tanda tangan Pdt. Rasjid Padmosoediro, Petugas Bagian

Kristen Jawatan Urusan Agama Propinsi Jawa Timur, sebagai

59 Surat BP Gereja Kristen Tionghoa (THKTKH) Klasis Jatim Kepada

Walikota Surabaya No. 052/P2KH/66-68 tentang permohonan pembebasan

pembayaran biaya pendaftaran Kartu Penduduk Khusus Orang Asing tanggal

15 Februari 1967. 60 Surat BP Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jatim Kepada Walikota

Surabaya No. 136/P2KH/66-68 tentang “Mohon pembebasan pembayaran

biaya pendaftaran Kartu Penduduk Khusus Orang Asing” tertanggal 2

Desember 1967. 61 Surat BP Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jatim Kepada Walkikota

Surabaya No. 149/P1-P2/Psk/66-68 tentang “Mohon ulang pembebasan

pembayaran biaya pendaftaran kartu penduduk khusus orang asing” tanggal 15 Februari 1968.

Page 20: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

152 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

pihak yang mengetahui. Namun surat ini pun tak kunjung

direspons.

Pada akhir tahun 1968, surat kembali dilayangkan kepada

walikota Surabaya. Dua alasan baru kini ditambahkan sebagai

dasar pembebasan. Yang pertama adalah Pancasila, dan yang

kedua adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang

pembebasan bayar Sumbangan Wajib Pajak Istimewa (SWI) bagi

pekerja-pekerja gereja GKT.62 Tentang Pancasila, Dalam

permohonannya, BP Sinode GKT menulis demikian

Oleh sebab itu, demi penghargaan dan kemurahan

kepada Rohaniwan sebagai pelopor dan pengemban

Pantjasila, chususnya Sila Pertama, Ketuhanan Jang

Maha Esa, maka kami mohon kebijaksanaan dan

kemurahan hati Bapak, kiranya Rohaniwan2 itu

beserta keluarga jang mendjadi tanggungan mereka

itu diperketjualikan dari pembajaran termaksud.63

Surat ini langsung direspons. Tidak makan waktu panjang

keluar Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 3500/1255

tertanggal 28 Desember 1968, yang menyatakan bahwa

kesembilan orang pekerja gerejawi GKT di atas dibebaskan dari

biaya pembuatan kartu penduduk khusus untuk orang asing.

Pelajaran berharga yang diperoleh pemimpin GKT dari kejadian

ini adalah pentingnya memberikan dukungan terbuka kepada

Pancasila dalam urusan-urusan dengan pemerintah. Karena itu,

dasar yang sama kembali dipergunakan pada waktu mengajukan

permohonan pembebasan pembayaran pajak untuk orang asing64

62 Lihat isi Surat Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur No. Sek-

73/A/1968 tentang pembebasan pembayaran SWI bagi rohaniwan Sinode

Gereja Kristus Tuhan, tanggal 22 Agustus 1968. 63 Surat BP Sinode GKT kepada Walikota Surabaya No. 98/Sek/Jst/68-

70 tentang Mohon Ulang Pembebasan pembayaran biaya pendaftaran Kartu

penduduk Khusus Orang Asing, tanggal 12 Desember 1968. Cetak miring adalah tekanan saya.

64 UU No. 74 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat

NO. 16 Tahun 1957 tentang Pajak Bangsa Asing (LEMBARAN-NEGARA

Page 21: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 153 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

bagi pekerja-pekerja gerejawi GKT di Surabaya dan di Genteng-

Banyuwangi.65 Meski berkewarganegaraan asing para pekerja

gerejawi GKT tetap “pelopor dan pengemban Pantjasila,

chususnya Sila Pertama, Ke-Tuhanan Jang Maha Esa.”66 Para

pekerja gerejawi asing ini patut dibebaskan dari pajak karena

mereka mendukung cita-cita Orde Baru untuk membangun

Masyarakat Pancasila. Dan mereka sendiri, sekalipun orang asing,

sesungguhnya adalah manusia-manusia Pancasilais.

Agar dukungan yang diperlihatkan kepada Pancasila tidak

tampil pragmatis namun substansial dan melekat erat dengan iman

yang dihayati oleh orang-orang GKT sendiri, sebuah artikel yang

dimuat dalam majalah Berita Geredja Sinode Geredja Kristus Tuhan

No. 10, July-September 1971, menjelaskan bahwa GKT menerima

dan mendukung Pancasila karena ajaran-ajaran Pancasila cocok

dan sejalan dengan iman Kristen. Artikel yang berjudul

“Kesaktian Pantja – Sila” ini dimulai dengan ajakan untuk

bersyukur kepada Tuhan karena:

telah mengaruniakan kepada Bangsa Indonesia

suatu DASAR NEGARA jg begitu baik, jaitu

PANTJA SILA sehingga negara kita selama 26

tahun ini dapat berdiri dengan tegak dan teguh dan

TAHUN 1957 NO. 63) sebagai Undang-undang, mengatur bahwa setiap

WNA yang berdomisili dan bekerja di Indonesia diwajibkan membayar Pajak Bangsa Asing (PBA) setiap tiga tahun sekali, terhitung sejak 1 Januari 1957.

Besarnya pajak yang harus dibayar menurut Pasal 11 adalah Rp 1500,- untuk

kepala keluarga, Rp 750,- untuk isteri, dan Rp 375,- untuk anak-anak dan anggota keluarga lain yang tinggal bersama. Setiap tiga tahun besarnya akan

ditinjau kembali menurut keadaan zaman itu. 65 Dua pekerja gerejawi asing di Genteng adalah Pdt. Liem Tjhie

Thing dan Ev. Tan Hwa Khiang. 66 Surat BP Sinode GKT kepada Walikota Surabaya No.

226/Sek/AK/68-70 tentang permohonan pembebasan pembayaran pajak

bangsa asing, tanggal 31 Maret 1970. Lihat pula Surat BP Sinode GKT kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 33/Sek/AK/70-72

tentang permohonan ulang pembebasan pembayaran pajak bangsa asing,

tanggal 16 Oktober 1970.

Page 22: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

154 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

dapat mengatasi segala kesulitan dan kesukaran di-

tengah2 dunia jang bergelora ini.67

Selanjutnya Phoa Oen Keng, penulis artikel itu,

mengklaim bahwa pencipta Pancasila ini “sungguh mendapat

ilham dari Tuhan.” Itulah sebabnya maka isi dan jiwa Pancasila

“sangat tjotjok dengan Firman Tuhan dan pengadjaran2 Tuhan

Jesus jang tercatat didalam Alkitab.”68 Ia kemudian menjelaskan

bahwa Pancasila cocok dengan pesan Yesus Kristus di dalam

Markus 12:28-31 tentang Hukum Kasih dan dengan pesan Imamat

19:13-18 tentang mengasihi sesama manusia. Ia mengakhiri

tulisannya dengan suatu penegasan sbb.:

Djelaslah bagi kita, bahwa kelima sila dari

Pantja sila itu sesuai dengan torat dan Firman

Tuhan, karena seseorang jang berTuhan tentu

mendjadi manusia jang adil dan beradab, dapat

mengasihi sesama dan mewudjudkan persatuan

bangsa, sehingga rakjatpun dapat dipimpin oleh

hikmat dalam permusjawaratan dan kebidjaksanaan

didalam negara kita ini.

Maka dari sebab itu, tugas jang penting

pada masa kini ialah mengabarkan Indjil se-

luas2nja, supaya banjak orang jang mengenal

Tuhan dan dapat mengamankan dan mengamalkan

Pantja sila sebagai dasar negara kita. Mohon Tuhan

Jang Maha Esa akan memberkati kita semua.

Amin.69

Untuk mengukuhkan komitmen dan dukungannya yang

penuh kepada pembangunan manusia-manusia Pancasilais maka

kurang dari dua tahun setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat

67 Pdt. Phoa Oen Keng, “Kesaktian Pantja-Sila,” Berita Geredja

Sinode Geredja Kristus Tuhan No. 10, July-September 1971: 12-13. 68 Ibid., 13. 69 Ibid., 14.

Page 23: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 155 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Republik Indonesia (MPR RI) mengeluarkan ketetapan tentang

Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), para

pemimpin GKT menyediakan dirinya untuk ditatar P4. Penataran

dilakukan tepat di tengah-tengah acara Sidang Sinode GKT Ke-9

tahun 1980 di STTA Lawang. Sebanyak 75 orang peserta dari

kalangan pendeta, pengabar Injil dan anggota-angota majelis

jemaat dari seluruh jemaat GKT mengikuti penataran ini.70 Dari

penataran ini dukungan kepada Pancasila akhirnya berpuncak

pada penerimaan bulat Pancasila sebagai asas “dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”71 Sekarang tidak hanya

para anggota dan pekerja gerejawinya saja yang Pancasilais,

lembaga keagamaannya pun adalah lembaga yang Pancasilais.

Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT, baik secara individual

maupun institusional, adalah WNI yang berjiwa Pancasila.

Mereka bukan sekedar WNI tetapi WNI pelopor dan pengemban

Pancasila.

5. Mempergunakan Bahasa Indonesia

Larangan pemakaian bahasa Tionghoa oleh Pepelrada

Jatim pada tahun 1967 diresponi oleh orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT dengan meneruskan model pengelolaan organisasi

gereja yang diwarisi dari THKTKH Klasis Jatim, yang memakai

dua macam sekretaris dalam kepengurusan pusat gereja. Sekretaris

pertama adalah untuk administrasi dan korespondensi dalam

bahasa Indonesia dan sekretaris yang kedua untuk bahasa

Tionghoa. Selanjutnya, sejak tahun 1968, sidang-sidang sinode

GKT secara resmi dilakukan dalam dua bahasa.

Pada tahap awal sidang masih didominasi oleh bahasa

Tionghoa sebab penggunanya jauh lebih banyak. Hal itu berjalan

terus sampai kemudian berubah dalam Sidang Sinode GKT Ke-8

70 Notulen Sidang Sinode GKT Ke-9, Lawang, 15-17 Januari 1980: 6. 71 Lihat Tata Gereja GKT Pasal III dan Peraturan Khusus GKT Bab I,

Pasal III Ayat 2. Penerimaan ini dilakukan segera setelah Pemerintah, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1985, mengharuskan semua organisasi

kemasyarakatan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Page 24: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

156 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

dan Ke-9 tahun 1977 dan 1979. Dalam kedua sidang ini, orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT memutuskan tidak lagi memakai

dua bahasa melainkan satu saja, bahasa Indonesia.72 Peraturan ini

terasa ganjil karena pemakai bahasa Tionghoa sebenarnya masih

cukup banyak.73 Bagaimana mereka sampai kepada keputusan ini?

Tampak sekali bahwa hal berhubungan erat dengan kehadiran

unsur pemerintah dan militer serta dan situasi yang sedang

mengitari GKT saat itu.

Dalam sidang sinode tahun 1977 tercatat hadir Dirjen

Bimas Kristen/Protestan Departemen Agama R.I., Pembimbing

Bimas Kristen/Protestan Provinsi Jawa Timur, Wakil Sekretaris

Umum PGI, Ketua Majelis Agung Gereja Kristen Jawi Wethan

(GKJW) dan Ketua Moderamen Sinode Gereja Kristen Indonesia

Jawa Timur (GKI Jatim). Dalam sidang sinode tahun 1979, Dirjen

Bimas Kristen/Protestan kembali hadir. Ia ditemani oleh

Pembimbing Bimas Kristen/Protestan Provinsi Jawa Timur dan

dua orang pendeta tentara dari dua Kodam yang berbeda. Yang

pertama adalah Letnan Kolonel Pdt. J.S. Saragih, Kepala

Rawatan Rohani Protestan Kodam VIII/Brawijaya, Jawa Timur

dan Mayor Pdt. Dj. Bengngu, Kepala Rawatan Rohani Protestan

Kodam XVI/Udayana, Denpasar.

Para tamu khusus ini terakhir kali hadir lengkap dalam

sidang sinode pertama tahun 1968. Pada sidang tahun 1972, yang

hadir hanya Pembimas Kristen/Protestan Jawa Timur,

Hardjoprajitno, bersama Kepala Rawatan Rohani Protestan

Kodam VIII/Brawijaya, Mayor Pdt. A.J.I. Rampen, dan utusan-

utusan Sinode GKI Jatim. Sidang tahun 1973, yang hadir hanya

Pembimas Kristen/Protestan Jawa Timur sementara dalam sidang

sinode tahun 1975 turut hadir Pdt. P.M. Sihombing, wakil

72 Lihat Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-7, Lawang, 26-

28 Oktober 1977: 1 dan Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-9,

Lawang, 15-17 Januari 1980: 3. Sidang Sinode ke IX seharusnya dilakukan pada akhir tahun 1979. Namun karena satu dan lain hal baru dapat dilakukan

pada bulan Januari 1980. Notulen sidang tetap memakai angka tahun 1979 dan diberi penjelasan dilakukan pada bulan Januari 1980.

73 Wawancara bp SO, Malang, 10 Agustus 2009.

Page 25: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 157 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Sekretaris Umum DGI dan Pdt. R.W.K. Adisoesila, utusan

Dewan Gereja-gereja Wilayah (DGW) Jawa Timur, Bali,

Lombok. Selain itu turut pula hadir seorang utusan dari Sinode

GKI Jatim.

Kehadiran tamu-tamu khusus dalam sidang tahun 1977

dan 1979 ini adalah atas permintaan BP Sinode GKT. Mereka

sengaja diundang karena pada masa itu GKT sedang berhadapan

dengan sejumlah masalah pelik. Secara internal, sedang terjadi

konflik di antara BP Sinode GKT dengan sejumlah jemaat GKT di

Kota Surabaya. Konflik dipicu oleh masalah wewenang sinode

dan jemaat setempat, masalah status kepemilikan harta benda

jemaat setempat, pentahbisan pendeta yang tidak diakui sinode,

skorsing yang berujung kepada pemecatan sejumlah anggota

majelis sebuah jemaat di Surabaya, pertikaian di antara faksi-faksi

yang mendukung sekolah teologi SAAT dan STTA, dan terakhir

fitnah yang dilancarkan kepada Ketua BP Sinode GKT sebagai

anggota PKI. Dalam seluruh konflik ini, para pemimpin GKT

melakukan banyak komunikasi dengan wakil-wakil pemerintah di

Departemen Agama pusat dan provinsi, DGI dan militer di Jawa

Timur untuk meminta bantuannya. Kehadiran mereka secara

lengkap dalam sidang tahun 1977 dan 1979 merupakan hasil dari

komunikasi-komunikasi tersebut.

Secara eksternal, masalah lain yang dihadapi oleh orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT dalam periode yang sama adalah

konflik di Sekolah Kristen Aletheia (SKA) Jember. Pemecatan

empat orang guru sekolah yang dilakukan oleh Badan Pelaksana

Pendidikan (BPP) SKA Jember pada tanggal 14 April 1979

menimbulkan protes orang tua dan siswa sehingga mengganggu

jalannya proses pembelajaran di sekolah. Persoalan ini membuat

pemerintah Kabupaten Jember merasa perlu untuk turun tangan.

Upaya penyelesaian yang dimediasi oleh Bupati, pejabat

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta pejabat

Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Jember malah menemukan

fakta lain yang lebih mengkuatirkan tentang SKA Jember dan juga

Page 26: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

158 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

GKT. Dari 601 siswa TK, SD dan SMP yang belajar di sana saat

itu ditemukan data bahwa 95 persen di antaranya adalah anak-

anak Tionghoa74 Ini tentu saja berlawanan dengan kebijakan

asimilasi di bidang pendidikan yang tegas mensyaratkan supaya

mayoritas murid “tidak terdiri dari keturunan Asing (Cina).”75

Dalam kesimpulannya Bupati Jember mengatakan bahwa

pengurus sekolah “tidak melaksanakan asimilasi sebagaimana

yang dikehendaki oleh Instruksi Presiden RI dan Ka Kan wil Dep.

P & K Prop. Jawa Timur ...”76

Dalam bagian lain laporannya, Bupati Jember malah

menilai bahwa sekolah milik GKT ini tidak menaruh perhatian

serius kepada lambang-lambang negara Indonesia. Meski foto

Presiden Soeharto dipasang di kantor sekolah namun foto

wakilnya masih tetap “Bapak Hemengkubuwono IX.” Foto itu

baru diganti dengan foto Adam Malik, wakil presiden saat itu,

setelah diminta oleh pejabat sementara Kepala Sekolah yang

ditunjuk oleh Bupati Jember. Demikian pula di kelas-kelas tidak

ditemukan “gambar Presiden, Wakil Presiden dan Bendera Pusaka

Merah Putih.” Seluruh kenyataan ini dianggap sebagai bentuk

tiadanya penghargaan terhadap kebijaksanaan pemerintah “baik

dalam persoalan asimilasi, kurikulum pendidikan dan

kebijaksanaan Bupati Kepala Daerah Tk II Jember.” Bahkan

Bupati mengkuatirkan sekolah ini hendak dipakai untuk

“menghidupkan kembali CHTH yang pernah ditutup pada

permulaan Orde Baru” karena “orientasinya berfokus kepada

negeri leluhurnya dan bukan berdasarkan iktikad baiknya dalam

74 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979 tentang laporan

penyelesaian kericuhan pada Badan Pendidikan Sekolah Aletheia Jember

tanggal 27 Nopember 1979. 75 Surat Edaran Kepala Kantor Wilayah Departemen P & K Provinsi Jawa

Timur kepada Semua Kepala Kantor Departemen P & K Jabupaten/Kotamadya di

Jawa Timur No. 1311/S1/G tanggal 14 Oktober 1976 tentang Pelaksanaan

Asimilasi di Bidang Pendidikan di Jawa Timur. 76 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979 tentang laporan

penyelesaian kericuhan pada Badan Pendidikan Sekolah Aletheia Jember tanggal 27 Nopember 1979.

Page 27: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 159 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

rangka mengamalkan Pancasila serta Undang-undang Dasar R.I.

1945.”77

Kini orang-orang Tionghoa di GKT menghadapi masalah

yang sangat peka, sekaligus mengancam eksistensinya. Jika

mereka mau selamat maka menampilkan diri sebagai WNI yang

patuh mengikuti seluruh kebijakan pemerintah di bidang asimilasi

adalah sebuah keniscayaan. Karena bahasa Indonesia merupakan

salah satu tekanan penting kebijakan asimilasi maka mau

bagaimanapun di hadapan para pejabat pemerintah dan militer

bahasa Indonesia harus dipergunakan. Sekalipun waktu itu

sebagian besar peserta sidang lebih fasih berbahasa Tionghoa dan

peraturan tata tertib sidang tersebut telah menyimpang dari

kebiasaan selama ini, hal itu harus dilakukan demi menampilkan

diri yang sudah berasimilasi.

Selain dalam persidangan sinode, pemakaian bahasa

Indonesia juga diterapkan kepada bahan-bahan cetak yang selama

ini dipergunakan dalam gereja. Dalam Sidang Sinode GKT Ke-5

tahun 1971 peserta sidang mengangkat isu bahasa Tionghoa dalam

buku pembinaan untuk calon baptisan atau sidi. Karena sekarang

GKT sudah menjadi sebuah gereja nasional Indonesia maka buku

tersebut harus diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa

Indonesia.78 Keputusan yang kemudian diambil adalah BP Sinode

diperintahkan “untuk menerbitkan buku katekisasi dalam bahasa

77 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979 tentang laporan

penyelesaian kericuhan pada Badan Pendidikan Sekolah Aletheia Jember

tanggal 27 Nopember 1979. CHTH adalah singkatan dari Chung Hua Tsung

Hui. Ia adalah organisasi persatuan orang-orang Tionghoa, yang didirikan

setelah Perang Dunia II di banyak kota di Indonesia. Anggotanya awalnya didominasi oleh orang-orang Tionghoa totok pro Kuomintang dan perlahan-

lahan didominasi oleh orang Tionghoa pro Beijing. Organisasi ini dibubarkan

pada tahun 1965 oleh pemerintah. Lihat Leo Suryadinata, ed., Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary, Vol. II: Glossary and

Index (Singapore: ISEAS Publishing, 2012), 5. 78 Wawancara bp AG, Batu, 22 Maret 2011 dan Malang, 22 Februari

2012.

Page 28: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

160 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Indonesia.”79 Pekerjaan ini dapat diselesaikan tidak lama

kemudian dengan diterbitkannya buku katekisasi GKT bahasa

Indonesia yang diberi judul ‘Di Atas Dasar Yang Teguh.’

Sepuluh tahun kemudian, dalam sidang sinode tahun

1981, giliran buku nyanyian ibadah jemaat, yang berjudul Puji-

pujian Rohani (PPR), yang diputuskan diubah bahasanya dari

berdwi bahasa: Indonesia-Tionghoa menjadi bahasa Indonesia

saja. Usulan ini berangkat dari usul GKT Jemaat I di Malang,

yang sudah berbahasa Indonesia dan dari GKT Semarang, yang

masih berbahasa Tionghoa.80 Usulan awal ialah memperbaharui

ejaan teks bahasa Indonesia yang saat itu masih memakai ejaan

lama. Namun oleh seorang peserta usulan ini dipahami

berimplikasi kepada penghapusan teks bahasa Tionghoa. Pikiran

ini dilandasi oleh hal yang sudah diketahui bersama bahwa untuk

mencetak buku atau literatur yang ada bahasa Tionghoanya akan

memerlukan sebuah izin khusus dari pihak keamanan.

Problemnya, izin itu dirasa tidak akan mudah didapatkan,

sementa pihak penerbit sendiri tidak mau ambil tanggung jawab

untuk itu. Ketua Sinode GKT yang ditanya mengenai soal ini pun

tidak dapat memberi jawaban tegas.

Keraguan ini ditangkap oleh seorang peserta lain yang

kemudian mengusulkan supaya buku ini “dicetak [dalam] bahasa

Indonesia saja.” Seorang peserta sidang dari kota Semarang

mendukung gagasan itu sambil mengingatkan peserta sidang

tentang “generasi muda yang sudah banyak tidak bisa bahasa

Tionghoa.” Karena itu “yang lalu biarlah berlalu, dan dicetak yang

baru dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan.” Seluruh

peserta sidang akhirnya sepakat menerima usulan perubahan

bahasa dan menugaskan “BP Sinode untuk mencetak buku

nyanyian (PPR) khusus dalam bahasa Indonesia yang

79 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-4 Tahun 1971, nomor

11. 80 Lihat Notulen Sidang Sinode GKT Ke-10, Lawang, 3-5 November

1981: 19-20.

Page 29: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 161 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

disempurnakan dengan hanya memakai satu not (tanpa not

balok).”81

Tahun 1985, isu ini kembali diangkat. Berangkat dari

kenyataan bahwa pencetakan buku PPR dalam bahasa Indonesia

dengan not angka makan waktu sampai 1,5 tahun Sekretaris

Umum BP Sinode GKT kemudian meminta sidang untuk

menentukan sikap apakah proyek ini mau terus dilanjutkan atau

tidak.82 Pertanyaan ini kembali membuka debat tentang posisi

bahasa Tionghoa dalam buku yang baru. Sebagian berpendapat

supaya bahasa Tionghoa tetap dipertahankan dan hanya “bahasa

Indonesianya saja yang dirobah.” Yang lain berpendapat bahwa

hal itu tidak bisa dilakukan karena alasan teknik pencetakan dan

keputusan memakai teks bahasa Indonesia sudah diputuskan

dalam sidang sinode sebelumnya. Yang lain menambahkan bahwa

bahasa Tionghoa sebaiknya dihapus karena hal “ini berarti kita

juga menyesuaikan diri dengan anjuran/instruksi DEPAG

mengenai bahasa Mandarin dalam gereja.” Dengan seluruh

argumen ini, sidang akhirnya mengambil keputusan sbb.:

Pertama, PPR perlu direfisi oleh Panitia lama

ditambah anggota baru yang ditunjuk, yaitu

Sdr. Soesanto dan Pdt. Kornelius. Kedua, not

balok tetap dipakai. Ketiga, tidak memakai

bahasa Tionghoa.83

Buku ini berhasil diwujudkan dua belas tahun kemudian

pada tahun 1997. Dalam buku baru ini teks bahasa Tionghoa

sudah tidak ada lagi.

81 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-10 Tahun 1981, nomor

6. 82 Kutipan percakapan diambil dari Notulen Sidang Sinode GKT Ke-13,

Lawang, 5-7 November 1985: 7-8. 83

Ibid.

Page 30: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

162 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

6. Penutup

Di hadapan semua penguasa, orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT berusaha memperlihatkan persetujuan dan

kepatuhannya kepada kebijakan asimilasi. Sidang Sinode Ke-2

tahun 1969 makin mempertegas sikap itu dengan mengharuskan

semua warga GKT untuk “patuh kepada peraturan pemerintah.”84

Namun seperti diperingatkan James C. Scott mengenai orang-

orang yang ditindas, peragaan hidup di depan penguasa tidak

boleh diterima begitu saja sebagai keseluruhan cerita hidup orang-

orang tersebut. Dalam kasus interaksi orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT dengan negara dan aparat pemerintah, hal itu

tampaknya benar. Di antara peragaan-peragaan kepatuhan

ternyata ada pula peragaan-peragaan lain yang ditampilkan di

pentas lain, yang berada di luar jangkauan observasi penguasa.

Respons-respons yang diperlihatkan secara tersembunyi inilah

yang akan dibicarakan di bagian berikut ini.

B. Langkah-langkah yang Menyimpang dari Asimilasi

1. Tetap Memakai Bahasa Tionghoa

Lebih dari sekedar alat berkomunikasi, bahasa merupakan

alat untuk mengungkapkan identitas.85 Bagi orang Tionghoa

Kristen di GKT bahasa Tionghoa (baik itu dialek maupun

Mandarin) adalah alat untuk berkomunikasi dan mengidentifikasi

84 Ringkasan Akta Sidang Lengkap Tahun 1969 Sinode Gereja Kristus

Tuhan, Butir III. 85 Zhang Xiaoling, “Communication, Language and Identity —

Attitudes toward Preserving Children’s Linguistic Identity in the UK among

Parents from Mainland China,” Journal of Chinese Overseas, Volume 1, Number

1, May 2005: 112; Kari Gibson, “English Only Court Cases Involving the U.S. Workplace: The Myths of Language Use and the Homogenization of

Bilingual Worker’s Identities”, Second Language Studies, 22 (2), Spring 2004: 1-

4; Michael Byram, “Languages and Identities” makalah yang disampaikan

dalam Intergovernmental Conference Languages of Schooling: towards a Framework

for Europe, Strasbourg 16-18 October 2006, dalam

http://www.coe.int/t/dg4/linguistic/source/byram_identities_final_en.doc (2 November 2014).

Page 31: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 163 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

diri. Pelarangan, apalagi penghapusan, sama artinya dengan

peniadaan diri. Karena itu berbagai upaya dilakukan supaya ia

tetap lestari. Sejumlah strategi pelestariannya akan dibahas di

bagian ini.

1.1. Tata Tertib Sidang Sinode: “Tidak Harus Berbahasa

Indonesia Saja.”

Bila sidang-sidang sinode GKT, dari yang pertama sampai

yang kesembilan, diperiksa lebih lanjut maka akan tampak pola

penggunaan bahasa seperti tabel di bawah ini:

Tabel 4.2. Pola Penggunaan Bahasa dalam Sidang Sinode GKT

Tahun 1968-1980

No Macam Sidang Kehadiran Unsur Pemerintah,

Militer dan DGI

Bahasa Yang

Dipakai

1 Sidang Tahunan

1969, THKTKH

Klasis Jatim, 8-

10 Januari 1968

Tidak ada.

Bahasa

Tionghoa

2 Sidang Sinode

Ke I

29 April-3 Mei

1968

M. Abednego, Dirjen Bimas

Kristen Protestan.

Rasjid Padmosudiro, Kepala

Petugas Urusan Kristen,

Jawatan Urusan Agama

Provinsi Jawa Timur.

Dr. S.A.E. Nababan,

Sekretaris Umum DGI.

May. Pdt. M.G.

Simanjuntak, Kepala

Rawatan Rohani Protestan,

Kodam VIII/Brawijaya.

Bahasa

Tionghoa

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

3 Sidang Sinode

Ke II

8-11 Juli 1969

Tidak ada.

Bahasa

Tionghoa.

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

Page 32: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

164 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

4 Sidang Sinode

Ke III

7-10 Juli 1970

Tidak ada.

Bahasa

Tionghoa.

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

5 Sidang Sinode

Ke IV

20-23 Juli 1971

Tidak ada.

Bahasa

Tionghoa.

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

6 Sidang Sinode

Ke V

10-13 Juli 1072

Hardjoprajitno, Kepala

Bagian Kristen, Perwakilan

Departemen Agama Provinsi

Jawa Timur.

May. A.J.I. Rampen, Kepala

Rawatan Rohani Protestan,

Kodam VIII/Brawijaya.

Wakil-wakil Sinode GKI

Jawa Timur.

Bahasa

Tionghoa

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

7 Sidang Sinode

Ke VI

24-25 Juli 1973

Hardjoprajitno, Kepala

Bagian Kristen, Perwakilan

Departemen Agama Provinsi

Jawa Timur.

Wakil-wakil Sinode GKI

Jawa Timur tidak bisa hadir.

Bahasa

Tionghoa

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

8 Sidang Sinode

Ke VII

14-17 Oktober

1975

Pdt. P.M. Sihombing, wakil

BPH DGI.

Pdt. RWK Adisoesila, wkil

BPH DGW Jawa Timur,

Bali, Lombok.

Penatua D.S. Ibrahim, wakil

Moderamen Sinode GKI

Jatim.

Bahasa

Tionghoa

Diterjemahkan

ke dalam

bahasa

Indonesia.

9 Sidang Sinode

Ke VIII

25-28 Oktober

1977.

Dirjen Bimas

Kristen/Protestan,

Departemen Agama RI.

Pembimbing Bimas

Hanya bahasa

Indonesia.

Tanpa bahasa

Page 33: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 165 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Kristen/Protestan Provinsi

Jawa Timur.

Pdt. P.M. Sihombing, wakil

BPH DGI, Jakarta. (Ikut dari

awal sampai akhir dan

terlibat aktif).

Ketua Majelis Agung Gereja

Kristen Jawi Wetan

(GKJW).

Ketua Moderamen Sinode

GKI Jatim.

Tionghoa.

Tanpa

penterjemah

bahasa

Tionghoa.

10 Sidang Sinode

IX

15-17 Januari

1980

Aristarkus, Penyelenggara

Bimas Kristen/Protestan

Departemen Agama

Kabupaten Malang.

Letkol. Pdt. J.S. Saragih,

Kepala Rawatan Rohani

Protestan Kodam VIII/

Brawijaya, Jawa Timur.

May. Pdt. Dj. Bengngu,

Kepala Rawatan Rohani

Protestan Kodam XVI/

Udayana, Bali.

(Diangkat sebagai Penasihat

Sidang. Ikut sidang dari awal

sampai akhir!)

Hanya bahasa

Indonesia.

Tanpa bahasa

Tionghoa.

Tanpa

penterjemah

bahasa

Tionghoa.

Dari tabel di atas terlihat bahwa pola pemakaian bahasa

yang selama ini terjadi sejak sidang sinode pertama adalah bahasa

Tionghoa dan terjemahan bahasa Indonesia. Pola ini terlihat pula

dalam susunan dokumen notulen-notulen dan akta-akta sidang

yang dikirim kepada jemaat-jemaat GKT. Dokumen-dokumen

tersebut selalu tersusun dalam dua bahasa: bahasa Tionghoa di

halaman-halaman depan dan bahasa Indonesia di halaman-

halaman belakang. Buletin sinode, yang diterbitkan oleh Badan

Pengurus (BP) Sinode GKT pada tahun 70-an juga dicetak dalam

dua bahasa: Tionghoa dan Indonesia. Bahkan dalam edisi-edisi

Page 34: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

166 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

tertentu seperti Natal, ucapan-ucapan selamat Natal yang dimuat

hampir seluruhnya dalam bahasa Tionghoa.86

Pemakaian bahasa Indonesia dalam sidang kedelapan dan

kesembilan, dengan demikian, menyimpang dari kebiasaan. Di

bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa penyimpangan ini

disebabkan oleh kehadiran unsur-unsur pemerintah, tentara dan

DGI selama persidangan; dan karena tekanan dari luar (eksternal)

untuk membuktikan kesejatian keindonesiaannya. Pada tahun

1981, sidang tidak lagi dihadiri oleh utusan tentara dan DGI. Kini

orang-orang Tionghoa hanya sendirian dengan sesamanya. Seperti

sidang-sidang sebelumnya, tata tertiba sidang hanya ada enam

butir saja. Dari butir satu sampai butir lima, peraturannya boleh

dikatakan sama persis dengan tata tertib dua sidang sebelumnya.

Tabel 4.3. Perbandingan Tata Tertib Persidangan Sinode

No Tata Tertib Sidang

Ke VIII/1977

Tata Tertib Sidang

Ke IX/1979

Tata Tertib Sidang

Ke X/1981

1 Para peserta dengan

tanda merah mem-

punyai hak memilih

dan hak dipilih.

Para peserta dengan

tanda kuning tua

mem-punyai hak

me-milih dan

dipilih.

Peserta dengan tanda

merah dan biru

berhak memilih dan

dipilih.

2 Demi ketertiban,

maka para pem-

bicara diharap angkat

tangan dulu.

Demi ketertiban,

maka peserta

diharap angkat

tangan dulu.

Demi ketertiban,

para peserta diharap-

kan mengangkat

tangan.

3 Waktu pembicaraan

jangan terlalu lama.

Waktu berbicara

jangan terlalu lama.

Waktu berbicara

jangan terlalu lama.

4 Tidak boleh

merokok.

Dalam ruangan

sidang tidak diper-

kenankan merokok.

Dalam ruangan tidak

boleh merokok.

5 Jika meningalkan

rapat, harap lapor

dulu pada ketua

Meninggalkan

tempat harap lapor

pada pimpinan

Meninggalkan

tempat harap lapor

pada pimpinan

86 Lihat misalnya Berita Warga Gereja Kristus Tuhan Indonesia 26,

Oktober-Desember 1975.

Page 35: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 167 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sidang. sidang. sidang.

6 Hanya memakai

bahasa Indonesia.

Sidang hanya me-

makai bahasa

Indonesia.

Memakai bahasa

Indonesia dan

Tionghoa.

Namun pada butir terakhir, butir keenam, sidang kali ini

menerapkan peraturan yang berbeda. Perbedaan ini terjadi atas

usulan seorang utusan dari GKT Semarang, yang juga salah

seorang anggota Majelis Persidangan. Ia meminta supaya peserta

diizinkan “memakai bahasa bebas dalam arti tidak harus

menggunakan bahasa Indonesia, asal saja ada penterjemahnya.”

Alasannya, “demi pengungkapan pendapat secara bebas.”87

Pemakaian bahasa Indonesia secara eksklusif selama dua sidang

terakhir dirasa menghambat pengungkapan pikiran dan pendapat

oleh mereka yang fasih berbahasa Tionghoa. Tanpa satupun protes

sidang secara aklamasi menerima usul ini untuk menjadi peraturan

dalam tata tertib persidangan.

Peraturan ini memang terbukti memberi keleluasaan yang

amat besar seperti yang diharapkan. Peserta sidang yang tidak

dapat berbahasa Indonesia kini dengan leluasa dapat ambil bagian

dalam percakapan. Jika dalam dua sidang sebelumnya mereka

hadir namun tidak berbicara, atau pendapatnya dititipkan melalui

peserta lain yang bisa berbahasa Indonesia maka dalam sidang kali

ini mereka sendiri yang langsung berbicara. Seorang peserta sidang

yang bernama Ko Tuan An pernah hadir dalam sidang tahun 1977

sebagai wakil Badan Kesejahteraan Pendeta/Penginjil. Waktu itu

ia harus menyampaikan suatu laporan. Namun karena tidak dapat

berbahasa Indonesia dengan fasih maka laporan itu ia titipkan

kepada seorang peserta lain yang dapat berbahasa Indonesia untuk

melaporkannya “atas nama Sdr. Ko Tuan An.”88 Dalam sidang

berikutnya yang kembali berlangsung dalam bahasa Indonesia, ia

87 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-10, Lawang, 3-5

Nopember 1981: 1. 88 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-7, Lawang, 14-17

Oktober 1975: 4.

Page 36: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

168 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

malah tidak hadir. Ia baru hadir kembali pada sidang tahun 1981

sebagai wakil komisi sinode yang bertugas mencari dana untuk

keperluan pekerjaan-pekerjaan sinodal. Namun berbeda dari dua

sidang sebelumnya, kini ia sendiri yang berbicara dan

menyampaikan laporannya secara langsung dalam bahasa

Tionghoa.89

Selain secara lisan, peserta sidang juga diizinkan memulis

dalam aksara Tionghoa. Hal ini berbeda dari sidang tahun 1977.

Dalam pleno pemilihan BP Sinode periode 1977-1981, tata tertib

sidang mengharuskan penulisan nama calon badan pengurus

sinode dalam aksara Indonesia. Sejumlah besar peserta sidang lalu

mengalami kesulitan menuliskan nama. Untuk mengatasinya,

pimpinan sidang lalu mengizinkan peserta yang merasa kesulitan

untuk “mencantumkan nomer”90 calon saja. Dengan peraturan

yang baru di Sidang Sinode 1981, peserta sidang tidak lagi

mengalami kesulitan serupa sewaktu memilih badan pengurus

sinode periode 1981-1985. Kini, baik nama yang memilih maupun

yang dipilih, “boleh ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa

Tionghoa.”91

Sidang Sinode 1981 menjadi titik balik pemakaian bahasa

Tionghoa di forum-forum rapat gerejawi yang tertinggi. Cara

bahasa Tionghoa dipergunakan oleh persidangan ini kemudian

menjadi patokan yang terus dipakai dalam sidang-sidang sinode

selanjutnya. Pada Sidang Sinode Ke-11 tahun 1983, tata tertib

sidang dengan tegas mengatur bahwa peserta “boleh memakai

bahasa Mandarin yang diterjemahkan.” Sidang sinode tahun 1985

89 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-10, Lawang, 3-5

Nopember 1981: 3. Contoh lain adalah seorang yang bernama Koo Nyong

Ing. Dalam sidang 1977 dan 1980, ia hanya berbahasa Indonesia saja. Dalam sidang 1981, dalan suatu pleno, ia tanpa ragu memakai bahasa Tionghoa

sementara di pleno lainnya memakai bahasa Indonesia. Orang lain adalah

Pdt. Daniel Yonathan. Sebagai orang yang fasih berbahasa Indonesia dan Tionghoa, ia dengan tangkas memakai dua bahasa ini di mana perlu. Hal-hal

seperti ini tidak dilakukan dalam dua sidang sebelumnya. 90 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-7: 5. 91 Ibid., 14.

Page 37: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 169 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

maju selangkah lebih jauh, dengan menyediakan dua penterjemah

resmi ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Ev. Johan Eddy S. dan

Ev. Sofia Chen. Penunjukkan tenaga penterjemah khusus ini

kembali dilakukan lagi pada sidang tahun 1987. Setelah ini bahasa

Tionghoa terus dipergunakan namun kini tanpa penterjemah

khusus. Sidang tampaknya tidak merasa perlu berbuat demikian

karena urusan itu dapat langsung ditangani oleh beberapa tenaga

pekerja gerejawi yang hadir.92

1.2. Buku Nyanyian Jemaat: “Kembalikan Teks Bahasa

Tionghoanya”

Buku nyanyian ibadah GKT yang lama hanya terdiri atas

dua bagian saja. Bagian depan terdiri atas 380 nyanyian yang

dipakai untuk ibadah hari Minggu sementara di bagian belakang

terdapat 100 nyanyian pendek yang dipergunakan untuk ibadah-

ibadah doa dan ibadah-ibadah khusus seperti Kebaktian

Kebangunan Rohani (KKR), dan lain-lain. Tiap-tiap lagu di

bagian depan terdiri atas tiga bait saja, sementara yang di bagian

belakang panjangnya berbeda-beda namun dengan panjang

maksimal tiga bait saja. Seluruh nyanyian memakai not angka dan

not balok. Teksnya tertulis dengan dua bahasa: bahasa Indonesia

dan bahasa Tionghoa. Teks bahasa Indonesia ditaruh di bagian

atas sementara teks bahasa Tionghoa tepat di bawahnya. Setiap

hari Minggu orang-orang Tionghoa Kristen di GKT memuji

Tuhannya dalam dua bahasa ini. (Lihat Lampiran 4).

Buku ini hadir di GKT sebagai hasil kesepakatan yang

dibuat dalam Rapat Tahunan THKTKH Klasis Jatim di Semarang

pada tahun 1965.93 Menindaklanjuti percakapan tentang usaha-

92 Hal itu terlihat, misalnya, dalam sidang sinode GKT tahun 1999,

sidang sinode pertama yang saya ikuti setelah bergabung dengan GKT pada tahun 1997. Dalam sidang itu, seorang peserta sidang memakai bahasa

Tionghoa untuk mengungkapkan pikirannya dan langsung diterjemahkan

oleh seorang pekerja gerejawi yang menjadi salah seorang pimpinan sidang. 93 Lihat Panitia Penyusun Kitab Nyanyian Kesatuan Gereja Kristen

Tionghoa (THKTKH) Klasis Jawa Timur, “Kata Pengantar” dalam Buku

Puji-pujian Rohani (Malang: BP Sinode GKT, 1997), i-ii.

Page 38: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

170 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

usaha menampilkan kesatuan gereja yang lebih kongkrit, rapat

merasa perlu membuat sebuah buku nyanyian yang menjadi

simbol kesatuan gereja. Sebuah panitia lalu ditunjuk untuk

menyiapkan-nya. Panitia itu diberi nama Panitia Penyusun Kitab

Nyanyian Kesatuan. Sebagian besar nyanyiannya diambil dari

buku-buku nyanyian yang selama ini sudah dipergunakan oleh

gereja-gereja Tionghoa di dalam maupun luar negeri, termasuk

oleh sejumlah jemaat THKTKH Klasis Jatim. Di antaranya

adalah Hymn of Universal Praise;94 Gospel Hymns, Canton China;

South Fuchian Church Hymns; Evangel Hymns, Hongkong; Chinese

Hymnary, Hongkong; Cry of the Wilderness, Hongkong; Youth Hymns,

Hongkong; Heavenly People Choruses, Hongkong; Evangelical Hymnal.

Dari sumber berbahasa Indonesia, Panitia menoleh kepada

Nyanyian Kemenangan Iman, yang populer di kalangan Gereja

Kemah Injil, lalu Nyanyian Pengharapan dan Nyanyian Kebangunan

Rohani, yang tidak jelas berasal dari kelompok mana. Hasil kerja

panitia ini adalah sebuah buku nyanyian yang diberi nama Puji-

pujian Rohani (PPR).

Pada tahun 1997 terbit edisi revisi PPR, yang hanya

mencantumkan teks bahasa Indonesia saja. Penerbitannya

merupakan buah dari keputusan yang sudah dibuat pada sidang

sinode tahun 1981 dan dipertegas lagi oleh sidang sinode tahun

1985. Namun belum dua tahun beredar, buku ini sudah mendapat

kritik tajam dari anggota-anggota jemaat yang ingin

mempertahankan penggunaan bahasa Tionghoa di GKT. Protes

mereka diperdengarkan dalam Sidang Sinode tahun 1999.

94 Buku ini merupakan hasil kerja sama enam badan gerejawi di

Tiongkok dan terbit pertama kali pada tahun 1936. Di dalamnya ada lebih dari 400 buah nyanyian yang biasa dinyanyikan di gereja-gereja di Barat; lalu

62 lagu yang ditulis oleh musisi Tiongkok Kristen bersama 72 nada lagu tradisional Tiongkok. Lihat Frank W. Price, pentj., Chinese Christian Hymns By

Chinese Writer with Chinese Tunes: Selected from The Chinese Hymn Book, Hymns of

Universal Praise (Richmond, VA.: Board of Missions, PCUSA, 1953), tanpa

halaman. Buku ini merupakan buku nyanyian yang paling banyak

dipergunakan di kalangan gereja-gereja Tionghoa kala itu. THKTKH Jemaat Hinghwa Surabaya adalah salah satu pemakainya. Lihat Wawancara bp TPS,

Malang, 10 Agustus 2011.

Page 39: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 171 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Diwakili oleh utusan sidang dari GKT Jemaat Kanaan, Kediri,

mereka mengingatkan peserta sidang bahwa bahasa Tionghoa

yang tertera dalam buku Puji-pujian Rohani (PPR) yang lama

memiliki relasi yang sangat erat dengan identitas sosial-kultural

GKT. Berikut penjelasannya:

Kalau saya melihat dalam buku PPR yang lalu itu

[maksudnya, yang lama, pen.] ada bahasa

Mandarinnya. Dan GKT itu kalau nggak salah

dulunya adalah Gereja Kie Tok Kauw Hwee ya,

jadi gereja yang berbahasa Mandarin, dan di Kediri

satu-satunya gereja yang berbahasa Mandarin

adalah GKT, di Kediri itu. Tapi sekarang bukunya

itu [maksudnya, buku PPR edisi revisi] rasanya

mundur nggak ada bahasa Mandarinya gitu. Waktu

ada visitasi dari BP itu menyarankan supaya buku

kita yang lama itu direvisi. Kita telah mengikutinya

ya, revisi banyak sekali. Ada hampir seratus buku

kita revisi, tapi setelah kita pakai, ternyata pada

waktu liturgis itu nyanyi bagian pemuda, yang bawa

buku itu ndak bisa nyanyi, akhirnya kacau. Ndak

ada buku itu, bagian pemuda bagian belakang ‘kan

ndak ada. Jadi saya pikir akhirnya buku-buku

bahasa Mandarin yang telah kita revisi itu, ganti

cover dan lain-lain itu, akhirnya ndak kepakai. Jadi

saya pikir kalau nggak bisa sekarang atau biayanya

terlalu banyak bisa menjadi catatan. Seperti buku

merah yang tadi kita pakai ‘kan ada Mandarinnya.

Mengapa buku PPR ndak ada Mandarinnya? Ya

saya pikir itu aja. Terima kasih. 95

95 Utusan GKT Jemaat Kanaan, Kediri, dalam Kaset Rekaman 5

Sidang Pleno V, Sidang Sinode GKT Ke-19, Tretes, Pasuruan, 13-15 Juli 1999,

hari kedua, 14 Juli 1999.

Page 40: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

172 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Usulan ini segera mengundang tanggapan yang ramai dari

peserta sidang.96 Ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Yang

tidak setuju berpendapat bahwa secara praktis usulan tersebut

tidak mudah untuk dikerjakan.97 Kesulitan itu masih ditambah lagi

dengan tiadanya sumber daya manusia yang sanggup untuk

mengerjakannya.98 Alasan yang lebih fundamental diajukan oleh

seorang pekerja gerejawi yang pernah terlibat dalam urusan revisi

buku PPR. Ia berpendapat bahwa bahasa Tionghoa tidak

diperlukan lagi karena dua alasan. Pertama, karena jumlah

pemakainya sudah makin minim dan sebentar lagi habis. Seirama

dengan alasan yang pernah disampaikan dalam sidang sinode

tahun 1981, ia berpendapat bahwa “tidak lama lagi yang tua-tua

sudah dut dan sekarang ini banyak anak muda sudah tidak bisa

bahasa Tionghoa.” Intinya, memasukkan kembali bahasa

Tionghoa akan menjadi pekerjaan mubasir.

Alasan yang kedua ia hubungkan dengan misi gereja

GKT. Dalam pemahamannya GKT sudah bukan lagi gereja yang

melulu menjangkau orang-orang Tionghoa yang berbahasa

Tionghoa. Misi GKT adalah menjangkau semua orang dari segala

macam suku, bangsa dan bahasa. Ia berkata, “Kita juga tidak ingin

supaya [GKT menjadi gereja yang] Chinese-oriented. Kita ‘kan juga

ingin masuk sampai ke desa-desa. Kalau orang-orang lain lihat

urek-urekan begitu, mereka juga kabur [dengan orientasi baru GKT

itu].”99 Memasukkan kembali bahasa Tionghoa ke dalam buku

nyanyian selain tidak relevan, juga akan menghambat kemajuan

pekabaran Injil yang dilakukan di antara orang-orang non-

Tionghoa.

96 Semua tanggapan yang didiskusikan di sini diambil dari Kaset

Rekaman 5 untuk Sidang Pleno V, Sidang Sinode GKT Ke-19, hari kedua, 14 Juli

1999. 97 Ia adalah seorang yang mampu berbicara dan menulis dalam

bahasa Tionghoa serta berasal dari GKT Jemaat Hosana, Surabaya, yang

waktu itu memiliki dua ibadah Minggu dalam bahasa Tionghoa. 98 Ia adalah pekerja gerejawi di GKT Jemaat Hosana, Surabaya,

dengan jabatan Pendeta. 99 Yang ia maksud dengan dut adalah meninggal. Sementara urek-

urekan adalah tulisan.

Page 41: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 173 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Namun alasan ini ditepis oleh mereka setuju dengan

pemikiran bahwa hal itu mengabaikan dimensi-dimensi historis

dan sosiologis buku itu. Buku itu sangat monumental karena

menjadi buku nyanyian pertama yang diusahakan sendiri oleh

orang-orang Tionghoa Kristen yang berbahasa Tionghoa di

Indonesia.100 Buku PPR, dengan teks bahasa Indonesia dan

Tionghoa, sejatinya adalah jati diri orang-orang Tionghoa Kristen

di GKT. Maka memasukkan kembali teks bahasa Tionghoanya

adalah suatu keharusan, berapapun ongkosnya.101 Kalau dikatakan

para penggunanya sudah semakin habis, pihak yang setuju justru

menemukan bahwa para pengguna di kalangan generasi muda

semakin bertambah. Karenanya, meski orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT sekarang sudah menjadi orang Indonesia, mereka

diingatkan agar terus melestarikan pemakaian bahasa ini.102

Setelah mendengarkan sejumlah tangggapan, Rapat Pleno

ke-5 Sidang Sinode ke-19, tahun 1999 akhirnya sepakat mencetak

kembali buku PPR “dengan bahasa Mandarin dan not balok.”103

Keputusan itu didukung oleh mayoritas (78 dari 98 suara) utusan

sidang.

1.3. Menggunakan Traktat Penginjilan dalam bahasa Tionghoa

Dalam laporan hasil survei menyeluruh gereja-gereja di

Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI

pada tahun 1968-1976 ditemukan bahwa salah satu metode

pekabaran Injil yang dipakai oleh GKT adalah “penyebaran

selebaran traktat.” Metode ini, bersama beberapa metode lainnya,

100 Ia adalah pekerja gerejawi dengan jabatan Pendeta, dan bekerja

sebagai dosen di STT Aletheia, Lawang. Ia mengaku berada dalam tim yang

menyusun edisi pertama buku itu, yang memakai dwi-teks: bahasa Tionghoa dan bahasa Indonesia.

101 Ia adakah pekerja gerejawi di GKT Jemaat Hosana, Surabaya, dengan jabatan Penginjil.

102 Ia adalah seoang tua, anggota Majelis Jemaat di GKT Nazareth,

Surabaya. 103 Lihat Kumpulan Keputusan Sidang Sinode Ke-19 Tahun 1999 dalam

buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Gereja Kristus Tuhan (Malang: BP

Sinode GKT, 2008), 104.

Page 42: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

174 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

rupanya tidak banyak dipergunakan oleh gereja lain di Indonesia.

Hanya GKT, GKI Jatim, GKI Jateng, Gereja Methodist Indonesia

(GMI) dan Gereja Baptis, yaitu gereja-gereja yang “terdiri dari

orang-orang Cina belaka, atau yang pelayan oikumenisnya

(misionaris) berlatar belakang Cina” saja yang memakainya.104

Traktat-traktat ini adalah dalam bahasa Tionghoa dan diperoleh

dari lembaga-lembaga penerbitan di luar negeri.

Setelah berkuasa, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan

kebijakan pembatasan ketat terhadap masuknya bahan-bahan

cetak yang berbahasa Tionghoa dari luar negeri.105 Kebijakan ini

kemudian dikoreksi beberapa waktu kemudian sehingga buku-

buku atau barang cetakan yang berhuruf dan berbahasa Tionghoa

yang bersifat keagamaan boleh masuk, malah dalam jumlah yang

tidak terbatas, namun setelah terlebih dahulu disensor.106

Penyensoran tampaknya menjadi cara lain pemerintah untuk tetap

meneruskan kebijakan lama sebab pada kenyataannya bahan-

bahan itu tetap sukar untuk masuk, bahkan untuk jumlah yang

terbatas sekalipun.

Kondisi ini tentu menghambat upaya mengabarkan Injil

kepada orang-orang Tionghoa yang belum Kristen. Untuk

mengatasi hal ini maka dalam Sidang Sinode ke-4 tahun 1971

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT mulai memikirkan cara

memperoleh traktat-traktat pekabaran Injil (PI) dalam bahasa

Tionghoa tersebut. Sejumlah peserta sidang mengusulkan supaya

104 Lihat Dr. Fridolin Ukur & Dr. Frank L. Cooley, peny., Jerih dan

Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta:

Lembaga Penelitian dan Studi-DGI, 1979), 221. 105 Surat Edaran Kejaksaan Agung R.I. No. B-134/c.1.3/4/68/148

tanggal 22 April 1968 tentang Pembatasan masuk majalah-majalah/buku-buku

dan barang-barang cetakan lainnya yang berhuruf dan berbahasa Tjina terbitan luar negeri ke Indonesia. Dalam surat terakhir ini tanpa pengecualian

apapun Kejaksaan Agung membatasi masuknya dari luar negeri majalah-

majalah, buku-buku dan barang-barang cetakan lainnya yang beraksara dan

berhasa Tionghoa. 106 Surat Edaran Kejaksaan Agung No. B-267/C.1.3/2/1969/52

tertanggal 19 Februari 1969. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dari surat edaran sebelumnya,.

Page 43: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 175 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Sinode GKT mencetak sendiri traktat-traktat itu karena

sebelumnya sudah diputuskan membentuk sebuah badan

penerbitan sinode dan membeli sebuah mesin stensil serta

perlengkapan cetak lainnya. Peserta sidang pada prinsipnya setuju

bahwa traktat-traktat PI amat dibutuhkan dan perlu sekali dicetak.

Namun, karena alasan-alasan “kesulitan tehnik dll.” sidang

kemudian memutuskan bahwa pencetakan traktat dalam bahasa

Tionghoa diserahkan kepada jemaat-jemaat masing-masing untuk

mengurusnya.107 Kesulitan teknik tentu saja berhubungan dengan

urusan-urusan teknis penerbitan sementara soal “dan lain-lain”,

ringkasan sumber yang ada tidak memberikan penjelasan.

Sekalipun keputusan tersebut tidak memenuhi harapan

pengusul namun traktat yang dibutuhkan sekurangnya-kurangnya

masih dapat diperoleh melalui dua orang misionaris

berkewarganegaraan Amerika Serikat, ibu dan anak yang bernama

Ethel Zoe Alfsen dan Thelma Alfsen. Bersama Edin Cornelius

Alfsen, suaminya, Ethel Zoe Alfsen pernah selama beberapa tahun

berkarya di Tiongkok dan Tibet.108 Awal tahun 60-an keduanya

masuk ke Malaysia dan mendirikan badan misi Malaysia Faith

Mission. Salah satu bidang pekerjaannya adalah menerbitkan dan

menyebar-luaskan literatur Kristen, Alkitab, buklet-buklet dan

traktat-traktat penginjilan di Asia.109 Salah satu traktat yang

diterbitkan dan disebarluaskan oleh lembaga ini berjudul Jalan Ke

Surga. Traktat ini aslinya ditulis dalam bahasa Tionghoa dan

dimaksudkan untuk menunjukkan jalan keselamatan kepada jiwa-

107 Ringkasan Akta Sidang Lengkap Tahun ’71, Lawang, 20-23 Juli

1971, butir 20. 108 Pada akhir tahun 50-an, Edin C. Alfsen sempat masuk ke

Indonesia untuk merintis suatu karya misi. Namun karena situasi politik kala

itu rencana itu akhirnya dibatalkan. Ia dan isterinya, Zoe Alfsen, akhirnya pindah ke Singapura dan merintis pekerjaan di kalangan orang-orang

Tionghoa di sana. Lihat Nils Dybdal-Holthe, 10. ALFSENS

MISJONSARBEID dalam http://gudsfolket.blogspot.com/2007/05/10-

alfsen.html (diakses pada 20.2.2015). Informasi mengenai Zoe Alfsen dan

Thelma Alfsen berhutang banyak dari sumber ini. 109 Malaysia Faith Mission dalam http://www.lfcviroqua.com/3.html

(diakses pada 2 Agustus 2014).

Page 44: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

176 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

jiwa yang haus dari dunia komunis.110 Setelah suaminya

meninggal pada tahun 1966, Zoe Alfsen dan putrinya, Thelma

Alfsen, meneruskan pekerjaan misi ini.

Pada awal bulan November 1972, ibu dan anak ini

berhasil masuk ke Indonesia. Keduanya langsung bekerja di

kalangan orang-orang Tionghoa. Zoe Alfsen bekerja sebagai guru

musik untuk orang-orang Tionghoa yang berbahasa Tionghoa. Ia

memakai kesempatan itu untuk memberitakan Injil pada yang

belum Kristen. Thelma, putrinya, bekerja sebagai dosen Ilmu PI di

sekolah teologi GKT di Lawang. Ia sering mengadakan perjalanan

mengabarkan Injil ke mana-mana.

Kalau bahan-bahan lain yang berbahasa Tionghoa

mengalami banyak kesulitan untuk dibawa masuk, traktat yang

dikatakan dipersiapkan khusus untuk menjadi alat pekabaran Injil

kepada orang-orang yang kena pengaruh komunisme tampaknya

tidak mengalami kesulitan itu. Apalagi material itu dibawa masuk

oleh warga negara Amerika Serikat yang waktu itu sedang terlibat

dalam kampanye militer melawan kekuatan komunisme di Asia

Tenggara. Dengan traktat ini dan bahan-bahan sejenis lainnya,

Thelma Alfsen membantu orang-orang Tionghoa Kristen di GKT

dalam melakukan pekerjaan pemberitaan Injil kepada orang-orang

Tionghoa dan orang-orang non-Tionghoa pula.111 Di satu sisi

kebutuhan keagamaan terpenuhi sementara di sisi yang lain

110 Penulisnya adalah rekan Thelma Alfsen sendiri, yang bernama

Irene Yang. Lihat Timothy Tow, Forty Years on the Road to Church Growth

(Singapore: Christian Life Publishers, 1993), 151-152. 111Tidak begitu lama setelah sidang sinode tahun 1971 ia malah

direkrut sebagai dosen ilmu pI di sekolah teologi GKT. Ia ada di situ sampai awal tahun 80-an. Dalam Berita Warga Gereja Kristus Tuhan Indonesia No. 24,

April-Juni ’75 halaman 29 dilaporkan demikian, “Dosen Institut Theologia

Aletheia, Miss Thelma Alfsen, melalui kesempatan masa liburan ini pada permulaan bulan Juli membawa beberapa siswa pergi ke daerah Pegunungan

Willis, untuk mengadakan Penginjilan. Miss. Alfsen membawa sejumlah

besar traktat dan Alkitab untuk dibagikan dan dijual dengan harga murah. Demikian juga diadakan pemutaran film slide. Mohon bantuan doa, supaya

dapat menghasilkan buah yang berlimpah dan banyak jiwa yang berpaling pada Allah.”

Page 45: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 177 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

kebutuhan akan penanda budaya Tionghoa turut pula dipenuhi.

Lewat traktat-traktat itu bahasa Tionghoa terus dilestarikan

penggunaannya di tengah-tengah orang Tionghoa di GKT.112

1.4. Pembelajaran Bahasa Tionghoa

1.4.1. Di Gereja

Dalam teori tentang penguasaan suatu bahasa, sedikitnya

ada dua macam cara yang dipakai manusia untuk menguasai

bahasa. Yang satu disebut acquisition, yang lain learning.113 Cara

acquisition umum dipakai oleh anak-anak.114 Mereka

mendengarkan orang bicara, memahaminya dan kemudian

menirunya. Mereka tidak peduli apakah susunan kalimatnya benar

atau tata bahasanya tepat. Yang penting pesannya tersampaikan

dan pendengar memahami maksudnya. Cara learning lebih

menekankan ketepatan tata bahasa. Tidak seperti akuisisi, di sini

penguasaan bahasa dilakukan secara lebih disengaja. Dalam

pembelajarannya tekanan diberikan pada ketaatan mengikuti

aturan-aturan yang baku.

Tentang bagaimana cara anak-anak belajar menguasai

suatu bahasa, para ahli terbagi dalam tiga posisi teoretis.

112 Tentang peran pelestarian suatu bahasa melalui bahan cetakan

lihat, misalnya, Taye Paul Olaifa, “Language Preservation and Development:

The Role of the Library,” Journal of Library and Information Sciences, Vol. 2,

No. 1; March 2014: 23-28. Juga lihat pikiran Setiono Soegiharto tentang

bahan cetakan bagi pelestarian bahasa lokal, “Saving local languages through printed materials,” The Jakarta Post, Saturday, March 01, 2008,

http://www.thejakartapost.com/news/2008/02/29/saving-local-languages-

through-printed-materials.html (diakses pada 2 Agustus 2014). Bandingkan

pengalaman serupa pada jasa percetakan terhadap pelestarian bahasa Aramaic, yang dilakukan oleh misionaris-misionaris Protestan Amerika pada

abad ke-19 di Timur Tengah dalam Eden Naby, “Saving Souls / Saving Languages Writing Vernacular Aramaic,” Proceedings of the XIth Conference of

the Foundation for Endangered Languages, Kuala Lumpur, October 2007 dalam

www.aina.org/articles/wva.pdf (diakses pada 23.2.2015). 113 Stephen D. Krashen, Second Language Acquisition and Second

Language Learning (California: Pergamon Press, Inc,, 1981), 1. 114 George Yule, The Study of Language (Cambridge, UK.: Cambridge

University Press, 2010), 171.

Page 46: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

178 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Ketiganya adalah teori behavioris, teori inatis dan teori interaksionis.

Teori pertama mengatakan bahwa anak-anak menguasai suatu

bahasa dengan cara mengimitasi perkataan orang dewasa dan

pembiasaan. Teori kedua berpendapat bahwa sejak lahir anak-

anak sudah dibekali dengan kemampuan bawaan untuk berbahasa.

Ia sudah diprogram untuk berbahasa. Karena itu seorang anak

dengan sendirinya dapat menguasai bahasa. Teori ketiga mencoba

keluar dari posisi pertama dan kedua yang menaruh tekanan pada

anak dan memilih melihat sebab musababnya pada gabungan dua

hal, yaitu keunikan manusiawi anak dan lingkungan kebahasaan

dalam mana seorang anak bertumbuh. Kemampuan anak

mempelajari bahasa—apakah itu secara behavioris atau inatis—

diakui namun hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari interaksinya

dengan lingkungan kebahasaan di mana ia berada.115

Pembelajaran bahasa Tionghoa untuk anak-anak orang

Tionghoa Kristen di GKT banyak memakai pendekatan

interaksionis dan behavioris. Pihak yang disebut Lightbown dan

Spada sebagai caretaker talk berinteraksi dengan anak-anak sambil

mendorong mereka meniru dan mengingat kata-kata dan kalimat

yang didengar di gereja. Pembelajaran ini berlangsung dalam suatu

wadah pelayanan gerejawi untuk anak-anak, yang dikelola oleh

Komisi Sekolah Minggu (KSM). Dalam wadah ini, anak-anak dari

mulai usia kurang lebih tiga tahun sampai kurang lebih lima belas

tahun mendapat pelayanan rohani yang sesuai dengan level

usianya. Setiap hari Minggu mereka dikumpulkan dan dilayani

secara terpisah dari orang tuanya.

Berbeda dari ibadah orang-orang dewasa yang

mempergunakan sebuah ritual ibadah yang sudah baku, pelayanan

kepada anak-anak bentuknya lebih seperti kegiatan sekolah. Kalau

waktu ibadah orang-orang dewasa muda sampai tua berkumpul

bersama di dalam sebuah ruangan yang sama, di Sekolah Minggu

anak-anak dikumpulkan menurut kelompok usia yang berbeda.

115 Patsy M. Lightbown & Nina Spada, How Languages Are Learned

(Oxford, UK.: Oxford University Press, 1998), 1-17.

Page 47: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 179 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Masing-masing di dalam ruangan kelas yang terpisah satu sama

lain. Ada yang di kelas kecil, kelas tengah, kelas besar dan ada

yang di kelas pra-remaja. Di tiap ruangan itu mereka dilayani oleh

sekurang-kurangnya seorang guru dan sebanyak-banyaknya dua

orang. Bila ada dua maka seorang guru akan bertindak sebagai

guru utama yang mengajarkan pelajaran-pelajaran Alkitab

sementara yang lain bertindak sebagai guru bantu yang menolong

mengatur dan mengawasi anak-anak, membuat daftar presensi dan

membantu guru utama dalam mengelola kelas. Guru utama ini

umumnya berusia lebih banyak dari pada guru bantu dan sekaligus

berperan sebagai coach (pelatih) untuk para guru bantu. Guru-guru

ini berasal dari berbagai macam latar belakang sosial dan usia.

Sebagian guru utama bahkan punya latar belakang sebagai guru

pada sekolah-sekolah Tionghoa di kota mereka masing-masing.

Tidak seperti untuk orang dewasa di mana pengajaran

Alkitab atau khotbah yang diberikan dari Minggu ke Minggu

jarang mengikuti suatu kurikulum yang baku, bagi anak-anak

diberikan pelajaran demi pelajaran Alkitab yang mengikuti sebuah

kurikulum baku. Para pengajarnya tidak dipanggil bapak atau ibu

pendeta atau guru Injil atau guru melainkan laoshi, yang dalam

bahasa Tionghoa berarti guru. Sebutan ini adalah panggilan yang

juga dipergunakan oleh para siswa sekolah Tionghoa asing kepada

guru sekolah mereka. Jika untuk orang dewasa khotbah

disampaikan secara monolog, di Sekolah Minggu, seperti pada

sekolah umum biasa, pelajaran Alkitab diberikan secara dialogis di

antara laoshi dan murid.

Dalam suasana yang menyerupai lingkungan sekolah ini

bahasa Tionghoa diajarkan dalam bentuk komunikasi di antara

laoshi dan murid-muridnya.116 Di tengah proses pembelajaran guru

116 Sampai tahun 70-an, sebagian buku pegangan guru untuk

mengajar masih memakai bahasa Tionghoa. Lihat Wawancara ibu YKY,

Surabaya, 9 Februari 2010. Buku-buku ini perlahan-lahan digantikan dengan buku berbahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari sebuah bahan

pelajaran Alkitab untuk anak yang diterbitkan oleh sebuah gereja Reformed di Amerika Serikat.

Page 48: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

180 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Sekolah Minggu akan menyapa, menegur dan mengajarkan isi

Alkitab kepada anak-anak dengan bahasa Tionghoa. Menyanyi

dan berdoa dalam bahasa Tionghoa adalah metode lain yang

banyak dipakai. Lagu-lagu rohani yang dinyanyikan bersama

anak-anak sebagian besar dalam bahasa Tionghoa. Doa-doa yang

dipanjatkan diucapkan dalam bahasa Tionghoa sambil ditiru oleh

anak-anak.117 Sebagian guru Sekolah Minggu yang dulunya

berprofesi sebagai guru di sekolah-sekolah asing Tionghoa bahkan

melakukan seluruh proses pembelajaran dalam bahasa Tionghoa

sementara sisanya, yang tidak berlatar belakang guru,

melakukannya di bagian-bagian tertentu seperti berdoa dan

bernyanyi saja.

Cara kedua yang dipakai untuk mengajarkan bahasa

Tionghoa kepada anak-anak adalah dengan membuka kursus

bahasa Tionghoa tidak resmi di gereja untuk murid-murid Sekolah

Minggu. Kalau di Sekolah Minggu anak-anak belajar berbahasa

Tionghoa secara tidak langsung maka di sini mereka secara

sengaja diajar untuk dapat membaca, menulis dan berbicara dalam

bahasa Tionghoa. Di antara para pengajarnya adalah pekerja

gerejawi yang diutus oleh Sinode GKT untuk bekerja di suatu

jemaat.118

GKT Jemaat Fildadelfia, Mojokerto adalah salah satu

jemaat di mana kursus bahasa Tionghoa ini pernah diadakan.

Kursus ini mulai diadakan awal tahun 70-an dan terus berjalan

sampai awal tahun 80-an. Seorang mantan pekerja gerejawi yang

pernah mengajar dalam kursus ini menjelaskan bahwa alasan

kenapa kursus ini diadakan ialah supaya orang-orang Tionghoa

bisa berbahasa Tionghoa, bahasanya sendiri. Jati diri seorang

Tionghoa melekat dengan bahasa itu. Orang Tionghoa yang tidak

117 Wawancara bp SU, Surabaya, 8 Februari 2010; Wawancara bp TPS,

Malang 10 Agustus 2011. 118 Wawancara bp JL, Mojokerto, 6 Juli 2009.

Page 49: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 181 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

dapat berbahasa Tionghoa adalah kenyataan yang tidak bisa

diterima.119

Alasan lain ialah untuk menjangkau orang-orang

Tionghoa yang belum Kristen. Penjangkauan ini bukan usaha

yang mudah karena rasa tidak suka sebagian besar orang Tionghoa

terhadap agama Kristen. Rasa tidak suka ini sebagian bersifat

politis dan sebagian lagi bersifat kultural-religius.120 Sebagian

orang Tionghoa yang disasar oleh usaha-usaha pekabaran Injil

GKT juga menyimpan rasa tidak suka yang kuat kepada agama

Kristen. Sebagian merasa Kristen anti tradisi budaya Tionghoa,

sementara yang lain memandang Kristen sebagai agama asing.121

Karena itu sebagian orang Tionghoa enggan mengizinkan anak-

anaknya ke gereja. Kursus bahasa Tionghoa diadakan untuk

memperlihatkan kepada para orang tua seperti ini bahwa gereja

justru melestarikan budaya orang Tionghoa. Harapannya, timbul

119 Surat Elektronik ibu PP, 22 Juli 2009. 120 Lihat Cai Wenhao, “The Church in China: Yesterday, Today

and Tomorrow,” Chinese Theological Review 1985. Juga Rev. Z. Charles Beals,

China and the Boxers: A Short History on the Boxer Outbreak (New York: M.E.

Munson, Publisher and Bookseller, 1901), Ch II; James Thayer Addison,

“Chinese Ancestor-Worship and Protestant Christianity,” The Journal of

Religion, Vol. 5, No. 2 (Mar., 1925): 140. 121 Dalam sebuah percakapan beberapa tahun lalu dengan seorang

tokoh klenteng di Kota Batu, usai ibadah penghiburan bagi keluarga famili dekatnya yang meninggal, ia dengan terang-terangan mengungkapkan rasa

tidak sukanya kepada orang Kristen. Ia mengkritik agama Kristen yang membuat orang Tionghoa berhenti menjadi orang Tionghoa setelah mereka

menjadi Kristen dengan melarang anggotanya memelihara adat budaya Tionghoa. Ia bahkan sempat mengancam tidak mau mengakui sebagai

saudara, seorang keponakannya yang sudah menjadi Kristen bila pada waktu

prosesi pemakaman tidak mau berlutut memberi hormat di depan peti jenazah yang meninggal. Seorang lain, seorang perempuan Tionghoa tua,

anak dari pasangan suami-istri yang datang langsung dari Tiongkok, mengatakan kepada saya dalam suatu kunjungan ke rumahnya, bahwa agama

Kristen itu bukan agamanya orang Tionghoa. Itu adalah agamanya orang Barat. Pendapat serupa diutarakan oleh seorang pria lain di Malang. Ia suka

menolak para pekerja gerejawi dari sebuah gereja Tionghoa di Malang yang

datang mengabarkan Injil kepadanya. Ia tidak menolak menjadi Kristen karena ia memandang agama adalah agamanya orang Amerika. Mereka yang

menganutnya ia pandang sudah ditipu oleh orang Amerika. Lihat Wawancara

dengan bp Wwn, Malang, 17 Juni 2014.

Page 50: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

182 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

simpati terhadap gereja Kristen dan kesediaan untuk

“memperbolehkan anaknya ikut Sekolah Minggu.”122 Strategi ini

rupanya berhasil. Banyak orang tua kemudian mengizinkan anak-

anaknya datang ke gereja. Tidak sedikit yang mengantar sendiri

anaknya ke gereja, dan sendirinya akhirnya masuk Kristen.

1.4.2. Di Sekolah Teologi

Selain di gereja, tempat lain di mana bahasa Tionghoa

sengaja diajarkan adalah di sekolah teologi GKT, Sekolah Tinggi

Teologi Aletheia (STTA). Di tempat ini bahasa Tionghoa awalnya

dipelajari secara tidak langsung lewat mengikuti kuliah-kuliah

yang disampaikan dalam bahasa Tionghoa.123 Namun karena

sebagian besar anggota-anggota GKT masih berbahasa Tionghoa

maka suatu mata kuliah non-kredit bahasa Tionghoa kemudian

dibuka.124 Mereka yang sudah memiliki dasar-dasar bahasa itu

dikumpulkan dalam suatu kelas tersendiri; sementara yang belum

dikumpulkan dalam suatu kelas dengan tutor khusus.125 Sampai

dekade kedua usia STTA, kursus bahasa Tionghoa bersifat wajib.

Setelah itu menjadi mata kuliah pilihan saja. Sejumlah

mahasiswa/i non-Tionghoa turut pula mengikutinya. Di antara

mereka ada yang berhasil menguasainya dengan baik sekali.126

122 Surat elektronik ibu PP, 20 Juli 2009. 123 Selain untuk Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang diberikan

oleh dosen-dosen non-Tionghoa dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, hampir semua kuliah teologi dan Alkitab menggunakan

bahasa Tionghoa sebagai medium instruksional. Lihat Surat elektronik bp MM,

21 Mei 2014. 124 Wawancara bp AG, Malang, 22 Maret 2011. 125 Surat elektronik bp M.M., 21 Mei 2014. 126 Salah satu yang terkenal di kalangan alumni STTA adalah Pdt. I

Made Mastra. Ia adalah pendeta di salah satu jemaat Gereja Santapan

Rohani Indonesia (GSRI) di Jakarta. Ia adalah mahasiswa angkatan pertama

dan diwisuda pada tahun 1973. Ia berasal dari Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Ia mampu berbahasa Tionghoa dengan baik, lisan maupun tulisan.

Ia sempat duduk dalam jajaran pengurus Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) periode 2007-2011 sebagai salah satu penasihat.

Page 51: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 183 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Dalam kurikulum sekolah yang dipublikasikan kepada

publik, sama sekali tidak ada catatan mengenai kursus ini.127

Namun sejak mulai berdiri pada tahun 1969 sampai akhir tahun

90-an, kursus ini selalu ada. Pada awal dekade 80-an kursus mulai

tidak rutin diadakan karena keterbatasan tenaga dan kesulitan-

kesulitan internal yang sedang dihadapi Sinode GKT sejak akhir

tahun 70-an. Memasuki paruh kedua dekade 80-an, kursus ini

kembali rutin diadakan. Menjelang jatuhnya Orde Baru pada

tahun 1998, kursus bahasa ini timbul tenggelam tergantung pada

ketersediaan peminat dan tutor.128

1.4.3. Belajar pada Guru-guru Privat

Leo Suryadinata mencatat bahwa semasa Orde Baru

banyak orang tua yang secara diam-diam mengajarkan bahasa

Tionghoa kepada anak-anaknya dengan cara “menggaji bekas

guru sekolah Cina untuk memberikan pelajaran privat kepada

anak mereka.”129 Hal serupa juga dilakukan oleh sebagian orang

Tionghoa Kristen di GKT untuk anak-anaknya. Sebagian dari

guru-guru ini adalah mantan guru di sekolah-sekolah asing

Tionghoa dan sebagian lagi adalah para pekerja gerejawi GKT

atau pekerja gerejawi dari gereja Tionghoa lain yang bukan GKT.

Seorang mantan murid SMP pada sebuah sekolah asing

Tionghoa di Kota Jember menjelaskan bahwa setelah sekolahnya

ditutup, ia kemudian melanjutkan studinya dengan belajar pada

mantan guru-gurunya.130 Ia menyebut sekolahnya sebagai “sekolah

gerilya,” karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan

127 Lihat misalnya Buku Pedoman Institut Theologia Aletheia Tahun

Akademik 1984/1985 dan 1985/1986, 34-37. 128 Semasa saya belajar di STTA antara tahun 1992-1997 kursus

bahasa Tionghoa sempat diadakan selama beberapa waktu atas permintaan

beberapa mahasiswa. Pada waktu itu kursus ini diasuh oleh isteri salah seorang dosen di sana.

129 Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,164. 130 Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013.

Page 52: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

184 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat lain.131 Sembari

belajar, ia dan teman-temannya diberi tugas membimbing adik-

adik kelasnya. Maksudnya supaya pendidikan mereka tidak

berhenti begitu saja setelah sekolah asing Tionghoa ditutup.

Seperti yang dialami oleh guru-gurunya, ia dan kawan-kawannya

yang memberikan bimbingan belajar juga harus berhati-hati agar

tidak sampai kepergok aparat pemerintah atau anggota

masyarakat.

Kalau pergi mengajar itu Pak ya, buku semua

disisipkan di dalam rok. Tiap keluar siap .. baju ‘tu,

di luar ini baju ya dilapisi lagi, buku ditaruh di

dalam. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan di jalan.

Wow sering-sering begitu Pak. Saya ingat sekali

saya tugasnya Pecinan sana, di Samanhudi, wah

saya ini kuatir sekali pak. Kenapa? Samanhudi itu

saudaranya ada yang menikah sama tentara. Ndak

tanggung-tanggung tentara yang pangkat. Jadi kita

selalu belajar bagaimana harus membawa diri, kalau

ada hal-hal yang ndak enak, kita yang di atas belajar

yang bawah jaga. Anak-anak semua siapa yang mau

ngerti tho. Jadi nanti dikasih tanda, jadi kalau bunyi

‘ting’ atau ‘tong’ atau apa.. itu berarti ada bahaya.

Kalau sudah dengar itu buku semuanya disimpan

dan kita mulai bermain.132

Seorang anggota GKT di Surabaya tidak pernah

mengalami pengalaman semencekam itu.133 Kalau kakak-

kakaknya pernah mengenyam studi di bangku sekolah-sekolah

asing Tionghoa, ia dan adik-adiknya sama sekali tidak pernah

menginjakkan kaki di situ karena sekolah tersebut sudah ditutup

lebih dulu. Untuk menuntaskan pendidikan kakak-kakaknya,

ayahnya mengirim mereka kepada mantan guru-guru sekolah

asing Tionghoa untuk belajar secara privat. Ia dan adik-adiknya

131 Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013. 132 Ibid. 133 Ibid.

Page 53: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 185 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

dikirim oleh ayahnya kepada seorang pekerja gerejawi dari Gereja

Kristen Abdiel (GKA) untuk belajar bahasa Tionghoa. Selama dua

tahun penuh ia belajar secara intensif pada guru ini dengan materi

pembelajaran dari cerita-cerita Alkitab.134

Seorang mantan guru di sebuah sekolah asing Tionghoa di

Malang menempuh cara sedikit berbeda. Setelah sekolah

tempatnya mengajar ditutup, ia lalu membuka suatu kursus privat

bahasa Tionghoa. Inisiatif ini muncul karena anaknya sendiri

belum bisa berbahasa Tionghoa dengan baik. Ia kemudian

meminta sejumlah sahabat di gerejanya untuk mengirim anak-

anaknya bergabung dalam kursus bahasa Tionghoa yang ia adakan

di rumah. Tawaran itu disambut baik dan dengan senang hati

mereka mengirim anak-anaknya belajar bahasa Tionghoa

kepadanya. Pekerjaan ini ia lakukan cukup lama sampai anaknya

dan anak-anak sahabat-sahabatnya sudah cukup besar dan mampu

menguasai bahasa itu dengan baik.135

2. Menjaga Warna Ketionghoaan Kelompok.

Seperti telah disebutkan di awal, salah satu tujuan yang

mau dicapai dari penerapan kebijakan asimilasi adalah “untuk

mencegah terjadinya kehidupan seklusif rasial.”136 Peraturan ini

sedikitnya hendak mencapai dua hal. Pertama, mencegah orang-

orang Tionghoa dari bergaul dan berkelompok dengan sesama

orang-orang Tionghoa; dan kedua, mendorong mereka membuka

diri, mendatangi, bergaul, membaur dan berkelompok dengan

orang-orang non-Tionghoa. Salah satu produk yang mau

dihasilkan ialah tidak ada lagi kelompok-kelompok keagamaan

yang melulu berisi orang-orang Tionghoa saja. Orang-orang dari

etnis lain harus sengaja didekati, dicari dan dibawa masuk ke

dalam kelompok. Kelompok yang dulunya monokultural sekarang

harus multikultural.

134 Wawancara bp SA, Surabaya, 10 Februari 2010. 135 Penjelasan Ibu OGH, via telpon, Malang, 5 Juni 2014. 136 Lihat Keputusan Presiden (Keppres) No. 240 tahun 1967 Bab II Pasal

3.

Page 54: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

186 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Meresponi kebijakan itu, di tengah-tengah orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT muncul arus yang menginginkan GKT

tetap berwarna dominan Tionghoa. GKT harus tetap fokus

melayani dan menjangkau orang-orang Tionghoa. Keinginan yang

selama ini laten atau sedikitnya samar-samar menemukan

artikulasinya yang terang benderang pasca runtuhnya Orde Baru

tahun 1998. Ia terekspresikan dalam sejumlah percakapan yang

mengemuka di Sidang Sinode Ke-19 tahun 1999. Isu yang

membingkai percakapan tersebut adalah kemerosotan jumlah

anggota gereja GKT yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.

Berangkat dari keprihatinan itu, seorang peserta sidang

berpendapat bahwa faktor penyebabnya ada pada masalah

kelompok target PI yang sudah tidak jelas lagi. Hal ini tidak terjadi

sebelumnya pada para pendiri GKT sebab visi mereka mengenai

hal itu sangat jelas. Visi itu adalah menjangkau dan melayani

orang-orang Tionghoa yang berbahasa Tionghoa.

Kita harus menggali kembali dari sejarah GKT.

Dan kita harus menggali kembali visi GKT yang

mula-mula itu apa. Kita jangan sampai akhirnya

nyasar Bapak, Ibu. Kita memang ya, terus terang,

GKT adalah inklusif. Terbuka. Kita harus

menjunjung tinggi pluralisme itu. Kita ini satu. Nah,

tapi, jangan lupa. Keunikan GKT ini jangan

dilupakan. Jadi kalau kita ini kembali ke visi mula-

mula, kita ini, chuan fu in ini, kita ini siapa? Nah

kalau cerita kronologisnya, nanti saya waktunya

tiga menit tidak cukup, saya mungkin ini, kita harus

kembalikan ke BP. Ini adalah PR yang berat untuk

BP. Karena dulu, kalau ndak salah, saya dengar

Bapak, Ibu, dari senior-senior kita. Dulu itu GKT

itu pecah. GKT yang bahasa Mandarin, itu chuan fu

in menginjili ke sasaran ke orang yang berbahasa

Mandarin. Lalu GKI itu ke yang berbahasa

Indonesia. Nah, tapi tidak tutup keinklusifannya

Page 55: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 187 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

GKT. Tapi keunikan ini, tolong visi mula-mula ini,

jangan ketutup gitu.137

Lebih jauh ia menjelaskan maksudnya dengan memakai

metafor restoran Chinese food.

Kalau misalnya kita ini buka restoran ya, Chinese

food, kalau misalnya kita ke sana itu, siapa yang

boleh masuk? Semua orang boleh masuk Bapak,

Ibu. Amin Bapak, Ibu ya. [Disahut amin oleh peserta

sidang]. Lha, tapi, jangan kita nyari sate kambing di

situ lho. Betul ini. Ini adalah ilustrasi yang sungguh-

sungguh menyentuh saya. Terima kasih. Kiranya

Tuhan berkati. [Peserta sidang kemudian memberikan

tepuk tangan kepadanya.].

Bagaikan sebuah restoran Chinese food, GKT terbuka

menerima siapapun. Namun karena yang dijual oleh “restoran”

GKT ini adalah “makanan dan minuman Tionghoa” maka

pembeli yang pertama-tama dibayangkan dan diharapkan akan

datang adalah orang-orang Tionghoa. Arus pemikiran ini

kemudian mendapat penegasan dari Ketua BP Sinode GKT

sewaktu menjelaskan pernyataan misi GKT. Ditegaskan bahwa:

Jemaat Gereja Kristus Tuhan adalah jemaat yang

terus menerus berupaya membawa berita Kabar

Baik yaitu Injil Keselamatan Yesus Kristus

sebagaimana Allah nyatakan kepada para perintis.138

Jemaat GKT berusaha turut aktif dalam pelayanan

seutuhnya kepada sesama tanpa pandang bulu;

mendidik tiap-tiap orang dalam kesempurnaan

dalam Kristus, dewasa dalam iman dan kasih

sehingga Allah dipermuliakan.

137 Kaset Rekaman 5 untuk Sidang Pleno IX, Sidang Sinode GKT Ke-19,

1999. Kutipan-kutipan yang selanjutnya diambil dari rekaman yang sama.

Cetak miring adalah dari saya. 138 Cetak miring di bagian ini dan berikutnya adalah tekanan saya.

Page 56: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

188 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Lebih lanjut Ketua BP Sinode GKT menjelaskan lagi

demikian,

Nah, ini memang membutuhkan suatu uraian yang

tajam dan saya yakin kalimat ini saudara tangkap

maksudnya. Ya, ini menyangkut kita harus mengerti

sejarah gereja dan di mana Allah pertama kalinya

meletakkan beban itu. Dan ini membutuhkan suatu

pemahaman secara misiologi yang jelas sehingga

kita tidak salah paham; sehingga setiap kita tidak

memiliki suatu konsep yang keliru tentang wawasan

di dalam pelayanan. Yang penting adalah kita harus

mengerti ke mana kita harus pergi sehingga banyak

orang menjadi percaya dan disatukan dalam

keluarga Allah. Saya percaya kalau setiap kita

menghayati dari pernyataan misi ini kita bisa

menangkap jiwa dari spirit GKT.

Sebelum Ketua BP Sinode GKT mengungkapkan hal-hal

ini di persidangan, setahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1998,

sebuah jemaat GKT di Surabaya telah menyusun sebuah

pernyataan visi yang mengungkapkan siapa mereka dan orang-

orang mana yang mau mereka sasar secara sengaja dan sistematis.

Pernyataan itu mengatakan bahwa mereka adalah “Gereja

Reformed Tionghoa yang sehat dan menjadi berkat dalam

kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk serta berperan

aktif dalam misi sedunia.”139 Ini adalah jemaat pertama dalam

lingkungan GKT yang sejak tahun 1968 secara terbuka

menyatakan identitasnya sebagai gereja Tionghoa. Untuk

meningkatkan bilangan jumlah anggotanya, mereka mengatakan

akan memberitakan Injil “kepada sesama manusia sesuai dengan

139 Lihat makalah Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan

Sinode GKT, GKT Menjawab Tantangan Milenium: Paparan untuk Pra-Sidang

Sinode GKT, Hotel Kartika Wijaya, Batu, 24 April 2000.

Page 57: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 189 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

visi.”140 Siapa ini? Seorang pekerja gerejawi yang pernah bekerja di

jemaat ini dan turut berpartisipasi dalam proses penyusunan

pernyataan visi dan misi ini menjelaskan bahwa mereka “tidak

menolak etnis lain untuk datang beribadah atau tetap

menggunakan kesempatan bersaksi kepada etnis lainnya.” Tetapi,

“sebagai gereja yang berlatar belakang etnis Tionghoa dan

mempunyai visi dan beban untuk menjangkau etnis Tionghoa

sebagai fokus utama pelayanannya” maka “upaya penjangkauan

PI secara sistematis [adalah] terutama kepada etnis Tionghoa.”141

Jadi, sesama manusia yang sesuai dengan dengan visi, pertama-

tama dan terutama, adalah sesama orang Tionghoa.

Semasa Orde Baru berkuasa, visi, cita-cita dan target ini

tidak pernah terungkap sejelas dan seterang ini. Namun upaya

untuk memelihara identitas gereja ini sebagai gerejanya orang-

orang Tionghoa, ada untuk melayani orang Tionghoa dan fokus

menjangkau orang-orang Tionghoa bukan tidak ada. Ia terus

hidup dan ditampilkan dalam sejumlah praktik yang akan

diuraikan di bawah ini.

2.1. Pekerja-pekerja Gerejawi Perlu Belajar Bahasa Tionghoa.

Seperti terlihat dari uraian di Bab III, salah satu komponen

penting dalam definisi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT

mengenai dirinya adalah bahasa. Bahasa Tionghoa menjadi faktor

yang—meminjam Abrams dan Hogg— mendefinisikan “who they

are, of what sort of people they are, and how they relate to others

(whether members of the same group—ingroup—or of different

groups—outgroup).142 Karena itu pekerja-pekerja gerejawi yang

140 Makalah Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan Sinode

GKT, GKT Menjawab Tantangan Milenium: Paparan untuk Pra-Sidang Sinode

GKT, Hotel Kartika Wijaya, Batu, 24 April 2000. 141 Surat elektronik bp KS, 12 Juni 2014. 142 Dominic Abrams & Michel A. Hogg, Social Identifications: A Social

Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Routledge,

1998), 2.

Page 58: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

190 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

melayani di GKT harus bisa berbahasa Tionghoa, atau setidak-

tidaknya memahami bahasa ini.

Sebelum tahun 1968 tenaga-tenaga yang mampu

berbahasa Tionghoa disuplai dari luar negeri, dan setelah

Indonesia merdeka dari Madrasah Alkitab Asia Tenggara

(MAAT)/Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT). Namun

kebijakan asimilasi meniadakan kesempatan untuk mendapatkan

tenaga semacam itu. Sejak tahun 1966, MAAT/SAAT sudah

mengubah bahasa pengantar kuliah dari bahasa Tionghoa ke

bahasa Indonesia.143 Sementara STT Aletheia (STTA), sekolah

teologi GKT yang berdiri tahun 1969, juga memakai bahasa

Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi. Jika demikian maka

seharusnya bahasa Indonesia yang perlu dipelajari dan dikuasai

dengan baik. Apalagi sebagian besar orang-orang Tionghoa di

GKT tidak fasih berbahasa Indonesia. Kehadiran pekerja-pekerja

gerejawi yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik tentu akan

menolong orang-orang tersebut menguasai bahasa Indonesia dan

berasimilasi dengan baik. Namun yang dilakukan oleh orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT malah sebaliknya. Calon-calon

pekerja gerejawi yang hendak masuk ke GKT malah didorong

untuk menguasai bahasa Tionghoa.

Tentu tidak semua calon pekerja gerejawi tamat dengan

membawa kemampuan berbahasa ini. Dari semua orang non-

Tionghoa yang pernah mengikuti kuliah bahasa ini hanya satu dua

orang saja yang dikabarkan berhasil menguasai bahasa ini dengan

baik. Sisanya hanya mengerti sedikit sekali atau tidak mengerti

sama sekali.144 Sampai tahun 1998 komposisi pekerja gerejawi

yang Tionghoa dan non-Tionghoa di GKT adalah 76 orang

Tionghoa berbanding 28 orang non-Tionghoa. Hampir semua

143 Lihat Peter Wongso, “Almamater yang Penuh Anugerah Allah,”

Seminari Alkitab Asia Tenggara: Inspired by the Word to Inspire the World, eds.

Daniel Lukas Lukito & Andreas Hauw (Malang: SAAT, 2012), 09. 144 Seorang alumni non-Tionghoa yang dapat berbahasa ini dengan

fasih pernah menjadi pendeta sebuah gereja Tionghoa yang besar di Jakarta,

sempat menjabat sebagai ketua sinodenya dan bahkan salah satu ketua persatuan internasional gereja-gereja tersebut.

Page 59: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 191 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

pekerja gerejawi non-Tionghoa tidak mampu berbahasa Tionghoa.

Namun dari yang Tionghoa pun hanya sebagian kecil saja yang

fasih berkomunikasi (bicara, membaca dan menulis dalam bahasa

Tionghoa). Sisanya memiliki kemampuan yang amat minim

(sedikit mengerti yang diucapkan orang namun tak bisa berbicara,

membaca dan menulis).

Meski hasilnya seperti itu namun sampai akhir periode

yang diinvestigasi oleh penelitian ini kursus bahasa Tionghoa di

sekolah teologi GKT terus saja diadakan. Bahasa Tionghoa masih

tetap dirasa penting untuk diajarkan. Hal itu kian ditekankan

kepada mereka yang nantinya akan melayani di gereja-gereja

berlatar belakang Tionghoa. Bagi yang hendak bergabung di GKT

penguasaan bahasa Tionghoa mengandung makna bahwa GKT

merupakan sebuah kelompok keagamaan yang ditandai oleh

bahasa Tionghoa dan fokus menjangkau orang-orang dari bahasa

itu. Dalam ungkapan seorang pekerja gerejawi non-Tionghoa,

GKT adalah seperti sebuah keluarga yang memiliki bahasa

komunikasinya sendiri. Bahasa itu adalah bahasa Tionghoa.145

Setiap orang yang mau tinggal, hidup bersama dan bekerja sama

dengan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT perlu memahami

dan belajar bahasa keluarga ini supaya dapat berkomunikasi dan

berinteraksi dengan mereka.

2.2. Komposisi Siswa dari Etnis Tionghoa di Sekolah Kristen

Aletheia (SKA).

Peraturan Menteri Pendidikan mengenai Sekolah

Nasional Proyek Chusus (SNPC) menetapkan bahwa di sekolah-

sekolah tersebut prosentase siswa WNI sedikit-dikitnya harus

mencapai angka 60 persen dari total siswa.146 Artinya, jumlahnya

harus lebih banyak dari siswa WNA mantan murid sekolah-

sekolah asing Tionghoa. Setelah sekolah-sekolah itu dibubarkan

145 Keterangan via telpon bp MN, 20 Juni 2014. 146 Peraturan Menteri Pendidikan No. 015/1968 mengenai Sekolah

Nasional Proyek Chusus (SNPC) Bab V Pasal 13.

Page 60: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

192 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975,

prinsip di atas terus dipertahankan. Mengikuti instruksi Direktur

Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah/Ketua Tim Pembantu

Pelaksanaan Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan

Pendidikan Asing di Indonesia, Kepala Kantor Wilayah

Departemen P & K Provinsi Jawa Timur kemudian

menginstruksikan tiap sekolah di Jwa Timur menjaga “mayoritas

muridnya tidak terdiri dari keturunan Asing (Cina).”147

Sekolah Kristen Aletheia (SKA) didirikan di Surabaya

pada tahun 1970, dua tahun pasca keluarnya surat keputusan

Menteri Pendidikan mengenai SNPC. Tujuan SKA adalah,

pertama, untuk mencetak peserta didik “yang dapat berdiri sendiri

atas tanggung jawab sendiri baik terhadap Tuhan, sesama manusia

serta bangsa dan negara Republik Indonesia.” Dan yang kedua,

untuk mencapai “tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan Pancasila dan

UUD 1945.”148 Terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai

asimilasi di bidang pendidikan, orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT menegaskan dalam Pasal 4 Anggaran Dasar SKA bahwa

mereka akan “memperhatikan segala ketentuan Pemerintah

Republik Indonesia khususnya peraturan dan perundang-

undangan yang menyangkut pendidikan dan pengajaran, dan

tercermin dalam kurikulum yang diberikan oleh Departemen P

dan K.” Selanjutnya, dalam Pasal 10 Ayat 9 dinyatakan bahwa

SKA “menerima murid dari semua lapisan masyarakat, dengan

ketentuan dapat memenuhi semua peraturan/persyaratan

147 Surat Edaran Kepala Kantor Wilayah Departemen P & K Provinsi

Jawa Timur No. 132/1976. 148 Dua tujuan ini ditegaskan lagi sebagai tujuan SKA dalam Buku

Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia yang diterbitkan oleh

Departemen Pendidikan Sekolah Kristen Aletheia (DPSKA) pada bulan Oktober 1987. Lihat halaman 2, Pasal 6 tentang Tujuan Pendidikan Sekolah

Kristen Aletheia, Ayat 1 dan 2. Namun pada awal dekade 90-an Departemen

Pendidikan Sekolah Kristen Aletehi (DPSKA) Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) menyatukan keduanya menjadi “membantu pemerintah dalam upaya

Pembangunan Nasional, khususnya di bidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan UUD 1945.”

Page 61: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 193 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sekolah.” Ketetapan ini kemudian disempurnakan dalam Buku

Pedoman Pengelolaan SKA yang terbit tahun 1987. Di sini

dimasukkan sebuah pasal khusus mengenai pembauran, yang

diberi judul “Pembauran Murid.” Di dalamnya soal asimilasi di

sekolah diatur sbb.:

1. Sekolah Kristen Aletheia harus melaksanakan dan

menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam program

pembauran bangsa.

2. Dalam menerima murid sekolah harus berusaha

mengurangi ketidakseimbangan jumlah murid pribumi dan

non pribumi menurut situasi dan kondisi setempat.

3. Dalam melaksanakan pembauran hendaknya ada kerjasama

antara sekolah-sekolah Kristen yang sejenis.

Walau tampaknya mendukung tujuan-tujuan pemerintah

di bidang pendidikan namun juga diselipkan kebijakan lain yang

malah memperkecil ruang bagi terjadinya asimilasi yang mau

didukung. Dengan alasan agar “identitas dan citra Sekolah Kristen

Aletheia terjamin” maka siswa yang diterima untuk belajar di

SKA diprioritaskan pada mereka yang memenuhi kriteria-kriteria

tertentu.149

Siswa yang diterima di level Kelompok Bermain (play

group) dan Taman Kanak-kanak adalah yang [a] beragama Kristen,

[b] anggota/anak dari anggota Gereja Kristus Tuhan, dan [c] anak

karyawan Sekolah Kristen Aletheia. Untuk siswa di level Sekolah

Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

Menengah Umum (SMU) prioritas masuk diberikan kepada siswa-

siswi yang [a] beragama Kristen, [b] siswa SKA di level

sebelumnya, [c] anggota GKT atau anak dari anggota GKT, dan

[d] anak dari karyawan SKA.

149 Buku Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia Tahun 1987, 6.

Page 62: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

194 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Dengan kriteria-kriteria tersebut maka sukar untuk

dihindari jika kemudian siswa-siswi Tionghoa akan lebih banyak

jumlahnya dari pada yang non-Tionghoa. Sebagai ilustrasi

kongkrit, hal ini bisa dilihat dari data SKA Jember pada akhir

tahun 70-an sampai awal 80-an. Pada Tahun Pelajaran (Tapel)

1978/1979 dilaporkan bahwa jumlah total siswa TK sampai SMP

adalah 520 anak. Dari jumlah itu “hanya 10 orang saja murid

pribumi asli.” Sisanya, 510 anak atau lebih dari 98%, adalah

orang-orang Tionghoa.150 Untuk Tapel 1979/1980 jumlah total

siswa adalah 645 anak dengan komposisi etnis dan

kewarganegaraan sbb.:

Tabel 4.4. Data Siswa SKA Jember Tahun 1979151

No Satuan

Pendidikan

Jumlah

Siswa Pribumi

Tionghoa

WNI

Tionghoa

WNA

1 TK 75 anak 1 anak 42 anak 32 anak

2 Sekolah

Dasar

487 anak 23 anak 203 anak 261 anak

3 SMP 83 anak 5 anak 35 anak 43 anak

4 Total 645 29 280 336

Dengan komposisi “anak-anak keturunan Cina sebanyak

95% dari jumlah murid seluruhnya” maka dapat dipahami bila

Bupati Jember menyimpulkan bahwa pengurus SKA Jember tidak

mau “melaksanakan asimilasi sebagaimana yang dikehendaki oleh

150 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember No. SRA/II-

B/1534/1979, tanggal 25 Juli 1979. 151 Diambil dari surat kedua dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Jember kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-

B/3024/1979 tertanggal 27 November 1979. Dalam surat tanggal 25 Juli 1979,

Bupati Jember melaporkan bahwa jumlah total siswa adalah 601 anak.

Koreksi ini tampaknya terjadi setelah Bupati menugaskan bp Katidjan, S.H., sebagai pimpinan SKA Jember secara keseluruhan. Kemungkinan besar dari

orang inilah yang Bupati mendapatkan data-data yang dilaporkannya kepada Gubernur Jatim.

Page 63: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 195 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Instruksi Presiden RI dan Kakanwil Dep. P & K Prop. Jawa

Timur.”152 Penilaian tersebut tentu bisa diperdebatkan. Namun

data siswa selama dua tahun pelajaran memberi dasar yang sukar

dibantah dari penilaian semacam itu. Kelihatan di sana terus

hadirnya keinginan untuk tetap berkumpul dalam kelompok etnis

sendiri, yang terpisah dari kelompok etnis.153

Berbeda dari anggaran dasar tahun 1970 yang tidak punya

aturan khusus tentang pembauran, dalam buku pedoman

penyelenggaraan sekolah tahun 1987, soal tersebut dimasukkan

dalam sebuah pasal khusus. Pasal ini mungkin sekali dimasukkan

setelah peristiwa di SKA Jember.154 Pengurus sekolah di tingkat

lokal coba dihindarkan dari melakukan kekeliruan yang sama,

yang akan membawa mereka berhadap-hadapan dengan

pemerintah. Peraturan ini terus ada di situ sampai lebih kurang

satu dekade kemudian. Di dalam pedoman penyelenggaraan

sekolah yang baru, yang disusun pada tahun 1995 pasal tentang

pembauran ditiadakan.155 Menurut salah seorang penyusunnya hal

itu dilakukan untuk menghindarkan sekolah dari tuduhan

melakukan diskriminasi terhadap siswa/i non-Tionghoa. Dengan

jumlah siswa/i etnis Tionghoa yang tetap mayoritas,

mencantumkan kebijakan yang nanti akan bertabrakan dengan

kenyataan di lapangan bisa menimbulkan konsekuensi yang lebih

152 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979, tanggal 27

November 1979. 153 Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini atas beberapa

sekolah Kristen di Jakarta menemukan bahwa sekolah-sekolah yang terafiliasi

dengan gereja-gereja berlatar belakang Tionghoa ini berfungsi untuk memperthankan sebuah batas fisik dan spasial di mana anak-anak muda

Tionghoa mendefinisikan identitas mereka terhadap orang-orang non-

Tionghoa. Lihat HOON, Chang Yau.(2010). Mapping 'Chinese' Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class and Religion. Asia Pacific Education

Review. Available at: http://ink.library.smu.edu.sg/soss_research/755

(diakses pada 8 Juli 2015). 154 Kasus ini sempat membuat Sinode GKT harus berurusan dengan

sejumlah instansi pemerintah di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur dan pusat.

155 Pedoman Tehnis Penyelenggaraan Pendidikan dan Operasional Sekolah

Kristen Aletheia.

Page 64: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

196 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

berat dari pada kalau kebijakan itu tidak ada sama sekali.156

Dengan alasan itu maka siswa-siswi Tionghoa di SKA bisa terus

mayoritas.

2.3. Penempatan Pekerja Gerejawi yang Cocok dengan Karakter

Etnisitas Jemaat.

Sebagai upaya mengasimilasikan dirinya ke dalam tubuh

masyarakat dan budaya di mana ia berada, kini orang Tionghoa

Kristen di GKT menerima pekerja-pekerja gerejawi non-Tionghoa

untuk melayani di tengah-tengah mereka. Para pekerja ini hampir

semuanya direkrut dari lulusan-lulusan STTA, sekolah teologi

GKT. Meski diterima secara sinodal hal itu kelihatannya tidak

berbanding lurus dengan di jemaat. Tidak semua jemaat GKT

pernah dilayani oleh pendeta atau pengabar Injil non-Tionghoa.

Sejumlah data tentang pekerja gerejawi dan tempat pelayanannya

dari tahun 1968-1997 memperlihatkankan kenyataan sbb.:

Tabel 4.5. Data Pekerja Gerejawi GKT di Enam Jemaat di Kota

Malang dan Surabaya, 1968-1998

KOTA NAMA

JEMAAT

PEKERJA

GEREJAWI ETNIS

MALANG

GKT Jemaat I

Satu-satunya

jemaat GKT

yang sudah

memakai bahasa

Indonesia.

Berawal dari

jemaat berdialek

Kanton.

Pdt. Lauw Siok

Ling

Ev. Christine

Wong

Ev. Andreas

Jiahuely

Pdt. Kornelius A.

Setiawan

Ev. Kaleb

Kiantoro

Ev. Mariana

Tjong

Pdt. Anwar

Selain Ev.

Nyoman

Paulus,

seorang etnis

Bali, yang

masuk pada

tahun 1996,

seluruhnya

adalah etnis

Tionghoa.

156 Penjelasan bp SSD, via telpon, Kamis, 24 Juli 2014.

Page 65: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 197 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Gozali

Ev. Nyoman

Paulus

GKT Jemaat II

Berasal dari

jemaat berdialek

Hokkien

(Amoy).

Pada tahun

1982 pecah jadi

dua. Sebagian

kecil tetap di

Sinode GKT,

sebagian besar

ikut Sinode

Gereja Kristen

Abdiel (GKA).

Ev. Wu Mu Tek

Ev. Andreas

Jiahuely

Ev. Theodore A.

Hwoolys

Ev. Ku Kang

Shen

Ev. Magdalena

Yunavebriwati

Ev. Chen Mei

Yin

Ev. Elim Layang

Pdt. Abednego

Budiharjo

GKT Jemaat III

Berasal dari

jemaat berdialek

Fuzhou-Kuoyu.

Pdt. Ie Tjin Sin

Ev. Titus

Gunawan

Ev. Sie Sioe Hwa

Ev. Ester Kong

Pdt. Daniel Chai

Ev. Grace

Hartono

Pdt. Abednego

Budihardjo

Ev. Ike Tjiang

Sie Sie

Pdt. Tju Pau San

Ev. Emil

Andreas

Ev. Luciana

Andreas

Ev. Phebe Ang

Ev. Samuel Edhi

O.

Ev. Joko

Page 66: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

198 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Sukamto

Ev. Budi Santoso

Ev. Woen Siang

Mee

SURABAYA

GKT Jemaat

Nazareth

Berawal dari

jemaat berdialek

Kanton.

Pdt. Tsang To

Hang

Ev. Kwan Swie

Cu

Ev. Ie Kwok Pau

Pdt. Daniel

Jonatan

Ev. Nancy Liu

Ev. Irene Liem

Ev. Herry

Posumah

Ev. Fredie

Lukito Setiawan

Ev. Lilik

Hendrawati

Ev. Nehemia

Alip Hiu

Ev. Tjong Ming

Lan

Ev. Paul Tan

Ev. Lucy Gan

Ev. Henny

Pujiastuti

Ev. Elly Venolita

Ev.Lim Dian

Pratama

Ev. Herry

Posumah

adalah etnis

non-Tionghoa.

GKT Jemaat

Anugerah

Berawal dari

jemaat berdialek

Hokkien

Ev. Edy Paulus

Ev. Stephanie

Paulus

Ev. David

Purnomo

Ev. Phebe

Purnomo

Pdt. Chang Yong

Semuanya

dari etnis

Tionghoa.

Page 67: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 199 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

(Amoy).

Pada tahun

1975 pecah jadi

dua. Sebagian

tetap tinggal di

Sinode GKT,

sebagian lain

ikut Sinode

Gereja Kristen

Abdiel (GKA).

Sin

Ev. Liang Yau

Yong

Ev. Matius

Lukito Setiawan

Ev. Ie Kwok Pau

Ev. Lauw Mei Ik

Ev. Tjen Pik Lan

Sdr. Yen Yauw

Yen

Ev. Lie Hwee

Lan

Sdr. Budi

Santoso

Sdr. Lie En Min

Ev. Agus

Susanto

Ev. Liang Ai Lie

GKT Jemaat

Hosana

Berawal dari

jemaat berdialek

Fuzhou-Kuoyu.

Pada tahun

1973 pecah jadi

dua. Sebagian

tetap tinggal

dalam Sinode

GKT, sebagian

lain ikut Sinode

Gereja Kristen

Abdiel (GKA).

Pdt. Baring L.

Yang

Pdt. Ong Bing

Bian

Ev. Stephen

Tong

Pdt. Yakub

Hosana

Ev. George

Onggo Sanusi

Ev. Liem Mei

Djing

Ev. Lenny Asikin

Ev. Daniel

Cahyadi

Ev. Theodore

Hwoolys

Ev. Cecillia Go

Ev. Gracia Go

Ev. Ruth Liang

Semuanya

dari etnis

Tionghoa.

Page 68: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

200 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Ev. Luciana

Kumala

Pdt. Sia Kok Sin

Ev. Silas Liman

Ev. Lindawati

Ev. Phobi

Pattipeilohy

Ev. Ie David

Ev. Hengky

Wijaya

Ev. Hadi

Sugianto

Ev. Joeng Si

Wing

Ev. Andreas

Hauw

Ev. Inggar S.

Ev. Henny

Pujiastuti

Ev. Insan

Ev. Elok

Chrisinar

Enam jemaat dalam Tabel 4.5 di atas adalah jemaat-

jemaat awal, yang berdiri jauh sebelum Sinode GKT dibentuk

tahun 1968. Sampai tahun 1968 semuanya, kecuali Jemaat I

Malang, dilayani oleh pekerja gerejawi yang datang langsung dari

Tiongkok. Dari data itu tampaknya ada kesamaan pola di mana

jemaat-jemaat yang berasal dari dialek Kanton, yaitu GKT I

Malang dan GKT Nazareth, Surabaya, yang sempat memiliki

pekerja gerejawi dari etnis non-Tionghoa. Bahkan pada saat GKT

Jemaat Nazareth masih memiliki ibadah Minggu dalam dialek

Kanton dan bahasa Mandarin, tenaga non-Tionghoa sudah

diterima di sana. Ini tidak ditemukan pada jemaat-jemaat yang

berasal dari dialek Hokkien (Amoy) dan Fuzhou-Kuoyu, baik di

Surabaya maupun Malang.

Page 69: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 201 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Selain keenam jemaat itu, di beberapa kota lain ada pula

jemaat-jemaat GKT yang memakai bahasa Tionghoa, yakni

bahasa Mandarin dan bukan dialek, dalam ibadah hari Minggu.

Berikut adalah data pekerja gerejawi di tiga jemaat GKT semacam

ini. Nama-nama disusun berdasarkan urutan waktu masuknya

mereka ke jemaat tersebut.

Tabel 4.6. Data Pekerja Gerejawi GKT Jemat Kediri, Jember

dan Genteng, 1968-1998

KOTA NAMA

JEMAAT

PEKERJA

GEREJAWI

ETNIS

PEKERJA

GEREJAWI

Kediri

GKT Jemaat

Kanaan

Ev. The Sun Sun

Ev.Yongki Karman

Ev. Yung Tik Yuk

Ev. Effendi Budiana

Ev. Irene Jessica

Ev. Stefanus Erwin

Daud

Kecuali Ev.

Stefanus Erwin

Daud yang etnis

Timor, semuanya

adalah etnis

Tionghoa.

Jember

GKT Jemaat

Jember

Pdt. Elijah Siauw

Ev. Chen Sie Kiun

Pdt. Tju Pau San

Ev. Andreas Jiahueli

Ev. Lucy Gan

Ev. Lien Fan

Pdt. Abednego

Budiharjo

Ev. Sudjiono Boas

Ev. Yonathan Redjono

Ev. Irene Yossica

Ev. Effendi Budiana

Ev. Purwanti

Setianingsih

Ev. Yohanes O.

Tjahjadi

Ev. Elly Venolita

Ev. Oei Giok Lian

Selain Ev.

Sudjiono Boas

dan Ev.

Yonathan

Redjono, suruh

pekerja gerejawi

adalah dari etnis

Tionghoa.

Page 70: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

202 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Ev. Yohanes

Mattulessy

Ev. Elani

Genteng GKT Jemaat

Genteng

Ev. Liem Chang Fuk

Ev. Matius Tan Hwa

Khiong

Ev. Nancy Lioe

Giok Hwa

Ev. Sarlin Yoselfina

Ev. Cornelius

Tibarrena

Pdt. Moretz Masrikat

Ev. Trifena Poh Ka

Pen

Ev. Stephanie

A.Yulianti

Ev. Alex Gunawan

Kecuali Ev.

Sarlin Yoselfina,

Ev. Cornelius

Tibarrena, Pdt.

Moretz Masrikat

dan Ev.

Stephanie A.Y.,

seluruh pekerja

gerejawi adalah

etnis Tionghoa.

Dari ketiga jemaat ini, hanya jemaat Genteng yang

memiliki jumlah pekerja non-Tionghoa terbanyak sekaligus

terlama masa tugasnya di suatu jemaat dibandingkan dengan

jemaat GKT yang lain. Ev. Sarlin Yoselfina, seorang etnis Rote,

bertugas dari tahun 1979 sampai 1993 (14 tahun). Pdt. Moretz

Masrikat, etnis Maluku, juga cukup lama, yakni dari tahun 1988

sampai 1994 (6 tahun). Sementara Ev. Stephanie A.Yulianti, etnis

Jawa, hanya 3 tahun saja (1996-1999).

Di Jemaat Jember, Ev. Sujiono Boas dan Pdt. Yonathan

Redjono hanya bekerja selama tiga tahun saja, yakni dari 1984-

1987. Dari Jember Ev. Sujiono Boas dimutasi ke GKT Jemaat

Sinai di kota Batu, Malang, yang secara etnis sangat beragam dan

tidak memiliki ibadah Minggu dalam bahasa Tionghoa. Pdt.

Yonathan Redjono dimutasi ke GKT Jemaat Betlehem, Lawang,

yang juga sama tidak memiliki ibadah Minggu dalam bahasa

Tionghoa. Sama dengan dua orang terakhir, Ev. Stefanus Erwin

Daud yang bertugas di GKT Jemaat Kanaan, Kediri, hanya

Page 71: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 203 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

bekerja di sana selama tiga tahun saja (1991-1994). Sesudah itu ia

keluar dari GKT dan pindah ke gereja lain.

Tidak pernah ada penjelasan yang terang kepada peserta

sidang sinode tentang alasan mutasi dari suatu jemaat ke jemaat

lain, atau alasan keluarnya seorang pekerja gerejawi dari GKT.

Laporan BP Sinode kepada persidangan sinode hanya

menyebutkan nama pekerja-pekerja gerejawi yang berhenti atau

dimutasikan ke tempat lain. Pendapat umum yang berkembang

mengenai hal-hal tersebut adalah kebutuhan mendesak di tempat

lain, atau karena konflik yang tak bisa diselesaikan di antara

pekerja gerejawi tersebut dengan jemaat yang dilayani, atau karena

ketidakcocokan lain yang membuat entah pekerja itu atau

jemaatnya tidak mau memperpanjang masa tugasnya. Yang jelas,

kepergian mereka meninggalkan jemaat-jemaat tersebut di tangan

pekerja-pekerja gerejawi dari etnis Tionghoa.

Dalam kurun waktu yang sama, sejumlah besar pekerja

gerejawi non-Tionghoa lulusan sekolah teologi GKT di Lawang

yang direkrut masuk GKT. Berikut adalah nama dan tahun

kelulusan mereka serta tempat pelayanan mereka disusun secara

kronologis.

Tabel 4.7. Daftar Pekerja Gerejawi GKT yang Non-Tionghoa,

1968-1998

PERIODE

NAMA PEKERJA

GEREJAWI DAN

TAHUN LULUS

TEMPAT PELAYANAN

1968-1978

1. Semieon Yudhan

(1978)

SKA Surabaya

SKA Ampenan

SKA Lumajang.

2. Yan Aran Mering

(1978)

GKT Jemaat Ampenan,

Lombok

GKT Haleluyah Lumajang

Page 72: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

204 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

1979-1988

3. Sarlin Yoselfina (1979) GKT Jemaat Genteng,

Banyuwangi (sampai 1994).

GKT Pos PI Sawojajar,

Malang.

4. Juan Erwin Pohan

(1979)

GKT Jemaat Denpasar

5. Moretz Masrikat

(1980)

GKT Jemaat Ebenhaezer,

Sumbawa Besar

GKT Pos PI Jajag,

Banyuwangi

GKT Jemaat Genteng,

Banyuwangi (sampai 1995).

GKT Pos PI Bangil

6. Milka Kartini Baganu

(1980)

Sekolah Kristen Aletheia

(SKA) Surabaya

7. Rini Hari Siswati

(1980)

GKT Pos PI Turi-Sendang,

Tulungagung

8. Marthen Nainupu

(1981)

GKT Jemaat Denpasar

GKT Jemaat Ampenan,

Lombok

9. Yonathan Redjono

(1981)

GKT Pos PI Bangil

GKT Jemaat Jember

GKT Jemaat Bethlehem,

Lawang.

10. Alex Mauko (1981) Sekolah Kristen Aletheia

(SKA) Surabaya

11. Herry Posumah (1982) GKT Pos PI Paiton

GKT Nazareth, Surabaya

(sampai 1985).

12. Meike Makagansa

(1983)

GKT Jemaat Maranatha,

Paiton

13. Stephanus Kasman

(1983)

GKT Jemaat Banyuwangi

(sampai 1988 lalu berhenti).

14. Alfius Areng Mutak

(1984)

GKT Semarang

Dosen STT Aletheia,

Lawang

15. Mirianto (1984) GKT Rogojampi

GKT Ebenhaezer,

Page 73: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 205 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Sumbawa Besar

GKT Pos PI Sawojajar,

Malang

16. Sujiono Boas (1984) GKT Jember (SKA Jember)

GKT Jemaat Sinai, Batu

GKT Ampenan

17. Yosafat (1987) GKT Pos PI Banyumanik,

Semarang

18. Misail Ubik (1988) GKT Pos PI Muncar

19. Agus Prihantoko

(1988)

GKT Pos PI Mimbo,

Situbondo

GKT Pos PI Sawojajar,

Malang

1989-1998

20. Meince Sahupala

(1989)

GKT Imanuel, Ambulu

21. Akim Suhardy (1989) GKT Jemaat Filadelfia,

Mojokerto

22. Cornelius Tibarrena

(1989)

GKT Jemaat Genteng (sampai

1993).

GKT Pos PI Sawojajar

23. Raymond A.

Panguliman (1989)

GKT Pos PI Sawajojajar

24. Bekti Iriani (1990) GKT Pos PI Muncar

25. Sulamit Aprilina A.

(1991)

GKT Pos PI Mimbo,

Situbondo

GKT Pos PI Singosari,

Malang

26. Stefanus Erwin Daud

(1991)

GKT Kanaan, Kediri (berhenti

tahun 1994).

27. Jootje J.M. Tarumingi

(1992)

GKT Probolinggo

28. Mariani Febriana LD

(1993)

GKT Pos PI Balung

GKT Jemaat Betlehem,

Lawang

29. Jefri Ermawan (1995) GKT Jemaat Banyuwangi

30. Nyoman Paulus (1996) GKT Jemaat I, Malang

31. Stephanie A. Yulianti

(1996)

GKT Jemaat Genteng-

Banyuwangi

Page 74: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

206 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

32. Yuli Andreas (1996) GKT Jemaat Denpasar

33. Endy Andjarnowati

(1997)

GKT Jemaat Balung

34. Markus D. Lere Dawa

(1997)

GKT Jemaat Sinai, Batu

Tempat-tempat pelayanan yang dicetak miring adalah

jemaat-jemaat yang sampai 1998 masih memiliki ibadah hari

Minggu dalam bahasa Tionghoa. Sementara jemaat-jemaat yang

lain sudah tidak lagi memakai bahasa itu. Kecuali GKT Jemaat

Denpasar, Jemaat Genteng-Banyuwangi, Jemaat Jember, Jemaat I

Malang dan Jemaat Semarang, seluruh jemaat dan pos pekabaran

Injil (Pos pI) yang lahir pada dekade 60-an sampai 70-an adalah

buah karya PI jemaat-jemaat yang lahir di dekade-dekade

sebelumnya. Sejak awal komposisi etnisnya sudah beragam dan

bahasa pengantar ibadah Minggu telah memakai bahasa Tionghoa

dan bahasa Indonesia. Beberapa tahun setelah Sinode GKT berdiri

mereka sepenuhnya memakai bahasa Indonesia. Sejumlah jemaat,

seperti Pos PI Sawojajar, Malang; Pos PI Banyumanik, Semarang;

dan GKT Jemat Ebenhaezer, Sumbawa Besar, mayoritas anggota

adalah non-Tionghoa. Karena itu sejak awal sudah memakai

bahasa Indonesia saja dalam kegiatan-kegiatannya.

Para pekerja gerejawi non-Tionghoa hampir semuanya

ditemukan di dalam jemaat-jemaat yang muncul belakangan,

mulai era 60-an. Di jemaat-jemaat yang sejak awal abad ke-20

sudah dilayani oleh pekerja gerejawi Tionghoa yang berbahasa

Tionghoa dan yang sedaerah asal dengan anggota-anggota jemaat

yang dilayani, pekerja gerejawi non-Tionghoa hampir tidak ada di

sana. Kalaupun ada maka masa pelayanannya tidak lama.

Seorang mantan anggota badan pengurus sinode

mengatakan bahwa selama masa tugasnya tidak pernah ada

kebijakan resmi sinodal yang mengatur supaya jemaat-jemaat yang

masih memakai bahasa Tionghoa harus dilayani oleh pekerja

gerejawi Tionghoa yang berbahasa Tionghoa. Meski demikian ia

Page 75: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 207 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

akui bahwa jemaat-jemaat tertentu tetap meminta supaya pekerja

gerejawi yang ditempatkan di sana dari latar belakang tersebut.

Hanya saja hal sulit untuk dipenuhi karena

Waktu itu pemakaian bahasa ini dirasa berbahaya

bagi masa depan orang Tionghoa. Sehingga sama

sekali tidak ada pertimbangan khusus mengenai hal

ini. Yang kami lakukan lebih banyak

dipertimbangkan adalah apakah orang tersebut

cocok di tempat itu atau tidak. Itu saja.

Pertimbangan itu lebih banyak muncul dari jemaat

saja, yang meminta supaya hamba Tuhan yang

ditempatkan mampu berbahasa itu. Namun

permintaan ini pun jarang diungkapkan, sekalipun

keinginan itu ada, karena semua kelihatannya sadar

bahwa tidak gampang mendapatkan tenaga

semacam itu pada masa itu.157

Informan ini tidak menjelaskan apa yang ia maksud

dengan kriteria “cocok.” Sebuah percakapan di antara utusan-

utusan Sidang Sinode GKT XIII pada tahun 1987, yang turut pula

dihadiri oleh informan tersebut, kiranya dapat memberi terang

kepada salah satu makna istilah “cocok” yang dimaksud. Saat

menjelaskan alasan mengapa di GKT proses pentahbisan seorang

pekerja gerejawi yang berjabatan Penginjil menjadi berjabatan

Pendeta membutuhkan waktu yang cukup lama, Pdt. Joseph

Tong, Penasihat Sidang waktu itu, menjelaskan demikian:

Di dalam keadaan/kebudayaan seandainya seorang

berlatar belakang Hing Hwa, melayani di Gereja

Amoy. Karena pelayanan baik tetapi latar belakang

kurang bisa diterima untuk menjadi Pendeta maka

tidak pernah diajukan untuk menjadi Pendeta. Oleh

karena itu, dalam usulan ini BP diberi wewenang

untuk meninjau keadaan demikian supaya bisa

157 Penjelasan via telpon bp TPS, Rabu, 12 Januari 2011.

Page 76: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

208 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

diusulkan, tetapi usul itu diberi prioritas kepada

jemaat di mana hamba Tuhan itu melayani. Tetapi

kalau keberatan-keberatan yang timbul berkaitan

dengan kepercayaan dan kehidupannya maka ini

soal lain, tidak mungkin kalau kehidupan yang tidak

bisa diterima di Jemaat Amoy akan diterima di

Jemaat Hing Hwa.158

Dalam penjelasan ini terungkap tiga kondisi yang

dicermati waktu seorang pekerja gerejawi hendak ditahbis menjadi

pendeta sebuah jemaat GKT. Yang pertama adalah latar belakang

budayanya; yang kedua pokok-pokok kepercayaan yang diimani;

dan yang terakhir adalah perilaku hidup sehari-hari. Mengenai

budaya, faktor etnisitas (apakah Hinghwa atau Amoy) menjadi

faktor yang menentukan. Sekalipun beretnis Tionghoa namun

untuk jemaat-jemaat tertentu ada preferensi etnis yang turut

dipertimbangkan. Hal itu diakui oleh seorang pekerja gerejawi dari

etnis Tionghoa yang berasal dari suku Hokkian. Sekalipun dapat

berbahasa Tionghoa (Mandarin) namun karena beda suku maka ia

tidak serta merta dapat menjadi pendeta di jemaat orang Hokchiu.

Hal itu dapat terjadi karena mereka menginginkan pelayan

gerejawinya berasal dari suku yang sama.159

Keinginan macam ini jarang sekali diungkapkan secara

terbuka. Karenanya, meski sukar untuk dipenuhi namun di saat

yang sama juga sukar untuk dinegosiasikan. Sampai tahun 1998,

seperti terlihat dalam Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 di atas, hampir

semua pekerja gerejawi yang bekerja di kesembilan jemaat di atas

adalah orang-orang Tionghoa, yang sedikit atau banyak dapat

berbahasa Tionghoa, atau dialek bahasa jemaat yang dilayaninya.

Kalaupun akhirnya tidak mampu berbahasa Tionghoa, setidaknya

ia orang Tionghoa, yang seetnis dengan anggota-anggota jemaat

itu; atau, pada akhirnya, semata-mata orang Tionghoa saja. Para

158 Notulen dan Laporan Kerja 1987-1989 dalam Persidangan XIV Sinode

Gereja Kristus Tuhan, P.P.A.G. Malang, 14-17 Nopember 1989: 36. 159 Wawancara bp AG, Malang, 22 Februari 2012.

Page 77: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 209 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

pekerja non-Tionghoa sukar untuk masuk ke sana, atau bertahan

di sana dalam jangka waktu cukup panjang.

2.4. Bersekutu dan Bekerja Sama dengan Sesama Gereja-gereja

Tionghoa lainnya.

Sejak masih bernama THKTKH Klasis Jatim, hubungan

dengan sesama orang Tionghoa Kristen di bagian lain pulau Jawa

dan tempat-tempat lain di Hindia Belanda sudah terjalin erat.

Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT turut hadir dan ambil

bagian secara aktif dalam pertemuan-pertemuan dengan sesama

orang Kristen Tionghoa se-Hindia Belanda.160 Setelah Indonesia

merdeka, bersama-sama dengan orang-orang Tionghoa Kristen

lainnya di THKTKH Klasis Jawa Tengah, Klasis Jawa Barat dan

gereja-gereja Tionghoa lain di Sumatera dan Kalimantan, orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT mendirikan sebuah persekutuan

ekumenis gereja-gereja Tionghoa di Indonesia, yang diberi nama

Persekoetoean Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Indonesia pada tahun

1948. Persekutuan ini diubah namanya menjadi Dewan Gereja-

gereja Kristen Tionghoa di Indonesia (DGKTI), setahun

kemudian, dalam konferensi kedua di Surabaya, September

1949.161 Keterlibatan dalam badan ini terus dipertahankan sampai

akhir 50-an ketika badan ini akhirnya bubar dengan sendirinya.

Meski badannya bubar namun kontak-kontak dengan sesama

jemaat Tionghoa totok di Jawa Tengah dan Jawa Barat terus

dipelihara.

Setelah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) berdiri

pada bulan Mei 1950, melalui THKTKH Klasis Jatim orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT mulai terlibat dalam hubungan yang

intensif dengan orang-orang Kristen dari etnis non-Tionghoa.

160 Salah satu yang diikuti adalah Konferensi Tayhwee di Purworejo,

Jawa Tengah, pada 26-28 Maret 1937. Waktu, THKTKH Klasis Jatim

diwakili oleh Lim Hong Lian, Phoa Kim Boen dan Oei Soei Tiong. Lihat Dr. Th. Van den End, ed., Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa

Barat 1858-1963 (Jakarta: BPK, 2006), 648-654. 161 Ibid., 734.

Page 78: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

210 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Figur seperti Tan Yoe Gie, Pdt. Ie Tjin Sin, Daniel Chen dan Go

Yauw Koen tercatat mewakili orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT dalam forum-forum pertemuan DGI sampai tahun 60-an.162

Hubungan dengan DGI dipandang penting demi mendapatkan

“dukungan moral dan support agar GKT bisa tetap jalan

sebagaimana adanya.”163 Ini menjadi semacam aliansi strategis

yang bertujuan melanggengkan eksistensinya. Itu sebabnya di tiap

kesempatan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT berupaya

mengambil bagian dalam proyek-proyek dan program-program

DGI.

Namun keikutsertaan ini sesungguhnya bersifat elitis.

Figur-figur yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan DGI/PGI di

level nasional dan wilayah Jawa Timur adalah para pemimpin di

level pengurus sinode saja. Kalangan akar rumput GKT dapat

dikatakan tidak terlibat sama sekali. Utusan-utusan ke pertemuan-

pertemuan DGI/PGI hampir semuanya dari kalangan pekerja

gerejawi (baca: pendeta atau pengabar Injil). Walau informasi-

informasi tentang DGI/PGI dan keterlibatan wakil GKT di

tingkat nasional dan regional teratur disebarluaskan melalui media

komunikasi sinode kepada jemaat-jemaat namun hal itu tidak

mendorong keterlibatan mereka. Sampai akhir dekade 90-an

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT hampir-hampir tidak

mengetahui aktivitas-aktivitas PGI. Mereka berada dalam jarak

sosial yang masih cukup jauh dari saudara-saudari seimannya

yang non-Tionghoa.

162 Bersama wakil-wakil lain dari THKTKH Klasis Jatim, Tan Yoe

Gie hadir dalam konferensi pembentukan DGI, 21-28 Mei1950 di Jakarta. Lihat Madjallah Dewan Geredja-geredja Keristen Tionghoa (T.H.K.T.K.H.) di

Indonesia, Juni 1950, 16. Pdt. Ie Tjin Sin ditunjuk oleh Sidang Lengkap IV

DGI 1960 sebagai Ketua II Komisi Kesejahteraan Keluarga Kristen DGI

sementara Daniel Chen (Daniel Tanaya) dan Go Yauw Koen hadir sebagai

utusan THKTKH Klasis Jatim dalam Sidang Lengkap V DGI tahun 1964. Lihat PGI, Arak-arakan Oikoumene Meniti Tahun-tahun Pertumbuhan: Dokueman Historis Sidang Lengkap IV DGI 1960—Sidang Lengkap V DGI 1964 Arak-arakan

Oikoumene Meniti Tahun-tahun Pertumbuhan: Dokumen Historis Sidang Lengkap

IV DGI 1960—Sidang Lengkap V DGI 1964 (Jakarta: Sekretariat Umum PGI,

1996), 274, 400. 163 Wawancara bp PP, Malang, 7 Agustus 2009.

Page 79: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 211 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Namun tidak demikian halnya dengan hubungan dan

keikutsertaannya dalam badan-badan dan persekutuan-

persekutuan orang Tionghoa Kristen di Indonesia dan luar negeri.

Di sini dapat ditemukan minat dan semangat yang besar. Ada dua

lembaga keagamaan yang menarik minat dan partisipasi orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT. Yang pertama adalah Chinese

Coordination Centre of World Evangelism (CCCOWE) dan yang

kedua ialah Persekutuan Gereja-gereja Injili Indonesia (PERGI).

CCCOWE didirikan di Hongkon pada tahun 1975, sebagai

respons terhadap konferensi orang-orang injili (evangelicals) sedunia

di Lausanne, Swiss, tahun 1974.164 Tujuannya ialah membangun

kembali kesatuan orang Tionghoa Kristen sedunia.165 Targetnya

adalah terbentuknya sebuah komunitas Tionghoa Kristen sedunia

yang memakai bahasanya sendiri, koneksi-koneksi sosialnya

sendiri dan cara-caranya sendiri dalam memberitakan Injil

menurut kebutuhan-kebutuhan orang Tionghoa yang disasar.

Strateginya ialah dengan mengkristenkan orang-orang Tionghoa

yang terhilang di seluruh dunia, mulai dari yang berdiam di negara

Tiongkok sampai kepada para imigran Tionghoa di seluruh

dunia.166 Dengan tujuan, sasaran dan strategi ini maka orang-

orang Tionghoa Kristen, anggota-anggota CCCOWE, harus

melawan (resist) asimilasi di mana saja mereka berdomisili dan

terus menjaga anak-anaknya tetap berada di dalam lingkaran

orang Tionghoa (Chinese orbit). CCCOWE mendorong anggota-

164 Judith Nagata, “Christianity among Transnational Chinese:

Religious versus (Sub)ethnic Affiliation” dalam International Migration, Vol. 43

(3) 2005, 122. 165 Ibid. Kalimatnya adalah “to re-establish Chinese Christian unity

worldwide.” 166 Ibid. Kalimatnya adalah “‘lost or vulnerable’ Chinese across the

world, from the ‘unreached’ millions in China to lonely migrants every

where.” Dalam situsnya, Joshua Ting, Sekretaris Umum CCCOWE hari ini menjelaskan bahwa badan ini ada untuk “calling the Chinese churches

worldwide to unity in spirit and in truth to proclaim the Gospel to the world...

It is a forerunner, a catalyst, a coordinator, that assists Chinese churches in a joint effort to advance the ministry of world evangelization.” Lihat

http://www.cccowe.org/content.php?id=vision2020_main (diakses pada Selasa, 29 Juli 2014).

Page 80: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

212 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

anggotanya supaya tidak menyediakan ibadah dalam bahasa lokal

demi melestarikan pemakaian bahasa Tionghoa.167

PERGI adalah wadah persekutuan orang-orang Kristen

dari gereja-gereja yang berlatar belakang Tionghoa di Indonesia.

Pembentukannya tidak lama setelah CCCOWE. Para pendirinya

adalah sejumlah pemimpin dari gereja-gereja orang Tionghoa

totok yang ikut serta dalam pembentukan CCCOWE. Sejak awal

PERGI sudah dianggap sebagai bagian integral dari CCCOWE,

sehingga dipandang sebagai CCCOWE-nya Indonesia.168 Karena

itu maksud, sasaran dan strategi-strateginya mencerminkan apa

yang ditemukan pada CCCOWE.169 Kegiatan rutin yang

dilakukan PERGI adalah pembinaan-pembinaan rohani untuk

para pekerja gerejawi dan aktivis-aktivis gereja yang dikemas

dalam kegiatan bernama Pekan Retreat. Acara ini rutin diadakan

sejak tahun 1976.170

Sampai dekade 80-an berakhir, tidak ada catatan tentang

keterlibatan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di dalam

kedua lembaga itu. Konflik internal sejak awal 70-an sampai awal

80-an, yang berujung kepada perpecahan dan pemisahan diri

sejumlah jemaat dari Sinode GKT, tampaknya memakan banyak

energi dan waktu sehingga tidak tersisa cukup untuk menjalin

hubungan dengan sesama orang Tionghoa Kristen di gereja-gereja

Tionghoa lainnya. Lagipula, di antara para inisiator dan aktivis

167 Nagata dalam International Migration, Vol. 43 (3) 2005, 122. 168 Wawancara bp ST, Surabaya, 31 Januari 2011. 169 PERGI hari ini sudah malih rupa menjadi Persekutuan Gereja-

gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI), yang secara resmi berdiri pada 27

Februari 2007. Sebelum akhirnya menjadi PGTI, PERGI terlebih dulu berubah bentuk menjadi Pusat Pelayanan Gereja-gereja Injili di Indonesia

(PPGII) pada 11 November 1997. Dalam konsideran sejarah PGTI yang termaktub dalam Anggaran Dasar PGTI 2008 dinyatakan bahwa PPGII

merupakan gabungan dari sejumlah badan. Salah satunya adalah CCCOWE

Indonesia. Seperti CCCOWE, PGTI ada untuk “menjadi wadah kesatuan dan persatuan serta kerjasama Gereja-Gereja Tionghoa di seluruh tanah air

Indonesia.” http://pgti.co.id/page/7/anggaran-dasar (diakses pada 29.7.2014).

170 Lihat Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 29, Desember 1996, 49.

Page 81: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 213 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

CCCOWE dan PERGI tampak sejumlah muka yang langsung

ataupun tidak langsung terlibat dalam konflik besar di tubuh GKT

selama periode itu.

Memasuki dekade 90-an mulai muncul laporan-laporan

tentang partisipasi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam

kegiatan-kegiatan bersama dengan orang-orang Tionghoa Kristen

di gereja-gereja Tionghoa lainnya. Laporan pertama muncul

dalam Laporan Umum BP Sinode kepada Sidang Sinode GKT

Ke-15 tahun 1991. Dilaporkan bahwa BP Sinode telah mengutus

dua orang pekerja gerejawi untuk mengikuti konggres PERGI

pada bulan Agustus 1991 di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, BP

kembali melaporkan kepada sidang sinode bahwa seorang pekerja

gerejawi telah diutus untuk mengikuti Konggres III PERGI di

Yogyakarta. Tidak ada penjelasan atau laporan mengenai apa saja

yang dibicarakan dalam kedua konggres tersebut. Namun dua

bulan sebelum keikutsertaan dalam konggres tersebut sejumlah

orang Tionghoa Kristen di GKT dari Surabaya dan Jakarta

dilaporkan hadir mengikuti Pekan Retreat V PERGI di Wisma

Kinasih, Bogor.171 Retreat yang mengambil tema “Kasih Yang

Merangkul Dunia” ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai

gereja Tionghoa di seluruh Indonesia. Selain peserta biasa, turut

pula hadir dua pekerja gerejawi GKT, yang diundang khusus oleh

Panitia untuk menjadi “tenaga penterjemah” bahasa Indonesia ke

bahasa Tionghoa dan bahasa Tionghoa ke bahasa Indonesia.172

Tidak sampai setahun muncul lagi laporan lain tentang

terbentuknya sebuah persekutuan gereja-gereja Kristen berbahasa

Mandarin di Surabaya. Persekutuan ini resmi berdiri pada bulan

Februari 1994. Namun penjajakan untuk pembentukannya sudah

dilakukan sejak bulan Oktober1993, enam bulan setelah berlalunya

retreat pekerja gerejawi PERGI di Bogor. Tiga jemaat GKT yang

ada di kota Surabaya, yaitu GKT Jemaat Hosana, GKT Jemaat

Nazareth dan GKT Jemaat Anugerah ada di antara keempat belas

171 Lihat Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan Edisi 19, Agustus 1993, 58. 172 Ibid.

Page 82: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

214 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

gereja pendirinya.173 Kegiatannya diawali dengan sebuah seminar

teologi dan kebaktian misi, yang dilayani oleh dua pembicara dari

Singapore Bible College (SBC), Singapura.174 Setelah kegiatan

perdana ini keempat belas gereja anggota kemudian mengadakan

persekutuan bersama yang turut dihadiri oleh utusan-utusan ketiga

jemaat GKT di Surabaya.175

Tidak jauh dari waktu ini, sejumlah pengusaha Tionghoa

Kristen di Surabaya juga mendirikan sebuah organisasi pengusaha

Kristen se-Surabaya. Persekutuan yang diberi nama Persekutuan

Pengusaha Kristen Visi dan Misi ini diinisiasi oleh tiga orang

pengusaha Tionghoa Kristen, yang berasal dari dua jemaat Gereja

Kristen Abdiel (GKA), Surabaya. Sejumlah anggota jemaat GKT

yang berprofesi sebagai pengusaha turut pula menjadi anggota.

Dua di antaranya malah sempat duduk sebagai pengurus.176 Sejak

berdiri pada tahun 1994 dan terus sampai 1996, kegiatan rutinnya

adalah ibadah bersama tiap bulan. Memasuki tahun 1997, agenda

173 Anggota pendiri lainnya adalah Gereja Kristen Abdiel (GKT)

Jemaat Gloria I dan II, GKA Trinitas, GKA Elyon, GKA Gracia, GKKA Jemaat Arjuno, GKKA Jemat Tenggilis, Gereja Kristen Kalam Kudus

(GKKK), Gereja Persekutuan Kristen, Gereja Sidang Kristus dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Hakka di Jalan Bibis, Surabaya.

GKA adalah gereja yang lahir dari perpecahan dalam tubuh sejumlah jemaat GKT di Surabaya, Malang, kota-kota lain di Jawa Timur dan Bali dari awal

dekade 70-an sampai awal 80-an. 174 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 21, April 1994, 57. Singapore

Bible College (SBC) adalah sebuah sekolah teologi evangelikal interdenominasi

yang didirikan pada tahun 1952 di Singapura, awalnya untuk melayani kebutuhan gereja-gereja berbahasa Tionghoa di Asia Tenggara. Dalam

perkembangannya, ia kemudian juga membuka departemen pendidikan

teologi dalam bahasa Inggris. Sekolah teologi ini didirikan oleh sejumlah pendeta dan pemimpin gereja Anglikan, Baptis, Methodist, Presbyterian dan

gereja-gereja independen pada tahun 1952, dan mendapat dukungan dari The Chinese Church Union Singapore, Christian Nationals Evangelism Commission

(CNEC) dan badan misi Overseas Missionary Fellowship yang setahun

sebelumnya mengevakuasi markas besarnya dari Tiongkok ke Singapura.

Untuk info SBC lihat https://www.sbc.edu.sg/en/about-sbc-mainmenu-27 (diakses pada 29.7.2014). Sementara untuk OMF lihat

http://omf.org/us/archives/singapore/ (diakses pada 29.7.2014). 175 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 22, Agustus 1994, 46. 176 Buku Tahunan 1997 Persekutuan Pengusaha Kristen Visi dan Misi

Surabaya, 19-20.

Page 83: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 215 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

rutin bulanan itu dibuat lebih beragam, seperti konser musik,

ceramah-ceramah tentang pemberdayaan sumber daya manusia,

pembinaan iman Kristen, seminar ekonomi, ceramah keluarga

pengusaha Kristen, dan lain-lain.177

Masih di tahun 1994, sebuah jemaat di kota Malang

dilaporkan mengadakan kebaktian misi selama dua malam

berturut-turut. Pembicaranya adalah Dr. Thomas Wang, mantan

General Secretary dari CCCOWE, dan saat itu sedang menjabat

sebagai General Secretary dari lembaga World AD 2000 Evangelical

Movement serta presiden dari The Great Mission Centre di Los

Angeles. Sebelum datang ke Malang, ia telah mengisi acara serupa

di sebuah gereja Tionghoa lain di Surabaya. Laporan tersebut

mengatakan bahwa bahasa yang dipakai selama acara ini adalah

“bahasa Mandarin” yang “diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia.” Dan, baik di Surabaya maupun di Malang, acara ini

terselenggara berkat usaha “Badan Kerja Sama Gereja-gereja

Berbahasa Mandarin Surabaya.”178

Tidak lama kemudian, jemaat yang sama dilaporkan

menggelar sebuah acara malam puji-pujian untuk Tuhan. Acara

ini adalah hasil kolaborasi dengan sebuah gereja Tionghoa yang

seetnis dan sedialek di Jakarta.179 Tidak sampai setahun kemudian,

tepatnya pada bulan Maret 1995, persekutuan gereja-gereja

berbahasa Tionghoa di Surabaya kembali menjadi sponsor sebuah

kebaktian kebangunan rohani (KKR), yang dilayani oleh seorang

177 Buku Tahunan 1997 Persekutuan Pengusaha Kristen Visi dan Misi

Surabaya, 21. 178 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 22, Agustus 1994, 46-47. 179 Ibid., 46. Gereja tersebut adalah Gereja Kristus Jemaat Mangga

Besar (GKJMB), yang sudah berubah nama sejak beberapa tahun lampau

menjadi Gereja Kristus Yesus (GKY) Jemaat Mangga Besar. Secara historis gereja

ini punya hubungan yang sangat dekat dengan GKT karena sama-sama dirintis oleh badan misi yang sama, yakni badan misi Gereja Methodist

Episkopal Konferensi Malaysia pada awal abad ke-20. Seperti orang-orang

Tionghoa di GKT Jemaat III dan GKT Jemaat Hosana, Surabaya, mereka berawal dari jemaat berdialek Fuzhou-Kuoyu. Salah seorang pekerja gerejawi

GKT, yaitu Pdt. Baring L. Yang, pernah sesaat bekerja di antara orang-orang ini.

Page 84: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

216 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

pengkhotbah Tionghoa-Amerika bernama Rev. Christopher Sun.

Khotbah disampaikan dalam bahasa Tionghoa (bahasa Mandarin)

dalam ibadah empat hari berturut-turut.180 Di sela-sela waktunya

kunjungannya ke Surabaya, beberapa pemimpin persekutuan ini

membawa Rev. Sun mengunjungi sekolah teologi GKT di kota

Lawang, Malang. Dalam pertemuan dengan para dosen dan

mahasiswa, Rev. Sun memberikan dorongan untuk ambil bagian

dalam karya pekabaran Injil sedunia sekaligus mendoakan dosen

dan para mahasiswa. Meski fasih berbahasa Inggris dan hanya

segelintir orang saja yang paham namun Rev. Sun lebih memilih

berbicara dan berdoa dalam bahasa Tionghoa.

Tahun 1996 PERGI kembali mengadakan pekan retreat.

Acara ini diikuti oleh ratusan peserta dari dua puluh dua gereja

Tionghoa di Indonesia. BP Sinode GKT mengirim sejumlah

utusan resmi: tiga dari Departemen Pekabaran Injil, seorang staf

kantor sinode dan dua anggota badan pengurus sinode.181 Tujuan

BP mengutus rombongan besar ini, seperti dilaporkan dalam

Sidang Sinode XVIII tahun 1997, adalah untuk “menambah

wawasan dan menimba pengalaman khususnya mengenai

pelayanan gereja-gereja yang berlatar belakang bahasa

Mandarin.”182 Yang menarik dari retreat kali ini adalah kehadiran

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam jumlah yang besar.

Selain keenam utusan resmi itu, turut hadir sejumlah besar

anggota jemaat-jemaat GKT dari Surabaya dan Malang. Mereka

datang dengan kemauan sendiri dan atas biaya sendiri.183 Selain

mereka juga hadir Ketua STT Aletheia waktu itu, yang diminta

oleh panitia untuk menyampaikan sebuah ceramah khusus yang

180 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 24, April 1995, 40. 181 Ketiga anggota departemen tersebut adalah Pdt. Iskandar

Santoso, Pdt. Teguh Isworo dan Ev. Joko Sukamto sementara dua anggota

pengurus sinode tersebut adalah Kurnia Wijaya Iman dan Markus

Alengkong. Staf kantor sinode sekaligus penulis laporan mengenai acara ini adalah Ev. Paulus Tjioe.

182 Notulen Sidang Sinode GKT Ke-17 dan Laporan Kerja 1995-1997, A-2. 183 Dari jemaat-jemaat GKT di Surabaya hadir 49 orang sementara

yang dari Malang hadir 16, dari total 25 orang peserta dari kota Malang.

Page 85: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 217 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

bertema, Tantangan Misi yang Dihadapi Gereja Mandarin di

Indonesia.184

Kuatnya suasana ketionghoaan kegiatan ini dilaporkan

demikian,

Kami merasakan suasana ketionghoaan cukup

menonjol karena banyak peserta yang berbicara

bahasa Mandarin meskipun banyak juga yang

berbahasa Indonesia. Mayoritas peserta memang

berkulit kuning, tetapi ada juga peserta suku-suku

non-Tionghoa, mereka mengikuti Retreat karena

melayani di gereja-gereja berlatar belakang

Tionghoa.185

Tidak lama kemudian, pada bulan Juli 1996, CCCOWE

mengadakan konggres pekabaran Injil yang kelima di Hong Kong.

Dengan tema “The Lord of History—The Light of the World”

konggres membahas berbagai isu yang muncul di kalangan gereja-

gereja Tionghoa di dunia. Di antaranya Christianity and Chinese

culture.186 Konggres yang dihadiri oleh 1700 peserta dari seluruh

dunia ini juga dihadiri oleh sejumlah orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT.187 Mereka berangkat atas inisiatif pribadi dan

biaya sendiri.

Puncak dari semua kisah hubungan dan kerja sama

dengan sesama orang Tionghoa Kristen selama periode penelitian

ini adalah dukungan yang diberikan orang-orang Tionghoa Kristen

di GKT kepada pendirian Pusat Pelayanan Gereja-gereja Injili

Indonesia (PPGII), yang didirikan oleh “CCCOWE distrik

Jakarta, Gerakan Penginjilan Era 2000, Pusat Pelayanan Musik

184 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 29, Desember 1996, 49. 185 Ibid. 186 Dalam http://www.lausanne.org/en/gatherings/event/44-the-

fifth-chinse-congress-on-world-evangelization-ccowe.html (diakses pada 30.7.2014).

187 Penuturan bp KS, Surabaya, 30 Januari 2011 dan Surat elekronik bp

KS, 31 Juli 2014.

Page 86: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

218 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Gerejawi, Pusat Pelayanan Literatur Injil, dan Persekutuan

Gereja-Gereja Kristen Injil Jakarta tanggal 11 Nopember 1997.”188

Sejumlah nama orang-orang Tionghoa Kristen di GKT didapati

namanya dalam susunan kepengurusannya untuk wilayah Jawa

Tengah, Surabaya, Malang, Bali-NTB-NTT. Fakta ini berbeda

seratus delapan puluh derajat dari dukungan yang diberikan

kepada PGIW Jatim. Dalam kepengurusan PGIW Jatim Periode

1997-2002, hanya ada satu pekerja gerejawi GKT saja yang

terlibat. Yang lain, baik itu pekerja gerejawi maupun anggota

jemaat, sama sekali tidak ada.

Demikianlah, meski sejak akhir tahun 60-an sampai 90-an

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terlibat dalam kontak yang

sangat intensif dengan tokoh-tokoh gereja-gereja non-Tionghoa di

Indonesia melalui DGI/PGI, namun itu hanya berhenti di

kalangan elit gereja saja. Kalangan akar rumput GKT sama sekali

tidak ambil bagian. Sebaliknya, sampai akhir dekade 90-an, kontak

dan interaksi dengan sesama orang Tionghoa Kristen justru

tumbuh subur dan berkembang pesat. Para elit dan lebih-lebih

kalangan akar rumputnya terlibat sangat aktif membangun

hubungan dan jaringan kerja sama dengan grup-grup orang

Tionghoa Kristen lainnya. Mereka sibuk bertemu, bersekutu dan

bekerja sama dengan sesama orang Tionghoa Kristen dalam

wadah-wadah yang menjadikan bahasa dan budaya Tionghoa

sebagai komponen identitas sosial yang penting.

3. Penutup

Bagi orang-orang Tionghoa Kristen Tionghoa di GKT,

bahasa Tionghoa, karakteristik kelompok yang dominan orang

Tionghoa dan orientasi pelayanan kepada orang-orang Tionghoa

adalah penanda-penanda yang telah mendefinisikan dirinya sejak

awal. Arus deras kebijakan asimilasi yang coba menghapus itu

188 Dalam http://pgti.co.id/page/12/sejarah (diakses pada

29.7.2014). Terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PPGII yang pertama adalah

Pdt. Daniel Cahyadi. Ia adalah mantan pekerja gerejawi GKT di Jemaat Hosana, Surabaya dan Jemaat III, Malang.

Page 87: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 219 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

semua dengan segala daya dikendalikan sedemikian rupa supaya

komponen-komponen identitasnya tetap lestari. Tekanan untuk

membaur-melebur ke dalam masyarakat dan budaya setempat

diatasi dengan memanfaatkan ruang-ruang yang tersedia di gereja,

sekolah teologi dan sekolah umum serta badan-badan pelayanan

orang Tionghoa Kristen. Di dalamnya, elemen-elemen

identitasnya dirawat agar tidak punah ditelan oleh asimilasi.

Di tiap level interaksinya dengan negara, orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT punya strategi sendiri dalam

menegosiasikan identitasnya. Kehadiran orang-orang non-

Tionghoa di tengah-tengahnya “dimainkan” dengan cara yang

cerdik. Di satu pihak mereka diperlihatkan sebagai bukti bahwa

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT bukan lagi kelompok yang

seklusif dan eksklusif. Di pihak lain lokasi kehadiran mereka

dinavigasi sedemikian rupa supaya ketionghoaan kelompok masih

tetap dapat dikenali.

Bab selanjutnya merupakan upaya interpretatif terhadap

perilaku orang-orang Tionghoa Kristen di GKT yang disajikan

dalam bab ini. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Apakah ini

merupakan bagian dari proses peranakanisasi seperti yang

dipikirkan Suryadinata tentang orang-orang Tionghoa totok? Apa

dan bagaimanakah peran yang dimainkan oleh agama bagi orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT dalam relasi mereka dengan

negara? Apakah agama, seperti diteorikan selama ini, memainkan

peran positif dalam asimilasi orang-orang Tionghoa? Atau, adakah

peran lain yang ditampilkan oleh agama dari hasil-hasil penelitian

ini? Pertanyaan-pertanyaan ini dan yang terkait dengan itu akan

coba digumuli dalam bab berikut.

Page 88: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

220 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU

Page 89: MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARUSecure Site €¦ · Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 221 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998