Menggali Kehancuran di Sunda Kecil

2
Pengawasan Masyarakat Sipil atas Sektor Mineral dan Batubara di 2 Provinsi : Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Korsup KPK Koalisi Anti-Mafia Tambang K oalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif yang dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor Minerba melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang Mineral dan Batubara (Minerba). Koalisi Anti Mafia Tambang merasa penting untuk berpartisipasi dalam implementasi korsup Minerba ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data- data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK. Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah di internal pemerintah daerah dan pusat. Korsup KPK Tahap-1 di 12 provinsi telah dimulai sejak awal tahun 2014, sedangkan Korsup KPK Tahap-2 untuk 19 Provinsi telah dimulai sejak Desember 2014 termasuk melalui koordinasi dan pemantauan bersama kepala-kepala daerah di 2 (dua) provinsi yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 8 Juni 2015. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan koalisi masyarakat sipil di 2 (dua) provinsi, terutama yang menyangkut aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan. Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 2 Provinsi (NTB dan NTT) telah terbebani izin pertambangan. Data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014) menyebutkan terdapat 255.273,39 Hektar wilayah pertambangan yang masuk di kawasan hutan lindung di 2 provinsi (NTB dan NTT) dengan total unit izin usaha sebanyak 111 (96 di NTT dan 35 di NTB) Izin Usaha Pertambangan (IUP)) dan 2 Kontrak Karya (KK) di NTB. Sementara itu, di kedua provinsi itu terdapat 11.181,61 hektar wilayah pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri atas 22 IUP (13 di NTB dan 9 di NTT) dan 1 KK di NTB. Tabel 1. Jumlah Luasan Izin Pertambangan yang diindikasikan berada pada Hutan Konservasi dan Lindung Penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati. Sementara kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah (underground mining) yang faktanya sampai saat ini tidak ada satupun pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktek ini. Oleh karenanya, pemberian izin di kawasan hutan lindung dan konservasi jelas melanggar aturan yang ada dan memerlukan penegakan hukum terhadap pemegang izin usaha di kawasan tersebut. Sumber: Dirjen Planologi, 2014 No Daerah Fungsi Kawasan Hutan Total (Ha) Hutan Konservasi (Ha) Hutan Lindung (Ha) 1 NTB 5.561,35 189.410,52 194.971,87 2 NTT 5.620,26 65.862,87 71.483,13 Total 11.181,61 255.273,39 266.455 Pemerintah pusat mengeluarkan Keppress No. 41 tahun 2004 yang memberi pengecualian bagi 13 pemegang izin tambang untuk melakukan penambangan secara terbuka di kawasan lindung. 1 Boks1. Perusahaan Tambang Beroperasi di Wilayah Hutan Lindung dan Konservasi Kasus di NTT 1: Berdasarkan SK 270 tahun 2013 tentang IUP PT Elgary Resources Indonesia (ERI) yang berstatus Operasi Produksi di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, atas temuan dari WALHI NTT, PT ERI yang memiliki luasan 1.623 hektar sebanyak 900 hektare lebih terindikasi masuk dalam kawasan hutan lindung. Menariknya, pada tahapan eksplorasi PT ERI status IUPnya tidak lolos CnC. Hal ini diperparah dengan tidak koperatifnya Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara yang cenderung menutup semua informasi berkaitan dengan keberadaan PT ERI. Padahal, informasi berkaitan dengan status kawasan hutan, AMDAL, dan IUP harusnya menjadi dokumen publik. Namun, hal itu tidak terjadi di TTU. Padahal, UU keterbukaan informasi publik (KIP) No 14 Tahun 2008 sudah mengatur dengan jelas dan terang benderang. Kertas Posisi MENGGALI KEHANCURAN DI SUNDA KECIL 11 (Sebelas) hal yang direkomendasikan oleh Koalisi Anti Mafia Tambang adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah selaku pemberi izin untuk segera menghentikan pertambangan di Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi dalam pemberian izin di Kawasan Konservasi dan Lindung. 2. Mendesak Dirjen Minerba untuk memperluas kriteria CnC dalam kegiatan usaha pertambangan untuk memperhatikan aspek Hak Asasi Manusia, hak-hak sosial ekonomi masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. 3. Mendesak pejabat penerbit izin untuk mencabut izin-izin pertambangan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk yang non-CnC (belum menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang) dengan tetap memproses penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan (pajak, kerusakan lingkungan, dll) serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi pada pemberian IUP yang bermasalah tersebut. 4. Meminta pemerintah untuk melakukan moratorium dan sekaligus mereview seluruh izin-izin pertambangan yang telah diterbitkan agar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 5. Tim Korsup Minerba KPK dan pemerintah pusat serta pemerintah daerah wajib untuk mempublikasikan izin yang telah dicabut melalui media yang murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat agar bisa dilakukan pengawasan pasca- pencabutan. 6. Mendesak pemerintah untuk melakukan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara maksimal untuk memastikan tak ada alih fungsi lahan atau kejahatan di sektor hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat sipil. 7. Aparat penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memperbanyak penanganan dan penyelesaian kasus yang terkait dengan kejahatan dan pelanggaran HAM di sektor mineral dan batubara. 8. Pemerintah perlu mengembangkan skema blacklist (daftar hitam) dan dipublikasikan ke publik bagi perusahaan dan pemilik usahanya yang melakukan pelanggaran terhadap penggunaan izin dan merugikan negara serta menginformasikan kepada publik dan pihak perbankan. 9. Meminta Korsup Minerba KPK dan pemerintah mengakomodir aspek keselamatan warga dan lingkungan hidup dalam penertiban, penataan izin dan penegakan hukum. 10. Mendesak pemerintah untuk memperbaiki mekanisme pengelolaan PNBP yang berpotensi terhadap kehilangan penerimaan negara dari iuran land rent dan royalti termasuk perlu adanya penertiban, sebagai bagian dari optimalisasi penerimaan negara. KPK diminta untuk mengembangkan penyidikan atas temuan dari potensi kerugian negara dari iuran land rent dan royalti. 11. Pemerintah untuk memperjelas status wilayah pertambangan pasca-pencabutan IUP, harus dipastikan mekanismenya dilakukan secara transparan serta terlebih dahulu dilakukan rehabilitasinya. NTB PROV 12,837,613,645.02 NTT PROV 16,106,124,734.08 BIMA 2,773,339,712.24 ALOR 358,429,366.40 DOMPU 1,242,482,931.35 BELU 3,595,669,553.70 KOTA BIMA (32,000,000.00) ENDE 1,854,793,591.21 LOMBOK BARAT 262,629,404.16 KUPANG 1,820,657,732.84 LOMBOK TENGAH (14,027,020.00) MANGGARAI 1,152,878,116.22 LOMBOK TIMUR 88,968,502.60 MANGGARAI TIMUR 177,195,873.39 LOMBOK UTARA - NAGEKEO 3,061,815,903.77 SUMBAWA 5,543,310,217.16 NGADA 1,432,422,810.16 SUMBAWA BARAT (1,298,565,975.42) ROTE NDAO 619,896,639.99 TOTAL 21,403,751,417.12 SABU RAIJUA 131,820,565.00 SUMBA BARAT 1,237,275,285.00 SUMBA BARAT DAYA 2,066,138,253.20 SUMBA TENGAH 1,751,027,918.40 SUMBA TIMUR 1,630,356,523.64 TIMOR TENGAH SELATAN 1,322,883,562.76 TIMOR TENGAH UTARA 2,879,561,015.63 FLORES TIMUR - LEMBATA (390,790,947.00) SIKKA 880,434,451.00 KOTA KUPANG 353,957,232.00 MANGGARAI BARAT 1,028,238,262.00 TOTAL 43,070,786,443.41 Lampiran 1 Potensi Kerugian Negara dari Iuran Land Rent per Provinsi di NTB dan NTT versi Perhitungan Koalisi Anti Mafia Tambang Tahun 2010-2013 Rekomendasi KOALISI ANTI MAFIA TAMBANG REGION NTB dan NTT NTB SOMASI: DWI ARIE SANTO (081915679161) LSBH: KHERUDIN (087865368733) WALHI NTB: MURDANI (081909919748) KNTI: AMIN ABDULLAH (081805785720) NTT PIKUL: TORRY KUSWARDONO (0811383270) WALHI NTT: MELKY NAHAR (081338036632) JPIC OFM: MIKE PERUHE, OFM (081237895328) FORMADDA NTT: YUSTINUS DARMA (082146782463) GERAM NTT: SURYON FLORIANUS ADU (081339148771) NASIONAL PWYP INDONESIA: AGUNG BUDIONO (081291697629) AURIGA: SYAHRUL FITRA (08116611340) Potensi Kerugian Penerimaan Negara dari Land Rent Mencapai Rp 64,47 Miliar Rupiah Koalisi anti Mafia Tambang melakukan perhitungan potensi kerugian negara dari iuran land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Dari perhitungan yang ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost). Hasil perhitungan Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan bahwa sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai total Rp.64,47 miliar, dengan rincian di Provinsi NTT sebesar Rp. 43,07 miliar dan di Provinsi NTB sebesar Rp.21,4 miliar. Informasi lengkap potensi kerugian Penerimaan per kabupaten di dua dapat dilihat di Lampiran 1. Tabel 5. Potential Lost dari Land Rent 2010-2013 di NTB dan NTT Minimnya Transparansi dan Keterlibatan Masyarakat Sipil di Sektor Pertambangan Minerba Keterbukaan informasi di segala bidang telah diamanatkan dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik(KIP). Implementasi UU ini dtelah ditekankan oleh presiden bagi semua pemerintah pusat dan daerah untuk membuka data publik untuk kepentingan masyarakat umum termasuk data tentang izin perusahaan, Amdal dan kebijakan pertambangan lainnya. Pengalaman Koalisi Anti Mafia Tambang di NTT dan NTB menujukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki komitmen keterbukaan informasi publik dan memilih menutup atas data dan informasi yang terkait dengan dokumen izin usaha pertambangan, tahap-tahap operasional dan pasca tambang dengan alasan bukan wewenang mereka dan alasan lain yang terkadang tidak logis. Total Potensi Kerugian untuk 2 Provinsi = Rp 64,47 Miliar

Transcript of Menggali Kehancuran di Sunda Kecil

Page 1: Menggali Kehancuran di Sunda Kecil

Pengawasan Masyarakat Sipil atas Sektor Mineral dan Batubara di 2 Provinsi

: Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Korsup KPK

Koalisi Anti-Mafia Tambang

Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif yang

dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di

sektor Minerba melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi

(Korsup) di bidang Mineral dan Batubara (Minerba). Koalisi Anti Mafia

Tambang merasa penting untuk berpartisipasi dalam implementasi

korsup Minerba ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data-

data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK.

Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja

pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah di internal

pemerintah daerah dan pusat. Korsup KPK Tahap-1 di 12 provinsi telah

dimulai sejak awal tahun 2014, sedangkan Korsup KPK Tahap-2 untuk 19

Provinsi telah dimulai sejak Desember 2014 termasuk melalui koordinasi

dan pemantauan bersama kepala-kepala daerah di 2 (dua) provinsi yakni

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)

pada 8 Juni 2015. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan

koalisi masyarakat sipil di 2 (dua) provinsi, terutama yang menyangkut

aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan

lingkungan.

Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 2 Provinsi

(NTB dan NTT) telah terbebani izin pertambangan.

Data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014) menyebutkan

terdapat 255.273,39 Hektar wilayah pertambangan yang masuk di kawasan

hutan lindung di 2 provinsi (NTB dan NTT) dengan total unit izin usaha

sebanyak 111 (96 di NTT dan 35 di NTB) Izin Usaha Pertambangan (IUP)) dan

2 Kontrak Karya (KK) di NTB.

Sementara itu, di kedua provinsi itu terdapat 11.181,61 hektar wilayah

pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri atas 22 IUP (13 di

NTB dan 9 di NTT) dan 1 KK di NTB.

Tabel 1. Jumlah Luasan Izin Pertambangan yang diindikasikan

berada pada Hutan Konservasi dan Lindung

Penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan

jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan

UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati.

Sementara kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung

hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah

(underground mining) yang faktanya sampai saat ini tidak ada satupun

pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktek ini. Oleh

karenanya, pemberian izin di kawasan hutan lindung dan

konservasi jelas melanggar aturan yang ada dan memerlukan

penegakan hukum terhadap pemegang izin usaha di kawasan

tersebut.

Sumber: Dirjen Planologi, 2014

No Daerah Fungsi Kawasan Hutan

Total (Ha) Hutan Konservasi (Ha) Hutan Lindung (Ha)

1 NTB 5.561,35 189.410,52 194.971,87

2 NTT 5.620,26 65.862,87 71.483,13

Total 11.181,61 255.273,39 266.455

Pemerintah pusat mengeluarkan Keppress No. 41 tahun 2004 yang memberi pengecualian bagi 13 pemegang izin tambang untuk melakukan penambangan secara terbuka di kawasan lindung.

1

Boks1. Perusahaan Tambang Beroperasi di Wilayah Hutan Lindung dan Konservasi

Kasus di NTT 1:

Berdasarkan SK 270 tahun 2013 tentang IUP PT Elgary Resources

Indonesia (ERI) yang berstatus Operasi Produksi di Desa Oenbit,

Kecamatan Insana, atas temuan dari WALHI NTT, PT ERI yang memiliki

luasan 1.623 hektar sebanyak 900 hektare lebih terindikasi masuk

dalam kawasan hutan lindung. Menariknya, pada tahapan eksplorasi

PT ERI status IUPnya tidak lolos CnC.

Hal ini diperparah dengan tidak koperatifnya Pemerintah Kabupaten

Timor Tengah Utara yang cenderung menutup semua informasi

berkaitan dengan keberadaan PT ERI. Padahal, informasi berkaitan

dengan status kawasan hutan, AMDAL, dan IUP harusnya menjadi

dokumen publik. Namun, hal itu tidak terjadi di TTU. Padahal, UU

keterbukaan informasi publik (KIP) No 14 Tahun 2008 sudah

mengatur dengan jelas dan terang benderang.

Kertas Posisi

MENGGALI KEHANCURAN DI SUNDA KECIL

11 (Sebelas) hal yang direkomendasikan oleh Koalisi Anti Mafia

Tambang adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah selaku pemberi izin untuk segera menghentikan

pertambangan di Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan

Lindung serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan

adanya kasus korupsi dalam pemberian izin di Kawasan

Konservasi dan Lindung.

2. Mendesak Dirjen Minerba untuk memperluas kriteria CnC

dalam kegiatan usaha pertambangan untuk memperhatikan

aspek Hak Asasi Manusia, hak-hak sosial ekonomi masyarakat

dan perlindungan lingkungan hidup.

3. Mendesak pejabat penerbit izin untuk mencabut izin-izin

pertambangan yang bertentangan dengan peraturan

perundangan yang berlaku, termasuk yang non-CnC (belum

menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang) dengan

tetap memproses penegakan hukum atas pelanggaran yang

dilakukan (pajak, kerusakan lingkungan, dll) serta mendesak

KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi pada

pemberian IUP yang bermasalah tersebut.

4. Meminta pemerintah untuk melakukan moratorium dan

sekaligus mereview seluruh izin-izin pertambangan yang

telah diterbitkan agar sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku.

5. Tim Korsup Minerba KPK dan pemerintah pusat serta

pemerintah daerah wajib untuk mempublikasikan izin yang

telah dicabut melalui media yang murah dan mudah dijangkau

oleh masyarakat agar bisa dilakukan pengawasan pasca-

pencabutan.

6. Mendesak pemerintah untuk melakukan fungsi pengawasan

dan penegakan hukum secara maksimal untuk memastikan

tak ada alih fungsi lahan atau kejahatan di sektor hutan dan

lahan dengan melibatkan masyarakat sipil.

7. Aparat penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah

untuk memperbanyak penanganan dan penyelesaian kasus

yang terkait dengan kejahatan dan pelanggaran HAM di sektor

mineral dan batubara.

8. Pemerintah perlu mengembangkan skema blacklist (daftar

hitam) dan dipublikasikan ke publik bagi perusahaan dan

pemilik usahanya yang melakukan pelanggaran terhadap

penggunaan izin dan merugikan negara serta menginformasikan

kepada publik dan pihak perbankan.

9. Meminta Korsup Minerba KPK dan pemerintah mengakomodir

aspek keselamatan warga dan lingkungan hidup dalam

penertiban, penataan izin dan penegakan hukum.

10. Mendesak pemerintah untuk memperbaiki mekanisme

pengelolaan PNBP yang berpotensi terhadap kehilangan

penerimaan negara dari iuran land rent dan royalti termasuk

perlu adanya penertiban, sebagai bagian dari optimalisasi

penerimaan negara. KPK diminta untuk mengembangkan

penyidikan atas temuan dari potensi kerugian negara dari

iuran land rent dan royalti.

11. Pemerintah untuk memperjelas status wilayah pertambangan

pasca-pencabutan IUP, harus dipastikan mekanismenya

dilakukan secara transparan serta terlebih dahulu dilakukan

rehabilitasinya.

N T B P R O V 1 2 ,8 3 7 ,6 1 3 ,6 4 5 .0 2 N T T P R O V

1 6 ,1 0 6 ,1 2 4 ,7 3 4 .0 8

B IM A 2 ,7 7 3 ,3 3 9 ,7 1 2 .2 4 A L O R

3 5 8 ,4 2 9 ,3 6 6 .4 0

D O M P U 1 ,2 4 2 ,4 8 2 ,9 3 1 .3 5 B E L U

3 ,5 9 5 ,6 6 9 ,5 5 3 .7 0

K O T A B IM A (3 2 ,0 0 0 ,0 0 0 .0 0 ) E N D E

1 ,8 5 4 ,7 9 3 ,5 9 1 .2 1

L O M B O K B A R A T 2 6 2 ,6 2 9 ,4 0 4 .1 6 K U P A N G

1 ,8 2 0 ,6 5 7 ,7 3 2 .8 4

L O M B O K T E N G A H (1 4 ,0 2 7 ,0 2 0 .0 0 ) M A N G G A R A I

1 ,1 5 2 ,8 7 8 ,1 1 6 .2 2

L O M B O K T IM U R 8 8 ,9 6 8 ,5 0 2 .6 0 M A N G G A R A I T IM U R

1 7 7 ,1 9 5 ,8 7 3 .3 9

L O M B O K U T A R A - N A G E K E O

3 ,0 6 1 ,8 1 5 ,9 0 3 .7 7

S U M B A W A 5 ,5 4 3 ,3 1 0 ,2 1 7 .1 6 N G A D A

1 ,4 3 2 ,4 2 2 ,8 1 0 .1 6

S U M B A W A B A R A T (1 ,2 9 8 ,5 6 5 ,9 7 5 .4 2 ) R O T E N D A O

6 1 9 ,8 9 6 ,6 3 9 .9 9

T O T A L 2 1 ,4 0 3 ,7 5 1 ,4 1 7 .1 2 S A B U R A IJU A

1 3 1 ,8 2 0 ,5 6 5 .0 0

S U M B A B A R A T

1 ,2 3 7 ,2 7 5 ,2 8 5 .0 0

S U M B A B A R A T D A Y A

2 ,0 6 6 ,1 3 8 ,2 5 3 .2 0

S U M B A T E N G A H

1 ,7 5 1 ,0 2 7 ,9 1 8 .4 0

SU M B A T IM U R 1 ,6 3 0 ,3 5 6 ,5 2 3 .6 4

T IM O R T E N G A H SE LA T A N

1 ,3 2 2 ,8 8 3 ,5 6 2 .7 6

T IM O R T E N G A H U T A R A 2 ,8 7 9 ,5 6 1 ,0 1 5 .6 3

F LO R E S T IM U R -

LE M B A T A (3 9 0 ,7 9 0 ,9 4 7 .0 0 )

S IK K A 8 8 0 ,4 3 4 ,4 5 1 .0 0

K O T A K U P A N G 3 5 3 ,9 5 7 ,2 3 2 .0 0

M A N G G A R A I B A R A T 1 ,0 2 8 ,2 3 8 ,2 6 2 .0 0

T O T A L 4 3 ,0 7 0 ,7 8 6 ,4 4 3 .4 1

Lampiran 1

Potensi Kerugian Negara dari Iuran Land Rent per Provinsi di NTB dan NTT versi

Perhitungan Koalisi Anti Mafia Tambang Tahun 2010-2013

Rekomendasi KOALISI ANTI MAFIA TAMBANG REGION NTB dan NTT

NTB

SOMASI: DWI ARIE SANTO (081915679161)LSBH: KHERUDIN (087865368733)WALHI NTB: MURDANI (081909919748)KNTI: AMIN ABDULLAH (081805785720)

NTT

PIKUL: TORRY KUSWARDONO (0811383270)WALHI NTT: MELKY NAHAR (081338036632)JPIC OFM: MIKE PERUHE, OFM (081237895328)FORMADDA NTT: YUSTINUS DARMA (082146782463)GERAM NTT: SURYON FLORIANUS ADU (081339148771)

NASIONAL

PWYP INDONESIA: AGUNG BUDIONO (081291697629)AURIGA: SYAHRUL FITRA (08116611340)

Potensi Kerugian Penerimaan Negara dari Land Rent Mencapai Rp

64,47 Miliar Rupiah

Koalisi anti Mafia Tambang melakukan perhitungan potensi kerugian

negara dari iuran land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012

tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Dari perhitungan yang

ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah

dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan

potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan

(potential lost). Hasil perhitungan Koalisi Masyarakat Sipil

menunjukkan bahwa sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi

kerugian penerimaan mencapai total Rp.64,47 miliar, dengan

rincian di Provinsi NTT sebesar Rp. 43,07 miliar dan di Provinsi NTB

sebesar Rp.21,4 miliar. Informasi lengkap potensi kerugian

Penerimaan per kabupaten di dua dapat dilihat di Lampiran 1.

Tabel 5. Potential Lost dari Land Rent 2010-2013 di NTB dan NTT

M i n i m n y a

Transparansi

dan Keterlibatan

M a s y a r a k a t

Sipil di Sektor

Pertambangan

Minerba

K e t e r b u k a a n

i n f o r m a s i d i

segala bidang telah diamanatkan dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang

keterbukaan informasi publik(KIP). Implementasi UU ini dtelah

ditekankan oleh presiden bagi semua pemerintah pusat dan daerah

untuk membuka data publik untuk kepentingan masyarakat umum

termasuk data tentang izin perusahaan, Amdal dan kebijakan

pertambangan lainnya. Pengalaman Koalisi Anti Mafia Tambang di

NTT dan NTB menujukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki

komitmen keterbukaan informasi publik dan memilih menutup atas data

dan informasi yang terkait dengan dokumen izin usaha

pertambangan, tahap-tahap operasional dan pasca tambang dengan

alasan bukan wewenang mereka dan alasan lain yang terkadang tidak

logis.

Total Potensi Kerugian untuk 2 Provinsi = Rp 64,47 Miliar

Page 2: Menggali Kehancuran di Sunda Kecil

Kasus di NTT 2:

Berdasarkan temuan, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korusp

Sumberdaya Alam NTT, PT Sumber Jaya Asia (SJA) melakukan

aktifitas pertambangan terbuka untuk komoditas mangan di

kawasan Hutan Lindung RTK 103 Nggalak Rego, Kecamatan Reok,

Kabupaten Manggarai. Aktifitas pertambangan perusahaan ini

didasarkan surat keputusan (SK) Bupati Manggarai No

HK/287/2007 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Izin Pemindahan dan

Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian

Mangan KW 9 PP 0208 di Kecamatan Reok dari PT Tribina Sempurna

kepada PT SJA.

Namun, berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. S.40/Menhut-

VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 yang ditujukan kepada Gubernur

NTT, PT Sumber Jaya Asia tidak termasuk dalam 13 perusahaan

tambang yang diizinkan beroperasi dalam kawasan hutan lindung

sesuai Keppres No.41 Tahun 2004. Namun demikian, faktanya, PT SJA

telah melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka

pada Kawasan Hutan

Lindung RTK 103 Nggalak Rego meskipun permohonan IPPKH

ditolak oleh Menterti Kehutanan pada tahun 2009.

Fakta hukum lain yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego

RTK 103 adalah bahwa telah terjadi kriminalisasi atas dua warga di

sekitar Kawasan Hutan Lindung RTK 103 Nggalak Rego (yaitu Rofinus

Roas dan Eduardus Saferudin) yang tertangkap tangan pihak kepolisian

sedang menebang beberapa batang pohon di dalam areal hutan lindung

tersebut. Keduanya telah diproses secara hukum dan dipenjara masing-

masing selama 1,5 tahun berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ruteng

No.214/Pid.B/2009/PN.RUT. Tanggal 1 November 2009 putusan mana

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Fakta tersebut

membuktikan bahwa pihak yang melakukan kegiatan yang melanggar

ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah ditindak

tegas.

Kasus NTB:

Berdasarkan Data Dirjen Planologi 2014, wilayah izin pertambangan

yang telah masuk ke tahapan Operasi Produksi milik PT Newmont Nusa

Tenggara yang terindikasi berada di Hutan Konservasi seluas 4.057,37

hektar dan yang terindikasi masuk wilayah Hutan Lindung sebanyak

36.972,62 hektar. Sedangkan, untuk wilayah yang masuk dalam

tahapan eksplorasi sebanyak 14.350,04 hektar.

Hampir 50% IUP di 2 Provinsi (NTB dan NTT) Masih Berstatus non-

CnC

Berdasarkan data yang dikeluarkan Dirjen Minerba, Kementerian

ESDM pada Desember 2014, menunjukkan bahwa 63% dari total

IUP di 2 provinsi (NTB dan NTT) masih berstatus non-Clean and

Clear (CnC).

Provinsi NTB merupakan wilayah yang memiliki IUP non CnC dengan

prosentase tertinggi yaitu, 77% IUP dari total seluruh IUP. Sementara

itu, di provinsi NTT sebanyak 56% IUP berstatus non-CnC.

Tabel 2. Jumlah IUP yang CnC dan non-CnC di NTT dan NTB

Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014

NO PROVINSI CNC

TOTAL IUP CNC

Non CNC TOTAL IUP Non

CNC

JUMLAH IUP

Eksplorasi Operasi

Produksi Eksplorasi

Operasi Produksi

1 NTB 24 10 34 51 65 116 150

2 NTT 66 68 134 145 27 172 306

TOTAL 90 78 168 196 185 288 456

Data di atas menunjukkan masih maraknya pelanggaran yang dilakukan

oleh pemegang IUP dalam menjalankan usaha pertambangannya.

Sementara, pemerintah daerah dan pusat selaku pemberi izin masih lemah

dalam memberikan sanksi atau tindakan hukum kepada pemegang IUP

yang non CnC.

89,5% IUP yang non CnC di 2 Provinsi (NTB dan NTT) bermasalah

secara administratif.

Data Dirjen Minerba kementerian ESDM tahun 2014 mengemukakan

bahwa sekitar 258 pemegang izin di 2 Provinsi (NTB dan NTT) belum

menyelesaikan administrasi sebagai persyaratan untuk memperoleh

IUP antara lain kepemilikan NPWP dan kelengkapan dokumen

perusahaan. Di Provinsi NTT terdapat sekitar 91,22% IUP yang

bermasalah secara administratif disusul Provinsi NTB sebesar 87,9%.

Tabel 3. Daftar Permasalahan IUP di NTT dan NTB

95% lebih Pemegang IUP Belum Memenuhi Kewajiban Jaminan

Reklamasi dan Pasca-Tambang

Hampir seluruh pemegang izin pertambangan di 2 provinsi (NTB dan

NTT) belum memiliki jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang

Kementerian ESDM tahun 2014 mencatat bahwa dari 443 IUP yang berada

di NTT dan NTB atau sekitar 97%, tidak memenuhi kewajiban atas jaminan

reklamasi dan memiliki dokumen pasca tambang.

Tidak adanya data yang dimiliki provinsi dan minimnya IUP yang

memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan pasca tambang,

menunjukkan bahwa komitmen dan pengawasan pemerintah daerah dan

pusat dalam pemulihan lingkungan pertambangan sangat rendah.

Kerugian negara yang ditimbulkan atas ketiadaan data dan rendahnya

pemenuhan kewajiban akan semakin meningkat mengingat dampak

ekologis atas absennya kewajiban IUP tersebut bisa menyebabkan banjir

dan dampak sosial ekonomi lainnya bagi masyarakat

Tabel 4. Ketersediaan Jaminan Reklamasi dan Pasca-Tambang di NTT

dan NTB

Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014

Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014

.

.

No Provinsi IUP NON CNC

IUP Non CNC

PERMASALAHAN ADMINISTRASI

PERMASALAHAN WILAYAH

MINERAL BATUBARA MINERAL BATUBARA MINERAL BATUBARA

1 NTB 116 0 102 0 14 0

2 NTT 171 1 156 0 28 1

TOTAL 288 258 0 43

NO PROVINSI JUMLAH IUP JAMINAN REKLAMASI BELUM ADA PASCA

TAMBANG

1 NTT 306 13 TIDAK ADA DATA

2 NTB 150 TIDAK ADA DATA TIDAK ADA DATA

Boks2. Ancaman Tambang Mangan Terhadap DAS di NTT

Berdasarkan Hasil Kajian Torry Kuswardono dan Bosman Batubara

(2014), menunjukan masifnya IUP Mangan di NTT memilliki ancaman

dan potensi ancaman terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.

Salah satu bentuk potensi ancaman yang terlihat adalah kondisi daerah

aliran sungai (DAS) yang ada di Timor Barat. Daerah aliran sungai

terbesar di Timor Barat, DAS Benanain, yang juga sungai terpanjang di

Timor Barat, 30 persen wilayahnya telah menjadi wilayah

pertambangan. Padahal, DAS Benanain adalah daerah aliran sungai

yang secara nasional mendapatkan prioritas untuk diperbaiki karena

bagian hilirnya terus-menerus dilanda banjir dengan kecenderungan

yang meningkat belakangan ini. Tetapi, tampaknya upaya ini akan

semakin sulit karena di wilayah DAS Benanain terdapat 72 IUP yang

mencakup wilayah Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah

Utara.

Daerah aliran sungai lain yang juga berpotensi terancam banjir adalah

DAS Noemuke, yang memang hanya terdapat 4 wilayah IUP, tetapi

mencakup 25 persen dari luas wilayah DAS Noemuke. Wilayah IUP yang

terhampar di DAS Noemuke berada pada bagian hulu dan tengah. Curan

hujan yang naik pada November–Mei dan intensitas matahari

sepanjang tahun membuat tanah yang sudah terbuka mengalami

pelapukan dan tererosi dengan cepat. Hal ini berkontribusi pada

peningkatan sedimen di daerah hilir. Pada akhirnya, peningkatan

sedimen pada sungai dapat mengakibatkan risiko banjir di bagian hilir

karena zona aliran sudah tertimbun oleh material sedimen. Sungai

Noemuke sudah lama selalu mengalami banjir tahunan di bagian hilir.

Dalam sebuah presentasi di Kota Kupang pada 2013, terlihat adanya

peningkatan proses sedimentasi pada sungai-sungai di Timor Barat

(BLHD Provinsi Nusa Tenggara Timor 2013).

Di wilayah-wilayah

yang telah ditambang

atau sedang ditambang,

erosi meningkat dan

mengalir menuju sungai-

sungai di bagian hilir.

Wa l a u p u n s u r v e i

tersebut bersifat awal

dan tidak dilakukan

secara menyeluruh, hal ini telah lebih dari cukup untuk menjawab

bahwa kekhawatiran akan meningkatnya ancaman tambang terhadap

daerah aliran sungai di Timor Barat sangat beralasan. Lebih jauh lagi,

hal ini telah menjadi kepedulian beberapa pihak di dalam tubuh

pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten-

kabupaten yang berada di Timor Barat, seperti ditunjukkan oleh

presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa

Tenggara Timur Danny Suhadi. Suhadi (2013) mengetengahkan

pentingnya pengendalian pertambangan mangan demi keberlanjutan

lingkungan hidup. Suhadi (2013) juga mengungkapkan lemahnya

kapasitas penegakan hukum dan pengendalian oleh aparat di Provinsi

Nusa Tenggara Timur.

Boks3. Ancaman Limbah Tailing Newmont dan Penambangan

Pasir Laut Limbah Tailing

Ketua kesatuan nelayan tradisional indonesia (KNTI NTB), Amin

Abdullah menyatakan bahwa keberadaan aktifitas PT Newmont Nusa

Tenggara telah menyebabkan pola tangkapan ikan di kawasan sekitar

areal pembuangan limbah yang menimbulkan kerugian yang sangat

besar bagi para nelayan. Hal itu dikarenakan areal tangkapan ikan

semakin jauh akibat terkontaminasinya air laut oleh limbah tailing

yang dibuang bebas dengan jumlah berkisar 110.000 ton per hari.

Limbah tailing tidak hanya merubah pola tangkap namun mematikan

biota laut seperti plankton, sejenis mikro organisme laut yang menjadi

sumber pakan ikan laut dan hewan laut lainnya hingga sangat

berpengaruh bagi jumlah tangkapan ikan untuk nelayan diwilayah

sekitar tambang dan lombok timur khususnya nelayan tanjung luar

lombok timur. Pendapatan nelayan Lombok Timur turun drastis

menyangkut volume hasil tangkapan dan jangkauan wilayah

penangkapan sehingga membebankan biaya produksi yang semakin

tinggi. Selain itu, Selat Alas yang merupakan wilayah fishing ground

terutama ikan cumi-cumi sudah tidak bisa diandalkan. Nelayan pun

terpaksa menangkap sampai ke sumba NTT. Limbah tailing juga

membuat kawasan hutan bakau di kawasan sumbawa dan Lombok

Timur menjadi rusak akibat dari bahan kimia yang dikandung oleh

tailing.

Tolak Penambangan Pasir Laut Di Lombok Timur

Rencana penambangan pasir laut di Lombok Timur harus segera

dihentikan karena mengancam kerusakan ekologi dan ekonomi.

Ribuan nelayan yang ada di Lombok Timur dan Sumbawa Barat telah

menolak rencana penambangan tersebut. Menurut para nelayan jika

penambangan di Selat Alas itu terjadi akan mengakibatkan kerusakan

ekologi karena posisi Selat Alas sebagai fishing ground.

Rencananya hasil pengambilan material pasir laut itu akan digunakan

untuk pembangunan reklamasi Teluk Benoa dengan seluas 700 hektar

yang dilakukan oleh PT Trita Wahana Bali Indonesia (TWBI). Sumber

material pengerukan berasal dari Teluk Benoa dan sumber material

pasir laut dari Lombok Timur dengan kisaran volume total kurang

lebih 25 juta meter kubik. Tapi Gubernur Nusa Tenggara Barat M.

Zainul Majdi sudah menolak rencana pengerukan pasir di wilayahnya

karena akan merusak ekosistem lingkungan. Adapun proyek

reklamasi Benoa ditolak masyarakat Bali.

Penolakan Penambangan Pasir Besi di Lombok Timur

Masyarakat Dusun Ketapang, Dusun Dasan Baru, Desa Peringgabaya

dan Dusun Sukamulia, Desa Pohgading di Pantai Menagis, Kecamatan

Peringabaya Lombok Timur menolak aktivitas penambangan pasir

besi yang dilakukan oleh PT. Anugrah Mitra Graha (PT. AMG). Dimana

aktivitas pertambangan tersebut dinilai merusak lingkungan desa

setempat. Aksi protes itu berawal dari meluapnya air sungai ke

pemukiman warga, karena aliran sungai yang menuju laut itu ditutup

oleh pihak Pertambangan (PT AMG) menggunakan batu dan karung

yang berisikan tanah tujuannya untuk kebutuhan aktivitas

penambangan. Sebenarnya PT. AMG telah melakukan penambangan

atau pengeboran pasir di tengah laut sejak awal tahun 2014. Dampak

dari aktivitas pengeboran pasir besi di tengah laut yang dirasakan oleh

masyarakat, mulai dari dirasakannya getaran-getaran setiap malam

karna memang pengeboran selalu dilakukan pada malam hari,

tembok rumah warga menjadi retak, garis pantai atau pinggir pantai

mulai terabrasi yang tadinya pinggir pantai itu dangkal menjadi dalam

dan puncaknya naiknya air sungai kepemukiman warga akibat aliran

sungai yang ditutup oleh pihak tambang. Semua itu, terjadi karena

adanya aktivitas pertambangan atau pengerukan pasir yang dilakukan

oleh pihak perusahaan tambang.

Wilayah Sebaran IUP Mangan di Daerah Aliran Sungai di Timor Barat, NTT

Sumber: Perkumpulan PIKUL, 2014