MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

13
30 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019 MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM PENDIDIKAN MULTIKEAKSARAAN Oleh : Tri Widayati ARTIKEL BP PAUD dan Dikmas Kalimantan Timur [email protected] Abstrak: Peneltian ini dilatarbelakangi oleh keberadaan Indonesia sebagai negara yang mempunyai tingkat kerentanan bencana yang tinggi. Data Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013 menunjukkan terdapat 80% wilayah Indonesia yang berisiko tinggi terhadap bencana, mencakup 205 juta jiwa terpapar pada risiko bencana. Penguasaan pengetahuan mutlak diperlukan dalam rangka pencegahan dini risiko bencana. Upaya tersebut harus terus diusahakan, termasuk melalui sektor pendidikan keaksaraan yang mempunyai peran strategis dalam penanggulangan bencana pada tahap prabencana yang belum banyak dilaksanakan. Penelitian bertujuan mendeskripsikan gambaran bagaimana pembelajaran mitigasi bencana nonstruktural di pendidikan multikeaksaraan, yang meliputi persiapan, proses pelaksanaan, dan penilaian pembelajarannya dilaksanakan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa referensi baik primer maupun sekunder yang terkait dengan pendidikan keaksaraan dan penanggulangan bencana. Hasil dan kesimpulannya bahwa pelaksanaan pembelajaran mitigasi bencana nonstruktural dilakukan dalam lima tahapan. Kelima tahapan itu adalah (1) belajar bencana; (2) survei lingkungan; (3) peta kerawanan bencana; (4) presentasi dan diskusi; dan (5) praktik cara penanggulangan bencana. Kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam setiap tahapan tersebut mengacu pada kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik dalam pendidikan multikeaksaraan. Kata kunci: mitigasi, bencana, pendidikan multikeaksaraan. FACING NONSTRUCTURAL DISASTER MITIGATION IN MULTI-LITERACY EDUCATION Abstract: This research was motivated by the existence of Indonesia as a country that has a high level of disaster vulnerability. The 2013 Indonesia Disaster Risk Index data shows there are 80% of Indonesia’s territory at high risk of disaster, including 205 million people exposed to disaster risk. Mastery of knowledge is absolutely necessary in the context of early prevention of disaster risk. These efforts continue to be pursued, including through the disaster management literacy education sector, which must continue to be pursued, including through the literacy education sector that has a strategic role in disaster management at the pre-disaster stage that has not been implemented much. The study aims to describe the description of how non-structural disaster mitigation learning in multi-literacy education, which includes preparation, implementation and assessment of learning processes is carried out. This research is a library research with a qualitative approach that is descriptive qualitative. The study was conducted using several primary and secondary references related to literacy and disaster management education. The results and conclusions are that the implementation of non-structural disaster mitigation learning

Transcript of MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

Page 1: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

30 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL

DALAM PENDIDIKAN MULTIKEAKSARAANOleh : Tri Widayati

ARTIKEL

BP PAUD dan Dikmas Kalimantan [email protected]

Abstrak: Peneltian ini dilatarbelakangi oleh keberadaan Indonesia sebagai negara yang mempunyai tingkat kerentanan bencana yang tinggi. Data Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013 menunjukkan terdapat 80% wilayah Indonesia yang berisiko tinggi terhadap bencana, mencakup 205 juta jiwa terpapar pada risiko bencana. Penguasaan pengetahuan mutlak diperlukan dalam rangka pencegahan dini risiko bencana. Upaya tersebut harus terus diusahakan, termasuk melalui sektor pendidikan keaksaraan yang mempunyai peran strategis dalam penanggulangan bencana pada tahap prabencana yang belum banyak dilaksanakan. Penelitian bertujuan mendeskripsikan gambaran bagaimana pembelajaran mitigasi bencana nonstruktural di pendidikan multikeaksaraan, yang meliputi persiapan, proses pelaksanaan, dan penilaian pembelajarannya dilaksanakan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa referensi baik primer maupun sekunder yang terkait dengan pendidikan keaksaraan dan penanggulangan bencana. Hasil dan kesimpulannya bahwa pelaksanaan pembelajaran mitigasi bencana nonstruktural dilakukan dalam lima tahapan. Kelima tahapan itu adalah (1) belajar bencana; (2) survei lingkungan; (3) peta kerawanan bencana; (4) presentasi dan diskusi; dan (5) praktik cara penanggulangan bencana. Kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam setiap tahapan tersebut mengacu pada kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik dalam pendidikan multikeaksaraan.Kata kunci: mitigasi, bencana, pendidikan multikeaksaraan.

FACING NONSTRUCTURAL DISASTER MITIGATIONIN MULTI-LITERACY EDUCATION

Abstract: This research was motivated by the existence of Indonesia as a country that has a high level of disaster vulnerability. The 2013 Indonesia Disaster Risk Index data shows there are 80% of Indonesia’s territory at high risk of disaster, including 205 million people exposed to disaster risk. Mastery of knowledge is absolutely necessary in the context of early prevention of disaster risk. These efforts continue to be pursued, including through the disaster management literacy education sector, which must continue to be pursued, including through the literacy education sector that has a strategic role in disaster management at the pre-disaster stage that has not been implemented much. The study aims to describe the description of how non-structural disaster mitigation learning in multi-literacy education, which includes preparation, implementation and assessment of learning processes is carried out. This research is a library research with a qualitative approach that is descriptive qualitative. The study was conducted using several primary and secondary references related to literacy and disaster management education. The results and conclusions are that the implementation of non-structural disaster mitigation learning

Page 2: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

31Menggagas Mitigasi Bencana Nonstruktural Dalam Pendidikan MultikeaksaraanTri Widayati

is carried out in fi ve stages. Those stages are (1) learning disasters; (2) environmental surveys; (3) map of disaster vulnerability; (4) presentations and discussions; and (5) disaster management practices. Core competencies and basic competencies in each of these stages refer to the competencies expected by students in multi-literacy education. Keywords: mitigation, disaster, multi-literacy education.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki keistimewaan yang khas secara geografi s. Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia, dan Samudra Pasifi k. Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang jumlahnya mencapai lebih dari 17.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 80.000 km. Kondisi tersebut memengaruhi Iklim di Indonesia. Indonesia memiliki tiga pola iklim dasar: monsunal, khatulistiwa, dan sistem iklim lokal, yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola curah hujan. Indonesia juga memiliki beberapa gunung api yang tergolong paling aktif di dunia. Selain itu, letak Indonesia, yang merupakan pertemuan lempeng tektonik di dunia, berpotensi menimbulkan bencana letusan vulkanik, gempa, dan tsunami. Dengan demikian, Indonesia merupakan wilayah dengan sebutan sabuk api atau ring of fi re.

Data Informasi Bencana Indonesi (DIBI)-BNPB menunjukkan bahwa lebih dari 1.800 kejadian bencana pada periode tahun 2005 hingga 2015 terdapat lebih dari 78% (11.648) kejadian bencana. Bencana tersebut meliputi bencana hidrometeorologi dan hanya sekitar 22% (3.810) bencana geologi (BNPB, 2016). Bencana yang termasuk hidrometeorologi antara lain kejadian bencana banjir, gelombang ekstrem, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, dan cuaca ekstrem. Sementara itu, bencana geologi meliputi gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia,

lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986) (https://www.bnpb.go.id). Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013 menunjukkan terdapat 80% wilayah Indonesia berisiko tinggi terhadap bencana, mencakup 205 juta jiwa terpapar pada risiko bencana (IRBI 2013). Sepanjang tahun 2018 telah terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang merenggut ribuan jiwa, yaitu gempa di Nusa Tenggara Barat, gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, serta tsunami di Selat Sunda. Di berbagai tempat juga terjadi bencana kebakaran, banjir, dan serangan angin puting beliung.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan batasan tentang pengertian bencana, yaitu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor nonalam serta faktor manusia. Hal ini mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konfl ik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Page 3: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

32 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

Waktu datangnya bencana tidak dapat dipastikan. Sulitnya prediksi yang akurat tentang kejadian bencana merupakan fakta. Bencana yang tidak disangka-sangka ini akhirnya menghasilkan kerentanan dalam masyarakat, baik berupa kerentanan fi sikal maupun kerentanan sosial untuk jangka waktu tertentu pascabencana. Oleh karena itu, ditengah-tengah kondisi sistem ekologis fi sik maupun sosial yang sangat kompleks, harus ditempuh langkah yang berkaitan dengan bencana yaitu melakukan langkah antisipasi atau mitigasi.

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 mendefi nisikan mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, melalui pembangunan fi sik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengurangi segala dampak yang muncul akibat bencana (Cobourn, et al. dalam Kartasasmita & Kusmiati, 2006). Mitigasi merupakan kegiatan penanggulangan tahap prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana. Tujuannya agar masyarakat mampu mengambil keputusan yang tepat saat terjadi bencana sehingga mengurangi risiko bencana. Kegiatan mitigasi bencana dapat dilakukan melalui: (1) perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana; (2) pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; dan (3) penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, baik secara konvensional maupun modern.

Dalam kontinum proses manajemen bencana, mitigasi bencana merupakan langkah yang bersifat strategis, karena dengan pelaksanaan atau perbaikan upaya mitigasi secara positif dapat berpotensi untuk menghindarkan masyarakat dari potensi jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan harta benda atau pun kerentanan fi sik maupun sosial. Penyadaran dan pemahaman akan adanya ancaman bencana merupakan salah satu upaya mitigasi nonstruktural. Artinya, upaya pengurangan risiko bencana yang

dilakukan dengan pendidikan, pelatihan, sosialisasi, dan simulasi. Melalui pembelajaran penanggulangan bencana, masyarakat dapat melakukan beberapa hal untuk meminimalisasi risiko bencana, misalnya: m e n g u r a n g i ancaman, kerentanan, dan mening katkan kemampuan menangani ancaman. Dengan demikian, masyarakat tidak kebingungan dan panik ketika terjadi bencana karena telah memahami bagaimana cara mengurangi risiko bencana.

Risiko bencana dapat menimpa siapa saja sehingga penanganan bencana merupakan urusan semua pihak. Pembagain peran dan tanggung jawab dalam pengurangan resiko bencana perlu dilakukan pada semua tingkatan, baik anak-anak, remaja, dan dewasa. Seluruh jalur pendidikan mempunyai tanggung jawab dalam memberikan penyadaran dan pemahaman adanya ancaman bencana. Pemberlakuan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Melalui pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat diperkenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, dengan mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah maupun ke dalam kegiatan ekstrakurikuler.

Pendidikan keaksaraan, sebagai bagian dari pendidikan nonformal, mempunyai peran strategis dalam mitigasi bencana nonstruktural. Dengan demikian, paradigma pendidikan keaksaraan secara global mengalami ekstensifi kasi makna. Pendidikan keaksaraan tidak hanya sekadar berkutat pada masalah kesenjangan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Akan tetapi, pendidikan keaksaraan juga menyangkut kecakapan-kecakapan tertentu atau

Page 4: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

33Menggagas Mitigasi Bencana Nonstruktural Dalam Pendidikan MultikeaksaraanTri Widayati

penguasaan keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras dengan perubahan peradaban manusia yang melahirkan konsekuensi logis tentang adanya tuntutan-tuntutan baru setiap individu.

Program pendidikan keaksaraan merupakan layanan pendidikan untuk membelajarkan peserta didik masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki kemampuan menulis, membaca, dan berhitung, mengamati, dan menganalisis yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari. Pembelajaran pendidikan keaksaraan dilaksanakan dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya. Tujuan pendidikan keaksaraan: (1) membuka wawasan untuk mencari sumber-sumber kehidupan; (2) Melaksanakan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efi sien; (3) mengunjungi dan belajar pada lembaga pendidikan yang diperlukan; (4) memecahkan masalah keaksaraan dalam kehidupannya sehari-hari; (5) menggali dan mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pembaharuan untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan.

Pendidikan keaksaraan terdiri dari keaksaraan dasar dan keaksaraan lanjutan. Pendidikan keaksaraan lanjutan merupakan tindak lanjut dari keaksaraan dasar, untuk pemeliharaan keberaksaraan. Keaksaraan lanjutan terdiri dari keaksaraan usaha mandiri dan pendidikan multikeaksaraan. Pendidikan multikeaksaraan adalah pendidikan keaksaraan yang menekankan peningkatan keberagaman keberaksaraan dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan multikeaksaraan tidak hanya mendidik masyarakat mampu membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga mengembangkan kemampuan mengatasi persoalan kehidupannya. Area program yang dapat menjadi kompetensi dalam pendidikan multikeaksaraan adalah 1) pekerjaan, keahlian, dan profesi; 2) pengembangan dalam seni dan budaya; 3) sosial politik dan kebangsaan; 4) kesehatan dan olahraga; dan 5) ilmu pengetahuan dan teknologi (Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan & Kesetaraan, 2016).

Pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam mitigasi bencana merupakan ranah kompetensi dalam area ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan pembelajaran dalam pendidikan multikeaksaraan, diharapkan peserta didik keaksaraan dapat memahami adanya ancaman bencana dan dapat mengurangi risikonya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran dalam pendidikan multikeaksaraan harus memerhatikan: (1) proses partisipatif, yaitu pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif memanfaatkan keterampilan yang sudah dimiliki; (2) konteks lokal, yaitu mempertimbangkan kebutuhan belajar dan minat peserta didik, latar belakang sosial budaya, agama, kondisi geografi s, termasuk di dalamnya masalah kesehatan, mata pencaharian, pekerjaan peserta didik; (3) desain lokal, yaitu proses pembelajaran merupakan respons terhadap kebutuhan belajar dan minat peserta didik yang dirancang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing kelompok belajar; dan (4) fungsionalisasi hasil belajar, yaitu hasil belajar mampu meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan sikap positif terhadap mutu kehidupan dan penghidupan peserta didik, serta dapat meningkatkan kualitas peran dari capaian pembelajarannya di dalam kehidupan bermasyarakat.

Menghadapi permasalahan tersebut perlu adanya gambaran mitigasi bencana nonstruktural di pendidikan multikeaksaraan, yang meliputi persiapan, proses pelaksanaan, dan penilaian pembelajarannya. Deskripsi ini dapat menjadi sumbangan pemikiran tentang mitigasi bencana nonstruktural di kelompok keaksaraan dalam rangka meningkatkan keberaksaraan dalam pengurangan risiko bencana di lingkungannya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mencatat semua temuan mengenai fakta di lapangan yang didapatkan dalam literatur-literatur dan sumber-

Page 5: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

34 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

sumber informasi; (2) memadukan segala temuan, baik teori atau temuan baru; (3) menganalisis segala temuan dari berbagai sumber; dan (4) mengolaborasikan teori dan pemikiran-pemikiran yang terkait, untuk mendeskipsikan gambaran penyelesaian masalah dengan menggunakan data-data dari berbagai referensi baik primer maupun sekunder. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik dokumentasi, yaitu dengan jalan membaca, mengkaji, mempelajari, dan mencatat literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas.

Pada teknik pengumpulan data, dilakukan identifi kasi isi dari buku-buku, makalah atau artikel, jurnal, web (internet), atau pun informasi lainnya yang berhubungan dengan penanggulangan bencana dan pendidikan multikeaksaraan. Kemudian menganalisis data-data untuk mencari dan mendeskripsikan pemecahan masalah. Analisis data yang digunakan adalah analisis data model Miles dan Huberman. Analisis ini terdiri dari tiga komponen, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data mencakup proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Penyajian data ditampilkan dalam bentuk teks naratif yang disusun dengan sistematis untuk mempermudah proses analisis data. Analisis data menggunakan model interaktif, artinya reduksi dan penyajian data dilakukan dengan memperhatikan hasil data yang dikumpulkan. Kesimpulan ditarik berdasarkan hasil analisis data dan informasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyelenggaran penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Mitigasi bencana merupakan kegiatan dalam tahap prabencana, yang bertujuan mengurangi risiko bencana. Menurut Subandono (2007), konsep solusi pengurangan risiko bencana disesuaikan dengan siklus terjadinya bencana, prabencana, saat bencana, dan pascabencana sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Siklus dan Konsep Solusi Bencana (Sumber: Subandono, 2007)

Langkah awal yang dilakukan dalam mitigasi bencana adalah mengubah paradigma dari tanggap darurat ke mitigasi. Perubahan paradigma ini menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu sarana yang efektif untuk memberikan pemahaman akan adanya bencana dan cara mengurangi risiko bencana. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pendidikan keaksaraan, yaitu menggali dan mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pembaharuan untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Pembaharuan untuk mau mengubah cara pandang bencana bahwa mencegah dan mengurangi risiko lebih baik akan berdampak lebih positif dan luas dalam penanggulangan bencana.

Pembelajaran mitigasi bencana dalam kelompok keaksaraan mengacu pada prinsip-prinsip dasar pendidikan multikeaksaraan dan penanggulangan bencana. Dalam panduan penyelenggaraan dan pembelajaran pendidikan multikeaksaraan (2017) disebutkan prinsip dasar pendidikan multikeaksaraan, yaitu (1) pembelajaran pendidikan multikeaksaraan harus dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan berbasis karya/produk sebagai bentuk aktualisasi dari fungsionalisasi hasil belajar; (2) tema, materi, dan bahan/media belajar pendidikan multikeaksaraan harus sesuai dan relevan dengan realitas sosial budaya masyarakat, serta lingkungan;

Page 6: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

35Menggagas Mitigasi Bencana Nonstruktural Dalam Pendidikan MultikeaksaraanTri Widayati

(3) penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program pembelajaran pendidikan multikeaksaraan perlu memadukan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara menyeluruh melalui unjuk kerja yang utuh; (4) pembelajaran pendidikan multikeaksaraan harus dikelola secara interaktif, partisipatif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan dapat memotivasi; dan (5) pembelajaran pendidikan multikeaksaraan harus dikelola secara kooperatif dan kolaboratif.

Kompetensi lulusan pendidikan multi-keaksaraan dengan tema mitigasi bencana diharapkan memiliki kualifi kasi kemampuan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terkait dengan pengurangan risiko bencana. Kemampuan sikap ditunjukkan dengan memiliki perilaku dan etika yang mencerminkan sikap orang beriman dan bertanggung jawab menjalankan peran dan fungsi dalam kemandirian berkarya di masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Dari sisi pengetahuan, peserta didik keaksaraan menguasai pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural tentang pengembangan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat dengan memperkuat cara berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan berhitung untuk meningkatkan kualitas hidup. Kemampuan keterampilannya ditunjukkan dengan mampu menggunakan bahasa Indonesia dan keterampilan berhitung secara efektif dalam melakukan pengembangan peran dan fungsi untuk kemandirian berkarya di masyarakat serta meningkatkan kualitas hidup.

Kegiatan kajian dan perencanaan meru-pakan kegiatan analisis risiko bencana yang dilakukan berpusat pada peserta didik keaksaraan, serta mencakup kegiatan perencanaan aksi tindak lanjut bersama dalam rangka mengurangi risiko tersebut. Kajian risiko dilakukan secara partisipatif dengan memperhatikan kepentingan dan keselamatan sebagai tujuan utama dan tolok ukur yang paling mendasar dari hasil kajian. Salah satu tujuan melakukan kajian risiko adalah untuk

mengidentifi kasi karakteristik yang terdapat di masyarakat yang berdampak langsung maupun tidak langsung, kerentanan yang ada dan langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama untuk mengurangi kerentanan dan mencegah bencana. Kajian risiko bencana dan perencanaan yang berpusat pada peserta didik keaksaraan dapat dilakukan melalui beberapa langkah kajian berikut (Kemdikbud & Unicef, 2015). Pertama, pemetaan pikiran (mind mapping). Pemetaan pikiran secara partisipatif bersama peserta didik ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik mengenai bencana. Pemetaan pikiran akan mempermudah peserta didik dalam menyajikan konsep, ide, tugas, atau informasi mengenai bencana yang diketahuinya dalam bentuk diagram radial-hierarkis nonlinier. Dalam pembuatannya, peserta didik dibebaskan berkreasi menurut imajinasi konsep yang dimilikinya karena tidak ada peraturan baku yang diberlakukan dalam pemetaan pikiran.

Kedua, peta dasar lingkungan. Pembuatan peta dasar lingkungan dilakukan untuk mempermudah peserta didik mengetahui cakupan wilayah analisis risiko yang akan dilaksanakan. Unsur peta dasar lingkungan ini, antara lain: rumah, kantor, halaman, dan sungai.

Ketiga, identifi kasi dan peringkat ancaman bencana. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui perspektif peserta didik keaksaraan terhadap ancaman bencana apa saja yang terdapat di lingkungan sekaligus memberikan informasi tentang karakter bahaya, peringatan, dan tanda-tanda khusus, waktu sebelum ancaman datang, tingkat kecepatan, frekuensi, periode, dan lamanya ancaman terjadi. Dari pengetahuan ini, peserta didik dapat membuat peringkat terhadap ancaman tersebut

Keempat, kalender musim dan sejarah bencana. Kalender musim dapat dibuat secara partisipatif bersama peserta didik untuk mengetahui sejarah kejadian bencana yang pernah dialami lingkungan sekitarnya serta dampak yang ditimbulkannya.

Page 7: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

36 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

Kelima, pemetaan aktor atau lembaga di masyarakat. Peserta didik keaksaraan difasilitasi untuk mengindentifi kasi dan mengetahui pihak-pihak mana yang terlibat dalam penerapan di lingkungannya, seperti pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Palang Merah Indonesia (PMI), aparat desa, dan organisasi kemasyarakatan desa.

Keenam, identifi kasi kerentanan. Peserta didik keaksaraan diajak untuk mengidentifi kasi dan mengetahui kerentanan yang ada di lingkungan, besaran dan cakupan paparannya termasuk dari sisi infrastruktur dan sumber daya yang ada di lingkungan.

Ketujuh, sebab dan dampak bencana. Untuk mengetahui dampak dan penyebab bencana, peserta didik keaksaraan dapat difasilitasi sekaligus untuk melakukan perencanaan secara partisipatif tentang upaya rencana aksi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan lingkungan yang lebih aman.

Mitigasi bencana nonstruktural dalam pendidikan multikeaksaraan membutuhkan peran serta tiga stakeholder yang terlibat di dalamya. Shaw dan Takeuchi (2009) menyatakan bahwa program pendidikan pengurangan risiko bencana membutuhkan peran school/teachers, local administration, dan community. Keberadaan pendidik dan pengelola kelompok keaksaraan belumlah cukup dalam implementasi mitigasi bencana. Oleh karena itu, sangat diperlukan kerja sama dengan pihak pemerintah daerah dan komunitas penanggulangan bencana. Pendidik dan pengelola menentukan jadwal, mengatur kurikulum, menyesuaikan rencana dengan daerah dan kota, mengatur kegiatan, dan menyediakan tempat. Pemerintah daerah melalui badan penanggulan bencana daerah (BPBD), mendukung kerja sama dengan memberikan informasi terkait dengan pengurangan risiko bencana. Komunitas berbagi pengalaman di kelompok keaksaraan tentang bencana masa lalu dan cara-cara pengurangan risiko bencana. BPBD dan komunitas dapat dilibatkan menjadi narasumber dalam pembelajaran mitigasi bencana.

Implementasi mitigasi bencana meliputi tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Berlian tahun 2016, implementasi program mitigasi nonstruktural bencana kebakaran di Desa Jipang oleh BPBD Kabupaten Blora. Implementasi dilaksanakan melalui program sosialisasi dan simulasi penanggulangan bencana kebakaran. Program sosialisasi dan simulasi yang dilaksanakan di Desa Jipang dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan meliputi tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi (https://lib.unnes.ac.id). Pada tahap persiapan, pendidik dan pengelola keaksaraan menyusun silabus pembelajaran mitigasi bencana. Penyusunan silabus dilakukan dengan (1) memilih kompetensi inti, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian kompetensi dengan cara membuat pemetaan kompetensi yang relevan dengan mitigasi bencana; (2) memilih dan menetapkan materi pembelajaran dikaitkan dengan mitigasi bencana; (3) merumuskan variasi dan garis besar kegiatan pembelajaran; (4) mengalokasikan waktu yang disesuaikan dengan ketersediaan dan kebutuhan belajar peserta didik keaksaraan; (5) merumuskan garis besar penilaian yang memberikan petunjuk tentang bentuk, jenis instrumen penilaian, dan rumusan tugas; dan (6) menginformasikan sumber belajar yang dibutuhkan dalam pembelajaran mitigasi bencana. Sebelum pelaksanaan pembelajaran, pendidik membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada silabus mitigasi bencana.

Pelaksanaan pembelajaran mitigasi bencana di kelompok keaksaraan terdiri dari dua program pembelajaran, yaitu sosialisasi dan simulasi. Sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang adanya potensi bencana, jenis bencana, dan dampaknya. Sementara itu, simulasi dilaksanakan dengan praktik langsung dalam mengidentiifi kasi potensi bencana, menyusun peta bencana dan kerentanannya, mendiskusikan cara penanggulangan bencana, dan mempraktikkan cara tersebut. Sosialisasi dan simulasi ini dikemas dalam pendekatan

Page 8: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

37Menggagas Mitigasi Bencana Nonstruktural Dalam Pendidikan MultikeaksaraanTri Widayati

pembelajaran yang berbasis karya (Project Based Learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk merencanakan aktivitas belajar, melaksanakan proyek secara kolaboratif yang pada akhirnya menghasilkan produk kerja yang dapat dipresentasikan kepada orang lain. Manfaat pembelajaran berbasis karya adalah (1) meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai; (2) meningkatkan kemampuan pemecahan masalah; (3) membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan masalah-masalah yang kompleks; (4) meningkatkan kolaborasi; (5) mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi; (6) memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber- sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas; dan (7) menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata (Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, 2017).

Dengan mengelaborasi dari konsep pendidikan multikeaksaraan dan penanggulan bencana, pembelajaran berbasis karya dalam mitigasi bencana dilaksanakan dengan lima tahap. Tahapan itu adalah (1) belajar tentang bencana; (2) survei lingkungan; (3) peta kerentanan bencana; (4) presentasi dan diskusi; dan (5) praktik cara penanggulangan bencana. Ogawa (2005) menyebutkan bahwa terdapat empat tahap dalam pengurangan risiko bencana, yaitu “(1) step 0 : learn about disaster; (2) know our town/fi eld survey; (3) develop a map; (4) conduct group discussions and make presentations.”

Pada tahap belajar bencana, peserta didik akan mendapatkan informasi tentang adanya jenis-jenis bencana, adanya potensi ancaman bencana, dan dampak jika terjadi bencana. Pendidik dapat menyampaikannya dengan berbagai cara dan media, misalnya dengan

tayangan video, berita bencana di koran, atau bercerita tentang bencana yang pernah terjadi.

Tahap ini mengutamakan pembelajaran yang partisipatif dan interaktif sehingga peserta didik akan tertarik dan merasa perlu untuk belajar mitigasi bencana. Dalam belajar bencana, diperlukan modul untuk memudahkan pembelajaran secara mandiri. Modul tersebut mengacu pada undang-undang yang berlaku dan diupayakan kontekstual dengan lingkungan tempat tinggal peserta didik.

Kompetensi dasar dalam dimensi sikap, yang dapat dicapai dalam tahap belajar bencana, adalah (1) meningkatkan rasa syukur dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas potensi diri yang dimiliki; dan (2) menunjukkan komitmen untuk membangun kebersamaan dalam mengembangkan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat. Kompetensi dasar dalam dimensi pengetahuan adalah (1) menggali informasi dari teks penjelasan tentang wawasan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; (2) menggali informasi dari teks penjelasan tentang mitigasi bencana dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; (3) menggali informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana. Adapun kompetensi dasar dalam dimensi keterampilan adalah (1) mengolah informasi dari teks penjelasan tentang mitigasi bencana minimal 5 (lima) kalimat sederhana secara lisan dan tertulis; (2) mengolah teks penjelasan tentang mitigasi dalam bahasa Indonesia minimal 5 (lima) kalimat sederhana secara tertulis; (3) menggunakan hasil pengolahan dan penafsiran data dalam bentuk tabel, diagram, dan grafik sederhana mengenai mitigasi bencana; dan (4) mengolah informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana dalam 5 kalimat sederhana secara lisan dan tertulis.

Tahap survei lingkungan merupakan tahap mengobservasi lingkungan. Peserta didik terbagi dalam kelompok kecil (4—5 orang). Masing-masing kelompok berjalan-jalan dan berkeliling mengamati setiap sudut lingkungan tempat

Page 9: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

38 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

tinggalnya. Sebelum survei, peserta didik mempersiapkan alat dan bahan, yaitu kertas, alat tulis, kamera, dan format survei. Hal-hal yang diamati adalah (1) titik-titik atau lokasi yang sebelumnya pernah terkena bencana seperti titik longsor, genangan air, lokasi rawan tawuran, dan lain-lain; (2) titik-titik atau objek yang diperkirakan dapat menyebabkan bencana/bahaya, misalnya sumur yang mengering, saluran air yang tersumbat, tanggul jebol, (3) titik-titik,  objek, atau fasilitas umum yang dapat membantu dan mempermudah untuk keselamatan dan evakuasi pada saat bencana datang. Jika peserta didik menemukan titik, lokasi, atau objek-objek tersebut saat observasi lingkungan, langkah selanjutnya adalah melakukan tiga hal, yaitu (1) mencatat letak dari titik, lokasi, atau objek, (2) memfoto objek; dan (3) mencatat data deskripsi dan keterangan objek pada format survei yang sudah disiapkan sebelumnya. 

Kompetensi dasar dalam dimensi sikap yang dapat dicapai dalam tahap survei lingkungan adalah (1) meningkatkan rasa syukur dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas potensi diri yang dimiliki; dan (2) menunjukkan komitmen untuk membangun kebersamaan dalam mengembangkan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat. Kompetensi dasar dalam dimensi pengetahuan adalah (1) mengenal penggunaan operasi bilangan tentang mitigasi bencana; (2) menggunakan konsep pecahan sederhana dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan pada kehidupan sehari-hari; (3) mengidentifikasi pengetahuan keruangan (geometri) sederhana yang diterapkan dalam mitigasi bencana; dan (4) menggali informasi dari teks petunjuk atau arahan yang berkaitan dengan survei lingkungan minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana. Kompetensi dasar dalam dimensi keterampilan adalah (1) mempraktikkan pengetahuan dan kreativitas yang dimiliki dan diminati menjadi produk teknologi sederhana, kesehatan dan olahraga, seni, dan budaya yang inovatif dengan memanfaatkan peluang dan sumber daya yang ada di sekitarnya; (2) menggunakan sifat operasi

hitung dalam menyederhanakan atau menentukan hasil penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan; (3) menggunakan uang atau jenis transaksi lainnya dalam kehidupan sehari-hari; (4) menerapkan pecahan sederhana ke bentuk pecahan desimal dan persen pada perhitungan yang berkaitan mitigasi bencana; (5) menggunakan hasil pengolahan dan penafsiran data dalam bentuk tabel, diagram, dan grafik sederhana mengenai mitigasi bencana; dan (6) mempraktikkan kemitraan dalam mengembangkan produk pembelajaran mitigasi bencana.

Setelah survei lingkungan, tahapan selanjutnya adalah peta kerentanan bencana. Penyusunan peta ini dilakukan secara berkelompok dalam ruangan.  Alat dan bahan yang perlu disiapkan adalah kertas HVS, printer untuk mencetak foto ketika survei, kertas karton warna putih yang berukuran 80 cm x 60 cm atau menyesuaikan, lem, alat tulis, gunting, dan isolasi.

Pada tahap ini, peserta didik menggambar denah lingkungannya. Kemudian menempelkan foto objek saat survei lingkungan pada denah sesuai letak lokasi pengambilan foto. Pemberian tanda dengan warna yang berbeda menunjukkan tingkat potensi kerawanan bencana. Misalnya, tanda merah menunjukkan potensi kerawanan bencana yang tinggi; tanda kuning menunjukkan potensi kerawanan yang sedang: dan tanda biru menunjukkan tingkat kerawanan potensi yang rendah. Denah tersebut nantinya akan menjadi bahan diskusi utama dalam rembuk peserta didik.

Kompetensi dasar dalam dimensi sikap yang dapat dicapai dalam tahap peta kerawanan bencana adalah (1) meningkatkan rasa syukur dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas potensi diri yang dimiliki; dan (2) menunjukkan sikap jujur sebagai dasar dalam membangun hubungan sosial. Kompetensi dasar dalam dimensi pengetahuan adalah (1) mengenal penggunaan operasi bilangan tentang produk pembelajaran mitigasi bencana (peta); (2)

Page 10: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

39Menggagas Mitigasi Bencana Nonstruktural Dalam Pendidikan MultikeaksaraanTri Widayati

mengidentifikasi pengetahuan keruangan (geometri) sederhana yang diterapkan dalam pembelajaran mitigasi bencana; dan (3) menggali informasi dari teks petunjuk atau arahan yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana. Kompetensi dasar dalam dimensi keterampilan adalah (1) mengolah teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang mitigasi bencana; (2) mempraktikkan pengetahuan dan kreativitas yang dimiliki dan diminati menjadi produk pembelajaran mitigasi bencana; (3) menggunakan sifat operasi hitung dalam menyederhanakan atau menentukan hasil penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan; (4) menggunakan uang atau jenis transaksi lainnya dalam kehidupan sehari-hari; (5) memperkirakan kebutuhan komponen produk mitigasi bencana untuk menentukan biaya yang diperlukan; (6) menerapkan pecahan sederhana ke bentuk pecahan desimal dan persen pada perhitungan yang berkaitan dengan uang dan produk pembelajaran mitigasi bencanai; (7) menggunakan satuan pengukuran panjang, waktu, berat, atau satuan lainnya yang diperlukan pada kegiatan menciptakan produk pembelajaran mitigasi bencana; (8) mengolah informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi; (9) mempraktikkan kemitraan dalam mengembangkan produk pembelajaran mitigasi bencana; dan (10) menunjukkan komitmen untuk membangun kebersamaan dalam mengembangkan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat.

Tahap presentasi dan diskusi dilakukan jika peserta didik sudah menyelesaikan denah dalam tahap peta kerawanan bencana. Dalam presentasi dan diskusi, dapat dihadirkan pendidik tamu dari BPBD setempat. Pendidik keaksaraan memimpin dan mengendalikan diskusi dan BPBD menjadi narasumber terkait dengan detail pengurangan risiko bencana. Setiap kelompok mempresentasikan denah yang telah dibuat dengan waktu presentasi kurang lebih 5—10 menit. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi interaktif; kelompok lain bisa bertanya, memberi

tanggapan, dan saran. Diskusi difokuskan pada pembahasan permasalahan-permasalahan yang ditemukan, dan solusi pemecahannya, termasuk bagaimana menentukan jalur dan  tempat evakuasi. Narasumber dari BPBD membantu menyimpulkan hasil diskusi antarkelompok. Salah satu peserta didik membacakan hasil diskusi yang telah disepakati.

Kompetensi dasar dalam dimensi sikap yang ingin dicapai dalam tahap presentasi dan diskusi adalah (1) meningkatkan rasa syukur dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas potensi diri yang dimiliki; dan (2) menunjukkan sikap jujur sebagai dasar dalam membangun hubungan sosial. Kompetensi dasar dalam dimensi pengetahuan adalah (1) menggali informasi dari teks penjelasan tentang mitigasi minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; (2) menggali informasi dari teks penjelasan tentang mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; (3) menggali informasi dari teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang mitigasi bencana; (4) menggali informasi dari teks tabel atau diagram sederhana yang berkaitan mitigasi bencana; (5) mengidentifikasi pengetahuan keruangan (geometri) sederhana yang diterapkan dalam pembelajaran mitigasi bencana; (6) menggali informasi dari teks petunjuk atau arahan yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; (7) menggali informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; (8) menggali informasi dari teks laporan yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; dan (9) menunjukkan komitmen untuk membangun kebersamaan dalam mengembangkan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat. Kompetensi dasar dalam dimensi keterampilan adalah (1) mengolah informasi dari teks penjelasan tentang mitigasi bencana minimal 5 (lima) kalimat sederhana secara lisan dan tertulis; (2) mengolah teks penjelasan tentang mitigasi bencana minimal 5 (lima) kalimat sederhana secara tertulis; (3)

Page 11: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

40 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

mengolah teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang mitigasi bencana; (4) menggunakan hasil pengolahan dan penafsiran data dalam bentuk tabel, diagram, dan grafik sederhana mengenai mitigasi bencana; (5) mengolah informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana dalam 5 kalimat sederhana secara lisan dan tertulis; (6) mempraktikkan kemitraan dalam mengembangkan produk mitigasi bencana; (7) mengolah informasi teks laporan yang berkaitan dengan hasil pembelajaran mitigasi bencana; dan (8) mengomunikasikan ide dan produk inovatif berkaitan dengan mitigasi bencana.

Praktik penanggulangan bencana adalah tahap terakhir dalam pembelajaran mitigasi bencana. Sebelum tahap ini dilaksanakan, peserta didik, pendidik, dan narasumber BPBD menyusun skenario cara menanggulangi bencana dan penyelamatan diri. Skenario disesuaikan dengan hasil diskusi pada tahap sebelumnya. Peserta didik bersama-sama mempraktikkan cara menanggulangi bencana dan cara menyelamatkan diri. Setelah kegiatan praktik selesai, peserta didik, pendidik, dan narasumber melakukan refl eksi bersama tentang pembelajaran yang sudah dilakukan.

Kompetensi dasar yang dapat dicapai dalam tahap praktik cara penanggulangan bencana adalah (1) meningkatkan rasa syukur dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas potensi diri yang dimiliki; (2) menunjukkan sikap jujur sebagai dasar dalam membangun hubungan sosial; dan (3) menunjukkan komitmen untuk membangun kebersamaan dalam mengembangkan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat. Kompetensi dasar dalam dimensi pengetahuan adalah (1) menggali informasi dari teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang mitigasi bencana; (2) mengenal penggunaan operasi bilangan tentang produk mitigasi bencana; (3) mengidentifikasi pengetahuan keruangan (geometri) sederhana yang diterapkan dalam mitigasi bencana; (4) menggali informasi dari teks petunjuk atau arahan yang berkaitan dengan mitigasi bencana

minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; dan (5) menggali informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana. Kompetensi dasar dalam dimensi keterampilan adalah (1) menggali informasi dari teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang mitigasi bencana; (2) mengenal penggunaan operasi bilangan tentang produk mitigasi bencana; (3) mengidentifikasi pengetahuan keruangan (geometri) sederhana yang diterapkan dalam mitigasi bencana; (4) menggali informasi dari teks petunjuk atau arahan yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana; dan (5) menggali informasi dari teks narasi yang berkaitan dengan mitigasi bencana minimal dalam 7 (tujuh) kalimat sederhana.

Penilaian pembelajaran mitigasi bencana dilaksanakan oleh pendidik. Penilaian dilaksanakan tiga kali, yaitu (1) penilaian awal; (2) penilaian proses; dan (3) penilaian akhir pembelajaran. Penilaian awal meliputi portofolio, tes lisan, tes tulisan, dan unjuk kinerja. Portofolio: menelaah perolehan nilai membaca, menulis, dan berhitung yang terdapat pada SUKMA peserta didik. Tes lisan: misalnya dengan cara meminta peserta didik untuk menjawab tentang data diri minimal dalam tiga kalimat sederhana yang ditujukan untuk mengetahui minat dan motivasi belajar peserta didik. Tes tulisan: misalnya dengan cara mempersilakan peserta didik untuk menulis pada selembar kertas atau di papan tulis. Unjuk kinerja: misalnya dengan cara mempersilakan peserta didik mengerjakan soal membaca dan berhitung operasional perkalian, pembagian, penambahan, maupun pengurangan. Penilaian selama proses pembelajaran mencakup (1) sikap, dapat dilakukan dengan teknik observasi selama melaksanakan tahapan pembelajaran mitigasi bencana; (2) pengetahuan, dapat dilaksanakan dengan memberikan tes tertulis, tes lisan, penugasan, dan observasi.; dan (3) keterampilan, dapat dilakukan dengan penilaian portofolio (catatan survei lingkungan dan peta kerawanan bencana) dan observasi. Penilaian

Page 12: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

41Menggagas Mitigasi Bencana Nonstruktural Dalam Pendidikan MultikeaksaraanTri Widayati

akhir pembelajaran dilakukan untuk mengukur ketercapaian satu kompetensi dasar atau satu materi pembelajaran yang sudah ditetapkan pada silabus pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan melalui penilaian produk/karya dan penilaian untuk kinerja/praktik.

Pembelajaran mitigasi bencana yang kontinyu dan berkelanjutan pada pendidikan multikeaksaraan akan memberikan manfaat yang optimal bagi peserta didik. Pertama, meningkatkan keberaksaraan peserta didik; terlihat pada ketercapaian kompetensi inti dan kompetensi dasar. Kedua, meningkatkan kesiapsiagaan peserta didik dalam menghadapi bencana. Literasi mitigasi bencana dengan praktik langsung akan mengoptimalkan kedua manfaat tersebut. Penelitian Priyowidodo dan Luik (2013) menyimpulkan bahwa masyarakat belum memiliki kesadaran akan bahaya tsunami secara memadai. Meskipun tingkat pengetahuan mereka cukup untuk segala informasi tentang tsunami dan mempunyai keinginan kuat untuk mencari sumber informasi yang tepat tentang kebencanaan, mereka tidak mengetahui media yang cocok dan relevan untuk dapat mengurangi risiko bencana tersebut. Daud dkk. (2014) menyatakan bahwa pelatihan siaga bencana gempa bumi dapat dilakukan dengan model praktik langsung meniru tindakan seperti saat terjadi gempa ketika sedang berada di sekolah. Pelatihan siaga bencana gempa bumi dapat meningkatkan kesiapsiagaan komunitas SMAN 5 Banda Aceh. Kesiapsiagaan bencana gempa bumi meningkat dengan bertambahnya pengetahuan tentang gempa bumi, sikap yang lebih tepat terhadap gempa bumi, serta tindakan yang lebih sesuai dalam menghadapi gempa bumi.

PENUTUP

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kerawanan bencana yang tinggi. Indeks Risiko Bencana Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 80% wilayah Indonesia berisiko tinggi terhadap bencana. Pendidikan

multikeaksaraan menjadi salah satu instrumen yang strategis dalam penanggulangan bencana, yaitu melalui mitigasi bencana nonstruktural. Pembelajaran mitigasi bencana dalam pendidikan multikeaksaraan dilaksanakan dalam lima tahap, yaitu belajar bencana, survei lingkungan, peta kerawanan bencana, presentasi dan diskusi serta praktik cara penaggulangan bencana. Tahapan-tahapan tersebut memerlukan alat dan bahan yang cukup sederhana. Persiapan dan pelaksanaan pembelajaran mitigasi bencana dalam pendidikan multikeaksaraan dilakukan secara partisipatif dan interaktif. Penilaian dilakukan oleh pendidik di awal, saat proses dan akhir pembelajaran.

Pembelajaran mitigasi bencana di dalam pendidikan multikeaksaraan membutuhkan pengembangan-pengembangan selanjutnya. Pengembangan modul terkait dengan mitigasi bencana perlu diupayakan. Modul menjadi media yang mendesak dalam mendukung pembelajaran mandiri bagi peserta didik. Perlu adanya peningkatan kompetensi pendidik dalam mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran mitigasi bencana.

DAFTAR PUSTAKABerlian, S.R. (2016). Implementasi mitigasi bencana

non struktural bencana kebakaran oleh BPBD Kabupaten Blora di Desa Jipang Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Diakses dari https://lib.unnes.ac.id. pada tanggal 31 Maret 2019.

BNPB. (2012) Potensi ancaman bencana. Diakses dari https://www.bnpb.go.id. pada tanggal 30 Maret 2019).

BNPB. (2016) Resiko bencana Indonesia. Diakses dari https://www.bnpb.go.id. pada tanggal 30 Maret 2019)

Daud dkk. (2014). “Penerapan pelatihan siaga bencana dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan komunitas SMA Negeri 5 Banda Aceh”. (Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Ilmu Kebencanaan Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala ISSN 2355-3324 hal 26-34.

Page 13: MENGGAGAS MITIGASI BENCANA NONSTRUKTURAL DALAM …

42 Jurnal AKRAB! Volume X Edisi 1/Mei/2019

Direktorat Pembinaan Keaksaraan dan Kesetaraan. (2016). Naskah Akademik Pendidikan Multikeaksaraan. Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud.

Direktorat Pembinaan Keaksaraan dan Kesetaraan. (2017). Panduan Penyelenggaraan dan Pembelajaran Pendidikan Multikeaksaraan. Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud.

Kartasasmita & Kusmiati. (2006). Mitigasi Bencana Berbasis Komunitas: Suatu Masukan Mitigasi Bencana di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses https://www.academia.edu pada tanggal 30 Maret 2019.

Ogawa, Y. (2005). Town Watching As A Tool For Citizen Participation In Developing ountries: Applications In Disaster Training. International Journal of Mass Emergencies and isasters August 2005, Vol. 23, No. 2, pp. 5-36.

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008. Penyelenggaraan penanggulangan bencana. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Priyowidodo & Luik. (2013). Literasi Mitigasi Bencana Tsunami untuk Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pacitan. Jurnal Ekotrans Vol.13 No. 1 Januari 2013, hlm 47-61.

Shaw dan Takeuchi. (2009). Town Watching Handbook for Disaster Education: Enhancing Experiental Education. Diakses https://www.preventionweb.net

Subandono. (2007). Program Mitigasi Bencana dalam Zone Perairan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan Republik Indonesia.

Unicef & Kemdikbud. (2015). Modul 3: Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Resiko Bencana. Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kemdikbud. Diakses dari http://spab.kemdikbud.go.id

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Penanggu-lang an Bencana. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. dari https://www.bnpb.go.id. pada tanggal 30 Maret 2019).

BNPB. (2016) Resiko Bencana Indonesia. Diakses dari https://www.bnpb.go.id. pada tanggal 30 Maret 2019)

Daud dkk. (2014). Penerapan Pelatihan Siaga Bencana dalam Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Komunitas SMA Negeri 5 Banda Aceh. (Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Ilmu Kebencanaan Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala ISSN 2355-3324 hal 26-34.

Direktorat Pembinaan Keaksaraan dan Kesetaraan. (2016). Naskah Akademik Pendidikan Multikeaksaraan. Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud.

Direktorat Pembinaan Keaksaraan dan Kesetaraan. (2017). Panduan Penyelenggaraan dan Pembelajaran Pendidikan Multikeaksaraan. Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud.

Kartasasmita & Kusmiati. (2006). Mitigasi Bencana Berbasis Komunitas: Suatu Masukan Mitigasi Bencana di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses https://www.academia.edu pada tanggal 30 Maret 2019.

Ogawa, Y. (2005). “Town Watching As A Tool For Citizen Participation In Developing Countries: Applications In Disaster Training”. International Journal of Mass Emergencies and Disasters. August 2005, Vol. 23, No. 2, pp. 5-36.

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Priyowidodo & Luik. (2013). Literasi Mitigasi Bencana Tsunami untuk Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pacitan. Jurnal Ekotrans Vol.13 No. 1 Januari 2013, hlm 47-61.

Shaw dan Takeuchi. (2009). Town watching handbook for disaster education: enhancing experiental education. Diakses https://www.preventionweb.net

Subandono. (2007). Program Mitigasi Bencana dalam Zone Perairan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan Republik Indonesia.

Unicef & Kemdikbud. (2015). Modul 3: Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Resiko Bencana. Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kemdikbud. Diakses dari http://spab.kemdikbud.go.id

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Penanggulangan Bencana. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.