Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

18
Purwo Santoso 2 Makalah ini menawarkan evaluasi terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung di negeri ini. Namun, sebelum membicarakan Pilkada itu sendiri, perlu diingatkan arah pembicaraan bisa kesana-kemari kalau misi evaluasi itu sendiri tidak ditegaskan dari awal. 3 Secara harfiah, evaluasi adalah perbandingan antara apa yang dirancang (dikehendaki) dengan yang senyatanya laksanakan. Evaluasi tidak banyak berarti sekiranya rancangan itu sendiri dibangun di atas asumsi atau pijakan yang salah. Jadi, kalaulah kita merujuk kembali misi yang ditetapkan, misi itu sendiri masih bisa dipersoalkan. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah lesson drawing: menarik pelajaran dari pengalaman. Yang kita evaluasi (Pilkada) adalah sistem yang keharusnya mengikat diri kita semua. Dalam mengevaluasi hal seperti ini, seyogyanya kita memerankan diri sebagai ‘orang dalam’, bukan hanya sebagai stake holders dengan enaknya menuntut ini dan itu. Evaluasi kita perlukan agar dapat secara cerdas berkontribusi dalam memperbaiki keadaan, dengan kerelaan mengakui kealphaan yang sempat terjadi. Kalaulah acuan dari evaluasi terhadap Pilkada harus dikembalikan kepada misi diselenggarakannya Pilkada itu sendiri, kitalah yang semestinya memastikan misi itu terjadi. Dengan begitu kita dapat mendudukan persoalan secara tepat atau propossional, mengambil pelajaran dari kesalahan dan kesalahfahaman di masa lalu, dan dalam dinamika yang terjadi, meniti masa depan secara lebih cerdas. 1 Makalah dipresentasikan pada Seminar Hari: Pemilihan Gubernur dan Demokrasi Lokal yang diselenggarakan oleh Angkatan Muda Pembaharu Indonesia (AMPI) Provinsi NTT, di Kupang, pada tanggal 10 Nopember 2011. Penyiapan makalah ini dibantu oleh Joash Tapiheru. Penulis menyampaikan terimasih atas bantuannya, namun dia sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan ini. 2 Guru besar Ilmu Pemerintahan, sekaligus Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3 Selain bisa menyeret kita ke dalam godaan untuk mencari-cari kesalahan para pelaku, evaluasi juga sekedar menjadi dalih untuk mencari pengganti dari status quo.

description

 

Transcript of Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Page 1: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso2

Makalah ini menawarkan evaluasi terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung di negeri ini. Namun, sebelum membicarakan Pilkada itu sendiri, perlu diingatkan arah pembicaraan bisa kesana-kemari kalau misi evaluasi itu sendiri tidak ditegaskan dari awal.3 Secara harfiah, evaluasi adalah perbandingan antara apa yang dirancang (dikehendaki) dengan yang senyatanya laksanakan. Evaluasi tidak banyak berarti sekiranya rancangan itu sendiri dibangun di atas asumsi atau pijakan yang salah. Jadi, kalaulah kita merujuk kembali misi yang ditetapkan, misi itu sendiri masih bisa dipersoalkan. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah lesson drawing: menarik pelajaran dari pengalaman.

Yang kita evaluasi (Pilkada) adalah sistem yang keharusnya mengikat diri kita semua. Dalam mengevaluasi hal seperti ini, seyogyanya kita memerankan diri sebagai ‘orang dalam’, bukan hanya sebagai stake holders dengan enaknya menuntut ini dan itu. Evaluasi kita perlukan agar dapat secara cerdas berkontribusi dalam memperbaiki keadaan, dengan kerelaan mengakui kealphaan yang sempat terjadi. Kalaulah acuan dari evaluasi terhadap Pilkada harus dikembalikan kepada misi diselenggarakannya Pilkada itu sendiri, kitalah yang semestinya memastikan misi itu terjadi. Dengan begitu kita dapat mendudukan persoalan secara tepat atau propossional, mengambil pelajaran dari kesalahan dan kesalahfahaman di masa lalu, dan dalam dinamika yang terjadi, meniti masa depan secara lebih cerdas.

                                                                                                                         1 Makalah dipresentasikan pada Seminar Hari: Pemilihan Gubernur dan

Demokrasi Lokal yang diselenggarakan oleh Angkatan Muda Pembaharu Indonesia (AMPI) Provinsi NTT, di Kupang, pada tanggal 10 Nopember 2011. Penyiapan makalah ini dibantu oleh Joash Tapiheru. Penulis menyampaikan terimasih atas bantuannya, namun dia sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan ini.

2 Guru besar Ilmu Pemerintahan, sekaligus Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

3 Selain bisa menyeret kita ke dalam godaan untuk mencari-cari kesalahan para pelaku, evaluasi juga sekedar menjadi dalih untuk mencari pengganti dari status quo.

Page 2: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 2  

A. EVALUASI UNTUK MEMPERBAIKI KEADAAN

Agar dapat mengambil pelajaran secara mendasar, evaluasi sebaiknya dlakukan secara reflektif. Sebagaimana kita ketahui, kita telah memiliki pengalaman penyelenggarakan Pilkada dalam dua model: (1) Pilkada tidak langsung, dimana yang melakukan pemilihan adalah para wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); dan (2) Pilkada Langsung, dimana pemilihnya adalah seluruh rakyat di daerah yang bersangkutan, yang secara teknis memiliki hak pilih. Sehubungan dengan adanya dua model itu, perlu ditegaskan bahwa evaluasi yang dilakukan di sisini tidak dimaksudkan sekedar untuk melakukan judgement model mana yang lebih baik. Mengapa begitu ? Karena model pemilihan itu sebetulnya hanyalah komponen kecil dari sistem yang lebih besar: model pemerintahan yang menjadi sandaran publik dalam mengelola nasibnya. Dalam evaluasi ini pilihan model (langsung ataukah tidak langsung) perlu kita kembalikan pada disain besar penataan pemerintahan yang hendak kita wujudkan.

Sebagaimana nanti ditunjukkan, persoalan kita dalam penyelenggaraan Pilkada sebetulnya bukan pada pilihan model, melainkan pada ketidaksiapan memenuhi persyaratan-persyaratan bagi berlangsungnya model yang kita pilih. Perubahan sistem pemilihan, termasuk pemilihan kepala daerah, dimotori para pakar yang menekuni bidang kajian electoral reform kalau bukan electoral engeenering. Mereka begitu yakin bahwa dengan mengubah peraturan perundang-undangan sesuai dengan setumpuk textbook dan sederet artikel jurnal, kualitas demokrasi akan berubah. Titik berangkatnya adalah kondisi ideal yang tersirat dibalik serangakaian proposisi teoritik, dan dengan berbekal hal itu perilaku sehari-hari kita diharapkan dapat mereka ubah. Karena driving force dari perubahan yang dicanangkan adalah teori, maka kegagalannya dalam memberlakukan suatu teori (atau model) diikuti dengan percobaan untuk memberlakukan teori atau model lain. Dalam konteks ini, secara diam-diam kita diperlakukan sebagai obyek dari eksperimentasi untuk menguji kebenaran teori yang mereka pelajari. Bukan maksud tulisan ini untuk menolak penggunaan teori, melainkan untuk menegaskan bahwa demokrasi ataupun pilkada yang baik tidak, akan terwujud kalau hal itu kita biarkan sekedar sebagai hajatnya para ahli electoral reform atau electoral engeenering, bukan hajat kita.

Evaluasi sederhana ini diharapkan memicu berkesinambunganya upaya mengidentifikasikan kecerobohan cara berfikir yang pada gilirannya menuntun kita ke jalan yang realistik untuk memperbaiki kesalahan. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah adanya langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki keadaan. Antusiasme kita berdebat bukanlah alasan untuk tidak bertindak: tidak mempraktekan hal yang kita yakini baik dan perlu.

Kenginan untuk berganti-ganti model pemilihan, bisa ditengarai sebagai kamuflase untuk menyembunyikan keengganan untuk memenuhi persyaratan bagi pemberlakukan model tertentu. Kalau model yang satu menguntungkan fihak tertentu, dan model yang lain menguntungkan fihak yang lain, maka negeri ini akan terombang-ambil dalam pemilihan model. Model yang manapun tidak akan menyediakan basis dalam mengelola nasib publik karena selalu masing-masing dari

Page 3: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 3  

kita sebetulnya merongrong model yang berlaku dengan hanya mau ambil sisi enaknya saja. Hal ini perlu dikedepankan mengingat belakangan ini sangat santer beredar wacana untuk mengembalikan Pilkada ke model lama: model pemilihan tidak langsung. Buru-buru perlu ditegaskan bahwa makalah ini tidak secara apriori menolak berlakunya model pemilihan tidak langsung, melainkan menolak untuk terbentur sekali lagi pada pintu yang sama, karena tidak belajar dari masa lalu.

Agar bisa memandu langkah-langkah praktis, bagian akhir makalah ini mengajak kita melihat Pilkada, entah dilakukan dengan model apa, didedikasikan bagi pengembangan penyelenggaraan pemerintahan lokal yang demokratis (democratic local governance) dalam bingkai pemerintahan nasional. Tawaran utama yang disampaikan dalam makalah ini adalah memutuskan ayunan ekstrem antara dua model (langsung vs tidal langsung) melalui kontribusi dalam pengelolaan proses transformasi menuju democratic local governance. Kuncinya adalah mendorong adanya transformasi konstituen pemilih yang masing mewarisi watak floating mass menjadi demos atau warga negara yang aktif. Demokrasi esensinya adalah kedaulatan rakyat, dan apapun model pemilihan yang diberlakukan tidak ada artinya kalau tidak ada demos. Teka-teki yang harus dikerjakan bangsa ini adalah mengembangkan demos sedemikian sehingga nasib publik ada di tangannya, bukan sebaliknya terombang-ambing oleh retorika para tokoh.

Terkait dengan keberadaan AMPI sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang memiliki afiliasi dengan Partai Golongan Karya (Golkar), saat ini terbentang kesempatan emas untuk menunjukan makna dan manfaat berdemokrasi, khsusnya dalah menyelenggarakan pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah yag baik. Langkah strategis untuk itu adalah menjamin adanya kepemimpinan lokal yang kompeten sekaligus representatif. Kompetensi kepemimpinan di tingkat lokal ini merujuk tidak hanya pada kompetensinya untuk meraih kemenangan dalam proses pilkada. Lebih dari itu kompetensi diukur dari kemampuannya mentransformasikan political setting di mana pilkada itu dilaksanakan. Kepada AMPI dan organisasi-organisasi sejenisnya terbentang peluang untuk memetik keuntungan politik dari perannya dalam proses transformasi. Inilah yang dalam makalah ini disebut sebagai “menang dengan cara baru”. Pada bagian akhir makalah akan memaparkan peran spesifik apa yang potensial untuk dilakukan oleh organisasi sosial seperti AMPI dalam proses transformasi yang diproyeksikan. Peran yang potensial dijalankan oleh AMPI yang dibahas di sini dilihat baik dari posisi AMPI sebagai organisasi sosial tersendiri dan posisi AMPI sebagai elemen dari sebuah partai politik bernama Partai GOLKAR. B. JANGAN LAGI TEROMBANG-AMBIL OLEH PILIHAN

MODEL Kita tahu bahwa Pilkada diselenggarakan untuk memastikan adanya kepala

daerah yang bisa diandalkan dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan dalam rangka mengatasi masalah-masalah nasional yang berlangsung di

Page 4: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 4  

daerah. Persoalan Pilkada tidak bisa direduksi sebagai persoalan persaingan antar kandidat hingga hingga ada salah satu dari kontestan yang dinyatakan sebagai pemenang yang siap di lantik. Komisi Pemilihan Umum Daerah boleh saja mendefinisikan Pilkada dengan cara ini, karena cakupan tugasnya memang hanya sampai di situ. Namun, kita sebagai warga negara tidaklah semestinya mengadopsi cara pandang seperti ini. Para kontestas bisa saja mencurahkan perhatian pada upaya pemenangan dirinya, namun kitalah yang harus memaksa para kandidat memperlebar horizonnya. Justru reduksi makna itulah yang menjadi sumber persoalan. Oleh karena itu, sebelum menelaah prakrek Pilkada Langsung namun Pilkada tidak langsung, terlebih dahulu akan dipaparkan kerangka analisis yang dipakai dalam makalah ini.

Penyelenggaraan perlu dievaluasi secara seksama karena adanya ironi. Pada saat ini diberlakukan Pilkada langsung, dimana rakyat yang memiliki hak pilih memilih kandidat yang ditetapkan. Pilkada langsung ini diberlakukan karena ketidakpuasan terhadap skema lama (Pilkada Tidak Langsung) dimana Kepada Daerah dipilih oleh wakil wakyat (anggota-anggota DPRD). Skema pemilihan langsung yang tadinya dianggap lebih baik inipun menuai ketidakpuasan. Kalau di masa lalu yang ditengarai terlibat praktek jual-beli suara hanya para anggota DPRD kita fihak yang terlibat jaug lebih luas. Oleh karena itu belakangan ini semakin lantang aspirasi untuk mengembalikan Pilkada ke skema lama, skema tidak langsung. Sungguh sangat ironis, kita hendak kembali ke tatanan yang sudah dari awal, ingin kita tinggalkan. Hal ini mengisyaratkan adanya persoalan mendasar yang tidak kunjung kita atasi. Pergantian skema pemilihan itu sama sekali tidak akan mengatasi pokok persoalan. Sekali lagi, evaluasi harus membantu menemukenali persoalan tersebut, dan mengusulkan langkah-langkah agar tidak terombang-ambing dalam penentuan cara mengisi orang yang menduduki jabatan kepala daerah.4

Agar tidak terombang-ambing, kedua skema atau model pemilihan kepala daerah yang ada perlu diletakkan dalam konteks perpolitikan dan pemerintahan pada jamannya. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung diberlakukan saat Indonesia mengadopsi sistem politik dan pemerintahan yang sentralistis, dimana kepala daerah diharapkan menjadi kepanjangan tangan pemerintahan pusat untuk mencapai sejumlah tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu pemilihan kepala daerah secara langsung dilakukan untuk mengekpresikan semangat partisipasi dalam menentukan jalannya pemerintahan. Dengan mengedepankan hal ini, evaluasi ini diharapkan tidak terjebak dalam nalar proseduralisme. Penelaahan kritis tentang Pemilihan kepala daerah akan dibahas dalam political set-up yang berlaku, karena sangat boleh jadi persoalan yang membelitnya adalah bersoalan yang melekat dalam set up tersebut. Adapun set up yang penting untuk dicatat adalah sebagai berikut.                                                                                                                          

4 Perlu ditegaskan bahwa ketidakpuasan yang mengemuka bukanlah pada tekniklitas penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Ketidakpuasan terkait dengan hal-hal yang melingkupi Pilkada, misalnya praktek suap atau vote buying. Oleh karena itu, evaluasi yang disajikan dalam makalah ini akan menggunakan kerangka yang lebih luas, lebih dari sekedar teknikalitas penyelenggaraannya. Pilkada dalam makalah ini dibahas dalam kerangka pengembangan sistem pemerintahan efektif namun demokratis.

Page 5: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 5  

Pertama, terjebakna penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (dan pemilihan umum) dalam pemaknaan demokrasi yang proseduralistik. Hal ini ditandai oleh dominannya pendekatan legalistik. Di masa Orde Baru, legalisme dilakukan demi memastikan kesan demokrasi ada dibalik proses pemilihan, sedangkan di masa kini legalisme diusung sekedar untuk mengesankan rakyat memiliki hak memilih dan dipilih. Padalah, kalau kita kembalikan pada esensinya, pemilihan kepala daerah adalah proses penentunan pejabat publik yang menjadi pertaruan nasional mapun lokal dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan. Dari kedua bentuk legalisme ini, demokrasi direduksi sekedar sebagai problem teknis semata.

Kedua, pemilihan kepala daerah diperlakukan sebagai ekspresi dari demokrasi yang sudah mapan, bukan sebagai proses bertahap untuk mematangkan kualitas demokrasi. Para ahli electoral reform maupun electoral engeenering dengan entengnya menggunakan referensi yang disarikan dari perjalan sejarah negara-negara yang telah dewasa dalam berdemokrasi, khususnya dalam berdemokrasi liberal. Ini adalah ilusi massal yang menyesatkan.

Pada masa Orde Baru, dimana sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung diberlakukan, dikesankan sudah ada demokrasi yang sudah mapan, namanya Demokrasi Pancasila. Diasumsikan bahwa para anggota DPRD adalah mengemban amanat rakyat, bukan amanat atasan ataupun kolega, dalam memilih kepala daerah. Amanat rakyat untuk memilih kepala daerah, ternyata bisa terbelokkan menjadi amanat untuk mematuhi transaksi. Minimnya kontrol publik menjadikan pembelokan amanat ini akhirnya menjadi praktek yang dianggap normal, dan oleh karenanya tidak ada agenda untuk memperbaiki kualitas pemilihan kepala daerah.

Pada saat ini, ketika Pilkada melibatkan rakyat secara langsung, diasumsikan individu-individu yang memiliki hak pilih telah sadar akan hak-haknya, dan sadar bahwa sistem politik terbentuk dari akomulasi penggunaan hak mereka. Nyatanya, hal ini jarang ditemui di mayoritas masyarakat Indonesia. Ketika preskripsi demokratisasi yang digariskan secara legal-formal diberlakukan, preskripsi tersebut dimaknai berbeda, sesuai dengan apa menjadi nalar masyarakat setempat yang basisnya bisa apapun, selain hak sebagaimana dipahami dalam individual masing-masing. Sistem pemilihan yang demokratis tidak terwujud karena pemilih, tepatnya pemegang hak pilih, merasa boleh menjual hak yang dimiliki. Rakyat ternyata memilih untuk mengkomersialisasikan haknya, dan praktek vote buying akhirnya menjadi kewajaran. Di sini kita merasakan bahwa kedua model pemilihan kepala daerah terjebak dalam persoalan yang setara. Pada level individual, kita menyaksikan bahwa penyelenggaraan Pilkada tidak diikuti dengan penguatan komitmen etis pada aktor yang terlibat. Ada problem etika politik yang tidak pernah menjadi kehirauan kita dalam penyelenggaraan pilkada, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari kedua hal tersebut di atas, jelaslah bahwa yang menjadi pokok persoalan sebetulnya bukan cara memilih kepala daerah, melainkan prasayata agar masing-masing model menghasilkan praktek yang kondusif bagi jalannya pemerintahan. Yang jelas, imajinasi pemerintahan daerah yang diidealkan oleh Orde Baru berbeda dengan yang diidealkan pada masa kini. Kegagalan dalam mewudjukan hal itu menjadikan kita sibuk mencari alternatif, bukan memperbaiki kelemahaan yang sudah

Page 6: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 6  

ada. Pemilihan kepada daerah lebih dimaknai sebagai perberlakukan ketentuan perundang-undangan, bukan ekpresi kedaulatan rakyat sebagaimana dipidatokan.

C. KEALPHAAN KOLEKTIF: MEMBERLAKUKAN MODEL

TANPA MEMENUNI PRA-SYARAT. Perlu dicatat bahwa pergantian sistem pemelihan kepala daerah di negeri ini

adalah bagian tak terpisahkan dari penggantian model pemerintahan di negeri ini. Dengan kata lain, kita tidak bisa memahami nalar penyelenggaraan pilkada kalau kita tidak memahami setting politik yang melingkupinya. Sebagaimana divisualisasikan dalam Tabel 1, skema pemilihan kepala daerah tidak langsung diberlakukan saat Indonesia sedang getol-getolnya memberlakukan skema yang lebih besar skalanya, yakni skema state-led economic development (pembangunan ekonomi berbasis kendali negara). Pemerintah nasional berkepentingan untuk memastikan siapapun yang dipilih menjadi kepala daerah, dia bisa diandalkan untuk mewujudkan state-led economic development di daerahnya masing-masing. Artinya, pengisian jabatan kepala daerah lebih merupakan pertaruhan kepentingan pemerintah nasional dari pada kepentingan lokal. Hal ini kontras dengan pengisian jabatan kepala daerah di era reformasi, yang dibingkai dengan gagasan democratic local governance. Kepala daerah diharapkan memimpin penyelenggaraan otonomi daerah, yang oleh konstitusi, ditetapkan bersifat seluas-luasnya. Oleh Undang-undang No. 22 tahun 1999, Gubernur bahkan tidak diposisikan sebagai atasan dari Bupati/Walikota. Gubernurpun tidak dilengkapi dengan perangkat kelembagaan untuk menjalankan kewenangan pemerintah nasional di daerah (aparat dekonsentrasi).

Pada masa berlangsungnya sistem pemerintahan sentralistis Orde Baru, prosedur pemilihan kepala daerah pada dasarnya adalah penempatan (deployment) pejabat yang ditugasi memimpin daerah. Meskipun ada persaingan diantara para kandidat yang disiapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang jenjangnya lebih tinggi, namun Presiden memalui Kementerian Dalam Negeri memegang kendali siapa yang disiapkan untuk menjadi kepala daerah, dan siapa yang menduduki “nomor jadi”. Telah ada kesepakatan informal, sebelum digelar proses formal yang disebut sebagai “pemilihan” kepala daerah. Dari sisi ini terlihat ketidaksediaan kita “membayar” demokrasi prosedural, karena pemilihan kepala daerah dikendalikan memalui mekanisme informal yang secara subtantif tidak dipertanggungjawabkan kepada publik. Keputusan informal dilegalisir oleh lembaga formal: DPRD. Pada masa itu, DPRD memang dikondisikan sebagai legalisasi dari keputusan informal tersebut. Kendali militer terhadap proses pemilihan dilakukan melalui Fraksi ABRI yang ada di DPRD setempat.

Hal tersebut di atas bukan tanpa alasan. Pilkada di masa Orde Baru dilakukan dalam model pemilihan tidak langsung, karena Kepala Daerah, sekaligus juga berperan sebagai Kepala Wilayah. Dalam kedudukan sebagai sebagai Kepala Wilayah, dia menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Kalaulah dia dipilih oleh

Page 7: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 7  

DPRD, dia harus dipastikan bisa menjadi orang kepercayaan Menteri Dalam Negeri, kapai bukan Presiden. Ini dilakukan dalam logika pemerintahan yang sentralistis di mana kepala daerah yang dicari adalah kepala daerah yang memiliki kompetensi menjalankan rencana nasional yang ditentukan di level pusat di daerah yang dipimpinnya. Rencana nasional ini dibingkai dalam program pembangunan ekonomi berskala nasional yang didorong negara. Wacana ini merupakan wacana hegemonik selama era Orde Baru. Dalam konteks ini, ‘representasi politik’ menjadi kriteria sekunder dibandingkan dengan ‘kompetensi’.

Tabel 1. KARAKTER SET-UP POLITIK

ERA ORDE BARU DAN REFORMASI

Orde Baru Reformasi

Model Pilkada TIDAK LANGSUNG LANGSUNG

Logika pemerintahan Sentralisasi Desentralisasi

Rujukan utama State-led economic development

Decentralizzed and democratic Governance

Nalar yang memotivasi pemilihan kepala daerah

Kompetensi lebih penting daripada representasi

Representasi lebih penting daripada kompetensi

Posisi dari kepala daerah

Peran kepala wilayah lebih mengedepan daripada kepala daerah

Peran kepala daerah lebih besar daripada kepala wilayah

Kelemahan yang terindikasi secara kuat

• Konteks spesifik lokal yang harus dinomorduakan oleh kepentingan nasional di daerah

• Ketidakjelasan peran kepala wilayah

• Representasi cenderung bergeser menjadi popularitas

• Munculnya politik biaya tinggi

Posisi dari publik pemilih Floating mass Demos

Page 8: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 8  

Dalam konteks Orde Baru ‘pilkada’ dimaknai lebih sebagai bagian dari proses teknokratis pelaksanaan pembangunan daripada sebagai sebuah proses politik.5 Karenanya, posisi publik tidak dipahami sebagai konstituen, namun lebih sebagai floating mass. Tidak heran aspek representasi dikesampingkan. Hal ini merupakan konsekuensi dari paradigma yang menggerakkan political setting yang dikonstruksi Orde Baru yang melihat proses politik sebagai sesuatu yang harus diminimalisir karena kontra-produktif terhadap proyek pembangunan ekonomi yang mensyaratkan stabilitas.

Karena pemilihan lebih dimaksudkan untuk melegitimasi penunjukkan kalau bukan penugasan, maka pemilihan bukan sekedar bersifat tidak langsung (dalam hal tidak melibatkan rakyat) namun juga sifat “tertutup”. Yang penting untuk dicatat, sifat tertutup ini menjadikan proses tersebut rentan manipulasi, rentan terhadap dominasi kalangan tertentu. Sungguhpun demikian, ruang manupulasi masih terkendali oleh standar kualifikasi yang diberlakukan pada saat itu. Yang jelas, pada masa itu, jabatan Gubernur dan Kepala Daerah kebanyakan diisi oleh kalangan militer. Ketidakpuasan terhadap hal ini beredar di kalangan terdidik namun tidak merebak menjadi pengetahuan publik pada saat itu.

Political setting di Indonesia mengalami perubahan ekstrim setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini mengubah peta perpilitikan secara mendasar, tanpa kita sempat melakukan refleksi. Ketidaksukaan terhadap Orde Baru meluap secara besar-besaran sehingga apapun yang diasosiasikan dengan Orde Baru hendak diubah, termasuk didalamnya sistem pemilihan kepala daerah.

Pendulum politik menghendaki proses politik dan aspek representasi lebih dikedepankan setelah krisis ekonomi Asia Tenggara tahun 1997 dijadikan alasan kegagalan model pemilihan yang mengedepankan aspek kompetensi dalam kerangka pembangunan ekonomi yang terpusat dan teknokratis. Pilihan terhadap model pilkada yang dilakukan melalui pemilihan langsung, diinisiasi sejak pemilihan presiden tahun 2004, yang merupakan tindak lanjut dari Amandemen Undang-undang Dasar yang semakin menegaskan sosok sistem pemerintahan presidensial. Salah satu inti gagasannya adalah, posisi Presiden itu kuat dan untuk menunjukkan kekuatan dukungan terhadap kepemimpinan dilakukanlah pemilihan Presiden secara langsung. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi DPR untuk menjatuhkan Presiden, sebagaimana sempat dilakukan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Sejalan dengan hal itu, dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung.

Perlu dicatat juga bahwa perubahan sistem pemilihan tersebut di atas lebih digerakkan oleh konstelasi politik dari pada oleh kesiapan rakyat untuk berdemokrasi. Kajian kebijakan publik mencatat bahwa situasi krisis memungkinkan perubahan kebijakan secara radikal. Dalam konteks ini, di Indonesia terjadi pembalikan nalar yuridis yang dijabarkan ke dalam serangkaian perubahan ketentuan perundang-

                                                                                                                         5 Proses politik sendiri direduksi semata pada proses pemilihan umum

untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Page 9: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 9  

undangan. Repotnya, perubahan ini tidak seiring dengan perubahan perilaku politik masyarakat maupun pejabat.

Tidak mudah membongkar midset yang sudah terpateri dalam perilaku sehari-hari. Padahal, rakyat yang diharapkan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah rakyat yang telah berhasil dipolakan Orde Baru sebagai massa mengambang (floating mass). Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika massa mengambang ini diberi kebebasan yang sangat luas untuk menggunakan hak-hak politik yang dijamin undang-undang. Bisa dubayangkan bagaimana penggunaan hak-hak tersebut manakala tidak ada penyiapan agar massa mengambang ini bertansformasi menjadi demos atau warga negara yang aktif, yang menjadi penentu, kalau bukan penanggungjawab, dari bekerjanya sistem pemerintahan yang demokratis. Masyarakat tidak faham, dalam batas tertentu juga tidak peduii, implikasi dari penggunaan hak-hak politiknya secara salah. Demi berebut jabatan kepala daerah kandidat tidak merasa bersalah ketika membagi-bagikan uang, barang dan jasa dengan harapan hal itu bisa diperoleh kembali saat menjabat. Di sisi lain, masyarakat merasa boleh menjual hal pilih. Tidak sedikit warga masyarakar justru “memeras” kandidat dengan pertimbangan kalau dia terpilih akan dapat memperoleh kembali semasa memegang jabatannya. Dalam konteks ini kita melihat adanya ‘penggadaian jabatan’ atau ‘sistem ijon’, dan hal ini disebabkan oleh kenaifan dalam mengembangkan demokrasi.

Demokrasi diasumsikan bisa terbentuk tanpa etika politik yang kondusif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Demokrasi diasumsikan dapat dengan serta-merta terlaksana karena pasal-pasal dalam undang-undang. Demokrasi tidak mungkin terwujud tanpa demokrat yang berperilaku demokratis. Demokrasi mensyaratkan tegaknya aturan main, dan tegaknya aturan main itu mensyaratkan kejujuran dalam berkompetisi. Kinerja pilkada langsung dalam hal ini belum terlalu menggembirakan karena dalam banyak kasus, persaingan dalam pilkada bermuara pada sengketa dipengadilan. Masing-masing kandidat tahu kecurangan lawannya, dan yang kalau hampir selalu selalu mempersoalkan kemenangan rivalnya melalui pengadilan.

Yang jelas, perubahan ketentuan yang mengatur pemilihan Kepala Daerah diartikulasikan sebagai konsekuensi dari political setting yang mengedepankan aspek ‘representasi’ dalam kerangka mewujudkan democratic governance baik di level nasional maupun lokal.6 Proses ini berjalan secara beriringan dengan proses lain yang juga diartikulasikan sebagai ekspresi dari demokratisasi di Indonesia, yaitu desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam setting ini, Gubernur (dan Bupati/Walikota) diposisikan lebih dari sebagai pejabat publik dari suatu daerah yang otonom, ketimbang sekedar kepanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah. Karena itu yang dituntut dari seorang kepala daerah adalah merepresentasikan

                                                                                                                         6 Sulistiyanto Priyambudi, “Pilkada in Bantul District: Incumbent,

Populism, and the Decline of Royal Power” dalam Erb, Maribeth dan Priyambudi Sulistiyanto, 2009, Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leader (PILKADA), Singapore: ISEAS Publishing, p.190

Page 10: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 10  

kepentingan publik pemilih didaerahnya dalam kerangka otonomi yang disediakan oleh desentralisasi. Untuk mencapai ideal yang diimajinasikan dari pengadopsian demokrasi dan desentralisasi di Indonesia dibutuhkan kepemimpinan yang punya imajinasi, kreatifitas, dan inovatif untuk mewujudkan apa yang menjadi kehendak publik ketika memilih si kepala daerah. Namun sayang sekali, hal ini tidak pernah menjadi agenda publik yang serius.

Menjadikan pilkada sebagai instrument untuk mendorong serta memperdalam demokrasi ternyata lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Representasi dengan mudah terpeleset menjadi popularitas. Popularitas cenderung dikonstruksi dengan cara mudah; redistribusi kesejahteraan yang banal, atau bahasa lainnya bagi-bagi uang. Ini membuat fenomena vote buying menjadi marak di Indonesia setelah model pilkada langsung diadopsi. Hal ini tentunya memunculkan kecenderungan hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses sumber-sumber kesejahteraan, darimanapun asalnya, yang bisa menikmati kemenangan politik kompetisi pemilu ataupun pilkada.7 Sementara mayoritas publik pemilih tidak lebih dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan segelintir orang tersebut. Segelintir orang tersebut sering disebut sebagai elit dan demokrasi yang sedang dipraktekkan di Indonesia ini sering juga disebut elite captured democracy.8 Gejala ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi semasa Orde Baru, yakni jabatan Kepala Daerah dikuasai lapis elit. Yang berbeda adalah mekanisme.

Pemberlakuan undang-undang baru yang mengatur cara berdemokrasi, tak pelak mendapat respon khas dari publik, termasuk kalangan elitenya. Publik memanfaatkan kesempatan yang terbuka sesuai dengan nalar dan kepeduliannya masing-masing. Artinya, kalaulah secara konseptual perubahan sistem pemilihan dimaksudkan untuk mewujudkan tatanan pemerintahan lokal yang lebih demokratis, namun pengamatan sejauh ini menunjukkan bahwa tidak ada agenda pengembangan kualitas berdemokrasi melalui perubahan model pemilihan kepala daerah.

Dengan makin banyaknya elite yang bertarung dalam kompetisi politik, publik pemilih berusaha mendapatkan bagian dari kesejahteraan yang redistribusikan, sehingga ada perlombaan di antara para elite yang berkompetisi untuk menggelontorkan kesejahteraan yang lebih banyak dengan harapan lebih menarik simpati publik pemilih. Fenomena semacam inilah yang berujung pada politik biaya tinggi, dan pada gilirannya membuat para elite tersebut rawan terjerumus dalam                                                                                                                          

7 Lihat Samadi, W.P. dan Nicolaas Warouw, “A Decade of Reformasi: Unsteady Democratisation” dalam Journal PCD Publication Online - Volume Volume I Number 1-2 (Double Issues), Published by Power, Conflict and Democracy Publishing, http://www.pcd.ugm.ac.id/pcd6Maret09/index.php?mod= detailc&content_id=3&volume_id=1; Nov 3, 2011, 11:13am

8 Robison, Richard and Vedi R. Hadiz, 2004, Reorganising Power in Indonesia: the Politics of Oligarchy in the Age of Market, Routledge; lihat juga Hidayat, Syarif, “Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten” in Nordholt, Henk Schulte et.al. (eds.), 2007, Politik Lokal di Indonesia – (translated from Renegotiating Boundaries, local politics in post-Soeharto Indonesia by Bernard Hidayat), Jakarta: YOI and KITLV

Page 11: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 11  

perilaku korup. Ini membuat demokrasi dan desentralisasi di Indonesia bagi sebagian orang menunjukkan gejala-gejala penyimpangan,9 di mana pengadopsian prosedur serta mekanisme demokrasi dan desentralisasi ternyata tidak menghasilkan situasi demokratis sebagaimana diharapkan.

Dari evaluasi singkat yang dipaparkan di atas, permasalahan yang kita temui adalah adanya wrong mixture antara kompetensi dan representasi. Pada model yang dimana gubernur atau kepala daerah lain dipilih oleh DPRD kompetensi dikedepankan dengan meminggirkan representasi. Pada model pilkada langsung representasi digenjot habis-habisan dengan melupakan kompetensi. Indonesia terombang-ambing di antara dua kutub esktrim ini sementara peralihan dari satu kutub ke kutub lain tidak disertai pembelajaran dari pengalaman sebelumnya untuk menjaga agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama atau lebih memaksimalkan hal-hal yang baik dari model sebelumnya.

Wrong mixture terjadi karena kita hanyut dalam teknikalitas proseduralisme, seolah-oleh dengan mengikuti teknikalitas maka sistem akan terbentuk dengan sendirinya. Pemilihan umum, termasuk pilkada, dilaksanakan dalam pengertian seakan-akan itu adalah ekspresi dari masyarakat yang sudah demokratis, bukan upaya untuk mendemokratisasikan masyarakat yang baru lepas dari rezim autoritarian.

Pendekatan yang dilakukan dalam mendorong transformasi menuju demokrasi di Indonesia lebih menekankan pada pendekatan legalistik. Ini mengasumsikan bahwa kalau aturannya sudah ada maka orang akan patuh pada aturan tersebut, dengan logika seperti dikehendaki oleh orang yang membuat aturan tersebut. Ini tentunya mengabaikan kemungkinan adanya upaya untuk meng-akal-i peraturan yang ada, seperti yang dilakukan oleh para elite di Indonesia. Padahal dalam konteks Indonesia, orang-orang inilah yang mendapatkan posisi istimewa dalam periode sebelumnya dan menguasai sumber-sumber kekuasaan. Kalau kemudian mereka membajak demokrasi, yang berpotensi membuat mereka kehilangan posisi istimewanya, bukankah sebetulnya itu adalah sesuatu yang hampir bisa dipastikan terjadi.

Penekanan pada teknikalitas dan prosedur inilah yang mendorong orang dalam perilaku pragmatis. Logika yang bekerja dalam mempraktekan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari tereduksi menjadi sekedar “asal sudah sesuai aturan”. Pragmatisme ini pula yang dihasilkan oleh political setting yang bekerja pada periode Orde Baru akibat dari logika pemerintahan yang sentralistis dan juga berpotensi menggerogoti aspek kompetensi dari kepala daerah karena kepala daerah menjadi takut untuk berinisiatif.

                                                                                                                         9 Olle Tornquist menggunakan istilah demokrasi yang defisit atau

deficit democracy untuk menggambarkan demokrasi di Indonesia. Namun Olle juga mengatakan bahwa yang defisit inilah yang menjadi normalitas demokrasi di Indonesia. lihat Tornquist, Olle, “Introductions and Conclusions: From Liberal and Social Democratic Peace to Indonesian Normalisation” in Tornquist, Olle; Stanley Adi Prasetyo and Teresa Birks (eds.), 2011, Aceh: the Role for Peace and Reconstruction, Yogyakarta: PCD Press – CESSAS UGM

Page 12: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 12  

Di level publik pengalaman kita dengan kedua model tersebut juga sama-sama menghasilkan pragmatism. Di masa Orde Baru, sama seperti elitenya, publik pemilih sebagai publik yang politis sengaja dipinggirkan dan direduksi hanya dalam masa-masa menjelang dan momen pemilu. Artikulasi politis dari kepentingan kelas, etnis, dsb. akan segera mendapatkan respon keras dari negara. Sebagai kompensasinya, Orde Baru menjanjikan kemakmuran ekonomi. Ini membuat publik pada periode itu menjadi pragmatis. Seperti diilustrasikan di atas, praktek politik normal di Indonesia pada era reformasi sekarang juga bermuara pada pragamatisme yang sama. Di sini kita bisa melihat depolitisasi dan politisasi publik pemilih berujung pada situasi yang sama. Publik pemilih tetap menjadi floating mass dan bukan warga negara yang sadar akan hak politiknya dan secara aktif terlibat dalam proses politik sebagai karakter utama demokrasi.

Dari refleksi atas pengalaman Indonesia mempraktekkan kedua model tersebut, didapati bahwa proses pilkada ternyata tidak menghasilkan situasi sebagaimana diinginkan oleh masing-masing political setting yang membingkainya. Selalu ada kepincangan yang terjadi akibat wrong-mixture yang menghasilkan kepincangan, baik ketika dipinggirkan adalah aspek kompetensi maupun representasi. Sederhananya, jalan yang diambil untuk keluar dari situasi ini adalah, apapun model yang dipilih, yang menjadi tujuan adalah menyeimbangkan aspek kompetensi dan aspek representasi dalam pilkada, karena keduanya bukanlah dua hal yang beroposisi secara diametral. Bagian berikut dari tulisan ini akan membahas bagaimana menciptakan keseimbangan tersebut melalui tranformasi publik pemilih dari floating mass yang pragmatis menjadi publik warga negara yang aktif secara politik, yaitu demos.

Sebagai prasyarat awal untuk bisa menyeimbangkan aspek kompetensi dan representasi tersebut, diperlukan pendekatan baru untuk melengkapi pendekatan legal yang selama ini mendominasi wacana demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Pendekatan itu adalah pendektan kultural. Transformasi wrong-mixture menjadi local democratic governance mensyaratkan transformasi yang berhasil/tidaknya diukur dari terlembaga/tidak terlembaga-nya nilai-nilai demokrasi dalam perilaku keseharian publik. Pengendapan nilai untuk terekspresi secara spontan dalam perilaku keseharian menuntut pendekatan yang bersifat kultural, disamping juga pendekatan legal. D. WHAT IS TO BE DONE?

Melalui makalah ini, penulis merekomendasikan satu solusi untuk keluar dari

permasalahan kegagalan model pilkada menghasilkan pemimpin yang kompeten dan, lebih luas lagi, kegagalan mewujudkan demokrasi. Sejalan dengan semangat untuk keluar dari proseduralisme yang melatarbelakangi penulisan makalah ini, solusi yang ditawarkan juga tidak ingin terjebak dalam dikotomi dua model pilkada yang seakan-akan menjadi opsi either-or dalam wacana yang sedang kita bangun sekarang ini. Alternatif solusi yang ditawarkan di sini adalah mentransformasikan wrong mixture

Page 13: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 13  

yang selama ini dihasilkan oleh model-model pilkada yang kita adopsi menjadi local democratic governance.

Pilkada dalam konteks ini merupakan instrument untuk menjaring dan menghasilkan kepemimpinan lokal yang kompeten. Kompetensi di sini dimaknai, pertama, sebagai kapasitas dari pemimpin tersebut untuk menjaring berbagai isu yang beredar di masyarakat dan menterjemahkannya menjadi substansi kebijakan. Kompetensi yang lain adalah kompetensi pemimpin untuk mengelola berbagai kepentingan yang ada di masyarakat yang saling bertarung satu sama lain untuk diagendakan sebagai agenda publik. Selain itu, kompetensi di sini juga mencakup kemampuan dari pemimpin tersebut untuk mengendalikan dan menggerakkan mesin birokrasi. Dalam pengertian di atas, kompetensi bukanlah sesuatu yang harus dibangun dengan mengorbankan representasi.

Di sini partai politik, sebagai aktor politik utama dalam political setting di era reformasi ini, mampu memfasilitasi upaya memunculkan aktor politik yang kompeten di tingkat lokal. Namun, sejauh ini partai politik dinilai masih gagal dalam menjalankan fungsi ini dan cenderung disibukkan dalam berbagai aktifitas politik yang, disadari atau tidak, melembagakan politik biaya tinggi yang diilustrasikan di atas.

Partai politik perlu ditransformasikan untuk berfokus pada fungsi penjaringan isu. Pada saat yang sama, isu yang berhasil dijaring ini digunakan menyeleksi calon-calon pemimpin politik dengan melihat apa yang bisa ditawarkan oleh para kandidat untuk menjawab berbagai isu tersebut. Kemudian partai politik membawanya isu-isu tersebut ke dalam forum publik, seperti parlemen, untuk diperjuangkan menjadi bagian dari agenda kebijakan publik.

Sama seperti proses elite captured democracy, kegagalan partai politik dalam menjalan fungsi-fungsi ini dipandang sebagai sesuatu yang hampir bisa dipastikan akan terjadi dalam konteks Indonesia saat ini. Malahan, partai politik ini jugalah yang berkontribusi pada munculnya fenomena pembajakan demokrasi oleh elite, karena mekanisme pengkaderan dan kandidasi yang lebih mengedepankan kemampuan calon kader dan kandidat untuk mengakses sumber daya, yang berkorelasi positif dengan kemampuan kadernya melakukan vote buying.

Dalam situasi seperti ini, publik pemilih sebetulnya memainkan peran strategis untuk mendorong dan menggiring partai politik dan para politisi untuk menjalankan fungsi-fungsi seperti di atas. Namun demikian, untuk melakukan fungsi tersebut publik pemilih harus terlebih dahulu ditransformasikan menjadi publik warga negara atau demos. Padahal, transformasi semacam ini mensyarakat adanya partai politik yang memiliki kapasitas pengakaran – party rooting sementara sebagian besar partai politik yang ada telah terjebak dalam arus pragmatism yang dihasilkan oleh wrong mixture praktek demokrasi di Indonesia.

Hal ini tentunya memunculkan situasi dilematis ketika kita ingin mewujudkan democratic local governance. Dalam situasi dilematis seperti ini, committed agent menempati posisi yang strategis. Karena bagaimanapun juga, dalam pragmatism yang menjadi norma demokrasi di Indonesia saat ini masih banyak orang atau kelompok orang yang memlihat bahwa apa yang terjadi saat ini adalah suatu situasi yang pincang, yang menuntut solusi lebih dari sekedar perubahan aturan atau prosedur.

Page 14: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 14  

Kesempatan yang muncul dari situasi dilematis inilah yang diharapkan oleh penulis bisa dimainkan secara strategis oleh organisasi sosial seperti AMPI. Pemanfaatan peluang ini secara strategis diartikan sebagai kapasitas AMPI untuk memenangkan kompetisi politik dengan strategi baru yang sama sekali jauh dari pragmatisme politik dan praktek patronase dengan segala ikutnnya. Peta jalan yang bisa dimanfaatkan oleh organisasi sosial seperti AMPI akan dibahas di bagian kesimpulan berikut ini.

Generasi muda di Indonesia diidentikan sebagai kelompok pionir pembaharuan. Dalam narasi sejarah Indonesia, berbagai titik krusial yang menandai perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa selalu memposisikan pemuda sebagai penggagas ataupun penggeraknya. Organisasi sosial kepemudaan, seperti AMPI, tentunya diharapkan mewarisi semangat pembaharuan yang selama ini dilekatkan pada generasi muda tersebut.

Dalam situasi dilematis untuk mewujudkan democratic local governance, semangat dan peran pembaharu dari generasi muda itulah yang diharapkan dari organisasi sosial kepemudaan seperti AMPI. Lebih dari itu, jika AMPI ingin berkembang, justru harus sanggup mengantisipasi hal itu. AMPI harus membuktikan kemampuanya untuk menjadi pembaharu, sebagaimana tersurat dari namanya.

Dalam sejarahnya AMPI didirikan oleh cikal bakal dari sebuah rezim yang menguasai Indonesia selama lebih dari tiga dekade melalui sebuah system pemerintahan yang sangat terpusat. Dalam periode itu AMPI sempat sekedar menjadi instrumen dari penguasa, sehingga semangat pembaharuan yang diharapkan dari kepemudaan AMPI terpinggirkan oleh tuntutan melestarikan (lawan kata pembaharuan) kekuasaan. Karena itu, sebelum mengupayakan perubahan political setting seperti yang akan dikemukakan berikut ini, perlu disadari bahwa itu semua hanya mungkin dilakukan jika AMPI mampu mentransformasikan dirinya menjadi AMPI Baru. AMPI Baru ini adalah AMPI yang mampu mengekspresikan kembali semangat kepemudaan dan pembaharuan.

Posisi organisasi sosial kepemudaan sepertai AMPI sesungguhnya sangat strategis karena organisasi seperti ini menjadi salah satu supplier utama para pemimpin dari kalangan masyarakat sipil. Dalam hal ini posisi AMPI menjadi lebih strategi lagi karena adanya saluran yang membawa kader-kader yang dihasilkan AMPI masuk dalam kancah politik melalui Partai Golkar.

Dengan adanya pemuda-pemuda yang mendidik diri untuk menjadi politisi muda di dalam wadah AMPI inilah sebetulnya AMPI bisa memainkan peran strategis untuk mentransformasikan floating mass menjadi demos. Pemuda-pemuda ini nantinya akan menjadi politisi dan memegang kepemimpinan politik. Kalaulah mereka telah memiliki kesadaran sebagai bagian dari demos, tentunya mereka akan menjalankan praktek politik dengan cara tersebut. Pada gilirannya, mereka akan mengajak publik pemilih untuk melakukan praktek politik dalam kesadaran posisinya sebagai demos atau warga negara yang sadar akan haknya dan terlibat secara aktif dalam permasalahan publik. Dengan cara ini, politik biaya tinggi akan bisa direduksi sampai ke level minimal.

Perlu digarisbawahi bahwa politik murah di sini tidak berarti murahan. Malahan sesungguhnya politik yang dilakukan dalam kesadaran sebagai demos ini meminta biaya yang sangat tinggi karena investasi awal yang harus dilakukan tidak

Page 15: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 15  

hanya investasi finansial ekonomi. Lebih dari itu investasi yang dilakukan di sini adalah investasi sosial dan investasi politik. Mempersiapkan kader-kader muda calon politisi menjadi kader yang berkesadaran sebagai warga negara adalah sebuah investasi sosial ketika sebagian besar masyarakat yang lain masih berpikir dan bertindak dalam logika pragmatisme. Menjadikan mereka sebagai jagoan dalam kompetisi politik di tengah sistem politik yang pragmatis seperti sekarang ini adalah sebuah pertaruhan politik. Tetapi dari situlah pembaharuan itu diawali. Tidak melakukan ini sama saja mempertaruhkan semangat pembaharuan yang menjadi label generasi muda, termasuk AMPI.

Ukuran efektif tidaknya langkah pembaharuan yang dilakukan oleh generasi muda, khususnya dalam konteks AMPI, salah satunya bisa dilihat dalam kriteria elektabilitas yang menentukan menang/kalahnya seorang kader dalam kompetisi politik. Kompetisi politik ini tidak hanya dalam even yang disebut pilkada atau pemilu, tetapi juga proses kompetisi politik dalam internal AMPI maupun dalam internal partai politik.

Di internal organisasi dan partai politik, AMPI bisa memulai melembagakan nilai-nilai kewarganegaraan dan mengajak partai politik menang dengan cara baru untuk memenangkan pilkada dalam bingkai demokrasi yang bottom up. AMPI bisa memulai dengan skema mekanisme penentuan kepemimpinan dan kebijakan di internal organisasinya dan mendorong ini menjadi sebuah best practice untuk kemudian direkomendasikan untuk diadopsi oleh partai politik. Ini berarti kesadaran sebagai demos ini meluas tidak hanya menjadi aturan bersama bagi anggota AMPI tetapi juga aturan bersama bagi seluruh anggota partai politik. Dengan cara ini pula kader-kader AMPI bisa memaksimalkan elektabilitasnya untuk terpilih sebagai kader, atau kandidat, yang diusung partai politik karena mereka adalah produk utama dari sistem yang diadopsi oleh partai politik.

Di wilayah eksternal, jika suatu saat AMPI dan Golkar berhasil menang dengan cara baru ini, cepat atau lambat ini akan mentransformasi partai-partai politik lain dan pada akhirnya political set-up yang bekerja. Kemenangan dalam pemilu maupun pilkada tidak akan mengangkat nama si pemenang tetapi juga cara yang digunakan oleh si pemenang untuk meraih kemenangannya. Ketika nilai dan norma berbasis kesadaran demos ini berhasil diadopsi untuk meraih kemenangan bagi Golkar, sebagai partai politik cantolan AMPI, tentunya nilai dan norma tersebut akan diadopsi oleh yang partai politik lain yang juga ingin mengikuti jejak Golkar untuk memenangi pemilu atau pilkada. Ini akan menggiring pada perubahan perilaku yang pada gilirannya mendorong pada perubahan political setting.

Hal ini bahkan bisa dimulai ketika AMPI dan GOLKAR tidak berada dalam posisi sebagai bagian dari partai atau koalisi partai yang memerintah. Ketika AMPI maupun GOLKAR berperan sebagai oposisi, transformasi bisa dilakukan dengan mendiseminasikan kesadaran sebagai demos pada kadernya dan publik yang lebih luas, AMPI dan GOLKAR bisa menggalang pengembangan kapasitas kontrol publik warga negara dalam keterlibatan politik untuk mewujudkan democratic local governance, misal membatasi korupsi; menuntut transparansi proses kebijakan pemerintah di tingkat lokal.

Page 16: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 16  

Kapasitas diseminasi dan transformasi nilai ini mensyaratkan adanya kapasitas untuk memproduksi dan mereproduksi wacana yang kuat dari AMPI maupun GOLKAR. Untuk itu perlu dikembangkan suatu think tank di internal AMPI. Think tank ini tidak harus menjadi organ tersendiri, di mana hanya orang-orang yang termasuk didalamnya yang boleh ikut berwacana. Sebaliknya kapasitas memproduksi wacana ini harus tesebar secara merata di seluruh elemen AMPI dan GOLKAR. Kalaupun ada organ think tank tersendiri, tugasnya adalah menangkap isu yang bertebaran di publik, membawanya menjadi bahan diskusi dan perdebatan di internal AMPI maupun GOLKAR, dan mengelola pengetahuan yang dihasilkan dari perdebatan tersebut sebagai potensial input untuk pembuatan kebijakan.

Ketika kesadaran sebagai demos sudah terdiseminasi dan terlembaga dalam perilaku keseharian publik, perdebatan tentang model pilkada seperti apa yang lebih menjamin terpilihnya kepala daerah yang representatif menjadi lebih substantif dan tidak lagi berkutat di kisaran prosedur. Ini untuk menjaga agar kita tidak lagi terjebak dalam kesalahan wrong-mixture sebagaimana ditunjukkan oleh hasil refleksi atas pengalaman Indonesia mempraktekkan dua model tersebut. Karena jika yang ingin dicapai adalah tata pemerintahan yang demokratis, yang dibutuhkan adalah transformasi yang lebih subtantif, yaitu transformasi tata nilai dan perilaku yang menstruktur cara berpikir dan berperilaku dari publik yang hendak berdemokrasi tersebut.

Demikianlah evaluasi terhadap dua model pilkada yang saya tuangkan dalam makalah ini. Saya harap, pemikiran yang ada di sini bermanfaat bagi terwujudnya cita-cita kita bersama akan Indonesia yang lebih adil dan demokratis dan AMPI serta GOLKAR mampu memainkan peran yang krusial dan positif didalamnya. D. KESIMPULAN

Evaluasi yang diselenggarakan dalam telaah ini menunjukkan bahwa kita

telah menyerahan nasib publik ditangan para ahli yang menguasai peraturan perundang-undangan. Agenda reformasi, termasuk didalamnya agenda electoral reform atau electoral engeenering kita biarkan menjadi praktikum ilmiah para ahli. kondisi yang diidealkan para ahli tidak kunjung terwujud karena kita, secara diam-diam, ternyata sanggup menggagalkanya dengan tidak memenuhi kualifikasi yang, seharusnya dipersyaratkan oleh para reformer atupun engeener. Para pakar electoral engeenering sepertinya berbaiksangka, bahwa kita dapat mengidentifikasi kesalahan-kesalahan yang kira perbuat manakala aturan main berkompetisi menjala kepala daerah mereka ubah, lalu dikukuhkan oleh para wakil rakyat. Tapi nyatanya, selama ini kita tidak melakukannya. Apakah kita harus minta kepada electoral engeeners dan electoral reformers untuk membenturkan kita pada kesalahan lama secara berulang-ulang ? Tidak !

Page 17: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 17  

Apapun model pemilihan kepala daerah yang diberlakukan, stock pemimpin yang berkualitas harus diperbaiki dan diperbanyak. Yang jelas, praktek demokrasi yang mensyaratkan kompetisi diantara para kandidat akan membentuk elitisme, yang tidak lain adalah cacat bawaan demokrasi liberal.10 Elitlah yang pada gilirannya memanfaatkan demokrasi secara lebih maksimal. Sehubungan dengan santernya wacana untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke model lama, model pemilihan tidak langsung, hal ini dapat dibaca sebagai upaya untuk menekan biasa pemenangan, namun sama sekali tidak menjamin terwujudnya demokrasi lokal.

Agar peluang elite untuk mencurangi massa bisa ditekan, maka pengembangan demos adalah keniscayaan. Tanpa itu, demokrasi akan menjadi formalisme untuk penyembunyian dominasi elit. Ini adalah amanat yang harus diemban oleh organisasi politik dan kemasyarakatan, tidak terkecuali AMPI. Hal ini tidak harus memnjadi beban sepihak kalau AMPI dan organisasi sejenis sanggup memperlakukannya sebagai peluang untuk menang sambil memperbaiki demokrasi kita.

Selamat berjuang. Selamat merebut kemenangan dengan cara baru !

                                                                                                                         10 Thomas R. Dye, Harmon Ziegler, Late; The Irony of Democracy: An

Uncommon Introduction to American Politics, Wadsworth Cengage Learning, Forteenth Edition, 2009.

Page 18: Mengevaluasi pilkada _mempersiapkan_kemenangan_dengan_cara_baru

Purwo Santoso 18  

BIBLIOGRAPHY

Erb, Maribeth dan Priyambudi Sulistiyanto, 2009, Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leader (PILKADA), Singapore: ISEAS Publishing, p.190

Dye, Thomas R., Harmon Ziegler, Late; The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Wadsworth Cengage Learning, Fourteenth Edition, 2009.

Nordholt, Henk Schulte et.al. (eds.), 2007, Politik Lokal di Indonesia – (translated from Renegotiating Boundaries, local politics in post-Soeharto Indonesia by Bernard Hidayat), Jakarta: YOI and KITLV

Robison, Richard and Vedi R. Hadiz, 2004, Reorganising Power in Indonesia: the Politics of Oligarchy in the Age of Market, Routledge;

Samadi, W.P. dan Nicolaas Warouw, “A Decade of Reformasi: Unsteady Democratisation” dalam Journal PCD Publication Online - Volume Volume I Number 1-2 (Double Issues), Published by Power, Conflict and Democracy Publishing, http://www.pcd.ugm.ac.id/pcd6Maret09/ index.php?mod=detailc&content_id=3&volume_id=1; Nov 3, 2011, 11:13am

Tornquist, Olle; Stanley Adi Prasetyo and Teresa Birks (eds.), 2011, Aceh: the Role for Peace and Reconstruction, Yogyakarta: PCD Press – CESSAS UGM.