Mengenal masyarakat tengger

35
Mengenal Masyarakat Tengger Mengenal Masyarakat Tengger Keadaan Geografis Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, masih aktif mengeluarkan asap yang menggelembung ke angkasa. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m. Keadaan Tanah dan Tanam-tanaman Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena, dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon cemara sampai 3000 m di lereng Gunung Semeru. Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan yang tinggi, pohon elfin dan pohon cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian terutama adalah kentang, kubis, ubi ketela, jagung dsb. Jenis Hewan Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu dan kambing. Jenis binatang lainnya adalah babi hutan (sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak muntiacus), dan berkembang pula jenis macam tutul (panthera pardus), terdapat pula species burung, misalnya burung air. Iklim dan Cuaca Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Mei- Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November-April, dengan persentase 20 hari/lebih hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara berubah-ubah, tergantung ketinggian, antara 3º - 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam hari terasa dingin. Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada musim hujan. Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah perkampungan, kabut mulai menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi hari sebelum fajar menyingsing. Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan distribusi sebagai berikut: petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang

description

Data2 tugas laporan sejarah n sosio komplit.

Transcript of Mengenal masyarakat tengger

Page 1: Mengenal masyarakat tengger

Mengenal Masyarakat Tengger

Mengenal Masyarakat Tengger

Keadaan Geografis

Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat,

di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat

kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya

bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang

terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo,

dengan ketinggian 2392 m, masih aktif mengeluarkan asap yang menggelembung ke angkasa. Di

sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.

Keadaan Tanah dan Tanam-tanaman

Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur. Tanaman keras

yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena,

dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon

cemara sampai 3000 m di lereng Gunung Semeru. Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan

yang tinggi, pohon elfin dan pohon cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian terutama adalah

kentang, kubis, ubi ketela, jagung dsb.

Jenis Hewan

Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu dan kambing. Jenis binatang lainnya

adalah babi hutan (sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak muntiacus),

dan berkembang pula jenis macam tutul (panthera pardus), terdapat pula species burung,

misalnya burung air.

Iklim dan Cuaca

Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Mei-

Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan

November-April, dengan persentase 20 hari/lebih hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara

berubah-ubah, tergantung ketinggian, antara 3º - 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban

udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam hari terasa

dingin. Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada musim hujan.

Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah perkampungan, kabut mulai

menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi

hari sebelum fajar menyingsing.

Penduduk dan Mata Pencaharian

Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan

distribusi sebagai berikut: petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang

Page 2: Mengenal masyarakat tengger

(8,16%), karyawan dan ABRI 1.595 orang (1,24%), pedagang 3.009 orang (2,38%),

pengrajin/industri kecil 343 orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang (50,05%).

Penduduk masyarakat Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit-bukit

mendekati lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan tadah

hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan tetapi saat ini

sudah berubah. Pada musim hujan mereka menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan

wortel sebagai tanaman perdagangan. Pada penghujung akhir musim hujan mereka menanam

jagung sebagai cadangan makanan pokok.

Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat perkembangan penduduk Tengger tergolong

lambat. Sejarah perkembangan masyarakat Tengger tidak diketahui dengan jelas, kecuali secara

samar sebagai hasil penelitian Nancy (1985).

Sejarah dan Legenda

Pengertian Tengger

Ditinjau dari arti etimologisnya tengger berarti „berdiri tegak‟, diam tanpa bergerak (Jawa).

Sedangkan bila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, Tengger

diartikan sebagai tengering budhi luhur (Jawa), Tengger berarti tanda atau ciri yang memberikan

sifat khusus pada sesuatu. Dengan kata lain tengger dapat berarti „sifat-sifat budi pekerti luhur‟.

Arti yang kedua adalah „daerah pegunungan‟, yang memang tepat dengan keadaan sebenarnya

bahwa masyarakat Tengger berada pada lereng-lereng pegunungan Tengger dan Semeru.

Arti kata tengger juga dapat dianalisis dari mitos masyarakat Tengger, tentang suami istri

sebagai cikal bakal atau yang pertama menghuni daerah itu, yaitu Roro Anteng, dan Joko Seger.

Dalam legenda, suami istri tersebut mempunyai 25 anak, yang salah satunya dikorbankan

sebagai tumbal dengan masuk ke dalam kawah Gunung Bromo yakni Kusuma demi keselamatan

saudara-saudaranya. Tengger merupakan singkatan dari kata teng dari asal kata anteng dan ger

dari kata seger. Anteng mengandung arti sifat tidak banyak tingkah, dan tidak mudah terusik.

Makna dari istilah tersebut tercermin pula pada kenyataan bahwa masyarakat Tengger

hidup sederhana, tenteram dan damai, bergotong-royong, bertoleransi tinggi, serta suka bekerja

keras. Mereka bekerja di ladang dari pagi sampai petang, bahkan sehari penuh tidak pulang ke

rumahnya, kecuali pada malam hari.

Digambarkan oleh Suprijono (1992), masyarakat Tengger adalah rakyat yang patuh pada

pimpinan (sabda pandita ratu); taat melaksanakan tradisi seperti : selamatan perayaan hari besar

dan upacara adat; selalu memakai sarung jika berada di kawasan gunung Bromo; kontak sosial

antar tetangga dilakukan secara langsung; kepercayaan kepada benda-benda gaib, tempat-tempat

keramat dan roh halus masih sangat kuat.

Sifat pergaulan masyarakat Tengger komunal, dalam arti hubungan batin antar-warga

adalah erat, dan sikap serta tindakan untuk saling menolong sesama warga dilakukan baik antar-

tetangga maupun antar-kerabatnya. Sikap tolong-menolong itu terwujud pada kegiatan bercocok

tanam, mendirikan rumah, hajat keluarga, mengatasi bencana alam, dsb.

Page 3: Mengenal masyarakat tengger

Sejarah Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger memiliki sifat khas, beragama Hindu-Budha yang terpadu dengan

adat kepercayaan tradisional. Masyarakat Tengger tergolong masih bersifat tradisional, dalam

arti masih mampu mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Hingga sekarang, pada umumnya

mereka hidup sangat sederhana, penuh dengan suasana kedamaian sebagai rakyat petani di

lereng-lereng pegunungan yang curam, namun secara bertahap telah ikut menikmati hasil

kemajuan teknologi modern dalam batas-batas tertentu.

Tengger pada zaman Majapahit

Sejak awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui sebagai tanah suci.

Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan disebut hulun (abdi) dari Sang

Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari prasasti Tengger yang pertama ditemukan

berasal dari abad ke-10. Prasasti itu berangka tahun 851 Saka (929 Masehi) dan menyebutkan

bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci

karena dihuni oleh hulun. Hal ini diperkuat pula dengan prasasti berangka tahun 1327 Saka

(1405 M) yang ditemukan di daerah Penanjakan (desa Wonokitri). Prasasti ini menyatakan

bahwa desa Walandit dihuni oleh hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu disebut

hila-hila (suci) (Hefner, 1985:26). Oleh karenanya, desa tersebut dibebaskan dari pembayaran

pajak.

Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama Hindu. Hal ini tampak

pula dalam hubungan antara nama Bromo dengan dewa Brahma dalam agama Hindu. Gunung

Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai

Dewa Brahma dan digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke

Kahyangan. Sedangkan lautan pasir (segara wedhi) digambarkan sebagai jalan lintasan bagi

arwah manusia dalam perjalanan penyucian sebelum bisa naik ke Kahyangan.

Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat dengan kerajaan

Majapahit. Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat upacara agama yang berasal dari

zaman kerajaan Majapahit, yang sampai saat ini masih dipakai oleh para Pandita Tengger. Alat-

alat itu antara lain prasen „tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari dewa dan

zodiak agama Hindu‟.

Sebagian besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka di antara 1243 dan

1352. Saat itu adalah masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kenyataan ini diperkuat pula dengan

pengakuan penduduk masyarakat Tengger yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan

Majapahit. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit antara lain adalah baju antrakusuma,

sampet dsb. Demikian pula menurut naskah yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang

berangka tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang dihadiahkan

kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton Majapahit.

Page 4: Mengenal masyarakat tengger

Tengger dari Abad ke-16 sampai ke-18

Keadaan daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena kurangnya informasi

mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha (Nancy) diberitakan adanya seorang guru

agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit. Namun, karena kegagalannya keraton-

keraton yang dulu terletak di bawah pegunungan Tengger dibongkar dan penghuninya diusir.

Pada awal abad ke-17 situasi politik di pulau Jawa berubah, dengan adanya perpindahan pusat

kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari

Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan

pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal Blambangan, mereka lewat

pegunungan Tengger dan merusahkan keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke

Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya

dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680M, sewaktu Trunajaya gagal memberontak

melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke timur. Kemudian ia dibantu oleh orang

Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan Pasukan Belanda, setelah

terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan dibantu oleh orang-orang Tengger.

Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.

Tengger pada Abad ke-19

Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki daerah Tengger

untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1785 didirikan sebagai pesanggrahan

di Tosari, dan di daerah ini mulai ditanam sayur-mayur dari Eropa dan Amerika. Para pengamat

Belanda itu memperhatikan tradisi Tengger, dan memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger

bebas dari kejahatan, bebas dari candu; rakyat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka

pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu.

Situasi politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan

sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai memadat. Para penghuni baru mulai

berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat terjadi perlawanan Diponegoro terhadap

pasukan Belanda, yang akhirnya dapat dipatahkan, sebagian sisa pasukan Diponegoro lari ke

timur dan menghuni daerah sekitar pegunungan Tengger. Sebagai akibatnya, daerah dataran

sekitar Tengger dihuni oleh pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger

asli.

Tengger Sesudah Tahun 1945

Peran masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi

kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas. Seperti diungkapkan

oleh Nancy, menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan

mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Majapahit. Agama yang dipeluk

pada waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak

jelas. Kemudian sejak tahun 1973 mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk

agama Hindu Dharma.

Page 5: Mengenal masyarakat tengger

Legenda

Asal Mula Nama Tengger

Pada zaman dahulu ada seorang putri dari Raja Brawijaya dengan permaisuri Kerajaan

Majapahit, yang cantik jelita, bernama Roro Anteng. Pada waktu itu keadaan kerajaan yang

tenteram, sejahtera dan damai, mengalami perubahan situasi memburuk. Atas nasihat dan saran

dan para pini sepuh kerajaan, Roro Anteng disuruh mencari tempat yang lebih aman, tenteram

dan damai, daripada hidup di kerajaan. Ia dengan para punggawanya pergi ke pegunungan

Tengger. Di desa Krajan ia singgah selama satu windu.

Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke desa Pananjakan dan menetap di desa itu serta

mulai bercocok tanam. Di tengah pegunungan dekat gunung Bromo ada seorang pendeta

bernama Resi Dadap Putih, yang berasal dari sekitar Majapahit. Ia bertemu dengan Roro Anteng

yang datang dari Majapahit dan sedang mencari ayahnya. Roro Anteng kemudian diangkat

menjadi anak oleh Rsi Dadap Putih. Keduanya hidup berbahagia.

Sementara itu Kediri juga dalam keadaan kacau, sebagai akibat dari situasi politik di

Majapahit. Joko Seger, putra seorang Brahmana, mengasingkan din ke desa Keduwung sambil

mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini Joko Seger mendapatkan

informasi dan penduduk bahwa ada sejumlah orang dan Majapahit yang menetap di Pananjakan.

Joko Seger kemudian meneruskan perjalanan sampai ke desa Pananjakan.

Pada suatu hari, sewaktu pergi mencari air, Roro Anteng bertemu dengan Joko Seger yang

minta tolong karena tersesat. Roro Anteng menolong dan mengajaknya pulang ke pondoknya.

Sesampai di rumah, Roro Anteng dituduh oleh para pini sepuhnya telah berbuat serong dengan

lelaki yang diajaknya pulang itu. Joko Seger membelanya dan mengatakan bahwa hal itu tidak

benar, sekaligus mengutarakan ingin melamar gadis itu. Lamaran itu diterima. Adapun yang

bertindak sebagai pengesah perkawinan sesuai dengan agama mereka adalah Resi Dadap Putih.

Meskipun perkawinan Joko Seger dengan Roro Anteng sudah berusia sewindu, namun

mereka belum juga dikaruniai anak. Mereka bersemedi (bertapa) selama 6 tahun dan setiap tahun

berganti arah. Pertama kali mereka bertapa dengan menghadap ke timur, kemudian ke selatan, ke

barat dan ke utara, ke bawah dan ke atas. Setelah semedi mereka ditanggapi oleh Sang Hyang

Widhi Wasa, dari puncak gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian menyusup ke

dalam jiwa Roro Anteng dan Joko Seger. Seketika ada getaran berupa wisik yang berisi

dikabulkan permohonan mereka, dengan janji bahwa anak bungsunya harus dikorbankan ke

kawah gunung Bromo. Setelah itu mereka berdua pulang ke pondoknya dan hidup dalam

keadaan aman, tenteram, damai dan sejahtera. Mereka kemudian dikaruniai putra 25 orang.

Putra sebanyak 25 orang itu memang merupakan hasil permohonan suami istri itu,

mengingat penduduk di Tengger pada saat itu sangat sedikit. Bertahun-tahun kemudian gunung

Bromo bergoncang dan mengeluarkan semburan api, sebagai isyarat bahwa sudah saatnya janji

mereka ditepati. Suami istri itu ingat akan janji mereka, namun mereka tidak rela mengorbankan

salah seorang anaknya, Putra bungsu, yang bernama R. Kusuma, disembunyikan oleh orang

tuanya di suatu tempat sekitar desa Ngadas.

Page 6: Mengenal masyarakat tengger

Namun, semburan api itu sampai juga di tempat tersebut dan Raden R. Kusuma pun

tertarik ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara yang ditujukan kepada saudara-

saudaranya supaya selalu hidup rukun. Ia rela sebagai wakil dari saudara-saudaranya dan

masyarakat setempat untuk berkorban demi kesejahteraan dan kedamaian orang tua dan saudara-

saudaranya. Ia berpesan pula bahwa setiap tanggal 14 Kasada minta upeti hasil bumi. Cerita lain

menunjukkan bahwa saudara-saudara R. Kusuma pun dianggap sebagai penjaga atau baureksa

tempat-tempat lainnya.

Demikianlah cerita rakyat tentang asal mula nama Tengger, yaitu paduan dari nama Roro

Anteng dan Joko Seger. Cerita itu juga berisi pesan teladan yang baik bagi masyarakat, agar

mereka mau dan berani berkorban demi kesejahteraan, kedamaian, dan ketenteraman hidup anak

cucu dan keturunannya serta masyarakat. Di samping itu diharapkan pula manusia harus selalu

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dongeng Terjadinya Pegunungan di Kawasan Tengger

Kecantikan dan keluhuran budi Roro Anteng terkenal luas, dianggap sebagai titisan Dewi,

sehingga banyak berdatangan orang yang ingin melamarnya. Salah seorang pelamar berwatak

raksasa (buta) bernama Kyai Bima, Dia adalah seorang penjahat ulung dan sakti. Roro Anteng

tidak dapat menolak begitu saja lamaran itu, maka ia menerimanya dengan syarat, Kyai Bima

harus membuatkan lautan di atas gunung dan selesai dalam waktu satu malam.

Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah untuk

membuat lautan dengan menggunakan tempurung (bathok) yang bekasnya sekarang menjadi

Gunung Batok, dan lautan pasir (segara wedhi) terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo.

Untuk mengairi lautan dibuatkan sumur raksasa yang saat ini bekasnya menjadi kawah Gunung

Bromo. Dengan rasa cemas Roro Anteng melihat kesaktian Kyai Bima yang hampir dapat

menyelesaikan pernyataannya. Roro Anteng mulai gelisah lalu ia berusaha menggagalkan

pekerjaan Kyai Bima dengan menumbuk jagung seolah-olah fajar sudah akan menyingsing,

meskipun sebenarnya hari masih malam.

Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bersahutan seakan-akan fajar

sudah menyingsing. Mendengar kicauan burung-burung itu Kyai Bima terkejut. Disangkanya

fajar telah menyingsing, padahal pekerjaannya belum selesai. Dengan sangat menyesal Kyai

Bima meninggalkan bukit Penanjakan karena merasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya

sebagai syarat pinangannya.

Tanda bekas hasil karya Kyai Bima seperti diceritakan dalam legenda itu adalah : (1)

segara wedhi, berupa hamparan pasir di bawah Gunung Bromo; (2) Gunung Batok, sebuah bukit

yang terletak di sebelah selatan Gunung Bromo, yang berbentuk seperti tempurung yang

ditengkurapkan; (3) gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger; yaitu : Gunung Pundak-

lembu, Gunung Ringgit, Gunung Lingga, Gunung Gendera, dan lain-lain.

Page 7: Mengenal masyarakat tengger

Aji Saka

Pada zaman dahulu (abad pertama Masehi?), ada seorang pengembara sakti bernama Saka

ke bumi Nusantara. Ia adalah seorang anak muda yang baru saja menyelesaikan pelajaran tentang

kesusastraan di sebuah padepokan, yang dipimpin oleh seorang Resi. Ia mengembara bersama

dua orang muridnya, yaitu Dora dan Sembada.

Perjalanan mereka sangat panjang dan melalui hutan belantara. Dalam perjalanan mereka

sudah singgah di tempat-tempat suci dan keramat. Atas pengalamannya itu, mereka menjadi

sakti. Akhirnya sampailah mereka di sebuah pulau bernama Majesti. Lingkungan alam pulau itu

sangat indah dan membuat mereka terpesona. Karena perjalanan masih panjang dan bawaan

mereka cukup berharga dan jumlahnya banyak, maka Saka mengadakan undian untuk

menentukan siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Yang mendapat tugas untuk

menjaga adalah Dora. Sebelum berangkat, Saka meninggalkan sebuah keris yang diberi nama

Sarutama, dengan sebuah pesan agar jangan diberikan kepada siapa pun kecuali kepada Saka.

Saka bersama Sembada meneruskan perjalanan. Akhirnya sampailah mereka di Pulau

Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang sudab tua dan tidak mempunyai anak. Saka

dan Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat menjadi anak. Di Medang, tempat mereka

tinggal, ada seorang raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan buruk,

yaitu makan daging manusia setiap hari.

Pada suatu hari tibalah giliran bagi orang tua angkat Saka untuk mengirimkan seorang

korban. Oleh karena keluarga itu tidak mempunyai anak, maka sang Ibu yang menjadi korban.

Saka mendengar berita buruk itu dan ia bersedia menjadi penggantinya. Berangkatlah ia ke

Medang untuk menjadi korban, disertai doa oleh kedua orangtua angkatnya agar dapat

mengalahkan Dewata Cengkar.

Sesampai di Medang Saka diterima oleh patih dan diantar kepada Dewata Cengkar.

Melihat pemuda tampan dan cukup sehat itu, Dewata Cengkar sangat senang dan segera ingin

memakannya. Sebelum dijadikan korban Saka minta agar kedua orang tua angkatnya diberi

tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan oleh rakyatnya. Permintaan itu

dikabulkan. Maka digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak orang. Ikat kepala

Saka digelar dengan dibuka lipatannya. Ternyata lipatan itu tidak habis-habisnya, sehingga

akhirnya sampai di tepi laut selatan. Dewata Cengkar terus tergiring oleh penggelaran ikat kepala

itu. Akhirnya sampailah ia pada sebuah tebing, dan terjatuhlah ia ke laut.

Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang diperintah oleh Saka dengan gelar Aji Saka.

Rakyat merasa hidup tenteram, aman dan sejahtera. Pada suatu hari Saka ingat pada muridnya

yang menjaga keris dan barang-barang berharga miliknya di Pulau Majesti. Ia mengutus

Sembada untuk mengambil keris dan barang-barangnya itu dan Dora.

Sesampai di Pulau Majesti, Sembada bertemu dengan Dora. Mereka sangat senang dan

berbahagia, saling berpelukan untuk menyatakan rindunya. Kemudian Sembada mengatakan

bahwa kedatangannya atas utusan Saka, yang sekarang menjadi raja di Medang, untuk

mengambil keris yang dititipkan kepada Dora. Namun Dora menolak memberikannya,

sebagaimana pesan Saka bahwa tidak boleh diambil oleh siapa pun kecuali oleh Saka sendiri.

Keduanya bertengkar dan tidak ada yang mengalah untuk menyatakan kebenaran pesan yang

Page 8: Mengenal masyarakat tengger

diterima. Terjadilah perkelahian antara keduanya untuk memperebutkan pusaka Sarutama.

Kedua saling memukul saling menusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Kedua sama kuat dan

sama Jayanya, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Akhirnya keduanya mati

bersama. Anehnya setelah mati Dora roboh ke barat, dan Sembada roboh ke timur.

Setelah lama ditunggu dan kedua muridnya tidak datang, maka Aji Saka sendiri menuju ke

tempat Dora di Pulau Majesti. Setiba di Majesti diketahuinya bahwa kedua orang utusannya telah

meninggal dengan bekas tusukan pusaka Sarutama. Melihat kenyataan tersebut Prabu Aji Saka

tergerak hatinya untuk memperingati pengabdian kedua muridnya dengan menciptakan Aksara

Jawa, yang berbunyi: HA-NA CA-RA-KA ada utusan DA-TA SA-WA-LA: saling bertengkar

PA-DHA JA-YA-NYA : sama-sama berjaya (kuat dan sakti) MA-GA BA-THA-NGA : mereka

menjadi bangkai.

Klambi Antrakusuma

Ada dua orang, bernama mbah Tunggak dan mbah Tampa, bertapa di gua Purwana,

sebelah timur pedukuhan Baledono. Pada waktu tengah malam mereka melihat sebentuk benda

terbang di angkasa. Benda itu diikutinya dan akhirnya turun di Tunggul Wulung, kurang lebih

sejauh 1 km dari Tosari ke arah Ngadiwono. Benda itu berhasil dipegang, tetapi kemudian lepas

dan terbang kembali. Pertapa itu terus mengikutinya sampai akhirnya benda itu turun di Cemara

Gading, jurusan Kaliteja, dan dipegang kembali. Ternyata benda itu berupa klambi antakusuma.

Pada saat itu terdengar suara yang mengatakan : “aku gelem digawe, ning rumaten sing apik”

(saya boleh dipakai, tetapi peliharalah baik-baik). Namun sekarang benda itu sudah tidak ada

lagi. Konon katanya telah dijual orang-orang dukun Tosari, yang bernama Pak Kamar, kepada

orang Belanda. Dan sewaktu meninggal dunia, badan Pak Kamar hancur membusuk dalam

waktu singkat.

Selain disebut sebagai antrakusuma, benda ini kadang-kadang disebut juga sebagai

antakusuma. Istilah antakusuma dipergunakan di wilayah Kabupaten Probolinggo, seperti

Ngadas, Ngadisari, dan Sukapura. Sedangkan istilah antrakusuma dipakai di wilayah Kabupaten

Pasuruan, seperti di Tosari, Wanakitri, Sedaeng dan Ngadiwono.

Page 9: Mengenal masyarakat tengger

Beberapa Peninggalan Nenek Moyang Tengger

Legenda

Ketiga legenda tersebut di atas oleh masyarakat Tengger dihafal, terutama oleh para dukun

sebagai pemegang dan kepala adat. Khususnya legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger,

selalu diceriterakan pada setiap upacara perayaan Kasada. Legenda tentang Aji Saka dikaitkan

dengan upacara Karo, sebagai contoh tentang kehidupan dan untuk manusia kembali kepada sifat

dan sikap kejujurannya, yaitu pada zaman „Satya Yoga‟. Pada waktu itu penduduk masih sangat

sedikit, sehingga hidup manusia masih serba kecukupan, makmur dan sejahtera.

Jimat Klonthongan

Jimat klonthongan merupakan benda warisan nenek moyang berisi gayung, sarak, sodar,

tumbu, cepel, sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang logam. Setiap desa memiliki

uang logam tersebut yang digunakan dalam melaksanakan upacara Sodoran, sedangkan jimat

klonthongan itu disimpan secara bergilir.

Lontar (keropak)

Di Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa lama,

yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya. Lontar tersebut saat ini disimpan oleh P.

Rusma di Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. (Mantra purwa bhumi,

yang dipakai sebagai salah satu data dalam penelitian ini, merupakan salah satu isi dan lontar

tersebut).

Penghitungan Tahun Saka

Untuk pelaksanaan beberapa upacara penting, masyarakat Tengger menggunakan

perhitungan kalender tersendiri, yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa.

Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1 (sepisan) sasih kedhasa (bulan

ke sepuluh), yaitu sehari setelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam

Tahun Masehi (Supriyono, 1992). Cara menghitungnya dengan rumus : tiap bulan berlangsung

30 hari, sehingga dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk wuku dan hari pasaran

tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus disatukan

dan akan terjadi pengurangan jumlah hari pada tiap tahunnya. Untuk melengkapi atau

menyempurnakannya diadakan perhitungan kembali setiap lima tahun, atau satu windu tahun

wuku. Pada waktu itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-

unan, yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya,

yaitu bulan Dhesta atau bulan ke-sebelas.

Page 10: Mengenal masyarakat tengger

Agama, Adat dan Kepercayaan

Agama dan Kepercayaan

Seperti penjelasan sebelumnya, sebelum tahun 1973 masih belum jelas agama yang dianut

masyarakat Tengger, kecuali mereka secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat, antara

lain: “Upacara Kasada, Karo, Entas-entas, Unan-unan, dan beberapa upacara lainnya yang

bersifat tradisional. Mereka masih belum melaksanakan ibadah agama sebagaimana ditentukan

oleh agama-agama besar. Sejak tahun 1973 pembinaan agama mulai dilaksanakan.

Menurut kepercayaan dari Parisada Jawa Timur, masyarakat Tengger digolongkan

pemeluk agama Budha Mahayana dengan surat keputusan No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73,

tanggal 6 Maret 1973. Namun demikian, ditilik dari cara ibadah dan upacara keagamaannya,

agama tersebut kurang menunjukkan tanda sifat ke-Budha-annya, kecuali pada setiap mantra

yang dimulai dengan kata Hong, yang biasanya dipakai oleh masyarakat Tengger sebagai

berikut:

“Abdi dalem sangep sumpah pandamelan ingkang kapasrahaken, lan andadosaken apisir,

nindakaken penimbangan ingkang kalayan leres, pendamelan-pendamelan ingkang katekakaken

miturut dateng agami BUDA sarana lisan, inggih punika damel jawab ingkang leres, tampia bra

utami boten, kenging dhateng sepinten kemawon”.

Upacara adat yang dilaksanakan menunjukkan adanya salah satu upacara agama Hindu,

yaitu Galungan. Di samping itu sejumlah mantra yang biasa diucapkan pada setiap upacara adat

banyak mengandung ajaran agama Hindu. Akhirnya, oleh pembina keagamaan, ditetapkan

bahwa masyarakat Tengger beragama Hindu.

Adat kepercayaan masyarakat Tengger tercermin pada cerita rakyat di kalangan

masyarakat itu, berupa legenda yang berkaitan dengan Gunung Bromo dan Semeru. Kedua

tempat mi dianggap sebagai tempat suci dalam melaksanakan upacara keagamaan. Tempat suci

yang utama adalah pada Segara Wedhi (lautan pasir). Di samping itu, ada beberapa tempat di

bawah pohon-pohon besar yang biasa untuk tempat sesajen. Segara Wedhi digunakan untuk

upacara besar Kasada tiap tahun sekali.

Daerah Tengger dianggap sebagai tempat suci. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya

prasasti Tengger dari awal abad ke-10. Prasasti itu terbuat dari batu dan bertahun Saka 851

(tahun 929 Masehi), serta menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di

pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewa-dewi

agama Hindu (Nancy).

Tempat ibadah yang utama ialah di sanggar pamujan, atau di rumah mereka sendiri. Baru

setelah ada pembinaan, tuntunan oleh Parisada, maka didirikan pura tempat pemujaan, seperti

halnya di Bali. Pura itu sampai sekarang masih dalam pengembangan, dan masih memerlukan

waktu lama untuk menyempurnakannya (di Wonokitri 1991).

Agama masyarakat Tengger sebenarnya dianggap cenderung kepada agama Budha

Mahayana, meskipun bila ditinjau dari cara beribadah dan kepercayaannya lebih merupakan

perpaduan antara agama Hindu, Budha dan kepercayaan tradisional. Untuk tetap mempersatukan

Page 11: Mengenal masyarakat tengger

masyarakat Tengger, pada tahun 1973 oleh para sesepuhnya diadakan musyawarah di balai desa

Ngadisari (Probolinggo). Pada kesempatan itu mereka menetapkan diri memeluk agama Hindu

dan secara khusus melestarikan ucapan Hong, seperti terdapat pada setiap permulaan mantra

tradisionalnya, sebagai permulaan salam. Salam khusus yang disetujui berbunyi Hong ulun

basuki langgeng yang berarti: “Semoga Tuhan tetap memberikan keselamatan atau kemakmuran

yang kekal abadi kepada kita”.

Pada dasarnya mereka menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa yang diberi nama Sang

Hyang Widhi Wasa. Sebelum diadakan pembinaan agama, masyarakat Tengger menamakan

Tuhan dengan sebutan Gusti, atau Gusti Ingkang Maha Agung.

Secara resmi sejak tahun 1973 masuklah agama Hindu Dharma di wilayah Tengger, dan

salam agama Hindu Om swasti astu. Dewasa ini telah diajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa seperti tersebut berikut ini, yaitu : Panca Sradha.

1) Percaya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan pencipta alam.

2) Percaya adanya Atma (n) yaitu roh leluhur atau rohnya sendiri.

3) Percaya adanya karmapala, yaitu hukum sebab-akibat. Kepercayaan pada karma pala ini

merupakan inti ajaran agama Hindu maupun agama Budha, bahwa semua perbuatan manusia itu

pasti terikat pada hukum sebab-akibat. Setiap perbuatan pasti ada ak

ibatnya, yang akan dialami oleh manusia baik sekarang maupun pada hidup yang akan datang.

4) Percaya pada punarbawa (reinkarnasi). Kepercayaan ini adalah dan agama Hindu dan Budha,

bahwa manusia itu terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengandharma hidup

sebelumnya.

5) Percaya pada moksa (sirna), yaitu bahwa apabila manusia telah mencapai moksa tidak akan

terikat kembali pada punarbawa. Mereka akan berada pada tempat kedamaian abadi.

Peranan Dukun

Dukun merupakan pimpinan masyarakat yang berperan memimpin upacara keagamaan.

Kedudukan dukun lebih tinggi daripada modin dalam agama Islam, namun lebih rendah dari

pedanda dalam masyarakat Bali. Di Tengger dahulu ada 36 orang dukun. Satu di antaranya

menjadi kepala dukun pandita yang memberi arahan serta petunjuk atau nasihat bagi para dukun

lainnya.

Dukun dipilih melalui musyawarah desa, diseleksi melalui ujian, serta diangkat oleh

pemerintah. Dukun berfungsi memimpin upacara keagamaan dan dibantu oleh legen. Pada waktu

memimpin upacara keagamaan, dukun mengenakan baju antrakusuma atau rasukan dukun

dengan ikat kepala dan selempang, serta dilengkapi dengan alat-alat upacara seperti : prasen,

genta, dan talam.

Syarat menjadi dukun antara lain adalah : (1) berkemampuan, tekun, mampu menggali

legenda, memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi; (2) disetujui oleh

masyarakat melalui musyawarah; dan (3) diangkat oleh pemerintah.

Untuk memperkuat karisma dan wibawa, seorang dukun diwajibkan menjalankan laku

tertentu. Pada setiap bulan ketujuh dukun diharuskan melakukan mutih, yaitu selama satu bulan

tidak makan garam, gula, dan tidak kumpul dengan istri. Kerja sehari-hari tetap dilaksanakan,

Page 12: Mengenal masyarakat tengger

hanya dibatasi waktunya supaya tidak terlalu lelah. Laku mutih ini diibaratkan sebagai pengasah

kemampuan batiniah yang bersifat spiritual. Diibaratkan seperti pisau, untuk menjadi tajam harus

diasah. Laku mutih ini bukan untuk setiap orang, dalam arti bahwa orang-orang yang bukan

dukun tidak harus melakukannya.

Untuk dapat menjadi dukun diharuskan menguasai adat dan mantra-mantra yang dibaca

atau diucapkan pada berbagai upacara adat. Pada umumnya dipandang bahwa seseorang bisa

menjadi dukun setelah mencapai umur 40 tahun dan menguasai adat serta berbagai mantranya.

Mantra-mantra tersebut dulu diwariskan secara lisan, akan tetapi sekarang di samping lisan

diusahakan melalui tulisan,

Upacara Adat dan Perayaan

Dalam melaksanakan adat masyarakat di Tengger ada beberapa upacara penting seperti

tersebut di bawah ini.

(1) Upacara adat

i. Kasada

Kasada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma melawan

Adharma. Upacara perayaan ini dilakukan pada tanggal 14 dan 15 bulan purnama, pada bulan

keduabelas (kasada). Penyelenggaraannya di lautan pasir, sisi utara kaki Gunung Batok, dan

upacara pengorbanannya di tepi kawah puncak Bromo. Perayaan ini merupakan hari raya

Tengger. Perayaan dimulai sejak sore hari hingga pagi harinya pada bulan purnama.

Di tempat upacara dilengkapi bambu berbentuk setelah lingkaran (melengkung) yang

dihiasai 30 macam buah-buahan dan kue, yang disebut ongkek sebagai sesajen. Sesajen itu

nantinya ditenggelamkan sebagai korban di kawah gunung Bromo. Bahan untuk membuat

ongkek diambil dan desa yang selama satu tahun tidak ada warganya yang meninggal dunia.

Setelah diberi mantra, ongkek itu ditenggelamkan oleh dukun dengan melemparkannya ke kawah

Bromo. Upacara ini hampir sama dengan upacara nglabuh pada masyarakat Jawa lainnya.

Upacara ini dilakukan dengan mengucapkan mantra atau doa yang dipimpin oleh dukun, sebagai

puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa, atas berkat dan kasih sayangnya kepada umat

manusia.

Upacara Kasada digunakan pula untuk mewisuda calon dukun baru. Upacara ini disebut

diksa widhi. Di samping itu, ada pula acara penyucian umat yang disebut upacara palukatan.

ii. Karo

Upacara Karo merupakan upacara yang bertujuan untuk kembali kepada kesucian, disebut

juga satya yoga. Hal ini atas dasar anggapan, bahwa pada zaman satya yoga masyarakat masih

bersifat sangat sederhana dan berpegang pada kebenaran, jujur serta suci. Upacara ini dikaitkan

pula dengan cerita Aji Saka dengan Dora dan Sembada memasuki tanah Jawa, dan

menghancurkan keangkara-murkaan. Dengan upacara Karo ini diharapkan manusia menjadi suci

atau bersih dan segala dosa dan kesalahannya.

Hari raya Karo merupakan hari raya terbesar bagi masyarakat Tengger sesudah Kasada.

Untuk tahun 1992, upacara Karo jatuh pada tanggal 23 Januari. Upacara pembukaannya

dipustakan di desa Wanakitri, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan. Pada hari raya Karo itu

Page 13: Mengenal masyarakat tengger

masyarakat Tengger memperingati Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) yang telah menciptakan

dua jenis makhluk manusia (Karo), laki-laki dan perempuan sebagai leluhurnya. Bagi

masyarakat Tengger peringatan hari raya Karo itu dikaitkan dengan leluhur mereka, yaitu Roro

Anteng dan Joko Seger.

Upacara Karo di Tengger berlangsung selama 12 hari, ditambah 2 hari untuk pembukaan

dan penutupan yang dilaksanakan secara serentak. Pada upacara Karo ini juga dilakukan sesajen

atau selamatan bersama, disertai pembacaan mantra yang dipimpin oleh dukun. Di samping itu

juga dilaksanakan persembahan sesajen di rumah masing-masing. Pada hari raja Karo itu digelar

tari tradisional sodoran dan permainan ojung. Pada dasarnya tari sodoran bersifat ritual, yang

dikaitkan dengan upacara keagamaan.

Hari raya Karo dilaksanakan juga untuk saling berkunjung antar warga masarakat. Hari

pertama dimulai dengan kunjungan warga masyarakat desa kepada kepala desa sebagai sesepuh

desa. Pada hari-hari berikutnya kepala desa berkunjung kepada seluruh warganya dan rumah ke

rumah. Dengan demikian, pelaksanaan peringatan hari raya Karo memakan waktu cukup lama.

iii. Entas-entas

Upacara Entas-entas secara khusus dilaksanakan untuk menyucikan atman (roh) orang

yang telah meninggal dunia, yaitu pada hari yang ke-1000. Akan tetapi, pelaksanaannya sering

diadakan sebelüm hari ke-1000 untuk meringkas upacara-upacara kematian itu.

Upacara Entas-entas dimaksudkan untuk menyucikan atman orang yang telah meninggal dunia

agar dapat masuk surga. Biayanya cukup mahal oleh karena disertai dengan menyembelih kerbau

jantan sebagai korban kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Pemotongan kerbau didahului dengan pembacaan mantra cukup panjang dan dalam waktu

yang cukup lama pula, kurang lebih 2 jam. Sebagian daging kerbau tersebut boleh dimakan dan

sebagian lagi untuk pelaksanaan korban.

Adapun mantra yang dibacakan, dalam bahasa Jawa Kuna, adalah seperti tersebut di bawah

ini:“O, purwabumi kamulan Paduka Bhattari Uma mijil saking limun limunira Hyang Bhattara

Guru; Mulaning ana Bhattari minaka somah bhattara; Magya sira bhattara, mayoga sira Bhattari,

mijil ta sira dewata Panca resi, sapta resi; Kosika, Sang Garga, Maitri, Kurusya, Sang Pratanjala‟

(Nancy; 1985).

Di beberapa daerah, mantra ini telah digunakan dengan bahasa Jawa baru, meskipun terjadi

perubahan ucapan atau istilahnya (bdk, antara mantra yang digunakan di Ngadiwono dengan di

Ngadas, Malang - lihat lampiran), namun maknanya masih tetap sejiwa.

Beberapa Alat Upacara dan Perangkat Sesajen

1. Alat-alat Upacara

Dalam pelaksanaan upacara Entas-entas, dukun mengenakan pakaian khusus dan

menggunakan beberapa alat upacara. Pakaian khusus itu adalah:

a. Baju antrakusuma, sehelai kain baju tanpa jahitan, yang diperoleh sebagai warisan dari

nenek moyangnya. Baju ini disimpan pada klanthongan sebuah tanduk yang disimpan di atas

loteng (sanggar agung); di samping itu dipakai juga ikat kepala dan selempang.

Page 14: Mengenal masyarakat tengger

b. . Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Skt) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa

mangkuk bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun

berangka tahun Saka: 1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda

tahun Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana

Tunggadewi di Majapahit. Hal ini memperkuat anggapan bahwa penduduk Tengger berasal

dari kerajaari Majapahit.

c. Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh pandhita

Tengger.

d. Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.

2. Sesajen untuk Upacara Karo

Sesajen pada upacara Karo sebagai banten dinamakan kayopan agung yang terdiri dari 3

nyiru/tampah berisi 9 buah tumpeng kecil beserta lauk-pauk: sate isi perut hewan, sayur kara,

juadah ketan putih dan ketan hitam, conthong berisi apem, pisang, seikat pisang gubahan, daun

sirih, kapur dan sepotong pinang (jambe ayu). Perangkat upacara lain adalah sedekah

praskayopan, yaitu sedekah yang terdiri dari setumpuk daun sirih (suruh agung) dan takir berisi

pinang dan bunga. Disamping itu ditaruh pula srembu, sebuah pincuk kecil berisi umbi, talas dan

kacang yang direbus dan diberi kelapa parut. Di atas praskayopan diletakkan beberapa helai kain.

Semua sesajen itu kemudian dinaikkan ke atas loteng bersama jimat klanthongan.

Pembacaan mantra dilakukan oleh dukun tertua, dengan permohonan agar desa dan penduduknya

dikaruniai keselamatan. Pada malam hariinya dibunyikan gamelan, dan diteruskan dengan

permainan teka-teki dan sodoran. Permainan ini ditutup dengan doa oleh dukun. Sedekah

diturunkan dari loteng dan dibagi-bagikan uang logam yang akan dipakai - sebagai jimat bagi

siapa yang memilikinya. Barang siapa mendapat uang logam tersebut harus mengganti dengan

mata uang yang lain, disimpan dalam klonthong untuk upacara Karo tahun depan. Setetah

upacara Karo selesai, dilanjutkan dengan sedekah Karo, yaitu penduduk menghidangkan kue-kue

bagi tamu-tamu yang datang mengunjunginya.

3. Upacara Lain

a. Upacara Unan-unan

Upacara Unan-unan dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Untuk menentukan tahun

digunakan cara hitungan khusus dari adat Tengger. Mereka juga menggunakan 12 bulan untuk

tiap tahun, yang tiap bulan terdiri dan 30/31 hari. Umur tiap bulannya dihitung secara

tradisional. Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat tanggal yang digabungkan karena adanya

mecak, yaitu tumbuknya dua tanggal.

Catatan : Di Tengger masing-masing bulan dalam satu tahun dihitung mempunyai 30 hari.

Dalam setiap tahun akan terdapat selisih 5 atau 6 hari. Setiap lima tahun sekali diadakan

penyesuaian perhitungan jumlah hari. Pada periode lima tahunan, oleh karena setiap bulan

terdapat selisih 5 atau 6 hari, maka jumlah sisa adalah 25 atau 26 hari.

Page 15: Mengenal masyarakat tengger

Jumlah hari tersebut dimasukkan pada hitungan bulan dhesta (bulan kesebelas), tidak

termasuk bulan tersebut dan bulan sebelumnya. Dengan habisnya jumlah hari barulah

perhitungan memasuki bulan dhesta. Masyarakat Tengger kemudian kembali pada

perhitungan hari, bulan, dan tahun dengan jumlah hari untuk setiap bulan dihirung 30 hari.

Keterangan : Kelima warna tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dengan kiblat. Falsafah

hidup mereka beranggapan bahwa timur adalah terbitnya matahari, yang melambangkan

permulaan hidup (wetan: ”wiwitan itu permulaan”); dengan warna putih yang berarti

kesucian, kebersihan, ataupun belum ada tulisannya. Selatan atau kidul melambangkan ibu

sebagai sarana kelahiran manusia dengan warna merah sebagai lambang darah atau keturunan

(kidul diartikan pula didudul dan ”didorong”). Barat atau kulon diartikan kelonan

(berpelukan, tidur bersama) antara ibu dan bapak; jadi barat diartikán „bapak‟. Utara atau lor

diartikan dengan lahir. Sedangkan tengah dianggap manca-warna atau bentuk yang terjadi.

4. Kata-kata Mutiara (sesanti)

Ada beberapa kata sesanti sebagai acuan pembentukan sikap, dan biasanya sangat

berpengaruh terhadap ciri kepribadian manusia. Antara lain adalah seperti tersebut di bawah ini:

a. Dalam adat ada japa mantra dalam agama ada puja mantra.

b. Tat twam asi artinya aku adalah engkau dan engkau adalah aku;

c. Kalau masih mentah sama adil, kaiau sudah masaic tidak ada harga;

d.Titi luri artinya meneruskan adat istiadat nenek moyang;

e.Mikul dhuwur mendhem jero artinya menghormati orang tua;

f.Yen wis ana pasar ilang kumandharige, yen wis ana kedhung ilang banyune, yen wis donya iki

diarani sagodhong kelor iku wis katene ana rejane jaman, artinya apabila pasar sudah kehilangan

gemanya, apabila kedhung kehilangan airnya, apabila dunia tinggal selebar daun kelor, itu

pertanda kesejahteraan sudah mendatang.

g.Genten kuwat artinya saling membantu.

5. Konsep tentang Manusia

a. Sifat Umum

Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana,

rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-

puncak berbatu. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul

linggis, dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang,

kubis, bawang prei, padi gogo dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari

ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh

sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di

ladangnya.

Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan

penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan

rumah tangga lainnya.

Page 16: Mengenal masyarakat tengger

Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan keagamaan dan adat- istiadat yang

telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Seperti telah dijelaskan pada

uraian tentang agama dan kepercayaan, isi ajaran yang dianut sangat dekat dengan agama

Hindu bercampur Budha dan adat istiadat setempat.

Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara keagamaan. Dukun berperan dalam

segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya.

Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah

kehidupan.

Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya

sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang

berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang

dilakukan cukup diselesaikan oleh lurah dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak

juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh

seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada,

seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.

Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka

menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan

krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada

masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan

sama.

6. Konsep tentang Manusia

Asal-Usul Manusia

Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi.

Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger

memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang

dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini.

h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa,

d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,

p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,

m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.

Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: “Tuhan Yang Maha Esa

menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan

gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati (menyatu dalam

dharma), agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa „menuju alam

bebas angkasa‟)”.

Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dan tidak ada menjadi

ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya

dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan

perkembangan menuju kesempurnaan.

Page 17: Mengenal masyarakat tengger

Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji

Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran).

Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib

yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-

susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup

manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.

Hubungan Badan dan Roh

Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan

pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang

meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari

mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak

mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua

kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.

Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian

terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan

sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000

sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.

Hubungan Antar-manusia

Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam

ungkapan tat twam asi yang berarti „aku adalah engkau dan engkau adalah aku‟, terdapat

ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:

i. setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;

ii. setya wacana artinya setia pada ucapan;

iii. setya semàya artinya setia padajanji;

iv. setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;

v. setya mitra artinya setia kawan.

Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal

ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung

jawab. Penelitian terhadap masyarakat Tosari umpamanya menunjukkan bahwa pada

umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara

tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari,

adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju

Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial

tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, maupun ketertiban lalu-

lintas jalan.

Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap perkembangan,

yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap

pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger.

Page 18: Mengenal masyarakat tengger

Mungkin sekali ajaran tentang tat twam asi telah mewarnai adanya sikap genten kuat atau

saling menolong untuk menjadi kuat.

Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai

pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan,

memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.

Sikap dan Pandangan Hidup

(1) Pandangan tentang Perilaku

Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras

(sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah,

tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).

Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut kawruh buda (pengetahuan tentang

watak), yaitu:

i. prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;

ii. prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;

iii. pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;

iv. prasetya berarti setya;

v. prayitna berarti waspada.

Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap

kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain

mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan

pula sikap lain sebagai perwujudannya.

Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak

ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada

kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta

dalam kegiatan gotong-royong.

Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan

orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka

tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih

berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu

bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu

tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi

para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan

bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga

dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan

adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat

kebiasaan orang tuanya.

Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko),

aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan

tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya,

yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.

Page 19: Mengenal masyarakat tengger

Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi

kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam

masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam

hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari

sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).

Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria

Tengger yang bersikap tat twam asi. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan,

dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan

orangtuanya.

Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh

model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka

mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan

kesejahteraan masyarakatnya.

Keterangan : Kelima warna tersebut di atas tidak dapat dipisahkari dengan kiblat. Falsafah

hidup mereka beranggapan bahwa timur adalah terbitnya matahari, yang melambangkan

permulaan hidup (wetan:‟ wiwitan itu permulaan‟); dengan warna putih yang berarti kesucian,

kebersihan, ataupun belum ada tulisannya. Selatan atau kidul melambangkan ibu sebagai

sarana kelahiran manusia dengan warna merah sebagai lambang. darah atau keturunan (kidul

diartikan pula didudul dan didorong‟). Barat atau kulon diartikan kelonan (berpelukan, tidur

bersama) antara ibu dan bapak; jadi barat diartikan „bapak‟. Utara atau lor diartikan dengan

lahir. Sedangkan tengah dianggap manca-warna atau bentuk yang terjadi.

7. Kata-kata Mutiara (sesanti)

Ada beberapa kata ,esanti sebagai acuan pembentukan sikap, dan biasanya sangat

berpengaruh terhadap ciri kepribadian manusia. Antara lain adalah seperti tersebut di bawah ini :

a. Dalam adat ada japa mantra dalam agama ada puja mantra.

b. Tat Twam Asi artinya aku adalah engkau dan engkau adalah aku;

c. Kalau masih rnentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga;

d. Titi luri artinya meneruskan adat istiadat nenek moyang;

e. Mikul dhuwur mendhem jero artinya menghormati orang tua;

f. Yen wis ana pasar ilang kumandha; ige, yen wis ana kedhung ilang banyune, yen wis

donya iki diarani sagodhong kebor iku wis katene ana rejane jaman, artinya apabila pasar

sudah kehilangan gemanya, apabila kedhung kehilangan airnya, apabila dunia tinggal

selebar daun kelor, itu pertanda kesejahteraan sudah mendatang.

g. Genten kuwat artinya saling membantu.

8. Konsep tentang Manusia

a. Sifat Umum

Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup

sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani.

Page 20: Mengenal masyarakat tengger

Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak berbatu. Alat pertanian

yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dan cangkul linggis, dan semacamnya. Hasil

pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, prei, padi gogo dsb.

Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat

gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka

bekerja sangat rajin dari pagi hingga petang hari di ladangnya.

Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan

penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi

kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan

keagamaan dan adat istiadat yang telah diwariskan dari nenek moyangnya secara turun-

temurun. Seperti telah dijelaskan pada uraian tentang agama dan kepercayaan isi ajaran

yang dianut sangat dekat dengan agama Hindu bercampur Budha dan adat istiadat

setempat.

Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara keagamaan. Dukun berperan

dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-

kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun

berbagai masalah kehidupan.

Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi

masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas

peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah.

Pelanggaran yang dilakukan cukup disclesaikan oleh lurah dan iasanya mereka patuh.

Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak

diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan

pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.

Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang rnasih berbati Jawa Kuno.

Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap

sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua

yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam

arti mereka berkedudukan sama.

b. Asal-Usul Manusia

Ajaran tentang asal usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi.

Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger

memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang

dimaksudkan adalah seperti tersebut di bawah ini :

h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta rasa karsa;

d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,

p,dh,j,y, ny : panca dhawah jagad yekti nyawiji;

m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.

Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut:

“Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia,

(manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia

Page 21: Mengenal masyarakat tengger

dengan kesungguhan hati (menyatu dalam dharma), agar saling terbuka tumbuh

(berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam bebas angkasa).”

Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada

menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima

perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh

keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.

Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji

Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran).

Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib

yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa. baik-buruk, senang-

susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup

manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.

c. Hubungan Badan dan Roh

Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan

pembungkus sukrna (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang

meninggal, badannya pulang ke perthiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari

mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara

tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan

semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.

Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian

terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan

menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi

pada hari ke-l000 sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.

d. Hubungan Antar-manusia

Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam

ungkapan tat twam asi yang berarti „aku adalah engkau dan engkau adalah aku‟, terdapat

ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:

setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;

setya wacana artinya setia pada ucapan;

setya semaya artinya setia pada janji;

setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;

setya mitra artinya setia kawan.

Ajaran tentang kesetiaan berpengarüh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger.

Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong royong, serta rasa

tanggung jawab. Penelitian terhadap masyarakat Tosari umpamanya menunjukkan bahwa

pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 06.00 pagi sampai jam 06.00

(18.00) sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong royongnya terlihat pula pada waktu

mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat

jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976).

Page 22: Mengenal masyarakat tengger

Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada

kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, maupun ketertiban lalu lintas jalan.

Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap

perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain,

meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitas sebagai orang Tengger.

Mungkin sekali ajaran tentang tat twam asi telah mewarnai adanya sikap genten kuat

atau saling menolong untuk menjadi kuat.

Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai

pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan

perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.

e. Sikap dan Pandangan Hidup

Pandangan tentang Perilaku

Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras

(sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah,

tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan

terampil).

Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut kawruh buda (pengetahuan

tentang watak), yaitu:

prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;

prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;

pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;

prasetya berarti setya;

prayitna berarti waspada.

Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan

sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain

mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping

dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.

Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu „rasa malu apabila

tidak ikut serta dalam kegiatan sosial‟. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga

pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena

tidak ikut serta dalam kegiatan gotong royong.

Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul

dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam

keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap

tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan.

Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya

beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang

tua yang memberikan kebebasan bagi para putraputrinya untuk memilih calon istri atau

suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas.

Page 23: Mengenal masyarakat tengger

Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga

dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal

melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai

dengan adat kebiasaan orang tuanya.

Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak

risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap

mempertahankan tanah milik cara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif

dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan

kepada leluhur.

Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-rnata hidup untuk mengumpulkan harta

demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian,

dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan

dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan

diri dari sikap nyadhong (menengadahkan telapak tangan ke atas).

Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti

ksatria Tengger yang bersikap tat twam asi. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang

memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu

memuliakan orangtuanya.

Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh

model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara. Mereka

mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan

dan kesejahteraan masyarakatnya.

9. Siklus Hidup

Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:

a. Umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang

tepat untuk pendidikan;

b. Usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk

membangun rumah dan mandiri;

c. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut

untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.

Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau sudah

masak tidak ada harga, yang bermaksud hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap

adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.

10. Pertunangan dan Perkawinan

Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas

perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di

bawah umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh

orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa

senang kedua belah pihak.

Page 24: Mengenal masyarakat tengger

Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon)

berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok.

Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari

pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari

perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan

dilakukan.

Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai

kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran

(menetapkan) hari yang baik dan tepat, „papan‟ tempat pelaksanaan perkawinan, dan

sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan

kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih).

Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara

ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada

upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih

lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah

berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.

Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para

wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan

oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat

roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.

11. Hak Waris

Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak

keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan

untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan

oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.

a. Kesenian dan Tata Rumah

Kesenian

Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Hasil kesenian daerah, sebagai

unsur dari kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Tengger, dapat dikelompokkan menjadi

tiga, yakni seni panggung, seni musik dan seni tari. Di samping itu dapat pula

dikelompokkan menjadi kesenian tradisional dan modern. Kesenian tradisional dapat

dikelompokkan menjadi keseniän tradisional yang berasal dari masyarakat Tengger sendiri

dan yang berasal dari luar daerah Tengger.

Seni tari yang tradisional dan yang bersifat ash hanya ada dua, yaitu tari ujung dan tari

sodoran. Kedua jenis tarian ini dilaksanakan pada upacara adat, yaitu pada waktu pembuatan

jimat klonthong dan bertepatan dengan upacara Karo. Khusus untuk Desa Wonokitri dan

Desa Sedhaeng, sebelum tari Ujung digelarkan, terlebih dahulu dilaksanakan dandosan

berupa sesajen sedekah pangonan.

Page 25: Mengenal masyarakat tengger

Yang pertama, tari sodoran merupakan kesenian tradisional Tengger yang mengandung

nilai keagamaan. Penarinya empat orang dan saling berhadapan, dimulai dengan jarak

berjauhan dan terus bergerak mendekati lawannya. Mereka menari dengan diiringi bunyi

gamelan. Penari menunjukkan jarinya dalam gaya tariannya. Penunjukan telunjuk itu

sebagai lambang purusan dan pradazza, yang bermakna sebab pertama dan alam semesta

yang bersifat abadi.

Yang kedua, tari ujung merupakan suatu kçsenian yang merakyat Kesenian ini sening

dinamakan kesenian tiban. Biasanya tarian ml dimainkan setiap hari raya Karo, setelah

- nyadran dan sebelum mulihe ping pitu „ dalam rangkaian upacara Karo. Tari ujung

menunjukkan makna lambang persahabatan, yaitu rasa bersatu dan merasakan suka-duka

bersama. Pada tarian ini penari saling memukul bergantian dengan rotan berukuran kurang

lebih satu meter.

Seni tari lain yang sekarang banyakjuga disenangi oleh masyarakat Tengger antara lain

adalah ludruk, kethoprak dan lain-lain yang berasal dan luar masyarakat Tengger. Kesenian

ini sewaktu-waktu dapat dipanggungkan apabila diperlukan.

Seni musik yang masih bersifat tradisional dan berasal dan masyarakat engger sendiri

adalah seni karawitan. Namun sekarang masyarakat ini juga menyenangi antara lain seni

terbang gelipung, dan seni hadrah, sedangkan seni modern yang telah masuk adalah

keroncong, band, dan orkes melayu.

Seni tari atau jenis kesenian yang memusatkan kepada gerakan, yang berasal dan luar

masyarakat Tengger namun saat ini mulai digemari, antara lain adalah pencak silat dan

akrobatik. Jenis kesenian ini banyak peminatnya danbisa diterima dengan baik. (Sebagai

catatan, seni wayang kulit untuk daerah Tosari hanya dimainkan untuk ruwatan, sedangkari

di Desa Ngadisari sama sekali tidak diperkenankan untuk dimainkan).

b. Tata Rumah

Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin dipilih pada

daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh

dan gangguan angiñ. Runah-rumah letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu

tempat yang dapat dimasuki dan berbagaf jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit

atau gak lebar antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang disebut Jcrajan biasa-nya

terletak di tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain.

Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila

bangunan telah selesai (rampung) diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang

sedang dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa

makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger biasanya

luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada kebiasaan

bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama mertuanya.

Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya terbuat dan bambu yang dibelah.

Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu

dengan menggunakan atap dan seng, papan atau genteng.

Page 26: Mengenal masyarakat tengger

Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih tetap ada

adalah baiai-balai, semacam dipanyang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu

disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini

kurang lebih panjangnya 1/4 dari panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat

ruang duduk yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan. Apabila seorang tamu

drtenima dan dipersilakan duduk di tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima

dengan hormat.

Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian juga

dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya yang memerlukan

pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu terdapat pula alat-alat dapur,

lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak

ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk

menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk

menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai

panen mendatang.

12. Tengger sebagai Daerah Penyangga Taman Nasional Bromo-Tengger Semeru

Lokasi Taman Nasional Bromo terletak di pertemuan empat kabupaten, yaitu

Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Daerah tersebut dihuni oleh masyarakat

Tengger yang memiliki tradisi dan budaya khas, sebagai peninggalan nenek moyang sejak

zaman Majapahit. Gunung Bromo merupakan gunung berapi, yang terus-menerus

mengepulkan asap pada bagian tengah kalderanya. Gunung tersebut dikelilingi olëh laut pasir

(segara wedhi), serta dikelilingi oleh pegunungan dengan jurang-jurang yang terjal.

Ketinggian Gunung Bromo adalah 2392 m, Di sebelah selatannya berdiri gunung

vulkanik Semeru yang masih aktif, dengan ketinggian 3676 m. Secara legendaris kedua

gunung tersebut mempunyai kaitan, seperti telah dilukiskan dalam legenda pada uraian

terdahulu. Di sekitar Gunung Biomo dan sebagian wilayah Gunung Semeru inilah masyarakat

Tengger bermukim.

Ditinjau secara sosial-budaya, masyarakat Tengger memiliki sifat khas tradisi dan

budaya, yang secara historis merupakan peninggalan nenek moyang dan zaman Majapahit,

dan sampai saat ini mampu bertahan. Sejak ditetapkan pada tahun 1982 sebagai daerah

penyangga Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Tengger selalu dikunjungi oleh banyak

wisatawan dan dalam dan luar negeri. Di samping itu sejak tahun 1973 dengan ditetapkannya

masyarakat Tengger sebagai pemeluk agama Hindu, maka mulai diadakan pembinaan intensif

tentang keagamaan, namun masyarakat Tengger tampaknya belumbanyak terpengaruh oleh

nilainilai budaya yang lain.

Beberapa gejala yang tampak antara lain adalah, dengan adanya sentuhan langsung

pembangunan yang terprogram dan datangnya para wisatawan yang berkunjung ke daerah

Tengger in mereka mulai memanfaatkan kesempatan itu, antara lain dengan menyewakan

rumah mereka untuk penginapan, menyewakan kuda-yang semua sebagai alat angkut hasil

pertanian-untuk alat transportasi para wisatawan yang memerlukan. Meskipun telah banyak

Page 27: Mengenal masyarakat tengger

bergaul dengan para pendatang, namun sikap keaslian mereka masih tampak jelas dalam

memperlakukan para wisatawan, yaitu sikap ramah, jujur dan gotong royong.

13. Tengger sebagai Daerah Penyangga Taman Nasional

Pengembangan suatu masyarakat berarti akan mengubah menjadi sesuatu yang lain, atau

tetap mempertahankan keberadaannya dengan mengembangkan kemampuan dan kondisi

masyarakat untuk mampu mandiri serta menjadi lebih bermanfaat dan lebih sempurna.

Penetapan BromoTengger-Semeru menjadi taman nasional bermakna bahwa kondisi yang

telah ada akan dilindungi dan dikembangkan agar lebih semarak dan menarik. Tengger

sebagai daerah penyangga juga bermakna bahwa budaya masyarakat Tengger perlu

dilestarikan dan dikembangkan menjadi lebih sempurna, terutama adat istiadat dan nilai-nilai

budayanya yang relevan dengan kemajuan zaman, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai

luhur Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Dengan masuknya para wisatawan ke

daerah Tengger, tidak mustahil akan terjadi pergeseran nilainilai instrumental, namun apabila

terus diadakan pembinaan sikap mental dengan tetap berpegang kepada nilai tradisional yang

relevan, maka pergeseran nilai-nilai instrumental itu akan tetap dapat dicegah dan sekaligus

dapat dipertahankan sifat keasliannya.

Hubungan antara masyarakat Tengger dengan taman nasional sangat erat karena daerah

Bromo-Tengger-Semeru sebagian besar dihuni oleh masyarakat Tengger. Apabila kondisi

alamnya akan dikembangkan menjadi taman nasional maka masyarakat sekitarnya pun

dituntut urituk mampu menyelamatkan, memelihara dan ikut mengembangkannya. Apabila

masyarakat Tengger tidak diberi kesempatan untuk mengambil keuntungan dan taman

nasional itu, tidak mustahil akan terjadi sikapmasa bodoh terhadapnya, tidak ikut menjaga

ataupun menyelamatkannya. Masyarakat Tengger sebagai penyangga, sudah tentu berperan

besar untuk menjaga kelestarian taman nasional. Demi kelestarian taman nasional itu,

masyarakat Tengger diharapkan merasa ikut memiliki (handarbeni), membina (hamengkoni)

dan sekaligus dapat memanfaatkannya.

Di sekeliling taman nasional itu akan dikembangkan berbagai macam tumbuhan

penyangga sebagai daerah buffer zone untuk melestarikan alam dan keindahannya, yang

kondisinya perlu dijaga oleh masyarakat lingkungannya. Hal itu akan berhasil apabila

lingkungan alamnya:

mampu menyediakan berbagai kebutuhan dasar masyarakat sekitarnya, baik untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun memberikan kepuasan dan kesenangan

yang lain;

dapat terselamatkan dari berbagai gangguan yang berasal dari manusia, binatang,

ataupun gangguan lainnya;

mampu mengembangkan sikap masyarakat untuk mencintai alam dan taman nasional;

mampu melindungi manusia dan daerah pertanian sekitarnya dari gangguan binatang

yang datang dari daerah penyangga itu sendiri.

Page 28: Mengenal masyarakat tengger

mampu meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya, termasuk

masyarakat Tengger, dan kesadaran akan pentingnya taman nasional itu;

mampu menumbuhkan dan mengembangkan organisasi swadaya masyarakat dalam

kaitannya dengan usaha-usaha pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya;

mampu membina eksistensi adat dan budaya masyarakat Tengger yang dapat

memberikan konsumsi penyemarakan wisatawan yang datang untuk menikmati

keindahan taman nasional itu.

Untuk mengembangkan buffer zone ini, ada suatu masaah yang perlu dipecahkan dengan

penuh kebijaksanaan. Misalnya desa Ngadas yang terletak di daerah buffer zone. Masalahnya

antara lain adalah apakah desa ini harus dipindahkan, atau dibiarkan tetap berada di daerah

buffer zone. Apabila masyarakat itu dipindahkan akan terjadi kesulitan di mana akan

ditempatkan, dan apabila tetap berada di daerah buffer sone, bagaimana pengelolaannya?

Untuk memecahkan masalah ini diperlukan penelitian dan pertimbangan untung ruginya.

14. Sejarah Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger pada umumnya beranggapan bahwa mereka adalah pewaris adat

istiadat tradisional Majapahit. Pernyataan ini dibenarnya oleh Prof. Nancy, sesuai dengan

hasil penelitiannya tentang Masyarakat Tengger dalam Sejarah Nasional indonesia (1985),

yang secara kronologis menerangkan asal kejadi an masyarakat Tengger itu. (Hal ini secara

khusus sudah dibahas dalam Bab 2).

Kajian sejarah menunjukkan bahwa adat masyarakat Tengger tidak menganut adanya

perbedaan kasta karena memang tidak terdapat pemimpin agama yang kuat. Sebelum adanya

pembinaan agama Hindu, dalam masyarakat Tengger tidak terdapat pedanda atau pendeta dan

resi. Pada waktu itu hanya terdapat ketua adat (dukun) yang berpengaruh. Hal ini pula yang

mungkin menyebabkan hilangnya identitas masyarakat dan kondisi terancamnya kehidupan

spiritual serta pelaksanaan upacara adat pada akhir abad ke-19, seperti diungkapkan oleh

Nancy. Baru setelah tahun 1945, masyarakat Tengger berkesempatan mengggali sejarah

spiritual mereka secara mendalam.

Berdasarkan kenyataan sejarah tersebut, maka pembinaan cara hidup dengan nilai

spiritual yang mereka miliki dan dianut dewasa ini adalah sebagai dasar pembinaannya. Nilai-

nilai spiritual zaman. Majapahit perlu digali sebagai dasar pembinaan dalam bidang

keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa aspek positif yang dapat

dipertahankan dan dikembangkan, antara lain sikap toleransi yang kuat untuk hidup

berdampingan dengan masyarakat yang berlainan agama. Sikap gotong royong dan rukun

yang telah dimiliki digunakan sebagai dasar pembinaan sikap berbangsa yang besar dan

bersatu berdasarkan Pancasila sebagai dasar pembinaan kesadaran nasional. Masih banyak

lagi nilai dan sikap hidup positif yang sekarang ini dimiliki oleh masyarakat Tengger yang

perlu dibina dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman modern.

Page 29: Mengenal masyarakat tengger

15. Sosial-Budaya Masyarakat Tengger

Dewasa ini Ditinjau dan sudut alam lingkungan masyarakat Tengger yang terdiri dan

daerah perbukitan yang terjal, puncak-puncak pegunungan yang cukup tinggi, dan secara fisik

masih menunjukkan kesuburan tanahnya, masyarakat Tengger semestmnya terdiri atas kaum

petani. Namun sesuai dengan catatan, bahwa penduduk yang dikategorikan sebagai petani

penggarap hanya 37,93% dan buruh tani 8,16%, maka sekitar 54% penduduk tengger bukan

tergolong petani. Oleh karena itu, perlu ada pemikiran yang bersungguh-sungguh untuk

membangun masyarakat Tengger sebagai masyarakat penyangga taman nasional. Untuk

pengembangannya diperlukan penyediaan lapangan kerja, dengan mencari berbagai alternatif

yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi masyarakat, sehingga tidak akan mengganggu

kelangsungan hidup taman nasional itu sendiri.

Sebagian besar tanah daerah Tengger yang berbukit dan berjurang terjal saat ini telah

dijamah dan dihuni oleh kaum petani untuk usaha pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa

apabila pertumbuhan penduduk tidak bisa dikendalikan dalam waktu yang relatif singkat,

seluruh tanah yang tersedia akan dimanfaatkan untuk pertanian, apabila tidak ada usaha lain

yang lebih menguntungkan.

Suatu alternatif telah ditetapkan, yaitu Tengger sebagai daerah penyangga taman

nasional, maka perlu dipikirkan kondisi yang bagaimanakah yang tepat bagi masyarakat

Tengger, sehingga mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan? Jawabannya perlu

digali dan kemampuan dan kondisi yang dalam masyarakat Tengger sendiri.

a. Bidang Keagamaan

Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa sebelurn tahun 1973, masyarakat Tengger masih

menganut kepercayaart yang bersifat tradisional dengan melakukan berbagai upacara, antara

lain Kusada, Karo, Entas-entas, Unan-unan, perkawinan, kematian, pendirian rumah, dan

sebagainya. Berbagai upacara itu pada hakikatnya adalah untuk memohon keselamatan dunia

dan akhirat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keselamatan di dunia termasuk kelangsungan

hidup dalam rumah tangga dan perkawinan, bertetangga, menempati rumah, keberhasilan

dalam bertani, pembersihan dari dosa, dan sebagainya. Sedangkan keselamatan akhirat

berkaitan dengan terbebasnya dari kesengsaraan negara untuk dapat masuk surga atau moksa.

Isi mantra yang diucapkan dalam berbagai upacara adat menunjukkan bahwa pada

dasarnya masyarakat Tengger masih kuat dalam melaksanakan ibadah berdasarkan agama

Hindu, meskipun pada waktu itu tidak ada pendeta, pedanda resi, ataupun biksu. Upacara-

upacara adat dipimpin oleh pada dukun sebagai kepala adat. Meskipun mantra yang

diucapkan diawali dengan kata Hong, namun sangat jelas isinya cenderung bersifat agama

Hindu. Terlebih-lebih dengan digunakannya Gunung Bromo sebagai arah beribadah, seperti

telah diuraikan dalam legenda bahwa Bromo identik dengan pengertian Dewa Brahma yang

merupakan manifestasi dari sifat Tuhan sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Anggapan bahwa masyarakat Tengger sebelum dibina dan dinyatakan sebagai pemeluk

agama Hindu adalah pemeluk Agama buda tidak sepenuhnya salah. Hal ini dikuatkan oleh

hasil penelitian Nancy atas mantra yang sering digunakan dalam upacara-upacara. Namun dari

hasil penelitian itu pun ditegaskan bahwa pengertian buda bukanlah Budha sebagai agama,

Page 30: Mengenal masyarakat tengger

melainkan istilah yang biasanya dipakai oleh masyarakat Jawa untuk menyebut agama

sebelum Islam. Pada zaman kekuasaan Majapahit diakui adanya dua agama, yaitu Budha dan

Hindu. Pada abad ke-14, setelah masuknya Islam, istilah buda digunakan untuk menyebut

mereka yang belum menganut agama Islam. Sebagai perbandingan, para pujangga Yogyakarta

pada abad yang sama juga menggunakan istilah buda bagi mereka yang masih menganut

tradisi lama (Majapahit).

Pada tahun 1973 setelah diadakan pembinaan agama oleh pemerintah, dengan

ditetapkannya agama Hindu sebagai dasar pembinaan masyarakat Tengger, maka rakyat

Tengger telah terbiasa melaksanakan ibadah agama Hindu Dharma seperti yang

dikembangkan di Bali. Sampai saat ini telah dibangun beberapa pura di Kecamatan Tosari dan

Kecamatan Sinduro, sedangkan daerah lain masih menggunakan sanggar sebagai tempat

beribadah.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa toleransi masyarakat Tengger terhadap

pemeluk agama lain cukup tinggi. Mereka tetap mampu mempertahankan tradisi lamanya

dalam melaksanakan ibadah, meskipun masyarakat sekitarnya telah memeluk agama lain dan

mengubah tradisinya. Sikap hidup berdampingan dengan penganut agama lain dapat dikaji

dari sesantinya: geblag lor dan geblag kidul, sebagai pernyataan bahwa masyarakat bagian

utara Tengger telah memeluk agama islam, sedangkan sebelum tahun 1973 masyarakat

Tengger tetap dengan tradisinya. Atas dasar kenyataan ini, maka pengungkapan nilai-nilai

yang terkandung dalam tradisi itu perlu terus dilakukan serta hasilnya dikembangkan sesuai

dengan alam modern.

b. Upacara Adat

Upacara adat yang bersifat umum dan besar adalah Kasada, Karo dan Unan-unan.

Upacara Kasada dan Karo dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada bulan ke-12 dan ke-2

menurut penanggalan Tengger, sedangkan upacara Unan-unan dilaksanakan setiap lima tahun

sekali, satu windu tahun wuku.

1) Upacara Kasada

U[acara Kasada dilakukan di kaki Gunung Bromo di lembah lautan pasir pada bulan ke

12. Setelah berdoa tengah malam, upacara ini diakhiri dengan menyajikan korban ke kawah

Gunung Bromo sebagaimana dipesankan oleh leluhurnya, Raden Kusumaputra Rara Anteng

dan Jaka Seger. Korban itu berupa buah-buahan dan hasil bumi lainnya demi keselamatan

masyarakat dan anak-cucu masyarakat Tengger.

Upacara Kasada, selain untuk persembahan dan penyajian korban di Gunung Bromo, juga

digunakan untuk penyumpahan dan pelantikan dukun baru. Di samping itu bisa juga diadakan

pelantikan para pejabat pemerintahan atau orang terhormat lainnya yang diangkat oleh

masyarakat Tengger sebagai pinisepuh.

Upacara Kasada dianggap sebagai saat yang tepat untuk memamerkan objek wisata

Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, karena dapat menarik perhatian orang dari berbagai

daerah dan mancanegara untuk berkunjung menyaksikan upacara adat di Tengger. Dengan

demikian, sekaligus dapat menunjukkan keindahan Bromo dan alam sekitarnya kepada para

pengunjung.

Page 31: Mengenal masyarakat tengger

Upacara Karo dilaksanakan di rumah atau juga secara terpusat di kepala Desa/adat. Pada

bulan ke-2 atau Karo. Pada upacara ini diutamakan para rakyat saling berkunjung, dan kepala

adat perlu mengunjungi setiap rumah tangga para warganya. Pada upacara yang bersifat

umum, dimulai dengan tari ujung dan tari sebagai rangkaian upacara, di samping itu

dikeluarkan juga jimat klonthong sebagai penyempurnaan upacara

Upacara karo itu dapat pula dimanfaatkan untuk menarik para wisatawan yang ingin

mengetahui sifat khas adat Tengger karena upacara ini tidak ditemukan di lain tempat, juga di

Bali sebagai pusat agama Hindu Dharma di Indonesia.

2) Upacara Unan-unan juga bersifat khas.

Tujuan utama upacara ini untuk bersih desa dalam arti luas. Pengertian bersih bukan

semata-mata bersifat fisik, melainkan lebih bersifat ritual spiritual yaitu suatu permohonan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat pada

umumnya di Tengger. Oleh karena upacara ini juga bersifat masal, maka dapat pula

dimanfaatkan untuk memberikan daya tarik di bidang pariwisata. (Catatan secara empirik

upacara ini belum diteliti dengan lengkap).

3) Upacara-upacara lain bersifat individual, sehingga sedikit kemungkinan untuk dijadikan

objek kepariwisataan. Di samping itu terdapat pula upacara Galungan, yang ada karena

masuknya agama Hindu Dharma Bali.

4) Mantra

Beberapa mantra yang dibaca setiap upacara tradisional sudah dicatat oleh salah seorang

dukun, yaitu Dukun Sujai, dan ditulis dengan huruf Jawa., Namun hingga sekarang masih ada

dua mantra besar yang penting masih belum terdokumentasikan, yaitu mantra purwa bhumi

dan mandhalagiri. Sebenarnya di Tengger masih terdapat 21 lontar yang disimpan dan

dikeramatkan oleh penduduk, yang salah satu di antaranya berisi mantra purwa bhumi.

Apakah isinya sama dengan mantra purwa bhumi yang dihafal oleh pewaris, masih belum

diketahui. Di masyarakat Tengger terdapat pewaris mantra yang sampai saat ini masih hafal

isi dan ucapan mantra purwa bhumi dan mandhalagiri, yang perlu dilestarikan, apabila daerah

Tengger akan digunakan sebagai daerah penyangga taman nasional dan sekaligus sebagai

daerah wisata adat atau budaya tradisional. Dengan mempelajari isi berbagai mantra yang

terdapat di daerah Tengger, dapat diketahui isi kejiwaan dan pandangan hidup masyarakat

Tengger. Dengan cara demikian akan lebih memudahkan membina can mengem bangka

masyarakat Tengger, sehingga mampu hidup di tengah perkembangan dunia yang cepat

berubah di alam globalsiasi.

5) Makna Simbolik Beberapa Alat Upacara

Setiap pelaksanaan upacara disertai dengan berbagai sesajen dan peralatannya. Apabila

dikaji lebih mendalam, berbagai sesajen dan peralatan itu secara simbolik mempunyai makna

tertentu.

Page 32: Mengenal masyarakat tengger

Makna simbolik ini akan sangat berguna sebagai alat pendidikan dan pewarisan nilai-

nilai kepada masyarakat dan generasi. Sebagai contoh, pada sesajen sering terdapat empat

atau lima macam warna makanan, antara lain juadah putih diartikan sebagai Sang Hyang

Iswara yang berkedudukan di timur, melambangkan kelahiran ataupun sifat kesucian waktu

manusia dilahirkan. Juga diartikan sebagai penglihatan (paninggal). Timur diartikan sebagai

„permulaan‟ atau wiwitan atau wetan (Jw); juadah merah sebagai lambang Sang Hyang

Bromo yang berkedudukan di selatan, yang diartikan pula sebagai pendengaran. Demikian

pula jenis-jenis makanan dan warna lainnya, semuanya diberi makna simbolik.

Dengan demikian, berlangsungnya setiap upacara adat merupakan kesempatan baik untuk

menyampaikan makna yang terkandung dalam setiap alat upacara ataupun sesajen. Apabila

arti lambang tersebut sungguh-sungguh dipahami dan dihayati akan berguna bagi manusia

untuk membentuk dirinya sendiri.

16. Konsep Tentang Manusia

Seperti halnya masyarakat tradisional lainnya, masyarakat Tengger mempercayai adanya

dualisme hubungan antara jiwa dan raga, antara sukma dan badan. Sukma atau roh manusia

bersifat langgeng, berasal dan alam baka datang ke dunia fana, dan akan kembali ke alam

baka lagi. Di samping itu dipercayai pula bahwa hubungan antara roh dan badan adalah

terpisah, seperti hubungan antara burung dengan sangkarnya.

Konsep tentang manusia bagi masyarakat tengger dapat dipelajari dan berbagai sumber

antara lain dan mantra kata-kata sesanti, legenda dan tafsir mereka terhadap lambang-lambang

tertentu. Beberapa mantra memang hanya dikuasai oleh para dukun atau orang yang dituakan

oleh masyarakat Tengger, misalnya mantra purwa bhumi dan mandhalagiri, mantra ini dihafal

juga oleh para dukun yang berkedudukan sebagai kepala adat dan jumlahnya sangat terbatas.

Mereka adalah orangorang terkemuka yang dipandang berpengaruh dan dapat menerangkan

segala sesuatu yang berkenaan dengan konsep hidup. Jadi, mereka berpengaruh atas

lingkungannya, sebagai panutan atau sebagai sumber pengetahuan tentang hidup.

Mantra purwa bhumi berisi kejadian alam, termasuk kejadian manusia, yang mengandung

ajaran bahwa manusia (Tengger) diwajibkan melaksanakan pemujaan melalui berbagai

upacara, antara lain Galungan, Penawangan, Kasada, dan Kepitu, bulan purnama, dan bulan

tilem. Apabila pemujaan itu dilakukan, maka manusia akan dibebaskan dan dosa-dosanya.

Demikian pula dan beberapa mantra lain dapat dipelajari mengenai ajaran hidup dan konsep

tentang manusia.

Dan legenda dengan cerita Aji Saka, dapat dipelajari konsep tentang manusia, terutama

dengan penafsirannya terhadap aksara jawaha-na-ca-ra-ka, yang menggambarkan bahwa

manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia memiliki cipta, rasa dan karsa

sebagai alat kejiwaan, sehingga mampu mengembangkan din sebagai pribadi manudiri, yang

wajib melaksanakan lima tugas hidup untuk tumbuh menjadi manusia sempurna.

Kelima tugas hidup itu belum begitu jelas, namun bisa dikaitkan dengan panca sradha maupun

panca setya, yaitu kepercayaan akan adanya lima hakikat keimanan dan lima kesetiaan dalam

melaksanakan hidup di dunia ini.

Page 33: Mengenal masyarakat tengger

Di samping penafsiran tersebut, secara harfiah pun aksara Jawa mengandung arti ada (dua

orang) utusan, yang saling bertengkar (dan berkelahi), keduanya sama ampuhnya, dan

akhirnya mati bersama. Dalam legenda kedua utusan itu dinamakan dora dan sem1da, yang

berarti dusta dan konsekuen. Dan rangkaian katakatanya dapat diartikan bahwa pada dasarnya

dalam din manusia ada dua sifat yang saling bertentangan, namun keduanya sama pentingnya.

Atau dapat pula diartikan adanya dua utusan Tuhan, yang masing-mäsing membawa

kebenaran sesuai dengan kondisi atau zamannya. Dalam hal ini masyarakat Tengger dapat

memahami adanya agama lain (Islam) yang dipeluk oleh masyarakat tetangganya (dengan

istilah geblag lor dan geblog kidul).

Tafsiran terhadap makna ha-naca-ra-ka dapat diartikan sebagai pertentangan kedua

utusan yang saling mempertahankan kebenanari masingmasing, atau bahwa keduanya tidak

dapat dipisahkan, sama teguhnya dalam memegang perinah, dan sama jayanya dalam

memperjuangkan kebenaran, namun hal itu ternyata mengakibatkan kehancuran. Jadi, dalam

mempertahankan kebenaran yang penting adalah marmane gun tya binuka thukul ngakasa,

yang artinya saling terbuka tumbuh bebas, atau menyempurna.

Sesanti (kata-kata mutiara) yang mereka gunakan juga sangat berperan sebagai acuan

sikap hidup. Kenyataan itu adalah tercermin pada lima kawruh buda, yaitu prasaja, prayogya,

pranata, prasetya, prayitna, yang bermakna :jujur, bijaksana, patuh pada pimpinan, setia, dan

waspada. Di samping itu tercermin pula pada panca setia, yaitu setya budaya, setya wacana,

setya semaya, setya laksana, dan setya mitra. Ungkapan itu bermakna orang hidup hendaklah

bersikap taat, tekun, mandiri setia pada ucapan (janji), patuh, dan setia kawan. Ajaran tersebut

tampak masih melekat pada sikap dan perilaku masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-

hari.

Dan konsep tentang manusia dan konsep hidup tersebut, dapatlah diambil hikmahnya untuk

pengembangan masyarakat Tengger, antara lain tentang:

(1) Penghormatan terhadap orang tua dan nenek moyang; kelanggengan roh manusia yang

meskipun telah berada didalam baka, namun tetap harus diusahakan kesucian dan

kesempurnaannya; roh-roh nenek moyang dimohonkan ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

hal ini mengandung nilai penghormatan kepada nenek moyang.

(2) Membentuk identitas kepribadian yang utuh dan baik; dalam hidup di dunia ini hendaklah

jujur, tidak dibuat-buat, dan ada adariya; bijaksana dalam setiap tindakan; patuh kepada negara

dalam arti berkesadaran nasional yang tinggi; loyal dan waspada.

(3) memiliki sikap sosialitas yang tinggi; dalam hubungan sosialnya hendaklah sadar akan

kemampuan pribadi, taat dan tekun bekerja; konsekuen dan menepati janji, patuh dan setia

kawan.

Di samping berbagai sikap pribadi dan sikap sosial yang pada dasarnya masih dimiliki oleh

masyarakat Tengger, masih tampak jelas pula sikap toleransi yang tinggi, gotong royong

masyarakat, tekun dan kerja keras, ramah terhadap para pendatang. Berbagai sikap tersebut perlu

dioertahankan dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan zaman.

Page 34: Mengenal masyarakat tengger

17. Kesenian dan Tata Rumah Tangga

Kesenian asli yang berupa seni tan dan seni suara sangat erat dengan pelaksanaan upacara

adat. Ada dua macam seni tan yaitu tan ujung dan tan sodoran, yang keduanya diiringi dengan

seni karawitan. Kedua seni tan tersebut sangat erat dengan pelaksanaan upacara adat, terutama

upacara perayaan Karo. Sebagai contoh, tan sodoran menggambarkan kejaian manusia yang

berasal dan purusa dan pradama. Upacara Karo sendiri merupakan perayaan untuk

memperingati kejadian manusia dan diharapkan manusia kembali kepada kemurnian dan

kesuciannya, yaitu pada zaman satya Yoga, suatu zaman di mana kejujuran‟ atau ke-satya-an

manusia dijunjung tinggi.

Demikian pula tan ujung dilakukan pada waktu upacara Karo sebagai hiburan, sesudah

nyadran dan sebelum mulihe ping pitu. Tari sodoran dilakukan pada pembukaan rangkaian

upacara, sedangkan tari ujung dilakukan menjelang akhir rangkaian upacara. Rangkaian

upacara diakhiri dengan tarian hiburan yang menunjukkan bahwa persahabatan itu selalu

bersatu, suka-duka dirasakan bersama. Dalam tarian itu ditunjukkan teijadinya rasa sakit

karena pukulan pada bagian badan tertentu yang boleh dipukul.

Kedua tarian diiringi dengan gamelan karawitan. Irama lagu yang digunakan untuk

mengiringi telah ditentukan, yang semuanya mengandung arti simbolik. Jenis alat tabuh

(gamelan) mempunyai arti tersendiri, demikian pula irama lagu yang dikumandangkan juga

melambangkan sesuatu maksud.

18. Perubahan Nilai

Perubahan nilai tidak terlepas dari pemahaman terhadap arti nilai itu sendiri. Nilai sangat

erat hubungannya dengan pandangan manusia terhadap segala sesuatu sebagai objek

pengenalnya, serta kaitannya dengan arti dan makna bagi manusia sebagai subjek yang

menghendaki objek pengenalan tersebut. Objek yang dikenal oleh subjek adalah sebagai

pengetahuan dan subjek terhadap objek tersebut. Pengetahuan tersebut akan bernilai bagi

subjek, baik sebagai nilai yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Secara teoritis

arti dan makna pengetahuan dan nilai itu dapat dibedakan, akan tetapi kenyataannya nilai

melekat pada diri pengetahuan. Jadi dalam arti luas, pengetahuan itu sebagai nilai, dan nilai

itu melekat pada diri pengetahuan.

Pengetahuan datangnya dan objek yang dikenal oleh subjek melalui proses pengenalan,

yang merupakan gambaran tentang objek yang dikenalnya. Jadi pengetahuan pada dasarnya

bersifat objektif. Pengetahuan akan benar apabila cocok atau sesuai dengan objeknya. Kriteria

pengetahuan adalah tentang kebenarannya.

Sebaliknya, nilai adalah harta tentang sesuatu jika dihubungkan dengan kepentingan dan

kebutuhan manusia. Jadi nilai itu lebih bersifat subjektif karena keberadaannya bergantung

pada pandangan manusia terhadap sesuatu bagi kepentingan dan kebutuhan manusia. Sesuatu

adalah bernilai apabila berharga bagi manusia sebagai subjek. Sebagai ukuran tentang nilai

adalah baik-buruk, atau dalam arti luas adalah kebaikan. Sesuatu akan dikatakan bernilai

positif apabila dikehendaki dan memberikan manfaat dalam arti memberi kebaikan bagi

subjek.

Page 35: Mengenal masyarakat tengger

Hubungan antara pengetahuan dengan nilai adalah bahwa pengetahuan yang dimiliki

subjek merupakan nilai-nilai, baik yang dikehendaki ataupun yang ditolaknya. Diterima atau

ditolaknya sesuatu sebagai yang bernilai bagi seseorang sangat bergantung pada pengetahuan

dan penilaiannya terhadap sesuatu itu. Atas dasar kenyataan itu, maka jelaslah bahwa antara

pengetahuan dan nilai terkait erat, yang secara teoritis dapat dipisahkan dalam memahaminya,

akan tetapi secara praktis nilai terletak pada pengetahuan itu sendiri. Hubungan antara

keduanya adalah sangat erat dan timbal balik. Pengetahuan timbul karena adanya kemampuan

subjek (manusia) untuk mengenal objek, dan nilai itu terjadi karena adanya pengetahuan yang

dinilai untuk dimilikinya. Dengan pengetahuan itu subjek dapat mengembangkan diri menjadi

seperti sesuatu yang dikehendakinya.

Nilai-nilai ada yang bersifat universal, ada pula yang bersifat partikular. Nilai universal

bersifat abstrak umum, sedangkan yang partikular bersifat konkret instrumental. Nilai-nilai

instrumental inilah yang dapat berubah sesuai dengan waktu dan kondisi, sedangkan yang

abstrak-umum-universal adalah tetap tak berubah. Sebagai contoh nilai keadilan bersifat

abstrak-umum-universal, sedangkan bentuk konkretnya yang bersifat instrumental dapat

berubah, umpamanya adil diartikan sama rata dan sama rasa. Dalam kenyataan apakah mereka

yang bekerja Lebih intensif akan mendapatkan bagian yang sama dengan mereka yang

bekerjanya kurang intensif, meskipun dalam kurun waktu yang sama? Apabila keduanya

disamakan, apakah itu adil? Permasalahan seperti inilah yang sering menjadi perbedaan

pendapat. Dengan kata lain, apabila telah memasuki nilai-nilai instrumental sering terjadi

berbagai perbedaan pendapat karena kurang jelasnya kriteria yang digunakan.