Mengenal Dan Memahami Babad

47
Mengenal dan memahami Babad A. Pengantar Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih sireng swagotra kabeh (Ramayana, I.4).” Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis baru dalam berbagai bidang kehidupan politik, sosial budaya, bahkan moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali. Krisis tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal maupun internal, dan konflik dapat memicu terjadinya disintegrasi. Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat kaya dengan peninggalan budaya atau warisan budaya masa lampau. Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara berbagai jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah yang masih hidup dan berkembang di tengah – tengah kehidupan masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai – nilai dan peristiwa – peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, adat istiadat, keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya. Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan

description

semua babad yang pernah kita baca adalah benar adanya,,semua itu adalah mendidik kita guna menghargai leluhur,,dan jangan sekali-kali anda terbawa kearus fanatisme...semoga bermanfaat

Transcript of Mengenal Dan Memahami Babad

Mengenal dan memahami Babad

A. Pengantar

          “Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring

dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih sireng swagotra kabeh

(Ramayana, I.4).”

          Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis

baru dalam berbagai bidang kehidupan politik, sosial budaya, bahkan

moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali. Krisis

tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal

maupun internal, dan konflik dapat memicu terjadinya disintegrasi.

          Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat

kaya dengan peninggalan budaya atau warisan budaya masa lampau.

Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara berbagai

jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah

yang masih hidup dan berkembang di tengah – tengah kehidupan

masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai – nilai dan

peristiwa – peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan

kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, adat istiadat,

keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya.

          Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika

kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan perpanjangan

masa lampau, maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada

masa kini semestinya dapat dipahami dan dikembangkan dengan

memperhatikan latar historisnya (kehidupan masa lampau). Hal ini

berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa lampau,

misalnya tentang buah pikiran, pandangan, nilai – nilai yang pernah

hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu, babad

mempunyai peranan penting.

          Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah

bagaimana cara kita memandang, memahami, dan memerankan

babad pada kehidupan ini? Hal inilah menurut hemat saya perlu

didiskusikan pada kesempatan ini.

 

B. Apa itu Babad

          Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di

daerah – daerah lain, seperti Sulawesi Utara, babad disebut lontara, di

Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra,

dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di

Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono,

1985).

          Ada bermacam – macam pengertian babad. Menurut

Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis karya sastra –

sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam,

anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa

atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad

merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional

sebagai suatu bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat,

dimana sifat – sifat dan tingkat kultur mempengaruhi dan bahkan

menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan

kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad

merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada

uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa

sejarah. Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik

atau genealogik yang mengandung unsur – unsur kesastraan.

Demikanlah ada bermacam – macam pengertian babad. Akan tetapi,

pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang dikemas

dengan unsur – unsur kesastraan.

 

C. Hakikat Babad

          Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas

dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Maka realitas itu telah

menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah mutlak

dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai

teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali,

menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah

dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad

merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh

karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku

dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang

penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi

manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara

faktual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca

babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan

story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara

kenyataan dan impian yang kedua – duanya hakiki untuk kita sebagai

manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai

karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap,

selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku

selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia

harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada

sehingga cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang

seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang latar

belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan

oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio

– budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).

 

D. Sifat Babad

       Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas,

maka babad memiliki sifat – sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-

magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan

alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa),

hagiografis (mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum

alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat

atau bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan,

suara gaib, tabir mimpi), istana sentris (berpusat pada kerajaan),

pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal

(bersifat kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).

 

E. Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini

          Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada

hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif

kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan

itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di

balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat

sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu

cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui

simbolisasi dari nilai – nilai atau konsep – konsepsi sosio-religius yang

mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari

segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam

konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad

sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu

sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia

berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad

dapat dipandang sebagai konsepsi – konsepsi orang Bali dalam

menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara

historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai suatu abstraksi

tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali.

Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama

dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam

konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan

mengingat peristiwa – peristiwa historis dengan segala

konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami

dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa

fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan

kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki

hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta.

Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat

kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data

yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan

secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan

sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad

sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik

sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber – sumber

lainnya.

          Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan

dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu,

fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan) asal –

usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal – hal

lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor – faktor

kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan

satu sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme,

dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan

dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.

          Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada

leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan

(sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak

kasus ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor

“tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut

hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya

kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula

diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk

dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang

Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar

malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti ring

dewa).

          Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan

(pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing – masing. Dalam

tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk

penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku

orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran

– ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian

karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang

sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh

keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih

mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai

individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan

keturunannya untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap

linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali

sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan

antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha

pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun

Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu

memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang

tersembunyi dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur

pada masa lalu). Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu

klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad

sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk

pelaksanaan dharma masing – masing (dharma agam dan dharma

nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur

itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk

masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat

diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat

pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan

kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya

dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman

dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak

dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh

karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun

eksaternal.

          Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni

yang lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan

genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber

pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan

dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau

sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang

mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi,

simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti.     

 

 

PEMBAHASAN

BABAD PASEK

 

Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.

          Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat

halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar

sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok,

si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung,

Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang

Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis

Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1,

tanggek 1, tahun Caka 11.

          Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari

Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli),

rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai

angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi

disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya

hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air

salodaka (air belerang) dari sana.

          Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa

Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan

Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka

tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi

Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut

Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu

berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya

berparhyangan di Gunung Lempuyang.

          Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu

berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku

bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya

engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.   

          Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang

menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan

menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami

masih dalam keadaan  anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak

tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.

          Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku

akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu

kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.

          Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan

dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu

melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir

berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.

          Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya,

memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: “Cucuku

semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku

telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan

yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu”.

          Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di

lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang

memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini

diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam

selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji

Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena

raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada

dewa – dewa dan kawitan – kawitan.

          Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang

Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi – Widhana

pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti

dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke

Besakih. Kemudian datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki

perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa

sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau

orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan

sangat lengkap?”

          Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi

ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada

Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem?

Apa yang engkau minta disana?”

          “Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman)

supaya makmur dan menjadi tanam – tanaman kami dan minta

keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab

orang – orang Bali.

          Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik:

“Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana,

sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada

dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.

          Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani

meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika

itu terjadi pada tahun Caka 896.

          Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa,

yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk

menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang

sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa

dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang

bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka

berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya

mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali.

Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai

Tukad Petanu.

          Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai

Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan

dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan,

karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong,

ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat

musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji

– panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang

sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa

yang telah meninggal.

          Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.

          Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara

Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: “Cucuku

sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin

ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran

kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun –

turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya,

supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan

kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia

pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga

– moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting

harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat

pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula

tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara

Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha

baiknya.

          Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang

perahu dari daun kiambang (kapu – kapu), memakai layar daun pangi,

pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla)

tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).

          Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan,

pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka

terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan

tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan

sujud menyembah lalu berkata.

          “Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam

Parhyangan”. Mpu Genijaya mengangguk mengiakan seraya berkata

“Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu tangannya

dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam

parhyangan lalu masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia.

Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus –

putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan

filsafat mengenai Ketuhanan.

          Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya

pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar.

Demi terlihat

oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh –

gopoh menyongsong seraya menyembah, katanya: “Silahkan paduka

kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.

          Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik

itu masuk dalam parhyangan.

          “Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana.

Marilah adikku berdua, bersama – sama duduk dengan kakak”!

          Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing

dalam parhyangan, maka mulailah pembicaraan yang mengenai ajaran

kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian

seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.

          Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh

dua orang adiknya Mpu Gana dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka

langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa

kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah

gembira hatinya seakan – akan mendapat percikan tirtha amertha

seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan

ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya

membalas dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan –

akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru

berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik

berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak

mengijinkan “Jawab Mpu Genijaya”. Setelah sama – sama duduk

Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:”Kapankah kakak

pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?

          “Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih

dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus

mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan,

Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci

(Wijaksara).

          Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu

patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta empat itu menghaturkan

puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan

sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.  

Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya

Mpu Ketek telah beristri seorang wanita anak dari Arya Padang

Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang

Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu

Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu

Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya

adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra

bernama Mpu Wiradharma.

          Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya

Mpu Wirarunting. Mpu Prateka mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan

bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu Dangka

beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya

bernama Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan

memper pula tinggi bathinnya.

          Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam

kitab. Diceritakan pula anaknya Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang

pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu

Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua

elok rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu

Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi

Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.

          Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda

raja Jirah bernama Ni Dewi Ratnamanggali. Dari perkawinan ini

berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki – laki.

Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha,

yang perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni

Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan

Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya.

Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat

Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam

jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun

derajatnya menjadi orang hina.__

          Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan

datang menghadap kakaknya di Cilayukti, berhasrat hendak

mengetahui bukti – bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang

panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di

Cilayukti dengan berperahu kayu pelud yang hanya segenggam

panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: “Adikku selamat datang,

silahkan duduk”.

          “Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini

adalah ingin mengetahui kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika

boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: “Jika

demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana

ada seekor ayam baru bertelur tiga butir”.

          “Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan

mengeluarkan kekuasaan bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan

kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu

datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu

Mpu Kuturan tiga butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya:

“Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing – masing telur ini?

          “Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk

mempersatukan ketajaman pandangan jiwanya ke dalam telur itu.

Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak Pendeta, telur yang

tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya

angsalah yang lahir dari padanya”.

          Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama

antaranya, telur yang dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa

dari dalamnya.

          Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah

ini; apa nanti lahir dari dalamnya”?

          “Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya

menerka telur terbawah lebih dulu. Gagak putih akan keluar dari

dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari

dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.

          Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka

lagi!”

          Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua

ekor naga”.

          Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua

ekor naga yang buas, mulutnya menganga hebat dahsyat, taringnya

tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat lalu

terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.

          Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu

Bradah bersemadi sejenak mencipta dengan kekuatan ilmu aji

Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur

mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti.

Apabila tidak keberatan, coba persatukan pandangan bathin, apa

gerangan lahir dari padanya nanti.

          “Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan

seraya mengumpulkan dan semusatkan bathinnya dengan ilmu aji

Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna”.

          Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu,

keluarlah dari dalamnya hujan bunga panca warna harum semerbak

memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak, coba

yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di

tengah air tirtha Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang

ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya air

tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata

pula: “Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya

terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik –

baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah itu

Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang

benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing

wayang, berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu

timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.     

          “Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari

sejak ini sampai kemudian tidak boleh engkau bertelur dalam lautan

moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka

kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah

sebabnya bangsa penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak

makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan

kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan

Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka

beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama

kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik

atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan

Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.

          Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari

pulang Mpu Bradah itu ke Jawa, setelah mohon diri kepada kakaknya

Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel menju

Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel,

setelah mohon diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih,

kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah selesai

mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan

perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.  

          Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur

kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan maka pulanglah Sang

Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan

atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu

Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah

lebih lanjut, anak cucu dan turun – turunan dari Sang Panca Tirtha itu

semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap

leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat

akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di

Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh

anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu

Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan

Mpu Dangka.

          Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian,

oleh karena Abra Sinuhun (Kawitan) kita telah pulang ke alam baka,

serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila hari Purnama

Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan

tiba maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap

Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik –

adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka

kakak, marilah berkemas berangkat”.

          Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang,

lalu para Mpu sekalian ke Besakih untuk melakukan Sugimanik di sana

dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari

Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.

          Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka

mohon dirilah mereka pergi sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap

– tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali menghaturkan

pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa

terhadap roh – roh suci leluhurnya).

          Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek

telah mempunyai seorang anak dewasa bernama Sanghyang Pamanca

mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi

Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).

          Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya

beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.

          Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan

anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna Dewi Sumanggali.

          Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil

seorang istri anaknya Mpu Bahula juga yang bernama Ni Dewi

Girinatha.

          Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri

kepada anaknya Mpu Ciwagandu bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan

anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya

Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.

          Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka

pun telah beristri anaknya Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.

          Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama

beristri mengambil dari sepupu dan dua pupu (misan dan mindon),

semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya

masing – masing.

          Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya

mengambil istri anaknya Sang Hyang Pamanca bernama Ni Ayu

Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.

          Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu

Subrata dipakai istri Sang Kulpetak melahirkan seorang putra bernama

Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang,

seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita

bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan

oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu

berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama Mpu Wira

Ragarunting.

          Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu

Dangka tiga orang, seorang laki bernama Sang Iradangka, dua orang

wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.

          Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha

Jawa, semuanya taat melakukan dharma kepanditaan.

          Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para

Mpu pergi dari negara Daha, diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu

Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma,

Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu

dulu pergi dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di

Tumapel.

          Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang

Kulpotak, anaknya Mpu Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma,

anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu

Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju

Negara Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji

Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).

          Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra

dua orang laki perempuan yang bernama Arya Pamacekan, yang

perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya)

Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang

Kulputih, dua orang laki perempuan yang laki bernama Wira Sang

Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya

Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes,

yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu

Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang

bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana.

Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang

bernama Swani.

          Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan

bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh anaknya Mpu Pratekayadnya

yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan

bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang

bernama Sang Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni

Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan

bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit,

diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya

Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis

telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian

Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat

agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di

Pulau Bali.

          Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah

Mada mengaturi Mpu Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk

menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di

Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali

mendapat keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem

yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan

Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh

anak istri dan putranya semua.

          Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura

Besakih. Dengan segera memerintahkan orang – orang Bali yang

berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera

memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan

terutama di Besakih. Orang – orang Bali semua dengan girang

memperbaiki masing – masing terutama di Sad Kahyangan masing –

masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik

belang kalung.

          Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang

bungkem, itik belang kalung, angsa, kambing, kerbau hitam Sasih 9

ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di

Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun

Bhatara Kabeh.

          Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali

menghaturkan wali di parhyangan, demikian juga di Besakih, di

lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel,

dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu.

Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada,

harumnya memenuhi taman itu,

 karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan

suaranya mengisap bunga.

          Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari

Jawa telah tiba di Gelgel. Setibanya di Bali segera mengatur

pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta

mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai

Agung di seluruh desa di Bali. Demikian pula yang dijaganya

parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura – pura

lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa,

Pejeng, dan lainnya.             

        Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu –

dahulu, sebagai halnya para leluhur yang telah ke alam baka dulu.

Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara – saudaranya

mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil

seorang istri yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.

          Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki – laki

bernama Kyai Smaranatha beristrikan cucunya Mpu Wiradangka

bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki – laki bernama I Rare

Angon.

          Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa

Manikhyang lalu berputra dua orang laki – perempuan. Yang laki – laki

bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama Ni Luh

Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya

bernama I Pasek Gelgel. Demikian riwayatnya dahulu keadaan para

Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun – turunannya tidak taat

kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang

menjadi orang tani. Disebutkan pula anaknya Mpu Ketek bernama Arya

Kepasekan. Anaknya ini beranak pula 2 orang laki perempuan, yang

laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan bernama Ni

Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh Gusti Pasek Agung Subadra

berputra 2 orang laki – laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek

Denpasar.

          Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang

Kulputih saudara dari mangku Sang Kulputih, adalah seorang anaknya

bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung Subadra

berputra 2 orang laki – laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung

Pasek Subadra. Dan putranya Mpu Kananda dulu yang bernama Mpu

Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang Kulputih, Sang Kulputih ada

dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh Sorga,

bertempat tinggal di desa Sorga sama –sama taat beryoga semadi di

Besakih. Sekalian turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang

Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana bernama Mpu Wiranatha

telah bernama Mpu Purwanatha, Mpu ini berputra bernama Arya Tatar.

Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya

bernama De Pasek Tatar. Apa sebabnya demikian, karena lahirnya

dahulu dari seorang perempuan dari Shri Aji Tatar.

          Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama:

Mpu Lempita, Mpu Panandha, dan Mpu Pastika.

          Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di

Cilayukti melakukan yoga sangat taat dan melakukan dharma Sukla

Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu terhitung Kempiang dari

saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan

anaknya Arya Tatar lalu bernama Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan

Patih oleh Raja Bali yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem

Masula – Masuli dulu.

          Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran

Tangkas sedang remaja putri, diambil istri oleh Kyai Pasek Agung

Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri Agung

merasa akan diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia

beramanat kepada I Gusti Agung Pasek Gelgel katanya: “Hai anakku

Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapa

menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai

keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada seorang anakku

perempuan saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapa akan

berikan kepadamu Gusti Agung.

          Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba

sedikit serta pelayanan 200 orang, semuanya itu anakku

mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian

apabila bapa pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan

upacara jenazahku. Yang penting permintaanku adalah agar sama

olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu sendiri. Dan

peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya

Pangeran Mas kepada leluhur kita, yaitu supaya jangan putus turun –

turunan kita dengan sebutan Bandesa. Sebabnya ialah supaya mudah

oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada lahir

dari beliau.

          Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa

minta kepadamu, bila kemudian ada anugerah Tuhan kepadamu

terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh

Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu

sampai kemudian, supaya mudah leluhur kita mengingati turun –

turunannya nanti di Sorga.

          Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek

Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek Gelgel belum berani memutuskan

sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan suadara –

saudara sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian

saudara – saudaranya, maka ketika itu barulah I Gusti Pasek Gelgel

menurut katanya Gusti Tangkas Kori Agung.

          Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh

Tangkas dengan upacara yang besar dan meriah. Kecuali dari sanak

saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang yang turut

memeriahkan perkawinan itu.

          Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang

banyak, selalu menjadi tangan kaki Dalem, pengatur balai Agung di

pelosok desa di Bali.

          Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang

sulung bernama De Gurun Pasek Gelgel menjadi kepala pengatur Bale

Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek Togog menjadi

pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal

Rajapurana, ahli kependetaan dan segala pengetahuannya terutama

upacara jenazah serta adat penyelesaiannya, sampai kepada

kemoksaan dan kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya

laki – laki yang sulung bernama I Dukuh Ambengan, adiknya De Dukuh

Sabudi yang bungsu Dukuh Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan

kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak bernama De Dukuh

Prawangsa, semua mengembangkan turunan, semua itu berasal dari

satu kawitan.

          Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh

Tangkas Kori Agung berputra empat orang laki – laki, yang sulung

bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa Tangkas, I Nyoman

Pasek Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.

          Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh

Dalem ke desa – desa yaitu: I Bendesa Muncan membukti sawah winih

50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa Sebetan mabukti

winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa

Sangkiding mabukti winih 50, I Bendesa Sabegan mabukti winih 50, I

Bendesa Timbrah mabukti winih 50, yang bernama Atakapi. Dan I

Bendesa Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih 50,

adapun I Bendesa Manikan mabukti winih 100, I Bendesa Ujung

mabukti winih 50.

          Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale

Agung yaitu: I Pasek Budaga, De Pasek Sangkan Buana, De Pasek

Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek

Bebetin, dan De Pasek Depaa.

          I Pasek Akah beranak tiga orang laki – laki bernama: I Wayan

Pasek Akah, I Pasek Tabola, I Pasek Wangsian. Adapun De Pasek

Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek

Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran,

semuanya itu turunan De Pasek Gelgel.

          Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi

Tohjiwa, anak – anaknya juga banyak, semuanya menjadi

penyelenggara Bale Agung di desa – desa seluruh Bali.

          Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya,

adiknya bernama De Pasek Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek

Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah, De Pasek ring

Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De

Pasek Pupuan, De Pasek Sanda, sekian jumlah turunan Kyai Pasek

Tohjiwa.

          Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari

Gelgel menuju Bale Agung di seluruh Bali. Anaknya tertua bernama

Pasek Padang Subadra, beruma di Padang, menyelenggaraan Pura

Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura

Dalem menjadi Pamangku, sebab itu bernama Dukuh Suladri.

Semenjak itu bernama Dalem Suladri.

          Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek

Dukuh Pahang, De Pasek Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan

De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De Juntal. Demikian banyak

turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya

bercabang ranting.

          Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek

Tatar, adik – adiknya Ki Pasek Panataran di Desa Telengan, De Pasek

Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale Agung, De Pasek

Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama – sama mengembangkan

turunannya.

          Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh

Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung, De Pasek prateka ring Akah, De

Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.

          Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin

berkembang.

          Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha

menuju Majapahit menuju Danghyang panataran, di sana berputra dua

orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di tempat Dnaghyang

Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke

Brambangan Keniten semuanya, diterima oleh Dalem juru di

Brambangan baik – baik. Tetapi lama kelamaan adalah timbul

pertikaian – pertikaian, sebab disangka permaisurinya Keniten

menaruh cinta kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang guna –

guna, sebab itu harum bau keringatnya.

          Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh

istrinya mengarangkan hal dirinya sebab itu ada termasuk dalam

nyanyian (poezi) “Siapakah yang akan mengobati birahiku tidak lain

permaisuri Kaniten yang seakan – akan Saraswati”.

          Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali,

mengendarai Waluhkele, tangan dan kakinya digunakan dayung dan

kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan jukung

bocor.

          Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu

saat turun Danghyang Nirartha di Kapurancak yaitu di Pantai Pulau

Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan memenuhi

kehancuran sebab seakan – akan telah kena bajra – wisa dan Dalem

Baturenggong seakan – akan Parupati.

          Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu

meneruskan perjalanannya ke daratan, diiringi oleh istri dan tujuh

orang anaknya.

          Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena

ditanya ditanya pendeta, menunjuk arah ke Timur. Dalam perjalanan

menempuh hutan itu tiba – tiba bertemu dengan seekor kera besar

menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata:

“Hai kera besar berikanlah kami jalan.” Lalu kera itupun

menghindarkan diri, maka pendeta beserta rombongannya

melanjutkan perjalannya.

          Tiba – tiba bertemu pula dengan seekor naga besar

menghadang di perjalanan, mulutnya menganga setinggi orang berdiri.

Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam perutnya maka

dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian

keluarlah beliau dengan wajah muka yang hitam warnanya. Dengan

hal yang demikian larilah anak istrinya kemudian warna muka pendeta

itu berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula anak

istrinya, tetapi sayang seorang anaknya hilang. Putrinya yang hilang

itu bernama Ida Ayu Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu

merupakan orang halus yang luput dari umur tua dan mati. Beliaulah

dianggap Dalem Melanting di Pulaki. Demikian diceritakan.

          Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani,

dan kebetulan waktu itu orang – orang desa Gadingwani diserang

penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya (adem,

susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah

Kepala Desa (Bendesa) Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu

adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia menghadap dengan

sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya

(diniksan).

          Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di

seluruh Desa Mas. Maka Pangeran menghadap kepada pendeta,

dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama

kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara).

Demikianlah riwayatnya.

          Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu

ayahnya pergi ke Gelgel akan memberi tirtha pembersihan (ndisain)

Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di Banjarwani Tengah

dulu, di rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu

ditinggalkan oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu beliau mengutuk

desa disana yaitu disebelah Utara Rambut Siwi, orang desa di sana

sebanyak 800 perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta

penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya jangan terus

mengutuk desa itu, sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni

Ayu Swabhawa tidak meluluskan. Hanya ada pemberiannya yaitu

santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati bernama

Canting Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana.

Semua itu boleh dipakai oleh Bedesa Mas dan turun- turunannya

selama hidup dalam Pulau Bali.

          Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai

Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh orang – orang yang tidak kelihatan

yang disebut Sumedang.

          Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang

Sidhimantra berputra seorang laki –laki yang tabiatnya suka benar

berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik Angkeran.

Dahulu semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian,

sangat duka cita, lalu dicuri genta bajra pendeta (ayahnya) yang

bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali menuju Tolangkir

yaitu: di Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke

ujung hidung (angkrana sika) pada sudut sebuah goa, seraya

membunyikan genta I Brahmana itu. Maak terdengarlah suara genta

itu oleh Bhatara Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar

menjumpai orang yang membunyikan bajra itu, katanya: “Apa

sebabnya engkau Bagus datang ke Bali memanggil aku ini” Ida Manik

Angkeran menjawab: “Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin mohon

bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu menang dalam

perjudian, untuk bekal ke Majapahit.

          Jawab Bhatara: “Jika demikian aku anugrahi engkau menang

dalam sambungan ayam supaya banyak mendapat mas, pulanglah

engkau Manik Angkeran.” Hingga tiga kali Bhatara mengulangi

sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari

tempatnya akhirnya ia berkata: “Ya Bhatara hamba ucapkan terima

kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum hamba meninggalkan tempat

ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu.”

          Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah

bagian ke dalam goa, maka terlihat oleh Manik Angkeran sebuah Intan

besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga Raja.

Gairah hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak

tertahan olehnya, lalu segera menghunus keris pejenengan yang

bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan kepada ekor

Bhatara itu. Sekali parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera

diambil intan itu, terus dilarikan.

          Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang

demikian itu, segera bekas tapak kaki Manik Angkeran itu dijilat yang

sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar hangus

menjadi abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja

tetap berduka cita.

          Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was – was akan

terjadi sesuatu bahaya yang menimpa diri anaknya, karena tidak

kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung ayam. Ketika

itu kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra

hendak memuja, dicarinya genta bajra si Brahmana sudah hilang, kian

bertambah duka cita Sang Pendeta dan merasa dalam bathinnya:

“Wahai kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali” segera

diambilnya daun alang – alang dikucanya keluar api.

          Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali

menuju ke Besakih. Di muka goa Bhatara Naga Raja beliau memuja.

Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta memuja,

tiba – tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya

Bhatara Naga Basuki. Terlihatlah oleh Bhatara seorang pendeta pucat

lesi wajah durjanya bersanda: “Apa sebab Sang gede datang ke Bali

memujaku?”

“Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran”, jawab

Bhatara Sidhimantra. Sabda Bhatara: “Wah ia telah hangus menjadi

abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik Angkeran sangat durhaka

kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede?

Apa ingin supaya ia hidup? Saya akan meluluskan apabila Sang Gede

dapat menyambung ekorku kembali sebagai sediakala.”

          Demikian sabda Bhatara.

          Jawab Sang Pendeta: “Baiklah hamba mengerjakan perintah

Bhatara”. Seketika itu ekor Bhatara Naga Raja yang putus itu

dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala

tidak ada cacatnya.

          Sabda Bhatara: “Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram

Sang Gede, mulai saat ini berhenti bernama Mpu Bekung, Mpu

Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang lihatlah anak

Sang Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat

abu anaknya, tampak sebuah intan di dalamnya. Intan itu diambil lalu

abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra. Seketika itu Manik Angkeran

hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu,

segera bangun menggapai intan itu, hendak melarikan diri. Danghyang

Sidhimantra cepat berkata: “Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan

yang kamu gapai – gapai itu telah Bapa yang membawanya”.

          Manik Angkeran membuka matanya lebar – lebar

memperhatikan orang memanggil namanya. Terlihatlah olehnya

Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki.

Manik Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: “Anakku

Manik Angkeran, ketahuilah dirimu bahwa engkau telah mati kemarin,

disebabkan karena terlalu durhaka kepada Bhatara. Kini demi belas

kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada

Bhatara supaya menjadi juru sapu Bhatara Gunung Agung, diberi

wewenang turun menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali”.

          Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah,

demikian pula terhadap Bhatara Nagaraja. Danghyang Sidhimantra

gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah menuruti

nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke

Jawa. Setelah sampai di Pantai Desa Gadingwani maka beliau berhenti

berjalan seraya berpikir – pikir: “Jika tidak dibuatkan empengan, tentu I

Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika (melihat

ujung hidung) mempersatukan bathinnya untuk mengadakan suatu

ciptaan. Tiba – tiba Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu

digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu hubungan laut Utara

dengan laut Selatan merupakan selat kecil dinamai segara Rupet.

          Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka

Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan turunan – turunan Ida Manik

Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.

            Kemudian dari pada itu turun – turunan Ki Pangeran Mas

membuat pula pura disana diberinya nama juga Bukeabe, yang patut

diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama oleh

turun – turunan I Pangera Mas.

          Apabila ada kemudian turun – turunan I Bendesa Mas tidak ingat

dengan persembahyangannya terhadap Pura Pule dan Bukeabe,

seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut

kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan

menyalahi tata tertib/susila, tidak putus – putusnya dirundung

kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam – piagam.

Demikianlah amanat I bendesa Mas kepada anak cucunya. “Janganlah

engkau anak cucuku lupa terhadap amanatku ini”. Demikianlah kata

Bendesa Mas terakhir.

          Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek

dan I Bendesa Mas, yaitu:

          Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana,

menggunung pitu, ancak taman, kapas warna sembilan, karang liman,

memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap

dengan segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang,

berkemul, terpana, paturalangan yang berbentuk serba bintang, boleh

dipergunakan nista media utar, matebas – tebas, utamanya dengan

uang 8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.

          Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus,

Amanat paduka Bhatara Sakti Wahurawuh demikian itu dinasehatkan

oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.     

KESIMPULAN

BABAD PASEK

          Berdasarkan penjabaran Babad Pasek diatas dapat saya tarik

kesimpulan:

1.       Bahwa pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis

yang dikemas dengan unsur – unsur kesastraan.

2.     Masyarakat Bali mengenal kawitannya berdasarkan fakta dan

bukti – bukti yang ada bukan pada khayalan dan cerita

semata. Untuk itu semua babad yang ada di Bali pada

dasarnya bersifat sakral magis, religio magis, legendaris,

mitologis, hagiografis, simbolis, sugestif, istana sentris,

pragmentaris, raja kultus, dan lokal.

3.     Babad berfungsi antara lain yaitu:

a.      Untuk melegitimasi (mengesahkan) asal – usul/silsilah

leluhur, kejadian/peristiwa, desa, pura atau hal – hal

lainnya.

b.     Sebagai penghormatan kepada leluhur.

c.      Sebagai penuntun para keturunan dalam menjalankan

kewajibannya masing – masing.

d.      Sebagai sumber inspirasi seni.

 

PENUTUP

      Demikianlah secara singkat Babad Pasek yang telah saya uraikan

diatas semoga dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi

generasi muda agar dapat lebih memahami dan mengenal lebih dalam

cerita dari babad pasek tersebut

          Akhirnya kritik dan saran yang membangun saya harapkan dari pembaca.