Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

20
HUBUNGAN ASPEK MANAJEMEN PETUGAS TB PARU PUSKESMAS DENGAN CAKUPAN PENEMUAN TB PARU DI KABUPATEN GROBOGAN, 2004*) * Sutopo Patria Jati **) Edi Sucipto ***) ABSTRAK Kabupaten Grobogan telah menerapkan kebijakan operasional program penanggulangan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS sejak tahun 2000 tetapi cakupan penemuan penderita TB Paru rata-rata hanya mencapai 15,2% dari target dari kabupaten sebesar 50% dan masih terdapat 27 Puskesmas (90,0%) belum mencapai target di tahun 2003. Berdasarkan hasil laporan evaluasi program TB Paru oleh Dinas Kesehatan Dan Kesejahteraan Sosial (DKKS) Kabupaten Grobogan tahun 2003 dinyatakan bahwa aspek manajemen petugas TB Paru Puskesmas masih buruk. Masih ada 85% dari 30 petugasTB Paru Puskesmas yang tidak membuat perencanaan, 70 % tidak melakukan kerjasama, dan yang tidak melakukan monitoring dan evaluasi 75%. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan aspek manajemen yang meliputi perencanaan, kerjasama dan monitoring dan evaluasi oleh petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB Paru di Kabupaten Grobogan. Jenis penelitian ini explanatory dengan metode survei. Seluruh anggota populasi yang berjumlah 30 petugas TB puskesmas di Kabupaten Grobogan akan diteliti. Variabel penelitian meliputi aspek perencanaan, aspek kerjasama, aspek monitoring& evaluasi serta cakupan penemuan TB Paru. Data dianalisis dengan uji statistic Rank Spearman. Dibuktikan ada hubungan dari 3 aspek yaitu perencanaan (p value = 0,003; r = 0,527), kerjasama (p value = 0,002; r = 0,539), dan monitoring & evaluasi (p value = 0,005; r = 0,504) petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB Paru Dengan demikian petugas TB Paru harus memperbaiki perencanaan, kerjasama, monitoring dan * *) Makalah ini dimuat dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM UNDIP, Vol. 4 Tahun 2006 **)Staf Bagian AKK FKM UNDIP Semarang ***) Petugas TB di Puskesmas Geyer II Kabupaten Grobogan 1

description

Penemuan penderita TB Paru ternyata selama ini cenderung masih rendah. Silahkan bisa di download di http://www.ziddu.com/download/4016644/MengapaCakupanPenemuanTBParudiPuskesmasMasihRendah.doc.html

Transcript of Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

Page 1: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

HUBUNGAN ASPEK MANAJEMEN PETUGAS TB PARU PUSKESMAS DENGAN CAKUPAN PENEMUAN TB PARU DI KABUPATEN GROBOGAN, 2004*)* Sutopo Patria Jati **) Edi Sucipto ***)

ABSTRAK

Kabupaten Grobogan telah menerapkan kebijakan operasional program penanggulangan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS sejak tahun 2000 tetapi cakupan penemuan penderita TB Paru rata-rata hanya mencapai 15,2% dari target dari kabupaten sebesar 50% dan masih terdapat 27 Puskesmas (90,0%) belum mencapai target di tahun 2003. Berdasarkan hasil laporan evaluasi program TB Paru oleh Dinas Kesehatan Dan Kesejahteraan Sosial (DKKS) Kabupaten Grobogan tahun 2003 dinyatakan bahwa aspek manajemen petugas TB Paru Puskesmas masih buruk. Masih ada 85% dari 30 petugasTB Paru Puskesmas yang tidak membuat perencanaan, 70 % tidak melakukan kerjasama, dan yang tidak melakukan monitoring dan evaluasi 75%. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan aspek manajemen yang meliputi perencanaan, kerjasama dan monitoring dan evaluasi oleh petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB Paru di Kabupaten Grobogan. Jenis penelitian ini explanatory dengan metode survei. Seluruh anggota populasi yang berjumlah 30 petugas TB puskesmas di Kabupaten Grobogan akan diteliti. Variabel penelitian meliputi aspek perencanaan, aspek kerjasama, aspek monitoring& evaluasi serta cakupan penemuan TB Paru. Data dianalisis dengan uji statistic Rank Spearman. Dibuktikan ada hubungan dari 3 aspek yaitu perencanaan (p value = 0,003; r = 0,527), kerjasama (p value = 0,002; r = 0,539), dan monitoring & evaluasi (p value = 0,005; r = 0,504) petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB Paru Dengan demikian petugas TB Paru harus memperbaiki perencanaan, kerjasama, monitoring dan evaluasi agar penemuan TB Paru lebih berhasil di Kabupaten Grobogan.

Kata kunci : Cakupan PenemuanTB Paru, Aspek Manajemen Petugas TB

PENDAHULUAN

Penyakit TB Paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di

Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan

bahwa penyakit TB merupakan penyakit kematian nomor tiga (3) setelah penyakit

kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan

nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Tahun 1999, WHO memperkirakan

**) Makalah ini dimuat dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM UNDIP, Vol. 4 Tahun 2006**)Staf Bagian AKK FKM UNDIP Semarang ***) Petugas TB di Puskesmas Geyer II Kabupaten Grobogan

1

Page 2: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB Paru dengan kematian karena TB Paru

sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia

terdapat 130 penderita baru TB Paru BTA Positif. Sejak tahun 1995 program

pemberantasan penyakit tuberkulosis paru (TB Paru) telah dilaksanakan dengan

strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasi oleh

WHO. Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dapat memberikan angka

kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi

kesehatan yang paling cost-effective. Di negara-negara berkembang kematian TB Paru

merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan

95% penderita TB Paru berada di negara berkembang, 75% penderita TB adalah

kelompok usia produktif (15-50 tahun) (Buku Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis, Depkes RI, 2002)

Strategi DOTS dalam program penanggulangan TB Paru harus mencapai

target yang telah ditentukan. Adapun indikator nasional yang harus dipenuhi adalah

angka penemuan penderita / case detection rate 70%, angka kesembuhan / cure rate

85%, angka konversi / conversion rate 80% dan angka kesalahan laboratorium / error

rate < 5%.( Program Penanggulangan Tuberkulosis Modul 1, GERDUNAS – TB ,

2001).

Propinsi Jawa Tengah juga telah menerapkan kebijakan program

penanggulangan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS sejak tahun 1995.

Namun hanya beberapa kabupaten atau kota melaksanakan program penanggulangan

TB Paru. Kabupaten Grobogan sebagai daerah obyek penelitian telah menerapkan

kebijaksanaan operasional program penanggulangan TB Paru dengan menggunakan

strategi DOTS sejak tahun 2000. Pada tahun 2003 pelaksanaan cakupan penemuan

penderita TB Paru kurang optimal yaitu dari 30 Puskesmas yang ada di Kabupaten

2

Page 3: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

Grobogan masih ada 27 Puskesmas (90,0%) yang belum mencapai target. Cakupan

penemuan TB Paru hanya mencapai 15,2% dari 50,0% target yang telah ditentukan.

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi program TB Paru Dinas Kesehatan Dan

Kesejahteraan Sosial (DKKS) Kabupaten Grobogan pada tahun 2003 dilaporkan

bahwa aspek manajemen petugas TB Paru Puskesmas ternyata masih buruk. Dari 30

petugasTB Paru Puskesmas sebanyak 85% tidak membuat perencanaan, masih ada

70% yang tidak melakukan kerjasama, serta yang tidak melakukan monitoring dan

evaluasi sebanyak 75%. Dilaporkan juga masih ada petugas TB Paru Puskesmas yang

belum mendapatkan pelatihan khusus tentang manajemen pelaksanaan program TB

Paru; petugas TB Paru tidak mendapatkan insentif dari pelaksanaan program TB Paru;

dan masih banyak petugas TB Paru yang merangkap tugas/ program lain. (Profil

Kesehatan Kabupaten Grobogan Tahun 2003, DKKS Kab. Grobogan, 2003).

Keberhasilan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru sangat

tergantung dari aspek manajemen selain ketrampilan teknis dari masing-masing

petugas pengelola program. Sehubungan dengan hal tersebut penulis ingin melakukan

penelitian tentang hubungan aspek manajemen meliputi aspek perencanaan,

kerjasama dan monitoring & evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan

penemuan TB Paru di Kabupaten Grobogan.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross

sectional (Notoatmodjo Soekidjo,1993). Seluruh anggota populasi dari petugas TB di

puskesmas Kabupaten Grobogan sebanyak 30 orang akan diteliti. Variabel dependen

adalah cakupan penemuan TB paru dan variabel independennya meliputi aspek

perencanaan, kerjasama dan monitoring-evaluasi dari petugas TB di puskesmas. Data

dikumpulkan dengan teknik wawancara dan observasi dokumentasi. Untuk data

3

Page 4: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

aspek manajemen petugas TB Paru menggunakan instrumen kuesioner meliputi 60

item pertanyaan terstruktur. Analisis data menggunakan uji statistik Rank Spearman

dengan tingkat signifikasi 0,05.( Sugiyono,2001). Untuk data cakupan penemuan

penderita TB Paru dilakukan dengan cara observasi dokumen pemeriksaan dari TB 05

dan TB 06 dan datanya akan dianalisis menggunakan rumus Case Detection Rate

(CDR) sebagai berikut : (Buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,

Depkes RI, 2002)

Berdasarkan target dari Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten

Grobogan untuk CDR tahun 2004/2005 adalah > 50 % (Profil Kesehatan Kabupaten

Grobogan Tahun 2003, Dinkes Dan Kessos Kab. Grobogan, Purwodadi, 2003).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Dari 30 petugas TB puskesmas di Kabupaten Grobogan sebagai responden

terbanyak adalah laki-laki yaitu 80,0%, sedangkan perempuan hanya 20,0%, umur

rata-rata 36 tahun , tingkat pendidikan sebagian besar berpendidikan D3 yaitu

sebanyak 63,3% dan yang berpendidikan SLTA sebanyak 36,7%. Berdasarkan

lamanya bekerja menangani TB Paru termasuk kategori < 4 tahun adalah 50,0% dan

kategori > 4 tahun adalah 50,0%.

Penilaian Aspek Manajemen Dan Cakupan Berdasarkan Karakteristik Petugas TB

Hasil kategori aspek perencanaan ternyata 60,0% responden termasuk kriteria

sedang, 20,0% baik dan 20,0% kurang. Aspek kerjasama kriterianya adalah: 63,3%

responden termasuk sedang, 20,0% baik dan 16,7% kurang. Sedangkan aspek

monitoring dan evaluasi hasilnya adalah: 50,0% termasuk sedang, 30,0% kurang dan

4

CDR = Jumlah penderita baru BTA (+) yang dilaporkan x 100%Perkiraan jumlah penderita baru BTA (+)

Page 5: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

20,0% baik. Pencapaian CDR dari 30 petugas TB Paru Puskesmas yang termasuk

cakupan buruk (CDR < 50%) sebesar 90,0% dan cakupan baik (CDR ≥ 50%) hanya

sebesar 10,0%.

Perbedaan proporsi pencapaian nilai aspek perencanaan termyata responden

dengan kategori umur lebih tua cenderung memiliki perencanaan lebih baik (33,3%)

dibandingkan yang muda (11,1%) dan responden yang bekerja < 4 tahun cenderung

mempunyai perencanaan yang lebih buruk (28,6%) dibandingkan responden dengan

masa kerja > 4 tahun (12,5%) sedangkan proporsi menurut sex dan tingkat

pendidikan tidak ada perbedaan yang nyata. Sebaliknya responden dengan kategori

umur yang lebih tua dalam aspek kerjasama cenderung lebih buruk (25,0%) daripada

yang muda (11,1%), akan tetapi responden yang termasuk baru bekerja (< 4 tahun )

ternyata cenderung memiliki kerjasama yang kurang (21,4%) daripada staf yang

sudah bekerja > 4 tahun (12,5%) sedangkan tidak ada kecenderungan perbedaan yang

nyata menurut jenis sex dan tingkat pendidikan. Hal ini mempunyai makna bahwa

semakin lama staf bekerja menangani program TB maka aspek perencanaanya

semakin baik karena pengaruh dari makin banyaknya pengalaman dan waktu yang

digunakan untk beradaptasi dengan tugas dibandingkan staf yang belum lama bekerja

mengelola program TB di puskesmas. Kondisi ini dapat dipahami karena semakin

lama seseorang memegang pekerjaan tertentu maka semakin mengenal situasi dan

lingkungan pekerjaan mereka termasuk dengan pihak-pihak yang dapat diajak bekerja

sama dibandingkan staf yang masih baru.

Aspek monitoring dan evaluasi tidak ada perbedaan yang jelas menurut

kategori umur, tingkat pendidikan dan lama kerja, sedangkan jika berdasarkan

kategori sex maka responden laki-laki cenderung lebih buruk (33,3%) dalam

melakukan monitoring & evalusi dibandingkan perempuan (16,7%). Hal ini

5

Page 6: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

menunjukkan bahwa petugas perempuan cenderung lebih hati-hati dan teliti dalam

melakukan monitoring dan evaluasi dibadingkan petugas TB laki-laki.

Hasil cakupan penderita TB oleh responden yang pada umumnya masih buruk,

responden dengan kategori umur lebih tua ternyata cenderung lebih baik (16,7%)

daripada yang lebih muda (5,6%), sedangkan menurut kategori sex, tingkat

pendidikan dan lama kerja ternyata cenderung tidak jelas perbedaannya.

Seharusnya lama bekerja ikut menentukan hasil kerja seseorang, karena

semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak pula

ketrampilan yang pernah dimilikinya. Sehingga hal ini memberikan rasa percaya diri

ketika menghadapi suatu pekerjaan atau persoalan sehingga kualitas kerja akan lebih

baik. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang ada bahwa mereka yang berpengalaman

dipandang lebih maju dalam pelaksanaan tugas, makin lama masa kerja seseorang

kecakapan mereka akan lebih baik, karena mereka sudah menyesuaikan diri dengan

pekerjaannya. Disisi lain umur seseorang demikian besar peranannya dalam

mempengaruhi produktifitas kerjanya, karena umur juga menyangkut perubahan-

perubahan yang dirasakan individu sehubungan dengan pengalaman maupun

perubahan kondisi fisik mental seseorang sehingga nampak dalam aktifitas sehari-

hari. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hafid (1995) bahwa faktor usia

dapat mempengaruhi produktifitas tenaga kerja.

Berdasarkan pengamatan saat di lapangan oleh peneliti, petugas TB yang

berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih optimal dalam bekerja di lapangan tetapi

kurang optimal di dalam puskesmas terutama dalam melakukan penjaringan suspek

TB Paru. Sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan kurang optimal

dalam bekerja di lapangan karena faktor keterbatasan fisik dan faktor kesulitan

6

Page 7: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

transportasi karena kondisi jalan yang rusak serta geografis di Kabupaten Grobogan

memang relatif sulit dijangkau.

Analisis Hubungan Aspek Manajemen Petugas TB Dengan Cakupan Penemuan

Penderita TB Paru

Perincian data hasil analisis hubungan antara aspek manajemen petugas TB

dengan cakupan penderita TB di Kabupaten Grobogan seperti terlihat dalam tabel

berikut ini:

Tabel 2 : Analisis Hubungan Aspek Manajemen Petugas TB Dengan Cakupan Penderita TB di Kabupaten Grobogan Tahun 2004

Aspek Perencanaan

Petugas TB Paru

Cakupan Penemuan TB Paru Total

Uji StatistikBaik % Buruk % n %

Baik 3 50,0 3 50,0 6 11,1

p = 0,003

r = 0,527

Sedang 0 0 18 100,0 18 66,7

Kurang 0 0 6 100,0 6 22,2

Total 3 27 30 100,0

Aspek Kerjasama

Petugas TB Paru

Cakupan Penemuan TB Paru Total

Uji StatistikBaik % Buruk % n %

Baik 3 50,0 3 50,0 6 11,1

p = 0,002

r = 0,539

Sedang 0 0 19 100,0 19 70,4

Kurang 0 0 5 100,0 5 18,5

Total 3 27 30 100,0

Aspek Monitoring & Evaluasi Petugas TB

Paru

Cakupan Penemuan TB Paru Total

Uji StatistikBaik % Buruk % n %

Baik 3 50,0 3 50,0 6 11,1

p = 0,005

r = 0,504

Sedang 0 0 15 100,0 15 55,5

Kurang 0 0 9 100,0 9 33.4

Total 3 27 30 100,0

Sumber : Data primer yang diolah

Berdasarkan hasil analisis dari tabel silang antara aspek perencanaan dengan

cakupan penderita TB Paru oleh petugas TB menunjukkan masih ada responden yang

aspek perencanaannya baik ternyata masih mempunyai cakupan penemuan yang

buruk (50%). Setelah dilakukan uji statistik korelasi rank spearman dengan tingkat

7

Page 8: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

kepercayaan 95% (p value = 0,05) diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan

antara aspek perencanaan petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB

Paru ditunjukkan dari nilai p adalah 0,003 lebih kecil dari 0,05, dengan korelasi r

=0,527, yang artinya menunjukkan hubungan yang substansial atau mempunyai

hubungan dengan tingkatan sedang. (Sugiyono,2001)

Masih rendahnya skor aspek perencanaan yang berhubungan dengan

rendahnya pencapaian CDR kemungkinan terkait dengan berbagai hal, antara lain

dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner, dimana hanya ada 20% responden yang

selalu membuat perencanaan, perencanaan yang seharusnya dibuat 3 bulanan ternyata

sebagian besar responden hanya melakukan 1 kali dalam setahun, dan tidak

tersedianya insentif khusus untuk penyusunan rencana, melainkan hanya kadang-

kadang disediakan dengan jumlah sangat tidak memadai karena anggarannya

digabung dengan program lain (TB-Kusta) dan menurut masuk dalam pos anggaran

untuk kegiatan penyuluhan kesehatan sesuai ketentuan Perda No. 4 Tahun 2003

tentang APBD II Kabupaten Grobogan. Selain itu sebagian besar responden

menyatakan tidak mencatumkan secara lengkap tentang data jumlah suspek, kegiatan

pengumpulan suspek dan target jumlah penderita yang akan ditemukan sesuai

standard perencanaan yang ada di pedoman kerja program TB dari Depkes RI.

Hasil analisis hubungan antara aspek kerjasama dengan cakupan penderita TB

oleh petugas TB didapatkan hasil mirip dengan aspek perencanan yaitu 50% dari

responden yang memiliki aspek kerjasama baik masih mempunyai cakupan penemuan

TB Paru dengan kategori buruk. Hasil uji statistik korelasi rank spearman diketahui

ada hubungan yang signifikan antara aspek kerjasama petugas TB Paru Puskesmas

dengan cakupan penemuan TB Paru. (nilai p =0,002) dan korelasi r = 0,539 yang

8

Page 9: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

artinya menunjukkan hubungan yang substansial atau mempunyai hubungan dengan

tingkatan sedang.( Sugiyono, 2001)

Ketidak mampuan bekerja sama terutama terjadi pada responden dengan

kategori umur yang lebih tua (25,0%) dan responden yang termasuk baru bekerja

(21,4%). Beberapa kondisi yang kemungkinan terkait dengan keadaan tersebut antara

lain terlihat dari hasil jawaban responden yang menunjukkan bahwa hanya sedikit

responden yang selalu melakukan kerjasama (20,0%), sedangkan kerjasama lintas

sektoral terutama dalam melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit TB Paru

di masyarakat yang seharusnya dilakukan 4 kali dalam setahun tetapi hanya dilakukan

1 kali dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa petugas TB Paru belum cukup

memberikan penyuluhan kesehatan di masyarakat sehingga dikhawatirkan berdampak

pada tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang penyakit TB Paru juga

akan rendah. Akibat lebih lanjut masyarakat kemungkinan menjadi enggan datang ke

Puskesmas untuk memeriksakan diri dan petugas TB Paru Puskesmas akan kesulitan

menemukan suspek dan penderita TB Paru. Disisi lain hasil jawaban responden juga

menunjukkan bahwa selama ini penjaringan suspek dan penemuan penderita TB Paru

terjadi hanya pada saat penderita datang ke Puskesmas atau pada saat penyuluhan

kesehatan di masyarakat. Kerjasama yang baik antara Public-Private Mix terbukti

akan meningkatkan cakupan DOTS mencapai 90% dan penemuan BTA (+) sebesar

87,5% di Filipina pada tahun 2001 (Mantala, 2003). Kemungkinan penerapannya di

Indonesia termasuk di Kabupaten Grobogan masih menghadapi hambatan terkait

keterbatasan wewenang dan akses yang dimiliki oleh petugas TB Paru Puskesmas

untuk melakukan kerjasama lintas sektoral dengan sarana kesehatan lainnya. (Global

Tuberulosis Control, WHO Report, 2003).

9

Page 10: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

Analisis hubungan antara aspek monitoring dan evaluasi dengan cakupan

penderita TB Paru oleh petugas TB di puskesmas menunjukkan meskipun responden

melaksanakan aspek monitoring dan evaluasi dengan baik, ternyata 50,0%-nya

mempunyai cakupan penemuan TB Paru yang buruk.. Setelah dilakukan uji statistik

korelasi rank spearman diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara aspek

monitoring dan evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB

Paru dilihat dari hasil uji statistik yaitu nilai p adalah 0,005 < 0,05 , dengan korelasi r

= 0,504, yang artinya menunjukkan hubungan yang substansial atau mempunyai

hubungan dengan tingkatan sedang.( Sugiyono,2001)

Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis jawaban responden diketahui

bahwa petugas TB Paru Puskesmas ternyata hanya sebagian kecil yang selalu

melakukan monitoring dan evaluasi (20%), monitoring dan evaluasi yang dilakukan

sebagian besar hanya 1 kali dalam setahun, yang seharusnya dilakukan 4 kali dalam

setahun. Hal ini menunjukkan bahwa petugas TB Paru Puskesmas sebagian besar

masih belum melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin terutama kelompok

petugas laki-laki (33,3%). Petugas TB Paru yang tidak melakukan sistem pencatatan

dan pelaporan secara rutin dan benar terutama mengenai daftar suspek, daftar

penderita, dan daftar penderita yang diobati dalam kegiatan monitoring & evaluasi

bahkan mencapai 46,7% dari total responden Hal ini kemungkinan disebabkan karena

petugas TB Paru Puskesmas masih banyak yang merangkap tugas program lain (71,4

%). Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk acuan pelaksanaan program yang

akan datang dan untuk mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang

telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Dengan

adanya evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan

sebelumnya.(Azrul Azwar, 1998)

10

Page 11: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

SIMPULAN

1. Responden dengan cakupan penemuan TB Paru termasuk buruk (CDR <

50%) mencapai 90,0% dan hanya 10,0% termasuk kategori baik (CDR ≥ 50%)

2. Penilaian aspek perencanaan, aspek kerjasama dana aspek monitoring-

evaluasi dari 30 petugas TB di puskesmas masing-masing yang termasuk kategori

baik hanya sebesar 20,0%. Disisi lain dari jumlah responden yang memiliki

perencanaan , kerjasama dan monitoring-evaluasi yang baik tersebut ternyata

masing-masing 50%-nya masih mempunyai cakupan CDR < 50%.

3. Terbukti ada hubungan yang signifikan antara aspek perencanaan, kerjasama dan

monitoring & evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB

Paru di Kabupaten Grobogan.

SARAN

1. Perlu disiapkan pelatihan teknik pembuatan rencana dan monitoring-evaluasi

program TB untuk petugas TB di puskesmas yang belum pernah mendapatkan

pelatihan serta bagi petugas yang pernah ikut pelatihan dapat dilakukan kegiatan

refreshing pelatihan ketrampilan manajemen oleh DKKS Kabupaten Grobogan

yang penganggarannya dapat diusulkan dari dana APBD atau APBN.

2. Pembinaan kerjasama lintas program dengan sesama petugas puskesmas lain

diserahkan tanggung jawabnya kepada Kepala Puskesmas dan harus tetap

dimonitor beban kerja petugas TB terutama yang masih merangkap tugas dengan

program lain. dan lintas sektoral dengan dibantu oleh Kepala Puskesmas atau

pihak DKKS Kabupaten Grobogan.

3. Petugas TB di Puskesmas Penawangan 1 & 2, Toroh 1, Pakukulo 1 & 2, Kradenan

1 & 2, Brati dan Puskesmas Gubug 1 disarankan melengkapi pencatatan dan

pelaporan dalam rangka monitoring & evaluasi program TB.

11

Page 12: Mengapa Cakupan Penemuan TB Paru Di Puskesmas Masih Rendah?

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI,

Jakarta, 2002.

Dinkes dan Kessos Kab. Grobogan, Profil Kesehatan Kabupaten Grobogan Tahun

2003, Dinkes Dan Kessos Kab. Grobogan, Purwodadi, 2003.

GERDUNAS - TB, Program Penanggulangan Tuberkulosis Modul 1, GERDUNAS –

TB : Jakarta, 2001.

Perda kab. Grobogan No. 4 Tahun 2003 tentang APBD II Kab. Grobogan.

Purwodadi, 2003

Notoatmodjo Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rinika Cipta:

Jakarta, 1993.

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta cetakan ke-delapan, Bandung

2001.

Hafid, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktifitas Tenaga Kerja,

Majalah Manajemen No. 97, 1995.

Azwar, Azrul., Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara : Jakarta, 1998

12