Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak · Web viewMenganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat...

40
Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia Masyarakat Adat di Indonesia Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia * Eddie Sius R. Laggut PENDAHULUAN Kurang lebih 350 juta penduduk dunia ini adalah indigenous peoples. 1 Sebagian besarnya hidup di daerah-daerah terpencil. Mereka terdiri dari kurang lebih 5000 masyarakat yang menyebar mulai dari masyarakat hutan (forest peoples) di Amazon hingga masyarakat adat (tribal peoples) di India dan merentang dari suku Inuit di Arktika hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya. 2 Dewasa ini, seiring gencarnya gerakan hak asasi manusia, gerakan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat pun semakin menemukan bentuk dan wadahnya. 3 Namun, perhatian * Tulisan ini dipresentasikan dalam Training Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diselenggarakan oleh LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 19 – 28 (22) Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jakarta. 1 Dalam tulisan ini, indigenous peoples dan tribal peoples diterjemahkan sebagai “masyarakat adat”. Pada bagian kedua tulisan ini akan dijernihkan penggunaan istilah-istilah yang terkait dengan indigenous peoples ini, yang hingga sekarang sering dipakai secara simpang siur. 2 IWGIA, “Indigenous Issues” hlm. 1, available online at: http://www.iwgia.org/pop_up.html?id=3 . 3 Sekadar mewakili saja, di tingkat PBB kita kenal adanya Working Group on Indigenous Populations, Working Group on the Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Permanent Forum for Indigenous Peoples, dsb. 1

Transcript of Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak · Web viewMenganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat...

Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-HakMenganyam Kiat Memperjuangkan Hak-HakMasyarakat Adat di IndonesiaMasyarakat Adat di Indonesia

Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia*

Eddie Sius R. Laggut

PENDAHULUAN

Kurang lebih 350 juta penduduk dunia ini adalah indigenous peoples.1

Sebagian besarnya hidup di daerah-daerah terpencil. Mereka terdiri dari kurang lebih 5000 masyarakat yang menyebar mulai dari masyarakat hutan (forest peoples) di Amazon hingga masyarakat adat (tribal peoples) di India dan merentang dari suku Inuit di Arktika hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya.2

Dewasa ini, seiring gencarnya gerakan hak asasi manusia, gerakan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat pun semakin menemukan bentuk dan wadahnya.3 Namun, perhatian internasional ini bukanlah sebuah fenomena baru. Perhatian ini sudah muncul sejak pertengahan pertama abad sembilan belas berupa perhatian terhadap masyarakat asli (aborigine) dan pribumi (tribal) di wilayah-wilayah koloni.4 Isu masyarakat adat ini akhirnya memasuki wilayah perbincangan PBB secara khusus berkat inisiatif Mr. Theo van Boven. Pada tahun 1982, dibentuklah UN Working Group on Indigenous Populations meskipun baru sebagai pre-sessional kelompok kerja dari Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of * Tulisan ini dipresentasikan dalam Training Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang

diselenggarakan oleh LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 19 – 28 (22) Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jakarta.

1 Dalam tulisan ini, indigenous peoples dan tribal peoples diterjemahkan sebagai “masyarakat adat”. Pada bagian kedua tulisan ini akan dijernihkan penggunaan istilah-istilah yang terkait dengan indigenous peoples ini, yang hingga sekarang sering dipakai secara simpang siur.

2 IWGIA, “Indigenous Issues” hlm. 1, available online at: http://www.iwgia.org/pop_up.html?id=3.

3 Sekadar mewakili saja, di tingkat PBB kita kenal adanya Working Group on Indigenous Populations, Working Group on the Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Permanent Forum for Indigenous Peoples, dsb.

4 Istilah aborigine dan tribal ini sangat bias kolonial. Mereka menggunakan istilah itu untuk mengatakan bahwa masyarakat tersebut sangat terkebelakang dan primitif.

1

Minorities (sekarang bernama Sub-Commission on the Promotion and Protection on Human Rights). Kelompok kerja tersebut mulai bekerja pada tahun 1982 dengan dua tugas pokok yaitu: pertama, membuat kriteria untuk menentukan konsep tentang indigenous peoples, dan kedua, mengembangkan standar sebagai pedoman bagi negara-negara anggota PBB dalam kaitan dengan hak-hak masyarakat asli, pribumi, adat dan minoritas di wilayah kedaulatannya masing-masing.5

Keprihatinan internasional itu tidak terlepas dari masalah yang dihadapi indigenous peoples – atau apa pun istilah dan namanya – di seluruh dunia. Pada dasarnya, masalah yang mereka hadapi sangat beragam.6 Untuk memudahkan kajian, di sini saya kelompokkan masalah-masalah itu dalam tiga masalah utama. Saya katakan sebagai masalah utama karena memang ketiga masalah itulah yang sering menjadi inti perjuangan dan gerakan masyarakat adat di seluruh dunia. Masalah itu adalah pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya; kedua, masalah self-determination yang sering berbias politik dan hingga sekarang masih menjadi perdebatan sengit; ketiga, masalah identification, yaitu soal siapakah yang dimaksudkan masyarakat adat itu, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat yang bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples).7

Dalam karya ini, saya mencoba mengangkat ketiga masalah utama itu dengan penekanan pada masalah pertama yaitu hubungan masyarakat adat dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alamnya.8

Itulah tujuan pertama dari tulisan ini. Tujuan kedua adalah memetakan posisi dan hak-hak masyarakat adat dalam hukum internasional hak asasi manusia. Ketiga, tulisan ini menguraikan mekanisme perlindungan internasional hak-hak asasi manusia yang bisa digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Kedua hal yang disebutkan terakhir ini saya pandang penting diketengahkan terutama dalam kerangka advokasi mulai dari 5 Lihat Tapan Bose, “Definition and Delimitation of the Indigenous Peoples of Asia”, IWGIA,

available online at: http://www.iwgia.org/pop_up.phtml?id=309. 6 Lihat Erica-Irene A. Daes, Indigenous Peoples and Their Relations to Land, final working paper,

Commission on Human Rights, E/CN.4/Sub.2/2001/21, 11 Juni 2001, hlm. 10.7 Di sini saya mengacu pada buku yang ditulis Jens Dahl dan Alejandro Parellada yang dilengkapi

beberapa tulisan lain untuk versi Indonesianya, Masyarakat Adat di Dunia, Eksistensi dan Perjuangannya, IWGIA dan Institut Dayakologi, Pontianak, 2001. Lihat juga tulisan John Bamba, “Masyarakat Adat di Dunia, Perjuangan Global dan Tantangan Lokal”, makalah pada Pelatihan Nasional Masyarakat Adat untuk HAM dan Policy Process, Pontianak, 7 April 2002.

8 Pentingnya masalah ini dapat dilihat dari ditunjuknya secara khusus Erica-Irene A. Daes sebagai special rapporteur untuk mengkaji masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah, teritori/wilayah dan sumber dayanya. Lihat supra note ~ 6.

2

monitoring dan investigasi hingga ke mekanisme yudisial dan non-yudisial yang berdampak pada penyelesaian masalah-masalah masyarakat adat. Saya juga mencoba menawarkan strategi dan kiat tingkat lokal Indonesia berdasarkan pendekatan internasional tersebut.

PERMASALAHAN GLOBAL MASYARAKAT ADAT

1. Hubungan dengan Tanah, Wilayah dan Sumber Daya (Alam).

Masalah yang paling krusial dan urgen untuk dipecahkan adalah soal tanah. Masalah ini sebenarnya berawal dari adanya doktrin kepemilikan (doctrine of dispossesion) terhadap daerah-daerah yang disebut sebagai terra nullius, tanah tak bertuan. Kaum kolonialis dan penyebar agama (Kristen) dari Eropa beranggapan bahwa tanah-tanah yang mereka datangi itu adalah tanah yang tidak berpemilik. Kalaupun mereka menjumpai manusia lain di tanah atau negeri yang mereka datangi itu, mereka menganggapnya sebagai “makhluk yang perlu ditobatkan dan diadabkan”. Doktrin ini berimplikasi lebih lanjut pada teralienasinya masyarakat adat dari tanah di mana mereka hidup dan tinggal. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukanlah sekadar sebagai sumber penghidupan secara ekonomi. Ia lebih dari itu.

Untuk menggambarkan hubungan masayarakat adat dengan tanahnya, berikut ini saya mengutip pendapat dan pandangan beberapa pakar masyarakat adat. Profesor Robert A. Williams mengatakan bahwa

masyarakat adat telah menekankan bahwa dasar spiritual dan material dari identitas kultural mereka dipertahankan oleh hubungan mereka yang unik dengan wilayah tradisional mereka yang turun temurun.9

Profesor James Sakej Henderson berupaya mengilustrasikan hubungan dan kerangka kerja konseptual yang khas ini dengan mengatakan bahwa

pandangan Aboriginal terhadap kemiskinan berdasarkan pada pemahaman ruang ekologis yang memberikan kita kesadaran, dan bukan berdasarkan suatu konstruksi ideologis … Pandangan mereka berasal dari suatu realitas berbeda yang diselusupkan ke dalam ruang suci … Hal itu bersifat

9 Robert A. Williams, “Encounters on the frontiers of international human rights law: redefining the terms of indigenous peoples’ survival in the worl”, Duke Law Journal, 1990, hlm. 981.

3

fundamental bagi identitas, kepribadian dan kemanusiaan mereka … pengertian tentang diri (self) tidak terletak melulu pada keduniawian tubuh mereka, tetapi berlanjut dan mendapatkan sebagian kepenuhannya pada hubungan batin mereka dengan tanah di mana dan dari mana mereka hidup dan beroleh hidup.10

Pendapat terakhir saya kutip dari José R. Martínez Cobo, seorang Pelapor Khusus PBB untuk masalah diskriminasi terhadap masyarakat adat. Ia merefleksikan secara umum artikulasi masyarakat adat terhadap hubungan yang khas itu. Martínez Cobo menyatakan

Adalah sangat esensial untuk mengetahui dan memahami hubungan spiritual khusus yang mendalam antara masyarakat adat dengan tanahnya. Sebab hal itu sangat sangat mendasar sama seperti kehidupan mereka sendiri, keyakinan, adat-istiadat, tradisi dan kultur mereka. …Bagi mereka, tanah tidak melulu dipandang sebagai harta milik dan alat produksi. Hubungan utuh antara kehidupan spiritual masyarakat adat dan Ibunda Bumi, dan dengan tanah mereka, memiliki sejumlah implikasi yang sangat penting. Tanah bagi mereka bukanlah suatu komoditas yang dapat diperoleh, tetapi suatu elemen material yang dapat dinikmati secara bebas.11

Hakikat khas hubungan masyarakat adat dengan tanahnya juga termaktub dalam draf deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (United Nations Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples), baik di dalam pembukaannya maupun di dalam pasal-pasal operatifnya. Secara khusus hal itu termaktub dalam pasal 25:

Masyarakat adat memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air dan wilayah-wilayah lepas pantai, dan sumber-sumber lainnya yang secara tradisional atau turun temurun telah mereka miliki, atau bisa juga yang telah mereka duduki atau gunakan selama jangka waktu yang sudah lama sekali, dan meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.

Dari berbagai paparan di atas, Daes kemudian menggarisbawahi sejumlah elemen yang bersifat unik bagi masyarakat adat. Keunikan itu dapat digambarkan sebagai berikut: (i) suatu hubungan erat muncul antara masyarakat adat dengan tanahnya, teritori dan sumber daya yang terdapat di dalam dan di atas tanah atau teritori mereka; (ii) hubungan ini memiliki berbagai dimensi sosial, kultural, spiritual, ekonomis dan politik, dan juga mengimplikasikan adanya tanggung 10 James Sakej Handerson, “Mikmaq Tenure in Atlantic Canada”, Delhousie Law Journal, vol. 18,

No. 2, 1995, hlm. 196. Pendapat Handerson ini saya kutip dari Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001.

11 José R. Martínez Cobo, Study of the Problem of Discrimination against Indigenous Populations, United Nations Publications, sales No. E. 86. XIV. 3, paragraf 196 dan 197, 1987.

4

jawab; (iii) dimensi kolektif dari hubungan ini merupakan sesuatu yang sangat signifikan; dan (iv) aspek lintas-generasi dari hubungan semacam itu juga bersifat krusial bagi identitas masyarakat adat, dan bagi kelangsungan hidup serta viabilitas (kelanggengan) budayanya.12

Selanjutnya, Erica Daes menata berbagai problem utama tersebut dalam sebuah kerangka analitis yang akan sangat membantu mengklarifikasi permasalahan itu sendiri dan sekaligus mengidentifikasi berbagai solusi yang mungkin. Kerangka analitisnya akan diuraikan seperti berikut.13

Pertama, negara gagal menyatakan pengakuannya terhadap hak masyarakat adat atas tanah, teritori, dan kepemilikan. Ada dua hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu: kegagalan negara mengakui eksistensi masyarakat adat dalam hal pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan lahan; dan kegagalan negara menentukan status hukum yang tepat, kapasitas yuridis yang memadai, dan hak-hak hukum lainnya yang penting.

Kedua, negara masih mengeluarkan dan memberlakukan undang-undang dan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mempengaruhi masyarakat adat dalam kaitan dengan kepemilikan mereka atas tanah. Undang-undang dan kebijakan itu bisa berupa tiga hal, yaitu: undang-undang yang berkaitan dengan pengingkaran hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber dayanya; doktrin kewenangan mengikuti pertemuan; dan penghapusan perjanjian dan hak atas tanah.

Ketiga, negara tidak mampu mengusahakan dan menetapkan garis batas tanah yang menjadi wilayah “kedaulatan” masyarakat adat. Berdasarkan frekuensi dan cakupan berbagai gugatan (complaint) yang muncul, masalah yang paling parah sekarang ini adalah kegagalan negara menetapkan atau menentukan garis batas wilayah.14 Penentuan garis batas tanah adalah sebuah proses formal dalam mengidentifikasi lokasi yang sebenarnya dan batas luar tanah atau wilayah kekuasaan masyarakat adat. Hal ini biasanya dilakukan dengan memberikan tanda batas di tanah. Pengakuan secara hukum atau secara abstrak terhadap tanah masyarakat adat, teritori atau sumber daya dapat menjadi tidak berarti sama sekali jika identitas fisik harta milik masyarakat adat tersebut tidak ditentukan atau diberi tanda.

12 Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 20.13 Lihat Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 33 – 84, hlm. 10 – 20.14 Pernyataan ini diungkapkan oleh Roque Roldán Ortega dalam laporan hasil Expert Seminar on

Practical Experiences Regarding Indigenous Land Rights and Claims, Canada, 24 – 28 Maret 1996 yang dikutip kembali oleh Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 50.

5

Keempat, negara gagal dalam memberlakukan hukum yang melindungi tanah-tanah masyarakat adat. Kegagalan negara ini membuat masyarakat adat kemudian menyadari bahwa mereka tidak dapat melindungi hak mereka atas tanah-tanah adat beserta kekayaan alamnya karena mereka tidak memiliki sarana yang efektif di hadapan pengadilan atau tidak memiliki kemungkinan mendapatkan perlindungan dan penanganan secara hukum. Bahkan lebih buruk lagi, praktik-praktik kekerasan, intimidasi, dan kesewenangan justru menghalangi setiap upaya hukum yang mereka lakukan.

Terkadang, di beberapa negara tidak terdapat sistem hukum yang efektif untuk mendapatkan penanganan hukum. Bisa juga, masyarakat adat tidak dapat membayar para pengacara atau kuasa hukum, atau mereka tidak bisa berbicara dalam bahasa yang biasa dipergunakan resmi di pengadilan atau badan-badan hukum lainnya. Bahkan mereka mungkin juga tidak mampu menempuh perjalanan ke tempat di mana pengadilan itu berada, atau lembaga-lembaga hukum yang relevan. Atau, mereka memang sungguh tidak tahu bahwa memang ada pemulihan berdasarkan hukum itu. Sebagaimana halnya dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, kemiskinan, keterpencilan geografis, perbedaan budaya dan bahasa antara masyarakat adat dengan masyarakat lain yang mendominasi negara, memang turut serta menciptakan tembok yang tinggi parit yang dalam bagi dimungkinkannya perjuangan melindungi hak-hak mereka atas tanah, wilayah/teritori dan berbagai sumber daya atau kekayaan alamnya.

Kelima adalah masalah berkaitan dengan klaim atas tanah dan pengembalian hak atas tanah. Kisah yang panjang dan sarat derita berupa penyingkiran dan pendepakan masyarakat adat dari kepemilikan mereka atas tanah dan wilayahnya telah mendatangkan serangkaian akibat nestapa bagi masyarakat adat. Mereka praktis tidak memiliki tanah lagi, atau memiliki tetapi sangat terbatas dan tidak memadai, untuk mempertahankan kelangsungan hidup beserta kebudayaan mereka. Barangkali kenyataan seperti itu tidak mencerminkan keseluruhan permasalahan masyarakat adat, tetapi bagi kebanyakan masyarakat adat, tetaplah masa depan mereka tergantung pada sejauh mana mereka bisa memperoleh tanah dan sumber daya yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi dan kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Masalah yang paling serius biasanya muncul di negara-negara di mana tidak ada upaya penanganan hukum dan tidak tersedia mekanisme hukum dan politik yang diperlukan untuk memproses atau menyelesaikan klaim-klaim atas tanah masyarakat adat. Ada laporan

6

bahwa di Nepal,15 sebagai misal, sama sekali tidak ada kemungkinan bagi penanganan hukum atau mekanisme politik dan hukum yang bisa digunakan masyarakat adat. Padahal mereka praktis sama sekali kehilangan semua tanah dan sumber daya alamnya.

Keenam adalah masalah pengambilalihan tanah-tanah adat demi kepentingan nasional, termasuk demi pembangunan. Kebijakan hukum kolonialisme barangkali merupakan yang paling akut di daerah-daerah di mana tanah, wilayah, dan sumber daya yang dimiliki masyarakat adat dicaplok begitu saja oleh pemerintah demi kepentingan ekonomi nasional dan pembangunan. Di berbagai belahan dunia, masyarakat adat sedang dihalangi dalam upaya mereka mengajukan tuntutan pelaksanaan pembangunan yang mengindahkan nilai, perspektif, dan kepentingan khusus mereka. Terpusatnya kekuasaan hukum, ekonomi, dan politik yang sangat besar di tangan negara telah memperparah masalah pembangunan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah, teritori dan sumber dayanya. Sebagai contoh, di Indonesia, dilaporkan bahwa pemerintah memang berniat untuk menghormati adat, atau hak-hak adiluhung masyarakat adat, sejauh kepentingan negara tidak terancam; akan tetapi pembangunan ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional, dan hak masyarakat adat (yang merupakan “kepentingan khusus” sebagai lawan “kepentingan umum” atau “kepentingan nasional”) dengan demikian diabaikan.16

Ketujuh adalah masalah penyingkiran dan pemindahan (relokasi). Pemindahan masyarakat adat dari tanah mereka dan dari wilayah kekuasaan mereka merupakan sebuah problem kontemporer yang serius dan mewarnai sejarah kemanusiaan kita dewasa ini, yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Beberapa Negara menganggap tindakan semacam itu sebagai sebuah solusi yang tepat atau cara yang sesuai untuk “mengalihkan” masalah. Artinya, negara berdalih bahwa tindakan semacam itu diambil demi “menyelamatkan” masyarakat adat (bandingkan dengan argumentasi reservation untuk bangsa Indian di Amerika Serikat). Kebijakan seperti itu lebih tepat jika dipandang sebagai tindakan menunda-nunda pemecahan masalah yang sebenarnya yaitu mengakomodasikan hak dan kepentingan masyarakat adat yang terancam atau terkena pelanggaran.

Di sini, terminologi pemindahan secara “paksa” digunakan untuk menggambarkan tindakan yang kejam dan berkesinambungan,

15 Laporan dari Manju Yalthumba et al. kepada Mr. John Pace, 5 Januari 1998; dikutip oleh Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 56.

16 Tentang realitas ketercerabutan masyarakat adat demi dalih pembangunan nasional di Indonesia tercatat dalam laporan pengamatan Alan Thein Durning, “Guardians of the Land: indigenous peoples and the health of the Earth”, Worldwatch Paper 112, Desember 1992, hlm. 26.

7

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat, yang dilakukan tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat adat, untuk memindahkan mereka dari tanah di mana mereka tinggal dan hidup.

Kedelapan adalah program dan kebijakan pemerintah yang tidak mengindahkan hubungan masyarakat adat dengan tanah, teritori dan sumber dayanya. Program dan kebijakan itu bisa berupa penyewaan tanah kepada individu tertentu (bukan anggota masyarakat adat) yang berakibat pada hilangnya hak masyarakat adat atas tanah tersebut. Hal serupa juga terjadi pada program peminjaman dana dengan jaminan tanah yang didiami dan dimiliki masyarakat adat dan program pemukiman. Hal lainnya lagi yang tampak logis tapi sangat menindas adalah soal konsep tanggung jawab negara. Negara mengklaim memiliki semua tanah dan wilayah serta kekayaan yang terdapat di dalam wilayah kedaulatannya sebagai wujud tanggung jawabnya bagi kesejahteraan seluruh rakyat negaranya. Yang tidak kalah seriusnya adalah soal campur tangan negara untuk mengurus tempat-tempat suci dan upaya pelestarian budaya. Tampaknya baik. Yang menjadi soal adalah kalau campur tangan negara itu kemudian bertentangan dengan kebiasaan atau keyakinan masyarakat adat dalam ritus berkaitan dengan tempat suci tersebut. Apalagi, jika campur tangan negara kemudian bermakna sebagai pelarangan tersembunyi bagi praktik dan praksis religius dan kultural masyarakat adat yang bersangkutan.

Kesembilan, negara gagal melindungi keutuhan lingkungan tanah dan wilayah masyarakat adat. Masalah degradasi atau kerusakan lingkungan dan masalah yang berkaitan dengan pembangunan memberikan ilustrasi tentang kegagalan negara atas sebuah isu yang khusus yaitu melindungi keutuhan tanah, wilayah, dan sumber daya masyarakat adat dari dampak-dampak buruk yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih jauh lagi, persoalan ini berkaitan dengan masalah lingkungan global selain juga dengan kebijakan perlindungan atau pelestarian lingkungan di tingkat nasional.

Kesepuluh adalah masalah pemanfaatan dan pengelolaan tanah serta sumber daya di dalamnya, dan internal self-determination dalam kaitan dengan tanah, wilayah dan sumber daya yang dimiliki masyarakat adat. Sebuah dimensi penting untuk menguatkan klaim kepemilikan masyarakat adat atas tanahnya adalah diberikannya kesempatan bagi mereka untuk mengontrol tanah, wilayah dan sumber dayanya melalui institusi-institusi lokal yang mereka miliki. Kendati hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam kemudian menjadi kuat di satu sisi, tetapi di pihak lain kemungkinan untuk

8

mempraktikkan internal self-determination (penentuan nasib sendiri sebuah suku bangsa atau sebuah masyarakat tertentu yang berada dalam wilayah yurisdiksi suatu negara) – berupa wewenang untuk mengontrol pembuatan keputusan berkaitan dengan pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam, pertimbangan manajemen dan konservasi, tetap tidak diperhatikan. Sebagai contoh, di satu sisi masyarakat adat mungkin saja bebas melaksanakan kegiatan ekonomi tradisional mereka – semisal berburu, menangkap ikan, berburu dengan memasang perangkap, mengumpulkan hasil hutan atau bertani – tetapi di pihak lain mereka bisa saja tetap tidak bisa mengontrol pembangunan yang justru menghancurkan dan menghalangi kegiatan-kegiatan seperti itu.

2. Self-Determination17

Masalah kedua adalah soal self-determination. Konsep self-determinationa berasal dari argumentasi filosofis eksistensial yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang otonom dan juga memiliki harkat dan martabat yang sama dengan sesamanya.18 Konsep ini mulai menjadi perbincangan internasional dalam pengertian hukum dan politik pada era Perang Dunia I. Presiden Woodrow Wilson menghubungkan prinsip self-determination ini dengan cita-cita demokrasi liberal Barat (Amerika) dan aspirasi-aspirasi kaum nasionalis Eropa.19 Menurut Profesor James Anaya, dewasa ini konsep self-determination, dengan didukung oleh ketentuan dalam UN Charter dan beberapa instrumen internasional lainnya, telah menjadi salah satu prinsip dalam hukum kebiasaan internasional (customary international law) bahkan menjadi semacam ius cogens, norma internasional yang wajib dipatuhi.20

Persoalannya, konsep ini telah dipahami secara bias baik oleh pemerintah atau negara maupun oleh masyarakat pada umumnya.

17 Untuk uraian tentang self-determination ini, acuan utama saya adalah pandangan “guru saya”, Profesor S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, Oxford University Press, New York, 1996, hlm. 75 – 128.

18 Demikian kata Edward M. Morgan, “The Imagery and Meaning of Self-Determination”, dikutip dalam S. James Anaya, ibid., hlm. 75.

19 Umozurike O. Umozurike, Self-determination in International Law 6 – 11 (1972), dikutip dalam James Anaya, ibid.hlm. 76.

20 S. James Anaya, ibid. Ketentuan tentang self-determination itu terdapat dalam UN Charter, art. 1, para. 2; International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights, art. 1(1); International Covenant on Civil and Politcal Rights, art. 1(1); dan dalam United Nations Draft Declaration on the Rights of Indigenous Populations art. 3.

9

Akibatnya, di satu sisi pemerintah semakin khawatir akan bahaya separatisme dengan dalih self-determination itu (yang berimplikasi pada meningkatnya eskalasi kekerasan represif), dan di sisi lain, masyarakat semakin salah arah dalam mengartikannya sehingga bahkan keluar dari esensi perjuangan itu sendiri.

Profesor James Anaya kembali mengingatkan kita untuk merunut dan memahami konsep itu dalam konteks historisnya, yaitu konteks kolonialisme. Self-determination dalam negara-negara jajahan itu tentu berbeda maknanya jika ditempatkan dalam konteks negara-negara merdeka sekarang ini. Untuk konteks sekarang (berbeda dengan konteks kolonisasi dan de-kolonisasi), ia mengetengahkan norma internasional berkaitan dengan masyarakat adat, yang berimplikasi pada terelaborasinya pemahaman terhadap self-determination, dengan menunjukkan beberapa kategori. Kategori inilah yang akan menjadi semacam tuntunan dalam memahami self-determination seperti apa sebenarnya yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Kategori itu adalah non-diskriminasi, integritas budaya, tanah dan sumber daya, kesejahteraan sosial dan pembangunan, dan pemerintahan sendiri (self-government).21

Penegasan serupa juga dikemukakan oleh Profesor Erica-Irene A. Daes. Ia mengatakan bahwa self-determination mensyaratkan adanya sebuah proses

yang dengan itu masyarakat adat bisa bergabung bersama masyarakat lainnya dalam membangun Negara berdasarkan kesepakatan bersama dan prinsip keadilan, setelah bertahun-tahun sebelumnya terkungkung dalam isolasi dan eksklusi. Proses ini tidak memerlukan asimilasi individual, sebagaimana warga negara pada umumnya; yang dibutuhkan adalah pengakuan dan pelibatan setiap orang dari berbagai latar belakang dalam membangun Negara secara bersama dan berdasarkan kesepakatan bersama yang adil.22

Masih dalam pemahaman yang sama, Profesor Leo Gross dari Fletcher School of Law and Diplomacy membedakan self-determination itu atas dua, yaitu pertama, right to self-determination yang berarti hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah – untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi). Kedua, right of self-determination, yaitu hak yang bersumber dan sekaligus merupakan konsekuensi dari hak jenis pertama di atas (right to self-determination). Misalnya, hak menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), hak menentukan sistem pemerintahan (presidensiil 21 Lihat S. James Anaya, op. cit., hlm. 97 – 125.22 Erica-Irene A. Daes, “Some Considerations on the Right of Indigenous Peoples to Self-

Determinationa”, 3 Transnational Law and Contemporary Problems 1, 9 (1993).

10

atau parlementer), sistem ekonomi (liberal atau terkontrol), dan sistem budaya tertentu. Semuanya itu berada dalam kontrol pengaturan dan kebijakan negara bersangkutan.23 Dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat, Erica Daes dalam studinya tentang hubungan masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya menegaskan bahwa entah apa pun bentuk negara dan sistem pemerintahan di mana masyarakat adat berada dan hidup, bagaimanapun juga mereka tetap (dan harus diperjuangkan tetap) memiliki kewenangan mengelola sendiri dan mengurus sendiri tanah dan kekayaan di dalamnya, tetap hidup berdasarkan sistem nilai dan religius yang mereka yakini, sistem ekonomi dan budaya yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.24

3. Identitas

Istilah indigenous peoples biasanya digunakan untuk merujuk pada orang-orang dan kelompok yang merupakan keturunan populasi asli yang tinggal di sebuah negara. Istilah Inggris “indigenous” berasal dari bahasa Latin “indigenae” yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan disebuah tempat dan mereka yang datang dari tempat lain (“advenae”). Sebab itu, akar semantik dari istilah tersebut mempunyai elemen konseptual berupa prioritas dalam waktu.25

Sampai sekarang , tidak ada definisi yang secara universal disetujui dari istilah “indigenous peoples”. Kesulitan dalam menentukan definisi yang secara umum diterima mungkin merupakan hasil dari fakta bahwa indigenous peoples sangatlah bervariasi dalam budaya dan struktur sosial,26 sehingga “tidak dapat diterapkan sebuah definisi yang tepat dan inklusif dengan cara yang sama di seluruh dunia”27. Alasan lain adalah sifat dari politik itu sendiri. Beberapa negara keberatan dengan penggunaan istilah “indigenous” yang 23 Dikutip dari John Bamba, op. cit.,hlm. 5.24 Lihat Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001.25 Erica-Irene A. Daes, Standard Setting Activities: Evolution of Standards Concerning the Rights

of Indigenous People, Working Paper on the concept of “indigenous people”, dikutip dalam Rafael Edy Bosko, The Right of Indigenous Peoples in the Context of Natural Resources Development, a master thesis in public international law, Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Faculty of Law, University of Lund, April 1999, hlm. 8.

26 Lihat World bank, Operational Directive OD 4.20: Indigeneous Peoples, 1991 § 5. Lihat juga Ministerie van Buitenlandse Zaken, Indigenous in the Netherlands Foreign Policy and Development Cooperation, 14 Mei 1993, http://www.haleyon.com/pub/FWDP/International/nethrlnd.txt <1/8/99>.

27 Daes, Standard Setting Activities: Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigenous People, Working Paper on the concept of “indigenous people”, dikutip dalam Rafael Edy Bosko, op. cit.

11

ditujukan kepada sebagian dari masyarakat mereka, sementara yang lain sangat keberatan dengan penggunaan istilah “peoples” karena dapat berimplikasi pada munculnya hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination).28

Dari berbagai definisi yang dikemukakan baik oleh para pakar maupun lembaga internasional semisal PBB dan ILO, definisi yang paling banyak dirujuk adalah definisi yang disusun oleh Jose Martinez Cobo, seorang Reporter Khusus PBB, dalam studinya tentang diskriminasi terhadap masyarakat adat di dunia. Ia menawarkan sebuah definisi indigenous peoples sebagai berikut:

Masyarakat, komunitas dan bangsa-bangsa asli adalah perkumpulan-perkumpulan yang memiliki kelanjutan sejarah pra-invasi dan pra-kolonial yang berkembang di teritori mereka, menganggap diri mereka berbeda dalam berbagai sektor terhadap masyarakat yang sekarang menempati wilayah tersebut, atau sebagian dari wilayah tersebut. Di masa kini mereka membentuk sektor-sektor perkumpulan yang non-dominan dan tekun untuk melestarikan, mengembangkan dan menularkan kepada generasi yang akan datang, teritori leluhur mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat, sesuai dengan pola budaya mereka sendiri, institusi sosial dan sistem hukum.… pada tataran individual, yang disebut manusia asli (indigenous person) adalah seseorang yang merupakan bagian dari populasi asli ini melalui identifikasi diri sebagai orang asli (kesadaran kolektif) dan diakui dan diterima oleh kumpulan ini sebagai anggotanya (penerimaan oleh kelompok).29

Kalau kita perhatikan, definisi ini mengandung empat elemen yang dalam berbagai definisi modern sekarang ini diterima luas, yaitu: pra-eksistensi (atau “kelanjutan sejarah), bentuk budaya yang jelas, sekarang berstatus non-dominan atau tidak sedang memegang kendali30, dan identifikasi diri. Elemen-elemen ini tidak berbeda jauh dengan kriteria yang diajukan oleh Working Group on Indigenous Populations, yaitu: (a) hubungan yang jelas dengan tanah atau wilayah yang turun-temurun dimiliki, ditinggali atau digunakan; (b)

28 Nathan Lerner, “The 1989 ILO Convention on Indigenous Population: New Standards?” dalam Israel Yearbook on Human Rights, vol. 20, 1991, hlm. 226, dikutip dalam Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 9.

29 José Martínez Cobo, op. cit., 1987, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds. 1 – 4.30 Sehubungan dengan elemen “sekarang berstatus non-dominan”, hal ini menyiratkan beberapa

bentuk diskriminasi atau marjinalisasi muncul, dan membenarkan tindakan yang diambil oleh komunitas internasional. Bagaimanapun sebuah kelompok tidak akan berhenti status “asli”-nya jika mereka tidak lagi non-dominan sebagai hasil dari tindakan yang diambil untuk pemenuhan segala hak-haknya. Lihat, Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 11.

12

keberlanjutan sejarah (c) karateristik budaya yang jelas; (d) non-dominan; (e) indentifikasi diri dan kesadaran kelompok.31

POSISI DAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DALAM HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Karena sejumlah alasan yang berbeda-beda, masyarakat internasional mulai memberikan respon terhadap isu masyarakat adat ini dalam suatu cara pandang dunia yang baru dan perspektif filosofis yang baru pula. Pandangan baru ini memberikan penekanan pada penghargaan terhadap tanah, teritori dan sumber daya. Standar-standar baru tengah diupayakan dengan berdasarkan, sebagiannya, pada nilai-nilai yang telah diekspresikan oleh masyarakat adat. Selain itu, juga didasarkan pada nilai-nilai yang sesuai dengan perspektif dan pandangan hidup masyarakat adat itu sendiri tentang hubungan mereka dengan tanahnya, teritori, dan sumber daya yang terdapat di dalam dan di atasnya.32

Perhatian internasional yang mulai “bersahabat” pada isu masyarakat adat tidaklah terlepas dari perjuangan panjang mereka beberapa dekade sebelumnya. Mereka berpartisipasi dengan semangat dan konsisten dalam berbagai dialog multilateral yang melibatkan negara, berbagai ornop atau NGO, pakar-pakar independen yang difasilitasi lembaga dan organisasi internasional hak asasi manusia.33

Di sini, saya tidak menguraikan perkembangan historis perjuangan masyarakat adat dan pekerja hak asasi manusia pada umumnya yang peduli pada hak masyarakat adat hingga mencapai taraf sekarang ini. Saya lebih memilih menguraikan status masyarakat adat dan hak-haknya dalam hukum internasional kontemporer baik berupa soft law maupun hard law.34 Instrumen yang secara jelas (dan bahkan secara khusus) memuat tentang hak-hak masyarakat adat 31 Lihat Erica-Irene A. Daes, Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigenous Peoples:

New Development and General Discussion of Future Action, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/AC.4/1995/3, para. 11 – 18.

32 Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, hlm. 6, para. 15.33 Tentang konsep dan hak-hak masyarakat adat dalam hukum internasional berdasarkan tinjauan

sejarah, silahkan uraian yang sangat komprehensif dalam Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 4 – 8, dan 33 – 43. Rafael Edy Bosko membuat kategorisasi hak-hak masyarakat adat itu dalam analisnya terhadap berbagai instrumen internasional. Ia membagi hak-hak itu atas: hak untuk tidak didiskriminasikan, hak atas tanah dan sumber daya (alam), hak atas kebudayaan, hak untuk berpartisipasi baik dalam politik maupun dalam bidang kebudayaan secara umum, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas persetujuan (sebagaimana dinyatakan, misalnya, dalam Konvensi ILO 169 pasal 6 ayat 2 dan pasal 16 ayat 2). Lihat juga James Anaya, op. cit., bab 1 – 2.

13

adalah Konvensi ILO 107 (1957), yang kemudian diperbarui menjadi Konvensi ILO 169 (1989). Yang secara implisit berbicara tentang hak-hak masyarakat adat baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok adalah instrumen-instrumen seperti DUHAM, ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik), ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), CERD (Konvensi Penghilangan Diskriminasi Rasial), CAT (Konvensi Menentang Penyiksaan), CEDAW (Konvensi Penghilangan Diskriminasi terhadap Perempuan). Sekarang ini, bahkan ada kelompok kerja yang terus menyempurnakan dan memperjuangkan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on Indigenous Peoples Rights); deklarasi ini diharapkan akan disahkan tahun 2004 nanti bersamaan berakhirnya dekade masyarakat adat internasional.

Di tingkat pemahaman diskursus, hak-hak masyarakat adat sebenarnya diakui sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia generasi ketiga. Hak-hak generasi pertama adalah hak-hak yang termaktub di dalam ICCPR, dan hak-hak generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ICESCR). Sementara, hak-hak generasi ketiga adalah hak atas pembangunan dan lingkungan. Termasuk di dalam generasi ketiga ini adalah group rights (hak-hak kelompok) seperti hak-hak kelompok minoritas tertentu, hak-hak masyarakat adat, dsb.35 Sementara, di tingkat gerakan, isu hak-hak masyarakat adat memang telah menjadi isu internasional yang hangat dibicarakan. Bahkan, di PBB, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di muka, telah dibentuk Kelompok Kerja khusus untuk masyarakat adat, terutama Forum Permanent on Indigenous Peoples. Dengan sifatnya yang permanen, forum ini memiliki kedudukan setara dan sekuat komite semisal Human Rights Committee untuk ICCPR (Kovenan Hak Sipol) atau Committee against Torture untuk CAT (Konvensi Menentang Penyiksaan).34 Dalam hukum internasional, kita mengenal ada dua jenis instrumen berdasarkan sifat

mengikatnya. Pertama adalah hard law, yaitu jenis instrumen yang memiliki kekuatan mengikat (legally binding) dan mengandung sanksi hukum yang pasti. Yang termasuk jenis ini adalah kovenan, konvensi, resolusi dan perjanjian-perjanjian internasional dan regional lainnya (treaty, agreement) baik bilateral maupun multilateral. Jenis kedua adalah soft law, yaitu jenis instrumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (unlegally binding), instrumen jenis ini hanya menjadi semacam imbauan moral dan prinsip etik saja. Yang termasuk jenis ini adalah deklarasi. Akan tetapi, dalam hukum internasional, DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia – Universal Declaration of Human Rights), kendati berbentuk deklarasi, juga diperlakukan sama seperti hard law, bahkan dianggap sebagai ius cogens, norma internasional yang diakui secara umum dan dengan sendirinya mengikat secara universal. Ia menjadi salah satu dari international customary law (hukum kebiasaan internasional) di samping tiga lainnya yaitu ICCPR, ICESCR, dan Optional Protocol dari ICCPR.

35 Lihat penjelasan lengkapnya dalam Stuart Kaye dan Ryszard Piotrowiwicz, Human Rights in International and Australian Law, bab 1 “Nature and Origins of Human Rights Law”, Butterworths, Sydney, 2000, hlm. 6 – 7.

14

MEKANISME PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Dalam bagian ini saya membagi mekanisme perlindungan hak-hak masyarakat adat atas mekanisme internasional dan mekanisme nasional. Pembagian ini hanya untuk memudahkan uraian dan pemahaman saja. Dalam kenyataannya, terutama dalam realitas hukum internasional kontemporer, mekanisme nasional dan internasional saling berhubungan – lebih tepatnya, mekanisme internasional melengkapi mekanisme nasional atau mekanisme nasional menjadi lebih efektif berkat adanya dukungan mekanisme internasional. Memang, kedaulatan negara tetap diakui, sebagaimana termaktub dalam pasal 2 (7) Piagama PBB. Oleh karena itu, prinsip non-interference tetap penting dalam kaitan dengan yurisdiksi tingkat domestik sebuah negara. Tetapi, menurut Profesor James Anaya, prinsip itu sekarang ini tidak lagi bermakna absolut. Perkembangan hukum internasional kontemporer mengalahkan prinsip itu dengan dimungkinkannya campur tangan lembaga internasional dalam urusan dalam negeri suatu negara jika itu berkaitan dengan hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal sebagaimana diatur dalam berbagai instrumen internasional.36

1. Mekanisme Internasional

Profesor Gudmundur Alfredsson dan Alfred de Zayas membagi metode prosedural mekanisme internasional dalam kaitan dengan penegakan hak-hak masyarakat adat atas tiga kategori yaitu: (1) prosedur monitoring di bawah kontrol politik; (2) badan-badan monitoring independen; (3) prosedur pengaduan yudisial dan quasi-yudisial.37

Namun, dalam uraian ini, saya mengacu pada Profesor James Anaya yang membagi mekanisme itu ke dalam dua kategori yaitu “prosedur monitoring/pelaporan” (monitoring/reporting procedures) dan “prosedur pengaduan” (complaint procedures).38 Berikut ini saya uraikan secara umum.

36 Lihat James Anaya, op. cit., hlm. 151 – 152.37 Pendapat Afredsson dan de Zayas ini saya kutip dari Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 43. Untuk

uraian lengkap ketiga kategori itu, silahkan baca penjelasannya dalam hlm. 43 – 48.38 S. James Anaya, op. cit., hlm. 153 – 170.

15

Prosedur Monitoring/Pelaporan

Tinjauan Pembangunan oleh UN Working Group on Indigenous Populations (UN-WGIP)

Prosedur ini adalah sebuah informal oversight mechanism, mekanisme pengawasan yang tidak formal; dalam sistem PBB belum diakui sebagai sistem yang baku. Tetapi beberapa negara telah mempraktekkannya semisal Australia dan New Zealand. Sebenarnya, secara de facto, prosedur monitoring ini merupakan bagian dari implementasi norma-norma kebiasaan belaka yang suatu saat bukan tidak mungkin akan diakui sebagai wahana yang dapat diandalkan. Berdasarkan mandat dari ECOSOC untuk meninjau pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat adat, kelima anggota Working Group ini menerima laporan tertulis dan lisan dari pemerintah, lembaga intergovernmental, para wakil masyarakat adat, dan ornop. Biasanya laporan pemerintah berkaitan dengan kemajuan praktek perlindungan hak-hak masyarakat adat, sementara laporan dari masyarakat adat dan ornop biasanya berfokus pada kajian dan kritik terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak masyarakat adat.

Tinjauan Pembangunan oleh UN Commission of Human Rights dan Sub-Komisinya

Kedua institusi PBB ini merupakan wahana prosedur non-treaty atau lebih dikenal sebagai charter-based procedure.39 Kendatipun berkaitan secara umum saja dengan isu hak asasi manusia, namun dalam perkembangannya belakangan ini, keduanya telah memasukkan agenda tentang pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat adat dalam setiap sesi tahunannya. Pemerintah dan ornop yang sudah memiliki consultative status atau lazim disebut juga ECOSOC status bisa mengajukan laporan berkaitan dengan permasalahan masyarakat 39 Ada banyak prosedur dalam sistem PBB. Di antara berbagai prosedur itu, ada dua yang paling

dikenal yaitu charter-based procedures/mechanism dan treaty-based procedures. Mekanisme yang pertama berdasarkan ketentuan atau sebagai implikasi dan manifestasi berbagai ketentuan dalam Piagam PBB, sedangkan mekanisme jenis kedua ditetapkan berdasarkan ketentuan masing-masing treaty baik itu berupa Kovenan, Konvensi ataupun Perjanjian lainnya. Misalnya, Commission on Human Rights (CHR) adalah institusi untuk mekanisme charter-based karena ia dibentuk di bawah ECOSOC yang merupakan lembaga PBB berdasarkan penetapan dalam Piagam. Sebaliknya, Human Rights Committee (HRC) adalah institusi treaty-based karena ia dibentuk sebagai manifestasi ketentuan dalam perjanjian yang mengatur hal itu yaitu Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

16

adat (kendatipun tidak segencar melalui UN-WGIP, karena perhatiannya yang sangat umum tadi). Kalau dalam UN-WGIP, anggotanya adalah para expert yang independen, dalam CHR dan Sub-Komisinya40 anggotanya terdiri dari para wakil pemerintah; oleh karena itu, sifatnya sangat politis.

Monitoring Berdasarkan Konvensi ILO (169)

Negara-negara yang sudah meratifikasi Konvensi ILO 169 (atau Konvensi ILO 107 sebelumnya), wajib menyerahkan laporan tentang implementasi Konvensi tersebut secara periodik kepada ILO Committee of Experts on the Application of Convention and Recommendations. Ketentuan memberikan pelaporan itu berdasarkan Konstitusi ILO, yang disahkan pada 9 Oktober 1946, pasal 22 dan 23. Mekanisme promosi hak-hak asasi manusia (masyarakat adat) di ILO dilakukan dengan mekanisme tripartit yang terdiri dari pemerintah (government), pengusaha (employer) dan buruh (worker) atau masyarakat adat.

Prosedur Pelaporan di Bawah UN Human Rights Committee (HRC) dan CERD

Kedua badan ini dibentuk berdasarkan ketentuan masing-masing perjanjian. HRC dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Politik sementara CERD dibentuk berdasarkan Konvensi Penghilangan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Tugas komite yang dibentuk berdasarkan perjanjian adalah mengawasi implementasi perjanjian yang dimaksud di semua negara pihak. Negara-negara pihak menyampaikan laporan ke Sekretariat Jenderal PBB melalui Kantor High Commissioner of Human Rights yang kemudian serahkan ke komite terkait. Komite kemudian me-review dan memberikan komentar serta menindaklanjuti dengan memberikan rekomendasi berupa pengiriman pelapor khusus atau penyelidikan di negara-negara pihak.

Human Rights Committee yang dibentuk di bawah ICCPR ini telah menunjukkan kemajuan dalam mengawasi dan memeriksa laporan pemerintah berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. 40 Sub-komisi CHR ini dulu bernama Sub-Commission on Prevention of Discrimination and

Protection of Minorities, tetapi sekarang bernama Sub-Commission on Promotion and Protection of Human Rights.

17

Komite ini juga mendorong terciptanya berbagai kebijakan yang mengindahkan hak-hak masyarakat adat berdasarkan interpretasi terhadap pasal 27 Kovenan tersebut. Tetapi hal yang tetap sensitif adalah soal ketentuan self-determination sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1. CERD juga menunjukkan kinerja yang serupa dalam kaitan denga hak-hak masyarakat adat.

Prosedur Pengaduan

Institusi internasional juga memiliki kewenangan untuk mendengarkan atau menerima pengaduan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Prosedur pengaduan internasional merupakan mekanisme pengawasan penting terutama untuk mengimbangi laporan dari pihak pemerintah dan lebih khusus untuk segera mendapatkan penangan khusus.

Pengaduan dalam UN Working Group on Indigenous Populations

Prosedur pengaduan dalam UN-WGIP ini terjadi secara de facto saja oleh adanya kebutuhan-kebutuhan mendesak pada tingkat praksis. Kelompok kerja ini membolehkan siapa pun untuk bicara dan menyerahkan pengaduan tertulis dalam pertemuan tahunannya untuk mendapatkan pertimbangan. Tujuannya agar akses masyarakat adat lebih terbuka dalam sistem PBB yang kebanyakan sangat mekanistis dan mensyaratkan adanya status tertentu. Dalam kaitan dengan tinjauannya terhadap pembangunan, para wakil masyarakat adat dan ornop berulang-ulang menyerukan agar pemerintah segera mengakhiri dan menangani dampak pelanggaran hak asasi manusia di negara mereka masing-masing. Pada awalnya, pernyataan sepertit itu dihalang-halangi oleh ketua working group. Tetapi, dalam perkembangannya, terutama belakangan ini, pengaduan seperti itu dimungkinkan asal diajukan secara tertulis dulu sebelum diungkapkan di dalam forum dengan cara yang baik dan untuk isu yang krusial.

Pengaduan dalam UN Commission of Human Righst dan Sub-Komisinya

Kedua badan ini memiliki kapasitas terbatas dalam mendengarkan, menerima dan memberikan respon terhadap pelanggaran dan kekerasan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Resolusi ECOSOC

18

1235 tahun 1967 (yang kemudian lazim disebut sebagai prosedur publik 1235) memberikan kewenangan kepada Komisi dan Sub-Komisi untuk “memeriksa informasi yang relevan atas pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar” dan untuk “melakukan kajian atau studi mendalam terhadap berbagai situasi pelanggaran dan kekerasan hak asasi manusia itu dengan penekanan pada terungkapnya berbagai pola kejahatan tersebut.”41 Prosedur ini tidak menjamin adanya respons yang cepat dan memadai atas pengaduan. Akan tetapi, kewenangan yang diberikan melalui Resolusi ECOSOC 1235 ini telah digunakan dalam berbagai kesempatan untuk mengeluarkan dan mengesahkan berbagai resolusi terutama berkaitan dengan negara-negara yang diidentifikasi sangat sarat dengan pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia dalam skala yang luas.

Ada sebuah prosedur lain yang lebih terstruktur sifatnya yaitu Prosedur 1503 berdasarkan Resolusi ECOSOC tahun 1970. Prosedur ini memungkinkan dipertimbangkannya “komunikasi” dari individual dan ornop berkaitan dengan “situasi yang memperlihatkan adanya pola konsisten pelanggaran berat hak asasi manusia”. Yang berhak mengajukan komunikasi bukan saja korban langsung dan keluarganya. Siapa pun dan kelompok apa pun bisa mengajukan komunikasi. Tujuan prosedur ini adalah membangun dialog antara CHR dan pemerintah berkaitan dengan isu atau permasalahan yang diadukan kepadanya. Paling tidak ada lima tahap yang ditempuh dalam prosedur ini. Prosedur ini sangat memakan waktu panjang. Tetapi paling tidak ia dapat digunakan untuk “menggugat” (denounce) situasi hak asasi manusia di negara-negara yang belum meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang sudah ada.42

Berbeda dengan prosedur 1235 yang dapat dengan mudah diketahui publik, prosedur komunikasi di bawah resolusi 1503 ini dilakukan dalam sesi tertutup untuk menghindari adanya distorsi dan bias oleh adanya lobi-lobi kotor. Menurut Profesor Alston, prosedur ini sangat tepat jika disebut sebagai sistem “petition-information”, sebagai lawan dari sistem “petition-redress”, “karena sasarannya adalah menggunakan pengaduan sebagai … bukti [yang] mungkin – jika dilengkapi secara memadai dengan sejumlah kasus terkait –

41 Untuk mendapatkan pembahasan secara lebih mendalam tentang Prosedur 1235 ini silahkan baca Nigel S. Rodley, “United Nations Non-Treaty Procedures for Dealing with Human Rights Violations”, dalam Hurst Hannum (ed.), Guide to International Human Rights Practice, 2nd edition, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992, hlm. 60 –64.

42 Uraian yang sangat bagus terutama untuk kepentingan masyarakat adat tentang prosedur ini (dan juga prosedur 1235) dapat dibaca dalam Florencia Roulet, Human Rights and Indigenous Peoples, a Handbook on the UN System, IWGIA, Copenhagen, 1999, hlm. 52 – 59.

19

mendorong PBB untuk mengambil tindakan”.43 Roulet mencatat bahwa Public Prosedure 1235 memiliki keunggulan dibandingkan Prosedur 1503, yaitu bahwa pengaduan dibahas di depan anggota setiap organ, pengamat dan publik luas. Pers juga dapat dengan cepat menangkap isu tersebut dan menyebarluaskannya. Hal ini memberikan semacam tekanan politis kepada pemerintah dan pada gilirannya akan membentuk opini dunia dan mendapatkan simpati atas korban-korban atau situasi pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi.44

Prosedur Pengaduan Berkaitan dengan Konvensi ILO

Prosedur pengaduan dalam ILO lebih bersifat petition-redress. Ada dua konvensi yang langsung mengatur tentang hak masyarakat adat yaitu Konvensi ILO 107 dan Konvensi ILO 169. Konvensi-konvensi lainnya berhubungan tetapi tidak secara langsung seperti: Konvensi No. 50 tentang rekruitmen pekerja dari masyarakat adat (1936), Konvensi No. 64 tentang kontrak kerja untuk pekerja dari masyarakat adat (1939), dll.45

Prosedur pengaduan berkaitan dengan Konvensi ILO ini diatur dalam Konstitusi ILO pasal 24 dan pasal 26. Berdasarkan pasal 24, sebuah asosiasi pekerja atau pengusaha bisa membuat representasi kepada ILO bahwa sebuah negara “telah gagal menjamin pelaksanaan Konvensi yang sudah diratifikasinya”. Di sini dikenal adanya ILO Governing Body yang terdiri dari tiga pihak yaitu pengusaha, buruh dan negara. Ada sebuah komite yang anggotanya terdiri dari wakil masing-masing pihak; komite ini mempertimbangkan semua pengaduan, komentar, dan intervensi yang masuk lalu menyerahkannya kepada Governing Body. Badan inilah yang akan mengambil keputusan atas langkah selanjutnya berkaitan dengan kasus yang dibahas.

Pasal 26 lebih elaboratif dalam menangani pengaduan berkaitan dengan kealpaan atau ketidamampuan Negara dalam mengimplementasikan ketentuan Konvensi. Pengaduan bisa diajukan oleh suatu Negara Pihak berkaitan dengan situasi di negara lain untuk Konvensi yang sama, atau oleh delegasi peserta International Labour Conference. Governing Body kemudian bisa mengusulkan dibentuknya Commission of Inquiry untuk menyelidiki kebenaran 43 Lihat Philip Alston, “The Commission on Human Rights”, dalam Philip Alston (ed.), The United

Nations and Human Rights: A Critical Appraisal, Oxford, Clarendon Press, 1992, hlm. 146.44 Florencia Roulet, op. cit., hlm. 57.45 Florencia Roulet, ibid., hlm. 115.

20

kasus yang diadukan. Dalam kaitan dengan masyarakat adat, kendatipun mereka tidak mengajukan pengaduan, hal itu bisa dilakukan pihak lain atas nama mereka. Artikel 24 dan 26 Konstitusi ILO tidak mengharuskan bahwa pengaju aduan adalah orang yang menjadi korban langsung.

UN Human Rights Copmmittee dan CERD: Pengaduan Antar-Negara dan Komunikasi Individual

Kedua Komite ini menerima pengaduan antar-negara dan pengaduan (lazim disebut “komunikasi”) individual. Pengaduan antar-negara berkaitan dengan CERD berlaku secar otomatis bagi semua negara pihak Konvensi Penghilangan Diskriminasi Rasial sebagaimana ditetapkan dalam pasal 11. Sebaliknya, pengaduan antar-negara berkaitan dengan HRC menyangkut implementasi Kovenan Hak Sipil dan Politik berlaku hanya di antara negara-negara pihak yang telah mendeklarasikan atau mengumumkan pengakuan terhadap kewenangan komite berkaitan dengan ketentuan tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 41 ayat 1.46 Setiap negara pihak wajib menyerahkan laporan tentang implementasi perjanjian atau instrumen tersebut di negara kedaulatannya masing-masing.

Kedua instrumen itu juga mengatur prosedur pengaduan individual. Untuk masalah berkaitan dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik, pengaduan individual dimungkinkan jika negara pihak kovenan tesebut juga menjadi negara pihak Optional Protocol-nya yang secara khusus mengatur tentang pengaduan individual tersebut. Untuk Konvensi Penghilangan Diskriminasi Rasial, pengaduan individual diatur dalam pasal 14. Individu atau kelompok individu dari sebuah negara pihak, misalnya Indonesia, bisa mengajukan pengaduan jika negara pihak tersebut menyatakan pengakuannya atas kewenangan Komite berkaitan dengan pengaduan atau komunikasi tersebut.

Catatan Khusus: Permanent Forum for Indigenous Peoples (PFIP)

Sekarang ini ada badan baru yang secara khusus menangani masalah masyarakat adat (yang bisa digunakan sebagai wahana pengaduan) yaitu Permanent Forum for Indigenous Peoples. Berkaitan dengan forum ini, Erica Daes mengajukan beberapa pertimbangan yaitu sebagai berikut:

46 Lihat James Anaya, op. cit., catatan no. 76 dan teksnya.

21

a. Membentuk sebuah badan pencari fakta, atau menunjuk seorang pelapor khusus untuk isu masyarakat adat, dengan sebuah mandat inter alia untuk melakukan kunjungan dan menyiapkan laporan berkaitan dengan isu-isu tanah masyarakat adat tertentu dan sumber daya yang mereka miliki; pelapor khusus juga bisa memberikan respons, melakukan mediasi dan mengusahakan rekonsiliasi;

b. Menciptakan sebuah mekanisme atau prosedur tuntutan (complaint), di bawah dan dalam tanggung jawab pelapor khusus, untuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada tanah-tanah dan sumber daya masyarakat adat;

c. Pelapor khusus sebaiknya dilengkapi denga kekuasaan “peace-seeking” untuk melakukan investigasi, merekomendasikan solusi, konsiliasi, mediasi, dan membantu mencegah atau mengakhiri kekerasan dalam situasi berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat;

d. Membuat prosedur bagi negara-negara dalam membuat laporan periodik berkaitan dengan kemajuan mereka dalam mengusahakan perlindungan terhadap hak atas tanah dan sumber daya masyarakat adat.47

Permanen Forum ini dibentuk melalui Resolusi ECOSOC 2000/22 pada 45th plenary meeting-nya, 28 July 2000. Mary Robinson mengomentari keputusan itu sebagai “a historic step forward”. "The Permanent Forum", katanya,

promises to give indigenous peoples a unique voice within the United Nations system, commensurate with the unique problems which many indigenous people still face, but also with the unique contribution they make to the human rights dialogue, at the local, national and international levels.48

Forum ini merupakan badan di bawah ECOSOC yang akan terdiri dari 16 wakil. Delapan orang akan dicalonkan oleh pemerintah dan dipilih oleh badan ECOSOC (mereka ini dipilih karena kepakarannya), dan delapan lainnya akan ditunjukk oleh Presiden ECOSOC setelah berkonsultasi dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat adat dengan pertimbangan pada unsur keragaman dan sebaran geografis. Organisasi Masyarakat Adat bisa menjadi pengamat dalam forum tersebut, sebagaimana juga Negara, Badan PBB lainnya, dan berbagai ornop di seluruh dunia. Mandat Forum ini adalah menangani isu-isu masyarakat adat berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan sosial, kebudayaan, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia pada umumnya.49

47 Erica-Irene A. Daes, op. cit., 2001, hlm. 32, para. 157.48 Mary Robinson, “UN Establihes Permanent Forum for Indigenous Issues”, Press Release

ECOSOC/5932, http://www.un.org/News/Press/docs/2000/20000731.ecosoc5932.doc.html49 United Nations Guide for Indigenous Peoples , Leaflet No. 6, “The Permanent Forum on

Indigenous Issues, available online at: http://www.unhchr.ch/html/racism/indileaflet6.doc

22

2. Mekanisme Nasional

Untuk mekanisme nasional ini saya mengacu pada kategorisasi yang dilakukan Profesor Erica Daes yaitu sebagai berikut: (a) mekanisme yudisial; (b) mekanisme negosiasi; (c) reformasi konstitusional dan kebijakan peraturan perundang-undangan; (d) inisiatif atau keinginan masyarakat adat; (e) instrumen-instrumen standar hak-hak asasi manusia.50 Akan tetapi, perlu dipahami sebagaimana telah disinggung di depan, dalam konteks hukum dan hubungan internasional kontemporer, mekanisme nasional pun bisa berimplikasi pada mekanisme internasional demikian juga sebaliknya. Sehingga, kembali saya katakan di sini bahwa pembagian uraian atas mekanisme internasional dan nasional ini hanya untuk mempermudah uraian dan pemahaman saja.

a. Mekanisme Yudisial

Mekaniseme yudisial pada tataran konsep hukum memegang peranan penting dan menjadi andalan bahkan menjadi semacam sandaran akhir dari setiap upaya advokasi. Namun, bagi masyarakat adat, oleh karena adanya kegagalan Negara dalam mengakui adanya tindakan dan kebijakan diskriminatif yang terus berlangsung atas tanah masyarakat adat, mereka menjadi sulit menerima mekanisme yudisial sebagai salah satu cara yang mereka harapkan dapat menjamin pemenuhan hak-hak mereka.

Selain itu, dalam konteks kekinian, kiranya perlu kita ketahui bahwa penggunaan mekanisme yudisial untuk kasus yang berkaitan dengan masyarakat adat mengandung risiko. Mengapa? Karena adanya masalah interpretasi yang berbeda-beda terhadap instrumen-instrumen hukum yang dijadikan dasar bagi penyelesaian kasus-kasus tersebut. Selain itu, juga karena berbagai forum bentukan Negara itu sangat kental dengan bias politik dan sangat subjektif. Pemerintah juga seolah membiarkan terus bias kultural yang ada. Mekanisme-mekanisme yudisial seperti itulah yang dibuat dan telah digunakan dalam beberapa kasus. Pemerintah dan organisasi masyarakat adat masih harus mengusahakan lebih lanjut berbagai masukan atau pertimbangan-pertimbangan positif untuk mendapatkan mekanisme yudisial yang memadai, jujur dan adil.

50 Lihat Erica-Irene A. Daes, op. cit., 2001, para 87 – 117.

23

b. Mekanisme Negosiasi

Mekanisme negosiasi mungkin bisa digunakan untuk mengedepankan serangkaian isu, konsep dan perspektif yan lebih luas dan kaya untuk menggali kemungkinan diterimanya klaim hak masyarakat adat atas tanahnya. Bisa juga diharapkan untuk menyediakan kesempatan yang lebih besar baik untuk mencapai atau melahirkan pemahaman yang sejati maupun untuk mengokohkan bangunan kepercayaan. Negosiasi, jika dilaksanakan dengan semangat saling menghargai bagi tercapainya pengakuan atas hak-hak dasar masyarakat adat, dapat juga memberikan kontribusi tersendiri bagi kelanjutan dan kelangsungan hubungan politik dan hubungan hukum yang elegan. Alternatif semacam itu tampaknya lebih konstruktif baik bagi Pemerintah maupun bagi masyarakat adat itu sendiri, dan mungkin juga bagi pihak lain.

Selain itu, dialog substantif, konstruktif, dan formal baik di tingkat internasional, nasional dan lokal berkaitan dengan standar internasional hak asasi masyarakat adat barangkali merupakan sebuah metode yang dapat membuahkan hasil demi tercapainya pemahaman yang menyeluruh tentang nilai dan perspektif masyarakat adat. Pendidikan pun bisa menjadi langkah yang sangat efektif dalam hal ini. Pendidikan bisa membantu membuka wawasan untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dan memahami implikasi dari diakomodirnya hak dan kepentingan masyarakat adat itu sendiri dan Negara.

c. Reformasi Konstitusional dan Kebijakan Peraturan Perundang-undangan

Sebuah langkah positif untuk menjamin hak-hak masyarakat adat telah menjadi praktik yang maju oleh Negara untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat melalui amandemen konstitusi, pembuatan peraturan perundangan yang khusus, dan ketetapan-ketetepan khusus di antara berbagai hukum umum lainnya. Contoh yang pantas untuk disebutkan di sini adalah amandemen terhadap Konstitusi Brazil yang disahkan pada tahun 1988. Konstitusi itu memuat berbagai ketentuan yang tegas akan perlunya penentuan garis batas dan perlindungan atas tanah-tanah masyarakat adat. Demikian juga di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, semisal Argentina, Bolivia, Ekuador, Guatemala, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru dan Venezuela. Negara-negara itu sekarang memilik Konstitusi yang mengakui kepemilikan masyarakat

24

adat atas tanah dan sumber daya alamnya, dan menjamin reservasi atau penentuan garis batas yang tetap dan tegas. Sebagai tambahan, Konstitusi Bolivia, Colombia dan Peru mengakui hak masyarakat adat untuk membentuk pemerintahan sendiri (self-government) di daerah atau wialayah mereka sepanjang hal itu tetap mengindahkan Konstitusi Negara dan hukum Nasional lainnya.

Akan tetapi, Daes juga mencatat bahwa hingga ia menyerahkan kertas kerja final sebagai laporan atas hasil studinya kepada PBB, belum ada informasi yang diterima mengenai sejauh mana pemberlakuan konstitusi dan berbagai ketentuan perundang-undangan atau hukum di negara-negara yang diamatinya itu telah benar-benar diimplementasikan. Juga belum ada laporan mengenai sejauh mana berbagai instrumen hukum itu mencapai sasaran seperti memulihkan hubungan masyarakat adat dengan tanahnya dalam pengertian ekonomi, sosial, budaya dan makrokosmos. Sepertinya, kata Daes, perlu dilakukan sebuah studi komparatif tentang berbagai ketentuan legislasi dan konstitusional mengenai hak-hak masyarakat adat di mana pun.

d. Inisiatif Masyarakat Adat

Perlu diperhatikan bahwa masyarakat adat itu sendiri mengajukan berbagai inisiatif atau usulan tentang berbagai proyek dan program yang penting dalam kaitan dengan tanah, teritori dan sumber daya yang mereka miliki. Berbagai inisiatif itu pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi perlindungan dan promosi hak-hak mereka. Contohnya adalah usulan tentang pengelolaan dan pengelolaan bersama sumber-sumber daya alam di Alaska, atau di mana pun. Masyarakat adat juga memberikan kontribusi pada inisiatif perlindungan lingkungan global dan nasional. Sebagai contoh, keterlibatan dan peran mereka dan ornop masyarakat adat pada United Nations Conference on Environment and Development sangat menentukan dalam pembuatan draf dan diterimanya atau disahkannya bab 26 Agenda 21, yaitu tentang “Recognizing and Strengthening the Role of Indigenous Peoples and Their Communities”51. Ini merupakan kontribusi positif oleh masyarakat adat bagi masyarakat dunia.

Di tingkat nasional, masyarakat adat di beberapa negara tertentu telah mengusulkan proyek pembuatan peta (mapping project) sebagai wahana untuk mendokumentasikan dan menspesifikasi kepemilikan 51 Tentang isi lengkap Agenda 21 ini silahkan lihat:

http://www.un.org/esa/sustdev/agenda21text.htm

25

mereka atas tanah adat dan praktik pengguna52an tanah adat tersebut. Hal ini bisa menjadi sebuah sarana yang penting bagi terciptanya kesadaran dan pemahaman yang lebih besar atas kepemilikan tanah adat. Hal ini pada akhirnya bisa juga membantu terciptanya dasar bagi pengakuan secara legal dan perlindungan terhadap hak atas tanah-tanah adat dan sumber dayanya. Di Belize, pembuatan proyek dari masyarakat Indian Maya di distrik Toledo berhasil diterbitkan pada tahun 1998 di bawah judul: Maya Atlas: The Struggle to Preserve Maya Land in Southern Belize. Peta ini merupakan atlas buatan masyarakat adat yang pertama di dunia. Maya Atlas ini, yang diproduksi oleh Toledo Maya Cultural Council dan Toledo Alcaldes Association, mendokumentasi tanah adat milik masyarakat Mopan dan Ke’kchi, dan juga mendeskripsikan sejarah bangsa Maya, kebudayaannya, hukum adat mereka tentang tanah dan kegiatan-kegitan sosio-ekonomi masyarakat tersebut.

e. Instrumen-Instrumen Standar Hak Asasi Manusia

Di depan telah saya uraikan beberapa instrumen standar hak asasi manusi beserta mekanismenya. Mungkin yang perlu dicatat di sini adalah bahwa berbagai norma hak asasi manusia yang kini tengah berlaku, yakni norma yang berkaitan dengan hak atas pembangunan, hak antar-generasi, hak atas perdamaian dan kedamaian, dan hak lingkungan yang aman dan sehat merupakan norma-norma yang digunakan masyarakat adat untuk mulai memperngaruhi pemikiran lama dan membawa pengaruh progresif atas standar-standar itu, yang lebih sensitif, responsif dan berguna bagi masyrakat adat dan umat manusia pada umumnya. Kesimpulan dalam laporan dari Brundtland Commission, Our Common Future, sudah seharusnya untuk tidak diabaikan berdasarkan pandangan atas perubahan ini dan pengembangan standar-standar hak-hak asasi manusia. Laporan itu mengandung dan menegaskan pengakuan terhadap situasi khas nan unik dalam eksistensi masyarakat adat:

Titik awal bagi kebijakan yang adil dan manusiawi untuk kelompok-kelompok masyarakat semacam itu adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional mereka dan terhadap tanah dan sumber daya lain yang mereka miliki, yang melestarikan cara hidup mereka. Hak-hak ini barangkali memang tidak termasuk atau tidak sesuai dengan sistem hukum standar

52 Setahu saya, di tingkat nasional Indonesia, belum ada upaya menyeluruh untuk pembuatan peta seperti itu untuk menandingi peta yang dibuat pemerintah. Hal penting lainnya yang menjadi satu paket dengan pemetaan adalah soal pendokumentasian. Hal ini sering ditekankan oleh saudara Noer Fauzi dalam beberapa kesempatan.

26

(yang berlaku di negara di mana wilayah tempat tinggal mereka berada). Berbagai institusi milik kelompok-kelompok masyarakat ini, institusi untuk mengatur hak dan kewajiban, sangat krusial untuk membangun harmoni dengan alam dan perilaku peduli lingkungan dalam cara hidup mereka. Maka dari itu, pengakuan terhadap hak-hak tradisional mereka haruslah disatukan dengan undang-undang atau ketentuan hukum untuk melindungi institusi-institusi lokal mereka yang meningkatkan tanggung jawab dalam memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki. Dan pengakuan ini harus pula memberikan komunitas lokal sebuah hak suara yang menentukan dalam keputusan tentang pemanfaatan sumber daya alam di wilayah tanah adat mereka.53

PENUTUP

Perkembangan konsep, paham dan gerakan hak asasi manusia global telah membawa serta semakin populernya isu masyarakat adat baik di tingkat nasional maupun internasional. Isu masyarakat adat memang masih memiliki beban bawaan berupa hubungan mereka dengan tanah, wilayah dan sumber daya dalam dimensi ekonomis, sosial, kultural, maupun religius-spiritual dan filosofis-makrokosmis. Masalah lainnya lagi yang hingga kini masih menggantung adalah soal self-determination dan soal indentitas.

Kendatipun di tingkat internasional kita mencatat adanya perkembangan menggembirakan misalnya disahkannya Permanent Forum on Indigenous Peoples namun di tingkat nasional kita masih dihadapkan dengan berbagai halangan dan tantangan baik berupa pengakuan langsung dan nyata terhadap hakikat, eksistensi dan keberadaan serta hak-hak masyarakat adat, maupun berupa pembaruan hukum dan politik yang mengakomodir kepentingan mereka. Karena itu benar sekali apa yang dikatakan John Bamba bahwa masyarakat adat di dunia sekarang ini bagai berada dalam “perjuangan global” namun “tantangan lokal”.54

Dengan kata lain, jalan menuju puncak pengakuan komprehensif atas keberadaan (being) masyarakat adat memang panjang. Tiada cara lain memperkecil jarak itu selain mulai berjalan, berjalan, dan berjalan. Jalan itu adalah menganyam kiat dengan menggali berbagi kemungkinan berdasarkan konsep, paham, mekanisme dan standar internasional hak asasi manusia yang dikontekstualisasikan dalam tataran perjuangan lokal.

53 Pandangan Gro Bruntland ini dikutip dalam Erica-Irene A. Daes, op. cit., 2001, para. 117.54 John Bamba, op. cit.

27

SENARAI BACAAN

Alston, Philip (Ed.). 1992. “The Commission on Human Rights” dalam The United Nations and Human Rights: A Critical Appraisal. Clarendon Press, Oxford.

Anaya, S. James. 1996. Indigenous Peoples in International Law. Oxford University Press, New York.

Bamba, John. 2002 (7 April). “Masyarakat Adat di Dunia, Perjuangan Global dan Tantangan Lokal”. Makalah pada Pelatihan Nasional Masyarakat Adat untuk HAM dan Policy Process. Pontianak.

Bose, Tapan. “Definition and Delimitation of the Indigenous Peoples of Asia”. IWGIA. available online at: http://www.iwgia.org/pop_up.phtml?id=309.

Bosko, Rafael Edy. 1999 (April). The Right of Indigenous Peoples in the Context of Natural Resources Development. A master thesis in public international law. Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Faculty of Law, University of Lund.

Cobo, José R. Martínez. 1987. Study of the Problem of Discrimination against Indigenous Populations. Volume V. Conclusion, proposal and recommendation. United Nations Publications, sales No. E. 86. XIV. 3. New York, United Nations.

Daes, Erica-Irene A. 1993. “Some Considerations on the Right of Indigenous Peoples to Self-determination”. 3 Transnational Law and Contemporary Problems 1.

Daes, Erica-Irene A. 1995. Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigenous Peoples: New Development and General Discussion of Future Action. UN Doc. E/CN.4/Sub.2/AC.4/1995/3.

Daes, Erica-Irene A. 2001 (11 Juni). Indigenous Peoples and Their Relations to Land. Final working paper. Commission on Human Rights. E/CN.4/Sub.2/2001/21.

28

Dahl, Jens dan Alejandro Parellada. 2001. Masyarakat Adat di Dunia, Eksistensi dan Perjuangannya. IWGIA dan Institut Dayakologi, Pontianak.

Durning, Alan Thein. 1992 (Desember). “Guardians of the Land: indigenous peoples and the health of the Earth”. World Watch Paper 112.

Hannum, Hurst (Ed.). 1992. Guide to International Human Rights Practice, 2nd edition. University of Pennsylvania Press, Philadelphia.

IWGIA. “Indigenous Issues”. http://www.iwgia.org/pop_up.html?id=3.

Kaye, Stuart dan Ryszard Piotrowiwicz. 2000. “Nature and Origins of Human Rights Law” (bab 1) dalam Human Rights in International and Australian Law. Butterworths, Sydney.

Robinson, Mary. “UN Establihes Permanent Forum for Indigenous Issues”. Press Release ECOSOC/5932. http://www.un.org/News/Press/docs/2000/20000731.ecosoc5932.doc.html

Roulet, Florencia. 1999. Human Rights and Indigenous Peoples. A Handbook on the UN System. IWGIA, Copenhagen.

United Nations Guide for Indigenous Peoples. Leaflet No. 6 “The Permanent Forum on Indigenous Issues. Available online at: http://www.unhchr.ch/html/racism/indileaflet6.doc.

Agenda 21. http://www.un.org/esa/sustdev/agenda21text.htm

World Bank. 1991. Operational Directive OD 4.20: Indigenous Peoples.

Zaken, Ministerie van Buitenlandse. 1993 (14 Mei). Indigenous in the Netherlands Foreign Policy and Development Cooperation. http://www.haleyon.com/pub/FWDP/International/nethrlnd.txt <1/8/99>.

29

TENTANG PENULIS

Eddie Sius R. Laggut adalah seorang sarjana hukum yang bekerja di ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat sejak 1 Mei 2001 hingga sekarang. Sebelumnya, penulis bekerja sebagai pendidik dan editor/penerjemah di Yogyakarta. Pengalaman baik sebagai peserta (participant) maupun sebagai pembicara (resource person) untuk isu-isu hak asasi manusia baik umum maupun yang secara khusus berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat adalah sebagai berikut:

Juni 2001 : Participant “Pelatihan HAM bagi Pengacara” yang diselenggarakan ELSAM.

Oktober – November 2001 : Participant “International Training on International Human Rights Standards and Policy Process for Indigenous Peoples”, Baguio City, Philippines.

April 2002 : Resource Person pada “Training HAM Tingkat Nasional untuk Masyarakat Adat”, Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia.

Juli 2002 : Resource Person pada “National Training on International Human Rights Standards and Policy Process for Indigenous Peoples”, Serawak, Malaysia.

30