Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

14
Menelusuri Jejak Sejarah Kebesaran Kerajaan Wuna Melalui Pendokumentasian situs-situs Bersejarah Sebagai sebuah kerajaan besar dan tua di Sulawesi Tenggara,Kerajaan Wuna ( sekarang lebih dikenal dengan sebutan ‘Muna’) memiliki peranan yang cukup besar dalam percaturan politik dan pemerintahan di jamannya. Kebesaran dan pengaruhnya tersebut, selain tercatat dalam lembaran sejarah ( dalam bentuk manuskrip dan artikel sejarah ) juga dalam bentuk artevak, dan jejak-jejak peradabannya yang masih dapat terlihat sampai saat ini. Artikel sejarah dan manuskrip yang mengisahkan tetantang kebesaran Kerajaan Wuna selain tersimpan di museum KTVL Denhag Belanda, juga dapat ditemukan di perpustkaan-perpustakaan nasional dan Regional. Sayangnya, dalam manuskrip dan artikel- artikel tersebut, Kerajaan Wuna digambarkan sebagai Subordinasi dari Kesultanan Buton sehingga kebesaran dan peranannya di percaturan politik kala itu terkamuflase oleh sejarah Kesultanan Buton. Sedangkan artevak dan jejak-jejak peradaban yang masih tersisah, belum dilakukan penelitian dan publikasi ke khalayak sehingga tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengangkat beberapa sisa-sisa peradaban Kerajaan wuna mulai dari awal terbentuknya kerajaan wuna pada awal abad ke 14 ( 1345 ) sampai perjuangannya melawan kolonialisme belanda dan kooptasi kerajaan-kerjaan tetangga. Untuk itu penulis akan menyajikannya dalam tiga bagian dengan pembagian awal datangnya Wa Tandiabe ( Wetendri Abe ? ) di Danau Napabale, Masuknya misionaris Islam ke 3 Saidi Raba ( 1663 ) dan Pembuatan benteng pertahanan di Kota Wuna oleh La Kilaponto Raja Wuna ke 7 dan di teruskan oleh La Posasu Raja Wuna ke 8. Dalam hal ini penulis tidak menjelaskan preosesnya tetapi hanya

Transcript of Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Page 1: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Menelusuri Jejak Sejarah Kebesaran Kerajaan Wuna

Melalui Pendokumentasian situs-situs Bersejarah

Sebagai sebuah kerajaan besar dan tua di Sulawesi Tenggara,Kerajaan Wuna ( sekarang lebih dikenal dengan sebutan ‘Muna’) memiliki peranan yang cukup besar dalam percaturan politik dan pemerintahan di jamannya. Kebesaran dan pengaruhnya tersebut, selain tercatat dalam lembaran sejarah ( dalam bentuk manuskrip dan artikel sejarah ) juga dalam bentuk artevak, dan jejak-jejak peradabannya yang masih dapat terlihat sampai saat ini.

Artikel sejarah dan manuskrip yang mengisahkan tetantang kebesaran Kerajaan Wuna selain tersimpan di museum KTVL Denhag Belanda, juga dapat ditemukan di perpustkaan-perpustakaan nasional dan Regional. Sayangnya, dalam manuskrip dan artikel-artikel tersebut, Kerajaan Wuna digambarkan sebagai Subordinasi dari Kesultanan Buton sehingga kebesaran dan peranannya di percaturan politik kala itu terkamuflase oleh sejarah Kesultanan Buton.

Sedangkan artevak dan jejak-jejak peradaban yang masih tersisah, belum dilakukan penelitian dan publikasi ke khalayak sehingga tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengangkat beberapa sisa-sisa peradaban Kerajaan wuna mulai dari awal terbentuknya kerajaan wuna pada awal abad ke 14 ( 1345 ) sampai perjuangannya melawan kolonialisme belanda dan kooptasi kerajaan-kerjaan tetangga.

Untuk itu penulis akan menyajikannya dalam tiga bagian dengan pembagian awal datangnya Wa Tandiabe ( Wetendri Abe ? ) di Danau Napabale, Masuknya misionaris Islam ke 3 Saidi Raba ( 1663 ) dan Pembuatan benteng pertahanan di Kota Wuna oleh La Kilaponto Raja Wuna ke 7 dan di teruskan oleh La Posasu Raja Wuna ke 8. Dalam hal ini penulis tidak menjelaskan preosesnya tetapi hanya menyajikan dan mengulas bukti-bukti yang mendukung terjadinya proses tersebut yang mungkin selama ini belum terpublikasi sehingga tidak menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian dan para wisatawan untuk mengunjunginya.

Padahal menurut penulis obyek-obyek tersebut dapat menjadi destinasi yang menarik untuk dikunjungi para wisatawan dan para peneliti. Sebab selain tempatnya yang elok dan asri juga menyimpan misteri ilmu pengetahuan untuk dikaji dalam ilmu modern. Misteri-misteri dalam ilmu pengetahuan yang membutuhkan penelitian mendalam tersebut dapat dilihat dalam pembahasa bagian –bagian berikut.

1. Datangnya Wa Tandi Abe ( Wetendri Abeng?) Gelar Sangke Palangga Di Napa Bale

Page 2: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Danau Napa Bale adalah danau air asin yang terletak di Desa Wabintingi Kecamatan Lohia berjarak sekitar 17 Km dari Raha Ibukota Kabupaten Muna. Danau ini memiliki air yang berasa asin karena terhubung langsung dengan lautan ( Selat Buton ) oleh terowongan sepanjang 17 meter.

Terowongan yang menghubungkan Danau Napabale dengan lautan tersebut menjadi jalur transportasi masyarakat

Desa Wabintingi yang berprofesi sebagai nelayan untuk menuju lautan dan pulang mencari ikan. Pemandangan pergi pulangnya para nelayan tersebut menjadi obyek wisata tersendiri dari mereka yang senang menikmati keindahan alam.

Karena panoramanya yang indah, Danau Napa Bale saat ini menjadi salah satu destinasi pariwisata di Kabupaten Muna dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, khususnya local dan regional.

Kurangnya promosi dari pemerintah setempat menyebabkan danau ini jarang sekali dikunjungi wisatawan dari manca Negara. Padahal panorama yang dimilikinya tidak kalah eloknya dari obyek-obyek wisata lain di tanah air bahkan di manca Negara.Selain itu danau ini juga menyimpang jejak-jejak sejarah peradaban masyarakat Wuna khususnya awal terbentuknya Kerajaan Wuna.

Bagi wisatawan yang berkunjung ke danau ini, tidak saja dapat menikmati keindahan danau nya yang dihiasi dengan karang-karang atol di tengahnya serta ikan-ikan yang beraneka warna,

Page 3: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

tetapi barisan pegunungan hijau yang mengelilingi danau tersebut siap memanjakan mata setiap pengunjung.

Selain itu bila berjalan sekitar 50 meter kearah timur tepanya dibalik bukit hijau nan asri, wisatawan langsung dapat bercengrama dengan birunya laut Selat Buton dengan pasir putih disepanjang pantainya. Selain memiliki panorama yang eksotik, juga menyimpan sejarah peradaban masyarakat Wuna ( Muna ). Hal ini karena berkaitan dengan keyakinan masyarakat yang telah menjadi legenda masyarakat bahwa permaisuri Raja Wuna Ke- 1 Bheteni Netombula ( Sawerigading? ) yakni Wa Tandi Abe ( Wetendri Abeng? ) di temukan oleh masyarakat di danau tersebut ( La Kimi Batoa, 1991 ). Menurut tradisi lisan masyarakat Wuna, Wa Tandi Abe adalah Puteri Raja Luwu di Sulawesi Selatan yang datang di Wuna dan mendarat di Danau Napabale dengan menupang ‘Palangga’ atau talang. Olehnya itu Wa Tandi di gelar Sangke Palangga atau orang yang penumpang Palangga/ talang. Dari perkawinan Bheteno Ne Tombula dan Wa Tandi Abe tersebut kemudian menurunkan raja-raja di Kerajaan Wuna ( Anhar Gongnggong, 2000 ). Raja Wuna ke-2 La Aka gelar Sugi Patola adalah salah satu dari tiga orang anak dari Bheteno Ne Tombula dan Wa Tandi Abe.

Masih menurut legenda yang berkembang dari tradisi tutur masyarakat Wuna, sebelum ditemukannya Wa Tandi Abe di Napa Bale, telah di temukan seorang pemuda didalam rupun bamboo ( ada yang menyebutnya dalam ruas bamboo ) oleh sekelompok orang di Wameai pada saat mencari bamboo dalam hutan. Setelah di temukan pemuda tersebut mengaku bernama La Eli.

Selang beberapa saat setelah diketemukan La Eli tesebut, tersiar kabar ditemukan seorang putri yang menupang sebuah Palangga ( talang ) di Napa Bale. Puteri terebut mengaku bernama Wa Tandi Abe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng ( Anhar Gonggong, 2000 ).

Page 4: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Jadi Danau Napa bale, bagi masyarakat Wuna ( Muna ) memiliki arti tersendiri. Sebab dari danau tersebut peradaban baru masyarakat dimulai yakni terbentuknya Kerajaan Wuna. Sebelum Kedatangan La Eli (gelar Bheteno Ne Tombula ) dan Wa Tandi Abe ( gelar Sangke Paangga ), telah terbentuk komunitas-komunitas setingkat kampong dengan pemimpinnya bergelar ‘Mieno’ dan ‘Kamokula’.

Dalam beberapa literature sejarah mengungkapkan kampong-kampung tersebut

kemudian mengikat diri dalam sebuah Union yang mereka beri nama Wamelai dengan

pemimpin tertinggi bergelar ‘Mieno Wamelai’. Delapan kampung yang mengikat diri

dalam sebuah union itu adalah Empat kampung dipimpin ‘Mieno’ yakni Kuara,

Kansitala, Lembo, Ndoke dan Empat lainnya dipimpin oleh ‘Kamokula’ yakni

Tongkuno,Barangka, Lindo dan Wapepi ( Formuna, 2008 ).

2.Saidi Raba Mendarat Di LoghiaSaidi Raba adalah misionaris agama islam ke 3 di Kerajaan Wuna. Saidi Raba adalah sebutan bagi Syarif Muhammad Ulama yang yang berasal dari Arab oleh masyarakat Wuna.. Penamaan Saidi Raba tersebut menurut imam Masjid Quba Loghia Karena ketika datang ke Loghia, Syarif Muhammad menumpang pada sebuah alat music khas Timur Tengah, yakni rebab. Saidi Raba atau Syarif Muhammad datang di Wuna sekitar awal abad Ke 17 Masehi ( 1663 ) tepatnya pada masa pemerintahan La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaendea, Raja Muna ke 12. La Ode Ngkadiri memerintah pada tahun 1625-1667 ( La Kimi Batoa,1991 ).

Menurut beberapa tokoh adat masyarakat Wuna, ketika datang di Kerajaan Wuna Saidi Raba tidak langsung menuju ke Pusat Kerajaan di Kota Wuna, tetapi tinggal dan menetap di Loghia sambil mengajarkan agama islam pada masyarakat local. Nanti pada masa pemerintahan Raja Wuna ke 15 La Ode Abdul Rahman gelar Sangia Latugho (1671-1716 ) barulah Saidi Raba masuk di pusat pemerintahan kerajaan.Itu pun karena di undang khusus oleh Raja Wuna kala itu.

Page 5: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Jejak-jejak keberadaan Saidi Raba di Loghia masih dapat ditemukan sampai saat ini yaitu :1.Masjid Quba, masjid yang dibangunnya

untuk menunaikan ibadah shalat dan pusat pendidikan agama islam bagi masyarakat,

2.Batu Tempat Shalat Saidi Raba, yaitu Batu yg digunakan Saidi Raba untuk mengumandangkan Adzan dan melaksanakan shalat saat pertama kali menginjakan di Loghia.

3.Kantinu/penampungan, yaitu tempat penampungan air yang dibuat dari batu. Kantinu ini sebanyak 44 buah, tapi ada juga yang mengatakan sebanyak 150 buah. Air-yang tertampung dalam

kantinu tersebut digunakan untuk kebutuhan berwudhu dan sumber air minum bagi masyarakat disekitar Loghia. Kantinu yang dibuat oleh Saidi Raba tersebut banyak memiliki ke unikan yaitu dinding bagian dalam memiliki permukaan yag halus seperti dibuat dari semen. Menurut cerita yang berkembang dari masyrkat setempat, kantinu tersebut dibuat dalam waktu satu malam dengan

bantuan jin dan para dedemit. Kantinu-kantinu ini memiliki ukuran dan kedalaman yang bervarisi mulai yang berdiameter 50 cm – 3 meter dengan kedalaman 70 cm – 4 meter.

4.Kontu Saidi Raba, yaitu batu yang dibawah Saidi Raba dari Arab. Batu ini memiliki keunikan yakni pada saat di bawa, batu ini berukuran kecil yakni dapat di simpan dalam saku namun saat batu tersebut semakin besar dan telah berdiameter sekitar 50 cm (centi menter ).Kontu Saidi Raba tersebut sat ini di tempatkan didepan masjid Loghia. 5. Kontu Kologhiano, yaitu sebuah batu yang dipercaya oleh

masyarakat setempat sebagai awal mula penamaan kampong tersebut dengan Loghia.Batu ini juga mengalami keunikan yaitu semakin lama batunya semakin mengecil.Selain itu masyarakat juga

Page 6: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

mempercayai kalau kontu Loghia juga memiliki keberkahan. Olehnya itu masyarakat setempat selalu datang dan mengambil lumut yang melekat pada batu itu bila hendak melakukan sesuatu, misalnya bila hendak melaut atau pergi menjadi tetara. Kisah teranyar yaitu pelatih sepak bola SMP 4 Raha yang baru saja menjuarai piala presiden beberapa waktu yang lalu. Menurut imam masjid loghia, sebelum berangkat pelatihnya datang dan mengambil lumut yag melekat pada batu tersebut untuk dijadikan jimat. Entah itu hanya kebetulan, tapi yag jelas selama menjalani pertandingan sampai di babak final dan menjuarai kejuaraan tersebut regu sepak bola SMP 4 Raha tidak pernah mengalami kekalahan. Semua jejak-jejak sejarah kedatangan Saidi Raba di Kerajaan Wuna

dapat menjadi obyek wisata dan obyek peneitian khususnya mengenai fenomena dinding katinu, Kontu Saidi Raba yang semakin hari semakin besar dan Kontu Kologhiano yang semakin lama semakin mengecil. Oyek wisata sejarah di Loghia tersebut berjarak 19 km dari Raha Ibukota Kabupaten Muna dan dapat ditempuh dengan angkutan umum dengan waktu tempu sekitar setengah jam.

3.Benteng Kota Wuna, Strategi Pertahanan Yang UnikBenteng Kota Wuna belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. Bahkan di kalangan masyarakat Wuna sendiri masih belum banyak yang melihatnya. Padahal benteng ini dari segi usia pembuatannya lebih tua dari pada benteng Keraton Wolio di Baubau . Demikian juga dari segi panjang dan luasnya, benteng Kota Wuna juga meiliki panjang dan luas yang jauh melebihi benteng yang di gadang-gadang sebagai benteng terluas di dunia tersebut. Benteng ini juga menyimpan rahasia ilmu pengetahuan dibidang strategis perang dan aritektur yang perlu dikaji lebih dalam lagi.

Selain itu benteng ini dapat juga menjadi destinasi pariwisata karena memiliki panorama yang eksotik. Berada di atas dinding beteng yang memiliki ketebalan 2 – 4 meter ini membawa kita pada khayalan tentang masa kejayaan Kerajaan Wuna pada masa lalu. Memang untuk mencapai dinding beteng memerlukan tenaga yang ekstra karena harus

Page 7: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

menanjak tebing yang memiliki ketinggian 20- 50 meter dengan kemiringan antara 45- 90 derajat sejauh 200 meter sampai 1 km. Tapi begitu sapai di puncak benteng semua kelelahan terbayar dengan panorama yang eksotik.

Dari atas dinding benteng yang memiliki ketebalan antara 2-4 meter tersebut, dapat dilihat seluruh sudut Kerajaan Wuna, bahkan wilayah-wilayan kerajaan tetangga. Bila kita melihat ke sebelah Timur, dengan jelas kita akan melihat birunya laut selat buton. Dan bila mata kita sedikit melongok ke sebelah kanan maka akan tampak Kota Baubau, yang merupakan pusat dari Kerajaan Wolio/ Kesultanan Buton. Dan bila kita berbalik kearah Barat maka kita akan melihat barian Gunung Kabaena dan Sabampolulu di Pulau Kabaena serta birunya laut selat spelman. Kemudian kalau kita sedikit menunduk untuk melihat ke lembah, maka akan tampak rumah-rumah khas daerah Wuna serta masjid tua Kota Wuna di Pusat Kerajaan Wuna.Dia arah Barat ini pula kita dapat menyaksikan deretan tiga buah batu karang yang menjulang tinggi dengan dengan dinding-dindingnya berbentuk tebing yang curam. Ketiga buah batu tersebut oleh masyarakat Wuna di kenal dengan nama Kontu Kowuna atau Batu Berbunga. Pemberian nama Kontu Kowuna terhadap tiga batu yang berbentuk seperti atol tersebut karena pada waktu-waktu tertentu batu-batu tersebut kerap mengeluarkan tuas-tunas seperti bunga karang. Menurut tradisi lisan masyarkat Wuna, dari nama Kontu Kowuna tersebutlah asal mula lahirnya mana Wuna sebagai nama kerajaan ( For-Muna, 2008).Sungguh semua panorama yang dijanjikan oleh Benteng Kota Wuna tersebut akan memanjakan mata dan batin setiap orang yang mengunjunginya dan mejadi sumber penelitian bagi para ilmuwanBenteng yang dibangun sekitar 800 tahun yang lalu iu ternyata banyak memiliki ke unikan sehingga berbeda dari benteng-benteng lain pada umumnya baik dari segi arsitektur, bahan yang digunaan maupun pemiihan lokasi pembuatannya. Untuk penulis akan menguaraikan satu persatu keunikan benteng tersebut.

Pemilihan pembuatan benteng diatas ketinggian tebing tersebut, tentu saja bukan saja dasarkan berpertimbangan dari segi stetika, tetapi itu merupakan strategi perang agar dapat memantau setiap pergerakan musuh sebelum mereka menembus wilayah Kerajaan Wuna. Dengan posisi benteng tersebut, prajurit-prajurit kerajaan Wuna yang bersiap di Pusat Kerajaan menentukan sikap apakah mereka akan menyambut kedatangan musuh di perairan ataukah menunggu sampai musuh mendekati dinding benteng kemudian dihancurkan.

- Benteng Terpanjang dan Terluas Di Dunia

Page 8: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

- Benteng Kota wuna mulai dibangun pada masa pemerintahan La Kilaponto Raja Wuna ke – 7 ( 1538 – 1541 ). Setelah La Kilaponto menerima jabatan sebagai Raja Wolio menggantikan mertuanya La Mulae yang meninggal dunia, kemudian bersama Syeh Abdul Wahid guru agama La Kilaponto yang juga penyebar agama islam pertama di Kerajaan Wuna dan Wolio menginisiasi berdirinya sebuah kerajaan islam dengan menggabungkan lima kerajaan yang dipimpin La Kilaponto yakni Kerajaan Wuna, Wolio, Kabaena, Kaledupa dan Tiworo (Hamundu, 2005)

menjadi kesultanan dengan system konfederasi (monarkhi konstitusional ) pada tahun 1541 dengan nama Kesultanan Butuuni Darusalam ( Buton ) dan sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah menjadi sultan, La Kilaponta dianugrahi gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

- Menyusul berdirinya Kesultana Butuuni Darusalam ( Buton ), Jabatan raja dikerajaan- krajaan yang pernah dipimpin La Kilaponto, diserahkan kepada yang berhak. Di Kerajaan Wuna jabatan itu di serahkan pada adiknya La Posasu ( For-Muna, 2008 ). Setlah resmi menjai Raja Wuna ke – 8 (1541-1551), La Posasu melanjutkan pebanguna benteng pertahanan yang di rintis La Kilaponto sampai selesai sampai selesai ( J.Couvreur, ).

-- Benteng Kota Wuna yang di bangun oleh dua raja bersaudra tersebut memiliki pajang kes

eluruhan 9,8 kilo meter. Benteng ini memiliki ketinggian yang bervariasi antara 2 – 7 mter dengan tebal 2- 4 meter serta dibangun dari bat-batu besar (J. Covreur, ). Bila banding dengan benteng Keraton Wolio ( yang dipromosikan sebagai benteng terluas di dunia) yang hanya memiliki panjang keseluruhan hanya sekitar 8000 meter , maka sebenarnya benteng terluas di dunia itu adalah ‘ Benteng Kota Wuna’.

-- Benteng Kota Wuna mengelilingi seluru Kota

Wuna, pusat kerajaan Wuna. Benteng tersebut memiliki arsitektur yang unik dan berbeda dengan benteng pada umumnya. Keunikan yang di miliki oleh Benteng Kota Wuna adalah dari segi asitektur dan lokasinya.

- Memiliki Arsitektur Yang Unik

Page 9: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Strategi perang lainnya yang diterapkan oleh pasukan Kerajaan Wuna dari benteng tersebut dapat dilihat dari arsitekturya. Arsitektur Benteng Kota Wuna memiliki keunikan yang berbeda dengan benteng-benteng lainnya. Bila pada benteng lain fungsinya hanya sebagai penghalang masuknya musuh dipusat pemerintahan/ Kerajaan, maka benteng Kota Wuna juga berfungsi sebagai jebakan. Jadi begitu musuh mendekati dinding benteng, bukannya semakin memudahkan mereka menembus pertahanan prajurit Kerajaan Wuna, tetapi justeru mereka membawa diri mereka menuju liang kuburnya sendiri. Tanpa ada penyeragan dari prajurit kerajaan Wuna, prajurit-prjurit musuh akan mati dengan sendirinya. Untuk menjelaskan strategi ang diterapkan dalam pembanungan Beteng Kota Wuna tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Dibuat berbentuk Labirin

benteng yang dibuat dari batu – batu besar dan bahan perekat yang sampai saat ini belum teridentifikasi tersebut, memiliki bentuk yang unik yakni berkelok-kelok bagai lorong labirin. Dengan arsitetur yang demikian unik tersebut membuat pihak musuh kesulitan untuk masuk dalam wilayah pusat kerajaan. Sebab ketika musuh mendekati dinding benteng justeru mereka

semakin kesulitan untuk menyeberangi beteng dan menemukan jalan keluar karena mereka seperti masuk dan terjebak dalam lorong-lorong labirin yang tidak jelas dimana jalan keluarnya.

Jadi ketika musuh telah terjebak dalam labirin tersebut lah pasukan musuh dengan sangat mudah ditumpas oleh pasukan Kerajaan Wuna yang telah menanti kedatagan mereka dari tempat-tempat persebunyian berupa gua-guan yang banyak

tersebar di sepanjang tebing-tebing di sekitar dinding benteng.

Dibangun Diantara Dua Tebing Yang Curam

Bila benteng-benteng lain pada umumnya hanya di bangun diatas tebing pada sala satu sisinya, maka benteng Kota Wuna memiliki perbedan. Benteng ini justru dibangun dintara dua sisi tebing. Pembangunan benteng diantara dua tebing tersebut merupakan strategi perang guna mengurangi resiko korban pasukan sendiri, sebab bila pasukan musuh bisa meloloskan diri dan mampu memanjat tebing curang dengan kemiringan antra 45- 90 derajat dan memiliki ketinggian antara 2 – 7 meter, bukan berarti mereka langsung dapat masuk ke pusat kerajaan tetapi justeru masuk dalam jebakan berikutnya.

Page 10: Menelusuri jejak sejarah kebesaran kerajaan wuna

Dari atas dinding benteng, pasukan musuh dipaksa menuruni lembah dengan ketinggian dan kemiringan yang sama dengan tebing yang mereka panjat sebelumnya. Dalam posisi demikian tidak ada pilihan lain bagi pasukan musuh kecuali masuk dalam liang kubur mereka tanpa mendapat serangan dari pasukan Kerajaan Wuna.

Karena strategi pertahanan dengan pembuatan benteng yang unik tersebutlah, maka Kerajaan Wuna sangat sulit ditembus oleh invasi kerajaan-kerajaan tetangga bahkan colonial Belanda yang memiliki peralatan perang yang lebih maju. Dalam beberapa catatan sejarah, tercatat setidaknya lima kali pasukan VOC yang di bantu oleh prajurit Kesultanan Buton di pecundangi oleh prajurit-prajurit Kerajaan Wuna.

Belanda dapat menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Muna sekitar tahun 1908. Itupun setelah mereka membangun Bandar dan tangsi-tangsi militer di Raha sekitar 27 kilo meter dari pusat Kerjan Wuna pada tahun 1905, Ibukota Kabupaten Muna Saat ini. Dari situlah

kemudian mereka meluaskan wilalayah kekuasan mereka dengan membuka perkebunan- perkebunan di sekitar Kota Raha. Perkebunan yang dibangun oleh Kolonial Belanda yaitu jati dan kapuk.

Dalam rangkan perluasan wilayah kekuasaannya tersebu, pemerintah Kolonial Belanda Pada tahun 1927 mendatangkan transmigrasi dari daerah Sidodadi di Jawa Timur. Para trans migrant itu dipekerjakan pada loksai-lokasi perkebunan Belanda dan bertugas menanam pohon jati di daerah Motewe sampai Tampo. Belanda juga membangun pabrik-pabrik pengolahan kayu jati dan berhasil melakukan ekploitasi kayu jati yang banyak tumbuh di daerah Wuna. Pada tahun 1928, Belanda berhasil melakukan ekspor kayu jati pertama asal Pulau Muna . ( MA )