Menda PBL Blok 12 - Tetanus

44
Gejala Kejang dan Tetanus Rimenda Dwirana Barus NIM : 102010315/ C5 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat e-mail : [email protected] Pendahuluan Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1 Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tetanus, mulai dari anamnesis penyakit, pemeriksaan, diagnosis, patofisologi, penatalaksanaan, epidemiologi, hingga prognosis dari penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus berdasarkan skenario yang diberikan, yaitu mengenai tetanus. Anamnesis Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta tanda-tanda 1

description

tetanus

Transcript of Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Page 1: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Gejala Kejang dan Tetanus

Rimenda Dwirana Barus

NIM : 102010315/ C5

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat

e-mail : [email protected]

Pendahuluan

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan

spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan

oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus

neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.1

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tetanus, mulai dari anamnesis penyakit,

pemeriksaan, diagnosis, patofisologi, penatalaksanaan, epidemiologi, hingga prognosis dari

penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian

yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus berdasarkan skenario yang diberikan, yaitu

mengenai tetanus.

Anamnesis

Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk

melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta

tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan

tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut

mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus

sardonicus).3

Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan

ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi

karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa

memerlukan waktu sampai 4 minggu.1

Etiologi

1

Page 2: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di mana-

mana dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang

peliharaan dan manusia.1

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif  berbentuk batang yang selalu bergerak

dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak

berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan

selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat

resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini

dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieleminisi dengan

autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC selama 15 menit.

Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif

terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penicillin dan lainnya).1 Spora tetanus dapat bertahan

hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative terbunuh oleh

antibiotic, panas, dan desinfektan baku. C. tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan,

malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih

sering disebut sebagai toksin tetanus.2

Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani

menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam

sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai

polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk

membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya

dengan reseptorsel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan

untuk memblokade perlepasan neurotransmitter.

Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin

yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus secara

parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui.

DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi,

karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas

antimikrobial bakteri ini.1

Epidemiologi

2

Page 3: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu

dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal

mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. walaupun tetanus dapat

dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia

terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang.1

Penyakit ini umumnya terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan

iklim hangat , selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program

imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap

bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang

lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya

580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika.

Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300

kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.

Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan

aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi

dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada

beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi

penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangrene. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka

bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak

dapat diidentifikasi adanya port d’entrée.

Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas

terhadap antibody tetanus dan differi yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan

bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diantara 6 tahun terlindungi

terhadap tetanus. Sedangkan pada anak 6-11 tahun sebesar 91% , persentasi ini menurun dengan

bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang

mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.1

Patogenesis

Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C tetani. C tetani sendiri tidak menyebabkan

inflamasi dan port d’entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada

3

Page 4: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

infeksi oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan

nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin dan

tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang

mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yamg memungkinkan multipliksai

bakteri.1

Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih

dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat

150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000

Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease

jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung

karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan

masuknya toksin ke dalam sel.

Jika toksin yang dihasilkan banyak,ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi

untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan

ditransportasikan dalam akson dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan saraf

spinal.

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.

Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan

mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-

gejala tetanus akan muncul. Transport intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan

menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati

celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas.

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan rantai

ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan

melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang

diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai

ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada

suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan neurotransmitter.

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin

menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan

neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang

4

Page 5: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini

kehilangan fungsi inhibisinya.

Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral

dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang

sama dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip

dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun kemudian, pada

tetanus efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh dari pada berkurangnya fungsi pada

ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin

mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini

berperan terhadap spasme intermiten dan serangan autonomic, masih belum jelas. Efek

prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan

dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan myopati yang

terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik

berupa paralisis flaksid.1

Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan

menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi

dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkonstraksi

secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot

rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.

Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relative jarang

terlibat.

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control otonomik

dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan.

Terikatnya toksi pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung

saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang

terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki

aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal; sawar darah otak

memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam system saraf  pusat. Jika diamsusikan

bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan

5

Page 6: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang; hal ini menjelaskan urutan keterlibatan srabut

saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.1

Manifestasi Klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari

dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)

bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat

keparahan penyakit yang lebih berat.1

Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan

ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi

karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa

memerlukan waktu sampai 4 minggu.1

Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk

melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta

tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan

tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut

mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus

sardonicus).3

Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan rangsangan

seperti suara berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya, sehingga ia perlu diisolasi dalam ruang

tersendiri.3

Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat

berpostur melengkung, opistotonus, dimana hanya punggung, kepala, dan tumit yang menyentuh

dasar (tanah). Opistotonus adalah posisi seimbang yang adalah akibat dari kontraksi yang tidak

henti-hentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan tetanus khas

‘seperti papan’.2

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran

binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai

komplikasi dari luka bakar, ulkus gangrene, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi

telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan. Trauma yang

menyebabkan tetanus dapat hanyalah tetanus ringan dan sampai 50% kasus trauma terjadi di

6

Page 7: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari petolongan medis. Pada 15-25%

pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.1

Tetanus Generalisata. Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari

tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat, median onset

setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14

hari.1

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku

kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal

tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau ‘rahang terkunci’. Spasme secara

progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, ‘risus

sardonicus’ dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini

dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan

dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala.1

Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya

kelenturan dinding dada. Reflks tendon dapat meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak

yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodic. Konstraksi

tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan antagonis secara

bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,

stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan

keparahannya dan  frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau

ruptur tendon.

Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga

menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang ulang dan dipicu oleh

stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan

dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot diseluruh

tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan

penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya

7

Page 8: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin dan

hysteria. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai.

Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.

Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang berasal dari luka di

kepala mempengaruhi saraf cranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya dari pada

spasme. Tetapi progesi ke tetanus generalisata umum terjadi dan moralitasnya tinggi.1

Tetanus neonatorum menyebabkan  lebih dari 50% kematian akibat tetanus di seluruh dunia,

tetapi sangat jarang terjadi di Negara-negara maju. Neonatus, usia dibawah 1 mingu dengan

riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat menerima minuman. Kejang,

meningitis dan sepsis merupakan diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan

mortalitasnya tinggi.1

Hygiene umbilical yang buruk merupakan penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah

dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan. Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak

pasien dengan tetanus berat yang meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan

perawatan intensif , menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan

instabilitasotonomik yang nyata. System saraf simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi.

Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi.

Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan.

Badai autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskuler yang tampak nyata.

Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardia dan

henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi vascular

sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama ‘badai’ ini, kadar

katekolamin plasma menignkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang

dijumpai pada feokromositoma.

Norepinefrin lebih terpengaruh daripada epinefrin. Hiperaktivitas neuronal lebih

mendominasi daripada hiperaktivitas medulla adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang

terjadi, tetapi mekanisme yang mendasarinya belumlah jelas.

Di samping sistem kardiovaskular, efek otonomik yang lain mencakup salvasi profus dan

meningkatnya sekresi bronchial. Stasis gaster, ileus, diare dan gagal ginjal curah tinggi (high

output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.

8

Page 9: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Telah jelas adanya keterlibatan system saraf simpatis. Peranan system saraf parasimpatis

kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nucleus vagus, di mana pada saat

yang bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan.

Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal.

Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, rupture otot,

tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis.1

Tetanus Neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada

neonates (bayi berusia 0-1 bulan). C. tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka

potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak steril atau

perawatan tali pusat yang tidak baik. Bila keadaan memungkinkan, misal luka tersebut menjadi

anaerob disertai jaringan nekrotis, spora berubah menjadi bentuk vegetative dan selanjutnya

berkembang biak. Kuman ini tidak invasif tetapi bila dinding sel kuman lisis, kuman ini akan

melepaskan toksinnya.4

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila

tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak

diimunisasi secara adekuat. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan

lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2

minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan

gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan

retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.1

Tetanus Lokal. Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi

klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran

toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat

bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian

secara umum prognosisnya baik.1

Tetanus Sefalik. Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local, yang

terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus

dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke 7. Disfagia dan paralisis

otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.1

Diagnosis

9

Page 10: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila

terdapat riwayat serial vaskinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang

sesuai telah diberikan. Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun

demikian, C. tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan

dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut

menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.1

Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang

normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau

tidak adayna interval tenang yang secar normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non

spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi

serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,

walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadadar antitoksin yang protektif.1

Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabbkan trismus,

miseperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin

dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolic dan neurologis

pada neonatal. Kondisi-kondisi lain ydikacaukan dengan tetanus lemiputi meningitis/ensefalitis,

rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada

otot sentral (wajah, leher, dada, dpunggung, dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme

generalisata dan tida terlibatnya tangna dan kaki secara kuat menyokong diagnose tetanus.1

Diagnosis Pembanding

Meningitis

Meningitis adalah peradangan pada meningia, yang mempunyai gejala-gejala berupa

bertambahnya jumlah dan berubahnya susunan cairan serebro-spinal (CSS).5 Meningitis ditandai

dengan demam, nyeri kepala, kaku leher, dan fotofobia, dan dapat disebabkan oleh bakteri dan

virus.6

1) Meningitis bakterialis, sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia,

hipotensi, atau syok). Diperberat oleh koagulasi intravascular diseminata, yang diinduksi oleh

septicemia. Meningitis biasanya terjadi karena bakteremia yang disebabkan oleh Neisseria

meningitides, walaupun Streptococcus pneumonia dapat muncul pada orang-orang dengan

10

Page 11: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

pneumonoia pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan

dura (fraktur tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus).6

2) Meningitis virus ditandai dengan nyeri kepala hebat dan tanda-tanda iritasi meningen yang

kurang jelas dibanding infeksi bakteri.7 Mulainya meningitis akut mempunyai dua pola dominan.

Mulai mendadak, dengan cepat manifestasi syok progresif, purpura, koagulasi intravaskuler

tersebar, dan kadar kesadaran mengurang progresif, dramatis dan sering menunjukkan sepsis

meningokokus mematikan dengan meningitis; manifestasi ini dapat berkembang menjadi

kematian dalam 24 jam.2

Tanda-tanda dan gejala-gejala meningitis yang terkait dengan tanda-tanda nonspesifik

disertai dengan infeksi sistemik atau bakteremia. Tanda-tanda nonspesifik adaah demam,

anoreksia dan makan jelek, gejala infeksi saluran pernapasan atas, mialgia, artralgia, takikardia,

hipotensi, dan berbagai tanda-tadna kulit, seperti petekie, purpura, dan ruam macular

eritematosa. Iritasi meningeal tampak seperti kaku kuduk, nyeri pinggang, tanda Kernig (fleksi

sendi pinggul 90o dengan nyeri pada ekstensi kaki berikutnya), dan tanda Brudzinski (fleksi lutut

dan pinggul yang tidak disengaja setelah fleksi leher saat telentang).2

Kejang-kejang (setempat atau menyeluruh) karena serebritis, infark, atau gangguan elektrolit,

ditemukan pada 20-30% penderita dengan meningitis. Mereka lebih sering ditemukan pada

penderita dengan meningitis H. influenza dan pneumokokus daripada mereka dengan infeksi

meningokokus. Kejang-kejang yang terjadi pada saat datang atau dalam hari pertama dari

mulainya biasanya tidak berarti prognostik. Kejang-kejang yang menetap sesudah hari ke-4 sakit

dan mereka yang sukar diobati dihubungkan dengan prognosis yang jelek.2

Rabies

 Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular

pada orang. Karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit

ini memiliki daya tarik kuat untuk menginfeksi jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya

peradangan pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun manusia

yang tertular.8

11

Page 12: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Rabies manusia adalah infeksi virus sistem saraf sentral yang biasanya ditularkan oleh

kontaminasi luka dengan ludah dari binatang yang gila dan sebenarnya 100% mematikan bila

gejala timbul.9

Meskipun tidak semua orang yang digigit oleh anjing penderita rabies akan terjangkit rabies,

setiap orang digigit oleh anjing penderita rabies harus mendapatkan tindakan medic sebagaimana

mestinya, karena penyakit ini umumnya bersifat fatal begitu gejala klinik tampak. Di seluruh

dunia hanya beberapa orang yang sembuh setelah terjangkit rabies. Gejala pada manusia dibagi

menjadi 5 fase yakni prodromal, neurologic akut, furious, paralitik dan koma.10

Masa inkubasi sangat bervariasi antara kurang dari satu minggu sampai lebih sari satu tahun.

Umumnya masa inkubasi sekitar 1 bulan. Masa inkubasi dipengaruhi oleh kedalaman gigitan dan

jarak gigitan dengan susunan saraf pusat. Contoh, gigitan di kepala mempunyai masa inkubasi

antara 30-48 hari sedangakan gigitan di daerah tangan 40-59 hari. Masa inkubasi lebih pendek

pada anak-anak karena anak-anak umumnya terkena gigitan di daerah kepala dan leher.10

Pada fase prodromal, gejala yang muncul umumnya bersifat ringan dan tidak spesifik. Gejala

ini meliputi kelemahan umum, kedinginan, demam, dan kelelahan. Terkadang, ditemukan pula

gejala nyeri tenggorokan, batuk, dyspnoea; gangguan system pencernaan (anoreksia, disfagia,

nausea, muntah, nyeri lambung, diare) atau gangguan system saraf pusat (nyeri kepala, vertigo,

kekhawatiran, aprehensif, nervous). Pada tahap ini, dapat ditemukan rasa nyeri sekali, gatal atau

rasa terbakar pada daerah gigitan.10

Periode neurologik akut dimulai dengan tidak berfungsinya system saraf. Bila yang menonjol

hipereksitasi, kasus tersebut disebut furious rabies. Apabila paralisis yang dominan, maka

disebut paralitic rabies atau dumb rabies. Demam, paraestesia, kekakuan otot, konvulsi yang

bersifat local atau umum dan hiperalivasi dapat ditemukan pada kedua bentuk.10

Pada masa transisi dari fase neurologic akut ke fase koma ditemukan periode apneustik

ditandai dengan pernafasan cepat, tidak teratur dan gemetaran, diikuti dengan paralisa umum dan

koma. Terjadi pernafasan yang tertahan selama beberapa jam atau hari. Sepanjang publikasi

ilmiah yang ada, hanya 3 kasus rabies yang selamat setelah muncul gejala klinik.10

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

12

Page 13: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40oC.

keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang sudah

mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan

perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan

dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.11

Tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat

kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor dan semikomatosa.

Pemeriksaan saraf kranial. 1) Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien

tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya. Respon

kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan.11

2) Saraf V. Refleks masseter meningkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala

khas dari tetanus). 3) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka

mulut (trismus). 4) Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher

(mendadak). 5) Sistem motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbvangan dan koordinasi

pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.11

Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan

tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan tetanus disertai

peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal

yang peka.11

Pemeriksaan penunjang, biasanya terdapat leukositosis ringan, kadang-kadang terjadi

peningkatan TIK, dan pada pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka ditemukan

Clostridium tetani.8

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa system pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar, Udwadia) yang

dilaporkan. System yang dilaporkan oleh Ablett merupakan system yang paling sering dipakai.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett;1

Derajat 1 (ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan

pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. Derajat 2 (sedang): Trismus sedang ,

rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang

dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.1

13

Page 14: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Derajat III (berat) : Trismus berat, spasisitas generaisata, spasme refleks berkepanjangan,

frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagis berat, dan takikardia lebih dari 120.

Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem

kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan

bradikardia, salah satunya dapat menetap.1

Perubahan fisiologi kardiovaskular

Terdapat relatif sedikit penelitian tentang efek ttanus pada sistem kardiovaskular. Suatu

problem adalah bahwa efek hemodinamik dari komplikasi dan terapi dapat menutupi efek

sesungguhnya dari tetanus itu sendiri.1

Abnormalitas hemodinamik kurang jelas selama periode relaksasi muskuler penuh tetapi

pengukuran-pengukuran itu hanya secara bertahap kembali ke nilai normanlnya selama masa

pemulihan. Pemberian cairan sebanyak 2000 ml meningkatkan tekanan pengisian jantung kiri

dan indeks jantung, tapi efek ini hanya bersifat sementara. Selama ‘badai otonomik’, dengan

instabilitas kardiovaskular yang jelas, pasien mengalami fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi

dari hipertensi (tekanan arterial mencapai 220/120 mmHg) dan takikardia (denyut jantung 130-

190x/menit) sampai kondisi depresi berat dengan hipotensi (mencapai 70/30 mmHg), bradikardia

(50-90x/menit) dan penurunan tekanan vena sentralis (berkurang 1 sampai 6 cmH2O).

Pengawasan secara intensif menunjukkan perubahan ini merupakan akibat perubahan yang

cepat dan nyata dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemic vascular resistance

index/SVRI), turun dari 2300 menjadi kurang dari 1000 dine cm-5m-2. Terdapat sedikit perubahan

pada indeks jantung dan tekanan pengisian jantung.

Apabila dibandingkan dengan derajat yang lebih berat, pasien dengan derajat IV kurang

mungkin menaikkan indeks kardiak atau indeks-indeks kerja jantung sebagai respons terhadap

pemberian cairan atau selama perubahan resistensi vascular yang dijumpai selama ‘badai

otonomik’. Satu pasien dengan hipertensi berat berkepanjangan dijumpai menunjukkan

peningkatan resistensi vaskuler massif dengan SVRI lebih tinggi dari 4500 dine cm-5m-2. Pada

tetanus tanpa komplikasi, pengukuran-pengukuran tersebut di atas beervariasi luas dengan tanpa

konsistensi.

14

Page 15: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Sirkulasi hiperkinetik terutama disebabkan peningkatan aktivitas simpatetik basal dan

peningkatan aktivitas otot dengan efek yang lebih lemah dari meningkatnya temperatur. SVRI

yang normal rendah disebabkan venodilatasi ektensif dalam otot yang aktis secara metabolik.

Rasio ekstraksi oksigen tidak berubah pada tentanus dan peningkatan kebutuhan oksigen

dipenuhi dengan meningkatknya aliran darah. kontrol spasme yang buruk meperberat efek-efek

ini.1

Pemberian cairan menyebabkan hanya peningkatan sementara tekanan pengisian jantung,

indeks kardiak dan LVSWI, karena sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena

itu merupakan sistem kapasitansi yang tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol normal. Pada

tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular, oleh karena itu menyerupai pasien pasien

normal yang melakukan aktivitas fisik intensif, pasien derajat IV tampak kurang menunjukkan

peningkatan kempamuan jantung dan oleh karena itu lebih rentan terhadap hpotensi berat dan

shok selama ‘badai vasodilatori akut’.

Mekanismenya tidak jelas, tapi mungkin berkaitan dengan berkurangnya stimulasi

kaekolamin secara mendadak tatau efek langsung toksin tetanus terhadap miokardium.

Perubahan fungsi miokardium mungkin disebabkan peningkatan kadar katekolamin yyang

menetap, tetapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi bahkan pada kondisi tanpa sepsis atau

kadar katekolamin yang tinggi.1

Perubahan fisiologi respirasi

Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diafragma dan abdomen menyebabkan

adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal dan laryngeal merupakan pertanda adanya

gagal nafs dan obstruksi jalan nafa yang mengancam jiwa. Ketidakmapmpuan pasien untuk

batuk, akibat rigiditas, spaseme dan sedasi mengakibatkan stelektasis dan resiko tinggi terjadinya

pneumonia. Ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih, sekresi bronchial yang profus,

spasme faringeal, peningkatan tekanan intraabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan

resiko aspires iyang mumum terjadi pada pasien tetanus.1

Gangguan ventilasi/perfusi umum terjadi. Akibat hipoksia merupaakn keadaan yang umum

dijumpai pada tetanus sedang dan berat bahkan pada keadaan dimana gambaran foto thorax

bersih. Tekanan oksigen, udara pernafasan antara 5,3 – 6,7 kPa umm dijumpai. Pada pasien yang

15

Page 16: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

diberikan pernafasan buata, peningkatan gradient A-a bersifat menetap. Penghantaran oksigen

dan penggunaannya dapat terganggubahkan tanpa perubahan bpatologis paru tambahan,

sindroma distress pernafasan akut mungkin terjadi sebagai komplikasi spesifik tetanus.1

Perubahan ventilasi ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi, hiperventilasi

dapat terjadi karena ketakutan, gangguan otonomik, atau perubahan fungsi batang otak.

Hiporkarbia (pCI3 4,0-4,6 kPa0 umum terjadi pada tetanus ringan sampai sedang. ‘Badan

hiperventilasi’ dapat berakibat hipokarbia berat (PCO2 < 3,3 kPa). Pada tetanus berat,

hipoventilasi akibat spasme berkepanjagnan dan apneu terjadi. Sedasi, kelelahan dan perubahan

fungsi batang otak munkin juga berakibat gagal nafas. Kemampuan respirasi dapat berkurang

yang berakibat terjadinya periode apnea yang mengancam jiwa.1

Perubahan fisiologi ginjal

Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak terganggu, pada tentaus berat, sering terjadi

penurunan laju filtrasi glomerulus dan gangguan fungsitubulus ginjal. peynebab tambahan gagal

ginjal apda tetanus mencakup dehidrasi, sepsis, rabdomyolisis, dam erubahan dalam aliran darah

ke ginjal yang terjadi secara sekunder akibat peningkatan mendadak akadar katekolamin. Gagal

ginjal dapat ofigourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara klinis berkaitan

denganistabilitias otonoimk dan gambaran histologisnya normal atau menunjukkan nekrosis

tubuler akut.1

Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya seperti laringo spasme, atau sebaai

kosekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea,

atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.1

Penatalaksanaan umum

Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi dan

pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sdnagkan stimulasi

siminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan anfas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi,

dibersihkan secar hati-hati dan dilakukan debridement secara menyeluruh.1

16

Page 17: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Netralisasi dari Toksin yang Bebas

Antitoksin menurunkan prtalitas dengan mentetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan

toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf

tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusi (TIG) merupakan pilihan utama dan

hendaknya diberikan seegera dengan dosis 3000-6000 unit intramuscular, biasanya dengan dosis

terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa

penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih

tinggi. Imunolobulin intravena merupakan alternative lain daripada TIG tapi konsentrasi

antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi.1

Paling baik memberikan antitoksin sebleum memanipulasi luka. Manfaat memberikan

antitoksin pada sisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. dosis

tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat

menembus sawar dara-otak. Pemberian antibodi intratekal masih perupakan eksperimen.

Antioksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tapi masih dipergunakan di tempat

lain. Lebih murah dibanding antitoksi manusia, tapi wkatu paruhyna lebih pendek dan

pemberiannya sering menimbulkan hipersensitifitas dan serum sickness syndrome1.

Pengendalian rigiditas dan spasme

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk

mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena

menyebabkan laringospasme atau kontraksi secara terus-menerus otot-otot pernafasan. Regimen

yang ideal adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodic tanpa menyebabkan sedasi

berlebihan dan hipoventilasi.1

Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan

menggunakan benzodiazepine. Benzodiaszepin meperkuat agonisme GABA dengan

menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA. Diazepam dapat iberikan melalui rute yang

bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan

desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan.

17

Page 18: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Telah dilaporkan penggunakan dosis setinggi 100 mg per jam. Pilihan yang lain adalah

lorazepam dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu paruh yang lebih

singkat. Midazolam telah dipakai dengan akumulasi yang lebih ringan. Sebagai sedasi

tamgbahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama feobarbiton yang lebih jauh memperkuat

aktivitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Barbiturat dan klorpromaszin ini

merupakan obat lini kedua. Prozol telah dipergunakan sebagai sedasi dengan pemulihan yang

cepat setelah infuse distop.1

Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis tersputik dengan agen pemblokade

neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten mungkin dibutuhkan utnuk

jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan

dan kebuuhan pasien akan paralisis berkesinambungan dan terjadinya komplikasi hendaknya

dinilai terus-menerus tiap hari. secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium telah

dipergunakan.1

Namun demikian, pankuronium menghambat pengambilan kembali katekolamin dan dapat

memperberat inatabilitas otonomik pada tetanus berat. Terdapat laporan terbatas tentang

bertambah parahnya hipertensi dan takirardia yang berkaitan dengan penggunaannya. tetapi

Dance melaporkan tidak terdapat perbedaan dalam hal komplikasi pada mereka yang diterapi

pankuronium apabila dibandingkan dengan obat penghambat neuromuscular yang lain.

Vekuronium bebas dari efek samping kardiovaskular dan pelepasan histamine tetapi secara

relative bersifat kerja singkat.

Telah dilaporkan penggunaan infuse atrakurium pada tetanus selama 71 hari. Pada pasien ini,

dengan fungsi ginjal dan liver yang nomal, tidak terdapat akumulasi ladanosin, metabolit

epileptogenik dari atrakurium. Obat-obatan kerja panjang dipilih karena pengunaanya mungkin

dengan cara bolus intermiten daripada pemberian infuse. Penggunaan jangka panjang obat

pemblokade neuromusular aminosteroid  jangka panjang (vekuronium, pankuronium,

rekuronium) terutama melalui infuse berkaitan dengan neuropati dan miopati, namun belum

pernah ditemukan pada penderita tetanus.

Di antara obat-obat baru, pipekuronium dan rokuronium merupakan obat kerja panjang yang

‘bersih’ tapi mahal. Penggunaan dantrolen untuk mengontrol spasme dalam yang refrakter telah

18

Page 19: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

dilaporkan dalam suatu kasus. Obat-obat penghambat neuromuscular tidak perlu digunakan

setelah pemberian dantrolen, spasme paroksimal berhenti dan kondisi pasien membaik.1

Penatalaksanaan Respirasi

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada

hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk

menghindari spirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan menelan atau disfagia. Kebutuhan

akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini.1

Pengendalian disfungsi otonomik

Banyak pendekatan yang berbeda dalam terapi disfungsi otonomik yang telah dilaporkan.

Sebagian besar dipresentasikan sebagai laporan kasus pada sejumlah kecil kasus. Penelitian

terkontrol dan komparatif masih jarang.Sampai sejauh ini terapi optimal untuk overaktivitas

simpatis belum ditetapkan. metode non farmakologis untuk mencegah instabilitas otonomik

didasarkan pada pemberian cairan 8 L/hari.1

Sedasi merupakan terapi pertama. Benzodiazepine, Antikonvulsan dan terutama morvin

sering digunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi

tanpa gangguan jantung. Dosisnya bervariasi atara 20-180 mg per hari. Mekanisme aksi yang

dipertimbangkan adalah penggantuian opioid endogen, pengurangan aktifitas reflex simpatis dan

pelepasan histamine. Fenothiazin, terutama klorpromazin merupakan sedative yang berguna,

antikolinergik dan antagonis a adrenergic dapat berperan dalam stabilitas kardiovaskular.

Pada awalnya, obat-obatan pemblokade adrenergic β, seperti propanolol dipergunakan untuk

mengontrol hipertensi dan takikardia, namun hipotensi, edema paru berat dan kematian

mendadak terjadi. Labetolol, yang berefek kombinasi α dan β adrenergic digunakan, tapi

hasilnya tidak jauh berbeda (mungkin karena ktivitas bllokade α-nya kalah jauh dibandingkan

dengan β) dan mortalitasnya tetap tinggi. Sekarang, obat kerja singkat seperti esmolol berfungsi

sangat baik untuk hipertensi berat, meskipun kadar katekolamin arterial tetap tinggi.

Kematian mendadak akibat henti jantung merupakan karakteristik dari tetanus berat.

Penyebabnya masih belum jelas, tapi penjelasan yang dapat dipercaya mencakup mendadak

hilangnya pacuan simpatis, kerusakan jantung yang diinduksi oleh katekolamin, dan

meningkatnya tonus parasimpatik. Blokade beta yang menetap dapat memicu penyebab-

penyebab henti jantung ini karena aktivitas inotropik negative atau aktivitas vasokonstriksi tanpa

hambatan yang menyebabkan gagal jantung akut. Obat-obatan pemblokade adrenergic α seperti

19

Page 20: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

nethanidin, guanetidin, dan fentolamin  telah sukses dipergunakan bersama propanolol bersama

obat-obatan lain seperti trimetafan, fenoksibenzamin, dan reserpin. Kerugian penggunaan

kelompok obat ini adalah hipotensi yang terinduksi sulit teratasi, takifilaksis terjadi, dan lepas

obat bisa menyebabkan hipertensi. 1

Telah dilaporkan keberhasilan penatalaksanaan  gangguan otonomik dengan menggunakan

atropine IV dosis mencapai 100 mg per jam yang digunakan pada 4 pasien. Tapi dikuatirkan

dengan dosis yang tinggi itu, tida hanya berakibat blokade muskarinik, tapi juga nikotinik, sedasi

sentral dan blokade neuromuscular. Blokade system saraf parasimpatis dilaporkan menurunkan

sekresi dan keringat.1

Pemberian magnesium sulfat parenteral dan anesthesia spinal atau epidural  telah diterapkan,

namun pemberian dan monitornya sulit. Bupivakain epidural dan spinal telah dipergunakan

untuk mengurangi instabilitas kardiovaskuler. Namun demikian infus katekolamin diperlukan

untuk mempertahankan tekanan arterial yang adekuat.

Magnesium sulfat telah dipergunakan untuk baik pada pasien yang terpasang ventilator

maupun tidak untuk mengontrol spasme. Magnesium sulfat merupakan pemblokade

neuromuskuler pre-sinaptik, yang memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla

adrenal, mengurangi  responsivitas reseptor terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan

antikonvulsan sekaligus vasodilator.

Magnesium merupakan antagonis kalsium di miokardium dan pada hubungan neuromuskuler

dan menghambat perlepasan hormone paratiroid sehingga mengakibatkan penurunan kadar

kalsium serum. Pada keadaan overdosis, dapat menyebabkan paralisis dan kelemahan dengn

sedasi sentral, walaupun sedasi sentral masih konroversial. Hipotensi  dan bradiaritmia (denyut

jantung dibawah normal). Oleh karena itu, sangat penting untuk dapat menjaga kadar magnesium

dalam rentang terapi.

Beberapa  macam obat potensial untuk dipergunakan pada masa yang akan datang. Natrium

Valproat yang berfungsi menghambat katabolisme GABA. Pada penelitian klinis dari hewan,

Natrium Valproat menghambat efek klinis dari toksin tetanus. ACE inhibitor mungkin membantu

menghambat sintesis angiotensin II, yang meningkatkan sintesis norepinefrin dan perlepasannya

dai ujung syaraf.1

Penatalaksanaan intensif suportif

20

Page 21: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang ikut menjadi penyebabnya

mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia

(demam) dan aktivitas muscular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi

harus diberikan seawal mungkin. Nutrisi enteral berkaitan engan insidensi komplikasi yang

rendah dan lebih murah daripada nutrisi parenteral. Gastrostomi perkutaneus dapat menghindari

komplikasi berkaitan dengan pemberian makanan elalui tube nasogastrik, dan mudah sekali

dilakukan di ICU di bawah sedasi.1

Komplikasi infeksi akibat masa kritis berkepanjangan mencakup pneumonia berkaitan

dengan ventilator umum terjadi pada tetanus. Melindungi jalan nafas pada tahap awal penyakit

dan mencegah aspirasi dan sepsis merupakan langkah logis untuk mengurangi resiko ini.

Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan mulut secara cermat, fisioterapi dada, dan

penghisapan tracheal secara teratur karena salvias dan ekskresi bronchial sangat meningkat.

Sedasi yang adekuat penting sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan resiko spasme

tidak terkontrol dan gangguan otonomik an keseimbangan antara fisioterapi dan sedasi mungkin

sulit dicapai. Pemberian cairan juga harus adekuat. Pemberian heparin atau antikoagulan lainnya

juga penting untuk mencegah emboli paru.1

Penatalaksanaan lain, meliputi hidrasim untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak

nampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan; kecukupan kebutuhan gizi

yang meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk mencegah

kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.

Fungsi ginjal, kandung kemih dan gastrointestinal harus selalu dimonitor. Pendarahan

gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. Pentingnya

bantuan psikologis juga tidak dapat diabaikan.

Vaksinasi. Pasien yang sembuh dari tetanus hendkanya secara aktif diimunisasi karena

imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.1

Obat-obat yang lazim digunakan penderita Tetanus

1) Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua

tingkatan system saraf pust, termasuk bentukan limbic dan reticular, mungkin dengan

meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmitter inhibitori utama.1

Dosis dewasa

21

Page 22: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam bila perlu

Spasme sedang: 5-10 mg IV apabila perlu

Spasme  berat: 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam

Dosis pediatrik : spasme ringan 0,1-0,8 mg/kg BB?hari dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari.

Sedangkan spasme sedang sampai berat 0,1-0,3 mg/kg/hari IV tiap 4-8 jam

Kontraindikasi : hipersensitivitas, glaucoma sudut sempit

Interaksi : toksisitas benzodiazepine pada system saraf pusat meningkat apabila

dipergunakan bersamaan dengan alcohol, fenothiazine, barbiturat; cisapride dapat

meningkatkan kadar diazepam secara bermakna

Kehamilan : tidak aman pada kehamilan (kriteria D)

Perhatian : hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan system saraf pusat yang lain,

pasien dengan kadar albumin rendah atau gagal hati karena toksisitas diazepam dapat

meningkat.1

2) Fenobarbital. Dosis obat harus demikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi

pernapasan. Jika pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk

mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.

Dosis dewasa : 1 mg/kg IM tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari

Dosis pediatric : 5 mg/kg  IV/IM dosis terbagi 3-4 kali/hari

Kontraindikasi : hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit  paru-paru  berat, dan

pasien nefritis

Interaksi : dapat menurunkan efek klornfenikol, digitosin, kortikosteroid, karbamazepin,

teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang mendapatkan

antikoagulan harus ada penyesuaian dosis). Pemberian bersama alcohol dapat

menyebabkan efek aditif ke SSP  dan kematian. Kloramfenikol dan  asam valproat dapat

menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital. Rifamycin dapat menurunkan efek

fenobarbital; induksi enzim mikrosomal dapat menurunkan efek kontrasepsi oral pada

wanita.

Kehamilan : Kriteria D

Perhatian : monitor fungsi ginjal, hati, dan system hematopoitik dalam penggunaan jangka

panjang. Hati-hati pada DM, miastenia gravis, miksedema, anemia berat1

22

Page 23: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

3) Baklofen. Merupakan relaksan otot kerja sntral tlah dipergunakan secara experimental untukk

melepaskan pasien dari ventilator dn untuk mnghentikan infuse diazepam. Balkofn intratekal

600 kali lebih poten daripada baklofen oral. Injrksi intratekal brulang bermanfaat untuk

mengurangi durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi . mungkin brperan dlam

menginduksi hiperpolrisasi dari ujung aferen dan menghambat reflex monosimpatik dan

polisinaptik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis baklofen dapat diberikan sbagai bolus

injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lbah jika spam paroksimal kembali terjadi.

Dosis dewasa : 100 mcg IT; pada usia >55 tahun: 800 mcg IT

Dosis pediatric : 500 mcg IT

Kontraindikasi : hipersensitivitas

Interaksi : analgesic opiate, benzodiazepine, alcohol, TCAs, guanabens, MAOI,

klindasimin, dan obat anti hipertensi dapat meningkatkan efek Baklofen

Kehamilan : keamanannya belum diketahui (kriteria c)

Perhatian : hati-hati pada penderita disrefleksia otonomik1

4) Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi konstraksi otot. Belum

disetujui oleh FDA tapi sudah digunakan dalam sebagian kecil kasus.

Dosis dewasa : 1 mg/kg IV selama 3 jam, diulang 4-6 jam apabila perlu

Dosis pediatric : 0,5 mg/kg/hari IV dua kali sehari pada permulaan, dapat ditingkatkan

sampai 4 kali sehari, dengan tidak melebihi 100 mg 4 hari sekali

Kontraindikasi : hipersnsitivitas, penyakit hati seperti hepatitis atau sirosis

Interaksi : toksisitas meningkat apabila diberikan bersama klofibrat dan warfarin.

Pemberian bersama dengan estrogen dapat meningkatkan hpatoksisitas pada wanita diatas

35 tahun

Kehamilan : kriteria C

Perhatian : dapat menyebabkan hepatoksisitas; hati-hati pada gangguan fungsui paru dan

insufiensi kardiak berat, dapat menyebabkan fotosnsitivitas pada matahari.1

5) Penisilin G. Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dindinng otot slama

multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan.

Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penicillin IV dapat menyebabkan anemia

hemolitik, dan neuro toksisitas. Henti jantung telah dilaporkan pada pasien yang mndapatkan

dosis massif penisilin G.

23

Page 24: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Dosis dewasa : 10-24 juta unit/hari IV terbagi dalam 4 dosis

Dosis pediatric : 100.000 – 250.000 unit/kg/hari IV terbagi dalam dosis 4 kali sehari

Kontraindikasi : hipersensitivitas

Kehamilan : kriteria B (cukup aman)

Perhatian : hati-hati pada gangguan fungsi ginjal1

6) Metronidazol. Berguna untuk melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi kke

dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan

menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi

selama 10-14 hari. Bbrapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika sebagai

antibiotika pada terapi tetanus karena penicillin G juga merupakan agonis GABA yang dapat

memperkuat efek toksin.

Dosis dewasa : 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g IV tiap 12 jam, tidak lebih dari 4g/hari

Dosis pediatric : 15-30/kg BB/ hari IV terbagi tip 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari

Kontraindikasi : hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan

Interaksi

Kehamilan : kriteria B

Perhatian : penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang dan neuropati

perifer.1

7) Doksisilin. Menghambat sintesis potein dan pertumbuhan bakteri pada pengikatan sub unit 30s

atu 50s ribosomal dri bakteri yang rentan. Direkomndasikan terapi 10-14 hari.

Dosis dewasa : 100 mg per oral/IV tiap 12 jam

Dosis pediatric : tidak direkomendasikan pada anak umur dibawah 8 tahun. Pada anak

dngan berat dibawah 5 kg 4,4 mg/kg/oral/IV dosis terbagi. Pada anak yang beratnya diatas

45 kg sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi : hipersensitivitas, disfungsi hati berat

Interaksi : bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung alumunium,

kalsium, besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan efek

hipoprotombogenik dari antikoagulan.

Kehamilan : kriteria D

Perhatian : fotosensitivitas dapat terjadi pada paparan jangka lama terhadap sinar matahari,

dosis hendaknya dikurangi pada gangguan ginjal, perlu dipertimbangkan untuk mmriksa

24

Page 25: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

kadar obat dalam serum untuk pemakaian jangka panjang. Penggunaan pada masa

pembentukan gigi dapat mengubah warna gigi secara permanen.1

8) Vekuronium. Merupakan agen pemblokade neuromuscular prototipik yng menyebabkan

trjadinya paralisis muskuler. Bayi bersifat lebih bersifat sensitive pada aktivitas blockade

neuromuscular, sehingga pada dosis yang sama, pmulihan terjadi lebih lambat pada 50%

kasus. Tidak direkomendasikan pada neonatus.

Dosis dewasa : 1 mg/kg IV, dapat dikurngi menjadi 0,05 mg/kg apabila sudah diterapi

dengan suksinilkolin.

Dosis pediatric : 1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg tiap 1 jam

pada anak umur diatas 10 tahun sama saja dengan orang dewasa.

Kontraindikasi : hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindrom yang berkaitan.

Interaksi : efeknya menjadi lebih lama jika digunakan bersamaan dengan anestesi inhalasi.

Gagal hati, gagal ginjal dan pengunaan stroid dapat menyebabkan blockade

berkepanjangan meskipun obatnya telah distop

Kehamilan :kriteria C

Perhatian : pada penderita miastenia gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil dapat

memberikan efek yang kuat.1 

Terapi

Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan : organisme yang teradapt dalam

tubuh hendaknya dhancurkan untuk mencegah pelepasan toksi lebih lanjut; toksi yang terdapat

dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya di netralisasi; dan efek dari toksin yang telah

terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.1

Prognosis

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigentasi suportif telah secara nyata memperbaiki

prognosis tetanus. Tetanus yang berat umumnya mmbutuhkan perawatan ICU sampai 3-5

minggu, pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus yang meningkat

dan spasme minor dapat terjadi hingga berbulan-bulan, namun pemulihan diharapkan sempurna,

kembali ke fungsi normalnya. Sering juga ditemui menetapnya problem fisik dan psikologis.1  

Pencegahan

Imunisasi aktif

25

Page 26: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan tindakan pencegahan paling efektif dalam

praktek. Walaupun demikian, tetanus dapat terjadi pda individu yang telah diimunisasi,

diperkirakan mencapai 4 dari 100 juta individu imunokompeten. Mekanisme terjadi gagalnya

imunisasi belum jelas. Beberapa teori mencakup beban toksin yang melebihi kemampuan

pertahanan imunitas pasien, variabilitas antigenic antara toksin dan toksoid serta supresi selektif

dari respon imun. Semua individu dwasa yang imun secara parsial atau tidak sama skali

hendaknya mendapat vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa teriri atas tiga dosis: dosis

pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 8-12 bulan

stelah dosis pertama. Dosis ulangan dapat diberikan setiap 10 tahun sekali, namun pmbrian

vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan.1

Penatalaksanaan Luka

Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya : 1) Imunisasi

pasif dengan TIG dan 2) Imuniasis aktif dengan vaskin, terutama Td untuk individu usia di atas 7

tahun. dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat sedang adalah 250

unit intramuskuler yang menghasilkan kadar antibodi serum protektid paling sedikit 4 sampai

minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000 sampai

6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan spuit injeksi

yang berbeda.1

Tetanus neonatorum

  Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup

vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatkan proporsi kelahiran

yang dilakukan oleh rumah sakit dan pelatihan penolong kelahiran non-medis.1

Menyingkirkan Sumber Infeksi

Jika ada, luka yang tampak jelas hendkanya didebridemen secara bedah. Walaupun

manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotic diberikan pada tentaus untuk mengeradikasi sel-sel

vegetative, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena setiap

hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secar luas dipergunakan selama bertahun-tahun,

tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. 1

Metronidazol munkgin merupakan antibiotic pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1

gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdsasarkan aktivitas antimicrobial metronidazol

26

Page 27: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

yang bagus Metronidazole aman dan pad peneilitian yang mebandingkan dengan penisilin

menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan denga penisilin karena

metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan

oleh penisilin. Eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin dapat diterima sebagai

alternative, apabila pasien alergi terhadap penisilin.1

Kesimpulan

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani, yaitu tetanospamin, dengan

gejala, seperti inflamasi, ekspresi wajah yang khas, ‘risus sardonicus’, dan trismus atau ‘rahang

terkunci’. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata

sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan bisa

menggunakan obat-obatan diazepam, fenobarbita, baklofen, dantrolen, penisilin G, metronidazol.

Doksisilin, vekuronium. Selain itu dapat juga diterapi. Prognosis tetanus, yaitu tonus yang

meningkat dran spasme minor dapat terjadi hingga berbulan-bulan, namun pemulihan diharapkan

sempurna.

Daftar Pustaka

1. Ismanoe G. Ilmu penyakit dalam. Tetanus. Jilid ke 3. Edisi ke 5. Jakarta : Interna Publishing,

2009.

2. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke 15. Volume ke 2. Jakarta : EGC,

2000.

3. Cahyono JBSB, Lusi RA, Verawati, Sitorus R, Utami RCB, Dameria K. Vaksinasi, cara

ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2010.

4. Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN. Perawatan bayi resiko tinggi. Jakarta : EGC, 2003.

5. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : EGC, 2009.

6. Davey P. At a Glance medicine. Cetakan 8. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011.

7. Akoso BT. Rabies. Yogyakarta : Kanisius, 2fru007.

27

Page 28: Menda PBL Blok 12 - Tetanus

8. Batticaca FB. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta :

Penerbit Salemba Medika, 2008.

9. Soeharsono. Zoonosis: penyakit menular dari hewan ke manusia. Yogyakarta: Kanisius,

2006.h.118-9.

10. Wahab AS, penyunting. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2000.h.1004-145.

11.Muttaqin A. Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta:

Penerbit Salemba Medika, 2008.

28