Mencegah Malapetaka Negeri Agraris-Opini Sinar Harapan 20 Sept 2013

4
1 Mencegah Malapetaka Negeri Agraris Oleh: Galih Andreanto “Barangsiapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai apa yang dapat dijadikan makanan, atau melalaikan binatang piaraan apa pun, kemudian hal itu diketahui oleh orang banyak, orang yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati. Demikianlah ajaran sastra” (perundang-undangan Agama, Kerajaan Majapahit Pasal 261). Pasal dari kerajaan Majapahit di atas dapat diambil sebagai warisan prinsip kebesaran Nusantara di tengah kondisi pertanian yang karut-marut ini. Kebesaran era Nusantara seakan mendesakkan urgensi pelaksanaan prinsip kedaulatan pangan bagi sektor pertanian. Kini, setelah melewati tujuh abad kebesaran Nusantara, kondisi pertanian Indonesia morat-marit, kecemasan demi kecemasan menghinggapi dunia pertanian kita. Demi ketersediaan pangan jangka pendek, pemerintah sibuk memainkan peran impor. Mungkin saat ini julukan negeri agraris harus dipertanyakan ulang kepada bangsa kita. Pada 2013 ini, krisis kedelai lokal masih ditanggapi pemerintah secara reaksioner jangka pendek, dengan terus-menerus mengimpor hingga 1,1 juta ton. Sejumlah kebutuhan atas bahan pangan seperti daging sapi, beras bahkan bawang dan cabai harus dilalui lewat mekanisme impor. Hal ini sungguh menyesakkan dada kita di mana kedaulatan di bidang pangan ternyata masih jauh dari harapan. Persoalan pangan harus dilihat dari akar persoalan dengan tidak mengabaikan faktor utama aktor pertanian yaitu petani. Akses petani terhadap tanah semakin timpang, laju guremisasi semakin tak terhindarkan. Sensus pertanian tahun 1993 mencatat, jumlah petani gurem (penguasaan kurang dari 0,5 ha) 52 persen dari total petani. Pada sensus pertanian tahun 2003, jumlahnya naik menjadi 53,5 persen. Pada pendataan usaha tani pada 2009, jumlahnya naik lagi menjadi 54,2 persen. Arus konversi lahan semakin sulit untuk dihindari. Dalam konteks Pulau Jawa, karena skema dalam MP3EI menuntut Pulau Jawa menjadi kavling atau koridor bidang jasa dan industri. Program yang jauh dari penyelesaian akar persoalan ini, bukan saja tak bisa mengobati kekhawatiran akan tercerabutnya karakter agraria (sumber kekayaan alam), namun akan melahirkan beragam persoalan baru. Namun, dampak negatif paling nyata adalah konflik agraria yang merebak di seluruh penjuru Tanah Air. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan mulai 2004 hingga akhir 2012 telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektare, di mana ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. Ketidakberpihakan pemerintah kepada petani yang tengah berkonflik ditunjukkan melalui tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat

description

Opini Sinar Harapan 20 September menyambut Hari Tani Nasional 24 September 2013 oleh Galih Andreanto (Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria)

Transcript of Mencegah Malapetaka Negeri Agraris-Opini Sinar Harapan 20 Sept 2013

1

Mencegah Malapetaka Negeri AgrarisOleh: Galih Andreanto

“Barangsiapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya dengan mempersempit sawahatau membiarkannya terbengkalai apa yang dapat dijadikan makanan, atau melalaikanbinatang piaraan apa pun, kemudian hal itu diketahui oleh orang banyak, orang yangdemikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati. Demikianlah ajaransastra” (perundang-undangan Agama, Kerajaan Majapahit Pasal 261).

Pasal dari kerajaan Majapahit di atas dapat diambil sebagai warisan prinsip kebesaranNusantara di tengah kondisi pertanian yang karut-marut ini.

Kebesaran era Nusantara seakan mendesakkan urgensi pelaksanaan prinsip kedaulatanpangan bagi sektor pertanian. Kini, setelah melewati tujuh abad kebesaran Nusantara, kondisipertanian Indonesia morat-marit, kecemasan demi kecemasan menghinggapi dunia pertaniankita.

Demi ketersediaan pangan jangka pendek, pemerintah sibuk memainkan peran impor.Mungkin saat ini julukan negeri agraris harus dipertanyakan ulang kepada bangsa kita. Pada2013 ini, krisis kedelai lokal masih ditanggapi pemerintah secara reaksioner jangka pendek,dengan terus-menerus mengimpor hingga 1,1 juta ton.

Sejumlah kebutuhan atas bahan pangan seperti daging sapi, beras bahkan bawang dan cabaiharus dilalui lewat mekanisme impor. Hal ini sungguh menyesakkan dada kita di manakedaulatan di bidang pangan ternyata masih jauh dari harapan.

Persoalan pangan harus dilihat dari akar persoalan dengan tidak mengabaikan faktor utamaaktor pertanian yaitu petani. Akses petani terhadap tanah semakin timpang, laju guremisasisemakin tak terhindarkan.

Sensus pertanian tahun 1993 mencatat, jumlah petani gurem (penguasaan kurang dari 0,5 ha)52 persen dari total petani. Pada sensus pertanian tahun 2003, jumlahnya naik menjadi 53,5persen. Pada pendataan usaha tani pada 2009, jumlahnya naik lagi menjadi 54,2 persen.

Arus konversi lahan semakin sulit untuk dihindari. Dalam konteks Pulau Jawa, karena skemadalam MP3EI menuntut Pulau Jawa menjadi kavling atau koridor bidang jasa dan industri.Program yang jauh dari penyelesaian akar persoalan ini, bukan saja tak bisa mengobatikekhawatiran akan tercerabutnya karakter agraria (sumber kekayaan alam), namun akanmelahirkan beragam persoalan baru.

Namun, dampak negatif paling nyata adalah konflik agraria yang merebak di seluruh penjuruTanah Air. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan mulai 2004 hinggaakhir 2012 telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, denganareal konflik seluas 2.399.314,49 hektare, di mana ada lebih dari 731.342 keluarga harusmenghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.

Ketidakberpihakan pemerintah kepada petani yang tengah berkonflik ditunjukkan melaluitindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat

2

kepolisian dan militer dalam penanganan konflik dan sengketa agraria mengakibatkan 941orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang di antaranya mengalami luka serius akibatpeluru aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melansir data sementara bahwa jumlah rumahtangga petani menurun hingga 5,04 juta dibandingkan dengan tahun 2003. Pada 2003 jumlahpetani sebesar 31,17 juta rumah tangga, sedangkan kini (2013) jumlahnya hanya tinggal26,13 juta, atau turun 16 persen per 10 tahun.

Data BPS sebenarnya bukan fakta mengejutkan, profesi petani tak lagi menjadi profesi yangmenjanjikan kesejahteraan, bahkan identik dengan kemelaratan, kemiskinan dan penuhketidakpastian.

Jika rata-rata laju penurunan rumah tangga petani 1,75 persen per tahun (tetap) maka dalamjangka waktu 57 tahun ke depan jumlah rumah tangga petani sama dengan nol. Namun, jikalaju penurunan jumlah rumah tangga petani meningkat tiap tahun maka kurang dari 57 tahunlagi petani Indonesia punah.

Pada sisi lain terjadi pertumbuhan pesat perusahaan pertanian hingga 36,77 persendibandingkan dari 2003. Korporasi pertanian berkembang pesat hingga 5.486 perusahaanpada 2013 atau bertambah 1.475 perusahaan dibandingkan 2003. Pembacaan atas data BPStersebut harus ditempatkan pada sudut baca yang tepat.

Hal ini terkait dengan arah program kebijakan nasional ke depan. Namun, data itu sulitmembuat kita mengelak bahwa arah transformasi pertanian kita bukan lagi berorientasi padapemberdayaan rumah tangga petani, tapi ke arah industrialisasi pertanian berwarna korporasi.Transformasi yang sangat mungkin terjadi adalah petani bertanah ke arah buruh tani (hanyamenjual tenaga) yang siap diserap sektor industri.

Kita lagi-lagi tak boleh lupa bahwa pembangunan pertanian tak akan berhasil bila melalaikanfaktor petani. Berdasarkan data yang dilansir FAO, investasi di negara berkembang dansedang disumbangkan oleh investor dalam negeri yaitu petani dengan investasi pada aspek onfarm investment capital mencapai US$ 140 miliar atau sekitar 71 persen dari keseluruhaninvestasi pertanian. Oleh karena itu, kebijakan pertanian harus menempatkan petani sebagaifaktor sentral dan tentu berpihak pada petani.

Pengabaian faktor petani karena mengejar faktor produktivitas dan efisiensi harga, potensialmendorong lahirnya kebijakan yang mendorong kemusnahan petani Indonesia. Praktik-praktik perampasan tanah karena pola pembangunan yang tidak berdasarkan keadilan sosial,konflik agraria, kekerasan terhadap petani penggarap adalah buah dari lahirnya kebijakannasional yang jauh dari semangat pemberdayaan petani.

Sulit untuk mengelak bahwa politik agraria nasional saat ini justru berjalan menyimpang darisemangat UUPA 1960 dan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria danPengelolaan Sumber Daya Alam.

Turunnya angka rumah tangga petani dapat diartikan sebagai hilangnya produsen panganyang sekaligus berubah peran menjadi konsumen. Hal ini patut dikhawatirkan karenakemampuan rakyat dalam melakukan kerja produksi pertanian hilang.

3

Jika kemampuan suatu negara dalam memproduksi pangan hilang maka ke depan Indonesiaakan dilanda krisis pangan. Dalil-dalil yang membenarkan impor tak lagi bisa ditoleransikarena Indonesia akan benar-benar menyerahkan leher kedaulatannya pada asing.

Niatan pemerintah untuk membangun industrialisasi pangan skala luas dengan pintu terbukapada pihak asing dapat dideteksi lewat rencana investasi China dan Malaysia membangunareal sawah di Subang. Dengan dana investasi US$ 2 miliar (Rp 20,3 triliun) bahkan bisaberkembang mencapai US$ 5 miliar (Rp 50,8 triliun), perusahaan China berharap bisamemasuki pasar berkembang di Tanah Air sekaligus memenuhi pasokan beras domestik.

Pembukaan areal pangan skala luas berbasis korporasi dapat dievaluasi dari pelaksanaanMIFEE (Merauke Integrated Food Estate and Energy), pada praktiknya MIFEE gagalmenyejahterakan petani lokal, bahkan memperluas penderitaan masyarakat adat dankelestarian lingkungan.

Industrialisasi pangan dengan pembukaan areal pangan skala luas, bukanlah opsi yang bijakbagi melimpahnya tenaga kerja pertanian Indonesia. Setidaknya ada 26,13 juta rumah tanggapetani (2013) yang masih konsisten mau dan mampu mengelola lahan pertanian denganmembudidayakan tanaman.

Mengundang korporasi bisnis untuk membangun sektor pertanian akan membuat tenaga kerjapertanian Indonesia terserap rendah. Malapetaka justru diprediksi akan terjadi. Jika tenagakerja pertanian tidak terserap penuh maka petani yang jumlahnya masih 26,13 juta akansemakin berkurang. Ini karena pertanian berbasis industri hanya memerlukan 1 orang/hadengan bantuan mekanisasi pertanian yang modern.

Efek domino yang akan dihadapi selanjutnya adalah petani yang tadinya mampumenghasilkan pangan untuk keluarga sendiri (subsisten) akan beralih menjadi konsumen danartinya lebih banyak lagi “mulut” yang harus disediakan kebutuhan pangannya.

Persoalan ini bukanlah sepele karena dapat mendorong percepatan terjadinya krisis pangan diIndonesia. Khawatirnya, Indonesia akan dibentuk hanya benar-benar menjadi negarakonsumen pangan, konsumen pangan di tanah airnya sendiri.

Masa krisis di bidang pangan ini harus menjadi perhatian khusus seluruh elemen bangsa. Ditengah hiruk-pikuk tahun politik menjelang Pemilu 2014, agenda pembaruan agraria sebagaijalan satu-satunya menyelesaikan krisis pangan dan marginalisasi petani harus menjadiagenda nasional yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Indonesia harus segera menjalankan pembaruan agraria sejati demi mengatasi ketimpanganpenguasaan sumber kekayaan alam, upaya penyelesaian konflik agraria, melindungi petanimarginal dan melestarikan kemampuan rakyat membudidayakan tanaman.

Tepat kiranya momentum politik 2013 yang bebarengan dengan 53 tahun UUPA para calonpemimpin nasional menyadari bahwa agenda nasional yang harus dituntaskan segera adalahagenda pembaruan agraria yang mampu menjadi jalan menuju kedaulatan dan kemerdekaansejati.

Kita tak boleh meninggalkan sejarah yang diwariskan para pendiri bangsa yang mewariskanpada kita UUPA 1960 sebagai dasar penataan struktur penguasaan, pengelolaan dan

4

pemanfaatan sumber-sumber agraria (terutama tanah) agar memberikan rasa adil bagi rakyatmelalui program land reform. Tak bisa mengulur-ulur waktu lagi, pembalikan krisis haruslahdimulai.

Geertz berujar bahwa Indonesia pernah mempunyai kondisi yang memadai untuk tinggallandas, tetapi momentum itu tidak dimanfaatkan. Jika suatu momentum terlewatkan makadibutuhkan beberapa generasi untuk dapat memperoleh momentum serupa (Higgins, 1963:hal.ix).

Jika momentum krisis dan tekanan berat terhadap persoalan pangan tidak diatasi dengankemauan politik tinggal landas, bukan tidak mungkin kita tidak akan pernah mendapatkankesempatan tinggal landas karena laju kepunahan petani semakin dekat.

*Penulis adalah Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA), alumnus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.

Sumber : Sinar Harapan 20 September 2013