Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

35
Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir dengan dinamika daerah aliran sungai di Jawa, Indonesia Martin C. Lukas 1 Artikel ini adalah versi yang diterjemahkan dan sedikit dikembangkan dari makalah yang diterbitkan di Regional Environmental Change. Harap kutip artikel asli berikut: Lukas, M.C. (2016) Widening the scope: Linking coastal sedimentation with watershed dynamics in Java, Indonesia. Regional Environmental Change, doi: 10.1007/s10113-016-1058-4 1 University of Bremen, MARUM – Center for Marine Environmental Sciences, Sustainability Research Center (artec); Postal address: artec, Enrique-Schmidt-Str. 7, 28359 Bremen, Germany; Email: martin.lukas@uni- bremen.de; Phone: +49-421-218 61851. Artikel ini berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis saat berafiliasi dengan Leibniz Center for Tropical Marine Ecology Bremen GmbH (ZMT), Fahrenheitstraße 6, 28359 Bremen, Germany.

Transcript of Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

Page 1: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir dengan dinamika daerah aliran sungai di Jawa, Indonesia

Martin C. Lukas1

Artikel ini adalah versi yang diterjemahkan dan sedikit dikembangkan dari makalah yang diterbitkan di Regional Environmental Change. Harap kutip artikel asli berikut:

Lukas, M.C. (2016) Widening the scope: Linking coastal sedimentation with watershed dynamics in Java, Indonesia. Regional Environmental Change, doi: 10.1007/s10113-016-1058-4

1 University of Bremen, MARUM – Center for Marine Environmental Sciences, Sustainability Research Center (artec); Postal address: artec, Enrique-Schmidt-Str. 7, 28359 Bremen, Germany; Email: [email protected]; Phone: +49-421-218 61851. Artikel ini berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis saat berafiliasi dengan Leibniz Center for Tropical Marine Ecology Bremen GmbH (ZMT), Fahrenheitstraße 6, 28359 Bremen, Germany.

Page 2: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

1

Abstrak Proses daerah aliran sungai dan dampaknya pada pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor alam dan sosial yang berkaitan. Informasi tentang faktor dan proses ini sering kali terbatas. Akibatnya, bidang ini menjadi rentan terhadap politisasi dengan adanya debat, penelitian, dan intervensi yang terbatas pada sejumlah kecil pemicu masalah-masalah tersebut. Perdebatan tentang penyebab beban sedimen sungai dan sedimentasi pesisir yang tinggi di Jawa selama beberapa dekade berfokus hanya pada pertanian tadah hujan pada lahan pribadi milik petani, sedangkan pemicu lainnya diabaikan. Hal ini telah melemahkan efektivitas manajemen daerah aliran sungai. Makalah ini menghubungkan sedimentasi Laguna Segara Anakan di pantai selatan Jawa dengan karakteristik lanskap di masa lampau dan masa kini serta transformasi di daerah tangkapan airnya. Tiga perempat bagian laguna tersebut telah dipenuhi lumpur sejak pertengahan abad ke-19. Pemicu keadaan ini lebih beragam daripada yang diasumsikan secara umum hingga saat ini. Selain pertanian tadah hujan pada lahan pribadi petani, pemicunya mencakup penanaman kopi, penambangan kayu, pengembangan perkebunan, dan migrasi masuk pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; erosi di hutan negara dan lahan perkebunan yang dipersengketakan; praktik manajemen hutan negara; lereng buatan untuk memperluas lahan pertanian (ngaguguntur); pertanian di zona riparian; erosi dari jalan raya, jalan setapak, dan permukiman; modifikasi kanal sungai dan dataran banjir; dan erupsi vulkanik. Maka, pilihan dan harapan akan adanya tanggapan sosial yang ditujukan untuk mengurangi beban sedimen sungai dan sedimentasi pantai perlu dipertimbangkan kembali dan debat serta agenda penelitian terkait harus diperluas.

Kata Kunci Sumber sedimen; hasil sedimen; erosi tanah; sejarah lingkungan; manajemen daerah aliran sungai; Laguna Segara Anakan

Page 3: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

2

1 Pendahuluan Manajemen daerah aliran sungai dan pesisir dihadapkan pada berbagai faktor dan dinamika yang bersinggungan, yang banyak diantaranya tidak dipahami secara menyeluruh. Proses-proses fisik yang saling berkaitan, seperti erosi, transportasi sedimen dan sedimentasi pesisir, dipengaruhi oleh beragam faktor alam dan antropogenik, yang berinteraksi pada berbagai skala temporal dan spasial. Informasi tentang faktor atau pemicu ini penting bagi manajemen lingkungan. Misalnya, rancangan dan penilaian strategi mitigasi sedimen memerlukan informasi tentang sumber benaman dan fluks sedimen dalam suatu daerah aliran sungai serta tentang pemicu alami dan antropogenik terkait (Milliman dan Syvitski 1992; Meybeck dan Vörösmarty 2005; Walling dan Collins 2008). Akan tetapi, di sebagian besar wilayah di dunia, informasi tersebut tidak banyak diketahui (ibid.). Hal ini berlaku khususnya pada faktor-faktor sosial. Pengaruh antropogenik yang langsung terlihat pada proses lingkungan fisik berkaitan dengan struktur dan dinamika sosial multiskalar, yang tidak dipahami dengan jelas.

Batasan disipliner dan kerangka politik diskursif dapat mengaburkan pandangan kita dalam konteks tersebut dengan membatasi penelitian hanya pada sejumlah kecil proses atau pemicu dan menghindari topik-topik lainnya untuk diperdebatkan, dieksplorasi, dan didiskusikan – suatu fenomena yang disebut ketertutupan masalah (Hajer 2000). Hal ini dapat melemahkan hasil terkait lingkungan dari manajemen daerah aliran sungai dan memicu munculnya harapan yang tidak realistis tentangnya. Penelitian yang memperluas jangkauan hingga mencakup keberagaman karakteristik dan dinamika daerah aliran sungai serta faktor sosial terkait sangatlah penting dalam konteks tersebut.

Hal ini berlaku khususnya di Pulau Jawa. Pulau ini merupakan titik panas global transportasi sedimen ke laut (Milliman dkk. 1999; Milliman dan Farnsworth 2011). Beban sedimen sungai biasanya tinggi karena aktivitas tektonis, relief pegunungan, dan curah hujan berintensitas tinggi. Interaksi antara lingkungan yang dinamis ini dengan modifikasi antropogenik mengakibatkan laju erosi dan sedimentasi yang tinggi (Lavigne dan Gunnell 2006). Erosi dataran tinggi dan sedimentasi waduk, skema irigasi, serta ekosistem pesisir telah menjadi sasaran dalam kerangka program manajemen daerah aliran sungai sejak tahun 1970-an. Program ini berfokus pada pembuatan teras di lahan pertanian petani dan penanaman pohon. Meskipun dana yang diinvestasikan melimpah, dampak dari upaya-upaya ini pada beban sedimen sungai tidak diketahui dan terbatas (contohnya Schweithelm 1988; Diemont dkk. 1991). Sejumlah penulis lain menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh kekurangan dalam rancangan dan pelaksanaan program, keterbatasan kapasitas penyewa tanah untuk berinvestasi dalam konservasi tanah, dan keterjaminan harga singkong (USAID 1984; USAID 1985; Huszar dan Cochrane 1990; Purwanto 1999; Van Dijk 2002; ADB 2006).

Yang lebih fundamental adalah bahwa debat, penelitian, dan intervensi politik selama beberapa dekade ini berfokus hanya pada lahan pribadi petani di dataran tinggi, namun mengabaikan penyebab lainnya dari beban sedimen sungai yang tinggi. A priori, hal ini membatasi efektivitas manajemen daerah aliran sungai. Erosi pada lahan pribadi petani di dataran tinggi telah menjadi subjek dalam sejumlah penelitian (contohnya Repetto 1986; Donner 1987; Magrath dan Arens 1989; Palte 1989; Barbier 1990; Rudiarto dan Doppler 2013), informasi tentang pemicu lain dan dinamika temporal pada transportasi sedimen sungai masih terbatas. Deret waktu historis tentang beban sedimen sungai tidak dapat diandalkan atau tidak ada (PRC-ECI 1987; Seckler 1987). Informasi tentang sumber sedimen dan pemicu sosial terkait pun tidak banyak. Pada tahun-tahun berikutnya setelah pelaksanaan konservasi dataran tinggi di daerah tangkapan air Laguna Segara Anakan (Segara Anakan Lagoon/SAL), salah satu wilayah yang sudah lama menjadi prioritas untuk manajemen daerah aliran sungai, suatu penilaian dalam Proyek Citanduy-II yang didanai USAID mengungkapkan

Page 4: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

3

bahwa “[t]idak banyak yang diketahui tentang sumber erosi. […] [A]da banyak pendapat namun sedikit fakta” (diterjemahkan dari USAID 1985: 9). Konsultan perencanaan daerah aliran sungai proyek tersebut berargumen "bahwa suatu kajian mendalam tentang sedimen […] mengungkapkan bahwa lahan pribadi di dataran tinggi [target utama proyek tersebut] hanya berperan kecil dalam beban sedimen di Sungai Citanduy" dan bahwa "[s]edimentasi hanya dapat dikurangi jika sumbernya teridentifikasi […]" (diterjemahkan dari Schweithelm 1988: 6). Sumber sedimen telah dikaji dalam beberapa sub-daerah tangkapan kecil seperti daerah tangkapan Konto atas di Jawa Timur (Nibbering dan Graaff 1998; Rijsdijk 2005; Rijsdijk et al. 2007a; Rijsdijk dkk. 2007b) dan daerah tangkapan air Cikumutuk di Jawa Barat (Purwanto 1999; Van Dijk 2002). Namun, untuk cekungan sungai besar, informasinya juga masih sangat terbatas.

Hal yang sama juga terjadi pada daerah tangkapan air SAL. Laguna tersebut menyusut dengan cepat karena masuknya sedimen sungai. Tidak ada analisis meluas yang telah dilakukan atas sumber sedimen dan penyebabnya. Dua analisis tentang sedimen (Dewi dkk. 1979; Kastanja 2001) tidak banyak menjelaskan tentang dinamika temporal dan penyebab sedimentasi laguna. Ketiadaan informasi yang konkrit menyebabkan sedimentasi laguna banyak dikaitkan dengan erosi di lahan pribadi petani di dataran tinggi. Ini adalah jalan yang nyata bagi intervensi politik dan mengakibatkan penelitian tentang penyebab lain tingginya beban sedimen sungai menjadi 'tidak penting'.

Makalah ini memberikan informasi tentang dinamika dan pemicu tingginya beban sedimen sungai dan sedimentasi pesisir. Makalah ini menghubungkan analisis historis-kartografis tentang agradasi garis pantai pada SAL dengan karakteristik lanskap dan transformasi dalam daerah tangkapan airnya. Fokus makalah ini adalah pada berbagai penyebab sedimentasi laguna yang diabaikan hingga saat ini. Oleh karena itu, makalah ini memperluas perdebatan tentang erosi dan sedimentasi di Jawa dan memerlukan pertimbangan ulang tentang prioritas penelitian dan tanggapan sosial terkait.

2 Materi dan metode

2.1 Wilayah kajian

SAL adalah laguna pesisir dangkal di pantai selatan Jawa. SAL terlindung dari laut oleh Pulau Nusa Kambangan dan merupakan muara Sungai Citanduy, Cibeureum, dan Cikonde. Laguna tersebut dipenuhi lumpur dengan cepat. Sejumlah intervensi politik, termasuk Proyek Citanduy-I/II yang didanai USAID dan Segara Anakan Conservation and Development Project yang didanai ADB, ditujukan untuk menghentikan sedimentasi laguna melalui pengerukan, pembuatan pengalihan sungai dan konservasi daerah aliran sungai (USAID 1984; USAID 1985; TKW 1989; ECI 1994; ADB 1996b; ADB 2006). Karena kepentingan politik di wilayah ini, keunikan laguna dan tingginya magnitudo perubahan, maka kondisi ekologi dan sosial, serta transformasi dalam laguna telah berulang kali menjadi subjek penelitian selama beberapa dekade terakhir (contohnya Bird dkk. 1982; White dkk. 1989; Olive 1997; Dudley 2000; Yuwono dkk. 2007; Ardli dan Wolff 2009; Hinrichs dkk. 2009; Holtermann dkk. 2009; Jennerjahn dkk. 2009; Jennerjahn dan Yuwono 2009; Nordhaus dkk. 2009; Reichel dkk. 2009).

Sebaliknya, daerah tangkapan air laguna dan pemicu sedimentasi laguna belum menjadi subjek dari banyak penelitian. Luas daerah tangkapan airnya adalah sekitar 450.000 ha. Daerah tersebut didominasi oleh gunung vulkanik di bagian barat lautnya, gunung sedimenter yang menyebar di bagian timur laut dan selatannya, dan dataran hingga bukit di cekungan sungai pusat (Gbr. 1) Penggunaan lahan utama terdiri dari sawah, tegal, pemukiman dan pekarangan, kebun campuran, dan hutan negara. Iklim monsun tropis wilayah ini ditandai dengan curah hujan berintensitas tinggi antara bulan November hingga April. Rata-rata curah hujan tahunannya adalah 3.000-3.500mm

Page 5: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

4

(Weatherbase 2014). Sebagian besar wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, Kotamadya Tasikmalaya dan Banjar di Provinsi Jawa Barat (semua daerah ini sebelumnya adalah bagian dari Karesidenan Priangan), serta Kabupaten Cilacap di Provinsi Jawa Tengah.

Gbr. 1a Laguna Segara Anakan dan daerah tangkapan airnya di pantai selatan Jawa.

Gbr. 1b Pembagian administratif: Sebagian besar daerah tangkapan air Laguna Segara Anakan termasuk dalam Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, Kotamadya Tasikmalaya dan Banjar di Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Cilacap di Provinsi Jawa Tengah.

Page 6: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

5

2.2 Metode

Berdasarkan peta historis dan gambar satelit (Tabel 1), perubahan area permukaan air SAL direkonstruksi untuk periode 1857/1860-2013. Pembahasan tentang peta historis, pembuatan dan keakuratannya terdapat dalam Lukas (2014a, 2015). Jika tidak didapatkan dalam bentuk digital, peta dan gambar satelit tersebut dipindai dan digeorektifikasi menggunakan ArcGIS. Berdasarkan peta dan gambar, garis pantai historis disketsakan dengan tangan dan area permukaan airnya ditentukan. Dengan menggabungkan georektifikasi dan kesalahan digitasi-operator, sebuah kesalahan areal ditentukan sebagai ukuran keandalan hasil (lihat Tabel 1). Kesalahan areal ini, yang ditunjukkan pada Gbr. 8, jelas melebih-lebihkan cakupan aktual dari ketidakpastian hasilnya, karena perimeter yang digunakan untuk penghitungannya mencakup bagian garis pantai yang tidak terkena agradasi.

Perubahan pada area permukaan air tidak berbanding langsung dengan beban sedimen sungai atau volume sedimen yang terkumpul. Untuk menentukan hal kedua tersebut, diperlukan data batimetri historis. Data tersebut hanya ada untuk 2,5 dekade terakhir (lihat White dkk. 1989; Holtermann dkk. 2009). Menentukan hal pertama untuk periode lampau tidaklah memungkinkan karena proporsi sedimen sungai di laguna dan yang terbawa hingga ke laut selalu berubah. Meskipun terdapat keterbatasan ini, perubahan pada area permukaan air laguna dapat diasumsikan sebagai gambaran kasar tentang dinamika temporal masukan sedimen sungai, meskipun tidak dengan relasi proporsional.

Informasi tentang karakteristik dan transformasi daerah aliran sungai di masa lampau dan masa kini dikumpulkan dari berbagai sumber dan dikaitkan dengan penelitian penulis sendiri. Informasi tentang transformasi daerah aliran sungai di masa lampau dikumpulkan dari berbagai karya tulis dan dokumen bersejarah. Perubahan pada wilayah permukiman dan aliran sungai dianalisis menggunakan peta topografis masa lampau dan masa kini. Untuk tujuan ini, 23 lembar peta historis, terutama yang berdasarkan survei tahun 1924-1926 (U.S. Army 1938-1942), dan 41 lembar peta topografis terbaru (BAKOSURTANAL 1997-1999) dipindai dan digeorektifikasi. Dengan menggunakan alat klasifikasi di ArcGIS, wilayah permukiman diekstraksi dari setiap lembar peta yang didigitalkan, dikonversi menjadi shapefile, disederhanakan, dikoreksi secara manual, digabungkan, dan dihitung ukuran totalnya.

Sebagai bagian dari proyek penelitian yang lebih luas, lembaran peta ini, beserta peta historis dari tahun 1910-1915, tumpang tindih dengan gambar satelit (Landsat MSS/TM/ETM+; SPOT 2/5; Google maps), yang diambil pada 1976-2015, untuk mengidentifikasi perubahan penggunaan/tutupan lahan. Penggunaan/tutupan lahan dan fitur lanskap lainnya dipetakan langsung di lapangan, dan praktik penggunaan lahan diamati di sepanjang daerah tangkapan air laguna. Studi kasus sosial-ilmiah dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab perubahan penggunaan/tutupan lahan dan perubahan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan. Studi kasus ini menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan perwakilan dari organisasi pemerintah dan non-pemerintah pada berbagai level, perusahaan hutan negara, pengurus desa, petani, dan warga desa lainnya. Makalah ini menggabungkan hasil dari proyek penelitian yang lebih luas dengan informasi dari karya tulis dan dokumen untuk menelusuri berbagai pemicu sedimentasi laguna.

Ketersediaan dan kualitas peta dan catatan historis membatasi penelitian pada periode sejak pertengahan abad ke-19 hingga saat ini. Periode ini mencakup fase transisi dari lanskap yang didominasi alam menjadi lanskap yang didominasi manusia, yang mendukung penilaian terhadap berbagai pemicu perubahan (Messerli dkk. 2000). Periode inilah yang disebut Cooke (1992) sebagai 'masa lampau terdekat' yang sering kali diabaikan guna mendukung kajian tentang dinamika lingkungan jangka panjang atau kontemporer.

Page 7: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

6

Tabel 1: Rekonstruksi area permukaan air masa lampau di Laguna Segara Anakan: Materi, perhitungan, dan hasil

Sumber data Tanggal

pemerolehan data

Skala/resolusi peta

Area permukaan air

laguna (ha)

RMSE dari georektifikasi pada

skala asli* (∆𝑥 dalam m)

Kesalahan digitasi-

operator*** (∆𝑑 𝑖𝑖 m)

Ketidakpastian posisi garis pantai (∆𝑦𝑙 𝑖𝑖 𝑚)

∆𝑦𝑙 = �∆𝑥2 + ∆𝑑2

Perimeter area permukaan air

**** (l dalam m)

Kesalahan areal***** (∆𝑦𝑎 𝑖𝑖 ℎ𝑎)

∆𝑦𝑎 = ∆𝑦𝑙 ∗ 𝑙

Topographische Kaart van de Residentie Banjoemaas (Map Sheets I and II); under the direction of the Kolonel Direktur der Genie W.C. von Schierbrand by the Kapitein der Infanterie W. Beijerink; 1860

1857-1860 1:100.000 8.579,5 127,0* 35,0 131,7 70.573 929,4

Topographical map of Java, Residency Banjoemas (Map Sheets III, IV en VIII, and VII); TDNI, Land tax survey brigades; 1901-04 1897-1901 1:100.000 7.993,9 46,0* 35,0 57,8 74.543 430,9

Topographical map of Java, Middle (and West), Map Sheets 42/XLI D, 43/XLI C, 43/XLI D, 42/XLII B, 43/XLII A, 43/XLI D); TDNI, Land tax revision brigades; 1925-29, 1938-42

1924-1926 1:50.000 7.494,4 27,3* 17,5 32,4 84.864 275,0

Corona, FTV-1126, Mission No. 9034 17-05-1962 140 m 5.795,1 14,1* 37,0 39,6 74.088 293,4

Landsat MSS 01-08-1973 79 m 5.020,1 6,0** 21,0 21,8 95.804 208,9

Landsat MSS 25-04-1978 79 m 4.589,0 6,0** 21,0 21,8 102.276 223,0

Landsat MSS 21-06-1983 79 m 3.933,3 6,0** 21,0 21,8 87.346 190,4

Landsat TM 23-05-1993 30 m 2.798,0 6,0** 8,0 10,0 110.735 110,7

Landsat TM 29-05-1998 30 m 2.525,8 6,0** 8,0 10,0 106.048 106,0

Landsat TM 19-01-2003 30 m 2.244,7 6,0** 8,0 10,0 131.077 131,1

SPOT 2, 20mC 13-07-2007 20 m 2.231,3 6,0** 5,0 7,8 134.740 105,1

Landsat ETM+ 13-03-2013 30 m 2.181,5 6,0** 8,0 10,0 127.584 127,6

* Dalam hal peta historis dan gambar Corona, RMSE mencerminkan terutama median kesalahan planimetrik.

** Georektifikasi semua gambar satelit yang dihasilkan dari RMSE di bawah 6 m. Untuk menyederhanakan, nilai kasus terburuk yang umum sebesar 6,0 m digunakan untuk semua gambar satelit.

*** Dalam hal peta historis, kesalahan digitasi dan operator diperkirakan sebesar 0,25 mm pada skala peta (sesuai Crowell dkk. 1991); yang menghasilkan kesalahan digitasi-operator sebesar 0,35 mm pada

skala peta (= �0,25𝑚𝑚2 + 0,25𝑚𝑚2). Dalam hal foto udara dan gambar satelit, perkiraan keakuratan posisi garis pantai yang terdeteksi didasarkan pada M.-Muslim dkk. (2007), yang menentukan keakuratan prediksi garis pantai yang bergantung pada resolusi spasial gambar satelit yaitu 3,16-4,25 m pada resolusi 16 m dan 5,73-8,67 m pada resolusi 32 m. Berdasarkan hasil ini dan dengan mengasumsikan relasi yang hampir proporsional antara resolusi dan keakuratan posisi yang ditentukan, digunakan keakuratan posisi sebesar 8 m pada gambar Landsat TM dan ETM+ (resolusi spasial 30 m), 5 m pada gambar SPOT2 (resolusi spasial 20 m), 21 M pada gambar Landsat MSS (resolusi spasial 79 m), dan 37 m pada gambar Corona dari tahun 1962 (resolusi spasial 140 m).

**** Perimeter semua bagian garis pantai di sisi barat laguna, tidak termasuk jaringan kanal timur, yang belum terdampak perubahan garis pantai. Karena sejumlah bagian garis pantai yang juga berada dalam sisi barat laguna tidak terdampak agradasi, namun telah dimasukkan dalam penghitungan perimeter, kesalahan resolusi areal jelas melebih-lebihkan cakupan aktual dari ketidakpastian hasilnya.

***** cf. Salerno dkk. (2008).

Page 8: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

7

3 Hasil dan pembahasan

3.1 Dinamika temporal pada agradasi garis pantai laguna

Rekonstruksi historis-kartografis agradasi garis pantai (Tabel 1, Gbr. 2 dan 8, Online Resource 3) menunjukkan penurunan area permukaan air secara drastis dari 8.600 ha menjadi 2.200 ha sejak tahun 1857/1860. Proses ini menjadi semakin cepat antara tahun 1857/1860 dan sekitar 1980/1990an, kemudian melambat hingga seterusnya. Laju agradasi laguna yang meningkat ini sejalan dengan perluasan delta sungai yang semakin cepat di pantai utara Jawa antara tahun 1857/1922 dan 1922/1946 (Hollerwöger 1964). Hasil ini cenderung mencakup periode terpenting, karena mencatat transisi dari laju agradasi yang relatif rendah ke tinggi. Pengamatan semakin jauh ke belakang dapat memberikan wawasan tambahan, namun tidak memungkinkan karena terbatasnya akurasi peta-peta terdahulu.

3.2 Pemicu sedimentasi laguna

Sedimentasi laguna adalah akibat dari berbagai pemicu di masa lampau dan masa kini (Gbr. 2). Pertanian tadah hujan pada lahan pribadi petani adalah salah satunya, namun bukan yang utama. Analisis saya tentang peta historis dan gambar satelit, pemetaan tentang daerah aliran sungai khususnya tentang penggunaan/tutupan lahan, dan studi kasus sosial-ilmiah, semuanya menunjukkan bahwa pertanian tadah hujan terus dikembangkan hingga 1970-1990an. Namun, pembuatan teras pada lahan dan tutupan pohon yang meningkat baru-baru ini tampak telah mengurangi erosi pada lahan ini. Sebaliknya, tutupan pohon berkurang di hutan negara dan lahan perkebunan. Pemetaan tutupan lahan dan analisis saya tentang gambar satelit mengidentifikasi lahan ini sebagai titik panas perubahan tutupan lahan dan erosi tanah. Studi kasus sosial-ilmiah dalam wilayah ini menunjukkan adanya konflik pada sumber daya lahan dan hutan sebagai penyebab utama hal ini. Selain itu, analisis gambar satelit dan pengamatan di lapangan mengungkapkan praktik manajemen perusahaan hutan negara sebagai penyebab utama dari perubahan tutupan lahan dan erosi. Pengamatan dan wawancara juga mengidentifikasi lereng buatan untuk memperluas lahan pertanian (ngaguguntur), pertanian di zona riparian, dan erosi di wilayah permukiman, jalan raya, jalan setapak, dan tanggul sebagai penyebab utama sedimen. Selain itu, berbagai modifikasi daerah aliran sungai historis-antropogenik dan erupsi vulkanik tampak turut berperan dalam sedimentasi laguna. Bagian berikut ini menganalisis pemicu di masa lampau dan masa kini secara terperinci, dengan menggabungkan informasi dari karya tulis dan dokumen, serta karya empiris saya sendiri.

Page 9: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

8

Terbentuknya sedimen

Transportasi sedimen

Sedimentasi Laguna Segara

Anakan

Transformasi daerah aliran sungai historis Penanaman kopi wajib, penambangan kayu, pembukaan perkebunan perusahaan, konstruksi dan pengoperasian rel kereta api, migrasi masuk

Pertanian tadah hujan di lahan pribadi petani

Erosi di hutan negara dan perkebunan yang dipersengketakan

Praktik manajemen hutan negara

Ngaguguntur dan pertanian di zona riparian sungai

Erosi dari jalan raya, jalan setapak, wilayah permukiman, dan tanggul

Erupsi vulkanik

Tanggul dan pembuatan kanal sungai

Gbr. 2 Laguna Segara Anakan di pantai selatan Jawa telah menyusut dengan cepat karena masukan sedimen dari Sungai Citanduy, Cibeureum dan Cikonde. Ini disebabkan oleh beragam pemicu yang telah meningkatkan pembentukan dan transportasi sedimen. Rangkaian peta tersebut menggambarkan perubahan pada area permukaan air di Laguna Segara Anakan dari waktu ke waktu. Peta dasar: SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), tersedia dari U.S. Geological Survey. Garis pantai historis didasarkan pada peta dan gambar satelit yang tercantum di Tabel 1. Ilustrasi yang tampak seperti animasi tentang agradasi garis pantai terdapat di Online Resource 3.

Page 10: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

9

3.2.1 Transformasi daerah aliran sungai historis

Transformasi lingkungan terbesar di daerah tangkapan air laguna dan di seluruh Pulau Jawa terjadi antara pertengahan abad ke-19 dan tahun 1920an. Konversi hutan alami Jawa relatif lambat dan bertahap, serta terpusat di dataran rendah hingga awal abad ke-19 (Smiet 1990). Hingga saat itu, dataran tinggi dalam cakupan kajian ini jelas tidak banyak terpapar dampak antropogenik dibandingkan wilayah lain di pulau Jawa. Daerah ini ditandai dengan kepadatan populasi yang rendah, wilayah hutan yang luas, dan pertanian ladang berpindah (cf. Geertz 1971).

Penanaman kopi wajib mungkin memiliki dampak paling awal yang mendalam dan, dibandingkan pertanian ladang berpindah, bertahan lama pada tutupan lahan dan laju erosi. Kopi telah lama menjadi tanaman ekspor utama dari Hindia Belanda dan merupakan sumber utama keuntungan bagi Karesidenan dan Belanda (Fasseur dan Elson 1992; Kumar 1997; Kano 2008). Dataran tinggi Priangan adalah wilayah penanaman utama kopi, dengan 56-65% dari populasinya ditetapkan sebagai penanaman wajib pada tahun 1840-1850 (Kultuurverslagen, dikutip di Fasseur dan Elson 1992). Di wilayah ini, tidak seperti di 'kebun hutan' di daerah lain di Pulau Jawa, kopi ditanam di 'kebun kopi' yang hutannya dikosongkan sepenuhnya sebelum penanaman, atau kopinya ditanam di lahan kosong yang ditelantarkan. Hal ini mengakibatkan degradasi dan erosi tanah (Van Schaik 1986). Saat pohon kopinya menua dan tanahnya terdegradasi, lahannya dialihkan ke petani untuk penanaman tanaman, sedangkan lahan baru, termasuk di lereng yang curam, dibuka untuk kebun kopi baru (Van Schaik 1986; Nibbering 1988). Oleh karena itu, penanaman kopi dianggap sebagai pemicu utama deforestasi dan degradasi tanah pada akhir abad ke-19 (Van Schaik 1986). Rezim penanaman koersif mendorong petani untuk pindah ke wilayah dataran tinggi lainnya, di mana mereka membuka lahan baru (Palmer 1959). Maka, rezim kopi tampak telah meningkatkan laju erosi melalui praktik penanaman kopi, dengan mempromosikan pertanian tadah hujan permanen dan dengan memicu migrasi ke wilayah terpencil.

Antara pertengahan abad ke-19 dan tahun 1920-an, penambangan kayu juga mengakibatkan degradasi hutan dan cenderung meningkatkan laju erosi. Meskipun hutan jati di bagian lain Pulau Jawa telah dieksploitasi selama abad ke-18 (Boomgaard 1988), penambangan kayu oleh Belanda tetap relatif lebih rendah di banyak wilayah kajian di sebagian besar dataran tinggi Jawa hingga abad ke-19, namun meningkat dengan cepat pada tahun-tahun berikutnya (Dienst van het Boschwezen 1905, 1907, dikutip di Van Goor dkk. 1982). Permintaan kayu untuk pembuatan kapal, infrastruktur, rumah, furnitur, ekspor, dan pemrosesan tanaman ekspor, seperti tebu, meningkat tajam sejak abad ke-19 (Boomgaard 1988). Peningkatan permintaan ini semakin mudah dipenuhi dengan eksploitasi hutan selain jati.

Berawal pada tahun 1860an, konstruksi dan pengoperasian rel kereta api berperan dalam deforestasi karena menyebabkan meningkatnya permintaan kayu gelondongan dan kayu bakar, serta memberikan akses ke wilayah terpencil (Boomgaard 1988). Jalur rel kereta api dari Jakarta/Bandung yang melintasi seluruh daerah tangkapan air (SAL) melalui Tasikmalaya, Ciamis, dan Banjar menuju Yogyakarta dibuka pada tahun 1894 (AGS 1945). Konstruksinya menciptakan lereng buatan, yang jelas merupakan sumber sedimen yang sesungguhnya selama tahun-tahun pertama (cf. AGS 1945) dan beberapa di antaranya rentan terhadap erosi hingga saat ini. Selain itu, rel kereta api baru tersebut memfasilitasi migrasi masuk dan pembukaan perkebunan perusahaan, serta membuka jalan bagi transportasi tanaman ekspor dan pembukaan pabrik tepung singkong, sehingga mempromosikan pertanian tadah hujan yang rentan erosi dengan adanya penanaman singkong (Van Doorn dan Hendrix 1983).

Page 11: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

10

Sejak tahun 1870an hingga masa-masa setelahnya, area hutan tambahan dikosongkan untuk pembukaan perkebunan perusahaan. Undang-undang Agraria tahun 1870 menyatakan bahwa semua tanah tak berpenghuni dianggap sebagai tanah pemerintah, yang dapat disewakan kepada pengusaha. Hal ini memicu naiknya pengembangan perkebunan untuk produksi tanaman ekspor pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Analisis saya tentang daftar dan sejumlah peta perkebunan di masa lampau yang terdapat dalam Knaap dkk. (2007) dan hamparannya dengan batas daerah aliran sungai mengungkapkan bahwa setidaknya 25.000 ha atau 5,4% dari daerah tangkapan air SAL diubah menjadi perkebunan. Digantikannya hutan dengan tanaman perkebunan cenderung meningkatkan laju erosi, setidaknya untuk sementara waktu.

Permintaan akan pekerja perkebunan berperan dalam migrasi masuk berskala besar ke wilayah yang berpopulasi rendah ini. Selain itu, kewajiban feodal, penanaman tanaman ekspor secara koersif, dan kerja paksa di dataran rendah memicu banyak orang untuk mengungsi ke dataran tinggi, di mana mereka membuka lahan baru (Raffles 1817; Boomgaard dan Van Zanden 1990). Penghapusan Kultuurstelsel, yang menghalangi mobilitas petani dan oleh karenanya membatasi perkembangan populasi hanya di lahan garapan yang ada, berperan dalam terjadinya "lonjakan spasial" perpindahan manusia ke dataran tinggi (Palte 1989: 42). Jalan raya dan rel kereta api baru memfasilitasi hal ini. Faktor-faktor ini mendorong migrasi masuk yang sesungguhnya ke daerah tangkapan air laguna antara tahun 1860an dan 1920an. Para tetua dan perwakilan desa, yang saya wawancarai sebagai bagian dari studi kasus saya, mengetahui dari orang tua mereka atau dari catatan desa bahwa sejumlah besar orang pindah dari dataran rendah dekat Purworeja dan Yogyakarta karena menghindari tekanan sistem pajak dan mencari lahan baru. Populasi Priangan meningkat 24 kali lipat antara tahun 1815 dan 1930 (Widjoyo 1970). Hal ini mempercepat konversi hutan alam menjadi jenis tutupan lahan lainnya yang sebagian besar lebih rentan terhadap erosi.

Laju deforestasi memuncak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Smiet 1990). Antara tahun 1898 dan 1936, area hutan non-jati di Pulau Jawa berkurang dari 4 juta ha menjadi 1,8 juta ha (Smiet 1990). Faktor-faktor yang didalami di atas serta kebijakan manajemen dan perlindungan hutan yang semakin membatasi akses petani ke sumber daya hutan (Peluso 1992) berperan dalam kelangkaan lahan. Akibatnya, migrasi ke dataran tinggi menurun pada tahun 1920an. Pada tahun 1930an, hampir seluruh wilayah Pulau Jawa dibagi menjadi hutan negara, perkebunan perusahaan, dan lahan petani (Palte 1989). Pertanian ladang berpindah secara perlahan mulai ditinggalkan, dan lahan pribadi petani sejak saat itu didominasi oleh persawahan, pertanian tadah hujan, dan kebun campuran.

3.2.2 Pertanian tadah hujan di lahan pribadi petani

Sawah dan kebun campuran dianggap sebagai sistem cocok tanam yang paling aman bagi tanah di iklim tropis yang lembab, sedangkan pertanian tadah hujan rentan terhadap erosi tanah (Scholz 1998). Berbeda dari sumber sedimen lainnya, lahan pertanian tadah hujan pribadi milik petani sering kali menjadi sorotan dalam program konservasi daerah aliran sungai di Pulau Jawa dan menjadi subjek dalam berbagai penelitian (contohnya Donner 1987; Palte 1989; Barbier 1990; Purwanto 1999; Van Dijk 2002). Lahan pertanian tadah hujan yang berbentuk teras dan tidak berbentuk teras ditandai dengan laju erosi yang tinggi (contohnya Van Dijk 2002; Rijsdijk 2005; Van Dijk dan Bruijnzeel 2005). Perluasan pertanian tadah hujan sejalan dengan transformasi daerah aliran sungai lainnya yang dijabarkan di atas. Di seluruh Pulau Jawa, area pertanian tadah hujan meningkat sebesar 177% antara tahun 1883 dan 1913 (Palte 1989). Kecenderungan ini meningkat selama 1,5 dekade berikutnya, yang dipicu oleh kelangkaan makanan dan peningkatan harga produk-produk pertanian karena kegagalan panen dan perang (Boomgaard dan Van Zanden 1990). Di Priangan, area tadah

Page 12: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

11

hujan yang dikenai sewa tanah meningkat sebesar 25% antara tahun 1977 dan 1922 (Boomgaard dan Van Zanden 1990).

Analisis saya tentang peta historis, gambar satelit, dan peta topografis terbaru, beserta wawancara dalam kerangka studi kasus, menunjukkan bahwa perluasan permukiman dan pertanian tadah hujan dengan mengorbankan hutan, semak belukar, dan padang rumput berlanjut di beberapa bagian daerah tangkapan air SAL hingga tahun 1970an, sementara di beberapa daerah lain hingga tahun 1980-1990an (lihat Gbr. 3 untuk contohnya).

Sejak akhir tahun 1970an dan awal 1980an dan setelahnya, lahan pertanian tadah hujan petani di sepanjang daerah tangkapan air telah menjadi sasaran program penanaman pohon dan pembuatan teras lahan. Pemetaan saya tentang tutupan lahan daerah aliran sungai menunjukkan bahwa sebagian besar lahan pertanian dataran tinggi milik petani berbentuk teras. Namun, erosi tanah tetap menjadi masalah, juga pada lahan berteras. Saya mengamati hal ini terutama di sisi timur daerah tangkapan sungai yang didominasi tanah sedimen yang mudah tererosi. Sejalan dengan pengamatan ini, Schweithelm (1988) menyatakan bahwa program pembuatan teras tidak banyak berpengaruh pada area ini. Di bagian lain pulau Jawa juga didapati bahwa pembuatan teras semata, jika tidak disertai dengan tindakan konservasi tanah lainnya seperti pemupukan dengan mulsa organik, vegetasi yang lebih padat atau pengolahan tanah yang kurang, tidak akan menurunkan erosi tanah secara efektif (Schweithelm 1988; Purwanto 1999; Van Dijk 2002; Van Dijk dkk. 2004; Sidle dkk. 2006). Mengembalikan residu tanaman ke tanah dalam bentuk mulsa organik atau kompos, yang umumnya dipraktikkan dalam pertanian organik, bukan membakarnya seperti yang lazim dilakukan di Pulau Jawa, dapat mengurangi erosi tanah. Prakarsa terbaru untuk mempromosikan pertanian organik melalui penyuluhan pertanian dapat mendukung hal ini.

Meskipun program daerah aliran sungai berhasil mempromosikan pembuatan teras lahan, dampaknya pada tutupan pohon tetap rendah untuk waktu yang lama. Analisis saya tentang gambar satelit dan studi kasus sosial-ilmiah semuanya mengungkapkan bahwa sebagai akibat dari program tersebut, antara tahun 1970an dan 1990an, tutupan pohon pada lahan pribadi petani meningkat hanya di sejumlah kecil lokasi saja. Namun, sejak awal tahun 2000an, tutupan pohon pada lahan pribadi petani cenderung meningkat. Hal ini terlihat di gambar satelit dan dipastikan melalui wawancara. Bertambahnya minat petani pada tanaman pohon disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk meningkatnya keuntungan tanaman pohon, pendapatan non-pertanian, pengalaman dengan degradasi tanah, adanya kesempatan pemasaran kayu, dan insentif baru yang berorientasi bottom-up oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Pendapatan non-pertanian dan migrasi dari desa ke kota juga berperan dalam meningkatnya tutupan pohon di wilayah lain di Pulau Jawa (Peluso 2011). Beberapa lereng yang sebelumnya gundul yang tercakup dalam studi kasus saya telah berulang kali menjadi sasaran program penghijauan kembali tanpa hasil yang berarti, namun sekarang telah tertutupi pohon (lihat Gbr. 4 untuk contohnya).

Page 13: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

12

Gbr. 3 Peta historis-topografis dari tahun 1940/1943 (berdasarkan survei pada tahun 1920-an) dan peta topografis dari tahun 1999 menunjukkan area dataran tinggi yang sama, sekitar 35 km sebelah barat laut Laguna Segara Anakan. Perbandingan peta dan wawancara di sejumlah desa di wilayah ini menunjukkan bahwa area permukiman dan lahan pertanian terus diperluas dengan mengorbankan hutan, semak belukar, dan padang rumput hingga tahun 1980-1990an.

* Area yang diberi tanda hijau di peta topografis dari tahun 1999 terdiri dari hutan negara, kebun campuran petani, dan lahan pertanian tadah hujan. Ketiga kategori penggunaan/tutupan dan kepemilikan lahan ini tidak ditentukan (dengan akurat) di banyak peta topografis Pulau Jawa.

Page 14: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

13

Gbr. 4 Tutupan pohon di lahan pribadi petani telah mengalami peningkatan di daerah tangkapan air Laguna Segara Anakan sejak awal tahun 2000an. Contohnya, lereng bukit yang mengelilingi Dusun Sudimara di Desa Bantarpanjang umumnya tidak berpohon hingga tahun 1980-1990an. Warga desa menyatakan bahwa tanah ini digunakan untuk penanaman singkong dan sebagian tertutupi rumput. Karena tidak terhalangi pohon apa pun, dari desa mereka biasanya dapat melihat babi liar di lereng bukit. Kini, sekitar dua pertiga bagian lereng bukit ini tertutupi pohon. Peningkatan tutupan pohon yang dijelaskan warga desa terlihat di gambar satelit: (a) Landsat 4/5 MSS, 05.07.1991, (b) Landsat 8 OLI/TIRS, 23.06.2016; warna semu (inframerah dekat, merah, hijau); vegetasi berwarna merah.

Sebagai rangkuman, pertanian tadah hujan pada lahan pribadi petani telah berperan dalam tingginya beban sedimen sungai selama 1,5 abad terakhir. Keseluruhan potensi erosi di lahan pribadi petani dalam wilayah penelitian meningkat pada paruh kedua abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Pembuatan teras lahan dan peningkatan tutupan lahan tampak telah mengurangi potensi erosi di sejumlah lahan ini sejak tahun 1970an/2000an.

3.2.3 Erosi di hutan negara dan perkebunan yang dipersengketakan

Sejumlah lahan yang paling rentan terhadap erosi yang saya temukan di daerah tangkapan SAL melalui analisis gambar satelit dan pemetaan tutupan lahan terletak di wilayah hutan negara dan perkebunan. Studi kasus sosial-ilmiah saya mengungkap adanya konflik pada akses dan kontrol lahan dan sumber daya hutan ini sebagai penyebab utama degradasi lahan. Konflik ini hanya dapat dipahami dengan mempertimbangkan lintasan historis manajemen hutan dan perkebunan.

Hampir seperempat wilayah tanah Pulau Jawa adalah hutan negara, yang luar biasa mengingat kepadatan populasi pedesaan yang sangat tinggi di pulau ini. Lahan hutan negara ini ditetapkan oleh administrasi hutan kolonial, dan penggunaan hutan tradisional oleh petani semakin banyak yang dipidanakan pada paruh kedua abad ke-19 (Peluso 1992). Dengan berkurangnya pasokan kayu, manajemen hutan yang ketat oleh administrasi kolonial diarahkan untuk mempertahankan produksi (Boomgaard 1988; Peluso 1992). Sejak awal abad ke-20, keprihatinan akan degradasi dataran tinggi dan kemungkinan dampaknya pada aliran air dan potensi banjir di hilir menjadi pertimbangan

Page 15: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

14

tambahan untuk perluasan dan manajemen eksklusif hutan negara (Anonim 1922; Oosterling 1927; Roessel 1927; Steup 1927; de Haan 1936; Coster 1938; Gonggrijp 1941).

Terutama di Priangan timur, yaitu daerah tangkapan air SAL, hutan negara diperluas antara tahun 1915 dan 1940 (Dienst van het Boschwezen 1916, 1925, dikutip dalam Van Goor dkk. 1982; Boomgaard 1988). Studi kasus saya mengungkapkan bahwa dalam Kabupaten Cilacap di masa kini, pemerintah membeli tanah desa dan bekas kebun kopi untuk tujuan konservasi pada tahun 1920an. Bekas kebun kopi, yang tidak memiliki nilai ekonomis lagi setelah terjadinya penurunan produksi pada akhir abad ke-19 karena hama, degradasi tanah, dan anjloknya harga, serta yang telah ditanami sebagian oleh petani (Van Schaik 1986), digabungkan menjadi hutan negara di wilayah lain pula (Kerbert 1916; Zwart 1932; Galudra dan Sirait 2006). Pada tahun 1937, semua hutan non-jati yang tersisa di Pulau Jawa dilindungi secara hukum (Smiet 1990).

Sejak penetapan dan perluasannya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 hingga saat ini, hutan negara dipersengketakan oleh petani. Meskipun dinyatakan ilegal, petani terus menggunakan dan bergantung pada lahan dan sumber daya hutan (Peluso 1992). Sebagai akibat dari pencurian kayu dan kayu bakar, pembakaran, penggembalaan, dan penanaman oleh petani, banyak hutan negara mengalami degradasi pada abad ke-20 (Nibbering 1988; Smiet 1990; Peluso 1992).

Cakupan penggunaan sumber daya dan degradasi selalu mengalami perubahan. Pada tahun 1940, sepertiga dari hutan yang dilindungi di Pulau Jawa mengalami deforestasi dan degradasi (Smiet 1990). Kedua hal tersebut kemudian memuncak selama penjajahan Jepang di Jawa pada tahun 1942-1945 dan selama tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia. Ketiadaan manajemen dan pengendalian hutan dan perkebunan selama periode ini, kebutuhan untuk memaksimalkan produksi pangan, dan tingginya permintaan minyak kastor dan kayu untuk pasukan Jepang mengakibatkan meluasnya konversi spontan dan konversi yang diprakarsai negara terhadap tanah dan perkebunan menjadi lahan garapan, yang memicu erosi tanah (Nibbering 1988; Palte 1989). Diperkirakan 18% dari lahan hutan praperang di Pulau Jawa digunduli antara tahun 1942 dan 1950, sehingga hanya tersisa 17% lahan saja yang masih berpohon dari wilayah lahan total. (Prakoso 1954). Meskipun terdapat manajemen hutan yang represif, termasuk polisi bersenjata, selama masa Orde Baru yang dipimpin Suharto sejak pertengahan 1960an hingga 1998, degradasi hutan tetap menjadi masalah utama di Pulau Jawa. Sebagai contoh, di daerah aliran sungai Konto atas, proporsi lahan hutan yang mengalami degradasi meningkat dari 20% pada tahun 1934 menjadi setidaknya 41% pada tahun 1985 (Nibbering dan Graaff 1998).

Degradasi hutan negara dan perkebunan kembali memuncak antara tahun 1998 dan awal 2000, di mana banyak wilayah yang dirampas dan sebagian di antaranya dihuni selama kekacauan politik setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Analisis saya tentang gambar satelit, pemetaan penggunaan lahan, dan wawancara mengungkapkan bahwa di daerah tangkapan air SAL, hingga separuh bagian hutan negara ditebang (Gbr. 5). Warga setempat, bersama dengan warga kota yang menyediakan gergaji rantai dan truk, serta dipelopori oleh sejumlah tokoh berpengaruh, kadang kala dari petugas administrasi hutan sendiri, menggunakan kesempatan transisi politik tersebut untuk merampas hutan negara dan perkebunan. Beberapa responden saya menyatakan bahwa, setelah manajemen hutan yang eksklusif dan represif, perampasan merupakan demonstrasi kekuasaan oleh rakyat. Hal ini mendorong adanya negosiasi ulang tentang pola yang sudah ada terkait akses dan kendali hutan serta, pada saat yang sama, mengakibatkan degradasi hutan dan erosi tanah besar-besaran. Pengamatan, pemetaan, dan wawancara yang saya lakukan menunjukkan lahan hutan negara sebagai penyebab terpenting dalam pembentukan sedimen sungai di bagian-bagian daerah tangkapan air SAL.

Page 16: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

15

Gbr. 5 Bidang besar di hutan negara yang ditunjukkan di gambar satelit dirampas selama kekacauan politik setelah jatuhnya Rezim Orde Baru. Sejumlah area tambahan baru dipanen oleh perusahaan hutan negara dengan tujuan mendapatkan sebagian kayunya. Warga yang diwawancarai di desa sekitarnya melaporkan tentang badan sungai yang naik akibat erosi wilayah hutan negara yang bergunung-gunung. Gambar satelit: Landsat ETM+, 28. Agustus 2022; Lokasi: dekat Kawunganten, sekitar 15 km sebelah utara Laguna Segara Anakan.

Page 17: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

16

Penggunaan lahan di masa mendatang beserta potensi erosi lahan ini bergantung pada hasil perjuangan berkelanjutan akan akses dan kendali sumber daya. Sejumlah lahan telah direboisasi oleh perusahaan hutan negara. Sejumlah lahan lainnya dikelola melalui ‘hutan rakyat’, di mana warga setempat menerima sebagian pendapatan, bertanggung jawab untuk melindungi pohon, dan berkesempatan untuk menanam tanaman tahunan, sedangkan perusahaan hutan negara tetap mengendalikan lahan dan bertanggung jawab atas keputusan penting dalam manajemen. Saat dilakukannya penelitian lapangan, hasil program ini dalam hal tutupan pohon dan pola erosi yang dapat diamati masih belum memuaskan. Karakter program yang terpusat, kurangnya rasa kepemilikan dan tanggung jawab di kalangan petani atas hutan yang dikendalikan oleh perusahaan hutan negara, dan tantangan untuk membangun hubungan yang lebih saling mempercayai antara petani dan perusahaan adalah hambatan utama dalam pelaksanaan program tersebut secara sosial, ekonomi, serta dalam kaitannya dengan konservasi tanah. Pada akhirnya, beberapa dari lahan hutan negara dan perkebunan yang dikosongkan tetap menjadi lahan tanpa pohon, sangat rentan erosi, dan ditanami tanaman tahunan oleh petani yang mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut berdasarkan alasan historis. Sebagian besar klaim ini bermula dari pemindahan petani atau seluruh warga desa akibat serangkaian pemberontakan dan serangan balasan pada tahun 1950-1960an, atau dari perluasan bekas perkebunan Belanda terdahulu secara tidak sah saat dialihkan ke pemilik Indonesia (lihat juga Lukas 2014b). Sebelum konflik lahan diselesaikan, petani menggunakan lahan ini untuk bercocok tanam namun ragu-ragu untuk berkontribusi dalam konservasi tanah. Dengan kata lain, erosi di lahan ini adalah hasil langsung dari perjuangan panjang dan berkelanjutan untuk sumber daya lahan dan hutan.

3.2.4 Praktik manajemen hutan negara

Kendali yang kaku dan manajemen yang ketat atas hutan negara selama ini diterapkan sebagai pendekatan utama dalam perlindungan daerah aliran sungai di Pulau Jawa sejak tahun 1920an. Tak mengherankan jika manajemen daerah aliran sungai merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan dan perusahaan hutan negara, yang wewenang interpretasinya atas hal-hal tentang perlindungan daerah aliran sungai tidak banyak dipertentangkan. Kerumitan manajemen hutan negara dan daerah aliran sungai – secara institusi, ekonomi, dan dalam hal kekuasaan politis – telah berhasil mencegah diperdebatkannya praktik manajemen perusahaan hutan negara itu sendiri dalam kerangka wacana manajemen daerah aliran sungai. Pada kenyataannya, perkebunan jati dan pinus dalam satu kelompok umur tegakan yang mencakup sebagian besar hutan negara di daerah tangkapan SAL serta metode pemanenan kayu perusahaan tersebut perlu dikaji.

Analisis saya atas gambar satelit, pemetaan penggunaan lahan, dan wawancara menunjukkan bahwa penebangan habis berotasi adalah metode pemanenan kayu standar pada perusahaan hutan negara di seluruh daerah tangkapan air laguna (Gbr. 6a). Saya mendapati bahwa selama penebangan habis, bukan hanya pohon dan vegetasi tajuk bawah saja yang ditebas, melainkan juga tunggul dan akar pohon yang diangkat, yang mengakibatkan keseluruhan bidang tanah tersebut tergali tanah bermineral menjadi terbuka sehingga rentan terhadap erosi pada saat hujan deras berikutnya (Gbr. 6b). Saya menemukan bidang tanah tersebut di lereng yang sangat curam, kadang kala sangat dekat dengan aliran sungai, yang mengakibatkan tingginya nisbah pelepasan sedimen. Dampak dari metode pemanenan kayu pada erosi dan beban sedimen sungai di Pulau Jawa belum banyak didiskusikan hingga saat ini. Sejumlah kecil dokumentasi yang ada termasuk foto yang terdapat dalam Lavigne dan Gunnell (2006: 92) menunjukkan adanya tanah longsor berukuran besar di hutan negara berbukit di dekat Cilacap setelah dilakukannya penebangan habis.

Page 18: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

17

Gbr. 6 (a+b) Penebangan habis berotasi, metode pemanenan kayu standar pada perusahaan hutan negara, adalah penyebab utama perubahan tutupan lahan. Gambar satelit (a) menunjukkan penebangan habis pada lahan hutan negara berlereng di dekat Karangpucung di Kabupaten Cilacap (Gambar satelit: 3. September 2014). Foto (b) menunjukkan lereng curam yang rentan erosi di wilayah hutan negara dekat Cimanggu di Kabupaten Cilacap setelah dilakukannya penebangan habis. Foto: M.C. Lukas, Mei 2008.

Page 19: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

18

Pengamatan dan wawancara saya dengan warga dan petugas perluasan pertanian menunjukkan bahwa perkebunan pinus dalam satu kelompok umur tegakan meningkatkan risiko tanah longsor. Perusahaan hutan negara memperluas area pinus. Delapan dari 20 wilayah perhutanan di Pulau Jawa akan dikembangkan menjadi 'area pinus', karena perusahaan hutan bertujuan untuk meningkatkan produksi getah pinus, juga karena hutan pinus aman dari pencurian kayu. Warga di sejumlah desa dekat Karangpucung, di utara SAL, menyebutkan bahwa tanah longsor terutama sering terjadi di hutan pinus. Mereka menjelaskan terjadinya sejumlah tanah longsor di lereng-lereng curam setelah hujan berkepanjangan yang disertai tanah yang jenuh serta kanopi yang tebal dan berat di pohon pinus yang ditanam berdekatan. Tanah longsor ini merusak rumah, memakan korban jiwa, dan memaksa seisi desa tersebut untuk pindah. Masalah ini belum menjadi subjek dalam penyelidikan ilmiah. Informasi tentang dampak tutupan lahan pada tanah longsor tidak banyak ditemukan di seluruh Asia Tenggara, dan tanah longsor pada umumnya tidak banyak dibahas dalam kajian tentang erosi dan hasil sedimen karena terbatasnya cakupan temporal dan spasial kajian tersebut (Sidle dkk. 2006). Warga di pinggiran desa hutan pinus tersebut juga mengeluhkan berkurangnya aliran air pada musim kemarau yang mengganggu produksi beras mereka setelah konversi lereng bagian atas (upslope) dari jati atau jenis hutan lainnya menjadi hutan pinus. Pengamatan mereka tersebut menunjukkan bahwa serapan air di hutan pinus mengurangi aliran air pada musim kemarau, bukan hanya jika dibandingkan dengan padang rumput (lihat Bruijnzeel 2004), melainkan juga dengan jenis hutan lainnya.

Beberapa dari perkebunan jati dalam satu kelompok umur tegakan pada tanah sedimenter di bagian timur dan selatan daerah tangkapan air juga menunjukkan laju erosi yang tinggi. Saya mengamati hal ini terutama pada permulaan musim hujan saat tanah terbuka dan pohonnya mengalami defoliasi. Sejalan dengan pengamatan saya, Schweithelm (1988: 39), konsultan daerah aliran sungai pada Proyek Citanduy II dan salah satu ahli yang mengangkat masalah praktik manajemen hutan negara di Pulau Jawa, menyebutkan dengan tegas bahwa "perkebunan jati tegakan seumur adalah salah satu kemungkinan penggunaan lahan terburuk dari suduk pandang manajemen daerah aliran sungai." (diterjemahkan dari Bahasa Inggris). Selain defoliasi pada musim kemarau, daun jati yang lebar juga memicu erosi. Dibandingkan dengan lahan terbuka, pohon berdaun lebar mengakibatkan erosi percik yang lebih parah akibat energi kinetik yang lebih besar pada curah hujan (Vis 1986; Miura dkk. 2002; Calder 2005; Sidle dkk. 2006). Sejumlah kecil kajian tentang erosi di perkebunan jati di Pulau Jawa (Wolterson 1979; Widjajani dkk. 2011) menunjukkan laju erosi serupa yang diukur di lahan pertanian tadah hujan oleh Rijsdijk (2005). Meskipun tidak dapat dibandingkan secara langsung, hasil dari situs dan peneliti yang berbeda-beda ini mempertegas pengamatan saya.

Meskipun hutan negara telah ditetapkan sejak dahulu sebagai simbol konservasi daerah alirah sungai (Peluso 1992; Galudra dan Sirait 2009), kebun campuran milik petani, yang menutupi bagian yang besar dari lahan berlereng di daerah tangkapan air laguna dan di seluruh Pulau Jawa, tidak banyak dibahas dalam perdebatan tentang manajemen daerah aliran sungai. Hutan ini juga tidak termasuk dalam statistik tutupan hutan Pulau Jawa, yang hanya mencakup wilayah hutan negara (lihat Verburg dkk. 1999; MoF 2014; BPS 2015). Banyak dari hutan ini, yang merupakan hutan yang sangat padat, beragam, berupa kebun swadaya berlapis banyak, dan biasanya dipanen melalui penebangan selektif, melindungi daerah aliran sungai dengan lebih baik dibandingkan monokultur jati yang ditebang habis secara berotasi oleh perusahaan hutan (Gbr. 7).

Page 20: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

19

Gbr. 7 (a+b) Sebagian besar dari daerah tangkapan air Laguna Segara Anakan tertutupi kebun campuran milik petani (c + d). Banyak dari hutan ini, yang tidak termasuk dalam statistik tutupan hutan, adalah hutan yang padat, berlapis banyak, dan hanya ditebang secara selektif, sehingga dapat melindungi tanah dengan lebih baik dibandingkan sejumlah hutan negara yang ditebang habis secara berotasi. Foto: M.C. Lukas, Mei 2011.

Page 21: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

20

3.2.5 Ngaguguntur dan pertanian di zona riparian sungai

Pertanian di dasar lembah dan zona riparian sungai juga berperan dalam tingginya beban sedimen sungai. Di banyak bagian dari daerah tangkapan air laguna, selama beberapa dekade petani telah memperluas lahan yang diirigasi di dasar lembah dengan menggali kembali kaki lereng bukit. Tanah galian tersebut dimasukkan langsung ke kanal dan sungai. Praktik ini disebut 'ngaguguntur', istilah Bahasa Sunda untuk "semua aktivitas di mana air yang mengalir dalam kanal buatan manusia digunakan untuk memindahkan dan mengangkut setiap kelebihan tanah" (diterjemahkan dari Diemont dkk. 1991: 219). Apabila terjadi erosi permukaan, sejumlah sedimen biasanya tersimpan di lereng atau kaki lereng sebelum memasuki jaringan sungai dengan jeda waktu selama beberapa dekade atau abad, sedangkan ngaguguntur memasukkan keseluruhan material langsung ke jaringan sungai. Dengan demikian, nisbah pelepasan sedimen pada ngaguguntur mencapai 100%, yang berbeda dari sebagian besar sumber sedimen. Tidak banyak penulis yang memerhatikan hal ini. Diemont dkk. (1991) menghubungkan ngaguguntur dengan beban sedimen yang sangat tinggi di Cimunutur, anak Sungai Citanduy. Selain itu, Purwanto (1999) mencatat adanya ngaguguntur di daerah tangkapan air Cikumutuk, yang mengandung 785 m³ tanah galian (≈707 ton dengan asumsi kerapatan limbak sebesar 900 kg/m³) dan berperan besar dalam beban sedimen sungai total.

Ngaguguntur lazim dilakukan di sepanjang daerah tangkapan air laguna. Di beberapa desa yang termasuk dalam penelitian saya, puluhan ribu meter persegi lahan berbukit dikonversi menjadi dataran sawah yang diirigasi dengan cara ini. Contohnya adalah dusun di Sungai Raja, anak Sungai Cikawung dan Citanduy, yang dapat menggambarkan magnitudo sedimen sungai yang disebabkan oleh ngaguguntur. Berdasarkan informasi dari wawancara dan pemetaan bersama warga setempat, diperkirakan bahwa area pertanian yang diirigasi diperluas sebesar 25.000 m² melalui ngaguguntur selama 3 dekade. Diperkirakan rata-rata kedalaman penggaliannya adalah 5 m. Sedimen sebanyak 125.000 m³ atau 112.000 ton (dengan asumsi kerapatan limbak sebesar 900 kg/m³ sebagaimana dinyatakan dalam Purwanto 1999) dimasukkan ke sungai dan kanal. Jumlah dari satu dusun kecil ini sama dengan 1-2% dari beban sedimen tahunan di Citanduy, yang diperkirakan seberat 5-10 juta ton (PRC-ECI 1987). Sedimen ini tidak dimasukkan ke sungai dalam waktu satu tahun, tetapi dalam periode beberapa dekade. Namun, dengan menimbang perkiraan jumlah setidaknya beberapa ratus situs lainnya dengan modifikasi lanskap serupa di sepanjang daerah tangkapan air, peran ngaguguntur pada beban sedimen sungai total sangatlah besar. Setelah ngaguguntur, pergerakan massal dari kaki lereng yang cukup curam juga berperan dalam munculnya sedimen tambahan selama beberapa dekade.

Pertanian di zona riparian sungai, yang menyebar di sepanjang daerah tangkapan air laguna, juga mengakibatkan sedimen di sungai. Petani memindahkan tanah ke tebing sungai untuk memperluas lahan mereka. Tanah yang tererosi dari lahan ini selama hujan atau banjir langsung memasuki sungai. Maka, nisbah pelepasan sedimennya mendekati 100%, seperti halnya dalam ngaguguntur. Selain itu, tebing sungai yang runtuh akibat tadah hujan dan pertanian yang diirigasi di zona riparian sungai dapat ditemukan di banyak bagian sungai di area tersebut. Teras yang runtuh di zona riparian sungai diidentifikasi sebagai sumber penting beban sedimen sungai di bagian lain di Pulau Jawa (Rijsdijk dkk. 2007a).

3.2.6 Jalan raya, jalan setapak, dan permukiman

Peningkatan wilayah yang tertutupi permukiman, jalan raya, dan jalan setapak pada paruh kedua abad ke-19 dan sepanjang abad ke-20 telah berdampak besar pada sedimentasi laguna. Erosi di lahan permukiman desa, jalan raya, jalan setapak, dan tanggul meluas terutama jika tanah sedimenter mendominasi.

Page 22: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

21

Peran sumber sedimen ini dalam beban sedimen sungai telah lama diabaikan, namun belakangan ini telah diukur di sejumlah kecil lokasi di Pulau Jawa. Misalnya, Rijsdijk dkk. (2007b) mendapati bahwa meskipun hanya mencakup 5% dari wilayah total daerah aliran sungai Konto atas, jalan raya, jalan setapak, dan permukiman tersebut berperan dalam pembentukan hampir 40% dari hasil sedimen total. Purwanto (1999) mengukur laju erosi yang serupa tingginya di lahan permukiman di daerah tangkapan air Cikumutuk. Maka, sumber-sumber sedimen ini harus diperhatikan dengan tepat.

Meskipun data tepercaya tentang area-area yang ditutupi jalan raya dan jalan setapak tidak ada, area permukiman dapat ditentukan berdasarkan peta topografis masa lampau dan masa kini. Untuk tujuan ini, saya mengambil data area permukiman dari peta topografis masa lampau sebanyak 23 lembar dan masa kini sebanyak 41 lembar, dengan menggunakan prosedur klasifikasi ArcGIS, menyederhanakannya, dan mengoreksi secara manual shapefile yang dihasilkan. Hasilnya menunjukkan bahwa area permukiman total di daerah tangkapan air laguna meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 1924-1926 dan 1990-an hingga sekitar 600 km² atau 13% dari daerah tangkapan air. Namun, karena banyak permukiman memiliki pekarangan berlantai banyak yang mengonservasi tanah, hanya satu bagian dari area permukiman tersebut yang dianggap sebagai lahan rentan erosi. Dengan asumsi bahwa separuh dari area permukiman total (yaitu 6-7% dari daerah tangkapan air) rentan erosi, pertimbangan atas pengamatan saya tentang erosi yang cukup parah dari jalan raya dan jalan setapak, serta menimbang temuan Rijsdijk dkk. (2007b) di atas, maka jalan raya, jalan setapak, dan permukiman cenderung berperan dalam pembentukan antara sepertiga hingga setengah dari sedimen yang memasuki laguna. Namun, setelah investasi selama empat dekade untuk konservasi daerah aliran sungai, prakarsa berskala kecil untuk mengurangi erosi dalam permukiman baru saja dimulai.

3.2.7 Erupsi vulkanik

Selain berbagai pemicu antropogenik, serangkaian erupsi Gunung Galunggung di daerah tangkapan air atas berperan dalam sedimentasi laguna. Setelah 1.000-4.000 tahun dalam kondisi dorman (tidur), gunung berapi tersebut meletus pada tahun 1822, 1894, 1918, 1982/1983, dan 1984 (GVP 2014). Sungai yang terdampak erupsi vulkanik menunjukkan hasil sedimen tertinggi (Milliman dan Syvitski 1992; Walling dan Webb 1996; Lavigne 2004). Jenis, magnitudo, dan penyebab temporal dari dampak hidrologis erupsi vulkanik telah didokumentasikan oleh ahli lainnya (Kuenzi dkk. 1979; Major dkk. 2000; Hayes dkk. 2002; Lavigne 2004). Erupsi vulkanik menghasilkan abu dan detritus yang mudah tererosi ke lereng dan kanal bukit, mengandung tefra dan merusak vegetasi, yang meningkatkan limpasan dan erosi (Major dkk. 2000; Hayes dkk. 2002). Hal ini, beserta aliran piroklastik, lahar, dan pembangunan kembali jaringan drainase pada lapisan debris, dapat meningkatkan hasil sedimen sungai sebanyak beberapa ratus tingkat besaran selama 2-3 tahun pertama setelah erupsi dan menjaganya tetap tinggi selama beberapa dekade (ibid.).

Erupsi paling eksplosif Gunung Galunggung terjadi pada tahun 1822 dan 1982/1983 dengan volume tefra masing-masing sebesar >1 miliar dan >370 juta m³. Erupsi tahun 1822 adalah salah satu yang terbesar di dunia dalam dua abad terakhir (Kohno dkk. 1999; Wilson 1999). Tidak banyak dokumentasi tentang erupsi ini. Sayangnya, analisis perubahan garis pantai yang ditunjukkan pada Gbr. 2 dan 8 tidak mencakup periode ini. Analisis sedimen oleh Kastanja (2001), menunjukkan peningkatan arus masuk material vulkanik, namun tidak memungkinkan untuk memperkirakan peran relatifnya. Namun, besarnya jumlah tefra yang dikeluarkan dan deskripsi kualitatif tentang dampaknya oleh Junghuhn (1854) menekankan relevansi erupsi tahun 1822. Junghuhn (1854) menyatakan bahwa, setelah erupsi:

Page 23: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

22

“[…]lumpur dalam jumlah besar, dengan jenazah manusia dan bangkai binatang serta pohon yang rubuh, terombang-ambing ke laut melalui dua sungai utama wilayah tersebut, yaitu Tji-Wulan dan Tji-Tandui. Tji-Tandui khususnya membawa material dalam jumlah besar ke laut, yaitu ke laut di pedalaman "Segara Anakan" [...], yang kemudian menjadi semakin sempit dan dangkal dalam beberapa hari[...]. Beberapa tahun sebelum peristiwa ini, sebuah kapal laut masih berlayar dari Banteng Mati melalui Kindersee [Segara Anakan] ke Tjilatjap. Kini kanal sempit antara Pulau Jawa dan Nusa Kambangan hanya dapat dilalui dengan perahu dayung dan di beberapa tempat lumpur telah diperparah oleh perahu" (diterjemahkan dari Junghuhn 1854: 98-99).

Terdapat informasi lebih lanjut tentang erupsi tahun 1982/1983. Sekitar 68 juta m³ dari tefra total tersimpan di daerah tangkapan air Citanduy (Wirosoemarto dkk. 1989). Jumlah ini (sekitar 88 juta ton, dengan asumsi kepadatan limbak kering sebanyak 1.300 kg/m³, sesuai Bernard 2013) melebihi perkiraan masukan sedimen tahunan ke SAL (5-10 juta ton, PRC-ECI 1987) dengan faktor sebesar 9-18. Bagian mana dari material ini yang terbawa ke laguna dalam rentang waktu tersebut tidak diketahui dengan jelas. Diperkirakan bahwa erupsi tersebut meningkatkan beban sedimen di Sungai Citanduy bawah sebanyak satu tingkat besaran pada tahun setelah erupsi terjadi (RMI/PRC/ECI 1986, dikutip dalam Schweithelm 1988). Meskipun abu yang tersimpan dalam bagian-bagian yang besar di daerah tangkapan air pada kedalaman 1 cm di Ciamis dan >25 cm di dekat gunung berapi (Katili dan Sudradjat 1984; Sudrajat dan Tilling 1984) pasti telah meningkatkan pelepasan sedimen ke jaringan aliran untuk periode yang cukup singkat, material yang tersimpan di lereng gunung berapi, di aliran yang menghanyutkannya, serta kerusakan vegetasi cenderung meningkatkan pelepasan sedimen ke Citanduy setidaknya pada beberapa tahun terakhir. Stevens (1994) mendapati bahwa badan sungai Citanduy bawah teragradasi selama beberapa tahun setelah erupsi hingga tahun 1986/1989. Mungkin diperlukan rentang waktu serupa hingga material ini mencapai laguna. Erupsi tahun 1984/1985 kemudian meningkatkan pelepasan sedimen ke laguna selama beberapa tahun hingga pertengahan 1990an dan berperan dalam laju pelumpuran maksimum selama periode ini.

3.2.8 Modifikasi sungai dan dataran banjir

Selain pemicu yang dijelaskan di atas, pelurusan alur sungai, tanggul, dan reklamasi pertanian di dataran banjir pada cekungan sungai bawah telah mempercepatan sedimentasi laguna. Setelah alurnya diluruskan dan dibuat tanggul, Sungai Citanduy dan Cikonde tidak lagi menyimpan bagian dari beban sedimennya dalam lahan rawa aluvial ke arah hulu dari laguna selama aliran limbah air hujan (storm water). Keseluruhan beban sedimennya, yang sangat tinggi selama aliran limbah air hujan, justru terangkut memasuki laguna.

Peta historis dari tahun 1857-1860 dan 1900/1901 menunjukkan bahwa Sungai Citanduy bawah berkelok-kelok melalui hutan rawa untuk hampir keseluruhan panjangnya (Online Resource 8, Gbr. a). Hal ini berubah hingga akhir tahun 1920an. Peta topografis dari tahun 1929 menunjukkan peningkatan tajam pada area permukiman di sepanjang sungai dan konversi sejumlah hutan rawa menjadi lahan garapan (Online Resource 8, Gbr. b). Pada paruh kedua tahun 1930an, tanggul dibuat dan kanal sungai diperpendek untuk mengurangi risiko banjir. Setidaknya 13 sodetan kelokan buatan manusia mengurangi panjang Sungai Citanduy bawah dari 51 km menjadi 38 km (PRC-ECI 1975). Pembangunan tanggul dilanjutkan pada pertengahan abad ke-20, saat desa di sisi yang saling berlawanan terlibat dalam "perang tanggul", berkompetisi satu sama lain dalam membangun tanggul yang lebih tinggi (Schweithelm 1989: 14).

Modifikasi sungai dan dataran banjir disempurnakan pada skala yang lebih besar pada tahun 1970an sebagai bagian dari proyek Citanduy-I. 20 kelokan tambahan dirubuhkan, dan semakin banyak lahan

Page 24: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

23

rawa yang dikonversi menjadi lahan pertanian (TKW 1989). Selain itu, saluran banjir dibangun untuk mengalihkan puncak banjir Sungai Citanduy ke Sungai Cibeureum (PRC-ECI 1987). Maka, sejumlah beban sedimen Sungai Citanduy diarahkan kembali memasuki bagian utara laguna. Dari sedimen ini, bagian yang lebih besar disimpan, bukan diangkut ke laut, yang akan terjadi jika sedimen memasuki laguna melalui Sungai Citanduy. Saluran banjir membawa aliran 10-15 kali per tahun untuk durasi 1-10 hari (PRC-ECI 1987). Karena puncak banjir ini mengakibatkan beban sedimen tahunan yang besar (misalnya, pada tahun 1984/1985, dua kali banjir mengakibatkan 20% dari beban sedimen tahunan di Sungai Citanduy, PRC-ECI 1987), saluran banjir cenderung berperan dalam sedimentasi laguna sejak tahun 1970an.

Pembangunan tanggul dan reklamasi pertanian berlanjut pada tahun 1980an sebagai bagian dari Proyek Irigasi Citanduy Bawah. Pada tahun 1990an, Sungai Citanduy bawah diperpendek dalam jumlah besar, diberi tanggul sepenuhnya, dan dipenuhi permukiman pada hampir keseluruhan panjangnya (Online Resource 8, Gbr. c). Sungai Cikonde dan Cimeneng juga dibuat tanggul dan diluruskan alurnya pada tahun 1980-an (Online Resource 9). Hal ini berperan dalam meningkatnya masukan sedimen ke bagian utara laguna, yang telah dipenuhi lumpur sepenuhnya selama tahun 1980-1990 (lihat Gbr. 2, cf. PRC-ECI 1987: 3-11).

Meskipun perdebatan terus berfokus pada pertanian di dataran tinggi, sejumlah kecil laporan proyek mengakui adanya peran pengaturan sungai ini dalam meningkatnya sedimentasi laguna (PRC-ECI 1987; ADB 1996a) – efek samping tak terduga dari proyek pembangunan sungai yang "tidak dihargai sepenuhnya oleh para pembuat keputusan" (diterjemahkan dari TKW 1989: vii). Modifikasi sungai dan dataran banjir yang dilakukan hingga tahun 1990an telah memperbesar dan akan tetap memperbesar dampak dari semua pemicu sedimentasi laguna lainnya yang diuraikan di bagian atas.

Sebaliknya, pengalihan Sungai Cimeneng/Cikonde ke Sungai Cibeureum sebagai bagian dari Proyek Pengembangan dan Konservasi Segara Anakan pada tahun 2002/2003 diasumsikan memiliki sedimentasi laguna yang lebih lambat. Pengalihan ini dibuat untuk mengarahkan kembali beban sedimen Sungai Cimeneng/Cikonde ke sisi barat laguna, yang diperkirakan sebagai tempat asal masuknya sejumlah besar sedimen ke laut (ADB 1996b; ADB 2006).

3.3 Deret temporal dinamika daerah aliran sungai dan laguna

Ringkasan tentang karakteristik dan transformasi daerah aliran sungai yang dieksplorasi di bagian di atas menunjukkan bahwa tingginya beban sedimen sungai dan sedimentasi pesisir adalah akibat dari berbagai pemicu di masa lampau dan masa kini. Gbr. 8 menghubungkan pemicu ini dalam bentuk deret waktu dengan penyusutan area permukaan air SAL. Secara garis besar, gambar tersebut menunjukkan kesesuaian temporal antara pemicu yang teridentifikasi dan peningkatan agradasi garis pantai. Modifikasi daerah aliran sungai besar-besaran melalui penanaman kopi wajib, penambangan kayu hutan, pembukaan perkebunan perusahaan, konstruksi rel kereta api, migrasi masuk, dan perluasan pertanian tadah hujan sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tampak menjadi penyebab utama peningkatan laju agradasi secara bertahap. Transformasi daerah aliran sungai menjadi lanskap yang semakin didominasi manusia ini berdampak panjang pada pembentukan dan pengangkutan sedimen. Selain pertanian tadah hujan di lahan pribadi petani, yang menjadi fokus perdebatan dan strategi mitigasi sedimen, berbagai faktor lainnya telah berperan dalam peningkatan laju sedimentasi selama abad ke-20. Hal ini mencakup erosi yang disebabkan konflik atas hutan negara dan perkebunan, praktik manajemen hutan negara, ngaguguntur, pertanian di zona riparian sungai, erosi dari jalan raya, jalan setapak, dan permukiman, serta serangkaian erupsi vulkanik. Selain itu, modifikasi kanal sungai dan dataran banjir telah berperan dalam sedimentasi laguna dan memperparah dampak dari pemicu lainnya.

Page 25: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

24

Gbr. 8 Perubahan di area permukaan air Laguna Segara Anakan antara tahun 1857/1860 dan 2013 yang digabungkan dengan dokumentasi tentang karakteristik, dinamika, dan modifikasi di daerah tangkapan airnya. Intervensi yang ditandai dengan * ditujukan untuk mengurangi sedimentasi laguna. Semua faktor lainnya yang ditampilkan di bawah diagram menjadi pemicu utama sedimentasi. Gradasi warna pada batang tersebut secara kualitatif menunjukkan perubahan intensitas suatu pemicu dari waktu ke waktu (warna gelap menunjukkan tingginya intensitas pemicu tertentu selama rentang waktu tertentu).

Page 26: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

25

Laju agradasi yang menurun sejak awal tahun 2000an yang ditunjukkan pada Gbr. 8 berhubungan terutama dengan pengerukan sedimen sebanyak 9,3 juta m³ dari area laguna seluas 512 ha pada tahun 2002/2002 (lihat ADB 2006). Jika dan sejauh mana faktor-faktor berikut berperan dalam penurunan laju agradasi baru-baru ini tidaklah pasti: Pertama, Sungai Cimeneng/Cikonde dialihkan ke Sungai Cibeureum pada tahun 2002/2003 untuk mengarahkan kembali beban sedimennya ke sisi barat laguna. Kedua, bagian dari sedimen sungai yang tersimpan di laguna mungkin berubah seiring dengan penyusutan badan perairan tersebut. Diperkirakan bahwa pada tahun 1990an, 10-20% dari masukan sedimen sungai tersimpan di laguna, sedangkan bagian sisanya dibawa ke laut (ADB 1996b; ADB 1996a). Tidak diketahui bagaimana bagian ini berubah seiring berjalannya waktu sesuai penyusutan laguna. Hidrodinamika kontemporer telah dimodelkan (White dkk. 1989; Holtermann dkk. 2009), namun perubahan jangka panjang dalam dinamika pengangkutan sedimen di laguna dan keluar ke laut tidaklah pasti. Ketiga, kemungkinan dampak program pembuatan teras dan tren peningkatan tutupan pohon pada lahan pribadi petani sejak awal tahun 2000an pada sedimentasi laguna tidaklah pasti.

4 Kesimpulan penutup Tiga perempat bagian dari area permukaan air Laguna Segara Anakan telah dipenuhi lumpur sejak tahun 1857-1860. Proses ini terjadi semakin cepat antara pertengahan abad ke-19 dan akhir tahun 1980an. Penelusuran tentang berbagai karakteristik dan modifikasi daerah aliran sungai, serta hubungan deret waktunya dengan dinamika agradasi laguna menunjukkan bahwa agradasi tersebut disebabkan oleh pemicu yang lebih beragam dari yang umumnya disebutkan dalam perdebatan politik dan ilmiah. Pemicu tingginya beban sedimen sungai dan sedimentasi pesisir sebaiknya ditentukan. Namun, hal ini tetap menjadi tantangan untuk keseluruhan daerah tangkapan air sungai. Keterbatasan informasi tentang dampak modifikasi daerah aliran sungai pada hasil sedimen di hilir dan jeda waktu dampak tersebut tidak hanya terjadi di Jawa, melainkan juga di seluruh dunia (Walling dan Fang 2003; Bruijnzeel 2004; Sidle dkk. 2006; Walling dan Collins 2008). Dengan fokus perdebatan pada satu pendapat selama beberapa dekade tentang lahan pertanian tadah hujan petani di dataran tinggi sebagai penyebab terpenting sedimentasi pesisir di Pulau Jawa, identifikasi sederhana (jelas tanpa penentuan) tentang keseluruhan penyebabnya adalah basis yang sangat penting untuk penelitian di masa mendatang dan pendekatan manajemen yang lebih efektif. Ringkasan tentang berbagai modifikasi daerah aliran sungai yang disebutkan dalam makalah ini memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang penyebab sedimentasi laguna dibandingkan dengan yang telah dinyatakan dalam kerangka perdebatan yang panjang tentang manajemen daerah aliran sungai dan dalam setiap dokumentasi tertulis terkait. Ringkasan tersebut menyatakan bahwa pilihan dan harapan tentang tanggapan sosial perlu dipertimbangkan kembali. Dengan menimbang keseluruhan transformasi dan karakteristik daerah aliran sungai di masa lampau dan masa kini, kemungkinan peran konservasi tanah di lahan pribadi petani dalam mengurangi sedimentasi laguna, meskipun dikehendaki untuk mempertahankan produktivitas tanah, dianggap terbatas. Memahami sedimentasi bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai transformasi yang mengubah, namun tidak mesti merusak ekosistem laguna dan kesempatan penghidupan lokal, tampaknya menjadi titik mula yang baik untuk perdebatan di masa mendatang tentang alternatif manajemen lingkungan.

Kasus Laguna Segara Anakan menunjukkan beragamnya faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menelusuri dinamika daerah aliran sungai dan pesisir yang saling bersinggungan. Kasus ini juga menunjukkan bahwa perdebatan sosial, penelitian, dan aksi politis selama beberapa dekade dibatasi hanya pada sejumlah kecil faktor, namun mengabaikan banyak faktor lainnya. Hal ini menghambat keefektifan manajemen daerah aliran sungai. Dalam konteks tersebut, perdebatan perlu diperluas melalui penelitian terbuka yang menelusuri semua dokumentasi tentang karakteristik dan modifikasi

Page 27: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

26

lanskap di masa lampau dan masa kini di seluruh bagian daerah aliran sungai, termasuk penyebabnya. Hal ini memerlukan perpaduan informasi dari beragam sumber dan pendekatan interdisipliner yang menghubungkan proses fisik dengan dinamika sosial.

Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Michael Flitner dan Kathleen Schwerdtner-Máñez-Costa untuk diskusi yang mengarah pada dimulainya penelitian ini, serta kepada Ulrich Scholz, Jill Heyde, Sarah Wise, Seth Gustafson, Silja Klepp, dan dua peninjau anonim atas masukannya untuk versi sebelumnya manuskrip ini. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Asti Wijayati atas terjemahan tulisan ini dari bahasa Inggris ke Indonesia. Penelitian ini merupakan bagian dari program penelitian Indonesia-Jerman SPICE II+III (Science-for-the-Protection-of-Indonesian-Coastal-Marine-Ecosystems) dan disponsori oleh German Federal Ministry of Education and Research (Grant-No. 08F0391A/03F0644B). Penulis juga didukung oleh Bremen International Graduate School for Marine Sciences (GLOMAR), yang didanai oleh German Research Foundation (DFG) dalam kerangka Prakarsa Keunggulan oleh pemerintah federal dan negara bagian Jerman untuk mempromosikan ilmu pengetahuan dan penelitian di universitas di Jerman.

Page 28: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

27

Daftar Rujukan

ADB (1996a) Reevaluation of the lower Citanduy Irrigation Project (Loan No. 479-INO) in Indonesia. Reevaluation Study Series (Number 23). Asian Development Bank (ADB)

ADB (1996b) Report and recommendation of the president to the board of directors on proposed loans and technical assistance grant to the Republic of Indonesia for the Segara Anakan Conservation and Development Project. Asian Development Bank

ADB (2006) Indonesia: Segara Anakan Conservation and Development Project. Completion Report. Asian Development Bank

AGS (1945) Special Report No. 76: Railways – Java. Applied Geographical Section, Southwest Pacific Area

Anonymous (1922) Devastatie en reboisatie in de Preanger regentschappen. Tectona 15:706

Ardli ER, Wolff M (2009) Land use and land cover change affecting habitat distribution in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Reg Environ Change 9:235-243. doi: 10.1007/s10113-008-0072-6

BAKOSURTANAL (1997-1999) Peta Rupabumi, topographic map produced by the Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), based on surveys carried out in 1993-1994, 1:25,000, 41 map sheets.

Barbier EB (1990) The farm-level economics of soil conservation: The uplands of Java. Land Economics 66:199-211. doi: 10.2307/3146369

Bernard B (2013) Homemade ashmeter: a low-cost, high-efficiency solution to improve tephra field-data collection for contemporary explosive eruptions. Journal of Applied Volcanology 2:1. doi: 10.1186/2191-5040-2-1

Bird ECF, Soegiarto KA, Rosengren N (eds) (1982) Proceedings of the Workshop on Coastal Resources Management in the Cilacap Region. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, 20-24 August 1980, Lembaga Penelitian Indonesia, United Nations University

Boomgaard P (1988) Forest and forestry in colonial Java: 1677-1942. In: Dargavel J, Dixon JA, Semple N (eds) Changing tropical forests. Historical perspectives on today's challenges in Asia, Australasia and Oceania. Centre for Resource and Environmental Studies, Canberra, pp 59-87

Boomgaard P, Van Zanden JL (1990) Food crops and arable lands, Java 1815-1942 (Volume 10). Changing Economy in Indonesia. A selection of statistical source material from the early 19th century up to 1940. The Royal Tropical Institute, Amsterdam

BPS (2015) Luas Kawasan Hutan dan Perairan1 Menurut Provinsi. Badan Pusat Statistik (BPS). http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1716. Assessed 23. July 2015

Bruijnzeel LAS (2004) Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the trees? Agriculture, Ecosystems & Environment 104:185-228. doi: 10.1016/j.agee.2004.01.015

Calder IR (2005) Blue Revolution. Integrated land and water resource management. 2nd edn. Earthscan, London & Sterling, VA

Cooke RU (1992) Common ground, shared inheritance: Research imperatives for Environmental Geography. Transactions of the Institute of British Geographers 17:131-151. doi: 10.2307/622542

Page 29: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

28

Coster C (1938) Bovengrondsche afstrooming en erosie op Java. Tectona 31:613-728

Crowell M, Leatherman SP, Buckley MK (1991) Historical shoreline change: Error analysis and mapping accuracy. Journal of Coastal Research 7:839-852. doi: 10.2307/4297899

De Haan JH (1936) Afvoerverhoudingen van rivieren in het Alpenland en op Java. Tectona 29:557-588

Dewi KT, Mueller A, Auliaherliaty L (1979) The late quaternary development of the Segara Anakan Lagoon, Southern Java: Does it offer insights into natural versus anthropogenic causes of recent environmental changes in the lagoonal estuaries in Indonesia? Paper presented at the Annual General Meeting of Asia Oceania Geosciences Society (AOGS)

Diemont WH, Smiet AC, Nurdin (1991) Re-thinking erosion on Java. Netherlands Journal of Agricultural Science 39:213-224

Donner W (1987) Land use and environment in Indonesia. C. Hurst & Company, London

Dudley RG (2000) Segara Anakan Fisheries Management Plan. Segara Anakan Conservation and Development Project, Components B & C, Consultant’s Report, Asian Development Bank (ADB)

ECI (1994) Segara Anakan Conservation and Development Project. Engineering Consultants, Inc., Asian Development Bank (ADB)

Fasseur C (1992) The politics of colonial exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System. Translated from Dutch by R.E. Elson and Ary Kraal. Studies on Southeast Asia. Southeast Asia Program Publications, Cornell University Press, New York

Galudra G, Sirait M (2006) The unfinished debate: Socio-legal and science discourses on forest land-use and tenure policy in 20th century Indonesia. Paper presented at the 11th Biennial Congress of the International Association for the Study of Common Property, Bali, Indonesia, 19-23 June 2006

Galudra G, Sirait M (2009) A discourse on Dutch colonial forest policy and science in Indonesia at the beginning of the 20th Century. International Forestry Review 11:524-533. doi: 10.1505/ifor.11.4.524

Geertz C (1971) Agricultural involution. The processes of ecological change in Indonesia. University of California Press, Berkeley, Los Angeles and London

Gonggrijp L (1941) Het erosie-onderzoek. Tectona 34:200-220

GVP (2014) Galunggung. Global Volcanism Program, National Museum of Natural History, Smithsonian Institution. http://volcano.si.edu/. Accessed 21.November 2014

Hajer MA (2000) The politics of environmental discourse. Ecological modernization and the policy process. Reprinted edn. Clarendon Press, Oxford

Hayes SK, Montgomery DR, Newhall CG (2002) Fluvial sediment transport and deposition following the 1991 eruption of Mount Pinatubo. Geomorphology 45:211-224. doi: 10.1016/S0169-555X(01)00155-6

Hinrichs S, Nordhaus I, Geist S (2009) Status, diversity and distribution patterns of mangrove vegetation in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Reg Environ Change 9:275-289. doi: 10.1007/s10113-008-0074-4

Page 30: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

29

Hollerwöger F (1964) The accelerated growth of river deltas in Java. Indonesian Journal of Geography 4:1-15

Holtermann P, Burchard H, Jennerjahn T (2009) Hydrodynamics of the Segara Anakan lagoon. Reg Environ Change 9:245-258. doi: 10.1007/s10113-008-0075-3

Huszar PC, Cochrane HC (1990) Subsidisation of upland conservation in West Java: The Citanduy II Project. Bulletin of Indonesian Economic Studies 26:121-132

Jennerjahn TC, Nasir B, Pohlenga I (2009) Spatio-temporal variation of dissolved inorganic nutrients related to hydrodynamics and land use in the mangrove-fringed Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Reg Environ Change 9:259-274. doi: 10.1007/s10113-008-0077-1

Jennerjahn TC, Yuwono E (2009) Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed coastal lagoon affected by human activities. Reg Environ Change 9:231-233. doi: 10.1007/s10113-009-0089-5

Junghuhn F (1854) Java. Seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart. Nach der zweiten verbesserten Auflage des Holländischen Originals in's Deutsche übertragen von J.K. Hasskarl. Arnoldische Buchhandlung, Leipzig

Kano H (2008) Indonesian exports, peasant agriculture and the world economy, 1850-2000. Economic structures in a Southeast Asian State. Research in International Studies, Southeast Asia Series No. 118. Ohio University Press, Athens

Kastanja MM (2001) Environmental studies on minerals in the Segara Anakan lagoon, Central Java, Indonesia. M.Sc. Thesis, University of Hamburg

Katili JA, Sudradjat A (1984) Galunggung. The 1982-1983 eruption. Volcanological Survey of Indonesia, Resources Department of Mines and Energy, Republic of Indonesia, Jakarta

Kerbert HJ (1916) De Praktijk van de Boschreserveering. Tectona 8:823-837

Knaap G, van Diessen JR, Leijnse W, Ziellemans MPB (2007) Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie / Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company. Volume II: Java en Madoera / Java and Madura. Uitgeverij Maior / Atlas Maior, Voorburg, The Netherlands

Kohno M, Fujii Y, Kusakabe M, Fukuoka T (1999) The last 300-year volcanic signals recorded in an ice core from site H15, Antarctica. Journal of the Japanese Society of Snow and Ice 61:13-24. doi: 10.5331/seppyo.61.13

Kuenzi WD, Horst OH, McGehee RV (1979) Effect of volcanic activity on fluvial-deltaic sedimentation in a modern arc-trench gap, southwestern Guatemala. Geological Society of America Bulletin 90:827-838. doi: 10.1130/0016-7606(1979)90<827:EOVAOF>2.0.CO;2

Kumar A (1997) Java and modern Europe : ambiguous encounters. Curzon Press. Richmond, Surrey

Lavigne F (2004) Rate of sediment yield following small-scale volcanic eruptions: a quantitative assessment at the Merapi and Semeru stratovolcanoes, Java, Indonesia. Earth Surface Processes and Landforms 29:1045-1058. doi: 10.1002/esp.1092

Lavigne F, Gunnell Y (2006) Land cover change and abrupt environmental impacts on Javan volcanoes, Indonesia: a long-term perspective on recent events. Reg Environ Change 6:86-100. doi: 10.1007/s10113-005-0009-2

Page 31: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

30

Lukas MC (2014a) Cartographic reconstruction of historical environmental change. Cartographic Perspectives 78:5-24. doi: 10.14714/CP78.1218

Lukas MC (2014b) Eroding battlefields: Land degradation in Java reconsidered. Geoforum 56:87-100. doi: 10.1016/j.geoforum.2014.06.010

Lukas MC (2015) Neglected treasures. Linking historical cartography with environmental changes in Java, Indonesia. Cartographica 50:141-162. doi: 10.3138/cart.50.3.2891

M.-Muslim A, Foody GM, Atkinson PM (2007) Shoreline mapping from coarse-spatial resolution remote sensing imagery of Seberang Takir, Malaysia. Journal of Coastal Research:1399-1408. doi: 10.2112/04-0421.1

Magrath W, Arens P (1989) The costs of soil erosion on Java: A natural resource accounting approach. Environment Department working paper, ENV 18. World Bank, Washington, DC

Major JJ, Pierson TC, Dinehart RL, Costa JE (2000) Sediment yield following severe volcanic disturbance - A two-decade perspective from Mount St. Helens. Geology 28:819-822. doi: 10.1130/0091-7613(2000)28<819:syfsvd>2.0.co;2

Messerli B, Grosjean M, Hofer T, Nunez L, Pfister C (2000) From nature-dominated to human-dominated environmental changes. Quaternary Sci Rev 19:459-479. doi: 10.1016/S0277-3791(99)00075-X

Meybeck M, Vörösmarty C (2005) Fluvial filtering of land-to-ocean fluxes: from natural Holocene variations to Anthropocene. Cr Geosci 337:107-123. doi: 10.1016/j.crte.2004.09.016

Milliman JD, Farnsworth KL (2011) River discharge to the coastal ocean. A global synthesis. Cambridge University Press, New York

Milliman JD, Farnsworth KL, Albertin CS (1999) Flux and fate of fluvial sediments leaving large islands in the East Indies. Journal of Sea Research 41:97-107. doi: 10.1016/S1385-1101(98)00040-9

Milliman JD, Syvitski JPM (1992) Geomorphic/tectonic control of sediment discharge to the ocean: The importance of small mountainous rivers. Journal of Geology 100:525-544. doi: 10.1086/629606

Miura S, Hirai K, Yamada T (2002) Transport rates of surface materials on steep forested slopes induced by raindrop splash erosion. J For Res 7:201-211. doi: 10.1007/bf02763133

MoF (2014) Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013 (Ministry of Forestry Statistics). Kementerian Kehutanan (Ministry of Forestry), Jakarta

Nibbering JW (1988) Forest degradation and reforestation in a highland area in Java. In: Dargavel J, Dixon K, Semple N (eds) Changing tropical forests. Historical perspectives on today's challenges in Asia, Australasia and Oceanea. Centre for Resource and Environmental Studies, Australian National University, Canberra, pp 155-177

Nibbering JW, de Graaf J (1998) Simulating the past: Reconstructing historical land use and modeling hydrological trends in a watershed area in Java. Environment and History 4:251-278. doi: 10.3197/096734098779555600

Nordhaus I, Hadipudjana FA, Janssen R, Pamungkas J (2009) Spatio-temporal variation of macrobenthic communities in the mangrove-fringed Segara Anakan lagoon, Indonesia, affected by anthropogenic activities. Reg Environ Change 9:291-313. doi: 10.1007/s10113-009-0097-5

Page 32: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

31

Olive CA (1997) Land use change and sustainable development in Segara Anakan, Java, Indonesia: Interactions among society, environment and development. Ph.D thesis, University of Waterloo

Oosterling H (1927) De hydrologische functie cler in stand te houden wildhoutbosschen en de waarborgen voor een goede vervulling daarvan. Tectona 20:538-545

Palmer AW (1959) The Sundanese village. In: Skinner GW (ed) Local, ethnic, and national loyalities in village Indonesia: A Symposium. Cultural Report Series. Yale University, Southeast Asia Studies & Institute of Pacific Relations, New York, pp 42-51

Palte JGL (1989) Upland farming on Java, Indonesia. A socio-economic study of upland agriculture and subsistence under population pressure. Ph.D Thesis, University of Utrecht

Peluso NL (1992) Rich forests, poor people. Resource control and resistance in Java. University of California Press, Berkeley & Los Angeles

Peluso NL (2011) Emergent forest and private land regimes in Java. The Journal of Peasant Studies 38:811-836. doi: 10.1080/03066150.2011.608285

Prakoso SH (1954) Memorandum masalah pembukaan illegaal tanah hutan setjara besar-besaran di Jawa (The problem of illegal deforestation on a large scale in Java). Rimba Indonesia, Journal of Forestry III:109-119

PRC-ECI (1975) The Citanduy River Basin Development Project. Master Plan. PRC Engineering Consultants, Inc., Banjar, Indonesia

PRC-ECI (1987) Segara Anakan Engineering Measures Study. Main Report. PRC Engineering Consultants, Inc. and Ministry of Public Works Indonesia. Denver, USA and Banjar, Indonesia

Purwanto E (1999) Erosion, sediment delivery and soil conservation in an upland agricultural catchment in West Java, Indonesia. A hydrological approach in a socio-economic context. Ph.D Thesis, Vrije Universiteit

Raffles TS (1817) The history of Java. Black, Parbury and Allen, London

Reichel C, Frömming U, Glaser M (2009) Conflicts between stakeholder groups affecting the ecology and economy of the Segara Anakan region. Reg Environ Change 9:335-343. doi: 10.1007/s10113-009-0085-9

Repetto R (1986) Soil Loss and Population Pressure on Java. Ambio 15:14-18. doi: 10.2307/4313201

Rijsdijk A (2005) Evaluating sediment sources and delivery in a tropical volcanic watershed. Paper presented at the Proceedings of Symposium S1 held during the Seventh IAHS Scientific Assembly at Foz do Iguaçu, Brazil, April 2005,

Rijsdijk A, Bruijnzeel LAS, Prins TM (2007a) Sediment yield from gullies, riparian mass wasting and bank erosion in the Upper Konto catchment, East Java, Indonesia. Geomorphology 87:38-52. doi: 10.1016/j.geomorph.2006.06.041

Rijsdijk A, Bruijnzeel LAS, Sutoto CK (2007b) Runoff and sediment yield from rural roads, trails and settlements in the upper Konto catchment, East Java, Indonesia. Geomorphology 87:28-37. doi: 10.1016/j.geomorph.2006.06.040

Roessel BWP (1927) Hydrologische cijfers en beschouwingen. Tectona 20:507-527

Page 33: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

32

Rudiarto I, Doppler W (2013) Impact of land use change in accelerating soil erosion in Indonesian upland area: A case of Dieng Plateau, Central Java – Indonesia, International Journal of AgriScience 3:558-576

Salerno F, Buraschi E, Bruccoleri G, Tartari G, Smiraglia C (2008) Glacier surface-area changes in Sagarmatha national park, Nepal, in the second half of the 20th century, by comparison of historical maps. Journal of Glaciology 54:738-752(715)

Scholz U (1998) Die feuchten Tropen. Das Geographische Seminar. Westermann Schulbuchverlag GmbH, Braunschweig

Schweithelm J (1988) Hydrology, soil erosion and sedimentation in the Citanduy Basin: A watershed management perspective. Resources Managment International, Inc.

Schweithelm J (1989) Watershed land use and coastal sedimentation: The Citanduy / Segara Anakan System. Tropical Coastal Area Management 4:13-16

Seckler D (1987) Economic costs and benefits of degradation and its repair. In: Blaikie PM, Brookfield H (eds) Land degradation and society. Methuen & Co., London, New York, pp 84-96

Sidle RC, Ziegler AD, Negishi JN, Nik AR, Siew R, Turkelboom F (2006) Erosion processes in steep terrain – Truths, myths, and uncertainties related to forest management in Southeast Asia. Forest Ecology and Management 224:199-225. doi: 10.1016/j.foreco.2005.12.019

Smiet AC (1990) Forest ecology on Java: Conversion and usage in a historical perspective. Journal of Tropical Forest Science 2:286-302

Steup FKM (1927) Hydrologische beschouwingen. Tectona 20:969-974

Stevens MA (1994) The Citanduy, Indonesia - One tough river. In: Schumm SA, Winkley BR (eds) The variability of large alluvial rivers. ASCE Press, New York, pp 201-219

Sudradjat A, Tilling R (1984) Volcanic hazards in Indonesia: The 1982-83 eruption of Galunggung. Episodes 7:13-19. doi: 10.1007/978-3-642-73759-6_9

TKW (1989) Laporan Akhir Proyek Citanduy. Propinsi Jawa Barat. Tim Koordinasi Wilayah, Bandung, Indonesia

U.S.-Army (1938-44) Topographical map of Java, Middle (and West), Reprints based on maps prepared by the Topographic Service in the Netherlands East Indies (TDNI), Land tax revision brigades; mainly based on surveys in 1924-26; 1:50,000; 23 map sheets, retrieved from Netherlands Royal Tropical Institute (KIT) and the Indonesian National Library

USAID (1984) Citanduy II – Organizational difficulties hinder implementation of an ambitious integrated rural development project. Audit Report No. 2-497-84-04. Regional Inspector General for Audit, Manila

USAID (1985) Citanduy II assessment. Special evaluation. Washington

Van Dijk AIJM (2002) Water and sediment dynamics in bench-terraced agricultural steeplands in West Java, Indonesia. Ph.D Thesis, Vrije Universiteit, Amsterdam

Van Dijk AIJM, Bruijnzeel LAS (2005) Key controls and scale effects on sediment budgets: recent findings in agricultural upland Java, Indonesia. Paper presented at the Seventh IAHS Scientific Assembly, Foz do Iguaçu, Brazil, April 2005

Page 34: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

33

Van Dijk AIJM, Bruijnzeel LAS, Purwanto E Soil conservation in upland Java, Indonesia: Past failures, recent findings and future prospects. In: ISCO International Soil Conservation Organisation Conference: Conserving soil and water for society: Sharing solutions, Brisbane, 2004.

Van Doorn J, Hendrix WJ (1983) The emergence of a dependent economy. Consequences of the opening up of West Priangan, Java, to the process of modernization. The Comparative Asian Studies Programme (CASP), 9. CASP, Faculty of Social Sciences, Erasmus University, Rotterdam

Van Goor CP, Kartasubrata J, Effendi M (1982) Indonesian forestry abstracts. Dutch literature until about 1960. Centre for Agricultural Publishing and Documentation, Wageningen

Van Schaik A (1986) Colonial control and peasant resources in Java: agricultural involution reconsidered vol 14. Nederlandse geografische studies. Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap/Instituut voor Sociale Geografie, Universiteit van Amsterdam, Amsterdam

Verburg PH, Veldkamp T, Bouma J (1999) Land use change under conditions of high population pressure: the case of Java. Global Environmental Change 9:303-312. doi: 10.1016/S0959-3780(99)00175-2

Vis M (1986) Interception, drop size distributions and rainfall kinetic energy in four Colombian forest ecosystems. Earth Surface Processes and Landforms 11:591-603. doi: 10.1002/esp.3290110603

Walling DE, Collins AL (2008) The catchment sediment budget as a management tool. Environmental Science & Policy 11:136-143. doi: 10.1016/j.envsci.2007.10.004

Walling DE, Fang D (2003) Recent trends in the suspended sediment loads of the world's rivers. Global and Planetary Change 39:111-126. doi: 10.1016/S0921-8181(03)00020-1

Walling DE, Webb BW (1996) Erosion and sediment yield: A global overview. In: Walling DE, Webb BW (eds) Erosion and Sediment Yield: Global and Regional Perspectives. International Association of Hydrological Sciences Publications 236, pp 3-19

Weatherbase (2014). http://www.weatherbase.com. Accessed 04. November 2014

White AT, Martosubroto P, Sadorra MSM (eds) (1989) The coastal environmental profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. Association of Southeast Asian Nations / United States Coastal Resources Management Project, Technical Publications Series 4. ICLARM, Manila

Widjajani BW, Wisnubroto EI, Sukresno, Utomo WH (2011) The sustainability of teak forest management in Cepu, Central Java, Indonesia: A soil resources point of view. Journal of Basic and Applied Scientific Research 1:1207-1213

Widjoyo N (1970) Population trends in Indonesia. Cornell University Press, Ithaca

Wilson RM (1999) Variation of surface air temperatures in relation to El Niño and cataclysmic volcanic eruptions, 1796–1882. Journal of Atmospheric and Solar-Terrestrial Physics 61:1307-1319. doi: 10.1016/S1364-6826(99)00055-3

Wirosoemarto S, Siswoko, Ramu KV, Nichols P (1989) Citanduy River Basin. Watershed erosion and sedimentation. Paper presented at the International Symposium on Erosion and Volcanic Debris Flow Technology, Yogyakarta, Indonesia, 31. July - 2. August 1989

Page 35: Memperluas jangkauan: Menghubungkan sedimentasi pesisir ...

34

Wolterson JF (1979) Soil erosion in the teak forests of Java. Rapport van het Rijksinstituut voor Onderzoek in de Bos- en Landschapsbouw "De Dorschkamp", 197. Rijksinstituut voor onderzoek in de bos- en landschapsbouw "De Dorschkamp", Wageningen

Yuwono E, Jennerjahn TC, Nordhaus I, Riyanto EA, Sastranegara MH, Pribadi R (2007) Ecological status of Segara Anakan, Indonesia: A mangrove-fringed lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environment and Pollution 4:61-70