Memori Biyan

1
D ari balik rimbunnya hutan bambu yang tiba- tiba tumbuh di Ballroom Hotel Mulia, Seruni muncul. Dia mengena- kan gaun sutra longgar berwar- na dasar putih, dengan lukisan burung bangau besar-besar. Denting koto—kecapi Jepang— yang memainkan lagu Sakura Sakura memenuhi ruangan. Perlahan-lahan dengan sepatu kayu berwarna cokelat setinggi 30 sentimeter—yang mirip baki- ak—Seruni berjalan menyusu- ri lantai kayu yang dibiarkan telanjang dan setara dengan penonton. Rambutnya digelung kecil ke atas. Wajahnya pucat. Ini adalah bagian dari perge- laran akbar Biyan Wanaatmadja dengan tema “Seruni”. “Seruni adalah wanita yang punya wawasan luas dan selalu ingin tahu hal-hal yang baru,” kata Biyan kepada Tempo sebelum pertunjukan. Menurut lulusan The London College of Fashion ini, sosok Seruni muncul dari renungan atas perjalanannya ke berbagai tempat di dunia, sepanjang 31 tahun kariernya di dunia mode. “Saat saya berusia muda seperti Anda, saya pergi ke ber- bagai tempat mencoba berbagai macam hal. Ketika sudah seu- mur saya, pengalaman-peng- alaman yang kadang tidak per- nah saya ingat itu mun- cul kembali,” kata pria kelahiran Surabaya, 60 tahun lalu, itu. Sepotong pengalaman dan memori itulah yang kemudian mewu- jud melalui 100 potong koleksi pakaian yang digelar tanpa panggung catwalk. Biyan tak menjelaskan, kenapa di antara potongan-potongan memori itu ingatan Jepang begitu dominan. Ingatan tentang Jepang itu tumpang-tindih dengan ingatan lainnya. Itu sebab- nya, belum selesai lagu Sakura Sakura, sayup- sayup terdengar bunyi gamelan Jawa. Kadang, muncul juga sepotong aria opera di sela-sela bunyi tenghyang—alat musik gesek Cina—kemudian disambut lagi dengan riuh gamelan Bali pada musik latar. Konsisten dengan musik yang saling memotong itu, secara runut Biyan menam- pilkan koleksinya. Dimulai dari gaun-gaun sutra dengan siluet gembung, bermo- tif bangau ataupun bunga seru- ni. Kadang, motif bangau juga muncul dalam ratusan aplikasi motif bordir berwarna merah yang menempel pada sebuah blus hitam. Bordir itu tidak dibuat menempel sepenuhnya, sehingga tampak seperti burung bangau yang terbang dari baju itu. Bukan tanpa alasan Biyan memilih bangau dan seruni. Keduanya merupakan lam- Koleksi terbaru Biyan Wanaatmadja yang bertajuk “Seruni” bercerita tentang pencarian identitas. Ini juga termasuk cerita Biyan lebih dari tiga dekade di dunia mode. MINGGU 22 JUNI 2014 Pesona 17 FOTO: TEMPO/NURDIANSAH Subkhan [email protected] bang penting dalam mitologi Jepang. Motif burung bangau biasanya dipakai untuk kimono pernikahan, dengan harapan pernikahan yang langgeng serta keberuntungan. Sedangkan seruni merupakan lambang takhta Kerajaan Jepang, yang melambangkan kejujuran dan keabadian. Dalam alur cerita Seruni, kadang muncul pula gaun- gaun sutra dengan beragam motif dalam satu gaun. Mulai dari motif prada Bali, motif sarung dari Nusa Tenggara, bercampur dengan motif pol- kadot yang tampak seperti ben- tuk grafis sederhana dari tema bunga seruni tadi. Semuanya saling menabrak, seakan menunjukkan Biyan menggebu-gebu untuk menunjukkan akar Indonesia-nya dalam beberapa potong pakaian. Tapi, ini bisa saja dibaca sebagai upaya Biyan untuk merang- kul pasar yang lebih luas. Sebab, sesekali, dia juga menampilkan gaun polos dengan warna hitam, merah jambu, biru, hijau pupus, abu-abu, ataupun biru tua dari bahan tulle, sutra, taffeta, atau organza. Dia juga memadukannya dengan aksesori berupa kalung dan gelang dengan motif tribal Jepang. Taburan batuan juga muncul di sejumlah pakaian miliknya. Tumpukan batu itu muncul seperti kelopak- kelopak bunga krisan yang copot dan menjuntai di beberapa bagian baju miliknya. Koleksi Biyan berakhir dengan pertemuan antara corak tribal dari tenun Sumba, yang diaplikasikan melalui bordir atau batuan pada gaun, dan coat panjang berwarna kulit dengan sulam benang perak. Motif kain Sumba yang diambil Biyan antara lain hinggi tau (kain orang) dan hinggi andungu (kain tengko- rak), yang sesuai dengan nama- nya menggambarkan kehidupan manusia, dan juga alam baka. Motif tribal tadi bergabung dalam paduan rumit dengan taman bunga krisan dalam sebuah gaun penuh detail di ujung pagelaran. Sebagai sebuah pagelaran busana, Seruni tentu menggam- barkan sebuah pencarian iden- titas. Bukan cuma Seruni, tapi juga pencarian Biyan. “Saya dulu pernah bercita-cita untuk go international. Siapa yang tidak ingin karyanya bisa tam- pil di Paris? Tapi mimpi itu per- nah luntur,” ujar Biyan. Bahkan, impian go international itu pernah mencapai tahap “mem- permalukan diri” bagi Biyan. “Sekitar 15 tahun lalu pernah nyoba. Kemudian ternyata ada krisis management, chaos, dan semuanya bubar. Setelah itu, saya berpikir, berprestasi itu tak harus go international.” Kesempatan untuk muncul kembali di panggung interna- sional baru muncul lima tahun lalu. Karya Biyan kini didis- tribusikan oleh penyalur di 15 negara, dari negara-nega- ra Timur Tengah, Hong Kong, Jepang, hingga Amerika Serikat. “Saat kesempatan itu datang lagi, saya pikir ini adalah ber- kah,” kata dia. Pada akhirnya, Biyan tetap lebih memilih untuk berfokus pada pasar dalam negeri yang sudah membesarkan namanya selama lebih dari tiga dekade. Dia mengaku semakin terin- spirasi oleh budaya Indonesia. “Bagaimanapun pasar utama saya tetap berada di Indonesia,” ujar Biyan. Untuk itu, dia memilih mengadakan perge- laran busana tunggal setahun sekali, tidak dua kali seperti di luar negeri. “Kita kan negara dua musim, tentu tuntutannya berbeda dengan negara empat musim.” Bagi Biyan, satu per- gelaran setahun sekali dengan 100 pakaian sudah membawa perbedaan bagi dunia mode Indonesia. Pergelarannya yang konsis- ten digelar selama sekitar satu dasawarsa terakhir bisa dika- takan sebagai satu-satunya fashion show di Indonesia yang digarap dengan mempertim- bangkan berbagai aspek, bukan sekadar pamer baju.“Mas Biyan memang orang yang sangat serius, dan bisa dibilang cukup perfeksionis. Dia peduli soal lighting, artistik, dan segalanya,” kata Jay Subiyakto, yang juga pernah bekerja sama menggarap pergelaran Biyan. “Apakah saya perfeksionis? Bisa ya dan tidak. Yang jelas, saya punya standar untuk selalu memberikan yang terbaik,” kata Biyan. Koleksi terbaru desainer Biyan Wanaatmadja dalam Biyan Annual Show di Hotel Mulia, Jakarta, 17 Juni lalu. MEMORI BIYAN

Transcript of Memori Biyan

Page 1: Memori Biyan

Dari balik r i m b u n n y a hutan bambu yang tiba-tiba tumbuh di Ballroom Hotel Mulia,

Seruni muncul. Dia mengena-kan gaun sutra longgar berwar-na dasar putih, dengan lukisan burung bangau besar-besar. Denting koto—kecapi Jepang—yang memainkan lagu Sakura Sakura memenuhi ruangan. Perlahan-lahan dengan sepatu kayu berwarna cokelat setinggi 30 sentimeter—yang mirip baki-ak—Seruni berjalan menyusu-ri lantai kayu yang dibiarkan telanjang dan setara dengan penonton. Rambutnya digelung kecil ke atas. Wajahnya pucat.

Ini adalah bagian dari perge-laran akbar Biyan Wanaatmadja dengan tema “Seruni”. “Seruni adalah wanita yang punya wawasan luas dan selalu ingin tahu hal-hal yang baru,” kata Biyan kepada Tempo sebelum pertunjukan. Menurut lulusan The London College of Fashion ini, sosok Seruni muncul dari renungan atas perjalanannya ke berbagai tempat di dunia, sepanjang 31 tahun kariernya di dunia mode.

“Saat saya berusia muda seperti Anda, saya pergi ke ber-bagai tempat mencoba berbagai macam hal. Ketika sudah seu-mur saya, pengalaman-peng-alaman yang kadang tidak per-

nah saya ingat itu mun-cul kembali,” kata pria kelahiran Surabaya, 60 tahun lalu, itu. Sepotong pengalaman dan memori itulah yang kemudian mewu-jud melalui 100 potong koleksi pakaian yang digelar tanpa panggung catwalk. Biyan tak menjelaskan, kenapa di antara potongan-potongan memori itu ingatan Jepang begitu dominan.

Ingatan tentang Jepang itu tumpang-tindih dengan ingatan lainnya. Itu sebab-nya, belum selesai lagu Sakura Sakura, sayup-sayup terdengar bunyi gamelan Jawa. Kadang, muncul juga sepotong aria opera di sela-sela bunyi tenghyang—alat musik gesek Cina—kemudian disambut lagi dengan riuh gamelan Bali pada musik latar.

Konsisten dengan musik yang saling memotong itu, secara runut Biyan menam-pilkan koleksinya. Dimulai dari gaun-gaun sutra dengan siluet gembung, bermo-tif bangau ataupun bunga seru-ni. Kadang, motif bangau juga muncul dalam ratusan aplikasi motif bordir berwarna merah yang menempel pada sebuah blus hitam. Bordir itu tidak dibuat menempel sepenuhnya, sehingga tampak seperti burung bangau yang terbang dari baju itu.

Bukan tanpa alasan Biyan memilih bangau dan seruni. Keduanya merupakan lam-

Koleksi terbaru Biyan Wanaatmadja

yang bertajuk “Seruni” bercerita

tentang pencarian identitas. Ini juga

termasuk cerita Biyan lebih dari tiga

dekade di dunia mode.

MINGGU 22 JUNI 2014 Pesona 17

FOTO: TEMPO/NURDIANSAH

Subkhan

[email protected]

bang penting dalam mitologi Jepang. Motif burung bangau biasanya dipakai untuk kimono pernikahan, dengan harapan pernikahan yang langgeng serta keberuntungan. Sedangkan seruni merupakan lambang takhta Kerajaan Jepang, yang melambangkan kejujuran dan keabadian.

Dalam alur cerita Seruni, kadang muncul pula gaun-gaun sutra dengan beragam motif dalam satu gaun. Mulai dari motif prada Bali, motif sarung dari Nusa Tenggara, bercampur dengan motif pol-kadot yang tampak seperti ben-tuk grafis sederhana dari tema bunga seruni tadi. Semuanya saling menabrak, seakan

menunjukkan Biyan m e n g g e b u - g e b u untuk menunjukkan akar Indonesia-nya dalam beberapa

potong pakaian.Tapi, ini bisa saja dibaca

s e b a g a i u p a y a B i y a n u n t u k merang-kul pasar

yang lebih luas. Sebab,

sesekali, dia juga menampilkan gaun polos dengan warna hitam, merah jambu, biru, hijau pupus, abu-abu, ataupun biru tua dari bahan tulle, sutra, taffeta, atau organza. Dia juga memadukannya dengan aksesori berupa kalung dan

gelang dengan motif tribal Jepang.

Taburan batuan juga muncul di sejumlah pakaian miliknya. Tumpukan batu itu

muncul seperti kelopak-kelopak bunga krisan

yang copot dan menjuntai di beberapa bagian baju miliknya. Koleksi Biyan

berakhir dengan pertemuan antara corak tribal dari tenun Sumba, yang diaplikasikan melalui bordir atau batuan pada gaun, dan coat panjang berwarna kulit dengan sulam benang perak.

Motif kain Sumba yang diambil Biyan antara lain hinggi tau (kain orang) dan

hinggi andungu (kain tengko-rak), yang sesuai dengan nama-nya menggambarkan kehidupan manusia, dan juga alam baka. Motif tribal tadi bergabung dalam paduan rumit dengan taman bunga krisan dalam sebuah gaun penuh detail di ujung pagelaran.

Sebagai sebuah pagelaran busana, Seruni tentu menggam-barkan sebuah pencarian iden-titas. Bukan cuma Seruni, tapi juga pencarian Biyan. “Saya dulu pernah bercita-cita untuk go international. Siapa yang tidak ingin karyanya bisa tam-pil di Paris? Tapi mimpi itu per-nah luntur,” ujar Biyan. Bahkan, impian go international itu pernah mencapai tahap “mem-permalukan diri” bagi Biyan. “Sekitar 15 tahun lalu pernah nyoba. Kemudian ternyata ada krisis management, chaos, dan semuanya bubar. Setelah itu, saya berpikir, berprestasi itu tak harus go international.”

Kesempatan untuk muncul kembali di panggung interna-sional baru muncul lima tahun lalu. Karya Biyan kini didis-tribusikan oleh penyalur di 15 negara, dari negara-nega-ra Timur Tengah, Hong Kong, Jepang, hingga Amerika Serikat. “Saat kesempatan itu datang lagi, saya pikir ini adalah ber-kah,” kata dia.

Pada akhirnya, Biyan tetap lebih memilih untuk berfokus pada pasar dalam negeri yang sudah membesarkan namanya selama lebih dari tiga dekade. Dia mengaku semakin terin-spirasi oleh budaya Indonesia. “Bagaimanapun pasar utama saya tetap berada di Indonesia,” ujar Biyan. Untuk itu, dia memilih mengadakan perge-laran busana tunggal setahun sekali, tidak dua kali seperti di luar negeri. “Kita kan negara dua musim, tentu tuntutannya berbeda dengan negara empat musim.” Bagi Biyan, satu per-gelaran setahun sekali dengan 100 pakaian sudah membawa perbedaan bagi dunia mode Indonesia.

Pergelarannya yang konsis-ten digelar selama sekitar satu dasawarsa terakhir bisa dika-takan sebagai satu-satunya fashion show di Indonesia yang digarap dengan mempertim-bangkan berbagai aspek, bukan sekadar pamer baju. “Mas Biyan memang orang yang sangat serius, dan bisa dibilang cukup perfeksionis. Dia peduli soal lighting, artistik, dan segalanya,” kata Jay Subiyakto, yang juga pernah bekerja sama menggarap pergelaran Biyan. “Apakah saya perfeksionis? Bisa ya dan tidak. Yang jelas, saya punya standar untuk selalu memberikan yang terbaik,” kata Biyan. ●

Koleksi terbaru desainer Biyan Wanaatmadja dalam Biyan Annual Show di Hotel Mulia, Jakarta, 17 Juni lalu.

MEMORI BIYAN