Meminjami imf

12
Meminjami IMF? Revrisond Baswir Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Rencana pemerintah memberikan pinjaman kepada Dana Monter Internasional (IMF) patut dipertanyakan. Pertanyaan tidak hanya perlu diajukan sehubungan dengan kesiapan Indonesia atau soal besar kecilnya nilai pinjaman yang hendak diberikan. Lebih mendasar dari itu, pertanyaan juga perlu diajukan sehubungan dengan tujuan penggunaan dana pinjaman tersebut. Sesuai dengan statuta pendiriannya, IMF dibentuk dengan mandat sebagai penyangga stabilitas keuangan internasional. Dengan mandat seperti itu, selain dapat memberikan pinjaman kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis moneter, IMF juga dapat memberi masukan dan saran sehubungan dengan kebijakan moneter negara-negara yang bersangkutan. Sebagai perbandingan, Bank Dunia, saudara kandung IMF yang sama-sama dibentuk di Brettonwoods, AS, pada 1944, memiliki mandat sebagai penyedia dana talangan bagi negara-negara yang membutuhkan pinjaman dalam membiayai pelaksanaan pembangunannya. Dengan mandat seperti itu, selain dapat memberikan pinjaman, Bank Dunia juga dapat memberikan masukan dan saran sehubungan dengan penyelenggaraan proyek-proyek yang dibiayainya. Namun dalam perkembangannya, sepak terjang IMF (dan Bank Dunia) cenderung bergeser dari mandat formalnya. Pergeseran ini terutama sangat terasa setelah ditandatanganinya Konsensus Washington oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS, pada 1989. Dalam konsensus yang terbit pasca krisis moneter di beberapa negara Amerika Latin tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa proses pemulihan ekonomi di negara-negara yang terkena krisis wajib dikaitkan dengan pelaksanaan sejumlah agenda ekonomi yang dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal.

description

aa

Transcript of Meminjami imf

Page 1: Meminjami imf

Meminjami IMF?

  

Revrisond Baswir

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

  

Rencana pemerintah memberikan pinjaman kepada Dana Monter Internasional (IMF) patut dipertanyakan. Pertanyaan tidak hanya perlu diajukan sehubungan dengan kesiapan Indonesia atau soal besar kecilnya nilai pinjaman yang hendak diberikan. Lebih mendasar dari itu, pertanyaan juga perlu diajukan sehubungan dengan tujuan penggunaan dana pinjaman tersebut.

Sesuai dengan statuta pendiriannya, IMF dibentuk dengan mandat sebagai penyangga stabilitas keuangan internasional. Dengan mandat seperti itu, selain dapat memberikan pinjaman kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis moneter, IMF juga dapat memberi masukan dan saran sehubungan dengan kebijakan moneter negara-negara yang bersangkutan.

Sebagai perbandingan, Bank Dunia, saudara kandung IMF yang sama-sama dibentuk di Brettonwoods, AS, pada 1944, memiliki mandat sebagai penyedia dana talangan bagi negara-negara yang membutuhkan pinjaman dalam membiayai pelaksanaan pembangunannya. Dengan mandat seperti itu, selain dapat memberikan pinjaman, Bank Dunia juga dapat memberikan masukan dan saran sehubungan dengan penyelenggaraan proyek-proyek yang dibiayainya.

Namun dalam perkembangannya, sepak terjang IMF (dan Bank Dunia) cenderung bergeser dari mandat formalnya. Pergeseran ini terutama sangat terasa setelah ditandatanganinya Konsensus Washington oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS, pada 1989. Dalam konsensus yang terbit pasca krisis moneter di beberapa negara Amerika Latin tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa proses pemulihan ekonomi di negara-negara  yang terkena krisis wajib dikaitkan dengan pelaksanaan sejumlah agenda ekonomi yang dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal.

Dengan dikaitkannya pemberian pinjaman IMF (dan Bank Dunia) dengan pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal yang meliputi pelaksanaan anggaran ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi BUMN tersebut, maka keberadaan IMF sebagai lembaga keuangan multilateral yang bebas kepentingan mulai dipertanyakan.

Sebagaimana pernah dikemukakan Stiglitz, dengan memaksakan pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal kepada negara-negara yang sedang menjadi pasiennya, keberadaan IMF (dan Bank Dunia) patut diduga telah ditumpangi oleh jaringan kapitalisme internasional yang bermaksud memperoleh keuntungan dari pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal tersebut.

 

Page 2: Meminjami imf

Sebagai sebuah negara yang pernah beberapa kali menjadi pasien IMF, sepak terjang IMF yang cenderung menyimpang dari mandat formalnya itu sudah tidak asing lagi bagi Indonesia. Sebagaimana diketahui, keterlibatan IMF dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia sudah berlangsung sejak penandatanganan kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Bahkan, karena kecewa terhadap IMF (dan Bank Dunia), pemerintahan Soekarno pernah menarik keanggotaan Indonesia dari kedua lembaga keuangan multilateral tersebut.

Namun yang masih segar dalam ingatan kita tentulah kegagalan IMF dalam mendampingi proses pemulihan ekonomi Indonesia pada 1998. Alih-alih memulihkan kondisi perekonomian Indonesia, pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal yang dipaksakan IMF justru bermuara pada terjadinya krisis sosial-politik di negeri ini. Bahkan, akibat ‘malpraktik’ IMF dalam menangani krisis perbankan, Indonesia kini terjerumus ke dalam jebakan utang dalam negeri yang sangat besar jumlahnya. Sebagaimana diketahui, dari jumlah keseluruhan utang pemerintah sebesar Rp 1.944 trilyun, utang dalam negeri tercatat sebesar Rp1.304 trilyun.

Kecenderungan IMF untuk mengaitkan pemberian pinjamannya dengan pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal sebagaimana dialami Indonesia itu terus berlanjut hingga kini. Hal tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara sedang berkembang, tetapi berlangsung pula di negara-negara anggota Uni Eropa yang menjadi pasien IMF. Sebagaimana dialami Indonesia pada 1998, akibat pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal yang dipaksakan IMF itu, mudah dimengerti bila Yunani pun kini terjerumus ke dalam krisis sosial-politik yang cenderung berkepanjangan.

Menyimak uraian di atas dapat disaksikan bahwa pemberian pinjaman kepada IMF sejatinya bukanlah perkara sederhana. Tindakan tersebut tidak dapat direduksi sebagai persoalan ekonomi dan keuangan semata. Bahkan, pemberian pinjaman kepada IMF tidak dapat direduksi menjadi soal penggunaan dana pinjaman itu di Asia, Eropa, atau Afrika. Jika benar bahwa dibalik agenda ekonomi neoliberal yang dipaksakan IMF terdapat kepentingan jaringan kapitalisme internasional, maka meminjami IMF patut diwaspadai sebagai upaya sengaja untuk membiayai ekspansi kapitalisme. Wallahua’lambishawab.

MBM GATRA, 18 Juli 2012

Page 3: Meminjami imf

Kedaulatan Sektoral

Dr. Revrisond Baswir

Pegiat Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia

 

Wacana mengenai kedaulatan sektoral akhir-akhir ini sering mengemuka. Dua diantaranya yang cukup populer adalah mengenai kedaulatan pangan dan kedaulatan energi. Sepintas lalu, perbincangan mengenai kedua unsur kedaulatan tersebut tampak cukup heroik. Pertanyaannya, sejauh manakah hal itu telah didasarkan atas makna kedaulatan yang utuh dan sejauh mana pula upaya untuk menegakkan kedaulatan pangan dan kedaulatan energi tersebut telah diletakkan dalam konteks menegakkan kedaulatan bangsa?

Sejauh yang dapat saya cermati, perbincangan mengenai kedaulatan sektoral yang berlangsung selama ini cenderung masih bersifat reaksioner. Bahkan, perbincangan mengenai hal tersebut cenderung menimbulkan kesan seolah-olah kedaulatan hanya perlu ditegakkan dalam bidang-bidang tertentu saja. Sifat reaksioner perbincangan kedaulatan sektoral itu tampak antara lain pada kecenderungannya untuk mereduksi lokus penegakkan kedaulatan pada tingkat negara bangsa. Padahal, menurut UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat.

Sebab itu, jika dikaitkan dengan kedaulatan bangsa, kedaulatan suatu bangsa dalam sektor-sektor tertentu mustahil dapat direduksi menjadi kewenangan sebuah negara bangsa dalam mengelola dan mengendalikan sektor-sektor dimaksud. Kedaulatan suatu bangsa dalam sektor-sektor tertentu harus dikaitkan secara langsung dengan kewenangan rakyat negara bangsa yang bersangkutan dalam mengelola dan mengendalikan sektor-sektor tersebut.

Dengan dasar pemahaman seperti itu, kedaulatan bangsa dengan sendirinya mustahil dapat ditegakkan secara parsial. Suatu bangsa hanya dapat dikatakan berdaulat jika rakyat negara bangsa yang bersangkutan berdaulat sepenuhnya. Dalam ungkapan yang lebih lugas, suatu bangsa belum dapat dikatakan berdaulat jika rakyatnya hanya berdaulat dalam bidang politik, tetapi tidak berdaulat dalam bidang ekonomi.

Pertanyaannya, dapatkah kedaulatan rakyat ditegakkan dalam bidang politik dan ekonomi sekaligus? Jawabannya tentu saja dapat. Jika tidak, mustahil UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika demikian, syarat apakah yang harus dipenuhi agar kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat? Sebagaimana dikemukakan oleh UUD 1945, kata kuncinya terletak pada pelembagaan demokrasi ekonomi disamping demokrasi politik.

Sebelum diamandemen, pengertian demokrasi ekonomi terungkap secara jelas dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Menurut penjelasan Pasal 33 itu, demokrasi ekonomi adalah suatu keadaan dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam kerangka demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

 

Page 4: Meminjami imf

Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, demokrasi ekonomi hanya dapat ditegakkan bila dipenuhi tiga syarat berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kembali ke wacana kedaulatan sektoral, tidak berarti bahwa dalam wacana kedaulatan sektoral keberadaan Pasal 33 UUD 1945 diabaikan sama sekali. Yang terjadi adalah adanya kecenderungan untuk hanya mengaitkannya dengan Pasal 33 ayat 2 dan 3. Padahal, ayat 1, 2, dan 3 adalah satu kesatuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan “usaha bersama berdasar atas kekeluargaan” ialah koperasi. Artinya, dalam melembagakan demokrasi ekonomi, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah diselenggarakannya perekonomian Indonesia berdasarkan kolektivisme, bukan individualisme.

Namun harus diakui, pengabaian Pasal 33 ayat 1 tidak hanya terjadi dalam wacana kedaulatan sektoral, tetapi cenderung menjadi fenomena nasional. Akibatnya, kekuasaan negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3, cenderung mengalami distorsi menjadi kesewenang-wenangan negara. Dengan kecenderungan seperti itu, yang terjadi tidak hanya berupa pemindahan kedaulatan dari tangan rakyat ke tangan para pejabat negara. Dengan kewenangan yang dimilikinya, para pejabat negara seolah-olah merasa berhak untuk mengobral kedaulatan kepada para pemilik kapital.

Dengan terlanjur diobralnya kedaulatan oleh para pejabat negara kepada para pemilik kapital, maka perbincangan mengenai kedaulatan sesungguhnya hanya dapat dibenarkan jika dimaksudkan untuk  mengembalikannya kepada rakyat. Jika tidak, perbincangan kedaulatan jenis apa pun tidak relevan untuk dilakukan, termasuk mengenai kedaulatan sektoral.

Page 5: Meminjami imf

Demokrasi Terjajah

Revrisond Baswir

Pegiat Asosialsi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI)

 

UUD 1945 telah mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk melembagakan sebuah sistem demokrasi yang dikenal sebagai sistem demokrasi sosial atau sosio-demokrasi. Dalam sistem demokrasi seperti itu, kedaulatan rakyat tidak hanya ditegakkan dalam bidang politik tetapi harus ditegakkan pula dalam bidang ekonomi. Sebagaimana pernah dikemukakan Bung Hatta, “Jika disebelah demokrasi politik belum terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka.”

Secara terinci, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, tiga syarat yang harus dipenuhi untuk melembagakan demokrasi ekonomi adalah sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun sebagaimana berlangsung sejak 17 Agustus 1945, amanat untuk melembagakan sistem demokrasi sosial itu terus menerus ditentang oleh pihak kolonial dan para kaki tangannya. Dalam rangka itu, selama 67 tahun, pihak kolonial telah melancarkan berbagai subversi untuk menelikung pelembagaan amanat UUD 1945 tersebut.

Secara ringkas, rangkaian subversi yang dilakukan pihak kolonial untuk menelikung pelembagaan sistem demokrasi sosial itu adalah sebagai berikut: (1) melancarkan agresi I dan II pada 1947 – 1948; (2) memaksakan tiga syarat ekonomi melalui penandatanganan kesepakatan KMB pada 1949; (3) melakukan destabilisasi ekonomi-politik melalui pemberontakan PRRI/Permesta pasca pembatalan KMB pada 1956; (4) menyelundupkan beberapa ekonom Indonesia ke AS untuk mempelajari kapitalisme; (5) mendeligitimasi pemerintahan Soekarno melalui peristiwa G30S pasca penerbitan UU No. 16/1965; (6) memaksa Soekarno menandatangani UU No. 7, 8, 9/1966 dan UU No. 1/1967 untuk memulihkan KMB; (7) menyokong terbentuknya sebuah pemerintahan kontra revolusioner pada 1967; (8) melakukan liberalisasi tahap pertama melalui pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi pada 1982; (9) melakukan liberalisasi tahap kedua melalui penandatanganan LOI pada 1998; dan (10) memulai proses legalisasi neokolonialisme melalui penerbitan beberapa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan amanat UUD 1945.

Di satu sisi, rangkaian subversi neokolonalisme tersebut tidak hanya berakibat pada terhalangnya proses pelembagaan sistem demokrasi sosial di Indonesia. Tindakan tersebut bermuara pada terjerumusnya bangsa ini ke dalam suatu kondisi yang saya sebut sebagai kondisi keterjajahan permanen. Transformasi ekonomi yang dialami Indonesia dalam 67 tahun terakhir sesungguhnya hanyalah sebuah transformasi dari kolonialisme menuju neokolonialisme.

 

Page 6: Meminjami imf

Di sisi lain, sebagaimana tampil secara mencolok pasca penandatangani LOI pada 1998, proses pelembagaan demokrasi di Indonesia cenderung melenceng ke arah pelembagaan sistem demokrasi liberal atau demokrasi korporasi. Artinya, dalam era demokrasi terjajah seperti saat ini, yang terjadi tidak lagi sekedar semakin dalamnya cengkeraman kapitalis asing di sini. Kekuatan kapital kini menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi-politik di tanah air. Kapital tidak hanya menjadi faktor dominan dalam proses perebutan kekuasaan, tetapi menjadi faktor dominan pula dalam proses penyusunan perundang-undangan dan perumusan kebijakan.

Sejalan dengan itu, ketergantungan partai-partai politik dan pemangku kekuasan terhadap sokongan kaum kapitalis cenderung meningkat. Sebagaimana berlangsung di berbagai negara yang melembagakan sistem demokrasi korporasi lainnya, fungsi partai politik di Indonesia cenderung berubah dari penyalur aspirasi rakyat menjadi pembela kapitalisme. Karena negara diurus oleh para petinggi partai politik, maka fungsi negara turut pula berubah, yaitu dari memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi memajukan akumulasi kapital dan menjongoskan kehidupan bangsa.

Dengan latar belakang seperti itu, menjadi mudah dipahami bila berbagai kebijakan ekonomi-politik nasional cenderung bertentangan dengan aspirasi rakyat. Hal itu tidak hanya tampak secara mencolok dalam penyelenggaraan sektor-sektor strategis seperti sektor keuangan dan pertambangan, tetapi mulai menyelinap pula ke sektor-sektor yang selama ini menjadi tumpuan hidup rakyat banyak seperti sektor pertanian dan perdagangan.

Akibatnya, ketergantungan terhadap impor berbagai kebutuhan pokok rakyat terus berlanjut. Bahkan, di negeri bahari yang terletak dilintasan khatulistiwa ini, pemenuhan kebutuhan garam industri dan garam rakyat didatangkan dari luar. Persoalannya bukan karena tidak tersedianya sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan itu, melainkan karena hal tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan untuk mengukuhkan cengkeraman neokolonialisme di negeri ini.

Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk mengakhiri cengkeraman  neokolonialisme yang disertai dengan pelembagaaan sistem demokrasi korporasi  tersebut? Secara normatif jawabannya sudah dikemukakan oleh Pasal 33 UUD 1945. Persoalannya, bagaimana menjadikan pesan normatif itu menjadi sebuah kekuatan yang riil?

Jawaban praksisnya terletak pada pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat. Berbeda dari pengorganisasian rakyat melalui partai-partai politik atau elemen-elemen di bawahnya, pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat yang dilakukan untuk melawan neokolonialisme harus secara jelas ditujukan untuk mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme di negeri ini. Musuh bersama kekuatan ekonomi rakyat yang terorganisasi bukanlah sesama pelaku ekonomi rakyat, melainkan jaringan kekuatan kapital yang mencengkeram negeri ini. Kekuatan ekonomi rakyat bersatulah!

@KOMPAS, Senin, 21 Mei 2012

Page 7: Meminjami imf

Dibalik Kisruh BBM

Dr. Revrisond Baswir

Pegiat Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI)

 

Kisruh BBM yang berlangsung belakangan ini patut diduga disengaja oleh pemerintah. Artinya, berbeda dari kisruh BBM pada 2008 lalu, kali ini jelas sekali kelihatan betapa pemerintah bersikukuh untuk membatasi penyediaan BBM bersubsidi bagi masyarakat. Namun karena secara teknis hal itu ternyata sulit dilakukan, maka pemerintah merasa perlu untuk memicu pedebatan agar keputusan yang diambil tampak seolah-olah telah memperhatikan semua aspirasi yang berkembang. 

Unsur kesengajaan pemerintah dalam memicu kisruh BBM tersebut dapat ditelusuri dengan menyimak perkembangan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sepanjang 2011 berikut. Sejak Februari 2011, ICP sesungguhnya sudah bergerak di atas kisaran US$100 per barel. Pada Februari, Maret, dan April 2011, misalnya, ICP berada dalam kisaran US$103, US$113, dan US$123 per barel. Sedangkan pada Oktober, November, dan Desember, ICP berada dalam kisaran US$109, US$112, dan US$110 per barel. Secara rata-rata, ICP 2011 berada dalam kisaran US$111,55 per barel.

Namun penjelasan para pejabat pemerintah mengenai prospek ICP cenderung bertolak belakang. Dirjen Migas Evita Legowo, misalnya, ketika memberi penjelasan kepada DPR pada bulan Mei 2011, terang-terangan mengatakan bahwa ICP 2012 akan bergerak dalam kisaran US$ 75 – 95 per barel. Bahkan, ketika pemerintah mengajukan RAPBN 2012 ke DPR,  ICP hanya dipatok sebesar US$90 per barel. Akibatnya, karena asumsi ICP di APBN sengaja dibuat tidak realistik, maka besaran subsidi BBM di APBN 2012 pun cenderung tidak realistik.

Yang menarik, pada 21 Desember 2011, Evita Legowo kembali membuat kejutan dengan mengatakan bahwa pemerintah pada 2012 dipastikan tidak akan menaikkan harga BBM. Tetapi tidak lama setelah itu, sembari melontarkan gagasan mengenai pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah segera melontarkan gagasan mengenai berbagai metode dan skenario kenaikkan harga BBM. Mengenai pembatasan BBM bersubsidi pemerintah melontarkan gagasan mengenai konversi ke gas dan pertamax. Sedangkan mengenai metode kenaikkan harga BBM, pemerintah melontarkan gagasan mengenai menaikkan harga BBM atau memberikan subsidi tetap sebesar Rp2.000 per liter.

Sebagaimana telah hampir menjadi kepastian pada 1 April yang akan datang, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter. Pertanyaannya, faktor apakah yang mendorong pemerintah untuk memicu perdebatan sengit mengenai rencana kenaikkan harga BBM dengan latar belakang sebagaimana dipaparkan tersebut? Jawabannya dapat ditelusuri berdasarkan dua kemungkinan berikut.

Kemungkinan pertama berkaitan dengan rencana besar pemerintah untuk melanjutkan pelaksanaan liberalisasi sektor hilir migas sebagaimana telah dirintisnya ketika menerbitkan UU Migas No. 22 Tahun 2001. Namun karena pasal 28 UU Migas yang berbicara mengenai pelepasan harga BBM ke mekanisme pasar dibatalkan oleh MK, maka stategi awal

Page 8: Meminjami imf

pemerintah dalam meliberalisasikan sektor hilir migas tidak dapat dilanjutkan. Padahal, bersamaan dengan penerbitan UU Migas yang dibiayai dan dipersiapkan rancangannya oleh USAID dan Bank Dunia tersebut, pemerintah terlanjur memberikan izin kepada sekitar 105 perusahaan swasta asing dan domestik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan sektor hilir migas di sini, termasuk mengoperasikan SPBU.

Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Menteri ESDM yang ketika itu dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir  migas membuka kesempatan bagi asing untuk bermain dalam bisnis eceran migas.. Namun hal itu berdampak mendongkrak harga BBM. Sebab, kalau harga BBM masih rendah, pemain asing enggan masuk.” Dengan terganjalnya strategi awal pemerintah dalam meliberalisasikan sektor hilir migas, maka pemerintah terpaksa mencari jalan lain. Nah, jalan lain inilah sesungguhnya yang terungkap dalam wacana pembatasan BBM bersubsidi sebagaimana mengemuka belakangan ini.

Kemungkinan kedua berkaitan dengan semakin merosotnya citra pemerintah di mata masyarakat. Sebagaimana diketahui, hal ini terutama dipicu oleh terungkapnya berbagai skandal korupsi yang diduga melibatkan beberapa pejabat tinggi pemerintah dan  para petinggi partai politik yang dekat dengan pemerintah. Padahal, ketika mengawali pemerintahannya untuk masa yang kedua ini, Presiden SBY secara jelas mengemukakan akan memimpin sendiri upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Untuk memperbaiki citra yang merosot tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali melakukan pengucuran dana untuk membeli dukungan politik masyarakat. Kenaikkan harga BBM memberikan legitimasi untuk melakukan hal itu. Walau pun secara umum kenaikkan harga BBM cenderung tidak populer, namun melalui pengucuran BLT, pemerintah merasa percaya diri dapat merebut simpati anggota masyarakat berpendapatan rendah. Agar citra buruk BLT sebagaimana berlangsung pada 2008 dapat dihilangkan, maka pemerintah mengganti namanya menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Berdasarkan kedua penjelasan tersebut, dapat disaksikan bahwa kisruh BBM yang berlangsung belakangan ini, pada dasarnya tetap dipicu oleh rencana besar pemerintah untuk meliberalisasikan sektor hilir migas. Artinya, sebagaimana dikemukakan oleh Purnomo Yusgiantoro tadi, "Kalau harga BBM masih rendah, pemain asing enggan masuk." Dengan latar belakang seperti itu, berbagai penjelasan pemerintah mengenai alasan kenaikkan harga BBM yang akan diputuskan pada 1 April tersebut, patut diduga sebagai alasan yang mengada-ada. Wallahua’lambishawab. 

 

KR, Jumat, 16 Maret 2012