Memeriksa Kembali Peran Konflik Kognitif Dalam Pembelajaran Konsep

download Memeriksa Kembali Peran Konflik Kognitif Dalam Pembelajaran Konsep

of 20

description

Terjemahan

Transcript of Memeriksa Kembali Peran Konflik Kognitif Dalam Pembelajaran Konsep

Memeriksa kembali Peran Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Konsep

Sukjin Kang, Lawrence C. Scharmann dan Taehee NohJeonju National University of Education, KoreaKansas State University, USASeoul National University, Korea

Abstrak

Dalam studi ini, kami mendefinisikan dan menghitung tingkat konflik kognitif yang disebabkan oleh kejadian diskrepan dari perspektif kognitif. Berdasarkan skema yang dibuat, kami meneliti hubungan antara konflik kognitif dan perubahan konseptual, dan pengaruh dari karakteristik kognitif siswa tentang konflik dalam mempelajari konsep massa jenis. Subyek penelitian adalah 171 siswa perempuan kelas tujuh dari dua sekolah menengah perkotaan di Korea. Pengujian tentang kemampuan berpikir logis, dependensi/independensi bidang, dan pendekatan pembelajaran bermakna diberikan. Tes prekonsepsi dan tes respon terhadap kejadian diskrepan juga diberikan. Instruksi dengan bantuan komputer kemudian diberikan kepada siswa sebagai intervensi perubahan konseptual. Sebuah tes konsepsi diberikan sebagai posttest. Dalam menganalisis respon siswa terhadap kejadian diskrepan, diidentifikasi tujuh jenis respon: Penolakan, interpretasi ulang, eksklusi, ketidakpastian, sedikit perubahan keyakinan, penurunan keyakinan, dan perubahan keyakinan. Jenis-jenis respon ini kemudian diurutkan menjadi empat tingkatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara konflik kognitif dan perubahan konseptual. Hasil t-test menunjukkan bahwa ada perbedaan statistik yang signifikan dalam tingkat konflik kognitif menurut tingkat kemampuan berpikir logis siswa dan dependensi/independensi bidang. Namun, pendekatan pembelajaran yang bermakna, ditemukan tidak berpengaruh signifikan secara statistik pada konflik kognitif. Implikasinya pada pendidikan pun dibahas.

Kata Kunci: konflik kognitif, kejadian diskrepan, pembelajaran konsep sains

Selama dua puluh tahun terakhir, penelitian tentang pemahaman konseptual siswa dalam sains telah lumayan aktif. Pentingnya konsepsi siswa alternatif atau sebelum instruksi merupakan tema yang umum dalam bidang penelitian ini (Scott, Asoko, & Supir, 1992), dan sejumlah peneliti terus menyelidiki konsepsi siswa dalam berbagai domain konten (misalnya, Borges & Gilbert, 1999; Roald & Mikalsen, 2000; Teixeira, 2000; Tytler, 2000; Voska & Heikkinen, 2000). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa banyak konsepsi siswa, jika tidak semuanya, biasanya meresap maupun resisten terhadap perubahan melalui bentuk-bentuk instruksi tradisional yang ekspositoris, dan hanya memberitahukan konsepsi ilmiah pada siswa tidaklah cukup. Menurut paradigma konsepsi alternatif (misalnya, Driver, 1994), prekonsepsi siswa tahan terhadap perubahan karena prekonsepsi mereka tidak semata-mata suatu kesalahan atau keyakinan yang salah, melainkan siswa memiliki kelompok pendukung kognitif dan mekanisme pertahanan mereka sendiri (Strike & Posner, 1992). Berdasarkan sudut pandang ini, beberapa model pembelajaran diusulkan (misalnya, perubahan model konseptual, model pembelajaran generatif, dll). Di antara model-model tersebut, model perubahan konseptual telah sering diterapkan pada situasi di mana sasaran hasil pembelajarannya adalah untuk mengubah miskonsepsi siswa.Model perubahan konseptual menggambarkan pembelajaran sebagai interaksi yang terjadi antara pengalaman siswa dan konsepsi siswa itu saat ini. Sehingga, banyak studi mengenai perubahan konseptual yang berfokus pada membangun kondisi yang mendorong situasi-situasi di mana konsepsi siswa yang ada dapat dibuat eksplisit lalu ditantang secara langsung untuk menciptakan suatu situasi konflik. Karena itu, banyak model perubahan konseptual menggunakan strategi yang dirancang khusus yang disebut pendekatan konflik kognitif (Chan, Burtis, & Bereiter, 1997). Berdasarkan model teoritis dijelaskan oleh Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog (1982), pendekatan ini umumnya melakukan pengidentifikasian kondisi pengetahuan siswa saat ini dan memunculkan konflik sehingga dia dapat mengganti prekonsepsinya dengan konsepsi yang diterima secara ilmiah. Konsep konflik kognitif berawal dari teori Piaget mengenai ekuilibrasi. Kebutuhan akan mengurangi konflik adalah motivasi manusia yang kuat. Oleh karena itu, banyak pendukung Piaget percaya bahwa mengalami suatu konflik itu sangat diperlukan untuk belajar. Konsep konflik kognitif juga telah memiliki banyak pengaruh pada para peneliti pendidikan sains, terutama mereka yang bekerja di bidang pembelajaran konsep. Beberapa peneliti ini menganggap konflik kognitif sebagai kondisi yang diperlukan untuk perubahan konseptual dalam mempelajari konsep-konsep sains. Meskipun pendekatan konflik kognitif adalah salah satu strategi yang paling sering diselidiki dan secara konsisten menunjukkan efek-efek yang signifikan (Guzzetti, Snyder, Glass, & Gamas, 1993), beberapa peneliti telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang peran konflik kognitif. Zimmerman dan Blom (1983) menyelidiki apakah konflik kognitif merupakan prasyarat untuk memperoleh pemahaman tentang berat. Akan tetapi, mereka tidak dapat menemukan bukti apapun yang mendukung perlunya konflik kognitif. Mereka dengan sinis menyimpulkan bahwa "Meskipun ada banyak bukti bahwa konflik (kognitif) menurut pemikiran para ahli teori merupakan kondisi yang bermanfaat untuk menjelaskan pembelajaran, hanya ada sedikit bukti bahwa konflik (kognitif) secara luas dialami dalam pikiran pembelajar. "(tanda kurung ditambahkan oleh penulis sekarang). Peneliti pendidikan sains lainnya (Dreyfus, Jungwirth, & Eliovitch, 1990; Linn, 1986; Tsai, 2000; Vosniadou, 1999) juga mengemukakan bahwa siswa seringkalu tidak dapat mencapai konflik yang bermakna atau menjadi tidak puas dengan prekonsepsi mereka, sekalipun dihadapkan dengan kondisi yang melibatkan konflik. Selain itu, bahkan jika konflik tersebut ditonjolkan dengan cara-cara tertentu, tidak ada jaminan bahwa para siswa akan menerima keberadaan atau signifikansinya (Scott et al., 1992). Apakah keyakinan bahwa konflik kognitif adalah kondisi yang diperlukan untuk perubahan konsepsual adalah keyakinan yang salah? Akan tetapi, penelitian sebelumnya yang telah meneliti efek pendekatan konflik kognitif dalam pendidikan sains, secara konsisten telah melaporkan hasil-hasil yang positif. Bagaimana kita bisa menerima pandangan berbeda mengenai konflik kognitif ini? Salah satu alasan ketidakkonsistenan mungkin karena ada penafsiran yang berbeda tentang konflik kognitif. Peneliti pendidikan sains sebagian besar telah meneliti efek konflik kognitif menurut perbandingan perbedaan-perbedaan kelompok, dan mereka cenderung menerapkan suatu kombinasi strategi dan kemudian mengevaluasi dampaknya secara keseluruhan (Guzzetti et al., 1993). Selain itu, konflik kognitif seringkali dijelaskan secara singkat atau tidak sama sekali (Gorsky & Finegold, 1994). Akibatnya, tidak mudah untuk memahami makna eksplisit dari konflik kognitif dalam penelitian pendidikan sains. Oleh karena itu, definisi konflik kognitif harus lebih eksplisit dan lebih spesifik untuk bisa menyelidiki peran konflik kognitif dalam memproduksi perubahan konseptual.

Konflik kognitif dan Peristiwa Diskrepan

Berlyne (1970) menggambarkan konflik kognitif sebagai "suatu kondisi di mana proses-proses yang saling bertentangan terjadi secara simultan sehingga respon gerak tertentu dari serangkaian alternatif yang saling bersaing pun terhambat "(hal. 968). Berbeda dari definisi sebelumnya, definisinya ini memberikan konflik kognitif semacam generalitas sehingga konflik kognitif banyak yang dianggap penting dalam berbagai situasi belajar (Cantor, 1983). Konsep konflik kognitif secara lebih spesifik dijelaskan oleh Hewson (1988), dan Stavy dan Berkovitz (1980). Mereka mengidentifikasi bahwa ada dua jenis konflik kognitif yang terkait dengan berbagai bentuk ekuilibrasi dalam teori Piaget, konflik antara konsepsi siswa dan pengalaman, dan konflik antara dua struktur kognitif yang berbeda yang berhubungan dengan fenomena yang sama. Dari kedua jenis konflik ini, kita akan berfokus pada yang pertama karena merupakan komponen penting yang terlibat dalam fenomena yang dikenal sebagai peristiwa diskrepan. Peristiwa diskrepan telah menjadi salah satu komponen yang paling penting dalam penelitian pendidikan sains yang berdasarkan pendekatan konflik kognitif, karena ketidakpuasan dengan konsepsi yang ada merupakan hal yang penting dalam proses perubahan konseptual dan peristiwa discrepant adalah sumber utama dari ketidakpuasan awal (Posner et al., 1982). Umumnya, kejadian discrepant adalah pengalaman fisik yang memberikan siswa bukti-bukti baru untuk dikontradiksikan dengan konsepsi yang ada. Penggunaan instruksional kejadian diskrepan berasumsi akan bisa menyebabkan konflik kognitif. Ketika siswa menghadapi kejadiaan discrepant, mereka diharapkan akan menemukan bahwa mereka prekonsepsi mereka tidak memadai untuk menjelaskan pengalaman yang baru, yang mungkin menyebabkan mereka akan mempertimbangkan atau menciptakan konsepsi alternatif yang dapat menjelaskan peristiwa discrepant tersebut. Namun, telah dilaporkan bahwa siswa dalam kebanyakan kasus tidak selalu membangkitkan konflik kognitif hanya melalui mengalami peristiwa discrepant (misalnya, Chinn & Brewer, 1998; Gorsky & Finegold, 1994; Mason, 2001; Shepardson & Moje, 1999; Tirosh, Stavy, & Cohen, 1998). Menurut Murray (1983), sekalipun peristiwa yang kontradiktif disajikan kepada siswa, peristiwa tersebut mungkin akan (a) tidak diketahui, (b) ditoleransi atau dijelaskan sebagai paradoks, misteri, atau keajaiban, (c) dipandang sebagai suatu peristiwa independen, atau (d) diselesaikan secara prematur atau dengan mudah dengan membuang unsur-unsur yang saling bertentangan. Mungkin, suatu kesalahan sudut pandang sains yang sederhana telah memiliki pengaruh yang terlalu besar pada penelitian yang termasuk dalam kelompok pendekatan konflik kognitif. Akan tetapi, pada saat yang sama, tidaklah beralasan jika kita begitu saja meremehkan atau mengabaikan peran peristiwa discrepant, karena hanya ada sedikit penelitian yang telah mengumpulkan ukuran yang benar dari konflik kognitif secara terpisah. Sehingga, hubungan antara peristiwa discrepant dan perubahan konseptual perlu diklarifikasi dengan lebih lengkap. Zimmerman dan Blom (1983) mencoba untuk menjalankan konflik kognitif yang muncul ketika siswa tingkat pertama disajikan dengan rekaman video dengan berbagai tingkat konflik tentang masalah konservasi. Mereka menggunakan dua jenis ukuran dalam menghitung konflik kognitif. Pertama, berdasarkan definisi operasional Smedslund (1961) mengenai konflik kognitif, mereka memilih keragu-raguan atau latensi siswa dalam memberikan penilaian terhadap hal-hal yang ditanyakan selama wawancara individu, sebagai salah satu indikator konflik. Indeks konflik kedua mereka adalah laporan diri siswa, sebuah rating 3-point perasaan ketidakpastian-kepastian terhadap tanggapan mereka tentang pertanyaan yang diberikan. Baru-baru ini, Vandenplas-Holper (1996) mengukur konflik kognitif pada anak-anak 5 sampai 7 tahun yang sedang mengerjakan tugas tentang konservasi dalam kelompok berisi tiga orang. Dia menggunakan jumlah dari tiga nilai tersebut sebagai tingkat konflik kognitif: (a) konflik intra-individual spontan yang terjadi ketika anak-anak tersebut saling berbeda pendapat di antara mereka sendiri dengan menggunakan indikator ketidaksetujuan dalam interval waktu yang sama atau dalam dua interval yang berdekatan, (b) jumlah pernyataan pelaku eksperimen yang menekankan konflik intra-atau antar-individu, dan (c) jumlah keterkejutan anak-anak dengan kata seru seperti "ah" atau "oh." Dalam sebuah penelitian yang menyelidiki respon siswa terhadap informasi spesifik yang bertentangan dengan konsepsi naif mereka tentang evolusi, Chan et al. (1997) mengukur perubahan keyakinan siswa dengan meminta siswa untuk menunjukkan pada skala 11-point apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan yang diberikan. Dua pakar juga mengevaluasi respon masing-masing siswa dengan menggunakan protokol wawancara. Sebuah ukuran kriteria kemudian disusun untuk merepresentasikan rating rata-rata dari protokol. Korelasi antara rating siswa dan ukuran kriteria lalu dihitung dan digunakan sebagai tingkat perubahan keyakinan. Singkatnya, para peneliti yang mencoba untuk mengukur konflik kognitif umumnya telah mengukur perilaku siswa yang terbuka atau rating siswa terhadap pernyataan atau masalah yang diberikan. Tampaknya jelas bahwa perilaku siswa yang terbuka seperti ragu-ragu, terkejut, atau berbicara dengan diri sendiri bisa menjadi salah satu tanda dari konflik kognitif (Cantor, 1983). Sebaliknya, konflik bisa saja menjadi salah satu dari banyak alasan yang mungkin bagi perilaku-perilaku seperti itu. Selain itu, hubungan antara perilaku terbuka siswa (yaitu, ragu-ragu, dll) dan konflik kognitif tidaklah begitu langsung sehingga skor yang diperoleh dari pengamatan perilaku siswa tidak bisa dianggap sebagai tingkat konflik kognitif. Gaya dan / atau intensitas perilaku dalam mengekspresikan konflik nya pastinya bervariasi dari siswa yang satu dengan siswa yang lainnya sehingga kita tidak boleh mengabaikan pengaruh kepribadian siswa pada hubungan tersebut. Indeks yang lain, laporan-diri mengenai keyakinan, juga harus dipertanyakan dengan serius. Masalahnya di sini adalah bahwa skor yang diperoleh dari laporan-diri tidak sama dengan tingkat konflik kognitif yang ditimbulkan tetapi sama dengan tingkat perasaan subyektif siswa tentang pengalaman yang diberikan. Oleh karena itu, indikator yang lebih langsung yang dapat mendeteksi kebimbangan psikologis diperlukan untuk meningkatkan validitas pengukuran konflik kognitif. Karena itulah, dalam studi ini kami berusaha untuk menguji hubungan antara konflik kognitif yang disebabkan oleh peristiwa discrepant dan perubahan konseptual. Untuk tujuan ini, kami merancang sebuah skema untuk mengukur konflik kognitif dari respon siswa terhadap suatu peritiwa discrepant. Berdasarkan skema ini, kami pun menelusuri hubungan antara konflik kognitif dan perubahan konseptual. Kami juga menyelidiki pengaruh karakteristik kognitif siswa pada jenis respon terhadap peristiwa discrepant dan konflik kognitif yang dibangkitkannya. Keberhasilan menggunakan peristiwa discrepanng kompleks dan t dalam pembelajaran perubahan konseptual mungkin tergantung pada kemauan dan kemampuan siswa untuk mengenali konflik terbuka. Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa karakteristik kognitif siswa mungkin adalah faktor penting ketika guru menggunakan peristiwa discrepant untuk memulai konflik kognitif. Berdasarkan sintesis dari bukti penelitian yang dikutip dalam literatur yang relevan, kami menyelidiki pengaruh dari tiga variabel kognitif yang pantas perhatian khusus: kemampuan berpikir logis, dependensi/independensi bidang, dan pendekatan pembelajaran.Untuk mencapai keadaan konflik kognitif, siswa harus menentukan apakah peristiwa discrepant valid atau tidak dan apakah peristiwa discrepant sejalan atau tidak dengan konsepsi yang ada (Chinn & Brewer, 1993). Dengan demikian, siswa yang tidak dapat secara efektif menggunakan penalaran hipotetiko-deduktif logis (Lawson & Thompson, 1988) mungkin tidak akan menunjukkan konflik kognitif dalam menanggapi peristiwa discrepant. Dependensi/independensi bidang, yang berhubungan dengan gaya kognitif individu tentang seberapa berhasilnya dia dapat menarik informasi yang relevan dari latar belakang yang kompleks dan berpotensi membingungkan (Witkin, Moore, Goodenough, & Cos, 1977), mungkin juga merupakan faktor yang mempengaruhi konflik kognitif. Terakhir, pendekatan belajar siswa juga mungkin mempengaruhi konflik kognitif - apakah siswa menerima bukti yang bertentangan tersebut dan mengakomodasi konsepsi mereka yang ada atau apakah mereka menggunakan berbagai taktik penanganan untuk menghindari konflik. Karena, seperti yang dilaporkan Donn (1989), siswa yang diklasifikasikan sebagai menggunakan strategi pembelajaran bermakna cenderung merespon masalah baru dengan bertanya pada diri sendiri dan dengan menghubungan dan mengelaborasi ide-ide, sedangkan lawan mereka cenderung merespon dengan menyatakan definisi dan gagal menjabarkan ide-ide mereka.

Metode

Miskonsepsi Sasaran

Dalam memilih konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini, beberapa kriteria yang dipertimbangkan. Pertama, kami membutuhkan konsep yang telah dilaporkan sebagai konsep yang sulit dipelajari oleh siswa melalui instruksi ekspositori tradisional. Kedua, konsepnya harus telah didokumentasikan sebagai konsep yang banyak siswa memiliki miskonsepsi yang sama. Ketiga, konsep harus dapat dimengerti oleh siswa. Terakhir, konsepnya haruslah konsep du mana ada peristiwa discrepant ada untuk menghadapi kesalahpahaman. Konsep yang memenuhi kriteria kami adalah massa jenis. Banyak peneliti dan pendidik telah melaporkan bahwa massa jenis adalah konsep yang sulit untuk diajarkan (misalnya, Rieck, 1994; Shepherd & Renner, 1982), dan pendekatan tradisional untuk mengajar massa jenis hanya berhasil sebatas mempromosikan konsepsi yang diterima secara ilmiah (Hewson & Hewson, 1983; Rowell & Dawson, 1977). Sayangnya, salah satu kesulitan yang melekat dengan konsep massa jenis adalah bahwa tidak ada cara langsung untuk mengukurnya. Beberapa peneliti telah menunjukkan kompleksitas konsep ini. Artinya, konsep massa jenis itu sulit karena membutuhkan pemahaman tentang rasio dan proporsi (Rowell & Dawson, 1977) atau karena merupakan variabel gabungan yang berhubungan dengan dua variabel simultan, massa dan volume (Adey & Shayer, 1988). Akan tetapi, hasil bahwa siswa yang lebih tua sekalipun memiliki kesulitan dalam memahami massa jenis (Hewson, 1986) itu berarti bahwa mungkin ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Menurut Smith, Snir, dan Grosslight (1992), siswa umumnya memiliki kerangka kerja konseptual alternatif untuk materi sehingga mengembangkan konsep massa jenis memerlukan restrukturisasi kerangka kerja mereka.Konsep berat-massa jenis yang tidak dibedakan adalah salah satu miskonsepsi yang paling banyak dimiliki oleh para siswa sekolah menengah (Hewson & Hewson, 1983; Noh, Kang, Kim, Chae, & Noh, 1997; Rowell & Dawson, 1977; Smith, Carey, & Wiser, 1985). Siswa tidak bisa membedakan antara berat dan massa jenis. Sebaliknya, mereka menyatukan komponen-komponen dari kedua konsep itu ke dalam satu konsep berat-massa jenis yang tidak dibedakan (Smith et al., 1985) karena massa, volume, dan berat berkorelasi dalam kehidupan sehari-hari (Klopfer, Champagne, & Chaiklin, 1992). Akibatnya, siswa biasanya menggunakan konsep yang tidak dibedakan dengan baik seperti "jumlah", bukannya berat atau massa jenis (Noh et al., 1997). Meskipun demikian, beberapa peneliti (misalnya, Noh et al, 1997;.. Smith et al, 1992), telah mendemonstrasikan bahwa instruksi perubahan konseptual yang tepat dapat membuat sejumlah siswa kelas 7 bisa memahami konsep massa jenis. Terakhir, daftar peristiwa discrepant yang dapat diamati yang bertentangan dengan miskonsepsi juga tersedia. Karena konsep berat-massa jenis yang tidak dibedakan ini memenuhi semua kriteria kami, kami memilihnya sebagai miskonsepsi sasaran dari penelitian ini.

Peserta

Penelitian ini dilakukan dengan 350 siswa kelas 7 (berusia 13 atau 14 tahun) di Korea. Menurut Kurikulum Sains Nasional Korea, konsep massa jenis harus diajarkan di kelas 8. Oleh karena itu, tidak ada siswa yang telah diajari konsep massa jenis secara formal. Semua peserta adalah perempuan dan dipilih dari dua sekolah menengah di perkotaan. Kami membutuhkan sekolah yang memiliki pusat multimedia yang dilengkapi dengan komputer pribadi yang cukup (misalnya, setidaknya satu komputer untuk satu orang siswa) untuk melakukan penelitian kami. Namun, tidak begitu mudah untuk mengatur waktu untuk menggunakan sekolah yang memenuhi syarat ini karena di Korea rata-rata jumlah siswa per kelas masih sekitar 35 sehingga sebagian besar instruksi yang menggunakan komputer umumnya dilangsungkan berpasangan. Selain itu, meskipun banyak sekolah menengah telah diubah untuk mencerminkan status koedukasi, masih ada banyak sekolah khusus anak laki-laki dan perempuan di Korea. Karena kesulitan untuk mengatur waktu sekolah dan perlunya siswa bekerja secara independen pada sebuah komputer pribadi, kami pun harus memilih dua sekolah anak perempuan. Sementara model perubahan konseptual telah banyak disarankan untuk membantu siswa menangani miskonsepsi, hanya sedikit penelitian yang telah memeriksa hubungan antara perubahan konseptual dan gender (Chambers & Andre, 1997). Meskipun sudah sering dilaporkan bahwa ada perbedaan prestasi sains antara anak laki-laki dan perempuan, sebuah tinjauan penting terhadap gender dan pendidikan sains menunjukkan bahwa perbedaan tersebut menurun ke tingkat yang sangat rendah pada siswa yang lebih muda (Kahle & Meece, 1994). Chambers dan Andre (1997) juga melaporkan bahwa jika tingkat minat siswa, pengalamannya, dan pengetahuannya sebelumnya telah dikendalikan, tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan gender dalam mempelajari konsep arus searah melalui pendekatan perubahan konseptual. Dengan demikian, meskipun potensi perbedaan jender mungkin ada, kami tidak menganggapnya sebagai ancaman terhadap validitas hasil penelitian kami.

Instrumen

Tes prekonsepsi

Untuk keperluan penelitian ini, siswa yang tidak menunjukkan miskonsepsi sasaran harus tidak diikutkan. Kami membuat sebuah tes prakonsepsi yang dirancang sebagai alat untuk memilih subyek yang tepat dan mengujicobanya dua kali. Dalam tes ini, siswa diminta untuk menjawab pertanyaan - "Ketika dua bola dengan ukuran yang sama dijatuhkan ke dalam air, bola hitam kecil dengan berat 100 g mengapung sedangkan bola abu-abu kecil dengan berat 500 g tenggelam. Ada sebuah bola hitam besar denga berat 1.000 g yang terbuat dari bahan yang sama seperti bola hitam kecil. Apakah bola itu akan tenggelam atau mengapung ketika dijatuhkan ke dalam air "-? Dan menjelaskan alasan-alasan untuk jawaban mereka.

Tes respon terhadap kejadian discrepant

Sebuah Tes Respon terhadap kejadian diskrepan (Trde) dibuat untuk menguji cara mana siswa merespon suatu kejadian discrepant. Tes ini adalah modifikasi dari instrumen yang digunakan Chinn dan Brewer (1998). Mereka menggunakan empat teori awal yang berbeda dan enam data yang anomali yang berbeda dari untuk memperbanyak keragaman respon siswa. Akan tetapi, tujuan kami adalah untuk mengetahui pengaruh suatu kejadian discrepant tertentu pada perubahan konseptual dalam pengajaran sains. Dengan demikian, pada semua siswa kami menyuguhkan hanya satu teori awal dan satu kejadian discrepant di TRDE, karena guru umumnya menyuguhkan pada siswa mereka satu kejadian discrepant saja dengan maksud untuk menentangkan miskonsepsi yang paling banyak dipegang. Trde ini juga diuji-cobakan dua kali untuk memverifikasi pemahaman siswa itu. Trde terdiri dari tiga bagian berikut: penjelasan awal, kejadian discrepant, dan rating siswa. Masing-masing bagian yang diuraikan dalam tiga paragraf berikut.Penjelasan awal: Siswa membaca sebuah tulisan di mana seorang pria berpendapat bahwa bola hitam besar dengan berat 1.000 g itu pasti akan tenggelam karena jauh lebih berat dari bola abu-abu yang juga tenggelam. Untuk mendukung penjelasan ini, beberapa contoh pembuktian juga disajikan di sini (misalnya, "Sepotong batu atau besi tenggelam karena berat, tetapi balok kayu atau styrofoam akan mengapung karena ringan. "). Kami mengharapkan siswa yang memiliki miskonsepsi sasaran akan meningkatkan kredibilitas ide-ide mereka setelah membaca tulisan ini. Untuk mengecek keyakinan awal, siswa diminta untuk menulis apakah mereka mempercayai penjelasan awal ini atau tidak, segera setelah mereka membacanya.Kejadian discrepant: Setelah membaca tulisan yang mendukung keyakinan awal mereka, siswa membaca tulisan lain mengenai kejadian discrepant yang bertentangan dengan penjelasan awal. Sebuah hasil percobaan dari para siswa sekolah menengah dijelaskan dalam tulisan tersebut. "Sebenarnya, kecil bola plastik dengan berat 100 g akan mengapung sedangkan bola besi kecil 500 g akan tenggelam di dalam air. Namun, bola plastik besar 1.000 g juga akan mengapung dan bertentangan dengan penjelasan awal." Untuk mengurangi keraguan siswa tentang relibilitas hasil percobaan, ditekankan bahwa siswa lain di kelas juga memperoleh hasil yang sama. Dalam membandingkan keyakinan awal mereka dengan kejadian discrepant yang diberikan, kita mengharap akan terjadi muncul konflik pada siswa yang memegang miskonsepsi tersebut.Rating Siswa: Pada bagian ini, siswa mengevaluasi kejadian discrepant maupun penjelasan awal. Pertama, siswa menilai tingkat kepercayaan kejadian discrepant (yaitu, memilih salah satu dari "Saya percaya," "Saya tidak percaya," dan "Saya tidak tahu") dan menyertakan alasan untuk rating mereka. Kedua, siswa menilai sejauh mana konsistensi antara kejadian discrepant dan penjelasan awal (yaitu, memilih salah satu dari "konsisten," "tidak konsisten," dan "Saya tidak tahu"). Mereka juga memberikan penjelasan tertulis untuk rating yang mereka berikan. Terakhir, siswa melaporkan apakah keyakinan mereka telah berubah setelah membaca kejadian discrepant, dan menjelaskan alasan mereka.

Tes Konsepsi

Kami mengembangkan sebuah tes konsepsi untuk menguji apakah miskonsepsi sasaran berubah menjadi konsepsi ilmiah. Beberapa soal tes dibuat berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai miskonsepsi siswa tentang massa jenis (Adey & Shayer, 1988; Klopfer et al, 1992;.. Noh et al, 1997). Dua kali tes uji coba dilakukan pada siswa kelas 8 sekolah menengah di Korea untuk menghilangkan atau memodifikasi soal-soal yang tidak sesuai. Versi akhir tes konsepsi terdiri dari empat soal. Semua soal tes konsepsi ditulis dalam format pilihan ganda. Setiap soal disertai dengan bagian jawaban terbuka untuk mengumpulkan informasi tentang alasan-alasan siswa untuk pilihan mereka. Validitas tes diverifikasi oleh sebuah panel ahli yang terdiri dari tiga pendidik sains dan tiga guru sekolah menengah. Koefisien reliabilitas konsistensi internal Cronbach untuk tes ini adalah .73. Sebuah skala 3-point dikembangkan untuk menilai tes konsepsi. Tidak ada jawaban dan jawaban yang tidak relevan dinilai "0," jawaban yang menunjukkan pemahaman parsial (alasan-alasannya tidak lengkap meskipun pilihan benar yang dipilih) dinilai "1," dan jawaban yang menunjukkan pemahaman yang baik dinilai dengan "2." Dua penilai secara independen menilai sekumpulan jawaban siswa yang dipilih secara acak. Setiap ketidaksepakatan dibahas oleh para penilai dan kemudian diputuskan. Setelah 90% kesepakatan antar penilai diperoleh, satu penilai menilai semua jawaban dan yang lainnya secara independen memeriksa skornya.

Tes variabel kognitif

Tiga tes diberikan untuk mengukur karakteristik kognitif siswa dalam penelitian ini. Ketiga tes diterjemahkan ke dalam bahasa Korea dari bahasa Inggris. Terjemahan telah diverifikasi oleh tiga pendidik sains. Selain itu, kami mewawancarai beberapa siswa selama studi uji coba untuk memverifikasi apakah siswa memahami makna item dengan benar. Semua siswa ini tingkat prestasi sainsnya di bawah rata-rata. Hanya beberapa masalah kecil yang terdeteksi dalam respon siswa dan susunan kata soal yang tidak bagus direvisi dengan bantuan guru sekolah menengah.Kemampuan berpikir logis siswa diukur dengan versi pendek dari Penilaian Berpikir Logis Kelompok / Group Assessment of Logical Thinking (GALT, Roadrangka, Yeany, & Padilla, 1983) yang masing-masing mencakup 2 soal untuk 6 jenis penalaran berikut: konservasi, penalaran proporsi, variabel pengendali, penalaran probabilistik, penalaran korelasi, dan penalaran kombinasi. Total skornya berkisar dari 0 sampai 12. Koefisien reliabilitas konsistensi internal Cron-bach untuk sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah .70. Dependensi/independensi bidang dinilai dengan Puzzle Cari Bentuk/Find-A-Shape Puzzle (FASP; Linn & Kyllonen, 1981). Tes ini mengukur kemampuan siswa untuk melepas informasi yang relevan dari latar belakang yang tidak relevan. Linn dan Kyllonen menunjukkan bahwa FASP memuat faktor yang sama seperti instrument dependensi/independensi bidang yang sebelumnya telah divalidasi. Dalam tes ini, siswa harus menemukan gambar sederhana yang tersembunyi dalam lima gambar yang rumit dalam batas waktu tertentu. Satu poin diberikan jika berhasil menemukan satu gambar sederhana; total skornya berkisar dari 0 sampai 20. Koefisien reliabilitas konsistensi internalnya adalah .89 untuk skor yang diperoleh dalam penelitian ini.Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa siswa cenderung memiliki orientasi belajar tertentu(Cavallo, 1996; Cavallo & Schafer, 1994; Entwistle & Ramsden, 1983). Untuk mengidentifikasi orientasi belajar mereka, siswa diberikan Kuesioner Pendekatan Belajar Bermakna/Meaningful Learning Aproach Questionnaire (MLAQ) yang dipilih dari Inventori Pendekatan Belajar yang Direvisi/Revised Approach to Studying Inventory (RASI, Entwistle & Tait, 1994) yang dirancang untuk menilai pendekatan siswa untuk belajar. RASI terdiri dari lima subkategori: pendekatan mendalam, pendekatan dangkal, pendekatan strategis, kurangnya arah, dan orientasi kepercayaan diri akademis. Karena perbedaan subkategori pendekatan mendalam, dangkal, dan strategis telah divalidasi (Duff, 1997), kami menggunakan 10 pertanyaan yang ditujukan pada pendekatan belajar yang mendalam (bermakna) pada penelitian ini. Instrumen akan meminta siswa untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana mereka belajar, mulai dari 1 (tidak setuju) sampai 5 (Setuju). Tes ini memperoleh koefisien reliabilitas konsistensi internal 0.81 diperoleh untuk ini. Prosedur

Untuk menyelidiki karakteristik kognitif mereka, siswa diberikan GALT, FASP, dan MLAQ. Selanjutnya, dilakukan tes prakonsepsi untuk mengidentifikasi siswa yang memiliki miskonsepsi sasaran dan dilakukan Trde untuk memeriksa respon mereka terhadap suatu kejadian discrepant. Terakhir, setelah menyelesaikan semua pretest, siswa diberi intervensi 15 menit untuk perubahan konseptual tentang konsep massa jenis. Untuk mengendalikan pengaruh guru dan lingkungan belajar pada pembelajaran siswa, kami mengembangkan sebuah program komputer dengan menggunakan Macromedia Flash 5 yang memiliki keunggulan dalam membuat animasi dan presentasi. Instruksi dengan Bantuan Komputer/Computer-Assisted Instruction (CAI) yang menggunakan program ini diimplementasikan sebagai intervensi. Siswa ditugaskan untuk bekerja secara individual pada program CAI untuk menghindari kemungkinan interaksi antar siswa dapat mempengaruhi pembelajaran mereka sendiri. Program CAI dibuat sesuai dengan tahaap pengenalan konsep dan tahap aplikasi model perubahan konseptual umum. Melalui program CAI, siswa pertama-tama disuguhkan dengan animasi yang menunjukkan bahwa berat bukanlah kriteria yang bisa digunakan untuk memprediksi apakah objek tertentu akan tenggelam atau mengapung. Konsep baru ini, massa jenis yang didefinisikan sebagai massa per satuan volume, kemudian diperkenalkan sebagai kriteria alternatif untuk memprediksi masalah "tenggelam atau mengapung". Pada akhir program CAI, siswa diberi beberapa masalah praktek dan menerima umpan balik jika diperlukan. Selain itu, dalam merancang isi dari program CAI, kami memutuskan untuk berkonsentrasi pada menjelaskan fenomenanya, masalah "tenggelam atau mengapung" pada tingkat makroskopik karena tampilan mikroskopis materi tidak diperlukan untuk mencapai pemahaman akan perbedaan antara berat dan massa jenis. Para ilmuwan juga telah mencapai diferensiasi yang jelas antara berat dan massa jenis bahkan sebelum mereka menerima teori materi atom dalam sejarah ilmu pengetahuan (Smith et al., 1985). Tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengajarkan siswa perbedaan antara badan dan massa karena nilai numerik dari kedua besaran tersebut berbanding lurus di Bumi dan perbedaan ini tidaklah penting bagi siswa tingkat tujuh untuk bisa memahami konsep inti dari massa jenis. Siswa menyelesaikan tes konsepsi sehari setelah protokol instruksi. Dari jumlah awal sebesar 350 siswa, kami memasukkan 171 subjek dalam penelitian ini. Pertama, 130 siswa dikeluarkan karena jawaban mereka untuk tes prakonsepsi menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki miskonsepsi sasaran. 27 siswa lainnya dieliminasi karena mereka tidak setuju dengan penjelasan awal. Meskipun para siswa ini juga telah memilih pilihan yang salah dalam tes prakonsepsi seperti para subyek, kami menganggap bahwa ketidaksetujuan mereka dengan penjelasan awal yang diberikan itu menunjukkan kemungkinan bahwa mereka memiliki miskonsepsi lainnya. Terakhir, 22 siswa tidak memenuhi syarat karena mereka tidak menyelesaikan semua tes.

Protocol Penilaian Konflik kognitif

Tidak seperti penelitian sebelumnya yang berfokus pada perilaku siswa sebagai ekspresi konflik maupun pada rating yang dibuat siswa sendiri, kami menginginkan sebuah metode yang lebih langsung dalam mengukur konflik kognitif. Tingkat konflik kognitif yang disebabkan oleh sebuah kejadian diskrepan tampaknya merupakan fungsi dari interaksi antara konsepsi yang dimiliki siswa dan pengalamannya barunya. Semakin besar kesulitan dalam menyatukan konsepsi yang ada dan kejadian discrepant, semakin besar konfliknya. Sebagai contoh, jika siswa mampu menerima suatu kejadian discrepant dengan membuat perubahan yang relatif kecil pada konsepsi yang mereka miliki, maka hal itu akan menyebabkan konflik kongnitif rendah. Selain itu, ketika mereka melakukan proses asimilasi, yaitu restrukturisasi konsepsi yang ada secara terbatas, siswa biasanya menunjukkan respon tertentu seperti menyesuaikan atau mendistorsi pengalaman agar sesuai dengan konsep-konsep yang mereka miliki (Tsai, 2000). Oleh karena itu, respon terhadap kejadian discrepant bisa menjadi salah satu indikator untuk mengukur konflik kognitif. Telah diteliti bahwa siswa membuat respon yang sangat bervariasi terhadap peristiwa discrepant (Chinn & Brewer, 1993, 1998; Gorsky & Finegold, 1994; Mason, 2001; Shepardson & Moje, 1999; Tirosh et al, 1998). Gorsky dan Finegold (1994) meneliti respon siswa terhadap anomali tentang "gaya." Mereka meminta sembilan siswa SMA untuk membuat susunan gaya yang menunjukkan gaya yang mereka klaim bekerja pada sebuah obyek dan kemudian mereka masing-masing disajikan sebuah simulasi perilaku sistem yang dihasilkan. Mereka berhipotesis bahwa konflik kognitif mungkin dihasilkan ketika perilaku yang disimulasikan jelas tidak sesuai dengan harapan siswa (atau berdasarkan pengalaman mereka di dunia nyata). Mereka menganalisis respon verbal siswa saat para siswa belajar dengan simulasi dan mengklasifikasikan respon mereka ke dalam beberapa jenis sesuai dengan tingkat konflik yang dihasilkan: putus asa, penolakan, skeptisisme, dan rasa ingin tahu. Chinn dan Brewer (1998) juga melaporkan beberapa cara siswa merespon data anomali: (a) mengabaikan data, (b) menolak data, (c) menyatakan ketidakpastian tentang validitas data, (d) tidak mengikutkan data, (e) menangguhkan data, (f) menafsirkan data, (g) menerima data dan membuat sedikit perubahan teori, dan (h), menerima data dan mengubah teori mereka. Dalam studi mereka, Chinn dan Brewer mengusulkan kriteria yang lebih spesifik untuk mengeksplorasi respon siswa terhadap kejadian discrepant: tingkat kepercayaan kejadian discrepant, inkonsistensi antara kejadian discrepant dan konsepsi siswa yang ada, dan perubahan keyakinan setelah mengalami kejadian discrepant. Kriteria ini mempunyai kegunaan menangani konglik secara langsung dari perspektif kognitif. Dalam studi ini, pertama-tama kami mengklasifikasi respon siswa terhadap suatu kejadian discrepant ke tujuh jenis berikut: 1. Penolakan: Menyangkal keabsahan kejadian discrepant, 2. Reinterpretasi: Menafsirkan kejadian discrepant secara berbeda dalam kerangka konsepsi yang mereka miliki, 3. Eksklusi: Menganggap kejadian discrepant tidak relevan dengan konsepsi yang ada, 4. Ketidakpastian: Tidak meyakini kejadian discrepant maupun konsepsi yang mereka miliki, 5. sedikit perubahan keyakinan: Menerima kejadian discrepant dengan membuat perubahan kecil pada konsepsi yang mereka miliki, 6. penurunan keyakinan: Merasa tidak puas dengan konsepsi yang mereka miliki tetapi tidak percaya diri dengan keputusan mereka, 7. Perubahan keyakinan: Merasa tidak puas dengan konsepsi yang mereka miliki dan sepenuhnya membuangnya.

Klasifikasi didasarkan pada respon tertulis siswa dalam Trde, yang memiliki tiga pertanyaan yang konsisten dengan tiga kriteria syarat yang diusulkan oleh Chinn dan Brewer (1998). Dua penilai secara independen mengklasifikasi seperangkat respon yang dipilih secara acak. Perbedaan antara penilai kemudian dibahas dan diputuskan. Prosedur diskusi / resolusi ini diulang sampai kesepakatan antar penilai mencapai 90%. Kemudian, satu penilai mengklasifikasikan semua responnya lagi sementara penilai yang lain secara independen memeriksa klasifikasinya.Menurut Posner et al. (1982), konflik kognitif dihasilkan ketika siswa merasa tidak puas dengan konsepsi yang ada. Dengan demikian, untuk tujuan penelitian ini, kami mengoperasionalkan konflik kognitif sebagai tingkat ketidakpuasan yang ditunjukkan siswa dengan / konsepsi yang mereka miliki setelah disuguhkan dengan kejadian discrepant. Limn dan Carretero (1997) juga berpendapat bahwa ada berbagai jenis respon terhadap kejadian discrepant yang bisa diurutkan dalam sebuah kontinum dari kejadian discrepant yang paling sedikit diterima sampai yang paling banyak diterima. Dari ketujuh jenisnya, yaitu penolakan, reinterpretasi, dan eksklusi dinyatakan tidak menghasilkan perubahan pada keyakinan siswa terhadap konsepsi yang mereka miliki (Chinn & Brewer, 1993; Gorsky & Finegold, 1994) sehingga respon tersebut dinilai dengan "0." Ketidakpastian adalah jenis respon yang menunjukkan tidak adanya keyakinan pada validitas kejadian discrepant serta pada konsepsi yang mereka miliki, respon semacam ini dinilai dengan "1." Respon yang digolongkan sedikit perubahan keyakinan dan penurunan keyakinan menunjukkan ketidakpuasan dengan konsepsi yang ada, setidaknya sampai batas tertentu, dan dinilai dengan "2." Perubahan keyakinan, sebuah fungsi dari seluruh ketidakpuasan dengan konsepsi yang ada, dinilai dengan "3."

Hasil

Respon siswa terhadap kejadian discrepant

Tujuh jenis respon ditemukan dalam analisis respon siswa terhadap kejadian discrepant; penolakan, reinterpretasi, eksklusi, ketidakpastian, sedikit perubahan keyakinan, penurunan keyakinan, dan perubahan keyakinan (Tabel 1). Tiga puluh dua siswa (18,7%) menolak kejadian discrepant. Mereka tidak mempercayai kejadian discrepant meskipun mereka menyadari inkonsistensi antara kejadian discrepant dan konsepsi yang mereka miliki. Dengan penolakan, tidak ada perubahan keyakinan. Penolakan adalah jenis respon yang paling umum di antara siswa yang memutuskan tidak mengubah konsepsi mereka dalam penelitian kami. Lebih dari 70 persen dari siswa (23 dari 32) tampaknya tidak bisa menerima hasil dari kejadian discrepant yang mungkin dikarenakan oleh keyakinan awal mereka memang terlalu kuat: "Bagaimana bisa objek yang lebih ringan mengapung? Tidak mungkin."Atau" Objek yang berat seharusnya tenggelam dan obyek yang ringan seharusnya mengapung. Itu alamiah." Sedangkan enam siswa mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik mengenai validitas percobaan: "Mengapa siswa itu menggunakan dua jenis bola (yaitu, plastik dan besi) dalam eksperimennya? Dia seharusnya menggunakan hanya satu jenis bola." (tanda kurung ditambahkan oleh penulis) atau "Jika bola plastik beratnya 1 kg, bolanya terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam tangki air. " Tujuh siswa (4,1%) mengubah kejadian discrepant dan menganggapnya konsisten dengan keyakinan mereka. Akibatnya, tidak ada perubahan dibuat pada konsepsi mereka. Sebagian besar siswa ini (5 dari 7) memiliki konsep berat yang memiliki dua makna berbeda. Sebagai contoh, salah satu siswa ini menjelaskan alasannya dengan "Saya mempercayai hasil percobaan itu karena plastik merupakan bahan yang sifatnya ringan. Jadi, bola plastik itu bisa mengapung meskipun ia lebih berat daripada bola besi yang tenggelam." Jelas bahwa siswa tersebut menggunakan istilah berat atau ringan untuk dua makna yang sama sekali berbeda; satu makna sebagai berat dan makna yang lain sebagai sifat bahan. Perlu juga dicatat di sini bahwa beberapa siswa, yang menolak kejadian discrepant, juga cenderung bingung dalam menggunakan istilah yang tepat, tapi kecenderungan ini memiliki sedikit pengaruh pada respon mereka terhadap kejadian discrepant. Akan tetapi, bagi siswa yang menafsirkan ulang kejadian discrepant, makna ganda dari berat memiliki dampak yang jelas pada reaksi mereka terhadap kejadian discrepant.

Tabel 1 Frekuensi (dan Persentase) Tanggapan terhadap Kegiatan DiskrepanJenis ResponPenelitian iniChinn & Brewer

MengabaikanPenolakanReinterpretasiEksklusiPenangguhanKetidakpastianSedikit perubahan keyakinanPenurunan keyakinanPerubahan keyakinan032 (18.7)7 (4.1)11 (6.4)-13 (7.6)17 (9.9)24 (14.0)67 (39.2)15 (8.2)61 (33.5)43 (23.6)4 (2.2)17 (9.3)31 (17.0)3 (1.6)-8 (4.4)

Total171 (100*)182 (100*)

Perbedaan dari 100% karena kesalahan pencatatan.

Sebelas siswa (6,4%) tidak menganggap kejadian discrepant. Mereka mempercayai hasil kejadian discrepant dan setuju bahwa itu tidak konsisten dengan konsepsi mereka. Namun, tidak ada perubahan keyakinan karena kejadian discrepant dianggap tidak memiliki hubungan langsung dengan konsepsi yang ada atau hanya semacam pengecualian. Sebagian besar dari mereka (10 dari 11) ternyata memiliki makna ganda untuk konsep berat seperti yang diklasifikasikan sebagai tipe "reinterpretasi". Bagi mereka memang alamiah kalau bola plastik yang lebih berat dari bola besi akan mengapung karena plastik merupakan bahan yang sifatnya ringan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi mereka untuk mengubah konsepsi yang mereka miliki. Tiga belas siswa (7,6%) menjawab bahwa mereka tidak bisa memutuskan apakah mereka harus membuang konsepsi yang mereka miliki atau tidak. Tidak seperti jenis respon yang lain, respon terhadap ketiga kriteria sangat beragam pada siswa yang diklasifikasikan ke dalam kategori ini; seseorang setuju pada dapat dipercayanya dan / atau inkonsistensi tetapi yang lain tidak. Satu-satunya hal yang sama pada mereka yang ada di kategori ini adalah bahwa keputusan mereka masih belum diputuskan. Salah seorang siswa mengatakan "Setelah membaca hasil percobaannya, saya tidak tahu mana yang benar." Tujuh belas siswa (9,9%) menerima kejadian discrepant dengan membuat beberapa modifikasi konsepsi mereka. Sebelas dari mereka juga ternyata memiliki makna ganda tentang konsep berat. Akan tetapi, tidak seperti siswa yang dikategorikan pada jenis "reinterpretasi" atau "eksklusi", mereka merubah konsepsi mereka sampai batas tertentu: "benda berat biasanya tenggelam. Tapi itu tidak selalu benar. Jika bahannya sangat ringan, benda berat pun bisa saja mengapung." Lima dari mereka cenderung merevisi konsepsi mereka secara lebih sistematis: "Saya menemukan kesalahan saya. Jenis material juga mempengaruhi tenggelam atau mengapungnya sebuah objek. Jadi, Anda harus mempertimbangkan berat maupun jenis material dalam memprediksi apakah suatu objek tertentu akan tenggelam atau mengapung." Dua puluh empat siswa (14,0%) mempercayai kejadian discrepant dan menemukan bahwa kejadian discrepant tidak konsisten dengan konsepsi mereka. Akibatnya, mereka sepakat bahwa konsepsi yang ada memiliki beberapa masalah. Namun, mereka ragu-ragu untuk benar-benar meninggalkannya. Alasan yang mewakili penurunan keyakinan terhadap konsepsi mereka adalah keunggulan dari hasil eksperimen ("Saya pikir hasil eksperimen lebih reliable daripada suatu pendapat sederhana.") dan keterbatasan dari konsepsi mereka dalam hal kekuatan penjelas ("Jika materialnya ringan seperti plastik, maka pemikiran pertama saya sudah tidak benar lagi. "). Perubahan keyakinan adalah jenis respon yang paling banyak terjadi dalam penelitian ini. Enam puluh tujuh siswa (39,2%) menunjukkan tanda-tanda yang jelas akan meninggalkan konsepsi mereka. Alasan utama yang diberikan oleh para siswa (28 dari 67) adalah keunggulan dari hasil eksperimen atas sebuah pendapat: "Saya meninggalkan pemikiran awal saya karena percobaan tersebut menunjukkan bukti yang jelas." Meskipun tidak ada konsep alternatif diberikan oleh Trde, 25 siswa menunjukkan penjelasan alternatif mereka sendiri: "Apakah suatu jenis objek tertentu akan tenggelam atau mengapung akan tergantung pada materiall obyek itu." Dalam beberapa kasus (3 siswa), miskonsepsi sasaran digantikan oleh miskonsepsi lain: "Bukan berat tapi volumenyalah yang menentukan apakah sebuah benda akan tenggelam atau mengapung. "

Hubungan antara Konflik Kognitif dan Perubahan Konseptual

Mean dan standar deviasi dari tes yang dilakukan disajikan pada Tabel 2. Koefisien korelasi Pearson pada nilai tes siswa disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2 Mean dan Standar Deviasi dari Tes.

Tabel 3Koefisien Korelasi antar Variabel.

Variabel GALTFASPMLAQTRDE

Kemampuan berpikir logis (GALT) -

Dependensi/independensi bidang (FASP)0.258**-

Pendekatan belajar bermakna (MLAQ)0.224**0.213**-

Konflik kognitif (TRDE)0.154*0.240**0.033-

Perubahan konseptual (tes konsepsi)0.511**0.292**0.195**0.232

* p